"Kita semua masih
beruntung," ujar sam Gan sin Kay. "Tapi kalau wanita berbaju putih
itu tidak segera muncul, kita semua pasti sudah menjadi mayat."
"Benar." Kim siauw
suseng manggut-mang-gut. "Im sie Hong Mo tertawa menyeramkan, sedangkan
wanita berbaju putih tertawa nyaring dan melengking- lengking, kelihatannya
mereka berdua...."
"Tidak waras, kan?"
sambung Tok Pie sin Wan.
"Ya." Kim siauw
suseng manggut-manggut lagi. "Kalau begitu iblis Gila Alam Baka memang
tidak waras. Lalu wanita...."
"Pek Ih Hong Li (Wanita
Gila Baju Putih)." sahut sam Gan sin Kay. "Kita menamainya Pek Ih
Hong Li saja."
"Julukan yang tepat bagi
wanita itu" Kim siauw suseng tertawa. "Heran...."
"Memang
mengherankan," sambung sam Gan sin Kay. "Gerakan pedang mereka hampir
mirip. Mungkinkah mereka berdua kakak beradik seperguruan?"
"Mungkin." Tok Pie
sin wan mengangguk. "Tapi... siapa guru mereka? Dalam rimba persilatan
tidak pernah terdengar ada orang gila yang berkepandaian tinggi...."
"Lagi pula...." Lim
Peng Hang mengerutkan kening. "Pek Ih Hong Li itu terus berteriak begitu,
kelihatannya mereka berdua
saling mendendam."
"Benar." sam Gan sin
Kay manggut-manggut. "Padahal kepandaian mereka boleh dikatakan seimbang,
kenapa Im sie Hong Mo malah kabur?"
"Aaaakh..." Kim
siauw suseng menarik nafas panjang. "Sebelumnya siauw Lim sam Tianglo
telah berfirasat akan muncul seorang iblis ganas, bahkan tahu pula akan mati di
tangannya."
"seharusnya mereka
bertiga menyembunyikan diri," ujar Tok Pie sin wan mendadak.
"Lutung gila siauw Lim
sam Tianglo telah ditakdirkan harus mati di tangan Im sie Hong Mo.
Karena itu, mereka bertiga
tidak mau bersembunyi," sahut sam Gan sin Kay.
"Ha ha ha" Mendadak
Kim siauw Suseng tertawa geli.
"Lho?" sam Gan sin
Kay menatapnya heran. "sastrawan sialan, kenapa engkau tertawa geli? Baru
lolos dari kematian sudah tertawa geli Dasar...."
"Kita panggil Tok Pie sin
wan sebagai Lutung Gila, itu berarti dia masih mempunyai hubungan dengan Im sie
Hong Mo dan Pek Ih Hong Li. Tapi... kepandaiannya justru...." Kim siauw
suseng
tertawa geli.
"Benar." sam Gan sin
Kay tertawa.
"Hmm" dengus Tok Pie
sin wan. " Kalian jangan mentertawakan diriku. Kalian berdua Bu Lim Ji
Khie, tapi kini harus dipanggil Bu Lim Ji Kwei (Dua Kura-kura Rimba
persilatan)"
"Eh? Lutung
gila...." sam Gan sin Kay melotot.
"Sudahlah Jangan
ribut" ujar Lim Peng Hang. "Kita masih harus berjaga-jaga, karena
kemungkinan besar Im sie Hong Mo masih akan muncul."
"Percuma kita
berjaga-jaga" Kim siauw suseng menggelengkan kepala. "Kalau Im sie
Hong Mo muncul lagi, paling... kita juga pasrah."
"Yaah..." sam Gan
sin Kay menghela nafas. "Tidak disangka Bu Lim Ji Khie akan pasrah dalam
hal ini"
"Melawan juga percuma.
Malah bisa-bisa kita akan mati seperti siauw Lim sam Tiang lo," ujar Kim
siauw suseng.
"Aaakh" Lim Peng
Hang menggeleng- gelengkan kepala. "Kapan cie Hiong dan ceng Im
pulang?"
"Pengemis bau Menurut
pendapatmu, apakah Cie Hiong dapat menghadapi Im sie Hong Mo?" tanya Kim
siauw suseng mendadak.
"Entahlah." sam Gan
sin Kay menggelengkan kepala. "Tapi mudah-mudahan cie Hiong dapat
menghadapinya Kalau tidak...."
"Lebih baik dia dan ceng
Im jangan pulang dulu," sambung Lim Peng Hang.
"Cie Hiong dapat
merobohkan Empat Dhalai Lhama dan Bu Lim sam Mo, bagaimana mungkin tidak dapat
menghadapi Im sie Hong Mo?" ujar Tok Pie sin Wan.
"Aku yakin dia dapat
menghadapi Im sie Hong Mo." "Mudah-mudahan" sahut Bu Lim Ji Khie
dan Lim Peng Hang. Bab 39 Muh san Nao Kui (Lima setan Gunung Muh san)
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
memang sedang dalam perjalanan pulang. Apa yang telah terjadi di rimba
persilatan, mereka berdua sama sekali tidak mengetahuinya.
Mereka berdua menunggang
seekor kuda, memupuk cinta kasih sambil menikmati keindahan alam yang mereka lewati.
"Kakak Hiong, setelah
kita sampai di markas pusat Kay Pang, apa rencanamu?" tanya Lim Ceng Im
sambil tersenyum lembut.
"Kita menikah, lalu hidup
tenang dan bahagia di tempat terpencil," jawab Tio cie Hiong.
"Benar." Lim Ceng Im
manggut-manggut. "Aku sudah jemu berkecimpung di rimba persilatan, maka
alangkah baiknya kita hidup tenang dan bahagia di tempat terpencil, jadi kita
tidak akan dipusingkan lagi oleh urusan rimba persilatan."
"Adik Im" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Kalau kita punya anak kelak, apakah harus di ajari ilmu
silat?"
"Itu memang harus,"
ujar Lim Ceng Im. "Kalau tidak. anak kita akan dihina orang."
"Kalau begitu, sudah
barang tentu anak kita akan berkecimpung dalam rimba persilatan, kan?" Tio
Cie Hiong mengerutkan kening.
"Pasti. Tidak mungkin
akan ikut kita hidup di tempat terpencil, sebab anak kita harus mencari
pengalaman di luar." Lim Ceng Im tersenyum.
"Eh?" Tio Cie Hiong
tertawa geli. "Kita belum menikah, tapi sudah membicarakan anak. Apakah
tidak terlampau awal?"
