Bab 26
Karena tidak dapat menahan
kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta
dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai
rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan.
Suma Kiat diam-diam tersenyum
di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu.
Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan
duka karena putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat
puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia
tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu
sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak
terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia
pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
Aahhh, Coa-bengcu. Seorang
laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu,
perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan
yang akan dapat merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen
berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh
kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah,
mengambil banyak wanita muda yang cantik dan.... ha-ha, memperoleh
putera-putera lagi?!
Pada saat itulah, pengawal
yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas
memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat
menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin
sendiri oleh Bu-koksu!
Mendengar itu, Suma Kiat
meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram
dia berkata kepada para penjaga, Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan
Koksu!! Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir
dan muridnya, mereka melangkah keluar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk
dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena
takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan
bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan.
Setelah tiba di ruangan depan
dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke
depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran,
Sungguh amat mengherankan
sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan
secara memaksa. Apa kehendak Koksu?! Biarpun dalam kedudukannya, dia kalah
tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun di
antara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenalnya sebagai
seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi.
Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dan pemerintahan.
Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu.
Akan tetapi Bu-koksu tersenyum
mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir, Sikapku ini sama sekali
tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai
seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan,
engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan
musuh!!
Bukan main kagetnya hati Suma
Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras
karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya
kira-kira saja, Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan
membabi-buta! Semenjak dahulu, keluarga Suma adalah keluarga panglima yang
selalu setia kepada raja!!
Ha-ha-ha, mungkin dahulu
demikian. Biarpun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum
pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan
menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan
Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!!
Bohong! Fitnah palsu! Apa
buktinya?! Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau
bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan
Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka
mampus di tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma
Hoat membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat,
menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan
di kota raja!!
Tentu saja Suma Kiat terkejut
sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh
setelah disiksa untuk mengaku, akan tetapi dia telah kaget lagi mendengar bahwa
Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen!
Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri
dari keadaan berbahaya ini.
Anjing penjilat, kaukira aku
takut padamu?! Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan
kecepatan luar biasa. Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia
pun cepat menangkis dengan golok besarnya. Terdengar suara berkerincing nyaring
ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang, punggung golok
dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan
berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan
senjata berat yang amat berbahaya. Namun, Suma Kiat adalah seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu
Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan
dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mukjizat dan ampuh sekali.
Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan
yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.
Setelah memberi isyarat kepada
pasukan-pasukan yang masih setia kepada Suma Kiat sehingga para pasukan
pengawal itu menerjang maju disambut pasukan pengawal Koksu, Siangkoan Lee, Bu
Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para
panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid
Bu-koksu.
Perang kecil yang mati-matian
terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu, akan tetapi, jumlah pengawal
yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan
jumlah pengawal Bu-koksu, apalagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat suaah
menaluk ketika melihat gelagat buruk, bahkan kini mereka membalik dan membantu
para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka
mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni! Tentu saja hal ini amat
mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka
berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu.
Suma Kiat yang bertanding
melawan Bu-koksu, menjadi marah sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun, beberapa orang
panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat
terdesak hebat dan terancam keselamatannya.
Pada saat itu, Coa Sin Cu yang
tadinya bersembunyi, merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi
karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya
dan menerjang keluar membantu Suma Kiat.
Melihat munculnya orang ini,
Bu-koksu berseru marah dan juga girang. Sudah lama sekali dia menyuruh
orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak
dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan
Yucen. Apalagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin, di bawah siksaan berat, mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu
Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini, sungguh
tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat.
Dengan suara menggereng hebat,
Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para
panglimanya, tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang
berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu.
Coa Sin Cu terkejut dan cepat
menangkis. Trangggg.... trakkkk!! Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan
golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan
dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat
golok!
Keparat....!! Suma Kiat marah
sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan
dahsyat ke depan. Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhunya,
berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi
mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang
yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima
yang membantunya.
Sementara itu, Bu Ci Sian dan
Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi
mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat
ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan
belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian
Suma Kiat benar-benar amat hebat.
Suhu.... lebih baik kita
pergi....!! Siangkoan Lee berseru. Subo sudah terluka....!!
Tadinya Suma Kiat hendak
mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu
Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang
terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia
kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke
depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan memutar
senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar
lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka
pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Karena yang dapat mengimbangi
kepandaian Suma Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani mengejar
sendirian, hanya memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah.
Puluhan batang anak panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri
itu, namun kesemuanya dapat diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee
dan Suma Kiat. Tak lama kemudian bayangan mereka menghilang di dalam kegelapan
malam yang telah tiba.
Kasihanlah para penghuni rumah
gedung Suma Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para pelayan.
Mereka dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua dibunuh, yang muda dan
cantik diperkosa sampai mati. Kemudian, seisi rumah dirampok habis-habisan.
Melihat betapa anak buahnya berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan
membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia sedang berduka sekali melihat
muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos. Saking gemasnya
dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran
Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada
Raja agar mengirim pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat.
Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa melakukan perlawanan setelah rahasia
persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin.
Suma Kiat, dengan bantuan
muridnya yang setia, berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat dia,
selirnya, dan muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat.
Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu,
diharuskan melarikan diri siang malam tak pernah berhenti. Suma Kiat maklum
bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin baginya muncul
di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau
pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah
Kerajaan Yucen. Akan tetapi, dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada
bangsa Yucen. Bukan demikianlah cita-citanya. Dia adalah seorang dari keluarga
Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka bekerja sama dengan
Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk
menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar
dan dia sendiri memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi
seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu gagal, dia tidak sudi merendahkan
diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.
Suhu, apakah tidak lebih aman
bagi Suhu dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita menyeberang
saja dan minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?! Siangkoan Lee mengajukan
usulnya di tengah perjalanan melarnkan diri itu.
Sepasang alis yang sudah
bercampur putih itu berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika
menjawab, Siangkoan Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan
yang berjuang untuk rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya
kita memberontak untuk memilih kaisar baru yang lebih baik. Untuk keperluan itu
pun tiada salahnya kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi itu
hanya siasat, bukan berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih
baik mati daripada menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik
pendirianku ini karena engkaulah yang harus melanjutkan cita-citaku. Engkau
bukan hanya muridku, bukan hanya pembantuku, melainkan kuanggap sebagai
pengganti puteraku sendiri yang akan kuwarisi seluruh ilmu kepandaianku.!
Siangkoan Lee terkejut dan
juga girang sekali. Terima kasih, Suhu....! katanya terharu. Teecu bersumpah
akan menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!!
Dua hari kemudian, rombongan
tiga orang ini terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap kaki
sekor kuda yang dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat
larinya kuda, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya
satu orang saja, Suma Kiat menahan kudanya dan membalikkan kuda menanti
datangnya seorang pengejar itu.
