1
WAJAH-WAJAH angker pancarkan
pandangan mata penuh murka. Tajamnya menyerupai mata pedang. Gigi mereka
menggeletuk, tulang rahang tampak keras. Dua wajah angker itu dalam kebisuan
yang mendirikan bulu kuduk.
Berdiri tegak dengan dada
membusung kekar, kaki merenggang kokoh, tangan dan lengan menampakkan
otot-ototnya yang mirip baja. Keras dan alot. Dua wajah angker itu adalah milik
tokoh keras dari Tebing Karma. Mereka dikenal dengan julukan si Kapak Iblis dan
Setan Akhirat.
"Mengapa mereka tampaknya
tidak bersenjata semua? Kapak Iblis kulihat tak memegang sebilah kapak, Setan
Akhirat juga tidak membawa senjata apa- apa."
"Kapak Iblis memang tidak
membawa kapak, tapi tebasan tangannya setajam kapak pemancung leher. Tebasan
tangannya mampu memotong sebatang pohon dalam satu kali tebas. Setan Akhirat
mempunyai telapak tangan melebihi baja. Bahkan pintu baja pun jika dihantam
dengan telapak tangannya dapat jebol seperti pintu kardus. Itulah kehebatan
mereka sebagai dua saudara dari Tebing Karma."
"Jadi, mereka kakak
beradik?"
"Benar. Tapi itu hanya
silsilah dalam perguruan. Bukan saudara kandung. Mereka sudah menjadi kakak
beradik dalam perguruan sejak berusia lima belas tahun. Mereka adalah anak-anak
telantar yang tidak tahu siapa orangtuanya."
"Lalu, siapa guru
mereka?"
"Guru mereka adalah tokoh
sakti seangkatan dengan gurumu si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tokoh sakti
itu berjuluk Gerhana Mandrasakti."
Pemuda berambut panjang lurus
sebatas lewat pundak itu hanya manggut-manggut saja mendengarkan penjelasan
dari si Bongkok Sepuh. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan dengan celana
putih kusam dan ikat pinggang kain merah itu tak lain adalah Pendekar Mabuk,
murid di Gila Tuak bernama Suto Sinting.
Lalu, siapa tokoh tua yang
berjuluk si Bongkok Sepuh itu?
Di sinilah letak keanehannya.
Suto Sinting sendiri tidak tahu siapa si Bongkok Sepuh itu. Tokoh tua yang
usianya di atas tujuh puluh tahun itu berpakaian kuning kecoklatan karena
lusuhnya. Ia memegang tongkat kayu yang tingginya melebihi tinggi kepalanya.
Tongkat kayu itu berkepala bundar, seperti bola. Licin dan halus. Warnanya
hitam.
Si Bongkok Sepuh itu mirip
seorang wanita karena mempunyai rambut panjang putih digelung di tengah kepala,
sisanya meriap-riap ke sana- sini. Jenggotnya tak begitu panjang, tapi berwarna
putih uban. Kumisnya tidak ada. Mungkin sang kumis malas tumbuh di kulit tua
yang mulai keriput itu.
Pertemuannya dengan Bongkok
Sepuh seperti mimpi di siang bolong. Waktu itu Pendekar Mabuk yang berwajah
ganteng dan berbadan tegap, gagah, serta kekar itu sedang dalam perjalanan
pulang dari pondok Resi Wulung Gading. Ia habis mengantarkan Angin Betina yang
membawa Kitab Lorong Zaman. Ia bermaksud untuk temui Gila Tuak di Jurang Lindu
untuk meminta izin akan ikut pelajari isi Kitab Lorong Zaman.
Tetapi di perjalanan, pendekar
tampan itu bertemu dengan seorang pengemis bungkuk yang kehausan. Tubuh
pengemis bungkuk itu terkulai bersandar pada sebatang pohon, bibirnya
retak-retak kekeringan, wajahnya menghiba karena kelihatan sangat kelaparan.
Suto Sinting sempatkan diri menghampiri si pengemis bungkuk itu.
