Bab 16
Dan ia menarik napas
berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya
dan biarpun ia mengepalai banyak sekali pasukan namun ia merasa seolah-olah dia
hidup sendiri kesepian. Ke manakah suhengnya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu
lagi dengan suhengnya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es!
Apakah suhengnya masih berada di sana? Dan sumoirya, Khu Siauw Bwee, apakah
sumoinya itu pun berada di sana?
Teringat akan suhengnya, Maya
melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati
yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoinya juga
mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di
antara mereka hati penuh kasih sayang suhengnya tertambat. Dia pun mengerti
bahwa suhengnya amat sayang kepada dia dan sumoinya, akan tetapi bukanlah itu
yang dia dan sumoinya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita!
Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu
sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya,
memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!
Maya....!
Dara perkasa ini terkejut,
menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di
belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata,
Can Ji Kun, ada keperluan
apakah engkau menemuiku?!
Maya.... aku.... aku....! Ji
Kun menggagap.
Hati Maya merasa tidak enak
mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya
li-ciangkun!.
Ji Kun, apakah yang terjadi?
Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!!
Ji Kun memandangnya dengan
sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, Maya,
katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah
kauanggap aku telah berjasa dan melaksana kan tugasku dengan baik?! Maya
mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan
pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun
dan aku puas dengan bantuanmu.!
Syukurlah kalau begitu, Maya.
Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya....
eh, semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu,
Maya. Aku.... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah
penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!!
Maya membelalakkan matanya,
dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Mendengar pernyataan seorang pemuda
yang mengaku cinta padanya baru pertama kali ini didengarnya dan menimbulkan
keharuan di hatinya. Dia mencinta suhengnya dan tidak terbalas, kini tanpa
disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini
sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan
mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa
panas dan membuat dia langsung menjawab keras,
Can Ji Kun, betapa berani
engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kaukira
mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua?
Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani
menyeleweng dan menyatakan cinta kcpadaku?!
Tidak! Kalau ada pertalian
antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing,
bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa
denganmu. Aku cinta padamu!!
Sudahlah!! Maya berkata
jengkel. Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa
Yan Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya.
Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?!
Maya, kami hanya kadang-kadang
berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak
pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan
hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?! Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit berdiri,
membanting kaki dan membentak, Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa
mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam
ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!!
Maya, aku siap membantu dengan
taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan
menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya....!
Gila! Aku tidak tahu apa yang
membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta
pria lain!!
Maya.... apakah.... apakah
hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?!
Pertanyaan ini menusuk
perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu
kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga
bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya,
Siapa dia, Maya? Siapa pria
yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!!
Sekali renggut Maya melepaskan
lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. Can Ji Kun,
hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apalagi membalas
cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!! Setelah berkata demikian, ia
meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan
beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,
Dan jangan lupa menyebutku
ciangkun! kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!!
Ji Kun tidak menjawab, dan
setelah tiba di kamarnya Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu
merenung, terkenang kepada suhengnya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri
menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua
sikapnya. Tidak terlalu keras kah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun
adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.
Betapapun juga, tidak dapat
dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya.
Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda
itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan,
seperti.... seperti dia mencinta Han Ki! Teringat akan ini, timbul perasan iba
di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu
seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya.
Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar perkemahan,
memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu
gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.
Betapa kagetnya ketika ia tiba
di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun
sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji
Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik
pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu
itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya! Yan Hwa tak tahu
bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing
cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoinya dan
juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan
berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan
kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika melihat kedua orang itu
bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya
sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biarpun hanya tergores ujung
pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke
depan, mengelebatkan pedangnya.
Cring-cring....!! Ji Kun dan
Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang
Maya.
Apakah kalian sudah gila?
Hentikan pertandingan ini!! bentak Maya.
Aku harus membunuhnya!! Yan
Hwa berseru dan menerjang maju lagi.
Perempuan sombong, kaukira
begitu mudah?! Ji Kun balas membentak.
Tranggg.....!! Pedang mereka
bertemu dan bunga api berhamburan.
Berhenti kataku!! Maya
menerjang lagi di antara mereka, pedangnya berkelebat menyilaukan mata
mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.
Kalian dua orang gila! Kita
menghadapi serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa
artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak
usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak
patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas,
juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita
berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian
tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam
memberi pengajaran kepada kalian!!
Melihat Maya sudah marah
sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan
mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini maka biarpun
ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu
menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.
Maya.... eh, Li-ciangkun,
maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita
masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku,
Sumoi.!
Yan Hwa menarik napas panjang.
Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan
hatiku. Aku yang minta maaf.!
Hampir Maya tertawa mendengar
dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, Ji Kun dan
Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian
bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita
bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus
dikesampingkan dulu. Apalagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan
musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya
diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!!
Maaf, Li-ciangkun. Marilah
Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita.!
Mari Suheng. Dan luka di
pundakmu itu harus diobati.!
Juga luka di lenganmu. Aih,
mengapa kita begitu terburu nafsu?!
Kedua orang itu saling
menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas
panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus
marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid
bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi
mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak
muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut
di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu! Hemm, mereka itu saling
mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang
mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar!
Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk
mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa
cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid
bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya?
Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun.
Agaknya begitulah sifat
laki-laki. Suhengnya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh
suhengnya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki
memiliki sifat mata keranjang?
Menjelang tengah malam,
bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang
lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga
jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu
dengan pasukan serigalanya. Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan
Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar
Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu
pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga
mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan
dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan tetapi barisan Mancu
kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak
dan mengacaukan musuh, karena begitu mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar
sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap
menyambut kedatangan mereka! Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa
bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang
diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang
tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa memilih
lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan
teriakan-teriakan mereka.
Karena bulan bersembunyi di
balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi
yang saling sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu,
dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan
mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing
meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat.
Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di
lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung
melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum
bahwa biarpun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada
pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di
sayap kanan, kiri dan belakang.
Rencana Maya untuk melakukan
penyergapan di waktu malam ternyata mengalami kegagalan karena tanpa
terduga-duga, awan-awan gelap nenutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya
perang tanding. Hal-hal seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia.
