Dengan sedih Tok Nio-cu
memandang se-kejap kearah Si Cay soat, kemudian melan-jutkan.
"Pada waktu itu aku baru
berusia sembilan tahun, sedang adik Lan belum sampai tiga tahun. ketika
orang-orang itu bertempur melawan ayah dan ibu, kami menjadi keta-kutan
sehingga menyembunyikan diri di tem-pat kegelapan. Adik Lan ketakutan dan
menangis menjerit jerit, akhirnya aku di tolong secara diam-diam oleh guruku
pengemis tujuh racun, sedangkan adik Lan lenyap entah kemana."
"Siapakah ke enam pria
dan dua wanita itu? Apakah Nyonya masih ingat dengan wa-jah mereka?" sela
Lan See giok tiba-tiba.
Dengan air mata bercucuran Tok
Nio-cu menjawab:
"Pada mulanya tidak tahu,
kemudian atas penjelasan dari suhu baru kuketahui bahwa ke enam orang lelaki
itu masing-masing adalah empat malaikat bengis dari Juan tiong serta sepasang
harimau dari Lang to, atas bantuan dari guruku si pengemis tujuh racun, mereka
telah -mampus semua di ujung senjata rahasia beracunku, sedangkan kedua orang
wanita itu konon adalah gundiknya empat malaikat buas dari Juan tiong, namun
ketika kucari mereka untuk membalas den-dam. kedua orang itu sudah pergi entah
ke-mana"
Lan See giok segera berkerut
kening, sete-lah melirik sekejap ke arah Oh Li cu yang se-dang menangis
terisak, dia segera bertanya ragu-ragu:
"Mungkinkah perempuan itu
adalah Say Nyoo-hui Gi Ci hoa?"
Mendengar perkataan itu isak
tangis Oh Li cu semakin menjadi jadi...-
Lan See giok memandang sekejap
kearah Si Cay soat dan Tok Nio-cu. ia dapat menyim-pulkan bahwa selama banyak
tahun Say nyoo-hui Gi Ci hoa tentu amat menyayangi Oh Li cu.
Melihat hal ini dengan kening
berkerut Tok Nio-cu segera berkata.
"Jika Say nyoo-hui
benar-benar merupakan satu diantara dua wanita pembunuh ibuku dimasa lalu,
perduli betapa baiknya dia ter-hadap adik Lan, dia tetap merupakan musuh besar
pembunuh ibuku, dendam orang tua sedalam lautan, kami tak bisa melupakan sakit
hati tersebut hanya dikarenakan budi pemeliharaannya selama berapa tahun."
Kata-kata yang penuh semangat
dan gagah ini segera disambut Lan See giok serta Si Cay boat dengan anggukan
kepala, sedangkan Oh Li cu juga segera menghentikan isak tangis-nya.
"Lantas apa rencana
kalian selanjutnya?" tanya Si Cay soat kemudian.
Tok Nio-cu mengerutkan
dahinya, kemu-dian berkata sedih.
"Menurut keterangan dari
adik Lan serta adik Giok. Wi-lim-poo berjaya di atas telaga, konon kapal
perangnya meliputi berapa ratus buah, pengaruhnya luas dan kekuatannya besar.
bila ingin membalas dendam sudah jelas bukan hanya kekuatan Pek ho cay yang
dapat menandinginya, sebab kecuali adik Lan seorang yang lain tidak pandai ilmu
dalam air, . . . "
Sesudah sangsi sejenak, dia
berkata lebih jauh.
"Lagi pula menurut
penuturan adik Lan atas raut wajah Say nyoo hui Gi Ci hoa bisa jadi dia adalah
salah seorang yang turut menyerang ibuku dimasa lalu, tapi aku harus melihatnya
sendiri sebelum dapat membukti-kan kebenarannya, oleh karena itu aku pikir
ingin mengikuti adik Lan pergi ke Phoa- yang oh dan berusaha mengintip sekali
wajah asli dari Say nyoo hui, kemudian baru menyusun rencana untuk membalas
dendam."
"Ya, bertindak secara
demikian memang jauh lebih baik " Lan See giok segera menya-takan
persetujuannya, janganlah dikarena-kan kurang berhati hati, akibatnya susu
di-balas dengan tuba, kalian bisa menyesal sepanjang masa."
Tok Nio-cu manggut-manggut.
"Itulah sebabnya aku
harus melihat dulu raut wajah, asli dari Say Nyoo hui."
Tiba-tiba Oh Li cu
mendongakkan kepalanya yang basah oleh air mata, lalu ujarnya kepada Lan See
giok.
"Cici hanya mengandalkan
kelihaian sen-jata rahasia saja. selama ini sedang ilmu si-latnya cuma
biasa-biasa saja, di tambah pula dia tak pandai ilmu berenang, sulit rasanya
untuk menuntut balas, sampai waktunya kami berharap adik Giok sudi membantu
usaha kami itu ...."
Sebelum Lan See giok sempat
menjawab, Tok Nio-cu sudah menimbrung, lebih dulu dengan nada seolah-olah
menghibur.
"Adik Lan tak usah
kuatir. aku yakin adik Giok pasti tak akan berpeluk tangan belaka"
"Ooh. tentu saja, tentu
saja, siaute tentu tak akan menampik" seru Lan See-giok, de-ngan
bersungguh hati.
Dengan penuh rasa berterima
kasih Oh Li cu memandang kearah Lan See giok, kemu-dian tanyanya lagi dengan
penuh rasa kuatir:
"Sekarang, apakah kau
hendak berangkat ke Lim lo pah di telaga Tong ting?"
Lan See giok termenung
sebentar, kemu-dian jawabnya:
"Aku dan adik Soat masih
mempunyai banyak persoalan yang harus diselesaikan secepatnya, apakah hendak
pergi ke Lim lo pa, masih tanda tanya besar sekarang, aku baru dapat mengambil
keputusan menurut perkembangannya nanti."
