Bab 17
Hanya mereka berdua, Kauwcu
(Ketua Agama),! jawab seorang pembantunya. Enci adik Kam Siang Kui dan Kam
Siang Hui yang dulu juga.!
Hemm, mereka benar-benar sudah
bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biarpun
cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka.!
Wah, sayang, Kauwcu. Mereka
cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan
darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu
diberikan kepada kami saja?!
Boleh, akan tetapi selanjutnya
harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kal ian permainkan mereka sepuasnya.
Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?!
Mereka mendaki dari lereng
sebelah utara.!
Aku tidak ingin mengorbankan
anak buah sekali ini. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar
menangkap mereka.! Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya
merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu
melompat turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki
ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.
Kam Siang Kui dan Kam Siang
Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa pihak
musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun mereka tidak
peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa
dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon
bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di
Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun hasilnya kosong.
Para orang-orang gagah sudah
mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan tidak berani
membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk
memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran, akhirnya
kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri
tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang sakti untuk membalas
dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk merampas kembali
Beng-kauw.
Mereka telah mempersiapkan
diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri dengan
lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri.
Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata sembarangan,
tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan mereka. Pecut itu dahulunya adalah
senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin. Pecut itu terbuat
dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat di Pegunungan
Himalaya dan senjata ini mengeluarkan pengaruh mukjizat dan hawa panas. Pecut
ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan
menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu keponakan, juga
muridnya.
Moi-moi, hati-hati, kita sudah
mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku
menduga bahwa di bagian ini pun tentu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat
rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki.!
Baik, Cici,! jawab Siang Hui
dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman
disamping lebih tinggi tingkat ilmunya.
Mereka berhenti di tepi padang
rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok benteng. Di kanan kiri
mereka terdapat gunung-gunung batu karang.
Hemm, begini sunyinya dan
tenang. Amat mencurigakan!! kata Siang Hui.
Benar, kita harus menyelidiki
dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya tersembunyi
jebakan.! Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan
ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.
Trakk!! Batu itu hancur
berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke
atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu
cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata
terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ
sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari,
pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain!
Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw aseli
yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat
diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah
jalan sesat!
Ha-ha-ha, kalian berdua
perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa
keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum
bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukan kah lebih baik kalian yang menjadi
janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga
memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?!
Hoat Bhok Lama, engkau
penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah
merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami
akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas
kematian tokoh-tokoh Bang-kauw!! Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui
bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk ke arah perut
lawan.
Crengggg....!! Siang Kui
terhuyung ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Hoat Bhok
Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua
tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan
mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu
seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam di
tangannya.
Tar-tar....!! Ujung cambuk
hitam ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga
karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke
belakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan, gembreng di
tangan kiri menghantam ke arah kepala Siang Hui.
Cringgg....!! Seperti juga
encinya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung dan
tangan kanannya tergetar.
Ha-ha-ha! Aku akan menangkap
kalian hidup-hidup! Ha-ha!! Hoat Bhok Lama kini menerjang maju, sepasang
gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar
seperti dua bola api.
Sing-sing-sing, crenggg....!!
Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan
kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling
bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang
senjata ini. Dahulu, seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek
Kauw-ong merupakan orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti
seperti Suling Emas saja yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh
atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam
Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng bibi kedua orang wanita ini yang
telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi
ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong.
Di samping senjata sepasang
gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi
dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan
jantung, namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang
(Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang mengandung sin-kang
amat kuat.
Wuuut-wuuut-wuuut,
tar-tar-tar!! Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan
cambuk hitam mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam
yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka sedangkan dari dalam
gulungan sinar hitam itu, pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara
tiba-tiba untuk membalas serangan lawan.
Sebetulnya, tingkat kepandaian
kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan
dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki,
tentu saja dia dapat mengeluarkan itmunya yang tinggi untuk merobohkan dan
membunuh mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, kedua orang wanita
itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal dapat
membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua ekor
naga betina yang ganas.
Di samping ini, Hoat Bhok Lama
juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan kepada
para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepadanya,
maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja. Kalau dia menawan
mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh dua keuntungan, pertama, ia dapat
menyiksa musuh-musuh ini dan ke dua ia akan dapat menyenangkan hati pemban
tu-pembantu dan anak buahnya. Bagi dia sendiri, biarpun mata keranjang dan
harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat menarik, namun sudah
terlalu tua dan dia dapat memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang
dikehendakinya!
Karena itulah maka
pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui
maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh
lebih pandai dari mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan
Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan
kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan
nyawa terbunuh olehnya!
Cuit-cuit-tar-tar-tar!! Dua
batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat
jalan darah di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari
kanan kiri.
Aihhhh!! Hoat Bhok Lama
terkejut sekali sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga
terdengarlah suara nyaring yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena
telinga mereka seperti ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat
mereka terhuyung ke belakang. Namun, sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui
masih berhasil melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan
rasa nyeri bukan main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan
roboh, setidaknya menjadi lumpuh lengan kanannya.
Namun, sin-kang kakek ini kuat
sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah
kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa
terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing
seperti gasing!
Siang Kui dan Siang Hui
terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin
puyuh, membuat mereka berdua tidak dapat tetap pasangan kuda-kuda kaki mereka.
Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan
tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari bayangan
yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng!
Kam Siang Kui dan Kam Siang
Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut
yang berupa sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak
kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung
adalah tubuh lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain
menulikan telinga juga menggetarkan jantung mereka.
Untuk memusatkan sin-kang
menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan mata
dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.
Cuit-cuittt....!! Ketika Hoat
Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak
saja, dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka.
Cret-crett!! Ujung cambuk
bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali.
