Anak Harimau Bagian 30

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 30

Bagian 30

Dengan sedih Tok Nio-cu memandang se-kejap kearah Si Cay soat, kemudian melan-jutkan.

"Pada waktu itu aku baru berusia sembilan tahun, sedang adik Lan belum sampai tiga tahun. ketika orang-orang itu bertempur melawan ayah dan ibu, kami menjadi keta-kutan sehingga menyembunyikan diri di tem-pat kegelapan. Adik Lan ketakutan dan menangis menjerit jerit, akhirnya aku di tolong secara diam-diam oleh guruku pengemis tujuh racun, sedangkan adik Lan lenyap entah kemana."

"Siapakah ke enam pria dan dua wanita itu? Apakah Nyonya masih ingat dengan wa-jah mereka?" sela Lan See giok tiba-tiba.

Dengan air mata bercucuran Tok Nio-cu menjawab:

"Pada mulanya tidak tahu, kemudian atas penjelasan dari suhu baru kuketahui bahwa ke enam orang lelaki itu masing-masing adalah empat malaikat bengis dari Juan tiong serta sepasang harimau dari Lang to, atas bantuan dari guruku si pengemis tujuh racun, mereka telah -mampus semua di ujung senjata rahasia beracunku, sedangkan kedua orang wanita itu konon adalah gundiknya empat malaikat buas dari Juan tiong, namun ketika kucari mereka untuk membalas den-dam. kedua orang itu sudah pergi entah ke-mana"

Lan See giok segera berkerut kening, sete-lah melirik sekejap ke arah Oh Li cu yang se-dang menangis terisak, dia segera bertanya ragu-ragu:

"Mungkinkah perempuan itu adalah Say Nyoo-hui Gi Ci hoa?"

Mendengar perkataan itu isak tangis Oh Li cu semakin menjadi jadi...-

Lan See giok memandang sekejap kearah Si Cay soat dan Tok Nio-cu. ia dapat menyim-pulkan bahwa selama banyak tahun Say nyoo-hui Gi Ci hoa tentu amat menyayangi Oh Li cu.

Melihat hal ini dengan kening berkerut Tok Nio-cu segera berkata.

"Jika Say nyoo-hui benar-benar merupakan satu diantara dua wanita pembunuh ibuku dimasa lalu, perduli betapa baiknya dia ter-hadap adik Lan, dia tetap merupakan musuh besar pembunuh ibuku, dendam orang tua sedalam lautan, kami tak bisa melupakan sakit hati tersebut hanya dikarenakan budi pemeliharaannya selama berapa tahun."

Kata-kata yang penuh semangat dan gagah ini segera disambut Lan See giok serta Si Cay boat dengan anggukan kepala, sedangkan Oh Li cu juga segera menghentikan isak tangis-nya.

"Lantas apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Si Cay soat kemudian.

Tok Nio-cu mengerutkan dahinya, kemu-dian berkata sedih.

"Menurut keterangan dari adik Lan serta adik Giok. Wi-lim-poo berjaya di atas telaga, konon kapal perangnya meliputi berapa ratus buah, pengaruhnya luas dan kekuatannya besar. bila ingin membalas dendam sudah jelas bukan hanya kekuatan Pek ho cay yang dapat menandinginya, sebab kecuali adik Lan seorang yang lain tidak pandai ilmu dalam air, . . . "

Sesudah sangsi sejenak, dia berkata lebih jauh.

"Lagi pula menurut penuturan adik Lan atas raut wajah Say nyoo hui Gi Ci hoa bisa jadi dia adalah salah seorang yang turut menyerang ibuku dimasa lalu, tapi aku harus melihatnya sendiri sebelum dapat membukti-kan kebenarannya, oleh karena itu aku pikir ingin mengikuti adik Lan pergi ke Phoa- yang oh dan berusaha mengintip sekali wajah asli dari Say nyoo hui, kemudian baru menyusun rencana untuk membalas dendam."

"Ya, bertindak secara demikian memang jauh lebih baik " Lan See giok segera menya-takan persetujuannya, janganlah dikarena-kan kurang berhati hati, akibatnya susu di-balas dengan tuba, kalian bisa menyesal sepanjang masa."

Tok Nio-cu manggut-manggut.

"Itulah sebabnya aku harus melihat dulu raut wajah, asli dari Say Nyoo hui."

Tiba-tiba Oh Li cu mendongakkan kepalanya yang basah oleh air mata, lalu ujarnya kepada Lan See giok.

"Cici hanya mengandalkan kelihaian sen-jata rahasia saja. selama ini sedang ilmu si-latnya cuma biasa-biasa saja, di tambah pula dia tak pandai ilmu berenang, sulit rasanya untuk menuntut balas, sampai waktunya kami berharap adik Giok sudi membantu usaha kami itu ...."

Sebelum Lan See giok sempat menjawab, Tok Nio-cu sudah menimbrung, lebih dulu dengan nada seolah-olah menghibur.

"Adik Lan tak usah kuatir. aku yakin adik Giok pasti tak akan berpeluk tangan belaka"

"Ooh. tentu saja, tentu saja, siaute tentu tak akan menampik" seru Lan See-giok, de-ngan bersungguh hati.

Dengan penuh rasa berterima kasih Oh Li cu memandang kearah Lan See giok, kemu-dian tanyanya lagi dengan penuh rasa kuatir:

"Sekarang, apakah kau hendak berangkat ke Lim lo pah di telaga Tong ting?"

Lan See giok termenung sebentar, kemu-dian jawabnya:

"Aku dan adik Soat masih mempunyai banyak persoalan yang harus diselesaikan secepatnya, apakah hendak pergi ke Lim lo pa, masih tanda tanya besar sekarang, aku baru dapat mengambil keputusan menurut perkembangannya nanti."

