Jilid 19 (Tamat)
Bentuk pedang itu kuno antik.
Di mata pedang yang kelihatan
antik itu terukir empat huruf 'Hiap Gi Bu Siang' yang berarti jiwa satria tiada
duanya.
Pedang itu terbual dari emas
murni, jelas bukan senjata untuk membunuh orang.
Hanya sebagai lambang hormat
mereka terhadap Lian Shia-pik, maka nilai sesungguhnya dari pedang itu tidak
terletak dari bobot emasnya, tapi empat huruf yang terukir di batang pedang
itu.
'Hiap Gi' atau pendekar
pembela kebenaran, jelas makin surut saja nilai luhur kedua huruf itu, apalagi
ditambah 'Bu Siang' yang berarti tiada duanya.
Dalam kesan sanubari manusia
umumnya, empat huruf itu hanya setimpal dianugrahkan kepada Lian-cengcu yang
menjadi pemilik Bu-kau-san-ceng.
Malam telah larut.
Dentam tambur dan hingar-bingar
gembreng makin jauh, lalu tak terdengar lagi.
Orang banyak yang tadi hadir
dalam ruang besar ini sudah bubar. Dalam ruang besar itu kini tinggal Lian
Shia-pik seorang dan sebuah lampu.
Dia kelihatan lelah, seperti
merasa sebal dan resah oleh keramaian tadi.
Perlahan ia menyipitkan mata,
tangannya mengelus perlahan keempat huruf yang terukir di batang pedang,
tangannya enteng elusannya lembut, seperti mengelus di dada sang kekasih yang
mempesona.
‘HIAP GIBU SIANG'.
Ia tertawa.
Bukan tawa riang, gembira,
bukan tawa yang membangkitkan semangatnya, tapi seringai tawa yang mengandung
cemooh dan hina.
Angin malam berhembus masuk
lewat jendela, hawa dingin mulai merangsang badan.
Jari-jari Lian Shia-pik yang
mengelus pedang mendadak berhenti, seringai tawa yang menghias mukanya juga
seketika lenyap. Tapi nada suaranya tetap tenang dan mantap, "Siapa yang
berdiri di kebun?"
"Tio Pek-ki."
seorang menjawab di luar.
Lian Shia-pik memanggut,
"Masuklah."
Dari gerombolan rumpun
kembang, Tio Pek-ki beranjak keluar, dengan langkah enteng perlahan menghampiri
dengan sikap hormat dan prihatin.
Dia. Siapa lagi kalau bukan
Tio Toa, si tukang perahu yang meninggalkan Siau Cap-it Long di kedai arak.
Cahaya lampu menyinari pedang
emas, cahaya yang memancar menerangi seluruh lingkup ruang besar itu.
Tio Pek-ki jelas sudah melihat
pedang emas itu, tapi dia menunduk pura-pura tidak melihat.
Lian Shia-pik seperti sedang
menggumam, "Inilah tanda bukti betapa besar belas kasih para tetua
kampung, mestinya aku tidak berani menerima, namun kecintaan itu sungguh sukar
untuk aku tolak."
"Bagi seluruh warga
perkampungan kita, penghargaan ini rasanya pantas sekali. Tanpa kebesaran dan
wibawa Cengcu yang disegani seluruh insan persilatan, mana mungkin penduduk
perkampungan ini dapat hidup aman tenteram dan sentosa, penghargaan sekecil ini
rasanya cukup setimpal."
Tio Pek-ki mengobral omongan,
seolah-olah mewakili para sesepuh kampung, dan pedang emas itu adalah anugrah
untuk Bu-kau-san-ceng layaknya.
Lian Shia-pik tertawa-tawa,
"Yang benar, aku ini juga orang biasa, mana berani mendapat anugrah Hiap
Gi Bu Siang."
Tio Pek-ki masih ingin
mengucap rangkaian kata pujian yang lebih muluk, entah kenapa mendadak
tenggorokan seperti tersumbat hingga tak mampu bicara lagi. Sebab ia sadar,
sorot mata Lian Shia-pik yang tajam dan dingin sedang menatapnya lekat.
Diam-diam Tio Pek-ki bergidik
tanpa kedinginan, dengan tersipu dari balik badannya ia keluarkan sebuah
buntalan kain panjang, dengan kedua tangan ia angsurkan kepada Lian Shia-pik.
Bungkusan panjang itu berisi
sebatang golok, golok yang menggetar dunia persilatan dan ditakuti gembong
penjahat yang memusuhi pemilik golok ini.
Kek-lok-to, golok jagal rusa.
Perlahan golok itu keluar dari
rangkanya. Mata golok yang dingin kemilau, menyinari wajah Lian Shia-pik nan
dingin.
Sinar golok tajam benderang,
sorot matanya juga mencorong. Sorot mata yang mencorong bergerak dari ujung
kanan ke ujung kiri. Lambat laun rona muka yang semula dingin mulai bersemu
merah lalu mengulum senyum. Lian Shia-pik boleh tertawa senang.
Kali ini tawanya tidak
mengandung mimik hina atau cemoohan, tapi merasa senang, menang dan puas.
Tapi tawa itu hanya sekilas
menghias ujung mulutnya, mendadak sirna tak berbekas lagi.
Sorot matanya setajam pisau
menatap muka Tio Pek-ki, "Cara bagaimana golok ini berada di
tanganmu?"
"Kuganti dengan beberapa
poci arak dan sebungkus kacang goreng," sahut Tio Pek-ki.
"O? Begitu?" seru
Lian Shia-pik tak acuh.
"Araknya malah yang
paling murah dan sebungkus kacang yang hanya dijual di pasar. Cengcu pasti
tidak menduga, golok pusaka yang menggetar dunia, bisa kuperoleh hanya dengan
pengorbanan yang tidak berarti."
Sikap Lian Shia-pik memang
seperti melenggong.
Dengan bangga Tio Pek-ki
berkata lebih lanjut, "Cengcu pasti tidak menduga, Siau Cap-it Long
menyuruh aku menggadaikan goloknya ini, maksudnya hanya untuk ditukar beberapa
poci arak dan bungkusan kacang. Siau Cap-it Long yang menggetar Kangouw itu
kini sudah menjadi setan arak tulen, nama besar Siau Cap-it Long selanjutnya
bakal dihapus dari lembar kehidupan insan persilatan."
"Hal ini memang membuat
orang tidak menduga."
Tio Pek-ki tertawa,
"Kalau seorang hanya ingin minum dan minum tiap hari, betapapun besar dan
nyaring nama besarnya, akhirnya pasti luntur dan luluh oleh arak."
Lian Shia-pik manggut-manggut.
"Betul, tidak salah."
"Maka dia sudah tidak
setimpal menggunakan golok ini," kata Tio Pek-ki lebih jauh, "orang
gagah yang setimpal menggunakan golok ini sekarang siapa lagi kalau bukan
Cengcu?"
“O? Masa aku?" seru Lian
Shia-pik.
"Sekarang umpama menyuruh
Siau Cap-it Long membabat rumput dengan golok ini, yakin rumput pun takkan
terbabat olehnya."
"Golok jagal rusa ini
memang bukan untuk membabat rumput, manfaat utama golok ini tetap satu, hanya
membunuh orang."
Tio Pek-ki tertegun,
"Membunuh orang?"
"Betul, membunuh orang.
Terutama orang yang menganggap dirinya paling pintar."
