Gadis itu yang menjelaskan
bahwa Tang Bun Suheng dari Siauw Lim Sie dan ingin berkunjung ke Bu Tong San.
Kami tetua-tetua Bu Tong tentu saja gembira menerima kunjungan ini dan
menyambut keluar. Tapi bukan kepalang heran kami, karena Tang Bun Suneng selalu
bilang: "Liong Kak... Liong Kak... Celaka.... akan hancur ?semuanya...!
"Dan selalu bicara
begitu, tidak ada kata lain yang diucapkannya, seakan juga Tang Bun Siansu
hilang ingatan ! kami segera menanyakan pada gadis yang mendampinginya. Gadis
itu mengakui sebagai seorang yang kebetulan bertemu dengan Tang Bun Suheng,dan
mengantarkan ke Bu Tong San, kemudian dia pamitan setelah menyerahkan kepada
kami sepucuk surat..."
Muka Tang Sin Siansu berobah
hebat, Dia kuatir bukan main mendengar keadaan Sutenya seperti itu. "Lalu
bagaimana ?" tanya nya tak sabar.
"Kami curigai gadis itu,
tapi kami jelas tidak bisa menahannya untuk minta keterangan lebih jauh.
Apalagi gadis itu sudah pergi dengan segera. Siong Kie Suheng, ciangbunjin
kami, segera membuka surat itu, ternyata isinya mencurigakan benar Selengkapnya
sebagai berikut:
"Siong Kie Tojin, kami
mohon kemurahan hatimu untuk mengantarkan pulang Tang Bun siansu ke Siauw Lim
Sie karena tampaknya Tang Bun Siansu mengalami peristiwa yang membuat ia jadi
pelupa kami menemukannya ia sedang duduk di muka sebuah rumah di kaki gunung Bu
Tong San, karenanya kami menitipkannya pada pihak Bu Tong Pay." Surat itu
tidak mencantumkan nama si pengirim."
Muka Tang Sin Siansu berobah
semakin hebat. dia gusar bercampur kuatir. Gusar ada orang yang mencelakai Tang
Bun Siansu kuatir untuk keselamatan adik seperguruannya la pun memanggil Tang
Lang Siansu dan Tang Lu Siansu untuk ikut mendengarkan cerita Soan Lo Cinjin.
Setelah meminum tehnya. Soan
Lo Cinjin melanjutkan ceritanya: "Waktu itu Siong Kie Suheng jadi curiga,
apa lagi melihat keadaan Tang Bun Siansu seperti itu. la segera menduga dalam
peristiwa ini pasti terdapat sesuatu yang tidak beres. Bahkan. Siong Kie Suheng
menduga, dengan meminjam tangan Bu Tong Pay untuk mengirim pulang Tang Bun
Siansu ke Siauw Lim Sie, hal itu untuk menambah ruwet urusan, di mana Bu Tong
Pay seakan ingin diadu dombakan semakin hebat dengan pihak Siauw Lim Sie."
Soan Lo Cinjin terdiam
sejenak, baru kemudian melanjutkan: "Seperti kita semua ketahui, baru-baru
ini timbul salah paham di antara murid-murid dua pintu perguruan, Bu Tong dan
Siauw Lim Sie. Semula Siong Kie Suheng menduga bahwa salah paham itu disebabkan
oleh sikap murid-murid Siauw Lim Sie yang mungkin terlalu sombong. Tapi dengan
adanya peristiwa ini, seketika Siong Kie Suheng lersadar, bahwa selama ini kami
tengah di adu domba.
Justru kalau kami mengantarkan
Tang Bun Siansu ke Siauw Lim Sie, berarti salah paham itu akan bertambah besar.
Di waktu itu Siong Kie Suheng yakin, ada pihak ketiga yang menginginkan
bentrokan semakin hebat antara Bu Tong dengan Siauw Lim.
"Bagaimana dengan Su heng
kami ?" tanya Tang Lu yang tidak bisa menahan diri, karena geram dan
berkuatir.
Soan Lo Cinjin menghela napas
panjang-panjang. "Surat itu seperti membuka pikiran kami. Ada pihak ketiga
yang bekerja menginginkan Bu Tong dengan Siauw Lim bentrok dan hubungan baik
selama ini menjadi rusak. Segera Siong Kie Suheng memeriksa keadaan Tang Ban
Siansu, keadaannya benar-benar luar biasa, ia seperti hilang ingatan. Selalu
yang diucapkannya adalah: "Liong kak . . . akan hancur semuanya . . .
Liong Kak...", tidak ada keterangan berarti yang bisa diberikan Tang Bun
Siansu, karena selalu juga ia berkata cuma kata-kata itu belaka, walaupun Siong
Kie Suheng berusaha bertanya berbagai hal.
Yang lebih luar biasa Siong
Kie Suheng tidak melihat tanda-tanda luka didiri Tang Bun Siansu, hanya
pikirannya yang jadi tidak beres, karena yang di ucapkannya selalu Liong Kak,
Liong Kak saja ... . "
Muka Tang Sin, Tang Lu dan
Tang Lang bertiga berobah hebat, mereka gelisah sekali.
"Kini Tang Bun Sute masih
berada di Bu Tong San ?" tanya Tang Sin Hongthio, setelah bisa menenangkan
sedikit perasaannya.
Soan Lo Cinjin mengangguk.
"Ya, sementara ini Siong Kie Suheng berusaha merawatnya. Dengan
mempergunakan Im Ciu Khikang coba untuk memulihkan pikiran Tang Bun
Siansu."
Kaget Tang Sin Siansu bertiga
adik seperguannya, karena Im Ciu Khikang merupakan lwekang tertinggi dari Bu
Tong Pay. Jika tidak dalam keadaan terpaksa, tenaga salett itu tidak akan
dipergunakan oleh tokoh Bu Tong, karena setiap penggunaan Im Ciu Khi kang akan
meminta tenaga yang sangat besar sekarang Siong Kie Cinjin, Ciangbunjin Bu Tong
Pay, mempergunakan Im Ciu Khinkang untuk mengobati Tang Bun Siansu.
Hal ini merupakan hal yang
sangat mengejutkan, karena jika Bu Tong Ciangbun itu mempergunakan Khikangnya
tersebut, apa lagi untuk suatu pengobatan, ia harus mengorbankan semangat dan
tenaganya cukup besar, untuk memulihkan semangat dan tenaganya diperlukan waktu
semedhi tiga bulan.
Tang Sin Hong-thio segera
berdiri, merangkapkan kedua tangannya. "Terima kasih atas jerih payah
Siong Kie Ciangbunjin, nanti tolong sampaikan rasa terima kasih kami kepadanya
jika Cinjin sudah pulang..."
Soan Lo Cinjin cepat-cepat membalas
hormat Hongthio Siauw Lim Sie. "itulah kewajiban kami. Salah paham yang
pernah terjadi di antara pihak kita adalah perbuatan orang ketiga, karenanya
Siong Kie Suheng perintahkan aku menghadap kemari, untuk menyelesaikan
persoalan tersebut, agar kita tidak diadu domba lebih jauh. Di samping itu
Pinto pun diminta merundingkan tindakan apa sebaiknya untuk menghadapi
peristiwa ini, terutama terhadap diri Tang Bun Siansu ?"
Tang Sin Siansu menghela
napas. "Aneh!" gumam ketua Siauw Lim Sie ini. "Kepandaian Tang
Bun Sute sudah sulit diukur, jarang ada orang bisa menandinginya, apa lagi
membuatnya tidak berdaya seperti itu. IImu siluman apakah yang telah
dipergunakan membuat Tang Bun Sute jadi tak berdaya seperti itu ?"
Muka Tang Lu Siansu dan Tang
Lang Siansu muram.
"Tang Bun Siansu selalu
bilang tentang Liong Kak, apakah Hongthio mengetahui perihal Liong Kak itu
?" tanya Soan Lo Cinjin.
Tang Sin Siansu menggeleng.
"Baru sekarang kami
mendengarnya. Benda apakah Liong Kak (Cula Naga) itu ? Apakah didunia ini
memang tardapat Naga, sehingga ada Culanya ?"
Soan Lo Cinjin jadi
mengerutkan alisnya, ikut bangun dan heran. Semula maksud kunjungannya ke Siauw
Lim Sie selain untuk menyelesaikan salah paham antara murid-murid Bu Tong
dengan murid-murid Siauw Lim Sie. pun ia ingin mengetahui apa sebenarnya Liong
Kak itu yang selalu disebut-sebut oleh Tang Bun Siansu. Tapi kini harapannya
jadi habis, karena Tang Sin Siansu sendiri tidak mengetahui perihal Liong Kak
itu.
Segera mereka berunding,
sampai menjelang malam hari barulah Tang Sin Siansu memutuskan Tang Lu Siansu
dan Tang Lan Siansu akan turun gunung ikut dengan Soan Lo Cinjin, membawa
pulang Tang Bun Siansu. Dalam kesempatan itu Soan Lo Cinjin sekali lagi
menekankan: "Bukan Pinto tidak mau membawa serta pulang Tang Bun Siansu ke
Siauw Lim, tapi menurut Siong Kie Suheng salah paham di antara kedua pihak bisa
bertambah besar kalau Pinto membawa pulang Tang Bun Siansu, bisa menambah besar
kecurigaan pihak Siauw Lim! Pada murid-murid kami telah diberitahukan bahwa
selama ini ada pihak ketiga yang ingin mengadu domba antara Bu Tong dengan
Siauw Lim dan selanjutnya kami perintahkan agar mereka tidak boleh memusuhi
lagi pendeta-pendeta Siauw Lim. Harapan Siong Kie Suheng pun demikian, agar
Hong thio mau menjelaskan duduk persoalannya kepada murid-murid Siauw Lim. ini
mencegah timbulnya urusan yang tidak menggembirakan, di mana pihak ketiga itu
bertepuk tangan dan tertawa senang kalau melihat kita saling cakar-cakaran
!"
