Bab 20
Begitu Han Ki mengucapkan
kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan
cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah
petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat.
Tentu saja Han Ki terkejut
bukan main, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua
terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur! Untung bagi
mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya karena Han Ki
masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya.
Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu
mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika!
Hemm, mengapa kalian
menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?!
Mendengar ucapan itu, enam
orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap. Mereka keluar
dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang
penuh perhatian. Seorang di antara mereka bertanya.
Maaf...., apakah Taihiap yang
gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?!
Sahabatnya? Dan apa kaubilang?
Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?!
Enam orang itu menarik napas
lega. Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami
menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang.
Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur
sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa
Taihiap ini? Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan
kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?!
Han Ki sudah mendengat nama
besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu
saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut
karena dia tidak tahu siapa sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga
Suma yang jahat sekali.
Namaku Kam Han Ki, dan aku
mencari kedua orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui.!
Ahhhhh...., mengapa Taihiap
datang terlambat....?! Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan
diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan
petani bekas anggauta Beng-kauw di Tai-hang-san itu.
Bangkitlah, jangan seperti
anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya,
bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?!
Orang tertua dari mereka
berkata, Kami adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang dipaksa menjadi
anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi
oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam
tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk
membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan
tetapi.... ah.... Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta
itu, mereka.... mereka telah menjadi korban dan tewas....!
Seketika pucat wajah Kan Ki,
napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar amat hebat baginya,
hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan hatinya. Dengan bibir
gemetar dia berkata singkat, Ceritakan....!!
Orang tertua itu lalu
menceritakan semua peristiwa yang terjadi di situ hampir dua bulan yang lalu.
Han Ki mendengarkan dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika
mendengar betapa kedua orang encinya terjebak dan terpendam di bawah tumpukan
batu-batu gunung.
Di mana mereka terpendam?
Lekas tunjukkan kepadaku!!
Enam orang itu lalu menuju ke
bukit di mana dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh batu-batu yang amat
banyak. Ketika Han Ki tiba di depan gundukan batu seanak gunung itu, tak
tertahankan lagi air matanya bercucuran. Pergilah kalian, jangan ganggu aku!!
bentaknya dan enam orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka
kasihan sekali, ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari
batu-batu itu, mereka menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu
menjadi gila saking duka. Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka
tidak berani mendekat, lalu kembali ke sawah mereka dan melanjutkan pekerjaan
mereka.
Memang Han Ki seperti menjadi
gila saking hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya. Ia mengerahkan
seluruh tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum
dan terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar ke
dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan sebongkah
kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena dalam duka dan
marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Saking tekunnya membongkar
batu dan mengerahkan seluruh sin-kang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh
terdapat beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan terbelalak dan penuh
kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak di
tengah sawah dalam keadaan mati semua! Dia terus membongkar batu-batu yang
merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah
batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh lemas ia
berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih berpakaian. Jelas
pakaian dua orang wanita, dua orang encinya!
Aduh, Kui-cici....,
Hui-cici....!! Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu, kemudian ia
mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan membungkusnya dalam pakaian mereka,
kemudian menggali lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua kerangka itu
menjadi dua gundukan tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil
menggores-gores dua buah batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang
encinya dengan goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu di depan dua
kuburan dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam
keadaan pingsan!
Cepat! Dia pingsan, kita dapat
turun tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!! Terdengar orang
berkata dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka
mendengar penuturan enam orang bekas anggauta Beng-kauw kemudian membunuh
mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu yang
bermarkas di Pantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun, Pat-jiu
Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin.
Kedatangan mereka adalah atas
usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik seperguruan Hoat Bhok Lama,
yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa suhengnya telah
merampas Beng-kauw, mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk mengadakan hubungan
dengan suhengnya agar kedudukan mereka menjadi makin kuat. Kunjungan ke situ selain
disertai ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek
Cinjin, tosu pembantu Coa Sin Cu.
Untung sekali bahwa mereka
tadi tidak berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang
mengira bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga
mereka menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat
Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang mengubur
dua orang encinya. Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki
sudah amat terkenal sebagai adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh
enam orang bekas anggauta Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai
dan menyaksikan dengan penuh takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu
besar.
Ucapan Pat-jiu Sin-kauw tadi
memang benar. Biarpun Han Ki hampir kehabi san tenaga membongkar batu-batu
tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu enam orang itu akan mampu
menandinginya. Kini empat orang itu berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang
pingsan tak bergerak, kelihatan mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu
Sin-kauw hendak menotok tubuh yang pingsan itu.
Jangan!! Tiba-tiba Liem Cun,
isteri Coa Sin Cu, mencegah. Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu
tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi
kita.! Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang murtad itu
mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci arak, kemudian
menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu, bungkusan dibuka dan dia menjumput
sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan.
Buka mulutnya, paksa obat ini
masuk ke perutnya!! katanya.
Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan
Thian Ek Cinjin ragu-ragu, Coa Sin Cu tertawa.
Ha-ha, percayalah akan
kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa sekalipun, kalau minum racun ini
dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan terus!!
Mulut Han Ki yang sedang
pingsan itu dibuka dan arak itu dituangkan ke dalam mulutnya. Karena masuknya
arak ini ke perut dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari pingsannya. Ia
meronta dan melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar ke kanan kiri,
akan tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua
kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa memasuki
perutnya.
Hebat, dia lihai bukan main!!
Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi
terlempar jatuh.
Mengapa tidak dibunuh saja
orang yang berbahaya ini?! Thian Ek Cinjin berkata sambil mengerutkan alisnya,
merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu.
Ah, dia tepat sekali bagi
kita,! kata Coa Sin Cu. Dia inilah yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi
kunci ke dalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua
datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja,
aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima
bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan,
tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah.
Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat
jasa besar.
Tentu Bu-koksu akan menerima
kalian sebagai pengawal dan kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita.
Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa
kalian sudah berhasil menyelundup ke sana dan menduduki jabatan penting!!
Dua orang kakek itu
mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang pingsan,
dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam, mereka
mencekokkan obat merah dan arak ke dalam perut Han Ki sehingga pendekar ini
berada dalam keadaan pingsan terus-menerus selama sepuluh hari!
Tepat seperti yang
diperhitungkan oleh Coa Sin Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang
sekali ketika menerima dua orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan
itu. Otomatis keduanya diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi
koksu yang cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan
kota raja untuk diadili. Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han Ki
begitu saja.
Dia sudah mendengar akan
kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak terjang Han Ki ketika
membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia bahwa amat sukar mencari
seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han Ki. Alangkah akan kuat
kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat memiliki seorang pengawal
seperti ini! Apalagi kalau dipikir bahwa dia dapat memetik ilmu-ilmu kesaktian
dari pendekar ini.