Sembari bicara golok di
tangannya mendadak berkelebat menabas leher Tio Pek-ki.
Waktu batok kepala itu jatuh
menggelinding di lantai, sikap dan mimik muka Tio Pek-ki belum berubah. Itulah
rasa kaget dan heran, mati pun ia tidak mengerti kenapa Lian Shia-pik justru
membunuhnya.
Mata golok yang cemerlang
dengan cahayanya tampak bersih tiada noktah darah sedikitpun.
"Golok bagus,"
dengan jari-jemarinya Lian Shia-pik mengelus golok itu dengan sikap sayang,
sorot mata nan memuji, "Betul-betul golok bagus." Mendadak ia
mengangkat kepala serta meninggikan suara, "Mana petugas!"
Dua lelaki berseragam hijau
sambil mengiakan melangkah masuk.
Lian Shia-pik membungkus
kembali golok jagal rusa, katanya, "Cepat kejar Siau Cap-it Long, langsung
kembalikan golok ini kepadanya. Katakan kepadanya, hanya orang macam Siau
Cap-it Long di dunia ini yang pantas menggunakan Kek-lok-to ini."
Sekilas kedua lelaki itu
saling pandang, mimiknya seperti heran dan kaget, tapi tak berani banyak
bertanya, begitu menerima buntalan langsung mengundurkan diri.
Setelah keluar dari ruang
besar satu di antaranya tak tahan menghela napas, katanya, "Dapat berkenalan
dengan sahabat seperti Cengcu kita, hidup Siau Cap-it Long terhitung tidak
sia-sia."
Temannya menimbrung,
"Sikap Cengcu terhadap Siau Cap-it Long rasanya cukup adil, benar lagi
penuh rasa cinta kasih ...."
Tiap manusia yang hidup di
dunia, ada kalanya senang, semua serba terpenuhi, semua keinginan terkabul,
sudah tentu ada kalanya semuanya tidak menyenangkan, tidak cocok selera tidak
memenuhi syarat.
Sebagai makhluk yang punya
akal budi tinggi, maka manusia menciptakan arak. Arak adalah sahabat manusia,
terutama orang yang lagi kehilangan akal budi, orang yang gagal dalam menggapai
cita-cita, tidak jarang arak digunakan untuk menghilangkan rasa resah, rasa
sedih dan putus asa.
Orang yang tercapai
keinginannya, hidup senang hidup mewah juga tidak jarang menggunakan arak
sebagai pelampias rasa bangga, percaya diri dan arogan.
Maka dimana pun ada orang
menjual arak, penjual arak tidak kuatir tidak dikunjungi setan arak.
Siau Cap-it Long memang
peminum berat, tapi dia bukan pelanggan arak, sebab pelanggan harus punya duit
untuk beli arak, Siau Cap-it Long justru bokek, tidak pernah punya duit. Tidak
punya duit, syukur ada teman atau siapa saja yang mau mentraktir dirinya minum.
Padahal Siau Cap-it Long tidak punya teman yang selalu mau mentraktir dirinya
minum arak.
Jangan kata teman yang
mentraktir minum tidak punya, teman yang tidak mentraktir apa-apa juga tiada.
Tanpa duit tak punya teman,
namun arak masih tetap bisa diminumnya dengan puas, tidak jarang ia minum
sampai mabuk. Kondisinya sekarang bukan lagi sebagai penggemar arak, ibaratnya
ia bermusuhan dengan arak, tak peduli kapan saja, dimana saja, ada arak harus
diminum habis, pengaruh air kata-kata sudah tidak ia pedulikan lagi, pokoknya
minum.
Di seluruh pelosok dunia,
dimana saja pasti ada arak, arak tak pernah habis diminum, mungkinkah seorang
bisa minum habis seluruh arak yang ada di dunia ini? Maklum kalau Siau Cap-it
Long minum dan minum, tiap hari minum, tiap hari mabuk.
Belasan li di wilayah ini,
dimana ada orang jual arak, Siau Cap-it Long pasti pernah ke sana. Tiap tempat
ia hanya bisa minum sekali, akibatnya, kalau bukan hidung dihajar bocor, mata
sembab, bibir pecah, badan babak belur, tentu diseret dan dibuang orang ke
selokan seperti orang mengusir anjing buduk layaknya.
Bukan saja bokek, Siau Cap-it
Long sudah tidak punya apa-apa yang berharga, pakaian yang melekat di badan
sudah compang-camping, kotor dan jorok.
Siau Cap-it Long yang sudah
bangkrut, bahkan pakaian bobrok yang melekat di badan itu mendadak lenyap,
hilang tak keruan parannya.
Tiada orang pernah melihat ia
muncul di tempat dimana orang menjual arak. Dalam pikiran masyarakat luas
terkesan hilangnya Siau Cap-it Long ibarat riak kecil yang bergeming di
permukaan air, tiada orang memperhatikan mati hidupnya.
Hanya satu orang memperhatikan
nasibnya.
Siau Cap-ji Long.
Dulu dimana ada orang jual
arak, di sana dengan mudah orang akan menemukan Siau Cap-it Long, sekarang di
pelosok manapun dimana ada orang jual arak, bayangan Siau Cap-it Long tidak
pernah muncul lagi.
Siau Cap-ji Long tidak
percaya, orang yang sudah kecanduan minum ini bisa meninggalkan kebiasaannya
itu. Semua kedai arak besar kecil, restoran ternama sampai hotel termewah pun
sudah dilacaknya, namun bayangan Siau Cap-it Long tak pernah ditemukan lagi.
Kalau setan arak meninggalkan
arak, sama dengan ikan meninggalkan air, mana mungkin bisa hidup?
Siau Cap-ji Long hampir tidak
percaya kalau kejadian ini kenyataan.
Di saat hampir putus asa, saat
kehabisan akal, suara caci maki dan kegaduhan mendadak berkumandang dari
Hong-ping-ciu-lo.
Hong-ping-ciu-lou adalah
restoran termegah, termewah di kota ini, para tamu yang mampir di restoran ini
semua berkantong tebal, dari kalangan atas, entah para pejabat, pedagang besar
atau orang-orang gagah, dalam keadaan biasa tak mungkin terjadi kegaduhan yang
mengundang perhatian orang banyak.
Di halaman depan restoran
berkerumun banyak orang melihat keramaian, satu dengan yang lain berceloteh
entah membicarakan kejadian apa.
Dua pelayan restoran yang
mengenakan seragam bersih menyeret keluar seorang lelaki yang mabuk, dilempar
ke jalanan, menyusul kaki tangan bekerja, menendang menggenjot serabutan silih
berganti tanpa kenal kasihan, pemabuk itu dihajarnya hingga babak belur.
Saking bernafsu sambil
menghajar memaki kalang kabut, "Kurang ajar, hari ini kau tertangkap
bapakmu, bersembunyi di gudang arak menghabiskan beberapa guci, kami yang
celaka menerima ganjaran majikan, hayo hajar saja sampai mampus."
Di antara penonton ada yang
berhati bajik, segera membujuk, "Sudahlah, jangan dipukul lagi coba lihat
dia sudah semaput, kasihan kan."