"Pak Tua, kulihat kau
sangat kehausan dan kelaparan. Jika kau mau, minumlah tuakku ini, setidaknya
bisa untuk penghilang dahaga dan menahan lapar sementara waktu."
Pengemis bungkuk itu
manggut-manggut dan berucap lirih, "Terima kasih, Anak Muda...."
Suto Sinting segera menuangkan
tuak dari bumbung bambu yang ke mana-mana selalu dibawanya itu. Tuak dituang ke
dalam tempurung yang juga dibawa-bawa oleh si pengemis ke mana pun perginya.
Tiga kali Suto menuangkan tuaknya ke tempurung itu, dan tiga kali si pengemis
meminumnya dengan rakus.
"Kasihan sekali dia.
Tampaknya sangat kehausan, sampai tiga tempurung agaknya masih kurang
juga." Maka Suto Sinting menuangkan tuak untuk yang keempat kalinya.
Pengemis itu pun meminumnya kembali. Napasnya terengah-engah pertanda lelah
meminum tuak keempat. Tetapi ketika Suto berkata,
"Badanmu pasti akan
segar, Pak Tua. Apakah kau masih merasa haus?"
"Masih," jawab
pengemis bungkuk itu. Maka Suto Sinting menuangkan tuak ke dalam tempurung
untuk yang kelima kalinya, keenam, ketujuh, kedelapan, dan seterusnya sampai
akhirnya tuak dalam bumbung menjadi habis. Tinggal beberapa teguk saja yang
tersisa.
Anehnya, pengemis bungkuk yang
berkulit keriput itu tidak tampak mabuk sedikit pun. Bahkan ia bertanya,
"Masih adakah tuakmu yang tersisa?"
"Masih. Tapi... kurasa
kau akan jatuh mabuk jika terlalu banyak meminum tuak, Pak Tua."
"Tidak. Aku tidak akan
mabuk, karena aku masih sangat haus!"
Pendekar Mabuk membatin,
"Gila juga Pak Tua ini?! Satu bumbung penuh tuakku sudah habis diminumnya
masih merasa kehausan? Jangan-jangan dia jago minum? Wah, ludes sudah bumbung
tuakku. Aku tak dapat bagian kalau kuberikan semuanya. Tapi... biarlah
kuberikan sisanya ini. Tampaknya ia memang masih sangat kehausan. Aku bisa
mencari tuak di desa terdekat dari sini."
Tempurung kelapa disodorkan,
Suto Sinting menuangkan sisa tuak dalam bumbungnya. Tuangan terakhir itu tidak
disadari oleh Suto bahwa sebuah benda yang disimpan lama di dalam bumbung tuak
itu ikut tertuang keluar dan masuk ke dalam tempurung. Plung... !
Zlaaap...!
Tiba-tiba pengemis tua itu
lenyap bagaikan ditelan bumi. Suto Sinting terkejut sekali hingga mulutnya
ternganga dan matanya mendelik. Dua kejutan menjadi satu, pertama lenyapnya si
pengemis bungkuk itu, kedua kesadaran Suto tentang benda yang tertuang dan
jatuh ke dalam tempurung tadi.
"Celaka! Cincin Manik
Intan ikut tertuang dan... dan... ke mana dia? Oh, ternyata aku telah diperdaya
olehnya. Dia membawa lari pusaka Cincin Manik Intan?!" Jantung Suto
Sinting pun mulai berdetak-detak tegang. Matanya mulai memandang liar ke
sekelilingnya, ia merasa telah tertipu. Agaknya pengemis bungkuk itu mengetahui
di dalam bumbung tuak terdapat cincin pusaka, sehingga ia memancingnya keluar
dengan cara menghabiskan tuak dalam bumbung.
Cincin Manik Intan adalah
pusaka milik Bibi Gurunya Suto, yaitu Bidadari Jalang. Cincin itu amat
berbahaya jika dikenakan seseorang. Bisa mengeluarkan sinar dengan sendirinya
apabila si pemakai sedang marah. Arah sinarnya sering tidak terkendali, dan
sinar itu mempunyai kekuatan tenaga dalam sangat besar, sepuluh kali lipat
tenaga dalam si pemakai cincin tersebut. Bahkan bisa mencapai seratus kali
lipat tenaga si pemakainya jika orang tersebut memendam murka yang amat besar.