Akan tetapi tentu saja tidak
mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai tidak
kekurangan akal. Dia, di samping ilmunya yang tinggi, juga sudah lama tinggal
di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Himalaya, buatan seorang
pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san. Bubuk beracun ini dapat
dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya akan
kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala
perintah orang yang menguasainya pada pertama kali.
Demikianlah, dengan
menggunakan I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han
Ki, selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan dirinya
di sebuah kamar yang amat bagus dan di dekat pembaringannya duduk Bu-koksu yang
dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya dari keadaan
pingsan dan hampir mati.
Han Ki adalah seorang yang
memiliki dasar watak pendekar budiman. Seorang pendekar tidak pernah melepas
budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka biarpun ingatannya
samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan di bukit dan hampir mati,
kenyataannya bahwa dia berada di situ dan terawat baik membuat ia tidak
meragukan lagi akan pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan terima kasih.
Demikianlah, dengan amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan
ingatannya, bahkan memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik
sendiri. Han Ki disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan
yang amat langka bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal
Bu-koksu yang amat setia.
Namun, ada hal yang
mengecewakan hati Bu-koksu. Biarpun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya
yang sudah mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu
sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah lupa
sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal menyebut Han Ki
yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda, akan tetapi karena
dia memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan seperti seorang berusia
dua puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda!
Hal lain lagi yang aneh adalah
bahwa Han Ki dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan
lain, bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain. Hanya
ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biarpun tanpa diminta, kalau
melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun tangan melindungi.
Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia!
Marilah kita kembali ke dalam
ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta pertemuan dan kini
menjadi medan pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki melenggut di atas
langkan jendela, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak
memberi perintah apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han
Ki bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong!
Seperti telah diduga Siauw
Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain adalah Thian
Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini supeknya telah dapat
mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan Thian Ek Cinjin
terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan kedudukan kakinya tergeser, Coa
Leng Bu cepat menerjang dan melakukan tiga kali pukulan tangan kosong
berturut-turut. Thian Ek Cinjin berusaha mengelak dan menangkis, namun kalah
cepat dan pundak kirinya kena terpukul telapak tangan Coa Leng Bu.
Ia terjengkang dan roboh,
meringis kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya
memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang sudah
berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang bersenjata, akan tetapi
karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan pembunuhan, maka ia mendahului,
selagi lawan meloncat bangun, cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan
sin-kang jarak jauh. Thian Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali,
tangannya menggigil dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya
dirampas oleh lawannya!
Kurasa sudah cukup Totiang!!
kata Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu ke arah pemiliknya. Thian Ek
Cinjin marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa
dia tidak marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu?
Mundurlah, Cinjin, biar aku
yang melawannya!!
Bentakan ini keluar dari mulut
Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok. Karena dia maklum bahwa
petani tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu menyerang ia sudah mainkan
Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya berputar seperti gasing dan angin yang keras
bertiup ke arah Coa Leng Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia
mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Jit-goat-sin-kang. Kedua lengannya
melindungi tubuh sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong ke depan.
Ihhhh....! Pat-jiu Sin-kauw
berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas menyambarnya dan membuat
gerakan berputar menjadi agak kacau. Tahulah dia bahwa lawannya itu memiliki
tenaga sin-kang yang amat kuat, maka ia menjadi marah sekali dan menghentikan
gerakan tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya bergerak mendorong atau
memukul dari bawah ke arah lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok.
Inilah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sin-kang amat dahsyat!
Menghadapi pukulan-pukulan
dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun mengerahkan
Jit-goat-sin-kang, karena hanya dengan tenaga sin-kang ini sajalah ia akan
mampu menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding
secara hebat sekali, gerakan mereka tidak cepat sekali namun setiap gerakan
tangan yang memukul atau menangkis mengandung tenaga sin-kang yang kuat
sehingga angin menyambar-nyambar di sekitar ruangan itu dan terdengar suara
bersuitan.
Siauw Bwee memandang kagum.
Dia dapat mengukur Jit-goat-sin-kang yang dikuasai supeknya sekarang. Terasa
betapa di ruangan itu hawanya menjadi berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali
dan kadang-kadang sejuk dingin. Itulah pengaruh dari kekuatan
Jit-goat-sin-kang. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa supeknya bukanlah
lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai sekali. Biarpun dengan Jit-goat-sin-kang
supeknya masih dapat menahan serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat
supeknya masih kalah jauh dan begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu
mainkan Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat.
Si Sastrawan Ang Hok Ci
berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu mempergunakan
Jit-goat-sin-kang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa! Ha-ha-ha, jadi
hanya begini sajakah Jit-goat-sin-kang yang terkenal ini? Kalau hanya begini,
mengapa mesti susah payah mendapatkannya?!
Mendengar ini, tahulah Siauw
Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya untuk mencari
kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempeiajari Jit-goat-sin-kang. Kini
mendengar koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu
masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula, dara
perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supeknya bisa terluka karena orang macam
pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat dipercaya?
Salah-salah supeknya akan terbunuh!
Tiba-tiba terdengar bentakan
Pat-jiu Sin-kauw, Petani busuk, menggelindinglah engkau!!
Ternyata setelah mendesak
lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba mengirim serangan
hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu
sehingga terpaksa dia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan
Jit-goat-sin-kang. Biarpun tangan mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah
pertemuan tenaga sin-kang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil,
namun dia tetap mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa
kalau dia mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya yang berhati
kejam itu.
Supek, mundur!! Tiba-tiba
Siauw Bwee berseru nyaring, tubuhnya sudah mencelat ke atas di antara kedua
orang yang mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas
memisahkan tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka
terjengkang ke belakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu hendak
menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah hitam, segera
muhdur sedangkan Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw
yang sudah meloncat lagi memperbaiki posisinya. Kakek ini memandang Siauw Bwee
dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur,
Kawanmu belum kalah, engkau
sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?!
Siauw Bwee tersenyum mengejek.
Biarpun belum kaurobohkan, Supek sudah mengaku kalah. Apakah kau belum puas
kalau belum melukai atau membunuh? Anggap saja dia mengalah kepadamu dan
marilah kita main-main sebentar kalau memang kau ingin memamerkan
kepandaianmu!!
Pat-jiu Sin-kauw adalah
seorang yang berilmu tinggi. Di depan orang banyak tentu saja dia merasa
direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia membentak nyaring,
Kalau supekmu saja sudah kalah olehku, apalagi engkau keponakan muridnya.
Apakah engkau gila hendak melawanku?!