Oh Li-cu kembali bersedih hati, karena dari kata kita pemuda tersebut sama sekali tidak disertakan dengan kata ajakan yang memin-tanya melakukan perjalanan bersama, karena sedihnya, air matapun bercucuran. . . Berbeda sekali dengan Tok Nio-cu, apa yang dipikirkan olehnya sekarang hanya memba-laskan dendam bagi kematian orang tuanya, ia tidak berharap adiknya merasa gelisah karena masalah ini, asal Lan See- giok tidak kabur ke langit, ia berjanji akan memenuhi keinginan adiknya itu,

Maka dengan nada serius diapun bertanya, "Di kemudian hari, bagaimana cara aku un-tuk mengadakan kontak-?"

Lan See giok yang jujur dan polos segera, menjawab tanpa ragu-ragu lagi. "Kalian boleh datang ke pantai barat telaga Phoa yang oh, kampung nelayan dimana naga sakti pemba-lik sungai berdiam, tanyakan saja kepadanya, ia pasti mengetahui jejak-ku, mungkin juga seusai urusan di sini, aku hendak berangkat ke sana."

Sesudah mendengar perkataan itu, agaknya Oh Li cu merasa jauh lebih berlega hati. se-kali lagi dia menengok wajah Lan See giok sambil bertanya. "Adik Giok. kau dan nona Si akan berangkat kapan?"

Biarpun Lan See giok merasa Oh Li-cu patut dikasihani, namun berada dihadapan Si Cay-soat yang sok cemburu, ia tak berani banyak berbicara, sahutnya kemudian de-ngan cepat:

"Siaute pikir. selesai bersantap nanti segera akan berangkat !"

Tok Nio-cu dapat melihat dengan jelas, dia tahu Lan See giok sudah menaruh perasaan kasihan terhadap adiknya, maka sambil me-nengok ke arah Si Cay-soat. ia bertanya sam-bil tersenyum.

"Nona Si, apakah kau punya kuda?"

Ucapan mana dengan cepat menyadarkan Lan See giok dan si Cay soat bahwa saat itu merupakan sebuah masalah, gadis tersebut segera menggeleng.

"Aku tidak suka menunggang kuda, maka aku tak pernah membeli kuda ..""

Tergerak hati Oh Li cu, dia seperti mempu-nyai kesan untuk membaiki Si Cay-soat, de-ngan wajah serius katanya kemudian:

"Ka1au toh kalian hendak berangkat lebih dulu, biar kuhadiahkan kuda Ci-hwee -kou ku itu untuk nona Si!"

Tapi Tok Nio-cu tidak setuju:

"Kuda Ci hwee-kou milikmu itu kelewat liar, bila nona Si tak bisa mengendalikan bisa berabe jadinya. lebih baik adik Giok menung-gang Wu wie kou sedangkan nona Si menunggang Pek kou, aku rasa ini lebih aman,"

Lan See giok sadar, tanpa kuda jempolan mustahil bagi mereka untuk menempuh per-jalanan cepat, diapun segera menyatakan persetujuannya.

"Sebetulnya begini memang paling baik, hanya akibatnya harus menyiksa nyonya."

Mendadak Oh Li cu menimbrung:

"Selama ini cici selalu berusaha dan ber-juang mati matian demi kau, dua kali sudah ia menghadiahkan kudanya untukmu, bahkan selalu memanggil adik Giok, menga-pa adik Giok tidak berubah juga` panggi-lanmu men-jadi cici?"



Merah dadu selembar wajah Lan See giok buru-buru ia menerangkan:

"Berhubung sejak awal sudah terlanjur menyebut nyonya, rasanya jadi kurang bebas untuk merubahnya--."

"Tapi untuk diubah sekarang pun belum terlambat?" sambung Oh Li cu lagi-

Lan See giok merasa banyak hal Tok Nio-cu. memang berjasa kepadanya, banyak ma-salah yang patut dihargai olehnya, tanpa banyak bicara, ia lantas mengangkat cawan nya dan berkata sambil tertawa.

"Biar siaute menghormati enci Peng dengan secawan arak, anggap saja sebagai rasa te-rima kasihku untuk perhatian enci Peng se-lama ini-- "

Tok Nio-cu tertawa cerah, namun dibalik senyuman kemenangan itu, terselip juga rasa menyesa1 dan malu, dia segera mengangkat cawannya dan meneguk habis isinya

Si Cay soat yang polos, dengan cepat me-ngangkat cawannya pula sambil berkata ri-ang.

"Biar siaumoay juga menghormati Cici ber-dua dengan secawan arak sebagai rasa teri-ma kasihku untuk hadiah kuda"

Atas ucapan mana, Tok Nio-cu dan Oh Li cu seakan akan memperoleh penghormatan yang tinggi, cepat-cepat mereka berdua me-ngangkat cawan masing-masing sambil me-nyebut adik Soat.

Lan See giok yang menyaksikan kesemua-nya itu tentu saja, merasa sangat gembira, memang saling mengenal dengan akrab jauh lebih enak dari pada hubungan yang dingin. Biarpun Oh Li cu pernah hidup dalam keja-langan dimasa lampau, namun semenjak berjumpa dengan bibi wan serta enci Cian. dia telah berubah menjadi lembut dan halus, tidak ada lagi sifat genitnya seperti dahulu.

Teringat akan bibi Wan dan enci Cian, hatinya bertambah gelisah. Cepat-cepat dia perintahkan pelayan untuk menyiapkan kuda.

Sewaktu ke empat orang itu selesai ber-santap, matahari sudah tenggelam di langit barat.

Tok Nio-cu yang harus membeli kuda baru, memutuskan akan berangkat keesokan harinya bersama Oh Li cu sebaliknya Lan See-giok dan Si Cay soat berangkat pada saat itu juga.

Meninggalkan kota Tiang siu-tan, maghrib sudah menjelang, orang yang berlalu lalang semakin jarang, itulah sebabnya merekab ber-dua segeraj melarikan kudagnya kencang-kenb-cang menuju tenggara.