Engkau yang memulai, aku cuma
menyambung." Lim Ceng Im cemberut. "Ya, kan?" "Ya."
Tio Cie Hiong mengangguk. "ohya, engkau ingin anak lelaki atau anak
perempuan?"
"Anak lelaki boleh, anak
perempuan pun tidak jadi masalah," sahut Lim Ceng Im sungguh-sungguh .
"Bagus Memang harus
begitu." Tio Cie Hiong tersenyum dan menambahkan. "Anak lelaki harus
setampan aku, anak perempuan harus secantik engkau."
"Tentu." Lim Ceng Im
tertawa gembira. "Kakak Hiong, kita pasti akan bertambah bahagia setelah
dikaruniai anak."
"Benar. Tapi... kita juga
harus baik-baik mendidik anak. agar tidak mencemarkan nama kita," ujar Tio
Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Ng" Lim Ceng Im
mengangguk.
Begitulah mereka berdua
melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang mereka bersenda
gurau, bahkan sering pula Tio Cie Hiong meniup sulingnya.
Hari ini mereka memasuki kota
Pie Hong, dan begitu memasuki kota tersebut Tio Cie Hiong teringat sesuatu.
"Adik Im, aku ingin
mengatakan sesuatu, engkau jangan salah sangka ya" ujar Tio Cie Hiong.
"Katakanlah" Lim Ceng Im tersenyum. "Tidak mungkin aku akan
salah sangka terhadapmu." "Ini kota Pie Hong, maka..."
"Aku tahu." Lim Ceng
Im tersenyum lagi.
Engkau ingin mengajakku
berkunjung ke rumah hartawan Lie, bukan?"
Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Itu tidak apa-apa,"
ujar Lim Ceng Im sungguh-sungguh. "Jadi akupun bisa berkenalan dengan Nona
Lie. setelah kami bertemu, dia pun tidak usah terus merindukanmu."
"Memang begitulah
maksudku." Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil tersenyum lembut.
Betapa kaget dan gembiranya
hartawan Lie, ia menyambut kedatangan mereka dengan penuh keramahan. Namun di
balik itu, wajahnya tampak murung sekali. "Ha ha cie Hiong Aku tak
menyangka engkau masih ingat kepadaku silakan duduk"
"Terimakasih, paman"
Tio Cie Hiong duduk. dan Lim Ceng Im duduk di sebelahnya.
"ohya, nona ini..."
Hartawan Lie memandang Lim Ceng Im dengan penuh perhatian.
"Dia bernama Lim Ceng Im,
calon istriku." Tio Cie Hiong memperkenalkan.
"ooooh" Hartawan Lie
manggut-manggut.
"sungguh cantik Nona Lim,
kalian memang pasangan yang serasi."
"Paman Di mana
bibi?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Dia... dia sedang
beristirahat di dalam kamar...," jawab hartawan LieJustru di saat
bersamaan muncullah nyonya Lie dengan air mata berderai-derai.
"cie Hiong syukurlah
engkau datang siu sien pasti tertolong..." ujarnya.
"Apa?" Tio Cie Hiong
tertegun. "Apa yang terjadi atas diri adik Siu Slen? Bibi,
ceritakanlah" "Nak..." Nyonya Lie menangis terisak-isak.
"Begini..." Hartawan
Lie memberitahukan. "sebulan lalu, kota ini diserbu para perampok, bahkan
para perampok itu memperkosa para gadis. Betapa takutnya kami sekeluarga,
mendadak muncul beberapa perampok di sini..."
"Kemudian
bagaimana?" tanya Tio Cie Hiong tegang.
"Beberapa perampok itu
menangkap siu sien..." Lanjut hartawan Lie. "Tiba-tiba muncul seorang
pemuda, yang langsung menyerang perampok-perampok itu, bahkan membunuh mereka.
setelah itu, pemuda tersebut melesat ke luar membunuh perampok-perampok yang
lain."
"siapa pemuda itu?"
tanya Tio Cie Hiong.
"Dia bernama Kam Pek
Kiam," jawab hartawan Lie dan memberitahukan. "Pemuda itu kembali ke
mari lagi, maka kami sangat ber-terimakasih kepadanya Justru sungguh di luar
dugaan, dia dan siu sien saling memandang..."
"Mereka saling jatuh hati
barangkali?" Tlo cie Hiong tersenyum.
"Benar." Hartawan
Lie manggut-manggut. "sebab siu sien berterus terang pada kami, karena itu
kami pun bertanya pada Kami Pek Kian. Ternyata pemuda itu juga suka kepada siu
sien. Tentunya sangat menggembirakan kami, sehingga kami pun menjodohkan
mereka. Akan tetapi..."
"Terjadi sesuatu?"
tanya Tio Cie Hiong.
"Ya." Hartawan Lie
mengangguk. "Kemarin kepala perampok berjumlah lima orang datang ke
mari..."
"Kam Pek Kian itu
dirobohkan oleh kelima perampok?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"sebetulnya Kam Pek Kian
tidak kalah, namun salah seorang kepala perampok itu mengeluarkan sesuatu,
kemudian dilemparkannya ke-tanah dan mengebulkan asap. membuat Kam Pek Kian
langsung pingsan. Kelima kepala perampok itu menangkapnya, bahkan juga
menangkap siu sien." Hartawan Lie memberitahukan dengan wajah murung.
"Cie Hiong, selamatkanlah mereka...."
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Ohya, apakah paman tahu di mana sarang perampok-perampok
itu?"
"Mereka menyebut diri
mereka Muh san Ngo Kui," ujar hartawan Cie.
"Kalau begitu, tempat
tinggal mereka pasti berada di Gunung Muh san," ujar Tio Cie Hiong dan
bertanya. "Paman tahu di mana Gunung Muh san itu?"
"Tahu." Hartawan Cie
mengangguk. "Kira-kira lima puluh mil dari sini, harus melalui jalan ke
utara."
"Kalau begitu kami
berangkat sekarang," ujar Tio Cie Hiong. "Paman dan bibi tenang saja
Kami pasti dapat menyelamatkan Adik siu sien dan Kam Pek Kian."
"Terima kasih, Cie
Hiong" ucap Hartawan Lie.
"Nak" ucap Nyonya
Cie dengan air mata bercucuran. "Terimakasih..."
Tio Cie Hiong tersenyum, lalu
mengajak Lim Ceng Im berangkat ke Gunung Muh san. "Akan kuhabiskan para
perampok itu"
"Adik Im, jangan
sembarangan membunuh" pesan Tio Cie Hiong.