Siauw Bwee menoleh ke arah
Bu-koksu dan berkata nyaring, Koksu, begini sajakah jago-jagomu? Kalau memang
takut melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala? Jagomu ini tidak berani
melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang lebih berani!!
Ejekan ini benar-benar hebat,
membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut, hanya
merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis remaja. Mukanya
menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah ketika terdengar suara
Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut menghadapi anak perempuan itu?!
Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa di sana-sini.
Bocah setan, engkau sudah
bosan hidup! Sambutlah ini!!
Dengan gerakan cepat sekali
Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Siauw Bwee. Dia
memandang rendah sehingga tidak menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar
dengan sembarangan saja, namun sambil mengerahkan sin-kang.
Plakkk!! Tangan yang besar itu
tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya.... tubuh Pat-jiu
Sin-kauw terpelanting!
Semua orang berseru kaget,
akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw sendiri. Ia cepat
meloncat dan mukanya menjadi pucat saking marahnya, diam-diam ia menyalahkan
diri sendiri yang memandang ringan dara ini. Sambil berteriak keras ia kini
menyerang lagi dengan Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti
gasing, membawa angin yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran
itu, kedua tangannya meluncur keluar dan memukul dengan pengerahan tenaga
Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi membuat Coa Leng
Bu kewalahan. Dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus berarti Pat-jiu
Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu.
Semua orang memandang
terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal kehebatan
ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian cantik
jelita itu akan celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian
tanpa berkejap seperti juga semua orang yang berada di situ.
Betapa heran hati mereka yang
menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya,
hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya kedua lengannya
saja yang bergerak amat cepat sehingga dus lengan itu seperti berubah menjadi
banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu
terpental, bahkan setiap kali kakek itu memukul dan tertangkis, tubuhnya
terdesak mundur sampai dua tiga langkah!
Tidak ada orang yang dapat
mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu sendiri yang lihai juga tidak mengenal
gerak tangan itu karena Siauw Bwee mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum
kaki buntung, dan sebagai dasar gerakan, tentu saja ia menggunakan sin-kang
yang dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat latihan-latihan dan
ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu. Baik gerakan tangan
ilmu silat maupun tenaga sin-kang Pat-jiu Sin-kauw tentu saja tidak mampu
menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biarpun dara itu hanya menangkis saja,
semua serangan kakek itu membalik dan terpental ke belakang.
Pat-jiu Sin-kauw sendiri
merasa terkejut dan heran sekali. Dia tidak tahu bagai mana caranya dara itu
menghadapi serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan
gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul, tangannya
terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa yang dahsyat. Ia
merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak dapat mengalahkan
seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh dalam pandangan
koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan pengerahan tenaga,
siap untuk mengadu tenaga sampai mati!
Akan tetapi tiba-tiba dara itu
lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan langsung menyerang
setelah pendengarannya, menangkap gerakan lawan di belakangnya, akan tetapi dia
hanya melihat bayangan berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang
matanya. Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus mengejar ke mana saja bayangan berkelebat
dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama bayangan
Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya, membuat kepala
Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening.
Bukan hanya Pat-jiu Sin-kauw
yang pening kepala dan kabur pandangan matanya bahkan semua orang yang menonton
pertandingan itu terbelalak memandang ke depan, berusaha mengerahkan pandang
mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan
amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki
kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya benar-benar mukjizat dan cepat
sekali.
Setelah menganggap cukup
memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri Siauw Bwee
bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat
dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh berlutut di depan Siauw Bwee!
Aihh, engkau orang tua terlalu
sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?! Siauw
Bwee berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia sungkan menerima
penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya.
Sejenak Pat-jiu Sin-kauw
terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut. Ketika
mendengar suara ketawa ditahan di sana-sini, dia marah sekali dan meloncat
berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa.
Pat-jiu Sin-kauw, cukup!
Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya
hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan
kalahkan Nona itu untukku!!
Pat-jiu Sin-kauw tidak berani
membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk di jendela, ketika
mendengar perintah itu, mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian
menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang
kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru,
Suheng....!!
Akan tetapi ia tahu bahwa
sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang
mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak
senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di
depan Siauw Bwee!
Kembali mereka berpandangan,
kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling berhadapan. Hati Siauw Bwee
terharu sekali. Wajah suhengnya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar
matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa suhengnya itu sama sekali tidak
bahagia. Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suhengnya sudah
siap untuk menerjangnya.
Suheng.... jangan melawanku....!!
Ia berkata dengan hati bingung.
Han Ki memandangnya dengan
sinar mata kosong, kemudian terdengar ia berkata,
Bu-loheng menyuruh aku
mengalahkan engkau. Aku akan menangkapmu untuk Bu-loheng!!
Suheng, ingatlah! Aku Khu
Siauw Bwee....! Suheng....!!
Siauw Bwee cepat menghindar
ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya.
Eh, kau pandai juga!! Han Ki
yang cengkeramannya luput itu telah membalik kan tangan dan menyambar ke arah
lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kemball tangkapannya
luput!
Kam-siauwte, jangan
sungkan-sungkan, pukul roboh dia!! Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, Dia datang
mengacau!!
Han Ki mengerutkan alisnya.
Baik, Loheng!! Dan kini dia menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee. Tentu
saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa
suhengnya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis.
Plakkk!! Tubuh Siauw Bwee
terhuyung ke samping karena betapapun juga, tenaga sin-kangnya masih belum
dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan
tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat
berbahaya. Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat
menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas
dengan tendangan pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa
suhengnya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan
niat merobohkan Han Ki dari dapat melarikan suhengnya itu dari situ!
Eh, kau lihai!! Kembali Han Ki
berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan
berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.
Plakk!! Sebelum tangan Han Ki
dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki ke dua dari dara itu telah
menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset. Akan
tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu
berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.
Aihhh.... bagaimana kau bisa
sehebat ini?! Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim
serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Siauw Bwee tentu
saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan
tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi
suhengnya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau
Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suhengnya bukannya sedang
berlatih, melalnkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh!
Hebat, engkau Nona! Sungguh
menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!! Ucapan Han Ki
ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan
mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka
dia berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak
sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes
turun.
Wuuutttt!!
Alhhh.... plakkk!! Hampir saja
Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri. Karena terharu dan matanya menjadi
kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya,
yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang
telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan ltu
dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa
harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu
gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biarpun demikian, dia masih
selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguhpun sampai sekian
lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!
Coa Leng Bu memandang bingung.
Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat menduga bahwa tentu
laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek
Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa
murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa
bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat
indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee
tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau
dara sakti itu saja masih kalah, apalagi dia!
