"Oooo, isteriku yang
cantik, ternyata kau masih saja memiliki rasa cemburu yang besar dan
berlebihan? Sampai mati, aku akan tetap mencintai kau. Percayalan, aku tidak
mungkin bisa hidup didunia ini tanpa kau ! Aku boleh kehilangan seluruh ilmu
silatku, kehilangan jiwaku, tetapi janganlah kehilangan kau!" Sambil
berkata begitu, disertai tertawa, Tung Yang merangkul istrinya.
Tung Im meronta sambil
memukuli dada Tung Yang. "Cisss, tua bangka tidak tahu malu" Makinya,
tapi hatinya senang bukan kepalang. Malah, akhirnya dia tidak memukuli dada
Tung Yang dan merebahkan kepalanya didada Tung Yang. Memang, walaupun mereka
sudah sama-sama tua, tapi selalu mesra. Sikap mereka terbuka dan sering
bergurau.
Tung Im dan Tung Yang
sebetulnya sejak sepuluh tahun yang lalu sudah tidak pernah turun gunung.
Mereka hidup mengasingkan diri tidak pernah mau tahu tentang peristiwa dalam
kalangan Kangouw. Memilih hidup tenang tanteram ditempat pengasingan mereka,
yaitu dipuncak gunung Bie San.
Walaupun sebelumnya mereka
merupakan sepasang pendekar aneh yang berkepandaian sangat tinggi dan jarang
menemui tandingan tapi mereka tidak pernah berpikir lagi untuk melibatkan diri
dalam berbagai urusan Kangouw.
Bahkan Tung Yang sudah
bersumpah bahwa ia akan melewati hari-hari tuanya bersama isterinya tanpa
mempergunakan pedang maupun ilmu silatnya. Seperti juga jago tua ini sudah
menyimpan pedang dan ingin melewati usia tuanya dengan tenang sebagai manusia
biasa.
Sengaja mereka memilih tempat
yang sepi dan tersembunyi di puncak Bie San, karena kuatir ketenangan mereka
diganggu oleh kedatangan teman atau pun lawan. Maka sejak Tung Yang berdua Tung
Im mengasingkan diri, tidak ada seorangpun, baik lawan maupun kawan, yang
mengetahui dimana tempat pengasingan mereka. Bahkan, tidak ada seorangpun yang
mengetahui apakah Tung Yarg dan Tung Im masih hidup.
Tetapi, tampaknya memang Tung
Yang dan Tung Im sulit untuk hidup tenang tenteram dan tidak melibatkan diri
dalam urusan Kangouw, sebab disuatu sore disaat Tung Yang turun gunung, untuk
membeli beberapa kebutuhan mereka dikampung yang ada dikaki gunung Bie San
sebelah Barat, justeru Tung Yang bertemu dengan beberapa puluh orang Kangouw
yang berkumpul di kampung itu.
Tentu saja Tung Yang heran
menyaksikan munculnya demikian banyak orang Kangouw dikampung jang biasanya
sangat sepi. Dia segera mengikuti gerak-gsrik puluhan orang Kangouw itu,
memasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Ternyata puluhan orang Kangouw
itu adalah para pendekar yang setia pada negeri dan mereka tengah melakukan perjalanan
kedaerah sebelah timur dari propinsi Ciatkang, untuk menolongi Jenderat Giok
Hu.
Berita tentang akan dihukumnya
Jenderal Giok Hu sekeluarga oleh Kaisar Yong Ceng sudah tersiar dikalangan
pendekar gagah pecinta negeri. Karena Kaisar Yong Ceng menduga Jenderal Giok Hu
mempunyai hubungan baik dengan pujangga Giam Cu serta ingin bekerja sama dengan
pujangga ternama, yang tengah giat menghimpun para pendekar untuk coba
membangun negeri dan meruntuhkan Yong Ceng.
Kaget bukan main Tung Yang
mendengar semua itu. la tidak menyangka bahwa Jenderal Giok Hu yang sangat
terkenal setia itu tengah terancam bahaya maut. Segera ia kembali kepuncak Bie
San dan menceritakan kepada isterinya, mengajak untuk turun gunung, guna
membantu dan melindungi Jenderal Giok Hu.
Tung Im tidak bisa menolak
keinginan suaminya, begitulah mereka turun gunung, untuk pergi membantui
Jenderal Giok Hu. menyelamatkan Jenderal itu bersama keluarganya. Tetapi
kedatangan mereka terlambat. Dua hari setelah terjadi pembantaian di rumah keluarga
Jenderal Giok Hu. Mereka hanya menyaksikan para pendekar yang datang terlambat
juga ketempat itu, menangisi mayat-mayat malang melintang digedung istana
Jenderal Giok Hu.
Beberapa orang pendekar gagah
membawa mayat Jenderal Giok Hu, untuk mempersatukan kembali kepala dengan tubuh
dan kemudian dikubur disuatu tempat yang dirahasiakan.
Kedatangan para pendekar gagah
dan Sepasang Tabib Hutan terlambat, karena orang orang Kaisar Yong Ceng pun
sudah mendengar tentang bergeraknya banyak para pendekar gagah yang ingin
membantui Jenderal Giok Hu.
Kalau Hal itu terjadi, tentu
orang-orang Kaisar menghadapi kesulitan tidak kecil. Mereka mempecepat
perjalanan dan empat hari lebih cepat mendahului dari rencana sebelumnya.
Karenanya waktu itu keluarga Jenderal Giok Hu dibantai tanpa kesulitan apa-apa.
Disamping Jenderal Giok Hu tinggal di Istananya tanpa memiliki banyak pengawal
Sebab seluruh pasukan ditempatkan di Markas Besar dan diperbatasan. Hukuman
yang dijatuhi Kaisar Yong Ceng pun sangat cepat pelaksanaannya, sehingga orang
yang setia kepada Jenderal Giok Hi belum lagi sempat datang untuk menyelamatkan
Jenderal yang setia tersebut.
Celakanya, Jenderal Giok Hu
pun tidak bermaksud untuk mengadakan perlawanan, ia tidak mau disebut sebagai
Jenderal pemberontak, la menerima hukuman yang dijatuh Kaisar Yong Ceng dengan
cara bunuh diri memotong lehernya sendiri sampai putus. Kematian yang sangat
mengenaskan.
Bukan main kecewanya Sepasang
Tabib Hutan atas keterlambatan mereka tiba di Istana Jendral Giok Hu. Mereka yakin,
jika waktu itu mereka berada digedung Jenderal Giok Hu, niscaya bisa
menyelamatkan Jenderal setia itu maupun keluarganya.
Dalam keadaaan bersedih dan
uring-uringan seperti itu, justeru Sepasang Tabib Hutan bertemu dengan Khang
Thiam Lu yang dalam keadaan terluka di dalam yang parah. Tung Yang menolong
Thiam Lu dengan memberikan obat serta menghantam punggungnya, guna membuka
beberapa jalan darah di tubuhnya tidak berbahaya lagi. Mereka kemudian pergi.
Sedikitpun mereka tidak menyangka bahwa bocah yang bersama Thiam Lu adalah
keturunan satu-satunva Jenderal Giok Hu yang masih hidup.
Kalau mereka mengetahui tentu
disaat itu juga mereka rawat. Sampai akhirnya mereka mendengar tentang sepak
terjang Bwee Sim Mo Lie, tetap tidak memperlihatkan diri pada iblis ganas itu.
Hanya mengikuti rombongan Thiam Lu secara diam-diam dan memberikan
perlindungan.
Sebetulnya. sudah beberapa
kali Bwee Sim Mo Lie ingin mencelakai Khang Thiam Lu bertiga Lam Sie dan Giok
Han. sebab selama belum membunuh ketiga orang itu, seialu juga Bwee Sim Mo Lie
masih penasaran. Dia ingin membunuh secara diam-diam, untuk membuktikan
walaupun bagaimana dia merupakan pembunuh nomor satu di dunia.
Biarpun di mulut sudah
berjanji pada Giok Han, untuk melepaskan ketiga orang itu dari kematian, tapi
hatinya tetap tidak puas. Dia berusaha untuk membunuh Thiam Lu bertiga secara
diam-diam dengan jarum beracunnya.
Cuma saja. Sepasang Tabib
Hutan selalu bisa menggagalkan usaha Bwee Sim Mo Lie, dengan cara memberikan
pertolongan secara diam-diam. Akhirnya sampailah Thiam Lu bertiga di rumah
keluarga Yang, barulah Sepasang Tabib Hutan mengetahui bahwa bocah yang bersama
Thiam Lu adalah Giok Han.
Waktu itu mereka sebetulnya
ingin segera memperlihatkan diri, tapi akhirnya menunda keinginan tersebut, sebab
mereka mengetahui Bwee Sim Mo Lie tengah berkeliaran di sekitar rumah keluarga
Yang, ingin menceIakai keluarga Yang, juga Thiam Lu Lam Sie dan Giok Han.
Sebab itulah Sepasang Tabib
Hutan itu tetap tidak memperlihatkan diri. Sampai akhirnya di saat Yang Lan
mengalami ancaman bahaya, mereka muncul memperlihatkan diri. Tidak ada jalan
lain, karena mereka melihat Giok Han pun sudah terluka oleh tangan ganas Bwee
Sim Mo Lie.