Betapapun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan
berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha
akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.
Akan tetapi kehancuran bala
tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan
harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali
ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan
Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan. Yang
hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi
pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan
bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi
penggembala serigala itu! Pasukan berkuda dari bala tentara Sung ini langsung
dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang pembantunya yang setia, yaitu
selirnya, Ci Goat, dan muridnya, Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini
amat kuat dan terdiri dari orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu
silat lihai dan tidak akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala.
Setiap orang dari pasukan ini akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah.
Akan tetapi, kalau di dalam
perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala, liar yang langsung menerjang
mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik
ketakutan, serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat diatur oleh
seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala, tentu
saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi
karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang
pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat
sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaan pasukannya. Ia
berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia
menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah
Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja
Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya
adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.
Biar kuhadapi sendiri
pemberontak itu!! bentaknya dan bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu
di atas kudanya ke depan. Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan
entah berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan
kemarahan meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah
Theng Kok. Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja
tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena tiga
batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan
suara meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini membuat sisa barisan
serigala menjadi seperti gila.
Mereka meraung-raung pula dan
mengamuk hebat dan nekat. Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung benar-benar
menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi
penyerbuan Pasukan Maut itu mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka
dapat membunuh semua serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali
anak buah, lebih dari setengahnya. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji
Kun dan Ok Yan Hwa menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua
orang ini benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan
menggerakkan pedang seolah-olah hendak saling berlumba, berbanyak-banyakan
membabat musuh! Mereka menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang
dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri
mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan benar lawan untuk membantu
barisan Mancu.
Bala bantuan datang!! Teriakan
ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat,
dan pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan
mereka. Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan
yang dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah
dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan
mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para perajurit menjadi gentar
tidak berani mendekati mereka.
Sementara itu, Maya dan pihak
barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, menjadi terkejut.
Biarpun mereka telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan
lawan lebih besar. Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung,
benar-benar merupakan keadatan yang membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara
penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara
Sung telah dibikin kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah
mereka kini hampir seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi
dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir
apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.
Akan tetapi, terjadilah hal
yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, maupun oleh pihak Sung
sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang
bukan membantu barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya
malah menyerang barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan
marah. Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci
Goat dan Siangkoan Lee.
Biarpun pasukan yang baru
datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan
tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak
berani menyerang sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga
orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima
yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong
Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu
Tek San, dan karena mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak
marah,
Apakah kalian bertiga sudah
menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?!
Ong Ki Bu Panglima tinggi
besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima Kwan Kong
dalam dongeng Sam-kok, mengajukan kudanya dan menudingkan tombaknya kepada Suma
Kiat sambil berkata,
Suma Kiat! Engkau sendiri
sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan
gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San, engkau
menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara.
Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?!
Muka Suma Kiat menjadi merah,
matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu mengeluarkan
suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya,
menyambar ke arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal
Suma Kiat, maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya
yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara
mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak
lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.
Krekkkk! Desss!! Tombak itu
patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang
berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas
tanah dan tewas di saat itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api.
Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang
(Pukulan Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!
Hayo kalian berdua lekas
berlutut dan menarik kembali pasukan!! Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong
Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat
Ong Ki Bu.
Akan tetapi, sebaliknya dari
menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan
senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi
pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua
orang panglima itu. Tidak berlangsung lama pertandingan yang berat sebelah ini.
Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih lihai
dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu
silat, mereka kalah jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang
Hwat telah roboh terjungkal dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.
Akan tetapi biarpun tiga orang
panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat pasukan
Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini,
Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan
terus maju membabati musuh, merobohkan banyak perwira Mancu dan akhirnya Suma
Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam yang juga mengamuk secara
dahsyat.
Ha-ha, bagus sekali! Manusia
jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!! Can Ji Kun ketawa dan menerjang
maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih beberapa detik dari
pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.
Trang-trang....!! Suma Kiat
terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata
itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis.
Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak,
Bocah-bocah setan! Siapa
kalian?!
Buka telingamu lebar-lebar!!
Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada. Kami adalah
murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!!
Mendengar disebutnya nama
Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di
waktu mudanya, ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi
saudara misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca
cerita Mutiara Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi
benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling
Emas. Matanya melotot dan ia membentak,
Kebetulan sekali! Aku tidak
berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang
Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!!
Ia menerjang maju dengan
dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu
Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.
Ha-ha! Pedang kami yang akan
menghirup darahmu!! Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu bersama sumoinya
sambil balas menyerang karena di antara kedua orang murid Mutiara Hitam ini
khawatir kalau-kalau kalah dulu!
Mutiara Hitam telah menurunkan
Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan ilmu pedang
itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam,
maka kini ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya
luar biasa. Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu
Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun
mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biarpun Suma Kiat memiliki
tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia terkejut juga
menyaksikan kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget melihat sinar pedang
yang mengandung hawa mukjizat yang mengerikan!
Melihat keadaan panglima itu,
Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk merobohkan para perajurit
Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan
menerjang maju sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci
Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma Kiat. Kini
keadaan menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan
selirnya, biarpun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat
mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini, setelah
kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan
Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingi kehebatan ilmu pedang Yan Hwa.
Kedatangan pasukan-pasukan
Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang memberontak terhadap Suma Kiat
membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi
kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan
tubuh dan melarikan diri. Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan
lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat
betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek
San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga
didesak oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri
mereka.
Trangggg....!! Tubuh Suma Kiat
terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia memandang
Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya.
Hemmm, agaknya engkau inikah
Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?! bentaknya.
Maya tersenyum, senyum dingin
yang menyeramkan hati Suma Kiat. Benar, akulah Maya. Apakah engkau telah lupa,
Suma Kiat? Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika
menyambut utusan Kerajaan Yucen?!
Suma Kiat membelalakkan
matanya. Engkau....? Engkaukah.... Maya puteri Raja Talibu?! Diam-diam ia
bergidik. Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas
lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul
keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri
dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi
gentar hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa
pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda yang
berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu!
Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang
pembantunya sudah tidak dapat membebaskan diri. Ia melihat selirnya dan
muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan diam-diam ia pun hendak
berlaku nekat, melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat baik
di otaknya.
Persetan kalian! Mampuslah!!
Kedua tangan panglima ini bergerak.
Awas jarum berbisa!! Maya
cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan
bajunya. Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para
perwira yang mengurung di situ. Biarpun Maya sudah memberi ingat, tetap saja
Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya
cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan
kiri Kwa-huciang.
Celaka! Pertahankan
Kwa-huciang!! Maya berseru dan.... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan
tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang
maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan
tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.
Biar kurawat sendiri lukanya,
Li-ciangkun, lebih balk tangkap dia!! Ia menuding ke depan. Maya baru teringat
dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat sudah meloncat
ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk pangeran
itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas
ubun-ubun!
Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke
sini!! Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan
Ok Yan Hwa.
Pengecut besar!! Maya berseru.
Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki. Panglima macam apa
engkau ini?!
Suma Kiat tersenyum. Pundaknya
masih terluka dan berdarah. Belum waktunya kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah
dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan
pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!!
Jangan dengarkan dia,
Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!! Pangeran Bharigan yang sudah dibuat
tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian, Can Ji Kun! Ok
Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!!
Kedua orang murid Mutiara
Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak, Tahan!!
Kedua orang muda itu tidak
berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan. Maya
menghela napas dan berkata, Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga
dibandingkan dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa
kehendakmu sekarang?!
Ha-ha-ha! Melakukan siasat
dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kaukehendaki?!
Manusia rendah! Jangan mengira
bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan menyelamatkan
nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan namanya. Engkau
bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di
antara orang gagah, kalau engkau masih memiliki slfat kegagahan!!
Ha-ha-ha, bocah yang kurang
ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri? Ayahmu, Raja
Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan
dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku.
Apakah engkau sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap
kurang ajar kepadaku?!
Tak perlu banyak bicara, Suma
Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran Bharigan, dan
aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini
tanpa diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau
membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!!
Ha-ha-ha! Maya, engkau membela
mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemmm.... dia memang gagah dan tampan!
Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya?
Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi isteri
seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi permaisuri....!
Keparat busuk, tutup mulutmu
dan bunuhlah aku!! Pangeran Bharigan membentak marah sekali.
Suma Kiat, bagaimana?! Maya
menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah disarungkannya.
Ha-ha-ha, baiklah. Aku
bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!! Suma Kiat
melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan musuh-musuhnya, dia
melangkah pergi diikuti kedua orang pembantunya yang setia itu. Melihat betapa
bekas panglima musuh itu pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan Hwa sudah
menggerakkan pedang. Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar musuh.
Trang-tranggg....!!
Ehhh! Engkau.... melindungi
dan membela dia?! Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya sambil
melintangkan pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak. Maya
menyarungkan kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan menghalang
tadi, menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan ketus.
Tidak, aku tidak membela dia
melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih menghargai
kehormatan daripada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi melanggar janji
sendiri? Apakah hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah melupakan
pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang gagah perkasa?!
Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan
muka dan diam-diam mengaku dalam hati bahwa di dalam banyak hal, Maya ini
menyerupai guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua
orang pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.
Heiii! Tahan senjata! Bebaskan
mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!! Pangeran Bharigan berseru
dengan marah. Mendengar seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur.
Beberapa orang perwira tinggi menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa
komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan. Pangeran Bharigan memandang ke
arah Maya dan berkata,
Panglima Wanita Maya yang
sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan kehormatan dan aku akan
membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan nyawaku!!
Mendengar ini, para perwira
memberi hormat ke arah Maya yang menjadi merah mukanya karena ucapan Sang
Pangeran itu, disertai pandang matanya, sama sekall tidak menyembunyikan
perasaan di hati pangeran itu terhadap dirinya!
Kemenangan besar di hari itu
disambut meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja bahkan
dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang oleh
Pangeran Bharigan sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin ratusan orang
tentara Sung yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini dia mengepalai
laksaan perajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi segala perintahnya. Juga
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan sebagai panglima-panglima yang
dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan sebelah tangannya dalam pertempuran itu,
diangkat menjadi penasihat perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil
hati orang-orang yang berkepandaian.
Karena memang tujuan hati Maya
dan kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam kepada Pemerintah Sung, kepada
bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi
panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada bedanya.
Yang penting, mereka dapat membalas dendam dan tentu saja hal ini hanya mampu
mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang kuat.
Raja Mancu yang maklum akan
isi hati pembantu-pembantu kuat ini, berlaku cerdik dan bijaksana. Maya dan kawan-kawannya
hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan menghadapi pasukan-pasukan musuh yang
memang dibenci oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang
telah mengetahui riwayat Maya.
Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan
Hwa berada di situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala tentara Mancu menjadi
kuat dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik menghadapi
pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang dipimpin Maya atau kedua
orang murid Mutiara Hitam selalu memperoleh kemenangan! Mereka makin
disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh Raja.
Biarpun kedudukannya telah
tinggi dan cita-citanya membalas dendam telah terlaksana, namun banyak hal yang
dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan berduka. Tidak saja
ia menderita rindu kepada suhengnya yang dicintanya, juga dia menghadapi
hal-hal yang memusingkan hatinya. Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa.
Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya itu. Jelas
bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak beradik
seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami isteri saja!
Akan tetapi betapa seringnya
mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling serang dengan senjata
mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah didengar
riwayatnya oleh Maya dari kedua orang itu. Setiap kali kedua orang itu
bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu memperlihatkan
sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang
benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk memanaskan! hati Yan
Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.
Akan tetapi, hal itu tidak
begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia benar-benar
bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan bahwa
Pangeran Bharigan yang dahulunya bernama Cia Kim Seng si penggembala domba,
jelas sekali jatuh cinta kepadanya! Mula-mula hanya diperlihatkan dalam pandang
mata, dalam suara dan sikap serta gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin
nyata, bahkan pada suatu senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan
secara terang-terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya
untuk menjadi isterinya!
