1
BUKIT yang tak seberapa tinggi
itu menjadi ajang pertarungan dua wanita berusia sebaya, sekitar dua puluh
tujuh tahun. Keduanya sama-sama punya kecantikan dan daya tarik yang cukup
kuat. Bedanya, yang satu berbadan langsing namun sekal, yang satu berbadan
padat berisi dan tampak lebih tinggi.
Yang lebih tinggi mengenakan
jubah biru tanpa lengan. Jubahnya itu tidak dikancingkan, tapi ia mengenakan
penutup dada semacam kutang namun terbuat dari kain tipis warna hitam. Tipisnya
kain membuat gumpalan montok di dadanya itu tampak membayang dari luar.
Kelihatan kencang dan menantang. Sedangkan pakaian bawahnya berupa kain tipis
warna hitam berbelahan depan dari bawah sampai ke atas. Jika kakinya menendang,
belahan kain itu menyingkap dan tampaklah sesuatu yang ada di balik kain tanpa
penutup lagi.
"Gila! Ck, ck, ck, ck...!
Bertarung sambil pamer perabot begitu bisa bikin lawannya gugup kalau lawannya
seorang pria," ujar batin seorang pemuda yang menyaksikan pertarungan itu
dari atas pohon.
Pemuda tersebut berbaju
coklat, celana putih, pakai ikat pinggang kain merah, membawa bumbung tuak,
rambutnya panjang tanpa ikat kepala, wajahnya ganteng tanpa jerawat, dan...
siapa lagi kalau bukan muridnya si Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting
alias Pendekar Mabuk. Hobinya memang mengintip, tapi yang diintip bukan perawan
mandi, melainkan sebuah pertarungan. Dari seringnya melihat pertarungan, Suto
akan punya ingatan tentang beberapa jurus yang perlu dipelajari kelemahannya,
sehingga sewaktu-waktu ia berhadapan dengan seseorang yang menggunakan jurus
tersebut, ia tidak akan kewalahan lagi.
Perhatian Suto Sinting
cenderung kepada perempuan tinggi sekal itu. Ibarat ayam, ayam Bangkok.
Penampilannya benar-benar mantap, baik mantap untuk pertarungan di arena maupun
untuk pertarungan asmara.
Apalagi dengan rambut digulung
ke atas asal-asalan tapi dijepit pakai penjepit dari perak, perempuan itu
seakan memamerkan lehernya yang kuning mulus tanpa cupang sedikit pun.
Menggemaskan hati setiap pria.
"Aku baru sekarang
melihatnya," ujar Suto dalam hati. "Hidungnya mancung, bibirnya yang
bawah agak tebal tapi menarik sekali. Pas satu kecupan. Matanya memang agak
lebar, tapi indah dan sedikit sayu, bikin hatiku gemas juga. Oh... kenapa ia
sejak tadi hanya menghindar dan menangkis? Mana serangannya? Mengapa tak
memberi perlawanan kepada si langsing?"
Si langsing itu juga berhidung
mancung, tapi kecil. Wajahnya berkesan mungil. Matanya bundar, rambutnya
pendek, diikat dengan kain merah. Pakaiannya serba ungu komprang. Kulitnya sawo
matang. Tapi dadanya tampak kencang dan sekal, walau tak semontok si jubah biru
muda itu.
Si baju ungu menyelipkan
pedang di pinggangnya, si jubah biru juga menyelipkan pedang dari logam putih
anti karat di pinggang. Tetapi ketika si baju ungu mencabut pedangnya,
perempuan berjubah biru itu tidak ikut-ikutan mencabut pedang, ia hanya mundur
dua tindak dan memasang kuda-kuda secara tak nyata. Seakan ia malas melayani
serangan lawannya.
"Sudah tiba saatnya kau
kukirim ke neraka, Perempuan Lacur! Jangan lari dariku kau!" seru si
langsing berbaju ungu.
"Dewi Kesepian tak pernah
lari dari pertarungan, Ambarini! Sebelum lawannya mati, Dewi Kesepian tak akan
hentikan pertarungan!"
"Mengapa kau tak membalas
seranganku?!"
"O, itu urusanku! Mau
membalas atau tidak, itu bukan urusanmu," seru si jubah biru yang ternyata
bernama Dewi Kesepian itu, Katanya lagi, "Aku sebenarnya hanya ingin tahu,
seberapa kekuatan jurusmu untuk mengalahkan kekuatanku! Ternyata dari tadi
seranganmu tak ada yang membahayakan nyawaku. Sama seperti seekor semut yang
menggigit, panas sedikit tapi tidak bikin koit!"
Si langsing yang bernama
Ambarini itu menjawab berseru semakin berang, karena hatinya kian panas
mendengar ejekan Dewi Kesepian.
"Kalau begitu, terimalah
jurus 'Pedang Walet' ini!
Hiaaah...!"
Ambarini lakukan lompatan yang
mirip seekor burung walet terbang. Wuuut...! Pedangnya menebas leher Dewi
Kesepian. Tetapi dengan gerakan merendah hingga berlutut satu kaki, Dewi
Kesepian berhasil hindari tebasan pedang itu.
Di luar dugaan, Ambarini
bersalto satu kali di belakang Dewi Kesepian, lalu pedangnya menyabet dari
bawah ke atas. Wuus...! Craas...!
"Uuhk...!" Dewi
Kesepian yang baru mau bangkit itu terpaksa melompat dengan berjungkir balik
menggunakan dua tangan sebagai tumpuannya. Bruuk..!
Kedua kakinya tepat menapak di
tanah namun dalam keadaan tidak serempak, ia berusaha berdiri, tapi tubuhnya
menggeloyor limbung.
Rupanya pedang Ambarini telah
kenai punggung Dewi Kesepian hingga jubah birunya robek dan berlumur darah.
Luka itu tepat menghadap ke arah tenpat persembunyian Suto Sinting, sehingga
pemuda itu dapat melihat jelas betapa panjang dan mengerikannya luka itu. Darah
yang keluar berwarna merah kehitam-hitaman, menandakan luka itu beracun dan
racun itu cukup berbahaya.
"Hiaaat...!"
Ambarini lakukan lompatan lagi dengan tubuh melayang lurus bersama pedang yang
disentakkan ke depan. Wuuut...!
Dewi Kesepian menahan sakit,
tapi ia masih bisa putar tubuhnya dan layangkan tendangan kaki kanannya.
Wuuut, beet...! Wees...!
Pedang Ambarini terpental
lepas dari genggamannya karena lengannya terkena tendangan kuat bertenaga dalam
dari Dewi Kesepian. Ambarini sempat limbung dalam gerakan terbangnya, ia tak
bisa menjaga keseimbangan karena sentakan kaki kuat tadi.
Akibatnya, Dewi Kesepian dapat
menghantam punggung Ambarini dengan pangkal telapak tangannya. Dees...!
Buuhk...!
"Heekh...!"
Brrruk...! Ambarini jatuh
terbanting. Hampir saja wajahnya menghantam sebongkah batu hitam yang sejak
tadi diam di situ tak mau ikut campur dalam pertarungan.
Namun Ambarini segera
mengangkat batu yang besarnya seukuran kepala kuda itu. "Heeaaah...!"
Batu itu dilemparkan ke atas,
lalu ditendang dengan ujung kakinya. Wuuut, dees...!
Weerr...! Batu itu melayang ke
arah dada Dewi Kesepian. Dengan gerakan cepat, dihantamnya batu yang
mendekatinya menggunakan kepalan tangan kanannya. Dees...! Pyaaar...!
Batu itu hancur menjadi
butiran sebesar merica, menandakan betapa tinggi kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki Dewi Kesepian itu sebenarnya. Andai yang dihantam adalah kepala
Ambarini, tentu kepala itu akan remuk dan kelak tengkoraknya tak akan berbentuk
seperti layaknya tengkorak orang mati puluhan tahun.
Perempuan langsing itu masih
penasaran, ia segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak jauh.
Dengan sentakkan tangan kiri,
telapak tangan itu keluarkan sinar hijau lurus yang segera menghantam perut
Dewi Kesepian. Claap...!
Beesss...!
"Aauhk...!" Dewi
Kesepian terbungkuk sambil menyeringai, kedua tangannya pegangi perut. Dari
sela-sela jemari keluar asap menandakan perutnya luka bakar, entah bolong atau
hanya lecet, yang jelas Dewi Kesepian sangat kesakitan.
Bet, bres, bres, plook...!
Wajah Dewi Kesepian menjadi
sasaran empuk bagi kaki Ambarini. Dewi Kesepian dihajar habis oleh Ambarini.
Tapi anehnya Ambarini tak bisa membunuh Dewi Kesepian dengan tangan kosong.
Sekalipun Dewi Kesepian telah babak belur dan lukanya amat parah, namun ia
tetap berusaha bangkit berdiri. Walau sebelum sempat berdiri, ia selalu tumbang
kembali karena tendangan atau pukulan Ambarini.
Melihat keadaan Dewi Kesepian
berlumur darah, Suto Sinting tak tega. Maka ketika Ambarini berusaha mengambil
pedangnya untuk mengakhiri nyawa Dewi Kesepian, Suto Sinting melepaskan jurus
'Jari Guntur' nya, berupa sentilan yang mengandung kekuatan tenaga dalam,
besarnya seperti tendangan seekor kuda jantan.
Pertama-tama pedang itu
disentil lebih dulu dari jarak jauh. Tess...! Zraaak...! Pedang itu terpental
jauh, membuat Ambarini terbengong. Saat perempuan itu terbengong, Suto Sinting
menyentilkan jarinya lagi ke arah pinggang Ambarini. Tess...! Buuhk...!
"Auh...!" Ambarini
memekik dan terlempar kembali.
"Siapa orang yang
menyerangku? Dari mana datangnya? Pasti dia ada di pihak Dewi Kesepian! Agaknya
ilmunya cukup tinggi. Tulangku menjadi linu semua mendapat serangan tenaga
dalamnya," pikir Ambarini sambil menyeringai menahan sakit dan berusaha
bangkit.
Baru saja dapat separo
berdiri, tiba-tiba perutnya bagaikan ada yang menendang dengan kuat. Buuuhkk...!
"Heeehk...!"
Ambarini terpental ke belakang dalam keadaan tubuh melengkung ke depan.
Brruuk...! Ia pun jatuh terduduk dengan keras. Perut menjadi mual, tulang
punggung terasa mau patah.
"Keparat! Rasa-rasanya
aku akan kewalahan jika melayani orang yang memihak Dewi Kesepian itu!
Sebaiknya kutinggalkan saja perempuan itu, sebentar lagi pasti mati karena luka
racun dari pedangku tadi!"
Ambarini akhirnya melompat
menyambar pedangnya, kemudian sambil terhuyung-huyung ia berlari menjauhi
tempat itu. Sampai di kejauhan ia berhenti sebentar dan serukan kata kepada
Dewi Kesepian yang tersandar di bawah pohon.
"Sekali lagi kau
mengganggu suamiku, kutebas batang lehermu, Perempuan Jalang!"
Tanpa peduli suaranya didengar
lawan atau tidak, Ambarini segera melesat pergi menerabas semak belukar. Dan
pada saat itulah Suto Sinting segera muncul dari persembunyiannya. Dengan
gunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mampu bergerak secepat gerakan cahaya,
Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah berada di samping Dewi Kesepian.
Zlaaap...!
la segera geleng-geleng kepala
melihat keadaan Dewi Kesepian yang babak belur itu. Wajahnya penuh luka,
berlumur darah, tak punya tenaga lagi, ooh...menyedihkan sekali. Pendekar Mabuk
segera mengambil bumbung tuaknya yang menyilang di punggung.
"Kasihan, wajah
cantik-cantik jadi seperti topeng leak!" gumam Suto Sinting, kemudian
berusaha menuangkan tuak ke mulut Dewi Kesepian dengan hati-hati. Sedikit demi sedikit tuak tertelan oleh Dewi
Kesepian. Perempuan itu tak tahu apa yang masuk ke mulutnya, yang jelas bisa
ditelan dan bisa dipakai membasahi kerongkongannya yang kering, ia berhasil
meneguk tuak sekitar lima tegukan. Setelah itu Suto Sinting menenggak tuak
sendiri, lalu menghembuskan napas lega. Matanya memandang sekeliling, mencari
tempat yang lebih teduh lagi. Ketika dilihatnya ada tempat yang lebih teduh,
walau keadaan tanahnya agak miring, Suto pun membawa Dewi Kesepian ke tempat
itu dengan mengangkatnya memakai kedua tangan.
Dewi Kesepian tak tahu bahwa
ia telah menelan tuak sakti yang berkhasiat menyembuhkan luka serta penyakit
dalam waktu singkat. Sebenarnya bukan tuaknya yang sakti, melainkan bumbung
tuak itulah yang mempunyai kekuatan sakti karena jelmaan dari seorang tokoh
dunia persilatan masa lalu yang sering disebut-sebut Suto sebagai Eyang Buyut
Guru Wijayasura, kakek gurunya si Gila Tuak. Segala macam jenis tuak dari mana
pun jika sudah masuk ke bumbung bambu itu maka ia akan berubah menjadi tuak
sakti.
Terbukti dalam beberapa saat
saja keadaan Dewi Kesepian sudah mulai normal kembali. Luka-lukanya mengering,
kemudian luka itu menyempit dan akhirnya hilang bagai terserap ke dalam kulit.
Luka di punggung akibat pedang beracun si Ambarini juga mengering dan lenyap
tak berbekas. Darah yang berceceran di tubuh dan pakaian Dewi Kesepian bagaikan
menguap diserap angin.
Dewi Kesepian terkejut setelah
menyadari tubuhnya bersih dari luka dan tidak merasa sakit di bagian mana pun.
Justru badannya merasa lebih segar dari saat sebelum bertarung melawan Ambarini
tadi.
Perempuan itu semakin tampak
kecantikannya. Tubuhnya yang kuning langsat itu ternyata ditumbuhi bulu-bulu
halus yang menggetarkan hati setiap lelaki. Bulu halus itu tumbuh sampai di
bagian lengan, belakang pergelangan tangan, dan sekitar tengkuknya. Suto
Sinting sempat merinding karena menahan getaran hati yang gemas-gemas senang
melihat bulu halus itu.
"Ooh... kau...?!"
Dewi Kesepian terkejut setelah mengetahui ada seorang pemuda tampan berambut
lurus sepundak duduk di atas akar pohon yang menonjol bagai batu itu. Lebih
terkejut lagi setelah Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, maka Dewi Kesepian
mulai merasakan ada sentakan halus di dalam hatinya.
Sentakan itu menimbulkan rasa
nyaman dan indah, sehingga ia pun menjadi grogi sesaat, ia memandang
sekeliling, ternyata Ambarini sudah tak ada dan orang lain pun tak ada kecuali
si pemuda tampan berhidung bangir dan bermata bening teduh itu.
"See... seingatku aku
tadi terluka parah, ter... terkena... terkena racun pedangnya Ambarini. Tapi
mengapa sekarang aku... aku jadi bersih tanpa luka sedikit pun?" ucapnya
lirih bagai bicara pada diri sendiri.
"App... apakah kau yang
menolongku dan menyembuhkan lukaku tadi?"
"Mungkin," jawab
Pendekar Mabuk sok berlagak cuek.
Perempuan yang mempunyai suara
agak besar dan serak-serak menggairahkan itu mulai perdengarkan suaranya lagi
setelah ia memandang ketempat pertarungannya tadi, ternyata di sana tak ada
Ambarini.
"Ke mana Ambarini tadi?
Apakah dia melarikan diri?"
"Barangkali," jawab
Suto lagi berlagak angkuh.
"Dingin sekali
sikapnya," ujar batin Dewi Kesepian.
Lalu, ia pun mulai menampakkan
sikap angkuhnya untuk membalas keangkuhan Suto Sinting. "Terima kasih atas
bantuanmu!" ucapnya datar, lalu ia segera melangkah pergi.
"Hei, tunggu dulu!"
Suto Sinting mengejar, Dewi Kesepian tetap melangkah dengan wajah memandang
lurus ke depan. Suto terpaksa menghadang langkahnya.
"Begitukah sikapmu
terhadap orang yang telah menolongmu?"
"Minggir...!"
katanya dengan sedikit menyentak bernada sinis. Tetapi Suto tetap tak mau
minggir. Maka, Dewi Kesepian segera sentakkan tangannya ke depan, dan tiba-tiba
Suto seperti diterjang badai besar yang membuatnya terpental terbang dengan
ringannya.
Wuuut...! Brruuk...!
Punggung Suto membentur pohon
dengan kuat. Duuur...! Pohon itu sampai bergetar, beberapa daun dan bunganya
berguguran. Suto menyeringai merasakan tulang punggungnya terasa remuk dan
sukar untuk berdiri. Akhirnya ia hanya terengah-engah sambil bersandar pada
batang pohon itu. Matanya memandang lesu ke arah wajah cantik berbibir
menggemaskan itu.
"Gila! Sentakan tangannya
begitu kuat dan berbahaya sekali. Kalau tak kuimbangi dengan menahan napas
murniku, bisa jebol perutku," ujar Suto Sinting dalam hati.
Dewi Kesepian melangkah lagi
tinggalkan Suto, seakan ia tak peduli keadaan Pendekar Mabuk, walau ia yakin
bahwa pemuda tampan itulah yang tadi menolongnya dari luka parah itu. Namun ia
pun yakin bahwa sikapnya yang cuek dan angkuh akan membuat si pemuda menjadi
penasaran.
Keyakinan itu memang benar.
Sebab setelah Suto Sinting menenggak tuaknya untuk obati rasa sakit di sekujur
tubuhnya, ia segera mengejar langkah Dewi Kesepian dan menghadang langkah
perempuan itu lagi.
"Kau punya kekuatan
hebat! Tapi mengapa tidak kau gunakan untuk melawan Ambarini tadi?!"
sambil Suto menuding-nuding seperti protes terhadap sikap Dewi Kesepian di
dalam pertarungan tadi.
"Jangan halangi
langkahku!" Dewi Kesepian tetap berlagak angkuh, belum puas membalas
keangkuhan Suto Sinting.
"Tunggu dulu, ada yang
ingin ku...."
Beet! Tiba-tiba kaki Dewi
Kesepian berkelebat tak diketahui kapan bergeraknya. Tahu-tahu dada Suto
Sinting sudah menjadi sasaran empuk dan membuat tubuh pemuda gagah dan kekar
itu terlempar ke belakang dan jatuh berguling-guling menuruni lereng bukit.
Jika tak ada akar pohon yang tumbuh mirip papan berlapis-lapis itu, mungkin
Suto akan menggelinding terus sampai di kaki bukit.
Dewi Kesepian membelokkan arah
langkahnya dan tetap cuek terhadap keadaan Suto Sinting.
"Kampret...!" teriak
Suto memaki nasibnya yang sial. Tapi justru makian itu membuat langkah Dewi
Kesepian terhenti dan memandang Suto dengan sinis.
"Namaku Dewi Kesepian,
bukan Kampret! Kampret itu nama kakekku. Lengkapnya: Ki Dulang Kampret!"
Suto tertawa geli sambil
menahan sakit di lututnya yang tadi membentur batu.
"Hei, aku tidak bermaksud
memanggilmu atau menyebutkan nama kakekmu! Aku memaki diriku sendiri yang
bernasib sial! Sudah menolong, eeh...dadanya nyaris bolong!"
Pendekar Mabuk menenggak tuak
lagi, hanya dua teguk. Karena tiba-tiba jantungnya terasa melemah, kadang detakannya
menyendat-nyendat, kadang justru hilang tanpa detakan. Pendekar Mabuk cemas
akan keadaan jantungnya, maka ia segera meminum tuak itu.
Dan pada saat itu ia mendengar
Dewi Kesepian berkata sambil hampiri dirinya.
"Itulah sebabnya, kalau
diajak bicara orang jangan berlagak angkuh!"
Pendekar Mabuk menyeringai.
"Maaf, aku tadi memang menggodamu."
"Anggap saja aku pun
menggodamu."
"Iya, tapi tidak perlu
sampai mau menjebolkan dadaku."
"Aku hanya menendang urat
jantungmu."
