"Benar." Tio Cie
Hiong mengangguk. "Kantong yang dulu berisi uang perak. Engkau begitu baik
hati terhadapku, maka aku harus menyimpan kantong ini selama-lamanya."
"Ng!" Lim Ceng Im
manggut-manggut dengan mata berbinar-binar. "Oh ya, apa rencanamu
sekarang?"
"Aku tidak punya rencana,
namun mungkin akan berusaha mencari Ku Tok Lojin."
"Mencarinya ke
mana?"
"Mungkin aku harus
mengembara dalam rimba persilatan, sebab kaum rimba persilatan pasti tahu
Ku Tok Lojin berada di
mana."
"Tapi...." Lim Ceng
Im menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau tidak punya uang, bagaimana
mungkin bisa mengembara dalam
rimba persilatan?"
"Aku akan kerja
lagi."
"Cie Hiong!"
Mendadak Lim Ceng Im menatapnya serius. "Maukah engkau belajar ilmu silat?
Aku akan carikan engkau seorang guru yang berkepandaian tinggi.
Bagaimana?"
"Ceng Im!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Terima kasih atas maksud baikmu, namun aku tidak berniat
belajar ilmu silat."
"Engkau ingin mengembara
dalam rimba persilatan, seharusnya engkau belajar ilmu silat untuk menjaga
diri."
"Itu tidak perlu."
Ujar Tio Cie Hiong. "Kalau aku tidak berbuat salah, tak mungkin akan
diganggu orang."
"Heran!" Lim Ceng Im
menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa engkau tidak tertarik untuk
belajar ilmu silat?"
"Orang yang belajar ilmu
silat, pasti tak lebih dari bunuh membunuh. Oleh karena itu, aku tidak mau
belajar ilmu silat."
"Engkau memang
aneh." Lim Ceng Im menari nafas. "Oh ya, kalau tidak salah engkau
sudah
berusia empat belas tahun
bukan?"
"Benar?" Memangnya
kenapa?"
"Kalau begitu, bagaimana
kalau mulai sekarang aku memanggilmu Kakak Hiong?" "Boleh." Tio
Cie Hiong mengangguk. "Jadi aku pun harus memanggilmu Adik Im,
bukan?" "Ya." Lim Ceng Im tersenyum.
Di saat mereka berdua sedang
asyik mengobrol, mendadak terdengar suara siulan yang sangat nyaring.
"Aaaakh!" Keluh Lim
Ceng Im. "Kakak Hiong, aku harus pergi."
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong menatapnya heran. "Setahun yang lalu, ketika engkau mendengar suara
siulan langsung pergi. Kali
ini pun begitu. Memangnya kenapa?"
"Itu suara siulan ayahku,
maka aku harus segera pergi menemuinya." Lim Ceng Im memberitahukan sambil
bangkit berdiri.
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong juga berdiri. "Kapan kita akan berjumpa lagi?"
"Kelak kita pasti
berjumpa kembali," Bukankah engkau bilang... kita berjodoh? Nah, kita
pasti berjumpa kembali,"
ujar Lim Ceng Im dengan wajah agak kemerah-merahan. "Kakak Hiong,
sampai jumpa!"
Lim Ceng Im melesat pergi,
sedangkan Tio Cie Hiong berdiri termangu-mangu di tempat. Sementara Lim Ceng Im
telah sampai di suatu tempat, tampak seorang pengemis berusia lima puluhan
berdiri di situ. Pengemis itu ayahnya yang bernama Lim Peng Hang.
"Ayah!" Lim Ceng Im
menghampiri pengemis itu dengan wajah tidak senang. "Ayah sungguh
keterlaluan!"
"Lho?" Pengemis itu
tertawa gelak. "Kenapa ayah keterlaluan?"
"Ayah tidak boleh lihat
orang senang. Aku baru bertemu dia, tapi ayah langsung memanggilku.
Bukankah keterlaluan
sekali?" sahut Lim Ceng Im cemberut.
"Bertemu dia? Siapa
dia?" tanya pengemis itu sambil tersenyum.
"Ayah sudah tahu kok
malah pura-pura bertanya?" wajah Lim Ceng Im kemarah-merahan.
"Maksudmu anak lelaki
itu?"
"Ya."
"Nak!" Lim Peng Hang
menarik nafas panjang. "Usiamu baru tiga belas, belum waktunya
berkenalan dengan anak
lelaki!"
"Memangnya kenapa?"
"Itu akan mengganggu
pelajaran ilmu silatmu."
"Ayah!" Lim Ceng Im
menatapnya. "Dia... dia anak baik, aku..."
"Engkau suka
padanya?" Lim Peng Hang terbelalak.
"Ya." Lim Ceng Im
mengangguk perlahan. "Yaaaa... ampun!" Lim Peng Hang menepuk
keningnya
sendiri. "Engkau masih
kecil, kok sudah suka pada anak lelaki? Itu... itu..." "Ayah!
Bolehkah aku pergi menemuinya?" tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Boleh." Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Terima kasih,
Ayah!" Lim Ceng Im girang bukan main. "Sekarang aku akan pergi
menemuinya." "Jangan sekarang! Harus tunggu engkau dewasa dulu!"
ujar Lim Peng Hang.
"Apa?" Lim Ceng Im
terbelalak. "Harus tunggu aku dewasa? Jadi kapan aku baru boleh pergi
menemuinya?"
"Harus beberapa tahun
lagi," sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.
"Ayah..." Mata Lim
Ceng Im bersimbah air. "Nak! Belum waktunya engkau memikirkan lelaki.
Engkau harus tekun belajar. Sebab kelak engkau harus menggantikan
kedudukanku." "Ayah, aku tidak mau jadi ketua partai pengemis,"
sahut Lim Ceng Im. "Setiap hari harus berpakaian rombeng, walau pun sudah
bersih harus dikotor-kotorkan pula."
"Itu adalah peraturan
partai Kay Pang, tapi setelah engkau dewasa, tentunya engkau boleh berpakaian
indah." Lim Peng Hang memberitahukan. "Benarkah..?" Wajah Lim
Ceng Im berseri.
"Nak! Cepatlah engkau
pulang ke markas pusat. Sebab kakekmu sedang menunggu di sana!"
"Kakek menungguku?"
Lim Ceng Im tersenyum gembira. "Kakek mau mengajarku ilmu silat?"
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk. "Ayoh, ikut ayah pulang!"
Lim Ceng Im mengangguk. Mereka
berdua lalu melesat pergi, namun pikiran pengemis kecil itu tetap menerawang
membayangkan wajah Tio Cie Hiong yang tampan dan simpatik itu.
Kini Tio Cie Hiong telah
sampai di Kota Po Teng. Kota tersebut sangat ramai dan merupakan kota pusat
perdagangan, maka tidak heran, kalau kaum pedagang dari berbagai kota mendatangi
kota itu.
Karena Kota Po Teng sangat
aman, bebas dari gangguan para perampok, sebab di Kota tersebut terdapat sebuah
Ekspedisi Hui Houw (Harimau Terbang), yang amat terkenal dalam rimba
persilatan.