"Kasihan apa?"
damprat pelayan itu, "memangnya siapa kasihan kepada kami? Dua hari
keparat ini bersembunyi di gudang arak, menghabiskan empat guci arak kelas
satu, majikan menuduh kami yang mencuri, malah memotong gaji segala. Lebih
celaka lagi guci yang kosong dia isi air, para tamu yang kami suguh arak
mendamprat kami menyuguhkan arak palsu, hampir saja majikan memecat dan memutus
hubungan kerja. Semua gara-gara keparat ini, kalau belum menghajarnya tidak
terlampias rasa dongkol kami."
Pemabuk itu meringkuk di tanah
dengan tangan memeluk kepala, biar ditendang, dipukul dan diapakan pun diam
saja, mulut pun bungkam.
Di antara orang yang
berkerumun mendadak seorang berseru keras, "Nah coba lihat, Siau-tayhiap
telah datang, biar Siau-tayhiap bantu memberi keadilan, apakah dia masih pantas
dihajar."
Pelayan Hong-ping-lou mana ada
yang tidak kenal Siau Cap-ji Long, dengan tertawa lebar segera maju menyambut,
"Siau-tayhiap, syukur kau datang, mohon pertimbangkan dan memberi
keadilan”.
Siau Cap-ji Long mengulap
tangan, pelayan itu menghentikan perkataannya.
Siau Cap-ji Long berjongkok
dengan kedua jarinya ia angkat dagu orang. Seketika bercahaya bola matanya,
sekilas ia tertegun di tempatnya.
Siau Cap-it Long!
Siau Cap-it Long mengangkat
kepalanya, dengan tertawa ia berkata, "Halo saudaraku, syukur kau datang,
sungguh aku senang, lekas traktir aku minum."
Siau Cap-ji Long menyeringai
dingin, "Siapa itu saudaramu?"
"Margaku Siau, margamu
juga Siau, aku bernama Cap-it Long, kau bernama Cap-ji Long, kalau bukan
saudaraku, memangnya kau ini siapa?"
Tetap dingin sikap Siau Cap-ji
Long, "Kau adalah kau, dan aku tetap aku, tak perlu menarik persaudaraan
segala."
Siau Cap-it Long menegakkan muka,
katanya dengan seri tawa lucu, "Baiklah anggap bukan saudara, jelek-jelek
masih terhitung sahabat bukan?"
"Siapa bilang aku ini
sahabatmu?"
"Ya, ya, ya, bukan
sahabat juga bukan soal. Mentraktirku minum dua cawan boleh kan?"
Siau Cap-ji Long menggeleng
kepala, "Aku tidak biasa mentraktir teman minum arak."
"Kalau begitu tolong
pinjam dua keping duit, biar aku minum sendiri, boleh tidak?"
Kembali Siau Cap-ji Long
menggeleng kepala, "Aku tidak pernah meminjamkan duit untuk setan
arak."
"Pinjam 10 ketip saja,
tolonglah, besok kukembalikan ...."
"Satu peser pun takkan
kupinjamkan," kata Siau Cap-ji Long, "kedatanganku hanya ingin
memberi sebuah benda lain."
"O? Ya?" menyala
bola mata Siau Cap-it Long, "benda apakah itu?"
"Coba lihat
sendiri."
Waktu buntalan kain itu
dibuka, golok jagal rusa yang menggetar dunia persilalan itu kembali berada di
tangan Siau Cap-it Long.
Golok pusaka tidak berubah,
gemerdep cahayanya tak berkurang, halus bagai permukaan air yang disorot sinar
rembulan.
Mengangkat tinggi golok
pusakanya di atas kepala, Siau Cap-it Long bergelak tawa, bola matanya yang
mabuk berputar memandang sekelilingnya, "Nah, kalian lihat bukan? Inilah
Kek-lok-to yang paling berharga di dunia, golok pusaka yang nilainya sebanding
sebuah kota, kalian pernah mendengar bukan?"
Siapa tidak pernah mendengar
kebesaran nama Kek-lok-to, dengan sorot kaget dan heran mereka mengawasi Siau
Cap-ji Long, kenapa golok pusaka semahal itu diserahkan kepada seorang
pemabukan. Siau Cap-it Long mengangsurkan golok di tangannya kepada kedua
pelayan itu, "Coba kalian periksa, berapa harga golokku ini?"
Dengan gelisah kedua pelayan
itu mengawasi Siau Cap-it Long, dengan memanggut mereka berkata, "Ya, ya,
golok pusaka ini berharga."
Dengan terbahak-bahak Siau
Cap-it Long lemparkan golok itu ke tanah. Serunya, "Kalau begitu, tolong
bantu aku menyerahkan kepada kasir, akan kujual untuk minum arak."
Kedua pelayan itu ragu-ragu
tak berani mengulur tangan menerima.
Siau Cap-it Long tertawa
lebar, "Nah ambillah, tahukah kau ular arak di perut Siau-tayhiap sudah
merambat ke ujung mulut, tunggu apa lagi?"
Sampai di sini Siau Cap-ji
Long harus bersikap, diam-diam ia memberi tanda kepada kedua pelayan itu, lalu
beranjak pergi keluar dari kerumunan orang banyak.
Siapa akan percaya seorang
pendekar besar seperti Siau Cap-it Long bisa berubah menjadi seperti itu?
Dahulu Siau Cap-it Long juga
pernah melempar goloknya itu tanpa ragu, waktu itu karena ia ingin menolong
jiwa Hong Si-nio.
Sekarang tanpa ragu ia pun
melempar goloknya ke tanah, siap diganti beberapa keping uang hanya untuk minum
arak.
Siau Cap-it Long yang nama
besarnya menggetar kolong langit, kali ini betul-betul runtuh total.
* * * * *
Hujan lebat.
Habis hujan terbitlah terang.
Siau Cap-it Long berusaha merangkak
bangun di tengah pecomberan, sepertinya dia sudah kehabisan tenaga, kehabisan
keberanian untuk berdiri tegak.
Ia sudah berdiri lalu
terperosok jatuh lagi, jatuh di bawah kaki seorang muda.
Seorang muda yang seusia Siau
Cap-ji Long, bersikap gagah, bangga dan angkuh.
Seorang pemuda yang dahulu
sama dirinya waktu ia berusia semuda ini, berhadapan dengan pemuda ini, ia
seperti melihat potret dirinya di waktu muda, sayang bayangan itu lambat laun
sirna tak berbekas lagi.
Pemuda itu tengah menatapnya, rona
mukanya membayangkan mimik yang aneh, tangan kanan menjinjing seguci arak,
tangan kiri menggenggam golok.
Kek-lok-to.
Siau Cap-it Long menundukkan
kepala, ia tidak berani berhadapan dengan pemuda ini, tidak berani berhadapan
dengan golok pusakanya sendiri. Sepertinya ia kehilangan keberanian untuk
menghadapi kenyataan, malah tidak berani berhadapan dengan masa yang telah
lalu.
Maka ia berusaha meloloskan
diri sendiri supaya mabuk. Sekarang dalam kondisinya, arak di tangan pemuda
ini, nilainya jauh lebih tinggi dibanding golok pusakanya itu.
Mendadak pemuda itu berkata,
"Kau ingin minum?"
Lekas sekali Siau Cap-it Long
mengangguk.
"Sayang ini bukan
arakmu."
Tangan Siau Cap-it Long saling
genggam, dengan punggung tangannya ia menggosok bibir mulutnya yang mengering,
berusaha berdiri tapi selalu gagal.
Pemuda itu menatapnya dingin,
mendadak mengangkat golok di tangannya, "Kau ingin golokmu ini?"