Tang Sin Siansu mengangguk.
"Ya, memang Loceng akan memberitahukan pada mereka semua tentang hal itu
Tetapi Sian-jin, siapakah kiranya menurut Sianjin orang ketiga itu ?"
Justuru sejauh itu Pinto masih
belum mengetahui! Sampai siapa adanya gadis cantik jelita yang mengantarkan
Tang Bun Siansu kekuil kami, masih belum kami ketahui ! Orang ketiga itu bukan
hanya terdiri satu orang saja, pihak ketiga itu terdiri dari banyak orang, yang
mungkin tengah melakukan sesuatu yang tidak beres dalam rimba persilatan
!"
Benar-benar Tang Sin Siansu
bertiga sutenya dan Soan Lo Cinjin dibuat bingung oleh peristiwa ini. Tetapi
akhirnya diputuskan yang paling utama ialah membawa Tang Bun Siansu pulang ke
Siauw Lim Sie. Dua hari Soan Lo Cinjin berdiam dikuil Siauw Lim Sie, akhirnya
pamitan dari Hongthio Siauw Lim Sie. Bersama Tang Lang Siansu dan Tang Lu
Siansu. Soan Lo Cinjin bertiga kembali ke Bu Tong Pay.
Seperginya Soan Lo Cinjin,
Tang Sin Hongthio segera mengumpulkan murid-murid Siauw Lim Sie dan
memberitahukan apa yang sudah terjadi, kemudian perintahkan murid-murid
angkatan kedua, Wie Sin Siansu dan yang lainma, turun gunung untuk melakukan
penyelidikan, siapakah pihak ketiga yang selama ini ingin mengacaukan hubungan
antara Siauw Lim dengan Bu Tong, apa yang mereka inginkan dan juga benda apakah
yang bernama Liong Kak itu. Wie Sin Siansu bertujuh dengan sute-sutenya turan
gunung. Sedangkau Giok Han sementara akan diawasi dan dididik langsung oleh
Tang Sin Siansu.
Dalam sejarah persilatan
memang baru pertama kali terjadi dimana tiga dari empat tetua Siauw Lim Sie
yaitu Tang Bun Siansu, Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu berada diluar kuil.
Ditambah lagi dengan tujuh dari murid tingkat kedua Siauw Lim Sie, yang turun
gunung. Walaupun bagaimana hebatnya kejadian yang pernah terjadi, belum pernah
tokoh-tokoh Siauw Lim Sie turun gunung demikian banyak jumlahnya.
Tang Lang Siansu berdua Tang
Lu Siansu berhasil tiba di Bu Tong San bersama-sama Soan Lo Cinjin tanpa
mengalami suatu kejadian, kemudian membawa Tang Bun Siansu pulang ke Siauw Lim
Sie keadaan Tang Bun Siansu benar-benar mengherankan, karena ia seperti lupa
diri dan hanya mengoceh tidak hentinya tentang Liong Kak. Jika diajak bicara,
maka selalu dia menvebut-nyebut tentang Liong Kak, tanpa mengucapkan lainnya.
Bukan main sedihnya Tang Lu
Siansu, tidak ada jalan lain untuk mereka, hanya mengajak Tang Bun Siansu
pulang ke Siauw Lim Sie. biar Tang Sin Siansu sebagai Hong thio nanti
menentukan apa sebenarnya yang sudah terjadi pada Tang Bun Siansu, sedangkan
pada diri Tang Bun Siansu sendiri tidak kelihatan tanda-tanda terluka.
Cuma pikirannya yang tidak
normal lagi, seperti dikuasai suatu kekuatan yarg tidak tampak, sehingga
pendeta suci Siauw Lim Sie itu selalu menyebut-nyebut perihal Liong Kak...
Wie Sin Siansu bertujuh dengan
adik-adik seperguruannya justru berlangsung lain, dimana mereka menemukan
hal-hal yang mengejutkan dan mengherankan. Peristiwa hebat yang sebelumnya
tidak pernah mereka sangka, yang melihatkan mereka pada urusan yang
menakjubkan.
Sejak turun gunung, Wie Sin
Siansu mengajak enam orang sutenya untuk pergi ke arah barat, dimana jika
memang Tang Bun Siansu pergi ke Bu Tong Pay tentu mengambil arah yang sama.
Dengan mengambil arah jalan yang pasti ditempuh oleh Tang Bun Siansu, Wie Sin
Siansu berharap bisa bertemu dengan orang-orang yang telah mencelakai Tang Bun
Siansu.
Sebulan lebih mereka melakukan
perjalanan, tapi selama itu tidak terjadi suatu apapun juga, Ketika mereka tiba
di Cuiyang, mereka tetap belum bertemu sesuatu yang mencurigakan.
Wie Khie Siansu mulai tidak
sabar, waktu mereka menginap disebuah kuil, Wie Khie Siansu bilang:
"Suheng, apakah cerita yang diutarakan Soan Lo Cinjin bukan bualan belaka,
karangan yang dibuat untuk melepaskan diri dari kesalahan mereka sebab
mencelakai Tang Bun Susiok ?"
Wie Sin Siansu menggeleng
"Soan Lo adik Siong Kie Cinjin. tak mungkin ia berdusta." Katanya
tegas. "Didalam peristiwa ini pasti terdapat urusan yang rumit. Kita harus
menyelidikinya, kini muka Siauw Lim dan Bu Tong seperti digampar berkali-kali!
Salah pnham yang ada antara Siauw Lim dengan Bu Tong jika dibiarkan terus
niscaya akan bertambah besar dengan akibat yang lebih parah.
Bukankah sebelum berangkat
Hongthio sudah berpesan, jika belum berhasil kita harus terus berusaha
menyelidik sampai berhasil- Kalau perlu kita berpencar, untuk menyelidiki
diberbagai tempat."
"Tapi Suheng," kata
Wie Tay Siansu, adik seperguruan ketiga, "yang membuatku tidak mengerti
apa yang telah terjadi pada diri Tang Bun Susiok? Siapa yang dapat
mencelakainya seperti itu ? Sedangkan kepandaian Tang Bun Susiok sudah mencapai
tingkat yang sulit diukur, jika ada pengeroyokan paling tidak Tang Bun Susiok
tidak bisa merubuhkan musuhnya, namun iapun tak bisa dicelakai! Namun sekarang
Tang Bun Susiok katanya seperti orang linglung, seperti hilang ingatan dan selalu
menyebut-nyebut perihal Liong Kak..."
"Ya, inilah yang
mengherankan," mengangguk Wie Sin Siansu sambil menghela napas.
"Sebetulnya apakah Liong Kak itu ? Teka-teki ini yang harus kita
pecahkan..."
Pendeta-pendeta itu duduk
terpekur mereka tidak tahu harus mulai dari mana dalam penyelidikan, sebab
boleh dibilang tidak ada petunjuk tentang urusan yang harus mereka selidiki
ini.
Malam iiu sepi sekali, telah
larut. Kuil di mana ketujuh hweshio suci Siauw Lim Sie tinggal adalah sebuah
kuil yang sudah tidak terawat, berada di pintu kota sebelah barat, tampak sepi
sekali. Rembulan tergantung di-langit, dengan cahayanya yang kuning
ke-emas-emasan.
Wie Sin Siansu bertujuh dengan
sute-sute nya duduk bersemedhi. Mereka beristirahat menantikan fajar untuk
melanjutkan perjalanan.
Dalam kesunyian malam seperti
itu, mendadak telinga ketujuh pendeta suci Siauw Lim Sie yang sangat tajam
mendengar suara langkah kaki yang ringan diluar kuil. Suara langkah itu
mendekati kearah kuil. Wie Sin Siansu membuka matanya, melirik kepada
saudara-saudara seperguruannya.
Wie Khie, Wie Tay dan yang
lainnya pun sudah membuka mata, menunjukkan merekapun tengah heran mendengar
suara langkah kaki yang ringan diluar kuil. Entah siapa yang tengah mendatangi
? Ke tujuh. pendeta suci itu tetap duduk bersemedhi, hanya mata mereka
memandang kepintu gerbang kuil tersebut, yang sudah rusak dan tidak tertutup.
Suara langkah kaki itu
terdengar semakin dekat, bahkan dipintu gerbang kuil muncul sesosok tubuh
kecil. Ketujuh pendeta itu menghela napas lega, karena yang datang tidak lain
seorang anak lelaki berusia dua belas atau tigabelas tahun, tubuhnya juga tidak
terlalu tinggi. Cahaya bulan menerangi sebagian tempat tersebut, redup sekali,
muka anak itu tidak terlihat jelas.
Anak lelaki itu tidak
melangkah lebih jauh, berdiri di dekat pintu gerbang kuil. "Siauw Lim Cit
sian (tujuh pendeta suci Siauw Lim Sie). ada pesan untuk kalian!"
Tiba-tiba anak itu bicara
dengan suara parau dan suara itu bukanlah suara anak-anak.