"Urat jantungku?!"
Suto berkerut dahi.
"Apakah jantungmu merasa
tersendat-sendat dan sesekali terasa seperti tidak berdetak lagi?"
"Hmmm... hmmm... iya,
memang begitu."
"Nah, itulah yang
dinamakan jurus 'Tendangan Jalur Jantung', dalam sepuluh helaan napas kau akan
pingsan!"
"Tapi... sekarang
jantungku tidak mengalami perubahan apa-apa lagi."
"Kuhitung empat kali, kau
pasti roboh! Satu...."
Suto Sinting nyengir sambil
menempelkan telapak tangannya ke dada, merasakan detak jantungnya yang memang
normal karena sudah minum tuak.
"Dua.... Tiga...."
"Habis ini aku roboh,
ya?"
"Iya. Empat...!"
"Robohnya di sebelah
mana?!" Suto clingak-clinguk mencari tempat. "Enaknya aku pingsan di
bawah pohon itu saja, ya? Biar teduh!"
"Konyol!" geram Dewi
Kesepian yang merasa terheran-heran. "Mengapa kau tidak langsung pingsan
dan bahkan masih bisa bersikap konyol begitu?"
"Mungkin tendanganmu
hanya berlaku untuk jantung pisang. Bukan jantung manusia!" sindir Suto
membuat Dewi Kesepian menjadi malu dan dongkol, ia menarik napas dan
membuangnya dalam dengus kekesalan hati.
Suto Sinting hanya
cengar-cengir sambil melihat-lihat keadaan di atas pohon, sengaja bersikap
meremehkan jurus yang dibanggakan perempuan itu.
"Ternyata kau orang
kuat!" ujar Dewi Kesepian secara jujur. "Selama ini belum pernah ada
orang yang bisa menahan jurus 'Tendangan Jalur Jantung'-ku. Baru kaulah
orangnya."
"Mengapa tidak kau pakai
untuk melawan Ambarini?"
"Oh, kau kenal dengan
Ambarini?"
"Aku hanya mengutip
bicaramu saat menyebutkan namanya tadi," jawab Suto sambil menunduk
sebentar dan garuk-garuk kepala. Kemudian ia memandang Dewi Kesepian dan bicara
dengan serius.
"Dari dua seranganmu yang
kurasakan tadi, menurutku kau seharusnya bisa menumbangkan Ambarini! Tapi
mengapa kau sepertinya tak mau menyerang atau melukainya, bahkan membiarkan
dirimu dihajar habis-habisan begitu?! Hampir saja kau mati karena racun
pedangnya kalau tidak kupaksa untuk meminum tuakku."
"O, jadi tuak itu yang
membuatku sehat secara ajaib ini?" pikir Dewi Kesepian, tapi mulutnya
melontarkan kata lain.
"Aku merasa bersalah
kepadanya. Kuterima hajarannya yang bertubi-tubi itu sebagai hukuman
kesalahanku."
"Boleh kutahu kesalahan
apa yang membuatmu rela dihukum sedemikian rupa "
Dewi Kesepian memandang Suto
dengan tegas, tanpa sungkan dan malu-malu.
"Aku tidur dengan
suaminya; si Rayundita."
Suto Sinting tertawa panjang
tapi tak sampai terbahak-bahak. Dewi Kesepian tetap pandangi Suto dengan mata
tak berkedip, tajam dan penuh ketegasan.
Ketika menyadari dipandang
tajam oleh Dewi Kesepian yang tidak tersenyum sedikit pun itu, Suto Sinting
buru-buru hentikan tawanya, karena ia segera sadar tawanya itu menyinggung
perasaan si perempuan cantik itu.
"Kau jujur sekali. Tapi
mengapa kau sampai tidur dengan si Rayundita?"
"Karena aku tak tahu
kalau dia sudah beristri!"
"Apakah dia tampan?"
"Tidak setampan
dirimu!" jawabnya tegas lagi tanpa senyum sedikit pun.
"Apakah dia
perkasa?"
"Tidak seperkasa dirimu
juga!"
"Atau... mungkin kau
mencintainya?"
"Tak ada cinta di hatiku!"
"Lalu, apa yang
meribuatmu nekat tidur dengannya?"
"Karena aku butuh
darahnya."
"Hah...?! Butuh
darahnya?"
"Darah kemesraan ssorang
lelaki harus kuperoleh setiap malam. Aku hanya bisa bertahan tidak menerima
darah kemesraan seorang lelaki selama dua malam. Itu pun sudah membuatku amat
tersiksa."
"Mengapa begitu?!"
"Aku terkena kutukan
beracun dari Penguasa Pulau Siluman...."
"Oh, maksudmu.... Nyai
Ronggeng Iblis?!"
"Benar! Rupanya kau
mengenalnya?!"
"Hmmm... eeh... ya, aku
mengenalnya, tapi langsung membunuhnya!"
Dewi Kesepian terperanjat dan
menjadi tegang.
"Kau...?! Kau membunuh
Nyai Ronggeng Iblis?!" ia seakan tak percaya.
"Ya, aku membunuhnya demi
menyelamatkan seorang gadis yang terkena pukulan 'Sabda Sirna', yang membuat
gadis itu tak memiliki raga," (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gadis Tanpa Raga").
Dewi Kesepian tiba-tiba
melemas dan jatuh terduduk dengan wajah sedih.
"Hei, kenapa kau?! Kenapa
kau jadi lemas dan pucat?!"
Perempuan itu tak menjawab,
namun bola matanya mulai berkaca-kaca pertanda sebentar lagi tangisnya akan
datang. Suto semakin kebingungan.
*
* *
2
DEBUR ombak di pantai curam
terdengar bagai irama nyanyian setan. Pantai curam itu mempunyai tebing tinggi
berdinding karang tegak lurus. Di atas tebing itu, tampak seorang pemuda
berusia dua puluh tahun sedang ditempa ilmu kanuragan oleh gurunya.
"Tendangan kiri, hup...!
Tendangan kanan, huup...! Tendangan depan, huup...! Tendangan belakang,
huup...!"
Brruk...!
Sang Guru jatuh sendiri,
maklum usianya sudah hampir seratus tahun kurang beberapa bulan. Kumis,
jenggot, dan alis sudah memutih semua. Rambut di kepalanya tinggal tujuh belas
lembar lebih sedikit. Tubuhnya yang kurus tampak sudah lemah untuk lakukan
gerakan-gerakan menyentak. Namun sang Guru masih bisa menutupi kelemahannya itu
di depan muridnya.
"It tad ten yang
sal...!"
"Apa maksud Guru?"
"Itu tadi contoh
tendangan yang salah, Tolol! Jangan ditirukan!"
Sang murid justru cekikikan
menertawakan alasan sang Guru dan membayangkan jatuhnya sang Guru yang seperti
kodok gagal melompat. Melihat muridnya cekikikan, sang Guru dekati sang murid
lalu menamparnya. Plook...!
"Kal sed lat jang
ter!"
"Apa artinya itu, Guru?'
"Kalau sedang latihan
jangan tertawa!"
Sang murid langsung diam, tak
berani cekikikan, bahkan tak berani tersenyum. Berdirinya tegak, wajahnya
serius menyedihkan, pandangannya lurus dan mulutnya ternganga sedikit. Sang
Guru berkata kembali sambil mundur tiga langkah.
"Cob ul jur yang
tad!"
Sang murid paham maksud
gurunya, ia disuruh mengulangi jurus yang tadi. Maka, sang murid pun lakukan
tendangan kiri, kanan, dan depan. Sang Guru manggut-manggut sambil berucap
lirih.
"Bag, bag, bag...."
"Maksudnya; bagong,
Guru?"
"Bagus!" bentak sang
Guru, suaranya masih rada lantang, tak kentara seperti suara orang berusia
hampir seratus tahun. Sedangkan suara sang murid kecil cempreng seperti kaleng
kerupuk dipukul pakal sandal.
Rupanya sang Guru mempunyai
kebiasaan bicara pendek. Dulu ketika ia menuntut ilmu di sebuah perguruan, ia
diajarkan bahasa sandi untuk berbicara dengan sesama rekan perguruannya. Bahasa
sandi itu sampai sekarang menjadi bahasa sehari-hari baginya.
Akibat kebiasaan itulah maka
sejak usia empat puluh tahun ia dikenal dengan nama si Omong Cekak. Setelah tua
dikenal dengan panggilan; Eyang Omong Cekak.
Sedangkan muridnya yang kurus
berambut pendek lurus itu bernama Temon. Nama itu pemberian dari Eyang Omong
Cekak, karena bocah itu ditemukan hanyut di sebuah sungai yang sedang dilanda
banjir dalam usia tujuh belas tahun. Ketika ditemukan, ia tidak tahu siapa
keluarga dan di mana rumahnya, bahkan ia tidak tahu namanya sendiri. Mungkin
kepalanya terbentur-bentur benda keras saat hanyut di sungai sehingga
membuatnya lupa ingatan (amnesia). Benturan benda keras pada kepalanya itu juga
mengakibatkan ia tumbuh sebagai pemuda yang kadang-kadang goblok, kadang-kadang
cerdas. Bukan pintar-pintar bodoh, tapi bodoh-bodoh pintar.
"Sek jur puk tang
kos."
Sang murid berkerut dahi
pertanda kurang mengerti terjemahan bahasa sandi itu. Eyang Omong Cekak
akhirnya menjelaskan dengan bahasa yang benar.
"Sekarang latihan jurus
tangan kosong!"
"Oooo...," Temon
manggut-manggut. Bajunya yang berlengan panjang longgar warna putih bola-bola
merah seperti celananya itu segera dirapikan sebentar, kemudian ia mengambil
sikap kuda-kuda berkaki rendah renggang ke samping.
"Yang sep kem mar,
ya?"
"Maksudnya, yang seperti
kemarin itu, Guru?"
"Ya. Siap?!"
"Siap, Guru!"
"Mul...!"
Temon masih diam saja dengan
posisi kaki rendah menyamping kedua tangan menggenggam rapat di pinggang.
"Mul...!" bentak si
Omong Cekak dengan jengkel sambil dekati Temon. Temon memandang dengan berkerut
dahi.
"Muuuul...!" seru
sang Guru makin jengkel. Temon clingak-clinguk. Plaaak...!
"Kenapa malah
clingak-clinguk!" sentak sang Guru.
"Kusangka Guru memanggil
temanku; si Mulyana."
"Mul itu artinya
mulaiiiii...! Uhuk, uhuk, uhuk."
Omong Cekak terbatuk-batuk
karena terlalu emosi dalam bicaranya. "Ayo, mul...!" perintahnya.
Maka Temon pun segera berlatih jurus pukulan ke depan. Gerakannya sangat
kaku dan lamban, seakan tidak
bertenaga. Omong Cekak jengkel, akhirnya kepala Temon dikeplaknya. Plaaak...!
"Aduh...!" Temon
tersentak menggeloyor. "Kenapa aku dikeplak, Guru?"
"Karena kau punya
kepala!" jawab Omong Cekak seenaknya. "Tenagamu mana?! Tenagamu
manaaaa...?!" teriak Omong Cekak saking jengkelnya, lalu terbatuk-batuk
lagi.
"Kal memuk har pak ten...
pak ten... pak ten!" ulangnya dengan jengkel.
"Apa itu pak ten?"
"Kalau memukul harus
pakai tenaga, pakai tenaga, pakai tenagaaaa...! Goblok!" lalu Omong Cekak
menggerutu sambil bersungut-sungut. "Sudah tiga tahun jika muridku masih
belum becus menggunakan jurus pukulan! Das ot ud!"
"Ya, memang das ot ud,
Guru."
"Apa kau tahu artinya das
ot ud?"
"Tidak, Guru!" jawab
Temon tegas seperti prajurit.
"Kenapa pakai bilang: ya?
Das ot ud itu artinya 'dasar otak udang', tahu?!"
Temon diam, wajahnya
menyedihkan, matanya kedip-kedip seperti anak cacingan, ia tetap tegak,
memandang lurus ke depan. Sang Guru berdiri di depannya dengan tongkat kayu
hitam berujung ukiran tangan menggenggam tetap dipegang tegang dengan tangan
kanannya.
"Kalau satu tahun lagi
kau belum bisa kuasai jurus pukulan, kubuntungi kedua tanganmu. Mengerti?"
Temon tersenyum sambil
memandang lurus ke depan dan tetap berdiri tegak seperti prajurit.
"Satu tahun kemudian, kau
tidak bisa kuasai jurus tendangan, kubuntungi juga kedua kakimu. Paham?"
Temon tersenyum lagi, matanya
mengerling genit.
"Genap enam tahun, kau
tidak bisa kuasai jurus apa-apa dariku, lehermu kubuntungi. Jelas?"
Temon mengedipkan mata sebelah
sambil makin tersenyum. Tapi berdirinya masih tetap tegak, kaki rapat, tangan
rapat, wajah lurus ke depan.
"Sampai sepuluh tahun kau
tidak bisa kuasai jurus apa pun dariku, perutmu kubuntungi! Ingat itu!"
Temon tersenyum, anggukkan
kepala sedikit, mata kanan berkedip-kedip genit.
Plook...!
Tiba-tiba Temon menggeragap
kaget karena wajahnya ditampar oleh sang Guru.
"Diberi tahu malah
senyum-senyum dan kedip-kedip! Meremehkan, ya? Kau meremehkan nasihatku ini,
ya?!" gertak sang Guru.
"Tidak, Guru!" jawab
Temon tegas bersuara keras.
"Mengapa kau sejak tadi
hanya senyum-senyum ganjen dan kedip-kedip mainkan mata?!"
"Karena...," jawab
Temon tegas dan keras juga.
"Karena... di depanku ada
wanita cantik, Guru!"
"Ah, yang
bener...?!" bisik sang Guru, kemudian mencoba melirik ke belakang.
Omong Cekak kaget, ternyata di
belakangnya dalam jarak tujuh langkah telah berdiri seorang perempuan cantik
berjubah biru muda.
Perempuan itu tak lain adalah
Dewi Kesepian yang larikan diri dari Suto sebelum memberi penjelasan lebih
lengkap tentang wajah sedihnya saat mendengar Nyai Ronggeng Iblis telah dibunuh
Suto itu. Diam-diam Suto pun mengikuti kepergian Dewi Kesepian dan mengintainya
dari kejauhan.
Melihat kehadiran seorang
wanita cantik bertubuh sexy menggairahkan, Omong Cekak menjadi salah tingkah.
Jubahnya dirapikan, badannya ditegakkan biar kelihatan gagah, bahkan ia
berbisik kepada Temon.
"Pin sis, pin
sis...!"
"Apa maksud Guru?"
"Pinjam sisirnya, Tolol!"
"Wah, dari rumah aku
tidak membawa sisir, Guru. Lagi pula, rambut Guru tinggal tujuh belas lembar
saja kok mau disisir!"
"Bi kel gan."
"Bi kel gan itu apa,
Guru?"
"Biar kelihatan
ganteng."
"Walaaa... sudah tua
kempot gigi nyaris omong begitu kok masih kepingin ganteng."
"Car ak sis...,"
bisik Omong Cekak lagi dengan menyenggol lengan muridnya. "Carikan aku
sisir, Dungu!"
"Di pantai begini mana
ada sisir? Kalau toh ada paling-paling hanya duri ikan yang mirip sisir! Guru
mau sisiran pakai duri ikan?"
"Amis, Tolol!"
"Makanya... sudahlah,
kepala Guru digosok saja biar mengkilat, nanti kan kelihatan ganteng!"
"Malah seperti biji
salak, Bodoh!"
Akhirnya Omong Cekak dekati
Dewi Kesepian dengan langkah tertatih-tatih namun dipaksakan untuk tegak dan
berusaha agar kelihatan gagah. Temon diam di tempat, tertawa cekikikan melihat
tingkah sang Guru.
"Sudah tua, peot,
keriput, kok masih genit kalau melihat perempuan. O, ala.... Guru, Guru... apa
ya masih bisa kencan orang sepertimu itu," ujar Temon pelan sekali.
"Benar-benar tua-tua keledai, makin tua makin mirip keledai. Jalan saja
sudah sempoyongan kok masih mau naksir perempuan. Uuh...! Kalau tidak ingat aku
tak punya saudara lagi, malas aku ikut dia! Mana tiap hari dibentak-bentak,
digoblok-goblokkan, salah sedikit main keplak, yuh... sengsara betul aku ikut
dia. Tapi, yaah... daripada aku telantar tanpa tempat tinggal tanpa tempat
makan, biarlah kukuat-kuatkan ikut dia...."
Temon penasaran, ingin
mendengar apa yang dibicarakan oleh sang Guru dengan perempuan cantik itu. Maka
ia berlagak mencari sesuatu sambil mendekati tempat pertemuan sang Guru dengan
Dewi Kesepian.
"Hai...," sapa kakek
setua Omong Cekak itu. Alisnya disentakkan naik dengan senyum tua dari mulut
yang sudah miskin gigi itu.
"Sendirian saja
Nona?"
"Ya, sendirian saja.
Kenapa?" Dewi Kesepian bicara dengan senyum geli tertahan.
"Mau gabung dengan kami?
Kami sedang berlatih jurus 'Sapu Langit'. Satu kali pukulan langit akan pecah
menjadi delapan bagian."
"Hmmm...," Dewi
Kesepian hanya tersenyum bernada sinis.
"Bela pad ku cuk mur dan
tid bay."
Dewi Kesepian berkerut dahi.
"Kau bicara apa, Kakek Kempot?"
"Belajar padaku cukup
murah dan tidak bayar."
"Aku tidak tertarik pada
ilmumu! Aku justru ingin mengangkat pemuda itu menjadi muridku!"
"Eit, tid bis...!"
"Apa itu tid bis?"
"Tidak bisa! Temon adalah
muridku. Sudah tiga tahun dia menjadi muridku, mengapa kau mau serobot
dia?"
"Aku mau! Aku mau!"
seru Temon tiba-tiba.
Buuhk...! Kaki si Omong Cekak
menendang perut Temon, membuat Temon berhenti bicara, hilang kegembiraan,
berganti wajah menyeringai menahan mual pada perutnya.
"Aku merawatnya sebagai
murid selama tiga tahun, mengapa kau tiba-tiba mau menyerobotnya! Itu namanya
mematikan semangatku sebagai seorang Guru yang harus mengamalkan ilmunya pada
orang lain!" Omong Cekak mulai ngotot.
"Jadi apa maumu?"
tantang Dewi Kesepian.
"Kalau mau mengangkat
Temon sebagai muridmu, kau harus mau mengangkatku sebagai Maha Guru, yang
berarti lebih tinggi kedudukannya darimu!"
Dewi Kesepian tersenyum sinis,
lalu dengan cueknya melangkah dekati Temon. Pemuda itu langsung tegak, kaki
rapat, wajah menghadap ke depan, tanpa senyum apa pun, seperti prajurit
menunggu perintah panglimanya.
"Kau mau jadi
muridku?"
"Siap! Saya mau,
Nona!" jawab Temon keras dan tegas.
"Sudah dapat apa kau
selama tiga tahun menjadi murid Kakek itu?"
"Siap. Tidak dapat
apa-apa kecuali tamparan dan makian, Nona!"
"Jang buk kar!"
sambil Omong Cekak sodokkan tongkatnya ke betis Temon.
"Kau bilang apa, Kakek?"
"Jangan buka kartu!"
jawab Omong Cekak dengan cemberut. "Memalukan saja anak ini!" ia
menyambung dengan gerutuan, tapi gerutuan itu tak dihiraukan oleh Dewi
Kesepian.
Perempuan tinggi itu masih
berdiri di depan Temon, kedua tangannya bersidekap di dada. Mata Temon sempat
melirik ke dada itu, namun segera memandang lurus kembali ketika belahan dada
yang montok itu sengaja ditutup dengan telapak tangan pemiliknya .
Temon sedikit grogi karena
Dewi Kesepian memandanginya tanpa bicara lagi. Omong Cekak segera berkata
kepada Dewi Kesepian.
"Bol ku tah sia
nam?"
Dewi Kesepian berkerut dahi
pertanda tak mengerti maksud Omong Cekak. Maka kakek itu pun segera mengulang
ucapannya dengan bahasa yang benar.