Oh Li-cu kembali bersedih
hati, karena dari kata kita pemuda tersebut sama sekali tidak disertakan dengan
kata ajakan yang memin-tanya melakukan perjalanan bersama, karena sedihnya, air
matapun bercucuran. . . Berbeda sekali dengan Tok Nio-cu, apa yang dipikirkan
olehnya sekarang hanya memba-laskan dendam bagi kematian orang tuanya, ia tidak
berharap adiknya merasa gelisah karena masalah ini, asal Lan See- giok tidak
kabur ke langit, ia berjanji akan memenuhi keinginan adiknya itu,
Maka dengan nada serius diapun
bertanya, "Di kemudian hari, bagaimana cara aku un-tuk mengadakan
kontak-?"
Lan See giok yang jujur dan
polos segera, menjawab tanpa ragu-ragu lagi. "Kalian boleh datang ke
pantai barat telaga Phoa yang oh, kampung nelayan dimana naga sakti pemba-lik
sungai berdiam, tanyakan saja kepadanya, ia pasti mengetahui jejak-ku, mungkin
juga seusai urusan di sini, aku hendak berangkat ke sana."
Sesudah mendengar perkataan
itu, agaknya Oh Li cu merasa jauh lebih berlega hati. se-kali lagi dia menengok
wajah Lan See giok sambil bertanya. "Adik Giok. kau dan nona Si akan
berangkat kapan?"
Biarpun Lan See giok merasa Oh
Li-cu patut dikasihani, namun berada dihadapan Si Cay-soat yang sok cemburu, ia
tak berani banyak berbicara, sahutnya kemudian de-ngan cepat:
"Siaute pikir. selesai
bersantap nanti segera akan berangkat !"
Tok Nio-cu dapat melihat
dengan jelas, dia tahu Lan See giok sudah menaruh perasaan kasihan terhadap
adiknya, maka sambil me-nengok ke arah Si Cay-soat. ia bertanya sam-bil
tersenyum.
"Nona Si, apakah kau
punya kuda?"
Ucapan mana dengan cepat
menyadarkan Lan See giok dan si Cay soat bahwa saat itu merupakan sebuah
masalah, gadis tersebut segera menggeleng.
"Aku tidak suka
menunggang kuda, maka aku tak pernah membeli kuda ..""
Tergerak hati Oh Li cu, dia
seperti mempu-nyai kesan untuk membaiki Si Cay-soat, de-ngan wajah serius
katanya kemudian:
"Ka1au toh kalian hendak
berangkat lebih dulu, biar kuhadiahkan kuda Ci-hwee -kou ku itu untuk nona
Si!"
Tapi Tok Nio-cu tidak setuju:
"Kuda Ci hwee-kou milikmu
itu kelewat liar, bila nona Si tak bisa mengendalikan bisa berabe jadinya.
lebih baik adik Giok menung-gang Wu wie kou sedangkan nona Si menunggang Pek
kou, aku rasa ini lebih aman,"
Lan See giok sadar, tanpa kuda
jempolan mustahil bagi mereka untuk menempuh per-jalanan cepat, diapun segera
menyatakan persetujuannya.
"Sebetulnya begini memang
paling baik, hanya akibatnya harus menyiksa nyonya."
Mendadak Oh Li cu menimbrung:
"Selama ini cici selalu
berusaha dan ber-juang mati matian demi kau, dua kali sudah ia menghadiahkan
kudanya untukmu, bahkan selalu memanggil adik Giok, menga-pa adik Giok tidak
berubah juga` panggi-lanmu men-jadi cici?"
Merah dadu selembar wajah Lan
See giok buru-buru ia menerangkan:
"Berhubung sejak awal
sudah terlanjur menyebut nyonya, rasanya jadi kurang bebas untuk
merubahnya--."
"Tapi untuk diubah
sekarang pun belum terlambat?" sambung Oh Li cu lagi-
Lan See giok merasa banyak hal
Tok Nio-cu. memang berjasa kepadanya, banyak ma-salah yang patut dihargai
olehnya, tanpa banyak bicara, ia lantas mengangkat cawan nya dan berkata� sambil tertawa.
"Biar siaute menghormati
enci Peng dengan secawan arak, anggap saja sebagai rasa te-rima kasihku untuk
perhatian enci Peng se-lama ini-- "
Tok Nio-cu tertawa cerah,
namun dibalik senyuman kemenangan itu, terselip juga rasa menyesa1 dan malu,
dia segera mengangkat cawannya dan meneguk habis isinya
Si Cay soat yang polos, dengan
cepat me-ngangkat cawannya pula sambil berkata ri-ang.
"Biar siaumoay juga menghormati
Cici ber-dua dengan secawan arak sebagai rasa teri-ma kasihku untuk hadiah
kuda"
Atas ucapan mana, Tok Nio-cu
dan Oh Li cu seakan akan memperoleh penghormatan yang tinggi, cepat-cepat
mereka berdua me-ngangkat cawan masing-masing sambil me-nyebut adik Soat.
Lan See giok yang menyaksikan
kesemua-nya itu tentu saja, merasa sangat gembira, memang saling mengenal
dengan akrab jauh lebih enak dari pada hubungan yang dingin. Biarpun Oh Li cu
pernah hidup dalam keja-langan dimasa lampau, namun semenjak berjumpa dengan
bibi wan serta enci Cian. dia telah berubah menjadi lembut dan halus, tidak ada
lagi sifat genitnya seperti dahulu.
Teringat akan bibi Wan dan
enci Cian, hatinya bertambah gelisah. Cepat-cepat dia perintahkan pelayan untuk
menyiapkan kuda.
Sewaktu ke empat orang itu
selesai ber-santap, matahari sudah tenggelam di langit barat.
Tok Nio-cu yang harus membeli
kuda baru, memutuskan akan berangkat keesokan harinya bersama Oh Li cu
sebaliknya Lan See-giok dan Si Cay soat berangkat pada saat itu juga.
Meninggalkan kota Tiang
siu-tan, maghrib sudah menjelang, orang yang berlalu lalang semakin jarang,
itulah sebabnya merekab ber-dua segeraj melarikan kudagnya kencang-kenb-cang
menuju tenggara.