Pada saat itu, terdengar suara
gaduh sekali di luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin
lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya dipukul
gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari
bingung. Semua orang yang berada di ruangan itu menoleh ke arah pintu dengan
heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat. Dapat
dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja
Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam
keadaan wajar suhengnya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak
berani melawan.
Akan tetapi keadaannya
sekarang lain lagi. Suhengnya itu bergerak atas perintah lain orang, bergerak
di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suhengnya yang menyerangnya,
melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah maka Siauw
Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya, bukan
hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan dan
menawan suhengnya, untuk melarikannya.
Akan tetapi ternyata olehnya
bahwa biarpun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan
ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan
main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat
kepandaian suhengnya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu
tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini
berhadapan dengan suhengnya dia benar-benar tidak berdaya!
Dia hanya mampu mempertahankan
diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi kesempatan membalas,
bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suhengnya itu tidak memiliki dasar watak
yang baik, kalau suhengnya kejam dan bermaksud membunuhnya, agaknya
pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena suhengnya bermaksud
menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih dapat bertahan sampai
ratusan jurus lamanya!
Seorang perwira pengawal yang
bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor
dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah
kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup ke
dalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruhi
perajurit-perajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan
kekacauan.
Hemm, berapa jumlah mereka?!
Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.
Menurut hasil penyelidikan,
mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang
mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang
pandai, juga jumlah perajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada
beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!!
Ahhh, Si Keparat! Harus
kuhajar sendiri!! Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang
masih bertanding dengan gadis perkasa itu. Kam-siauwte, hentikan pertandingan,
biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal,
tangkap dua orang itu!!
Mendengar ucapan ini, Han Ki
mencelat ke belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar
dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba
bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang
sama mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!
Siauw Bwee cepat mengelak dan
ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak
duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali,
juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee
cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.
Pada saat itu, Coa Leng Bu
juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Tentu saja Coa
Leng Bu melawan mati-matian sungguhpun dalam beberapa jurus saja dia terdesak
hebat. Betapapun ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang
tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman
tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet
pundaknya, membuat kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang berpakaian
perang telah menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke arah dada
Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan
menggulingkan tubuhnya, terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.
Mendengar teriakan Coa Leng
Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan
pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee mengerahkan
sin-kangnya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah
tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi
dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya
bergerak cepat.
Krakkk! Cusss!! Tangan kirinya
dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat
mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan
kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga
leher orang ke dua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw
Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil
menendang dengan kedua kakinya.
Dess! Bukkk!! Tubuh Si Dampit
terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking
nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci itu karena keadaan
mereka membuat hidup mereka tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling
menyalahkan dan kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau
tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti
itu. Dengan kemarahan meluap, seorang di antara mereka yang terluka lehernya
itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga
marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu
bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang
dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam
tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.
Krekkk!!
seketika pecah kepala itu dan
matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah mencengkeram terlalu dalam sampai
masuk ke dalam leher dan orang ke dua ini pun terbawa roboh dan mati dengan
mata mendelik! Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu.
Watak sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah
watak manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam
bahaya, manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan
yang sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman
sependeritaan.
Manusia yang belum sadar dan
pandang mata batinnya diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi sehingga
lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapapun juga kecuali terhadap tubuh
sendiri, selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat orang lain
sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang lain
bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari sasaran
kepada orang laln untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau
menyalahkan diri sendiri. Demikian pula dengan kedua orang dampit itu.
Di waktu mereka menghadapi
lawan, mereka dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh
satu nyawa, dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada
bahaya mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang
keladi keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua
terluka, mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila
sehingga terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti
halnya sepasang manusia dampit itu!
Perang terjadi semenjak ribuan
tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia
tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab
kesalahan kepada orang laln. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak,
dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan
duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya
yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil.
Dari kehendak-kehendak yang
demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul
pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya.
Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian,
memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran
palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!
Betapa jahatnya manusia yang
belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk
kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk
kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan
semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih
muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biarpun di
dasar hati, biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku
terpandai di antara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk
menutupi perbuatan kita yang kotor.
Di dalam perang, misalnya.
Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan
nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa
perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa
yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi
musuh masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing
berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia
karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!
Mengutuk perang, mengusahakan
perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan
tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang di antara manusia.
Karena, perang hanyalah pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia
yang dihidupkan oleh pertentangan di antara manusia-manusia pribadi sendiri.
Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan
antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok
antara perkelahian antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya
perbedaannya hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu,
yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak
sehingga timbul pertentangan.
Setelah menyaksikan kematian
mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia
teringat akan supeknya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supeknya
bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian
perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan
itu.
Karena maklum bahwa
keselamatan supeknya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking
tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ, kaki tangannya
bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin
terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar
Siauw Bwee dan dibawa melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela!
Gegerlah para pengawal dan
perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak dan melakukan
pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supeknya telah lenyap. Ketika semua
orang tiba di luar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang lebih
menggegerkan lagi. Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger. Di
sana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak dan
yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak
pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka
kewalahan dan terdesak.
Mereka mundur dan menyebar
sehingga pertempuran menjadi kacau, berkembang di seluruh pelosok kota. Di sana-sini
bahkan terjadi kebakaran sebagai siasat para pemberontak yang mengundurkan diri
dan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk yang padat. Tentu saja dengan
adanya kebakaran-kebakaran itu keadaan menjadi makin kacau. Penduduk menjadi
panik, mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka
berbondong-bondong pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan
serta barang-barang berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak
keluar dari pintu gerbang kota, mengungsi ke lain tempat. Akan tetapi para
pasukan penjaga melarang mereka dan secepat mung kin berusaha menenangkan
mereka dengan keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa
pemberontak yang dikejar-kejar.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
berhasil menyelinap di antara banyak orang yang berlari-larian hilir mudik
tidak karuan itu sehingga para pengejar mereka kehilangan jejak mereka. Siauw
Bwee mengajak Coa Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi.
Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa yang membikin kacau adalah belasan
orang mata-mata Mancu yang menyelundup ke kota Sian-yang dan yang dapat
mempengaruhi beberapa losin orang tentara sehingga memberontak.
Dengan marah, Bu-koksu sendiri
turun tangan mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan pembersihan,
menjaga tempat-tempat penting. Ke mana pun dia bergerak, Han Ki selalu
mengawalnya. Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki,
menunggang kuda dan berputaran di dalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang
melakukan pembersihan. Namun, karena malam tiba dan para mata-mata itu
melakukan taktik bersembunyi di antara rakyat, keluar masuk gang-gang dan
rumah-rumah rakyat, memancing kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu
sendiri dan anak buahnya menjadi kewalahan.