"Boleh kutahu siapa
namamu, Nona?"
"Dewi Kesepian!" jawabnya
singkat.
"Oh, bag sek nam it!
Eeh... maksudku, bagus sekali nama itu. Sangat serasi dengan namaku,
Sayang."
"Siapa namamu,
Kakek?"
"Namaku Jejaka
Rindu!"
Temon menyahut dengan
kendorkan sikap kakunya.
"Lho... katanya Guru
bernama si Omong Cekak. Kok sekarang ganti Jejaka Rindu?"
"Wangsit wasiat dari
dewata itu datangnya tidak diduga-duga, Temon! Kalau wangsit wasiat mau datang
sore, ya sore itulah kudapatkannya. Kalau mau datang pagi atau siang, tak ada
yang melarang!"
"O, jadi Guru tadi baru
saja kedatangan wangsit wasiat dari dewata?"
"Iya. Dan sang dewata
membisikkan kata padaku, bahwa aku harus mengubah nama menjadi Jejaka Rindu.
Karena selama ini aku memang merindukan cinta suci seorang wanita sejati,
contohnya seperti si Dewi Kesepian ini! Bukankah begitu, Dewi?"
"Bukan!" jawab Dewi
Kesepian dengan tegas.
"Wangsit dewata sudah
lewat, kau ketinggalan, Kakek. Karenanya, sebaiknya kau tetap saja memakai nama
mu: Omong Cekak!"
"Lho, jadi si wangsit
sudah lewat? Kok tidak mampir padaku, ya?" gumam si Omong Cekak bagai
bicara sendiri.
"Temon!" tegur Dewi
Kesepian. "Sudah siapkah kau menjadi muridku?!"
"Siap, Ibu Guru!"
jawab Temon dengan tegas dan tegak kembali.
"Eh, tunggu dulu!
Bagaimana dengan diriku? Kau belum mengangkatku sebagai Maha Guru kalian!"
Omong Cekak protes.
Dewi Kesepian sunggingkan
senyum tipis sinis.
"Maha Guru...?! Apa
kehebatanmu sehingga minta diangkat sebagai Maha Guru, Omong Cekak?"
"Meremehkan...!"
geram Omong Cekak. Kemudian ia tancapkan tongkatnya ke tanah. Craak...! Tongkat
kayu itu ternyata mampu ditancapkan pada tanah berbatu karang keras. Jika tanpa
tenaga dalam, tak mungkin kayu itu bisa menancap di tanah berbatu karang keras
seperti menancap di tanah persawahan.
"Kau ingin lihat
kemampuanku? Inilah buktinya!" kata Omong Cekak. "Coba cabut tongkat
ini kalau memang kau mampu!"
Dewi Kesepian sunggingkan
senyum makin lebar, ia melirik Temon, kemudian berkata dengan pelan tapi
bernada penuh wibawa.
"Sebagai calon murid,
tolong cabutkan tongkat itu. Kau mewakili aku, Temon!"
"Siap, Ibu Guru!"
seru Temon penuh semangat, kemudian ia bergegas mencabut dengan dua tangan.
"Hiak...! Hiaak...,
aahhh!"
Temon mengerahkan seluruh
tenaganya untuk mencabut tongkat itu. Napasnya sampai ngos-ngosan, keringatnya
bercucuran, wajahnya jadi merah, tapi tongkat itu masih belum bisa dicabut dari
tempatnya, bahkan bergerak sedikit pun tidak. Omong Cekak pun menertawakannya.
"Hieh, heh, heh... hoh,
hoh... hih, nih...! Carilah seratus orang untuk membantumu, kau tak akan bisa
mencabutnya, Temon! Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih...!"
"Calon Guru... tongkat
ini pasti digigit naga di dalam tanah! Sukar dicabut, Calon Guru!"
"Minggir...!" Dewi
Kesepian bergegas maju dekati tongkat.
"Hieh, heh, heh... hoh,
hoh... hih, hih...! Apalagi perempuan, tenaganya seberapa? Yang lelaki saja tak
kuat mencabut, kok yang perempuan mau ikut? Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih,
hih...!"
Pendekar Mabuk yang sejak tadi
bersembunyi di suatu tempat yang aman dan rapi, sempat berkata dalam batinnya.
"Rupanya si Omong Cekak
baru keluarkan kesaktiannya. Sejak tadi tak kulihat kehebatan Ilmunya.
Agaknya ia ingin sekali diakui
sebagai orang berilmu yang lebih tinggi dari Dewi Kesepian. Tapi... apakah Dewi
Kesepian sanggup mencabut tongkat itu?!"
Dengan sekuat tenaga, Dewi
Kesepian mencoba menarik tongkat ke atas dengan satu tangan.
"Hiaaah...! Huuuhk...
aaah...!"
"Hieh, heh, heh... hoh,
hoh... hih, hih.... Biar sampai perutmu jebol, tak mungkin kau bisa
mencabutnya, Dewi Kesepian!"
Rasa penasaran membuat Dewi
Kesepian mencabut dengan dua tangan. Tenaga dalamnya dikerahkan, urat-uratnya
keluar semua, tapi ternyata tongkat itu tetap menancap kuat, seakan telah
menembus belahan bumi di bagian lain. Omong Cekak terpingkal-pingkal bangga
melihat Dewi Kesepian terengah-engah dan gagal mencabut tongkatnya.
"Hieh, heh, heh... hoh,
hoh... hih, hih...! Ayo, keluarkan semua kekuatan tenaga dalammu! Biar sampai
beranak tujuh, tak mungkin kau bisa mencabut tongkatku, Sayang! Hieh, heh, heh,
hoh, hoh, huh, huh, huh, hah, hih, hih, huuuuaah...! Hieh, hieh, hieh...!"
Pendekar Mabuk membatin dari
persembunyiannya, "Itu orang tertawa apa kesurupan?! Tertawa kok seperti
orang kesurupan?!"
Sebenarnya Pendekar Mabuk juga
penasaran dan ingin mencoba. Tapi perasaan itu ditahannya kuat-kuat. Ia harus
tetap bersembunyi agar tidak diketahui Dewi Kesepian bahwa ia mengikuti gerakan
perempuan itu.
"Bag, ma ing cob?"
"Aku tak tahu
bahasamu!" sentak Dewi Kesepian.
"Bagaimana, apa masih
ingin coba?" Temon menerjemahkan bahasa sandi itu.
"Baiklah. Kuakui kau
punya kehebatan yang tak bisa kukalahkan!"
"Kau menyerah? Baik...
beginilah cara mencabutnya!
Huup...!"
Omong Cekak menghentakkan
kakinya ke tanah.
Duuhk...!
Ia terbengong, "Lho, kok
tidak melesat naik?!"
Dewi Kesepian dan Temon
sengaja memperhatikan terus, membuat si Omong Cekak jadi salah tingkah.
Duuhk, duuhk, duuhk...!
Kaki dihentakkan ke tanah
berulang-ulang, tapi tongkat itu masih tetap diam tak bergeming. Omong Cekak
jadi bingung sendiri dan garuk-garuk kepala.
"Manaa...? Kok tidak bisa
tercabut, Guru?" ujar Temon sambil mencibir meremehkan.
"Biasanya bisa terbang
sendiri dalam satu hentakan kakiku!"
"Mungkin salah mantra,
Gurul"
"Mungkin juga! Hmmm...
coba kupusatkan tenaga dalamku ke telapak kaki!"
Omong Cekak pejamkan mata,
tangannya bergerak naik pelan-pelan dan menyentak turun dengan cepat sambil
hentakkan kaki ke tanah. Duuuhk...!
"Waah... tongkatnya
terbang tinggi sekali! Wah, wah, wah...!" Temon memandang ke langit,
padahal tongkat masih tetap tidak bergeming. Omong Cekak jadi malu dan dongkol
mendengar sindiran Temon.
"Ya, ampuuun...
tongkatnya sampai menembus langit lho. Kalau sa...."
Plook...! Mulut Temon ditabok
oleh Omong Cekak. Pemuda itu kaget dan gelagapan.
"Ja menghin il ku, ya?! Sekali
lagi kau menghina ilmuku, kupecahkan rahangmu!"
"Kau tak perlu marah
begitu, Omong Cekak! Kau memang terbukti tak punya kemampuan mencabut tongkat
sendiri. Wajar kalau Temon mengejekmu, karena tadi kau juga menghinanya!"
ujar Dewi Kesepian membela Temon.
"Sial! Terpaksa harus
dicabut dengan cara biasa saja!" gerutu Omong Cekak, kemudian ia mencabut
tongkat dengan tangan satu.
"Huuup...!"
Tongkat masih tak bisa
tercabut. Omong Cekak jengkel, lalu mencabutnya dengan tangan dua.
"Huuh...!"
Brruuk..! Omong Cekak jatuh
terduduk dan napasnya terengah-engah. Tongkat itu belum bisa dicabut. Dewi
Kesepian tersenyum geli, Temon cekikikan dengan berlindung di belakang Dewi
Kesepian. Omong Cekak bangkit berdiri dan berlagak tenang.
"Kubilang juga apa... susah
dicabut tongkat ini, Nak!"
Lalu, ia clingak-clinguk
sambil menggerutu sendiri,
"Sialan! Kenapa jadi
susah dicabut, ya? Aduh, malu sekali aku kalau begini caranya! Mau pamer ilmu
di depan perempuan cantik malah malu sendiri."
Pendekar Mabuk pun ikut heran
dari tempat persembunyiannya. "Mengapa bisa begitu?! Kurasa ada yang tak
beres di sekitar mereka."
Omong Cekak masih penasaran.
Untuk menutupi rasa malunya kepada Dewi Kesepian, ia mengerahkan tenaga intinya
hingga seluruh tubuhnya gemetar. Lalu, tongkat itu digenggam ujung atasnya dan
ditarik ke samping dengan penuh tenaga. Setidaknya ia berharap tongkat akan
tercabut bersama jebolnya tanah di bawahnya. Tetapi agaknya tongkat tetap tidak
bisa ditarik begitu saja.
Kepala tongkat yang licin
membuat tongkat terlepas dari genggaman tangan si Omong Cekak. Akibatnya,
tongkat itu melentur balik seperti dari karet.
Plaas, bletok...!
Kepala tongkat yang berupa
ukiran tangan menggenggam itu memantul kenai kepala si Omong Cekak sendiri.
Omong Cekak tak bisa berteriak, ia pengangi jidatnya yang langsung bengkak
membiru. Tangan yang satunya meraba-raba mencari pegangan karena tubuhnya
limbung. Akhirnya ia jatuh terkapar tak sadarkan diri alias pingsan.
Brrruk...!
"Lho, Guru...?! Guru...?!
Tongkatmu belum tercabut kok sudah pingsan?!" Temon mengguncang-guncang
tubuh Omong Cekak. Dewi Kesepian bergegas menarik lengan Temon.
"Lekas kita tinggalkan
tempat ini. Aku yakin ada yang tak beres di sekitar sini, Temon!"
"Maksud Ibu Guru
bagaimana?"
"Sudahlah, kita lari
dulu! Aku punya tempat yang aman untuk kita berdua! Nanti kujelaskan di
sana!"
"Tapi... tapi.. bagaimana
dengan Eyang Guru Omong Cekak ini?!"
"Biarkan saja dia
pingsan, nanti akan siuman sendiri."
"Tapi...."
"Kau mau jadi muridku apa
tidak?!" sentak Dewi Kesepian.
"Mmmma... maau... mau
sekali!"
"Lekas ikut aku!"
Dewi Kesepian akhirnya membawa
lari Temon, sementara si Omong Cekak masih tetap cuek karena pingsan. Pendekar
Mabuk menjadi bingung, mau menyelidiki sekitar tempat itu atau mengikuti Dewi Kesepian?
"Aku yakin ada tokoh
sakti yang jahil di sekitar tempat ini! Entah apa maksudnya mempermainkan si
Omong Cekak itu. Tetapi... tetapi aku ingin tahu apa yang dilakukan Dewi
Kesepian terhadap Temon.
Benarkah dia akan ajarkan
ilmunya dan mengangkat Temon sebagal muridnya? Atau... mungkin dia punya maksud
lain terhadap Temon?!"
*
* *
3
SESUATU yang tak beres seperti
dugaan Pendekar Mabuk itu akhirnya menampakkan diri. Mula-mula Suto melihat
cahaya merah samar-samar bergerak bagaikan nyala api yang hampir redup. Cahaya
merah samar-samar itu mendekati tongkat si Omong Cekak.
Makin lama cahaya itu semakin
redup. Tetapi di balik keredupannya tampak sebentuk bayangan yang samar-samar.
Pendekar Mabuk menjadi penasaran hingga ia bergerak lebih dekat lagi dengan
tetap menjaga kerapian persembunyiannya.
"Benda apa itu? Bentuknya
seperti obor, tapi juga seperti keris. Sekarang malah menjadi tinggi dan
membentuk seperti bayangan manusia?! Hmmm... apa itu, ya?"
Pendekar Mabuk tetap
pertahankan diri di tempat persembunyiannya, walaupun di tempat itu ia mulai
dirayapi semut merah yang jika menggigit terasa panas, namun Suto berusaha
untuk tidak keluarkan suara apa pun. Bahkan mengusir semut pun dengan belaian
lembut, wajahnya hanya menyeringai merasakan gigitan panas semut-semut itu.
Beberapa kejap kemudian,
gigitan panas dari semut-semut itu tidak terasa lagi karena perhatian Suto
semakin tertarik pada sebentuk bayangan aneh yang tadi tampak samar-samar itu.
Bayangan tersebut sekarang kian jelas, dan semakin jelas lagi sampai membentuk
sosok tubuh manusia seutuhnya.
Kini sosok tubuh manusia itu
tidak membayang kabur lagi. Benar-benar jelas seperti halnya memandang Omong
Cekak yang masih terkapar dalam keadaan pingsan itu. Pendekar Mabuk kerutkan
dahi, karena baru kali ini melihat seorang perempuan berwajah tua, keriput,
tapi masih bertubuh sekal, dadanya masih montok berisi, bahkan pinggulnya masih
tampak menggiurkan, seperti halnya pinggul milik perempuan usia dua puluh lima
tahun.
"Wajahnya begitu tua dan keriput-keriput,
matanya cekung besar dan hidungnya pesek nyaris gerumpang. Bibirnya pecah-pecah dan giginya bertonjolan
tak rata. ih... menyeramkan sekali! Tapi mengapa tubuhnya masih semontok itu,
ya? Siapa dia gerangan?" pikir Suto Sinting sambil keluarkan napas
pelan-pelan, takut helaan napasnya terdengar oleh si perempuan berjubah hijau
tipis dan berpinjung kuning gading sama dengan warna celana ketatnya yang
sebatas betis itu. Rambut perempuan itu masih hitam, meriap lembut sepanjang
punggung. Kepalanya mengenakan ikat kain merah berbintik-bintik kuning, ia
selipkan senjata berupa kipas warna hijau di pinggangnya.
Perempuan itu berjari lentik
dengan kuku tidak begitu panjang tapi berbentuk bagus. Jari lentik itu
diacungkan ke arah Omong Cekak. Claaap...! Sinar putih perak keluar dari salah
satu jarinya, lalu sinar itu menghantam tubuh Omong Cekak. Tiba-tiba tubuh tua
si Omong Cekak tersentak dan ia menjadi siuman.
Omong Cekak segera terkejut
melihat kehadiran tokoh wanita berwajah menyeramkan itu. Tetapi rasa kaget itu
tidak membuat Omong Cekak ketakutan seterusnya, ia hanya menarik napas dengan
gerutu tak jelas seraya menepuk-nepuk dadanya yang terasa tersentak saat
melihat kehadiran si wajah menyeramkan.
"Seperti anak kecil saja
kau, Tanuyasa! Sudah tua masih mau pamer ilmu di depan perempuan cantik!
Maksudmu biar si Dewi Kesepian tadi terpikat olehmu, bukan?!"
"Kutu kambing! Rupanya
kau yang menggangguku tadi, Rupa Setan!" geram Omong Cekak sambil
bersungut-sungut melengos.
"Aku sengaja membuat tongkatmu
terpaku dengan bumi biar kau mendapat malu di depan perempuan cantik itu!"
"Ter, ap mak mu?!"
Rupa Setan mengerti maksudnya.
Omong Cekak menanyakan, "Terus, apa maksudmu?"
Maka si Rupa Setan pun
menjawab, "Kuingatkan padamu, sebaiknya kau pulang ke pertapaan!"
"Aku sudah bosan
bertapa!" gerutu Omong Cekak.
"Aku terlalu rajin
bertapa, akhirnya lupa belum punya istri! Aku kepingin punya istri, Rupa
Setan!"
"Sudah terlambat,
Tanuyasa!" ujar Rupa Setan dengan memanggil nama asli si Omong Cekak.
"Usiamu sudah tidak memungkinkan punya keturunan lagi!"
"Tapi... tapi aku masih
punya gairah! Mau dibuang ke mana gairahku? Ke sungai terus, bosan!"
"Buanglah gairahmu
padaku, Tanuyasa!"
"Uh, malas!" Omong
Cekak makin cemberut, ia mencoba mencabut tongkatnya. Bluuus...! Mudah sekali,
bagai dicabut tanpa butuh tenaga. Anak kecil pun mampu mencabutnya. Itu
pertanda si Rupa Setan telah lepaskan kekuatannya yang tadi dipakai memaku
tongkat tersebut dengan bumi.
"Kalau aku mau, sejak
dulu kau sudah kukawini. Setidaknya kugerayangi!"
"Mengapa kau selalu
menolak kehadiranku, Tanuyasa?" Rupa Setan makin mendekat.
"Habis, ilmuku tidak
setinggi ilmumu! Kau tidak mau membagi ilmumu, sehingga aku malu mempunyai
istri yang ilmunya lebih tinggi dariku."
"Mengapa malu?"
"Karena... karena kalau
aku menamparmu, kau bisa membalasku dan aku bisa bonyok!" jawab Omong
Cekak bernada jengkel.
Pendekar Mabuk berucap
membatin, "Ooo... ternyata si Rupa Setan naksir Tanuyasa sejak lama, tapi
Tanuyasa tidak mau menanggapi. Agaknya mereka bersahabat sudah sejak lama.
Mungkin sejak usia muda. Berarti, usia si Rupa Setan itu juga sudah setua
Tanuyasa alias si Omong Cekak? Mungkin karena menggunakan ramuan khusus atau
mantra ilmu pengawet muda, sehingga Rupa Setan masih tampak segar dan montok,
cuma sayangnya ilmu awet muda itu tidak bisa membuat wajahnya cantik dan
muda."
Rupa Setan berkata lagi,
"Tanuyasa, apakah kau lupa dengan nasihat Guru kita? Kau harus bertapa
selama delapan puluh tahun. Mengapa baru empat puluh lima tahun bertapamu sudah
kau hentikan?"
"Sudah kubilang aku
bosan, aku bosan...! Bertapa terus di tempat sepi, tak ada hiburan tak ada
kesenangan. Sedangkan ilmuku belum juga bertambah! Lebih baik sisa hidupku
kugunakan untuk mencari kenikmatan yang belum pernah kurasakan, yaitu kawin dan
tidur dengan istriku!"
"Bukankah mendiang Guru
kita pernah bilang, bahwa setelah kau selesaikan bertapamu maka kau akan
menjadi semuda dulu, ketika kau berusia tujuh belas tahun dan baru masuk ke
perguruan? Dan kemudaan-mu itu akan abadi, kau bisa memilih calon istri seperti
apa pun cantiknya, karena kau akan kembali setampan dulu!"
"Ah, tanpa bertapa pun
aku masih tampan, gagah, dan menawan!" sambil Omong Cekak merapikan
pakaian, memamerkan kegagahan dan ketampanannya yang hanya bisa diakui oleh
orang buta dari jarak jauh.
Omong Cekak berkata lagi,
"Pergilah sana, jangan ganggu aku lagi! Aku mau mengejar Dewi
Kesepian!"
"Bukankah aku ada di
dekatmu, Tanuyasa?"