Sepanjang perjalanan, muda mudi berdua itu hanya membungkam diri sambil memikirkan persoalan masing-masing.

Lan See giok sangat menguatirkan kesela-matan bibi Wan serta enci Ciannya, dia tak tahu mengapa si naga sakti pembalik sungai harus bermain gila, hal tersebut membuat perasaannya bertambah gelisah.

Sebaliknya Si Cay soat hanya memikirkan kemurungan dan kepedihan Oh Li cu, ia da-pat merasakan bahwa cinta kasih Oh Li cu terhadap engkoh Giok nya tidak berada di bawah sendiri, dia tak tahu mengapa pemuda itu justru berusaha menjauhi Oh Li cu atau mungkin pemuda itu hendak memberi tanda kepadanya bahwa ia tidak menyukai Oh Li cu?

Dalam waktu singkat tiga puluhan li sudah dilalui, kini kegelapan malam sudah mulai mencekam seluruh permukaan bumi, bin-tang-bintang beterbangan di angkasa, lari kuda mereka kian lima kian bertambah ce-pat. -

Suatu ketika, Si Cay soat melihat Lan See giok sedang berkerut kening. tak tahan lagi ia segera menegur dengan lembut.

"Engkoh Giok, sebenarnya apa sih yang se-dang kau pikirkan?"

Lan See giok segera tersadar dari lamunan-nya, ia merasa sudah amat lama tidak me-ngajak gadis itu berbicara. sahutnya kemu-dian:

"Aku sedang memikirkan soal si naga sakti pembalik sungai Thio loko, mengapa ia tidak memberitahu kepadamu- mengapa kita mesti pergi ke kampung nelayan di tepi telaga Phoa yang oh?"

"Bukan siaumoay sudah tahu enggan me-ngatakan, tapi sesungguhnya siau moay sendiripun tidak tahu! " kata Si Cay soat de-ngan wajah bersungguh sungguh.

Lan See-giok segera merasakan hatinya bertambah berat, dia semakin tidak paham maksud dan tujuan dari naga sakti pembalik sungai itu.

Sementara dia masih berpikir, tiba-tiba terdengar Si Cay-soat; bertanya lagi.

"Engkoh Giok, apakah kita hendak menuju telaga Tong ting lebih dahulu?" ,

"Tidak kita harus pulang ke kabmpung nela-yan jlebih dulu!"

Pgemuda itu merasba harus pulang dan un-tuk menengok bibi Win serta enci Cian, de-ngan begitu hatinya baru merasa lega.

Maka mereka segera menelusuri jalan raya menuju ke telaga Phoa yang-oh.

Sejak perpisahan dulu, hubungan Lan See giok dengan Si Cay-soat sekarang tak ubah nya seperti sepasang suami istri, Lan See giok menjumpai gadis itu lebih lembut dan hangat dalam banyak hal selalu memperhati-kan dirinya, ia pun tak pernah ngambek lagi.

Demi menjaga kondisi badan serta kese-hatan kuda-kuda mereka, kedua orang itu se1aIu jalan pagi istirahat di waktu malam, sepanjang jalan mereka selalu tidur seran-jang dengan penuh kemesraan.

Si Cay soat sendiripun selalu berusaha menghibur dan mengajak pemuda itu ber-mesraan, hal ini membuat Lan See giok yang sedang murung dan kesal, agak terhibur juga.

Hari bertambah hari, telaga Phoa yang oh sudah semakin dekat, sekali lagi Lan See giok merasakan hatinya gundah dan tak tenang, bayangan wajan bibi Wan yang anggun dan enci Cian yang lembut, selalu muncul dan terbayang dalam benaknya.

Gara-gara persoalan ini, seringkali ia tak bisa tertidur dengan nyenyak.

Si Cay soat yang tidur di sisinya sebagai gadis yang cerdik tentu saja mengetahui jalan pemikiran pemuda itu, namun bila ter-ingat sebentar lagi akan bertemu dengan Ciu Siau cian yang selalu dipuja puja gurunya, dia malah merasa sangat gembira.

Namun, sebagai seorang gadis yang ingin mencari menangnya sendiri dihati kecilnya timbul juga ingatan untuk membanding-bandingkan mereka berdua, dia ingin mem-buat engkoh Giok nya beranggapan bahwa kehadirannya jauh lebih penting ketimbang Ciu Siau cian.

Sepuluh hari perjalanan kemudian, akhirnya kota Tek an yang mentereng sudah muncul dalam pandangan mata mereka ber-dua..

Memandang kota itu. Lan See giok merasa bagaikan kembali ke kampung halaman yang sudah banyak tahun ditinggalkan, hatinya diliputi gejolak emosi, darah serasa mendidih, ia tahu dengan kecepatan kuda mereka. pa-ling banter setengah hari lagi mereka akan bertemu dengan bibi Wan serta enci rCian.

Kuda Wu zwi kou dan Pak wkou meringkik triada hentinya sambil berlari kencang.

bangunan kota Tek an yang perkasa kian lama kian mendekat, namun Lan See giok tidak menghentikan perjalanannya, dia mela-rikan kudanya semakin kencang . . .

Si Cay soat yang melihat hal tersebut tiba-tiba saja timbul pikiran nakalnya, ia merasa wajib berupaya agar pemuda itu lebih mem-perhatikan dirinya dari pada Ciu Siau cian. . . .

Tatkala Lan See giok sedang mengambil keputusan untuk melewati pinggiran kota saja, mendadak ia tidak melihat bayangan dari kuda Pak kou lagi,

Dengan perasaan terkejut pemuda itu segera berseru.

"Aaah, adik Soat......"

Cepat-cepat dia menarik tali les kudanya sambil membalik ke arah .....