Siau Cap-it Long melengos.
"Sayang golok ini sudah
bukan milikmu lagi."
Tak tahan Siau Cap-it Long bertanya,
"Sekarang golok ini milikmu?"
Pemuda itu menyeringai,
"Dengan golok ini kemarin kau memperoleh arak, dengan senyum manisku hari
ini aku memperoleh golokmu ini."
"Senyum manis?"
tanya Siau Cap-it Long tidak mengerti. Lebar senyum pemuda itu, senyum yang
penuh ejek, senyum yang susah dilukis artinya.
"Tahukah kau, ada orang
tertawa, kadang lebih menakutkan dibanding saat tidak tertawa." Siau
Cap-it Long jelas tahu.
"Nah, ketahuilah, aku ini
adalah Siau-bin Cap-jit Long."
"Cap-jit Long?" Siau
Cap-it Long mengulang nama orang dengan tertawa.
Cap-jit Long manggut-manggut.
"Margamu bukan
Siau?" tanya Siau Cap-it Long.
Cap-jit Long tidak menjawab,
matanya menatap mata Siau Cap-it Long. Cukup lama baru berkata, "Apa betul
kau ini Siau Cap-it Long?"
Siau Cap-it Long tidak mampu
menyangkal. Cap-jit Long berkata pula. "Benarkah kau ini Siau Cap-it Long
yang malang melintang di bumi? Memberantas komplotan Siau-yau-hou, bentrok
dengan Thian-kongcu itu?"
Kembali Siau Cap-it Long tak
mampu membantah. Dengan tertawa Cap-jit Long berkata, "Kabarnya ilmu
golokmu tiada tandingan di kolong langit, sudikah memberi kesempatan
kepadaku?"
"Kesempataan? Kesempatan
bagaimana?" tanya Siau Cap-it Long.
"Kau punya tangan, golok
ada di sini, cukup memberi kesempatan padaku untuk menjajal ilmu golokmu, bukan
hanya arak seguci ini menjadi milikmu, seluruh persediaan arak di Hong-ping-lou
berapa banyak kau mampu minum, silakan habiskan seluruhnya."
Jari-jari Siau Cap-it Long
kembali saling genggam.
Cap-jit Long tertawa lebar,
"Pertaruhan ini cukup adil, aku yakin kau tidak akan menolaknya."
Mendadak Siau Cap-it Long
berkata lantang, "Tidak."
"Tidak? Kenapa
tidak?" tanya Cap-jit Long.
"Aku tidak mau main
golok," tegas jawaban Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak? Tanganmu
tetap tanganmu, golok ini juga tetap adalah golokmu."
Siau Cap-it Long meronta
menegakkan dada, serunya, "Golokku tidak untuk tontonan."
"Ya, golokmu untuk
membunuh orang."
“Betul."
Cap-jit Long terloroh-loroh,
sepanjang hidupnya seperti belum pernah terloroh sekeras hari ini.
"Membunuh orang bukan hal
yang menggelikan," kata Siau Cap-it Long.
"Kau bisa membunuh
orang?"
Siau Cap-it Long menggeram
rendah.
"Kau masih mampu membunuh
orang?"
Siau Cap-it Long menunduk
mengawasi tangannya. Tiada darah di tangan, hanya kotor oleh lumpur.
"Kau punya tangan, di
sini masih ada golok, bila kau mampu menggunakan tangan mencabut golok ini
untuk membunuhku, seguci arak ini bakal jadi milikmu."
"Aku takkan membunuh
orang hanya karena seguci arak," teriak Siau Cap-it Long.
"Lalu demi apa kau berani
membunuh orang?"
"Aku...."
Kaki Cap-jit Long mendadak
melayang menendang pencomberan di depannya, menendang muka Siau Cap-it Long,
lalu ia bersihkan alas sepatunya dengan muka Siau Cap-it Long.
Sekujur badan Siau Cap-it Long
mengejang.
Cap-jit Long berkata,
"Mungkin tidak karena perbuatanku tadi kau membunuh orang?"
Mendadak Siau Gap-it Long
mengangkat kepalanya, dengan bola matanya yang merah darah menatapnya
lekat-lekat.
"Kau tidak berani
bukan?" jengek Cap-jit Long.
Perlahan Siau Cap-it Long
mengulur tangan hendak mencabut golok, golok berada di depan mata, tapi jari
tangannya seperti takkan bisa menyentuh golok itu selamanya.
Jari-jari tangannya gemetar.
Makin lama makin keras seperti ada gempa hingga daun-daun pohon berguguran.
Cap-jit Long tertawa, tertawa
lebar, "Aku tahu bukan kau tidak berani membunuh orang, tapi sekarang kau
sudah tidak mampu membunuh orang." Di tengah gelak tawanya ia menyambung,
"Golok ini tetap adalah golok pusaka, tapi Siau Cap-it Long sudah bukan
Siau Cap-it Long yang dahulu."
Dari loteng restoran mendadak
berkumandang pertanyaan seorang, "Memangnya kenapa Siau Cap-it Long yang
sekarang?"
Dengan gagang golok Cap-jit
Long memecah segel di mulut guci, arak dalam guci seluruhnya ia siram ke muka,
kepala dan badan Siau Cap-it Long.
Siapa pun takkan kuat menahan
penghinaan macam ini, biar jiwa melayang juga takkan terima dihina seperti ini.
Siapa pun dia menghadapi peristiwa seperti ini, dengan nekad akan membusung
dada, mengayun tangan mencabut golok mengadu jiwa.
Siau Cap-it Long justru
melakukan perbuatan yang tidak pernah disangka oleh siapa pun.
Tiba-tiba ia membuka mulut.
Mulutnya terbuka bukan hendak berteriak, bukan ingin melampiaskan angkara dalam
hati. Tapi ia membuka mulut untuk menyambut arak yang meleleh di pipi, di
mukanya.
Orang-orang yang menonton
sudah tak tahan, mulai bersorak sorai, ada yang bertepuk tangan malah.
Cap-jit Long tertawa riang,
"Hai, coba kalian lihat, macam apa sekarang dirinya?"
Belum hilang suaranya,
mendadak sebuah tangan terulur tiba menyanggah dagunya.
Maka tubuh Cap-jit Long
seperti orang kecil naik awan terbang melayang jauh ke sana. Sementara golok di
tangannya berpindah di tangan orang ini.
Tangan siapakah itu?
Sehebat setangkas itukah
tangan itu?
Lian Shia-pik.
Siapa lagi kalau bukan Lian
Shia-pik yang Hiap-gi-bu-siang itu.
XXXII. JELAS DUDUK
PERSOALANNYA
Waktu Siau Cap-it Long
mengangkat kepala, ia melihat Lian Shia-pik.
Wajahnya tidak dihiasi cemooh,
tiada belas kasihan, namun terbayang rasa lembut, pengertian yang luhur dan
simpatik.
Dengan sebelah tangan ia
memapah Siau Cap-it Long, katanya lantang, "Hayo, kita pergi minum."
Bagaimana rasanya arak?
Sekarang mungkin Siau Cap-it
Long sudah tidak bisa membedakan bagaimana rasa arak, karena minum teramat
cepat, minum terlalu banyak.
Lian Shia-pik membiarkan orang
minum, ia hanya mengawasi saja, akhirnya ia pun berkata, "Kekuatanmu minum
kelihatannya bertambah."