"Aku suka sama Dewi
Kesepianl Ilmunya pas-pasan kalau kutampar akan menangis, kalau sudah menangis
baru minta dipeluk. Bukan seperti kau, kalau ditampar ganti menampar,
meretakkan kepalaku! ingatlah kau, dulu kau pernah meretakkan kepalaku?!"
"Karena kau meremas
dadaku tanpa izin, Tanuyasa!"
"Mana ada meremas dada pakai
izin dulu! Uuh... konyol itu namanya! Meremas dada ya tak perlu izin. Sejak
saat itulah aku tak suka padamu, Rupa Setan! Oleh sebab itu, carilah pria lain
dan biarkan aku mengejar Dewi Kesepian! Pasti dia akan semakin kesepian jika
tidak mendapat pelukanku!"
"Kau belum tahu siapa
dia, Tanuyasa!"
"Tentu saja aku tahu dia,
karena aku tidak buta!"
"Tapi kau belum tahu
bahwa dia perempuan yang terkena pencemaran kutuk!"
"Ap maksudmu?" Omong
Cekak kerutkan dahi.
"Dewi Kesepian terkena
kutuk beracun dari Ronggeng Iblis," tutur si Rupa Setan. "Kutukan
beracun itu menyiksa hidupnya, karena dia akan selalu membutuhkan darah
kemesraan seorang lelaki untuk meredam racun kutukan itu. Jika sampai dua malam
ia tidak mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki, maka seluruh darah
merahnya akan membusuk, jantungnya pun membusuk dan napasnya menyebarkan wabah
penyakit bagi siapa saja yang berada dalam jarak sepuluh langkah darinya.
Kutukan beracun itu hanya diucapkan oleh si Ronggeng Iblis dan langsung
mengenai dirinya. Tak ada obat yang mampu kalahkan kekuatan racun kutukan itu
kecuali dari diri si Ronggeng Iblis sendiri. Tetapi kudengar, Ronggeng Iblis
telah binasa di tangan pendekar muda yang bernama Suto Sinting."
Pendekar Mabuk membatin,
"Ooo... pantas Dewi Kesepian menjadi lemas dan menangis ketika kukatakan
bahwa Nyai Ronggeng Iblis telah tewas di tanganku!"
Tanuyasa masih ngotot,
"Kebetulan kalau dia selalu membutuhkan darah kemesraan, aku akan berpesta
cinta setiap malam dengannya."
"Kau tidak akan mampu bertahan
sampai satu purnama, karena siapa pun yang telah bercumbu dengannya, siapa pun
yang kencan dengan Dewi Kesepian, maka jalan darahnya akan mengalami pembekuan
dan cepat atau lambat pria itu akan mati!" kata si Rupa Setan.
"Hmmm... kau mengarang
cerita untuk mencegahku agar tidak mengejar si Dewi Kesepian itu, Anjardani!
Aku tak percaya!"
"Terserah kau percaya
atau tidak, tapi aku tak ingin kau menjadi korban wabah kutukan beracun itu,
Tanuyasa! Karena itu, maafkan aku jika aku mengambil jalan pintas untuk
selamatkan dirimu!"
Claaap...! Tiba-tiba dari
kedua bola mata yang cekung mendalam itu keluar dua sinar hijau lurus. Kedua
sinar hijau itu menjadi satu di pertengahan jarak, lalu menghantam dada kiri
Omong Cekak. Deeebs...!
Uuuhkk...!" Omong Cekak
tersentak dan terbungkuk, ia berpegangan tongkatnya untuk menahan tubuh agar
tak limbung. Matanya memandang sayu kepada si Rupa Setan.
"Kau jah pad ku, Rup
Set!"
"Ak terpak iak dem kesel
mu!"
"Tap buk beg
car...."
"Tak ad car ia kec beg,
Tan yas!"
Tanuyasa jatuh berlutut
napasnya tersendat-sendat.
"Ak ku bal perbu mu in,
Rup Set!"
"Jang mar, ak kuba kau ke
pon ku!"
Pendekar Mabuk hanya
menggerutu dalam hati, "Sialan! Ngomong apa mereka itu sebenarnya?! Kak,
kuk, kak, kuk... seperti bebek mau dipotong saja!"
Tetapi kejap berikutnya,
Pendekar Mabuk melihat si Rupa Setan memutar kedua tangannya di samping telinga
dalam keadaan kedua jari masing-masing tangan dikeraskan. Lalu, kedua tangan
itu menyentak ke depan seperti melemparkan pisau. Wuuut...! Dari kedua ujung
jari tersebut keluar sepasang sinar hijau kebiru-biruan.
Sinar itu segera membungkus
tubuh Tanuyasa. Zaaab, suuurrb...! Tubuh si Omong Cekak menyusut kecil, lalu
menjadi satu genggaman, menggumpal dan memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan.
Cahaya itu pun segera melesat setelah si Rupa Setan yang bernama asli Anjardani
itu berubah menjadi bayangan, lalu lenyap dan berganti sinar merah samar-samar.
Sinar merah itu menyangga sinar hijau kebiru-biruan.
Weeesss...! Kedua sinar itu
melesat ke atas bagai menembus langit. Pendekar Mabuk hanya bisa dibuat
terbengong-bengong penuh keheranan sambil memandang langit. Seekor burung
terbang melintas, di atas kepala Suto. Burung itu membuang kotoran.
Craat...!
Plook...! Kotoran burung jatuh
di kening Suto Sinting, barulah pemuda tampan itu sadar dari keterbengongannya
dan segera menggerutu tak karuan sambil kebingungan membersihkan kotoran burung
tersebut..
"Jangan-jangan si Rupa
Setan yang buang ingus ke jidatku! Kurang ajar!" sambil ia bergegas menuju
ke tepian pantai datar untuk membersihkan kotoran burung tersebut.
Sambil mencuci kepalanya
dengan air laut, Suto merenungkan kata-kata si Rupa Setan.
"Tak kusangka
keberhasilanku membunuh Nyai Ronggeng Iblis ternyata bukan saja menyelamatkan
salah satu jiwa, namun juga mencelakakan jiwa lain. Kasihan amat si Dewi
Kesepian itu. Ia tak punya obat untuk melumpuhkan kekuatan kutuk beracun yang
di deritanya! Hmmm... mengerikan sekali. Seandainya aku bercumbu dengannya dan
sampai mencapai puncak kenikmatan bersama, maka aku akan tertulat penyakit aneh
itu, jalan darahku akan membeku, lalu aku akan mati. Tetapi si Dewi Kesepian
itu tetap akan hidup mencari korban baru. Oh, haruskah perempuan itu
dimusnahkan agar tak menyebarkan wabah bagi kaum lelaki di dunia ini?!"
Tiba-tiba renungan itu
terhenti, kecamuk batin Suto pun hilang seketika, ia selesai mencuci rambut dan
kepalanya. Saat mau berbalik ke tempat yang kering, langkahnya terhenti juga
karena memandang seraut wajah yang sudah ada di sana, seakan menunggunya dengan
penuh kesabaran.
"Resi...?! Resi Pakar
Pantun...?! Ha, ha, ha, ha...!"
Suto Sinting berlari
kegirangan karena sudah cukup lama tidak bertemu dengan tokoh tua yang amat
akrab dengannya itu.
"Janda genit jangan
diajak bertapa,
sekali bertapa maunya main
cinta.
Lama kita tak pernah jumpa, s
ekali jumpa mengapa mirip
gurita?"
Suto Sinting segera membalas
pantun si Resi Pakar Pantun dengan wajah ceria dan tangan terbuka.
"Naik perahu turun
gunung,
gunung di dada banyak
lumutnya.
Memang lama kita tak jumpa,
tapi kau lebih mirip ikan
baronang!"
"Janda kembung beranak
golok,
ndak nyambung goblok!"
Suto Sinting tertawa, karena
memang ia tak ahli membuat pantun. Tapi justru hadirkan kelucuan setelah
mendengar pantun kejengkelan si tokoh tua berpakaian model biksu warna abu-abu
itu.
"Dari mana saja kau,
Suto?! Mengapa lama tak kulihat di rimba persilatan?"
"Kaulah yang bersembunyi,
Eyang Resi! Aku sudah melanglang buana, sampai menjelajah alam gaib dan dunia
dasar bumi, tapi aku tak menemukan dirimu. Kusangka kau sudah berteman dengan
rayap-rayap pengunyah mayat!"
"Doamu jelek sekali.
Orang tua kok didoakan cepat mati!" gerutu Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting hanya tertawa
geli. Tapi tawanya segera hilang setelah Resi Pakar Pantun tampak murung dan
merenung, walau matanya memandang jauh ke cakrawala.
"Ada apa, Eyang Resi? Kau
kelihatannya murung dan sedih?"
"Pelayanku hilang!"
"Maksudmu, si Kadal
Ginting itu?"
"Benar! Beberapa waktu
yang lalu kupergoki ia sedang bercinta dengan seorang perempuan, kemudian ia
takut padaku dan melarikan diri, sampai sekarang ia tak kembali padaku."
"Kadal Ginting bercumbu
dengan seorang perempuan, begitu maksudmu?"
"Ya. Dia bercumbu di
semak-semak tanpa mengajakku. Padahal aku tahu siapa perempuan itu. Dia adalah
perempuan berbahaya. Kudengar kabar dari mulut ke mulut, perempuan itu
menyimpan wabah penyakit berbahaya karena terkena racun kutukan atau kutukan
beracun!"
"Maksudmu... maksudmu si
Dewi Kesepian?"
"Ya, benar!" jawab
Resi Pakar Pantun dengan cepat.
"Celaka! Kalau begitu
Kadal Ginting dalam bahaya!"
"Apakah kau bertemu
dengan Kadal Ginting?"
"Ya, tapi tak kulihat ia
bersama si Dewi Kesepian. Tapi ia bersama... bersama.... Wah, jangan-jangan
Temon jadi korban wabah kemesraan beracun itu?!" pikir Suto dengan tegang
dan cemas, ia segera berkata lagi kepada sang Resi, "Aku tahu ke mana arah
kepergian Dewi Kesepian! Aku akan mencari dan menanyakan tentang Kadal Ginting
kepadanya!"
Kecemasan Suto ada benarnya.
Temon dibawa oleh Dewi Kesepian ke dalam sebuah gua yang biasa dipakai
beristirahat para pencari kayu atau para pengembara.
Kala itu, senja mulai datang
dan Dewi Kesepian sudah persiapkan kayu bakar untuk nyalakan api unggun di
dalam gua tersebut.
"Kita bermalam di sini
dulu, Temon. Apakah kau keberatan?"
"Tidak, Ibu Guru! Aku
sangat tidak keberatan bermalam di sini bersamamu, asalkan aku mendapatkan ilmu
yang dahsyat seperti ilmunya Pendekar Mabuk itu!"
"Oh, apakah kau kenal
dengan Pendekar Mabuk?"
"Tidak, tapi aku sering
mendengar cerita kehebatannya dari beberapa orang yang makan di kedai-kedai
itu, Ibu Guru. Dia hebat, sakti, gagah, dan ganteng."
Dewi Kesepian tarik napas,
terbayang wajah Suto Sinting. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya yang
membuatnya sempat gelisah dan resah. Namun kegelisahan dan keresahan itu
dibuangnya sedikit demi sedikit dalam bentuk hembusan napas beberapa kali.
"Memang dia gagah dan
ganteng...," ucapnya lirih sambil menata kayu untuk dibakar.
"Ibu Guru sudah pernah
bertemu?"
"Pernah, tapi... tapi
hanya sebentar," jawab Dewi Kesepian dengan lirih juga.
"Ibu Guru suka pada
ketampanannya dan kegagahannya?"
"Entahlah! Kurasa kau tak
perlu banyak bertanya tentang itu. Kita lupakan saja tentang Pendekar Mabuk
untuk sesaat. Kau siapkan diri untuk pelajari ilmu pertama dariku."
"Baik, ibu Guru! Sekarang
juga aku harus mulai belajar?"
"Sebentar lagi, kalau
petang sudah datang dan dingin mulai mencekam."
Kayu unggun segera dinyalakan.
Cukup dengan melepaskan satu pukulan tenaga dalam bersinar merah kecil dari
telunjuk Dewi Kesepian, kayu itu sudah bisa terbakar dan suasana di dalam gua
menjadi temaram.
Saat itu Temon sedang menata
beberapa ilalang kering yang untuk dijadikan alas tidur. Temon melepas bajunya
sendiri dan digelar di atas ilalang kering itu sebagai pelapis alas tidur untuk
sang guru.
"Kenapa bajumu kau
lepas?"
"Ibu Guru silakan tidur
di atas baju saya biar tubuh Ibu Guru tidak gatal. Saya cukup menggunakan alas
tidur tanpa pelapis, karena sudah biasa tidur di rumput, he, he, he...."
Dewi Kesepian sunggingkan
senyum kecil. "Rupanya ia punya bakat jadi pelayan setiaku," pikirnya
sambil melirik Temon sebentar. "Temon, kau bisa memijat?"
"Bisa, ibu Guru...."
"Panggii saja aku:
Guru."
"O, ya. Baik. Hmmm... aku
memang punya tugas tiap malam memijat punggung Eyang Omong Cekak, Guru.
Apakah Guru ingin dipijat
punggungnya?"
"Ya, punggungku terasa
pegal. Soalnya tadi aku habis bertarung dengan seorang musuh."
"Wah, hebat sekali! Guru
pasti menang, bukan?"
"Yah, seperti yang kau
lihat sendiri," sambil Dewi Kesepian melepaskan jubahnya dan meletakkan
pedangnya di samping pembaringan. "Tubuhku tak ada yang terluka,
bukan?!"
"Benar. Tubuh Guru tetap
utuh, halus, mulus, dan...."
Temon tertegun sesaat, karena
Dewi Kesepian bukan saja melepas jubahnya, namun juga melepas penutup dadanya.
Sayang sekali kala itu Temon berada di belakang Dewi Kesepian, sedangkan sang
Dewi segera menelungkupkan badan ke atas pembaringan.
"Pijatlah sekarang juga,
Mon."
"Bba... ba... baik,
Guru," Temon menjawab dengan menggeragap, karena hatinya berdebar-debar
dan tangannya menjadi gemetar.
"Mengapa tanganmu
gemetar, Mon?"
"Hmm... hmmm... iya,
anu... soalnya Eyang Omong Cekak tidak pernah pijat sambil lepas baju begini,
Guru."
"Apa bedanya? Toh sama
saja."
"Hmmm... eeh... ya, tidak
ada bedanya. Tapi... tapi saya belum pernah... belum pernah memegang tubuh
perempuan tanpa baju, Guru," ujar Temon semakin tampak gemetar.
Keringatnya mulai tersumbul di bagian kening karena jantungnya berdetak-detak
cepat ketika merasakan kehangatan tubuh yang dipijatnya. Dewi Kesepian tertawa
dalam hati, dan ia berlagak tidak mempedulikan gemetarnya tubuh Temon itu. Ia
sengaja menikmati pijatan tangan Temon yang memang terasa enak.
"Pijatan tanganmu enak
sekali, Mon. Kau pantas menjadi dukun pijat."
"Tee... terima... terima
kasih atas pujian Guru," jawab Temon mulai parau karena kerongkongannya
ikut gemetar.
"Agak ke bawah sedikit,
Mon. Pinggangku capek sekali rasanya."
Perintah itu dituruti oleh
Temon. Ia memijat bagian pinggang dengan keringat mulai mengalir dari pori-pori
lengannya.
"Oh, enak sekali
pijatanmu. Coba ke bawah sedikit, Mon."
Jantung Temon semakin
berdetak-detak karena ia harus memijat bagian pinggul. Pinggul itu terasa bagai
digagahi oleh kedua tangan Temon. Bertambah menyentak-nyentak degup jantung
Temon pada saat itu.
"Bawah lagi,
Mon...."
Sebenarnya Temon ragu. Tapi
karena ingin dianggap murid yang patuh perintah Guru, maka Temon pun memijat
bagian pantat Dewi Kesepian.
"Agak kuat sedikit
remasanmu, Temon."
"Bbbbaabb... bbbaaabb...
bababbb...."
"Mau omong apa kau
ini?"
"Baaaik, Guruuu..,"
lalu napas Temon terhembus lepas, ia terengah-engah menahan gejolak yang sudah
membakar hatinya. Gejolak itu tak lain adalah gejolak gairah bercinta yang
selama ini hanya bisa tumbuh dalam angan-angan semata.
"Agak ke tengah, Mon.
Jangan pinggirnya saja," perintah Dewi Kesepian. Tentu saja Temon semakin
gemetaran karena jika ia harus meremas bagian tengah berarti akan menyentuh
bagian yang selama ini belum pernah disentuhnya dari seorang wanita.
"Yaah... itu, Mon! Ooh...
enak sekali pijatanmu, jangan terlalu keras. Kurangi sedikit dan, oh... yaaa...
itu enak, Mon. Begitu terus, ya?"
"Bbbbaaaabb...
bababbbbi... eehh, bbbaabbbii... aduh, bbbbaaaab...."
"Ada apa, Mon."
"Anu, anu, annuuuu...
aannnn...."
"Ada apa dengan
anumu?"
"Anuu... yaaa... anu,
Guru...."
Dewi Kesepian cekikikan geli.
"Tunggu sebentar,
Mon." Dewi Kesepian berbalik badan. Kini ia telentang dengan kaki sedikit
renggang.
"Pijat bagian betis,
Mon."
"Iiyyy... iya,
Guru," jawab Temon dengan wajah pucat dan keringat bercucuran. Padahal
malam telah tiba dan angin malam membawa udara dingin masuk ke gua tersebut.
Namun tubuh Temon justru dibanjiri oleh keringat yang membuat badannya
berkilauan. Dewi Kesepian tersenyum-senyum melihat Temon memijat bagian betis
sambil tundukkan kepala, seakan tak mau menampakkan wajahnya.
"Naik sedikit,
Mon...."
Bagaimana jantung Temon tidak
seperti genderang perang jika ia harus memijat lebih atas lagi dari betis,
berarti memijat bagian paha. Sedangkan kain hitam yang membungkus bagian kaki
hingga perut terbuat dari kain tipis berbelahan tengah. Saat itu belahannya
menyingkap dan tampaklah sebentuk kemulusan kuning langsat dari paha sekal itu.
Karena perintah Guru, mau tak
mau Temon memijat bagian paha. Sedangkan Dewi Kesepian hanya mengenakan kain
hitam itu saja, tak ada kain lagi yang merangkapinya. Tak heran jika remasan
tangan yang memijat itu semakin lemah dan lemah sekali. Justru yang dirasakan
Dewi Kesepian adalah getaran kuat dari jari-jari yang menempel di pahatnya itu.
"Naik sedikit lagi,
Mon...," perintah Dewi Kesepian.
Tapi perintah tersebut kali
ini disertai suara mendesah, karena Dewi Kesepian sudah mulai dibakar oleh
gairah yang bergolak dalam dadanya. Hasrat ingin bercumbu mulai timbul karena
sentuhan tangan Temon.
Terlebih setelah Temon
menuruti perintahnya memijat bagian lebih atas lagi, hati perempuan itu semakin
berdesir-desir ditaburi rasa nikmat yang mencekam jiwa.
"Bergeserlah agak
mendekat kemari, Temon," sambil tangan Dewi Kesepian menarik kain celana
Temon agar duduknya lebih mendekat ke samping pinggangnya.
Temon pun bergeser sesuai
keinginan sang Guru. Dengan begitu, tangan Dewi Kesepian dapat mencapai paha
Temon dan tangan itu mulai meremas-remas lembut, lalu merayap lebih ke dalam
lagi. Temon tak bisa bicara sama sekali, karena napasnya kian memburu dan
mulutnya sibuk menelan ludah. Tangan Temon sendiri menjadi kian gemetar pada
saat ia merasakan menyentuh sesuatu yang lebih hangat dari bagian lainnya.
Dewi Kesepian menarik simpul
kain ikat pinggang Temon. Lepasnya kain ikat pinggang membuat kendurnya celana
Temon, sehingga tangan perempuan itu pun semakin lebih nakal lagi, menelusup
dan meraih sesuatu yang membuat jantung Temon menendang-nendang dadanya, ia
belum pernah dijamah perempuan, baru kali ini ia merasakan jamahan perempuan
sehingga sulit sekali bagi Temon untuk mengendalikan diri.