Memang benar bahwa para
serdadu yang memberontak telah ditundukkan, sebagian tewas dan sebagian lagi
ditawan, selebihnya menyerahkan diri. Akan tetapi belasan orang mata-mata itu
tetap saja tidak dapat ditemukan biarpun para penjaga telah melakukan
penggeledahan di seluruh rumah penduduk kota. Hal ini adalah karena para
mata-mata itu amat cerdik, selalu berpindah-pindah dan bersembunyi ke dalam
rumah-rumah yang telah digeledah, dengan mengancam penghuninya dan pura-pura
menjadi anggauta keluarga penghuni rumah itu.
Malam itu merupakan malam yang
paling ribut di Sian-yang. Para tentara masih sibuk memeriksa dan mencari ke
sana ke mari dan tingkah-polah para anggauta tentara yang mencari mata-mata ini
menambah kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras dan tidak segan-segan untuk
memukuli rakyat yang dacurigai menyembunyikan para mata-mata musuh. Semalam
suntuk terjadi kebakaran di sana-sini dan para mata-mata Mancu yang terdidik
itu tentu saja setelah melakukan pembakaran, berada di tempat yang jauh dari
kebakaran di mana para tentara melakukan penggerebekan dan pemeriksaan ketat.
Semalam suntuk, tidak ada
seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti datangnya pagi dengan
hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada di dalam kota, amat menakutkan,
akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu gerbang.
Paginya, pagi-pagi sekali
penduduk tersentak kaget mendengar lonceng tanda bahaya dibunyikan bertalu-talu
dan di luar rumah, di jalan-jalan terdengar teriakan-teriakan para anggauta
tentara yang berlarian menuju ke benteng. Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada
pasukan musuh menyerbu ke kota Sian-yang! Para penduduk gemetar ketakutan dan
tidak berani keluar rumah, anak-anak menangis dalam pelukan ibunya dan orang
laki-laki sibuk mengumpulkan senjata untuk melindungi keluarga, menutupi pintu
dan jendela kuat-kuat. Gegerlah seluruh kota Sian-yang.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
menyelinap di antara rumah-rumah penduduk mendekati benteng, hendak menyaksikan
apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah pohon besar yang
tinggi di dekat benteng dan dari tempat yang terlindung daun-daun lebat ini
mereka mengintai ke atas benteng dan keluar benteng. Kiranya dari jauh tampak
barisan besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan yang bergerak mengepung kota
Sian-yang!
Setiap pasukan mempunyai
bendera dan mereka itu dipelopori oleh pasukan berkuda yang gagah. Paling depan
tampak beberapa orang perajurit berkuda membawa bendera-bendera, mengiringkan
beberapa orang pangllma Mancu yang juga menunggang kuda. Dari tempat
sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu melihat bahwa di antara para Panglima
Mancu itu terdapat seorang panglima wanlta. Jantung Siauw Bwae berdebar aneh.
Dia menduga-duga dengan penuh
keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang demikian gagah itu, yang
duduk di atas kuda dengan tegak dan majukan kudanya paling depan mendekati
benteng, menuju ke atas pintu gerbang di mana berdiri Koksu dan para
panglimanya. Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat mengenal wajah
panglima wanita itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang hitam
melambal-lambai tertiup angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan ditimpa
sinar matahari pagi, dan senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak buah
pasukan itu menyilaukan mata.
Dari tempat sembunyinya yang
jauh itu Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang dimulai dengan
tantangan pihak Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan tambur, dan
disusul majunya seorang panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar dan dengan
suara seperti geledek menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada pasukannya
yang bergerak maju pula, sebanyak kurang leblh seribu orang pasukan berkuda dan
bergolok panjang dikempit dengan lengan kanan.
Melihat ini, Koksu lalu
memerintahkan seorang panglimanya untuk menyambut musuh membawa pasukannya.
Panglima ini masih muda, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning pucat, namun
sepasang matanya tajam dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil namun
melengking nyaring ketika dari atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba kepada
perwira-perwira pembantunya ke bawah. Pasukannya disiapkan, juga berjumlah
seribu orang pasukan berkuda, pintu gerbang dibuka, jembatan gantung diturunkan
dan pasukan keluar dari dalam benteng. Panglima muka kuning itu memberi
perintah kepada pembantunya. Kudanya yang berbulu hitam disiapkan di luar
benteng, dan dengan gerakan lincah sekali panglima muka kuning itu melayang
turun dari atas benteng!
Wah, hebat juga
gin-kangnya....!! Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu melayang
turun dan tubuhnya tepat tiba di atas kuda hitamnya di luar benteng! Seorang
pembantunya menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal
kuda ke depan barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari
atas tembok benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama
sekali dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin
jerih pihak musuh.
Panglima Mancu yang bertubuh
tinggi besar itu mengeprak kudanya maju menyeret golok panjangnya menyambut
majunya Panglima Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka berhadapan,
terdengar bunyi nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak panjang,
trang-tring-trang-tring diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.
Pertandingan itu berlangsung
seru sekali dan ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima itu seimbang.
Mungkin panglima muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas dia kalah
tenaga sehingga hal ini membuat keadaan mereka berimbang dan pertandingan
mati-matian itu berjalan makin seru.
Sungguh tidak beruntung bagi
panglima muka kuning, ketika lawannya menghantam sekuat tenaga dengan golok
panjang dan dia menangkis dengan tombak, hantaman yang amat kuat itu membuat
tombaknya hampir terlepas dari pegangan, kudanya meringkik kesakitan karena
tertusuk tombak yang hampir terlepas dan kuda itu berjingkrak. Hal ini membuat
panglima muka kuning kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga ketika golok
lawan menyambar dan ia kembali menggerakkan tombak menangkis, tombaknya menjadi
patah. Terpaksa ia mencabut pedang dan dengan senjata yang pendek ia terdesak
hebat oleh lawannya yang bersenjata golok bergagang panjang.
Sorak-sorai pasukan Mancu yang
menyambut kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara Sung di bawah
pimpinan para perwira pembantu panglima muka kuning. Tentu saja pasukan Mancu
tidak tinggal diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai makian.
Terjadilah perang yang dahsyat
antara dua ribu orang perajurlt itu, perang campuh di atas kuda yang
menggiriskan hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat melihat
betapa dua ribu orang itu saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat
bergelimpangan terinjak-injak kuda, jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan
kemarahan, tawa dan tangis bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang mengebul
tinggi!