Terdengar kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya,
tubuhnya berjongkok dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke
arah perut kedua orang lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu
membuat Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!
Siuuut! Siuuutt!! Dua sinar
kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri.
Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan
tubuhnya ke belakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata
hanyalah dua buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini
meloncat ke atas, mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah
terkena pukulan Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka
membuang diri ke belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang
gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk.
Ketua Beng-kauw itu menoleh ke
kanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki muda. Yang muncul dari
sebelah kirinya adalah seorang pemuda tam pan sekali, dengan pakaian mewah
indah dan di punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan
sepasang matanya bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda
yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang. Ia
maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga
lontaran seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau
tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah
karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan
tetapi kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk
mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah
melompat ke belakang, ke arah padang rumput.
Manusia terkutuk, hendak lari
ke mana kau?! Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang
Hui.
Kedua bibi jangan kejar dia!!
Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si jai-hwa-sian berteriak
memberi peringatan.
Kalau saja yang muncul bukan
Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya keponakan
yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka
marah. Apalagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau
sembrono, mengejar begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu
mengandung jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki Hoat Bhok Lama
menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang
keras.
Moi-moi, ikuti jejak kakiku!!
Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang
dikejarnya.
Tiga kali dia meloncat
mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di tengah padang rumput, di
belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada di
belakang encinya ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh
Siang Kui bersama adiknya yang menginjak tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos
dan roboh terguling ke dalam air! Ter nyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di
atas air yang tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang
tepat di atas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput, akan
tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya
yang bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan
balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui dan Siang Hui tergelincir
dan terjatuhlah mereka ke dalam air.
Dua orang wanita ini boleh
jadi amat perkasa kalau mereka di darat, akan tetapi setelah mereka tercebur ke
dalam air yang ternyata dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga
kecil yang oleh Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan,
mereka tidak berdaya dan menjadi gelagapan. Empat orang anak buah Hoat Bhok
Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput di mana
mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui.
Mereka adalah ahli-ahli renang
yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua orang wanita itu
dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan
senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang
pengeroyok. Biarpun demikian, mereka tidak mampu melepaskan pegangan tangan dua
orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke bawah sehingga terpaksa mereka
gelagapan minum air telaga yang kotor!
Cepat, kita harus menolong
mereka!! teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat. Orang aneh
bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya, tubuhnya menyusul melayang
seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang
melintang dan mengambang di atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu
tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di
situ, meniru perbuatan kawannya melompat. Sekali menggerakkan tangan mereka
sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang wanita
itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui. Namun berat tubuh
dua orang terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan
kayu, maka sambil menarik mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang
Hui ke depan, ke arah tepi di seberang yang lebih dekat.
Siang Kui dan Siang Hui yang
sudah kehilangan senjata, meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di
udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi
seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka
tidak sernpat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci
itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari ke depan
sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di
sebelah depan.
Melihat kenekatan kedua orang
bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja
tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang
Hui.
Monyet tua itu lihai dan licik
sekali, kita harus membantu bibimu!! Im-yang Seng-cu berkata, Aku harus membawa
senjataku, lontarkan aku ke sana!!
Suma Hoat mengangguk, lalu ia
memegang lengan kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu
ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang
telanjang dan dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga lontaran
Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu
ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai
perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.
Hoat Bhok Lama tadinya
tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia
merasa yakin kini akan dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua
orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan
suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya.
Pada saat Im-yang Seng-cu dan
Suma Hoat tiba di seberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu,
dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw
yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak,
Harap Bibi berdua hadapi
tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!!
Sekali ini Siang Kui dan Siang
Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan
mereka itu agaknya telan insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang
kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta
Lama yang menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka
tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan
senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur,
kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.
Dengan beberapa kali loncatan
Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah
menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang
ringan, mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji,
Wah, kepandaian kalian boleh
juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?!
Suma Hoat tidak mau menjawab
dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab,
Anak buah Beng-kauw yang
kaupimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu,
Hoat Bhok Lama! Karena itu maka hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat
kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu
membangun yang aseli. Bagaimana?!
Hoat Bhok Lama menjadi merah
mukanya dan alisnya berkerut. Hemmm, seingatku, nama julukan Jai-hwa-san
dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan
hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari
Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak
seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri?
Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi
Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah
repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?!
Mereka saling pandang,
kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik
sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang
kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami
tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah dan di bawah
kepala gundul!
Di antara kami dengan engkau
jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi
tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun
kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak
buahmu yang sudah kaubawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk
kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut
kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami
mau mengampunkan engkau!!
Manusia sombong! Makanlah
gembrengku seorang satu!! bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan
menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga
terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak
sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
Cringgg! Tranggg!! Pedang di
tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis. Dua orang
muda perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu
benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah
pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan
mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar
kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih
pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!
Hoat Bhok Lama adalah
keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid
ke dua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu
ketika mereka menyerbu tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam di pantai
Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu
Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar telah
mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat. Setelah kini bertanding
mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih
kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga
dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang
gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu.
Andaikata mereka berdua itu
maju satu lawan satu pasti mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu
maju berdua dan di antara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan
persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi,
repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya
yang jauh lebih muda. Apalagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang
tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya
sehingga tenaga sin-kangnya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya.
Untung baginya bahwa Suma Hoat
tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena
pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah
bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng.
Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang
lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata
mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina
yang marah. Biarpun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak
setinggi tingkat mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka
dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam
orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap
berjumlah dua puluh orang lebih.
Sambil memutar pedang
melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat
sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk
dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang
dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik
mereka ini dan betapa berbahayanya tempat itu, penuh jebakan.
