Hartawan Lie tidak percaya Tio
Cie Hiong dapat mengobati isterinya. Para tabib yang terkenal pun sudah angkat
tangan, apa lagi Tio Cie Hiong yang masih begitu muda. Maka tidak heran
hartawan Lie agak ragu, tapi juga berharap pemuda itu dapat menyembuhkan
penyakit isterinya.
Ketika hari mulai gelap,
barulah mereka memasuki kota Pie Hong, langsung menuju ke rumah hartawan Lie.
Bukan main besar, indah dan
mewahnya rumah hartawan itu. Halaman yang luas dihiasi sebuah taman bunga,
kolam ikan dan lain sebagainya. Hartawan Lie mengajak Tio Cie Hiong turun.
Terpesona juga pemuda itu
ketika menyaksikan keindahan halaman tersebut.
"Mari kita ke dalam"
ajak hartawan Lie.
"Terima kasih" ucap
Tio Cie Hiong.
Hartawan Lie berjalan di
depan, Tio Cie Hiong mengikutinya dari belakang. Para pelayan memandang Tio Cie
Hiong dengan mata terbelalaki karena merasa heran majikan mereka pulang bersama
seorang pemuda yang begitu tampan.
"Tuan Besar Tuan
besar..." seru seorang pelayan wanita sambil menghampiri hartawan Lie
dengan wajah pucat pias.
"Nyonya besar...."
"Nyonya besar
kenapa?" tanya hartawan Lie cemas.
"Hari ini pingsan
beberapa kali, tadi— tadi terus menggigil kedinginan." teriak wanita itu
memberitahukan.
"Nona terus-menerus
menangis—"
"Cie Hiong Mari ikut aku
ke kamar" ajak hartawan Lie- harapannya ditumpahkan pada pemuda itu.
Tio Cie Hiong mengangguk-
Hartawan Lie bergegas-gegas menuju kekamar dengan hati tercekam.
Beberapa pelayan berdiri di
sisi tempat tidur. Tampak seorang gadis menangis sambil memegang tangan seorang
wanita tua yang berbaring di tempat tidur itu. gadis itu cantik sekali, tapi
wajahnya pucat pias-
"Ayah,""
berunya ketika melihat hartawan Lie. Namun kemudian ia tertegun melihat seorang
pemuda mengikuti ayahnya ke dalam.
Tio Cie Hiong tidak
memperhatikan gadis itu, sebab matanya tertuju pada wanita tua yang terbaring
di tempat tidur- Walau diselimuti, tapi tubuh wanita tua itu masih menggigil.
"isteriku, ba— bagaimana
keadaanmu?" tanya hartawan Lie dengan suara bergemetar. "sua—
suamiku...." Wanita tua itu memandangnya dengan mata redup,
"Cie Hiong, tolonglah
isteriku" ujar hartawan Lie dan nyaris berlutut di hadapannya.
"Tenang, Paman" Tio
Cie Hiong segera mendekati tempat tidur itu, sekaligus memegang nadi yang di tangan
wanita tua. seketika juga kening Tio cie Hiong berkerut. Kemudian ce-pat-cepat
ia mengerahkan Pan yok Hian Thian sin Kang.
Berselang beberapa saat
kemudian, wanita tua itu sudah tidak menggigil, bahkan wajahnya pun tidak
begitu pucat lagi.
Hartawan Lie menarik nafas
lega- la juga merasa heran karena Tio cie Hiong hanya memegang nadi isterinya,
tapi membuat isterinya tidak menggigil lagi-
gadis yang berdiri di sisi
hartawan Lie memandang Tio Cie Hiong dengan mata terbelalak. Diam-diam ia tertarik
sekali padanya-
Tio cie Hiong melepaskan
tangannya, kemudian tersenyum sambil berkata kepada hartawan Lie-"Untung
kita cepat sampai, kalau terlambat satu jam saja bibi pasti tidak
tertolong."
"oh?" Hartawan Lie
terperanjat-
"Syukurlah kita tidak
terlambat—."
"Paman" Tio Cie
Hiong memberitahukan secara jujur.
"Kalau aku tidak memiliki
semacam Iwekang, mungkin juga bibi tidak akan tertolong." "oh?"
Hartawan Lie memandangnya dengan kagum sekali-"Apa hubungan penyakit isteriku
dengan Iweekang mu?"
"Sebab bibi boleh
dikatakan sudah sekarat, maka aku harus mengerahkan Iweekang ku untuk
melindungi jantungnya, agar tidak berhenti mendadak-" Tio Cie Hiong
menjelaskan sambil tersenyum-
"Terima kasih, Cie
Hiong" ucap hartawan Lie-
"Kalau tidak bertemu
engkau, nyawaku dan nyawa isteriku pasti tak tertolong."
"Paman" Tio cie
Hiong tersenyum lagi.
"Ber-Terima kasihlah pada
Thian"
"cie Hiong" ujar
hartawan Lie sungguh-sung-guh-
"Aku pasti mengeluarkan
seperempat ke-kayaanku untuk menolong fakir miskin-"
"Paman berbuat amal, itu
pasti ada pahalanya," ujar Tio Cie Hiong. Kemudian ia mengambil sebutir
pil, lalu diberikan kepada hartawan Lie seraya berkata.
"Tolong berikan kepada
bibi"
Hartawan Lie menerima pil itu,
sekaligus menyuruh salah seorang pelayan wanita untuk mengambil secangkir air
minum, setelah itu, barulah ia berikan pil tersebut kepada isterinya.
Tak seberapa lama setelah
makan obat itu, nyonya Lie sudah bisa bangun duduk-"isteriku" panggil
hartawan Lie girang.
"Suamiku" sahut
Nyonya Lie dan wajahnya tampak agak cerah-"siapa pemuda itu?"
"Dia bernama Tio Cie
Hiong. Dia telah menyelamatkan hidup kita berdua," ujar hartawan Lie dan
menutur tentang kejadiannya di tengah perjalanan. "oh?" nyonya Lie
terbelalak. "Nak, terima-kasih"
"Bibi" Tio Cie Hiong
tersenyum.
"Jangan berTerima kasih
kepadaku, berterima kasih la h kepada Thian"
Nyonya Lie manggut-manggut.
gadis yang berdiri diam itu semakin tertarik pada Tio Cie Hiong, bahkan boleh
dikatakan telah jatuh hati padanya. "Ayah Ibu, sui sien mau ke
kamar." ujar gadis itu.
Hartawan Lie dan isterinya
mengangguk- gadis itu lalu melangkah pergi, tapi masih sempat melirik ke arah
Tio Cie Hiong- Akan tetapi, pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya-
"Paman Aku harus membuka
resep untuk bibi" Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Baik" Hartawan Lie
mengangguk dan segera menyuruh seorang pelayan menyiapkan kertas, tinta hitam
dan pit (Potlot Cina kuno).
Tio cie Hiong segera membuka
sebuah resep, kemudian diberikan kepada hartawan Lie-"Kalau toko obat
masih buka, beli saja obat sekarang" ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.
cukup tiga bungkus saja- obat
itu untuk tiga hari, tiga hari kemudian, bibi pasti sudah pulih seperti
sediakala."