Pasukan Mancu itu adalah
pasukan yang terlatih baik menurut petunjuk Panglima Wanita Maya maka mereka
bertanding dengan semangat tinggi, kuda mereka pilihan dan mereka mempunyai
kerja sama yang lebih baik sehingga akhirnya pasukan dari benteng itu terdesak
dan kewalahan. Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa orang perwira
pembantunya juga tewas, maka sisa pasukan yang kehllangan dua ratus orang lebih
itu mundur melarikan diri ke benteng, dikejar oleh pasukan musuh.
Koksu yang marah sekali
melihat ini, memerintahkan serdadu-serdadu penjaga di benteng menghujankan anak
panah ke arah musuh, kemudian dia menyuruh muridnya sendiri, Ang-siucai yang
kini telah memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang perajurit menyerbu
keluar.
Pasukan pengejar yang dihujani
anak panah itu menghentikan pengejaran, kemudian merekalah yang mengundurkan
diri karena ada aba-aba dari belakang agar mereka mundur. Panglima Wanita Maya
melihat keluarnya pasukan baru yang jumlahnya dua ribu orang lalu memerintahkan
Kwa-huciang, pembantu utamanya, menyambut serbuan musuh itu dengan membawa tiga
ribu orang perajurit.
Kini terjadilah perang yang
lebih hebat lagi, sebagian berkuda, sebagian pasukan berjalan kaki dan makin
banyaklah kini darah berhamburan, nyawa melayang dan debu mengebul makin
tinggi.
Panglima Maya mempergunakan
sisa pasukannya untuk menyerbu ke benteng dan di pihak Sung mengadakan
perlawanan, menghujankan anak panah dari atas tembok yang dibawa oleh pihak
penyerbu. Karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya pihak musuh dapat menyerbu
masuk dan Koksu yang dilindungi oleh Han Ki membuka jalan darah, melarikan diri
dari belakang merobohkan pihak penyerbu yang mengurung kota itu dari belakang
pula.
Berkat kelihaian Han Ki,
akhirnya Bu-koksu, beberapa orang panglima, Kepala Daerah Sian-yang, dapat
melarikan diri menunggang kuda dan terus lari ke selatan, menuju ke kota
Ta-tung di mana terdapat benteng lebih besar dan kuat lagi sebagai benteng
pertahanan dekat kota raja. Pihak pasukan yang mempertahankan kota Sian-yang,
sebagian pula ada yang berhasil menyelamatkan diri ke selatan, akan tetapi
lebih banyak yang roboh dan tewas menjadi korban amukan tentara Mancu yang
bergabung dengan pasukan tentara pemberontak. Penyer buan kota itu menjadi
mudah berhasil berkat pengacauan dari dalam yang dilakukan anak buah Panglima
Maya.
Dalam keributan ketika pasukan
Mancu menyerbu, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu yang tadinya bersembunyi di atas
pohon itu cepat meloncat turun dan terpaksa melarikan diri memasuki kota dan
bersembunyi di dalam sebuah kuil tua di mana ternyata sudah terdapat banyak
orang bersembunyi pula.
Sudah menjadi lajimnya
manusia-manusia di dunia ini, perang antara manusia mendatangkan malapetaka
hebat di mana perikemanusiaan sudah diinjak-injak, nyawa manusia tidak ada
harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap. Di dalam
perang biasanya yang menang seperti harimau haus darah, ingin membunuh sebanyak
mungkin, ingin menyiksa sepuas hatinya karena selalu teringat olehnya bahwa
kalau dia kalah, maka dialah yang akan tersiksa dan terbunuh. Soalnya hanya
siapa yang lebih dulu membunuh, dia wenang! Kemudian akibat kemenangan ini
membuat mereka yang haus darah menjadi kejam sekali, perampokan terjadi di
mana-mana, pembunuhan, penyiksaan dan perkosaan!
Dengan dalih pembersihan!,
bala tentara Mancu memasuki setiap rumah penduduk dan membunuh siapa saja yang
dicurigai, mengambil barang-barang berharga, dan wanita-wanita muda diganggunya,
diperkosa atau dibunuhnya kalau melawan! Jerit tangis membubung tinggi di
angkasa, rintihan mohon pengadilan dan perlindungan. Namun, dalam perang,
siapakah yang akan mengadili dan melindungi? Semua hak mutlak berada di tangan
yang menang. Andaikata keadaannya terbalik, pihak yang kalah itu yang menjadi
penyerbu dan pemenang, keadaannya takkan berbeda banyak. Memang sudah menjadi
sifat manusia pada umumnya. Jika kalah dan menderita minta-minta ampun dan
mohon perlindungan Tuhan dan semua dewa, kemudian mengandung dendam kebencian
yang hebat. Kalau sedang menang dan jaya lupa akan perikemanusiaan, berbuat
sewenang-wenang, lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
mencari jalan keluar dari kota itu, namun sia-sia Pihak Mancu, atas perintah
Panglima Maya yang cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki kota, lalu
mengatur penjagaan ketat, menjadikan benteng rampasan itu menjadi benteng
pertahanan, tidak memperbolehkan orang keluar masuk tanpa ijin khusus. Kemudian
Panglima Maya dan Pangeran Bharigan yang memimpin langsung penyerbuan itu,
menjatuhkan perintah kepada semua perajurit, melarang mereka melanjutkan
perbuatannya merampok, membunuh dan memperkosa. Kalau ada yang dicurigai supaya
ditangkap dan akan diperiksa. Pelanggaran larangan ini akan dijatuhi hukuman
berat.
Maya memang cerdik.
Pengalamannya ketika ia lari dari Khitan, menyaksikan akibat perang melihat
hal-hal mengerikan sebagai akibat perang membuat dia mengerti bahwa pada saat
pasukannya berhasil menyerbu kota yang dilakukan dengan taruhan nyawa, maka
pesta-pora mereka yang kejam itu hanya untuk melampiaskan nafsu yang
berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau begitu berhasil lalu menjatuhkan
larangan, hal ini akan mengecewakan hati pasukan dan menimbulkan rasa tidak
senang sehingga mudah memberontak. Akan tetapi, juga tidak baik kalau dibiarkan
berlarut-larut. Maka setelah membiarkan pasukannya berbuat sesukanya itu, dua
hari kemudian, dia mengumumkan perintah ini.
Pengumuman ini membuat rakyat
yang tadinya ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali. Penghuni kota
diperkenankan bekerja seperti biasa dengan jaminan akan dilindungi oleh
pemerintah baru. Betapapun juga, pemerasan dan perampokan halus-halusan masih
terjadi di sana-sini sungguhpun perajurit-perajurit itu tidak lagi berani
membunuh orang. Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada. Terutama sekali
perkosaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
terpaksa meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan orang perajurit
Mancu yang galak-galak. Para pengungsi di dalam kuil terdiri dari dua puluh
orang lebih dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar suara gaduh
masuknya belasan orang perajurit itu. Waktu itu, pengumuman dari Panglima Mancu
belum ada, maka para perajurit itu segera men yerbu, menendangi orang dan
merampas buntalan-buntalan.