Bibi berdua, harap jangan
mengejar mereka....!! Ia berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka
karena Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan
kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau
melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya. Apalagi
karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang
amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik
ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri ke
puncak gunung karang.
Ketika sisa anak buah
Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan
jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah
puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Bibi.... awaaasss....!! Masih
terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka
injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin
menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!
Moi-moi, turun....!! Siang Kui
berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun
melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan
tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui
tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak
gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul
batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawa.
Cici....!! Siang Hui menjerit.
Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari
hujan batu yang sedemikian banyaknya?
Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu
menyaksikan malapetaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan
seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan
telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis
oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu
bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang
senjata lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan.
Desss!! Biarpun Hoat Bhok Lama
dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena
hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan
terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring.
Hoat Bhok Lama tertawa
bergelak lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani
mengejar ketika melihat temannya terluka. Dia berlutut dan bertanya,
Bagaimana?!
Suma Hoat menyeringai dan
menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku,
berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga
hawa sin-kang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan
hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya
memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan
nekat ia meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak
berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana Siang Kui
dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.
Bibi....! Bibi....!! Suma Hoat
sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah
biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.
Sabar dan tenanglah,
sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar
ini?! Im-yang Seng-cu menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya
membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya,
melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang
bibinya.
Bibi....! Tiba-tiba Suma Hoat
melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak
ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan
menangkap lengan orang itu.
Bi....!! Akan tetapi ia
berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah
batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan
muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar,
dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!
Melihat kakek yang kepalanya
besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala
yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.
Takkk!! Akan tetapi tongkatnya
terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan
main seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala
terbuat dari baja murni.
Kakek itu mengejapkan matanya,
kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat
bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan
tetapi kepalanya lebih besar daripada kepala orang dewasa yang manapun juga!
Monyet, kau orangnya Hoat Bhok
Lama, ya?! Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang
Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah mengerahkan sin-kang menahan.
Tentu saja dia terkejut sekali
dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap
bertanding.
Jangan, Locianpwe! Dia
sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!! Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa
kakek itu amat sakti segera berkata.
Heh-heh-heh, kalau aku tidak
tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar,
dan kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua
bangka akan mampus.! Kakek yang bertu buh kecil dan berkepala besar itu tertawa
bergelak sampai keluar air matanya!
Tiba-tiba Im-yang Seng-cu
menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata, Mohon Locianpwe
mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin.!
Mendengar disebutnya nama itu,
Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
Di dalam perantauannya, pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti
dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai,
orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan ke dua adalah Bu-tek Lo-jin.
Teringatlah ia akan ciri-ciri
orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar.
Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek
ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki
kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi hormat di
depan kakek itu.
Kakek itu memang benar Bu-tek
Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak
pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di dalam cerita Mutiara Hitam!
kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar
Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek
Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas
diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biarpun hanya beberapa bulan saja
Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan
ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal.
Setelah Tang Hauw Lam menikah
dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini lalu
menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh.
Karena itu, dapat dibayangkan
betapa keget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa
disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar
biasa!
Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah
mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat
mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari
Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau
ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu,
kau siapa?!
Suma Hoat cepat menjawab, Dia
itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas
tokoh Hoa-san-pai. Adapun saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat....!
Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu?
Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh,
Suma Hoat, coba kauserang dengan seluruh kepandaian yang kaumiliki!!
Tentu saja Suma Hoat
terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu dan berkata, Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu.
Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang
bibi teecu yang tertimbun batu.! Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat
membongkar batu-batu itu.
Hayaaaa....! Jadi mereka itu
tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang
terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus
mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada
orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar
batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?!
Bu-tek Locianpwe benar sekali,
sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat
menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan
membalas kematian kedua orang bibimu,! kata Im-yang Seng-cu.
Ucapan ini menyadarkan Suma
Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas.
Kau betul! Mari kita kejar
dia!!
Heitt, nanti dulu!! Bu-tek Lo-jin
berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah
berdiri di depan Suma Hoat. Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki
Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti
yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah
Merah? Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke
manakah? Hayo Suma Hoat, kauseranglah aku!!
Suma Hoat kelihatan ragu-ragu,
akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira, Suma
Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?!
Tentu saja Suma Hoat tidak
bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena
hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama.
Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang
sakti ini, maka biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan
berkata, Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teccu menyerang!! Tubuhnya
sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia
menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek
itu.
Cuss! Cusss!!
Heiiihhh! Dari mana engkau
memperoleh ilmu setan ini?! Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua
matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma
Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika
ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga
sin-kangnya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek
itu timbul hawa mukjizat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh
ini, Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut.
Teecu mohon petunjuk.!
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya
yang tebal putih. Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang
gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biarpun mereka semua sekarang
telah menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi
mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek
Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu
kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya.
Dahulu, di empat penjuru dunia
terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka
adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam
Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu
masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling
Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh,
orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan
tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu
milik Kam Sian Eng si wanita iblis!!
Beliau adalah nenek teecu!!
Suma Hoat berkata.
Aihhhh! Pantas....
pantas....!! Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak
kecil. Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat
sekali, jadi dia....!
Dia adalah ayah teecu!! Suma
Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguhpun
ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.
Ha-ha-ha-ha! Besar sekali
untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku
mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga
yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang
jahat atau yang baik?!
Tentu saja yang baik,
Locianpwe!!
Im-yang Seng-cu mendengarkan
percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar
pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk
jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah
penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap wanita sehingga
terciptalah dorongan nafsu berahi yang tidak wajar di samping kekejaman yang
amat mengerikan terhadap kaum wanita.
Bu-tek Lo-jin memandang dengan
matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi.