Dikejauhan sana ia jumpai Si Cay soat ka-dang menghentikan kudanya di tepi jalan sepasang wajah nona itu kelihatan merah sedang tangannya yang satu berpegangan pada tali les, tangan yang lain memegangi jidat sendiri, hal ini menunjukkan kalau dia telah jatuh sakit. . .

Tak terlukiskan rasa kaget Lan See giok, dengan perasaan gugup dan gelisah dia segera menghampirinya, kemudian sambil memegang tali les kuda putih itu, tanyanya penuh kecemasan.

"Adik soat, mengapa kau? Bagaimana rasa mu sekarang .....?"

Si Cay soat hanya memejamkan matanya rapat-rapat dan menggeleng dengan penuh penderitaan.

Lan See-giok lantas menduga. kalau Si Cay soat masuk angin, maka sambil me-nuntun kuda putih itu dia berangkat masuk ke dalam kota.

Dalam keadaan demikian. dia tidak memikirkan hal-hal yang lain lagi. apa yang terpikir olehnya sekarang adalah secepatnya membiarkan Si Cay soat beristirahat dengan tenang di atas pembaringan.



Peristiwa semacam ini boleh dibilang tak terduga sama sekali olehnya, padahal sete-ngah hari perjalanan lagi mereka akan tiba di telaga Phoa yang oh,, tapi justru disaat seperti ini Si Cay soat jatuh sakit.

Ia tahu selama belasan hari perjalanan, Si Cay-soat selalu melayani kebutuhannya, menyisirkan rambut, membantu mengenakan pakaian, meladeni sarapan dan menemani-nya tidur. semua pekerjaan semacam ini memang terlalu melelahkan dirinya.

Dalam anggapannya, wanita adalah kaum yang lemah, kesehatan tubuh mereka selalu lemah, tidak heran bila jatuh sakit setelah menempuh perjalanan jauh dengan susah payah.

Tiba di dalam kota, pemuda itu segera membawa si nona menuju ke sebuah rumah penginapan yang terdekat.

Setibanya di depan penginapan, cepat-ce-pat pemuda itu menyerahkan kudanya kepada pelayan, kemudian ia membopong tubuh Si Cay-soat menuju ke ruang dalam.

pemuda itu merasakan betapa panasnya tubuh Si Cay-soat, mukanya merah mem-bara, suhu badannya tinggi sekali.

Maka setelah sampai di dalam kamar, dia membaringkan gadis itu di atas pembaringan, kemudian tanyanya penuh perhatian:

"Adik Soat, bagaimana rasanya sekarang?"

"Oooh,.. kepalaku pusing, dahaga dan se-kujur badan serasa lemas tak bertenaga!", keluh gadis itu sambil memejamkan mata.

Lan See-giok menuang secawan air teh dan membangunkan gadis itu, kemudian menyuapinya pelan-pelan. setelah itu kem-bali dia bertanya dengan penuh perhatian.

"Adik Soat. mengapa kau bisa jatuh sakit secara tiba-tiba.. ?"

"Sejak berangkat pagi tadi, aku sudah merasa tak enak badan. ketika akan melewati kota di depan sana, sesungguhnya aku su-dah mulai tak tahan ...."

Sebenarnya pemuda itu hendak menegur si nona., tapi bila teringat bagaimana sepanjang jalan dia hanya memikirkan melanjutkan perjalanan dengan cepat, tiba-tiba saja tim-bul rasa menyesal dihati kecilnya.

Tanpa terasa dengan penuh rasab kasih sayang djia membelai ramgbut gadis itu dban menyeka keringat yang membasahi jidatnya

Padahal selama ini Si Cay soat sudah bebe-rapa kali mengintip gerak gerik pemuda itu, ketika melihat kegelisahan dan kepanikan sang pemuda, ia tersenyum bahagia dalam hati. sebab dia berpendapat bahwa kehadi-rannya dalam hati pemuda tersebut ternyata tidak lebih enteng daripada kehadiran Ciu Siau cian.

Diapun membayangkan bagaimana Siau cian sudah setahun lebih berpisah dengan Lan See giok, siang malam merindukan ke-hadirannya, entah betapa rindunya dia sekarang menantikan kedatangan anak muda tersebut?

Sedangkan ia sendiri, boleh dibilang sepanjang hari selalu berada bersamanya, tak sedikitpun berpisah, kalau dihitung hi-tung dia telah memperoleh lebih banyak ketimbang gadis itu.

Akan tetapi bila ia teringat akan hadiah sa-rung pedang, serta sepatu yang dibuat de-ngan susah payah oleh Ciu Siau cian timbul kembali perasaan menyesal dalam hati kecil-nya.

Rasa menyesal dan gelisah membuat peluh bercucuran semakin deras lagi, tanpa ban-tuan tenaga dalam seperti apa yang di laku-kan tadi, peluh bercucuran bagaikan hujan gerimis.

Akibatnya Lan See giok yang sedang kalut pikirannya dibuat semakin gelisah dan panik.

Melihat kegelisahan dan kepanikan anak muda itu, akhirnya Si Cay soat berkata de-ngan sedih.

"Engkoh Giok, pergilah dulu, biar siaumoay beristirahat setengah harian saja, aku perca-ya sakitku tentu akan sembuh kembali!"

"Tidak..." tampik Lan See-giok. "kau sedang tak enak badan, aku merasa wajib untuk menemanimu, apalagi perjalanan yang di-tempuh oleh Thio loko dan adik Thi gou tidak bakal lebih cepat daripada kita, biar sampai ditujuan pun belum tentu aku dapat bersua dengan mereka"

Tapi kau toh bisa menengok enci Cian dan bibi Wan?" ujar si nona dengan tulus hati.

Ucapan tersebut dengan tepat mengenai perasaan Lan See giok, tapi tegakah dia meninggalkan adik Soat yang sedang sakit untuk menengok enci Cian ?

Dengan cepat dia menggelengkan kepala-nya berulang kali. Tidak, kalau harus pergi kita pergi bersama, aku percaya bibi Wan bdan enci Cian, jtentu akan gembgira sekali bertbemu dengan kau..""