Sepanjang perjalanan, muda
mudi berdua itu hanya membungkam diri sambil memikirkan persoalan
masing-masing.
Lan See giok sangat
menguatirkan kesela-matan bibi Wan serta enci Ciannya, dia tak tahu mengapa si
naga sakti pembalik sungai harus bermain gila, hal tersebut membuat perasaannya
bertambah gelisah.
Sebaliknya Si Cay soat hanya
memikirkan kemurungan dan kepedihan Oh Li cu, ia da-pat merasakan bahwa cinta
kasih Oh Li cu terhadap engkoh Giok nya tidak berada di bawah sendiri, dia tak
tahu mengapa pemuda itu justru berusaha menjauhi Oh Li cu atau mungkin pemuda
itu hendak memberi tanda kepadanya bahwa ia tidak menyukai Oh Li cu?
Dalam waktu singkat tiga
puluhan li sudah dilalui, kini kegelapan malam sudah mulai mencekam seluruh
permukaan bumi, bin-tang-bintang beterbangan di angkasa, lari kuda mereka kian
lima kian bertambah ce-pat. -
Suatu ketika, Si Cay soat
melihat Lan See giok sedang berkerut kening. tak tahan lagi ia segera menegur
dengan lembut.
"Engkoh Giok, sebenarnya
apa sih yang se-dang kau pikirkan?"
Lan See giok segera tersadar
dari lamunan-nya, ia merasa sudah amat lama tidak me-ngajak gadis itu
berbicara. sahutnya kemu-dian:
"Aku sedang memikirkan
soal si naga sakti pembalik sungai Thio loko, mengapa ia tidak memberitahu
kepadamu- mengapa kita mesti pergi ke kampung nelayan di tepi telaga Phoa yang
oh?"
"Bukan siaumoay sudah
tahu enggan me-ngatakan, tapi sesungguhnya siau moay sendiripun tidak tahu!
" kata Si Cay soat de-ngan wajah bersungguh sungguh.
Lan See-giok segera merasakan
hatinya bertambah berat, dia semakin tidak paham maksud dan tujuan dari naga
sakti pembalik sungai itu.
Sementara dia masih berpikir,
tiba-tiba terdengar Si Cay-soat; bertanya lagi.
"Engkoh Giok, apakah kita
hendak menuju telaga Tong ting lebih dahulu?" ,
"Tidak kita harus pulang
ke kabmpung nela-yan jlebih dulu!"
Pgemuda itu merasba harus
pulang dan un-tuk menengok bibi Win serta enci Cian, de-ngan begitu hatinya
baru merasa lega.
Maka mereka segera menelusuri
jalan raya menuju ke telaga Phoa yang-oh.
Sejak perpisahan dulu,
hubungan Lan See giok dengan Si Cay-soat sekarang tak ubah nya seperti sepasang
suami istri, Lan See giok menjumpai gadis itu lebih lembut dan hangat dalam
banyak hal selalu memperhati-kan dirinya, ia pun tak pernah ngambek lagi.
Demi menjaga kondisi badan
serta kese-hatan kuda-kuda mereka, kedua orang itu se1aIu jalan pagi istirahat
di waktu malam, sepanjang jalan mereka selalu tidur seran-jang dengan penuh
kemesraan.
Si Cay soat sendiripun selalu
berusaha menghibur dan mengajak pemuda itu ber-mesraan, hal ini membuat Lan See
giok yang sedang murung dan kesal, agak terhibur juga.
Hari bertambah hari, telaga
Phoa yang oh sudah semakin dekat, sekali lagi Lan See giok merasakan hatinya
gundah dan tak tenang, bayangan wajan bibi Wan yang anggun dan enci Cian yang
lembut, selalu muncul dan terbayang dalam benaknya.
Gara-gara persoalan ini,
seringkali ia tak bisa tertidur dengan nyenyak.
Si Cay soat yang tidur di
sisinya sebagai gadis yang cerdik tentu saja mengetahui jalan pemikiran pemuda
itu, namun bila ter-ingat sebentar lagi akan bertemu dengan Ciu Siau cian yang
selalu dipuja puja gurunya, dia malah merasa sangat gembira.
Namun, sebagai seorang gadis
yang ingin mencari menangnya sendiri dihati kecilnya timbul juga ingatan untuk
membanding-bandingkan mereka berdua, dia ingin mem-buat engkoh Giok nya
beranggapan bahwa kehadirannya jauh lebih penting ketimbang Ciu Siau cian.
Sepuluh hari perjalanan
kemudian, akhirnya kota Tek an yang mentereng sudah muncul dalam pandangan mata
mereka ber-dua..
Memandang kota itu. Lan See
giok merasa bagaikan kembali ke kampung halaman yang sudah banyak tahun
ditinggalkan, hatinya diliputi gejolak emosi, darah serasa mendidih, ia tahu
dengan kecepatan kuda mereka. pa-ling banter setengah hari lagi mereka akan
bertemu dengan bibi Wan serta enci rCian.
Kuda Wu zwi kou dan Pak wkou
meringkik triada hentinya sambil berlari kencang.
bangunan kota Tek an yang
perkasa kian lama kian mendekat, namun Lan See giok tidak menghentikan
perjalanannya, dia mela-rikan kudanya semakin kencang . . .
Si Cay soat yang melihat hal
tersebut tiba-tiba saja timbul pikiran nakalnya, ia merasa wajib berupaya agar
pemuda itu lebih mem-perhatikan dirinya dari pada Ciu Siau cian. . . .
Tatkala Lan See giok sedang
mengambil keputusan untuk melewati pinggiran kota saja, mendadak ia tidak
melihat bayangan dari kuda Pak kou lagi,
Dengan perasaan terkejut
pemuda itu segera berseru.
"Aaah, adik
Soat......"
Cepat-cepat dia menarik tali
les kudanya sambil membalik ke arah .....