Ayah....!!
Kiranya pengejar itu bukan
lain adalah Suma Hoat! Pemuda ini, dengan muka dan baju basah oleh peluh karena
melakukan pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid
ayahnya. Mereka bertiga yang duduk dia atas kuda memandang pemuda itu dengan
wajah dingin dan sinar mata mengandung penuh penasaran.
Ayah...., aku.... aku.... aku
mendengar akan penyerbuan Bu-koksu.... aku cepat ke Siang-tan, terlambat....
lalu mengejar Ayah....!
Tutup mulutmu dan jangan
sekali-kali menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!! Suma Kiat membentak penuh
kemarahan.
Suma Hoat terbelalak kaget,
wajahnya pucat. Ayah.... mengapa....?!
Cukup! Sekali lagi menyebut
ayah, kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah kami
menjadi begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku
terbongkar. Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja.
Mulai saat ini, engkau bukan puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan
sengsaralah engkau selama hidupmu!!
Ayaaahhh....!! Suma Hoat
bergidik ngeri mendengar kutukan ayahnya.
Cet-cet-cet!! Tiga sinar
menyambar ke arah Suma Hoat. Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah
diserang dengan senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada waktu lagi untuk
menangkis, maka dia cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik
dan berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa
jarum-jarum beracun itu. Akan tetapi kudanya meringkik keras lalu roboh
berkelojotan, dada dan perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun. Suma Kiat
melarikan kudanya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya
dapat memandang dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya.
Yang pertama kali dia diusir, kini, setelah dia mengorbankan perasaannya
membantu ayahnya mengadakan persekutuan dengan pemerintah Yucen, hal yang sama
sekali tidak disukainya dan yang hanya ia lak ukan demi menyenangkan hati
ayahnya, kembali ayahnya marah dan bahkan mengutuknya!
Sejenak pemuda itu hanya
berdiri mengikuti bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia
menarik napas panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua
tangannya. Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya. Hatinya sudah remuk
oleh kegagalan cintanya. Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah
dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw Bwee dan Maya! Namun
ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan Maya
yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka
telah memiliki pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya
orang yang akan dapat didekatinya, bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya
sebagai anak lagi. Apalagi artinya hidup ini baginya?
Siapakah yang harus
disalahkannya? Koksu Bu Kok Tai? Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum
kepada Bu-koksu dan merasa iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu.
Mengapa ayahnya tidak dapat bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan
pahlawan sejati? Orang-orang gagah seperti Bu-koksu adalah orang-orang
segolongan dengan mendiang Menteri Kam Liong, yang terkenal karena kesaktian
dan kesetiaannya terhadap nusa bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau
saja membantu ayahnya yang bersekutu dengan pihak Yucen? Andaikata dia tidak
hendak berbaik kembali dengan ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua
itu, tentu saja dia tidak akan sudi membantu persekutuan kotor itu.
Suma Hoat menghela napas
panjang dan meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata sayu dan
tubuh lesu. Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah
terlampau marah dan dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya,
tidak ada harapan baginya untuk meredakan kemarahan ayahnya. Ibu tirinya dan
Siangkoan Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu akan membakar terus hati
ayahnya.
Suma Hoat sama sekali tidak
tahu dan tidak pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri amatlah
sengsara semenjak terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu
hidup mewah dan mulia, kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka
sekali. Dia sudah tua dan pukulan-pukulan batin itu membuat tubuhnya menjadi
lemah dan sakit-sakitan. Mereka bertiga melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan
Tai-hang-san. Suma Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun sebuah
tempat peristirahatan di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara
puncak-puncak di Pegunungan Tai-hang-san.
Siangkoan Lee yang pandai
mengambil hati gurunya, berusaha menyenangkan hati suhunya itu dengan membangun
sebuah bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan laki-laki dan wanita
muda untuk suhunya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini
mewariskan semua ilmu silatnya kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma
Kiat selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan, terutama sekali kalau teringat
akan cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua
kedukaan ini ditambah lagi oleh solah-tingkah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan
itu, melihat betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah, tidak mampu
lagi melayani nafsu-nafsunya, wanita ini menjadi binal kembali. Semua ini
merupakan tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya tidak kuat
menahan dan akhirnya kakek itu jatuh sakit.
***
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan
musuh di Siang-tan. Biarpun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan,
yang tewas dalam menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh
sehingga tidak terburu-buru melakukan penyerbuan ke Siang-tan. Setelah mendapat
kenyataan bahwa Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke
Sian-yang, Maya menjadi makin girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan
bagaimana dia dan suhengnya dapat lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk
kebebasan dia dan suhengnya, dia harus menebusnya! dengan penyerahan diri
kepada Suma Hoat, Si Dewa Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan hatinya!
Setelah mengadakan perundingan
dengan para pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil keputusan untuk
minta bantuan Panglima Bu, panglima angkatan laut yang memberontak terhadap
pemerintah, panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan tentara istimewa
diutus minta bala bantuan ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan,
Maya dibantu oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, melatih pasukan mereka yang
menghadapi perang besar.
Keadaan pasukan Mancu yang
bermarkas di Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan itu hampir
tiada bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara,
adalah pihak Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!
Akan tetapi, ternyata bantuan
untuk Mancu datang lebih dahulu dan mendengar dari para penyelidiknya bahwa
bantuan dari selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar
juga akan keributan di Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran
Ciu Hok Ong dan diserbunya gedung Panglima Besar Suma Kiat, Maya segera
mengerahkan pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini menjadi besar
dan kuat karena memperoleh bantuan.
Tentu saja Koksu Bu Kok Tai
terkejut bukan main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat besar
itu. Mengertilah dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka
timbul kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia
harapkan dari selatan masih belum kunjung tiba. Padahal sudah dia perhitungkan
bahwa tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu. Terpaksa Bu-koksu lalu
mengerahkan segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar tembok
benteng, sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan
dengan mati-matian.
Tiba-tiba datang seorang kurir
menghadap Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa pasukan bala
bantuan dari selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan
diserbu pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan
sebagian pula terpaksa melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya
terputus! Berita yang amat mengejutkan, juga mengherankan hati Bu-koksu.
Mengapa mendadak terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat bergerak di
mana-mana? Namun, dia tidak memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan
perhatian untuk menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok
benteng kota Siang-tan.
Sebetulnya, apakah yang
terjadi? Benarkah bala bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan Mancu?