Wie Sin Sin Siansu bertujuh
kaget, mengapa anak itu mengetahui mereka tujuh pendeta Siauw Lim Sie. Belum
lagi Wie Sin Siansu bertanya, anak itu sudah berkata lagi: "Dengarkanlah
baik-baik, jika memang kalian tidak mau celaka, kembalilah ke Siauw Lim Sie
untuk baik-baik membaca Liam-kheng !"
Wie Tay Siansu tidak bisa
menahan sabar, tahu-tahu tubuhnya melesat dalam keadaan duduk menyambar ke arah
anak itu. "Bocah, siapa kau ?"
Tangan kiri dikibaskan untuk
mengancam muka anak itu. tangan kanannya disusuli dengan jari-jari tangan terbuka
siap mencengkram, buat mencekik anak itu.
Menurut perhitungan anak itu
pasti mengelakkan mukanya dari sampokan tangan kiri Wie Tay Siansu, dan saat
itu tangan kanan Wie Tay Siansu akan berhasil mencengkram pundak si bocah.
Tapi, justru anak itu bukannya mengelak, malah maju selangkah kedepan. la tidak
gentar menghadapi kibasan lengan kiri Wie Tay Siansu, bahkan menotok dengan
jari telunjuknya ke iga si pendeta.
Kaget Wie Tay Siansu, karena
yang diincar oleh jari telunjuk anak itu adalah jalan darah "Su-ie-hiat"
didekat iga. tiga dim dari Tie-ma-hiat. Kalau jalan darah itu tertotok, Wie Tay
Siansu akan rubuh, walaupun tidak sampai menderita luka parah, cukup
menjatuhkan nama baiknya.
Maka terpaksa Wie Tay Siansu
menarik pulang tangan kirinya. dan membatalkan cengkeraman tangan kanannya.
Disaat itulah dia melihat sinar bulan menerangi muka anak, dia bisa melihat
tegas muka anak itu. Ternyata muka anak itu seraut muka yang sudah tua sekali,
muka seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun ! Jadi, orang didepannya
bukanlah seorang anak kecil, melainkan seorang tua bertubuh cebol pendek.
"Hemm" tertawa
mengejek si cebol sambil mundur selangkah setelah gagal menotok. Sekali lagi
dengarlah baik-baik, jika kalian ingin selamat, kembalilah ke Siauw Lim Sie
untuk baik-baik membaca Liamkheng !"
Sambil berkata begitu, si
cebol memutar tubuhnya, hendak berlalu. Wie Sin Siansu tidak bisa menahan
sabar. "Tunggu !" seru pendeta suci ini, tubuhnya melesat ke pintu
kuil, dia ingin menghadang si cebol. Tapi si cebolpun mempunyai Ginkang yang
tinggi, tubuhnya lincah sekali, dalam sekejap mata dia sudah terpisah belasan
tombak. Rupanya dia hendak melepaskan diri dari pendeta-pendeta Siauw Lim Sie
itu.
Wie kie Siansu dan
pendeta-pendeta Siauw Lim Sie lainnya tidak mau membuang waktu, ikut mengejar.
Si cebol ini merupakan kunci awal dalam penyelidikan mereka. Kalau sempat
terlepas, berarti mereka akan kehilangan jejak penyelidikan yang tengah mereka
lakukan. Pasti si cebol memiliki hubungan erat dengan dicelakainya Tang Bun
Siansu.
Wie Sin Siansu mengempos
semangatnya, dia murid kedua Siauw Lim Sie, maka luar biasa ginkangnya.
Tubuhnya seringan kapas telah melesat dan mendahului si cebol, menghadang
didepan orang itu sambil mengulurkan tangan kanannya untuk memegang tulang
piepe si cebol.
Terancam seperti itu memaksa
si Cebol menahan kakinya. Dia berdiri tegak dengan sikap menantang.
"Siancay, siapakah Siecu
?" tanya Wie Sin Siansu sambil mengawasi. Dilihatnya muka si cebol seraut
wajah seorang yang sudah berusia limapuluh tahun lebih, hanya tubuhnya yang
pendek seperti bocah berumur 12 atau 13 tahun.
Mukanya berpotongan empat
persegi, matanya besar, alisnya tebal hitam, bibirnya kecil agak monyong. Tapi
muka itu agak bengis, matanyapun bersinar tajam sekali.
Si cebol tersenyum dingin
"Aku bermaksud baik memberitahukan kepada kalian agar kembali ke Siauw Lim
Sie. jika memang kalian tidak mau bercelaka. Ayo buka jalan untukku.."
"Omitohud. tunggu dulu
Siecu. jelaskanlah siapa Siecu sebenarnya dan mengapa menyuruh kami kembali ke
Siauw Lim Sie jika tidak mau bercelaka ? kecelakaan apa yang akan kami alami
?" tanya Wie Sin Siansu, yang waktu itu sudah memutuskan walaupun
bagaimana tidak akan melepaskan si cebol, karena dialah yang bisa membuka
rahasia teka-teki yang selama ini menghantui Siauw Lim maupun Bu Tong.
Si cebol dengan berani tertawa
terbahak-bahak. Waktu itu enam pendeta suci Siauw Lim Sie lainnya sudah tiba
dan mengambil posisi mengurung si cebol di tengah-tengah. Berani sekali si
cebol mengawasi satu persatu pendeta-pendeta itu. "Hemmm, kau tentu Wie
Sin. kau Wie Khie, Wie Tay, Wie Lie, Wie Un, Wie Sie dan kau Wie Lung bukan ?
Hmmm, semuanya lengkap, tujuh pendeta sakti Siauw Lim Sie. Tapi, biarpun kalian
berkumpul semua di sini, jangan harap bisa menahan diriku...!"
"Siancai," memuji
Wie Sin Siansu tenang, dia yakin si cebol bagaimana liehaynya pun tidak mungkin
bisa lolos dari tangannya dan enam orang Sutenya. Seandainya si cebot
berkepandaian tinggi luar biasa, tidak mungkin dia bisa melepaskan diri dari
ketujuh pendeta sakti itu.
Menghadapi seorang pendeta
sakti Siauw Lim tingkat ke 2 itu saja sudah sulit, apa lagi sekarang berkumpul
lengkap di situ ketujuh pendeta sakti tingkat ke -2 tersebut. "Marilah
kita bicara baik-baik, Siecu, siapakah she dan nama Siecu ?"
"Aku Uh Ma,"
menyahutt si cebol dingin. "Apakah kalian tidak malu ingin mempergunakan
jumlah banyak untuk menghina yang sedikit ?"
Kaget Wie Sin Siansu bertujuh.
Walaupun mereka jarang turun gunung, tapi mereka sering juga mendengar perkembangan
di dalam dunia persilatan. Mereka pernah mendengar bahwa Uh Ma adalah salah
seorang dedengkot iblis yang paling ganas malang melintang di daerah Barat, dia
disebut See-mo.
Pada waktu itu justru terdapat
empat dedengkot iblis, yang masing-masing menguasai daerah Barat, Timur,
Selatan dan Utara. Keempat dedengkot iblis itu disebut Sec-mo, Tang-mo, Lam-mo
dan Pak-mo, kepandaian mereka masing-masing istimewa dan selama itu malang
melintang merupakan dedengkot paling disegani di kalangan hitam pada daerah
masing-masing.
Sekarang di depan mereka
justru muncul See-mo dedengkot iblis dari Barat. tentu saja ke tujuh pendeta
Siauw Lim itu jadi kaget.
Melihat ketujuh pendeta Siauw
Lim tertegun, Uh Ma tahu-tahu melejit ke samping kanan, ingin melewati samping
Wie Tay Siansu.
Memang Uh Ma memiliki Ginkang
yang aneh, tubuhnya seperti belut ingin menyelusup melewait sisi Wie Tay. Namun
Wi Tay Siansu pun bukannya pendeta Iemah, matanya awas. Melihat Uh Ma ingin
meloloskan diri, tahu-tahu dia menotok dengan jari telunjuknya pada punggung Uh
Ma. memaksa untuk masuk ke dalam kalangan.
Tapi Uh Ma tidak mau mundur,
dia benar-benar luar biasa, ketika ujung jari telunjuk Wie Tay hampir mengenai
punggungnya, di saat si pendeta Siauw Lim yakin telunjuknya bisa menotok tepat
pada sasarannya kalau Uh Ma tidak mau mundur ke dalam kalangan, mendadak saja
tubuh Uh Ma seperti tidak bertulang, lunak dan jadi bisa semakin lebih pendek
cari ukuran tubuh sebenarnya, lemas seperti seekor belut telah merunduk lebih
rendah dan tahu-tahu dia telah berada di belakang Wie Tay Siansu. Namun di saat
itu Uh Ma juga berseru kaget.
Kiranya, biarpun dia bisa
mempergunakan ilmu yang aneh, yaitu ilmu belut untuk meloloskan diri dari
totokan Wie Tay Siansu, tokh dia sendiri tidak urung kena dikepret oleh ujung
jari pendeta Siauw Lim Sie itu. Hal ini disebabkan waktu Wie Tay Siansu
menyaksikan Uh Ma ingin meloloskan diri dengan mengkeretkan tubuhnya, seperti
belut menyelinap disisinya tanpa menarik pulang telunjuknya, Wie Tay Siansu
mengibas. Jari telunjuknya menabas melebihi golok.