Dikejauhan sana ia jumpai Si
Cay soat ka-dang menghentikan kudanya di tepi jalan sepasang wajah nona itu
kelihatan merah sedang tangannya yang satu berpegangan pada tali les, tangan
yang lain memegangi jidat sendiri, hal ini menunjukkan kalau dia telah jatuh
sakit. . .
Tak terlukiskan rasa kaget Lan
See giok, dengan perasaan gugup dan gelisah dia segera menghampirinya, kemudian
sambil memegang tali les kuda putih itu, tanyanya penuh kecemasan.
"Adik soat, mengapa kau?
Bagaimana rasa mu sekarang .....?"
Si Cay soat hanya memejamkan
matanya rapat-rapat dan menggeleng dengan penuh penderitaan.
Lan See-giok lantas menduga.
kalau Si Cay soat masuk angin, maka sambil me-nuntun kuda putih itu dia
berangkat masuk ke dalam kota.
Dalam keadaan demikian. dia
tidak memikirkan hal-hal yang lain lagi. apa yang terpikir olehnya sekarang
adalah secepatnya membiarkan Si Cay soat beristirahat dengan tenang di atas
pembaringan.
Peristiwa semacam ini boleh
dibilang tak terduga sama sekali olehnya, padahal sete-ngah hari perjalanan
lagi mereka akan tiba di telaga Phoa yang oh,, tapi justru disaat seperti ini
Si Cay soat jatuh sakit.
Ia tahu selama belasan hari
perjalanan, Si Cay-soat selalu melayani kebutuhannya, menyisirkan rambut,
membantu mengenakan pakaian, meladeni sarapan dan menemani-nya tidur. semua
pekerjaan semacam ini memang terlalu melelahkan dirinya.
Dalam anggapannya, wanita
adalah kaum yang lemah, kesehatan tubuh mereka selalu lemah, tidak heran bila
jatuh sakit setelah menempuh perjalanan jauh dengan susah payah.
Tiba di dalam kota, pemuda itu
segera membawa si nona menuju ke sebuah rumah penginapan yang terdekat.
Setibanya di depan penginapan,
cepat-ce-pat pemuda itu menyerahkan kudanya kepada pelayan, kemudian ia
membopong tubuh Si Cay-soat menuju ke ruang dalam.
pemuda itu merasakan betapa
panasnya tubuh Si Cay-soat, mukanya merah mem-bara, suhu badannya tinggi
sekali.
Maka setelah sampai di dalam
kamar, dia membaringkan gadis itu di atas pembaringan, kemudian tanyanya penuh
perhatian:
"Adik Soat, bagaimana
rasanya sekarang?"
"Oooh,.. kepalaku pusing,
dahaga dan se-kujur badan serasa lemas tak bertenaga!", keluh gadis itu
sambil memejamkan mata.
Lan See-giok menuang secawan
air teh dan membangunkan gadis itu, kemudian menyuapinya pelan-pelan. setelah
itu kem-bali dia bertanya dengan penuh perhatian.
"Adik Soat. mengapa kau
bisa jatuh sakit secara tiba-tiba.. ?�"
"Sejak berangkat pagi
tadi, aku sudah merasa tak enak badan. ketika akan melewati kota di depan sana,
sesungguhnya aku su-dah mulai tak tahan ...."
Sebenarnya pemuda itu hendak menegur
si nona., tapi bila teringat bagaimana sepanjang jalan dia hanya memikirkan
melanjutkan perjalanan dengan cepat, tiba-tiba saja tim-bul rasa menyesal
dihati kecilnya.
Tanpa terasa dengan penuh
rasab kasih sayang djia membelai ramgbut gadis itu dban menyeka keringat yang
membasahi jidatnya
Padahal selama ini Si Cay soat
sudah bebe-rapa kali mengintip gerak gerik pemuda itu, ketika melihat
kegelisahan dan kepanikan sang pemuda, ia tersenyum bahagia dalam hati. sebab
dia berpendapat bahwa kehadi-rannya dalam hati pemuda tersebut ternyata tidak
lebih enteng daripada kehadiran Ciu Siau cian.
Diapun membayangkan bagaimana
Siau cian sudah setahun lebih berpisah dengan Lan See giok, siang malam
merindukan ke-hadirannya, entah betapa rindunya dia sekarang menantikan
kedatangan anak muda tersebut?
Sedangkan ia sendiri, boleh
dibilang sepanjang hari selalu berada bersamanya, tak sedikitpun berpisah,
kalau dihitung hi-tung dia telah memperoleh lebih banyak ketimbang gadis itu.
Akan tetapi bila ia teringat
akan hadiah sa-rung pedang, serta sepatu yang dibuat de-ngan susah payah oleh
Ciu Siau cian timbul kembali perasaan menyesal dalam hati kecil-nya.
Rasa menyesal dan gelisah
membuat peluh bercucuran semakin deras lagi, tanpa ban-tuan tenaga dalam
seperti apa yang di laku-kan tadi, peluh bercucuran bagaikan hujan gerimis.
Akibatnya Lan See giok yang
sedang kalut pikirannya dibuat semakin gelisah dan panik.
Melihat kegelisahan dan
kepanikan anak muda itu, akhirnya Si Cay soat berkata de-ngan sedih.
"Engkoh Giok, pergilah
dulu, biar siaumoay beristirahat setengah harian saja, aku perca-ya sakitku
tentu akan sembuh kembali!"
"Tidak..." tampik
Lan See-giok. "kau sedang tak enak badan, aku merasa wajib untuk
menemanimu, apalagi perjalanan yang di-tempuh oleh Thio loko dan adik Thi gou
tidak bakal lebih cepat daripada kita, biar sampai ditujuan pun belum tentu aku
dapat bersua dengan mereka"
Tapi kau toh bisa menengok
enci Cian dan bibi Wan?" ujar si nona dengan tulus hati.
Ucapan tersebut dengan tepat
mengenai perasaan Lan See giok, tapi tegakah dia meninggalkan adik Soat yang
sedang sakit untuk menengok enci Cian ?
Dengan cepat dia menggelengkan
kepala-nya berulang kali. Tidak, kalau harus pergi kita pergi bersama, aku
percaya bibi Wan bdan enci Cian, jtentu akan gembgira sekali bertbemu dengan
kau..""