Pemimpin ekspedisi itu adalah
Cit Pou Tui Hun (Tujuh Langkah Pengejar Roh) Gouw Han Tiong.
Beberapa tahun yang lalu Tui
Hun Lojin (Orang Tua Pengejar Roh), ayahnya telah cuci tangan, maka Cit Pou
Tui. Hun Gouw Han Tiong menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin
ekspedisi itu.
Selama puluhan tahun, barang
kawalan ekspedisi Hui Houw tak pernah dirampok, karena Tui Hun Lojin dan
putranya berkepandaian sangat tinggi. Lagi pula mereka berjiwa besar dan selalu
membantu kaum Bu Lim yang kepepet uang. Oleh karena itu, para perampok dari
daerah mana pun tidak berani mengganggu barang kawalan ekspedisi itu.
Tio Cie Hiong berdiri di depan
gedung ekspedisi tersebut. Ternyata ia ingin melamar pekerjaan di situ. Namun
is tidak berani lancang memasuki halaman bangunan yang sangat besar itu.
Kebetulan salah seorang piauwsu melihatnya.
"Saudara kecil!"
Piauwsu itu menghampirinya. "Kenapa engkau dari tadi berdiri di
situ?"
"Aku... aku ingin mencari
pekerjaan," sahut Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Maksudmu ingin bekerja
di sini?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Engkau tunggu sebentar,
aku akan ke dalam untuk bertanya kepada pemimpin kami," ujar piauwsu itu
dan sekaligus berjalan ke dalam.
Berselang beberapa saat
kemudian, piauwsu itu sudah kembali.
"Saudara kecil, mari ikut
aku ke dalam!" katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih!" Ucap
Tio Cie Hiong dan mengikuti piauwsu itu ke dalam.
Begitu masuk ke dalam, Tio Cie
Hiong terbelalak karena melihat halaman yang amat luas.
Setelah melewati halaman itu,
Piauwsu tersebut mengajaknya memasuki bangunan besar itu.
Tampak seorang lelaki berusia
lima puluhan duduk di ruang depan. Lelaki itu adalah Cit Pou Tui Hun-Gouw Han
Tiong, pemimpin Ekspedisi Harimau Terbang. Di sisinya berdiri seorang anak
perempuan berusia sekitar tiga belas tahun, yang wajahnya sungguh cantik
sekali.
Piauwsu itu melapor pada Gouw
Han Tiong, lalu meninggalkan ruang itu. Sedangkan Gouw Han Tiong terus
memandang Tio Cie Hiong yang berdiri di hadapannya. Ternyata lelaki itu merasa
heran, sebab sepasang mata Tio Cie Hiong bersinar begitu terang.
"Beritahukanlah
namamu!" ujar Gouw Han Tiong.
"Namaku Tio Cie Hiong,
Tuan."
"Engkau mau bekerja di
sini?"
"Ya, Tuan."
"Tapi pekerjaan di sini
berat sekali." Gouw Han Tiong memberitahukan.
"Apakah engkau sanggup
bekerja di sini?"
"Sanggup, Tuan,"
jawab Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Bangunan ini sangat
besar. Setiap pagi dan sore engkau harus membersihkan seluruh bangunan ini,
juga termasuk halaman depan, tengah dan halaman belakang. Apakah engkau tidak
merasa berat akan pekerjaan itu?"
"Aku tetap sanggup
mengerjakannya, Tuan."
Gouw Han Tiong
manggut-manggut. "Baiklah. Kuterima engkau bekerja di sini."
"Terima kasih,
Tuan!" ucap Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong!" Gouw
Han Tiong tersenyum. "Engkau jangan memanggilku tuan, panggil saja
paman!"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Paman."
"Sian Eng!" Ujar
Gouw Han Tiong pada anak gadis yang berdiri di sisinya.
"Ajak Cie Hiong ke dalam
melihat kamarnya!"
"Ya, Ayah." Gouw
Sian Eng mengangguk, kemudian mengajak Tio Cie Hiong ke dalam. Sungguh di luar
dugaan, ternyata di dalam bangunan itu terdapat sebuah halaman amat indah, yang
dihiasi dengan berbagai tumbuhan. Setelah melewati halaman itu, Gouw Sian Eng
mengajak Tio Cie Hiong memasuki sebuah bangunan lain.
"Ini kamarmu," ujar
Gouw Sian Eng sambil membuka pintu kamar itu. "Lihatlah dulu! Kalau engkau
merasa tidak cocok, aku akan menunjukkan kamar lain."
"Cocok," sahut Tio
Cie Hiong tanpa melongok ke dalam.
"Engkau belum melihat ke
dalam, kok langsung mengatakan cocok?" Gouw Sian Eng heran.
"Aku sudah merasa puas
sekali dengan kamar ini," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
Gouw Sian Eng terbelalak
ketika melihat senyumannya, kemudian wajahnya tampak memerah dan segera
menundukkan kepala.
Tio Cie Hiong tidak
memperhatikan hal itu, karena ia telah melangkah ke dalam kamar.
"Ei!" seru Gouw Sian Eng. "Di mana pakaianmu?"
"Pakaianku?" Tio Cie
Hiong tersenyum geli. "Cuma yang kupakai ini."
Mulut Gouw Sian Eng ternganga
lebar, lama sekali barulah berkata. "Kalau begitu, akan kuambilkan pakaian
untukmu."
"Terima kasih,
Nona!" Ucap Tio Cie Hiong.
"Jangan memanggilku nona,
namaku Sian Eng, panggil saja namaku!" Ujar gadis itu.
"Tapi... aku pembantu
disini, jadi mana boleh aku memanggil namamu?" Tio Cie Hiong menggelengkan
kepala.
"Kalau engkau memanggilku
nona, aku akan marah." Gouw Sian Eng kelihatan sungguh-sungguh.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Engkau tunggu
sebentar!" Gouw Sian Eng meninggalkan kamar itu, tetapi berselang sesaat
ia sudah kembali dengan membawa sebuah buntalan. "Ada beberapa stel
pakaian, untukmu semua."
"Aku telah merepotkanmu,
Nona... Eh, Sian Eng," ucap Tio Cie Hiong. Gouw Sian Eng tersenyum.
"Hampir saja engkau lupa memanggil namaku."
"Aku..." Tio Cie
Hiong ingin mengatakan sesuatu, namun mendadak perutnya berbunyi. "Kruuuk!
Kruuuuk!
"Eh?" Gouw Sian Eng
terheran-heran. "Bunyi apa itu?" "Perutku yang berbunyi."
Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Oooh!" Gouw Sian
Eng manggut-manggut, lalu berlari pergi, sedangkan Tio Cie Hiong menaruh
buntalan itu ke dalam lemari.
Tak seberapa lama kemudian,
Gouw Sian Eng muncul lagi dengan membawa sebuah bungkusan, cangkir dan sebuah
teko yang berisi air teh.
"Bungkusan ini
untukmu," ujarnya sambil menaruh bungkusan itu dan teko berikut cangkir di
atas meja.
"Terima kasih!" ucap
Tio Cie Hiong. "Bungkusan apa itu?" tanyanya.
"Bukalah! Engkau akan
mengetahuinya," sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum lembut.