"Tapi..." Lim Ceng
Im mengerutkan kening.
"Aku akan memusnahkan
kepandaian mereka, jadi engkau tidak usah berbuat dosa membunuh orang"
ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Ya, Kakak Hiong."
urn ceng Im mengangguk.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
telah tiba di kaki Gunung Muh san. setelah menambatkan kudanya di pohon, Tio
Cie Hiong memungut sebatang bambu untuk Lim Ceng Im, lalu mengajak gadis itu
mendaki ke atas.
"Kakak Hiong, kenapa tidak
menggunakan ginkang Bukankah lebih cepat?" tanya Lim Ceng Im. "Kita
belum tahu di mana sarang perampok-perampok itu," jawab Tio Cie Hiong
sambil
tersenyum. " Kalau kita
berjalan kaki, pasti muncul perampok menghadang kita, jadi kita bisa bertanya di
mana sarang mereka"
"Betul, Kakak
Hiong." Lim Ceng Im manggut-manggut.
Mereka terus mendaki
melaluijalan setapak. Berselang beberapa saat kemudian, Tio cie Hiong berhenti
mendadak.
"Kakak Hiong...?"
Lim Ceng Im heran.
"Adik Im" bisik Tio
cie Hiong. "Ada bebwrapa orang sedang mengintai kita di atas pohon."
"oh?" Lim Ceng Im
segera memandang ke atas mengarah ke pohon-pohon, namun tidak melihat apa-apa.
"Kok aku tidak melihat mereka?"
"Mereka bersembunyi di
balik dedaunan yang lebat, maka engkau tidak melihat mereka," sahut Tio
Cie Hiong dan menambahkan. "Mereka akan memanah kita."
Tio cie Hiong memungut
beberapa batu kecil, kemudian mengajak Lim ceng Im mendaki lagi.
Tapi sekonyong-konyong...
Serrr Seeer Seeer Terdengar
suara ser-seran kemudian, tampak puluhan panah meluncur cepat ke arah mereka.
Tio cie Hiong mengibaskan
lengan bajunya, panah-panah itu terpental semua, kemudian ia mengayunkan
tangannya.
"Aaaakh..."
Terdengar suara jeritan, lalu tampak beberapa sosok tubuh berjatuhan dari
pohon.
Terdengar Tio cie Hiong
menyambit mereka dengan batu kerikil.
Perlahan-lahan Tio cie Hiong
menghampiri mereka. Seketika juga mereka berlutut minta ampun.
"Tayhiap (Pendekar
Besar), ampunilah kami"
"Aku akan mengampuni
nyawa kalian" sahut Tio cie Hiong sambil mengibaskan lengan bajunya.
Beberapa perampok itu menjerit-jerit lagi, ternyata Tio cie Hiong telah
memusnahkan kepandaian mereka.
"Di mana pemimpin
kalian?" tanya Lim ceng Im membentak.
"Mereka... mereka berada
di puncak gunung...," jawab salah seorang perampok. "Mereka sedang
berpesta."
"Kakak Hiong, mari kita
ke puncak" ajak Lim ceng Im.
Tio Gouw Han Tiong mengangguk.
Mereka lalu melesat menggynakan ginkang. Maka tak seberapa lama kemudian,
mereka berdua sudah sampai di puncak. Tampak beberapa buah tenda di situ, dan
puluhan orang sedang minum-minum sambil tertawa-tawa.
Tio Cie Hiong dan Lim ceng Im
mendekati mereka. Ketika melihat kemunculan mereka berdua, para perampok itu
tertegun.
"siapa kalian?"
bentak beberapa perampok.
"Kami ingin menemui
pemimpin kalian" sahut Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha" salah
seorang perampok tertawa gelak. "saudara-saudara, kita sungguh beruntung
Ada gadis cantik mengantar diri, kita..." Plak Plak Terdengar suara
tamparan. Aduuuh Jerit perampok itu kesakitan.
Ternyata Lim Ceng Im bergerak
cepat menampar muka perampok itu. Perampok perampok lain tampak terkejut dan
langsung menghunus pedang.
"serang mereka"
teriak salah seorang perampok.
seketika para perampok itu
menyerang Tio cie Hiong dan Lim ceng Im, tapi mendadak badan Tio Cie Hiong
bergerak laksana kilat, dan seketika terdengarlah suara jeritan-jeritan.
Dalam waktu yang singkat
sekali, para perampok itu telah roboh. Kemudian muncul lima orang bertampang
seram, yang ternyata Muh san Nao Kui (Lima setan Muh san).
"siapa kalian?"
bentak Muh san Ngo Kui. "sungguh berani kalian merobohkan para anak buah
kami"
"Aku Pek Ih sin
Hiap" sahut Tio Cie Hiong.
"Haaah..." Muh san
Nao Kui terbelalak dan wajah mereka pun berubah pucat pias. "Pek Ih sin
Hiap?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Pek Ih sin Hiap.
ampunilah kami Mulai sekarang kami tidak akan berani melakukan kejahatan lagi.
Ampunilah kami"
"Aku akan mengampuni
nyawa kalian, tapi kepandaian kalian harus kumusnahkan" sahut Tio Cie
Hiong.
"Jangan..Jangan..."
Muh san Nao Kui langsung menjatuhkan diri berlutut. "Jangan memusnahkan
kepandaian kami"
Tio Cie Hiong tersenyum, lalu
mendadak tengannya bergerak menggunakan Bit Ciat sin Ci (Jari sakti Pemusnah
Kepandaian) menyerang Muh san Ngo Kui.
"Aaakh..."jerit Muh
san Nao Kui lalu terkapar.
Kepandaian kalian telah
musnah, maka mulai sekarang kalian harus menjadi orang baik-baik" ujar Tio
Cie Hiong, lalu bersama Lim Ceng Im berjalan memasuki tenda.
Mereka melihat seorang pemuda
terikat kaki serta tangannya dengan rantai besi, dan seorang gadis diikat
dengan tali.
"Adik siu sien" seru
Tio Cie Hiong girang.
Engkau... engkau Kakak
Hiong?" Cie siu sien terbelalak, seakan tidak percaya kepada
penglihatannya .
"Benar, aku Tio Cie
Hiong," sahutnya dan berkata pada Lim Ceng Im.