Maunya Tung Im. jika tidak
perlu mereka tidak usah memperlihatkan diri. Mereka boleh memberikan
perto'ongan secara diam-diam: Siapa tahu, Giok Han pun dicelakai oleh Bwee Sim
Mo Lie dan mereka tidak ke buru untuk muncul menolonginya, sebab bersembunyi
agak jauh. Dan itulah sebabnya sepasang suami isteri ini akhirnya harus
memperlihatkan diri juga.
Sekarang justeru mereka
memperoleh kenyataan Giok Han terluka cukup parah, jika tidak memperoleh
pengobatan yang tepat niscaya bisa merugikan masa depan Giok Han. Sebagai
Sepasang Tabib yang sangat liehay dalam ilmu pengobatannya, tentu saja Sepasang
Tabib Hutan tersebut mengetahui benar, bahwa luka Giok Han bisa saja
disembuhkan dalam waktu singkat, hanya di bagian luar belaka.
Sedangkan bagian dalamnya
rusak. Dan kelak jika sudah dewasa tentu bocah itu akan mengalami kesulitan
untuk mempergunakan Lwekangnya. Karena Tung Yang maupun Tung Im mengetahui Giok
Han harus disembuhkan dalam arti yang sebenar-benarnya sembuh, agar tidak
menimbulkan kesulitan lagi buat anak itu kalau sudah dewasa.
Penyembuhan yang utama adalah
melenyapkan hawa beracun yang sudah meresap ke dalam tulang pundak Giok Han
yang patah. Kalau hanya untuk sekedar menyambung tulang pundak si bocah, itu
bukan pekerjaan yang sulit. Sekarang justeru yang sulit, harus memulihkan
kembali seluruh urat dan otot di pundak itu, agar tidak ada sedikitpun sisa
hawa racun tangan maut Bwee Sim Mo Lie.
Hari itu di rumah tempat
mereka menumpang sangat sepi, tidak terlihat seorang manusiapun juga. Keempat
orang pendeta itupun tidak terlihat mata hidungnya. Beberapa kali Tung Yang
keluar dari kamar, tetap saja ia belum melihat keempat pendeta itu kembali.
Mendekati sore, Tung Yang dan
Tung lm yang tengah menguruti lagi sekujur tubuh Giok Han, agar hawa racun di
tubuh bocah itu keluar semuanya, mendengar suara ribut-ribut di luar kamar.
Kemudian sunyi lagi. Selesai melakukan pengurutan, Tung Yang keluar.
Dilihatnya keempat orang
pendeta itu sudah kembali, tapi keadaan mereka sangat luar biasa, keempat orang
Hwesio itu semuanya menderita luka-luka disekujur tubuh, keadaannya sangat
mengenaskan sekali, jubah kependetaan merekapun koyak-koyak.
Darah yang menodai pakaian
tampak dipunggung, lengan, muka dan bagian tubuh lainnya, keadaan keempat
Hwesio itu sangat menyedihkan.
Tung Yang melihat keadaan
keempat orang Hwesio itu, jadi berdiri tertegun sejenak, kemudian kembali ke
dalam kamar. Sedangkan keempat pendeta itu hanya melirik sekilas pada Tung Yang
dan mereka berdiam diri. Muka mereka murung. Rupanya mereka sudah dirubuhkan
oleh lawan dengan cara menyedihkan sekali. Tidak ada seorang pun di antara
keempat pendeta itu yang bersuara. Semuanya bungkam.
Tung Im kaget waktu
diberitahukan Tung Yang tentang keadaan keempat orang Hwesio itu.
"Apa yang sudah terjadi
pada mereka?" Menggumam Tung Im.
Tung Yang nyengir.
"Sudah jelas mereka kena
dirubuhkan oleh lawan dengan menyedihkan." kata Tung Yang. "Entah
siapa lawannya, tampaknya ilmu pedangrya tak boleh dipandang remeh Walaupun
keempat orang Hwesio itu merupakan pendeta-pendeta yang belum tinggi
Lwekangnya, dan hanya terbawa oleh emosi disebabkan usia muda, tapi mereka
adalah murid-murid Siauw Lim Sie yang tidak boleh terlalu diremehkan ilmunya.
Kalau memang mereka tidak ketemu lawan yang benar-benar liehay, tentu berempat
keadaan mereka tidak rusak seperti itu."
Tung Im mengangguk. "Ya,
seharusnya mereka sedikitnya masih bisa mempertahankan diri. Ilmu silat pedang
Siauw Lim Sie memiliki pertahanan yang kuat dan ketat, tidak mungkin
sembarangan orang bisa merubuhkan mereka berempat dengan keadaan menyedihkan
seperti itu."
Waktu Tung Yang mau berkata-kata
lagi tiba-tiba terdengar salah seorang dari keempat pendeta itu berkata:
"Benar-benar memalukan hari ini kita dirubuhkan dengan cara yang
menyedihkan seperti ini ! Entah apa kata suhu jika kita laporkan semua
ini!"
"Sudahlah Toa-suheng,
walaupun bagaimana kita harus melaporkan kepada Suhu. Tidak mungkin kita
menghadapi mereka, kepandiannya memang jauh diatas kita. Bukankah merekapun
mengatakan, jika tidak memandang kita dari tingkatan muda, mereka akan
membinasakan kita? Kalau melihat ilmu pedang mereka, memang ancaman mereka
bukan main-main dan bisa saja mereka membuktikan untuk membinasakan kita.
Buktinya, setiap disebut bagian mana anggota tubuh kita akan dilukainya, meka
bagian tersebutlah yang terluka, walaupun kita sudah berjaga-jaga dengan rapat."
"Tetapi bagaimana dengan
barang kita?" tanya pendeta lainnya.
"Kita serahkan saja pada
Suhu untuk meminta dari mereka !"
"Tetapi pamor kita sudah
runtuh ditangan mereka, dua orang manusia aneh itu!"
"Ya, kita tidak perlu
mati, Toa-suheng. Memang manusia aneh itu memiliki kepandaian yang sangat
tinggi, yang mungkin setingkat dengan guru kita. Kalau kita rubuh di tangan
mereka, kita tidak perlu menyesal."
"Bagaimana kalau mereka
menghilang tanpa meninggalkan jejak di saat kita pergi memberikan laporan pada
suhu ?"
"Kita atur begini saja,
dua dari kita pergi melapor pada Suhu, dua lainnya tetap mengawasi
mereka."
"Hai, hai,"
terdengar Toa-suheng menghela napas dalam-dalam. "Siapa sangka urusan ini
meluas semakin ruwet, kalau Suhu yang menemui mereka dan sampai Suhu rubuh di
tangan mereka, bukankah pamor Siauw Lim Sie runtuh di tangan kita?"
"Mana mungkin Suhu rubuh
di tangan mereka? Bukankah Suhu sangat liehay dan jangankan mereka, sedangkan
kalau sekarang berkumpul beberapa orang aneh lainnya yang membantu mereka, Suhu
mungkin masih bisa menghadapi dengan baik."
"Sam-te, urusan ini
sebetulnya urusan kecil, di mana Suhu pernah bilang, jika kita bisa meminta
secara baik-baik, memang ada baiknya kita tidak perlu mempergunakan kekerasan,
Suhu bilang, dengan memandang Siauw Lim Si., mungkin mereka mau mengembalikan
barang-barang kita. Tetapi kenyataannya, kita tidak memberi muka terang, mereka
malah mengejek, di katakannya Siauw Lim Sie pintu perguruan apa dan apa
harganya disebut-sebut di depan mereka ? Diwaktu itu aku tidak bisa menahan
diri dan mulai membuka serangan, karenanya Kita akhirnya mengalami kejadian
menyedihkan dan memalukan ini, di mana kita dirubuhkan dengan mudah oleh
mereka.
Jika hal itu diketahui oleh
Suhu, apakah Suhu bisa menahan diri untuk bicara baik-baik dengan mereka? Jika
sampai terjadi pertempuran dan suhu dirubuhkan mereka, inilah repot. Berarti
urusan akan meluas. Kalau tetua-tetua kita harus turun gunung mengurus
persoalan mi, bukankah Siau Lim Sie akan kehilangan muka ?!"
Sejenak keadaan jadi hening,
tidak terdengar suara ke empat orang pendeta itu. Tampaknya mereka sedang
bingung.
Tung Yang berdua Tung Im pun
merasa heran. Entah urusan apakah yang tengah di-hadapi keempat orang pendeta
Siauw Lim Sie itu ? Barang apakah yang ingin mereka minta? Siapakan MEREKA yang
dimaksudkan oleh keempat orang pendeta Siauw Lim Sie itu. yang tampaknya
memiliki kepandaian sangat tinggi dan ilmu pedang yang tidak bisa diremehkan?
Lalu siapa guru keempat murid Siauw Lim Sie itu ?
Karena semua pertanyaan itu
tidak bisa terjawab, dasar memang Tung Yang memiliki tabiat selalu ingin tahu
urusan orang lain, jadi merasakan hatinya gatal. Semakin lama hatinya semakin
terkitik oleh keinginan buat mengetahui persoalan yang sebenarnya. Dia nyengir kepada
isterinya, bilangnya: "Aku akan keluar buat menanyai umsan apakah yang
sedang mereka hadapi. Mereka murid-murid Siauw Lim Sie, tampaknya urusan mereka
adalah urusan yang benar, Tidak ada salahnya kalau kita membantu mereka, jika
memang diperlukan."