Aku tahu siapa engkau, Puteri
Maya. Kita berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar.
Kerajaan Khitan telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya
kembali. Kita bersama dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan,
disatukan menjadi negara besar!! Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan
oleh Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.
Maya menghela napas panjang.
Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu dan cinta kasihmu
terhadap aku. Tentang kerja sama, tentu saja aku setuju sekali, bahkan bukankah
sekarang kita telah bekerja sama? Akan tetapi tentang perjodohan, maafkan aku,
Pangeran. Bagiku, jodoh hanya dapat diikat dengan cinta kedua pihak.!
Apakah.... apakah tidak ada
cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?! Pertanyaan Pangeran itu
yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan membuat kedua
pipi Maya kemerahan dan hatinya terharu.
Pangeran, maafkan aku. Aku
suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si penggembala
domba, dan engkau adalah seorang pria yang amat baik, gagah perkasa, tampan,
budiman, berkedudukan tinggi, pendeknya, tiada cacad celanya bagi seorang
gadis. Akan tetapi, soal cinta adalah soal hati dan tidak bisa dipaksakan,
Pangeran.!
Wajah yang tampan itu menjadi
muram. Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah mencinta
pria lain?!
Maya mengangkat muka
memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya menundukkan muka dan
menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata dengan jujur, Benar, Pangeran.!
Pangeran Bharigan menghela
napas panjang. Aihhh, betapa bahagianya pria itu....!
Di dalam suara Pangeran itu
terkandung kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya terharu dan dara ini
berkata, Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak menerima cintaku.!
Pangeran itu membelalakkan
mata dan mengepal tinju. Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah terang dia
itu orang gila!!
Pangeran!!
Maafkan aku, Maya....!!
Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum, memaksa diri
bergembira sambil berkata, Sudahlah, aku tidak semestinya menggodamu dan kita
hentikan saja pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan kepahitan di hati kita
itu. Maafkan aku sekali lagi, dan aku hanya berdoa semoga engkau bahagia,
dan.... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap aku, Maya.!
Biarpun semenjak saat itu
sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan pangeran itu
tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun ia tahu dari
pandangan mata pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih yang bersemi di hati
pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini selalu masih mengharapkan
sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang termenung, teringat
dengan hati perih kepada Kam Han Ki, suhengnya dan juga gurunya yang amat
dicintanya.
Pada suatu hari, selagi
Pangeran Bharigan berunding dengan Maya, membicarakan pergerakan bala tentara
Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang mengejutkan
bahwa pasukan Mancu yang menjaga di perbatasan barat itu hancur diserbu pasukan
Yucen yang besar dan amat kuat! Lebih dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas
dan sisanya kocar-kacir. Yang amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang
perwira Mancu membawa kepala seorang panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman
kepala panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada
Pangeran Bharigan sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!
Perwira itu berlutut dan
membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima dengan tenang namun muka
berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang meloncat bangun dari kursinya.
Suaranya gemetar menahan marah ketika ia membentak,
Kubur kepala itu dengan
upacara kebesaran!!
Perwira itu pergi dan Sang
Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata penuh geram, Sungguh
aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak pernah melakukan hal yang
menjemukan dan sombong itu! Sikap mereka ini harus kita sambut sebagai
tantangan untuk mengadakan perang besar. Hemmm, berani mereka memandang rendah
kepada kita!!
Seorang perwira lain dari
pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak tentara Yucen
terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa tidak seperti
panglima, namun orang itulah yang sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu
berantakan. Juga Panglima Yucen itulah yang telah memenggal kepala panglima
komandan mereka dan mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan Mancu.
Keparat! Biarkan aku sendiri
memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!! kata Maya dengan marah.
Aih, menurut laporan, jumlah
pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang saja. Tidak perlu engkau
merendahkan diri melayani musuh yang begitu kecil jumlahnya.!
Maya terpaksa mengangguk.
Pangeran ini selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya. Kalau begitu, aku
akan menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk
menghancurkan pasukan Yucen.!
Pangeran Bharigan mengangguk,
Baiklah, kalau kedua orang panglima yang saling berlumba membunuh musuh itu
maju bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis.! Dia tersenyum puas
karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara Hitam itu
amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan. Biarpun kedudukan mereka
sudah tinggi namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan sendiri, terjun ke
medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai Pedang Iblis itu
seakan-akan berlumba, berbanyak-banyak minum darah musuh! Bahkan orang-orang
dalam pasukan Mancu sendiri, dan pasukan Sung yang menggabungkan diri dengan
Mancu, secara berbisik menyebut mereka berdua itu Pendekar Sepasang Pedang
Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam
(Pedang Iblis Betina)!
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa
menerima perintah Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen yang
mengalahkan pasukan Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali.
Mereka sudah mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah
gatal-gatal untuk menghajar pihak musuh. Begitu menerima perintah, Ji Kun dan
Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing. Mereka berdua adalah
orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka mendengar bahwa pihak musuh
hanya terdiri dari sepuluh ribu orang, mereka pun tidak mau membawa pasukan
besar, masing-masing hanya memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh
ribu. Di bawah pimpinan Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi
dan mereka berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan sambil
bernyanyi-nyanyi.
Setelah tiba di perbatasan,
mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat seru. Debu
mengepul tinggi, suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan
mendatangkan suara hiruk-pikuk yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda
meringkik, kilatan golok pedang dan tombak menyilaukan mata dan banjir darah
mulai membasahi rumput dan tanah.
Ji Kun dan Yan Hwa, seperti
biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang mereka berubah
menjadi dua sinar kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu
disusul jerit seorang lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah menjadi
sepasang iblis yang haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar dapat
melihat sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang lebih
banyak. Sambil merobohkan lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban
mereka.