Tio Cie Hiong membuka
bungkusan itu. Ternyata bungkusan itu berisi nasi putih dan beberapa potong
ayam panggang.
"Haaah?" Tio Cie
Hiong terbelalak dan perutnya langsung berbunyi lagi. "Ini untukku?"
"Ya." Gouw Sian Eng
mengangguk. "Aku tahu, engkau pasti sudah lapar sekali. Kalau tidak,
bagaimana mungkin perutmu berbunyi?"
Tio Cie Hiong mengangguk.
"Makanlah!" ujar
Gouw Sian Eng.
Tio Cie Hiong langsung
bersantap bagaikan macan kelaparan. Gouw Sian Eng tertawa geli menyaksikannya,
lalu menuangkan secangkir air teh untuk Tio Cie Hiong.
"Sian Eng! Engkau
sedemikian baik terhadapku, kalau ayahmu tahu, apakah engkau tidak dimarahinya?"
tanya Tio Cie Hiong seusai bersantap.
"Tentu tidak," jawab
Gouw Sian Eng. "Minumlah!"
Tio Cie Hiong meneguk air teh
itu, kemudian memandangnya seraya berkata lagi.
"Padahal aku akan bekerja
sebagai pembantu di sini, namun engkau sedemikian baik terhadapku. Aku
khawatir... ayahmu akan tidak senang."
"Jangan khawatir ayahku
tidak akan begitu." Gouw Sian Eng memberitahukan. "Sebab ayahku
selalu berpesan, tidak boleh menghina orang lain dan harus berbuat baik
pula."
"Kakekku pun selalu
berpesan begitu kepadaku, jadi engkau tidak usah khawatir!"
"Engkau masih punya
kakek?"
"Ya." Gouw Sian Eng
mengangguk. "Oh ya, di mana kedua orang tuamu?"
"Sudah lama meninggal.
Aku pun tidak tahu siapa kedua orang tuaku," ujar Tio Cie Hiong jujur.
"Kok begitu?" Gouw
Sian Eng heran.
"Aku dibesarkan paman.
Sebelum meninggal is berpesan kepadaku harus pergi ke Gunung Heng San menemui
Ku Tok Lojin." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Engkau sudah pergi ke
sana?"
"Sudah, tapi tidak
bertemu Ku Tok Lojin, sebab dia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu."
"Kenapa pamanmu
menyuruhmu pergi menemui orang itu?"
"Kata Paman, Ku Tok Lojin
akan memberitahukan riwayatku. Tapi Ku Tok Lojin tidak berada di tempat, dan
aku tidak tahu harus ke mana mencarinya."
"Jadi hingga kini engkau
masih belum tahu siapa kedua orang tuamu?" tanya Gouw Sian Eng sambil
memandangnya iba.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Cie Hiong! Sekarang
engkau boleh beristirahat dulu, esok baru mulai kerja," pesan Gouw Sian
Eng.
"Terima kasih, Sian
Eng!" ucap Tio Cie Hiong. Gouw Sian Eng tersenyum, lalu meninggalkan kamar
itu. Tio Cie Hiong memandang punggungnya seraya bergumam.
"Sungguh baik hati anak
gadis itu..."
Pagi-pagi buta Tio Cie Hiong
sudah bangun. Ia langsung menyapu halaman belakang, halaman tengah dan halaman
depan. Ketika is sedang menyapu di halaman depan, mendadak muncul Gouw Sian
Eng, tangannya membawa dua buah bakpao.
"Cie Hiong!"
panggilnya sambil tersenyum ceria.
"Oh, Sian Eng!" Tio
Cie Hiong berhenti menyapu. "Selamat pagi!"
"Pagi!" sahut Gouw
Sian Eng. "Engkau pasti belum sarapan, bakpao ini untukmu."
"Terima kasih!" ucap
Tio Cie Hiong sambil menerima bakpao itu.
"Ambillah dua-duanya!
Kalau cuma satu, engkau tidak akan kenyang," ujar Gouw Sian Eng.
"Kita seorang satu
saja," sahut Tio Cie Hiong.
"Baiklah!" Gouw Sian
Eng mengangguk. Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon sambil makan
bakpao. Kemudian Gouw Sian Eng bertanya, "Kenapa begitu pagi engkau sudah
bangun?"
"Aku harus menyapu, maka
harus bangun pagi."
"Engkau memang
raiin."
"Kerja harus rajin. Kalau
tidak, aku pasti dipecat oleh ayahmu."
"Ayahku tidak akan
sembarangan memecat orang. Engkau tidak usah mengkhawatirkan itu!"
"Karena itu, aku harus
rajin bekerja."
"Oh iya...!" Gouw
Sian Eng tiba-tiba memandangnya. "Pernahkah engkau belajar ilmu
silat?"
"Tidak pernah." Tio
Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Kalau aku... sejak kecil
sudah belajar ilmu silat, kakek yang mengajariku." Gouw Sian Eng
memberitahukan.
"Kok bukan ayahmu yang
mengajarimu?"
"Ayahku sangat sibuk,
maka tak ada waktu untuk mengajarku. Karena itu, kakek yang mengajarku. Lagi
pula kepandaian kakek lebih tinggi dari pada kepandaian ayah."
"Cie Hiong! Apakah engkau
berniat belajar ilmu silat? Kalau engkau berniat, akan kuminta kakek
mengajarimu."
"Sian Eng!" Tio Cie
Hiong menggelengkan kepala. "Terus terang, aku sama sekali tidak berniat
belajar ilmu silat."
"Kenapa?" Gouw Sian
Eng heran.
"Siapa yang memiliki ilmu
silat, pasti akan bunuh membunuh dalam rimba persilatan. Karena itu, aku tidak
mau belajar ilmu silat."
"Engkau keliru.
Sebetulnya ilmu silat dipergunakan untuk menjaga diri, bukan untuk saling
membunuh."
"Siapa yang memiliki ilmu
silat, pasti mempunyai musuh. Maka akan terjadi pertarungan dan lain
sebagainya. Sejak kecil aku belajar sastra, jadi tidak tertarik untuk belajar
ilmu silat."
"Ooooh!" Gouw Sian
Eng manggut-manggut.
"Oh ya! Kenapa agak sepi
di sini?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Para Piauwsu di sini
telah berangkat mengantar barang ke kota lain, mungkin dua bulan kemudian
mereka baru pulang, kini hanya tinggal beberapa Piauwsu di sini, maka kelihatan
sepi."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut lagi.
"Cie Hiong, berapa
usiamu?" tanya Gouw Sian Eng mendadak.
"Empat belas."
"Usiaku tiga belas, maka
engkau lebih tua setahun dariku. Nah, bolehkah aku panggilmu Kakak Hiong?"
"Tentu boleh." Tio
Cie Hiong mengangguk.
"Kalau begitu, aku pun
harus memanggilmu Adik Eng, bukan?"
"Ya." Gouw Sian Eng
mengangguk sambil tersenyum.
"Adik Eng, maaf ya!"
Tio Cie Hiong bangkit berdiri. "Aku harus menyapu lagi."
"Kakak Hiong! Aku akan
membantumu menyapu," ujar Gouw Sian Eng sambil tertawa gembira.