Sudah lama sekali Si Cay soat ingin meli-hat wajah asli Ciu Siau-cian, apalagi teringat mimik wajah engkoh Gioknya setiap kali ber-bicara soal Ciu Siau-cian, dia per-caya dalam perjumpaan mereka setelah berpisah setahun lebih pertemuan itu pasti akan dibumbui dengan peluk cium yang hangat:

Bila ia turut hadir dalam suasana seperti ini, ooh.--betapa sadisnya keadaan waktu itu.

Berpikir sampai di situ, segera ujarnya dengan tak senang hati. "Tidak, aku tak mau pergi, mukaku lagi merah, rambutku kusut, badan lemas tak bertenaga. masa aku mesti bertemu orang?"

"Lantas bagaimana dengan kau?" Lan See giok bertanya agak gelisah

Si Cay soat termenung sejenak, kemudian sahutnya. "Biar kita beristirahat berapa saat di sini, begitu kondisi badanku pulih kembali, kita segera melanjutkan perjalanan, aku menuju ke kampung nelayan sedang kau menengok bibi Wan, besok bila aku sudah tukar pakaian baru, baru kusambangi enci Cian dan bibi Wan---setuju?"

Lan See giok mengira Si Cay soat suka akan kecantikan, dia tak tega menolak ke-hendak hatinya, dengan cepat dia meng-ang-guk.

Mereka berdua segera duduk bersemedi untuk mengatur pernapasan, lewat tengah hari Lan See giok nampak segar kembali, se-baliknya Si Cay-soat berlagak masih lemas selesai bersantap dan membayar rekening, mereka melanjutkan perjalanan lagi:

Melalui sebelah selatan kota, kedua orang itu berangkat menuju ke telaga Phoa-yang oh.

Sepanjang jalan Si Cay-soat tiada hentinya memperhatikan gerak-gerik Lan See giok, dilihatnya pemuda itu tidak menunjuk kan kegelisahan seperti siang tadi, malah pemuda itu selalu berusaha mengendalikan lari ku-danya dan melimpahkan segenap perhatian kepadanya.

Diam-diam gadis itu sangat gembira, tapi timbul juga perasaan menyesal dan malu, sekarang terbukti sudah Lan See giok tak pernah membeda bedakan perhatiannya ter-hadap dia maupun Ciu Siau cian, kalau tadi pemuda itu gelisah dan cemas, hal itu hanya dikarenakan mereka telah berpisah hampirr setahun lebih.z.

Berpikir samwpai di situ ia rpercepat lari ku-danya. tapi Lan See giok yang mengikuti di sisinya justru selalu memperingatkan agar ia berhati-hati, jangan melarikan kudanya kelewat cepat.

Sebelum matahari tenggelam di langit barat, di ujung tenggara situ sudah nampak permukaan, telaga yang gemerlapan, oleh pantulan cahaya ...

Melihat air telaga dikejauhan sana, timbul kembali perasaan gembira dalam hati Lan See-giok, Sorot matanya segera dialihkan ke perkampungan nelayan di bawah bukit situ, dia sedang membayangkan bagaikan kaget dan girangnya bibi Wan serta enci Cian se-waktu melihat kehadirannya.

Dalam keadaan begini, tiada prasangka jelek yang melintas di dalam benaknya, ia tidak kuatir bibi Wan dan enci Cian men-jum-pai musibah. malah dia yakin pasti dapat bersua dengan mereka. .

Tiba-tiba Si Cay-soat berbisik.

"Engkoh Giok, setibanya di persimpangan jalan di depan sana, kita harus berpisah dulu"

Lan See giok menatap gadis itu tajam-ta-jam, kemudian pintanya.

"Adik Soat, marilah kita pergi bersama sama, bukankah kau sudah sembuh kemba-li?"

"Tidak!" tampik Si Cay soat sambil meng-gelengkan kepalanya dan mengulumkan senyuman paksa, aku masih merasa tak enak badan!"

"Kalau begitu, biar kuhantar dulu kau sampai di rumah kediaman naga sakti pem-balik sungai Thio Loko?"

"Tak usah. tak usah, aku toh masih me-ngenal jalan!" cegah gadis itu cepat-cepat.

Sementara pembicaraan berlangsung. mereka telah sampai di persimpangan jalan. gadis itu segera melarikan kudanya cepat-cepat memasuki hutan lebat--.-

Lan See giok menarik tali les kudanya dan mengawasi bayangan punggung Si Cay soat yang menjauh dengan penuh rasa kuatir. bu-kan saja dia menguatirkan kesehatan tubuhnya, pemuda itu juga takut bila gadis itu marah..



Si Cay-soat sendiri sempat pula berpaling, Ketika dilihatnya pemuda itu malah menghentikan lari kudanya sambil memper-hatikan ke arahnya dengan penuh rasa kuatir, hatinya terasa sedih di samping ha-ngat den mesra, cepat dia mengulapkan ta-ngannya, agar pemuda itu segera berangkat.

Dia melihat Lan See giok mengulapkan tangannya pula berulang kali, setelah itu baru melarikan kudanya melanjutkan per-jalanan, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik hutan.

Si Cay soat merasa matanya menjadi ka-bur, entah sadari kapan, titik air mata telah jatuh berlinang ....

Sebetulnya dia hendak mendahului Ciu Siau cian untuk mendapatkan Lan See giok, tapi sekarang, ia justru telah melepaskan ke-sempatan baik ini dengan begitu saja.

Dengan termangu mangu Si Cay soat duduk di atas kudanya. mengawasi bayangan kuda Lan See giok dengan tertegun, mem-ba-yangkan adegan pertemuan antara Ciu Siau cian dengan pemuda itu, timbul perasaan tak sedap yang tak terlukiskan dengan kata dalam hatinya.