"Adik Im, buka tali
itu"
Lim Ceng Im mengangguk. lalu
membuka tali yang mengikat siu sien. sedangkan Tio Cie Hiong mendekati pemuda
tampan itu, yang ternyata Kam Bek Kian.
Tio Cie Hiong memegang rantai
besi yang mengikat tangan dan kaki pemuda itu, kemudian menyentaknya sehingga
putus.
Haaah?" Bukan main
terkejutnya Kam Pek Kian, sehingga mulutnya ternganga lebar.
Kakak Hiong" Cie siu sien
mendekatinya.
"Dia Kam Pek Kian."
"saudara Kam" Tio
Cie Hiong tersenyum.
"Anda... Anda pasti Tio
Cie Hiong" seru Kam Pek Kian girang.
"Adik sien pernah
menceritakan tentang dirimu.Jadi... Anda Pek Ih sin Hiap yang telah
menggemparkan rimba persilatan."
"Itu hanya julukan kosong
belaka," sahut Tio Cie Hiong merendah.
"Terima kasih, saudara
Tio" ucap Kam Pek Kian, lalu mendadak melesat ke luar. Tak lama kemudian
terdengarlah jeritan-jeritan yang menyayatkan hati.
Tio Cie Hiong mengerutkan
kening, lalu melesat ke luar. Betapa terkejutnya, karena melihat Muh san Nao Kui
dan para perampok itu telah menjadi mayat.
sedangkan Kam Pek Kian duduk
di bawah sebuah pohon sambil menangis tersedu-sedu, sehingga membuat Tio Cie
Hiong terheran- heran.
Lim Ceng Im mendekati Tio Cie
Hiong, dan Lie siu sien mendekati Kam Pek Kian sekaligus membelainya dengan
penuh cinta kasih.
Kakak Hiong, diakah yang
membunuh semua perampok itu?" tanya Lim Ceng Im berbisik. "Ng"
Tio Cie Hiong mengangguk.
Kenapa dia menangis setelah
membunuh para perampok itu?" tanya Lim Ceng Im lagi dengan heran.
"Entahlah." Tio cie
Hiong menggelengkan kepala. "Mari kita ke sana"
Mereka berdua mendekati Kam
Pek Kian dan Cie siu sien, sementara Kam Pek Kian masih terus menangis. Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im berdiri diam di hadapan mereka. Lie siu sien memandang
mereka berdua sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan menghela nafas.
sesaat kemudian Kam Pek Kian
berhenti menangis, lalu mendongakkan kepala memanda Tio Cie Hiong.
"saudara Tio
Maaf..." ucapnya.
"Tidak apa-apa,"
sahut Tio Cie Hiong lembut, la tahu, bahwa batin Kam Pek Kian tertekan sesuatu.
"saudara Kam, kenapa engkau
membunuh para perampok itu?" tanya Lim Ceng Im dan menambahkan.
"Padahal kepandaian mereka telah musnah."
"Aku... aku memang tidak
bisa mengampuni para penjahat," jawab Kam Pek Kian.
" Kalau aku bertemu
penjahat, pasti kubunuh."
"saudara Kam, itu pasti
ada sebab musababnya, bukan?" Tio Cie Hiong menatapnya.
"Ya." Kam Pek Kian
mengangguk dan menutur. "Ketika aku berusia sebelas tahun, terjadi
malapetaka di keluargaku..."
"Malapetaka apa?"
tanya Lim Ceng Im.
"orang tuaku sangat kaya
dan berhati bajik, selalu menolong orang dan lain sebagainya," jawab Kam
Pek Kian dan melanjutkan penuturannya.
"Aku mempunyai tiga kakak
perempuan. Pada suatu malam muncul belasan orang di rumahku. Mereka merampok
dan membunuh kedua orang tuaku, bahkan kemudian memperkosa ketiga kakak
perempuanku hingga mati. Aku menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala
sendiri Ketika para perampok itu mau membunuhku, tiba-tiba muncul seorang tua
menolongku, dan membunuh semua perampok itu. sejak saat itu aku berguru kepada
orang tua tersebut."
"Aaaakh..." Tio Cie
Hiong menghela nafas. "saudara Kam, engkau harus melupakan kejadian itu,
agar tidak terus menghantui hatimu Kedua orang tuaku mati ditangan Bu Lim sam
Mo, kakak perempuanku mati di tangan Empat Dhalai Lha-ma Tibet. Namun aku tidak
membunuh mereka, hanya memusnahkan kepandaian mereka saja."
"saudara Tio" Kam
Pek Kian menatapnya. "Engkau berhati bajik, aku kagum kepadamu."
"saudara Kam, engkau
berasal dari mana?" tanya Tio cie Hiong, karena mendengar logatnya, agak
lain.
"Aku berasal dari Kang
Lam," jawab Kam Pek Kian memberitahukan. "Aku pergi mengunjungi
famili, kebetulan menginap di Kota Pie Hong."
"Karena itu, engkau
menyelamatkan Kakak siu sien, bukan?" Lim Ceng Im tersenyum.
" Ya." Kam Pek Kian
mengangguk.
"setelah itu, kalian
berdua pun saling mencinta," ujar Lim Ceng Im dan menambahkan. "orang
tua Kakak siu sien telah memberitahukan kepada kami."
"Adik Ceng Im, engkau dan
Kak Hiong...?" wajah Lie siu sien kemerah-merahan.
"Dia calon istriku."
Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Oooh" Lie siu sien
manggut. " Kalian berdua memang pasangan yang serasi."
"Begitu pula kalian
berdua," sahut Lim Ceng lm.
"ohya, saudara
Kam..." Tio Cie Hiong teringat sesuatu. "Bolehkah engkau
memperlihatkan ilmu pedangmu? "
"Boleh." Kam Pek
Kian mengangguk. lalu bergerak mempergunakan pedang. Ia mempertunjukkan ilmu
pedangnya, setelah itu bertanya. "Bagaimana ilmu pedangku? saudara Tio,
aku mohon petunjuk"
Ilmu pedangmu cukup
lihay,"jawab Tio Cie Hiong dan melanjutkan. "Tapi kalau berhadapan
dengan penjahat yang berkepandain tinggi, engkau pasti kewalahan menghadapinya.
oleh karena itu..."
"Terimakasih, saudara
Tio" ucap Kam Pek Kian cepat.
"sebab..." Kam Pek
Kian tersenyum. "Aku tahu saudara Tio berniat mengajar aku semacam ilmu
pedang, maka aku mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Benar," Tio Cie
Hiong manggut-manggul. "Aku memang berniat begitu."