"Boleh kan?"
"Tentu boleh." Tio
Cie Hiong mengangguk.
Gouw Sian Eng segera mengambil
sebuah sapu, lalu membantu Tio Cie Hiong menyapu dengan wajah berseri-seri.
Pagi berikutnya ketika Tio Cie
Hiong sedang menyapu di halaman depan, tampak Gouw Sian Eng muncul bersama
seorang tua berjenggot panjang putih.
"Adik Eng!" seru Tio
Cie Hiong girang. "Selamat pagi!"
"Selamat pagi, kakak
Hiong!" sahut Gouw Sian Eng sambil menarik orang tua itu ke hadapannya.
"Kakek, dia adalah kakak Hiong."
Orang tua itu menatap Tio Cie
Hiong tajam, kemudian wajahnya tampak berseri-seri. "Bakat yang bagus dan
tulang yang kuat."
"Selamat pagi, Tuan
besar!" ucap Tio Cie Hiong.
"Apa?" Orang tua itu
tertawa gelak. "Engkau memanggilku tuan besar?"
"Kakak Hiong!" Sela
Gouw Sian Eng. "Engkau juga boleh memanggil kakek kepadanya."
"Betul! Betul!"
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. "Engkau memang boleh memanggil kakek
kepadaku."
"Ya, kakek."
"Bagus! Bagus!"
Orang tua itu tertawa lagi.
Orang tua itu tidak lain ialah
Tui Hun Lojin sendiri.
"Oh ya, namamu?"
"Dia bernama Tio Cie
Hiong," sahut Gouw Sian Eng.
"Kakek bertanya padanya,
kenapa engkau yang menjawab?" Tui Hun Lojin menatap cucunya tajam.
"Aku..." Wajah Gouw
Sian Eng memerah.
"Waaah!" Tui Hun
Lojin tertawa gelak. "Wajahmu memerah, merasa malu ya?"
"Kakek jahat! Kakek
jahat!" Gouw Sian Eng membanting-banting kaki.
"Cucuku!" sahut Tui
Hun Lojin, yang masih tertawa. "Engkau masih kecil lho! Jangan..."
"Kakek!" Gouw Sian Eng segera menarik jenggot Tui Hun Lojin.
"Aduuuh!" jerit Tui
Hun Lojin kesakitan. "Cie Hiong, cucuku ini sangat nakal, maka engkau
harus hati-hati."
"Dia tidak nakal,
melainkan amat sayang pada kakek," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Eh?" Tui Hun Lojin terbelalak. "Belum apa-apa, engkau sudah
membelanya?"
"Aku membela yang
benar," ujar Tio Cie Hiong. "Sebab adik Eng memang benar menyayangi
kakek."
Tui Hun Lojin manggut-manggut,
kemudian wajahnya berubah serius seraya bertanya, "Cie Hiong, engkau
pernah belajar ilmu silat?"
"Tidak pernah."
"Maukah engkau menjadi
muridku?"
"Maaf, kakek! Aku tidak
mau belajar ilmu silat."
"Lho? Kenapa?" Tui
Hun Lojin menatapnya heran. "Apa alasanmu tidak mau belajar ilmu
silat?"
"Katanya..." sela
Gouw Sian Eng. "Siapa yang memiliki ilmu silat pasti saling membunuh, maka
dia tidak mau belajar ilmu silat."
Tui Hun Lojin mengerutkan
kening. "Cie Hiong, benarkah engkau mengatakan begitu?"
"Ya, kakek!" Tio Cie
Hiong mengangguk dan menambahkan. "Siapa yang memiliki ilmu silat tinggi,
pasti mempunyai musuh sehingga akhirnya pasti saling membunuh. Karena itu, aku
tidak mau belajar ilmu silat."
Tui Hun Lojin manggut-manggut
sambil menatapnya. Mendadak hatinya tersentak, ternyata is melihat sepasang
mata Tio Cie Hiong memancarkan sinar yang amat terang, otomatis membuat orang
tua itu terheran-heran. "Cie Hiong, pernah engkau belajar ilmu
Iweekang?"
"Tidak pernah,"
sahut Tio Cie Hiong cepat. Ia terpaksa berdusta karena sesuai dengan pesan
Paman Tan bahwa ia harus merahasiakan hal itu.
"Heran!" gumam Tui
Hun Lojin. "Sungguh mengherankan!"
"Kenapa kakek?"
tanya Gouw Sian Eng heran.
"Tidak ada apa-apa,"
sahut Tui Hun Lojin sambil tersenyum. "Sian Eng, hari ini kakek akan
mengajarmu Tui Hun Kiam Hoat."
"Terima kasih,
kakek!" ucap Gouw Sian Eng girang. Ia cepat-cepat mengambil dua batang
ranting, salah sebatang ranting itu diberikan kepada kakeknya.
Tui Hun Lojin menerima ranting
itu sambil tersenyum, lalu memandang Gouw Sian Eng tajam seraya berkata.
"Engkau harus
memperhatikan dengan seksama, sebab Tui Hun Kiam Hoat sangat lihay, terdiri
dari tujuh jurus, yang setiap jurusnya mempunyai tiga perubahan. Oleh karena
itu, di saat kakek mengajarmu, haruslah diperhatikan dengan baik-baik."
"Ya, Kakek." Gouw
Sian Eng mengangguk.
"Kakek, aku melanjutkan
pekerjaanku ya!" ujar Tio Cie Hiong.
"Kakak Hiong!" sahut
Gouw Sian Eng cepat. "Engkau tidak usah menyapu sekarang, nonton saja aku
belajar ilmu pedang."
"Tapi..."
"Sudahlah... Nanti aku
akan membantumu menyapu."
"Baiklah kalau
begitu...!" Tio Cie Hiong berdiri di situ, sedangkan Tui Hun Lojin
tersenyum-senyum.
"Sian Eng! Perhatikan
baik-baik!" Tui Hun Lojin mulai memainkan Tui Hun Kiam Hoat dengan
perlahan.
Gouw Sian Eng memperhatikan
baik-baik sedangkan Tio Cie Hiong hanya menonton saja. Tui Hun Lojin terus
mengulang memainkan ilmu pedang tersebut. Semula bergerak lamban, namun kian
lama kian bertambah cepat lalu berhenti.
"Bagaimana?" tanya
Tui Hun Lojin pada Gouw Sian Eng. "Engkau ingat semua jurus-jurus
itu?"
"Kakek!" Gouw Sian
Eng menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin aku bisa mengingat semua jurus
itu? Lebih baik kakek ajarkan sejurus demi sejurus saja!"
"Baiklah." Tui Hun
Lojin mengangguk, kemudian mengajar cucunya sejurus demi sejurus. Ketika Tui
Hun Lojin memainkan jurus-jurus ilmu pedang, Tio Cie Hiong sudah ingat semua
jurus itu dalam otaknya, itu tidak diketahui Tui Hun Lojin. Apabila orang tua
itu tahu, tentunya tidak akan percaya. Bagaimana mungkin hanya sekali pandang
bisa mengingat semua jurus ilmu pedang itu?