"ya." Hartawan Lie
mengangguki Ketika melihat tulisan Tio Cie Hiong, ia terbelalak karena tulisan
itu sungguh indah-
"cie Hiong, tulisanmu
indah sekali"
"sejak kecil aku sudah
belajar menulis-" Tio Cie Hiong memberitahukan sambil tersenyum-
"oh?" Hartawan Lie
menatapnya dengan mata tak berkedip- Tio Cie Hiong masih begitu muda, namun
sudah memahami ilmu pengobatan dan lain sebagainya, sehingga membuat hartawan
Lie tidak habis pikir-
"cie Hiong, tentunya
engkau sudah lapar- Bagaimana kalau kita makan dulu?"
"Terima kasih,
Paman" Tio Cie Hiong mengangguk-
"Aku memang sudah
lapar."
"Kalau begitu...."
Hartawan Lie tersenyum karena Tio Cie Hiong tidak berpura-pura sungkan.
"Mari kita makan"
-ooo00000ooo-
Pada pagi yang cerahi tampak
putri hartawan Lie dan pelayan pribadinya sedang berjalan-jalan di halaman
samping, pelayan yang bernama siauw Cing itu terus-menerus memandang gadis itu.
"Nona Kenapa dari tadi
Nona berjalan mondar-mandir saja?" tanya siauw Cing.
"Siauw Cing,
aku...." Lie sui sien menundukkan kepala-
"oooh" siauw Cing
tertawa kecil-
"Aku tahu kenapa Nona
terus-menerus berjalan mondar- mandir. "
"Engkau tahu apa?"
tanya Lie sui sien.
"gara-gara itu tuh"
siauw Cing tersenyum, kelihatannya ia memang sengaja menggoda gadis itu-
"gara-gara apa? Ayohi
beritahukan"
"Pemuda yang tampan
itu," sahut siauw Cing.
"Aku tahu. Nona sudah
jatuh hati padanya-"
"siauw Cing" Lie sui
sien dengan wajah kemerah-kemerah-"Jangan omong sembarangan"
"Nona" siauw Cing tampak serius.
"Pemuda itu memang
tampan, mahir ilmu pengobatan dan ilmu silatnya pun sangat tinggi. Aku
mendengar dari seorang piauwsu, pemuda itu telah merobohkan belasan perampok,
sehingga nyawa para piauwsu dan nyawa tuan besar tertolong, setelah itu, dia
pun menyembuhkan penyakit nyonya besar-"
"Aku sudah tahu
itu," ujar Lie sui Sien.
"Wajar Nona jatuh hati
kepadanya, sebab dia-—"
"Siauw Cing jangan banyak
omong" wajah Lie sui sien memerah lagi-"ohya, siauw Cing Ambilkan aku
kertas dan peralatan, aku mau melukis"
"ya."siauw Cing
segera pergi mengambil apa yang dipesankan Lie sui sien. Tak lama, ia sudah
kembali dengan membawa segulung kertas putih dan peralatan melukis-
Setelah Siauw Cing menaruh
kertas itu di atas meja batu, mulailah Lie Sui sien melukis pemandangan gunung,
namun sebelum usai, gadis itu sudah berhenti melukis, kemudian duduk melamun.
"Eh?" siauw Cing
heran.
"Nona kenapa?"
"Tidak apa-apa,"
sahut Lie sui sien sambil menghela nafas.
"Aku tahu...." siauw
Cing yang cerewet itu manggut-manggut.
"Nona pasti sedang
memikirkan pemuda tampan itu."
"siauw Cing" wajah
Lie sui sien memerahi sebab perkataan siauw Cing memang jitu. "Mau tidak
sih engkau diam"
"Nona, pemuda
itu...." siauw Cing masih nyerocos.
"siauw Cing &ngkau
kok masih belum mau diam sih?" Lie sui sien mengerutkan kening.
"Maaf, Nona" ucap siauw Cing sambil menundukkan kepala, "siauw
Cing" Lie sui sien memandangnya,
"ya. Nona," siauw
Cing mendongakkan kepalanya.
"Tolong ambilkan
kecapi"
siauw cing mengangguk dan
seaera pergi mengambil alat musik tersebut. Berselang beberapa saat, ia sudah
kembali dengan membawa kecapi sekaligus ditaruh di hadapan Lie sui sien.
Tak seberapa lama kemudian,
terdengarlah suara kecapi yang sangat merdu menyedapkan pendengaran.
siauw Cing berdiri di sisinya.
Mendadak ia terbelalaki karena mendengar suara suling yang merdu mengiringi
suara kecapi. Tak lama muncullah seorang pemuda sambil meniup suling. Pemuda
itu adalah Tio Cie Hiong.
Ketika ia sedang menghirup
udara segar di halaman samping, mendadak ia mendengar suara kecapi. Karena
tertarik, maka ia mengeluarkan suling kumalanya lalu ditiupnya sambil berjalan
ke arah suara kecapi.
Terjadilah perpaduan suara
yang sangat merdu dan serasi, siauw Cing mendengarkan dengan mulut ternganga
lebar.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah suara kecapi dan suling itu berhenti- Tio Cie Hiong mendekati
Lie sui sien, lalu menjura seraya berkata dengan sopan.
"Maaf Aku telah berlaku
lancang mengganggu Nona"
"Ti... tidak apa-apa,"
sahut Lie sui sien sambil menundukkan kepala.
"Tuan sungguh pandai
meniup suling, aku kagum sekali."
"Nona pun mahir sekali
memainkan kecapi. Karena tertarik, maka aku lalu meniup sulingku untuk
mengiringi suara kecapi Nona," ujar Tio cie Hiong sambil tersenyum.
"ohya Aku mengucapkan
terima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menyelamatkan nyawa kedua orang
tuaku," ucap Lie sui Sien mendadak.
"Nona tidak usah
mengucapkan Terima kasih kepadaku, berterima kasihlah pada...."
"Thian" sambung Lie
sui sien dengan cepat.
"ya, kan?"
"Betul." Tio cie
Hiong tersenyum lagi.
"Bagaimana sih?"
sela siauw Cing mendadak sarnbh memandang mereka. Yang satu memanggil Nona,
Yang satu memanggil "Tuan". Lebih baik saling memanggil nama
saja"
"Eh? Siauw Cing, engkau
kok banyak omong?" tegur Lie Sui sien dengan wajah kemerah-me-rahan, namun
bergirang dalam hati.
"Apa yang dikatakannya
memang benar" ujar Tio Cie Hiong.
"Nona, namaku Tio Cie
Hiong."
"Aku sudah tahu."
Lie sui sien tersenyum manis.
"Namaku... Lie sui sien,
panggil saja namaku"
"ohya, berapa
usiamu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak-
"Tujuh belas," sahut
Lie sui sien sambil menundukkan wajahnya dalam- dalam. "Usiaku sudah
hampir delapan belas-" Tio Cie Hiong memberitahukan. "Bagaimana kalau
aku memanggilmu Adik sien?"