"Temon...!" ucap
Dewi Kesepian sambil bangkit.
Kini ia duduk berdekatan
dengan Temon, tapi tangan kanan Temon masih tetap memijat bagian yang diminta
sang Guru tadi. Pijatan itu cenderung berupa usapan jari yang penuh getaran,
sehingga Dewi Kesepian semakin ditaburi rasa nikmat menjerat hati.
Tangan kiri Dewi Kesepian
meraba kepala Temon.Mengusap rambut kepala itu dengan pandangan kian sayu.
Bibirnya mulai merekah seakan menantang untuk dikecup. Tapi Temon hanya diam
saja karena tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Anak ini benar-benar
lugu, belum pernah bercinta dengan siapa pun," pikir Dewi Kesepian. Mau
tak mau ia mendekatkan kepala Temon ke dadanya.
"Ambil... ambillah,
Temon...."
"Mmmaak... maaak...
maksud Guru bagaimana?"
Dewi Kesepian tidak bisa
menjawab karena tangan Temon yang sedang memijat halus itu semakin bergetar
kuat. Akhirnya ia hanya bisa meletakkan mulut Temon tepat di ujung gumpalan
dada kanannya. Kepala itu sedikit ditekan dan ujung dada itu pun terbenam masuk
ke mulut Temon.
"Aaaow...!" Dewi
Kesepian memekik dan segera menarik kepala Temon.
"Jangan digigit,
Tolol!" sentaknya bernada manja.
"Hab... hab... hab...
habis diapakan, Guru?"
"Kau tahu bagaimana jika
bayi sedang kehausan?"
"Hmmm... iya... iya, tahu
sekali, Guru."
"Jadilah bayi! Kau
bayinya dan aku ibunya. Paham?"
"Tap... tapi... tapi bayi
tidak sedang haus, Guru."
"Ini pelajaran jurus
pertama! Kau harus menjadi bayi yang kehausan, dan aku pura-pura Ibumu. Bisakah
kau lakukan hal itu?"
"Oh, biss...
bisa...!" jawab Temon dengan berseri-seri.
Kemudian ia pun menjadi bayi
yang kehausan.
"Ooooh...!" Dewi
Kesepian mengerang panjang dengan mata terpejam kuat. Lalu bibirnya digigit
sendiri dengan suara erangan mirip gumam memanjang.
"Temon, tunggu dulu!
Berhenti sebentar."
Temon berhenti menjadi bayi.
Ia memandang Dewi Kesepian dengan napas terengah-engah.
"Sekarang akan kuajarkan
jurus 'Induk Kucing' namanya."
"Ya, ya, ya...!"
Temon bersemangat sekali. "Kau pernah melihat seekor kucing memandikan
anaknya?"
"Hmmm... o, ya! Pernah.
Dia memandikan anaknya dengan lidah, Guru."
"Nah, sekarang kau
menjadi ibu kucing, aku menjadi anak kucing. Kau bisa lakukan?"
"Bisa... bisa sekali,
Guru!"
"Tapi supaya pernapasanmu
teratur dan peredaran darah kita tidak terhambat, sebaiknya lepaskan saja apa
pun yang menutupi tubuh kita."
"Lho... kalau
begitu...?"
"Lakukan saja, ini, jurus
kedua!"
"O, ya... baik, Gurru!
Akan kulakukan apa perintahmu, Guru."
"Bagus...!" Dewi
Kesepian girang sekali mendapat mangsa sebodoh itu.
Temon segera menjadi seekor
Induk kucing yang sedang memandikan anaknya, dan sang Guru dianggap anak
kucing. Dari ujung kepala sampai ujung kaki sang Guru dimandikan oleh 'sang
induk kucing', membuat 'si anak kucing' mengerang-ngerang ditikam seribu
kenikmatan yamg menggairahkan.
"Meeeeong... meeeong...
meeeong...l"
"Tidak usah pakai
meong!" kata Dewi Kesepian sambil menepak paha Temon. Maka, suara 'meong'
segera dihilangkan, kini berganti suara dengus napas yang memburu, karena Dewi
Kesepian juga melakukan kecupan-kecupan yang nyaris meledakkan jiwa si pemuda
polos itu.
"Oh, Temon... lakukan di
tempat itu agak lama. Aku suka sekali, Temon. Ooh... yaah, indah sekali itu,
Temon...," celoteh Dewi Kesepian.
Begitu asyiknya mereka
berlatih jurus-jurus 'maut', sampai tak sadar kalau ada sepasang mata yang
mengintip dari balik bebatuan dengan pintu gua.
Sepasang mata itu milik pemuda
tampan yang tak lain adalah Suto Sinting, ia berpisah arah dengan Resi Pakar
Pantun, karena sang Resi segera bertemu dengan kenalannya yang mengaku melihat
Kadal Ginting di sebelah selatan. Sang Resi dan kenalannya itu pergi ke
selatan, Suto ke arah yang dituju Dewi Kesepian dan Temon.
"Oh, Muridku... berhenti
dulu. Sekarang pelajaran ketiga, Muridku."
"Bbbaaa... baik... baik,
Guru," jawab Temon dengan napas ngos-ngosan karena dikejar gairah yang
menyentak-nyentak sejak tadi.
"Kita pelajari jurus 'Aji
Tonggak Bumi' yang dahsyat itu."
"Caranya bagaimana,
Guru?!"
Dewi Kesepian menggenggam
sesuatu yang selama ini dirasakan Temon belum pernah digenggam oleh perempuan
mana pun.
"Ini kita anggap tonggak.
Dan tonggak ini harus disatukan ke bumi agar bisa keluarkan kekuatan dahsyat
yang dapat melambungkan sukma."
Temon melakukan hal itu sesuai
dengan petunjuk yang diterimanya. Tetapi sang bumi berguncang memutar ke sana
kemari, membuat Temon memberi perlawanan agar sang tonggak tidak terguncang ke sana-sini.
Sementara itu, di balik
pengintaian, Suto Sinting jadi panas-dingin dan keringatnya mulai membasah di
sekitar kening, dahi, serta bagian dagu dan atas mulut.
"Sialan! 'Aji Tonggak
Bumi' benar-benar membuatku sesak napas. Oh, celaka! Temon yang polos pasti
terkena wabah menular dan jalan darahnya akan beku. Kalau begini aku sulit
mengambil langkah; menghentikan perbuatan itu, sama saja membunuh Dewi
Kesepian.
Membiarkan hal itu terjadi,
sama saja membunuh Temon. Apa yang harus kulakukan jika begini?"
*
* *
4
UNTUK menentukan sikap,
Pendekar Mabuk harus mengetahui lebih jelas lagi siapa Dewi Kesepian itu
sebenarnya. Dari aliran hitam atau aliran putih. Jika memang Dewi Kesepian dari
aliran hitam, Suto akan mempertimbangkan sejauh mana tindakan kekejiannya.
Jika memang ia perempuan yang
keji, Pendekar Mabuk tak segan-segan melenyapkan Dewi Kesepian, ketimbang
menjadi wabah yang berbahaya bagi kaum lelaki.
"Tapi jika ia dari aliran
putih, dan selama ini berbuat kebajikan, aku tak mungkin tega membunuhnya. Tapi
aku juga belum punya jalan keluar bagaimana mengatasi penyakit racun kutukan
itu."
Dewi Kesepian mempunyai tempat
sendiri yang tersembunyi, ia tinggal di tengah hutan, di dalam sebuah rumah
gubuk yang sangat sederhana. Barangkali di situlah ia mengasingkan diri dari
dunia ramai, karena tak ingin banyak orang mengetahui racun kutukan yang dapat
menular ke mana-mana itu. Sekaligus tempat itu dijadikan tempat persembunyian
bagi para pengejarnya yang ingin menuntut tindakannya itu.
Temon dibawanya ke pondok
tersebut pada esok harinya setelah bermain di dalam gua. Pendekar Mabuk
mengikuti terus dari tempat yang aman dan terlindung, sehingga ia bisa
mengetahui pondok kediaman Dewi Kesepian itu.
"Bagaimana kalau aku
mendatangi mereka?" pikir Suto. "Setidaknya aku dapat mengenal lebih
dekat siapa Dewi Kesepian itu, sehingga aku bisa mengambil sikap harus
bagaimana terhadap perempuan tersebut."
Namun baru saja Suto
menimbang-nimbang, tiba-tiba ia mendengar sebuah ledakan di sebelah barat, lalu
gumpalan asap hitam tampak membubung tinggi bagai muncul dari balik bukit.
Perhatian Suto tertarik pada asap ledakan itu. Ia berani memastikan, bahwa di
sana pasti sedang terjadi pertarungan cukup seru. Dan Pendekar Mabuk paling
gemar mengintai sebuah pertarungan untuk memperkaya khasana pengetahuan tentang
jurus dan ilmu di dunia persilatan. Maka ia pun segera berkelebat ke arah barat
dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaaaapp...!!
Pertarungan itu dilakukan oleh
dua tokoh tua yang agaknya sama-sama berilmu tinggi. Kedua tokoh tua itu sangat
mengejutkan Suto Sinting, karena ia kenal betul dengan keduanya.
"Si Kapas Mayat bertarung
dengan Resi Badranaya?!" gumamnya dalam keheranpn. "Oh, apa yang
membuat mereka saling beradu ilmtu sedahsyat itu?!"
Kapas Mayat tokoh tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun bertubuh agak pendek, bahkan tergolong kerdil, karena
tingginya hanya sebatas tinggi perut Suto. Ia berambut abu-abu dengan jubah
lengan panjang dan celana warna abu-abu juga. Tubuhnya kurus, tulang iganya
tampak bertonjolan karena jubah itu tidak dikancingkan, ia mempunyai seorang
cucu cantik yang pernah diselamatkan Pendekar Mabuk dari pertarungannya dengan
Ratu Dayang Demit. Cucu cantiknya itu bernama Kelambu Petang, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gairah Sang Ratu").
Sedangkan Resi Badranaya
adalah sahabat si Gila Tuak, guru Suto Sinting. Tokoh yang satu ini berusia
sekitar sembilan puluh tahun, tapi masih tampak tegar dan gesit. Badannya yang
gemuk selalu mengenakan pakaian model biksu warna kuning. Tokoh berkepala
gundul ini ke mana-mana selalu membawa kalung tasbih putih sebesar kelereng,
kadang ditenteng kadang dikalungkan sepanjang perut, ia termasuk tokoh tua yang
kumis, jenggot, dan brewoknya sudah putih rata. Mempunyai seorang murid bernama
Darah Prabu, yang juga menjadi sahabat karib Suto Sinting, "Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Buronan")
"Semestinya antara Resi
Badranaya dan si Kapas Mayat bersahabat, sebab para sahabat guruku tak ada yang
saling bermusuhan. Jika sekarang ternyata mereka bermusuhan, pasti ada
penyebabnya yang sangat penting dan tidak bisa diremehkan begitu saja,"
pikr Suto dari persembunyiannya.
Resi Badranaya tampak
memutar-mutar tasbihnya di atas kepala sambil melangkah ke samping dengan kedua
kaki merendah, ia tampak serius sekali dan pandangan matanya yang berwibawa itu
memancarkan kebencian yang jelas di depan si Kapas Mayat.
Sedangkan Kapas Mayat yang
cenderung bersikap lebih santai. Tak ada kuda-kuda atau jurus yang dilakukan, selain
hanya mengikuti gerakan Resi Badranaya dengan pandangan matanya yang mengecil
penuh kewaspadaan.
Ketika Resi Badranaya
melemparkan tasbihnya, tasbih itu segera menyala merah seperti kobaran api dan
menghantam tubuh si Kapas Mayat. Sayangnya, sebelum tasbih itu kenai si Kapas
Mayat, orang kecil bertongkat punya dua cabang itu segera lakukan lompatan ke
samping dan menghantam tongkatnya ke arah tasbih tersebut. Wuuwt..! Beeet...!
Jegaaaarrrrr....!
Tasbih itu padam dan terpental
ke arah lain, sementara tanah dan pepohonan bergetar hebat karena gelombang
ledakan yang dahsyat tadi. Resi Badranaya sentakkan tangan ke arah tasbihnya
yang terbang menjauh. Dalam sekejap tasbih itu berputar balik dan meluncur ke
arah pemiliknya lalu ditangkap dengan sigap. Teek...!
Tongkat si Kapas Mayat yang
bercabang dua seperti ketapel itu juga mempunyai karet dan tempat batu
pelontar. Kapas Mayat terlempar di belakang dan jatuh terbanting akibat ledakan
tadi. Hanya saja, dengan tangkas ia pergunakan tongkatnya untuk menahan
hempasan tubuh sehingga ia tak sampai terbanting, melainkan menukik dengan kaki
di atas dan kedua tangan bertumpu pada tongkat. Dalam sekejap ia telah berdiri
kembali dengan tegak menghadapi lawannya.
Resi Badranaya berseru sambil
menuding si Kapas Mayat.
"Kalau kau tak mau
bertanggung jawab, jangan salahkan diriku jika cucumu pun tak selamat, Kapas
Mayat!"
"Kalau tak salah
dugaanku...," ujar Kapas Mayat dengan ucapan khas yang selalu menggunakan
kalimat, 'kalau tak salah dugaanku' itu.
"... kau tak bisa
menuntut kepada cucuku; si Kelambu Petang, Kakang Badranaya! Cucuku tidak punya
kesalahan apa-apa. Kalau tak salah dugaanku, dia hanya seorang gadis yang
waras. Artinya, punya rasa suka kepada lelaki dan punya hasrat kepada lawan
jenisnya."
"Tapi gara-gara bergaul
dengan cucumu, muridku si Darah Prabu akhirnya terancam racun yang sukar
disembuhkan. Menurut pengakuannya, racun itu mengenainya setelah ia bercumbu
dengan Kelambu Petang, cucumu itu!"
"Belum tentu,
Kakang!" ujar Kapas Mayat cenderung lebih kalem dari Resi Badranaya.
"Kalau tak salah dugaanku, cucuku tak punya racun apa-apa dalam tubuhnya.
Tak masuk akal kalau muridmu keracunan cinta setelah bercumbu dengan cucuku!
Justru kalau tidak salah akulah yang harus menuntutmu agar segera mengawinkan
cucuku dengan muridmu, sebab dia sudah 'menikmati' kesucian si Kelambu
Petang!"
"Tak sudi aku mengawinkan
muridku dengan cucumu!" bentak Resi Badranaya. "Sama saja aku
mengawinkan si Darah Prabu dengan Iblis perempuan!"
"Eh, jangan mengatakan
cucuku Iblis perempuan, Badranaya! Kalau tak salah dugaanku, cucuku itu bukan
iblis. Tapi muridmu itu yang penganut setia iblis sesat!"
"Berarti kau mengatakan
aku iblis sesat?! Kurobek mulutmu, Kipas Mayat! Heeeaahh...!"
Resi Badranaya melayang
bagaikan terbang. Tasbihnya dikalungkan, kedua tangannya diacungkan ke depan.
Kedua tangan itu memancarkan warna hijau bening, sepertinya tangan Resi
Badranaya terbuat dari batu giok yang bersinar.
Serangan itu disambut oleh si
Kipas Mayat dengan satu lompatan yang membawa tubuh kecilnya terbang dengan
cepat. Kapas Mayat pegangi tongkatnya dengan kedua tangan di bagian tengah.
Weees...! Lalu, tubuh mereka bertabrakan di udara. Kedua tangan Resi Badranaya
menghantam kedua sisi tongkat si Kapas Mayat.
Blegaaarrr...!
Claaaap...! Warna merah
membias lebar dan lenyap seketika dengan asap tipis berhembus ke atas. Kedua
tokoh itu sama-sama terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling di tempat
berdirinya semula. Namun dalam sekejap keduanya sudah sama-sama bangkit berdiri
dan siap lepaskan serangan lagi.
Resi Badranaya mengeluarkan
darah kental dari hidungnya, si Kapas Mayat keluarkan darah kehitam-hitaman
dari tepian mulutnya. Keduanya terluka dalam akibat adu kesaktian di udara
tadi. Tapi keduanya sama-sama tak ada yang merasa jera.
Wuk, wuk, wuk...! Kapas Mayat
memainkan tongkatnya dengan dikibaskan ke kanan-kiri, lalu terjepit lurus di
ketiak kanannya, tangan kirinya mulai membentuk cakar yang mengeras dan lambat
laun keluarkan asap putih tipis dari sela-sela jemarinya.
Tangan itu segera berkelebat
menyentak ke atas.
Claaap...! Sinar biru bundar
seperti buah kedondong melesat ke arah Resi Badranaya. Sinar biru itu berekor
asap kehijau-hijauan yang punya kecepatan cukup tinggi.
Melihat kedatangan sinar biru
itu, Resi Badranaya segera sentakkan kedua jarinya ke depan dan meluncurlah
selarik sinar lurus warna kuning emas menuju ke sinar biru itu. Claaap,
weeeess...!
Tetapi tiba-tiba Suto Sinting
melihat sekelebat sinar merah bagai membias dari dasar bumi. Sinar merah tipis
dan lebar itu seperti nyala api yang menghalangi pertemuan sinar kuning dan
sinar biru.
Blaaab...! Blegaaaarrr. .!
Alam sekitarnya bagai dilanda
kiamat lokal. Pohon-pohon tumbang, tanah retak, bahkan ada yang longsor ke
dalam. Suto Sinting sendiri hampir terkubur hidup-hidup karena tanah yang
dipijaknya longsor ke bawah, ia buru-buru melesat dan hinggap di atas sebuah
batu yang masih kokoh. Jleeeg...!
Ia segera terkejut melihat
Resi Badranaya terkapar dan mengerang, juga si Kapas Mayat terjungkal nungging
sambil mengerang kesakitan. Ketika keduanya berhasil berdiri, tampaklah kedua
wajah mereka menjadi biru kehitam-hitaman bagai habis dipukuli orang satu
kadipaten.
Tapi yang lebih mengejutkan
lagi adalah munculnya perempuan berambut hitam berikat kepala merah, mengenakan
jubah hijau dan dalaman kuning. Perempuan itu mempunyai wajah yang menyeramkan;
tua, keriput, cekung, hidungnya hampir bolong dan giginya amburadul, ia tak
lain adalah si Rupa Setan alias Anjardani.
Kemunculan si Rupa Setan bukan
membuat terkejut Pendekar Mabuk saja, namun juga membuat kaget Resi Badranaya
dan Kapas Mayat. Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya sedikit untuk
menghilangkan rasa sakit di dadanya akibat hentakan gelombang ledak tadi.
"Rupa Setan...!"
Resi Badranaya bersuara sedikit menggeram. "Cukup lama kau tak muncul,
begitu muncul mau mencampuri urusanku! Patutkah tindakanmu ini, Rupa
Setan?!"
Sebelum si Rupa Setan
menjawab, Kapas Mayat serukan suaranya.
"Kalau tak salah
dugaanku, kau adalah si Rupa Setan alias Anjardani, saudara perguruannya
Tanuyasa, si Omong Cekak itu! Wah, wah, wah... kusangka kau sudah mati,
Anjardani. Ternyata begitu muncul bikin wajahku memar dan nyaris terbakar
hangus begini.
Kalau tak salah dugaanku, ini
sakit lho, Njar...!" sambil menuding wajahnya sendiri.
Dalam hati Suto berkata,
"Wah, seru kalau begini! Mereka bertiga tokoh sakti semua. Si Rupa Setan
mau memihak siapa kalau begini?" Lalu, suara Rupa Setan terdengar lantang,
setelah ia melangkah mundur beberapa kali, mengambil jarak agar bisa bicara
dengan kedua tokoh yang ada di kanan-kirinya itu.
"Badranaya dan Kapas
Mayat, kemunculanku kali ini bukan untuk memihak salah satu di antara kalian
berdua. Aku hanya ingin meluruskan anggapan kalian yang keliru! Sejak tadi
kudengarkan tuntutanmu, Badranaya. Aku mulai paham dengan persoalan
kalian!"