Memang kelihatannya demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang
menghancurkan pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang menyamar
sebagai pasukan-pasukan Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik
sekali oleh Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen. Dalam siasatnya untuk
melemahkan kedudukan Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan
pasukan Mancu, diam-diam Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar
sebagai pasukan Mancu, kemudian menghadang pasukan bantuan itu dan
menghancurkannya. Dia sendiri diam-diam berkunjung ke kota raja Sung di selatan
dan menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Siang-tan dan mengusir
pasukan-pasukan Mancu dengan syarat agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah
yang luas di daerah utara Siang-tan kepada Kerajaan Yucen.
Karena Siang-tan merupakan
benteng yang amat penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam keadaan
terjepit itu, Kaisar tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini
berikut syaratnya! Pek-mau Seng-jin girang sekali lalu mengerahkan
pasukan-pasukannya yang kini telah meninggalkan pakaian penyamaran mereka
sebagai pasukan Mancu dengan cepat melakukan perjalanan menuju Siang-tan yang
sudah terancam dan terkepung oleh pasukan Mancu.
Bu-koksu memimpin sendiri
pasukan yang menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok benteng. Perang yang
seru dan hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai
belasan hari lamanya, berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan
harinya. Akan tetapi, akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang
mempunyai jumlah pasukan jauh lebih besar. Terpaksa Bu-koksu menarik sisa
pasukannya memasuki benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng dan memperkuat
penjagaan.
Maya memimpin
pasukan-pasukannya, diam-diam merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur
pasukan sehingga pasukan yang lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan
hari. Kini Maya menyusun pasukan-pasukannya, mengurung kota Siang-tan dan
mulailah penyerbuan-penyerbuan untuk membobolkan benteng kota. Namun ternyata
bahwa benteng itu kuat sekali, terbuat dari tembok yang tebal dan terjaga ketat
dengan barisan-barisan anak panah yang melepaskan anak panah dari tempat
terlindung sehingga setiap penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan
benteng masih dapat dipertahankan.
Kembali belasan hari lewat dan
benteng kota Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan Mancu. Akan
tetapi, pihak pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali. Kota telah
dikurung, hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya
terancam oleh penyerbuan-penyerbuan lawan, akan tetapi yang lebih
mengkhawatirkan lagi, terancam oleh kelaparan karena gudang ransum yang setiap
hari dikurung tanpa ada penambahan itu makin menipis isinya.
Keadaan yang mengancam ini
membuat semangat perlawanan pasukan Bu-koksu menurun dan akhirnya, tanpa dapat
dipertahankan lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah
pintu terbesar dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi
sorak-sorai yang memekakkan telinga.
Kini perang hebat pecah di
dalam kota. Suara senjata beradu diseling bentakan dan makian bercampur pekik
kesakitan dan keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang
lari ke sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing.
Maya yang menunggang seekor
kuda putih, mengamuk dengan pedangnya.
Kudanya meringkik-ringkik,
lari ke sana-sini, didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu, dan ke
mana pun sinar pedangnya menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang
perwira musuh. Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini,
Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia mencambuk kudanya menghampiri, kemudian
sambil membentak marah dia menyerang Maya dengan senjatanya yang juga telah
merobohkan banyak anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan ini dengan
pedangnya dan terjadilah pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua
pasukan yang sedang berperang itu. Akan tetapi pertandingan di antara mereka
kurang leluasa karena di situ penuh dengan tentara kedua pihak yang saling
terjang, sehingga seringkali mereka terpaksa mundur dan terpisah kembali untuk
melayani tentara musuh yang mengepung.
Maya sendiri merasa penasaran
bahwa sampai lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu berseru
menantang, Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar
tembok sampai seorang di antara kita roboh binasa!!
Anjing betina Mancu, siapa
takut kepadamu?! Bu-koksu membentak.
Maya mengaburkan kudanya ke
luar pintu gerbang yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu. Setibanya di
lapangan yang luas di luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang
mengejarnya tiba, dia langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang
perkasa ini bertanding dengan seru dan dahsyat.
Andaikata mereka bertanding
ilmu silat biasa, tidak di atas kuda, agaknya betapapun lihainya, Bu-koksu
bukanlah lawan Maya dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus.
Akan tetapi, bertanding di atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu
silat tak banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya kecepatan menggerakkan
senjata dan keahlian menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang
ditunggangi memang peranan penting. Biarpun sudah lama Maya menjadi panglima
perang, namun pengalamannya dalam bertanding di atas kuda jauh kalah banyak
oleh Bu-koksu dan biarpun gerakan tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan
cepat, namun kepandaiannya menunggang kuda juga kalah.
Karena inilah, pertandingan
berlangsung dahsyat dan seru. Sukar bagi Maya untuk merobohkan lawan yang
tangguh itu dan dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak
kiri. Luka yang tidak terlalu parah biarpun cukup membuat pakaian perang
Bu-koksu berlumuran darah. Betapapun juga, diam-diam Bu-koksu harus mengakui
bahwa selamanya belum pernah dia bertemu tanding sehebat nona itu! Lengannya
yang memegang golok besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan
pedang lawan, lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang
masih amat muda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa! Namun dia
tidak mengenal takut, mengambil keputusan untuk berkelahi sampai titik darah
terakhir membela negaranya.
Bu-koksu, bersiaplah untuk
mampus!! Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya menyambar
dengan sinar berkilat.
Tidak begitu mudah keparat!!
Bu-koksu membentak dan menangkis.
Tranggg....!! Untuk ke sekian
ratus kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu. Bunga
api berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan
tenaga dan kini mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling
melekat itu.
Tahan senjata....!! Tiba-tiba
tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang
itu adalah Suma Hoat! Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang
turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan
yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah di
antara mereka yang dibantu pemuda itu, maka keduanya lalu menarik senjata
masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di
antara mereka dengan alis berkerut.
Sudah sejak tadi Suma Hoat
menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup
masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat
betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak
tega. Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa
Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang
jauh berbeda dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati! Biarpun
Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat
tidak dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang
koksu yang setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan
melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apalagi karena yang
mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.
Suma Hoat, apakah engkau
hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!! Maya
membentak nyaring.
Maya, harap engkau sadar bahwa
engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah
yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau
malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri
sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?!
Suma Hoat, mulutmu palsu!!
Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya. Engkau sendiri adalah
anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!!
Koksu, tidak perlu menilai
diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah
seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau
gugur di sini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak
semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua,
maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar
Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu....!
Jangan sebut-sebut nama
guruku!! Maya membentak. Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama
sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni
Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apalagi murid
manusia dewa Bu Kek Siansu!
Nona Maya, aku hanya mengharap
agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa
sendiri....!
Cukup! Aku memang sengaja
menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu,
akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur
karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi
ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi
pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat,
engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang
minggirlah!!
Kembali Maya menyendal kendali
kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang
Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya
berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri
di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.