BAB 24

DALAM waktu singkat, bayangan kuda dari Lan See giok sudah hilang lenyap dibalik ke-gelapan.

Dengan perasaan sedih, Si Cay soat meneruskan kembali perjalanannya menuju ke kampung nelayan, teringat selama belasan hari ini, setiap kali menginap dia selalu tidur bersama engkoh Giok nya, tapi engkoh Giok yang bodoh, setiap kali tak pernah---

Sekarang ia, sedang bertanya kepada diri sendiri. mungkinkah antara engkoh Giok dengan Ciu Siau cian akan melakukan--.?

Membayangkan masalah yang paling rawan itu, mendadak hatinya berdebar keras, pipi-nya menjadi merah, diam-diam ia mengum-pat ketidak maluan sendiri.

Dalam pada itu Lan See giok yang melan-jutkan perjalanan menuju ke rumah bibi nya. juga dibebani oleh banyak persoalan.

Ia sedang membayangkan betapa terkejut dan gembiranya bibi Wan serta enci Cian ketika mereka saksikan dia pulang ke rumah secara tiba-tiba...

Diapun membayangkan, enci Cianb yang sudah setjahun berpisah dgengannya, kini bpasti bertambah lembut dan cantik, bagai-mana gembiranya gadis itu ketika melihat dia pulang?

Kemudian ia pun berpikir tentang ke-mun-culan Si Cay soat besok pagi, ia tak tahu apakah enci Cian nya akan menunjukkan sikap cemburu seperti apa yang diper-lihatkan Oh Li cu?

Ia merasa wajib untuk mengucapkan bebe-rapa kata yang memuji adik Soat di depan enci Cian.

Teringat Si Cay soat, tanpa terasa ia berpa-ling dan memandang kembali hutan di bela-kang sana, namun pemandangan di sekeliling situ sudah tertutup oleh kegelapan malam.

Lima li kemudian, dari kejauhan sana- ter-lihat titik cahaya lentera, dia tahu disitulah letak tempat tinggal bibi Wan.

Dalam waktu singkat lima li sudah di tem-puh, pemuda itu segera memperlambat lari kudanya dan langsung masuk ke dalam dusun.

Dari jauh dia melihat cahaya lentera masih nampak disulut dalam kamar tidur enci Cian.

Dalam keadaan begini, ia benar-benar tak bisa membendung gejolak emosi dan rasa gembira di dalam hatinya hampir saja dia tak tahan hendak berteriak memanggil enci Cian dan bibi Wan nya.

Dengan penuh kegembiraan dia menarik tali les kudanya, Wu-wi-kou segera me-ringkik panjang dan lari menuju ke depan pintu pekarangan bibi Wan.

Suara ringkikan kuda yang keras serta derap kuda yang nyaring dengan cepat mengejutkan seisi dusun. lampu lentera segera dipadamkan orang, sementara cahaya lentera yang semula menyinari kamar tidur Ciu Siau cian. kinipun telah dipadamkan.

Dengan cepat Lan See giok sadar bahwa bibi Wan hidup di situ sebagai seseorang yang mengasingkan diri, tidak sepantasnya bila dia mengganggu ketenangan orang kam-pung, serta merta pemuda itu melompat tu-run dari kudanya dan menepuk kudanya agar jangan berisik.

Kuda tersebut memang sangat pintar, de-ngan cepat ia menghentikan ringkikan pan-jangnya dan memperingan langkah kakinya.

Lan See giok menarik kudanya memasuki halaman rumah bibi Wan, kemudian dengan tangan yang gemetar karena luapan rasa gembira yang luar biasa ia bersiap siap me-ngetuk pintu.

Namun sebelum hal ini dilakukabn, tiba-tiba dajri dalam ruangagn sudah kedengabran sese-orang menegur dengan suara rendah dan be-rat:

"Siapa di situ?"

Lan See giok segera mengenali suara tegu-ran itu sebagai suara dari enci Cian.

"Cici Cian. aku yang datang!" sahut pemu-da Itu kemudian sambil berusaha menekan gejolak emosinya.

Dari dalam ruangan segera kedengaran suara langkah manusia yang tergesa gesa, menyusul kemudian pintu dibuka orang dan sesosok bayangan kuning menerjang ke luar dari balik pintu seperti seekor burung walet yang terbang lantaran kaget .....

Kemudian dengan suara kejut, gembira serta gugup, dia menegur pula agak gemetar.

"Sungguh. ..sungguhkah kau. . ?"

Belum sampai habis perkataan itu diutara-kan, tubuhnya sudah menyusul di pintu ger-bang dan tergopoh gopoh mementangkan pintu rumahnya lebar-lebar.

Ketika melihat Lan See giok telah tumbuh menjadi dewasa, tinggi besar dan lebih tam-pan, hampir saja Siau cian tak berani me-manggilnya lagi.

Bertemu dengan.. Siau cian, Lan See giok Segera melepaskan tali les kudanya kemu-dian agak tak sabar ia genggam sepasang tangan gadis itu dan serunya sambil menga-wasi wajah nona itu lekat-lekat:

"Enci Cian, aku yang telah datang. Mana bibi ?"

Dengan sinar mata penuh pengharapan dia menengok sekejap ke pintu kamar.

Dengan cepat Ciu Siau-cian dapat me-ngu-asai diri, ketika melihat sepasang tangannya digenggam anak muda tersebut, merah padam selembar wajahnya, agak tersipu sipu sahutnya.

"Ayo cepat masuk adik Giok!"

Sambil berkata dia lepaskan diri dari cekalan pemuda itu dan berdiri di sisi kanan pintu.

Lan See-giok tertawa riang, cepat-cepat dia masuk ke dalam ruangan.

Tiba-tiba suara ringkikan kuda berat dan rendah berkumandang dari belakang tubuh-nya.

Dengan cepat Lan See-giok teringat kalau kudanya masih tertinggal di luar pagar hala-man, tanpa terasa dira berpaling danz tertawa menyeswal.