Mengenai pundak Uh Ma. Tapi
Wie Tay Siansu kaget, jari telunjuknya panas dan kesemutan, sebab pundak Uh Ma
keras melebihi baja. Uh Ma - sendiri sampai menjerit.
Dalam sedetik itu saja kedua
orang ini sudah mengadu kekuatan. Jika orang lain yang lwekangnya
tanggung-tanggung kena dikepret oleh ujung jari telunjuk Wie Tay Siansu, tentu
sudah semaput ataupun binasa kalau tidak terluka parah.
Kedua orang ini segera tahu
bahwa khikang mereka rupanya berimbang, dan kegesitan tampaknya Uh Ma masih
menang dari Wie Tay Siansu, karena dia memiliki ginkang istimewa, ilmu belut.
Wie Tay Siansu hendak melompat
kepada Uh Ma, tapi Wie Sin Siansu menahannya. "Uh Siecu !" kata Wie
Sin Siansu kemudian dengan suara sabar. "Jelaskanlah, apa maksudmu dengan
perintahkan kami kembali ke Siauw Lim Sie."
Wie Sin Siansu menempuh jalan
mengalah seperti itu sebab ia tahu Uh Ma bukan orang sembarangan, dibelakang Uh
Ma tentu masih terdapat orang-orang yang belum mereka ketahui. Jika terjadi pertempuran,
jelas pendeta-pendeta Sianw Lim Sie inipun sulit menggunakan pat-kwa-tin maju
serentak bertujuh mengepung Uh Ma. masih kekurangan seorang lagi, untuk mengisi
salah satu pintu Jaga, hal itu akan membawa akibat tidak baik untuk Siauw Lim
Sie, mereka akan ditertawakan oleh orang-orang rimba persilatan, yang dianggap
pandai main keroyok.
Uh Ma tertawa, dia berlari
sambil teriaknya: "Terserah kalian mau menuruti nasehatku atau tidak, aku
hanya memperingati saja. Sampai bertemu lagi, aku tidak bisa menemani kalian,
pendeta-pendeta suci yang terhormat..." suaranya semakin lama jadi semakin
samar karena ia semakin jauh.
Wie Khie Siansu dan yang
lainnya hendak mengejar, tapi Wie Sin Siansu menahannya. "Jangan,
Sute." kata Wie Sin. "Biarkan dia pergi !"
"Tapi Suheng. dari
mulutnya kita bisa korek keterangan," kata Wie Khie Siansu.
Wie Sin Siansu menghela napas
sambil menggelengkan kepalanya.
"Nanti kita bisa bertemu
lagi dengannya!" kata Wie Sin Siansu, mereka kembali masuk kedalam kuil.
Setelah duduk Wie Sin Siansu bilang: "Uh Ma pasti akan muncul lagi...
bukankah dia mengancam kita agar kembali ke Siauw Lim Sie ? Nah, kalau kita
tidak menuruti kata-katanya, dia akan muncul lagi. Tentu saja dengan berbagai
cara, karenanya kita harus waspada."
Wie Khie Siansu dan yang
lainnya mengangguk. Mereka bisa diberi pengertian dan tidak memaksa untuk
mengejar Uh Ma, See-mo, yang telah muncul dan pergi dengan cara yang luar biasa
seperti itu.
Sebagai pendeta-pendeta suci
yang sudah memiliki latihan lwekang tinggi, Wie Sin Siansu bertujuh tidak
tidur, mereka cukup bersemedhi untuk mengatur jalan pernapasan, dan memulihkan
kesegaran tubuh. Waktu bersemedhi, pikiran Wie Sin Siansu tidak bisa tetap, ia
berpikir terus.
Dia yakin, jika Uh Ma tidak
mungkin mampu mencelakai Tang Bun Siansu, Lalu siapa ? Mengapa melakukan
tindakan itu, membuat Tang Bun siansu hilang ingatan? Cara apa yang
dipergunakan, sehingga Tang Bun Siansu yang demikian tinggi kepandaiannya, jadi
tidak berdaya?
Semakin bulat tekad Wie Sin
Siansu untuk menyelidiki sebetulnya ada apa dibalik teka-teki yang selama ini
menyelubungi pihak Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay, Hampir saja Bu Tong Pay
bentrok dengan Siauw Lim Sie, kalau saja Soan Lo Cinjin tidak berkunjung ke
Siauw Lim Sie untuk memberikan penjelasan dan mereka menanamkan saling
pengertian serta saling kepercayaan satu pihak dengan pihak lainnya.
Malam itu lewat tanpa terjadi
sesuatu lagi. Wie Sin Siansu bertujuh melanjutkan perjalanan mereka. Lima hari
tidak terjadi sesuatu. Uh Ma tidak pernah muncul lagi. Walaupun demikian, Wie
Sin Siansu bertujuh tetap waspada.
Sore itu mereka tiba di
Hoshia, sebuah kota tidak begitu besar. Disinilah ketujuh pendeta Siauw Lim Sie
menghadapi peristiwa yang benar-benar aneh.
Ketujuh pendeta Siauw Lim Sie
tengah mencari kuil untuk numpang bermalam, ketika mereka berada dijalan raya
seseorang menghampiri mereka.
"Taysu, apakah kalian
dari Siauw Lim Sie?" tanya orang itu.
Wie Sin Siansu mengawasi orang
itu, seorang laki-laki berpakaian compang-camping, penuh tambalan-tambalan,
membawa pundi arak dipunggungnya usianya mungkin 40 tahun memakai kopiah bulu,
potongan mukanya tirus memanjang, matanya bersinar tajam.
"Benar," menyahuti
Wie Sin Siansu, diliputi tanda tanya, karena melihat cara berpakaian orang itu,
jelas orang ini bukan pengemis biasa, pasti dia salah seorang dari Kaypang,
perkumpulan pengemis. "Darimana Si ecu mengetahui kami dari Siauw Lim Sie
?"
Pengemis yang bajunya penuh
dengan tambalan-tambalan itu, tersenyum, "Melihat dari cara berpakaian Taysu
saja sudah menjelaskan bahwa kalian adalah orang-orang Siauw Lim. Oya, aku
ingin menyampaikan pesan. Jika memang Taysu bertujuh tidak keberatan, pulanglah
ke Siauw Lim Sie, demi keselamatan Jil-wie Taysu..."
Muka Wie Sin Siansu berobah,
inilah untuk kedua kalinya mereka bertujuh diancam agar pulang. Jika yang
sebelumnya adalah dedengkot iblis See-mo, sekali ini adalah seorang pengemis
Kaypang. Juga, melihat matanya yang bersinar tajam, dia bukanlah pengemis
Kaypang sembarangan.
"Mengapa kami harus pulang
ke Siauw Lim ?" tanya Wie Sin Siansu menahan sabar.
Pengemis itu menyeringai.
"Udara sekarang kotor,
dunia penuh kuman. alangkah baiknya kalau pendeta-pendeta suci seperti Cu wie
Taysu pulang ke Siauw Lim Si, tenang-tenang membaca Liam kheng !"
Wie Khie Siansu tidak sabar
lagi, belum lagi Wie Sin Siansu menyahuti, dia sudah melangkah maju,
menghampiri pengemis itu. "Siapa kau sebenarnya ? siapa yang menyuruh kau
menemui kami ?" Tangan Wie Khie Siansu terjulur dengan disertai khikang
yang kuat, dia bermaksud mencengkeram Iengan si pengemis.
Tapi pengemis itu tertawa
sambil menggaruk-garuk pundaknya, yang dimiringkan. Dengan gerak seperti tidak
sengaja itu, dia sudah meloloskan cengkeraman tangan Wie Khie Siansu, kemudian
melangkah mundur ke belakang dua tindak.
"Aku hanya menyampaikan
pesan saja, harap Citwie Taysu tidak galak-galak terhadapku !" Dia
bermaksud ingin memutar tubuh untuk pergi.
Wie Khie Siansu yang gagal
dengan cengkeramannya, sudah menyerang lagi. Sekali ini dia melakukannya dengan
ketat sekali, karena dia tidak mau membiarkan si pengemis berlalu. Cuma saja,
pengemis itu benar-benar luar biasa, biarpun tenaga dalamnya tidak setinggi Wie
Khie Siansu, terlihat dari sikapnya yang tidak berani mengadu kekuatan, tapi
tubuhnya seperti kera saja cepatnya bisa menghindarkan dua kali serangan Wie
Khie Siansu dan berlari pesat seperti terbang.
Wie Khie Siansu masih
penasaran, ingin mengejar. Hanya Wie Sin Siansu menahannya. Di tempat itu cukup
ramai orang yang berlalu lalang, jika terjadi pertempuran hal itupun tidak
membawa keuntungan untuk pendeta-pendcta Siauw Lim Sie ini. Wie Khie Siansu
masih mendongkoi. dia penasaran sekali.
"Kita harus mengompas
keterangan dari pengemis itu. Suheng, kalau tidak, selamanya kita seperti
menghadapi musuh dalam kabut . . . mereka bisa mengetahui perihal kita,
sedangkan kita gelap tentang mereka !" kata Wie Khie Siansu.
Wie Sin Siansu tidak bilang
apa-apa, tapi dia tidak menyetujui pernyataan Wie Khie Siansu. Mereka
melanjutkan perjalanan dan akhirnya menumpang di kuil E Am Sie, di dekat pintu
kota sebelah selatan.
