Bab 24
***
Kita meninggalkan dulu Yan Hwa
yang tidur pulas dan suhengnya yang memandang dengan heran dan menduga-duga,
karena pada hari itu juga, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelundup ke
kota Siang-tan. Karena sudah lama kita meninggalkan Siauw Bwee, sebaiknya kita
mengikuti perjalanannya.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, pendekar wanita yang sakti ini berhasil keluar dari kota
Sian-yang berkat bantuan Suma Hoat dan kemudian setelah keluar dari kota itu,
dia bertemu kembali dengan pemuda ini yang ternyata adalah sute dari Coa Leng
Bu. Diceritakan pula betapa Suma Hoat tergila-gila kepadanya dan secara terus
terang menyatakan cintanya yang tentu saja ditolak oleh Siauw Bwee. Betapapun
juga Siauw Bwee tidak mengganggu pemuda itu biarpun kenyataan bahwa pemuda itu
putera tunggal musuh besarnya, Suma Kiat, membuat dia semestinya membenci Suma
Hoat. Namun sikap pemuda itu malah menimbulkan perasaan iba di hatinya.
Setelah Suma Hoat pergi yang
membuat heran hati Coa Leng Bu karena kakek ini tidak mengetahui
sebab-sebabnya, juga tidak berani bertanya kepada Siauw Bwee, mereka
melanjutkan perjalanan menuju ke kota Siang-tan. Siauw Bwee ingin sekali
bertemu dengan suhengnya, ingin menyelidiki sikap suhengnya yang aneh, yang
menurut dugaan supeknya itu tentu menjadi korban racun perampas semangat.
Tentu saja memasuki kota
Siang-tan yang masih diduduki oleh pasukan Sung, lebih mudah bagi mereka,
orang-orang Han, daripada memasuki kota Sian-yang yang telah dikuasai bala
tentara Mancu. Bersama rombongan pengungsi, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki
pintu gerbang kota. Akan tetapi, pada pagi hari itu, penjagaan di pintu gerbang
kota Siang-tan tidaklah seperti biasa. Biarpun para pengungsi itu adalah suku
bangsa sendiri, namun setiap orang pengungsi harus digeledah dan setiap buah
senjata yang ada pada mereka dirampas. Hal ini adalah akibat kekacauan yang
terjadi kemarin, di mana para pengungsi mengamuk dan lima orang mata-mata
diketahui dan dikejar-kejar.
Ketika tiba giliran Siauw Bwee
digeledah, hampir saja terjadi keributan. Melihat dua orang penjaga yang
menyeringai dan memandangnya dengan muka kurang ajar, hati Siauw Bwee menjadi
panas sekali. Para pengungsi lain, cukup digeledah barang-barang bawaan mereka
dan diharuskan menyerahkan senjata yang menempel di tubuh, akan tetapi melihat
Siauw Bwee yang cantik jelita, dua orang petugas itu timbul gairahnya dan
keceriwisannya.
Aha, Nona harus digeledah.
Silakan masuk ke pondok penjaga, harus kami geledah kalau-kalau Nona
menyembunyikan senjata atau surat-surat penting di dalam pakaian Nona. Kami
takkan bersikap kasar terhadap Nona yang cantik jelita.!
Hampir saja Siauw Bwee
melayangkan tangannya menampar petugas itu, akan tetapi Coa Leng Bu cepat
menyentuh lengannya. Kakek ini menjura kepada dua orang petugas itu. Harap
Ji-wi suka memaafkan kami. Keponakanku ini tidak membawa senjata lain kecuali
pedangnya. Pedang sudah kami berikan, mengapa harus digeledah pakaiannya lagi
sedangkan para pengungsi lainnya tidak?!
Hemm, engkau tak tahu, orang
tua! Di antara mata-mata yang dikejar semalam, terdapat beberapa orang gadis
muda yang cantik. Dalam keadaan perang seperti ini, gadis-gadis cantik,
pengemis-pengemis tua, orang-orang yang kelihatan lemah dan biasa malah
mencurigakan, karena para mata-mata selalu menyamar sebagai orang-orang lemah.!
Alasan dicari-cari! Kalau aku
mata-mata, masa akan masuk kota begini saja? Katakan saja kalian kurang ajar
agar aku mendapat alasan untuk menghajar kalian!! Siauw Bwee membentak dan
telapak tangannya sudah terasa hendak mencium! muka dua orang penjaga yang
menyebalkan hatinya itu.
Ssstt, sabarlah, Lihiap,! kata
Coa Leng Bu yang segera berkata kepada dua orang yang kelihatan marah oleh
kata-kata Siauw Bwee tadi. Harap Ji-wi tidak mengganggu. Ketahuilah bahwa aku
adalah suheng dari Suma Hoat, putera Jenderal Suma Kiat. Kalau sampai terjadi
keributan antara kita dan terdengar oleh Suma-goanswe, akan membuat hati tidak
enak saja.!
Mendengar ini, pucatlah wajah
kedua orang penjaga itu. Mereka membungkuk-bungkuk, meminta maaf dan
mempersilakan mereka memasuki kota tanpa banyak cakap lagi.
Huh, menyebalkan sekali
anjing-anjing penjilat itu!! Siauw Bwee mengomel.
Kita harus dapat memaafkan
mereka, Lihiap. Mereka hanyalah petugas-petugas yang menjalankan kewajibannya.!
Supek, perlu apa membela
orang-orang macam itu? Kalau memang para petugas menjalankan kewajibannya
dengan baik dan teliti, siapa yang akan membantah dan mencela? Aku malah akan
menghargainya dan kagum. Ayah pernah bilang bahwa seorang petugas harus memiliki
kesetiaan kepada tugasnya. Akan tetapi mereka itu? Hemm...., mereka hanya
melakukan tugas dengan keras penuh tekanan kepada mereka yang lemah dan miskin.
Mereka yang mampu memberi uang sogokan tidak digeledah, dan wanita-wanita muda
yang sudi bersikap manis kepada mereka tentu akan terbebas pula dari
penggeledahan. Engkau tadi baru menggunakan nama besar Jenderal Suma saja sudah
membuat mereka mundur dan melipat buntut seperti anjing-anjing penjilat
ketakutan. Menyebalkan.! Siauw Bwee memang marah sekali karena nama musuh
besarnya, Suma Kiat, terpaksa dipergunakan oleh supeknya untuk menghindarkan
keributan.
Lihiap, engkau adalah seorang
yang biarpun masih amat muda, telah berhasil memiliki ilmu kepandaian yang amat
hebat. Namun, tetap saja engkau masih muda dan perlu mempelajari soal hidup dan
lebih mengenal diri sendiri agar kesadaran menuntunmu dan membuat pandang
matamu waspada terhadap segala yang terjadi di sekelilingmu. Belajarlah untuk
berani menghadapi kenyataan yang bagaimanapun juga, Lihiap. Menghadapi
kenyataan tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Tanpa ingatan akan masa lalu
dan renungan akan masa depan maka engkau akan dapat melihat kenyataan itu
seperti apa adanya, membuat engkau akan tetap tenang biarpun menghadapi apapun
juga. Dalam keadaan tenang sewajarnya inilah maka segala tindakanmu akan dapat
kaupergunakan dengan tepat, dan engkau tidak akan terseret oleh kemarahan dan
penasaran, penyesalan maupun harapan, karena ketenangan yang timbul dari
kewaspadaan ini akan dapat membuat engkau bisa menyesuaikan diri dengan segala
keadaan.!
Siauw Bwee menjadi termenung.
Pantas supeknya ini selalu tenang, kiranya memiliki dasar kesadaran yang amat
mendalam. Dia menjadi malu kepada diri sendiri yang mudah dibangkitkan rasa
penasaran dan kemarahannya yang sesungguhnya hanya berdasarkan untung rugi bagi
diri pribadinya saja.
Maafkan kemarahanku tadi,
Supek. Pikiranku sedang gelisah memikirkan Suheng, sehingga aku mudah
tersinggung. Aku akan langsung mencari di mana gedung tempat tinggal Bu-koksu,
karena Suheng tentu berada di sana pula.!
Berbahaya sekali kalau
langsung pergi ke sana, Lihiap.!
Supek, aku tidak takut.
Kurasa, aku akan sanggup menghadapi semua pengawal Bu-koksu....!
Apakah engkau akan mampu pula
menandingi Kam-taihiap, suhengmu itu?!
Ahhh.... kalau dia.... tentu
saja aku takkan mampu, dia adalah suhengku dan juga guruku, karena dialah yang
membimbingku dahulu.!
Nah, kalau begitu, harap
jangan tergesa-gesa dan sembrono. Bukankah suhengmu itu telah hilang ingatan
dan tidak mengenalmu lagi? Kalau kau menyerbu ke sana, tentu dia akan membela
Bu-koksu dan mau tidak mau engkau akan berhadapan dengan dia.!
Siauw Bwee terkejut dan
menjadi bingung, lalu menghela napas. Aihhh, benar juga, habis bagaimana
baiknya, Supek?!
Kita harus bersabar, dan
sebaiknya kita mencari rumah penginapan lebih dulu, kemudian baru kita
menyelidiki dengan diam-diam. Jalan terbaik adalah mencari kesempatan untuk
dapat berjumpa berdua dengan suhengmu itu dan membujuknya untuk suka kuobati.
Atau, kalau sekiranya sukar mencari kesempatan ini, aku dapat meminta bantuan
Sute. Kurasa, Suma-sute juga berada di kota ini.!