Sudah lama sekali Si Cay soat
ingin meli-hat wajah asli Ciu Siau-cian, apalagi teringat mimik wajah engkoh
Gioknya setiap kali ber-bicara soal Ciu Siau-cian, dia per-caya dalam
perjumpaan mereka setelah berpisah setahun lebih pertemuan itu pasti akan
dibumbui dengan peluk cium yang hangat:
Bila ia turut hadir dalam
suasana seperti ini, ooh.--betapa sadisnya keadaan waktu itu.
Berpikir sampai di situ,
segera ujarnya dengan tak senang hati. "Tidak, aku tak mau pergi, mukaku
lagi merah, rambutku kusut, badan lemas tak bertenaga. masa aku mesti bertemu
orang?"
"Lantas bagaimana dengan
kau?" Lan See giok bertanya agak gelisah
Si Cay soat termenung sejenak,
kemudian sahutnya. "Biar kita beristirahat berapa saat di sini, begitu
kondisi badanku pulih kembali, kita segera melanjutkan perjalanan, aku menuju
ke kampung nelayan sedang kau menengok bibi Wan, besok bila aku sudah tukar
pakaian baru, baru kusambangi enci Cian dan bibi Wan---setuju?"
Lan See giok mengira Si Cay
soat suka akan kecantikan, dia tak tega menolak ke-hendak hatinya, dengan cepat
dia meng-ang-guk.
Mereka berdua segera duduk
bersemedi untuk mengatur pernapasan, lewat tengah hari Lan See giok nampak
segar kembali, se-baliknya Si Cay-soat berlagak masih lemas selesai bersantap
dan membayar rekening, mereka melanjutkan perjalanan lagi:
Melalui sebelah selatan kota,
kedua orang itu berangkat menuju ke telaga Phoa-yang oh.
Sepanjang jalan Si Cay-soat
tiada hentinya memperhatikan gerak-gerik Lan See giok, dilihatnya pemuda itu
tidak menunjuk kan kegelisahan seperti siang tadi, malah pemuda itu selalu
berusaha mengendalikan lari ku-danya dan melimpahkan segenap perhatian
kepadanya.
Diam-diam gadis itu sangat
gembira, tapi timbul juga perasaan menyesal dan malu, sekarang terbukti sudah
Lan See giok tak pernah membeda bedakan perhatiannya ter-hadap dia maupun Ciu
Siau cian, kalau tadi pemuda itu gelisah dan cemas, hal itu hanya dikarenakan
mereka telah berpisah hampirr setahun lebih.z.
Berpikir samwpai di situ ia
rpercepat lari ku-danya. tapi Lan See giok yang mengikuti di sisinya justru
selalu memperingatkan agar ia berhati-hati, jangan melarikan kudanya kelewat
cepat.
Sebelum matahari tenggelam di
langit barat, di ujung tenggara situ sudah nampak permukaan, telaga yang
gemerlapan, oleh pantulan cahaya ...
Melihat air telaga dikejauhan
sana, timbul kembali perasaan gembira dalam hati Lan See-giok, Sorot matanya
segera dialihkan ke perkampungan nelayan di bawah bukit situ, dia sedang
membayangkan bagaikan kaget dan girangnya bibi Wan serta enci Cian se-waktu
melihat kehadirannya.
Dalam keadaan begini, tiada
prasangka jelek yang melintas di dalam benaknya, ia tidak kuatir bibi Wan dan
enci Cian men-jum-pai musibah. malah dia yakin pasti dapat bersua dengan mereka.
.
Tiba-tiba Si Cay-soat
berbisik.
"Engkoh Giok, setibanya
di persimpangan jalan di depan sana, kita harus berpisah dulu"
Lan See giok menatap gadis itu
tajam-ta-jam, kemudian pintanya.
"Adik Soat, marilah kita
pergi bersama sama, bukankah kau sudah sembuh kemba-li?"
"Tidak!" tampik Si
Cay soat sambil meng-gelengkan kepalanya dan mengulumkan senyuman paksa, aku
masih merasa tak enak badan!"
"Kalau begitu, biar
kuhantar dulu kau sampai di rumah kediaman naga sakti pem-balik sungai Thio
Loko?"
"Tak usah. tak usah, aku
toh masih me-ngenal jalan!" cegah gadis itu cepat-cepat.
Sementara pembicaraan
berlangsung. mereka telah sampai di persimpangan jalan. gadis itu segera
melarikan kudanya cepat-cepat memasuki hutan lebat--.-
Lan See giok menarik tali les
kudanya dan mengawasi bayangan punggung Si Cay soat yang menjauh dengan penuh
rasa kuatir. bu-kan saja dia menguatirkan kesehatan tubuhnya, pemuda itu juga
takut bila gadis itu marah..
Si Cay-soat sendiri sempat
pula berpaling, Ketika dilihatnya pemuda itu malah menghentikan lari kudanya
sambil memper-hatikan ke arahnya dengan penuh rasa kuatir, hatinya terasa sedih
di samping ha-ngat den mesra, cepat dia mengulapkan ta-ngannya, agar pemuda itu
segera berangkat.
Dia melihat Lan See giok
mengulapkan tangannya pula berulang kali, setelah itu baru melarikan kudanya
melanjutkan per-jalanan, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap
dibalik hutan.
Si Cay soat merasa matanya
menjadi ka-bur, entah sadari kapan, titik air mata telah jatuh berlinang ....
Sebetulnya dia hendak
mendahului Ciu Siau cian untuk mendapatkan Lan See giok, tapi sekarang, ia
justru telah melepaskan ke-sempatan baik ini dengan begitu saja.
Dengan termangu mangu Si Cay
soat duduk di atas kudanya. mengawasi bayangan kuda Lan See giok dengan
tertegun, mem-ba-yangkan adegan pertemuan antara Ciu Siau cian dengan pemuda
itu, timbul perasaan tak sedap yang tak terlukiskan dengan kata dalam hatinya.