Trang-cring-trang....!! Pedang
dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus
membantu siapa.
Sumoi....!!
Tampak bayangan berkelebat dan
tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena
tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari
atas punggung kuda. Namun, berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu
dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan
senjata siap di tangan.
Suheng....!! Maya berseru
dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia
terpental tadi.
Kam-siauwte....!! Bu-koksu
juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat
sakti ini. Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya,
melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut.
Maya-sumoi, mengapa engkau
masih juga melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa
engkau, adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati
daripada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan
Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa
sendiri?!
Suheng, engkau boleh melupakan
segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah
hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!!
Engkau keliru, Sumoi. Bukan
Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan
pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh
manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai
pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak
gugur sebagai seorang pengkhianat?!
Pucat sekali wajah Maya ketika
dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata, Suheng,
engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu
mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku
melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau
hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah
gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es,
engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku.... padahal hanya angkau seorang
harapanku....! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku.... engkau....!
Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua
tangannya.
Krekkk!! Pedang itu patah
berkeping-keping dan dlbuangnya ke atas tanah.
Llhat, seperti itulah hatiku,
Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku,
berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya
akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang
ini, dan akan mengamuk terus sampai mati!!
Ohhhh....!! Seruan ini keluar
dari mulut Suma Hoat. Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis
terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat
membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw
Bwee!
Han Ki sendiri sudah menduga
akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di
depan banyak orang, maka dia hanya berkata, Sumoi, mari ikut aku pergi....!! Tubuhnya
berkelebat ke depan. Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan
tetapi, Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh
sumoinya dalam kempitan.
Kam-taihiap, tunggu....!! Suma
Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap. Dia
mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu
saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil
berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han
Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang
di antara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia
sudah tergila-gila dan jatuh clnta kepada kedua orang gadis itu, kalau ditolak
oleh penghuni Istana Pulau Es, biarlah menjadi isterinya!
Perang berlangsung terus
biarpun Maya telah pergi. Akan tetapi, tentu saja semangat berjuang para
pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan
dan agulkan itu lenyap. Apalagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala
tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah
meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh. Pangeran Bharigan sendiri
terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran
karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat
dicintanya itu.
***
Air laut di sekeliling pulau
itu tenang sekali dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit, mengambang
tidak bergerak. Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah
patung raksasa terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar
matahari yang tertutup awan tipis dan kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa
permukaan Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu berkilauan permukaannya.
Bangunan istana di tengah
pulau, yang telah lama ditinggalkan penghuni-penghuninya sehingga hampir
tertutup dan tertimbun salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah
Han Ki, bersama dua orang sumoinya kembali ke pulau.
Biarpun kadang-kadang hatinya
menjadi panas dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau teringat akan cinta kasihnya
kepada Han Ki, namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera
menubruk dan memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu
dan rindu kepada sucinya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai
bertahun-tahun di atas Pulau Es sebagai saudara, senasib sependeritaan. Hanya
karena cinta dan cemburu saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci di hati
mereka. Kini, setelah berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa
terharu dan timbul kembali rasa kasih sayang di antara mereka.
Sumoi...., aku banyak salah
kepadamu, maafkan aku, Sumoi....!
Aihhh, Suci, jangan berkata
demikian. Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci. Akulah yang mohon
maaf kepadamu....!
Han Ki menarik napas panjang
menyaksikan pertemuan antara kedua orang sumoinya itu. Nah, begitulah, kedua
sumoiku yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling
memaafkan kalau ada kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih
diri di pulau ini, sesuai dengan kehendak Suhu. Karena itu, baru bahagialah
hidupku melihat kita bertiga dapat kembali di sini.!
Begitu dua orang dara itu
mendengar suara Han Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda itu,
timbullah kembali persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng
keduanya membentak, Akan tetapi, Suheng....!
Han Ki cepat mengangkat kedua
tangan ke atas. Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita bicarakan
urusan yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan. Sekarang,
yang terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat
betapa kotor dan tak terpelihara semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya.!
Han Ki menudingkan telunjuknya dan ketika dua orang dara itu memandang dan
menyaksikan keadaan istana tua itu mereka menjadi terharu dan tanpa banyak
membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu.
Ketika mereka membersihkan
ruangan di mana dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya dan Siauw Bwee
segera bertanya mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di
situ.
Han Ki menarik napas panjang
ketika menjawab, Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri di sini,
hatiku merana setiap hari, apalagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang
masih berkumpul di sini. Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku
dan kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang kuanggap merupakan penggoda yang
selalu memberatkan hati.!
Ihhh, Suheng! Arca yang tidak
bersalah apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu. Sungguh tidak
adil. Aku yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?! Siauw Bwee mencela.
Sumoi benar! Akulah yang
menjadi gara-gara, mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa
apa-apa, dihancurkan? Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!! Maya
juga mencela.
Han Ki tersenyum. Senyum yang
sudah lama sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua orang
sumoinya, senyum gembira. Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan
gantinya yang lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan
bahannya, yaitu batu pualam putih yang kudapatkan di atas pulau tak jauh dari
sini. Inilah batu-batu itu!! Dia memperlihatkan tiga bongkah batu pualam putih
yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan
lenyap kekecewaan mereka.
Setelah selesai membersihkan
Istana Pulau Es, Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sin-kang, yang
menghimpun tenaga sakti yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau
Es.
Dengan memiliki sin-kang ini,
kalian akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni Istana
Pulau Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di
tempat terbuka, terutama sekali pada tengah malam di waktu hawa sedang
dinginnya kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju. Im-kang yang kalian
miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk dapat
melatih Swat-im Sin-kang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga
bulan. Mari kuajari cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam
ini.!
Nanti dulu, Suheng,! tiba-tiba
Maya berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw Bwee
mendengarkan penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang
tertutup salju, duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han
Ki untuk melatih Swat-im Sin-kang.
Kau hendak bertanya tentang
apa, Maya-sumoi?! Han Ki bertanya.
Suheng, kurasa engkau lupa
bahwa aku dan Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun yang lalu
sehingga luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak
perempuan yang masih kecil! Memang latihan Swat-im Sin-kang seperti yang Suheng
terangkan amat penting bagi kemajuan ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang
jauh lebih penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja Suheng lewatkan
begitu saja sebagai hal yang tidak penting.!
Han Ki memandang tajam,
hatinya merasa tidak enak. Maya-sumoi, apakah maksudmu? Hal apakah yang kulupakan?!
Suheng, lupakah engkau untuk
apa engkau mengajak aku ke pulau ini? Apa pula artinya engkau mengajak Sumoi
pulang ke Pulau Es? Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau
kembali ke Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau
engkau mau menerima aku sebagai isterimu?!