Siauw Bwee mengerutkan
alisnya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia harus minta bantuan Suma Hoat,
pemuda putera musuh besarnya, juga pemuda yang ia tolak cintanya itu.
Coa-supek, terima kasih atas
nasihatmu yang amat berharga. Memang sebaiknya begitulah dan kuminta bantuan
Supek agar Supek mempersiapkan obat-obat untuk menyembuhkan suhengku. Sebaiknya
Supek mempersiapkan tempat dan obat lebih dulu, aku akan menyusul setelah aku
berhasil membujuk Suheng.!
Soal tempat, aku sudah memilih
untuk keperluan itu. Hutan yang kita lewati kemarin, hutan yang penuh pohon pek
itu merupakan tempat yang amat baik, apalagi aku melihat banyak tetumbuhan obat
di sekitarnya. Kalau kita berhasil membujuk suhengmu, sebaiknya kita ajak dia
ke sana, kita bersembunyi di bagian yang sunyi dalam hutan itu dan aku akan
berusaha mengobatinya.!
Bukan kita, Supek, melainkan
aku sendiri. Aku sendiri yang akan mencari dan membujuknya. Harap Supek
mempersiapkan tempat dan mencari obat-obatnya. Pekerjaan ini amat berat, dan
kalau Supek ikut, aku khawatir kalau dia akan curiga dan tidak mau memenuhi
permintaanku.!
Coa Leng Bu mengangguk-angguk.
Engkau benar, Lihiap. Di sini banyak terdapat orang lihai, dan dengan
kepandaianku yang masih rendah, aku hanya akan menjadi penghalang saja.
Baiklah, kita berpisah di sini, aku akan menuju ke hutan itu dan mempersiapkan
obat-obatnya yang harus kucari lebih dulu. Kau berhati-hatilah dan semoga kau berhasil
membujuknya pergi ke sana.!
Aku sama sekali bukan
bermaksud merendahkan kepandaianmu, Supek....!
Tidak, memang kenyataannya
demikian. Aku tidak menyesal, dan selamat tingga1, Lihiap, semoga semua
berjalan baik.! Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan Siauw Bwee
kembali ke pintu gerbang dan keluar dari kota Siang-tan.
Siauw Bwee menarik napas
panjang. Ia merasa menyesal terpaksa harus mengeluarkan kata-kata menyinggung
hati supeknya yang baik itu, sungguhpun ia yakin bahwa supeknya yang bijaksana
tidak merasa tersinggung dan dapat melihat kenyataan bahwa kalau supeknya ikut
bersama dia mencari suhengnya, keadaan tidak akan menguntungkan mereka. Maka
dia pun melanjutkan perjalanannya memasuki kota besar Siang-tan, mencari-cari
rumah penginapan.
Rumah penginapan Sin-lok
adalah sebuah rumah penginapan yang cukup besar, bahkan mempunyai rumah makan
sendiri di sampingnya. Melihat rumah penginapan ini, Siauw Bwee menghampiri
pintu dan bermaksud hendak menyewa kamar di situ. Akan tetapi, tiba-tiba ia
menghentikan langkahnya ketika ada suara orang berseru,
Heii, Nona! Tunggu dulu!!
Ia menoleh dan kiranya yang
menegurnya adalah seorang perwira pengawal yang memimpin pasukan pengawal
sebanyak dua belas orang, agaknya mereka ini bertugas meronda di kota yang
sudah bersiap-siap menghadapi penyerbuan musuh dan yang kini melakukan
penjagaan dan perondaan ketat setelah kemarin terjadi keributan yang
ditimbulkan oleh Maya dan para pembantunya, terutama sekali pemberontakan
beberapa orang pengemis yang berhasil dihasut oleh Kwa-huciang.
Mau apa engkau menahan aku?!
Siauw Bwee sudah bangkit lagi kemarahannya melihat perwira itu dan semua anak
buahnya memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum.
Perwira itu meraba gagang
pedangnya dan berkata, Harap Nona tidak melawan. Aku menangkap Nona dan harap
suka ikut ke kantor untuk diperiksa.!
Apa salahku? Mengapa aku
ditangkap dan diperiksa, untuk apa?! Siauw Bwee membentak, tidak mempedulikan
wajah beberapa orang yang sudah datang untuk menonton dan kini mereka memandang
kepada Siauw Bwee dengan muka khawatir menyaksikan sikap gadis itu yang galak
dan berani melawan pasukan pengawal.
Kalau aku tidak salah lihat,
aku pernah melihat Nona di Sian-yang. Kalau benar dugaanku, Nona adalah seorang
mata-mata, kalau aku salah lihat, setelah diperiksa oleh komandan kami, Nona
tentu akan dibebaskan, disertai maaf kami.!
Gila! Aku tidak mau ditangkap,
tidak mau diperiksa. Aku seorang pengungsi, apakah kalian ini bisanya hanya
mengganggu wanita saja, sedangkan kalau musuh datang kalian lari
terbirit-birit? Memalukan sekali!!
Muka Si Perwira menjadi merah.
Nona, kalau engkau melawan, hal itu hanya menunjukkan bahwa Nona adalah seorang
musuh. Kami hanya melakukan tugas, mengapa Nona hendak menggunakan kekerasan?!
Siapa yang menggunakan
kekerasan? Siapa yang memulai dengan pertentangan ini? Aku tidak ada urusan
dengan kalian, sudahlah, jangan mengganggu!! Siauw Bwee melangkah hendak pergi,
memasuki pintu rumah penginapan, akan tetapi perwira itu sudah menghadang dan
kini sudah menghunus pedangnya.
Berhenti! Sikap Nona makin
mencurigakan dan kami terpaksa menangkap Nona. Kalau Nona menyerah dengan
baik-baik, kami akan mengiringkan Nona ke kantor. Kalau Nona melawan, terpaksa
kami menggunakan kekerasan!!
Siauw Bwee makin naik darah.
Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan ia
menghardik, Aku tidak mau ditangkap, hendak kulihat kalian akan bisa berbuat
apa?!
Tangkap dia!! Perwira itu
mengeluarkan aba-aba.
Bagaikan kucing-kucing
kelaparan memperebutkan seekor tikus, empat orang perajurit pengawal sudah
menubruk maju, penuh gairah untuk meringkus tubuh yang padat menggairahkan itu.
Plak-plak-plak-plak!! Empat
kali tangan Siauw Bwee menampar dan empat tubuh terlempar dan roboh terjengkang
seperti disambar petir!
Ahh, ternyata dugaanku benar!
Engkau bukan perempuan sembarangan, engkau adalah mata-mata yang mengacau di
Sian-yang itu!! Perwira muda itu mencabut pedangnya dan menerjang maju. Akan
tetapi, dengan gerakan kaki yang luar biasa, kaki kiri Siauw Bwee menendang,
tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang terlempar ke atas,
kemudian disusul kaki kanan menendang lutut, membuat perwira itu roboh
terguling. Pedang yang meluncur turun itu disambut oleh tangan Siauw Bwee yang
membentak marah,
Kau main pedang, ya? Nah,
makan pedangmu sendiri!!
Gadis yang marah itu sudah
menggerakkan pedang, bukan untuk membunuh hanya untuk sekedar melukai memberi
hajaran, akan tetapi tiba-tiba sebutir kacang goreng melayang dan tepat menotok
pergelangan tangannya yang memegang pedang. Siauw Bwee terkejut bukan main
karena totokan sebutir kacang goreng itu membuat seluruh lengan kanannya
tergetar dan lumpuh sehingga pedang rampasannya terlepas dari pegangan! Betapa
lihainya pelempar senjata rahasia! itu!
Dia dapat mengerahkan
sin-kangnya sehingga lengannya pulih kembali dan cepat memandang ke atas dari
mana serangan tadi datang. Ia melihat seorang laki-laki duduk dengan tenang di
atas loteng depan rumah makan sambil minum arak dan makan kacang goreng, sama
sekali tidak memandang ke bawah seolah-olah tidak mengacuhkannya. Akan tetapi
begitu melihat laki-laki itu jantung Siauw Bwee berdebar keras. Orang yang
dicari-carinya, Kam Han Ki, kiranya orang yang melemparnya dengan kacang
goreng. Pantas saja lemparannya demikian tepat menotok jalan darah di
pergelangan tangannya dan membuat pedangnya terlepas!
Suheng....!! Ia menjerit penuh
kegirangan dan tubuhnya sudah melompat ke atas loteng itu, dipandang oleh para
pengawal dan penduduk yang menonton dengan mata terbelalak kagum. Gerakan Siauw
Bwee memang amat mengejutkan. Lompatannya itu seperti seekor burung terbang ke
atas, demikian indah dan cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, hanya
merupakan bayangan berkelebat saja.
Suheng....!! Kembali Siauw
Bwee berkata setelah dia berdiri di depan pemuda itu yang memandangnya dengan
mata tak acuh dan masih melanjutkan minum araknya. Melihat sinar mata suhengnya
ini, Siauw Bwee merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang. Sinar mata
suhengnya membayangkan bahwa dia tidak mengenalnya sama sekali, seperti pandang
mata seorang asing, namun pandang mata itu mengandung teguran dan penyesalan.
Suheng, ini aku, Siauw Bwee
sumoimu!! Suara Siauw Bwee mengandung isak, hampir saja dia menangis karena
tidak kuat menahan kedukaan hatinya.
