Pek Ih Mo Li tertegun. Ia
ingat pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau Terbang. Betapa terkejutnya Pek Ih
Mo Li ketika menyaksikan wajahnya yang pucat pias. Ia segera membuka bajunya.
Tampak bekas dua telapak tangan kehijau-hijauan di dadanya. "Ngo Tok Ciang...."
Ia telah tahu, Siapa yang
terkena pukulan Ngo Tok Ciang, dalam waktu beberapa jam kemudian pasti mati.
Itu sungguh membuat Pek Ih Mo Li kacau dan resah, sama sekali tidak tahu apa
yang harus dilakukannya. Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara yang sangat
halus.
"Omitohud!"
Pek Ih Mo Li terkejut bukan
main dan segera menoleh. Dilihatnya seorang padri tua berwajah pengasih dan
berjenggot sebatas dada berdiri di situ. Begitu melihat padri tua itu, Pek Ih
Mo Li tersentak.
"Apakah aku berhadapan
dengan Lam Hai Sin Ceng?"
"Omitohud! Engkau tentu
Pek Ih Mo Li," sahut padri tua. Memang tidak salah, padri tua itu adalah
Bu Lim It Ceng.
"Sin Ceng, tolonglah anak
itu!" ujar Pek Ih Mo Li memohon.
"Engkau kenal dia?"
tanya Lam Hai Sin Ceng. "Aku pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau
Terbang." Pek Ih Mo Li memberitahukan. "Dia anak baik, maka aku mohon
Sin Ceng sudi menolongnya!"
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng mendekati Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan. Ketika
melihat bekas sepasang telapak tangan di dada Tio Cie Hiong, kening padri tua
berkerut. "Ngo Tok Ciang!"
Lam Hai Sin Ceng membungkukkan
badannya, lalu menjulurkan tangannya untuk menotok jalan darah di dada Tio Cie
Hiong, agar racun tidak menjalar ke jantung.
Akan tetapi, ketika jari
tangannya menyentuh dada Tio Cie Hiong, padri tua itu tampak tertegun.
"Sin Ceng! Bagaimana?
Apakah dia masih bisa ditolong?" tanya Pek- Ih Mo Li tegang.
"Omitohud! Ini sungguh di
luar dugaan dan luar biasa sekali." sahut Lam Hai Sin Ceng.
"Kenapa, Sin Ceng?"
Pek Ih Mo Li heran. "Anak ini telah memiliki semacam Iweekang yang amat
tinggi, maka jantungnya terlindung oleh Iweekang itu." Lam Hai Sin Ceng
memberitahukan. "Tapi dia tetap harus diobati."
"Sin Ceng bisa
mengobatinya?"
"Tidak bisa. Namun ada
satu orang bisa mengobatinya."
"Siapa orang itu?"
"Sok Beng Yok Ong, Hanya
dia yang bisa memusnahkan racun Ngo Tok itu."
"Yok Ong itu tinggal di
mana?"
"Di kaki Gunung Wu
San." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Lembah Persik, engkau harus
segera membawa anak itu ke sana! Tapi...."
"Kenapa?"
"Sok Beng Yok Ong
bersifat sangat aneh. Kalau dia tidak senang, jangan harap dia akan mengobati
orang."
"Bolehkah aku bilang Sin
Ceng yang menyuruhku ke sana?" tanya Pek Ih Mo Li mendadak.
"Tidak boleh." Lam
Hai Sin Ceng menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Pek Ih Mo
Li heran.
"Dia pasti tersinggung
karena mengira engkau menggunakan namaku untuk menemukannya, maka urusan akan
runyam karenanya."
"Kalau begitu...."
Pek Ih Mo Li mengerutkan kening.
"Apabila engkau
bersungguh hati ingin menolong anak itu, tentunya Sok Beng Yok Ong pun akan
mengobatinya. Percayalah!" ujar Lam Hai Sin Ceng sambil tersenyum.
Pek Ih Mo Li mengangguk, lalu
menggendong Tio Cie Hiong di punggungnya.
"Pek Ih Mo Li!" Lam
Hai Sin Ceng menatapnya dalam-dalam seraya berkata, "Segala sesuatu memang
telah merupakan takdir, maka aku harap engkau berhati-hati dalam tiga tahun
ini, sebab menyangkut keselamatanmu."
Pek Ih Mo Li tersenyum.
"Terimakasih atas pesan Sin Ceng. Kalau itu telah merupakan takdir,
berhati-hati pun akan terjadi."
"Omitohud!" ucap Lam
Hai Sin Ceng, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Sin Ceng, sampai
jumpa!" ucap Pek Ih Mo Li lalu melesat pergi.
"Pek Ih Mo Li, siapa
gurumu?" tanya Lam Hai Sin Ceng dengan menggunakan Iweekang.
"Sin Ceng, guruku adalah
Ciat Lun Sin Ni," sahut Pek Ih Mo Li.
"Omitohud!" ucap Lam
Hai Sin Ceng lagi. Padri tua itu berdiri termangu-mangu di tempat, bahkan
kemudian juga menghela nafas dan bergumam. "Ciat Lun Sin Ni, ternyata Pek
Ih Mo Li adalah muridnya. Ciat Lun Sin Ni...."
Lembah itu penuh batu curam.
Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang sangat
besar dan indah. Para kaum Bu Lim mengetahui bahwa itu Thian Mo Kiong. Selama
puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun yang berani mendatangi lembah itu.
Sebab siapa yang masuk ke lembah itu, pasti tidak bisa keluar dengan selamat.
Di ruang tengah Istana Thian
Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja pendek. Di atas
meja pendek itu terdapat sebuah kotak putih yang bergemerlapan. Sungguh indah
kotak itu!
Siapa ketiga orang tua yang
berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu?
Ketiga orang tua itu adalah Bu
Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu adalah Kotak Pusaka
yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.
"Telah belasan tahun kita
bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu kita bertiga
selalu bertanding seri," ujar Tang Hai Lo Mo "Itu berarti kita telah
membuang waktu dengan sia-sia!"
"Tang Hai Lo Mo!"
sahut Thian Mo. "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya,
untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga harus bertanding pula,
siapa yang menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."
"Tidak salah"
sambung Te Mo dengan suara parau. "Kita harus terus bertanding hingga ada
yang menang!"
Lembah itu penuh batu curam.
Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang sangat
besar dan indah. Para kaum Bu Lim
mengetahui bahwa itu Thian Mo
Kiong. Selama puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun yang berani
mendatangi lembah itu. Sebab siapa yang masuk
ke lembah itu, pasti tidak
bisa keluar dengan selamat.
Di ruang tengah Istana Thian
Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja pendek. Di atas
meja pendek itu terdapat sebuah kotak
putih yang bergemerlapan.
Sungguh indah kotak itu!
Siapa ketiga orang tua yang
berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu?
Ketiga orang tua itu adalah Bu
Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu adalah Kotak Pusaka
yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.
"Telah belasan tahun kita
bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu kita bertiga
selalu bertanding seri," ujar Tang Hai Lo Mo
"Itu berarti kita telah
membuang waktu dengan sia-sia!"
"Tang Hai Lo Mo!"
sahut Thian Mo. "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya,
untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga
harus bertanding pula, siapa
yang menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."
"Tidak salah"
sambung Te Mo dengan suara parau. "Kita harus terus bertanding hingga ada
yang menang!"
"Kalau begitu, selamanya
tiada seorang pun diantara kita yang akan memperoleh Kotak Pusaka ini"
ujar Tang Hai Lo Mo sambil menggeleng-geleng
kepala.
"Kenapa?" tanya
Thian Mo dan Te Mo serentak.
"Karena kepandaian kita
seimbang, maka selamanya kita bertiga pasti bertanding seri" jawab Tang
Hai Lo Mo dan menambahkan. "Kita bertiga beruntung
telah memperoleh Kotak Pusaka
peninggalan Pak Kek Siang Ong yang berisi kitab ilmu silatnya, tapi kita justru
telah membuang-buang waktu belasan
tahun."
"Ha ha ha!" Thian Mo
tertawa gelak. "Pada waktu itu kita turun tangan duluan. Kalau tidak, It
Ceng dan Ji Khie pasti menghalangi kita."
"It Ceng dan Ji
Khie!" dengus Tang Hai Lo Mo dingin. "Kita bertiga pasti dapat
mengalahkan mereka."
"Benar." Te Mo
tertawa gelak.
"Tapi...." Thian Mo
menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau kita terus bertanding dan selalu seri,
siapa diantara kita yang akan
mempelajari ilmu silat peninggalan Pak Kek Siang Ong?"
Tang Hai Lo Mo
manggut-manggut. "Itulah yang kupikirkan dalam beberapa hari ini."
"Tang Hai Lo Mo!
Bagaimana menurut pendapatmu setelah berpikir sekian lama?" tanya Thian
Mo.
"Kita bertiga disebut Bu
Lim Sam Mo, karena kita memiliki sifat yang sama. Oleh karena itu, alangkah
baiknya....." Tang Hai Lo Mo tidak
melanjutkan, melainkan
memandang Thian Mo dan Te Mo.
"Engkau punya usul?"
tanya Thian Mo dan Te Mo serentak.
"Ya." Tang Hai Lo Mo
mengangguk.
"Kalau usulmu saling
menguntungkan, tentu kami setuju," ujar Thian Mo sungguh-sungguh.
"Menurut pendapatku,
alangkah baiknya kita bersatu mempelajari ilmu silat itu. Jadi kita tidak usah
menyia-nyiakan waktu lagi." Tang Hai Lo Mo
menatap mereka tajam.
Thian Mo dan Te Mo saling
memandang. Kelihatannya mereka berdua sedang memikirkan usul tersebut. Setelah
itu barulah mereka mengangguk.
"Usul itu memang tepat,
maka kami setuju," ujar Thian Mo.
"Bagus." Tang Hai Lo
Mo tertawa gembira. "Setelah kita bertiga berhasil mempelajari ilmu silat
itu, kita bertiga pun harus tetap bergabung."
"Betul." Te Mo
tertawa gelak. "Pada waktu itu, Bu Lim Sam Mo sudah pasti diatas It Ceng
dan Ji Khie."
"Tidak salah." Te Mo
tertawa terkekeh-kekeh. "Kita pasti dapat menguasai rimba persilatan.
Setelah kita merobohkan It Ceng dan Ji Khie, tujuh
partai besar dalam rimba
persilatan pun harus menuruti perintah kita. Partai mana yang berani
membangkang, harus kita basmi."
"Itulah tujuanku, dan
kini telah menjadi tujuan kita bersama." Tang Hai Lo Mo tertawa keras,
sehingga badannya bergoyang-goyang."Oleh karena itu,
setelah berhasil mempelajari
ilmu silat peninggalkan Pak Kek Siang Ong, kita harus mendirikan Sam Mo Kauw
(Agama Tiga lblis). Kita undang semua
golongan hitam dan golongan
sesat untuk bergabung, agar Sam Mo Kauw bertambah kuat. Kalian berdua
setuju?"
"Setuju" sahut Thian
Mo dan Te Mo serentak sambil tertawa gembira.
"Nah! Sekarang mari kita
buka Kotak Pusaka itu!" ujar Tang Hai Lo Mo.
Thian Mo dan Te Mo segera
mendekati Kotak Pusaka, tapi Tang Hai Lo Mo justru mencegah mereka.
"Jangan mendekati Kotak
Pusaka itu!"
"Kenapa?" Thian Mo
dan Te Mo heran.
"Kita harus menjaga
segala sesuatu!" Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "Lebih baik kita buka
dari jarak jauh"
"Betul." Thian Mo
dan Te Mo mengangguk. Mereka berdua segera melangkah ke belakang lalu duduk
kembali.
"Kita menggunakan tenaga
dalam membuka Kotak Pusaka itu, namun harus hati-hati," pesan Tang Hai Lo
Mo. "Jangan sampai merusak kitab yang ada di
dalamnya."
Thian Mo dan Te Mo
manggut-manggut. Mereka bertiga lalu menghimpun Iweekang masing-masing.
"Mulai!" seru Tang
Hai Lo Mo.
Seketika juga telapak tangan
mereka di arahkan ke Kotak Pusaka yang berada di atas meja, dan terdengarlah
suara pletak. Kotak Pusaka itu terbuka,
dan sama sekali tidak ada
senjata rahasia yang menyambar keluar. Bu Lim Sam Mo menarik nafas lega, lalu
bangkit berdiri sambil memandang ke dalam
Kotak Pusaka itu. Ternyata,
Kotak Pusaka itu berisi tiga buah kitab.