Siau Cap-it Long mengangkat
cawan besar, satu tenggak ditelan habis.
"Berapa banyak kau bisa
minum arak sehari?" tanya Lian Shia-pik.
"Makin banyak makin
baik."
"Tiga guci besar?"
"Kurang lebih
bolehlah."
"Sebelum ini kita bukan
tcrhitung teman, tapi persoalan yang sudah lampau tak perlu dibicarakan lagi,
sekarang ...." ia menarik napas panjang, "sekarang pantasnya aku
menemanimu barang dua tiga hari saja, ada urusan yang harus segera
kuselesaikan, hari ini aku hanya bisa meninggalkan 100 guci arak untukmu, cukup
untuk satu bulan, satu bulan lagi, aku akan datang kembali."
Siau Cap-it Long mengangkat
pula cawannya, lalu arak ditenggaknya habis, mendadak air mata meleleh di pipi
jatuh di cawannya yang kosong.
Siapa pernah melihat Siau
Cap-it Long menangis? Tidak pernah ada.
Siapa mau percaya Siau Cap-it
Long rela mengucurkan air mata hanya karena diloloh seratus guci arak? Yakin
tak pernah ada.
Sepanjang sejarah hidup Siau
Cap-it Long hanya mengucurkan darah, kapan pernah mengucurkan air mata? Tapi
sekarang, air matanya benar-benar bercucuran.
Mengawasi air mata meleleh di
muka orang yang kotor, Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Kau
...."
Mendadak Siau Cap-it Long
menyeletuk, "Dahulu mungkin kita bukan sahabat, tapi sekarang kita sudah
menjadi teman."
Lian Shia-pik mengawasinya
cukup lama kemudian baru bertanya, "Apa betul sekarang kita sudah menjadi
teman?"
Siau Cap-it Long memanggut.
"Kau menangis, apakah merasa haru terhadapku?"
Siau Cap-it Long diam tidak
memberi jawaban, juga tidak menyangkal.
Mendadak Lian Shia-pik
tertawa, mimik tawanya tampak aneh. Sambil tertawa ia mengangsurkan golok
pusaka di tangannya ke hadapan Siau Cap-it Long, "Inilah golokmu, sekarang
tetap milikmu."
Siau Cap-it Long menunduk,
mengawasi sarung goloknya yang kuno lagi kusam, lama kemudian baru menggumam,
"Golok ini tetap golok yang dahulu, tapi diriku? Aku berubah menjadi
apa?"
Lian Shia-pik menatapnya
lekat, lama juga berdiam baru bertanya, "Tahukah kau kenapa berubah
menjadi begini?"
Siau Cap-it Long
manggut-manggut, lalu geleng-geleng kepala.
"Kau tidak tahu, pasti
tidak tahu. Sebab ...." desis suara Lian Shia-pik terputus.
"Sebab apa?" tanya
Siau Cap-it Long
"Sebab yang betul-betul
tahu rahasia ini, di kolong langit ini hanya satu orang."
"Siapa?"
"Siapa dia kau selamanya
takkan pernah menduganya."
"Siapa dia?" Siau
Cap-it Long mengulang pertanyaannya.
"Aku," sahut Lian
Shia-pik, sampai di sini mendadak sikapnya berubah, sorot matanya setajam
pisau, sementara jari jemarinya hanya lima senti dari tubuh Siau Cap-it Long.
Dia siap menunggu segala reaksi. Siapa tahu sama sekali Siau Cap-it Long tidak
menunjukkan perubahan apa-apa. Tiada reaksi.
Lian Shia-pik berkata lebih
jauh, "Keadaanmu berubah jadi begini, semua gara-gara perbuatanku."
Mengawasi orang, sorot mata
tajam Lian shi-pik makin memicing, suaranya lebih pelan, "Tahukah kau
siapa sebenarnya ketua Thian Cong?"
Sorot mata Siau Cap-it Long
kosong, gerak-geriknya mirip orang pikun, "Kau ...."
"Betul, inilah aku,"
kata Lian Shia-pik, "seluruh rencana ini adalah buah karyaku."
Bahwasanya pengakuan ini ibarat
sebatang jarum runcing yang dapat menghunjam hulu hati orang, namun betapapun
besar batang jarum yang menusuk perasaan Siau Cap-it Long, orangnya tetap
mematung linglung, tanpa memberi reaksi sedikitpun.
Di dunia ini hakikatnya sudah
tiada persoalan apapun yang dapat membuatnya sedih, entah karena dia sudah
kehilangan perasaan, tidak punya perasaan seperti manusia umumnya.
Lian Shia-pik bertutur,
"Waktu kalian berduel hari itu, aku juga berada di Sat-jin-gay. Waktu
Siau-yau-hou terjungkal ke dalam jurang, aku melihatnya sendiri. Setelah kau
pergi membawa Pin-pin, aku berusaha turun ke jurang menilik keadaannya."
"Melihatnya?" desis
Siau Cap-it Long, "untuk apa?"
"Sebab aku tahu orang
seperti dia takkan semudah itu mampus hanya karena jatuh ke dalam jurang. Kalau
di dunia ini betul ada manusia yang punya jiwa rangkap, orang itu adalah
dia."
"Waktu kau turun ke
bawah, apa betul dia belum mati?"
"Belum."
"Kau ingin
menolongnya?"
Lian Shia-pik tertawa,
"Yang ingin kutolong bukan orang macam dia, tapi aku butuh
rahasianya."
"Rahasia?"
"Tiap orang punya
rahasia, rahasia orang macam dia, bagi orang lain, bukan lagi dianggap harta
terpendam."
"Rahasianya, berarti
adalah rahasia Thian Cong?"
"Betul."
"Dia memberitahu
rahasianya kepadamu."
"Betul."
"Kenyataan dia belum
mati, mana mungkin memberitahu rahasianya kepadamu?"
"Karena tidak bisa tidak
dia harus memberitahu kepadaku."
"Kenapa?"
Lian Shia-pik menghela napas,
"Karena dia sudah berubah, berubah lamban lagi tak perasa. Tapi kau tidak
pantas bertanya soal ini."
Siau Cap-it Long masih belum
paham.
"Sebab kau bisa
memperkirakan sendiri, kalau tidak dia bocorkan rahasia itu, kematian adalah
bagiannya."
"Setelah dia membocorkan
rahasianya?"
Kembali Lian shia-pik menghela
napas, "Hal ini juga tidak pantas kau tanyakan, setelah mengajukan
pertanyanmu ini, kematianmu akan lebih cepat."
Siau Cap-it Long tertawa,
menyengir tawanya persis seperti orang linglung, orang pikun.
"Setelah aku menguasai
rahasia Thian Cong, segera aku adakan pembenahan organisasi Thian Cong, sayang
banyak orang-orang Thian Cong yang tidak mau menerima perintahku, maka dengan
mengatur tipu daya, supaya mereka bermunculan di antara engkau dan Pin-pin, aku
tahu Pin-pin pasti mengatur muslihat supaya engkau membunuh mereka semua."
Dengan tertawa cerah ia menyambung, "Itulah yang dinamakan pinjam golok
membunuh orang, sekali panah dua burung terbunuh."
Siau Cap-it Long tetap diam
mendengarkan.
"Sebetulnya banyak
kesempatan aku bisa membunuhmu, hal ini tentu kau sendiri juga tahu."