Kam Han Ki, pemuda itu,
menurunkan guci araknya, memandang Siauw Bwee penuh perhatian dan sepasang
alisnya berkerut, penuh teguran. Suaranya halus namun penuh dengan penyesalan
ketika ia berkata,
Nona, aku sama sekali tidak mengerti
akan sikapmu yang aneh, dan mengapa engkau selalu menyebut suheng kepadaku. Aku
tidak dapat menduga apakah sebabnya engkau bersandiwara seperti itu, ataukah
memang engkau salah mengenal orang. Kalau hendak mengatakan engkau gila, tidak
mungkin. Akan tetapi, yang amat kusayangkan adalah bahwa berkali-kali engkau
mengacau, dahulu di Sian-yang, dan sekarang kembali engkau mengacau di sini.
Kepandaianmu amat tinggi, jarang aku bertemu dengan orang yang setinggi tingkat
kepandaianmu. Akan tetapi sungguh sayang andaikata engkau pergunakan
kepandaianmu untuk mengkhianati negara.!
Kam-suheng! Aku tidak
mengkhianati siapa-siapa, aku.... aku....! Siauw Bwee tak dapat melanjutkan
kata-katanya saking sedih hatinya melihat keadaan suhengnya yang benar-benar
sama sekali tidak mengenalnya.
Hemm, engkau selalu membikin
kacau dan kalau tadi tidak kucegah, bukankah engkau sudah melukai seorang
perwira pengawal?!
Kam-suheng, aku sengaja
mencarimu! Engkau.... engkau telah kehilangan ingatan sehingga engkau tidak
ingat lagi kepadaku, sumoimu yang.... yang setengah mati mencarimu. Aihh,
Suheng.... ingatlah, aku Siauw Bwee.... Suheng, benar-benarkah engkau lupa
kepadaku?!
Han Ki memandang dan
menggeleng-geleng kepalanya, lalu menghela napas. Sayang.... sungguh sayang....
Engkau seorang dara remaja yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Sayang
kalau sampai pikiranmu tidak normal. Aku belum pernah bertemu denganmu, kecuali
ketika engkau mengacau dan menyerang Koksu di Sian-yang. Sungguhpun suaramu....
ahh, tentu hanya dalam mimpi saja aku pernah mendengar suaramu. Nona, kau
pergilah dari kota ini, jangan mengacau lagi.!
Siauw Bwee maklum bahwa akan
percuma saja dia mengingatkan suhengnya ini yang sudah hilang ingatannya. Dia
seorang gadis cerdik, maka dia segera bertanya,
Kalau kauanggap aku sebagai
seorang pengkhianat dan pengacau, mengapa engkau tidak menangkap saja aku agar
aku dihukum mati, atau tidak kaubunuh saja aku? Betapapun lihaiku, aku tidak
akan dapat menang melawanmu. Mengapa?! Bertanya demikian, sepasang matanya
menatap tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati Han Ki.
Aku tidak akan tega
mencelakakan engkau, Nona. Aku tidak suka membikin susah orang lain, apalagi
engkau!!
Mengapa aku diistimewakan?!
Han Ki bukanlah seorang yang
pandai bicara, maka dia merasa terdesak di sudut, setelah memandang gadis itu
dengan pandang mata bingung, dia menarik napas panjang dan menjawab,
Entah mengapa.... aku.... aku
kasihan kepadamu. Engkau seorang gadis yang amat baik, amat lihai, sungguh aku
tidak mengerti mengapa engkau pura-pura mengenalku sebagai suhengmu. Sudahlah,
mari kau kuantar keluar dari kota agar engkau dapat pergi dengan aman.! Ia
menjenguk ke bawah dan melihat pasukan-pasukan pengawal datang mengurung tempat
itu, ia menggerakkan tangan berkata,
Pergilah kalian semua! Biarkan
aku sendiri yang mengurus Nona ini!!
Siauw Bwee juga menjenguk ke
bawah dan ia melihat betapa para perwira komandan pasukan memandang Han Ki
dengan heran, akan tetapi mereka tidak berani membantah dan pergilah para
pasukan pengawal itu.
Harus membujuknya di tempat
sunyi, pikir Siauw Bwee, agar tidak terganggu orang lain. Baiklah, mari
kauantar aku keluar kota.! Akhirnya dia berkata.
Baik, aku akan mengantarmu ke
luar kota dan setelah itu engkau harus pergi dan berjanji padaku tidak akan
mengacau di kota lagi karena aku akan merasa menyesal sekali kalau aku terpaksa
harus melawanmu sebagai musuh.! Pemuda itu lalu memanggil pelayan, membayar
makan minumnya lalu meloncat turun dari loteng diikuti oleh Siauw Bwee yang
menjadi girang sekali.
Dengan diantar oleh Kam Han
Ki, pengawal kepercayaan Bu-koksu, tidak ada seorang pun berani mengganggu
Siauw Bwee dan dengan tenang Siauw Bwee berjalan di samping suhengnya keluar
dari pintu gerbang utara. Bukan main girangnya hati Siauw Bwee dapat berjalan
bersama suhengnya yang diam saja, dan melihat betapa para penjaga memberi
hormat kepada Han Ki, hatinya terasa perih dan berduka. Biarpun dia berjalan di
samping suhengnya, namun Kam Han Ki pada saat itu bukanlah suhengnya, melainkan
pengawal nomor satu dari koksu negara.
Akan tetapi baru saja mereka
keluar dari pintu gerbang, terdengar suara kaki kuda berderap dan sepasukan
pengawal melakukan pengejaran dari belakang. Dari jauh terdengar suara yang
amat berpengaruh dan melengking nyaring tanda bahwa yang mengeluarkan suara
menggunakan khi-kang yang amat kuat.
Kam-siauwte, berhenti dulu!!
Han Ki rrenghentikan
langkahnya, lalu berkata kepada Siauw Bwee. Nona, itu Koksu bersama para
pengawalnya datang. Lebih baik kau lekas lari pergi, biarlah aku yang akan
membujuknya agar melepaskan engkau dan tidak melakukan pengejaran sehingga
tidak terjadi bentrokan antara engkau dan pihak kami.!
Siauw Bwee maklum bahwa dalam
keadaan kehilangan ingatan ini, Han Ki telah menjadi pengawal yang setia dari
Bu-koksu, dan apabila dia menggunakan kepandaiannya melawan Koksu, kesetiaan di
hati Han Ki tentu akan memaksa pemuda itu memihak Koksu. Akan tetapi dia pun
maklum bahwa betapapun suhengnya kehilangan ingatan, namun sifatnya sebagai
pendekar masih tidak lenyap sehingga suhengnya itu tentu tidak akan membiarkan
dia yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak dikenalnya, celaka di
tangan Koksu. Kalau dia lari pergi begitu saja, lenyaplah kesempatan baik untuk
mernbujuk suhengnya supaya ikut bersamanya.
Tidak, Suheng. Aku tidak mau
pergi, aku hanya pergi kalau engkau suka ikut pergi bersamaku.!
Ehhh? Pergi bersamamu?! Han Ki
mengerutkan alisnya, memandang heran. Ke mana?!
Menemui supekku, seorang yang
ahli dalam hal pengobatan. Aku akan membawamu ke sana agar engkau diobati
karena engkau menderita sakit hebat, Suheng.!
Ihhh, gila! Siapa yang sakit?
Andaikata aku sakit, mengapa engkau hendak bersusah payah benar mengobati aku
yang belum kaukenal? Mengapa, Nona?!
Pasukan itu sudah makin dekat
dan cepat Siauw Bwee memegang lengan Han Ki sambil berkata, Karena aku cinta
kepadamu!!
Berubah wajah Han Ki dan
mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia memandang wajah Siauw Bwee seperti
orang bingung, akan tetapi sinar matanya berseri seolah-olah dia merasa girang
sekali, akan tetapi kembali wajahnya berubah dan alisnya berkerut.
Engkau main-main, Nona.
Ataukah jalan pikiranmu tidak beres? Pergilah dan hindarkan keributan.!
Siauw Bwee menggeleng kepala.
Biar sampai mati terbunuh di sini sekalipun, aku tidak akan mau pergi kalau
tidak bersamamu!!
Engkau gadis yang aneh
sekali!!
Pada saat itu, pasukan berkuda
yang dipimpin oleh Bu Kok Tai sendiri telah tiba di situ. Pasukan itu terdiri
dari dua puluh empat orang pengawal pilihan, dan di samping Bu Kok Tai terdapat
pula perwira-perwira pembantu Koksu yang berkepandaian tinggi, di antaranya Ang
Hok Ci atau Ang-siucai, Pat-jiu Sin-kauw yang lihai, Thian Ek Cinjin dan
beberapa orang perwira tinggi yang lihai lagi.
Kam-siauwte, apa yang telah
terjadi? Aku mendengar bahwa engkau membantu wanita pengacau ini maka aku cepat
menyusul. Apa yang telah kaulakukan ini, Siauwte?!
Aku hanya tidak ingin melihat
dia mengacau lagi, Bu-loheng. Maka aku membujuknya untuk keluar kota dan jangan
menimbulkan keributan lagi. Dia bukan orang jahat, harap kau suka memaafkannya
dan membiarkan dia pergi. Nona, harap kau suka pergi, aku percaya bahwa Koksu
cukup bijaksana untuk memaafkan engkau seorang gadis muda. Pergilah!! Han Ki
membujuk.
Tidak!! Siauw Bwee membantah.
Suheng, tidak tahukah engkau bahwa engkau telah terkena racun perampas pikiran?
Mereka ini adalah musuh-musuhmu, musuh-musuh kita! Suheng, mari kita gempur
mereka!!
Mendengar ini, Bu-koksu
tertawa bergelak untuk menutupi kekagetannya mendengar tuduhan yang tepat itu.