"Apa yang kau tahu
tentang tuntutanku?!" sergah Resi Badranaya.
"Muridmu yang bernama
Darah Prabu terkena racun setelah bercumbu dengan cucunya si Kapas Mayat yang
bernama Kelambu Petang!"
"Bagus! Kalau begitu kau
benar-benar paham dengan persoalanku, Rupa Setan!" ujar Resi Badranaya
dengan tegas. "Perlu kau ketahui, bahwa muridku sekarang dalam keadaan
sekarat. Sekujur tubuhnya pucat pasi berbintik-bintik hitam, ia tak bisa
bicara, tak bisa berkedip, napasnya tersentak-sentak bagai mengalami
penyumbatan pada pernapasan dan jalan darahnya."
"Bukan penyumbatan, tapi
pembekuan!" sahut si Rupa Setan.
"Sudah kukerahkan hawa
murniku untuk sembuhkan penyakitnya itu, tapi tak berhasil. Bahkan beberapa
tabib sahabatku kumintai bantuannya, tapi juga tidak berhasil!"
"Tentu saja, sebab
penyakit itu tak akan bisa terobati. Obat satu-satunya adalah kematian!"
kata si Rupa Setan.
"Penyebabnya jelas bukan
dari cucu si Kapas Mayat. Aku tahu betul jenis wabah itu. Datangnya dari
seorang perempuan yang terkena kutukan beracun milik mendiang Ronggeng Iblis.
Kutukan beracun itu diberinya nama: racun 'Asmara Kubur'. Racun itu keluar dari
sebuah kutukan bermantra. Perempuan yang terkena racun 'Asmara Kubur' itu
adalah si Yundawuni, yang sejak terkena racun 'Asmara Kubur' mengubah namanya
menjadi Dewi Kesepian."
"Siapa sebenarnya
perempuan yang bernama Dewi Kesepian itu, Rupa Setan?"
Kapas Mayat menyahut,
"Kalau tak salah dugaanku, Yundawuni adalah muridnya Pendeta Amor alias
Amoroso Kumbaya dari Selat Darah!"
"Benar, Kapas
Mayat!" sahut si Rupa Setan.
"Yundawuni adalah murid
murtadnya si Pendeta Amor. Ia tak diakui sebagai murid lagi karena tak mau
mengikuti ajaran sesat gurunya, ia menyimpang dari aliran hitam, lalu mengabdi
kepada Prabu Dasawalatama di Kerajaan Kincir Bantala."
Pendekar Mabuk sempat
terperanjat, karena ia pernah mendengar nama Prabu Dasawalatama dari Kerajaan
Kincir Bantala dalam peristiwa pusaka Panji-panji Mayat, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Perawan Titisan Peri").
Kalau begitu, Dewi Kesepian
itu tokoh aliran putih? Sebab, dia dipecat oleh Pendeta Amor karena tak mau
ikuti jejak sesat sang Guru," pikir Suto Sinting sambil membayangkan wajah
Pendeta Amor yang pernah bertarung melawannya, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Misteri Tuak Dewata").
Kedua tokoh itu akhirnya
berkumpul dan membicarakan tentang kutukan beracun 'Asmara Kubur' itu. Suto
mencuri dengar percakapan ketiga tokoh sakti itu dengan menggunakan jurus
'Sadap Suara' yang mampu mendengar suara dari kejauhan.
"Kalau tak salah
dugaanku," kata si Kapas Mayat,
"Berarti Darah Prabu
pernah kencan dengan Dewi Kesepian, lalu terkena penyakit laknat itu!"
Resi Badranaya menggumam bagai
menggerutu,
"Mengapa Darah Prabu
tidak ceritakan tentang si Dewi Kesepian itu?!"
"Tentu saja ia malu
padamu, juga malu kalau sampai didengar oleh cucunya si Kapas Mayat," ujar
Rupa Setan.
Sebelum Resi Badranaya bicara
lagi, tiba-tiba sekelebat bayangan melesat hampiri mereka. Suto Sinting
terkejut dan berkerut dahi saat melihat bayangan berkelebat itu. Setelah
bayangan tersebut hentikan langkah di samping Resi Badranaya, Suto Sinting
semakin berkerut dahi. Bayangan itu tak lain adalah Resi Pakar Pantun.
Kemunculan Resi Pakar Pantun
memang mengejutkan Suto Sinting dan ketiga tokoh sakti itu, karena Resi Pakar
Pantun datang sambil memondong tubuh kurus si Kadal Ginting, pelayannya.
Tampaknya Kadal Ginting dalam keadaan tak sadar, sehingga sang Resi terpaksa
memondongnya terus dengan kedua tangan.
"Pakar Pantun...?! Siapa
yang kau bawa itu? Pelayanmukah?" sapa si Rupa Setan yang ternyata sudah
mengenal Resi Pakar Pantun.
"Benar," jawab Resi
Pakar Pantun bernada sedih.
"Kadal Ginting, pelayanku
ini, kutemukan dalam keadaan terkapar di bawah sebatang pohon. Keadaannya
sangat menyedihkan sekali. Lihatlah...!"
Ketiga tokoh sakti itu
memperhatikan Kadal Ginting setelah diletakkan di rerumputan oleh Resi Pakar
Pantun.
Kadal Ginting tampak pucat
pasi, sekujur tubuhnya berwarna kuning bintik-bintik hitam. Matanya terbeliak
memutih, mulutnya ternganga. Napasnya tersendat-sendat bagai sedang sekarat.
"Kalau tak salah
dugaanku, pelayanmu ini sedang sakit, Pakar Pantun!"
"Orang budek juga tahu
kalau dia sedang sakit!" gertak Resi Pakar Pantun kepada si Kapas Mayat
sambil cemberut kesal.
"Rupa Setan," ujar
Resi Badranaya."... seperti inilah keadaan muridku; Darah Prabu! Persis
seperti ini!"
Rupa Setan mengangkat wajah
pelan-pelan dan pandangi Resi Pakar Pantun. Suaranya yang mirip orang
kumur-kumur itu terdengar oleh telinga batin Suto Sinting.
"Apakah ia bercumbu
dengan...."
"Dewi Kesepian!"
sahut Resi Pakar Pantun. Ketiga tokoh itu akhirnya manggut-manggut.
"Kupergoki dia sedang
bercumbu di balik semak bersama Dewi Kesepian, lalu mereka lari dan baru
kutemukan sekarang."
"Berapa lama ia
menghilang sejak kau pergoki itu?" tanya Resi Badranaya.
"Sekitar sepuluh
hari."
"Oh, kalau begitu lebih
dulu muridku! Muridku sudah lima belas hari menderita seperti ini, makin lama
semakin parah."
"Apakah muridmu
juga...."
"Dia tidak mengaku,"
sahut Resi Badranaya.
"Setahuku belakangan ini
ia akrab dengan cucunya si Kapas Mayat yang bernama Kelambu Petang. Dalam
pengakuan muridku, ia pernah berbuat dengan Kelambu Petang. Maka kusangka, si
Kelambu Petang itulah yang menanamkan wabah beracun dalam tubuh Darah Prabu, ia
tidak ceritakan kalau pernah bercumbu dengan si Dewi Kesepian."
Resi Pakar Pantun berkata
dengan lemas. "Aku tak tahu apakah Kadal Ginting bisa kuselamatkan atau
tidak. Yang jelas, sudah kucoba beberapa saat dengan ilmu pengobatanku, tapi
tak berhasil."
Kapas Mayat bicara kepada Rupa
Setan.
"Kalau tak salah
dugaanku, apakah tak ada obat sama sekali yang bisa sembuhkan penyakit seperti
ini?!"
"Tidak ada!" jawab
Rupa Setan dengan tegas. "Orang yang bisa mengobati penyakit seperti ini
adalah Ronggeng Iblis dengan menggunakan 'Aji Mantra Balik'... "
"Dari mana kau tahu kalau
hanya si Ronggeng Iblis yang bisa lakukan?" tanya Resi Badranaya setengah
kurang percaya dengan si Rupa Setan. Sambungnya lagi,
"Bukankah kau bermusuhan
dengan Ronggeng Iblis? Bukankah Ronggeng Iblis pernah memporak-porandakan
kuilmu di Pulau Katong?!"
"Benar. Tapi ingat, bahwa
Ronggeng Iblis pernah menjadi istri adikku, dan mendiang adikku pernah
bercerita padaku tentang rahasia ilmu hitamnya si Ronggeng Iblis saat sebelum
ia meninggal akibat pukulan beracunnya si Ronggeng Iblis."
"Kalau begitu, akan
kupaksa si Ronggeng Iblis untuk sembuhkan penyakit muridku!" ujar Resi
Badranaya sambil ingin bergegas pergi. Tapi Rupa Setan cepat menghentikan
langkahnya dengan sebaris kata,
"Ronggeng Iblis telah
mati di tangan Pendekar Mabuk."
"Hahh...?!" Resi
Badranaya terkejut.
"Kudapatkan keterangan
itu dari Tenda Biru, beberapa waktu yang lalu, ketika Tenda Biru menceritakan
nasibnya saat menjadi gadis tanpa raga."
"Siapa Tenda Biru
itu?" tanya Resi Badranaya.
"Bekas muridnya Gerang
Sayu yang pindah ke aliran putih menjadi muridnya Tapak Lintang."
"Tapak Lintang adalah
kakaknya Ronggeng Iblis, bukan?" sahut Resi Pakar Pantun.
"Benar. Tapi mereka
berbeda aliran."
Mereka diam sesaat dan
manggut-manggut. Suto Sinting pun tetap menyimak dan memperhatikan ke tempat
tokoh tua itu. Percakapan mereka sangat menarik bagi Pendekar Mabuk, karena
dengan begitu pengetahuannya tentang para tokoh dan kesaktian-kesaktiannya
semakin bertambah.
Setelah masa bungkam itu
lewat, Resi Pakar Pantun ajukan tanya kepada Rupa Setan.
"Jadi menurutmu, apa yang
harus kita lakukan dalam menghadapi keganasan gairah Dewi Kesepian itu,
Anjardani?!"
"Aku tak tahu, Pakar
Pantun! Yang jelas, semasa Dewi Kesepian masih hidup, ia akan mencari mangsa
sebagai tumbal penyakitnya, dan kaum lelaki akan habis termakan korban racun
'Asmara Kubur' dalam kemesraannya itu."
"Kalau begitu, kita cari
perempuan itu dan harus segera dilenyapkan agar tak menjadi wabah cinta yang
mengerikan bagi keturunan kita!" usul Resi Badranaya penuh semangat.
"Kurasa tak ada jalan
lain untuk hentikan wabah kutukan beracun itu!" timpal si Rupa Setan.
Resi Pakar Pantun berkata,
"Kalian saja yang mencarinya, aku akan berusaha mencari obat penyembuh
penyakit ini. Kalau obat itu kudapatkan, aku akan segera menghubungimu,
Badranaya! Kasihan muridmu jika sampai mati karena bercumbu dengan perempuan
beracun. Alangkah jatuh nama baikmu selama ini. Kurasakan nama baikku pun bisa
jatuh jika kematian Kadal Ginting sampai tersebar seantero jagat!"
"Kalau tak salah
dugaanku..., aku tak perlu ikut campur, karena aku tak punya cucu atau murid
lelaki."
"Kalau begitu kau hanya
mementingkan dirimu sendiri, Kapas Mayat!" geram Resi Badranaya.
"Ya, bukan begitu
maksudnya. Tapi kalau tidak salah dugaanku...."
"Kau harus ikut!"
sentak Resi Badranaya. "Sebagai tokoh aliran putih kau harus bertanggung
jawab atas musibah yang terjadi di permukaan bumi kita ini!"
"Kalau tak salah
dugaanku... kau telah membuka kesadaranku, membuatku terpaksa harus ikut
mencari Dewi Kesepian itu!"
"Kita berpencar!"
kata si Rupa Setan. "Terakhir kulihat ia bersama Temon, murid dungunya si
Tanuyasa!"
"Kalau tak salah dugaanku....
Temon akan menjadi korban seperti Kadal Ginting dan Darah Prabu."
"Jangan banyak bicara!
Kita berpencar sekarang juga!" kata Resi Badranaya. Lalu ia melesat, pergi
lebih dulu dalam bentuk asap tebal.
Rupa Setan pergi dalam bentuk
bayangan samar-samar, seakan dirinya ditelan udara. Sedangkan si Kapas Mayat
pergi tanpa bisa dilihat. Tahu-tahu datang angin ribut yang menggoyang
pepohonan merontokkan dedaunan, meninggalkan bau wangi setanggi dari tongkatnya
itu. Resi Pakar Pantun sampai menghadangkan tangannya karena takut matanya
terkena debu akibat angin ribut itu.
"Kapas Mayat tokoh paling
brengsek! Datang dan pergi selalu bikin ribut dengan anginnya!" gerutu
Resi Pakar Pantun, kemudian mengangkat tubuh Kadal Ginting yang
menyentak-nyentak itu dan membawanya pergi dengan satu lompatan cepat.
Pendekar Mabuk diam tertegun
di tempatnya.
*
* *
5
JERAM berair deras hamburkan
air menutup pintu gua pada dinding tebing tersebut. Tebing yang bagian bawahnya
adalah sungai lebar berair jernih dari air terjun itu dinamakan Jurang Lindu.
Gua di balik curahan air terjun itulah tempat gurunya Pendekar Mabuk
mengasingkan diri untuk dapatkan ketenangan dan pendekatan kepada Myang Widi
Wasa alias Sang Pencipta alam semesta ini.
Di tempat itulah Suto Sinting
ditempa menjadi seorang pendekar perkasa beraliran putih. Di situ juga, seluruh
ilmu si Gila Tuak mengalir ke diri murid tunggalnya. Bahkan ilmu terakhir si
Gila Tuak juga diturunkan kepada Suto di Jurang Lindu. Ilmu tersebut dinamakan
ilmu 'Sukma Lingga', yang dapat membuat Suto mengubah diri menjadi raksasa atau
makhluk lainnya.
Ilmu 'Sukma Lingga' itu
diturunkan untuk gantikan ilmu 'Dewatakara' pemberian dari Payung Serambi,
utusan dari Istana Laut Kidul. Karena jika Pendekar Mabuk masih mempunyai ilmu
'Dewatakara' yang kesaktiannya sama dengan ilmu 'Sukma Lingga' itu, maka dalam
diri Suto akan mengalir darah siluman dan ia tak bisa menikah dengan perempuan
yang bukan siluman, ia hanya bisa menikah dengan rakyat Istana Laut Kidul saja.
Padahal Suto jatuh cinta sekali kepada calon istrinya; Dyah Sariningrum;
penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Gerbang Siluman" dan "Bencana Selaput
Iblis").
Kali ini Suto datang lagi
menghadap gurunya di Jurang Lindu.
"Ada apa lagi?! Masih
kurang jelas tentang Ilmu 'Sukma Lingga' yang telah kau miliki itu?"
"Bukan soal itu, Kakek
Guru," ujar Suto menyebut gurunya dengan kata 'kakek', karena sejak kecil
ia ikut Gila Tuak dan sudah terbiasa memanggilnya kakek.
"Lalu, apa yang membuatmu
datang padaku dengan tegang begini?"
"Kakek Guru, aku
menghadapi kesulitan yang meragukan. Seseorang telah terkena kutukan beracun
yang dinamakan racun 'Asmara Kubur' dan...."
"Racun 'Asmara
Kubur'...?! Hmmm... itu ilmunya si Ronggeng Iblis!" ujar sang Guru yang
dikenal sebagai tokoh tertinggi, namanya tercantum paling atas dari deretan
tokoh-tokoh sakti di dunia persilatan. Tak heran juga Gila Tuak mengetahui
siapa pemilik Racun 'Asmara Kubur' itu.
"Apa yang Kakek Guru
ketahui tentang racun itu?"
Suto justru ganti bertanya,
karena ia yakin gurunya pasti sudah banyak tahu tentang racun tersebut.
"Racun itu tersebar
bersama kutukan kekuatan iblis," jawab Gila Tuak dengan penuh wibawa.
Usianya yang sudah mencapai dua ratus lima belas tahun itu tidak membuatnya
bungkuk, melainkan tetap tegak, tegar, dan suaranya tetap lantang.
"Seseorang yang terkena
langsung racun itu, ia akan menyebarkan wabah penyakit yang sangat mematikan.
Darah dan jantungnya akan membusuk. Napasnya akan berubah menjadi napas
beracun, dan dari situlah wabah tersebut tersebar," ujar si Gila Tuak
dengan duduk bersila menatap muridnya penuh ketegasan.
Sambungnya lagi,
"Orang yang terkena racun
itu harus bercumbu setiap malam. Dalam dua malam dia tidak bercumbu dengan lawan
jenisnya, maka ia akan mengalami pembusukan seperti yang kuceritakan
tadi."
"Bagaimana cara
mengatasinya, Guru?"
"Musnahkan orang
itu!"
Suto terhenyak sesaat pandangi
gurunya. Sang Guru menyambung kata lagi dengan tenang.
"Jika ia tokoh sesat aliran
hitam, jangan ragu-ragu, lenyapkan dia! Karena jika dibiarkan hidup, ia akan
memakan korban lawan jenisnya. Makin lama lawan jenisnya akan semakin berkurang
dan habis!"
"Tapi jika ia tokoh
aliran putih bagaimana, Guru?"
Gila Tuak tarik napas.
"Pertanyaanmu agak menyulitkan diriku, Suto."
"Bukankah Guru pernah
ajarkan padaku bahwa kita harus menghadapi kenyataan sesulit apa pun."
"Memang benar. Tapi aku
perlu berpikir dulu untuk pertanyaanmu.itu," ujar si Gila Tuak yang segera
berdiri, melangkah ke salah satu sisi sambil merenung dalam bungkam.
Beberapa saat kemudian,
suaranya terdengar kembali menggugah lamunan Suto.
"Siapa orang yang terkena
racun 'Asmara Kubur' itu?"
"Yundawuni, Guru!"
"Oh, muridnya si Pendeta
Amor yang tempo hari mau membunuhku itu?"
"Betul, tapi dia dianggap
murid murtad, karena tak mau ikuti jalan sesat gurunya. Sekarang ia mengabdi
kepada pihak Kerajaan Kincir Bantala, Guru."
"Hmmm...," Gila Tuak
manggut-manggut. Merenung lagi sebentar, kemudian berkata kembali sambil
pandangi muridnya.
"Sudah ada yang menjadi
korbannya?"
"Sudah, Guru! Kadal
Ginting, Darah Prabu, dan mungkin yang lainnya. Sedangkan sekarang, Resi
Badranaya, Kapas Mayat, si Rupa Setan dan entah siapa lagi, sedang sepakat
memburu Yundawuni untuk dibunuh. Aku kasihan, Guru...."
"Kau juga telah jadi
korbannya?"
"Belum, Guru. Kalau tak
percaya, geledahlah aku, Guru!"
"Apanya yang
digeledah!" gerutu Gila Tuak melangkah sambil berpikir.
"Aku bingung mengambil
sikap, Guru. Haruskah kubiarkan perempuan itu mati di tangan Resi Badranaya
atau si Rupa Setan? Atau, haruskah aku membela Yundawuni dan itu berarti aku
harus berhadapan dengan Resi Badranaya. Bolehkah aku menyerang Resi Badranaya, dan beberapa sahabat Guru lainnya
itu?"
"Dengan ilmu pemberian calon
mertuamu; Ratu Kartika Wangi itu, Badranaya, Rupa Setan, Kapas Mayat, atau yang
lainnya adalah bukan tandinganmu! Kau bisa tumbangkan mereka sekali gebrak
saja."
"Kalau begitu..."
"Tapi itu tidak
baik!" sergah Gila Tuak. "Masih ada jalan lain yang bisa kau lakukan,
Suto."
"Tunjukkan jalan itu
padaku, Guru!"
"Memang akan kutunjukkan,
tapi aku harus mengingat-ingat sesuatu dulu!" ujar si Gila Tuak setelah
menarik napas lagi, Suto Sinting diam, menenggak tuaknya tiga teguk dalam
keadaan tetap duduk di lantai.