"Hai, hai," menghela
napas Tung Im. "Kembali kumat sifat usilmu !"
Tetapi Tung Yang cuma nyengir
dan isterinya tidak menahannya waktu dia keluar dari kamar.
Keempat pendeta itu berpaling
mengawasi Tung Yang, tidak ada yang menyapanya, Tung Yang menghampirinya sambil
tertawa. "Aduh, aduh, mengapa keadaan Siewie Taysu seperti itu ?",
tanya Tung Yang "Kebetulan aku memiliki obat luka, kalau kalian tidak
keberatan menerimanya, mau aku berikan buat kalian !"
Sambil berkata begitu Tung
Yang mengeluarkan empat butir Yo wan berwarna coklat tua dan menyerahkan kepada
keempat pendeta itu. Keempat pendeta tersebut ragu-ragu menerima Yo-wan itu,
mengawasinya sejenak, kemudian si Hwe-shio yang jadi Toa-suheng bertanya pada
Tung Yang : "Lojinke, siapakah Lojinke sebenarnya ?"
"Aku si orang tua
perantauan yang tidak punya tempat tetap," menjawab Tung Yang
"Silahkan Siewie Taysu makan obatku, jangan kuatir, obat itu bukan racun,
pasti bisa menyembuhkan luka-luka Taysu sekalian, kebetulan memang aku si tua
mengerti sedikit-sedikit ilmu pengobatan."
Keempat orang pendeta itu
berdiam bimbang, sampai si Toa-suheng memecahkan pembungkus Yo-wan dan
menciumnya. Dia merasakan harum semerbak dari Yo-wan tersebut, menunjukkan
bahwa itulah obat yang sangat baik sekali, karena memancarkan harumnya Cengsom
dan kolesom. Juga ia mencium beberapa bau obat-obat lainnya yang diramu dalam
Yo-wan tersebut.
Akhirnya ia menelan Yo-wan
tersebut, ketiga orang hweshio lainnya mengikuti perbuatan Toa-suheng nya.
Mereka pun menelan Yo-wan di tangan masing-masing. Segera mereka merasakan
semangat mereka pulih, jauh lebih segar dan sebelumnya.
Si Toa-suheng merangkapkan
kedua tangannya, katanya: "Pin-ceng Kam Siang Cie mengucapkan syukur dan
terima kasin pada Lojinke. Tampaknya Lojinke sedang menghadapi kesulitan dengan
anak Lojinke yang kabarnya menderita demam. Apakah sekarang anak Lojinke sudah
sembuh ?"
Tung Yang nyengir.
"Sudah, sudah sembuh," katanya. "Sekarang keadaannya jauh lebih
baik. Tetapi justeru aku si tua jadi heran melihat Taysu berempat mengalami
keadaan seperti itu. Siapakah penjahat yang telah menganiaya kalian
berempat?"
Kam Siang Cie menghela napas
dengan wajah murung, katanya kemudian: "sebetulnya sungguh memalukan
sekali. Kami kebetulan bertemu dengan lawan yang sangat tangguh, kami berempat
rubuh ditangan mereka. Walaupun Pinceng bersama tiga Sute Pinccng berusaha
mengadakan perlawanan, tetap saja nihil. Kedua ojang musuh kami itu benar-benar
tangguh. Mereka. bernama Thian Tee Jie Kui (Dua Iblis Bumi Langit)"
Muka Tung Yang berobah, dia
berseru kaget. "Apa ?", tanyanya. "Thian Tee Jie Kui berada
disini ?"
Melihat sikap Tung Yang,
keempat pendeta itu memandang heran dan bercuriga. Memang Kam Siang Cie sejak
pertama kali melihat Tung Yang dan Tung Im, ia sudah bercuriga bahwa kedua
orang tua itu bukanlah orang biasa. Sekarang mendengar tentang Thian Tee Jie
Kui muka Tung Yang berobah, walaupun sejenak saja, itu sudah cukup menambah
kecurigaan Kam Siang Cie dan ketiga orang adik seperguruannya. Mereka jadi
semakin berwaspada.
"Benar," menyahuti
Kam Siang Cie. "Thian Tee Jie Kui yang telah "melukai kami, Apakah
Lojinke kenal dengan mereka?"
"Tung Yang sudah bersikap
biasa, dia nyengir sambil garuk-garuk kepalanya.
"Tidak. tidak hanya
sering dengar tentang mereka," katanya. "Kabarnya Thian Tee Jie Kui
sangat hebat ilmunya, jarang yang bisa menandingi mereka."
Dimulut dia berkata begitu,
dihatinya Tung Yang justeru berpikir! "Aneh, keempat keledai gundul ini
tidak tahu selatan, mereka berani bermusuhan dengan Thian Tee Jie Kui? Mana
mereka bisa layani kedua iblis Bumi Langit itu ? Seratus pendeta seperti mereka
sekalipun tidak mungkin bisa melayani Thian Tee Jie Kui "
"KaIau begitu Lojinke
banyak mendengar tentang kalangan Kangouw dan tentunya Lojinke sendiripun orang
Kangouw," kata Kam Siang Cie.
Tung Yang nyengir lagi.
"Ya, ada beberapa orang
Kangou-w yang jadi sahabatku, dari merekalah aku mendengar kisah-kisah tentang
Kangouw," menyahuti Tung Yang. "Oya, barang apa yang sebetulnya Taysu
berempat ingin ambil dari Thian Tee Jie Kui?"
Kam Siang Cie bersama tiga
orang saudara seperguruannya bimbang, mereka saling mengawasi. Tetapi akhirnya
Kam Siang Cie memutuskan untuk menceritakan apa yang tengah mereka lakukan dan
telah dialami oleh mereka, karena mengingat budi kebaikan Tung Yang yang sudah
memberikan obat luka kepada mereka. Tampaknya Tung Yang pun bukan sebangsa
manusia tidak baik.
"Sebetulnya kami malu
buat menceritakannya," bercerita Kam Siang Cie akhirnya. "Sebulan
yang lalu dua orang Sute Pinceng melakukan perjalanan turun gunung untuk
mengawal barang yang akan dikirim ke Bu Tong Pay..."
"Aneh !" Mcmotong
Tung Yang tiba-tiba. "Bukankah selama ini Siauw Lim Sie memiliki peraturan
yang keras, bahwa murid-muridnya dilarang untuk jadi piauwsu (pengawal barang
kiriman) maupun membantu pekerjaan Piauw-kiok? Apa yang didengar olehku situa,
jika ada murid Siauw Lim Si yang melanggar larangan tersebut akan menerima
hukuman sangat berat dari pintu perguruan ? Juga yang aneh, justeru seperti
Tay-su. tidak memakai gelaran seperti pendeta-pendeta Siauw Lim Sie lainnya,
Taysu hanya memakai tiga huruf nama, yaitu Kam Siang Cie...!"
Kam Siang Cie menghela napas,
lesu sekali sikapnya. "Tentang gelaran memang kami belum berhak
memakainya, karena kami adalah murid Siauw Lim Sie tingkat kesembilan.
Murid-murid Siauw Lim Sie yang sudah mencapai tingkat empat, barulah
mempergunakan gelaran dengan resmi."
"Jadi pendeta-pendeta
Siauw Lim Sie dari tingkat kelima kebawah belum boleh memakai gelaran?"
Tanya Tung Yang tambah heran.
"Ya. memang peraturannya
begitu. Tetapi biaranya murid-murid dari piniu perguruan kami sudah
mempersiapkan gelaran untuk dirinya, yang dipergunakannya jika turun gunung.
Ialu bagi murid-murid yang tidak mematuhi peraturan pintu perguruan. Kami kira
melanggar peraturan seperti itu tidak baik buat kami, mengapa kami harus
memaksakan diri memakai gelaran kependetaan, sedangkan kedudukan kami memang
belum sampai pada tingkat yang telah ditetapkan? semua peraturan tersebut untuk
mencegah murid-murid yang belum mencapai tingkat empat melarikan diri turun
gunung, karena merasa kepandaiannya sudah cukup. Biasanya murid dari pintu
perguruan kami yang sudah mencapai tingkat keempat, barulah menyadari,
betapapun juga mereka harus lebih menyempurnakan kepandaiannya. Kesadaran mereka
Iebih penuh dan baik dari murid-murid tingkat lima, keenam atau ketujuh dan
seterusnya. Banyak orang yang sengaja datang ke Siauw Lim Sie kami untuk
mempelajari ilmu silat kami, hanya untuk memiliki ilmu silat dan setelah merasa
cukup dengan ilmu siiat yang mereka peroleh, akan turun gunung dengan cara
melarikan diri. Mereka tidak mau menjadi pendeta seumur hidupnya.
Sebab itu, buat apa mereka
mempergunakan gelaran dulu, jika pada akhirnya tokh mereka melarikan diri ?
Bukankah jika terjadi persoalan seperti itu, murid yang melarikan diri itu
sudah bisa mempergunakan namanya terus dan tidak usah jadi pendeta, juga tidak
mempersulit pintu perguruan kami"
Tung Yang mengangguk-angguk
baru mengerti.
"Ooo, kiranya
begitu..." katanya.