Gadis sombong engkau! Ha-ha-ha, yang kaubela ini adalah seorang gadis gila,
atau seorang mata-mata musuh yang sengaja hendak main gila dan mempengaruhimu.!
Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya dan memerintahkan, Bekuk dia,
kalau dia melawan, bunuh saja!!
Thian Ek Cinjin, Pat-jiu
Sin-kauw, Ang-siucai dan yang lain-lain telah maklum akan kelihaian Siauw Bwee,
maka serentak mereka turun tangan menerjang gadis yang bertangan kosong itu.
Juga dua puluh empat orang pengawal sudah menerjang dan mengurung dengan senjata
di tangan.
Menghadapi serbuan ini, Siauw
Bwee cepat menggerakkan kaki tangannya, dan dalam beberapa gebrakan saja, ilmu
gerak kilat kaki tangannya berhasil membuat empat orang pengawal terjungkal
sedangkan para perwira yang berkepandaian tinggi cepat melompat mundur memutar
senjata. Mereka gentar menghadapi Siauw Bwee yang amat cepat gerakan kaki
tangannya itu sehingga tidak tampak oleh mereka bagaimana caranya gadis itu
merobohkan empat orang tadi.
Nona, jangan....!
Pergilah....!! Han Ki berseru bingung. Dia masih berdebar mendengar pengakuan
gadis itu yang mengaku cinta kepadanya, dan kini dia menjadi serba salah.
Ha-ha-ha, Kam-siauwte. Dia
adalah mata-mata musuh yang mengaku sebagai sumoimu, sengaja dia mengacau dan
coba kauperhatikan, betapa dia telah berhasil mencuri ilmu silatmu!!
Sambil berkata demikian, kini
Bu-koksu sendiri meloncat turun dari kudanya dan ikut menerjang Siauw Bwee
dengan senjatanya yang menyeramkan. Senjata Koksu ini sesuai dengan tubuhnya
yang tinggi besar, yaitu sebatang golok besar yang berat sekali dan punggung
golok itu dipasangi gelang-gelang perak yang mengeluarkan bunyi nyaring kalau
senjata itu dimainkan.
Cring-cring.... sing....!!
Golok itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata yang
menyambar-nyambar ke arah Siauw Bwee.
Gadis ini terkejut. Lawannya
bukanlah orang sembarangan, dan kalau dia mengeluarkan ilmu dari Pulau Es,
tentu akan menambah kecurigaan Han Ki. Maka dia menahan diri dan cepat
menggeser kaki, mainkan gerak kaki kilat yang memungkinkan dia untuk mengelak
ke sana-sini dengan cekatan sekali. Untuk membalas, dia mengerahkan tenaga
Jit-goat-sin-kang yang setingkat lebih rendah kekuatannya kalau dibandingkan
dengan Im-kang dan Yang-kang yang ia latih di Pulau Es, namun yang mengandung
kemukjizatan karena tenaga itu dikumpul dari sari hawa bulan dan matahari.
Han Ki berdiri bengong dan
kagum. Hawa udara di sekitar tempat pertandingan itu tiba-tiba berubah panas
sekali, kemudian menjadi dingin, berganti-ganti dan kembali ada tiga orang
pengawal roboh, bahkan Thian Ek Cinjin yang lihai itu terhuyung ke belakang,
terpental oleh dorongan hawa dingin sejuk dari tangan kiri gadis itu.
Kam-siauwte, bantu aku
menangkap gadis ini!! Bu-koksu berteriak dan dia cepat menerjang makin hebat.
Tingkat kepandaian Bu-koksu sudah amat tinggi, dan kalau saja Siauw Bwee tidak
mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu kepandaian semenjak dia meninggalkan
Pulau Es, agaknya Koksu itu merupa kan tandingan yang terlalu berat baginya.
Namun, kini Siauw Bwee bukanlah seperti Siauw Bwee dahulu sebelum melakukan
perantauan dan mengalami banyak hal yang hebat.
Dengan gerak kaki tangan
kilat, dia masih mampu mempertahankan diri, meloncat ke sana ke mari dan ketika
golok besar Bu-koksu menyambar lehernya, tubuhnya merendah dan menyelinap ke
kiri, kakinya menendang ke depan mengenai lutut Ang-siucai sehingga murid dan
orang kepercayaan Bu-koksu itu roboh dengan tulang kaki terlepas dari
sambungannya. Dalam detik berikutnya, tangan kiri Siauw Bwee sudah mendorong ke
kiri, membuat Pat-jiu Sin-kauw hampir terguling kalau tidak cepat memasang
kuda-kudanya yang hebat sambil mengerahkan Thai-lek-kang. Dengan marah, Pat-jiu
Sin-kauw lalu melancarkan pukulan Thai-lek-kang dan mainkan Soan-hong Sin-ciang
mendesak Siauw Bwee.
Kini Siauw Bwee terkurung oleh
Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang ketiganya berusaha
merobohkannya dengan serangan-serangan maut, sedangkan di belakangnya, para
perwira tinggi lainnya siap untuk menghujankan senjatanya.
Kalau aku mengamuk, mungkin
dapat merobohkan mereka, akan tetapi tentu aku akan kehilangan Suheng,
sebaiknya aku menggunakan akal untuk menarik bantuannya, pikir Siauw Bwee yang
cerdik. Ketika itu, golok Bu-koksu yang merupakan serangan paling berbahaya
bagi Siauw Bwee, membabat ke arah pinggangnya. Siauw Bwee meloncat ke atas,
menangkis hantaman Thian Ek Cinjin dengan tendangan kakinya, dan dia sengaja
turun dengan tubuh miring di depan Pat-jiu Sin-kauw yang tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu, memukul dengan tenaga Thai-lek-kang sekuatnya. Tubuhnya
berjongkok dan angin keras menyambar dari kedua tangannya yang mendorong ke
arah dada Siauw Bwee. Gadis ini maklum bahwa pukulan itu amat berbahaya, namun
kalau dia mengerahkan sin-kang, dia masih mampu menerimanya, maka dia
mengerahkan sin-kangnya, sengaja terhuyung sehingga pukulan itu ia terima
dengan bahunya.
Aduuuhhh....!! Siauw Bwee
mengeluh dan jatuh, terus bergulingan sambil memegangi bahu kanannya yang
terkena pukulan Thai-lek-kang. Pada saat itu, Bu-koksu mengejar dengan golok
diputar merupakan gulungan yang mengancam jiwa Siauw Bwee. Gadis ini
benar-benar amat tabah. Dia maklum bahwa kalau suhengnya masih belum mau turun
tangan, nyawanya terancam bahaya maut karena dalam bergulingan seperti itu,
akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskan diri dari ancaman golok yang terus
mengikutinya. Dia sudah siap, kalau suhengnya tidak juga turun tangan, daripada
mati konyol, dia akan mengadu nyawa, berlumba dulu dengan Bu-koksu dan mengirim
pukulan maut dengan Im-kang dari Pulau Es!
Tringgg....!! Golok itu
terpental ke samping dan Bu-koksu meloncat mundur dengan kaget. Heiii,
Kam-sute.... apa yang kaulakukan ini?! bentaknya.
Akan tetapi Kam Han Ki telah
meloncat dan menyambar tangan Siauw Bwee, ditariknya tubuh gadis itu berdiri
dan dia mengomel, Kau keras kepala! Masih juga tidak mau pergi?!
Tidak! Biar mereka membunuhku,
kalau dapat! Engkau pun tidak mempedulikan aku, untuk apa hidup lebih lama
lagi?! Siauw Bwee berkata, kini tidak bersandiwara lagi karena memang dia
bicara dari lubuk hatinya. Kalau sekali ini dia gagal mengajak pergi Han Ki dan
tidak berhasil mengobati suhengnya itu berarti dia akan kehilangan Han Ki untuk
selamanya dan kalau sudah begitu, apa artinya hidup ini baginya lagi?
Kam-siauwte, biarkan aku
membunuhnya. Apakah engkau akan mengkhianati aku?!
Bu-loheng, maafkan aku. Gadis
ini tidak waras, biarlah aku membawanya pergi dulu, kelak aku mohon maaf
kepadamu!! Setelah berkata demikian, Han Ki memegang lengan Siauw Bwee dan
membawanya meloncat jauh dari tempat itu.
Siauwte, tahan....!! Bu-koksu
berseru marah dan mengejar bersama pasukannya, namun Han Ki sudah pergi jauh.
Setelah pemuda ini mengerahkan gin-kangnya, mana ada yang mampu mengejarnya?
Apalagi, Siauw Bwee yang sama sekali tidak terluka itu pun sudah mengerahkan gin-kangnya
sehingga dia tidak menghalangi gerakan suhengnya.
Setelah mereka pergi jauh, Han
Ki berhenti dan menoleh kepada Siauw Bwee, mengomel, Engkau sungguh membikin
aku kehilangan muka dan menjadi serba salah. Apa sih maksudmu bersikap seperti
ini? Apakah engkau ingin merusak nama baikku? Dan mengapa pula segala sandiwara
ini? Aku tahu bahwa kalau kauhendaki, Bu-koksu sendiri tidak akan mampu
membunuhmu!!
Siauw Bwee kagum bukan main.
Biarpun ingatannya hilang, suhengnya ternyata amat lihai dan pandang matanya
masih amat tajam sehingga dapat melihat permainan sandiwaranya tadi. Dia harus
berhati-hati, kalau tidak, suhengnya tentu tidak akan mau ikut bersama dia.