Sementara Gouw Sian Eng sudah
mulai mengikuti gerakan Tui Hun Lojin sejurus demi sejurus. Hampir setengah
hari barulah gadis itu menghafal semuanya. Ketika mulai berlatih, gerakannya
masih tampak kaku.
"Sian Eng!" Tui Hun
Lojin tersenyum. "Engkau harus berlatih dengan tekun, sebab ilmu pedang
Tui Hun Kiam Hoat adalah ilmu andalan kakek dan ayahmu! ilmu pedang ini membuat
kakek terkenal, begitu pula ayahmu."
"Ya, kek." Gouw Sian
Eng mengangguk dan terus berlatih.
Tui Hun Lojin menyaksikan
latihan.cucunya dengan penuh perhatian. Ia sekali-sekali memberi petunjuk
apabila cucunya melakukan gerakan salah.
Tio Cie Hiong terus menonton,
dan secara diam-diam membandingkan Hong Lui Kiam Hoat. (llmu Pedang Angin
Halilintar) dengan ilmu pedang tersebut. Tanpa disadarinya ia bisa tahu, mana
ilmu pedang yang lebih hebat diantara keduanya.
"Sian Eng, engkau
berlatih sendiri saja, kakek mau ke dalam!" ujar Tui Hun Lojin, lalu
meninggalkan halaman itu.
"Kakak Hiong, bagaimana
gerakanku? Apakah sudah dapat menyamai gerakan kakekku?" tanya Gouw Sian
Eng mendadak pada Tio Cie Hiong.
"Adik Eng!" jawab
Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Gerakan rantingmu masih kaku sekali, lagi
pula banyak kesalahan yang kau lakukan ketika badanmu bergerak. Maka lain kali
engkau harus memperhatikan baik-baik gerakan kakekmu, pikiranmu harus
dipusatkan untuk memperhatikan, dan disaat memperhatikan, engkau tidak boleh
memikirkan hal lain. Sebab akan memecahkan perhatianmu, sehingga akan
menyulitkanmu mempelajari ilmu pedang itu."
"Ya, kakak Hiong."
Gouw Sian Eng mengangguk. "Aku pasti menuruti nasihatmu. Terimakasih!"
Seusai berkata demikian, Gouw
Sian Eng mulai berlatih lagi. Bahkan Tio Cie Hiong yang memberi petunjuk
padanya. Gadis itu tidak merasa heran, karena is menganggap Tio Cie Hiong jauh
lebih pintar dari pada dirinya.
Sore ini ketika Tio Cie Hiong
sedang menyapu di halaman depan, mendadak terdengarlah suara tawa yang amat
keras.
"Ha ha ha! Gouw Han
Tiong, mana ayahmu? Aku pengemis tua ingin menemuinya, cepat suruh dia
keluar!"
"Paman pengemis! Silakan
masuk!" Suara sahutan Gouw Han Tiong dari dalam.
"Kalau ayahmu tidak
keluar, aku tidak akan masuk."
"Ha ha ha!"
Terdengar kemudian suara Tui Hun Lojin balas tertawa. "Pengemis busuk, aku
ada disini menyambutmu, silakan masuk!"
"Terima kasih!"
Tampak sosok bayangan
berkelebat ke dalam, sungguh cepat laksana kilat.
Namun Tio Cie Hiong yang
sedang menyapu itu dapat melihat jelas orang yang berkelebat itu, ternyata
seorang pengemis tua.
"Ha ha ha!" Tui Hun
Lojin tertawa terbahak-bahak. "Pengemis busuk, kok engkau belum
mampus?"
"Ha ha ha!" Pengemis
tua itu juga tertawa gelak. "Setan tua, engkau belum mengejar rohku,
bagaimana mungkin aku akan mampus?"
"Ha ha! Silakan duduk,
pengemis busuk!" ucap Tui Hun Lojin.
"Terima kasih!"
Pengemis tua itu duduk.
"Pengemis busuk, angin
apa yang membawamu datang kemari?" tanya Tui Hun Lojin sambil
memandangnya.
"Tentunya bukan angin
lalu" sahut pengemis tua itu. "Aku datang ingin menanyakan satu hal
padamu."
"Tentang hal apa?"
Tui Hun Lojin heran. Begitu pula Cit Pou Tui Hun Gouw Han Tiong yang duduk
disisi ayahnya.
"Sepuluh tahun yang
lampau, rimba persilatan telah digemparkan oleh Sebuah Kotak Pusaka...,
Kabarnya Hui Kiam Bu Tek (Pedang Terbang Tanpa Tanding) Tio It Seng memperoleh
Kotak Pusaka itu, tapi ia kemuadian bersama istrinya mati dikeroyok oleh orang
Bu LIm termasuk kaum golongan hitam dan Tujuh Partai Besar. Aku dengar engkau
pun ambil bagian dalam pengeroyokan itu, apakah benar?"
"Itu tidak benar. Tapi
aku memang berada di Pek Yun Nia (Tebing Awan Putih) itu."
"Setan tua!"
Pengemis tua menatapnya tajam. "Benarkah engkau tidak ikut mengeroyok Hui
Kiam Bu Tek-Tio It Seng dan Sin Pian Bijin-Lie Hui Hong?"
"Pengemis busuk!"
Tui Hun Lojin menarik nafas panjang. "Engkau tidak percaya padaku?"
"Baik!" Pengemis tua
itu manggut-manggut. "Aku percaya. Maukah engkau menuturkan tentang
kejadian itu?"
"Baiklah..." Tui Hun
Lojin mengangguk sambil menghela napas panjang. "Pada waktu itu, aku
mendapat kabar bahwa Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng memperoleh Kotak Pusaka,
sampai akhirnya
kemudian ia dikejar-kejar kaum
golongan hitam dan tujuh partai besar. Karena itu, aku segera berangkat ke
Tebing Awan Putih. Aku tidak mengajak putraku, kebetulan dia sedang mengantar
barang. Ketika aku tiba di Tebing Awan Putih, aku menyaksikan pertempuran yang
kacau balau. Beberapa ketua partai dan para murid mereka menyerang kaum
golongan hitam, namun kadang-kadang juga menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian
Bijin. Tampak pula seorang gadis kecil berdiri di pinggir tebing itu sambil
menangis. Banyak kaum golongan hitam mati di ujung pedang Hui Kiam Bu Tek, tapi
ia sama sekali tidak membunuh para murid tujuh partai besar. Mendadak muncul
tiga sosok bayangan menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian Bijin. Itu sungguh
di luar dugaanku, karena tiga sosok bayangan itu adalah Tang Hai Lo Mo (Iblis
Tua Laut Timur), Thian Mo (Iblis Kahyangan) dan Te Mo (Iblis Neraka). Dapat kau
tahu keahlian mereka bertiga, sekali mereka menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin
Pian Bijin, dua orang itu langsung terdesak dan hanya sebentar saja telah mati
di tangan Bu Lim Sam Mo (Tiga Iblis Rimba Persilatan) itu, sedangkan gadis
kecil itu tergelincir ke dalam jurang. Setelah itu, Bu Lim Sam Mo melesat pergi
entah kemana..."
"Jadi benar Bu Lim Sam Mo
muncul di Pek Yun Nia?" Pengemis tua mengerutkan kening. "Kalau
begitu, mereka bertiga yang memperoleh Kotak Pusaka itu?"