"Tentang peraturan yang menyatakan
murid Siauw Lim Sie dilarang ikut mencampuri urusan piauwkiok, memang Lojinke
tidak salah. Ada peraturan seperti itu, jika ada murid Siauw Lim Sie dari
tingkat keberapa saja, yang diketahui jelas membantu kegiatan Piauwkiok, maka
akan dijatuhi hukuman yang berat. Selama sepuluh tahun harus duduk bersemedhi
menghadapi tembok, untuk menebus dosa mereka.
Tetapi kedua Sute Pinceng yang
turun guaung justeru tidak ada urusan dengan pihak Piauwkiok. Mereka malah
menerima tugas dari guru kami untuk membawa sesuatu barang, yang akan diberikan
kepada pihak Bu Tong Pay, kepada Ciangbunjin pintu perguruan tersebut, karena
barang itu sangat penting sekali dimana mencegah timbulnya salah paham diantara
Siauw Lim Pay dan Bu Tong Pay.
Barang itu bisa membuktikan
bahwa pihak Siauw Lim Sie tidak bersalah terhadap pembunuhan masal belasan
orang murid Bu Tong Pay dikota Bian Sang. Tetapi sayang, justeru dalam
perjalanan kedua Sute Pinceng telah di lukai oleh Thian Tee Jie Kui, tetapi
kami gagal untuk merampas kembali barang itu dari tangan Thian Tee Jie Kui, dia
benar-benar manusia-manusia aneh berkepandaian sangat lihay." Setelah
berkata begitu, Kam Siang Cie menghela napas dalam-dalam, mukanya murung.
"Barang apa yang Taysu
maksudkan sebagai barang bukti itu ?", tanya Tung Yang semakin ketarik.
"Bolehkah aku situa mengetahuinya ?"
Sepasang alis Kam Siang Cie
mengkerut, menunjukkan keraguan. Kemudian baru dia memberitahukan. "Dua
pucuk surat, didalam surat itu dijelaskan siapa pembunuh belasan murid Bu Tong
Pay ! Kalau surat itu tidak sampai ketangan ciangbunjin Bu Tong Pay, niscaya
akan menimbulkan salah paham besar, akhirnya melahirkan bentrokan keras antara
Siauw Lim Sie dengan Bu Tong Pay, sebab baru-baru ini justeru banyak
orang-orang Kangouw menuduh pelaku pembunuhan masal terhadap murid-murid Bu
Tong Pay adalah pihak Siauw Lim Pay!
Celakanya lagi, justeru pada
setiap korban terdapat tanda lima jari tangan, yang ada didada masing-masing,
tanda bekas pukulan Sin Wan Kun Hoat, salah satu ilmu pukulan Siauw Lim kami,
ltulah sebabnya banyak yang menduga bahwa pembunuh murid-murid Bu Tong Pay
dilakukan oleh orang Siauw Lim.
Kami selama sebulan lebih
melakukan penyelidikan dan berhasil menemukan dua pucuk surat sebagai tanda
bukti bahwa pelakunya bukan orang Siauw Lim, kami ingin mencuci bersih nama
baik pintu perguruan kami, karenanya guru kami perintahkan dua orang Sute
Pinceng, yaitu Liok Sute dan Ngo Sute untuk mengantarkan barang bukti itu
kepada Ciangbunjin Bu Tong Pay, agar selanjutnya kami dua pintu perguruan bisa
bersama-sama melakukan penyelidikan siapakah pembunuh kejam yang sebenarnya.
Namun, siapa sangka muncul
Thian Tee Jie Kie, yang merampas barang bukti itu. Kedua adik seperguruan
Pinceng pulang dalam keadaan luka parah, sebetulnya Suhu sudah tak sabar lagi
dan ingin menemui Thian Tee Jie Kui, hanya saja setelah dipertimbangkan Suhu
perintahkan kami berempat untuk meminta pulang barang bukti itu, sebab kalau
Suhu yang menemui Thian Tee Jie Kui sulit menghindarkan pertempuran lagi.
Rupanya memang Thian Tee Jie Kui mencari-cari urusan dengan pihak kami, ia
malah menghina dan melukai kami."
Tung Yang mengangguk, ia mulai
mengerti duduk persoalannya. Di dalam hatinya Tung Yang berpikir: "Ya,
memang tampaknya Thian Tee Jie Kui mencari-cari urusan dengan pihak Siauw Lim.
la sengaja melukai dua adik seperguruan pendeta ini, tidak dibunuhnya. Padahal
jika Thian Tee Jie Kui mau, dia bisa melakukannya dengan mudah. Demikian juga
terhadap keempat pendeta ini.
Tampaknya persoalan bukan
urusan enteng, di balik semua ini pasti tersembunyi urusan yang cukup ruwet.
Kalau sampai Siauw Lim dengan Bu Tong bentrok, inilah hebat."
Kam Siang Cie menghela napas,
katanya lagi dengan lesu: "Kami telah dirubuhkan, pamor kami sudah runtuh,
kami bermaksud pulang, terima kasih atas hadiah obat Lojinke."
"Tunggu dulu," kata
Tung Yang. "Sekarang Thian Tee Jie Kui berada di mana ?"
Kam Siang Cie tidak segera
menyahuti, ia mengawasi, Tung Yang sejenak, baru kemudian katanya :
"Mereka berdiam di lamping bukit Kie-sung, tidak terlalu jauh dari sini
!"
"Mari kita pergi menemui
mereka !" ujar Tung Yang sambil berdiri.
Kam Siang Cie berjingkrak
karena kaget demikian juga tiga orang aiik seperguruannya.
"Lojinke...?" Suara
Kam Siang Cie tidak lancar.
Tung Yang nyengir.
"jangan kuatir, kalian tidak akan celaka di tangan mereka. Aku punya cara
untuk meminta surat-surat penting kalian dari tangan mereka."
Sekarang Kam Siang Cie
berempat semakin yakin bahwa orang tua di depan mereka ini bukanlah orang
sembarangan. Tapi mereka bimbang, apakah orang tua ini bisa menghadapi Thian
Tee Jie Kui ? Apa yang bisa dilakukan Tung Yang? Cara apa yang katanya bisa
dipergunakan untuk meminta surat-surat penting dari kedua iblis itu ?
Melihat Kam Siang Cie berempat
mengawasi ragu-ragu padanya, Tung Yang nyengir lagi, katanya: "Jangan
kuatir, kujamin tidak akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada kalian.
Tunggu, aku ingin beritahu kan dulu pada isteriku..."
"Locianpwe,"
tiba-tiba Kam Siang Cie merangkapkan kedua tangannya, "Bolehkah kami
mengetahui siapa Locianpwee sesungguhnya ?"
"Nanti juga kalian
mengetahui," menyahuti Tung Yang, kemudian kembali ke dalam kamar.
"Nah, kumat lagi
kebiasaan burukmu, selalu usil mencampuri urusan orang lain !" Belum lagi
Tung Yang sempat memberitahukan pada Tung Im, isterinya sudah menyambutnya
dengan kata-kata seperti itu, sebab Tung Im mendengar semua percakapan Tung
Yang dengan keempat pendeta Siauw Lim.
"Terpaksa, kebetulan
Thian Tee Jie Kui berada di sini, siapa tahu urusanku yang dulu belum diselesaikan
dengan mereka bisa diselesaikan sekarang ? Kau jaga Giok Han, aku akan menemani
keempat pendeta itu!"
Tung Im tertawa.
"Baiklah, percuma saja aku menahan-nahan kau tua bangka, kau manusia yang
tidak bisa dicegah, selalu maunya sendiri. Pergilah, tapi jangan lama-lama jika
Hanjie sudah sadar, tentu membutuhkan pengobatan yang lebih cermat lagi"
Tung Yang keluar menghampiri
keempat pendeta. la bilang: "Nanti Siewie Taysu yang menghadapi pule
sepasang iblis itu. jangan takut, aku nanti memberikan cara yang terbaik untuk
menghadapi mereka, inilah jurus-juius yang perlu kalian pergunakan, niscaya
Thian Tee Jie Kui tidak bisa mencelakai kalian !"
Sambil berkata begitu, Tung
Yang memperlihatkan gerakan-gerakan yang terdiri dari beberapa jurus. Sederhana
dan mudah untuk ditangkap dan dipahami oleh keempat pendeta tersebut.
Menyaksikan jurus-jurus yang diberitahukan oleh Tung Yang, keempat pendeta itu
jadi kaget dan kagum.
Mereka baru menyadari bahwa
Tung Yang memang benar-benar seorang jago tua yang memiliki kepandaian tinggi.
Jurus-jurus yang diajarkan oleh Tung Yang memang cara yang paling baik untuk
menghadapi serangan yang bagaimanapun dari lawan.
Sederhana sekali jurus itu,
cuma terdiri dari empat gerakan, akan tetapi dengan empat gerakan yang diulang-ulang
terus, musuh yang bagaimana tangguhpun tidak bisa menerobos pembelaan diri
tersebut.
Tung Yang menyuruh keempat
pendeta itu mempraktekkannya, dan memberitahukan kekeliruan-kekeliruan yang
mereka lakukan. Jurus yang diajarkan Tung Yang sebetulnya mirip dengan jurus
"Sie Kuan Cap Peh Lo Han", hanya saja terdapat perbedaan sedikit pada
bagian pembukaan serta penutupnya. Jauh lebih ketat. Kam Siang Cie berempat
jadi kagum bukan main, kini mereka menghormati benar orang tua itu.