Sudah kukatakan kepadamu, aku
cinta padamu dan melihat engkau sakit hebat, aku berusaha mengajakmu kepada
supekku untuk diobati.!
Kau gila! Aku tidak sakit, aku
sehat!! Han Ki menggerak-gerakkan kaki tangannya memperlihatkan bahwa dia
benar-benar sehat.
Bukan badanmu yang sakit,
melainkan ingatanmu. Tahukah engkau, siapa sebenarnya engkau ini?!
Tentu saja aku tahu! Aku Kam
Han Ki, aku pengawal pertama dari Bu-koksu yang telah melepas budi besar
kepadaku dan mengangkat aku sebagai adiknya.!
Hemm, Kam-suheng. Dia itu
adalah musuh besar yang hendak mencelakakanmu!!
Gadis muda, jangan kau bicara
sembarangan. Bu-loheng adalah Bu Kok Tai, Koksu negara yang berjiwa pahlawan,
seorang gagah perkasa yang amat baik, dan aku berhutang budi kepadanya.!
Baiklah.... baiklah...., akan
tetapi, ingatkah engkau siapa ayah bundamu? Ingatkah engkau siapa gurumu? Di mana
kau belajar ilmu silat? Ingatkah engkau semua itu?!
Kam Han Ki mengerutkan
alisnya, mengingat-ingat dan akhirnya dia menghela napas.
Aku tidak ingat lagi, akan
tetapi apa hubungannya hal itu dengan Bu-loheng dan engkau? Kenyataannya, dia
amat baik kepadaku sedangkan engkau.... aku sama sekali tidak mengenalmu, hanya
tahu bahwa engkau seorang gadis muda yang amat lihai dan yang selalu
mendatangkan kekacauan dan....!
....dan yang amat mencintaimu,
Kam-suheng! Cobalah kauingat-ingat, apakah engkau lupa akan Istana Pulau Es?
Lupakah engkau bahwa engkau bertahun-tahun menggembleng diri di Pulau Es dan
membimbing dua orang sumoimu yang bernama Maya dan Khu Siauw Bwee? Lupakah
engkau kepada mendiang Menteri Kam Liong, kepada Mutiara Hitam, kepada Panglima
Khu Tek San?!
Mendengar disebutnya Istana
Pulau Es dan nama-nama itu Kam Han Ki kelihatan terkejut dan bingung. Istana
Pulau Es....? Serasa sering aku mendengarnya, tidak asing bagiku, dan nama-nama
itu.... seperti pernah kukenalnya.... ah, tidak mungkin, aku tidak ingat lagi.!
Nah, itu tandanya engkau telah
kehilangan ingatanmu, Suheng. Mana ada orang lupa akan orang tuanya? Lupa akan
gurunya.!
Kam Han Ki menjatuhkan diri
duduk di atas batu di hutan itu. Alisnya berkerut, mukanya pucat dan tubuhnya
berpeluh karena ia memeras ingatannya. Namun sia-sia belaka, dia tidak ingat
apa-apa lagi. Orang tuaku? Guruku? Pulau Es? Aihh, Nona, aku benar-benar
menjadi bingung. Seperti pernah kukenal baik, dan tak mungkin aku lupa akan
orang tua dan guruku, akan tetapi sungguh mati, aku tidak ingat lagi....!
Dan aku adalah seorang di
antara kedua sumoimu, aku bernama Khu Siauw Bwee. Ah, Suheng.... bertahun-tahun
kita tinggal bertiga di Pulau Es, engkau menjadi guruku, juga sahabatku,
benar-benar engkau tidak ingat kepadaku lagi....! Siauw Bwee tak dapat menahan
lagi kesedihan hatinya dan ia menangis tersedu-sedu.
Han Ki menjadi makin bingung.
Nona.... jangan menangis, engkau membikin aku makin bingung. Biarlah aku
tanyakan semua itu kepada Bu-loheng.... dia tentu tahu....!
Jangan....! Dia itu adalah
musuh kita, dialah yang membuat kau kehilangan ingatan, Suheng. Kalau engkau
kembali kepadanya, setelah melihat bahwa aku tahu rahasianya, tentu mereka itu
akan mencelakaimu!!
Ha-ha, jangan menyangka yang
bukan-bukan, Nona. Dia adalah kakak angkatku, satu-satunya orang yang amat baik
kepadaku. Dia telah menolongku, merawatku, memberiku kedudukan tinggi dan
kepercayaan.!
Kam-suheng, kaukasihanilah
aku. Kauturutlah bersamaku untuk diobati oleh supekku. Supek Coa Leng Bu adalah
seorang ahli pengobatan yang lihai, dia tentu akan memulihkan ingatanmu dan
engkau akan dapat mengingat segala hal yang telah lalu, yang telah kaulakukan.
Marilah, Suheng, dia menanti di hutan pohon pek, marilah....! Siauw Bwee
memegang tangan Han Ki dan ditarik-tariknya. Akan tetapi Han Ki mempertahankan
diri dan akhirnya berkata,
Bukan aku tidak percaya
kepadamu, Nona. Akan tetapi, amat tidak enak kalau aku meninggalkan Bu-loheng
begitu saja. Pula, aku akan menanyakan riwayatku yang telah kulupakan itu kepadanya.
Kalau dia tidak dapat menjawab, baru aku akan datang mencarimu dan menerima
pengobatan supekmu.!
Tiba-tiba Siauw Bwee
melepaskan tangan Han Ki. Kalau engkau berkeras, baiklah, aku akan pergi pula
ke sana menemui Bu-koksu.!
Heh? Susah payah kau kularikan,
sekarang hendak kembali? Apa kau mencari mati?!
Biarlah. Aku akan mengamuk dan
membunuh Koksu, kalau aku gagal, biar aku mati. Lebih baik mati daripada hidup
melihat engkau menjadi boneka hidup, lupa akan segala hal yang lalu. Sekarang
kaupilih saja mau ikut bersamaku untuk pengobatan atau aku akan mengamuk dan
mengadu nyawa di gedung Bu-koksu!!
Wah, kau mengancam?!
Benar, soalnya hanya mati atau
hidup bagiku!!
Tsk-tsk-tsk, kau benar-benar
seorang gadis luar biasa sekali. Mengapa kau begini nekat hanya untuk diriku
seorang?!
Pandang mata Siauw Bwee
menjadi lembut, kekerasaannya luntur dan dengan air mata berlinang dia memegang
tangan Han Ki, berkata lirih, Karena aku mencintaimu, tak tahukah kau?
Keadaanmu yang lupa ingatan memberanikan hatiku untuk mengaku terus terang,
Suheng. Aku cinta padamu dengan seluruh badan dan nyawaku!!
Han Ki menggeleng-geleng
kepala, bingung. Engkau seorang dara jelita yang gagah perkasa, mencinta
seorang seperti aku? Bahkan menurut pendapatmu, aku seorang yang hilang
ingatan, berarti orang yang otaknya miring, tidak waras lagi!!
Apa pun yang terjadi denganmu,
aku tetap mencintamu, Suheng.!
Aihhh...., apa yang dapat
kulakukan sekarang? Menghadapi engkau lebih sukar daripada menghadapi ribuan
orang lawan bersenjata, Nona. Baiklah, mari kita coba apakah benar aku
kehilangan ingatan dan dapat disembuhkan oleh supekmu. Akan tetapi, ingatlah
engkau, jangan main-main denganku. Kalau engkau menipuku, aku.... aku akan....!
Siauw Bwee mendekatkan
tubuhnya, mukanya ditengadahkan, penuh tantangan, matanya bersinar-sinar.
Engkau akan apakan aku, Suheng....? Membunuhku?!
Han Ki gelagapan. Biarpun dia
tidak ingat siapa adanya gadis ini, namun ada sesuatu yang amat menarik dari
diri gadis ini yang membuat dia diam-diam mengherankan hatinya sendiri. Apakah
dia telah menjadi benar-benar gila dan jatuh cinta kepada gadis yang nekat ini?
Tidak! Aku hanya akan....
akan.... membencimu!! akhirnya dia menjawab juga.
Siauw Bwee menggandeng lengan
suhengnya dan merapatkan tubuhnya dengan sikap manja. Itu tandanya bahwa engkau
cinta kepadaku, Suheng. Marilah, dan kalau aku menipumu, tidak usah engkau
membenciku, aku sendiri akan membenciku bahkan kalau Supek gagal, aku akan
membenciku sampai aku mati dikeroyok orang-orangnya Bu-koksu yang pasti akan
kuamuk sampai titik darahku terakhir!!
Han Ki bergidik. Tekad gadis
ini luar biasa sekali dan tentu ada apa-apanya di balik sikapnya itu. Andaikata
benar peringatan Bu-koksu bahwa gadis ini hen dak menipunya, andaikata dia
dibawa ke dalam perangkap, dia tidak takut dan percaya bahwa dia akan mampu
mempertahankan dirinya. Hanya ia menjadi takut sendiri kalau-kalau gadis ini
benar seorang penipu, karena kalau ternyata demikian, dia akan merasa amat
berduka dan kecewa dan.... kehilangan.
Seorang kakek yang
bertelanjang kaki menyambut mereka di dalam hutan pek. Melihat gadis itu
berhasil membawa Han Ki yang kelihatannya curiga dan ragu-ragu, Coa Leng Bu
girang bukan main.
Ah, sungguh girang hatiku
melihat engkau berhasil mengajaknya ke sini, Lihiap. Kam-taihiap, selamat
datang!!