"Terimakasih, saudara
Tio" ucap Kam Pek Kian dengan girang.
Tio Cie Hiong mengambil pedang
kemudian mempertunjukkan Toat Beng Kiam Hoat. Kam Pek Kian menyaksikannya
dengan mulut terngaga.
"Nah" ujar Tio Cie
Hiong memberitahukan setelah berhenti mempertunjukkan ilmu pedang tersebut.
"Aku akan mengajarmu Toat Beng Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pencabut Nyawa)
ini."
"saudara Tio..." Kam
Pek Kian terbelalak.
"Perhatikan
baik-baik" Tio Cie Hiong mulai mengajarnya ilmu pedang itu.
Kam Pek Kian mencurahkan
perhatiannya. setelah Tio Cie Hiong mengajarnya berulang kali, Kam Pek Kian
dapat menguasai ilmu pedang tersebut, namun masih lamban gerakannya.
"saudara Kam" Tio
Cie Hiong tersenyum. "Engkau harus terus berlatih agar bisa cepat"
"Ya." Kam Pek Kian mengangguk.
ingat Kalau tidak terpaksa,
janganlah engkau menggunakan ilmu pedang ini, sebab setiap jurusnya pasti
mencabut nyawa orang" pesan Tio Cie Hiong.
Ya." Kam Pek Kian
mengangguk lagi.
"sekarang mari kila
kuburkan mayal-mayat itu" ujar Tio cie Hiong. Mereka lalu menggali sebuah
lubang besar, dan menguhurkan mayat-mayat itu di dalamnya. setelah itu, Tio Cie
Hiong berpamit.
"Kakak Hiong tidak mau ke
rumah lagi?" tanya Lie siu sien.
"Kami masih harus
melanjutkan perjalanan, sampaikan salamku kepada kedua orang tuamu" jawab
Tio Cie Hiong dan menambahkan. "ohya, kalian berdua harus pulang, sebab
paman dan bibi sangat mencemaskan kalian."
"Ya." Lie siu sien
mengangguk. "Kalau kalian sempat kelak. jangan lupa ke rumah kami"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "sampaijumpa dan semoga kalian
berdua hidup bahagia" "sama-sama," sahut Kam Pek Kian sambit
tersenyum.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
melesat pergij Lie siu sien dan Kam Pek Kian saling memandang, kemudian
tersenyum mesra.
"Kakak Kian" ujar
Cie siu sien dengan suara rendah. "Kalau Kakak Hiong dan Adik Im tidak
muncul, entah bagaimana nasib kita?"
"Adik sien" Kam Pek
Kian menghela nafas. " Yang jelas kita telah berhutang budi kepada saudara
Tio, entah kapan dan harus bagaimana kita membalas budi pertolongannya
itu?"
Bab 40 Mayat-mayat hidup
Ketika hari mulai sore, Tio
Cie Hiong dan Lim Ceng Im memasuki sebuah desa yang cukup besar. Namun sungguh
mengherankan, desa itu tampak sepi sekali. Lim Ceng Im menengok ke sana ke mari
sambil mengerutkan kening, kemudian bergumam.
"Desa ini cukup besar,
tapi kenapa begitu sepi?"
"Adik Im" sahut Tio
Cie Hiong serius. "Pasti telah terjadi sesuatu di desa ini, maka lebih
baik kita bertanya kepada salah seorang penduduk."
Kakak Hiong" Lim Ceng Im
menunjuk ke sebuah rumah yang pintunya terbuka. "Mari kita bertanya kepada
penghuni rumah itu"
Tio Cie Hiong mengangguk.
Mereka berdua lalu berjalan ke rumah itu. Walau pintu rumah itu terbuka, namun
Tio cie Hiong dan Lim Ceng Im tidak berani lancang memasukinya. Tio Cie Hiong
dan Lim Ceng Im saling memandang, kemudian Tio Cie Hiong mengetuk pintu.
"siapa?" terdengar
suara sahutan dari dalam.
"Maaf, kami kebetulan
lewat di desa ini, maka mampir sebentar," ujar Tio Cie Hiong.
sesaat kemudian, muncullah
seorang gadis berusia belasan yang terus menatap Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
dengan mata terbelalak. "siapakah kalian?" tanyanya.
"Adik" Tio Cie Hiong
tersenyum. "Kami ingin bertanya, kenapa desa ini begitu sepi?"
"Karena...." ucapan gadis itu terputus, karena ada orang bertanya
dari dalam.
Bwee Ji (Anak Bwee), siapa
yang di luar?" "Ada tamu, Ayah," sahut gadis itu.
Undang mereka masuk"
suara seruan dari dalam. "Ya, Ayah." Bwee Ji mengangguk. "
Kakak. masuklah"
"Terimakasih" ucap
Tio Cie Hiong lalu melangkah kc dalam diikuti Lim Ceng Im dari belakang.
"silakan duduk" ucap Bwee Ji sopan.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
mengangguk. lalu duduk sambil memandang ke dalam, sedangkan Bwee Ji menyuguhkan
dua cangkir teh.
" Kakak. silakan
minum"
"Terimakasih" ucap
Tio Cie Hiong dan bertanya, "Adik, kenapa ayahmu?"
"Ayahku sakit,"
jawab Bwee Ji dengan wajah murung. "sejak malam itu, ayahku sakit..."
"Oooh" Tio Cie Hiong
manggut-manggut. "Adik, kenapa tidak memanggil tabib ke mari memeriksanya?
"
"Kami... kami tidak
mempunyai uang," Gadis itu menundukkan kepala.
"Aku mengerti ilmu
pengobatan, bolehkah aku memeriksa ayahmu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Boleh, boleh." Bwee Ji girang sekali. "Mari ikut aku
masuk"
Tio cie Hiong dan Lim Ceng Im
mengikuti Bwee Ji ke dalam. Tampak seorang tua berbaring di ranjang kayu, wajahnya
pucat pias dan nafasmu memburu.
"Paman" Tio Cie
Hiong memberitahukan. "Aku akan memeriksa Paman sebentar, Paman tidak
berkeberatan kan?^
"Terimakasih... "
ucap orang tua itu.
Tio Cie Hiong mulai memeriksa
nadi orang tua itu, berselang sesaat ia manggut-manggut seraya berkata .
"Tidak apa-apa, Paman
hanya mengalami ketakutan, sehingga membuat jantung Paman tergoncang."
"Aku... aku memang takut
sekali," ujar orang tua itu.