Heh-heh, kalau engkau mengerti
yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?!
Tanpa ragu-ragu Suma Hoat
menjawab, Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!!
Im-yang Seng-cu mengerutkan
alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi
Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya.
Huah-ha-ha-hah, berbahaya
sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni
yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur,
muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih
kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang
menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang
bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima
warisan ilmu-ilmuku?!
Teecu siap, Suhu.!
Nah, kalau begitu, mari
kauikut aku pergi dari tempat ini!! Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga
bangkit berdiri.
Heii, nanti dulu, Suma Hoat!
Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?! Im-yang Seng-cu
menegur.
Suma Hoat memandang gurunya.
Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang
mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru
teecu akan mengikuti Suhu!
Bu-tek Lo-jin mengerutkan
alisnya. Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua
bibimu?!
Suma Hoat yang cerdik itu
ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya yang
amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab,
Sebagai murid, teecu harus
mencontoh Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal
Suhu dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membonuhnya karena dendam,
melainkan karena teecu harus membe rantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok
Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari
ancaman perbuatan jahat mereka.!
Kembali kakek itu tertawa
bergelak, Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah
engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang?
Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan
kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu sejalan dengan isi
hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali mengetuk satu
kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!!
Setelah berkata demikian,
Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat
dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan
batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang.
Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu.
Dia tidak merasa iri hati,
karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid siapapun juga,
bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai. Im-yang Seng-cu
adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau
mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup bebas lahir batin.
Akan tetapi, di dalam hatinya, terdapat rasa simpati yang besar terhadap
Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar kesadarannya. Dia merasa
kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang bahwa sahabatnya itu menjadi
murid seorang pandai.
Dengan hati tegang Im-yang
Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia tahu
tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak gunung batu karang
itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk
puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak tanah batu
merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam.
Im-yang Seng-cu berjalan
hati-hati menuju ke bangunan yang dikelillngl pagar tembok tinggi. Menjelang
senja barulah ia sampai di depan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main
menyaksikan keadaan markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga
di depan pintu dan ketika ia melangkah maju dengan hati-hati karena maklum
bahwa markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia dan jebakan
berbahaya, melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran. Biarpun terasa amat
sunyi karena tidak ada suara, namun di sebelah dalam benteng itu tampak
kesibukan orang-orang.
Im-yang Seng-cu menggerakkan
tubuhnya, melesat ke dalam melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Kini
tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti mayat-mayat manusia
yang malang-melintang di tempat itu termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para
pembantunya. Ketika melihat mayat Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu
mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka, tidak mengeluarkan
darah, hanya ada tanda biru di ubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu
bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala
yang gundul itu!
Ketika orang-orang yang
bekerja dengan sunyi itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu, mereka memandang
dengan khawatir, bahkan seorang di antara mereka yang agaknya memimpin
pekerjaan mengurus mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima
puluh tahun lebih, cepat menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan penuh
hormat dan berkata,
Harap Taihiap tidak turun
tangan mengganggu kami yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma
Taihiap.!
Im-yang Seng-cu
mengangguk-angguk kagum, maklum betapa dalam waktu singkat sahabatnya dan
gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan Beng-kauw, membunuh Hoat
Bhok Lama dan para pembantunya dan menundukkan anak buahnya.
Apa yang telah terjadi?!
tanyanya.
Orang itu memandang tajam,
agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini. Bukankah Taihiap
sahabat baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?!
Benar, akan tetapi aku
tertinggal di sana. Harap kauceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan
mengapa pula Bu-tek Locianpwe dapat muncul di tempat ini.!
Orang itu menarik napas
panjang, kemudian setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia berkata,
Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap, sudah
sepatutnya mendengar semua keadaan kami. Marilah kita bicara di dalam dan saya
akan menceritakan semuanya.!
Im-yang Seng-cu mengikuti
orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah dan setelah duduk
menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw Kiam,
orang itu yang dahulunya seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki
kedudukan lumayan tingginya.
Ketika Hoat Bhok Lama dan kaki
tangannya mula-myla menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw melakukan
perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah para
pimpinan kami, bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur
pula di tangan Hoat Bhok Lama. Sampai habis semua pimpinan kami tingkat tinggi,
dan hanya kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat
meloloskan diri. Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggauta Beng-kauw
yang setia, tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan
tetapi, kemudian tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama,
pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya kami
sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain, Hoat Bhok Lama mengatakan bahwa
Agama Beng-kauw adalah Agama Terang yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan
bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao, telah
menyelewengkan pelajaran Beng-kauw yang sejati!!
Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama
mengerti benar akan pelajaran Beng-kauw,! kata Im-yang Seng-cu. Apa saja yang
dikatakannya mengenai penyelewengan itu?!
Lauw Kian lalu bercerita.
Menurut pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas pengurus
dan anggauta Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism)
didirikan oleh Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap adalah
lambang kejahatan. Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan Terang dari
selubungan Kegelapan.
Jadi menurut pelajaran agama
ini, terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu Kerajaan Terang dan
Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari kegelapan.
Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok Lama, karena itu
selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Beng-kauw merupakan
pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya. Dongeng
yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan yang
dijelaskan oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa kalau
Liu Gan mengajarkan bahwa para penganutnya harus mengenyahkan kegelapan,
mengenyahkan kejahatan dengan pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama
tidak mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki
kegelapan!
Betapa mungkin kita dapat
mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu sendiri, tanpa mengetahui
kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui
keadaan musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun ke dalamnya! Kita lahir
dari kegelapan, setelah kita sadar dan mendapat sinar terang untuk melawan
kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu kegelapan,
apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki kekuasaan
nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu sendiri! Setelah kita
mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita, tidak akan sukar lagi untuk
menundukkannya!!