Kehebatan dua orang murid
Mutiara Hitam ini memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu sehingga
pasukan Yucen terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar,
terutama sekali menyaksikan pengamukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka
bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan Mancu mulai
kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya seorang
laki-laki muda yang tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan kanannya
berlumba dengan telapak tangan kirinya. Setiap sabetan atau tusukan pedang sama
mengerikannya dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya. Kepala atau
dada seorang perajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan kiri
orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima atau perajurit,
akan tetapi agak nya para anak buah pasukan Yucen mengenalnya dengan baik
karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat ketika orang sakti ini muncul.
Laki-laki muda rupawan ini
bukan lain adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong
Kwi yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat hati
Kam Han Ki remuk redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu yang
dianggap sebagai biang keladi atau penyebab kematian bekas kekasihnya itu.
Dialah orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan
dialah yang memenggal kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu
dengan pesan agar dikirimkan kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan
dendamnya, Han Ki menantang dan bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa
menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan mundur,
mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak musuh terdapat
seorang yang sakti, maka begitu melihat laki-laki berpedang itu mengamuk
seperti seekor naga menyambar-nyambar merobohkan banyak anak buah mereka, kedua
orang murid Mutiara Hitam ini menjadi marah. Seperti berlumba mereka lalu melesat
ke depan, merobohkan setiap orang perajurit musuh yang menghadang dan hanya
beberapa menit kemudian mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu
mengamuk.
Tanpa berkata apa-apa, Ji Kun
dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka, menyerang Han Ki dengan
jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang mengelilingi tubuh lawan. Melihat sinar pedang yang
mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki terkejut. Tak disangkanya bahwa pihak
tentara Mancu memiliki orang-orang sepandai ini. Dia pun tidak berani memandang
rendah, cepat tubuhnya melesat ke belakang sehingga lolos dari sambaran dua
batang pedang itu. Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa
penyerangnya adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima
Mancu, bersikap gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu
tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan berbangsa Mancu.
Yang menyeramkan hatinya
adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang panglima itu, pedang
yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan, hanya berbeda
ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat mengenal
orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.
Adapun Ji Kun dan Yan Hwa
setelah melihat pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh lima tahun kurang
lebih ini, yang mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya
lembut, memandang rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jerih terhadap mereka,
terhadap Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi laki-laki
itu mencelat ke belakang.
Sumoi, mari kita lihat siapa
di antara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!!
Ah, sukar menentukan kalau
hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek tubuhnya!!
Han Ki mengerutkan keningnya
dan berkata, Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki kepandaian lumayan,
namun berwatak tinggi hati. Sayang.... sayang.... agaknya guru kalian tidak
meningkatkan akhlak kalian.!
Yan Hwa menjadi marah sekali.
Ia menudingkan pedangnya ke arah muka Han Ki sambil membentak, Setan sombong!
Kematian sudah di depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa? Berani betul
engkau mencaci guru kami, keparat!!
Sumoi, dia mana tahu bahwa
guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka
mulut besar!!
Benar saja, Han Ki terkejut
bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara Hitam, karena
Mutiara Hitam adalah piauw-cinya (kakak misan). Ia menjadi makin marah dan
kerut di keningnya mendalam.
Bagus! Kiranya kalian murid
Mutiara Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau begitu, merendahkan diri
menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!!
Jahanam bermulut kotor!! Yan
Hwa kembali memaki, Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen....!
Buka matamu lebar-lebar!! Han
Ki memotong. Apakah pakaianku seperti perajurit? Tidak, aku tidak membantu
pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan
Yucen sekalipun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu. Sekarang
tidak usah banyak cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran
kepada kalian bocah-bocah murtad!!
Sombong!! Ji Kun sudah
menerjang lagi dibarengi oleh sumoinya. Pedang mereka berdesing dan
mendatangkan angin, berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun dengan
mudah Han Ki mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang
dengan pedangnya.
Para perajurit kedua pihak
yang bertempur di dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka
dan mundur di belakang jago! masing-masing karena mereka tertarik sekali
menonton pertandingan luar biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak
melihat bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak hanyalah
gulungan sinar pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan
tiga orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.
Tadi, ketika kedua orang muda
itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih belum mau percaya
begitu saja. Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam pertandingan
selama lima puluh jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang kedua orang ini
adalah murid piauw-cinya. Yang membuat dia tidak percaya adalah sikap mereka
dan kenyataan bahwa mereka menjadi Panglima-panglima Maricu. Kalau benar murid
piauw-cinya, tidak mungkin menjadi perwira Mancu. Apalagi mereka memiliki
sepasang pedang yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum sesat,
sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat! Melihat permainan ilmu
pedang mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam
bercampur dengan gerakan lain, dengan tenaga sin-kang yang amat kuat, dia tidak
ragu-ragu lagi dan tentu saja dia tidak ingin membunuh dua orang murid
piauw-cinya ini.
Kalian murid-murid murtad!!
Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang Yan Hwa dan mengelak
dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur, menurunkan pedang dan
membuka! pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini tentu saja
dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam yang lihai.
Seperti dikomando saja, pedang di tangan mereka dengan gerak kilat membacok
dari atas merupakan sambaran sinar kilat!
Tadi, setiap kali ia
menangkis, Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan. Namun berkat
sin-kangnya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari
tempelan, juga kedua orang lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan dan
kekuatan sin-kang yang amat luar biasa, selalu menarik kembali pedang dan tidak
mau mengadu tenaga sin-kang. Kini, melihat pancingannya berhasil, Han Ki cepat
mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
Trakkk!! Dua batang Pedang
Iblis itu menempel di pedang Han Ki dan biarpun dua orang murid Mutiara Hitam
sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali pedang
mereka. Namun, Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun memukul dengan
tangan kirinya ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah
menyambitkan jarum-jarum dari jarak yang amat dekat. Terpaksa Han Ki menarik
pedang dan tubuhnya mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya mendorong
dan ujung lengan bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang
berbahaya dari Yan Hwa. Akan tetapi pada saat itu, Ji Kun sudah menerjang lagi
dengan sebuah tusukan pedang yang diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung
sin-kang panas sekali. Han Ki terkejut, apalagi ketika Yan Hwa juga sudah
menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan kirinya
mendahului pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han Ki.
Han Ki mengenal dasar serangan
mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus mukjizat yang disebut
Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan
Yan Hwa adalah Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga).