Kalau engkau memanggilku Adik
sien, aku pun harus memanggilmu Kakak Hiong, bukan?" "Ya." Tio
Cie Hiong mengangguk.
Kakak Hiong" panggil Lie
sui sien dengan suara rendah-
"Maukah engkau meniup
suling lagi?"
"Baiklah" Tio Cie
Hiong mengangguk dan mulai meniup suling kumalanya-
Lie sui sien dan siauw Cing
mendengar dengan mulut ternganga, karena suara suling itu sangat menggetarkan
kalbu. Kemudian jari tangan Lie sui sien pun mulai bergerak memetik tali senar
kecapinya, sehingga terdengarlah suara kecapi mengiringi suara suling.
Tanpa mereka tahu, hartawan
Lie dan isterinya berdiri dekat pintu samping, sambil memandang mereka dengan
wajah berseri-seri, lalu saling memandang dan manggut-manggut.
Berselang beberapa saat,
barulah Tio Cie Hiong berhenti meniup suling, dan suara kecapi itu pun ikut
berhenti.
"Wah Luar biasa
sekali" seru Siauw Cing sambil bertepuk-tepuk tangan,
"itu merupakan perpaduan
suara yang amat cocok dan serasi Begitu pula...."
"Siauw Cing" Wajah
Lie Sui Sien langsung memerah. Jangan omong stmharangan Tahu sopan dikit"
"Hi hi" Siauw Cing
tertawa geli.
"Eeh?" Tio Cie Hiong
memandang ke arah lukisan yang belum selesai itu.
"Adik Sien, engkau bisa
melukis juga?"
"Ya." Lie Sui Sien
mengangguk.
"Kenapa tidak
diselesaikan?" tanya Tio Cie Hiong heran. "Karena mendadak aku ingin
main kecapi," sahut Lie Sui Sien. "Maka aku tidak menyelesaikan lukisan
itu"
"oooh" Tio Cie Hiong
manggut-manggut, lalu mendekati lukisan yang di atas meja batu itu.
Karena tertarik, mencoba
melukis menyelesaikan lukisan tersebut.
Lie Sui Sien dan Siauw Cing
terbelalak menyaksikannya. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka kalau Tio
Cie Hiong mahir seni lukis. Mendadak mulut mereka berdua ternganga lebar,
karena Tio Cie Hiong menambahkan beberapa bait syair di sisi kanan lukisan itu.
Bukan main indahnya tulisan Tio Cie Hiong, dan bunyi syair itupun sangat
mengesankan.
Ha a a h—?" Mulut siauw
Cing ternganga semakin lebar.
Kakak Hiong..." seru Lie
sui Sien dengan penuh kekaguman. "Engkau mahir seni lukis dan sastra Itu
sungguh di luar dugaan" "Adik Sien" Tio Cie Hiong
memberitahukan.
"sejak kecil aku belajar
membaca, menulis, melukis, meniup suling dan ilmu sastra."
"oh?" Lie sui Sien
kagum bukan main.
"Wah" seru siauw
Cing yang cerewet itu.
Itu sih bukan Bun-Bu Coan Cat
(Mahir Ilmu sastra dan ilmu silat) lagi, sebab Tuan muda juga mahir ilmu
pengobatan, seni lukis dan seni musik. Wah sungguh luar biasa"
"Kenapa engkau wah-wahan
dari tadi?" tanya Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Karena kagum. Tuan
muda," sahut siauw Cing dan menambahkan. "Nonapun pasti kagum sekali
pada Tuan muda."
"siauw cing...." Lie
sui sien segera menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Pada saat bersamaan, muncul
seorang pelayan wanita menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum.
"Nona Tuan muda"
Lapor pelayan wanita itu.
"Tuan besar dan nyonya
besar sudah menunggu di ruang makan."
Kakak Hiong, mari kita makan
dulu" ajak Lie sui sien. Tio Cie Hiong mengangguk. Mereka lalu berjalan ke
dalam menuju ruang makan. Wajah
gadis itu terus berseri-seri-
Tiga hari kemudian, nyonya Lie
sudah sembuh dari sakitnya, karena itu Tio cie Hiong memohon pamit kepada
hartawan Lie, namun hartawan Lie terus menahannya.
"cie Hiong jangan
buru-buru pergi, tinggal di sini lagi beberapa hari"
"Paman.,.."
"Berilah sedikit muka
pada paman" Karena hartawan Lie terus mendesak, akhirnya Tio Cie Hiong
terpaksa mengabulkannya. Betapa gembiranya hartawan Lie dan isterinya, terutama
Lie sui Sien yang cantik jelita itu.
"Paman", para
piauwsu yang terluka itu sudah sembuh?" tanya Tio Cie Hiong
mendadak-"Mereka sudah sembuh semua" sahut hartawan Lie sambil
tersenyum-
Kepala piauwsu sudah ke mari,
maksudnya ingin mengucapkan terima-kasih padamu- Tapi kubilang, berterima kasih
lah kepada Thian."
"Benar, Paman""
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Bagaimana tingkah laku
kepala piauwsu beserta anak buahnya?"
"Kepala piauwsu itu
sangat baik terhadap para penduduk di sini, jadi mereka pun boleh dikatakan
sebagai keamanan kota ini." Hartawan Lie memberitahukan.
" Kalau begitu..."
ujar Tio Cie Hiong setelah berpikir sejenak-
"T0long Paman undang
kepala piauwsu itu ke mari, aku ingin berbincang-bincang dengannya-"
"Baik" Hartawan Lie
langsung menyuruh seorang pelayan lelaki untuk pergi mengundang kepala piauwsu
itu tanpa bertanya apa pun.
"Nak" Nyonya Lie
menatapnya heran.
"Engkau ingin
berbincang-bincang apa dengan piauwsu itu?"
"isteriku" sahut
hartawan Lie.
"Jangan banyak bertanya,
sudah pasti cie Hiong mempunyai maksud tertentu"
"Benar Bibi" sambung
Tio Cie Hiong.
"Karena para anak buah
tidak dapat melawan para perampok tempo hari, maka... aku ingin mengetahui
bagaimana kepandaian kepala piauwsu itu."
"ooh" Nyonya Lie
manggut-manggut.
Berselang beberapa saat
kemudian, pelayan lelaki itu telah muncul bersama seorang lelaki gagah berusia
empat puluhan.
"Tuan memanggilku ke
mari, apakah ada sesuatu yang penting?" tanya kepala piauwsu sambit
menjura memberi hormat.
"Ini...." Hartawan
Lie memandang ke arah Tio Cie Hiong.
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong.
"Sesungguhnya aku yang
mengundang cong piauwtau (Kepala Piauwsu) ke mari."
"oh?" Kepala piauwsu
itu menatap Tio Cie Hiong. Kalau bukan para anak buah yang telah menutur
tentang kejadian tempo hari itu, tentunya ia tidak akan percaya bahwa Tio Cie
Hiong yang masih muda itu mampu merobohkan belasan perampok-
"Apakah saudara adalah
Tio siauw hiap?"
"Cong Piauwtau" Tio
Cie Hiong tersenyum.
"Jangan memanggilku siauw
hiap, namaku Cie Hiong, panggil saja namaku"
"Itu mana boleh"
Kepala piauwsu itu tertawa.
"Lebih baik aku
memanggilmu saudara Tio saja."
"Tidak apa-apa." Tio
Cie Hiong menatapnya.
"Cong piauwtou berasal
dari perguruan mana?"
"Kun Lun." Kepala
piauwsu memberitahukan dan bertanya.
"sauara Tio menyuruhku ke
mari, sebetulnya ada urusan apa?"
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong.
"Aku ingin melihat ilmu
silatmu."
"oh?" kepala piauwsu
itu tertegun.
"Cong piauwsu, maukah
engkau memperlihatkan ilmu andalanmu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak-
"Boleh, namun...."
Kepala piauwsu itu memandangnya.
"Akupun ingin menyaksikan
kepandaian saudara Tio- Tentunya saudara Tio tidak berkeberatan kan?"
"Tentu." Tio Cie
Hiong mengangguk sambi tersenyum-
"Kalau begitu, mari kita
ke halaman saja" ajak kepala piauwsu itu.
"Baiklah" Tio Cie
Hiong manggut-manggut-
Mereka berdua berjalan ke
halaman depan, hartawan Lie dan isterinya juga ikut ke sana, Lie sui Sien dan
siauw Cing pun tidak mau ketinggalan.
"Maaf, saudara Tio
Bolehkah aku mohon petunjuk kepadamu beberapa jurus?" tanya kepala
piauwsu.
"Boleh-" Tio Cie
Hiong mengangguk-
"Maaf" ucap kepala
piauwsu, kemudian menghunus pedangnya, dan langsung menyerang Cie Hiong.
Mendadak badan Tio cie Hiong bergerak- seketika juga kepala piauwsu itu
melongo. karena pemuda itu telah lenyap dari hadapannya.
Ternyata Tio cie Hiong sudah
berada di belakangnya, siauw cing yang cerewet itu seoera berseru.
"Cong piauwtau Tuan muda
berada di belakangmu"
Kepala Piauwsu segera
membalikkan badannya, tapi di saat bersamaan Tio Cie Hiang bergerak sehingga
tetap berada di belakang kepala piauwsu.
Kepala piauwsu itu melongo
lagi, sebab Tio cie Hiong tetap tidak kelihatan, sehingga siauw cing tertawa
geli, lalu berseru.
"Cong piauwtou, tuan muda
tetap berada di belakangmu"
"Haah?" terkejutlah
kepala piauwsu.
"saudara Tio, jangan
terus berkelit"
"Baiklah-" Tio Cie
Hiong langsung muncul di hadapannya- Ternyata pemuda itu menggunakan Kiu Kiong
san Tian Pou-
"saudara Tio, cobalah
tangkis seranganku" ujar kepala piauwsu penasaran.
"Baik," Tio Cie
Hiong mengangguk-
"Hiyaaat" Kepala
piauwsu berteriak keras sambil menyerang.
Tio Cie Hiong tetap berdiri di
tempat, kemudian mendadak mengibaskan lengan bajunya. "Trang" Pedang
di tangan kepala piauwsu patah jadi beberapa potong, sedang kan tubuh orang itu
terhuyung-huyung beberapa depa, lalu jatuh gedebuk.
"Aduuh" Yang
menjerit malah siauw Cing, pelayan pribadi Lie sui sien. la menjerit
gara-garanya terkejut melihat kepala piauwsu jatuh gedebuk- Kepala piauwsu
bangkit berdiri, lalu menghampiri Tio Cie Hiong sambil menjura-
"Saudara Tio, engkau
memang hebat sekali," ujarnya dan menambahkan.
"Pantas para perampok itu
tak berkutik terhadapmu."
"Kepandaianku biasa-biasa
saja." sahut Tio Cie Hiong merendah.
"Cong piauwtou, sudikah
engkau perlihatkan ilmu silatmu?"
"ya." Kepala piauwsu
tergirang dalam hati, la yakin tahwa Tio Cie Hiong akan memberi petunjuk
kepadanya, maka segeralah ia memperlihatkan ilmu pedang andalannya. Berselang
sesaat, tarulah ia terhenti-
"Saudara Tio, tagaimana?
Mohon petunjuk"
"Cong piauwtou,
kepandaianmu baru mampu menghadapi perampok biasa. Kalau menghadapi perampok
yang berkepandaian tinggi, engkau pasti roboh- Karena itu, aku ingin menamtah
beberapa jurus dalam ilmu pedangmu, agar engkau dapat menghadapi perampok
berkepandaian tinggi,"
"Terima kasih, saudara
Tio" Kepala piauwsu girang tukan main.
Tio cie Hiong memberi petunjuk
kepadanya. Kepala piauwsu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Nan Cobalah engkau
terlatih sekarang" ujar Tio Cie Hiong.
Kepala piauwsu segera terlatih-
setelah terlatih beberapa kali, giranglah kepala piauwsu, setat ilmu pedangnya
sudah tertamtah lihay. "Terima kasih, saudara Tio" ucap kepala
piauwsu sambil menjura.
"Cong piauwtou"
sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh-
"Kini engkau tidak usah
cemas lagi menghadapi perampok berkepandaian tinggi"
"saudara Tio, engkau
sungguh luar biasa" Kepala piauwsu itu kagum sekali pada Tio Cie Hiong,
lalu bermohon pamit.
"Nak" Nyonya Lie
menatapnya lembut.
"Ilmu silatmu sungguh
tinggi sekali"
"Bibi" Tio Cie Hiong
tersenyum.
"Aku hanya memiliki ilmu
silat yang biasa saja."
"Yang biasa sudah begitu
hebat, apa lagi yang luar biasa." sela siauw Cing mendadak.
"Tuan muda pasti bisa
terbang."
"Siauw Cing" tegur
Lie sui sien.
"Engkau kok banyak
omong?"
"Tidak apa-apa,"
ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum, lantaran siauw Cing berkata, sehingga
menimbulkan sifat kanak Tio Cie Hiong.
"siauw Cing, engkau mau
melihat aku terbang?"
"Mau," sahut siauw
Cing cepat.
"Kakak Hiong...."
Lie sui sien memandangnya bingung.
"engkau bisa terbang
ya?"
Tio Cie Hiong tersenyum, lalu
mendadak badannya melesat ke atas tujuh delapan depa tingginya, setelah itu
berjungkir balik di udara dan badannya melambung ke atas lagi tujuh delapan
depa, kemudian berjungkir balik lagi sehingga badannya makin melambung ke atas.
Hartawan Lie dan isterinya menyaksikan itu dengan mulut ternganga lebar, begitu
pula Lie sui sien dan siauw Cing.
setelah itu, Tio Cie Hiong
melayang turun perlahan-lahan. Ternyata ia mengerahkan Pan yok Hian Thian sin
Kang ketika badannya merosot turun, agar badannya melayang turun dengan ringan
dan perlahan. sesungguhnya Tio Cie Hiong tidak bermaksud memamerkan
kepandaiannya, hanya saja perkataan siauw Cing tadi telah menimbulkan sifat
kekanak-kanakannya. Di saat badannya melayang turun, ia mengeluarkan suling
kumala, sekaligus meniupnya mengiringi gerak badannya. Betapa menakjubkan,
suara suling mengalun merdu, sedang pakaiannya berkibar-kibar terhembus angin.
Be-berapa pelayan lain yang menyaksikannya, tanpa sadar langsung menjatuhkan
diri berlutut karena menganggapnya sebagai sang dewa yang turun dari khayangan-
Hartawan Lie dan isterinya
mematung, sedangkan Lie sui sien dan siauw Cing memandang dengan mata tak
berkedip-
setelah melayang ke bawah,
barulah Tio Cie Hiong menyimpan suling kumalanya ke dalam bajunya, la tertegun,
sebab hartawan Lie, nyonya Lie, Lie sui sien dan siauw Cing masih berdiri tak
bergerak-
"Paman Bibi—"
panggil Tio Cie Hiong.
"cie Hiong...."
Hartawan Lie menatapnya terbelalak.
"Sebetulnya siapa
engkau?"
"Paman" Tio Cie
Hiong tercengang.
"Aku Tio Cie Hiong,
kenapa Paman bertanya begitu?" "Engkau... engkau kok bisa
terbang?" tanya hartawan Lie
"sebetulnya aku tidak
bisa terbang,"jawab Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum. "Itu
adalah ginkang."
"oooh" Hartawan Lie
manggut-manggut. Ke-kagumannya terhadap Tio Cie Hiong sudah tidak bisa
dilukiskan lagi.
"Tuan Muda...."
siauw Cing memandangnya dengan bola mata berputar-putar.
Kalau Tuan muda terus
berjungkir balik, bukankah akan sampai di sorga?" "Tentu tidak-"
Tio cie Hiong tersenyum lagi.
"Jangan-jangan...."
siauw Cing teringat sesuatu.
"Tuan muda jelmaan sun go
Kong (Kera sakti yang pernah mengacau di sorga, kemudian ditangkap oleh sang
Budha dalam dongeng Perjalanan ke Barat)"
"Siauw Cing" Tio Cie
Hiong tertawa kecil.
"Sun go Kong begitu
nakal, sedangkan aku sama sekali tidak nakal, bagaimana mungkin aku jelmaan sun
go Kong?"
"Kakak Hiong...."
Lie sui sien menatapnya dengan mata berbinar-binar. Terkejutlah Tio cie
Hiong, dan seketika juga ia
tahu bahwa gadis itu telah jatuh hati kepadanya.
"Ada apa. Adik
sien?" tanyanya.
Lie sui sien tidak menyahut,
hanya menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Lho?" goda siauw
Cing yang cerewet itu.
"Kok Nona jadi malu-malu
kucing?"
"Ha ha ha" Hartawan
Lie tertawa terbahak-bahak-
Bab 18 Ang Lian si (Biara
Teratai Merah)
Pagi ini seusai makan,
hartawan Lie, Nyonya Lie dan Tio Cie Hiong duduk di ruang depan.
Namun sungguh mengherankan,
Tio Cie Hiong tampak termenung.
"cie Hiong" Hartawan
Lie memandangnya.
"Engkau sedang memikirkan
apa?"
"Aku sedang memikirkan
para tabib di kota ini," jawab Tio Cie Hiong.
"Itu kenapa?"
Hartawan Lie heran.
"Padahal waktu itu Bibi
hanya menderita sakit radang usus, kenapa tiada seorang tabib pun
mengetahuinya?" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Mungkin ilmu pengobatan
mereka masih rendah," sahut nyonya Lie.
"ya." Tio Cie Hiong
manggut-manggut.
"Karena itu, aku harap
Paman bersedia mengundang mereka ke mari."
"Baik-" Hartawan Lie
langsung menyuruh beberapa pelayan lelaki untuk pergi mengundang para tabib di
kota tersebut.
Hartawan Lie sangat terkenal
di kota Pie Hong, sudah barang tentu tiada seorang tabib pun berani menolak
undangannya.
Berselang beberapa saat
kemudian, para tabib itu telah berkumpul di ruang depan di rumah hartawan Lie-
sebelum mereka hadir, Tio Cie Hiong telah menyuruh seorang pelayan untuk
menyediakan selembar kertas putih yang lebar berikut tinta hitam dan sebatang
pit (Potlot Cina Kuno).
Hartawan Lie dan isterinya,
bahkan Lie siu sien dan siauw Cing juga ikut serta di ruang itu.
"Hartawan Lie, sebetulnya
ada urusan apa kami diundang ke mari?" tanya seorang tabib berusia lima
puluhan. Mereka semua sudah tahu Tio Cie Hiong berhasil menyembuhkan penyakit
Nyonya Lie- Karena Tio Cie Hiong masih begitu muda, maka para tabib menganggap
itu hanya kebetulan saja.
"sesungguhnya..."
jawab hartawan Lie sambil tersenyum. "yang mengundang kalian ke mari
adalah Tio siauw hiap ini-"
Para tabib itu langsung
memandang Tio Cie Hiong, dan mereka tampak tercengang.
"Ada apa gerangannya Tio
siauw hiap mengundang kami ke mari?" tanya tabib berusia puluhan itu
dengan kening berkerut.
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong dan melanjutkan.
"Aku mengundang
Paman-paman ke mari untuk membahas ilmu pengobatan."
"oh?" Para tabib itu
saling memandang.
"Tio siauw hiap"
ujar tabib berusia lima puluhan dengan wajah tidak senang.
"engkau jangan mengira
telah berhasil menyembuhkan Nyonya Lie, maka ingin berbangga diri di hadapan
kami"
"Sesungguhnya aku tidak
berbangga diri, sebaliknya malah ingin merendah diri," sahut Tio cie Hiong
sambil tersenyum,
"sekarang aku ingin
bertanya,"
"sebetulnya Nyonya Lie
menderita sakit apa?"
Para tabib diam. Berselang
sesaat, tabib berusia lima puluhan itu membuka mulut. "Sebetulnya itu
bukan penyakit, tapi Nyonya Lie terganggu oleh arwah penasaran."
"oh?" Tio Cie Hiong tersenyum.
"Maaf, bolehkah aku tahu
nama tabib?"
"Aku dipanggil Tabib
Lim," sahut tabib itu.
"Tabib Lim" Tio Cie
Hiong menatapnya.
"Apakah Tabib Lim
mengerti penyakit dalam?"
"Tentu mengerti."
"Kalau mengerti, kenapa
Tabib Lim tidak tahu penyakit apa yang diderita nyonya Lie?"
"Sudah kukatakan tadi
bahwa Nyonya Lie terganggu oleh arwah penasaran."
"Tabib Lim" Tio cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu berarti aku si Penangkap
Arwah Penasaran?" "Hi hi" siauw Cing tertawa geli mendengar
ucapan itu. "Diam siauw cing" bisik Lie siu sien. "Kira-kira
begitulah" sahut Tabib Lim tak mau kalah-
"Tio siauw hiap berhasil
menyembuhkan penyakit Nyonya Lie, itu hanya kebetulan saja"
"Tabib Lim Penyakit yang
diderita Nyonya Lie waktu itu semacam penyakit dalam." Tio cie Hiong
memberitahukan.
ya itu penyakit radang usus,
maka membuat Nyonya Lie menggigil kedinginan, kemudian badannya panas seperti
terbakar, oleh karena itu. Nyonya Lie mengoceh tidak karuan sebab suhu badannya
sangat tinggi"
Tabib-tabib lain saling
memandang, sedangkan Tabib Lim masih tetap meremehkan pengobatan Tio Cie Hiong.
"Tio siauw hiap, itu
hanya omong kosong." sahutnya agak sinis.
"sendirinya tidak becus
malah berani mengatai orang lain" siauw cing menyela mendadak karena
merasa tidak senang melihat Tabib Lim menyahut sinis.
"Dasar tak tahu
diri"
"Diamlah siauw Cing"
bisik Lie siu Sien.
siauw Cing segera diam, tapi
tirus mencibir ke arah Tabib Lim, namun sebaliknya Tio Cie Hiong malah
tersenyum.
"Tabib Lim tidak percaya
tidak jadi masalah" ujar Tio Cie Hiong.
"Namun aku tetap akan
menguraikan beberapa macam penyakit dalam."
Tio Cie Hiong mengambil
gulungan kertas putih yang di atas meja, lalu ditempelkannya pada dinding.
sebetulnya Tabib Lim mau
pergi, tapi ia tahu tindakannya akan menyinggung perasaan hartawan Lie, maka
terpaksa diam saja. setelah menempelkan kertas itu pada dinding, Tio Cie Hiong
menggambar sesosok tubuh manusia, kemudian memberikan puluhan titik dan belasan
lingkaran kecil pada sosok tubuh manusia itu.
"Titik-titik itu
merupakan pusat jalan darah manusia, jadi ada beberapa macam penyakit dapat
disembuhkan dengan cara tusuk jarum...." Tio Cie Hiong memberi penjelasan
tentang ilmu tusuk
jarum.
Para tabib saling memandang,
mereka tercengang karena tidak menyangka Tio Cie Hiong yang masih muda itu
mahir ilmu tusuk jarum, mulailah mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.
Makin mendengarkan mereka mulai kagum, sementara tabib yang semula acuh tak acuh
itu pun mulai mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ilmu tusuk jarum
mementingkan peredaran darah manusia, juga harus menggunakan jarum
perak-..-" Tio cie Hiong juga memberitahukan mengenai ukuran jarum perak
tersebut-
"Nah, apakah Paman
sekalian sudah mengerti?"
Para tabib itu manggut-manggut
bagaikan murid sekolah, sehingga membuat siauw Cing tertawa geli-
"sekarang aku akan
menguraikan mengenai penyakit dalam—." Tio Cie Hiong mulai menguraikan
tentang berbagai macam penyakit dalam. Tentunya sangat menggirangkan para tabib
itu, termasuk Tabib Lim. Kini ia tidak berani memandang rendah Tio cie Hiong
lagi, sebaliknya malah sangat mengaguminya.
"paman-Paman" ujar
Tio Cie Hiong.
"Aku mahir ilmu
pengobatan, maka kujelaskan tentang ilmu tusuk jarum dan penyakit dalam
manusia. Karena itu, aku pun harus memberitahukan mengenai obatnya"
Para tabib itu mendengarkan
dengan penuh perhatian, ketika Tio Cie Hiong memberitahukan tentang obat-obat
tersebut.
"Paman-paman sudah
ingat?" tanya Tio Cie Hiong.
"sudah," sahut para
tabib itu serentak-
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong dan melanjutkan.
"Aku harap Paman-paman
jangan membedakan pasien, orang miskin pun harus diperiksa sebagaimana
mestinya.Jangan cuma memandang uang, sebab seorang tabib harus memiliki hati
luhur."
Ucapan Tio Cie Hiong itu
membuat wajah para tabib memerah seketika. Hartawan Lie dan isterinya
manggut-manggut, sebab apa yang diucapkan Tio Cie Hiong memang mengenai
sasaran.
"selama ini..." ujar
Tabib Lim.
"Kami memang hanya
memandang uang, tapi mulai sekarang kami pasti berubah seperti apa yang
dikatakan Tio siauw hiap- Dan juga akupun mohon maaf pada Tio siauw hiap karena
tadi telah berlaku kurang ajar...."
"Bisa menyadarai suatu
kesalahan, itu memang baik sekali." Tio Cie Hiong tersenyum, kemudian
bertanya.
"Di antara Paman-paman
ada yang mahir dalam hal racun?"
"Cuma mengerti racun yang
biasa saja," sahut Tabib Lim tidak malu-malu lagi.
"Kalau begitu, aku akan
menjelaskan berbagai macam racun dan apa obatnya." ujar Tio Cie Hiong,
lalu mulai menjelaskah tentang berbagai macam racun, dan obat pemunahnya.
Bukan main kagumnya para tabib
itu, begitu pula hartawan Lie dan isterinya. Mereka suami isteri sama sekali
tidak tahu bahwa Tio Cie Hiong juga mahir dalam hal racun.
"Paman-Paman sudah ingat
tentang racun-racun itu dan obatpemunahnya?" tanya Tio Cie Hiong.
Para tabib itu mengangguk- Tio
Cie Hiong tersenyum sambil memandang mereka.
"Paman-paman
pergunakanlah ilmu pengobatan untuk menolong orang Terhadap orang yang mampu
boleh menerima pembayaran mahal, namun jangan menerima pembayaran dari orang
tak mampu Apabila perlu, bantulah mereka dengan sedikit uang agar mereka bisa
membeli obat"
"Ya." Para tabib itu
mengangguk,-
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong.
"Hari ini aku telah
mengganggu waktu Paman-paman"
"Terima kasih, Tio siauw
hiap" ucap para tabib itu serentak, kemudian memohon pamit. Tabib Lim
mendekati Tio Cie Hiong, dan memandangnya dengan mata terbelalak-
"Tio siauw hiap"
ujarnya kagum-
"Engkau masih sangat
muda, namun ilmu pengobatanmu sungguh luar biasa-"
"Biasa-biasa saja"
Tio Cie Hiong tersenyum-
"sampaijumpa, Tio siauw
hiap" ucap Tabib Lim, sekaligus berpamit kepada hartawan Lie dan
isterinya.
"Waaah" seru siauw
cing setelah para tabib itu pergi.
"siauw Cing" Tio Cie
Hiong tersenyum.
"Kenapa engkau berseru
"Waah"?"
"Kini para tabib itu baru
tahu harus bagaimana jadi tabib yang baik," ujar siauw Cing sambil tertawa
kecil.