Demikianlah bujukan dan
pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia yang
lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan daripada
menganut pelajaran yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan badan. Mengekang
nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh,
sebaliknya mengumbar nafsu mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran
macam itu segera mendapat minat yang besar sekali dari para bekas anggauta
Beng-kauw sehingga banyak di antara mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok
Lama sebagai seorang ketua baru yang jauh lebih bijaksana! daripada para bekas
pengurus lama. Apalagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok
Lama memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik untuk
dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.
Im-yang Seng-cu
mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia menarik napas
panjang. Dia masih belum tua namun sudah banyak sekali mengalami hal-hal aneh
di dunia ini yang membuat pandangannya cukup luas. Di mana-mana ia melihat
kegagalan usaha para tokoh agama apapun juga dalam perjuangan mereka
mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia seluruhnya. Kegagalan itu
seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia yang biarpun dengan akal budi dan
pikirannya dapat menerima inti pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang baik,
namun jasmaninya terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk menentang
nafsu badani sendiri sehingga terjadilah pertentangan yang amat menyedihkan.
Pertentangan antara hati
nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu pribadi,
yang biasanya sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin
banyak orang mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan
dosa. Raja Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk menundukkan
manusia, yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar sehingga
manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik.
Lihatlah manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu, tanpa
disuruh tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri. Sebaliknya, biarpun
setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur dan lain
sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka.
Hem, dia memang cerdik,
mungkin iblis sendiri yang mengajarinya,! kata Im-yang Seng-cu. Dan
bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul di tempat ini?!
Hal itu terjadi dua bulan yang
lalu,! kata Lauw Kian. Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek
Lo-jin pada dua bulan yang lalu datang ke Pegunungan Heng-toan, ke markas
Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek ini
tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama dengan
paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek ini kemudian
mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya tentang kematian sahabat yang dikenalnya
itu.
Hoat Bhok Lama tentu saja
mengenal kakek sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama membujuk
agar kakek sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya
sampai ke seluruh daratan.
Ketika tampak gejala penolakan
dari Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya akan diketahui kakek itu bahwa dia
merampas Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu
Bu-tek Lo-jin memasuki guha di puncak yang merupakan tempat jebakan yang amat
berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu ingin tahu
itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke dalam lubang jebakan yang terdapat di
guha puncak gunung itu.
Hoat Bhok Lama menutup lubang
dan guha itu, kami menganggap kakek itu telah tewas.! Lauw Kian menutup
ceritanya. Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar biasa itu muncul bersama
Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup selama dua bulan tertutup di
dalam sumur guha itu.!
Im-yang Seng-cu kagum sekali.
Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja
yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua bulan tertutup di dalam
sumur di puncak, bahkan ketika puncak itu longsor oleh gerakan alat-alat
rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh pula ke bawah, dia masih mampu
menyelamatkan diri.
Setelah kini kalian terlepas
dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw, apa yang akan kalian
lakukan?! Im-yang Seng-cu bertanya.
Kami akan meninggalkan tempat
ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali dengan bekas para
anggauta Beng-kauw, bsrsama-sama membangun ksmbali Beng-kauw,! jawab Lauw Kian
dengan wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang
tewas sehingga kini perkumpulan mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan
lagi.
Im-yang Seng-cu
mengangguk-angguk, Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang semestinya
mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk kerohanian.
Kalau urusan kerohanian dicampur dengan urusan dunia, tentu akan timbul
pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya bersimpang jalan. Kuharap
saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan mendatangkan
penerangan bagi manusia yang telah kehilangan slnar rohaninya, digelapkan oleh
awan-awan nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah parkumpulan tukang
pukul, yang disebut kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki tangannya,
melainkan batinnya, rohaninya, sehingga msmancarkan sinar tsrang membantu
mereka yang ksgslapan. Semoga kalian berhasil.!
Im-yang Ssng-cu meninggalkan
Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cin-sha,
diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat, selaln
memperoleh ilmu kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan dapat sadar dan
mengalahkan penyakitnya sendiri yang membuat pemuda itu mendapat julukan Dewa
Pemetik Bunga!
***
Aiihhh...., semua tempat
kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang?
Ahhh, Suheng.... di manakah engkau....?!
Siauw Bwee menghela napas
berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya
di tengah hutan sunyi itu. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa
arah tertentu dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang
berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang ke
dua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi,
hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang
dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu
Kam Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya.
Tersorot cahaya api unggun
yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang
panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api,
matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki
ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput
kurus tak jauh di depannya.
Di dalam perantauannya
semenjak meninggalkan Pulau Es Siauw Bwee yang telah mengalami banyak hal
hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru
yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu
gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara
sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun, dara yang berilmu tinggi dan
yang cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang
disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk
termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan.
Kewaspadaan seorang ahli silat
tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan, pendengaran
dan perasaannya, menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun, segala
kewaspadaan akan hilang apabila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat
semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka
sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk membentuk
dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik.
Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah
perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak, ibunya
yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka, kemudian ia terpaksa harus
berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan dendam di dalam hati, harus
berpisah dari suhengnya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di hatinya.
Siapa yang takkan berduka?
Sementara itu, semua ketidaksenangan hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam
pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat terlaksana karena dia
belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat
memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi
setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun
tangan.
Tentu saja tidak mungkin
baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari
musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri
tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah
cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan!
Biarpun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan
dalam hal ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang
keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan
hati itu teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya,
seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sejak keluhan sastrawan yang
kesunyian, seperti dirinya di saat itu.