"Mari kita berangkat,"
ajak Tung Yang setelah melihat keempat pendeta tersebut berhasil menguasai
gerakan dari jurus yang diajarkannya. Walaupun ragu-ragu, keempat pendeta itu
mengangguk. Diam-diam mereka girang, karena mereka percaya orang tua ini yang
tampaknya sangat liehay, bisa jadi tuan penolong. Mereka telah runtuh di tangan
Thian Tee Jie Kui, kalau sekarang bisa merebut dua pucuk surat penting dari
tangan si iblis atas pertolongan orang tua ini, bukankah mereka tidak perlu
terlalu kecewa ? Yang membuat mereka ragu-ragu ialah, kalau orang tua ini rubuh
di tangan Thian Tee Jie Kui. bukankah mereka berempatpun akan dianiaya oleh
kedua iblis itu ?
Sebab sebelum melepaskan
keempat pendeta yang sudah dilukai itu, Thian Tee Jie Kui sempat biiang:
"Jika, kalian berempat kembali kemari, waktu itu kami tidak akan bermurah
hati seperti sekarang, jantung kalian satu persatu akan kami keluarkan untuk
dipanggang... Tapi keempat pendeta itu nekad.
Dengan berlari-lari mereka
pergi ke lamping bukit Kie-sung, tidak terlalu jauh, sebab mereka cepat sudah
tiba di sana, keadaan di sekitar tempat itu sepi, tidak terlihat seorang
manusiapun juga. Lamping bukit tersebut berada di lembah Sui-kok, pohon-pohon
tumbuh liar.
Kam Siang Cie menunjuk pada
lamping bukit di sebelah kanan. "Mereka berdiam di goa yang terdapat di
bukit itu!"
", katanya.
"Ayo kalian berempat
menyerbu lagi, nanti kalau Taysu berempat gagal menghadapi mereka, barulah aku
turun tangan!"
Kam Siang Cie menarik napas
dalam-dalam, untuk menindih keraguan. la menoleh kepada ketiga orang adik
seperguruannya, mengangguk memberi isyarat. Dengan ringan mereka melompati
sebungkah batu besar, melompati lagi beberapa potong batu tibalah mereka di
depan goa, di tempat mana menurut Kam Siang Cie berdiam Thian Tee Jie Kui.
Baru saja Kam Siang Cie
berempat menancapkan kaki di tanah depan goa yang gelap sudah terdengar suara
yang mengaung bengis : "Kalian benar-benar mau mampus, kerbau-kerbau dungu
! Bukannya pulang ke kandangmu di Siauw Lim, malah masih berkeliaran di sini !
Siapa yang kalian bawa-bawa kemari ?"
Kaget juga Tung Yang,
benar-benar hebat pendengaran Thian Tee Jie Kui. Dengan hanya mendengar saja,
dari jarak yang cukup jauh seperti itu, ia sudah mengetahui Kam Siang Cie bukan
datang berempat saja. Segera Tung Yang tertawa terbahak-bahak.
"Aku Tung Yang yang ingin
menyelesaikan persoalan kita, Thian Tee Jie Kui ! kebetulan tadi aku bertemu
dengan keempat Taysu itu, kusuruh mereka mengantarkan aku kemari." Suara
Tung Yang pun mengaung karena ia tidak mau kalah, menggunakan Lwekangnya waktu
berkata-kata, seperti juga suara Tung Yang menggetarkan bukit tersebut dan
sekitarnya.
Ooh, oooh. kiranya si tabib
siluman yang datang !" Terdengar suara mengejek dari dalam goa, suara
wanita. "Mana gundikmu. tabib siluman ?"
"Hehehe. gundikku sedang
kelelahan, ia minta aku sendiri yang menyelesaikan persoalan kita yang sudah
tertunda puluhan tahun !"
"Hu ! Hu ! Sialan ! Kau
datang sendiri, berarti aku hilang kegembiraan. Paling tidak hanya suamiku yang
melayani kau!"
"
"Kalian maju bersama juga
aku tidak ke beratan, kita akan main-main dengan gembira !" Manyahuti Tung
Yang, sambil melesat mendekati goa itu.
"Hei kerbau-kerbau Siauw
Lim," terdengar suara mengaung tadi, suara laki-laki, disusul dari dalam
goa muncul sesosok tubuh, seorang tua yang berjenggot panjang dan mengenakan
jubah hijau. Orang itu benar-benar kate tingginya belum cukup tiga kaki dan
mukanya luar biasa pula.
Tapi, yang paling yang paling
luar biasa adalah jenggotnya yang berukuran lebih panjang dari pada badannya,
sehingga terseret-seret di tanah. Bagian pinggang dari jubahnya yang berwarna
hijau tua, diikat dengan tali rumput yang juga berwarna hijau. Matanya mendelik
menyapu pada Kam Siang Cie berempat: "Apakah kalian minta mampus baru
senang? Mengapa tidak cepat-cepat menggelinding pergi ?"
Kam Siang Cie tidak buang
waktu lagi, segera menubruk dengan pedang ditangan, menikam pada si Jenggot
ini. Tiga orang adik seperguruannya juga membarengi dengan tikaman mereka.
Si Jenggot salah seorang dari
Thian Tee Jie Kui, berlaku bengis satu kali ia sudah didesak, ia tidak mau
membiarkan. Dengan beruntun ia mempergunakan "Pek Khong Ciang" atau
"Pukulan udara kesong"" untuk menghajar keempat pendeta Siiuw
Lim Sie. Akan tetapi hatinya tercekat, sebab tahu-tahu cara menyerang keempat
pendeta tersebut berobah.
Ini tidak pernah
disangka-sangka, sebab belum lama yang lalu masih mudah untuk merubuhkan
keempat pendeta itu. Tapi seketika si Jenggot tersadar. "Hat. ini tentu
kau tabib siluman yang main gila!" Segera tangannya meraba pinggangnya,
berkelebat sinar menyilaukan, di tangan si Jenggot sudah tercekal pedang, yang
waktu digerakkan mengeluarknn suara mengaung. "Sekarang aku tidak akan
memberi ampun lagi pada kalian, walaupun kalian menangis dan terkencing-kencing
mohon pengampunan!"
Membarengi kata-katanya.
pedangnya berkelebat. Terdengar suara benturan antara benda logam yang terjadi
beruntun, yang luar biasa empat batang pedang Kam Siang Cie berempat jadi
buntung !
Tung Yang mengawasi dengan
hati menyesal. Dia mengajari Kam Siang Cie berempat jurus yang bisa
dipergunakan membela diri dengan rapat. Tapi tampaknya Kam Siang Cie gagal
untuk memanfaatkan jurus yang diajarkannya itu. Di samping Lwekangnya yang
masih kalah jauh dengan si Jenggot, keempat pendeta itupun main buka serangan,
itulah kesalahan terbesar, kalau saja Kam Siang Cie berempat mau hanya bela
diri belum tentu mereka dapat dirubuhkan begitu cepat.
Namun Tung Yang tidak bisa
berdiam diri terlalu lama, keempat pendeta Siauw Lim Sie itu terancam
keselamatannya. la segera melompat kedepan. Waktu itu pedang si Jenggot
mengaung berkelebatan menikam Kam Siang Cie. dikibas oleh ujung lengan baju
Tung Yang, sehingga pedang saling bentur dengan ujung lengan baju Tung Yang.
Pedang terhentak, kesempatan
itu dipergunakan oleh Kam Siang Cie melompat mundur, mukanya pucat pias, karena
ia baru saja lolos dari kematian. Tiga orang adik seperguruannya pun melompat
mundur.
Si Jenggot menarik pulang
pedangnya, tertawa dengan muka bengis.
"Aku tidak menyangka
bahwa kau si tabib siluman mau bekerja untuk Siauw Lim Sie, sungguh bermimpipun
tidak pernah kusangka." mengejek si Jenggot.
"Dengar dulu," kata
Tung Yang. "Urusan kita tertunda dan belum terselesaikan. Sekarang kita
bisa bertemu, tentu saja aku jadi tidak sabar. Persoalan kau dengan
pendeta-pendeta Siauw Lim Sie boleh kalian urus nanti !"
Muka si Jenggot dalam keadaan
biasa sudah menakutkan, karena seperti muka mayat. Tapi sekarang mukanya jauh
lebih menakutkan. "Aku tidak nyana Sioe Bok Tiang Seng Kang begitu
liehay," kata si Jenggot mengejek. "Tampaknya setelah berpisah
belasan tahun, kau memperoleh kemajuan yang lumayan !"
"Eh, Jenggot!" kata
Tung Yang nyengir "Sekarang kita tidak usah terlalu banyak basa-basi. Aku
ingin sekali melihat berapa banyak kemajuan yang selama ini kau peroleh."
"Baiklah, mari kita
mulai!", kata si jenggot. "Hanya sayang gundikmu tidak di ajak serta,
sehingga isteriku harus kesepian berdiam saja di dalam goa."
"Senjata apa yang akan
kau gunakan?" Tanya Tung Yang. "Coba aku lihat dulu !"