Mereka bertiga segera
melangkah maju, kemudian mengambil kitab-kitab tersebut.
"Pak Kek Sin Kang !"
seru Tang Hai Lo Mo lalu tertawa gelak.
"Pak Kek Ciang Hoat
!" Thian Mo memberitahukan dengan wajah berseri-seri.
"Pak Kek Kiam Hoat
!" seru Te Mo lalu tertawa girang.
"Pertama-tama, kita
bertiga harus mempelajari Pak Kek Sin Kang." ujar Tang Hai Lo Mo
sungguh-sungguh. "Setelah itu, barulah kita mempelajari ilmu
pukulan dan ilmu pedang."
"Benar." Thian Mo
dan Te Mo manggut-manggut.
"Luar biasa!" seru
Tang Hai Lo Mo setelah membaca sejenak kitab yang di tangannya. "Pak Kek
Sin Kang mengandung hawa dingin, bisa memukul mati
orang sekali pukul sampai beku
!".
"Ha ha ha!" Thian Mo
tertawa terbahak-bahak. "Kita bertiga pasti dapat merobohkan It Ceng dan
Ji Khie dengan ilmu Pak Kek Sin Kang."
"Benar." Tang Hai Lo
Mo dan Te Mo juga tertawa gelak.
Lam Hai Sin Ceng duduk bersila
di atas sebuah batu besar. Berselang beberapa saat, berkelebat dua sosok
bayangan ke hadapannya. Siapakah dua sosok
bayangan itu? Mereka ternyata
Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng.
"Huaha ha ha!" Sam
Gan Sin Kay tertawa gelak. "Hei! Padri keparat! Kenapa engkau mengundang
kami berdua ke mari? Apakah engkau mau mengajak kami
berunding?"
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng tersenyum. "Pengemis tua, sifatmu masih belum berubah!"
"Sifatku memang begini,
bagaimana mungkin berubah?" sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa gelak lagi.
"Padri tua! Ada urusan
apa engkau mengundang kami berdua ke mari?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Sastrawan awet
muda!" sahut Lam Hai Sin Ceng. "Tentunya ada sesuatu yang teramat
penting."
"Padri tua!" Kim
Siauw Suseng menatapnya tajam. "Bukankah engkau telah bersumpah tidak mau
mencampuri urusan apa pun lagi? Kok sekarang malah
bilang ada sesuatu yang
teramat penting?"
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng menghela nafas. "Kaum pertapa kalau tahu sesuatu yang menyangkut
keselamatan umat manusia, namun tidak mau
memberitahukan, itu adalah
dosa!"
"Padri keparat! Apakah
engkau mengetahui sesuatu yang menyangkut keselamatan rimba persilatan?"
tanya Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.
"Omitohud! Itu hanya
merupakan suatu firasat belaka." jawab Lam Hai Sin Ceng "Tapi..
sepertinya akan terjadi."
"Padri tua!" Kim
Siauw Suseng mengerutkan kening. "Engkau berfirasat apa?"
"Aku harap dalam tiga
tahun ini kalian berdua harus memperdalam kepandaian masing-masing." jawab
Lam Hai Sin Ceng.
Sam Gan Sin Kay terbelalak.
"Apakah agar kita bertiga bisa bertanding?"
"Bukan." Lam Hai Sin
Ceng menggelengkan kepala "Aku menghendaki kalian berdua memperdalam
kepandaian masing-masing, karena kemungkinan besar tiga
tahun kemudian kalian berdua
harus menghadapi Sam Mo."
"Apa?" Sam Gan Sin
Kay tampak terkejut. "Tiga tahun kemudian aku dan Kim Siauw Suseng harus
menghadapi Sam Mo?"
"Ya." Lam Hai Sin
Ceng mengangguk. "Aku berfirasat, tiga atau empat tahun lagi Sam Mo akan
menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, jadi kalian
berdua harus
menghadapinya."
"Hei! Padri
keparat!" Sam Gan Sin Kay melotot. "Kami berdua menghadapi Sam Mo,
lalu engkau cuma menonton saja ?"
"Omitohud! Aku sudah
tidak mau mencampuri urusan persilatan lagi." Lam Hai Sin Ceng menghela
nafas.
"Padri! Kenapa kami
berdua harus memperdalam kepandaian kami?" tanya Kim Siauw Suseng
mendadak.
"Karena...." Lam Hai
Sin Ceng menghela nafas lagi. "Saat itu kalian berdua jika tidak
memperdalam kepandaian kalian
masing-masing, sudah pasti bukan lawan mereka."
Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw
Suseng saling memandang, kemudian Sam Gan Sin Kay berkata. "Sudah belasan
tahun Sam Mo tiada kabar beritanya, belum
tentu mereka bisa mengalahkan
kita?"
"Karena mereka bertiga
telah berhasil mempelajari ilmu silat yang ada di dalam Kotak Pusaka itu"
ujar Lam Hai Sin Ceng.
"Kalau begitu...."
Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.
"Semua itu telah
merupakan takdir, namun kalian berdua tetap harus berusaha memperdalam
kepandaian yang kalian miliki, agar masih dapat bertahan
bahkan harus pula mencari
kesempatan untuk kabur. Kalau tidak, kalian berdua pasti akan mati di tangan
mereka."
"Padri keparat!" Sam
Gan Sin Kay tertawa gelak. "Tidak apa aku mati ditangan mereka, asal tidak
jadi seorang pengecut saja !" Sindirnya
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng tersenyum. "Aku bukannya ingin jadi pengecut, melainkan percuma
juga keberadaanku diantara kalian, sebab aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Namun
berdasarkan firasat dan ramalan di saat kalian berdua dalam bahaya, pasti akan
muncul dewa penolong."
"Muncul dewa
penolong?" Kim Siauw Suseng melongo. "Tentunya penolong itu
berkepandaian lebih tinggi dari Sam Mo!"
"Penolong itu masih mampu
melawan Sam Mo." sahut Lam Hai Sin Ceng.
"Padri keparat!" Sam
Gan Sin Kay menatapnya. "Engkau jangan ngawur! Dalam rimba persilatan
sekarang ini, kepandaian siapa yang lebih tinggi dari
kita bertiga?"