.... kosong melengang....
pikiran melayang
mengejar kenangan
dihimpit kesunyian....
seperti iblis mentertawakan
bunyi daun berkelisik
kerik jengkerik
kerok katak
kokok burung hartu
di luar bising....
namun betapa sunyi melengang
terasa di dalam
seribu suara malam
menambah rasa kesepian....
Teringat akan sajak ini, dua
butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw
Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus.
Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya.
Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri,
mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.
Aihh, kudaku yang setia.
Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul
dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak begini besar
rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena
kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak
sunyi lagi. Aihhhh....!
Betapapun tinggi ilmu
kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara
remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah
kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan
tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian adalah karena dia
belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sckelilingnya. Melihat kudanya, dia
menemukan hiburan karena ada rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang
itu. Kalau dia memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya,
terhadap suara binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya
daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan
seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian
itu. Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik
yang tampak maupun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia
hidup ini, betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang
dianggapnya tidak menyenangkan.
Persatuan dengan alam dan
seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa kasih yang akan
menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala perbedaan, segala
iri hati, segala dendam dan kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama
sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah dapat mengenal diri pribadi, dapat
menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran yang
menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya
keluar, tidak pernah KE DALAM, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak
dapat menjadi sadar.
Perasaan sengsara yang menekan
batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak
tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata
seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah
berada di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat itu dan membuat
api unggun. Semenjak tadi, pemuda ini memandang dengan mata penuh kagum
terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.
Pemuda yang berpakaian
sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum lama
keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di dunia
kang-ouw, karena wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya,
membuat dia tidak pernah bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi. Dia bernama Yu Goan.
Ayahnya adalah seorang
pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan
pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hitam). Adapun
ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu
silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu
puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)! Ayah
dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan
mewarisi ilmu silat aseli dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja
obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini orang
tuanya, juga kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan
pengalaman.
Malam itu, kebetulan sekali Yu
Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas cabang pohon dengan aman sampai
munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh
kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan
berduka seorang diri. Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat
turun dan berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan
sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani
berkutik, khwatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang
ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal
yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan
yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya.
Tiba-tiba pemuda itu terkejut
dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang muncul
di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya!
Otomatis tangan pemuda ini meraba ke pinggang di mana disimpannya beberapa buah
senjata rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul ada tiga ekor harlmau
merunduknya!
Siauw Bwee tiba-tiba meloncat
dan membalik. Srattt!! Sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya. Yu Goan
memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit
dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang ahli!
Karena terhibur oleh kehadiran
kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat menangkap
gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda
mencorong di balik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu
tiga pasang mata binatang buas, entah harimau entah apa. Akan tetapi begitu ia
membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun
lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada
manusia atau binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu
saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan
sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang melongo
terheran-heran penuh kekaguman.
Dengan gerakan kilat, gerakan
yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu gerakan
kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini, mencari-cari. Akan
tetapi tidak menemukan seorang pun manusia atau seekor pun hewan! Terpaksa ia
kembali ke dekat api unggun memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan
diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Apakah benda-benda mencorong yang
dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia
melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah
merupakaan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andaikata binatang, atau
manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja
tanpa meninggalkan suara apa-apa!
Seluruh urat saraf di tubuh
Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti munculnya
benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah jam ia berdiri
tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata
yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya jauh di atas dengan melongo
penuh kagum.
Api unggun bergoyang-goyang
mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang
mengancamnya. Apapun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti
mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api tinggun, menambah kayu
dan api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering dengan lahapnya. Kini
Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk melamun seperti tadi,
melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua
ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu
akan dapat ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan
tidak akan membiarkan mahluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul
lagi.
Yu Goan yang berada di atas
pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah
tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan
benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata
dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh perhatian
dan karena dia berada di tempat tinggi, dia lebih awas daripada Siauw Bwee yang
pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.
Tiba-tiba Yu Goan bergerak,
hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda mencorong,
tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak sekali, muncul di sekitar tempat
itu! Untung baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar
gerakannya di atas dan kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini
berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw Bwee berseru heran karena
tiba-tiba begitu ia bergerak, ben da-benda mencorong itu padam! dan lenyap,
juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biarpun dia sudah
berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu.
Kini Siauw Bwee kembali ke
tempatnya dengan muka penuh karingat. Hatinya ngeri sekali. Belum pernah ia
merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang penakut, sama sekali tidak.
Akan tetapi apa yang dialaminya di hutan ini benar-benar amat menyeramkan.
Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang mengganggunya!
Dia tidak akan gentar
menghadapi lawan manusia yang bagaimanapun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh,
kalau saja malam tidak begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia
akan segera meninggalkan hutan berhantu ini!
Siauw Bwee menghela napas, tak
berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat menyeramkan ini. Dia
duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan perhatiannya dari
keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba Siauw Bwee yang baru
menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah di dekat
kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam tanah itu
mengeluarkan suara bercicitan ketika meluncur ke atas ke arah pemuda yang
menjadi terkejut bukan main.
Wuuuuttt! Trakkk!! Biarpun
hanya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya diduduki Yu
Goan, menjadi patah terkena hantamannya. Pemuda itu sudah meloncat dengan
gerakan ringan, melayang turun sambil berseru,
Heit, saya bukan musuh....!
Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah mahluk-mahluk mengerikan yang
memiliki mata mencorong itu!!
Siauw Bwee memandang tajam ke
arah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu, tangannya meraba gagang
pedang, jantungnya masih berdebar tegang karena tadi dia mengira bahwa tentu
laki-laki di atas pohon itu yang mengganggunya. Di bawah sinar api unggun yang
kemerahan, mereka saling pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi
makin terpesona. Kiranya dara itu setelah didekatinya, malah jauh lebih jelita
daripada ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda!