Pukulan-pukulan yang dahsyat dan keji, berbahaya bukan main melebihi bahayanya
tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin pukulannya saja lawan
yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam keracunan!
Namun Han Ki adalah murid Bu
Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi,
mungkin tidak kalah oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat
datangnya pukulan-pukulan maut dibarengi serangan pedang iblis itu dia
menggerakkan pedangnya menangkis berturut-turut dua batang pedang sambil
kembali menggunakan tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di
pedangnya, sedangkan pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima
dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.
Trak-trakk.... plak-plak!!
Kedua orang murid Mutiara
Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan mereka tak dapat dielakkan lawan,
berbalik menjadi terkejut bukan main karena tidak hanya pedang mereka yang
kembali melekat di pedang lawan, juga tangan kiri mereka yang memukul itu
begitu mengenai tubuh lawan terus menempel dan hawa yang dingin luar biasa
menjalar melalui tangan mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan.
Secepat kilat tangan kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang
lawan itu. Ji Kun dan Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa
mereka melepaskan pedang lalu roboh berlutut!
Han Ki yang berhasil merampas
pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati dan mengkirik.
Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.
Hemmm, sungguh sayang Enci Kam
Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad dan memiliki senjata-senjata yang
begini keji!! Ia berkata.
Mendengar itu, Ji Kun dan Yan
Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya, Siapakah....
siapakah engkau?!
orang-orang murtad! Kalian
telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, seba gai murid Kakak Mutiara Hitam,
kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan kejam menggunakan
pedang-pedang iblis ini. Ke dua, kalian malah merendahkan diri menjadi penjilat
bangsa Mancu, hal yang takkan dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian
berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang ajar. Aku
adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku.!
Kedua orang muda itu tentu
saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan mereka
mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek Siansu,
berhadapan dengan suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan main dan
teringat akan guru mereka, kedua orang itu lalu memberi hormat sambil berlutut.
Mohon Susiok sudi memaafkan.
Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat menuntut balas
kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas atas kematian
Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas atas kehancuran
Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya bangsa Yucen!!
Kam Han Ki menarik napas
panjang. Urusan pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang. Sudahlah, kalau aku
tidak memaafkan kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini?
Kalian boleh pergi dan jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi
panglima Mancu. Dan pedang-pedang ini.... hemm, mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu
akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang pedang iblis
ini.!
Akan tetapi, Susiok!
Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!!
Mendengar ucapan Yan Hwa ini
Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat
menyilaukan mata itu. Apa? Benarkah itu?!
Sumoi tidak membohong, Susiok.
Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas perintah Subo,
kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya diberikan kepada teecu
berdua.!
Han Ki menghela napas dan
menyerahkan kembali sepasang pedang itu. Baik lah, sebetulnya baik buruknya
sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya. Tentu mendiang
gurumu memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik. Mulai saat ini,
pergunakanlah pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi nama gurumu, karena
kalau kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan pedang-pedang
pemberian guru kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!!
Ji Kun dan Yan Hwa saling
pandang, kemudian menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi meninggalkan
medan perang. Setelah kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi. Sakit hati
karena kematian Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid
Mutiara Hitam sampai terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia
membenci orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang
berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.
Pasukan-pasukan Mancu yang
dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan istimewa yang
terlatih, rata-rata perajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan dan semangat
yang tinggi karena para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut pimpinan
Panglima Wanita Maya. Karena ini, pihak Mancu melakukan serbuan yang ganas dan
pasukan-pasukan Yucen terdesak hebat. Biarpun di situ terdapat Kam Han Ki yang
mengamuk seperti seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap
bertempur dengan semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang
maju empat orang sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar pedang
di tangan kanan Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya.
Perang yang terjadi itu
benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah dan mundur.
Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk terus, bergerak tanpa berhenti dan
biarpun dia merupakan seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya,
namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari darah dan daging. Hujan senjata
pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan biarpun
tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek,
kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Amat menyeramkan
keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati yang timbul
dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecawaan hatinya,
segala kedukaannya ia tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan kirinya,
merobohkan siapa saja yang menentangnya.
Pihak Mancu menjadi gentar
juga menghadapi pengamukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat
menghadapinya. Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka
berat sehingga akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa
yang dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk ke
tempat yang sudah dipasangi lubang-lubang jebakan, dikurung oleh dua losin
perajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya.
Han Ki tidak tahu akan jebakan ini maka ketika ia memasuki tempat itu dan
dikurung oleh lawan yang menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia
menjadi marah. Pedangnya diputar dan ia membabat setiap jaring yang menyambar
tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia
sengaja hendak dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lubang yang
ditutupi ranting dan tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.
Cring-tranggg.... brettt!! Tak
mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja itu sekaligus.
Pedangnya merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan
tetapi sehelai jaring telah menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek
pakaian dan melecetkan kulit tubuhnya. Dengan marah ia meraih dengan tangan
kiri, merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak,
terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi
pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati
jaring yang menyelimutinya.
Akan tetapi baru saja ia
berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari empat penjuru,
anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang mengandung api!
Bukan main berbahayanya penyerangan ini dan terpaksa Han Ki yang sudah lelah
sekali itu memutar pedangnya melin dungi tubuh. Ia maklum bahwa kalau dia hanya
melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu takkan berhenti dan akhirnya ia
akan celaka. Maka ia melirik ke sekelilingnya dan melihat di mana adanya
musuh-musuh yang menghujankan anak panah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke kiri,
luar biasa cepatnya mendahului gerakan anak panah berikutnya, pedangnya
berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang bersembunyi di sebelah kirinya.
Han Ki mengamuk terus. Kini
tidak ada lagi lawan yang berani mendekat, apalagi karena pihak Mancu harus
menjaga desakan pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han
Ki yang biarpun tidak secara terang-terangan membantu mereka, namun pengamukan
pemuda sakti itu terhadap pihak Mancu benar-benar menguntungkan mereka.