"Untuk sekarang ini
memang tidak ada, tapi kelak akan muncul seseorang yang berkepandaian lebih
tinggi dari kita." sahut Lam Hai Sin Ceng.
"Eeeh!" Tiba-tiba
Kim Siauw Suseng teringat sesuatu. "Apakah dia?"
Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut, keduanya saling menatap sambil tersenyum.
"Kalian berdua harus
mencari suatu tempat yang sepi untuk memperdalam kepandaian kalian, jangan
melalaikan itu!" pesan Lam Hai Sin Ceng, kemudian
mendadak melesat pergi.
"Padri keparat!"
seru Sam Gan Sin Kay. Namun Lam Hai Sin Ceng sudah tidak kelihatan lagi.
Pengemis sakti itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu
memandang Kim Siauw Suseng.
"Sastrawan sialan! Kita harus bagaimana?"
"Aku yakin firasat padri
tua itu tidak akan meleset, maka alangkah baiknya kita mencari tempat yang sepi
untuk memperdalam kepandaian kita."
"Sastrawan sialan!"
Sam Gan Sin Kay tertawa. "Bagaimana kalau kita ke markas pusat Kay
Pang?"
"Bukankah akan merepotkan
putramu?"
"Tidak menjadi
masalah." Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak. "Aku berani menjamin
engkau pasti akan betah di sana."
"Kalau begitu..."
Kim Siauw Suseng berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baiklah."
Bu Lim Ji Khie itu lalu melesat
pergi menuju markas Kay Pang. Selama puluhan tahun, mereka berdua bagaikan
kucing dan anjing. Kalau mereka bertemu
pasti bertanding dan saling
mencaci. Akan tetapi, kali ini mereka berdua tampak begitu akrab.
Lim Peng Hang, si Tongkat
Maut, ketua Kay Pang terbelalak menyambut kedatangan Sam Gan Sin Kay bersama
Kim Siauw Suseng. Biasanya mereka berdua
pasti saling mencaci, namun
kali ini keduanya malah muncul di markas Kay Pang sambil tertawa-tawa. Hal itu
tentunya sangat mencengangkan Lim Peng
Hang.
"Ayah, Cianpwee!"
panggil ketua Kay Pang.
"Lim Pangcu (Ketua
Lim)!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Aku datang untuk makan dan
tidur selama beberapa tahun. Apakah engkau tidak
berkeberatan?"
"Tentu tidak," sahut
Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Sebaliknya aku malah merasa senang
sekali."
"Bukankah engkau akan
bersungut-sungut dalam hati?" ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa gelak.
"Sama sekali tidak,
Cianpwee," sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.
"Bagus!" Kim Siauw
Suseng manggut-manggut.
"Silahkan duduk,
Cianpwee!" ucap Lim Peng Hang.
"Peng Hang, cepat suruh
seseorang menyediakan arak yang paling bagus!" ujar Sam Gan Sin Kay.
Lim Peng Hang segera menyuruh
seseorang untuk mengambil arak istimewa, lalu duduk dengan wajah penuh
keheranan.
"Peng Hang!" Sam Gan
Sin Kay tertawa. "Engkau merasa heran kenapa aku pulang bersama Kim Siauw
Suseng kan?"
"Ya, Ayah." Lim Peng
Hang mengangguk. "Kami berdua telah menemui Lam Hai Sin Ceng..." ujar
Sam Gan Sin Kay memberitahukan tentang itu.
Lim Peng Hang mengerutkan
kening.
"Sin Ceng itu berfirasat
bahwa Sam Mo akan muncul dalam rimba persilatan kelak?"
Kim Siauw Suseng mengangguk.
"Oleh karena itu, aku dan ayahmu harus memperdalam kepandaian
masing-masing."
"Pengemis bau, kapan kita
akan mulai memperdalam kepandaian kita?" tanya Kim Siauw Suseng serius.
"Mulai besok." sahut
Sam Gan Sin Kay. "Bagaimana?"
"Baik."Kim Siauw
Suseng mengangguk. "Besok kita harus mulai...."
Pek Ih Mo Li yang menggendong
Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.
"Yok Ong! Yok Ong!"
serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong yang masih
dalam keadaan pingsan.
Pintu gubuk itu terbuka.
Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan wajah penuh
kegusaran.
"Hei! Gadis tak tahu
diri! Kenapa engkau berteriak-teriak di depan gubukku?" bentaknya.
"Aku ingin menemui Sok
Beng Yok Ong," sahut Pek Ih Mo Li.
"Akulah Sok Beng Yok
Ong!" Orang tua itu melirik Tio Cie Hiong yang tergeletak di tanah.
"Ayoh, cepat pergi! Jangan menggangguku!"
"Yok Ong, tolonglah
dia!" Pek Ih Mo Li menunjuk Tio Cie Hiong. "Dia terkena pukulan Ngo
Tok Ciang."
"Ada urusan apa
denganku?" dengus Sok Beng Yok Ong. "Ayoh, cepat bawa dia
pergi!"
"Yok Ong, tolong obati
dia! Kalau tidak, dia akan mati," ujar Pek Ih Mo Li memohon. "Apakah
dia adikmu?"
"Bukan."
"Familimu?"
"Juga bukan."
"Kalau begitu...."
Sok Beng Yok Ong tertawa. "Kenapa kau bawa dia ke mari! Jangan-Jangan dia
kekasihmu!"
"Yok Ong!" Wajah Pek
Ih Mo Li langsung berubah dingin. "Jangan omong sembarangan!"
"He he he!" Sok Beng
Yok Ong tertawa terkekeh. "Kalau dia bukan kekasihmu, kenapa engkau mau
capek-capek membawa ke mari?"
"Aku kasihan padanya,
maka kubawa dia ke mari," sahut Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, tolonglah
dia!"
"Adik bukan, famili bukan
dan kekasih pun bukan! Sudahlahl Biar dia mati saja! Lagi pula aku pun tidak
punya waktu untuk menolongnya!" ujar Sok
Beng Yok Ong sambil
membalikkan badannya.
"Yok Ong!" bentak
Pek Ih Mo Li sambil melesat ke hadapannya. "Mau tidak menolongnya?"
"Tidak ada urusan denganku!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil tersenyum
dingin.
"Yok Ong, aku Pek Ih Mo
Li. Kalau engkau tidak mau menolongnya...." Pek Ih Mo Li mulai
menghunus pedangnya.