Karena sang Guru diam sampai
beberapa saat lamanya, Suto pun mencoba menanyakan masalah lain.
"Guru, Rupa Setan itu
siapa sebenarnya?"
"Penguasa Kuil Tembus
Jagat di Pulau Katong. Dia dan saudara seperguruannya yang bernama Tanuyasa
pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti, namun sekarang sudah tidak lagi,
karena masing-masing sibuk bertapa sendiri-sendiri."
Suto Sinting diam kembali
setelah menggumam dan manggut-manggut. Tapi karena Gila Tuak masih diam, dan
belum memberikan perintah atau penjelasan apa-apa, Suto Sinting ajukan tanya
kembali.
"Kakek Guru, dapatkah
racun 'Asmara Kubur' diobati dengan tuak saktiku tadi?"
"Tidak bisa! Racun itu
tercipta dari napas nenek moyang iblis yang usianya jauh lebih tua dari usia
Eyang Buyut Guru-mu yang menjelma dalam bumbung tuakmu itu. Jadi... tuakmu
kalah tua dengan racun 'Asmara Kubur'."
"Bagaimana kalau dilawan
dengan 'Air Sendang Ketuban' yang ada di negeri Wilwatikta itu, Guru?"
"Tidak bisa! Air itu
tercipta dari darah petapa sakti yang usianya masih kalah tua dibanding usia
racun
'Asmara Kubur'. Jadi...."
Tiba-tiba Gila Tuak berhenti
bicara. Ada sesuatu yang diingatnya, hingga ia buru-buru dekati murid
Sintingnya itu.
"Ada obat yang dapat
menolak wabah penyakit seperti yang diderita Darah Prabu. Aku baru ingat
sekarang!"
"Apa nama obat itu,
Guru?" cecar Suto dengan penasaran sekali.
Ki Sabawana alias si Gila Tuak
itu diam sebentar, memandang ke arah pintu keluar dengan mata menerawang.
Sesaat kemudian ia berkata dengan suara pelan.
"Batu Tembus
Jagat...."
"Apa maksudmu, Kakek
Guru?" tanya Suto sambil mendekat.
"Kau harus dapatkan 'Batu
Tembus Jagat' yang ada di Gua Mahkota Dewa. Goa itu terletak di perbatasan alam
gaib dan alam nyata! Ciri-cirinya, gua itu penuh dengan batu aneka warna dan
indah-indah. ""Perbatasan...? Perbatasan alam gaib dan alam nyata?
Oh, sepertinya aku pernah berada di gua itu, Guru," ujar Suto pelan
seperti bicara pada diri sendiri. Lalu ia memandangi gurunya dan berkata lagi,
"Apakah gua itu terletak
di hutan cemara merah?"
"Tepat sekali!"
jawab Gila Tuak dengan tegas. Suto tersenyum girang sambil membayangkan sebuah
gua yang berisi bebatuan warna-warni dan indah-indah. Gua itu terletak di bukit
cemara merah. Suto berada di sana karena diselamatkan oleh gadis cantik yang
bernama Nirwana Tria dari jeratan asmara maut Ratu Kamasinta, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat").
Untuk mencapai ke perbatasan
alam gaib dan alam nyata, Pendekar Mabuk cukup mengusapkan tangannya ke kening.
Karena di kening Pendekar Mabuk terdapat noda merah yang berkekuatan gaib, bisa
untuk keluar-masuk alam gaib atau melihat sesuatu yang tak tampak di mata
manusia biasa. Noda merah itu pemberian dari calon mertuanya; Gusti Ratu
Kartika Wangi yang menjadi penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib.
Anaknya; Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam nyata, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Gila Tuak berkata lagi kepada
murid tunggalnya yang memang mempunyai ilmu edan-edanan itu, sehingga ia
dinamakan Suto Sinting.
"Rupa Setan sendiri tidak
mengetahui di mana letak Batu Tembus Jagat itu. Karena pada waktu gurunya si
Rupa Setan dan Omong Cekak mau meninggal, ia berada di pangkuanku dan sempat
sebutkan letak Batu Tembus Jagat. Aku tidak bicara kepada si Rupa Setan maupun
Omong Cekak, karena memang tidak ada perintah untuk sampaikan hal itu kepada
mereka dari sang Guru."
Sambil sunggingkan senyum Suto
angguk-anggukkan kepala.
"Batu itu berwarna kuning
kunyit, bentuk dan ukurannya seperti... seperti belimbing sayur."
"Belimbing wuluh."
"Ya. Seperti itulah
bentuk dan ukurannya. Jika batu itu kau ambil dan kau masukkan dalam tuakmu,
maka ia akan larut. Tuakmu akan berwarna kuning kunyit. Dan aku yakin larutan
itu dapat untuk melawan kekuatan racun 'Asmara Kubur', sebab batu itu sendiri
tercipta dari keringat dewa yang teraniaya."
"Oh, tentu saja
khasiatnya sangat luar biasa."
"Jika batu itu kau ambil,
kemudian batu itu larut di dalam tuakmu, maka di sana, di Gua Mahkota Dewa,
batu itu tumbuh lagi pada tempat semula, seolah-olah kembali ke tempat asalnya.
Begitulah kesaktian batu itu jika diambil seseorang untuk kebaikan."
"Kalau begitu, para
korban seperti Darah Prabu dan Kadal Ginting bisa disembuhkan dengan larutan
batu itu dengan bumbung ini, Guru?" sambil Suto tunjukkan bumbung tuaknya.
"Tentu saja bisa! Tetapi,
tunggu dulu... kalau hanya untuk sembuhkan Darah Prabu, kurasa kau bisa
mencampur tuakmu dengan air kelapa gading."
"Kelapa kuning maksudmu,,
Guru?"
"Benar! Karena orang
seperti Darah Prabu bukan terkena kutukan beracun, tapi terkena wabah penyakit,
penyakit menular. Tidak ada hal gaib di dalamnya! Tapi juga tidak mudah
penyembuhannya."
"Jadi, bagaimana
langkahku sebaiknya, Guru?"
"Selamatkan dulu mereka yang
menjadi korban asmara Yundawuni. Lalu pergilah ke Gua Mahkota Dewa dan ambil
Batu Tembus Jagat itu, sembuhkan si Yundawuni dengan batu itu dan tuakmu. Tapi
ingat, jangan kau katakan kepada siapa pun tentang di mana letaknya Batu Tembus
Jagat itu, kecuali kepada muridmu kelak jika kau punya murid!"
"Kalau begitu, aku akan
berangkat sekarang, Guru!"
"Ingat, jangan sampai kau
tergoda oleh rayuan Yundawuni dan menjadi korban seperti Darah Prabu!"
Gila Tuak acungkan jarinya
mempertegas peringatannya. Suto Sinting hanya nyengir malu.
"Itu tidak mungkin
terjadi, Guru. Kecuali... memang kepepet!"
Zlaaap...!
Setelah bicara begitu, Suto
langsung lenyap dari hadapan gurunya, pergi dengan gunakan jurus 'Gerakan
Siluman'. Sang Guru hanya geleng-geleng kepala dan bergumam lirih, "Mirip
kenakalanku waktu masih muda...."
Sasaran pertama Pendekar Mabuk
adalah pergi ke pondoknya Dewi Kesepian dan membawa perempuan itu bersembunyi
di suatu tempat. Kemudian ia akan mencari air kelapa gading dan mencampurkan
dalam tuaknya sebagai obat untuk Kadal Ginting dan Darah Prabu, atau para
korban lainnya yang diketahui.
Tetapi alangkah kagetnya Suto
ketika tiba di pondok persembunyian Dewi Kesepian, ternyata pondok itu sudah
rata dengan tanah, menjadi abu. Hutan di sekelilingnya juga telah terbakar dan
sisa arangnya masih berserakan di sana-sini, namun kepulan asap dan bara api
sudah tak ada.
"Edan! Kutinggal dua hari
menghadap Guru, hutan dan gubuk ini sudah menjadi seperti ladang arang?!"
gumam Suto pelan, bicara pada diri sendiri. "Lalu, siapa yang
melakukannya? Di mana si Dewi Kesepian dan Temon?!"
Pendekar Mabuk memeriksa
puing-puing gubuk yang menjadi pondok persembunyian Dewi Kesepian.
Ternyata di sana tak terdapat
mayat seseorang, bahkan di sekeliling tempat itu telah diperiksanya, juga tak
ditemukan mayat yang mati hangus.
"Berarti Dewi Kesepian
dan Temon masih hidup!" ujarnya membatin. "Ke mana aku harus mencari
perempuan itu?!" Pendekar Mabuk diam termenung beberapa saat.
Tiba-tiba telinganya menangkap
suara orang melintas di hutan sebelah sana yang tidak ikut terbakar. Mata pun
segera memandang penuh curiga dan ketajaman.
Sekelebat bayangan melintas di
sela pepohonan yang masih hijau. Pendekar Mabuk tak tahu siapa orangnya yang
berkelebat pergi di hutan seberang sana. Tapi ia segera memburunya dengan
gerakan yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Wees, wees, wees...!
Ternyata orang yang dikejar
juga mampu bergerak cepat, walau tidak secepat gerakan Suto Sinting. Tetapi agaknya
ia menguasai hutan tersebut, sehingga mampu menyelinap ke sana-sini tanpa takut
tersesat. Pendekar Mabuk justru salah arah beberapa kali. Namun ia tidak mau
menyerah begitu saja. Bumbung tuak yang disandang melintang di punggung
membuatnya lebih leluasa lagi dalam bergerak.
Wuuut...! Suto Sinting naik ke
atas pohon gua memperluas pandangannya. Tapi setelah beberapa saat di atas
pohon, akhirnya ia menggerutu sendiri dengan hati kesal.
"Sial! Ke mana tadi orang
itu? Mencurigakan sekali gerakannya. Bikin hatiku penasaran kalau begini! Coba
kucari ke arah timur!"
Zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting melompat dari
pohon ke pohon. Selain jurus 'Gerak Siluman' yang dipergunakan, tapi juga
pergunakan jurus peringan tubuh sehingga mampu lebih cepat lagi.
Bayangan itu tampak
menyeberang sungai besar. Sepertinya berjalan di atas permukaan air dengan
lincahnya. Suto dapat pastikan bayangan tersebut adalah orang yang berilmu
tinggi, karena dapat seberangi sungai selebar itu dalam waktu amat singkat.
Sebenarnya Suto Sinting pun
mampu lakukan hal yang sama. Tapi langkahnya segera terhenti karena mendengar
suara letusan di arah kanannya. Letusan itu sangat dekat dengannya, sehingga
rasa tertarik untuk melihat ke arah kanan lebih besar.
"Di sana ada
pertarungan!" pikir Suto. "Siapa lagi yang mengadu kekuatan tenaga
dalamnya di sebelah sana? Tak mungkin si bayangan yang sedang kukejar itu!
Hmmm... bagaimana kalau begini? Mengejar bayangan itu atau melihat siapa yang
bertarung di sana?!"
Pendekar Mabuk bimbang sejenak,
matanya memandang ke arah kanan dan ke seberang sungai secara bergantian.
*
* *
6
DENGAN maksud sekadar untuk
hilangkan rasa penasarannya, Suto Sinting akhirnya menengok pertarungan itu
sebentar. Maksud untuk menengok sebentar menjadi berkepanjangan karena ternyata
dua pihak yang bertarung itu ternyata adalah Dewi Kesepian melawan Resi
Badranaya dan si Kapas Mayat.
"Celaka! Bisa mati tanpa
bangkai si Yundawuni melawan dua tokoh berilmu tinggi itu. Aku harus segera
bertindak sebelum segalanya menjadi lebih kacau lagi!" pikir Pendekar
Mabuk, kemudian segera menenggak tuaknya sebentar.
Yundawuni tampak masih mampu
hindari serangan-serangan kedua lawannya. Tetapi, Resi Badranaya yang sangat
berang terhadap Yundawuni segera lepaskan jurus andalannya. Dengan satu
sentakan napas, tubuhnya berubah menjadi asap dan asap itu menerjang Dewi
Kesepian tanpa bisa dipukul lagi.
Bluuub, wwwwuuusss..!
Asap hitam itu jelas racun
yang mematikan. Dewi Kesepian tampak cemas, ia berusaha hindari asap hitam yang
berkelebat cepat bagai tertiup badai. Sementara itu, si Kapas Mayat menghadang
gerakan Dewi Kesepian dengan lepaskan sinar kuning patah-patah dari kedua
cabang tongkatnya secara berturut-turut. Cap, cap, cap, cap...!
Dewi Kesepian tak punya tempat
untuk menghindar. Di belakangnya sinar kuning di depannya asap hitam.
Satu-satunya jalan ia harus lakukan lompatan ke atas setinggi mungkin.
Tetapi sebelum hal itu
dilakukan, Suto Sinting lebih dulu berkelebat cepat menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Tubuh kecil si Kapas Mayat diterjangnya dari samping kiri.
Zlaaap...! Brruusss...!
Kapas Mayat terpental dan
terguling-guling di semak-semak yang jauhnya sekitar delapan tombak dari
tempatnya berdiri. Pada waktu itu, Dewi Kesepian sentakkan kaki dan tubuhnya
melambung ke atas dengan gerakan jungkir balik beberapa kali, bagaikan bola
tertendang naik. Tetapi asap hitamnya Resi Badranaya dapat meliuk ke atas dan
mengejar tubuh Dewi Kesepian.
Suto Sinting cepat ambil
bumbung tuaknya. Tapi bumbung tuak digenggam dan bumbung itu diputar cepat di
atas kepalanya hingga terdengar suara berdengung memanjang.
Wuuuuungg...!
Jurus 'Kipas Malaikat' yang
dipergunakan Suto hadirkan angin kencang yang membuat asap itu berantakan tak
jadi mencapai tubuh Dewi Kesepian.
Weeesss...! Asap yang buyar
berantakan membentuk gumpalan-gumpalan kabut kecil di sana-sini. Sementara itu
Dewi Kesepian berhasil hinggap di atas sebuah dahan pohon agak tinggi.
Jleeg...!
"Oh, dia...?!" Dewi
Kesepian terperanjat memandang kehadiran Suto yang tampak membelanya.
Bumbung tuak segera
dihentikan. Jika tidak, maka putaran bumbung itu bukan saja mengeluarkan angin
kencang tapi juga akan menimbulkan busa-busa salju yang dingin sekali.
"Bocah tolol! Kalau tidak
salah dugaanku.... Mengapa kau menyerangku dan memihak perempuan beracun itu,
Suto?!" teriak Kapas Mayat yang tampak sehat-sehat saja tanpa luka sedikit
pun walau sudah terbanting dan terguling-guling sedemikian rupa.
"Maaf, Pak
Cilik...!" ujar Suto yang mempunyai sebutan khas untuk si Kapas Mayat.
Kulakukan semua ini demi meluruskan langkah yang keliru, Pak Cilik!"
"Kalau tidak salah
dugaanku, langkahmu itu yang keliru!" bantah Kapas Mayat sambil hampiri
Suto.
"Perempuan itu memang
cantik, tapi kalau tidak salah dugaanku... bagian dalamnya mengandung racun
yang dapat merenggut nyawamu. Kalau tak percaya, cobalah kau pakai sebentar
perempuan itu. Kalau tidak salah dugaanku, kau akan kejang-kejang seperti
terkena sawan babi!"
Gumpalan kabut hitam itu
menyatu kembali.
Zuuubbs...! Lalu membentuk
sosok Resi Badranaya yang sudah mengerutkan dahi dan menaikkan alisnya karena
berang kepada Suto Sinting.
"Murid Sinting! Mengapa
kau membela penyakit berbahaya itu, hah?! Pergi dan jangan halangi maksud kami
menghancurkan wabah yang dapat memusnahkan kaum lelaki di permukaan bumi
ini!"
"Maaf, Eyang Resi
Badranaya...," ujar Suto dengan sedikit membungkuk sebagai tanda tetap
menghormat.
"Kita telah salah
langkah. Ada cara yang lebih baik untuk memecahkan masalah ini, Eyang Resi
Badranaya!"
"Jangan mengguruiku, Murid
Sinting! Kuadukan kepada Gila Tuak, gurumu itu, bisa dihukum kau!"
"Justru tindakanku ini
sudah seizin Kakek Guru Gila Tuak, Eyang Resi!"
"Ooo... kalau begitu Gila
Tuak juga ikut-ikutan sinting!" ujar Kapas Mayat masih tetap tenang, tidak
seberang Resi Badranaya.
Dengan napas memburu karena
dibakar kemarahan, Resi Badranaya dekati Suto Sinting hingga berjarak kurang
dari satu langkah. Tangannya mencengkeram baju Suto dan tubuh Suto sedikit
diangkat naik.
"Kau tidak tahu,
sahabatmu sebentar lagi mati gara-gara racun dalam tubuh perempuan terkutuk
itu! Darah Prabu hampir mati dan sekarang sedang sekarat!" bentak Resi
Badranaya setelah menggerang panjang.
"Sabar, Eyang... aku akan
mengobatinya!"
"Omong kosong!"
tubuh Suto disentakkan hingga jatuh terduduk. Suto tidak melawan, ia bangkit
dengan menarik napas sebagai tanda mempertahankan kesabarannya.
"Penyakit itu tidak ada
obatnya!" bentak Resi Badranaya.
Kapas Mayat menimpali,
"Kalau tidak salah dugaanku, obatnya adalah kematian. Dan kalau tidak salah
dugaanku, kematian itu ngeriiii... sekali!" sambil ia bergidik sekali.
"Eyang Resi dan Pak
Cilik.... Yundawuni atau si Dewi Kesepian itu tokoh dari aliran putih. Justru
ia membela aliran putih hingga rela dipecat menjadi murid Pendeta Amor. Justru
karena dia ada di pihak aliran putih, maka dia melawan Nyai Ronggeng Iblis.
Mengapa kita harus lenyapkan dia jika ia memang terkena racun 'Asmara Kubur',
seharusnya kita tolong dia untuk lepaskan diri dari kutukan beracun itu."
"Kalau tidak salah
dugaanku, kau terlalu banyak ngomong, Suto!" sela Kapas Mayat.
"Kalau tidak salah
dugaanku, kau belum tahu apa racun 'Asmara Kabut' itu!" ujar Resi
Badranaya.
"Kalau tidak salah
dugaanku, aku sudah dapat keterangan dari Kakek Guru dan diberi tahu bagaimana
cara melawan Racun 'Asmara Kubur' itu!" kata Suto.
Resi Badranaya berkata lagi,
"Kalau tidak salah dugaanku...," tapi segera dibentak oleh Kapas
Mayat.
"Jangan ikut-ikutan
berkata begitu. Itu kebiasaanku!"
"Kau pikir hanya kau
sendiri yang bisa berkata 'kalau tidak salah dugaanku'?" geram Resi
Badranaya.
"Eyang Resi dan Pak
Cilik... izinkan aku mendapat kesempatan untuk sembuhkan Darah Prabu dengan
tuakku."
"Kalau tidak salah
dugaanku, tuakmu tidak akan bisa sembuhkan penyakitnya Darah Prabu," ujar
Kapas Mayat.
"Dengan dicampur air
kelapa gading, tuak ini dapat untuk sembuhkan wabah yang menjangkit di tubuh
Darah Prabu, Kadal Ginting, dan yang lainnya, terutama yang pernah bercumbu
dengan Dewi Kesepian. Kau bisa mencobanya lebih dulu, Pak Cilik!"
"Kalau tidak salah
dugaanku, kau kurang ajar, Suto! Apa kau kira aku pernah bercumbu dengan Dewi
Kesepian?! Mampu saja sudah tidak, kok mau bercumbu!" gerutu Kapas Mayat
sambil bersungut-sungut.
"Setan! Perempuan itu
telah pergi dari kita!" seru Resi Badranaya. "Kapas Mayat, kejar
perempuan itu!"
"Kalau tidak salah
dugaanku...."
"Aaaah, jangan terlalu
banyak dugaan!" sentak Resi Badranaya. "Kita kejar dia, jangan sampai
menyebarkan wabah kepada pemuda lain!"
Wuuut...! Jleeeg...!