Perang di antara kedua pasukan
itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan tenaga. Dia sudah
tidak mengamuk lagi. Apalagi mengamuk, berjalan dan bahkan berdiri pun dia
sudah tidak kuat. Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali, marahnya berkurang
dan ia menjatuhkan diri berlutut, tangan kanan memegang gagang pedang yang
ditancapkan di atas tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam. Rambutnya
awut-awutan, seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan
darah kental menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.
Namun, tidak ada yang berani
mendekatinya biarpun pemuda itu sudah berada dalam keadaan seperti itu. Ada dua
orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan kesempatan selagi pemuda
itu kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya, akan tetapi, ketika dua orang
perwira Mancu ini menerjang dari depan belakang dengan golok terangkat,
tiba-tiba pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua kali, ke depan
dan belakang dan.... dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang.
Setelah terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu
Han Ki yang sudah kehabisan tenaga.
Han Ki benar-benar lelah. Dia
mendengar teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen yang
kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan mulai
mundur. Akan tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak peduli
apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena yang penting baginya hanyalah
membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai tenaganya
habis! Kini mulailah ia sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga,
rasanya tidak berdaya, pikiran dan hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih
dan ia merasa terkejut dan menyesal. Apakah yang telah dilakukannya? Mengapa ia
membunuhi demikian banyaknya manusia? Dan dia bukan seorang perajurit Yucen! Dia
membunuhi manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan
hati kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan
bekas tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.
Ya Tuhan...., apakah yang
telah kulakukan tadi....?! Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti seekor
binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah
berapa ratus atau berapa ribu orang!
Teringat akan semua
perbuatannya sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han
Ki, apalagi karena ia teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi.
Dia mengguncang-guncang kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan, merasa
seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk dan mengerikan. Mengapa ia telah
lupa akan segala nasihat gurunya sehingga dia sampai melakukan pembunuhan
besar-besaran ini?
Tiba-tiba ia mendengar derap
banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga keadaan di
sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah pasukan Mancu yang
baru tiba, masih segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan baru yang membuat
pasukan Yucen kocar-kacir tadi. Namun Han Ki tidak peduli dan dia masih tetap
berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak kalau tidak diserang orang,
bahkan dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andaikata
diserang orang sekalipun belum tentu dia mau membela diri.
Suheng....!!
Pasukan berkuda itu berhenti
dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han Ki.
Suheng....!!
Han Ki membuka mata memandang.
Hampir dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Seorang wanita cantik
dan gagah perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima Besar Mancu.
Maya-sumoi....!! Han Ki
tergagap saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar Mancu.
Kau.... kau seorang Panglima Mancu?!
Aihh, Suheng. Kiranya engkau
orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah, Suheng, mana mungkin
ini? Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang telah mengakibatkan kehancuran
Khitan? Suheng....!
Diam!! Han Ki membentak marah
lalu bangkit berdiri. Maya, tidak kusangka bahwa engkau begitu merendahkan diri
menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih orang biasa, aku bukan perajurit
Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu adalah karena urusan pribadi....
aku.... aku pun sudah menyesal sekarang. Akan tetapi engkau.... ahh, engkau
mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya? Nah, sekarang engkau menjadi Panglima
Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau mau apa? Mau
menangkapku? Membunuhku?!
Suheng....!!
Maya bangkit pula berdiri dan
mukanya pucat sekali. Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku?
Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku.... aku bukan gila kedudukan.
Aku.... aku menggabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali Khitan
yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen,
Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku dapat membalas,
Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan
Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi
bersamaku menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaaf kan,
mari kita berjuang bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan
cita-cita, Suheng....!
Han Ki melangkah mundur,
matanya terbelalak. Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa
yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan
Khu-sumoi. Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kautinggalkan
semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es.!
Maya mengerutkan keningnya
menjawab perlahan, Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku kecuali
hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan
peristiwa tidak enak yang terjadi di antara kita bertiga? Aku tidak tahu apakah
Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng.
Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita
ke mana perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan
urusan masa depan kita.!
Tidak, aku tidak sudi menerima
kebaikan orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya. Setidaknya aku
sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi jalan
hidupmu, Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi....! Dengan hati
penuh duka karena kecewa menyaksikan sumoinya itu ternyata telah menjadi
seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh hendak pergi.
Tunggu, Suheng....!! Maya
berkelebat dan sudah mFloncat menghadang ke depan suhengnya, memandang dengan
sepasang mata merah dan basah.
Biarpun tubuhnya sudah lelah
sekali, melihat Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah berseri. Bagus,
Sumoi. Lekas kaubuang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku
mencari Khu-sumoi.!
Suheng, tidak ada kebahagiaan
bagiku melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku suka ikut
bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup
selamanya di sana. Jangan mencari Sumoi karena.... hal itu.... hal itu hanya
akan menimbulkan pertentangan dan....!
Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?!
Han Ki membentak.
Suheng, tidak tahukah
engkau....? Aku.... aku.... dan Sumoi.... kami.... ah, tak mungkin kami berdua
hidup di sampingmu bersama-sama....!
Omong kosong! Kau seperti anak
kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi kalau sudah pergi dari
sini. Mari ikut bersamaku.!
Tidak, Suheng. Kalau Suheng
tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau Es aku tidak bisa
ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di antara kami.!
Maya....!!
Maya terisak menangis. Selamat
berpisah, Suheng....! Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan kemarahan,
kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya menyerang pasukan Yucen
yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.
Han Ki pergi meninggalkan
tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal sekali bahwa di
dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung sekali karena dia
pun maklum apa yang menyebabkan Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta
kepadanya dan merasa cemburu kepada Siauw Bwee!
Pandang matanya berkunang dan
kepalanya menjadi pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilir-mudik. Ia
terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh, Maya.... kenapa
engkau bersikap seperti ini? Mengapa engkau memaksa aku menjadi makin menderita
setelah aku kehilangan Hong Kwi? Engkau dan Siauw Bwee adalah sumoiku juga
murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh cinta kepada kalian yang kukenal sejak
kecil? Maya.... apa yang harus kulakukan kini? Siauw Bwee, aku harus mencarimu
dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali ke Pulau
Es....!