"Yok Ong...."
Mendadak Pek Ih Mo Li menghela nafas, kemudian menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Sok Beng Yok
Ong."Aku mohon, tolonglah dia!"
"Pek Ih Mo Li, engkau
tiada hubungan apa-apa dengannya, kenapa engkau mau berlutut di hadapanku
bermohon agar aku bersedia menolongnya?" tanya Sok
Beng Yok Ong.
"Yok Ong! Entah apa
sebabnya aku merasa sangat kasihan kepadanya, dan merasa tidak tega menyaksikan
kematiannya," sahut Pek lh Mo Li dan
melanjutkan. "Yok Ong,
tolonglah dia!"
"Baik!" Sok Beng Yok
Ong manggut-manggut. "Tapi engkau harus memenuhi satu syaratku!"
"Apa syarat itu?"
Pek Ih Mo Li yang menggendong
Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.
"Yok Ong! Yok Ong!"
serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong yang masih
dalam keadaan pingsan.
Pintu gubuk itu terbuka.
Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan wajah penuh
kegusaran.
"Hei! Gadis tak tahu
diri! Kenapa engkau berteriak-teriak di depan gubukku?" bentaknya.
"Aku ingin menemui Sok
Beng Yok Ong," sahut Pek Ih Mo Li.
"Akulah Sok Beng Yok
Ong!" Orang tua itu melirik Tio Cie Hiong yang tergeletak di tanah.
"Ayoh, cepat pergi!
Jangan menggangguku!"
"Yok Ong, tolonglah
dia!" Pek Ih Mo Li menunjuk Tio Cie Hiong. "Dia terkena pukulan Ngo
Tok Ciang."
"Ada urusan apa
denganku?" dengus Sok Beng Yok Ong. "Ayoh, cepat bawa dia
pergi!"
"Yok Ong, tolong obati
dia! Kalau tidak, dia akan mati," ujar Pek Ih Mo Li memohon. "Apakah
dia adikmu?"
"Bukan."
"Familimu?"
"Juga bukan."
"Kalau begitu...."
Sok Beng Yok Ong tertawa. "Kenapa kau bawa dia ke mari! Jangan-Jangan dia
kekasihmu!"
"Yok Ong!" Wajah Pek
Ih Mo Li langsung berubah dingin. "Jangan omong sembarangan!"
"He he he!" Sok Beng
Yok Ong tertawa terkekeh. "Kalau dia bukan kekasihmu, kenapa engkau mau
capek-capek membawa ke mari?"
"Aku kasihan padanya,
maka kubawa dia ke mari," sahut Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, tolonglah
dia!"
"Adik bukan, famili bukan
dan kekasih pun bukan! Sudahlahl Biar dia mati saja! Lagi pula aku pun tidak
punya waktu untuk menolongnya!" ujar Sok Beng Yok Ong sambil membalikkan
badannya.
"Yok Ong!" bentak
Pek Ih Mo Li sambil melesat ke hadapannya. "Mau tidak menolongnya?"
"Tidak ada urusan denganku!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil tersenyum
dingin.
"Yok Ong, aku Pek Ih Mo
Li. Kalau engkau tidak mau menolongnya...." Pek Ih Mo Li mulai
menghunus pedangnya.
"Yok Ong...."
Mendadak Pek Ih Mo Li menghela nafas, kemudian menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Sok Beng Yok
Ong."Aku mohon, tolonglah dia!"
"Pek Ih Mo Li, engkau
tiada hubungan apa-apa dengannya, kenapa engkau mau berlutut di hadapanku
bermohon agar aku bersedia menolongnya?" tanya Sok Beng Yok Ong.
"Yok Ong! Entah apa
sebabnya aku merasa sangat kasihan kepadanya, dan merasa tidak tega menyaksikan
kematiannya," sahut Pek lh Mo Li dan melanjutkan. "Yok Ong, tolonglah
dia!"
"Baik!" Sok Beng Yok
Ong manggut-manggut. "Tapi engkau harus memenuhi satu syaratku!"
"Apa syarat itu?"
"Engkau harus
membenturkan kepalamu sembilan kali, barulah aku bersedia menolong anak
itu!"
"Terima kasih, Yok
Ong!" ucap Pek Ih Mo Li, kemudian membenturkan kepalanya ke tanah sembilan
kali.
"Ha ha ha!" Sok Beng
Yok Ong tertawa gelak. "Pek Ih Mo Li, bangunlah!"
Pek Ih Mo Li bangkit berdiri.
Sok Beng Yok Ong
manggut-manggut seraya berkata. "Engkau bermohon dengan bersungguh hati,
maka aku menolong anak itu dengan bersungguh-sungguh pula."
"Terimakasih, Yok
Ong!"
"Tapi setelah sembuh, dia
harus membantuku di sini selama dua tahun. Bagaimana?"
"Aku setuju, namun entah
bagaimana dengan dia?"
"Kalau engkau setuju, dia
pun harus menurut." Sok Beng Yok Ong tersenyum. "Sebab engkau yang membawanya
ke mari, maka dia harus menurut."
"Baik! Aku setuju dia
membantu di sini dua tahun," ujar Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, terima
kasih!"
Pek Ih Mo Li melesat pergi,
Sok Beng Yok Ong termangu-mangu lalu kemudian bergumam. "Dia dipanggil Pek
Ih Mo Li, tapi hatinya malah begitu... ,Mo li apanya.???" Usai bergumam,
Sok Beng Yok Ong mendekati Tio Cie Hiong. Ia membungkukkan badannya, lalu
memeriksa nadi dan denyut jantung Tio Cie Hiong. "Eeeh? Kok bisa
begini?"
Ternyata Sok Beng Yok Ong
merasakan adanya hawa hangat melindungi jantung Tio Cie Hiong.
Oleh karena itu ia
memeriksanya lagi.
"Wuah! Sungguh luar
biasa! Ternyata dia tidak mati terkena pukulan Ngo Tok Ciang, karena jantungnya
terlindung oleh semacam Iwee kang yang mengandung hawa hangat.
Perlahan-lahan Tio Cie Hiong
membuka matanya. Ia terheran-heran karena dirinya terbaring di atas ranjang
kayu di dalam sebuah kamar. Ia segera bangun dan di saat bersamaan,
terdengarlah suara seseorang.