Biarpun ingatannya lenyap, Han
Ki masih belum kehilangan kesopanannya. Kalau di tempat Bu-koksu dia bersikap
tidak acuh adalah karena dia tidak suka melihat sikap anak buah Bu-koksu, maka
dia bersikap acuk tak acuh dan hanya karena sayang dan berhutang budi kepada
Bu-koksu saja yang mengikat dia di samping pembesar itu. Kini melihat wajah
kakek yang tenang dan penuh pengertian, sikap yang sederhana dengan pakaian
sekedarnya, dia cepat menjura dengan hormat dan berkata,
Tidak tahu, siapakah Locianpwe
yang telah mengenal namaku?!
Ha-ha-ha, Kam-taihiap terlalu
menghormat seorang bodoh seperti aku dengan menyebut Locianpwe. Aku bernama Coa
Leng Bu dan karena sumoimu, Khu-lihiap ini diangkat anak oleh suteku, maka aku
menjadi supeknya, supek dalam sebutan saja yang membuat aku malu, karena dalam
hal kepandaian, aku boleh berguru kepadanya. Kam-taihiap, aku mengenalmu karena
keterangan sumoimu dan kulihat bahwa engkau terkena racun yang membuat
ingatanmu hilang. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka kalau engkau
percaya, biarlah aku berusaha mengobatimu, Kam-taihiap.!
Han Ki mengerutkan alisnya.
Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi lupa sama sekali akan hal-hal
yang lalu, akan tetapi aku sungguh tidak mengenal Nona ini yang menganggap aku
sebagai suhengnya. Yang kukenal hanyalah kakak angkatku, Bu-loheng....!
Dengan wajah penuh ketenangan
Coa Leng Bu berkata, Aku mengerti Tai hiap. Kauanggap sajalah bahwa engkau
belum mengenal aku dan Khu-lihiap, dan bahwa engkau memang adik angkat Koksu.
Akan tetapi kuharap engkau percaya kepada kami bahwa kami berniat baik, karena
aku melihat engkau menderita lupa ingatan karena racun perampas ingatan, maka
anggap saja bahwa engkau berada di antara teman-teman yang hendak berusaha mengobatimu.!
Heran sekali, aku merasa
sehat, akan tetapi kalian menganggap aku sakit. Akan tetapi rasanya tidak
mungkin kalau engkau, terutama Nona ini hendak menipuku. Baiklah aku akan
menurut dan suka kauobati, harap lekas memberi obatnya dan hendak kulihat
apakah aku akan dapat mengingat riwayatku yang telah kulupakan sarna sekali.!
Coa Leng Bu menggeleng-geleng
kepalanya. Kam-taihiap, racun itu memasuki kepalamu melalui makanan atau
minuman, sedikit demi sedikit dan untuk mengobatinya pun harus sedikit demi
sedikit dan memakan waktu lama. Engkau pun tentu pernah mendengar bahwa
penyakit datang menunggang kuda akan tetapi pergi menunggang kura-kura, kalau
datang cepat sekali akan tetapi perginya memakan waktu lama.!
Berapa lama engkau akan dapat
menyembuhkan aku, Locianpwe?!
Pertama-tama, kuharap Taihiap
jangan menyebutku Locianpwe. Namaku Coa Leng Bu, cukup kalau kausebut lopek
saja. Untuk menentukan berapa lama aku akan dapat menyembuhkanmu, bukanlah hal
mudah dan aku tidak berani bilang sebelum memeriksamu. Bolehkah aku
memeriksamu, Taihiap?!
Silakan,! Han Ki menjawab dan
biarpun suaranya masih meragu, namun di dalam hatinya ia mulai khawatir dan
percaya bahwa memang dia sedang sakit. Buktinya adalah bahwa, seperti yang
dikatakan gadis jelita itu, dia lupa sama sekali akan riwayat hidupnya, lupa
akan ayah bundanya dan lupa akan gurunya. Hal ini memang tidak mungkin terjadi
kalau dia tidak menderita sakit kehilangan ingatan!
Coa Leng Bu mempersilakan Han
Ki rebah telentang di atas rurnput, kemudian ia mulai memeriksa denyut nadi,
mendengarkan detak jantung, memeriksa mata dengan membuka kelopaknya. Taihiap,
kalau boleh, aku hendak mengambil sedikit darahmu untuk diperiksa.!
Silakan!! Han Ki menjawab.
Dengan sebatang jarum emas,
kakek itu menusuk ujung jari tangan kiri Han Ki, sehingga ada beberapa tetes
darah keluar dari luka kecil itu. Darah itu ditampungnya di atas sehelai daun
yang berwarna putih, kemudian dibawanya ke tempat panas sehingga dia dapat
memeriksa dengan jelas di bawah sinar matahari. Darah itu diperiksa,
diamat-amati, dicium, bahkan dijilat dengan lidahnya. Semua perbuatannya itu
diikuti penuh perhatian oleh Han Ki yang sudah membereskan pakaian dan duduk
kembali di atas rumput, sedangkan Siauw Bwee tak pernah melepaskan pandang matanya
dari suhengnya dengan hati penuh keharuan. Menyaksikan sikap pemuda ini yang
berubah sama sekali seolah-olah dia menghadapi seorang asing, akan tetapi
wajah, bentuk badan dan setiap gerak-gerik pemuda itu dari matanya mengerutkan
alis, sinar matanya yang tajam itu, mulut yang membayangkan kedukaan, dia tidak
meragukan lagi bahwa pemuda ini adalah suhengnya. Di antara sejuta orang
pemuda, tak mungkin ada satu yang menyamai suhengnya itu!
Bagaimana, Coa-lopek?! Han Ki
bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.
Tidak berat, bukan?! Siauw
Bwee juga bertanya.
Coa Leng Bu menghela napas
panjang. Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya sudah naik ke atas
sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat
yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya
dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah
Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan.... ahh, aku harus mencari
akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!!
Siauw Bwee terkejut sekali
sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih belum
percaya sepenuhnya. Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa panas tidakkah
dapat dilawan dengan tenega Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke
dalam kepala Suheng untuk melawannye. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang
yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas
itu?!
Coa Leng Bu menggeleng kepala.
Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat diusir
dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak baleh digunakan ke dalam
kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang amat panting dan
sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih dahsyat lagi, mungkin
dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama sekali tidak boleh
dilakukan!!
Habis, bagaimana....?! Siauw
Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan memakan
waktu berbulan-bulan! Eh, Coa-supak, dahulu Suheng pernah bercerita tentang
mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga terkena racun dan
menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu suhu kami, dengan
jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati secara itu?!
Kam Bu Sin....? Ayahku....?
Nona, apa yang kaukatakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam Bu
Sin....?! Han Ki berkata bingung.
Akan tetapi wajah Coa Leng Bu
berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia
bertepuk tangan. Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali! Air terjun
yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali mengandung hawa dingin
sejuk yang mukjizat dan sungguhpun kemustajabannya tidak sekuat akar pendingin,
namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir hawa beracun itu sedikit demi
sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk menjalani pengobatan dengan
bersamadhi di bawah air terjun setiap pagi sampai hawa panas terusir dari
kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air
terjun, biarpun tidak besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang
dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari
sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk.!
Kam Han Ki menghela napas
panjang. Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan tetapi
biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku. Asal saja
kalian tidak mempermainkan aku.!
Kam-taihiap, aku Coa Leng Bu
selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau sebagai suheng
dari Khu-lihiap, bahkan andaikata engkau seorang lain, mana aku berani
mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan tidak
boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok kecil
untuk tempat tinggal sementara.!
Suheng, mari kaubantu
kami....!! Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan
kegirangan, menarik tangan Han Ki.
Nona, harap kauhentikan
sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja.!
Aihhh, engkau memang suhengku!
Habis disuruh menyebut apa?! Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biarpun Siauw Bwee tidak
pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria yang sudah
berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa di antara
suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam daripada hubungan
kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee
mencinta suhengnya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia
mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,
Khu-lihiap, Taihiap bicara
benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia
bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada Kam-taihiap!! Kakek
itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi yang halus itu
menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar untuk mulai
membuat pondok.
Kata-kata Supek benar, biarlah
aku menyebutmu koko, Kam-koko!!
Engkau baik sekali, Nona.
Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu.!
Ehh, aku sudah mengalah, tidak
menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau masih memakai sebutan
Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut
adik? Engkau lebih tua daripada aku!!
Banyak lebih tua!! kata Han Ki
yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus
budi ini. Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!!
Ihhh! Memangnya engkau sudah
kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?!
Kam Han Ki tersenyum, senyum
pertama semenjak pikirannya bingung. Baiklah Moi-moi. Ah, betapa untungku
mendapatkan seorang adik yang begini manis....!
Bukan hanya adik, melainkan
juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala
petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan benyak rewel!!
Engkau gadis yang manis, dan
nakal!! Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. Akan tetapi.... eh, jangan kau
main-main Khu-moi. Di kota tadi...., eh, sebelum berjumpa dengan Coa-lopek,
kau....!
Aku kenapa?! Siauw Bwee
berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis, matanya
bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supeknya telah berhasil
membujuk Han Ki untuk berobat.
Kau bicara tentang....
cinta....! Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!!
Siapa yang main-main? Memang
aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil, sampai sekarang
aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku
cinta padamu, habis mengapa?!
Han Ki merasa kepalanya
puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Gadis
ini tidak main-main, biarpun sikapnya seperti orang main-main, namun pernyataan
cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari
sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak
karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan
bahwa hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini. Apa artinya
semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak
mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa
kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun
selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa
gadis ini amat menarik hatinya?