Dengan hati berduka akhirnya
Han Ki dapat keluar dari daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk
mencari sumoinya yang ke dua, yaitu Khu Siauw Bwee setelah gagal mengajak Maya
kembali ke Pulau Es, bahkan mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan
bahwa Maya telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad
hanya mau pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw Bwee.
Dengan mengerahkan seluruh
sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari tempat ini dia
hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut. Ia lelah lahir batin
ketika duduk di bawah pohon. Pertandingan hebat di mana ia telah membunuh
banyak sekali orang Mancu itu telah menghabiskan tenaganya dan kini, setelah ia
sadar akan segala perbuatannya ditambah dengan pertemuannya dengan Maya, ia
merasa batinnya tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan. Seluruh tubuhnya
lemas, akan tetapi tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak
luka, akan tetapi tidak sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya, mata
batinnya betapa ia telah melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi
orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya oleh
kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa
dia sampai dapat menjadi begitu lemah.
Teringat ia akan suhunya, Bu
Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya adalah seorang manusia dewa
yang telah menurunkan banyak ilmu kepadanya. Ilmu-ilmu yang amat luar biasa dan
yang amat tinggi pula. Sekarang terbuktilah kata gurunya dahulu bahwa yang
menentukan nilai seseorang bukanlah ilmunya, bukanlah kepandaiannya, melainkan
kekuatan batinnya. Dan dia harus mengakui bahwa batinnya masih lemah, masih
mudah dikuasai oleh nafsu dendam. Ia merasa menyesal sekali.
Ia harus dapat membujuk Maya
agar melepaskan diri dari ikatan perang. Hal ini sudah merupakan kewajibannya.
Namun, ia mengenal pula kekerasan hati sumoinya itu sehingga dalan keadaan
seperti sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.
Aku harus dapat menemukan
Khu-sumoi. Hanya dialah yang kiranya akan dapat membantuku membujuk Maya,
Khu-sumoi, di manakah engkau....?! Han Ki mengeluh.
Dalam keadaan berduka itu
teringatlah Han Ki akan semua pengalamannya sejak kecil.
Dan teringat ia akan kedua
orang encinya. Ia pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa kedua orang
kakak perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada di
Ta-liang-san belajar ilmu dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin. Dalam
keadaan tertekan hatinya itu timbul perasaan rindu di hatinya kepada kedua
orang encinya itu. Akhirnya, setelah bersamadhi di lereng gunung itu selama
semalam untuk memulihkan tenaganya, pada keesokan harinya Han Ki meninggalkan
tempat itu dan pergi menuju ke selatan, ke Pegunungan Ta-liang-san karena dia
tahu bahwa kedua orang sucinya itu dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san,
digembleng oleh paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin.
***
Di lereng Gunung Heng-toan-san
sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang
dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat,
megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang
kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san
yang berani datang mendekat. Para penduduk di kaki pegunungan ini seringkali
melihat orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang berisi
peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan
adakalanya menggiring wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.
Biarpun semua barang dan
tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga bahwa
perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar pegunungan ini tentu ada
hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri.
Mereka hanya tahu bahwa benteng itu merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw
yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang
lalu di mana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh
menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman
karena tidak ada penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan
Beng-kauw.
Memang Beng-kauw kini telah
berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari
Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek
Kauw-ong, maka biarpun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi
kedok belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama
adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar nafsu
tanpa pengekangan sedikitpun juga. Hidupnya telah dipersembahkan untuk menuruti
segala kesenangan dunia yang dapat ia capai mengandalkan kepandaiannya yang
tinggi.
Dia gila kedudukan, gila
kemewahan, gila perempuan dan karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya
ini dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi,
memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti banyak
orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia menggunakan
kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat di daerah itu
sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu
dibawa ke bentengnya, kemudian dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru
sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan hanya benda-benda
berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan wanita cantik!
Karena inilah, maka keadaan di
dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang, semua perabot serba mewah dan
mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di dalam kamar-kamar
yang berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik
yang merupakan haremnya tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya, dan masih
terus minta ditambah! Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah
diganti-ganti dengan orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan
tidak memungkinkan seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah
bosan, ia hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia
menghendaki pengganti untuk memperlengkapi haremnya.
Pihak pimpinan Beng-kauw yang
aseli, sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya,
namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan orang-orang
gagah di dunia kang-ouw, yang mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini,
banyak yang datang untuk menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam
perjuangan mereka menentang kejahatan ini karena selain Hoat Bhok Lama amat
sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi,
juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya,
jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu
sebelum mereka dapat memasuki benteng.
Pada suatu hari, pagi-pagi
sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw yang
menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta terdapat tiga
orang wanita muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggauta rombongan
pedagang yang baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada
di kereta dibunuh termasuk para pengawal sedangkan tiga orang wanita muda yang
cantik itu ditawan. Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah
menikah dan baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok,
adapun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun. Biarpun kedua orang
encinya telah menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan
cantik-cantik pula, maka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.
Hoat Bhok Lama tercengang
penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari
yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan
wanita-wanita baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama
itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret
tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki kamarnya.
Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar
kamar dan ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih
tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar jagal di mana wanita-wanita muda
seperti domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela mereka. Di antara
rintih tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.
Tok-tok-tok! Suhu....!!
Terdengar ketukan di pintu kamar itu.
Setan! Siapa yang sudah bosan
hidup berani menggangguku?! Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.
Teecu hendak melapor, ada
musuh datang!! Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.
Heh, keparat!! Hoat Bhok Lama
meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya terkepal, siap
memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga selirnya tentu saja karena
muridnya cantik.
Maaf, Suhu. Kalau tidak
penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa
dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami
lakukan?!
Apa? Dua orang keturunan
Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar
tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kaujaga mereka bertiga itu, suruh
mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku
masih belum selesai dengan mereka!! Setelah selesai berkata demikian,
tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid
memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di
atas ranjang sambil menangis mengguguk.
Hoat Bhok Lama berlari menaiki
anak tangga menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu penjaga. Para
pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.
Di mana
mereka? Dan berapa orang yang datang?!