Siau Cap-it Long mengakui.
"Tahukah kau kenapa
selama ini aku belum juga turun tangan?"
Siau Cap-it Long menggeleng
kepala.
"Sebab," Lian
Shia-pik menekan suaranya lebih tajam, "akan kubuat kau mati lebih
menderita, aku akan membereskanmu secara tuntas. Akan kubuat orang banyak putus
asa dan kecewa terhadapmu, akan kubuat orang banyak berpendapat kau ini tidak
lebih hanyalah binatang yang tidak bisa ditolong, tak bisa dinasehati
lagi."
Sampai di sini ia bicara,
roman mukanya yang pucat-pias itu terlihat berkerut-merut saking dibakar emosi,
sorot matanya pun menampilkan bayangan marah, penasaran dan tersiksa.
Sebab ia merindukan Sim
Bik-kun. Ia akan berusaha merebutnya kembali, bukankah hanya jiwa dan raga Sim
bik-kun, tapi juga akan merebut simpati dan cintanya kembali.
Maka ia harus berusaha supaya
Sim bik-kun kecewa dan putus asa melihat penampilan Siau Cap-it Long.
Demi mencapai semua maksud dan
tujuannya itu, ia rela mengorbankan apa saja, dengan imbalan apa saja.
Ia mencintai Sim Bik-kun, cinta
yang amat dalam, maka bencinya terhadap Siau Cap-it Long juga benci amat dalam.
Hanya benci karena cinta yang
tidak terbalas, terhitung dendam yang paling mengerikan, paling menakutkan.
Siau Cap-it Long mulai menenggak arak lagi. Arak sebanyak itu adalah jamak
kalau membuatnya beku, beku perasaan, beku pikiran, pokoknya lahir batinnya
beku. Menilai kondisinya sekarang, terutama sorot matanya masih membayangkan
rasa derita yang luar biasa. Di balik rasa takutnya itu terbayang juga akan
rasa ketakutan. Bukan takut terhadap Lian Shia-pik, ngeri menghadapi tipu daya
Lian Shia-pik, tapi ngeri karena dendam kesumatnya itu.
Lian Shia-pik berkata lebih
jauh, "Dengan segala upaya, aku buat kau terkenal. tersohor, kaya raya,
punya kedudukan, pamormu tinggi, semua mencapai puncaknya, lalu kubiarkan kau
jatuh, dengan memperalat kehebatanmu, aku berantas para pengkhianat itu. Dua
hal karya baikmu itu, tentu baru sekarang kau sadari."
"Aku ...." Siau
Cap-it Long menggumam dalam mulut.
"Sebenarnya aku masih
mengatur kau pergi ke Pat-sian-cun untuk membunuh para pengkhianat itu, hanya
rencana ini tidak tercapai dengan tuntas," sampai di sini ia tertawa
sejenak baru melanjutkan, "tapi pada waktu itu, tiada seorang pun di dunia
ini yang bisa merintangi, membatalkan rencanaku, umpama kau sendiri tidak ke
sana, aku sendiri bisa turun tangan membunuh mereka."
"Maka sengaja kau
membuatku salah terka, sebab kau merasa turun tangan sendiri lebih
gampang."
"Sebetulnya aku memang
lebih senang turun tangan sendiri, segala urusan apapun aku senang mengerjakan
sendiri."
"Lalu kau sendiri
menyamar jadi si buta itu?"
"Akan kubuat kau salah
terka, menyangka si buta itu sebetulnya adalah Siau-yau-hou, menganggap dia
belum mampus."
"Kenapa?"
"Sebab segala tanggung
jawab peristiwa ini aku bebankan kepada Pin-pin."
Siau Cap-it Long menundukkan
kepala, mulutnya menggumam, "Pin-pin ... Pin-pin ... oh, gadis yang harus
dikasihani”.
"Setelah segala rencana
besar itu sukses, Pin-pin dan Siau-you-hau akan betul-betul mati, maka di dunia
ini takkan ada orang lain tahu rahasiaku, jelas takkan ada curiga bahwa akulah
ketua Thian Cong. Maka seperti dahulu aku ini ibarat batu jade yang utuh,
akulah Lian Shia-pik adalah ksatria yang tiada bandingannya."
Siau Cap-it Long sudah mabuk,
kondisinya yang lemah sudah pantas roboh, tapi masih ada satu pertanyaan, hal
ini harus ia tanyakan. Dengan mengerahkan setaker sisa tenaganya, ia berusaha
bertahan, suaranya lantang, "Kenapa kau beberkan semua rahasia itu
kepadaku?"
"Sebab akan kubuat kau
menderita, akan kubuat kau sendiri merasa dirimu adalah bocah linglung yang tak
bisa diobati lagi."
Kembali wajahnya menampilkan
rasa bangga, lembut dan senyum lebar. Waktu berdiri ia pegang pundak Siau
Cap-it Long, "Sekarang saatnya aku pergi. Seratus guci arak itu tetap
kutinggalkan untukmu. Tapi satu hal kau harus ingat, mungkin setelah kau
habiskan seratus guci arak itu, apakah kau masih bisa bertahan hidup?"
Tanpa menunggu jawaban Siau
Cap-it Long, ia melangkah keluar pintu.
Waktu ia tiba di ambang pintu,
Siau Cap-it Long roboh terlentang di lantai.
Dengan langkah ringan Lian
Shia-pik menyusuri taman kembang, perasaannya riang seperti mau terbang saja.
Selama hidup rasanya belum pernah punya perasaan segembira kali ini, bukan
hanya lantaran jerih payahnya selama ini terkabul, lebih penting adalah tanpa
mengeluarkan tenaga, tak usah menggunakan kekerasan, entah main pedang atau
ayun golok, tapi dengan nyata ia berhasil merobohkan Siau Cap-it Long yang
terkenal di jagat raya ini. Roboh mengenaskan, kalah total.
Paling tidak ia sudah
membuktikan satu hal, memiliki ilmu silat yang digdaya bukan berarti jago
kosen, orang kuat. Tapi pengetahuan luas, rencana yang cermat dan muslihat yang
lihai baru terhitung modal utama setiap insan persilatan yang punya ambisi
menguasai dunia.
Tidak salah bukan?
Betapa gagah perkasanya Siau
Cap-it Long, kenyataan sekarang menjadi si lemah yang nasibnya lebih
mengenaskan dibanding seekor anjing. Anjing liar, anjing buduk.
Lian Shia-pik ingin tertawa,
tawa lebar, buah kemenangannya memang tidak mudah diperolehnya, betapapun sulit
dan rumit persoalannya, yang penting sekarang ia sukses.
Dari awal diam-diam ia membuat
rencana ini, diam-diam merasakan siksa derita yang susah dicerna secara
lahiriah, termasuk hilang bini, harta benda ludes. Kini semua itu tak lama lagi
akan kembali ke tangannya.
Sudah tentu kecuali Sim
Bik-kun.
Ia percaya Sim Bik-kun sudah
mati waktu terjun ke danau, kalau tidak ia yakin sang bini yang cantik itu akan
kembali lagi dalam pelukannya.
Kematian Sim Bik-kun sebagai
tumbal, tapi ia berhasil meruntuhkan Siau Cap-it Long, kalau diperhitungkan
antara 'beroleh' dan 'hilang', rasanya masih setimpal.
Sampai di ujung langit
sekalipun rumput akan tetap tumbuh subur.