Mudah saja membela diri. Sudah
jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun hendak menyangkal
lagi?! Siauw Bwee mencela, suaranya dingin.
Yu Goan menggeleng kepala.
Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari atas pohon, Nona, akan tetapi
bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja hendak mengintai, karena aku telah
berada di atas pohon lama sebelum Nona datang dan membuat api unggun di bawah
pohon ini.!
Siauw Bwee memandang marah,
teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya,
yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini.
Engkau membohong!!
Yu Goan menarik napas panjang.
Nona, membohong atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan, karena seorang
pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andaikata Nona yang berada
di sini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon, bagaimana
mungkin sampai tidak tahu ada orang datang dan memanjat pohon? Aku bukan dewa,
bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh tadi.!
Siauw Bwee termenung dan
akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu karena
biarpun dari gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat turun tadi,
terbukti bahwa pemuda ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih tidak
mungkin pemuda ini dapat datang dan meloncat ke atas pohon itu tanpa dia
ketahui sama sekali.
Kalau begitu, mengapa engkau
diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?!
Habis, apa yang harus
kulakukan, Nona?!
Mengapa engkau tidak menegurku
sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?!
Ahh, mana aku berani, Nona?
Andaikata engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung menegurmu dan
berkenalan. Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku berani
menegur dan bersikap tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa
tersiksa hatiku di atas sana tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun tidak
berani diam saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya
mengkhawatirkan suatu hal....! Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan mukanya yang
tampan menjadi merah sekali, ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur,
menurutkan suara hatinya.
Siauw Bwee kini sudah hilang
kemarahannya, bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus,
pandang mata yang penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusun rapi. Ia
percaya bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang penjahat. Akan tetapi
keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali membangkitkan kecurigaannya
dan ia cepat berkata mendesak,
Apa yang kaukhawatirkan itu?
Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!!
Yang kukhawatirkan tadi....
eh, anu...., aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau tidak melakukan hal
yang bukan-bukan di bawah sini selagi aku berada di atas pohon, karena kalau
engkau melakukannya, aku benar-benar akan celaka!!
Eh, jangan bicara seperti
teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau
khawatir aku lakukan?!
.... hem.... misalnya.... eh,
kau merasa kakimu lelah dan membuka.... sepatu.... atau.... eh, berganti
pakaian.... maaf....!
Tiba-tiba Siauw Bwee menahan
ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali. Memang tidak ada air di situ.
Kalau ada, tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan memikir hal ini....
bertelanjang bulat di situ, di bawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu
tengkuknya berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya,
Andaikata benar demikian,
mengapa kau khawatir dan kaukatakan akan celaka?!
Tentu saja, Nona. Kalau
terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi.!
Siauw Bwee tersenyum dan
memandang dengan mata bersinar. Sungguh lega hatiku sambitanku tadi tidak
mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang yang amat
sopan dan jujur. Siapakah engkau?!
Pemuda itu menjura dengan
hormat, wajahnya berseri karena dia senang sekali bahwa Nona yang dikaguminya
itu tidak marah. Saya she Yu bernama Goan, seorang perantau yang kemalaman di
sini maka bermalam di atas pohon. Dan Nona....!
Eh, apakah engkau tadi melihat
benda-benda mencorong yang aneh itu?! Siauw Bwee memotongnya.
Aku melihatnya, dan aku kagum
sekali menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat.!
Hemm, kalau gerakanmu demikian
cepat tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau, apakah benda-benda itu
tadi?!
Aku pun tidak tahu, Nona.
Melihat jaraknya, seperti sepasang mata, akan tetapi kalau sampai Nona yang
demikian cepat gerakannya tidak dapat menangkap mereka, aku bukan seorang yang
percaya akan tahyul, hanya.... kiranya tak mungkin manusia memiliki mata
seperti itu. Aihh, sampai sekarang pun aku masih merasa ngeri dan merasa
seolah-olah saat ini banyak pasang mata yang memandang dan mengintai kita.!
Siauw Bwee bergidik, hatinya
ngeri, akan tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia mendapatkan seorang
kawan dalam hutan yang menyeramkan ini. Tanpa disengaja, matanya melirik ke
bawah dan memperhatikan kedua kaki pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali dan
sikapnya halus seperti itu jarang ia jumpai dan munculnya tidak wajar.
Jangan-jangan penjelmaan iblis dan siluman, siapa tahu?
Tiba-tiba pemuda itu tertawa
geli. Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini siluman! Sungguh mati,
aku manusia biasa!!
Wajah Siauw Bwee menjadi merah
dan ia pun tersenyum. Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menyangka engkau
siluman?!
Nona memandang ke arah kakiku
untuk melihat apakah kedua kakiku menginjak tanah, bukan? Menurut dongeng,
bangsa siluman kalau menjelma men jadi manusia dapat dikenal dari kakinya yang
tidak menginjak tanah, melainkan berada sejengkal di atas tanah, dan kalau ada
cermin, dia tidak mempunyai bayangan.!
Ihh, aku harus berhati-hati
terhadapmu. Engkau sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan hatiku masih panik oleh
rasa ngeri memikirkan benda-benda mencorong itu.!
Pemuda itu mengangguk. Kalau
tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah mati. Untung kita
saling bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada. Engkau
mengasolah, Nona. Biar aku yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa siluman takut
akan api, maka api unggun ini harus selalu dijaga jangan sampai padam.!
Siauw Bwee menggeleng kepala.
Setelah munculnya makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat tidur? Engkau
tidurlah, biar aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul makhluk hidup dan
muncul lagi.... hemmm, ingin aku menggempur mereka!!
Tidak, Nona. Engkau yang harus
tidur dan aku yang menjaga.!