Maya-sumoi!!
Suheng, kuulangi lagi. Aku dan
Sumoi bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi karena
memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Suheng, juga bahwa
Khu-sumoi mencintamu pula. Adapun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan
hati. Engkau kelihatan mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini
tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk menentukan, untuk mengambil
keputusan. Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan pilih
untuk menjadi isteri?!
Han Ki menjadi pucat wajahnya,
sedangkan Siauw Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa tentu
suhengnya yang jelas telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan
memilih dia, kini menjadi cemas melihat suhengnya kelihatan bingung.
Khu-sumoi, bagaimana
pendapatmu?! Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoinya. Bukankah sudah adil dan
semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan
dengan sejujurnya?!
Khu Siauw Bwee menelan ludah,
sukar untuk menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah, namun
untuk bersikap terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara begitu jujur
mengenai urusan cinta, behar-benar dia tidak sanggup! Maka dia hanya dapat
mengangguk saja karena memang dia setuju sekali akan pendapat Maya itu.
Suhengnya memang harus dapat memutuskan urusan mereka itu agar tidak menyiksa
hati lagi, mengambil pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu.
Kam Han Ki menarik napas
panjang. Memang hal inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak Maya
dengan paksa kembali ke Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat
mereka berdua itu lupa akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi.
Harus dia akui bahwa cinta kasih hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi
betapa mungkin dia mengakui hal itu di depan Maya dan menghancurkan perasaan
hati Maya yang amat disayangnya itu?
Maya-sumoi dan Khu-sumoi....
sungguh berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan kalian ini.
Kalian adalah dua orang sumoiku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini.
Aku sayang kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan
nyawaku. Aku sayang kalian seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku
akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua orang sumoiku yang tercinta,
dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?!
Hening sampai lama setelah Han
Ki mengeluarkan kata-kata ini dan pemuda itu menundukkan mukanya, cemas sekali
menantikan apa yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoinya itu. Maya
dan Siauw Bwee memandang kepada Han Ki, dengan sinar mata tajam seolah-olah
sinar mata kedua dara itu hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki. Mereka
berdua, terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suhengnya itu
telah menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu? Akan tetapi, ketika
itu, ingatan suhengnya belum pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini
tidak ada gadis bernama Maya bagi suhengnya. Sekarang lain lagi! Di sampingnya
terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi,
seorang dara yang amat disayang oleh suhengnya.
Suheng, kami berdua kini
adalah gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, aku
pun maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga
berada di sini, senasib sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di
antara kita sampai terpecah. Maka, aku mempunyai usul, kalau saja Suheng dan
Sumoi dapat menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini.!
Dengan penuh harapan Han Ki
mengangkat muka memandang wajah Maya yang amat cantik itu. Kecantikan Maya
inilah yang benar-benar membingungkan hati Han Ki. Dia memang amat mencinta
Siauw Bwee, akan tetapi Maya.... jantungnya selalu berdebar kalau ia memandang
wajah sumoinya yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan khas itu!
Apakah usulmu itu, Sumoi?!
tanyanya penuh harapan karena tentu saja dia ingin sekali dapat keluar dari
kesulitan yang membingungkan hatinya itu.
Karena Suheng tidak dapat
berpisah dari kami berdua, dan menyayang kami berdua, tidak mau menyiksa hati
kami berdua, jalan satu-satunya bagi Suheng hanyalah menjadikan kami berdua
sebagai isteri Suheng.!
Pucat seketika wajah Kam Han
Ki mendengar usul yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Juga Siauw Bwee
memandang wajah sucinya dengan mata terbelalak, akan tetapi ketika Maya juga
memandangnya dan kedua orang wanita itu bertemu pandang, seolah-olah ada
permufakatan tanpa kata di antara kedua orang dara itu. Pada detik itu Siauw
Bwee dapat menyelami hati sucinya dan melihat ketidakmungkinan apabila Suheng
mereka diharuskan memilih seorang di antara mereka. Memang hanya itulah jalan
satu-satunya yang akan dapat membebaskan mereka dari ancaman kesulitan dan
perpecahan.
Aku tidak melihat jalan lain
dan mengingat bahwa kita bertiga senasib sependeritaan sejak kecil aku setuju
dengan usul Suci.! Akhirnya Siauw Bwee berkata dengan saura lirih.
Tidak! Tidak mungkin itu....!
Kalian kira aku ini orang apa? Sudah begitu rendahkah batinku sehingga
mempergunakan keadaan untuk menang sendiri? Tidak, andaikata kalian rela
sekalipun, aku akan mengutuk diri sendiri, Suhu akan mengutuk aku!! Han Ki yang
menjadi bingung itu menutupi muka dengan kedua tangannya.
Siauw Bwee dan Maya saling
pandang, kemudian terdengar suara Siauw Bwee berkata, suaranya tegas dan
dingin,
Suheng, kiranya bukan
demikianlah sikap seorang jantan! Apalagi seorang pemuda seperti Suheng, murid
langsung Suhu Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Seorang laki-laki harus
dapat mengambil keputusan. Suheng, katakanlah sejujurnya, siapakah di antara
kami berdua yang Suheng beratkan? Sungguh, aku tidak akan menyalahkanmu
andaikata engkau memilih Maya-suci. Katakanlah bahwa engkau hanya mencinta
Maya-suci dan memutuskan untuk mengambilnya sebagai isteri, dan aku akan pergi
dari sini, tidak akan mengganggu kebahagiaan kalian.!
Han Ki menurunkan kedua
tangannya dan memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh duka, akan tetapi dia
segera menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana menjadi hening,
kemudian terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.
Suheng, tidak kunyana bahwa
engkau, pria satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang kuanggap paling
sakti, paling kuat, dan paling jantan, ternyata amat lemah. Mengaku terus
terang akan cintamu, engkau tidak berani karena takut melukai hati seorang di
antara kami. Kalau engkau mencinta kami berdua, engkau tidak berani menikah
dengan kami berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata
keranjang oleh dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa
kami berdua ke sini? Mengapa tidak kaubiarkan saja kami mengembara dan
menjauhkan diri darimu yang menyiksa hati kami dengan keraguan? Suheng, perlu apa
engkau menghibur kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi? Kami bukan anak-anak
kecil lagi, bukan itu yang kami butuhkan.!
Maya-suci benar! Suheng, kalau
begitu, biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini, meninggalkan Suheng
dan tidak perlu Suheng mencari kami lagi!! kata Siauw Bwee. Dua orang dara itu
sudah meloncat berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau Es.
Nanti dulu....!! Han Ki juga
meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu. Maya! Siauw Bwee! Berilah
waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku untuk mengambil
keputusan dalam hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta kalian berdua,
mencinta sebagai adik-adik seperguruan, sebagai adik-adik kandung sendiri
malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali berdampingan selamanya
dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang di antara kalian? Benar-benar amat
berat dan sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu. Sekarang begini saja.