Pendekar Mabuk melompat di
depan langkah Resi Badranaya dan Kapas Mayat.
"Maaf, Eyang Resi dan Pak
Cilik... mungkin akulah yang harus lebih dulu Eyang dan Pak Cilik hadapi
sebelum menangkap Dewi Kesepian!"
"Grrrmmm...!" geram
Resi Badranaya penuh kemarahan.
"Kalau tidak salah dugaanku,
baru saja kau ngomong apa itu, Badranaya?!"
"Aku menggeram,
Tolol!" bentak Resi Badranaya semakin jengkel.
"Suto, minggir atau
melawanku!" ancam sang Resi.
"Barangkali aku terpaksa
melawanmu, Eyang Resi," jawab Suto pelan.
"Kurang ajar!"
"Kalau tak salah
dugaanku, dia memang kurang ajar!" timpai Kapas Mayat.
"Sebenarnya aku tidak
menghendaki pertarungan di antara kita, Eyang Resi. Seandainya saja Eyang Resi
mau percaya padaku dan memberi kesempatan padaku untuk mengobati Darah Prabu,
barangkali kita tidak akan saling berselisih seperti ini!"
"Kalau tidak salah
dugaanku, apakah kau benar-benar sanggup menyembuhkan muridnya si gendut
ini?" sambil Kapas Mayat menuding Resi Badranaya yang berbadan gemuk itu.
Sang Resi melirik dengan geram tertahan. Kapas Mayat cuek, seakan tak merasa
menyinggung perasaan Resi Badranaya.
"Aku sanggup, Pak Cilik!
Sanggup sekali menyelamatkan nyawa Darah Prabu, sebab biar bagaimanapun juga
dia adalah sahabatku. Tak mungkin kubiarkan dia celaka karena penyakit itu! Yang
penting, ku mohon Pak Cilik dan Eyang Resi mau membantuku mencarikan air kelapa
gading!"
"Di kaki gunung tempatku
tinggal, banyak pohon kelapa gading!" kata sang Resi tetap garang.
"Kalau begitu, tak ada
masalah lagi. Serahkan padaku maka Darah Prabu akan sehat kembali, Eyang!"
"Apa jaminannya!"
sentak Resi Badranaya.
"Nyawaku, Eyang!"
jawab Suto tegas dan jelas.
"Hmmmm... baik! Kuberi
kesempatan padamu kalau sampai muridku mati, kau akan kukirim ke neraka,
Suto!"
"Aku tak keberatan,
Eyang. Tapi sekarang aku harus kejar Dewi Kesepian itu dan mengasingkannya di
suatu tempat agar tidak menimbulkan korban bagi lelaki lain!"
"Pergilah, dan aku akan
siapkan air kelapa gading itu!"
"Kalau tidak salah
dugaanku, aku ikut siapa, Badranaya?"
"Terserah! Mau ikut kena
penyakit juga terserah! Itu urusanmu!"
"O, kau tak bisa begitu,
Badranaya. Kalau tidak salah dugaanku...."
Zlaaap...! Suto sudah
meninggalkan mereka sebelum mereka selesai berdebat, ia mengejar Dewi Kesepian
menuruti langkah nalurinya.
Blegaaarrr...!
Suara ledakan dahsyat
menggema, bahkan sempat menggetarkan tanah tempat Suto berada. Suara ledakan
itu segera diburu. Firasatnya mengatakan, di sanalah Dewi Kesepian berada,
sedang lakukan pertarungan dengan seseorang. Zlaaap, zlaaap...!
Ternyata suara ledakan itu
berasal dari seberang sungai yang tadi. Asap ledakan masih tersisa membubung ke
atas. Maka Pendekar Mabuk pun segera berkelebat menyeberang sungai dengan
melemparkan helai-helai daun sebagai tempat berpijak alas kakinya.
Helai-helai daun yang
mengambang di permukaan air sungai itu pun segera dilaluinya dengan menggunakan
ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Tab, tab, tab, tab, tab...!
Letusan kecil terdengar lagi.
Pendekar Mabuk berkelebat ke arah letusan kecil tersebut. Akhirnya ia menemukan
gundukan tanah yang membukit tak seberapa tinggi, ia melompat ke atas gundukan
tanah yang membukit itu. Wuuut...! Jleeg...!
Di balik gundukan tanah yang
membukit itulah pandangan mata Suto menatap dengan tajam-tajam, karena di sana
sedang terjadi pertarungan antara Dewi Kesepian dengan si Rupa Setan.
Tuak diteguk sebentar. Pada
saat itu, Dewi Kesepian terlempar dan terbanting akibat sapuan tangan si Rupa
Setan yang berkelebat ke atas dari jarak enam langkah. Sapuan lembut itu
ternyata hadirkan tenaga dalam besar yang melemparkan tubuh tinggi sekal milik
Dewi Kesepian. Brrruk...!
Agaknya Dewi Kesepian sudah
terluka sebelumnya. Mulutnya sudah melelehkan darah. Ditambah lagi bantingan
kuat itu telah membuat luka dalamnya semakin parah. Darah mengalir dari hidung
dan telinganya. Ketika ia mencoba bangkit, lututnya menjadi lemas hingga ia
sempoyongan mau jatuh.
"Dengan sangat terpaksa
aku harus memusnahkanmu, Yundawuni!" ujar si Rupa Setan yang memunggungi
gundukan tanah membukit itu.
"Tidak ada yang harus
dimusnahkan!" seru sebuah suara yang membuat Rupa Setan berpaling ke
belakang, lalu pandangannya menangkap seraut wajah pemuda tampan berambut lurus
sepundak tanpa ikat kepala, membawa bumbung tuak. Tak salah lagi ciri-ciri yang
dicatat dalam ingatan Rupa Setan itu, pasti dialah orangnya yang bernama Suto
Sinting.
"Hmmm.... Pendekar
Mabuk!" gumamnya menyerupai geram.
Zlaaap...!
Suto Sinting tiba di depan si
Rupa Setan pada saat Rupa Setan masih memandang ke arah gundukan tanah yang
membukit itu. Rupa Setan sempat terperanjat kecil karena ketika ia berpaling
mau memandang Dewi Kesepian, ternyata Suto Sinting bagaikan sudah berada di
depan hidungnya.
"Sudah kuduga kau
akhirnya akan bertemu denganku, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting rapatkan kaki dan
sedikit membungkuk.
"Hormatku untukmu,
Penguasa Kuil Tembus Jagat!" ucap Suto Sinting dalam ketegasan yang
membanggakan hati Rupa Setan.
"Ternyata kau sudah
mengenaliku, Pendekar Mabuk?!"
"Guruku, si Gila Tuak,
menyuruhku mengenalimu, Rupa Setan!"
"Sampaikan salamku kepada
Kakang Sabawana alias si Gila Tuak itu!"
"Akan kusampaikan kalau
kau mau melepaskan ancaman mati untuk Dewi Kesepian!"
Wajah keriput dan buruk dengan
gigi simpang siur itu ditarik satu sentakan kecil menandakan ia sedang terkejut
mendengar ucapan Pendekar Mabuk.
"Apa maksudmu berkata
begitu, Pendekar Mabuk?"
"Aku tidak setuju jika
kau membunuh Dewi Kesepian hanya untuk lenyapkan kutukan beracun itu! Bukan
jalan yang terbaik bagiku melakukan hal seperti rencanamu itu, Rupa
Setan!"
"Murid si Gila Tuak
ternyata pandai bicara! Tapi ia tidak pandai menggunakan akal sehatnya,
sehingga ingin membiarkan kaum lelaki di seluruh dunia ini lenyap karena racun
kutukan itu!"
"Aku akan mengobati
penyakitnya, Rupa Setan! Aku akan melawan racun 'Asmara Kubur' yang ada pada
diri Yundawuni itu!"
"Aneh sekali!" gumam
Rupa Setan dengan nada tertawa meremehkan, ia melangkah ke samping, dan
Pendekar Mabuk melangkah dekati Yundawuni.
"Minum tuakku, tapi
jangan dihabiskan!" katanya kepada Dewi Kesepian. Maka perempuan itu
menenggak tuak tersebut, karena ingat saat tubuhnya terluka parah oleh serangan
Ambarini, pemuda tampan itulah yang melenyapkan seluruh lukanya.
"Pendekar Mabuk, apakah
gurumu tidak tahu bahwa racun 'Asmara Kubur' itu tidak bisa disembuhkan dengan
cara apa pun kecuali dengan kematian?!"
"Guru tidak berkata
begitu!" jawab Suto tegas. "Guru mengutusku untuk mencari obat
penawar racun 'Asmara Kubur' itu. Karenanya Guru mengutusku juga untuk
selamatkan Dewi Kesepian!"
Suto menerima bumbung tuaknya
dari tangan Dewi Kesepian, ia sempat ajukan tanya pelan, "Di mana
Temon?"
"Ada di tempat
persembunyianku!" jawab Dewi Kesepian yang rasa sakitnya mulai berkurang.
Rupa Setan bicara dengan
hentikan langkah dan menghadap tegak ke arah Pendekar Mabuk.
"Kurasa kau berdusta
padaku dengan membawa-bawa nama gurumu! Kurasa kau naksir perempuan itu tanpa
peduli racun di dalam tubuhnya!"
Pendekar Mabuk maju empat
langkah. Matanya memandang lurus dengan sikap menantang.
"Kau sangka aku berani
menjual nama guruku?!"
"Untuk dapatkan tempat
pelampiasan gairah kejantananmu, kurasa kau memang cukup berani menjual nama
gurumu di depanku!"
"Kau picik, Rupa
Setan!" geram Suto dengan hati tersinggung oleh tuduhan itu.
"Hah, hah, hah,
nah...!" Rupa Setan yang bersuara agak besar itu tertawa panjang.
Tiba-tiba tawanya itu hilang dan pandangan mata cekungnya tertuju tajam ke arah
Suto Sinting.
"Apa pun alasanmu,
perempuan itu tetap harus kulenyapkan! Kau tak bisa melarangku, Pendekar
Mabuk!"
"Kau akan berurusan
denganku, Rupa Setan!"
"Tak jadi masalah. Kalau
kau memang bisa unggul melawanku, kau boleh lindungi perempuan itu! Kau boleh
selamatkan dia dengan tipu muslihatmu itu!"
"Aku sudah cukup siap
menghadapimu, Rupa Setan!"
"Baik...!" ucap si
Rupa Setan dengan nada menggeram, seakan penuh nafsu untuk hancurkan Pendekar
Mabuk juga.
Rupa Setan melangkah ke
samping, kembali ke tempatnya berdiri semula. Tapi tiba-tiba kedua tangannya
menyentak naik bagai membentangkan sayap bersama gerakan jubahnya yang berkelebat.
Wuuuk...!
Pendekar Mabuk tahu-tahu
terjungkal ke belakang bagai disambar badai cukup kuat. Bruuuk...! Ia jatuh dua
langkah dari tempatnya berdiri. Dewi Kesepian tampak cemas dan bersembunyi di
balik pohon besar.
"Hiiiaah...!"
Rupa Setan cepat hentakkan
kakinya ke tanah.
Duuuhk...! Krraaak...!
Tanah pun retak. Suto Sinting
terperosok ke dalam retakan tanah itu pada saat ia mau bangkit. Bruuusk...!
"Heeeah...!" Rupa
Setan menyentakkan kakinya lagi ke tanah. Maka tanah yang retak itu pun merapat
kembali, menjepit tubuh Pendekar Mabuk sebatas dada.
"Aaahk...!" Suto
memekik dengan wajah menyeringai dan mata terpejam kuat. Tubuhnya tergencet
tanah dan seluruh tulangnya terasa patah, ia berusaha keluar dari jepitan tanah
itu, tapi tenaganya terasa terkuras habis.
"Hah, hah, nah...!
Keluarlah dari situ kalau kau memang mampu mengungguliku!" seru si Rupa
Setan dengan berjalan mondar-mandir ke kanan-kiri sambil pandangi usaha Suto
melepaskan diri dari gencetan tanah itu.
"Uuhk...!
Ahhhkk...!" Suto Sinting kewalahan hadapi bahaya itu. Wajahnya sampai
merah, pertanda gencetan tanah itu sangat kuat menjepitnya.
"Hiiiaaah...!"
Buuurk...! Rupa Setan
sentakkan kedua kakinya ke tanah dengan satu lompatan pendek. Tanah yang
menggencet Suto melambung naik pertanda gencetan itu semakin kuat.
"Aaaaahhkk...!" Suto
Sinting menyeringai dengan mata terpejam kuat karena menahan rasa sakit yang
semakin menyesakkan pernapasan.
Melihat keadaan itu, Dewi
Kesepian diam-diam segera loloskan diri. Ia merasa tak akan mampu menghadapi
Rupa Setan yang ilmunya cukup tinggi itu.
Rupa Setan tak memperhatikan
kepergian Dewi Kesepian, karena ia cenderung memperhatikan usaha Suto Sinting
dalam mempertahankan diri. Bahkan kini ia lakukan lompatan sambil menendang
kepala Suto.
"Hiaaattt...!"
Wuuus...! Prrrrok...!
"Aaaahk...!"' Suto
Sinting hanya bisa keluarkan suara pekikan tertahan saat kepalanya terkena
tendangan dengan telak sekali. Tak heran jika mulutnya menjadi keluarkan darah
dan telinganya pun keluarkan darah kental.
Walau kedua tangan Suto masih
di atas tanah bersama bumbung tuaknya, tetapi gencetan itu bagai menahan
seluruh uratnya sehingga kedua tangan itu tak sukar digerakkan.
Namun setelah mendapat
tendangan yang kedua, urat-urat yang mengejang itu terasa longgar sedikit. Suto
berhasil gerakkan tangannya pelan-pelan, lalu menuang tuak ke mulutnya dengan
berhamburan tak teratur.
"Minumlah dulu sebelum
ajalmu tiba!" ujar Rupa Setan sambil bertolak pinggang dalam jarak lima
langkah di depan Suto.
Tuak itu membuat tenaga Suto
menjadi pulih kembali. Bahkan kekuatannya menjadi berlipat ganda.
Rasa sakit lenyap sama sekali.
Dengan satu sentakan kaki di dalam tanah, Suto Sinting akhirnya bisa melesat ke
atas menjebol tanah yang menggencetnya dari tadi.
"Heeeeeeaaahh...!!"
Brrruuuull...!
Rupa Setan terkejut. Gerakan
melambung ke atas yang dilakukan Suto seperti roket lepas dari landasannya.
Daun-daun dan dahan pohon diterjangnya hingga patah berantakan. Hal itulah yang
membuat Rupa Setan terperanjat dan terkesima beberapa saat.
Wuuusss...! Jleeeg...!
Suto Sinting bergerak turun
dan mendaratkan kakinya tepat tiga langkah di depan Rupa Setan. Perempuan itu
semakin terperangah. Saat ia terperangah itulah, Suto Sinting segera lepaskan
tendangan kipasnya yang memutar tubuh dengan cepat.
"Heeah...!"
Plook...!
Tubuh Rupa Setan terlempar dan
membentur pohon. Sebelum tubuh itu merosot turun, Suto Sinting melesat maju dan
menghantamkan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', menggeloyor seperti orang mabuk dan
jatuh, namun tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya ke dada Rupa Setan.
Buuuhk...!
"Heeeekh...!" Rupa
Setan mendelik dalam keadaan diam tak bergerak. Mulutnya semburkan darah kental
yang nyaris mengenai tubuh Suto jika Suto tak segera melompat ke belakang.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan
Rupa Setan merosot ke bawah dan akhirnya jatuh terkulai bersandar pohon yang
tadi bergetar dan daunnya rontok saat Suto sodokkan bumbung tuak ke dada Rupa
Setan.
Brrruk...!
"Uuhhhkk...!" Rupa
Setan keraskan seluruh tubuhnya. Agaknya ia melawan kekuatan dahsyat dari
sodokan bumbung tuak tadi.
"Gila! Mestinya orang
yang terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung' akan menjadi biru legam dan rambutnya
rontok. Tapi kenapa dia tidak begitu? Kenapa justru keluarkan asap dari tiap
lubang kulitnya?" gumam Suto dalam hati bernada heran.
Ia segera berseru,
"Kusempurnakan penderitaanmu dengan jurus 'Tangan Guntur'-ku ini, Rupa
Setan!
Heeeeah...!"
"Tahan!" pekik Rupa
Setan sambil mengulurkan tangannya. "Aak... aku mengakui
keunggulanmu...l"
Suto Sinting kendorkan
tangannya yang nyaris melepaskan sinar biru besar dan dapat membuat lawannya
keropos dalam keadaan menjadi arang.
"Baiklah, saat ini kau
unggul, Pendekar Mabuk! Uuuhk...!"
Suto tak sampai hati
menghabisi nyawa orang yang sudah mengakui kekalahannya, ia justru mendekati
Rupa Setan dan menyodorkan bumbung tuaknya.
"Buka mulutmu dan minum
tuakku biar lukamu sembuh!"
Rupa Setan akhirnya menuruti
perintah itu. Tuak dituangkan ke mulut pelan-pelan. Beberapa saat kemudian,
tubuh Rupa Setan pun segar kembali.
"Kuakui kehebatanmu,
Bocah Bagus! Tapi wabah Dewi Kesepian ada dalam tanggung jawabmu!"
"Akan kuselesaikan
masalah ini!"
"Dengan apa kau mau
melawan racun 'Asmara Kubur' itu?"
Pendekar Mabuk diam sebentar,
lalu berkata dengan suara pelan.
"Dengan sebuah batu yang
bernama 'Batu Tembus Jagat'!"
"Hahh...?!" Rupa
Setan terperanjat. "Itu... itu batu keramat! Tak mungkin bisa kau
dapatkan, karena di tempatku tak ada batu itu. Aku penguasa Kuil Tembus Jagat.
Aku tahu batu itu tidak ada!"
"Batu itu ada dan aku
tahu tempatnya."
"Di mana
tempatnya?!" sergah Rupa Setan tampak bernafsu ingin mengetahui.
Suto Sinting sunggingkan
senyum. "Hanya gurumu dan guruku yang mengetahuinya. Sekarang ditambah
satu orang lagi yang mengetahui, yaitu aku!"
"Hmmm... ehh... kalau
begitu, bolehkah aku membantumu, Pendekar Mabuk?"
"Aku tak menolak uluran
tanganmu. Tapi ada saatnya sendiri kubutuhkan bantuanmu, Rupa Setan!"
jawab Pendekar Mabuk dengan kedengaran gagah dan mantap, mengagumkan hati si
Rupa Setan.
"Sekarang yang penting
adalah menolong Darah Prabu, Kadal Ginting, dan yang lainnya," tambah
Suto.
"Apakah... apakah mereka
juga bisa kau sembuhkan?"
"Kenapa tidak?! Resi
Badranaya dan Kapas Mayat sedang mencari kelapa gading untuk campuran tuakku.
Campuran itu yang akan menjadi obat mujarab bagi penderita wabah asmara Dewi
Kesepian! Dan... oh, di mana perempuan itu?!"
Pendekar Mabuk mencari
sekeliling tempat itu, tapi Dewi Kesepian tak ditemukan. Lalu ia berucap dalam
hatinya,
"Aku tahu di mana ia
bersembunyi bersama Temon. Tapi, sebaiknya kuselesaikan dulu tugasku
menyembuhkan para korban asmaranya itu!"
Dan ternyata, campuran tuak
Suto dengan air kelapa gading memang berhasil selamatkan nyawa Darah Prabu.
Kadal Ginting serta beberapa korban lainnya yang sama-sama pernah menikmati
kehangatan tubuh Dewi Kesepian. Kini tugas Suto hanya satu; mengambil Batu
Tembus Jagat di Gua Mahkota Dewa, setelah itu menyelamatkan Dewi Kesepian dari
cengkeraman racun 'Asmara Kubur'.
Namun selama Suto pergi ke
perbatasan alam nyata dan alam gaib itu adakah korban lain lagi yang menikmati
maut di sela-sela pelukan hangat Dewi Kesepian itu? Selain Temon, siapa lagi
yang ingin menuju liang kuburnya dalam cumbuan sang Dewi Kesepian?
SELESAI