"Mungkin. Sebab Kotak
Pusaka itu tidak berada di badan Hui Kiam Bu Tek maupun Sin Pian Bijin."
ujar Tui Hun Lojin dan menambahkan. "Aku bersama ketua partai Siauw Lim
dan ketua partai Bu Tong yang mengubur mayat mereka."
"Setan tua, hatimu cukup
baik," ujar pengemis tua sambil menarik nafas panjang. "Aku tak
menyangka, mereka suami istri mati begitu mengenaskan."
"Pengemis busuk, kenapa
engkau ingin tahu kejadian itu?" tanya Tui Hun Lojin mendadak. "Setan
tua, tentunya engkau tahu, Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng adalah teman baik
putraku." sahut pengemis tua memberitahukan. "Pada waktu itu, kami
pihak Kay Pang juga ke sana, tapi... sudah terlambat. Kami berusaha mencari
gadis kecil itu, namun tidak ketemu. Oh ya, kalau tidak salah, mereka pun
mempunyai seorang putra. Tahukan engkau ke mana putra mereka itu?"
"Tidak terlihat putra
mereka berada di situ" sahut Tui Hun Lojin sambil menarik nafas panjang.
"Pengemis busuk, aku ke sana dengan tujuan ingin menolong mereka, tapi
mendadak muncul Bu Lim Sam Mo..."
"Setan tua! Kenapa engkau
ingin menolong mereka?" tanya pengemis tua heran. Sebetulnya siapa
pengemis tua ialah Sam Gan Sin Kay (Pengemis Sakti Mata Tiga), yaitu salah satu
Bu Lim Ji Khie (Dua Orang Aneh Rimba Persilatan), juga seorang tetua partai
pengemis. Karena di tengah-tengah keningnya terdapat sebuah benjolan kecil,
maka iamemperoleh julukan Sam Gan Sin Kay.
"Belasan tahun yang
lampau, Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng pernah menolong putraku." Tui Hun
Lojin memberitahukan.
"Pada waktu itu, putraku
di serang Hek Pek Siang Koay (Sepasang Siluman Hitam Putih). Kalau Hui Kiam Bu
Tek tidak muncul menolong putraku, tentunya putraku sudah mati di tangan Hek
Pek Siang Koay."
Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut. "Pantas engkau ingin menolong Hui Kiam Bu Tek! Setan tua,
ada satu hal yang sangat membingungkan aku."
"Hal apa?" tanya Tui
Hun Lojin.
"Padahal Bu Lim Sam Mo
tidak ada hubungan satu sama lain, kenapa mereka bertiga bisa muncul bersama di
Tebing Awan Putih?"
"Aku pun tidak habis
pikir tentang itu" sahut Tui Hun Lojin. "Kalau Kotak Pusaka itu jatuh
di tangan mereka, bukankah kepandaian mereka akan bertambah tinggi?"
"Memang." Sam Gan
Sin Kay mengangguk. "Tapi sudah belasan tahun tak ada kabar berita tentang
mereka, mungkinkah mereka bertiga saling membunuh karena Kotak Pusaka
itu?"
"Mudah-mudahan
begitu!" ucap Tui Hun Lojin. "Kalau tidak, mereka bertiga pasti akan
menimbulkan bencana dalam rimba persilatan."
Sam Gan Sin Kay mengangguk.
"Ohya, setan tua! Aku juga ingin menyampaikan sesuatu kepadamu."
"Tentang apa?"
"Belum lama ini, dalam
rimba persilatan telah muncul Pek Ih Mo Li (Iblis Wanita Baju Putih). Dia
seorang gadis yang berkepandaian tinggi sekali. Khususnya membunuh kaum
golongan hitam, tapi juga memusuhi tujuh partai besar, bahkan dia pun sering
melukai para murid tujuh partai besar. Aku curiga, jangan-jangan Pek Ih Mo Li
itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek."
Tui Hun Lojin mengerutkan
kening. "Tapi... anak gadis kecil itu tergelincir ke dalam jurang,
bagaimana mungkin bisa hidup?"
"Setan tua! Mudah-mudahan
Pek Ih Mo Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek!" ujar Sam Gan Sin Kay.
"Aku telah mengutus beberapa murid Kay Pang yang handal untuk
menyelidikinya.
"Alangkah baiknya Pek Ih
Mo Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek. Jadi Hui Kiam Bu Tek mempunyai keturunan."
"Tapi engkau harus
berhati-hati! Mungkin Pek Ih Mo Li itu akan datang ke mari mencarimu."
"Itu tidak apa-apa.
Sebaliknya aku malah merasa senang sekali." Tui Hun Lojin tersenyum.
"Kalau dia datang aku ingin bertanya padanya, apakah dia putri almarhum
Hui Kiam Bu Tek atau bukan ?"
Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut. Pada waktu bersamaan, muncullah Gouw Sian Eng. Anak gadis itu
memandang pengemis tua itu dengan mata terbelalak.
Sam Gan Sin Kay tercengang.
"Siapa anak gadis kecil ini?" "Paman Pengemis, ia putriku."
Gouw Han Tiong memberitahukan.
Sam Gan Sin Kay tertawa.
"Putrimu sudah begitu besar, kelihatannya secantik cucuku yang binal
itu."
"Maksudmu putri Lim Peng
Hang?" tanya Tui Hun Lojin.
"Benar!" Sam Gan Sin
Kay tertawa sambil memandang Gouw Sian Eng. "Sian Eng!" ujar Gouw Han
Tiong. "Cepat beri salam pada kakek Pengemis!"
"Hormat Kakek
Pengemis!" panggil Gouw Sian Eng sambil tersenyum, kemudian bertanya
mendadak. "Kakek Pengemis berkepandaian tinggi?"
"Kakek Pengemis
berkepandaian tinggi sekali" sahut Gouw Han Tiong memberitahukan sambil
tersenyum.
"Siapa yang lebih tinggi
kepandaiannya, kakek atau kakek Pengemis?" tanya Gouw Sian Eng mendadak.
"Tentunya Kakek
Pengemis." sahut Tui Hun Lojin sambil tertawa gelak.
"Kakek Pengemis adalah
salah satu Bu Lim Ji Khie, bahkan juga tetua Partai Pengemis yang sangat
terkenal itu."
"Kalau begitu..."
Gouw Sian Eng memandang Sam Gan Sin Kay. "Aku ingin belajar pada Kakek
Pengemis."
"Apa?" Sam Gan Sin
Kay tertegun, kemudian menggaruk-garukkan kepala.
"Itu..."
"Pengemis busuk!"
Tui Hun Lojin tertawa terbahak-bahak. "Tentunya engkau tidak begitu pelit
menurunkan sedikit kepandaianmu kepada cucuku kan?"
Sam Gan Sin Kay tertawa.
"Apa boleh buat! Kalau aku tidak menurunkan sedikit kepandaianku pada
cucumu, sudah pasti aku kau katakan pelit."
"Terima kasih, Kakek
Pengemis!" ucap Gouw Sian Eng girang.