Biarkan aku sendiri di dalam istana, membuat arca kita bertiga. Sambil membuat
arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat mengambil keputusan setelah
jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian berdua lanjutkan berlatih
Swat-im Sin-kang di sini. Kurang lebih tiga bulan lagi, latihan kalian selesai
dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai. Nah, kita bertemu kembali di
sini dan aku akan menentukan pilihanku.!
Mendengar ini berdebar jantung
di dalam dada Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu menyatakan hendak
mengambil keputusan, menjatuhkan pilihannya, biarpun hal itu baru akan
dilakukan tiga bulan lagi, hati mereka sudah menjadi tegang sekali, tegang dan
khawatir, takut kalau-kalau tidak terpilih!
Kalau tiga bulan lagi engkau
belum dapat mengambil keputusan?! Maya bertanya.
Kalau demikian, terserah apa
yang akan kalian lakukan,! jawab Han Ki ragu-ragu karena dia sendiri pun sangsi
apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang amat sukar dan berat itu.
Kembali Maya dan Siauw Bwee
saling pandang dan dua orang dara itu telah mengambil keputusan untuk
menyetujui permintaan ini. Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula
penderitaan batin dan siksaan hati mereka. Biarpun harus menanti dalam tiga
bulan, akan tetapi karena dalam tiga bulan itu mereka dapat melatih diri dengan
Swat-im Sin-kang, tidak akan terasa terlalu lama.
Baiklah, aku setuju, Suheng,!
kata Maya.
Aku pun setuju,! kata pula
Siauw Bwee.
Han Ki menarik napas lega
melihat dua orang sumoinya telah duduk kembali di atas salju. Kuharap saja tiga
bulan kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian. Marilah kuberi petunjuk
tentang latihan Swat-im Sin-kang sebelum kutinggalkan kalian untuk mulai
memahat arca kita.!
Dengan penuh perhatian dua
orang dara itu mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan Han Ki,
kemudian di bawah bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan latihan
sin-kang yang mukjizat itu. Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan latihan
sin-kang mereka di waktu dahulu, mereka ber dua menderita sekali, apalagi
setelah tiba di tengah malam yang amat dingin. Namun, berkat kekuatan tubuh
mereka, yang telah memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah
memiliki Jit-goat-sin-kang, mereka dapat mengatasi penderitaan itu dan pada
keesokan harinya, Han Ki meninggalkan kedua orang sumoinya yang ia percaya akan
mampu berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi.
Tiga orang penghuni Istana
Pulau Es itu melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw Bwee tekun
berlatih sin-kang dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan seluruh
perhatian, mereka dapat melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Adapun Kam Han
Ki yang bekerja dengan tekun di dalam Istana Pulau Es, merasa tersiksa sekali
batinnya. Dia bekerja tekun, memahat dan mengukir arca dari batu pualam. Dia
berusaha untuk memilih sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin
sulit baginya. Ketika dia mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoinya
ini, cintanya makin mendalam dan dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw
Bweelah cinta kasih hatinya dicurahkan. Dia mencinta Siauw Bwee!
Akan tetapi, ketika ia mengerjakan
arca Maya, dia membayangkan sumoinya ini dan jantungnya berdebar penuh gairah.
Selalu bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia teringat kepada sumoinya
ini, apalagi ketika membuat arcanya, seolah-olah dia selalu meraba wajah dan
tubuh sumoinya. Maklumlah dia bahwa berahinya condong kepada Maya yang memiliki
kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya selalu tergugah.
Akhirnya, ketika dia membuat
arcanya sendiri, seolah-olah dia menjenguk dan mengenal dirinya sendiri lebih
mendalam, tahulah dia bahwa tak mungkin dia memilih seorang di antara mereka!
Kalau dia memilih Maya, hidupnya takkan bahagia karena dia mencinta Siauw Bwee,
sungguhpun Maya akan merupakan isteri yang selalu menyenangkan hatinya. Kalau
dia memilih Siauw Bwee yang dicintanya, dia akan selalu merasa rindu dan takkan
dapat melupakan wajah Maya yang cantik jelita! Kalau dia memilih keduanya
seperti yang diusulkan Maya dan disetujui Siauw Bwee, dia yakin tentu akan
selalu timbul persaingan dan cemburu di antara kedua orang sumoinya itu yang
memiliki watak jauh berbeda. Baru dalam rasa sayang sebagai adik-adik
seperguruan saja, semenjak dahulu mereka telah bersaing. Apalagi membagi cinta
kasihnya sebagai suami. Tentu dia akan menjadi perebutan dan akan menciptakan
neraka dalam kehidupan mereka bertiga!
Sambil menyelesaikan tiga buah
arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih indah daripada tiga buah
arca yang dibuatnya dahulu dan yang dihancurkannya, selama beberapa malam Han
Ki tidak tidur, tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan
persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan yang diberikan kepada dua
orang sumoinya hampir tiba dan dia masih belum mengambil keputusan dalam
pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi kedua orang sumoinya dan
bagaimana dia akan mengambil keputusan?
Tiga bulan lewat sudah. Maya
dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sin-kang sampai tingkat terakhir. Musim
dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es
sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua
orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sin-kang mereka dengan
memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan
mereka yang mengandung Swat-im Sin-kang dahsyat itu telah membuat air membeku
dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah!
Akan tetapi, kemajuan hebat
dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira.
Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba,
seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi
ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari, belum juga suheng mereka muncul!
Eh, Sumoi. Mengapa Suheng
belum juga keluar?! Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana
Pulau Es.
Mungkin arcanya belum selesai,
Suci,! kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
Selesai atau belum, semestinya
dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah
lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini.!
Siauw Bwee menghela napas.
Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan
di depan sucinya karena dia hendak melindungi Han Ki.
Tentu ada sesuatu yang
menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar
janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar
menemui kita.!
Tidak! Kita sudah menunggu
tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!! Setelah berkata
demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di
dalan ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah.
Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat
melangkah maju dan bersama sucinya memasuki istana.
Sunyi sekali di dalam istana
itu. Dengan jantung berdebar, kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang
pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki
ruangan itu. Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat
indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di
tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang
dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca
itu dengan mata terbelalak kagum. Benar-benar suheng mereka tidak membohong,
tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah daripada yang dibuatnya
dahulu. Apalagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda
dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca
itu, ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan
dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan
datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan, tetapi, ke mana
perginya Han Ki?
Suheng, di mana engkau?!
Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan
suhengnya di dalam ruangan itu.
Hemm, dia malah meninggalkan
kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!! Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw
Bwee menghampiri dan bersama sucinya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas
lantai.
Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku
masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku
terlambat beberapa hari.!
Hemm, Suheng benar-benar
mempermainkan kita!! Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran
huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap.
Melihat ini, Siauw Bwee merasa
tidak senang. Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng
merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani,
mengapa Suci malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat
arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya.
Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan
marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya.!
Maya merasa betapa tepatnya
ucapan sumoinya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan
sumoinya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoinya kepada
Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya!
Dengan perlahan dia
membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah
sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati
datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.
Sumoi, ucapanmu itu
seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri!
Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta!
Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai
orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah
yang memperebutkan pria yang dicintanya den gan linangan air mata! Kita adalah
wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan
ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng
menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani
menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan
kita berdua di sini!!
Cukup! Jangan memaki Suheng!
Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?! Siauw Bwee timbul kemarahannya
mendengar kekasihnya disebut pengecut.
Bagus, sikapmu makin
menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andaikata kita
berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak
menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan
satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!!
Siauw Bwee membelalakkan mata
dan mengerutkan alisnya. Maksudmu....?! tanyanya untuk mendapat ketegasan.
Kita selesaikan persoalan ini
di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai sucimu tentu
tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau
harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa
engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!!
Suci! Aku sama sekali tidak
takut padamu, akan tetapi.... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin
bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara
saudara adalah perebutan hina....!
Cerewet! Kalau takut, perlu
apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang peperangan, seorang
bekas panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk
memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup
adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri
dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di
sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!!
Siauw Bwee marah sekali. Aku
tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti
datangnya Suheng.! Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee
berkelebat keluar dan lari dari situ.
Maya melotot memandang arca
Han Ki, kemudian berbisik, Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau
akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!! Kemudian dia
membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang
ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di
Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat
dari tempat tinggi ini untuk mencari suhengnya. Mungkin suhengnya yang ia tahu
sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari
ilham! menghadapi persoalan yang ruwet itu. Hatinya marah sekali kepada Maya.
Tentu saja dia tidak takut menghadapi sucinya itu. Kalau dahulu saja, sebelum
meninggalkan pulau, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apalagi
sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh.
Dia telah mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki
buntung mempelajari pula Jit-goat-sin-kang. Dalam Ilmu Swat-im Sin-kang pun
kekuatan mereka seimbang. Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak
mau melayani kehendak sucinya yang gila itu. Kalau mereka bertanding
mati-matian, tentu akan menimbulkan malapetaka hebat. Andaikata dia kalah dan
tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia
menang dan sucinya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah
suhengnya? Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan
melawan sucinya yang juga menjadi saingannya itu. Akan tetapi, cinta kasihnya
terhadap suhengnya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki
dengan melukai, apalagi membunuh Maya.
Setelah tiba di tepi pantai
yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke
sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling
pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya.
Ia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring
sekali, memanggil suhengnya,
Kam-suheng....!!
Suaranya bergema sampai ke
sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking
nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun, tidak ada terdengar jawaban,
kecuali gema suaranya sendiri.
Suheng....!!
Khu Siauw Bwee, bersiaplah
engkau!!
Siauw Bwee terkejut sekali dan
cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya, dengan
pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
Suci, mau apa engkau?!
Cabut pedangmu dan mari kita
selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!!
Aku tidak sudi!! jawab Siauw
Bwee, menekan kemarahan hatinya.
Kalau tidak mau, minggat
engkau dari sini!!
Aku pun tidak sudi pergi!!
jawab pula Siauw Bwee.
Hemmm, hanya ada pilihan
bagimu. Pergi dari sini atau cabut pedangmu menandingiku.!
Kalau keduanya aku tidak
sudi....?!
Akan kubunuh engkau di sini,
sekarang juga!! Maya mengelebatkan pedangnya.
Suci, engkau telah gila!
Engkau gila karena cemburu dan iri hati!!
Tidak, aku hanya mengambil
jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarut-larut.
Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka
akulah yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku akan
menyerangmu!!
Hemmm, Maya-suci, agaknya
engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku! Aku tidak takut
melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan
membuat Suheng makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya maka aku rela
berkorban perasaan menghadapi penghinaanmu ini....!
Cukup! Lihat senjata!! Maya
menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang mendalam.
Pedang di tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw
Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang
dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar. Pedang yang meluncur cepat
itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah
menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung
pedang akan menembus dada itu!
Keparat! Aku bukan seorang
pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!! Maya berseru marah
sekali. Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani
melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan sehingga kelak
Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?!
Siauw Bwee juga seorang gadis
yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak ingin
menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut
senjata dan melawan sucinya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan
tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat menahan
lagi kemarahannya.
Singgg....!! Pedangnya telah
tercabut.
Bagus, mari kita selesaikan!!
Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
Trang-cring-cringgg....!!
Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi.
Pertandingan itu hebat bukan
main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari satu
sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar
pedang mereka yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di
angkasa raya.
Pertandingan itu mati-matian,
terutama sekali dari pihak Maya yang ben ar-benar ingin memenangkan
pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang
keras dara ini sudah mengambil keputusan untyk membunuh sumoinya dalam pertandingan
ini. Bukan sekali-kali karena bencinya terhadap sumoinya, melainkan dia tidak
dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak Han Ki datang,
pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan
yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan
untuk menghibur Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan
dicurahkan seluruhnya kepadanya.
Akan tetapi, betapa kaget hati
Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih hebat
dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoinya itu amat cepat dan aneh membuat
dia bingung dan kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah dia bahwa tentu
selama dalam perantauan ini, sumoinya telah mempelajari ilmu silat baru yang
hebat! Dan dia hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu perang saja!
Maya amat cerdik. Diam-diam
dia memperhatikan gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan berusaha menyelami dan
mempelajari intinya. Namun, sedikit saja dia membagi perhatian, sinar pedangnya
terkurung dan dia hanya mampu menjaga diri saja tanpa mampu menyerang sedikit
pun juga! Maya makin terkejut, lalu berusaha mencari kemenangan dengan
mengandalkan tenaga sin-kangnya. Dahulu, sebelum mereka meninggalkan pulau,
tingkat sin-kangnya masih menang sedikit dibandingkan dengan sumoinya, dan
tentu gemblengan-gemblengan dalam perang yang dialaminya membuat tenaganya
lebih kuat lagi. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya pedangnya menyambar dan
menangkis, dengan maksud untuk membuat pedang sumoinya patah atau terpental.
Cringgg....!! Nyaring sekali
bunyi kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee terhuyung mundur
dua langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!