Eh, Suheng.... Kam-koko, kau
kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?! Siauw Bwee sudah berlutut dekat
suhengnya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba pelipisnya.
Han Ki menggeleng kepala dan
bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biarpun dia percaya bahwa gadis ini
menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru,
betapapun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat
seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
Tidak apa-apa, Moi-moi,
hanya...., ah, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu sedemikian ringan dan
mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi, engkau tidak tahu betapa
hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran
dan kegelisahan, penuh kekecewaan....!
Berdebar jantung Siauw Bwee.
Apakah suhengnya sudah mulai ingat? Hati-hati dia memancing. Suheng.... eh,
maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu
mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah
engkau berduka, kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kaudukakan?!
Han Ki menggeleng kepala. Aku
tidak menyusahkan apa-apa.!
Apakah engkau khawatir?!
Sedikit, yaitu kalau ternyata
bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata
menipuku.!
Dan apakah engkau pernah
mengalami kecewa?!
Kembali Han Ki menggeleng.
Sepanjang yang teringat olehku, tidak.!
Hati Siauw Bwee lah yang
kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat
apa-apa.
Ha-ha-ha, memang semua itu
hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa manusia harus
membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang mengacaukan hidup
kita sendiri?! Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang pohon besar. Dia
melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di
dekat mereka.
Ah, kenapa kausebut permainan
pikiran, Lopek?! Han Ki bertanya.
Benar, Supek. Memang hidup
penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta dan benci, dengan
kekhawatiran. Mengapa kaukatakan sebagai permainan pikiran yang menyeret kita
ke dalam kekacauan hidup?! Siauw Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang
untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,
Pokok pangkalnya segala
perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul dari sifat sayang diri.
Betapapun juga, segala macam perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh
api pikiran yang menguasai kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke
masa depan, sehingga setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita.
Pikiran membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya
mempertebal rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka?
Dari permainan pikiran yang
mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa,
penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret
kita mengenang masa lalu. Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama
sekali akan masa lalu, maka tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari
masa lalu, tidak ada kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena
tidak ada lagi yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada
hanya tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan
ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita membayangkan
masa depan!
Membayangkan hal yang belum
terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian,
Taihiap dan Lihiap?!
Dua orang itu mendengarkan
penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa
mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat
kenyataan dalam ucapan kakek itu? Biarpun Han Ki adalah seorang yang belum tua,
namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang,
pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun
hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya sudah
dia lupakan sama sekali.
Akan tetapi, pada dasarnya dia
memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biarpun dia
telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia
mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya. Marah timbul
karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang
sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan.
Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Adapun takut dan khawatir, hanya
dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau
dikhawatirkannya itu.
Orang takut sakit karena dia
belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum menimpanya. Jadi semua itu
hanyaalah permainan pikiran saja, yang tiada gunanya, bahkan menimbulkan persoalan
dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang lain.
Siauw Bwee juga
mengangguk-angguk, karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia
masih belum puas dan mendesak,
Habis, mana mungkin kita
menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu
dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta.
Contohnya, aku menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan
yang datang tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi
keadaan Suheng ini?!
Kakek itu tersenyum maklum.
Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya aku minta pengertian
dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri. Segala macam persoalan
bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan
tantangan dan setiap orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus
ditanggungnya pada saat kenyataan tiba.
Tidak ada persoalan khawatir
dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang
sakitnya suhengmu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum
datang. Suhengmu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita
lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang
mengkhawatirkan, bukan?!
Aih, Supek. Betapa mungkin
bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana
kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau....!
Nah, nah! Itulah, Lihiap.
Bagaimana kalau.... bukankah itu hanya permainan pikiran yang membayangkan
hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan hal-hal yang
belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran
kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan
sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala
sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi
kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa
ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas
dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang, seperti
air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu karena tidak
merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta kasih.!
Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam
pengertian itu!! Kam Han Ki membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata
hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. Kiranya Lopek adalah seorang yang
arif bijaksana!!
Kakek itu tersenyum. Aku
hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku sama dengan
engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita sama-sama belajar,
karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir
yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal
dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa
hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi
pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya sehingga
dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua adalah palsu belaka.
Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia
sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar
dari pohon sayang diri berupa pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri,
benci, khawatir, takut, duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri,
hadapilah kenyataan apa adanya, dan kita akan terbebas dari apapun juga.!
Ahh, Coa-lopek, mendengarkan
kata-katamu jauh lebih berharga daripada mengharapkan kesembuhan dari
pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak artinya lagi!
Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri
seperti yang Lopek katakan tadi....! Han Ki berseru, penuh kagum.
Tiba-tiba kakek itu tertawa
bergelak. Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit dan penghalang
umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan baru! Mana mungkin? Mari
kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri dan segala
gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat sendiri, dan belajar
menghadapi kenyataan tanpa wawasan tanpa ingatan, akan tetapi kalau ada
terselip KEINGINAN dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu UNTUK MEMPEROLEH
KEBEBASAN, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari
keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah
bahwa yang dimaksudkan BEBAS di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara
lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang menguntungkan.
Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan, betepapun
dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi dari
kesadaran, lebih tinggi dari apapun juga karena kebebasan ini berarti cinta
kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan
sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya,
dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka.... Sudah terlalu banyak aku
bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian
dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!!
Han Ki dan Siauw Bwee tertawa
juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu membangun sebuah
pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah mereka menumbangkan
pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah pondok yang sederhana
namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin, hujan, panas dan hawa
dingin.
Mulai hari ini, Han Ki diobati
oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee. Setiap pagi, tak
lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw Bwee dan setengah
dipaksa pergi ke air terjun, dan gadis itu menanti agak jauh ketika Han Ki
menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air
terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang
dianjurkan oleh Coa Leng Bu. Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sin-kang
amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa
air terjun yang amat dinginnya seperti itu. Namun, Han Ki adalah seorang pemuda
sakti, murid Bu Kek Siansu, yang sudah bertahun-tahun berlatih sin-kang di
Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin daripada bersamadhi di bawah air
terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sin-kang.
Kalau matahari mulai
menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan samadhinya,
mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh,
lalu bersama-sama kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan
masakan obat yang pahit rasanya.
Di samping pengobatan air
terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan
mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan!
Hubungan di antara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh
cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia
ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin mendalam,
karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita kehilangan
ingatan! Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat
kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan.
Apalagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak
dari gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan.
Han Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di
Pulau Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia
ataukah Maya!
Setelah minum obat yang
disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di atas bangku balok
melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak suhengnya duduk
di situ sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya
bercakap-cakap. Sudah seminggu lebih Han Ki berobat namun masih belum ada
tanda-tanda bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci
daun dan akar obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk
dijemur. Diam-diam dia merasa girang bahwa biarpun pemuda itu belum tampak
pulih kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan
dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.
Han Ki menggeleng kepala. Kasihan
sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi
saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan
penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua.!
Ah, jangan Koko! Biarlah aku
mencoba mengingatkanmu. Coba kaulihat ini, masih kenalkah engkau akan
gerakan-gerakan ini?! Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in
Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari
suhengnya.
Tentu saja! Aihh, gerakanmu
indah sekali, Moi-moi!! Han Ki berseru girang.
Jadi kau mengenalnya?!
Tentu saja! Setiap gerakanmu
kukenal.!
Apa nama ilmu silat itu?!
Ini.... ini aku tidak ingat
lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu.!
Hemm.... dan kaulihat ini,
Koko!! Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung bangku, terdengar
suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah dan hangus seperti
terbakar!
Aku tahu....! Pukulan sin-kang
yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!! seru Han Ki.
Dan ini....!! Kembali Siauw
Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok yang lain. Ujung itu
patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat dinginnya ketika balok
itu disentuh.
Ini pukulan mengandung hawa
dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana kau mempelajari
semua ini? Sama benar dengan ilmuku!!
Dan engkau tidak tahu namanya,
Koko?! Suara Siauw Bwee agak gemetar.
Tidak, Moi-moi. Aku bisa
menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu.!
Dan engkaulah yang memberi
nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci....!
Suci?!
Siauw Bwee menghela napas dan
terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan suhengnya di Istana
Pulau Es. Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suciku
Maya....!
Hemmm, aku tidak ingat.!
Koko, tidak ingatkah engkau
akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?!
Han Ki menggeleng kepala.
Dan lupakah engkau bahwa guru
kita adalah Bu Kek Siansu?!
Kembali pemuda itu menggeleng
kepala.
Koko....! Suara Siauw Bwee
makin tergetar karena duka. Apakah engkau lupa bahwa selama bertahun-tahun
engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup bertiga jauh
dari dunia ramai?!
Han Ki mengerutkan alisnya,
kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala kemampuan otaknya
untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan tetapi akhirnya ia
menggeleng kepala, dan berkata kesal, Aku tidak ingat apa-apa, Moi-moi.!
Siauw Bwee tak bertanya lagi,
berdiam sampai lama.
Moi-moi....!
Siauw Bwee menoleh.
Hemmm....?!
Kasihan engkau....!!
Mengapa kasihan?!
Dengan susah payah engkau
berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia belaka. Aku telah
mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah payah untukku?!
Siauw Bwee menatap wajah orang
yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu,
lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan berpisah
lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat
mengecewakannya.