Tio Cie Hiong tersenyum,
kemudian mengambil sebutir obat lalu dimasukkan ke mulut orang tua itu.
"telanlah obat itu"
ujar Tio Cie Hiong. orang tua itu menelan obat tersebut. sesaat kemudian,
nafasnya sudah norma kembali.
"Terimakasih" ucap
orang tua itu sambil bangun duduk. "ohya, sebetulnya siapa kalian?"
"Kami bernama Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im." Tio Cie Hiong memberitahukan. " Kebetulan
kami lewat di sini, karena desa ini tampak sepi, niaka kami merasa heran."
"Aaaakh..." orang
tua itu menghela nafas. "seluruh penduduk desa ini di cekam
ketakutan." "Apa yang telah terjadi di desa ini?" tanya Tio Cie
Hiong.
"Beberapa malam
lalu..." tutur orang tua itu. "Mendadak anjing-anjing di desa ini
melolong menyeramkan, kemudian muncul beberapa sosok bayangan hitamn"
"Apa itu?" tanya Lim
Ceng Im merinding.
"Mereka berjalan kaku.
sekujur badan mereka berlumuran tanah, membengkak dan berbau busuk." ujar
orang tua itu dengan wajah diliputi ketakutan.
"Apakah mereka
mayat-mayat hidup?" tanya Tio Cie Hiong sambil mengerutkan kening.
"Benar." orang tua
itu mengangguk. "Mayat- mayat hidup itu telah membunuh beberapa orang.
Iiiih sungguh mengerikan"
"Apakah mayat-mayat itu
muncul setiap malam?" tanya Tio Cie Hiong.
"Ya." orang tua itu
menarik nafas. "Malam itu aku pulang agak larut. Aku melihat maya- mayat
itu sedang mengoyak-ngoyak tubuh orang, dan tak lama aku langsung jatuh
pingsan."
"Heran" gumam Tio
Cie Hiong. "Bagaimana mungkin ada mayat bisa hidup kembali? sungguh tak
masuk akal"
" Kakak Hiong, mari kita
cepat pergi" ajak Lim Ceng Im ketakutan.
"Adik Im" ujar Tio
Cie Hiong sungguh-sungguh. "Aku harus membasmi mayat-mayat itu, agar tidak
mengganas lagi di desa ini."
"Kakak Hiong..." Lim
Ceng Im terbelalak. "Engkau... engkau ingin membasmi mayat-mayat hidup
itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk pasti.
"Apakah engkau tidak
takut?" tanya Lim Ceng Im sambil memandangnya.
"Adik Im" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Apanya yang ditakuti?"
"Tapi..." Lim Ceng
Im menundukkan kepala. "Aku takut sekali."
"Kalau engkau takut,
begitu mayat-mayat hidup itu muncul, engkau diam saja di dalam rumah ini"
ujar Tio Cie Hiong. "Aku akan keluar menghadapi mereka."
"Kakak Hiong..."
"Adik Im" Tio Cie
Hiong tersenyum lagi. "Apakah engkau tidak percaya kepada diriku?"
"Aku percaya, tapi mereka
mayat-mayat hidup,.." Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih gampang menghadapi
mayat hidup daripada manusia. sebab mayat hidup tidak bisa berpikir, sedangkan
manusia dapat berpikir dan banyak akalnya," ujar Tio Cie Hiong.
"Tapi...
menyeramkan."
"Adik Im, siapa pun akan
menjadi mayat. Begitu pula kita. Kalau kita sudah mati, bukankah akan menjadi
mayat?"
"Iiiih" Lim Ceng Im
mengerutkan kening. "Kakak Hiong, jangan omong begitu ah"
"Adik" Tio cie Hiong
menatap Bwee Ji seraya bertanya. "Apakah engkau takut kepada mayat hidup
itu?"
"Memang takut, tapi tidak
begitu takut," sahut Bwee Ji.
"Eeeeh?" Lim Ceng Im
melongo. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu"
"Takut karena mayat-mayat
itu bisa hidup dan membunuh orang, tidak begitu takut karena kita bisa
lari," jawab Bwee Ji menjelaskan. "sedangkan mayat-mayat itu tidak
bisa lari"
"Benar." Tio Cie
Hiong tersenyum sambil manggut-manggut.
Kalau orang sudah ketakutan,
bagaimana mungkin bisa lari lagi?" Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan
kepala.
Itu tergantung pada keberanian
masing-masing, lagi pula kita harus tenang menghadapi segala sesuatu,"
sahut Bwee Ji.
"Eh?" Lim Ceng Im
tertegun. "Adik, berapa usiamu sekarang?"
"Tiga belas." Bwee
Ji memberitahukan. "Ketika mayat-mayat hidup itu muncul, aku sering
mengintip dari lubang jendela. Mayat-mayat hidup itu berjalan kaku. Kalau kita
tidak mendekatinya, mereka tidak bisa mengejar kita karena mereka tidak bisa
lari. Dari tadi ayah menyuruhku menutup pintu, tapi aku tidak menurutinya."
" Bwee Ji" bentak
orang tua itu. "Kenapa engkau makin bandel?"
"Ayah, kalau belum malam,
mayat-mayat hidup itu tidak akan muncul. Kenapa harus tutup pintu sekarang?
Lagi pula tanpa setahu ayah, aku sudah bikin sebuah pintu belakang. Apabila mayat-mayat
hidup itu ke mari, kita bisa kabur lewat pintu belakang."
"Oh?" Qrang tua itu
tersenyum. " Bwee Ji, engkau memang cerdik"
sementara hari sudah mulai
gelap. Ketika Bwee Ji ingin menutup pintu, Tio Cie Hiong mencegahnya.
"Aku duduk di sini, pintu
tidak usah ditutup,"
" Kakak tidak takut pada
mayat-mayat hidup itu?" tanya Bwee Ji terbelalak.
"Tidak," sahut Tio
Cie Hiong dan menambahkan. "Bahkan aku ingin membasmi mereka."
"oh?" Bwee Ji
menatap Tlo Cie Hiong dalam-dalam. "Kalau begitu... kakak pasti
berkepandaian tinggi"
"Tidak begitu
tinggi." Tio Cie Hiong tersenyum lagi dan sangat menyukai gadis kecil itu.
Tak terasa malam sudah tiba.
Tio cie Hiong, Lim Ceng Im dan Bwee Ji berada di ruang depan, sedangkan orang
tua itu berada di dalam dengan wajah pucat pias. Berselang beberapa saat
kemudian, terdengarlah suara lolong anjing yang menyeramkan.