Pengurus kuil itu
pendeta-pendeta baik hati, mereka tidak keberatan memberi sebuah ruangan kepada
tujuh hweshio itu untuk beristirahat.
Malam itu sepi sekali dan
keadaan di kuil Bie Am Sie hening. Wie An Siansu yakin malam ini pasti datang
pengganggu lagi." Dan dugaannya tidak meleset, ketujuh pendeta itu tengah
berjaga-jaga waspada, waktu sesosok tubuh berkelebat didepan jendela kamar,
dalam bentuk bayangan hitam di kertas jendela.
Sebagai seorang yang sudah
memiliki khikang tinggi, Wie Tay Siansu tidak melompat mengejar, hanya menuding
dengan jari telunjuknya, dan ujung jari telunjuknya meluncur keluar tenaga
khikang kuat dan tajam, kearah sosok bayangan diluar jendela.
"Ihhh," terdengar sosok
tubuh itu berseru kaget, tapi sejenak kemudian diganti olen tertawanya.
"Memang tidak percuma nama besar Siauw Lim Sie, karena murid-muridnya
memiliki kepandaian yang mengagumkan !"
Wie Tay Siansu bertujuh dengan
Wie Sin Siansu dan lain-lainnya telah melompati jendela mengejar sosok bayangan
itu. Rupanya orang itu tidak berusaha melarikan diri, dia malah tengah berdiri
tegak menantikan ke tujuh pendeta Siauw Lim, dia berdiri dengan tubuh tinggi
berdiri dibawah sorot sinar rembulan..
Hati ke tujuh pendeta Siauw
Lim tercekat, mereka tertegun sejenak, karena dilihatnya orang di depan mereka
mengenakan jubah sebagai Hwesio ! Dan yang lebih mengejutkan ketujuh hweshio
Siauw Lim Sie ini, hweshio yang seorang itu tidak lain dari ketua kuil yang
sore tadi menyambut kedatangan mereka, yang tampak manis budi dan ramah.
"Kau ?" Wie Sin
Siansu keheranan dan tidak bisa menahan diri. "Mengapa... kau bersikap
seperti maling?"
"Sabar Citwie Suheng,
dengar dulu keterangan Siauwceng. sebetulnya semua ini demi kebaikan Citwie
Suheng... kalau saja Citwie Suheng mau mendengarkan baik-baik nasehat
Siauwceng."
"Nasehat apa?" tanya
Wie Khie Siansu tidak sabar.
"Sebetulnya, Siauwceng
ingin menyampaikan pesan agar Citwie Suheng cepat-cepat kembali ke Siauw Lim
Sie dan baik-baik membaca Liamkeng di sana, kalau tidak, tentu perjalanan ini
bisa membawa bahaya tidak kecil buat Citwie Suheng ..." Perlahan dan sabar
hweshio itu bicara, tetapi kata-katanya mengandung ancaman terselubung.
Wie Sin Siansu bertujuh
tertegun, inilah untuk ketiga kalinya mereka diperingati agar pulang ke Siauw
Lim Sie jika tidak mau bercelaka ! Yang pertama oleh dedengkot iblis See-mo,
kemudian pengemis Kaypang dan sekarang pendeta ! Benar-benar aneh luar biasa,
Wie Sin Siansu bertujuh sampai saling pandang satu dengan yang lainnya.
"Siancai !" kata Wie
Sin Siansu sambil menenangkan goncangan perasaannya. Suaranya sabar. "Kami
tengah menjalani perintah Hongthio untuk menyelidiki suatu persoalan, kau
adalah yang ketiga kali menasehati agar kami pulang ke Siauw Lim Sie. Maukah
kau memberitahukan siapa yang meminta kau menyampaikan hal itu kepada
kami?"
"Memang ada yang
perintahkan Siauw-ceng menyampaikan hal itu. tapi tentu saja Siauw ceng tidak
mungkin menyebutkan namanya pada Cit-wie suheng. Jika ingin hidup tentram,
kembalilah ke Siauw Lim Sie, dunia kini sudah kotor berdebu, penuh dengan
kuman-kuman penyakit, apa manfaatnya Cit wie Suheng mengembara mencampuri
kekotoran dunia ?"
"Omitohud ! Omitohud !
Bolehkah kami mengetahui gelaran sucimu ?" tanya Wie Sin Siansu sambil
mengawasi tajam hweshio di depannya. "Dan, dari kuil manakah pintu
perguruanmu ?"
"Sebetulnya tidak terlalu
perlu benar Citwie Suheng mengetahui namaku. Tetapi biarlah, tidak salah juga
kalau kuberitahukan. Aku she Kwang bernama Cu Pu..."
"Apa ?" Wie Sin
Siansu bertujuh berseru heran campur kaget...Kau.... kau Kwang Cu Pu..? Yang
biasanya dipanggil sebagai "Tong-mo (iblis dari Timur) ?"
Hweshio itu tersenyum.
"Walaupun Siauw-ceng mengenakan jubah kependetaan, tapi Siauwceng tidak
tahan untuk mengikuti cara hidup Hudya, dimana tidak boleh makan makanan
berjiwa. Entah berapa kali Siauw cengli-dosa melanggar larangan itu. sebab
makanan daging kura-kura dan lidah ayam merupakan makanan kegemaran Siauwceng.
Sehingga banyak orang yang kemudian memanggilku bukan sipendeta, melainkan
siiblis. Karena Siauwceng berasal dari Timur, mereka memberikan gelaran Tong-mo
kepada Siauwceng..."
Tenang sekali sikap Kwang Cu
Pu waktu berkata-kata begitu, seakan-akan tidak ada sesuatu yang luar biasa dalam
keterangannya itu.
"Jadi kau bukan kepala
kuil ini?" Tanya Wie Sin Siansu.
"KaIau memang ingin jadi
kepala kuil, entah sudah berapa ratus kuil yang bisa kuambil alih pimpinannya,
tapi Siauwceng tidak memiliki keinginan mempersibuk diri sebagai pemimpin
sebuah kuil, Hanya sore tadi Siauwceng kebetulan lewat disini dan beritahukan
kepada kepala kuil ini, bahwa untuk beberapa hari kuilnya Siauwceng ambil alih.
Dia keberatan, maka agar tidak menimbulkan kesulitan Siauwceng telah kirim dia
ke Giam Lo Ong !"
Kata-kata tenang dan sabar,
apa yang dikatakannya seakan urusan biasa saja. Yang dimaksudkan dia telah
mengirim kepala kuil Bie Am Sie ke Giam Lo Ong yaitu telah dibinasakannya,
dikirim ke Raja Akherad.
Muka Wie Sin Siansu bertujuh
berobah. Mereka tidak heran melihat kekejaman Tong-mo, karena bukankah dia
sudah digelari sebagai iblis dari Timur? Sepak terjangnya pasti tidak terpuji,
walaupun dia mengenakan jubah kependetaan.
"Jelaskanlah, apa
maksudmu dan teman-temanmu yang mengancam kami agar kembali ke Siauw Lim
Sie!" kata Wie Sin Siansu serius, sedangkan Wie Tay Siansu berenam
bersiap-siap akan membekuk Tong-mo, agar dia tidak sempat melarikan diri untuk
korek keterangan dari iblis Timur itu.
Tong-mo tersenyum. Tenang
sekali sikapnya. "Sebetulnya apa yang kami lakukan ini demi keselamatan
Citwie. agar kalian tidak mengalami bahaya yang tidak nienyonangkan. Bukankah
See-mo pernah menemui Cit wie Suheng? Demikian juga Pak- mo ?"
"Kami sudah bertemu
dangan See-mo, tapi dia pergi tanpa memberikan penjelasan kepada kami !"
menyahuti Wie Sin Siansu berusaha menyabarkan diri. "Sedangkan tentang
Pak-mo, kami belum pernah bertemu."
Tong-mo tertawa keras.
"Siauwceng kira kalian sudah bertemu. Pak-mo selalu mengenakan pakaian
penuh tambalan seperti murid Kaypang. Dia juga membawa sebuah cupu arak warna
merah tua..."
"Ooooo, pengemis
itu?" tanya Wie Sin Siansu. "Ya, ya. kami memang pernah bertemu
!" Sedangkan di dalam hatinya Wie Sin Siansu tercekat. Dia heran bukan
main, mengapa dedengkot-dedengkot iblis ini bisa berkumpul didalam sebuah kota
? Mengapa Tong-mo, See-mo dan Pak mo bisa berada dikota ini dalam waktu
bersamaan? Lalu, apakah diwaktu mendatang Lam-mo pun akan muncul, iblis dari
Selatan itu?
Keempat dedengkot iblis itu
biasanya saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Mereka seperti
berlomba-lomba untuk menjagoi sebagai satu-satunya jago yang tiada tanding.
Bahkan akhirnya karena keempat dedengkot ibhs itu hampir berimbang tidak ada
yang di bawah dan tidak ada yang lebih atas, maka mereka hanya menguasai daerah
masing-masing. Timur, Barat, Selatan dan Utara ltulah sebabnya mereka disebut
sebagai Tong-mo, See-mo, Lam-mo dan Pak mo.
Sejauh itu, dalam rimba
persilatan keempatnya merupakan dedengkot iblis yang paling ditakuti oleh
orang-orang aliran hitam maupun putih. Sekarang mengapa tiga dari empat iblis
itu bisa muncul berbareng di sebuah kota, bahkan seperti bekerja sama mengancam
ketujuh pendeta Siauw Lim Sie itu.