"Aaah, hamrpir saja kulupakan engkau."

Dengan suatu gerakan, diapun menuntun kuda hitam itu, memasuki pintu pagar.

Dengan wajah terkejut bercampur ke-heranan, Siau-cian memperhatikan sekejap kuda Wu-wi-kou yang tinggi besar itu, kemu-dian mundur dua langkah agar, kuda hitam Itu dapat masuk ke dalam halaman, setelah itu pintu halaman cepat-cepat di-tutup rapat.

Dengan sendirinya Wu wi kou itu ber-jalan menuju ke sudut halaman dan menunggu dengan tenang di situ.

Selesai menutup pintu, Siau cian baru me-nengok kuda hitam itu sambil katanya penuh kegirangan.

"Adik Giok, kuda hitam itu bagus sekali kaukah yang membelinya . . . ?"

"Oooh bukan. itu pemberian perempuan beracun Be Cui peng!" jawab sang pemuda tanpa ragu.

Mendengar kuda itu pemberian seorang wanita, dengan penuh perasaan Siau cian mengangguk, keningnya segera berkerut, kemudian sewaktu menuju ke ruang dalam ia sempat bertanya lagi agak curiga.

"Siapa sih perempuan beracun Itu?"

"Oooh, dia adalah nyonya Gui Pak ciang. ketua Pek ho cay . . . "

Mendengar, kalau istri Pek ho caycu, di dalam anggapan Siau cian, si perempuan beracun itu sudah pasti seorang nenek-ne-nek, karenanya masalah itu tidak dipikir-kan dihati lagi.

Namun dia toh merasa terkejut bercampur keheranan sewaktu mengetahui Lan See giok telah pergi mencari Gui Pak-ciang seorang diri.

"Jadi kau telah berkunjung ke Pek ho cay?

Lava See-giok mengangguk sambil meng-i-akan, mereka berduapun masuk ke dalam ruangan dan langsung menuju ke kamar tidur gadis itu.



Ketika tidak melihat bibinya menampakkan diri, sekali lagi pemuda itu bertanya kehe-ranan.

"Enci Cian, mana bibi?"

"Mungkin sebentar lagi dia sudah pulang" sahut Siau cian sambil menyulut lentera.

Seperti sengaja tak sengaja, beberapa kali gadis itu mengalihkan pandangan matanya mengamati wajah Lan See-giok, wajah yang tampan dan menawan hati itu, sudah mem-buatnya menderita selama setahun lebih...

Di bawah sinar lentera, Lan See-giok pun menemukan enci Cian nya tumbuh lebih tinggi, tapi wajahnya justru lebih cantik ketimbang setahun berselang terutama sekali sepasang biji matanya yang jeli, sungguh membuat hati orang terpikat.

Berdebar keras hati Siau-cian setelah dia-mati secara lekat-lekat oleh pemuda itu, agak malu tapi senang, gadis itu segera berseru:

"Adik Giok, sekarang kau lebih tinggi dari pada aku!"

Lan See-giok tertawa bodoh. lalu sahut nya agak tersipu-sipu:

"Dan kau lebih-cantik dari pada dulu."

"Aaah. kau-memang pandai bicara gadis itu tertawa jengah.

Tanpa terasa dia menggerakkan tangan nya dan meraba bahu pemuda itu...

Rasa hormat Lan See giok terhadap Siau cian. jauh melebihi rasa cintanya, biarpun wajah cantik jelita itu berada di depan dadanya, selembar bibirnya yang kecil mungil hanya satu depa di depan bibirnya tapi ia tak berani menundukkan kepala untuk mengecupnya.

Dia tak lebih hanya bisa berdiri tenang sambi1 menikmati bau harum semerbak yang terpancar ke luar dari tubuh gadis itu dan mengendusnya dalam-dalam, sementara sinar matanya mengamati bibirnya yang mungil tanpa berkedip.

Siau cian berdiri tepat dihadapan See-giok ia merasa pemuda itu sama sekali telah de-wasa, apalagi ketika ia mendongakkan kepalanya dia melihat senyumannya yang manis, tiba-tiba gadis itu merasa bahwa adik Giok hendak mencium bibirnya.

Teringat akan ciuman, deburan hatinya kian lama kian bertambah kencang, dia sa-ngat berharap pemuda itu dapat berbuat hal ini terhadapnya, Namun tak urung bisiknya pula lirih- "Adik Giok, ayo kita duduk sambil berbincabng!"

Dengan lejmah lembut dia gmembalik-kan babdan dan duduk di tepi pembaringan.

Melihat Siau-cian menyingkir, tiba-tiba Lan See giok seperti memperoleh keberanian, ce-pat-cepat dia mengejar, memegang lengan gadis itu dan duduk di sisinya, kemudian agak tersipu sipu, tapi lembut, ia berkata "Enci Cian, sewaktu berada dibukit Hoa san. saban hari aku selalu merindukan diri mu!"

Siau cian merasakan hatinya hangat dan tanpa terasa tertawa cekikikan, sambil me-ngawasi pemuda itu, ia berseru:

"Wajah bodoh, semuanya telah berubah, hanya bibirmu yang pandai bicara saja yang rasanya tak ikut berubah....

Sambil berkata ia menuding dagu pemuda itu dengan jari tangannya yang lentik.

Lan See giok kuatir Siau-cian tak percaya, dengan gelisah ia berseru lagi.

"Sungguh, aku benar-benar sangat rindu kepadamu, enci Cian bila kau tak percaya besok boleh tanyakan sendiri kepada adik Soat..."

Begitu mendengar kata-kata "adik Soat", Siau-cian seperti teringat akan sesuatu, di antara kerutan dahinya segera muncul se-lapis kemurungan, namun di luar ia masih memaksakan diri untuk nampak gembira.

"Kau maksudkan nona Si?" tanyanya..