Beberapa orang wanita yang
sudah tua dan ikut mengungsi ke situ, ditendang roboh dan dirampas buntalan
mereka. Buntalan dibuka dan isinya dibuang ke sana-sini, hanya yang berharga
saja yang diambil. Ketika ada di antara para pengungsi itu hendak
mempertahankan barangnya, mereka dibacok roboh. Seorang wanita tua lehernya
sampai hampir putus ketika wanita itu mencakar muka seorang para perajurit yang
merampas buntalannya. Yang lain-lain menjerit dan berusaha lari, akan tetapi
mereka roboh oleh sabetan golok atau tendangan kaki.
Siauw Bwee menjadi merah
mukanya dan ia sudah hendak meloncat dan memberi hajaran, akan tetapi lengannya
dipegang Coa Leng Bu yang berbisik, Jangan mencari bahaya. Mereka bukan lawan
kita....!
Kemudian Coa Leng Bu menarik
tangan Siauw Bwee diajak keluar dari kuil tua yang kini menjadi tempat
penyembelihan manusia dan menjadi tempat perbuatan sewenang-wenang itu. Akan
tetapi mereka melihat Siauw Bwee dan segera terdengar seruan-seruan girang.
Aduhhhh! Ada yang sejelita ini
sembunyi di sini! Wah, untung besar kita.... ha-ha-ha!!
Seorang perwira Mancu yang
agaknya menjadi kepala pasukan kecil ini sudah meloncat menubruk, matanya
bernyala penuh gairah nafsu, mukanya beringas. Coa Leng Bu maklum bahwa kalau
perwira itu sampai mendekati Siauw Bwee, tentu gadis itu takkan membiarkannya
dan menerjang ke depan, menyambut perwira itu dengan tendangan yang membuatnya
terjengkang!
Melihat betapa supeknya jelas
dengan sengaja tidak mau membunuh orang, Siauw Bwee menjadi sadar. Dia maklum
bahwa kota yang sudah diduduki bala tentara Mancu itu merupakan tempat yang
amat berbahaya. Mereka tidak dapat lolos keluar dan kalau sampai mereka
membunuh tentara lalu dikeroyok, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya
bagi mereka. Maka sambil menahan kemacahan, ia pun lalu berkelebat merobohkan
para perajurit Mancu yang kini datang mengeroyok mereka berdua. Dalam waktu
singkat saja dia dan supeknya telah berhasil meloloskan diri dari mereka dan
cepat melarikan diri, menyelinap di antara banyak orang dan mencari tempat
persembunyian baru.
Tiba-tiba terdengar jerit
wanita dan Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu cepat menuju ke tempat itu, di balik
sebuah jalan tikungan di mana tampak orang-orang melarikan diri dan
perajurit-perajurit Mancu hilir mudik tertawa-tawa, dan ada yang mabok. Ketika
Siauw Bwee dan supeknya melihat sebuah kereta dikurung belasan orang serdadu
yang tertawa-tawa dan dari dalam kereta itu terdengar jerit wanita-wanita tadi,
dara sakti ini tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi.
Tanpa mempedulikan pencegahan
supeknya, dia telah menerjang maju, membuat empat orang perajurit terpelanting
ke kanan kiri dan ia cepat membuka tirai yang menutupi kereta. Kiranya ada empat
orang perajurit di dalam kereta, sedang tertawa-tawa dan hendak memperkosa dua
orang wanita, yang seorang masih dara remaja dan seorang pula adalah ibu dara
itu, seorang nyonya setengah tua yang cantik dan berpakaian seperti seorang
wanita bangsawan.
Siauw Bwee mereggerakkan
tangan empat kali dan tubuh empat orang perajurit itu terlempar keluar dari
kereta dengan kepala pecah! Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Akan
tetapi, Siauw Bwee telah menyambar tubuh ibu dan anak itu, meloncat keluar dari
dalam kereta sambil berseru,
Supek, kita harus selamatkan
mareka!!
Celaka...., hayo cepat lari!!
Coa Leng Bu mengomel, akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan Siauw Bwee karena
menyaksikan peristiwa seperti itu, tentu saja dara sakti itu tak mungkin tinggal
diam.
Wanita bangsawan itu berkata,
Nona penolong, bawa kami pergi ke ujung selatan kota di sana ada tinggal
seorang adikku, membuka toko obat.!
Supek, mari kita ke sana!!
kata Siauw Bwee dan dengan cepat mereka itu lenyap menyelinap di antara banyak
pengungsi dan akhirnya mereka berhasil tiba di toko obat dan cepat-cepat mereka
disembunyikan di ruangan belakang. Kiranya nyonya itu adalah isteri seorang
pembesar di kota itu. Rumahnya sudah habis dirampok dan suaminya mati terbunuh,
bahkan sekeluarga mereka, hanya nyonya itu dan anak gadisnya yang berhasil
melarikan diri melalui pintu bela kang, ditolong oleh kusir mereka yang setia.
Akan tetapi sial bagi mereka, di tengah jalan mereka dihentikan oleh pasukan
tadi, kusir mereka dibunuh dan hampir saja mereka menjadi korban kebuasan
perajurit-perajurit Mancu kalau saja tidak tertolong oleh Siauw Bwee.
Nyonya bangsawan itu bersama
puterinya berlutut menghaturkan terima kaaih kepada Siauw Bwee, akan tetapi
dara perkasa ini membangunkan mereka sambli berkata, Dalam keadaan seperti ini,
tidak ada tolong-menolong dan sudah semestinya kalau klta yang senasib saling
melindungi. Sekarang pun aku dan supekku minta perlindungan kalian, agar kami
diperbolehkan bersembunyi di rumah ini sampai malam. Menjelang tengah malam,
kami akan berusaha menyelundup keluar kota.!
Lihiap telah menolong keluarga
kami, tentu saja Lihiap boleh sembunyi di sini,! kata adik nyonya bangsawan
pemilik toko obat itu. Coa Leng Bu dan Siauw Bwee mendapatkan dua buah kamar di
ruangan paling belakang dan setelah mengisi perut dengan hidangan yang hangat,
mereka berdua mengaso dan bercakap-cakap.
Kita baru dapat keluar kalau
keadaan sudah gelap sekali. Kita harus dapat melewati tembok kota dan sebaiknya
kalau aku yang lebih dulu mencari jalan keluar. Tembok kota raja luar terkurung
air dan kurasa penjagaan amat ketat. Engkau akan menimbulkan banyak perhatian
apalagi para serdadu itu seperti serigala kelaparan kalau melihat wanita muda.