BAB 24
DALAM waktu singkat, bayangan
kuda dari Lan See giok sudah hilang lenyap dibalik ke-gelapan.
Dengan perasaan sedih, Si Cay
soat meneruskan kembali perjalanannya menuju ke kampung nelayan, teringat
selama belasan hari ini, setiap kali menginap dia selalu tidur bersama engkoh
Giok nya, tapi engkoh Giok yang bodoh, setiap kali tak pernah---
Sekarang ia, sedang bertanya
kepada diri sendiri. mungkinkah antara engkoh Giok dengan Ciu Siau cian akan
melakukan--.?
Membayangkan masalah yang
paling rawan itu, mendadak hatinya berdebar keras, pipi-nya menjadi merah,
diam-diam ia mengum-pat ketidak maluan sendiri.
Dalam pada itu Lan See giok
yang melan-jutkan perjalanan menuju ke rumah bibi nya. juga dibebani oleh
banyak persoalan.
Ia sedang membayangkan betapa
terkejut dan gembiranya bibi Wan serta enci Cian ketika mereka saksikan dia
pulang ke rumah secara tiba-tiba...
Diapun membayangkan, enci
Cianb yang sudah setjahun berpisah dgengannya, kini bpasti bertambah lembut dan
cantik, bagai-mana gembiranya gadis itu ketika melihat dia pulang?
Kemudian ia pun berpikir
tentang ke-mun-culan Si Cay soat besok pagi, ia tak tahu apakah enci Cian nya
akan menunjukkan sikap cemburu seperti apa yang diper-lihatkan Oh Li cu?
Ia merasa wajib untuk
mengucapkan bebe-rapa kata yang memuji adik Soat di depan enci Cian.
Teringat Si Cay soat, tanpa
terasa ia berpa-ling dan memandang kembali hutan di bela-kang sana, namun
pemandangan di sekeliling situ sudah tertutup oleh kegelapan malam.
Lima li kemudian, dari
kejauhan sana- ter-lihat titik cahaya lentera, dia tahu disitulah letak tempat
tinggal bibi Wan.
Dalam waktu singkat lima li
sudah di tem-puh, pemuda itu segera memperlambat lari kudanya dan langsung
masuk ke dalam dusun.
Dari jauh dia melihat cahaya
lentera masih nampak disulut dalam kamar tidur enci Cian.
Dalam keadaan begini, ia
benar-benar tak bisa membendung gejolak emosi dan rasa gembira di dalam hatinya
hampir saja dia tak tahan hendak berteriak memanggil enci Cian dan bibi Wan
nya.
Dengan penuh kegembiraan dia
menarik tali les kudanya, Wu-wi-kou segera me-ringkik panjang dan lari menuju
ke depan pintu pekarangan bibi Wan.
Suara ringkikan kuda yang
keras serta derap kuda yang nyaring dengan cepat mengejutkan seisi dusun. lampu
lentera segera dipadamkan orang, sementara cahaya lentera yang semula menyinari
kamar tidur Ciu Siau cian. kinipun telah dipadamkan.
Dengan cepat Lan See giok
sadar bahwa bibi Wan hidup di situ sebagai seseorang yang mengasingkan diri,
tidak sepantasnya bila dia mengganggu ketenangan orang kam-pung, serta merta
pemuda itu melompat tu-run dari kudanya dan menepuk kudanya agar jangan
berisik.
Kuda tersebut memang sangat
pintar, de-ngan cepat ia menghentikan ringkikan pan-jangnya dan memperingan
langkah kakinya.
Lan See giok menarik kudanya
memasuki halaman rumah bibi Wan, kemudian dengan tangan yang gemetar karena luapan
rasa gembira yang luar biasa ia bersiap siap me-ngetuk pintu.
Namun sebelum hal ini
dilakukabn, tiba-tiba dajri dalam ruangagn sudah kedengabran sese-orang menegur
dengan suara rendah dan be-rat:
"Siapa di situ?"
Lan See giok segera mengenali
suara tegu-ran itu sebagai suara dari enci Cian.
"Cici Cian. aku yang
datang!" sahut pemu-da Itu kemudian sambil berusaha menekan gejolak
emosinya.
Dari dalam ruangan segera
kedengaran suara langkah manusia yang tergesa gesa, menyusul kemudian pintu
dibuka orang dan sesosok bayangan kuning menerjang ke luar dari balik pintu
seperti seekor burung walet yang terbang lantaran kaget .....
Kemudian dengan suara kejut,
gembira serta gugup, dia menegur pula agak gemetar.
"Sungguh. ..sungguhkah
kau. . ?"
Belum sampai habis perkataan
itu diutara-kan, tubuhnya sudah menyusul di pintu ger-bang dan tergopoh gopoh
mementangkan pintu rumahnya lebar-lebar.
Ketika melihat Lan See giok
telah tumbuh menjadi dewasa, tinggi besar dan lebih tam-pan, hampir saja Siau
cian tak berani me-manggilnya lagi.
Bertemu dengan.. Siau cian,
Lan See giok Segera melepaskan tali les kudanya kemu-dian agak tak sabar ia
genggam sepasang tangan gadis itu dan serunya sambil menga-wasi wajah nona itu
lekat-lekat:
"Enci Cian, aku yang
telah datang. Mana bibi ?"
Dengan sinar mata penuh
pengharapan dia menengok sekejap ke pintu kamar.
Dengan cepat Ciu Siau-cian
dapat me-ngu-asai diri, ketika melihat sepasang tangannya digenggam anak muda
tersebut, merah padam selembar wajahnya, agak tersipu sipu sahutnya.
"Ayo cepat masuk adik
Giok!"
Sambil berkata dia lepaskan
diri dari cekalan pemuda itu dan berdiri di sisi kanan pintu.
Lan See-giok tertawa riang,
cepat-cepat dia masuk ke dalam ruangan.
Tiba-tiba suara ringkikan kuda
berat dan rendah berkumandang dari belakang tubuh-nya.
Dengan cepat Lan See-giok
teringat kalau kudanya masih tertinggal di luar pagar hala-man, tanpa terasa
dira berpaling danz tertawa menyeswal.