Masih banyak wanita secantik
Sim Bik-kun di dunia ini, tapi tiada orang kedua seperti Siau Cap-it Long.
* * * * *
Ruang besar itu terang
benderang, namun suasana telah sunyi senyap.
Pedang yang terbuat dari emas
itu masih berada di meja, memancarkan cahaya kemilau. Bola mata Lian Shia-pik
saat itu juga sedang memancarkan cahaya terang yang aneh.
Sejak kini, Bu-kau-san-ceng
bakal menjadi lambang “Jin Gi" dalam sanubari khalayak ramai. Lian
Shia-pik, tiga nama besar itu akan menjadi harum dan terkenal sepanjang abad,
dipuja sebagai pendekar di antara pendekar, orang gagah di antara orang gagah.
Tiada orang tahu bahwa Lian
Shia-pik adalah generasi kedua ketua Thian Cong, rahasia ini akan tetap menjadi
rahasia seiring dengan tamatnya riwayat Siau Cap-it Long, ia mampu membongkar
rahasia ini, Bu-kau-san-ceng akan tetap disanjung, dipuja sebagai perkampungan
suci bersih umpama batu jade yang disakralkan sebagai batu mulia tanpa cacad,
berabad-abad, beribu-ribu tahun tetap menjadi lambang kebesaran yang tak pernah
pudar.
Lian Shia-pik tertawa senang,
tertawa puas.
Dalam sekejap ini, ia
betul-betul merasakan sebagai pemenang, jerih payah selama beberapa tahun,
bersabar dan tekuk lutut menahan hina, hari ini akhirnya memperoleh tebusan
yang amat tak bernilai.
Mendadak ia punya perasaan
senang dan lega karena beban selama ini menindihnya terlalu berat. Secara
reflek ia mengulur tangannya mengelus pedang emas itu. Batang pedang dingin,
hatinya justru panas membara, jari-jemarinya yang hangat mengelus batang pedang
nan dingin, terasa nyaman dan segar.
Saat ini ia betul-betul
bergairah, dia memang memerlukan hawa segar, hati yang nyaman untuk meredam
gejolak perasaannya, hati yang tenang dan tenteram.
Mendadak ia tertegun.
Di atas pedang emas itu semula
diukir empat huruf "Hiap Gi Bu Siang"
Empat huruf itu tidak berubah,
tetap keempat huruf itu, cuma urutan keempat huruf itu yang berubah terbalik,
menjadi "Hiap Gi Siang Bu'.
Di bawah keempat huruf itu
semula diukir juga beberapa nama sponsor pembuat pedang emas itu. Kini nama
mereka sudah berubah menjadi "PERSEMBAHAN RAMPOK BESAR SIAU CAP-IT
LONG".
Pedang tetap pedang emas
semula, kecuali perubahan huruf-huruf yang diukir di batang pedang, tiada
keanehan yang lain. Itu menandakan bahwa huruf-huruf semula yang terukir di
batang pedang dihapus orang dengan kekuatan 'Tay-lik-kim-kong-jiu' atau ilmu
sejenisnya, lalu diukir kembali dengan huruf-huruf baru yang terbaca sekarang.
Kecuali Siau Cap-it Long,
siapa mampu melakukannya?
Kecuali Siau Cap-it Long,
siapa memiliki Lwekang setinggi ini?
Tapi bukankah Siau Cap-it Long
sudah ambruk, sudah runtuh total? Apakah semua itu hanya merupakan perangkap?
Mendadak Lian Shia-pik merasa
hatinya mencelos, perasaannya mengendap turun mirip tenggelam ke dasar jurang,
orangnya seperti batu yang dijemur di terik matahari, mendadak jatuh ke dasar
jurang yang bersalju.
Perasaan dingin yang entah
datang darimana, sekonyong-konyong seperti mengurung dirinya.
Bukan hanya hatinya dingin,
badannya juga mulai menggigil. Pedang lepas dari tangannya jatuh di lantai
dengan suaranya yang memekak telinga.
Lian Shia-pik menegakkan badan
sambil menarik napas panjang, lalu dihamburkan dari mulut perlahan-lahan,
mendadak berteriak, "Mana orangnya."
Yang dipanggil segera muncul.
Rona muka Lian Shia-pik sudah
wajar kembali, sepatah demi sepatah berkata, "Sulut dupa, siapkan kuah
teratai, siapkan perjamuan besar, hiburan tambur dan musik."
Lalu Lian Shia-pik berendam
dalam air bak yang mengepul hangat, namun ia masih merasakan sekujur badannya
kedinginan.
Selama ini dia belum pernah
dijatuhkan orang, memangnya dia lelaki kuat yang tidak mudah dijatuhkan.
Tapi sekarang dalam
sanubarinya ia merasakan kejatuhan itu.
Cita-cita hidupnya selama ini
adalah menjatuhkan Siau Cap-it Long secara tuntas, remuk redam di tangannya.
Sekarang mendadak ia
menyadari, yang berhasil ia hancurkan tidak bukan tidak lain adalah
keinginannya sendiri.
Mendadak ia menyadari dirinya
sungguh menggelikan. Ia ingin tertawa, tertawa bebas, tertawa lepas.
Dia benar-benar tertawa,
sambil bergelak tawa ia berdiri, terus keluar dari ruang besar.
Ruang sebelah juga terang
benderang, alunan musik berkumandang merdu, belasan cewek yang semampai sedang
menari gemulai, dengan langkah lebar ia beranjak ke tengah cewek-cewek yang
sedang menari itu. Dia berusaha mengendorkan segalanya, entah hati, pikiran
atau lahir batinnya. Sebab ia tahu detik-detik yang memutuskan kalah menang
sudah di ambang mata.
Kalau Siau Cap-it Long tidak
roboh, berarti dirinya yang akan tumbang, hal ini jelas dan tak perlu diragukan
lagi.
Gong Ping Ciu Lou.
Di restoran ini juga terang
benderang, musik mengalun merdu, para penari membawakan tari gembira.
Sepertinya Siau Cap-it Long juga berusaha mengendorkan segala pikiran, lahir
batin. Arak masih berada di atas meja. Dalam hati Siau Cap-it Long sudah
merasakan keberadaan arak itu.
Dengan nanar ia mengawasi Lian
Shia-pik beranjak masuk, Lian Shia-pik juga sedang mengawasi dirinya, sorot
mata mereka berdua tampak terang, bening namun dingin.
Pada detik-detik singkat ini,
hati mereka sama-sama dirasuk perasaan aneh, seperti sedang mengawasi duplikat
diri sendiri.
Dalam mata mereka, dalam
sanubari yang paling dalam, di suatu tempat rahasia yang paling tersembunyi di
relung hati mereka, bukankah antara mereka punya persamaan yang selama ini tak
pernah diungkap? Kenapa mereka sama-sama mencintai satu wanita? Kenapa begitu
mendalam cinta mereka?
Tanpa bicara, tanpa bersuara.
Begitulah mereka saling pandang, saling tatap.
Mungkin hingga sekarang Lian
Shia-pik baru melihat jelas siapa sebenarnya Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long pasti dan
bukan manusia yang bisa dihancurkan hanya dengan arak.
Arak hanya sebuah alat.
Tiba-tiba Lian Shia-pik mengangkat cawan, terus ditenggak habis, "Arak
bagus."
"Ya, arak bagus."