Jika Lam-mo muncul, berarti
keempat iblis itu bekerja sama. Apakah mereka berempat yang selama ini
menimbulkan kerusuhan, karena mengadu domba Bu Tong dengan Siauw Lim ? Tapi,
melihat kepandaian mereka, walaupun mereka merupakan dedengkot-dedengkot iblis
diempat wilayah, tokh kepandaian mereka belum lagi bisa menyamai ketua-ketua Siauw
Lim maupun Bu Tong.
Karenanya dugaan seperti itu
tidak mungkin tepat. Wie Sin Siansu sendiri jadi heran dan bingung. Lalu siapa
orang yang berdiri di belakang keempat iblis ini? Melihat keempat iblis yang
bisa dikuasai, jelas kepandaian orang itu jauh diatas mereka, merupakan datuk
iblis yang tidak terlawan.
Keempat iblis, Tong-mo,
See-mo, Lam-mo dan Pak-mo bukankah termasuk manusia-manusia yang gampang tunduk
kepada orang lain, tapi sekarang mereka tampaknya bekerja untuk orang lain.
Siapa orang dibelakang mereka ?
Tong-mo tertawa
"Karenanya Citwie Suheng. Kembalilah kalian ke Siauw Lim Sie, akan sia-sia
saja Citwie Suheng mempertaruhkan keselamatan jiwa Citwie . . . ini untuk
kebaikan Cit wie !"
Wie Sin Siansu adalah pendeta
saleh yang sanggup menahan emosi. Walaupun ia heran, bingung dan penasaran,
namun dia bisa membendung perasaannya.
"Baiklah Kwang Sicu,
kalau kau bisa memberitahukan kepada kami apa sebenarnya keinginan kalian, jika
memang beralasan, maka kami akan pulang. Juga, beritahukanlah kepada kami,
kalian bekerja untuk siapa?"
Tong-mo tidak menantikan Wie
Sin Siansu menyelesaikan perkataannya sudah menggoyang-goyangkan tangannya.
"Hal ini tidak mungkin! Tidak mungkin! Karena kalau sepatah kata saja
kuberitahukan kepada kalian siapa majikan kami, berarti jiwa kami tidak
memperoleh pengampunan lagi!"
Waktu bicara begitu,
dimukannya tampak rasa takut. Tentu saja inipun membuat Wie Sin Siansu bertujuh
kembali keheranan. Sebagai dedengkot iblis didaerah Timur, jelas Tong-mo
merupakan satu-satunya iblis di Timur yang paling berkuasa dan tidak pernah
takut terhadap jin atau setan. Malah dengan tubuh terpotong seribu potongpun
dia tidak jeri. Tapi sekarang mengapa untuk memberitahukan nama orang kepada
siapa dia bekerja, tampaknya dia demikian ketakutan? Begitu hebatkah orang
tersebut?
"Kami hanya bermaksud
baik," kata Tong-mo waktu ketujuh pendeta itu tengah tertegun berdiam
diri. "Jika memang Citwie Suheng mau mendengarkan nasehatku, tentu Citwie
Suheng akan selamat tidak kurang suatu apapun juga. Pulanglah ke Siauw Lim
Sie,"
"Kalau kami menolak
nasehatmu ?" tanya Wie Sin Siansu tidak sabar, kemendongkolannya sudah
meluap sampai kelehernya.
Tong-mo tertawa, sikapnya
tenang sekali, seakan tidak memandang sebelah mata kepada ke tujuh hweshio Siauw
Lim Sie itu.
"Murid-murid Siauw Lim
Sie hebat-hebat. terlebih lagi tetua-tetuanya seperti kalian, ilmu Citwie
Suheng memang lihay. Tapi apakah Cit wie Suheng memiliki ilmu melampaui Tang
Bun Siansu ? kukira itu saja merupakan contoh bagi kalian, agar dapat berpikir
dua kali..."
Wie Khie Siansu dan Wie Tay
Siansu tidak bisa menahan diri lagi, dengan disertai Wie Lung Siansu, ketiga
pendeta itu melompat ke dekat Tong-mo. Tiga tangan pendeta meluncur menghantam
Tong-mo. "Kalau begitu Susiok kami dianiaya oleh kau dan teman-temanmu
!" teriak pendeta-peudeta itu hampir berbareng.
Tong-mo tidak berkisar dan
tempatnya. Tenang dia mengangkat tangan kanannya, di tekuk ke depan, dia
menangkis pukulan Wie Khie Siansu dengan kekerasan, sedangkan pukulan Wie Tay
Siansu dihindarkan dengan memiringkan kepalanya, pukulan Wie Lung Siansu di
terima oleh kaki kanannya yang terangkat ke atas.
Bess, besss," pukulan Wie
Kie Siansu maupun Wie Lung Siansu. yang mengenai tangan dan kaki Tong-mo.
seperti mengenai tumpukan kapas, tidak memberikan hasil apa-apa. Kedua pendeta
itu kaget, mereka menarik pulang tenaga pukulan, tapi terlambat. Waktu segera
muncul tenaga menolak dari tangan dan kaki Tong-mo. Cepat-cepat Wie Khie Siansu
mengempos semangatnya, mengerahkan enam bagian tenaga dalamnya. Tubuh ketiga
orang itu tergetar, kemudian di susul oleh Tong-mo yang melompat dua tombak
lebih, memutar tubuhnya untuk angkat kaki.
Rupanya, Tong-mo tadi menguji
kekuatan tenaga kedua hwesio itu, dan dia kaget. Nama besar Siauw Lim Sie memang
tidak kosong. Jika orang biasa yang menerima tenaga tolakan Tong-mo, tentu
tulang-tulang sekujur tubuhnya akan hancur berantakan.
Tetapi kedua pendeta itu cuma
tergetar saja tubuhnya. Tong-mo pun tidak luput dari getaran yang keras, sampai
tangannya nyeri kesemutan, itulah sebabnya dia melompat mundur bermaksud angkat
kaki.
"Mau kemana kau ?"
Wie Khie Siansu melompat hendak mengejar.
Tong-mo melontarkan sesuatu,
meledak di tanah dan segumpalan asap menyebar di sekitar tempat itu. Wie Khie
Siaiansu menahan langkah kakinya, kuatir kalau asap itu beracun. Dari balik
gumpalan asap itu terdengar suara Tong-mo: "janganlah berkepala batu,
turutilah nasehat baik Siauwceng, pulanglah ke Siauw Lim Sie..." Suaranya
semakin samar, ketika asap itu menipis, sudah tidak kelihatan bayangan Tong-mo.
Wie Sin siansu menghela napas.
"Sute, tampaknya kita
menghadapi urusan yang tidak enteng," katanya sambil mengenakan alis,
mukanya muram. "Melihat demikian, kemungkinan akan muncul urusan-urusan
yang lebih mengkuatirkan, karena di belakang keempat dedengkot iblis itu pasti
terdapat orang yang jauh lebih liehay! Yang mengherankan, mengapa keempat
dedengkot iblis itu bisa diperalat oleh orang itu? Hanya tinggal Lam-mo yang
belum muncul..."
"Lam-mo akan segera
memperlihatkan diri pada kalian," tiba-tiba terdengar suara seseorang
memotong perkataan Wie Sin Siansu membuai ketujuh pendeta itu menoleh ke arah
datangnya suara tersebut, tampak seorang gadis berusia antara 18 - 20 tahun,
tengah duduk di dahan pohon sambil ter senyum-senyum.
Rambutnya dikuncir dua,
mukanya berpotongan seperti buah tho, memerah cantik sekali. Bajunya singset,
sebagaimana baju yang biasa dikenakan wanita-wanita pengembara, hanya ditambah
oleh jaket kulit berbulu tebal. Tenang sekali sikapnya.
"Siapa nona ?" tanya
Wie Sin Siansu setelah berkurang rasa herannya. "Maukah nona memberikan
penjelasan kepada kami?"
Gadis itu tertawa hihihi merdu
sekali. kemudian melompat turun.
"Kalian pendeta-pendeta
Siauw Lim Sie biasanya tidak pernah usil terhadap urusan orang lain, tapi
sekarang mengapa justru ingin melibatkan diri persoalan Kangouw?" merdu
suara si gadis, ia pun bicara wajar, tidak takut-takut, sangat tenang sikapnya.
Wie Sin Siansu tersenyum.
"Nona, memang sebetulnya
kami tidak mau mencampuri urusan di luar kuil kami, tapi ini merupakan keadaan
yang memaksa kami untuk mencampurinya! Kami terdesak sekali, di mana ada
orang-orang tidak bertanggung jawab ingin merusak nama baik Siauw Lim dengan Bu
Tong !"
"Oya ?" si gadis
membuka matanya lebar-lebar. "Benarkah itu?"
Wie Sin Siansu mengangguk.
"Loceng tidak akan bicara dari hal yang tidak benar." sahutnya.
"Siapakah nama nona?"
Si gadis tertawa lagi,
sikapnya lincah seperti tadi. "Aku ? Taysu boleh memanggilku dengan Siauw
Hoa !"
"Siaaw Hoa ?" tanya
Wie Sin Siansu. "Kalau Loceng boleh tahu siapakah guru nona?"