"Aaah, hamrpir saja
kulupakan engkau."
Dengan suatu gerakan, diapun
menuntun kuda hitam itu, memasuki pintu pagar.
Dengan wajah terkejut
bercampur ke-heranan, Siau-cian memperhatikan sekejap kuda Wu-wi-kou yang
tinggi besar itu, kemu-dian mundur dua langkah agar, kuda hitam Itu dapat masuk
ke dalam halaman, setelah itu pintu halaman cepat-cepat di-tutup rapat.
Dengan sendirinya Wu wi kou
itu ber-jalan menuju ke sudut halaman dan menunggu dengan tenang di situ.
Selesai menutup pintu, Siau
cian baru me-nengok kuda hitam itu sambil katanya penuh kegirangan.
"Adik Giok, kuda hitam
itu bagus sekali kaukah yang membelinya . . . ?"
"Oooh bukan. itu
pemberian perempuan beracun Be Cui peng!" jawab sang pemuda tanpa ragu.
Mendengar kuda itu pemberian
seorang wanita, dengan penuh perasaan Siau cian mengangguk, keningnya segera
berkerut, kemudian sewaktu menuju ke ruang dalam ia sempat bertanya lagi agak
curiga.
"Siapa sih perempuan
beracun Itu?"
"Oooh, dia adalah nyonya
Gui Pak ciang. ketua Pek ho cay . . . "
Mendengar, kalau istri Pek ho
caycu, di dalam anggapan Siau cian, si perempuan beracun itu sudah pasti
seorang nenek-ne-nek, karenanya masalah itu tidak dipikir-kan dihati lagi.
Namun dia toh merasa terkejut
bercampur keheranan sewaktu mengetahui Lan See giok telah pergi mencari Gui
Pak-ciang seorang diri.
"Jadi kau telah berkunjung
ke Pek ho cay?
Lava See-giok mengangguk
sambil meng-i-akan, mereka berduapun masuk ke dalam ruangan dan langsung menuju
ke kamar tidur gadis itu.
Ketika tidak melihat bibinya
menampakkan diri, sekali lagi pemuda itu bertanya kehe-ranan.
"Enci Cian, mana
bibi?"
"Mungkin sebentar lagi
dia sudah pulang" sahut Siau cian sambil menyulut lentera.
Seperti sengaja tak sengaja,
beberapa kali gadis itu mengalihkan pandangan matanya mengamati wajah Lan
See-giok, wajah yang tampan dan menawan hati itu, sudah mem-buatnya menderita
selama setahun lebih...
Di bawah sinar lentera, Lan
See-giok pun menemukan enci Cian nya tumbuh lebih tinggi, tapi wajahnya justru
lebih cantik ketimbang setahun berselang terutama sekali sepasang biji matanya
yang jeli, sungguh membuat hati orang terpikat.
Berdebar keras hati Siau-cian
setelah dia-mati secara lekat-lekat oleh pemuda itu, agak malu tapi senang,
gadis itu segera berseru:
"Adik Giok, sekarang kau
lebih tinggi dari pada aku!"
Lan See-giok tertawa bodoh.
lalu sahut nya agak tersipu-sipu:
"Dan kau lebih-cantik
dari pada dulu."
"Aaah. kau-memang pandai
bicara gadis itu tertawa jengah.
Tanpa terasa dia menggerakkan
tangan nya dan meraba bahu pemuda itu...
Rasa hormat Lan See giok
terhadap Siau cian. jauh melebihi rasa cintanya, biarpun wajah cantik jelita
itu berada di depan dadanya, selembar bibirnya yang kecil mungil hanya satu
depa di depan bibirnya tapi ia tak berani menundukkan kepala untuk mengecupnya.
Dia tak lebih hanya bisa
berdiri tenang sambi1 menikmati bau harum semerbak yang terpancar ke luar dari
tubuh gadis itu dan mengendusnya dalam-dalam, sementara sinar matanya mengamati
bibirnya yang mungil tanpa berkedip.
Siau cian berdiri tepat
dihadapan See-giok ia merasa pemuda itu sama sekali telah de-wasa, apalagi
ketika ia mendongakkan kepalanya dia melihat senyumannya yang manis, tiba-tiba
gadis itu merasa bahwa adik Giok hendak mencium bibirnya.
Teringat akan ciuman, deburan
hatinya kian lama kian bertambah kencang, dia sa-ngat berharap pemuda itu dapat
berbuat hal ini terhadapnya, Namun tak urung bisiknya pula lirih- "Adik
Giok, ayo kita duduk sambil berbincabng!"
Dengan lejmah lembut dia
gmembalik-kan babdan dan duduk di tepi pembaringan.
Melihat Siau-cian menyingkir,
tiba-tiba Lan See giok seperti memperoleh keberanian, ce-pat-cepat dia
mengejar, memegang lengan gadis itu dan duduk di sisinya, kemudian agak tersipu
sipu, tapi lembut, ia berkata "Enci Cian, sewaktu berada dibukit Hoa san.
saban hari aku selalu merindukan diri mu!"
Siau cian merasakan hatinya
hangat dan tanpa terasa tertawa cekikikan, sambil me-ngawasi pemuda itu, ia
berseru:
"Wajah bodoh, semuanya
telah berubah, hanya bibirmu yang pandai bicara saja yang rasanya tak ikut
berubah....
Sambil berkata ia menuding
dagu pemuda itu dengan jari tangannya yang lentik.
Lan See giok kuatir Siau-cian
tak percaya, dengan gelisah ia berseru lagi.
"Sungguh, aku benar-benar
sangat rindu kepadamu, enci Cian bila kau tak percaya besok boleh tanyakan
sendiri kepada adik Soat..."
Begitu mendengar kata-kata
"adik Soat", Siau-cian seperti teringat akan sesuatu, di antara
kerutan dahinya segera muncul se-lapis kemurungan, namun di luar ia masih
memaksakan diri untuk nampak gembira.
"Kau maksudkan nona
Si?" tanyanya..