"Ohya!" Sam Gan Sin
Kay teringat sesuatu. "Aku tadi melihat seorang anak lelaki menyapu di
halaman, siapa anak lelaki itu?"
"Dia pembantu di
sini." Gouw Han Tiong memberitahukan.
"Namanya Cie Hiong,"
sambung Gouw Sian Eng.
Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut. "Sian Eng, panggil dia ke mari."
"Ya, Kakek
Pengemis." Gouw Sian Eng segera berlari ke luar. Tak lama ia sudah kembali
bersama Tio Cie Hiong, lalu menunjuk Sam Gan Sin Kay seraya berkata pada Tio
Cie Hiong. "Kakek Pengemis itu ingin menemuimu."
"Kakek Pengemis!"
panggil Tio Cie Hiong. "Ada urusan apa Kakek Pengemis memanggilku?"
Sam Gan Sin Kay tidak
menyahut, melainkan terus menatap Tio Cie Hiong dengan penuh perhatian.
"Bukan main! Sungguh
bukan main! Nak, siapa kedua orang tuamu?" tanyanya. "Maaf Kakek
Pengemis, aku tidak tahu kedua orang tuaku," jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Kok begitu?" Sam Gan Sin Kay tertegun. "Lalu siapa yang
membesarkanmu?"
"Seorang tua yang
kupanggil paman" ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan, "Tapi paman itu
sudah meninggal."
"Nak!" Sam Gan Sin
Kay menatapnya dalam-dalam. "Maukah engkau belajar ilmu silat? Kalau
engkau mau belajar ilmu silat, aku bersedia menjadi gurumu."
"Maaf, Kakek Pengemis!
Aku tidak suka belajar ilmu silat." tolak Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Tui Hun
Lojin tertawa gelak.
"Eh? Setan tua, kenapa
engkau tertawa?" Sam Gan Sin Kay heran.
"Kalau ia mau belajar
ilmu silat, sudah aku dulu jadi gurunya" jawab Tui Hun Lojin
memberitahukan.
"Sayang sekali!" Sam
Gan Sin Kay menarik nafas panjang. "Padahal anak itu berbakat sekali,
bahkan memiliki tulang bagus."
"Benar." Tui Hun
Lojin manggut-manggut. "Pengemis busuk! Perhatikanlah sepasang
matanya!"
Sam Gan Sin Kay segera
memperhatikan sepasang mata Tio Cie Hiong. Pengemis tua itu, tampak terperanjat
setelah memperhatikan sepasang mata Tio Cie Hiong, kemudian bergumam.
"Bukan main! Sepasang matanya bersinar begitu terang! Heran, itu pertanda
dia pernah belajar ilmu Iweekang." Seusai bergumam, Sam Gan Sin Kay pun
bertanya. "Cie Hiong, pernahkah engkau belajar ilmu lweekang?"
"Tidak pernah,"
sahut Tio Cie Hiong sesuai dengan pesan Paman Tan. "Setan Tua!" Sam
Gan Sin Kay memandang Tui Hun Lojin. "Bukankah itu sungguh
mengherankan?"
"Benar." Tui Hun
Lojin manggut-manggut dan melanjutkan. "Seandainya dia mau belajar ilmu
silat, kelak pasti akan menjadi seorang pendekar besar."
"Yaah!" Sam Gan Sin
Kay menarik nafas panjang. "Kita tidak berjodoh menjadi gurunya, entah
siapa yang berjodoh menjadi gurunya?"
"Mungkinkah It Seng
?"
"Padri keparat itu?
Huh!" dengus Sam Gan Sin Kay.
"Setahuku, dia tidak mau
menerima murid."
"Pengemis busuk, sungguh
sayang sekali kita tidak bisa menjadi guru anak ini." Tui Hun Lojin
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakek pengemis, kapan
aku akan diajari ilmu silat?" tanya Gouw Sian Eng mendadak.
Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.
"Esok pagi, aku pasti mengajarmu semacam ilmu pedang." "Terima
kasih, Kakek Pengemis!" ucap Gouw Sian Eng sambil tertawa gembira.
"Cie Hiong!" ujar
Gouw Han Tiong. "Engkau boleh melanjutkan pekerjaanmu."
"Ya, Paman." Tio Cie
Hiong mengangguk, lalu memberi hormat kepada mereka. Setelah itu barulah ia
berjalan keluar.
"Kakak Hiong! Aku akan
bantumu menyapu!" seru Gouw Sian Eng sambil menyusulnya.
"Huaha ha ha!" Sam
Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Kelihatannya cucumu itu suka sekali
pada anak lelaki itu."
"Mereka masih kecil,
hanya saja mereka ada kecocokan," sahut Tui Hun Lojin sambil tersenyum.
"Paman Pengemis, betulkah
Paman Pengemis akan mengajar putriku semacam ilmu pedang?" tanya Gouw Han
Tiong mendadak.
"Tentu saja... Aku tidak
pernah bohong," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Pengemis busuk! Engkau
akan mengajar ilmu pedang apa pada cucuku?" tanya Tui Hun Lojin ingin
mengetahuinya.
"Saat ini belum
kupikirkan, tunggu esok pagi saja." jawab Sam Gan Sin Kay misterius.
"Pengemis busuk,
janganlah engkau mengajar cucuku ilmu pedang cakar ayam, sebab akan
mempermalukan dirimu sendiri!" ujar Tui Hun Lojin sungguh-sungguh.
"Jangan khawatir!"
sahut Sam Gan Sin Kay. "Pokoknya akan kuajar cucumu ilmu pedang yang
lihay, mungkin masih di atas tingkat Tui Hun Kiam Hoatmu."
"Kalau begitu..."
Tui Hun Lojin tertawa lebar. "Aku mengucapkan terima kasih kepadamu."
"Kalau aku tidak merasa
suka pada cucumu itu, belum tentu aku akan mengajarkan ilmu pedang." ujar
Sam Gan Sin Kay sungguh-sungguh. "Aku sering menggunakan tongkat bambu,
jadi ilmu pedang itu akan kuturunkan pada cucumu." "
Paman Pengemis, sebelumnya
kuucapkan terimakasih!" ujar Gouw Han Tiong sambil menjura memberi hormat
pada Sam Gan Sin Kay.
Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut, kemudian menarik nafas panjang seraya bergumam. "Sayang
sekali, anak lelaki itu tidak mau belajar ilmu silat! Aku tidak mempunyai
murid, namun dia malah menolak menjadi muridku."
"Sama-sama!" Tui Hun
Lojin tersenyum.
"Ohya! Kalau Pek Ih Mo Li
itu datang mencarimu, tanyakan kepadanya apakah dia putri almarhum Hui Kiam Bu
Tek atau bukan?!" pesan Sam Gan Sin Kay pada Tui Hun Lojin.
"Itu sudah pasti."
Tui Hun Lojin manggut-manggut.
"Aku dengar, tujuh partai
besar akan bergabung melawan Pek Ih Mo Li." Sam Gan Sin Kay
memberitahukan. "Kalau dia putri almarhum Hui Kiam Bu Tek, aku harus turun
tangan mendamaikan mereka."
"Benar." Tui Hun
Lojin mengangguk. "Jangan sampai terjadi banjir darah yang tiada artinya.