Mengapa, Koko? Sudah
kukatakan, karena aku cinta kepadamu!!
Khu-moi-moi, kita baru saja
saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?!
Apakah untuk mencinta
seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku mencintamu
semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andaikata aku belum pernah
mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta.!
Tidak mungkin!!
Bagaimana tidak mungkin?!
Cinta timbul dari daya tarik
seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya tarik keluar dari
segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya, pendeknya di
antara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling menguasai dan
saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah
jatuh cinta? Betapa janggalnya!!
Koko, apakah kau tidak cinta
kepadaku?!
Bukan main, pikir Han Ki.
Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan cinta begitu
jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!
Eh, hal ini.... ah, aku tidak
tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan...., dan aku kasihan kepadamu, aku....,
aku senang sekali berkenalan denganmu.!
Jawablah sejujurnya, Koko.
Engkau cinta kepadaku atau tidak?!
Mengapa tergesa-gesa? Aku suka
kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih terlalu pagi bagiku. Aku
tidak mau sembrono, tidak mau berlaku 1ancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta
bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk
hidup bersama selamanya!!
Kam-koko, memang engkau benar.
Tak mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta
yang masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik
buruk, cacad cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacad-celanya.
Dan aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling berkumpul
lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan mencintamu secara
membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka kepadaku.... aahhh, biarlah
aku menceritakan riwayatku yang telah kaulupakan.!
Ceritakanlah, Khu-moi. Aku
ingin sekali mendengar riwayatmu.!
Siauw Bwee ingin mencoba rasa
suka! pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu, dia tidak dapat
memperoleh kepastian karena suhengnya yang dahulu itu tidak pernah mengaku
cinta, baik kepada dia maupun kepada Maya. Akan tetapi suhengnya yang sekarang
ini berbeda lagi, dan dia ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda
itu seperti yang diceritakannya tadi.
Mendiang ayahku adalah Khu Tek
San, seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam
Liong, kakak sepupumu yang kaulupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang
setia dan berjasa besar untuk kerajaan.! Dengan singkat Siauw Bwee lalu
menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.
Akan tetapi sungguh
menyedihkan, Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena pengkhianatan dan fitnah
yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat.!
Diceritakan sejelasnya betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh
pengeroyokan para panglima dan pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan
kecurangan Suma Kiat.
Berkerut alis Han Ki mendengar
penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal tinjunya. Keparat orang
she Suma itu! Dia harus dihajar!!
Mendengar bentakan ini, Siauw
Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan suhengnya. Duduklah dan
tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah
rekan dari Bu-koksu sendiri?!
Sementara itu, Coa Leng Bu
yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan dia
mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang berusaha
mengingatkan Han Ki.
Koko, engkau marah mendengar
betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatangkara. Hal itu berarti
bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko.!
Wajah Han Ki menjadi merah dan
dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka yang cantik
jelita dari dekat. Mungkin.... mungkin sekali. Engkau cantik jelita, Moi-moi,
engkau gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau berwatak mulia....
betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti engkau.!
Kam-Suheng....! Kam-koko....
ternyata engkau hanya mencinta aku seorang....!! Dengan hati penuh keharuan dan
kebahagiaan, Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada Han Ki!
Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa
sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap
gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari
tangannya membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.
Hanya aku yang kaucinta, aku
merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu.... engkau hanya mencinta aku, bukan
Suci Maya....!
Maya....?!
Siauw Bwee cepat mengalihkan
percakapan karena dia tidak mau membuat suhengnya meragu lagi. Kini, setelah
jelas bahwa suhengnya hanya mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk
segera menyembuhkan suhengnya. Dia sudah menduga bahwa dengan sin-kang tenaga
Inti Es dia dan suhengnya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan
ingatan suhengnya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki
Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu maka
kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan membahayakan keselamatan Han
Ki.
Suheng, engkau tidak ingat
tentunya bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan
tetapi, coba raba tanganku dan rasakan ini.! Setelah Han Ki memegang tangannya,
Siauw Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur
dari telapak tangannya.
Ihhh! Bukan main kuatnya
sin-kangmu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!!
Siauw Bwee menghentikan
saluran Im-kangnya dan tersenyum manja. Kau merendahkan diri, Suheng. Tenagamu
jauh lebih besar daripada tenagaku. Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua
akan dapat menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek.!
Dengan wajah berseri Siauw
Bwee bangkit dan menarik tangan suhengnya, kemudian dia menggandeng tangan
suhengnya, tanpa malu-malu dia menjumpai supeknya yang sedang menjemur akar dan
daun obat.
Supek! Aku telah mendapatkan
cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!!
Eh?! Coa Leng Bu tertegun dan
pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi dara itu kemerahan dan tangan dara
itu dengan mesranya menggandeng tangan Han Ki.
Kami berdua akan menggunakan
Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng.!
Ahh, berbahaya sekali, Lihiap!
Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan kalau tersalur memasuki kepala,
dapat membahayakan!!
Kalau bisa mengendalikan
Im-kang, bagaimana?! Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.
Tentu saja mungkin dapat
menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat mengendalikan Im-kang? Hal itu
membutuhkan tingkat yang amat tinggi, barangkali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja
yang mampu.!
Hemm, bagaimana untuk mengukur
ketinggian Im-kang?!
Sukar dibicarakan, akan tetapi
kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju berarti sudah mencapai tingkat
amat tinggi dan itu pun harus dilakukan dengan hati-hati sekali.!
Begitukah? Coa-supek,
kaulihatlah baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!! Siauw Bwee menghampiri
sebuah panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke
dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia menarik
tangannya dan.... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat
air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik keluar! Siauw Bwee
memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian perlahan-lahan ia merubah
Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu mencair, terus berubah makin panas sampai
akhirnya mendidih di dalam panci!
Moi-moi, kau mengagumkan
sekali!! Han Ki berseru gembira dan dia pun menghampiri sebuah tempayan air,
menyodok air dengan tangannya dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di
telapak tangannya telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw
Bwee tadi!
Kedua kaki Coa Leng Bu
menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa lagi kedua lututnya
ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, Ya Tuhan...., selama ini kedua
mataku seperti buta, tidak melihat bahwa Ji-wi adalah orang-orang muda yang
memiliki ilmu kepandaian seperti malaikat....!!
Siauw Bwee meloncat dan
menarik lengan kakek itu, memaksanya bangkit. Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini?
Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat
untuk menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan Suheng?!
Coa Leng Bu mengangguk-angguk,
menelan ludah, masih terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, Kalau
aku tahu bahwa kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan.
Hanya kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan
dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah halusnya, dan
sedikit gangguan saja membahayakan nyawa.!
Aku ingin Suheng segera
sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan harap Supek suka menjaga
di luar pondok agar tidak terjadi gangguan.!
Baiklah, kalian adalah dua
orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya....!
Coa-supek, kami adalah
murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es. Bertahun-tahun kami
melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami memiliki keahlian dalam
menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?!
Sepasang mata Coa Leng Bu
terbelalak. Murid-murid.... manusia dewa itu....? Dan aku telah membiarkan diri
kausebut supek! Betapa menggelikan dan memalukan! Aihhhh.... setua ini masih
tolol....!!
Sudah, Supek. Harap suka
menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko.!
Han Ki hanya tersenyum dan mengikuti
gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya dia masih belum percaya bahwa dia
menderita sakit, dan hanya mengira bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu
sebab yang mungkin diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara
Sung. Akan tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak
tega untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu apa sih
bahayanya?
Siauw Bwee menutupkan daun
pintu pondok, kemudian duduk bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak
mereka saling pandang, Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak
kecil yang mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan
sungguh-sungguh dan berkata, Koko, percaya atau tidak bahwa engkau terkena hawa
beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun engkau sendiri sudah
yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat mengingat akan keadaanmu
sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi
sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu hilang dan kita harus berusaha untuk
menyembuhkanmu. Coa-supek adalah seorang ahli yang berpengalaman, maka aku
percaya bahwa hawa panas beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh
karena itu, harap engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang,
kaukendalikan baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan
ingatanmu itu. Maukah engkau?!
Han Ki tersenyum dan melihat
bahwa pemuda itu agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, Demi cintaku
kepadamu, dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh
melakukan usaha ini, kalau kauanggap ringan keadaanmu, biarlah demi untuk
membahagiakan hatiku. Maukah?!
Hati Han Ki menjadi terharu.
Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan hati
kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai bagaimanapun, dia tidak
tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!
Baiklah, Moi-moi. Nah, mari
kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?!
Ulurkan kedua lenganmu
kepadaku, Koko.!
Han Ki yang duduk bersila menyodorkan
kedua lengannya dan Siauw Bwee juga melakukan hal yang sama sehingga dua pasang
telapak tangan bertemu. Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan
mesra dari telapak tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang
mencinta! Kemudian Siauw Bwee berkata, karena dia maklum bahwa biarpun ilmu
kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah lupa
sama sekali akan teori-teorinya.
Setelah aku menyalurkan
Im-kang, kausambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga tenaga
Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu. Kaukumpulkan
segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu mengendalikan Im-kang yang kuat
itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali kausalurkan ke atas, memasuki kepalamu
untuk menghalau pergi hawa panas beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko dan
jangan pedulikan segala gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di
kepalamu itu mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak
peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa kalau
sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku pun tidak
mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga keselamatanmu akan tetapi
juga keselamatanku! Nah, aku mulai!!