"Kau anggap pedangku ini
tidak pantas dipergunakan melayanimu?" si Jenggot menegasi. "Boleh !
Lihatlah !" la berjingkrak, tahu-tahu pedangnya sudah menyambar
menimbulkan suara mengaung, kearah leher Tung Yang.
Tung Yang tertawa
terkekeh-kekeh, melompat mundur. Dengan sikap mengejek dia bilang:
"Aduhhhh, hampir saja leherku putus !" Tangannya merogo kantong
bajunya mengeluarkan sebuah gunting kecil, yang di angkat tinggi-tinggi.
"Kau tahu kegunaan gunting ini?", tanyanya.
Muka si jenggot semakin
menakutkan, ia rupanya meluap kemarahannya oleh ejekan Tung Yang. Gunting kecil
di tangan Tung Yang adalah gunting untuk meracik daun obat-obatan, sekarang
ingin dipergunakan untuk melayaninya.
Bukankah itu sama saja dengan
ejekan yang tak terkira bagi si jenggot ? Dia segera mengibaskan pedangnya,
Bersiap-siap untuk melompat menerjang.
"Eh, Jenggot !",
kata Tung Yang, tetap mengejek. "Apakah kau tahu nama gunting mustikaku
ini ?"
"Segala senjata bangsa
siluman mana bisa mempunyai nama yang mulia ?!", menyahuti si Jenggot murka.
Tung Yang tertawa
terbahak-bahak. "Benar kau," katanya. "Namanya memang kurang
mulia. Gunting ini dinamakan Kauw Mo Cian (Gunting Bulu Anjing), karena
mengetahui bahwa di tempat ini terdapat seorang manusia jadi-jadian yang
berjenggot panjang, aku sudah sengaja membawa Kauw Mo Cian untuk menggunting
jenggotnya!"
Kam Siang Cie bersama seorang
adik seperguruannya, si Sie-te lantas saja tertawa besar karena tidak bisa
menahan perasaan lucu atas ucapan dan lagak Tung Yang. Mereka seperti melupakan
suasana tegang yang tadi mereka hadapi, dimana hampir saja mereka celaka di
ujung pedang si Jenggot. Sedangkan Jie Suheng dan Sam-te pun turut merasakan
geli di dalam hati.
Thian Tee Jie Kui mengibaskan
pedangnya seraya berkata: "Memang jenggotku agak terlalu panjang. Aku akan
merasa berterima kasih jika kau suka tolong mengguntingkannya. Marilah !"
Selagi sang lawan
berkata-kata, Tung Yang mengawasi dinding bukit dengan mata mendelong, seperti
juga ia tak mendengar perkataan orang. Tapi mendadak cepat bagaikan kilat,
gunting itu menyambar jenggot Thian Tee Jiu Kui. Serangan tiba-tiba itu sama
sekali tak diduga si Jenggot. Untuk berkelit sudah tak mungkin lagi, tapi
sebagai ahli silat kelas satu, dalam keadaan berbahaya, secara otomatis kedua
kakinya menjejak bumi dan kedua tangannya memegang gagang pedang, di mana ujung
pedang menekan bumi, sehingga pada saat itu juga badannya yang kate mencelat ke
atas, setombak lebih tingginya.
Tung Yang cepat, tapi Thian
Tee Jee Kui yang laki2 ini lebih cepat lagi. Demikianlah, dalam segebrakan itu
meraka sudah mempertunjukkan kepandaian yang mengejutkan orang.
Akan tetapi, walaupun Thian
Tee Jie Kui laki-laki ini berhasil menyelamatkan diri, ia tidak berhasil
seluruhnya, karena tiga lembar jenggotnya sudah kena digunting putus.
Tung Yang kelihatan gembira
sekali. Sembari mengangkat tiga lembar jenggot itu dengan tangan kirinya, ia
meniup keras-keras. Tiga lembar jenggot itu menyambar kearah ranting pohon yang
tidak terpisah jauh darinya. Dengan mengeluarkan suara nyaring ranting pohon
itu patah dan jatuh ke tanah.
Kam Siang Cie berempat kagum
dan kaget melihat ilmu yang luar biasa dari orang tuayang sebelumnya tidak
mereka pandang sebelah mata. Tetapi Thian Tee Jie Kui yang laki-laki ini
mengetahui bahwa yang barusan mematahkan ranting bukannya tiga lembar jenggot
itu, tapi tiupan itu yang disertai dengan tenaga dalam.
Karena terlalu kagum
menyaksikan peristiwa itu, adik seperguruan Kam Siang Ce yang ketiga. Sam-ce
menganggap bahwa ranting itu dijatuhkan dengan tenaga jenggot. "Locianpwe
!" ia berteriak. "Jenggotmu benar-benar lihay ! Omi to-hud !"
Tung Yang tertawa
terbahak-bahak. "Eh, Jenggot ! Mari kau !" ia menggapai. Semakin lama
kegembiraan Tung Yang terbangun.
Sesudah dipermainkan beberapa
kali, si Jenggot jadi mata gelap. la menyambar Tung Yang dengan pedangnya,
walaupun bertubuh kate, si Jenggot ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa.
Dengan menerbitkan kesiuran angin dahsyat, pedang yang berkilauan itu,
menyambar-nyambar, jika kena, sudah pasti Tung Yang akan mengalami ancaman
tidak enteng.
Pada saat pedang itu tinggal
terpisah setengah kaki dari dirinya, tangan kiri Tung Yang sekonyong-konyong
menyambar ke bawah coba menerkam gagang pedang, sedangkan gunting ditangan
kanannya lagi-lagi menyambar jenggot Thian Tee Jie Kui.
Bukan main gusarnya si
Jenggot. Dengan sekaii mringkan kepala, jenggotnya terlolos dari guntingan,
sedang pedangnya terus disabetkan kebawah, ketangan Tung Yang.
"Ah !" Kam Siang Cie
mengeluarkan seruan tertahan dan ketiga orang adik seperguruannya pun berseru
kaget. Mereka membuka mata lebar-Iebar untuk dapat melihat lebih terang, apa
yang akan terjadi."
Begitu pedang menabas tangan
musuh, Thian Tee Jie Kui merasakan bahwa ia seolah-olah memukul kapas. la
mengenal bahaya, buru-buru ia menarik pulang senjatanya. Tapi sudah kasep !
Dengan sekali membalikkan tangan, Tung Yang sudah mencengkeram ujung pedang itu
!"
Thian Tee Jie Kui kaget dan
gusar. Sam-bil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyodokkan pedangnya. Sodokan
itu hebat luar biasa dan menurut pantas Tung Yang akan tertikam atau sedikitnya
terdorong oleh ujung pedang.
Tapi diluar dugaan, dengan
mengerahkan sedikit tenaga, tahu- tahu tubuh Tung Yang melompat kesamping.
sehingga Thian Tee Jie Kui menyodok tempat kosong. Berbareng dengan melompatnya
Tung Yang, iapun terpaksa melepaskan cekalannya pada ujung pedang.
Dengan geregetan Thian Tee Jie
Kui membuat sebuah lingkaran dengan pedangnya yang lalu ditikamkan ke kepaIa
musuh. Kali ini Tung Yang agaknya sengaja ingin mempertontonkan ilmunya. Dia
mengerahkan tenaga, tubuhnya "terbang" setombak lebih, melewati
pedang yang menyambar itu. Melihat kepandaian yang begitu luar biasa, tanpa
merasa Kam Siang Cie berempat bersorak sorak.
Menghadapi lawan yang begitu
berat, Thian Tee Jie Kui segera mengempos semangatnya dan mengirimkan
tikaman-tikaman dahsyat. la mengetahui bahwa tak gampang-gampnng bisa melukakan
musuh, akan tetapi jika ia bisa mendesak musuh, ia sudah boleh dikatakan
memperoleh kemenangan.
Tak dinyana, ilmu Tung Yang
sungguh luar biasa. Belasan tahun mereka berpisah, ternyata kepandaian Tung
Yang memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Tangan kanannya yang mencekal
gunting tak hentinya menyambar jenggot Thian Tee Jie Kui, sedang tangan kirinya
selalu menggunakan setiap kesempatan untuk merebut pedang musuh, dengan ilmu
Kin Na Ciu Hoat.
Dalam sekejap, mereka sudah
bertempur puluhan jurus, tanpa ada yang keteter. Tapi tak usah dikatakan lagi,
bahwa dalam pertandingan itu. si Jenggot tidak dipandang sebelah mata oleh Tung
Yang, yang tetap hanya menggunakan gunting kecil peracik daun-daun obat sebagai
senjatanya !
Sesudah lewat beberapa jurus
lagi. Thian Tee Jie Kui merubah cara berkelahinya. la memutar senjatanya
bagaikan titiran, sehingga tubuhnya yang kate seolah-olah dikurung dengan sinar
putih. Dilain pihak, Tung Yang melompat-lompat tak hentinya, sehingga di tempat
itu terdapat suatu pemandangan yang betul-betul luar biasa.
Kam Siang Cie berempat
mengenal rupa-rupa ilmu silat dari berbagai partai dan cabang persilatan. Akan
tetapi, sesudah beberapa lama memperhatikan ilmu pedang si Jenggot dan ilmu
silat Tung Yang, belum juga mereka bisa meraba ilmu apa yang digunakan sikate.