"Biasanya mereka hanya
memandang uang. Kalau orang kaya yang memanggil, langsung datang. Tapi kalau
orang miskin yang memanggil pasti ada alasan ini itu lantaran tidak mau
mengobati orang miskin- Mudah-mudahan mulai sekarang mereka akan menyadari
kesalahan itu."
"Mereka telah menyadari
itu," sahut Tio cie Hiong sambil tersenyum.
-ooo00000ooo-
Walau sudah malam, hartawan
Lie dan isterinya masih belum tidur. Mereka duduk berhadapan di dalam kamar
sambil merundingkan sesuatu. Wajah mereka tampak serius sekali.
"isteriku Bagaimana
menurutmu?" tanya hartawan Lie dengan suara rendah-"setuju."
Nyonya Lie mengangguk-
"Memang baik sekali putri
kita dijodohkan dengan Cie Hiong"
"Tapi-—" Hartawan
Lie mengerutkan kening.
"Ada apa, suamiku?"
tanya Nyonya Lie heran.
"Aku khawatir.... cie
Hiong akan menolak,"jawab hartawan Lie sambil menghela nafas.
"Itu bagaimana
mungkin?" Nyonya Lie tersenyum.
"Putri kita begitu cantik
jelita, cocok dan serasi dijodohkan dengannya."
"Aku tahu...."
Hartawan Lie tersenyum.
"Putri kita telah jatuh
cinta kepadanya, dia pasti senang sekali kalau kita menjodohkannya dengan cie
Hiong"
"Jadi kapan kita akan
membicarakan ini kepada cie Hiong?" tanya Nyonya Lie-
"Besok pagi," jawab
hartawan Lie-
Justru sungguh di luar dugaan
mereka, karena keesokan harinya Tio Cie Hiong mohon pamtt. "Apa?"
Hartawan Lie terbelalak- "Engkau— engkau mau pergi?" "Ya,
paman" Tio Cie Hiong mengangguk.
"Sudah belasan hari aku
tinggal di sini, maka sekarang aku mohon pamit."
"Tapi—." Hartawan
Lie mengerutkan kening, sebetulnya ia ingin membicarakan tentang perjodohan
itu, namun sulit mencetuskannya.
"Nak" ujar Nyonya
Lie sambil tersenyum lembut.
"Sebetulnya kami ingin
menjodohkan puteri kami denganmu, tapi... engkau malah mau pergi."
"Terima kasih. Bibi" ucap Tio Cie Hiong.
"Itu berarti Paman dan
Bibi sangat memandang tinggi diriku. Namun... aku terpaksa menolak-"
"Kenapa?" tanya hartawan Lie kecewa-
"sebab masih banyak
urusan yang harus kuselesaikan."
"Apakah itu hanya
merupakan suatu alasan?" tanya hartawan Lie sambil memandangnya.
"Bukan" jawab Tio
Cie Hiong.
"sebelum Bibi menyatakan
itu, aku sudah mohon pamit duluan, bukan?"
"Nak" Nyonya Lie
menghela nafas.
"Siu sien kelihatan
sangat suka kepadamu."
"Aku tahu." Tio Cie
Hiong mengangguk-
"Maka aku harus
menemuinya- paman danBibi tidak berkeberatan kan?"
"Tentu-" Nyonya Lie
mengangguk-
"Aku akan ke dalam
memanggilnya-"
"Bibi" ujar Tio Cie
Hiong.
"Aku akan menunggu di
halaman depan."
Kemudian Tio Cie Hiong
berjalan keluar, sedangkan Nyonya Lie masuk ke dalam untuk memanggil putrinya.
Hartawan Lie menghela nafas ia tahu tidak bisa menahan kepergian Tio Cie Hiong,
maka ia ke kamar menyiapkan bekal untuk pemuda itu.
Tio Cie Hiong berdiri di dekat
taman bunga. Tak lama kemudian, ia mendengar suara langkah-Ternyata Lie siu
sien sedang mendekatinya dengan wajah murung bahkan sepasang matanya yang indah
tampak basah-
"Kakak Hiong..."
panggilnya agak terisak.
"Adik Sien" Tio Cie
Hiong tersenyum.
"Engkau mau pergi
kan?" tanya Lie Siu Sien dengan suara rendah.
"Ya." Tio Cie T
tiong mengangguk.
"Sudah belasan hari aku
tinggal di sini, jadi hari ini aku mau pamit." "Kakak Hiong...."
Lie Siu Sien menatapnya dengan mata bersimbah air.
"Bukankah kedua orang
tuaku ingin...."
"Menjodohkan kita,"
sambung Tio Cie Hiong.
"Aku. sangat berterima
kasih kepada kedua orang tuamu yang memandang tinggi diriku. Tapi___"
"Kakak Hiong, apakah
engkau sudah mempunyai tunangan?"" tanya Lie Siu Sien.
"Tidak." jawab Tio
Cie Hiong sambil tersenyum.
"Aku tidak bertunangan
dengan gadis yang mana pun."
"Kalau begitu, kenapa
engkau menolak itu?" Wajah Lie Siu Sien tampak sedih.
"Apakah engkau merasa
diriku tidak serasi dengan dirimu?"
"Adik Sien Engkau cantik
jelita, mahir seni lukis dan musik, siapa yang dapat mempersuntingmu, pasti
hidup bahagia," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.
"Namun aku masih
mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, maka...."
"Kakak Hiong Bukankah
kita boleh... boleh...." Lie siu Sien menundukkan kepala.
"Bertunangan dulu?"
"Adik Sien Itu akan
membuat dirimu terikat. Engkau harus tahu, bahwa hidupku boleh dikatakan
btfaeia di ujung senjata taiam." Tio Cie Hiong memberitahukan,
"Itu hanya alasan
saja."
"Itu bukan alasan."
Tio Cie Hiong menghela nafas.
"engkau harus tahu, bahwa
kedua orang tuaku dibunuh oleh Bu Lim sam Mo, kakakku mati di tangan empat
Dhalai Lhama Tibet. Karena itu aku harus mencari mereka, sedangkan kepandaian
mereka sangat tinggi. Bagaimana perjalanan hidupku kelak, aku sendiri tidak mengetahuinya.
Apabila kita bertunangan, akan
membuatmu hidup menderita."
" Kakak Hiong Itu tidak
jadi masalah," tegas Lie siu sien.
"Tapi merupakan suatu
masalah bagiku," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh-
"Aku tahu engkau suka
padaku, selama belasan hari ini, akupun tahu engkau adalah gadis yang baik.
oleh karena itu, aku tidak mau membuatmu menderita, sehingga hatiku tercekam
rasa dosa."
Kakak Hiong...." Lie siu
Sien mulai terisak-isak-"Adik sien" Tio cie Hiong tersenyum.
"Apabila kita berjodoh,
kelak kita pasti akan berjumpa kembali."
Kakak Hiong...." Air mata
Lie siu sien sudah meleleh.
"Adik sien, percayalah
Kita akan berjumpa kelak" ujar Tio Cie Hiong seakan berjanji-" Kakak
Hiong tidak bohong?" tanya Lie siu Sien.