"Engkau sudah
sadar?"
Tio Cie Hiong memandang ke
arah pintu. Tampak seorang tua berdiri di situ sambil tersenyum.
"Paman Tua, tempat ini...
?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Cobalah engkau ingat,
apa yang telah terjadi atas dirimu!" sahut orang tua itu, yang tidak lain
Sok Beng Yok Ong.
"Aku hanya ingat. Ketika
memasuki sebuah rimba, aku bertemu dua orang tua berwajah hitam dan putih,
kemudian mereka memukulku...."
"Mereka berdua adalah Hek
Pek Siang Koay yang berhati kejam." Sok Beng Yok Ong memberitahukan.
"Dadamu terkena pukulan mereka yang mengandung racun. Engkau tidak mati
karena terlindung oleh hawa hangat yang ada di dalam tubuhmu."
"Kalau begitu, Paman Tua yang
menyelamatkan nyawaku?" tanya Tio Cie Hiong.
"Pek Ih Mo Li yang
menolongmu ke mari, dan aku yang menyelamatkan nyawamu," sahut Sok Beng
Yok Ong.
"Pek Ih Mo Li ?" Tio
Cie Hiong tercengang.
"Engkau
mengenalnya?" Sok Beng Yok Ong menatapnya.
"Tidak kenal, tapi aku
pernah bertemu dengannya di Ekspedisi Harimau Terbang," jawab Tio Cie
Hiong jujur.
"Kalian tidak punya
hubungan apa pun?"
"Tidak."
"Kalau begitu, Pek Ih Mo
Li betul-betul berhati baik." Sok Beng Yok Ong manggut-manggut.
"Terimakasih, Paman telah
menyelamatkan nyawaku." ucap Tio Cie Hiong.
"Engkau tidak perlu
berterimakasih, sebab sebelum aku mengobatimu, aku telah mengajukan sebuah
syarat kepada Pek Ih Mo Li. Dia setuju maka engkau harus menurut."
"Aku pasti menurut."
"Tidak akan
menyesal?"
"Paman Tua telah
menyelamatkan nyawaku, bagaimana aku akan menyesal karena syarat itu?
Beritahukanlah! Apa syarat itu, aku pasti menurut!"
"Engkau harus membantuku
di sini selama dua tahun, setelah itu, barulah engkau bebas."
Tio Cie Hiong mengangguk.
"Terimakasih, Paman Tua!"
"Ha ha-Ha" Sok Beng
Yok Ong tertawa gelak.
Sejak itu Tio Cie Hiong
membantu Sok Beng Yok Ong meramu berbagai macam obat. Namun ada satu hal yang
tidak dimengerti Tio Cie Hiong. Kadang-kadang ada orang minta pertolongan
pada Sok Beng Yok Ong, namun
dengan alasan tertentu Sok Beng Yok Ong menyuruh mereka harus mengutungkan
sebelah lengan atau sebelah kaki mereka. Hal itu sungguh membuat Tio Cie Hiong
tidak habis pikir. Kebetulan malam ini mereka berdua duduk beristirahat di
depan rumah.
"Paman Tua, ada satu hal
membuat aku tidak habis pikir," ujar Tio Cie Hiong.
"Mengenai hal apa?"
tanya Sok Beng Yok Ong sambil menatapnya.
"Kenapa kadang-kadang
Paman Tua menyuruh mereka mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki
mereka?" sahut Tio Cie Hiong. "Alasan Paman Tua kalau mereka tidak
mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka, nyawa mereka tidak dapat
tertolong. Padahal itu hanya merupakan alasan yang dibuat-buat...."
"Benar." Sok Beng
Yok Ong mengangguk sambil tersenyum.
"Paman Tua, kenapa harus
begitu?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Cie Hiong! Tentunya
engkau tahu, mereka adalah para penjahat yang berhati kejam. Aku menyuruh
mereka mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka, agar selanjutnya
mereka tidak bisa membunuh atau mencelakai orang lagi. Nah, engkau
mengerti?"
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Namun seharusnya tidak perlu begitu, cukup memberi mereka nasehat
saja."
"Memberi mereka
nasehat?" Sok Beng Yok Ong tertawa gelak. "Engkau masih ingat kan?
Hek Pek Siang Koay pernah memukulmu. Kalau tidak muncul Pek Ih Mo Li yang
kemudian membawamu ke mari, apakah engkau masih bisa hidup?"
Tio Cie Hiong terdiam. Sok
Beng Yok Ong menatapnya, dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Ohya.
Cie Hiong! Kenapa engkau ingin
mencari Ku Tok Lojin?" tanya Sok Beng Yok Ong heran.
"Ingin bertanya kepadanya
tentang kedua orang tuaku," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Sebab dia tahu siapa kedua orang tuaku."
"Jadi...." Sok Beng
Yok Ong menatapnya dalam-dalam. "Kini engkau masih belum tahu siapa
kedua orang tuamu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk dengan wajah murung.
"Cie Hiong!" ujar
Sok Beng Yok Ong. "Aku yakin, kedua orang tuamu pasti orang rimba
persilatan, sebab Ku Tok Lojin termasuk orang rimba persilatan yang cukup
terkenal."
"Paman Tua kenal Ku Tok
Lojin?" tanya Tio Cie Hiong girang.
"Tiga puluh tahun lalu,
dia pernah ke mari minta semacam obat kepadaku. Tapi setelah itu, dia tidak
pernah datang lagi." Sok Beng Yok Ong memberitahukan.
'Paman Tua tidak tahu dia
berada di mana?"
"Pada waktu itu, dia
pernah bilang tinggal di Gunung Heng San, Lembah Kesepian."
"Aku sudah ke sana, namun
dia telah meninggalkan lembah itu."
"Ku Tok Lojin...."
Ucapan Sok Beng Yok Ong terputus, karena mendadak tampak sosok
bayangan berlari
terhuyung-huyung ke tempat mereka, kemudian terkulai.
"Yok Ong! Tolong..."
ujar orang itu lemah. Tio Cie Hiong segera mendekatinya. Ternyata seorang
lelaki berusia empat puluhan, bahunya berlumuran darah. Setelah itu Tio Cie
Hiong cepat-cepat berlari ke dalam gubuk untuk mengambil obat.
Akan tetapi, mendadak muncul
tiga orang berwajah seram. Maka Tio Cie Hiong berhenti. Ketiga orang itu
tertawa seram dan membentak.
"Yok Ong! Kami Oey San
Sam Hiong (Tiga Orang Ganas Gunung Oey San)! Engkau dan anak itu jangan
coba-coba menolong orang ini!"
Tio Cie Hiong mengerutkan
kening. Sok Beng Yok Ong cepat-cepat menariknya untuk diajak menyingkir.
Sedangkan Oey San Sam Hiong
menghampiri lelaki yang terluka itu. Mereka bertiga tertawa seram, lalu
membacok lelaki itu.
"Paman Tua!" bisik
Tio Cie Hiong. "Kita harus menolong lelaki itu."
"Diam!" sahut Sok
Beng Yok Ong sambil memegang tangan Tio Cie Hiong erat-erat. Orang tua itu
khawatir Tio Cie Hiong akan mendekati Oey San Sam Hiong
"Ha ha ha!" ketiga
orang itu tertawa, kemudian melesat pergi.
"Aaaakh.. " Sok Beng
Yok Ong menghela nafas panjarg
Tio Cie Hiong segera berlari
mendekati lelaki yang terbacok tidak karuan itu. Ternyata lelaki itu telah
mati. Tio Cie Hiong memandang mayat lelaki itu dengan mata terbelalak. Sungguh
mengenaskan kematian lelaki itu.
Berselang sesaat, barulah Tio
Cie Hiong mengubur mayat itu di bawah sebuah pohon. Sementara Sok Beng Yok Ong
hanya berdiri mematung, lalu duduk sambil menatap Tio Cie Hiong yang sedang
mengubur mayat lelaki itu.
Seusai mengubur mayat lelaki
itu, Tio Cie Hiong menghampiri Sok Beng Yok Ong, lalu duduk di hadapannya.
"Kenapa Paman Tua tidak
mau menolong lelaki itu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Kalau Oey San Sam Hiong
tidak muncul, aku pasti menolongnya," sahut Sok Beng Yok Ong.
"Ketika mereka membacok
laki-laki itu, kenapa Paman Tua diam saja?" Tio Cie Hiong menatapnya.
"Aku harus bagaimana
kalau tidak diam?"
"Seharusnya Paman Tua
berusaha menolongnya.
"Cie Hiong!" Sok
Beng Yok Ong menggelenggelengkan kepala. "Oey San Sam Hiong memiliki ilmu
silat tinggi, bagaimana mungkin aku dapat menolong lelaki yang bernasib malang
itu? Kalau kita berusaha menolongnya, sama juga kita cari mati, sebab Oey San
Sam Hiong berhati kejam sekali."
"Paman Tua...." Tio
Cie Hiong mengerutkan kening. "Kita hanya menyaksikan kematian lelaki itu,
tanpa memberi sedikit
pertolongan".
"Cie Hiong!" Sok
Beng Yok Ong tersenyum getir. "Sejak kecil aku belajar tentang
obat-obatan, tujuanku ingin menolong orang. Tapi aku justru telah salah."
"Kenapa?" Tio Cie
Hiong heran.
"Karena aku tidak belajar
ilmu silat," sahut Sok Beng Yok Ong. "Kalau aku belajar ilmu silat,
bukankah tadi aku bisa menolongnya?"
Tio Cie Hiong diam. Sok Beng
Yok Ong menatapnya, kemudian berkata sungguh-sungguh. "Oleh karena itu,
engkau harus belajar ilmu silat."
"Paman Tua, aku semakin
ngeri menyaksikan kaum persilatan. Mereka terus-menerus saling membunuh, maka
membuatku semakin tidak mau belajar ilmu silat."
"Cie Hiong...." Sok
Beng Yok Ong menggeleng-gelengkan kepala lalu menarik nafas panjang.
"Aaakh...!"
Sudah dua tahun Tio Cie Hiong
membantu Sok Beng Yok Ong. Kini usianya sudah tujuh belas tahun dan makin
tampan pula. Selama dua tahun itu, Sok Beng Yok Ong sangat menyayanginya, dan
sekaligus mengajarnya tentang obat-obatan.
"Cie Hiong!" panggil
Sok Beng Yok Ong.
"Ya, Paman Tua,"
sahut Tio Cie Hiong sambil menghampirinya.
"Cie Hiong!" Sok
Beng Yok Ong menatapnya sambil tersenyum lembut. "Duduklah!"
Tio Cie Hiong duduk di hadapan
Sok Beng Yok Ong. Ia merasa heran, kenapa hari ini Sok Beng Yok Ong tampak
begitu serius.
"Sudah dua tahun engkau
membantuku di sini. Kenapa dua tahun lalu aku menghendakimu membantuku?"
ujar Sok Beng Yok Ong.
"Itu merupakan syarat
Paman Tua," jawab Tio Cie Hiong. "Karena Paman Tua telah
menyelamatkan jiwaku."
"Sebetulnya itu bukan
merupakan syarat." Sok Beng Yok Ong tersenyum. "Aku memang sengaja
menahanmu di sini dua tahun."
"Apa sebabnya?" Tio
Cie Hiong heran. "Aku menghendakimu mengerti obat-obatan. Kini tentunya
engkau telah menguasai semuanya. Aku ingin sekali punya penerus" jawab Sok
Beng Yok Ong memberitahukan. "Jadi engkau pun bisa menolong orang seperti
aku."
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Terimakasih atas bimbingan Paman Tua selama ini!"
"Aku tahu, engkau telah
memiliki semacam Iweekang menyehatkan tubuh. Akan tetapi, itu masih belum
cukup," ucap Sok Beng Yok Ong.
"Maksud Paman Tua?"
Tio Cie Hiong kebingungan.
"Sebab Iweekangmu masih
belum membuat tubuhmu kebal terhadap segala macam racun. Karena itu, engkau
harus makan buah Ling Che, agar tubuhmu kebal terhadap segala macam
racun."
"Buah Ling Che?" Tio
Cie Hiong melongo.
"Ya." Sok Beng Yok
Ong mengangguk lalu menjelaskan. Buah itu buah langka, setiap lima ratus tahun
berbuah sekali. Pohon Ling Che hanya berdaun sembilan, maka disebut Kiu Yap
Ling Che (Ling Che Berdaun Sembilan). Setelah engkau makan buah itu, tubuhmu
pasti kebal terhadap racun apa pun."