Sebab yang membunuh Hui Kiam Bu Tek dan istrinya adalah Bu Lim Sam Mo..."
"Tapi tujuh partai besar
juga ikut mengeroyok mereka berdua kan?"
"Sulit dikatakan, sebab
pada waktu itu pertempuran di Tebing Awan Putih tersebut sangat kacau."
"Setan tua, setahuku Hui
Kiam Bu Tek mempunyai seorang putra. Tapi kok tiada kabar ceritanya tentang
putra Hui Kiam Bu Tek itu?"
"Mungkinkah ada orang
membawanya pergi" ujar Tui Hun Lojin menduga. "Tapi... mungkin juga
telah terbunuh."
"Aaakh...!" Sam Gan
Sin Kay menghela nafas. "Padahal Hui Kiam Bu Tek merupakan pendekar yang
selalu membela kebenaran, namun akhirnya malah mati bersama istrinya secara
mengenaskan."
"Pengemis busuk,
bagaimana menurutmu mengenai Bu Lim Sam Mo? Apakah mereka telah mati
memperebutkan Kotak Pusaka itu, ataukah mereka bertiga sedang mempelajari ilmu
silat yang ada di dalam Kotak Pusaka itu?" tanya Tui Hun Lojin mendadak.
"Mudah-mudahan saja
mereka bertiga sudah mati!" sahut Sam Gan Sin Kay. "Tapi kalau mereka
bertiga sedang mempelajari ilmu silat peninggalan Pak Kek Siang Ong itu, rimba
persilatan bakal celaka."
"Benar." Tui Hun
Lojin manggut-manggut. "Sebab sepertinya tiada seorang pun lagi yang mampu
melawan mereka."
"Sudah belasan tahun
tiada kabar berita tentang mereka bertiga, mungkin mereka bertiga telah
mati," ujar Gouw Han Tiong.
"Itu yang kita harapkan.
Tapi kalau tidak, entah apa pula yang akan terjadi?" Sam Gan Sin Kay
menggeleng-gelengkan kepala.
Esok paginya Ketika hari baru
mulai terang, Tio Cie Hiong sudah menyapu di halaman tengah. Di saat ia sedang
menyapu, muncullah Gouw Sian Eng bersama Sam Gan Sin Kay.
"Kakak Hiong!" sahut
Gouw Sian Eng. "
Adik Eng!" sahut Tio Cie
Hiong, lalu memberi hormat pada Sam Gan Sin Kay. "Selamat pagi, Kakek
Pengemis!"
Sam Gan Sin Kay menatapnya
sambil tersenyum lembut. "Kok masih pagi sudah menyapu?"
"Kakek pengemis!"
ujar Tio Cie Hiong. "Lebih baik menyapu pagi dari pada siang, sebab kalau
menyapu siang, itu berarti aku malas, tidak mau bangun pagi."
Sam Gan Sin Kay tersenyum
lagi.
"Kakak Hiong, jangan
menyapu dulu!" ujar Gouw Sian Eng.
"Kakek pengemis akan
mengajariku ilmu pedang, engkau lihat aku belajar ya.
"Tapi..."
"Engkau boleh melihat
Sian Eng belajar, itu tidak apa-apa." ujar Sam Gan Sin Kay. Tio Cie Hiong
mengangguk. Sedangkan Gouw Sian Eng bertanya pada pengemis sakti. "Kakek
Pengemis mau mengajariku ilmu pedang apa?"
"Toat Beng Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Pencabut Nyawa)." jawab Sam Gan Sin Kay menjelaskan.
"Engkau harus tahu, bahwa ilmu pedang ini sangat lihay, mungkin lebih
lihay
dari pada ilmu pedang Tui Hun
Liam Hoat (Ilmu Pedang Pengejar Roh), ilmu pedang andalan kakekmu itu."
Gouw Sian Eng girang bukan
main. "Kakek Pengemis, cepatlah ajari aku!"
"Tapi engkau harus
belajar dengan tekun!" pesan Sam Gan Sin Kay. "Jangan mempermalukan
aku!"
"Ya." Gouw Sian Eng
mengangguk.
"Ilmu pedang tersebut di
namai Toat Beng (Pencabut Nyawa), karena setiap jurusnya pasti mematikan lawan.
Kalau tidak terpaksa, janganlah engkau menggunakan ilmu
pedang tersebut untuk
menyerang orang!" Sam Gan Sin Kay memberitahukan dengan wajah serius.
"Ya!" Gouw Sian Eng
mengangguk lagi.
"Toat Beng Kiam Hoat
terdiri dari sembilan jurus." Sam Gan Sin Kay menjelaskan. "Jurus
pertama adalah Pedang Menggetarkan Jagat, jurus kedua Ribuan Pedang Menyapu
Ombak, jurus ketiga Bayangan
Pedang Meretakkan Bumi, jurus keempat dan jurus terakhir paling lihay, yakni
Laksaan Pedang Kembali Ke Asal."
Gouw Sian Eng mendengarkan
dengan penuh perhatian. Setelah itu Sam Gan Sin Kay mulai memainkan ilmu pedang
tersebut. Tampak pedang di tangannya berkelebatan,
akhirnya badan Sam Gan Sin Kay
tertutup oleh bayangan pedang itu, dan mendadak pengemis sakti itu membentak
keras.
"Laksaan Pedang Kembali
Ke Asal!"
Tampak sinar pedang
berkelebatan, lalu tiba-tiba meluncur ke arah sebuah pohon yang di situ.
"Cesss!" Pedangnya
menembus pohon. Gouw Sian Eng terbelalak menyaksikan itu, kemudian bertepuk
tangan seraya berseru. "Kakek pengemis, sungguh hebat ilmu pedang
itu!"
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Kalau tidak hebat, bagaimana mungkin akan kuturunkan
kepadamu?"
"Terima kasih, Kakek
Pengemis!" ucap Gouw Sian Eng.
"Nah, sekarang engkau
harus memperhatikan baik-baik!" pesan Sam Gan Sin Kay. "Akan
kuajarkan sejurus demi sejurus."
Sam Gan Sin Kay mulai mengajar
Gouw Sian Eng sejurus demi sejurus, dan Gouw Sian Eng belajar dengan
sungguh-sungguh.
Sementara Tio Cie Hiong juga
terus memperhatikan gerakan-gerakan pedang dan badan Sam Gan Sin Kay.
Beberapa hari kemudian, Gouw
Sian Eng sudah dapat menguasai ilmu pedang tersebut, hanya saja gerakannya
masih kaku dan sering pula melakukan gerakan yang salah.
Ketika hari mulai gelap, Gouw
Sian Eng datang di kamar Tio Cie Hiong, lalu menariknya ke luar.
"Eh?" Tio Cie Hiong tercengang. "Adik Eng, engkau mau membawaku
kemana?"
"Kakak Hiong, temani aku
berlatih ilmu pedang!" sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum.
Tio Cie Hiong juga tersenyum.
"Ku kira ada urusan apa, tidak tahunya engkau menghendaki aku menemanimu
berlatih ilmu pedang!"
"Engkau tidak
berkebaratan kan?"
"Tentu saja tidak."