Kau tunggu saja di sini, aku akan menyamar sebagai seorang pengungsi yang
mencari keluarganya yang tercerai dalam keributan dan akan kucari bagian yang
paling lemah untuk diterobos. Kau menanti di sini dan beristirahatiah.!
Siauw Bwee tak dapat
membantah. Biarpun dia jauh lebih lihai daripada supeknya, akan tetapi dia
adalah seorang wanita muda yang tentu akan menimbulkan banyak kesukaran dalam
usaha itu.
Baiklah, Coa-supek. Akan
tetapi harap Supek berhati-hati. Pihak Mancu mempunyai banyak orang pandai
sehingga Koksu sendiri yang dibantu orang-orang sakti sampai dapat dikalahkan
dan kota ini diduduki. Memang aku harus keluar dari sini untuk mengejar
Kam-suheng.!
Mendengar ini Coa Leng Bu
mengerutkan alisnya dan ia teringat akan pemuda tampan yang lihainya bukan main
itu, lalu ia menghela napas. Telah kuperhatikan ketika mendengar engkau
menyebut suheng kepada pemuda sakti itu. Sungguh beruntung sekali mataku dapat
memandang murid Locianpwe Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Akan tetapi,
menurut penglihatanku berdasarkan pengalaman, suhengmu itu berada dalam keadaan
yang tidak wajar, Khu-lihiap.!
Itulah yang membingungkan
hatiku, Supek. Dia tidak mengenalku, bahkan melawanku! Bagaimana mungkin hal
seperti itu terjadi? Apakah dia berpura-pura dan terpaksa bersikap seaneh itu?!
Coa Leng Bu menggeleng kepala.
Tidak, Lihiap. Kalau aku tidak salah duga suhengmu itu tentu telah diracuni
dengan semacam I-hun-san (bubuk perampas ingatan) sehingga dia lupa akan segala
hal yang lalu dan dijadikan pengawal boneka oleh Bu-koksu.!
I-hun-san....?! Siauw Bwee
memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
Akan tetapi, suhengku memiliki
ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai terkena racun....?!
Kakek itu menghela hapas.
Boleh jadi dia lihai sekali. Menyakslkan sepak terjangnya ketika melawanmu, harus
kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku melihat orang sehebat dia. Akan
tetapi dia masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat yang demikian tinggi
cukup untuk melindungi diri daripada serangan yang kasar, namun untuk dapat
melindungi dari tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan pengalaman.
Sudahlah, kita akan menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus dapat keluar
lebih dulu dari kota yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan menyusulnya,
tentu dia menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini. Sekarang aku akan
melakukan penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari tembok kota.!
Siauw Bwee mengangguk dan
supeknya itu lalu meninggalkan rumah tempat persembunyian mereka melalui jalan
atas meloncat ke atas genteng dan mulai lah dia melakukan penyelidikan dan
mencari jalan yang memungkinkan mereka dapat melarikan diri dengan selamat.
Malam itu Siauw Bwee tak dapat
tidur, gelisah di atas pembaringannya. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan
diri sendiri yang terkurung di dalam kota itu, akan tetapi dia bingung dan
gelisah memikirkan Kam Han Ki, suhengnya. Memikirkan suhengnya yang dicintanya
itu, selain gelisah, hatinya juga panas dan kemarahan membuat dia jengkel
sekali. Dia tahu bahwa suhengnya, seperti juga dia, adalah keturunan pendekar-pendekar
yang berjiwa pahlawan, dan andaikata tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka
seolah-olah dimusuhi negara, dianggap orang-orang pelarian, tentu mereka akan
menyumbangkan tenaga untuk kepentingan mereka. Suhengnya adalah keturunan
keluarga Suling Emas, akan tetapi kini dianggap sebagai pengkhianat negara dan
pemberontak, hanya karena peristiwa hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya
dengan kepentingan negara. Dan sekarang, tenaga suhengnya dipergunakan oleh
negara secara pengecut dan keji! Marahlah hati dara ini dan andaikata saat itu
ia berhadapan dengan Bu-koksu, tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.
Eiiggghhhh....!
Toloooongggg....!! Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah
mulut yang berteriak itu didekap. Siauw Bwee tersentak kaget, mencelat turun
dari pembaringannya karena jeritan itu terdengar dekat sekali, dari sebelah
depan rumah. Tanpa membuang waktu lagi dia meloncat keluar kamar dan lari ke
depan. Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ia melihat tiga orang serdadu
Mancu sambil tertawa-tawa membacoki keluarga tuan rumah yang semua sudah
menggeletak tewas di atas lantai, termasuk nyonya bangsawan yang ditolongnya.
Iblis....!! Ia membentak dan
menerjang maju. Tiga orang serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang
muncul ini. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung
menyambar, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke depan, kaki kirinya bergerak,
tangan kanannya meraih dan tubuh serdadu yang memegang pedang terpental,
pedangnya terampas oleh dara perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat
bergerak, pedang di tangan Siauw Bwee telah men yambar seperti kilat dan mereka
itu roboh dengan tubuh terbabat putus menjadi dua!
Dari bawah sinar lampu, Siauw
Bwee melihat bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali gadis cantik puteri
nyonya bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang menjerit, tentu
dilarikan serdadu. Dia terus mengejar ke depan dan memasuki sebuah warung
kosong di mana ia mendengar suara serdadu tertawa. Dengan pedang di tangan kanan,
ia menerjang masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya membuat Siauw Bwee
seperti hendak meledak dadanya. Matanya mendelik penuh amarah! Dua orang
serdadu sedang memaksa gadis puteri bangsawan itu di atas meja. Baju atas gadis
itu telah terbuka sama sekali dan sekarang, sambil tertawa-tawa, seorang
serdadu hendak merenggut lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu ke dua sambil
memegang lengan gadis itu, menampari mulut gadis disuruh diam!
Anjing busuk!! Siauw Bwee
memaki, pedangnya berkelebat.
Singgg....! Crotttt!! Punggung
serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas ke bawah. Dia
tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh
mandi darahnya sendiri. Serdadu ke dua terkejut, mencabut pedangnya, namun
kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher putus!
Tiba-tiba dari luar warung itu
datang belasan orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah pasukan-pasukan yang
menjaga daerah ini dan tadi mereka melihat mayat kawan mereka di dalam rumah
obat, lalu mereka mendengar keributan di warung itu.
Melihat munculnya dua belas
orang serdadu ini, Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat menyambar dengan
terjangan pedang rampasannya. Gerakan pedang di tangan Siauw Bwee seperti kilat
menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut, pedang dan golok
beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu! Yang lain-lain menjadi
terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak dan Siauw Bwee terus menerjang
maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga dengan
mudah ia meloncat keluar.