"Buah itu berada di
mana?" tanya Tio Cie Hiong tertarik.
"Di puncak Gunung Thian
San." Sok Beng Yok Ong memberitahukan. "Karena di dalam tubuhmu
mengalir semacam hawa hangat, maka engkau tidak perlu begitu khawatir terhadap
hawa dingin di puncak gunung itu."
"Tapi... untuk apa
tubuhku harus kebal terhadap racun?" tanya Tio Cie Hiong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kini engkau sudah
mengerti tentang obat-obatan, tentunya engkau harus menolong orang, maka tubuhmu
sendiri harus sehat," sahut Sok Beng Yok Ong. "Jadi engkau harus
makan buah itu".
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Cie Hiong!" Sok
Beng Yok Ong menatapnya. "Setelah engkau berhasil makan buah itu, aku
harap engkau mau datang nengokku."
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Cie Hiong!" Sok
Beng Yok Ong menatapnya lembut. "Engkau boleh berangkat esok pagi, aku
akan menyiapkan bekalmu. Untuk mempersingkat waktu, engkau harus membeli seekor
kuda."
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk lagi.
Tampak seekor kuda berlari
kencang menuju gunung Thian San. Penunggangnya adalah seorang pemuda yang amat
tampan. Siapa pemuda itu? Dialah Tio Cie Hiong. Sungguh dingin hawa tempat itu.
Dia menengok ke sana ke mari, kemudian melompat tubuhnya dari kudanya.
"Kuda yang baik!"
Tio Cie Hiong membelai kudanya. "Sepuluh hari lebih engkau mengikutiku,
dan kini saatnya engkau bebas. Terserah engkau mau ke mana."
Kuda itu meringkik, lalu
berlari pergi. Tio Cie Hiong tersenyum, lalu mulailah mendaki Gunung Thian San
dengan berjalan kaki. Ia mendaki dengan hati-hati sekali, sebab harus melalui
salju beku
dan batu-batu curam sangat
berbahaya. Hawa pun semakin dingin, namun ia tidak kedinginan karena hawa
hangat di dalam tubuhnya.
Ketika ia hampir mencapai
puncak, tampak sosok bayangan berjalan terpincang-pincang di hadapannya. Tio
Cie Hiong tercengang, kemudian mempercepat langkahnya mendekati sosok bayangan
itu. Setelah agak dekat, barulah ia melihat jelas bahwa sosok bayangan itu
ternyata seekor monyet berbulu putih.
Ketika Tio Cie Hiong sudah
dekat dengannya, monyet itu berhenti lalu membalikkan badannya dan menatap Tio
Cie Hiong.
Tio Cie Hiong tidak tahu,
bahwa monyet itu adalah monyet salju yang langka, yang berusia tiga ratusan
tahun.
"Kauw heng (Saudara
Monyet)!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku melihat engkau berjalan
terpincang-pincang, pasti kakimu terluka. Aku mengerti tentang pengobatan,
bolehkah aku memeriksa kakimu?"
Monyet itu diam, namun tetap
menatap Tio Cie Hiong dengan tajam. Tio Cie Hiong tersenyum lagi, lalu maju dua
langkah.
Akan tetapi, mendadak monyet
itu bergerak, tampak tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap telah menghilang
dari hadapan Tio Cie Hiong. Betapa terkejutnya pemuda itu, sebab gerakan monyet
putih tersebut laksana kilat.
Tio Cie Hiong
menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba ia mendengar suara cuit-cuitan di
belakangnya. Ia segera menoleh, ternyata monyet putih itu telah berdiri di
situ.
"Kauw heng, gerakanmu
sungguh cepat, membuatku kagum," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.
"Tapi aku melihat engkau tadi ber jalan terpincang-pincang. Apakah kakimu
terluka?"
Monyet putih menatap Tio Cie
Hiong dengan mata tak berkedip, kemudian manggut-manggut seakan mengerti apa
yang ditanyakan pemuda itu.
"Kauw heng!" Tio Cie
Hiong girang bukan main, sebab kelihatannya monyet itu mengerti bahasa manusia.
"Engkau mengerti apa yang kukatakan?"
Monyet putih manggut-manggut
lagi, bahkan bercuit-cuitan.
Tio Cie Hiong tersenyum, dan
perlahan-lahan ia mendekatinya. Monyet putih diam saja. Tio Cie Hiong
membungkukkan badannya seraya berkata. "Kauw heng! Mana kakimu yang
terluka?"
Monyet putih segera mengangkat
kaki kanannya. Tio Cie Hiong memperhatikannya. Ternyata telapak kaki monyet itu
membengkak memar dan kehitam-hitaman.
Tio Cie Hiong memeriksanya
dengan teliti sekali. Berselang beberapa saat, ia manggut-manggut.
"Kauw heng, telapak
kakimu tertusuk semacam duri beracun." ujar Tio Cie Hiong. "Engkau
kuat sekali dan punya daya tahan tubuh yang luar biasa, tidak mati meskipun
tubuhmu terkena racun.
Monyet putih itu bercuit-cuit
seakan mengatakan sesuatu, namun Tio Cie Hiong sama sekali tidak mengerti.
"Engkau tidak usah
cemas!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku bisa mengobati kakimu. Tapi
engkau harus tahan sakit sebentar, sebab aku harus membedah sedikit telapak
kakimu, agar darah yang mengandung racun mengalir ke luar."
Monyet putih menatap Tio Cie
Hiong, kemudian manggut-manggut. Tio Cie Hiong sungguh tak habis pikir, sebab
monyet itu tinggal di puncak Gunung Thian San yang tidak terdapat seorang
manusia pun, namun monyet itu kok bisa mengerti bahasa manusia?
"Kauw heng, engkau harus
duduk!" ujar Tio Cie Hiong.
Setelah monyet putih duduk,
Tio Cie Hiong mengeluarkan sebilah belati perak, lalu membedah sedikit telapak
kaki monyet itu. Seketika juga dari telapak kaki monyet itu mengalir ke luar
darah hitam.
Tio Cie Hiong memijit-mijit
telapak kaki monyet putih, agar darah hitam itu terus mengalir. Berselang
sesaat, darah hitam itu telah berubah merah, barulah Tio Cie Hiong berhenti
memijit telapak kaki monyet itu.