"Au tidak bohong. Hanya
saja...." Tlo Cie Hiong mengerutkan kening.
"Aku tidak berani
berjanji kapan akan datang menjumpaimu."
"Aaakh..." keluh Lie
siu Sien.
"Itu berarti engkau tidak
akan ke mari, sebab engkau tidak berani berjanji waktunya, siapa tahu engkau ke
mari aku sudah mati"
"Adik sien jangan berkata
begitu" Men-dadak Tio Cie Hiong menggenggam tangannya "Aku yakin
engkau pasti panjang umur."
"Kakak Hiong...."
Lie Siu Sien menatapnya, kemudian tersenyum seraya berkata.
"Terima kasih, karena
engkau mau menggenggam tanganku...."
"Adik sien, aku selalu
ingat padamu. Engkau gadis baik, tentunya engkau akan hidup bahagia."
"Aaakh—" Lie siu sien menarik nafas panjang.
"engkau sudah mau
meninggalkan aku, bagaimana mungkin aku akan hidup bahagia?"
"Adik sien siapa tahu
kelak engkau akan bertemu pemuda lain yang jauh lebih baik dariku," hibur
Tio cie Hiong.
"Itu tidak
mungkin...." Lie siu sien meng- geleng- gelengkan kepala.
Kakak Hiong, aku pasti
menunggu kedatanganmu." "Adik sien" Diam-diam Tio Cie Hiong berkeluh
dalam hati.
"Engkau tidak boleh
mengambil keputusan ini, ingat Masih ada pemuda lain...." "Kakak
Hiong...." Lie siu Sien terisak-isak lagi.
"Adik sien, aku sudah
harus pergi." ujar Tio Cie Hiong sambil melepaskan genggamannya di tangan
gadis itu.
"Cie Hiong, tunggu"
Hartawan Lie dan isterinya berlari lari menghampirinya. Tangan hartawan Lie
membawa sebuah buntalan.
"Aku telah menyediakan
bekal ini untukmu, terimalah"
"Paman...."
"Cie Hiong, biar
bagaimanapun engkau harus menerima. Kalau tidak, aku pasti marah," ujar
hartawan Lie sungguh-sungguh.
"Nak, terimalah bekal
ini" desak Nyonya Lie.
"Terima kasih, Paman dan
Bibi" ucap Tio Cie Hiong setelah menerima buntalan tersebut. "Kok
berat sekali?"
"cie Hiong" Hartawan
Lie tersenyum.
"Aku hanya menyediakan
beberapa stel pakaian putih untukmu. Aku tahu engkau suka pakaian putih."
"Tapi..-" Tio Cie
Hiong mengerutkan kening.
"Itu hanya ratusan tael
perak saja," ujar Nyonya Lie-
"Paman, Bibi Aku mohon
diri" ucap Tio Cie Hiong, kemudian memandang Lie siu sien. "Adik
sien, jaga dirimu baik-baik sampai jumpa"
Mendadak badan Tio cie Hiong
bergerak, seketika itu juga telah lenyap dari hadapan mereka.
Kakak Hiong...." Lie siu
sien menangis terisak-isak-"Nak" Nyonya Lie memeluknya-
Kalau engkau berjodoh
dengannya, kelak kalian pasti berjumpa kembali- Percayalah"
"Ibu" Air mata Lie siu sien berderai-derai-
"Dia pun mengatakan
demikian Tapi— bagaimana mungkin kami akan berjumpa lagi?"
"Aaaakh—" Hartawan Lie menghela nafas.
"Sayang sekali...."
"Ibu...." Lie siu
sien terisak-isak-"Rasanya aku sudah tiada gairah hidup-—"
"Nak" Nyonya Lie membelainya-
"Jangan berkata demikian
Kalau dia mencintaimu, dia pasti datang lagi setelah menyelesaikan
urusannya-"
"Ibu—" Lie siu sien
masuk ke rumah dengan kepala tertunduk, kelihatan telah patah hati.
setelah melanjutkan perjalanan
beberapa hari, Tio Cie Hiong memasuki sebuah desa-Desa itu cukup besar, dan
banyak terdapat rumah penduduk- Namun sungguh mengherankan, desa itu tampak
agak sepi, padahal hari baru mulai senja-
Itulah Peng An Cung (Desa
Aman). Tetapi kini desa tersebut tidak aman lagi, sebab telah terjadi sesuatu,
itulah sebabnya desa itu sepi.
Tio Cie Hiong terus berjalan
sambil menengok ke sana ke mari- Kebetulan ia melihat laki-laki berusia lima
puluhan sedang mengangkati jemuran. Tio Cie Hiong menjadi heran, sebab
sebenarnya pekerjaan itu adalah pekerjaan kaum wanita-
oleh karena itu, Tio cie Hiong
segera menghampiri orang tua itu. Ketika melihat ada seorang
pemuda asing berpakaian putih
berjalan menghampirinya, orang tua itu langsung berlari ke dalam rumah, bahkan
sekaligus menutup pintu. Bukan main herannya Tio Cie Hiong, kenapa orang tua
itu tampak ketakutan ketika melihatnya?
Tio Cie Hiong penasaran, lalu
mendekati rumah itu. Ketika ia baru mau mengetuk pintu, terdengarlah suara di
dalam rumah-
"Ayah Ada apa?"
"Jangan bersuara"
"Lho? Kenapa?"
"Di luar ada seorang
pemuda asing berpakaian putih, jangan-jangan dia adalah—-"
"Itu tidak mungkin,
sekarang baru senja, tidak mungkin begitu cepat muncul, ayah""
Mendengar ucapan itu, Tio Cie
Hiong semakin merasa heran, dan yakin, di desa itu telah terjadi sesuatu.
Kemudian ia mengetuk pintu seraya berkata.
"Paman" Tolong buka pintu
Aku adalah orang yang kebetulan lewat di sini." Tiada sahutan. Tio Cie
Hiong tahu, orang tua itu tidak berani membukakan pintu "Paman", aku
bukan orang jahat, aku seorang pelancong," ujar Tio Cie Hiong lagi.
Kreeeek Pintu itu terbuka,
orang tua tersebut memandang Tio Cie Hiong dengan ketakutan.
"Paman Tio Cie Hiong
tersenyum.
"Percayalah, aku bukan
orang jahat"
"Anak muda,
masuklah" ujar orang tua itu.
Tio Cie Hiong masuk ke dalam,
orang tua itu cepat-cepat menutup kembali pintu rumahnya. Ketika Tio Cie Hiong
berjalan ke dalam, melihat seorang gadis berusia dua puluhan berdiri di sudut
ruangan.
"Duduklah, Anak
muda" ucap orang tua itu.
"Terima kasih" Tio
Cie Hiong duduk-
"Ling Ling Cepat suguhkan
teh untuk tamu" seru orang tua itu.
"ya. Ayah," sahut
gadis yang berdiri di sudut, lalu menyuguhkan secangkir teh untuk Tio Cie
Hiong.