"Arak, arak banyak
menyelesaikan urusanmu."
Siau Cap-it Long
manggut-manggut.
"Maka kau tahu aku pasti
datang ke sini."
Siau Cap-it Long hanya
mengiakan saja.
"Kau dan aku sama-sama
tahu, hari ini akan tiba juga."
Siau Cap-it Long memanggut.
Lian Shia-pik tertawa.
Siau Cap-it Long juga tertawa.
"Silakan," seru Lian
Shia-pik.
"Silakan," seru Siau
Cap-it Long dengan senyum lebar, mereka sama-sama beranjak keluar.
Cahaya senja tampak begitu
indah mempesona, hembusan angin sudah terasa dingin. Sedingin senyum mereka.
Daun rontok berhamburan. Daun
yang berhamburan itu beterbangan di jalan raya panjang itu.
Jalan raya sunyi sepi.
Sinar senja menerangi lembah,
daun-daun pohon mulai menguning di musim rontok, disorot cahaya mentari tampak
membentang merah bagai tabir api.
Sorot mata Lian Shia-pik
seperti api membara mengawasi Siau Cap-it Long. Mengawasi golok pusaka yang
terkenal di dunia itu.
Pada zaman ini, di kolong
langit, yakin tiada golok lain yang lebih tajam dibanding golok jagal rusa. Di
dunia ini, pasti tiada tangan yang dapat memainkan ilmu golok seperti yang
dimainkan Siau Cap-it Long, begitu menakutkan, begitu mengerikan.
Setiap insan persilatan pasti
tahu akan hal ini.
Lian Shia-pik jelas juga tahu
akan hal ini.
Dan sekarang, golok yang tajam
luar biasa itu tengah tergenggam di tangan Siau Cap-it Long.
Siapa pun dia, berhadapan
dengan lawan seperti ini, tak ingkar lagi pasti timbul rasa lakut, rasa ngeri
dalam hatinya, tapi tidak dengan Lian Shia-pik. Sebab sanubarinya dilembari
keyakinan.
Sejak beberapa tahun lalu ia
sudah punya keyakinan itu, ia percaya tiada tokoh mana pun di dunia ini yang
mampu mengalahkan dirinya.
Siau Cap-it Long adalah
manusia biasa, dia pun tidak terkecuali. Maka ia amat tenang, hatinya mantap.
Dengan menatap tajam Siau
Cap-it Long, maksudnya hanya ingin menambah tekanan bagi hati Siau Cap-it Long.
Dia menatap Siau Cap-it Long
hanya ingin menikmati mimik Siau Cap-it Long menjelang ajal.
Serpihan cahaya akhir dari
mentari senja tepat menyinari batang golok jagal rusa, sinarnya membias di wajah
dan mata Siau Cap-it Long.
Terasa oleh Lian Shia-pik dari
sorot mata Siau Cap-it Long muncul cahaya yang aneh, cahaya cemerlang yang tak
mampu dilukiskan dengan kata-kata, cemerlang yang tiada duanya di dunia.
Pada detik sekilas itulah,
keyakinan Lian Shia-pik mendadak meleleh, mendadak sirna seperti sisa salju di
musimn semi yang ditimpa terik mentari. Mendadak hatinya dirasuk rasa takut
yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, rasa takut yang belum pernah ada
sepanjang hidupnya.
Betapa hebat, betapa kuat rasa
ketakutan, seberat sambaran sinar golok tajam itu. Dan pada detik-detik yang
menentukan itulah, Siau Cap-it Long melakukan perbuatan yang tidak pernah
disangka oleh siapa pun, mimpi pun tak pernah terbayangkan oleh siapa pun.
Siau Cap-it Long menurunkan
goloknya. Meletakkan Kek-lok-to. Meletakkan Kek-lok-to yang luar biasa, golok
pusaka yang digdaya, golok sakti yang tiada duanya di dunia. Meletakkan di
depan kaki Lian Shia-pik. Di tempat dengan mudah sekali raih Lian shia-pik bisa
menjamahnya.
Kejap lain, cahaya senja telah
lenyap, kemilau golok itupun telah sirna, mendadak Siau Cap-it Long juga
menghilang.
Sebab dalam pandangan Lian
Shia-pik sudah tiada Siau Cap-it Long, sudah tiada rasa takut. Tapi juga jelas
sudah tiada keyakinan.
Keyakinan jelas merupakan
unsur terpenting untuk menundukkan lawan meraih kemenangan, tapi bagi seorang
pemenang, keyakinan itu sudah tidak bermanfaat lagi, sudah tidak penting lagi.
Sebab ia sudah memperoleh
kemenangan. Apakah rasa kemenangan itu? Nikmat, puas, terangsang, riang gembira
atau mungkin kosong.
Sejenis rasa kosong yang hanya
diresapi oleh seorang yang pernah meraih kemenangan.
Rasa kosong yang dirasakan
Lian Shia-pik datang sekilas saja, sekejap goloknya memapas, sekilas sinar
menyambar. Rasa kosong yang jauh lebih mengerikan dibanding rasa takut itu
sendiri.
Dia melihat Kek-lok-to.
Hanya melihat Kek-lok-to yang
ditaruh di tanah depan kakinya, Kek-lok-to yang dapat ia ambil hanya dengan
sedikit membungkuk badan.
Dia tidak melihat Siau Cap-it
Long.
Tak pernah terpikir dalam
benaknya, yang benar-benar menakutkan, mengerikan bukanlah golok ini. Yang
benar menakutkan adalah Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long yang aneh,
yang tak bisa dilukiskan, Siau Cap-it Long yang tiada duanya di langit, bumi
atau dimana saja.
Malam gelap pekat.
Lian Shia-pik hanya melihat
kegelapan. Sepanjang hidupnya, hanya saat itulah yang ia rasakan paling gelap.
Lalu ia mendengar suatu suara
yang aneh. Suara yang aneh, suara yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, suara
yang hanya bisa ia rasakan dan ingin tumpahkan setelah mendengarnya.
Dia mendengar tulang kepala
sendiri yang terpukul remuk.
* * * * *
Rembulan.
Bintang bertaburan.
Cahaya rembulan dan sinar
bintang membias di muka Lian Shia-pik nan pucat pias, roman mukanya lebih pucat
dibanding putih mata Siau Cap-it Long.
Tiada orang bisa melukiskan
mata Siau Cap-it Long, jelas takkan ada orang bisa menggambarkan bagaimana bola
mata Siau Cap-it Long saat itu.
Cahaya rembulan
berkerlap-kerlip, bintang masih menyinari golok pusaka yang menggeletak di
tanah.
Kek-lok-to masih berada di
sana, Siau Cap-it Long sudah pergi.
Waktu Siau Cap-it Long pergi,
tidak membawa nyawa Lian Shia-pik, hanya membawa harapan, bangga dan
kemenangan, harapan yang menjadi cita-citanya selama hidup.
Waktu berlalu ia hanya
berkata, "Kau tidak boleh mati, karena aku masih berhutang kepadamu."
Kau tidak boleh mati. Aku pun
pantang mati.
Hong Si-nio tak boleh ajal.
Sim Bik-kun juga tak boleh gugur.
Tapi sejak zaman dahulu, sejak
ribuan, laksaan tahun lalu, di dunia ini ribuan dan laksaan manusia, memangnya
siapa yang tidak bisa mati?
T A M A T