Tidak! Aku yang menjaga!!
Keduanya saling pandang dan
melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh keheranan dan
kegelian hati, mau tidak mau Siauw Bwee tersenyum. Mereka baru saja bertemu,
sudah berbantahan!
Aku telah tahu bahwa ilmu
kepandaian Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali tingkat kepandaianku.
Akan tetapi, betapapun juga, Nona adalah seorang wanita dan aku seorang pria.
Mana mungkin seorang pria yang tahu akan susila dapat tidur pulas dan
membiarkan seorang wanita melakukan penjagaan? Biarpun bodoh, aku tidaklah
sekasar dan kurang ajar seperti itu, Nona.!
Siauw Bwee tersenyum dan
mengangguk. Baiklah, aku akan mengaso dulu. Akan tetapi begitu muncul lagi
benda-benda mencorong seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk membangunkan aku.
Dan jangan lupa, kita bergilir. Kalau bulan secuwil di atas itu sudah lenyap,
tibalah saatnya giliranku menjaga dan engkau mengaso.!
Yu Goan mengangguk. Baiklah.!
Akan tetapi awas, jangan kau
terlalu sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang. Aku akan marah!!
Yu Goan tersenyum. Makin
tertarik hatinya. Dara itu cantik jelita melebihi bidadari impian hatinya,
berilmu tinggi sekali, pemberani dan tabah sehingga seorang diri berani bermain
di dalam hutan, dirundung keprihatinan yang tadi memancing keluarnya mutiara
air mata mendatangkan perasaan iba di hatinya, dan sekarang ternyata selain
berwatak halus dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos dan jujur!
Seorang dara yang menonjol di antara laksaan orang gadis lain!
Siauw Bwee rebah miring
membelakangi api unggun. dan Si Pemuda. Biarpun dia merasa yakin akan
sifat-sifat baik pemuda itu, namun hatinya masih penuh kengerian maka dia hanya
akan merasa aman kalau tidur sambil menghadap ke arah kegelapan dari mana tadi
muncul benda-benda aneh.
Hati Yu Goan merasa lega.
Kalau gadis itu rebah miring menghadap ke arahnya, tentu dia tidak akan berani
menatap wajah gadis itu. Kini, gadis itu membelakanginya sehingga dia mendapat
kebebasan untuk memandangnya, biarpun dia hanya dapat mengagumi lekuk-lengkung
tubuh belakang di balik pakaian sederhana, dan sedikit kulit tengkuk yang putih
kuning yang membayang di antara dua kepang rambut yang hitam subur, anak-anak
rambut yang melingkar indah di atas tengkuk, dan garis pipi kemerahan
dilindungi sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis.
Semalam suntuk tidak terjadi
sesuatu, tidak ada benda-benda mencorong atau makhluk aneh muncul. Yu Goan
tenggelam dalam kekaguman sehingga dia tidak merasa betapa malam telah lewat.
Dirasakannya sebentar saja dan tahu-tahu dia mendengar bunyi ayam hutam berkokok
dan sinar keemasan membayang di timur. Malam telah lewat dan pagi mulai
menjenguk di ambang timur!
Siauw Bwee mengulet enak
sekali, membalikkan tubuh, menegangkan otot-otot dan mengembangkan kedua lengan
ke atas kepala, menguap kecil.
Pemandangan ini sedemikian
indah mengharukan bagi Yu Goan, membuatnya terpesona akan tetapi ketika hatinya
mencela mata yang menikmati pemandangan itu, dia cepat mengalihkan pandang dari
tubuh dan muka yang kini telentang itu, menunduk.
Kokok ayam hutan memasuki
pendengaran Siauw Bwee dan seketika dia meloncat bangun, membalik dan memandang
ke arah api unggun yang masih menyala dan ke arah pemuda yang masih duduk dekat
api unggun. Mata gadis itu bersinar marah dan ia membentak,
Terlalu sekali! Sudah pagi!
Mengapa kau tidak membangunkan aku? Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan
tidak memberi kesempatan padaku untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?!
Yu Goan bangkit berdiri dan
menjawab halus, Maaf, Nona. Hanya ada dua pilihan bagiku malam tadi. Pertama,
aku harus melihat Nona terganggu dari tidur nyenyak kalau aku membangunkan
Nona. Ke dua, aku harus menghadapi kemarahan Nona kalau aku tidak membangunkan
Nona. Dari dua pilihan itu, aku memilih yang ke dua. Aku menerima salah dan
siap menerima hukuman.!
Bagaimana mungkin orang bisa
marah menghadapi sikap yang menyerah seperti inl? Apalagi pemuda itu jelas
bermaksud bahwa rela dimarahi daripada mengganggunya dari tidur nyenyak! Kalau
dia toh marah terus, berarti dia yang keterlaluan! Seketika kejengkelan hati Siauw
Bwee lenyap dan dara ini menurunkan kedua lengan yang tadi menegang, membanting
kaki kiri dan berkata,
Aihhhh! Engkau membikin aku
tidak enak saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikitpun juga,
apalagi tidur semalam suntuk dan membiarkan engkau melakukan penjagaan!!
Tapi aku senang sekali
melakukan penjagaan, Nona. Dan semalam tidak ada muncul peristiwa sesuatu.
Agaknya iblis-iblis itu telah merasa takut mendengarkan ancamanmu.!
Siauw Bwee teringat dan cepat
ia menyambar pedangnya, digantungkan di punggung.
Ahh, sekarang kita dapat
mencari iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti bukan iblis!!
Engkau benar, Nona. Mari kita
mencari!!
Dua orang muda itu lalu
mencari di antara rumput alang-alang dan tetumbuhan di sekitar tempat itu, di
tempat-tempat di mana semalam mereka melihat benda-benda mencorong dan dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat tapak kaki manusia!