Aihhh....!! Tak terasa lagi
Maya berteriak kaget. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga
sin-kang pun dia kalah kuat sedikit! Hal ini tidaklah aneh karena Siauw Bwee
mendapat tambahan tenaga baru dari ilmunya Jit-goat Sin-kang.
Kemarahan Maya menjadi-jadi.
Dia menubruk ke depan dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya kini
bermaksud mengadu nyawa! Lebih baik mati bersama daripada dia kalah dan
kehilangan Han Ki!
Kalau dia menghendaki, biarpun
tidak terlalu mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar dari pertandingan itu
sebagai pemenang. Namun, dara ini di balik kemarahannya masih sadar bahwa dia
tidak boleh melukai sucinya, apalagi membunuh karena hal itu mungkin akan
menjadi sebab putusnya hubungan cinta antara dia dan Kam Han Ki. Karena inilah,
maka dia selalu menjaga gerakannya agar jangan sampai mendatangkan serangan
maut yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia hanya akan mengalahkan
sucinya tanpa mendatangkan luka berat.
Akan tetapi, tentu saja hal
ini sama sekali tidak mudah. Biarpun dia dapat menandingi sucinya karena
ilmu-ilmu gerakan kilat dan Jit-goat Sin-kang, namun kelebihan tingkatnya tidak
berapa banyak. Betapapun lihainya Ilmu Gerak Kilat dan Jit-goat Sin-kang,
tidaklah melebihi kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki kepada mereka.
Keunggulan Siauw Bwee hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal oleh Maya,
membuat sucinya menjadi bingung dan terdesak.
Lebih dari dua ratus jurus
mereka bertanding namun belum ada yang kalah atau menang. Jangankan terluka
bahkan tiada yang berhasil merobek ujung baju lawan sekalipun! Maya makin
penasaran, dan Siauw Bwee makin gelisah. Mengapa suhengnya belum juga datang?
Sukar untuk menahan serbuan dahsyat sucinya, dan kalau dia mengalah terus,
lambat laun dia sendiri yang akan celaka, akan terluka dan mungkin terancam
maut! Karena itu, mulailah Siauw Bwee mempercepat gerakannya dan membalas
serangan sucinya dengan jurus-jurus dahsyat. Biarpun dia menggunakan
jurus-jurus yang ia pelajari dari suhengnya, namun dia memasukkan inti gerakan
dari gerak kilat kaki tangannya yang ia pelajari dalam perantauannya.
Menghadapi serangan dahsyat
ini, Maya menjadi bingung dan terdesak mundur terus. Dia menggigit bibirnya
melawan dan membalas dengan serangan maut, namun pembalasan serangannya hanya
membuat pertahanannya kurang rapat dan dengan gerakan seperti kilat menyambar,
ujung pedang lawannya sudah berhasil menembus pertahanan Maya dan melukai
pundak kirinya!
Aihhh....!! Maya terhuyung dan
biarpun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir dan roboh miring.
Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak darah, membuat lengan
kirinya seperti lumpuh.
Siauw Bwee terbelalak, pucat
mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya. Suci....!!
Siauw Bwee menubruk untuk
menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak demikian
perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan
kemarahan, dia mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan,
merupakan serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia
membabat dengan pedang di tangannya, dengan tubuh masih rebah miring.
Singgg.... crakkk!
Aduuuhhh.... Suci....!!
Tubuh Siauw Bwee tergelimpang,
sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha yang
buntung.
Suci.... kau.... kau....!!
Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.
Maya sudah bangkit duduk,
mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga.
Pedang sumoinya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoinya tadi
bukan menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa
hancur hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata jijik, kemudian
memandang sumoinya yang memandangi kaki yang buntung.
Sumoi.... aduh.... Sumoi....
apa yang telah kulakukan....!!
Suci....!!
Sumoi....!!
Kedua orang itu berpandangan,
kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoinya dan memeluknya.
Sumoi.... kauampunkan aku....!
Maya memeluk dan menciumi sumoinya akan tetapi melihat sumoinya diam tak
bergerak, disangkanya sumoinya telah tewas, maka dia menjerit-jerit memanggil
nama sumoinya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw
Bwee yang juga pingsan. Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai
bertanding tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu betapa Han Ki yang datang
dengan perahu karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang
mati-matian di tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah
karena perahu itu diombang-ambingkan gelombang. Dengan hati berdebar penuh
kegelisahan memikirkan kedua orang sumoinya, Han Ki mengerahkan seluruh
tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil minggirkan
perahunya dan meloncat ke darat. Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut
menjadi marah menyaksikan pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian
tadi.
Han Ki sama sekali tidak
pernah mengira bahwa kedua orang sumoinya itu bertanding mati-matian di atas
tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan
kedua sumoinya bahwa badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi, istana itu
sunyi, kedua orang sumoinya tidak berada di situ. Dia mulai memanggil-manggil
dan berlari ke sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang tinggi
dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan.
Bahkan dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu!
Apa yang dilihatnya memang
telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoinya saling berpelukan dan bertangisan
di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah! Dia tidak
tahu bahwa kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa
kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw
Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat.
Tiba-tiba Siauw Bwee
merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu
mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini
memanggil nama Siauw Bwee dan menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah
mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat
bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah
mengejar sumoinya!
Han Ki terlampau kaget dan
ngeri ketika dapat bergerak. Andaikata dia dapat bergerak pun akan terlambat,
karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti
orang gila sambil berteriak-teriak,
Siauw Bwee....! Maya....!!
Han Ki berdiri di pinggir
tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu dahsyat,
seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja
yang berani turun! Betapapun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak
tampak adanya dua orang sumoinya yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.
Maya-sumoi....!
Khu-sumoi....!! kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam
sekali itu. Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan
turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan
gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga
manusia.
Badai mengamuk terus, air laut
naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu karang
mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi
juga oleh kabut yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian
turun hujan dari atas.
Pulau Es seakan-akan hendak
kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan terselimut
kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang
muncul dari permukaan laut, di antara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini,
terdengar selingan suara lengking panjang,
Maya....! Siauw Bwee....!!
Dan tampaklah bayangan Han Ki
berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadang-kadang
terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi,
berlari-lari, berteriak-teriak dengan pengerahan khi-kangnya, memanggil-manggil
nama kedua orang sumoinya tanpa hasil. Kedua sumoinya tidak ada yang menjawab,
tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai. Mengerikan dan
menyedihkan.
***
Sebuah perahu kecil
dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di
puncak sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan
seolah-olah ditelan oleh mulut naga air, akan tetapi muncul kembali,
diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang layar perahu itu sudah lenyap, juga
dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang
penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang
pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan ombak
dahsyat. Untung baginya karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin sekali
jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain
adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa
penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan
pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat
menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu. Betapapun juga,
Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di
jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki
dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya
itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu
antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!