Si Jenggot tahu bahwa Tung
Yang sengaja mempermainkannya dan jika pertandingan dilangsungkan terus, ia
tentu akan mendapat malu didepan mata empat orang murid Siauw Lim Sie. Maka
lantas saja dia berseru: "Tabib siluman, aku ingin bicara, hentikan dulu
permainan kita. Setelah bicara, nanti kita bisa main-main seribu jurus
lagi!" iapun bermaksud melompat keluar dari gelanggang.
Tung Yang sudah berteriak :
"Tak bisa! Tak bisa!" Berbareng dengan perkataannya, badannya melesat
dari tempatnya menubruk pedang si Jenggot. Hampir pada detik itu juga, dengan
berbunyi: "Tring," pedang si Jenggot sudah tersentil dan terpegang
oleh tangan kiri Tung Yang yang lalu menggerakkan tangan kanannya untuk
menggunting jenggot orang. Semua orang terkesiap, karena si Jenggot pasti tak
bisa berkelit lagi dan jenggotnya yang begitu indah akan segera tergunung
putus.
Tapi ada suatu hal yang tidak
diketahui Kam Siang Cie berempat. Jenggot Thian Tee Jie Kui bukannya jenggot
biasa, sebaliknya justeru "senjata" yang dapat digunakan seperti
Joanpian. Demikianlah pada detik yang sangat berbahaya ia menggoyangkan kepalanya
dan jenggot itu segera menggulung gunting Tung Yang, yang lalu dibetotnya.
"Hei, Jenggot!"
teriak Tung Yang. "jenggotmu benar-benar lihay !" Untuk sejenak
mereka berkutet. Jenggot Thian Tee Jie Kui membetot gunting, sedang tangan Tung
Yang tetap menjepit pedang sikate. Untuk kesekian kalinya Tung Yang tertawa
berkakakan. "Menarik, sungguh menarik !" katanya.
Sekonyong-konyong, berkelebat
sesosok bayangan yang gerakannya cepat luar biasa, menghantam punggung Tung
Yang.
Kam Siang Cie berempat menduga
bahwa bokongan itu, yang dikirim secara mendadak, tak akan dapat dikelit lagi.
Tapi, pada detik yang menentukan seperti kilat tangan Tung Yang menyanggah
bawah ketiak orang itu, yang tenaga pukulannya segera dapat dipunahkan.
"Bangsat !" maki
orang itu dengan suara gusar. "Mari kita adu jiwa !"
"Akur !" menyambut
Tung Yang. "Kukira ini lebih menarik, untuk menyelesaikan persoalan kita
!"
Ternyata orang yang membokong
itu seorang wanita yang mencelat keluar dari dalam goa. Dialah Thian Tee Jie
Kui yang kedua. Keadaannya juga luar biasa. Si Jenggot sudah luar biasa
keadaannya, wanita ini malah lebih luar biasa lagi, Tubuhnya tinggi, lebih
tinggi dari ketinggian badan wanita umumnya, kurang lebih sembilan kaki,
jangkung sekali. Yang menyolok adalah rambutnya, yang seperti tumbuh hanya
beberapa helai saja dikepalanya, jarang benar, mendekati gundul. Mukanya yang
jelek jadi tambah jelek dengan tambutnya seperti itu. Bajunya juga berwarna
hijau seperti baju si Jenggot.
Karena tadi Tung Yang
memunahkan bokongan Thian Tee Jie Kui yang perempuan, si Jenggot memiliki
kesempatan untuk menjauhi Tung Yang. Pedangnya diputar, sambil menikam memaksa
Tung Yang melepaskan jepitannya, dan ia sudah terpisah lima tombak dari Tung
Yang.
Si Jangkung sudah menghunus
pedangnya. Tadi dia mengikuti jalannya pertempuran, ia memperoleh kenyataan
keadaan tidak menguntungkan suaminya, maka ia muncul sambil membokong, Pedang
di tangannya di kibaskan.
"Mari mulai !"
katanya. "Aku ingin meliliat berapa jauh sudah kau latih ilmu anjingmu itu
!"
Tung Yang tertawa
terbahak-bahak. "Ya, memang kebetulan sekali, adanya kalian aku bisa
berlatih untuk melihat berapa jauh ilmu yang telah kulatih memperoleh kemajuan
!"
Si Jenggot menggelengkan
kepala "Tidak ! Tidak adil! Nanti kalau kita menang, dia bilang kita
mengandalkan jumlah banyak menindas dia ! Pergilah kau jemput gundikmu, bawa
kemari ! kami akan menunggu !"
He, he, kau suruh aku jemput
isteriku ? Ooo, aku tahu tentu kau sudah rindu ingin melthal betapa cantiknya
isteriku, bukan?"
Muka si Jenggot jidi merah
padam, tambah menakutkan saja dengan mukanya seperti mayat.
Isteri si Jenggot, si
jangkung, tidak sabar lagi. Pedangnya menyambar menikam dada Tung Yang. Tapi
Tung Yang tiga kali bisa menghindarkan. Si Jenggot juga tidak tinggal diam, karena
ia tahu isterinya tidak mungkin sanggup menghadapi Tung Yang seorang diri,
pedangnya berkelebat menikam Tung Yang.
Semakin lama semakin hebat.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, si Jenggot segera bersilat dengan ilmu Kim
Liong Hie Sui (Naga Emas Memain Di Air). Dengan berkesiuran angin yang
menderu-deru, pedangnya mengancam beberapa bagian berbahaya di tubuh Tung Yang.
Dikepung dua lawan tangguh,
Tung Yang jadi sibuk juga. Beberapa kali gunting kecilnya sempat menangkis
pedang si Jangkung.
Tadi Tung Yang meremehkan si
Jenggot, tapi sekarang ia baru mengerti bahwa kalau maju berdua bersama-sama,
Thian Tee Jie Kui benar-benar hebat. Si Jenggot seperti burung yang tumbuh
sayap, kepandaiannya jadi beberapa kali lipat dibandingkan tadi.
Rupanya ilmu pedang si Jenggot
dengan ilmu pedang si Jangkung merupakan ilmu pedang yang dapat bekerja sama.
Hati Tung Yang tercekat juga "Hmm," pikirnya. "Kemajuan mereka
ternyata tidak kecil..." karenanya Tung Yang pun tidak berani main-main,
ia melayani dengan penuh kesungguhan.
Setelah bertempur beberapa
jurus lagi, Tung Yang mulai sibuk menghadapi kedua lawannya ini, walau tidak
sampai terdesak. Bahkan akhirnya Tung Yang sudah menyimpan gunting kecilnya,
menghadapi dua lawannya lebih serius.
"Sampai kapanpun juga."
kata si Jangkung, "jangan harap kau bermimpi kami memberikan kitab obat
yaug kau inginkan itu !"
"Hmm. tanpa kitab obat
itu akupun sudah bisa meramu obat-obat yang kuinginkan."
Tung Yang menyahuti sambil
menghindar tikaman pedang si jangkung pada pahanya. "Aku tidak
menginginkan lagi kitab obat itu !Kalian memiliki pun tidak mungkin bisa
mempelajarinya !"
Si Jangkung berseru bengis,
pedangnya tiga kali beruntun menikam. Tapi Tung Yang berhasil menghindar.
Namun, waktu ia ingin mengelak dari tikaman ketiga, justeru pedang si Jenggot
pun menyambar punggung Tung Yang, membuatnya kaget.
Dia tersentak sedetik, tapi
hal itu menyebabkan pedang si Jangkung menyerempet lenganrya, bajunya nya
robek,kulit lengannya juga baret oleh ujung pedang, darah mengucur.
Secepat kilat jari tangan Tung
Yang menyentil pedang si Jenggot, ia merasakan ujung jari tangannya yang
menyentil kesemutan, segera sadar bahwa si Jenggot menikam dengan Lwekang yang
tinggi. Sedahgkan si Jenggot mundur, telapak tangannya pedih akibat getaran
sentilan Tung Yang.
Mempergunakan kesempatan itu
Tung Yang melompat mundur sampai tiga tombak, mereka bertiga berhadapan.
"Sekarang baiklah,"
kata Tung Yang dengan muka bersungguh-sungguh, tangannya menghunus pedangnya
dari balik jubahnya. "Aku terpaksa menghadapi kalian, karena kalian
tampaknya tidak seperti dulu lagi, yang mau mencampuri urusan Kangouw dan
mengadu domba perguruan demi perguruan silat satu dengan yang lainnya ! Dulu
aku menghormati kalian, sebab kalian hanya mengejar ilmu yang lebih tinggi...
namun sekarang kalian entah bekerja untuk siapa ingin mengadu domba Siau Lim
Sie dengan Bu Tong Pay ?"
"Apa pedulimu ?" Si
Jangkung berteriak.
"Itu urusan kami yang
tidak patut dicampuri oleh kau ! Hari ini kau akan melihat bahwa Thian Tee Jie
Kui jauh lebih liehay dari kau dan kitab obat itupun Syah menjadi milik kami,
jika kau sudah kami rubuhkan! Kedatanganmu kemari seorang diri, itu salahmu
sendiri ! Bagi kami kau datang berdua dengan gundikmu atau sendiri sama saja
tidak ada perbedaan !"