Sambil berkata, dengan suatu
gerakan yang luwes dia menarik kembali tangannya yang sedang digenggam pemuda
itu.
Oleh karena sedang gembira,
Lan See-giok sama sekali tidak merasakan keanehan tersebut, tetap penuh
kegirangan dia berkata lagi.
"Betul, dia telah pergi
ke kampung nelayan, besok baru akan kemari untuk menjenguk-mu serta bibi
Wan."
"Mengapa ia tidak kemari
bersama sama kau?" tanya Siau cian lagi dengan kening berkerut.
"Ditengah jalan adik Soat
tak enak badan. dia takut kau menertawakan kesayuannya, karena itu tidak ikut
datang!"
Sambil berkata, tanpa terasa
dia meng-genggam sepasang tangan Siau cian lagi.
Tapi begitu tangan si nona
digbenggam, Lan Seej giok terkejut,g wajahnya berubbah, kalau tadi tangan si
nona terasa hangat dan lem-but, maka dalam waktu singkat telah berubah menjadi
dingin bagaikan salju. ..
Ia segera mendongakkan
kepalanya dan mengawasi wajah Siau cian dengan perasaan tak mengerti, serunya
terkejut.
"Enci Cian-kau.."
Dengan cepat diapun menjumpai
kerutan dahi gadis itu, selapis kemurungan dan kese-dihan menyelimuti seluruh
wajahnya. .
Melihat sikap sang pemuda yang
gugup dan kaget, Siau cian segera berlagak tertawa geli, katanya dengan cepat:
Persoalan apa sih yang membuat
kau kaget setengah mati?"
Sekali lagi dia menarik
tangannya dari genggaman pemuda itu, lalu terusnya penuh perhatian.
"Kau belum bersantap
malam bukan? Biar kusiapkan untukmu"
Ia lantas bangkit berdiri dan
berjalan menuju ke luar ruangan, Lan See giok sema-kin termangu, perubahan yang
datang-nya secara tiba-tiba ini membuat dia jadi kela-bakan dan tidak habis
mengerti.
Ia dapat merasakan, walaupun
enci Cian sedang tertawa namun, tertawanya kelewat dipaksakan, walaupun
sepintas lalu nampak gembira namun diantara kerutan dahinya terselip kemurungan
serta perasaan sedih.
Dengan suatu gerakan yang
lembut Siau cian membuka pintu, yang mana segera menyadarkan kembali Lan
See-giok dari la-munan. dengan cepat ia menenangkan hati-nya.. kemudian berseru
dengan gelisah:
"Enci Cian aku belum
lapar, aku masih belum lapar!"
Buru-buru dia bangkit berdiri
dan menyu-sul sampai di luar ruangan.
Tapi, Siau cian telah berjalan
masuk ke dalam dapur.
Kembali Lan See giok mengejar
sampai di situ, serunya lebih jauh.
"Aku masih belum lapar,
cici Cian aku be-lum lapar!"
Siau cian memanrdang sekejap
wazjah si anak mudwa itu, kemudianr sambil menyulut lentera, katanya lagi
dengan gembira.
"Aku bisa menanakkan nasi
dengan cepat adik Giok, bila kau ingin berbicara, lanjut-kanlah kata
katamu!"
Sesungguhnya Lan See-giok
belum ber-santap malam. namun ia sama sekali tidak lapar, apa lagi setelah
menjumpai perubahan yang tak terduga itu, dia semakin tak tega untuk makan.
Dengan penuh keraguan dan
perasaan tak habis mengerti, ia berdiri di belakang Siau cian, dengan termangu
mangu mengawasi gadis itu mempersiapkan hidangan baginya"
Kalau tadi, enci Cian
kelihatan begitu gem-bira dan riang, wajahnya yang cantik diliputi cahaya
kegembiraan.
Maka sekarang ia berkerut
kening dan pe-nuh kemurungan, meski ia masih me-maksa-kan diri untuk tertawa
manis, namun sikap yang dipaksakan tersebut hanya bisa ber-langsung untuk
sesaat.
Sebagai seorang pemuda yang
pintar de-ngan cepat Lan See giok merasa dimana-kah letak kesalahan tersebut,
ia menyesal sekali mengapa membicarakan soal Si Cay soat, ia memaki diri sendiri,
menggerutu kepada diri sendiri, tidak sepantasnya mempersoalkan adik Soat dalam
keadaan dan suasana seperti ini.
Tapi, besok kan Si Cay soat
akan datang? Bagaimana pula jadinya?
Berpikir sampai di situ, tanpa
terasa peluh bercucuran dengan amat derasnya.
Dengan perasaan gugup dia,
menengok enci Ciannya yang cantik, perempuan yang selama ini dianggap sebagai
dewi suci dalam hati kecilnya, dia tak percaya enci Ciannya yang lemah lembut
penuh keanggunan itu justru merupakan seorang gadis yang sangat besar rasa
cemburunya.
Namun kenyataan memang
demikian. Siau-cian baru menunjukkan sikap murung dan sedih setelah mendengar
soal Si Cay -soat, mengapa pula tangannya berubah menjadi dingin seperti es?
Tentu saja Lan See-giok tidak
dapat me-mahami perasaan Siau cian yang sesung-guhnya, semenjak setengah tahun
berselang, dia telah mempunyai suatu ketetapan dihati kecilnya...dia hendak
mengorbankan diri agar Lan See giok bisa hidup berbahagia dengan Si Cay soat.
Di dalam anggapannya, bila ada
dua orang gadis bersama sama mencintai seorang lelaki, maka akhirnya tentu akan
tragis, terutama sekali ibunya Hu-yong siancu, ini merupakan suatu contoh yang
nyata sekali...
Ia pun dapat membayangkan,
selama seta-hun lebih ini Lan See giok dan Si Cay soat selalu hidup bersama,
main bersama dan latihan bersama tak sedetikpun mereka berpisah, benih cinta
yang tumbuh diantara mereka mungkin sudah mencapai pada titik puncaknya.
(Bersambung ke Bagian 31)