Siauw Hoa (Si Bunga Kccil)
tertawa lagi suaranya tetap merdu. "Guruku tidak pernah mau disebut-sebut
namanya, beliau pun tidak termasuk orang yang gemar menyombongkan diri,
karenanya jarang sekali mau memperkenalkan diri kepaca orang-orang lain. Sebab
itu, akupun tidak mau begitu saja beritahukan nama guruku. Nanti bisa kau
tanyakan langsung padanya...!" Siauw Hoa tertawa lagi, polos sekali
sikapnya.
Menghadapi kelakuan si gadis
yang lincah dan tidak pernah mau memberikan keterangan yang dikehendaki, Wie
Sin Siansu habis sabar. "Apakah nona mempunyai hubungan dengan See-mo,
Tong-mo dan Pak-mo ?" tanyanya. "Apakah nonapun bekerja sama dengan
mereka ?"
"See-mo ? Tong-mo ?
Pak-mo ? iblis dari Timur, Barat dan Utara ?" tanya si gadis. "Aku
tidak kenal dengan mereka. Siapa mereka ? Mengapa bergelar seram-seram seperti
itu ?"
"Benarkah nona tidak
kenal dengan mereka ?" menegasi Wie Sin Siansu.
"Apakah kau anggap aku
berdusta ?" balik tanya si gadis sambil buka matanya lebar-lebar mengawasi
si pendeta.
Wie Sin Siansu merangkapkan
kedua tangannya. "Siancay, Siancay, mana berani Lo-ceng mempunyai dugaan
buruk pada nona. Tetapi bisa nona memberikan keterangan kepada Loceng, apa
maksud kedatangan nona menemui kami ?"
"Aku tidak mencari kalian
dan tidak bermaksud menemui kalian !" menyahuti si gadis sambil tertawa
geli. "Bukankah kalian yang datang kemari di saat aku tengah main-main dan
duduk senang-senang di atas dahan pohon? Ah. Taysu ternyata seorang pendeta
yang suka berbohong juga ! Sudan jelas Taysu sekalian yang datang kemari, tapi
diputar balik aku yang seakan-akan datang mencari kalian !"
Pipi Wie Sin Siansu berobah
merah, dia kaget juga dibaliki seperti itu oleh si gadis. Tetapi dia tidak
marah, dia malah merasa geli. Apa yang dikatakan si gadis memang tidak salah,
mereka justru yang datang ke situ sedangkan si gadis memang sudah berada di
atas dahan pohon.
"Ya, ya, nona yang
benar," kata Wie Sin Siansu segera. "Apa yang sedang nona lakukan di
sini ?"
"0oh, kembali Taysu jadi
pendeta yang paling usil di dunia ! Aku mau melakukan apa di tempat ini apa
urusannya dengan Taysu? Apakah setiap perbuatanku harus dilaporkan kepada Taysu
?"
Benar-benar nakal gadis manis
ini, ia pun pandai sekali bicara. Wie Sin Siansu menyukai gadis ini, yang
tampaknya sangat cerdik dan tidak marah oleh kata-katanya yang nakal itu.
Sambil tersenyum dia bilang; "Sudahlah nona, jangan mempermainkan kami.
Kami sedang mencari seseorang, dia mempunyai arti yang sangat penting untuk
ketenangan dalam Kangouw. Maukah nona memberitahukan sesuatu yang nona ketahui
?"
Siauw Hoa tertawa "Tentu,
justru aku ingin memberitahukan sesuatu kepada Taysu"
"Ooooh, kami berterima
kasih sekali kepada nona, jika nona mau memberitahukan kepada kami siapa
keterangan..." kata Wie Sin Siansu sambil menjura rangkapkan tangannya
memberi hormat kepada si gadis.
Siauw Hoa cepat lompat
menghindar ke samping.
"Tidak berani aku
menerima hormat Taysu. Cukup Taysu sekalian mendengarkan baik-baik." kata
si gadis. "Aku kemarin menerima pesan dari seseorang, agar menyampaikan
pesan itu kepada tujuh orang pendeta Siauw Lim Sie. Tentu yang dimaksud Taysu
bertujuh, karena Taysu berjumlah tujuh, juga merupakan pendeta-pendeta Siauw
Lim Sie..."
"Ya, katakanlah nona, apa
pesan untuk kami itu?" tanya Wie Sin Siansu tidak sabar.
"Orang itu berpesan, agar
Taysu bertujuh kembali saja ke Siauw Lim Sie..."
Belum lagi Siauw Hoa
menyelesaikan perkataannya, Wie Tay Siansu tidak sabar dengan mendongkoI sudah
memotong: "Untuk baik-baik membaca Liamkeng, karena jika meneruskan
perjalanan kami, akan ada bahaya ! Bukankah begitu pesanannya?"
Si gadis tertawa. Matanya di
buka lebar-lebar. "Ooh. Taysu itu rupanya pandai meramal! Mengapa Taysu
mengetahui bunyi pesan itu"
"Jadi benar pesan itu
berbunyi seperti itu?" tanya Wie Sin Siansu menegas.
"Sembilan bagian memang
benar, tapi ada satu bagian yang salah!" menyahuti si gadis.
"Apa yang satu bagian
itu?" tanya Wie Tay Siansu tidak sabar.
Wie Sin Siansu memberi isyarat
kepada Wie Tay Siansu agar dapat menguasai diri, dia kemudian memandang
sigadis. "Coba nona beritahukan kepada kami, apa yang satu bagian dari
pesan itu yang belum kami ketahui ?"
Sigadis manis tertawa lagi
sambil menunjuk Wie Tay Siansu.
"Taysu yang satu itu
galak benar, matanya merah dan bengis, aku jadi takut..." katanya, dan
mukanya memperlihatkan mimik seperti ketakutan, sehingga lagaknya jadi lucu
sekaii.
Mendongkol Wie Tay Siansu,
tapi Wie Sin Siansu telah memberi isyarat padanya agar bisa menguasai diri,
mata dia berdiam diri, cuma mengawasi si gadis dengan mata yang tajam.
Wie Sin Siansu tersenyum.
"Siancay. Siancay, nona tidak perlu kuatir, kami pendeta-pendeta baik yang
tidak akan melakukan sesuatu perbuatan tercela ! Silahkan nona memberitahukan
bunyi pesan itu selengkapnya ! Maafkan sute Loceng tadi telah memotong cerita
nona!"
"kalian pendeta-pendeta
yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela ? Ooooo, Taysu. aku ingin tanya,
kalau seorang pendeta mengawasi mendelik kepada seorang gadis yang ketakutan,
apakah ini perbuatan baik dan terpuji ?"
Merah muka Wie Tay Siansu,
tapi kemendongkolannya semakin menjadi. Dia mendelu, mendongkol tanpa bisa
melampiaskan kemendongkolannya dan cuma melengos ke arah lain.
Wie Sin Siansu tertawa,
"Nona jangan keliru, tadi sute Loceng hanya terkejut. ia tidak bermaksud
mendeliki nona, kebetulan memang matanya agak besar..." kata pendeta tua
tersebut. "Silahkan nona memberitahukan pesan nona yang satu bagian
itu..."
"Bukan pesanku, tapi
pesan orang lain yang dititipkan padaku!" menyahuti Siauw Hoa, tetap masih
ingin menggoda.
Wie Sin Siansu hanya
mengangguk saja dan merangkapkan kedua tangannya, sikapnya bersungguh-sungguh,
pendeta alim ini tampak angker, matanya yang jernih bersinar berwibawa,
sehingga Siauw Hoa melihat itu terkejut dan menunduk, dia tidak berani
main-main lagi.
Baiklah, memang pesan itu
bunyinya seperti yang diberitahukan oleh Taysu itu. Tetapi masih ketinggalan
satu bagian. Bunyi pesan itu selengkapnya adalah: "Taysu bertujuh kembali
saja ke Siauw Lim Sie untuk baik-baik membaca Liamkeng. karena percuma saja
melakukan perjalanan dalam kalangan Kangouw, hanya akan menambah rumitnya
urusan dan banyaknya korban-korban yang berjatuhan, jadi perjalanan Taysu
bertujuh hanya membahayakan diri Taysu bertujuh ! Nah, itulah bunyi pesan orang
itu selengkapnya !"
Alis Wie Sin Siansu mengkerut,
sedangkan muka Wie Tay Siansu, Wie Kie Siansu Wi Kan Siansu dan yang lainnya
jadi berobah, sebentar merah sebentar pucat. Kalau tadi Wie Sin Siansu belum memberi
isyarat agar mereka berdiam diri saja dan membiarkan Wie Sin Siansu sendiri
yang menghadapi si gadis, tentu Wie Tay tidak sabar lagi akan menubruk si
gadis, membekuknya dan mengorek keterangan secara paksa dari gadis itu.
Karenanya, keenam Hwesio Siauw
Lim itu hanya mengawasi saja dengan berbagai macam perasaan berkecamuk di hati
masing-masing.
"Siancay ! Sicncay !
Bolehkah kami mengetahui siapa orang yang meninggalkan pesan itu pada nona
?" tanya Wie Sin Siansu tetap sabar.
Si gadis mengangkat pundaknya
sambil tertawa. "Aku tidak kenal dengan orang itu, nanti Taysu boleh
selidiki siapa orang itu sebenarnya."
Setelah berkata begitu si
gadis memutar tubuhnya "Aku mau pergi..."
"Tunggu dulu, nona
!" cegah Wie Sin Siansu.
"Suheng. dia mungkin kaki
tangannya manusia-manusia iblis itu !" kata Wie Tay Siansu tidak sabar.
Wie Sin Siansu cama
menggelengkan kepala memberi isyarat agar Wie Tay Siansu tidak ikut bicara
dulu, dia menghampiri si gadis. "Nona... benarkah nona tidak mengetahui
siapa orang yang menitipkan pesan pada nona ?"
"Ya, aku tidak tahu
!" menyahuti si gadis, "Kau jangan mengawasi aku seperti harimau mau
menerkam mangsanya."
Digoda seperti itu oleh si
gadis Wie Sin Siansu sekali ini tidak tersenyum. "bagaimana rupa muka dan
tubuh orang itu ?"
"Muka orang itu? Oooo,
mukanya jelek sekali, hidungnya besar, mulutnya lebar, matanya meletos keluar .
. . tubuhnya jangkung tinggi seperti raksasa!"
"Nona jangan
main-main" kata Wie Sin Siansu yang tahu si gadis berbohong dan hanya
ingin mempermainkan. "Beritahukanlah yang sebenarnya." sambiI berkata
begitu tangan Wie Sin Siansu diulurkan untuk memegang tangan si gadis. Tapi
Siauw Hoa cepat sekali mundur setindak, namun dia kaget waktu tangan Wie Sin
Siansu tetap meluncur akan mencengkram tangannya.
Dengan gerakan "Lee Hie
Ta Teng " atau "Ikan Gabus Meletik" tubuh Siauw Hoa melompat
mundur jumpalitan, tapi kembali si gadis kaget, tahu-tahu tangan Wie Sin Siansu
sudah mencekal pergelangan tangannya.
Diam-diam Siauw Hoa kagum. Dia
gesit dan lincah, tapi si pendeta tampaknya seperti tidak bergerak dari
tempatnya ternyata berhasil mencekal lengannya. Dia berseru nyaring:
"Pendeta-pendeta jahat ! Kau mengapa mempersakiti aku ?"
Wie Sin Siansu menghela napas,
melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan si gadis. "Katakanlah yang
sebenarnya, nona !" sabar suara si pendeta.
"Kamu pendeta-pendeta
jahat, aku benci pada kalian !" teriak Siauw Hoa sambil memutar tubuhnya
dan berlari pergi.
Wie Tay Siansu ingin mengejar,
tapi di cegah oleh Wie Sin Siansu, yang menghela napas sambil mengawasi
kepergian si gadis. "Usianya masih muda, tapi dia rupanya memiliki
kepandaian tidak rendah," gumam Wie Sin Siansu. "Dua kali aku ingin
mencekal lengannya, dia bisa menghindar dan baru ke tiga kalinya berhasil
mencekal lengannya. Rasanya kalau mereka yang sebaya dengannya bertempur, gadis
itu bukan lawan yang mudah dikalahkan..!"
"Dia pasti kaki tangan
iblis-iblis itu, Suheng," kata Wie Tay tidak sabar. "Jika dia
dilepas, kita akan kehilangan jejak lagi! Bukankah lebih baik kita membekuknya
?"
Wie Sin Siansu menghela napas.
"jangan kita lihat saja apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya ! Empat
kali kita sudah menerima peringatan mereka, dari Tong-mo, See-mo, Pak-mo dan
gadis itu. Apakah.... dia Lam-mo ? Tapi tidak mungkin, usianya masih terlalu
muda, dan kepandaiannya pun berbeda terlalu jauh jika dibandingkan dengan
kepandaian Tong-mo, See-mo dan Pak-mo."
"Sekarang apa yang akan
kita lakukan, Suheng?" tanya Wie Tay Siansu.
"Ya, kepergian gadis itu
malah menpersulit kita lebih parah lagi. kita semakin gelap tentang mereka,
tapi mereka mengetahui tentang kita !" Wie Khie Siansu ikut bicara.
"Kalau saja tadi kita menangkapnya dan memaksa dia bicara..."
Wie Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam.
"Sute. kalau hal itu kita
lakukan, kita mau taruh muka di mana ? Bagaimana kalau nanti tersiar dalam
kalangan Kangouw bahwa tujuh pendeta Siauw Lim Sie menghina seorang gadis kecil
?"
Muka Wie Tay Siansu dan yang
lainnya berobah merah, mereka malu dan berdiam diri. Wie Sin Siansu menghela
napas dan mengajak keenam orang Sutenya untuk melanjutkan perjalanan.
"Kita tunggu saja, sampai
di mana mereka ingin mempermainkan kita !" kata Wie Sin Siansu.
"Nanti merekapun akan memperlihatkan diri !"
Malam itu rembulan bersinar tidak
terlalu terang, karena hanya separuh. Di sebuah lembah tampak sesosok bayangan
gesit bukan main tengah berlari-lari. Jika ada orang melihat di waktu itu,
jelas akan menyangka bahwa sosok bayangan tersebut adalah hantu penunggu lembah
yang tengah terbang melayang-layang di tengah udara, karena terlalu cepat dan
ringan tubuhnya berlari dengan ginkang yang tinggi.
Lembah itu sepi dan sunyi
dalam kekelaman malam, hanya suara kutu malam yang terdengar mengisi keheningan
malam di lembah yang cukup luas. Angin bertiup cukup dingin, dan sosok bayangan
itu dengan gesit telah menyelinap ke-sudut lembah dimana terdapat banyak
batu-batu gunung yang bersusun saling tindih, sehingga perjalanan di situ agak
sukar.
Di samping kiri tumpukan
batu-batu bersusun itu terdapat mata air yang mengalir dari sela-sela dinding
lembah, mengalir perlahan-lahan di antara celah-celah batu tersebut, yang
sebagian telah kehijau-hijauan warnanya karena berlumut.
Keadaan di tempat itu yang
licin dan sulit untuk dilalui tampaknya tidak merupakan rintangan bagi sosok
tubuh itu, bagaikan seekor capung yang terbang ke sana ke mari, sosok tubuh itu
melompat dari batu yang satu ke susunan batu yang lainnya, dengan lincah dan
ringan, tidak kalah gesitnya ketika ia pertamakali masuk kedalam lembah.
Akhirnya ia tiba di depan
sebuah goa, yang gelap pekat. hanya sinar rembulan yang separuh itu menerangi
keadaan di sekitar lembah itu. Sosok tubuh itu berhenti, kemudian berlutut di
depan goa dengan sikap hormat. Dia mengenakan baju singsat warna hitam,
kepalanya dibungkus oleh topi bulu yang tebal, yang mengangguk-angguk ketika ia
berkata : "Suhu, tecu telah kembali!"
Hening keadaan di sekitar
tempat itu, yang kemudian diisi oleh suara batuk-batuk perlahan, suara batuk
seorang yang telah Ianjut usia. Kemudian disusul lagi oleh suara: "Bi Tin,
bagaimana ketujuh hwesio itu ? Apakah mereka mau menuruti perintah pemimpin
kita ?"
Bi Tin mengangkat kepalanya
memandang ke arah goa itu, sinar bulan menerangi mukanya. Dia seorang pemuda
berusia dua puluh tahun lebih, dengan tubuh yang tegap. Hidungnya mancung,
matanya bagus dan terang, bibirnya tipis. Dengan sikap hormat dia bilang:
"Tampaknya ketujuh
Hweshio tidak mau mematuhi keinginan pemimpin kita Suhu ! Mereka malah seperti
tidak mengacuhkan. Tampaknya tidak ada jalan lain untuk membendung mereka,
harus disingkirkan dengan cara lain...!"
Dari dalam goa terdsngar
tertawa terkekeh perlahan, disusul batuk-batuk perlahan.
"Jalan lain untuk
menyingkirkan mereka ? Apakah maksudmu aku terpaksa harus keluar dari goa ini
untuk menghalau mereka ?" tanya orang di dalam goa itu.
"Benar Suhu, tampaknya
memang tidak ada jalan lain. Ketiga paman Tong-mo, See-mo dan Pak-mo tidak
berani turun tangan sebelum menerima persetujuan dari Suhu apa yang harus
dilakukan terhadap ketujuh pendeta itu !"
"Apa yang mereka lakukan
terhadap ke-tujuh pendeta itu?"
"Paman Tong mo, See mo
dan Pak-mo hanya menemui mereka dan menyampaikan pesan pemimpin kita, kemudian
menghindar dari mereka. Bukankah Suhu juga berpesan begitu, agar menghindarkan
bentrokan dengan ketujuh pendeta itu"
"Ya, memang aku berpesan
begitu. Tapi? rasanya kalau Tong-mo, See-mo dan Pak-mo bertiga menghadapi ke
tujuh pendeta itu, mereka bukan tandingan hwesio-hwesio Siauw Lim Sie itu.
Mereka murid-murid tingkat ke dua, kepandaian mereka telah sempurna. Jumlah
merekapun bertujuh. Walaupun Tong-mo See mo dan Pak-mo tidak sampai rubuh dan
terluka ditangan mereka, namun tetap saja akan sia-sia usaha seperti itu, kalau
mereka bertiga akhirnya harus meninggalkan juga ketujuh pendeta itu. Rasanya
kalau dibantu olehku, sehingga kami berempat pun sulit untuk merubuhkan ketujuh
pendeta itu. Karenanya. aku berpesan hindarkanlah bentrokan dengan ketujuh
pendeta itu, sampai pemimpin kita memberikan keputusan apa yang harus kita
lakukan!"
"Lalu sekarang, apa yang
harus kita lakukan, Suhu ?" tanya Bi Tin.