Kakak Mungkin mayat-mayat
hidup itu sudah ke mari," ujar Bwee Ji sambil mengintip ke luar melalui
lubang jendela.
Kakak Hiong..." Lim Ceng
Im ketakutan.
"Adik Im" Tio cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kok nyalimu begitu kecil? Lihatlah
adik itu Dia tidak ketakutan, melainkan malah terus mengintip ke luar."
"Dia masih kecil, maka
belum mengenal rasa takut," sahut Lim Ceng Im sambil cemberut, kemudian
menarik nafas dalam-dalam. "Nah, aku sudah tidak takut lagi."
"oh?" Tio Cie Hiong
tertawa. "Tapi kenapa wajahmu tampak pucat?"
"Tuh" Bwee Ji yang
mengintip itu memberitahukan. "Mayat-mayat hidup itu sudah muncul."
Tio Cie Hiong manggut-manggut,
lalu berjalan ke luar dengan tenang. sedangkan Lim Ceng Im juga melongok ke
luar. Begitu melihat mayat-mayat hidup itu, ia nyaris pingsan seketika.
Bwee Ji malah terus mengintip
dengan penuh perhatian, ingin tahu bagaimana cara Tio Cie Hiong membasmi mayat-mayat
itu.
Ketika mendekati mayat-mayat
hidup itu, Tio Cie Hiong mengerahkan ilmu Penakluk iblis. Maka tidak heran
kalau mayat-mayat hidup itu langsung diam tak bergerak lagi.
Tio Cie Hiong memandang
mayat-mayat hidup itu. la tahu bahwa mayat-mayat itu dibangkitkan oleh semacam
ilmu sesat. Kemudian ia mengibaskan tangannya ke arah mayat-mayat hidup itu.
Ternyata ia telah mengerahkan Pan Yok Hian Thian sin Kang.
seketika mayat-mayat hidup itu
mengepulkan asap. lalu roboh dan hanya tinggal tulang belulang.
Tio Cie Hiong kembali ke rumah
itu. Bwee Ji menyambutnya dengan penuh kekaguman. "Kakak hebat
sekali" ujarnya.
Eng kau memang berani, dari
tadi terus mengintip" seru Tio Cie Hiong tersenyum sambil memandangnya.
"Kek kakak tahu aku terus
mengintip?" Bwee Ji heran.
"Tentu tahu." sahut
Lim Ceng Im sambil tertawa kecil. Kini gadis itu tidak merasa takut lagi.
" Kakak Hiong, kenapa mayat-mayat hidup itu diam saja ketika kau
dekati?"
"Adik Im" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Apakah engkau lupa, bahwa aku belajar Ilmu Penakluk
iblis?"
"oooh?" Lim Ceng Im
manggut-manggut. "Aku lupa. Kalau engkau bilang dari tadi, aku pasti tidak
merasa takut."
"Sebetulnya mayat-mayat
itu tidak hidup, melainkan dibangkitkan oleh semacam ilmu sesat." Tio Cie
Hiong memberitahukan. "Aku justru masih merasa heran, siapa yang memiliki
ilmu sesat itu."
"Jadi masih akan muncul
mayat-mayat yang dibangkitkan lagi?" tanya Lim Ceng Im.
"Mungkin." Tio Cie
Hiong mengangguk. "Tapi ilmu sesat itu hanya mamcu membangkitkan mayat
baru, yang belum lewat tujuh hari. Lagi pula kekuatan ilmu sesat itu pun hanya
mampu bertahan sepuluh hari. Lewat sepuluh hari, mayat-mayat itu akan roboh
dengan sendirinya."
"oooh" urn Ceng Im
manggut-manggut.
"Kakak..." Mendadak
Bwee Ji menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Cie Hiong.
"Eh? Kenapa engkau?"
Tio Cie Hiong tertegun.
Kakak, aku ingin jadi
muridmu," sahut Bwee Ji.
Bwee Ji" orang tua itu
muncul sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka berdua hanya kebetulan
lewat, bagaimana mungkin akan menerimamu sebagai murid?"
"Kakak..." Bwee Ji
memandang Tio cie Hiong dengan penuh harap.
Bwee Ji, bangunlah" ujar
Tio cie Hiong. "Aku tidak mau bangun..."
Bwee Ji" orang tua itu
melotot. "Jangan bandel, cepatlah bangun, jangan bikin malu ayahmu"
"Ayah" Bwee Ji bangun tetapi cemberut.
Bwee Ji" ujar Tio Cie
Hiong sungguh-sung-guh. "Aku masih muda, maka tidak boleh menerima murid
Lagi pula kami hanya lewat di desa ini..."
"Kakak Hiong" Lim
Ceng Im berbisik-bisik di telinga Tio Cie Hiong. Pemuda itu manggut-manggut
sambil tersenyum.
"Bwee Ji" tanya Tio
cie Hiong kemudian.
"Apakah engkau
bersungguh-sungguh ingin belajar ilmu silat?"
"Ya." Bwee Ji
mengangguk.
Kalau begitu..." Tio Cie
Hiong teringat sesuatu. "ohya, apakah engkau bisa membaca?"
"Bisa," jawab Bwee Ji cepat dan memberitahukan.
"Almarhumah yang mengajar
aku menulis dan membaca."
"Bagus, bagus" Tio
Cie Hiong tertawa gembira. "Kalau begitu, cepatlah siapkan kertas dan
pit" "Ya." Bwee Ji segera melaksanakannya.
Tio Cie Hiong mulai menggambar
dan menulis. Ternyata ia menurunkan semacam ilmu lweekang, ilmu pukulan dan
ilmu pedang, ia menggambar cara melatih ilmu lweekang, gerakan tangan kosong
dan ilmu gedang serta keterangan-keterangannya.
Ketika hari mulai pagi,
barulah selesai lalu diberikan kepada Bwee Ji. Gadis itu menerimanya, kemudian
terus duduk termenung.
Bwee Ji, engkau harus berlatih
dengan sungguh-sungguh" pesan Tio Cie Hiong. "setelah engkau hafal
dan mengerti, engkau harus membakar kertas-kertas ini ingat, jangan
diperlihatkan kepada orang lain"
"Ya." Bwee Ji
mengangguk. "Terimakasih, kakak"
Bwee Ji" Tio Cie Hiong
membelainya.. "Hari sudah pagi, kami mau berangkat. Karena ayahmu masih
tidur, maka kami tidak berpamit kepadanya."