Sambil berkata, dengan suatu gerakan yang luwes dia menarik kembali tangannya yang sedang digenggam pemuda itu.

Oleh karena sedang gembira, Lan See-giok sama sekali tidak merasakan keanehan tersebut, tetap penuh kegirangan dia berkata lagi.

"Betul, dia telah pergi ke kampung nelayan, besok baru akan kemari untuk menjenguk-mu serta bibi Wan."

"Mengapa ia tidak kemari bersama sama kau?" tanya Siau cian lagi dengan kening berkerut.

"Ditengah jalan adik Soat tak enak badan. dia takut kau menertawakan kesayuannya, karena itu tidak ikut datang!"

Sambil berkata, tanpa terasa dia meng-genggam sepasang tangan Siau cian lagi.

Tapi begitu tangan si nona digbenggam, Lan Seej giok terkejut,g wajahnya berubbah, kalau tadi tangan si nona terasa hangat dan lem-but, maka dalam waktu singkat telah berubah menjadi dingin bagaikan salju. ..

Ia segera mendongakkan kepalanya dan mengawasi wajah Siau cian dengan perasaan tak mengerti, serunya terkejut.

"Enci Cian-kau.."

Dengan cepat diapun menjumpai kerutan dahi gadis itu, selapis kemurungan dan kese-dihan menyelimuti seluruh wajahnya. .

Melihat sikap sang pemuda yang gugup dan kaget, Siau cian segera berlagak tertawa geli, katanya dengan cepat:

Persoalan apa sih yang membuat kau kaget setengah mati?"

Sekali lagi dia menarik tangannya dari genggaman pemuda itu, lalu terusnya penuh perhatian.

"Kau belum bersantap malam bukan? Biar kusiapkan untukmu"

Ia lantas bangkit berdiri dan berjalan menuju ke luar ruangan, Lan See giok sema-kin termangu, perubahan yang datang-nya secara tiba-tiba ini membuat dia jadi kela-bakan dan tidak habis mengerti.

Ia dapat merasakan, walaupun enci Cian sedang tertawa namun, tertawanya kelewat dipaksakan, walaupun sepintas lalu nampak gembira namun diantara kerutan dahinya terselip kemurungan serta perasaan sedih.

Dengan suatu gerakan yang lembut Siau cian membuka pintu, yang mana segera menyadarkan kembali Lan See-giok dari la-munan. dengan cepat ia menenangkan hati-nya.. kemudian berseru dengan gelisah:

"Enci Cian aku belum lapar, aku masih belum lapar!"

Buru-buru dia bangkit berdiri dan menyu-sul sampai di luar ruangan.

Tapi, Siau cian telah berjalan masuk ke dalam dapur.

Kembali Lan See giok mengejar sampai di situ, serunya lebih jauh.

"Aku masih belum lapar, cici Cian aku be-lum lapar!"

Siau cian memanrdang sekejap wazjah si anak mudwa itu, kemudianr sambil menyulut lentera, katanya lagi dengan gembira.

"Aku bisa menanakkan nasi dengan cepat adik Giok, bila kau ingin berbicara, lanjut-kanlah kata katamu!"

Sesungguhnya Lan See-giok belum ber-santap malam. namun ia sama sekali tidak lapar, apa lagi setelah menjumpai perubahan yang tak terduga itu, dia semakin tak tega untuk makan.

Dengan penuh keraguan dan perasaan tak habis mengerti, ia berdiri di belakang Siau cian, dengan termangu mangu mengawasi gadis itu mempersiapkan hidangan baginya"

Kalau tadi, enci Cian kelihatan begitu gem-bira dan riang, wajahnya yang cantik diliputi cahaya kegembiraan.

Maka sekarang ia berkerut kening dan pe-nuh kemurungan, meski ia masih me-maksa-kan diri untuk tertawa manis, namun sikap yang dipaksakan tersebut hanya bisa ber-langsung untuk sesaat.

Sebagai seorang pemuda yang pintar de-ngan cepat Lan See giok merasa dimana-kah letak kesalahan tersebut, ia menyesal sekali mengapa membicarakan soal Si Cay soat, ia memaki diri sendiri, menggerutu kepada diri sendiri, tidak sepantasnya mempersoalkan adik Soat dalam keadaan dan suasana seperti ini.

Tapi, besok kan Si Cay soat akan datang? Bagaimana pula jadinya?

Berpikir sampai di situ, tanpa terasa peluh bercucuran dengan amat derasnya.

Dengan perasaan gugup dia, menengok enci Ciannya yang cantik, perempuan yang selama ini dianggap sebagai dewi suci dalam hati kecilnya, dia tak percaya enci Ciannya yang lemah lembut penuh keanggunan itu justru merupakan seorang gadis yang sangat besar rasa cemburunya.

Namun kenyataan memang demikian. Siau-cian baru menunjukkan sikap murung dan sedih setelah mendengar soal Si Cay -soat, mengapa pula tangannya berubah menjadi dingin seperti es?

Tentu saja Lan See-giok tidak dapat me-mahami perasaan Siau cian yang sesung-guhnya, semenjak setengah tahun berselang, dia telah mempunyai suatu ketetapan dihati kecilnya...dia hendak mengorbankan diri agar Lan See giok bisa hidup berbahagia dengan Si Cay soat.

Di dalam anggapannya, bila ada dua orang gadis bersama sama mencintai seorang lelaki, maka akhirnya tentu akan tragis, terutama sekali ibunya Hu-yong siancu, ini merupakan suatu contoh yang nyata sekali...

Ia pun dapat membayangkan, selama seta-hun lebih ini Lan See giok dan Si Cay soat selalu hidup bersama, main bersama dan latihan bersama tak sedetikpun mereka berpisah, benih cinta yang tumbuh diantara mereka mungkin sudah mencapai pada titik puncaknya.

(Bersambung ke Bagian 31)

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar