Kisah Beruang Salju ini merupakan cerita lanjutan dari kisah-kisah Hoa
San Lun Kiam, Lima Jago Luar Biasa, Sia Tiauw Eng Hiong, Sin Tiauw Hiap Lu dan
Sin Tiauw Thian Lam, yang semuanya itu merupakan hasil karya Chin Yung.
Di dalam kisah “Beruang Salju” ini para pembaca akan bertemu dengan
seorang tokoh dengan bermacam perangai yang aneh-aneh dan kepandaian yang luar
biasa, para pembaca juga masih bisa bertemu dengan tokoh-tokoh lama, seperti
Kwee Ceng, Oey Yok Su, dan lain-lainnya.
Tetapi secara keseluruhannya, Kisah Beruang Salju ini merupakan cerita
yang benar-benar menarik, di mana walaupun sebagai kelanjutan dari cerita Sin
Tiauw Thian Lam, akan tetapi bisa dibaca tersendiri.
Nah, silahkan para pembaca mengikuti cerita ini.
Penulis
01 Korban Peperangan
Pohon-pohon yang kering
kerontang dengan tanah yang tandus, di mana tidak terlihat kehidupan pada alam
di sekitar perkampungan Lung-cie yang terpisah empatratus lie dari kota
Siang-yang, di mana angin tidak berhembus, beku dan seperti mati. Dan juga
terik kemarau itu menambah keresahan untuk setiap makhluk yang berada di
sekitar daerah tersebut, merupakan suasana yang tidak menarik sekali.
Daerah tersebut merupakan
daerah yang pernah dilanda oleh suatu peperangan yang panjang dan ganas sekali
sehingga perkampungan Lung-cie merupakan daerah yang termasuk daerah bekas
korban peperangan, termasuk penduduknya yang banyak mengalami kerusakan harta
benda maupun jiwa dan raga. Banyak yang berjatuhan sebagai korban peperangan,
membuang jiwa terbinasa oleh peperangan antara dua, Mongolia yang menyerbu
untuk merebut Siang-yang dan kekuatan tentara Song yang bertahan di Siang-yang.
Kerusakan hebat yang dialami
oleh penduduk perkampungan Lung-cie justru rumah mereka umumnya menjadi hancur
porak poranda rata dengan bumi, malah yang lebih menderita lagi adalah kaum
wanita penduduk perkampungan tersebut. Setiap wanita yang memiliki paras cukup
cantik telah menjadi korban keganasan dari para tentara Mongolia yang menculik
dan memperkosa mereka sehingga tercerai berai dari suami isteri dan keluarga
maupun anak-anak mereka.
Itulah peristiwa yang
menyedihkan sekali, korban dari peperangan merupakan sesuatu yang mengerikan
dan dikutuk, walaupun dengannya peperangan pasti akan membawa korban untuk
penduduk di tempat terjadinya peperangan tersebut. Segala keganasan dan
kebiadaban terjadi dalam pergolakan setiap peperangan di mana saja.
Lebih celaka lagi setelah
Siang-yang terjatuh di tangan Kublai Khan, dan Kaisar Mongolia tersebut
berkuasa di daratan Tiong-goan, dengan kerajaannya yang bernama Boan-ciu
tersebut, musim kemarau melanda daratan Tiong-goan.
Kemiskinan akibat peperangan
yang telah mencekam dan menyiksa penduduk di sekitar daerah ini, justru hebat
akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Dan rupanya penduduk di daerah
tersebut belum juga habis menderita di mana mereka beruntun harus mengalami
penderitaan yang tidak berkesudahan.
Sebelum pecahnya peperangan
antara pasukan tentara Mongolia dengan pasukan tentara kerajaan Song di
Siang-yang, jumlah penduduk di perkampungan Lung-cie tersebut kurang lebih
seribu keluarga. Tetapi setelah usainya peperangan, dan diterjang musim kemarau
yang berkepanjangan, maka jumlah penduduk perkampungan Lung-cie tidak lebih
dari seratus keluarga.
Perkampungan yang dulunya
indah dan ramai kini menjadi perkampungan yang mati, tiada terlihat kegiatan
pada penduduk perkampungan Lung-cie tersebut. Wajah-wajah yang suram, tiada
kegiatan apapun pada penduduk perkampungan tersebut, dan juga keresahan di
samping kelesuan, telah meliputi seluruh penduduk kampung Lung-cie tersebut.
Mereka merupakan sisa-sisa
dari manusia-manusia yang menjadi korban peperangan, dan yang masih tabah untuk
melanjutkan hidup mereka di daerah tersebut. Namun justru keadaan alam yang
beku dan mati, dengan tanah yang kering tandus dan juga kemiskinan yang mereka
hadapi, mereka tidak ada bergairah untuk bekerja.
Jika sebelumnya di
perkampungan tersebut cukup banyak bangunan gedung yang bertingkat tiga dan
megah, sekarang semua itu telah menjadi reruntuhan yang memuakkan, disamping
itu juga gubuk-gubuk reyot yang memenuhi perkampungan tersebut, telah banyak
yang rusak di sana sininya, dengan atapnya yang terbuat dari daun-daunan dan
bilik yang terbuat sederhana dari kayu-kayu pohon. Segala apa yang terlihat
pada saat itu di perkampungan Lung-cie memang menyedihkan. Terlebih lagi jika
melihat keadaan penduduknya, yang umumnya memiliki tubuh yang kurus kerempeng
dan tidak terdapat semangat hidup, lesu dan tidak jauh beda dengan sekeliling
mereka.
Kesulitan dalam penghidupan
yang diderita oleh penduduk Lung-cie memang kian hari kian berat juga, di mana
mereka mengalami derita yang tidak berkeputusan. Banyak yang bersyukur jika
dalam seharinya mereka bisa makan tiga kali, mengisi perut yang lapar, karena sebagian
besar dari mereka justru terdapat yang hanya makan pagi tetapi tidak untuk
sore, makan sore tidak mengisi perut di pagi hari.
Dan keadaan yang diliputi
kemiskinan seperti itu membuat sebagian penduduk Lung-cie mengungsi ke
perkampungan lain, harapan mereka akan bisa membina hidup baru dengan keadaan
yang jauh lebih baik dari pada jika mereka berdiam terus di perkampungan
Lung-cie. Dengan begitu jumlah penduduk perkampungan Lung-cie, semakin lama
semakin sedikit saja.
Setiap hari, yang sering
terlihat hanyalah tentara-tentara Mongolia yang mondar mandir melakukan
pemeriksaan di sekitar daerah tersebut, tetapi merekapun umumnya memperlihatkan
sikap yang telah jemu melihat keadaan sekeliling mereka yang serba mati.
Manusia-manusianya yang tidak memiliki kegairahan dalam menghadapi hidup,
perkampungan yang miskin dan melarat, dengan keadaan alam di sekitarnya yang
kering mati, beku dan tidak memiliki lagi suatu rangsangan untuk memperoleh
suatu kegembiraan.
Dan jika pasukan tentara
Mongolia yang melakukan pemeriksaan setiap harinya di sekitar daerah tersebut
masih melaksanakan tugas mereka, itupun disebabkan kewajiban dari tugas mereka,
guna menjaga sebaik mungkin kota Siang-yang yang telah berhasil direbut dengan
bersusah payah tersebut. Kemenangan yang telah diperoleh Kublai Khan dengan
berhasil menerobos terus ke pedalaman daratan Tiong-goan, menjatuhkan kerajaan
Song, dan lalu mendirikan kerajaan Boan-ciu, merupakan suatu kemenangan mutlak.
Namun di daerah perbatasan
tersebut, yang diliputi kemiskinan, belum memperoleh perhatian dari
pemerintahan yang baru saja berdiri itu. Dan para penduduk yang terdapat di
sekitar daerah yang berdekatan dengan kota Siang-yang belum pula pulih dari
tekanan perasaan takut dan sikap tidak acuh mereka.
Pagi itu, angin tidak
berhembus, beku dan kering sekali, dan di sekitar permukaan dari perkampungan
Lung-cie, hanya tampak beberapa ekor ayam dan anjing yang kurus. Jumlah
binatang-binatang tersebut pun bisa dihitung dengan jari tangan.
Dari arah utara pintu
perkampungan tersebut, tampak berjalan seorang pria berusia tigapuluh tahun
lebih, memakai baju yang longgar berwarna kuning gading. Ikat pinggangnya
terjuntai panjang berwarna merah daging, dengan kopiah yang melesak agak dalam
menutupi keningnya. Bahan pakaiannya itu terdiri dari bahan pakaian yang tidak
mahal, namun jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pakaian dari para
penduduk perkampungan tersebut. Debu yang memenuhi pakaian dan kopiahnya yang
lusuh itu, menunjukkan bahwa pria itu telah melakukan perjalanan yang cukup
panjang di daerah yang kering dan tandus ini.
Ketika memasuki pintu
perkampungan Lung-cie, pria tersebut memandang sekitarnya, dan sepasang alisnya
telah mengkerut dalam-dalam waktu melihat kemiskinan yang begitu parah meliputi
perkampungan itu. Terlebih lagi ia melihat beberapa orang penduduk perkampungan
tersebut yang umumnya berpakaian tidak keruan dengan wajah yang pucat kurus,
dengan tubuh yang kerempeng. Disamping itu juga sikap mereka yang acuh tak
acuh, duduk terkulai menyandar di permukaan rumah mereka masing-masing, yang
merupakan rumah-rumah yang tidak mirip lagi disebut sebagai rumah, karena telah
reyot dan rusak di sana sininya dan lebih mirip dengan bangunan sebuah kandang
binatang, dan juga tidak memiliki perabotan rumah tangga. Benar-benar merupakan
pemandangan yang menyedihkan sekali.
Kaum wanitanya, yang juga
bertubuh kurus kering dan kenyang ditelan oleh penderitaan, hanya duduk atau
berdiam diri dengan tak acuh pula, karena mereka tidak mengetahui apa yang
perlu dilakukan mereka, memasak ataupun melakukan tugas sebagai seorang ibu
rumah tangga. Tiada pekerjaan yang bisa mereka lakukan.
Pria asing yang baru datang di
perkampungan tersebut telah menghela napas dalam-dalam waktu menyaksikan
pemandangan yang menyedihkan seperti itu.
“Inilah korban peperangan yang
tak mengenal kasihan kepada makhluk yang berada di tempat terjadinya peperangan
tersebut, laknat dan jahat sekali....... korban-korban peperangan yang patut
dikasihani......!” dan setelah menggumam begitu, pria asing tersebut menghela
napas lagi dalam-dalam.
Ia menghampiri sebuah rumah
gubuk yang terdapat tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi, dan di depan pintu
rumah itu, tampak seorang lelaki tua dengan kumis dan jenggot tak teratur dan
pakaian yang compang camping telah lusuh, di saat mana tengah memainkan
sebatang rumput kering yang ujungnya digigit-gigitnya dengan sikapnya yang tak
acuh. Wajah yang pucat seperti seraut wajah mayat, dan matanya yang telah tidak
memiliki sinar itu hanya melirik sekejap saja pada pria asing yang tengah
menghampirinya.
Pria asing itu telah
merangkapkan tangannya, memberi hormat, sambil katanya dengan suara yang ramah:
“Lopeh (paman), bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Lelaki tua yang bertubuh kurus
kering itu telah melirik lagi dengan sinar matanya yang tidak bersemangat
sekali, ia mengeluh perlahan dan membenarkan letak duduknya dengan sikap acuh
tak acuh, ia berkata perlahan: “Apa hendak kau tanyakan, anak muda?”
“Siauwte tengah mencari
seseorang, mungkin Lopeh kenal padanya,” kata pria asing tersebut. “Sengaja
Siauwte telah berkunjung ke perkampungan Lung-cie ini, untuk mcncari Lie Tiang
An. Dan menurut kabar yang Siauwte terima, belakangan ini Lie Tiang An masih
berdiam di perkampungan Lung-cie ini.”
Tetapi orang tua bertubuh
kurus kering tersebut telah menggeleng perlahan, dengan lesu ia berkata:
“Sayang sekali orang yang engkau cari itu telah tiada......”
“Telah tiada Lopeh?” tanya
pria asing tersebut memperlihatkan wajah yang terkejut.
Orang tua itu telah mengangguk
perlahan dengan tidak bersemangat ia menyahuti: “Ya, empat bulan yang lalu ia
meninggal karena suatu serangan penyakit yang dideritanya......!”
“Tetapi...... tetapi
keluarganya masih berdiam di perkampungan ini, Lopeh?” tanya Pria asing itu
lagi.
Orang tua tersebut telah
mengangguk, ia memutar duduknya ke arah kanan kemudian tangan kanannya menunjuk
ke arah sebuah rumah yang terpisah kurang lebih empat buah rumah lainnya.
“Mereka tinggal disana.....!” katanya dan kemudian duduk menyandar dengan lesu.
Pria asing tersebut telah
memandang ke arah rumah yang ditunjuk orang tua, tangannya merogoh sakunya,
mengeluarkan dua tail perak, yang diangsurkan kepada orang tua itu.
“Lopeh, terima kasih atas
keterangan yang kau berikan, terimalah sekedarnya hadiah dariku ini......!”
kata pria asing itu.
Orang tua itu memandang ke
arah uang di tangan pria asing itu, kemudian tersenyum sinis dengan sikap tak
acuh ia berkata: “Uang? Kukira di perkampungan Lung-cie ini, uang tidak
memegang peranan yang terlalu berarti!”
“Kenapa begitu, Lopeh?“ tanya
pria asing tersebut terkejut dan heran.
Orang tua tersebut dengan
sikap tak acuh telah menyahuti: “Walaupun kita memiliki uang yang banyak,
tetapi tidak ada sesuatu yang bisa dibeli di perkampungan yang miskin seperti
ini...... yang terpenting buat kami adalah makanan dan barang-barang kebutuhan
yang kami perlukan. Tanpa adanya barang makanan dan barang-barang lainnya yang
kami butuhkan, walaupun kita memilki uang yang banyak, tidak ada artinya, tidak
bisa kita pergunakan. Simpanlah kembali uangmu itu, anak muda...... mungkin engkau
lebih memerlukannya!”
Pria asing itu menghela napas
dalam-dalam, ia sudah tidak ingin berbantahan dengan orang tua tersebut,
dimasukkan kembali uangnya ke dalam sakunya. Iapun telah melihatnya bahwa
perkampungan Lung-cie merupakan perkampungan yang terlalu miskin dan melarat,
dengan demikian di situ pun tidak ada toko ataupun orang-orang yang berjualan.
Penduduk perkampungan tersebut hanya melewati hari-hari dengan seadanya yang
masih bisa dimakan. Memang uang tidak memiliki arti yang banyak dalam
perkampungan yang serba kering dan juga miskin tersebut.
Di musim kemarau tersebut, di
mana panen mereka telah tiga musim mengalami paceklik, dan juga sudah tidak
bisa menanam sesuatu di tanah yang kering dan tandus tersebut, menyebabkan
mereka lebih mementingkan menyimpan barang makanan dari pada uang. Itulah
sebabnya, jangankan ada orang yang dagang menjual belikan barang-barang
keperluan pokok, seperti beras dan lain-lainnya, buat memakainya sendiri saja
sudah sulit dan tidak cukup.
Setelah mengucapkan terima
kasihnya sekali lagi, pria asing tersebut meninggalkan orang tua yang kurus
kerempeng itu, yang tengah duduk merenungi nasibnya dan membayangkan bagaimana
hari-harinya mendatang besok.
Waktu sampai di muka rumah
gubuk yang tadi ditunjuk oleh orang tua itu, pria asing itu melihat betapa
rumah itu sudah tidak bisa disebut sebagai rumah lagi. Segalanya sudah rusak
dan tak keruan, genteng juga tak ada sebagian. Tiang-tiang bangunan yang
terbuat dari bambu dan batang kayu banyak yang rubuh dan rumah itu reyot
sekali.
Daun pintu rumah tersebut
telah miring, karena sebagian pakunya telah terlepas, begitu pula lantai rumah
tersebut yang terdiri dari tanah belaka, kotor sekali, penuh oleh barang-barang
rongsokan yang tidak terpakai. Dari celah-celah pintu yang memang tergantung
tidak bisa tertutup itu, pria asing itu melihatnya tidak ada satu barang apapun
yang masih utuh di dalam rumah tersebut.
Dengan langkah yang perlahan
dan agak ragu, pria asing tersebut telah menghampiri daun pintu. Ia
mendorongnya. Daun pintu terbuka menimbulkan suara “krekkk!” yang panjang, dan
pria asing itu melangkah masuk.
Dua tindak dia melangkah
memasuki pintu tersebut, ia jadi berdiri terbelalak dengan sepasang mata yang
terpentang lebar-lebar.
Apa yang dilihatnya memang
mengenaskan sekali, sesosok tubuh wanita menggeletak tidak bernapas lagi. Tubuh
yang kurus kering sehingga seperti tinggal kerangka saja, seperti tulang
dibungkus kulit saja menggeletak mati dengan pakaian yang sudah tidak bisa
disebut pakaian lagi, selain compang camping, juga sudah kotor bukan main.
Wajah wanita yang telah menjadi mayat tersebut juga kotor sekali, mukanya
begitu kurus dan cekung hanya tulang pipinya yang menonjol. Sepasang mata mayat
tersebut juga cekung dalam sekali, mulutnya yang tipis menyeringai
memperlihatkan baris-baris giginya, menyedihkan sekali keadaan mayat tersebut.
Setelah menghela napas
beberapa kali pria asing tersebut melangkahi mayat wanita itu dan ia menuju ke
bagian dalam dari rumah tersebut. Di sebelah ruang dalam, adalah sebuah ruangan
sempit yang hanya berbatas dengan selapis dinding yang terbuat dari anyaman
kulit kayu. Ruang itu juga sempit sekali tidak terdapat sepotong barangpun.
Sebuah pembaringan juga tidak berada di tempat itu.
Tetapi pria asing tersebut
tertarik melihat sesosok tubuh kecil yang kurus kering, sama halnya seperti
wanita yang menggeletak menjadi mayat di ruang depan itu, tengah meringkuk
dengan pakaian yang tak keruan, dan yang telah robek di sana sininya. Tetapi
sosok tubuh kecil yang ternyata seorang anak lelaki berusia enam atau tujuh
tahun itu, belum menjadi mayat. Terlihat napasnya masih berjalan satu-satu, di
mana dadanya yang tipis dan seperti jaga tulang-tulang pai-kut (tulang dada)
yang dibungkus oleh kulit itu, bergerak-gerak lemah sekali.
Cepat-cepat pria asing
tersebut berjongkok memeriksa keadaan anak itu. Ia menghela napas. Waktu
memperoleh kenyataan anak lelaki tersebut masih hidup dan walaupun bernapas
lemah sekali, namun anak lelaki itu tidak dalam keadaan yang menguatirkan.
Hanya saja keadaannya yang lemas tidak bisa bergerak dan meringkuk di tempat
tersebut mungkin disebabkan telah beberapa hari tidak makan, membuat anak
tersebut jadi lemah dan tidak bertenaga.
Waktu tubuhnya diperiksa oleh
pria asing tersebut, anak lelaki itu telah membuka matanya, bola matanya yang
guram tidak bercahaya itu, bergerak-gerak lemah, bagaikan heran dan kaget
melihat orang asing di dekatnya. Bibirnya yang kering itu telah bergerak
perlahan: “Mama...... Mama......!” suaranya serak dan terlampau lirih sekali
hampir tidak terdengar jelas.
Pria asing tersebut bersenyum
penuh kasih sayang dengan hati yang teriris pedih melihat keadaan anak
tersebut. Iapun telah berkata lembut sekali: “Anak, tenanglah! Engkau akan
segera sehat kembali...... tenanglah......!” dan cepat-cepat pria asing
tersebut merogoh sakunya, ia mengeluarkan sebungkusan barang yang agak besar,
yang terbungkus oleh sehelai kain berwarna hijau. Ia mengeluarkan beberapa bolu
kecil di mana ia juga telah mengeluarkan kurang lebih delapan butir pil
berwarna-warni. Dengan sabar ia memasukkan sebutir demi sebutir ke mulut anak
itu, sambil menuangkan juga air ke mulut anak kecil itu dari kantong airnya.
Pil tersebut merupakan ramuan
obat untuk menyehatkan tubuh. Karena keadaan tubuh anak tersebut telah lemah
sekali, jika ia tidak segera ditolong dengan diberikan pertolongan obat-obatan
tersebut, tentu akan menyebabkan kesehatan anak itu sulit pulih. Dan juga,
dalam keadaan menderita lapar dan haus seperti itu, anak itupun tidak boleh
segera diberikan makanan karena bisa mengganggu pencernaan perutnya, yang bisa
membahayakannya.
Setelah memberikan pil-pil
tersebut memang anak lelaki itu merasakan tubuhnya agak segar, terlebih lagi
iapun telah diberi minum air sedikit-sedikit, sehingga waktu ia bicara,
suaranya jauh lebih terang dan jelas: “Paman...... siapakah paman...... di
manakah Mamaku......?”
Pria asing itu tersenyum
dengan sabar, katanya: “Nanti akan paman jelaskan, sekarang kau makanlah
perlahan-lahan makanan kering ini......!” sambil berkata begitu, pria asing
tersebut telah membuka buntalannya, yang tadi diletakkan disampingnya, dari
dalam buntalannya itu, ia mengeluarkan bungkus makanan kering. Diangsurkannya
kepada anak tersebut, sepotong daging kering, di mana anak itu telah memakannya
dengan lahap dan terburu-buru.
“Makanlah perlahan-lahan!”
kata pria asing tersebut dengan hati yang terharu melihat betapa anak ita makan
dengan lahap dan terburu-buru.
“Lagi paman......!” minta anak
lelaki tersebut sambil menjilatkan bibirnya.
“Ya, aku akan memberikan
makanan kepadamu nak, lebih banyak dari ini,” kata lelaki asing itu, “tapi
engkau harus makan...... sedikit-sedikit dulu sampai nanti pencernaanmu yang
telah kosong itu, bisa bekerja kembali dengan baik. Nah, habiskanlah yang
sepotong ini lagi......!” dan setelah berkata begitu, pria asing tersebut telah
mengangsurkan sepotong daging lagi, kemudian dua potong kuwe kering.
Setelah menghabiskan kedua
potong kuwe kering itu, anak lelaki tersebut rupanya masih merasa lapar, ia
telah memintanya pula.
Namun lelaki asing tersebut
telah menggeleng sambil tersenyum.
“Sekarang engkau tidak boleh
makan terlalu kenyang dulu, nanti paman akan memberikan lagi. Nah, sekarang
engkau ikut dengan paman untuk meninggalkan tempat ini......!”
Anak lelaki itu telah
memandang kepada pria asing tersebut beberapa saat lamanya, kemudian dengan
suara ragu-ragu ia berkata: “Paman..... di mana..... di mana Mamaku......?”