"Kakak..." Mata Bwee
Ji mulai basah. "Kalau kakak sempat kelak. jangan lupa ke mari lagi"
"Ya." Tio Cie Hiong membelainya lagi, lalu melangkah pergi bersama
Lim Ceng Im.
Kakak sampai jumpa" seru
Bwee Ji dengan air mata berlinang-linang. Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
meloncat ke atas punggung kuda. setelah lambaikan tangannya ke arah Bwee Ji,
Tio Cie Hiong lalu memacukan kudanya.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
tiba di sebuah kota yang cukup besar. Mereka berdua singgah di sebuah kedai teh
untuk melepaskan lelah. setelah duduk. Tio cie Hiong segera memesan teh dan
makanan kepada pelayan.
" Kakak Hiong..."
ujar Lim Ceng Im sambil tersenyum,. " Kenapa malam itu aku begitu
takut?"
"Itu berarti engkau
sering mendengar cerita yang menyeramkan, maka timbul rasa takutmu," jawab
Tio Cie Hiong sambil memandangnya.
"Padahal engkau
berkepandaian tinggi. sedangkan Bwee Ji yang tidak mengerti ilmu silat, malah
tidak begitu takut"
"Gadis itu memang
pemberani, lagipula sangat cerdik," ujar Lim Ceng Im. "Bahkan dia
berbakat untuk belajar ilmu silat. Karena itu...."
Eng kau menyuruhku menurunkan
kepadanya ilmu Iweekang, ilmu pukulan dan ilmu pedang." Tio cie Hiong
tersenyum. "Adik Im, aku yakin bahwa dia berhasil mempelajarinya."
"Akupun begitu." Lim
Ceng Im manggut-manggut.
Pada waktu bersamaan, tampak
beberapa orang memasuki kedai itu. Kelihatannya mereka kaum pesilatan, sebab
mereka membawa pedang. setelah duduk dan memesan teh serta makanan, salah
seorang dari mereka menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"sungguh di luar dugaan,
rimba persilatan dilanda banjir darah lagi..."
Ucapan orang itu menarik
perhatian Tio cie Hiong dan Lim Ceng Im. Kebetulan orang-orang itu duduk di
sebelah kiri mereka, maka mereka dapat mendengar percakapan orang itu dengan
jelas.
"Setelah Pek Ih Sin Hiap
berhasil mengalahkan Empat Dhalai Lhama dan Bu Lim Sam Mo, seharusnya rimba
persilatan menjadi aman. Tapi..."
"Memang sudah aman, hanya
saja belum lama ini telah muncul seorang iblis yang begitu ganas."
"Para murid tujuh partai
besar dibunuh dengan cara begitu, Delapan belas Arhat siauw Lim mati dengan
puluhan tusukan dan sabetan pedang..."
"Bahkan siauw Lim sam
Tianglopun mati begitu mengenaskan, tubuh mereka bertiga terpotong dua."
"Yang mengherankan adalah
para ketua tujuh partai besar, yang semuanya hilang entah ke mana."
"setelah iblis itu
muncul, kaum golongan hitam dan sesat pun mulai mengganas. Namun untung muncul
pula seorang wanita, yang selalu membunuh kaum golongan hitam dan sesat"
"Tui Hun Lojin dan Gouw
Han Tiong pun ikut hilang..."
"Begitupula Lam Kiong
Hujin."
"Aaaakh, rimba persilatan
makin kacau Ku-pikir lebih baik kita hidup di tempat sepi."
"Benar. Kalau kita masih
berkecimpung dalam rimba persilatan, mungkin kita juga akan menjadi
korban."
Kini tujuh partai besar telah
hancur, sedangkan Bu Lim Ji Khie, ketua Kay Pang dan Tok Wie sin wan juga telah
terluka ..."
Mendengar sampai di sini,
wajah Lim Ceng Im langsung berubah pucat. Tio Cie Hiong segera memberi isyarat
kepadanya agar tenang.
"Justru kaum rimba
persilatan tidak habis pikir, kenapa Pek Ih Sin Hiap tidak muncul membasmi
iblis itu."
"Mungkin Pek Ih sin Hiap
telah mengundurkan diri dari rimba persilatan."
"Kalau benar begitu,
bagaimana mungkin Pek Ih sin Hiap membiarkan iblis itu terus mengganas?"
"Mungkin... Pek Ih sin
Hiap belum sembuh dari sakitnya."
"Menurut pendapatku,
setelah terluka oleh pukulan Bu Lim sam Mo, kepandaian Pek Ih sin Hiap musnah,
maka kini dia tinggal di suatu tempat terpencil."
"Aaakh... Kini rimba
persilatan telah berada di ambang kehancuran, siapa yang mampu menyelamatkan
rimba persilatan lagi? siauw Lim sam Tiang lo dan Bu Lim Ji Khie masih tidak
mampu melawan iblis itu, apa lagi orang lain? Nah, daripada kita terbunuh,
bukankah lebih baik hidup tenang di tempat sepi?"
"Kami setuju. Tiada
gunanya kita terus berkecimpung dalam rimba persilatan. sudah waktunya kita
mengundurkan diri."
"Justru kaum rimba
persilatan tidak habis pikir, sebetulnya siapa iblis itu. sebab kepandaiannya
begitu tinggi...."
" Kakak Hiong" bisik
Lim Ceng Im. "Kita harus segera pulang ke markas pusat Kay Pang."
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. kemudian bergumam. "Apakah benar apa yang diceritakan mereka
itu?"
"Aku yakin benar,"
sahut Lim Ceng Im cemas. "Kita harus segera pulang, entah bagaimana
keadaan ayah dan kakek?"
"Baiklah." Tio cie
Hiong mengangguk lagi. "Kita harus melakukan terjala nan siang malam...."
Bab 41 Diselimuti teka-teki
Dua hari kemudian, Tio cie
Hiong dan Lim ceng Im telah tiba di markas pusat Kay Pang. Bet apa gembiranya
para anggota Kay Pang ketika melihat mereka. Para anggota Kay Pang langsung
bersorak sorai sambil memukul-mukulkan tongkat bambu mereka ke tanah.
sedangkan Tio cie Hiong dan
Lim ceng Im segera berlari ke dalam markas. Bu Lim Ji Khie, Lim Peng Hang dan
Tok pie sin Wan berhambur ke luar menyambut mereka dengan wajah ceria.
"Ayah...." Lim Ceng
Im langsung mendekap di dada ketua Kay Pang.