"Aku siap melayani kalian
! Tapi sebelum itu, kembalikanlah dulu surat-surat yang kalian curi dari murid
Siauw Lim Sie, agar mereka bisa pergi meninggalkan tempat ini dan kita bisa
main sepuas hati !" Tung Yang bilang. "janganlah jadi maling hina
yang cuma menginginkan surat-surat orang lain!"
Muka si jangkung dan si
jenggot berobah. Si Jangkung juga tertawa mengejek. "Tepat kiranya dugaan
kami, kau rupanya bekerja untuk Siauw Lim Sie ! Baik, mulailah ! Setelah
membereskan kau, keempat anjing Siauw Lim itupun akan kubereskan !"
Ketiga orang itu
berhadap-hadapan, siap untuk mengukur ilmu. Kam Siang Cie berempat mengawasi
tegang, mereka tahu akan ada tontonan yang luar biasa, mungkin sulit mereka
saksikan lagi seumur hidup.
Si Jenggot dan si Jangkung pun
menyadari, Tung Yang dengan pedangnya pasti jauh lebih liehay dari sebelumnya,
mereka tidak berani sembarangan memulai.
Dalam keadaan tegang dan sunyi
seperti itu, karena mungkin yang terdengar hanyalah suara napas yang
tertahan-tahan dari Kam Siang Cie berempat, mendadak terdengar suara yang
lembut sekali, sabar luar biasa: "Omitohud, mengapa harus saling bunuh ?
Bukankah Thian telah memberikan kehidupan pada kalian dan kalian harus
memelihara kehidupan itu sebaik-baiknya ?"
Menyusuli suara yang lembut dan
sabar itu, muncul dua orang berjubah panjang warna kuning, dengan kepala yang
botak. Mereka dua orang pendeta. Kam Siang Cie berempat melihat kedua pendeta
itu, yang satu berusia hampir empat puluh tahun dan yang seorang lagi pendeta
tua bampir berumur 80 tahun dan tubuhnya kurus, segera berseru girang. Berlari
menghampiri, mereka berlutut sambil memanggil : "Suhu ! Sucouw !"
Pendeta tua itu dengan sabar
menggerakkan tangan kanannya, memberi isyarat pada keempat orang cucu murid itu
bangun. Sedangkan muka pendeta yang usianya lebih muda, yang dipanggil Suhu
(guru) oleh Kam Siang Cie berempat, sangat guram, sepasang alisnya berkerut
mengawasi Thian Tee Jie Km berdua.
"Jangan memberi
penghormatan, jangan memberikan penghormatan, kalian murid-murid Siauw Lim Sie
yang baik, sudah berusaha sekuat kemampuan kalian untuk memulihkan keruwetan
yang akan terjadi itu. Bangunlah...!" kata pendeta tua itu waktu Kam Siang
Cie mengadu pada gurunya tentang sikap Thian Tee Jie Kui yang tetap tidak mau
mengembalikan surat-surat penting yang telah dirampas kedua iblis itu, malah
menghina pintu perguruan mereka.
Tung Yang melihat kedatangan
kedua pendeta itu jadi kaget. Dia kenal pendeta tua itu, Wei Sin Siansu,
pendeta Siauw Lim Sie tingkat dua. Sampai pendeta ini datang sendiri, berarti
urusan benar-benar sangat penting. Sedangkan pendeta yang lebih muda guru Kam S
ang Cie berempat, tidak dikenal Tung Yang.
"Siancai ! Siancai
!" Wei Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya sambil melangkah
menghampiri Tung Yang. "Terima kasih atas bantuan Tung Siecu!"
Tung Yang cepat-cepat
menyimpan pedangnya, merangkapkan kedua tangannya menghormat pada pendeta tua
itu. "Siansu, apakah selama ini sehat-sehat saja ?"
"Terima kasih, berkat doa
Siecu keselamatan Loceng cukup baik!" menyahuti pendeta itu sabar. Mukanya
pun penuh kasih, memaksa orang untuk menghormatinya. Sinar matanya sangat
bening, tajam tapi mengandung kelembutan.
"Oooo ya, mana Tung Hu
jin !"
"Kami telah mengobati
luka seorang anak, kebetulan kami bertemu dengan empat murid Siansu. la sedang
menunggui sambil meneruskan pengobatan pada anak itu." Menjelaskan Tung
Yang.
"Omitohud ! Apa yang
terjadi pada anak itu?" Tanya Wei Sin Siansu. "Apakah lukanya berat
?"
"Cukup berat, Siansu. Dia
putera Giok Goanswee yang sempat lolos dari tangan maut orang-orang Yong Ceng
!"
Muka Wie Sin Siansu berobah
guram, ia merangkapkan kedua tangannya. "Omitohud, semoga Thian bisa
memimpin Kaisar itu..." katanya. "Loceng pun sudah mendengar
peristiwa itu. Kalau urusan di sini sudah selesai, Loceng mgin bertemu dengan
anak Giok Goanswee itu. Sayang ! Sayang ! Jenderal setia seperti Giok Goanswee
harus menemui bencana seperti itu!"
Waktu Wei Sie Siansu tengah
bercakap-cakap dengan Tung Yang, guru Kam Siang Cie tampaknya sudah tidak
sabar. Dengan muka yang guram pendeta ini melangkah maju mendekati Thian Tee
Jie Kui. Sepasang tangannya dirangkapkan dan membungkukkan sedikit tubuhnya
pada sepasang iblis itu, katanya dingin : "Siauwceng Bun An Taysu ingin
memohon pada Jiewie (tuan berdua) agar mau memberi sedikit muka terang pada
Siauw Lim Sie kami, mengembalikan surat-surat kami."
Melihat kedatangan Bun An
Taysu berdua Wie Sin Siansu. Thian Tee Jie Kui mulai bimbang. Kalau yang datang
hanya Bu An Taysu. jelas mereka tidak takut. Tapi Wei Sin Siansu adalah pendeta
yang sulit diukur lagi.
la termasuk pendeta yang
disegani oleh semua orang-orang Kangouw, sikapnya yang sabar dan lembut memaksa
semua orang menghormatinya, kalau sampai Wei Sin Siansu turun tangan, bukanlah
hal ini sama saja berarti Thian Tee Jie Kui memperoleh kesukaran yang tidak
kecil?
"Hem, surat-surat itu
kami peroleh bukan dengan jalan mudah," kata si Jangkung dengan suara
dingin. "Apakah demikian gampang kalian memintanya kembali ?"
Sebetulnya Bun An Taysu sudah
tidak sabar, tadi dia mendengar pengaduan Kam Siang Cie tentang perlakuan Thian
Tee Jie Kui dan kemendongkolan sudah membakar hati si pendeta. Hanya saja dia
masih berusaha membawa sikap yang sabar.
"Apa yang diinginkan
Jiewie ?" tanyanya sambil mengawasi Thian Tai Jie Kii bergantian. "
iiirat-surat itu milik kami, dan sudah selayaknya kalau kami memintanya pula
dari tangan Jiewie ..."
"Hemm, jika kalian
inginkan surat-surat itu, boleh! Boleh ! Kami akan mengembalikannya, asalkan
kalian bisa memenuhi persyaratannya !" Kata si jangkung dingin.
"Apa syarat-syaratnya
?" Bun An Taysu menegur.
"Kami akan mengembalikan
surat-surat itu," kata si Jangkung dingin, "Asal kau sanggup menerima
tiga kali pukulan kami berdua tanpa memberikan perlawanan!"
Muka Bu An Taysu berobah.
Tangannya tahu-tahu mencekal gagang pedang, dan "Sreeeettt !"
pedangnya terhunus. Mukanya memerah. "Jiewie terlalu mendesak, terpaksa
Siauwceng harus meminta pengajaran dari Jiewie ..."
Rupanya habis kesabaran Bu An
Taysu, iu bermaksud menghadapi kedua iblis itu.
"Bun An. mundur !"
Tiba-tiba terdengar perintah Wei Sin Siansu. "Simpanlah pedangmu !"
Wei Sin Siansu melangkah ke depan Thian Tee Jie Kui. "Tadi Jiewie bilang,
asal kami bisa menerima tiga pukulan Jiewie tanpa memberikan perlawanan, Jiewie
akan mengembalikan surat-surat itu ? Dapatkah nanti Jiewie menepati janji kalau
tawaran Jiewie kami terima ?"
Si jangkung tertawa mengejek.
"Kau sudah terlalu tua dan pasti tidak akan sanggup menerima tiga pukulan
kami berdua, kami tidak akan mengingkari janji, asal ada salah seorang di
antara kalian yang bersedia menerima tiga pukulan dari kami tanpa memberikan
perlawanan !"
"Omitohud ! Loceng
bersedia menerimanya ! Tulang-tulang tua Loceng bersedia menerima tiga pukulan
kalian!" Sabar sekali suara Wei Sin Siansu. "Nah, silahkan Jie wie
!" Wei Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya, memejamkan mata,
bersiap-siap menerima pukulan kedua iblis itu.
Kaget semua orang Bun An Taysu
sampai berseru: "Suhu ?!" tapi Wei Sin Siansu tidak melayani
panggilan muridnya. Cucu muridnya berempat juga hanya bisa memandang dengan
kuatir, tanpa bisa melakukan apa-apa melihat kakek guru mereka yang ingin
menerima pukulan-pukulan dari kedua iblis itu tanpa memberikan perlawanan.