Sebab itulah Suto Sinting tak berani memakai cincin itu, takut menimbulkan
korban salah sasaran jika ia dilanda kemarahan. Untuk amannya, cincin disimpan
di dalam bumbung tuak, terendam di sana selama tidak dibutuhkan, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Darah Asmara Gila").
Itulah yang dimaksud mimpi
siang bolong. Cincin pusaka dengan mudahnya jatuh ke tangan seorang pengemis
tua tanpa melalui pertarungan sedikit pun. Tentu saja hati Suto Sinting menjadi
geram dan kemarahannya mulai timbul. Padahal jika Pendekar Mabuk sedang dilanda
kemarahan dalam hatinya, napasnya sangat berbahaya. Hembusan napasnya mempunyai
kekuatan membadai, terutama jika sengaja dihembuskan lewat mulut dengan
sentakan keras, alam sekitarnya akan mengalami kiamat karena disapu badai besar
yang mengerikan.
Dalam memendam kemarahannya
akibat tertipu saja, napas yang keluar melalui hidung Pendekar Mabuk sudah
sempat membuat sebatang pohon bergetar. Pohon yang ada di depannya itu
berukuran besar dan daunnya berguguran bagai ada yang mengguncang dari bawah.
Padahal hanya terkena hembusan
napas biasa dari Suto Sinting. Pada saat ia berpaling mencari pengemis bungkuk
itu, semak-semak di sekelilingnya terhempas dan rebah, namun tak membuatnya patah.
Beberapa bongkah batu berlarian bagai digelindingkan oleh tenaga dalam tak
terlihat. Menggelindingnya bebatuan itu akibat terkena hembusan napas Suto.
Bisa-bisa batu di seberangnya
yang sebesar kerbau itu akan pecah jika Pendekar Mabuk mengarahkan hembusan
napasnya ke sana dengan tekanan sedikit keras lagi. Itu semua disebabkan
Pendekar Mabuk mempunyai jurus 'Tuak Setan' akibat meminum Pusaka Tuak Setan
tanpa disengaja, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tuak
Setan").
Menyadari keadaan alam mulai
akan rusak, Suto Sinting buru-buru meredam kemarahannya sendiri. Ia diam dan
tundukkan kepala sambil pejamkan mata. Gemuruh kemarahan dalam dada diredam,
pikirannya ditenangkan, benaknya membayangkan kejadian tersebut adalah kejadian
yang lucu atas kebodohannya.
"Bukan salah pengemis
itu, tapi salahku sendiri. Mengapa aku mudah tertipu? Mengapa aku tidak waspada
dan kurang hati-hati? Ini adalah suatu pelajaran bagiku. Tingkat kewaspadaanku
sudah mulai rapuh, dan harus kupertajam lagi. Sekarang tugasku sebagai hukuman
adalah mencari pengemis itu dan berusaha mendapatkan Cincin Manik Intan
kembali. Nyawaku kupertaruhkan demi merebut pusaka itu, daripada pusaka itu
dipergunakan untuk membantai orang tak bersalah."
Keberanian menuding diri
sebagai pihak yang bersalah merupakan langkah terbaik untuk mengatasi kemarahan
dalam hati. Cara itulah yang dipergunakan Suto Sinting, sehingga sekalipun
masih tersisa kemarahan namun tak seberapa besar dan tidak terlalu berbahaya
bagi hembusan napasnya.
"Ke mana perginya? Masuk
ke alam gaib? Hmmm... kalau begitu aku harus mengejarnya ke alam gaib. Aku
yakin pengemis itu pasti orang berilmu tinggi karena dapat menghilang dalam
sekejap saja."
Pendekar Mabuk memang bisa
masuk ke alam gaib, karena ia mempunyai noda merah kecil di keningnya. Noda
merah itu pemberian dari seorang ratu penguasa sebuah negeri di alam kasat
mata, artinya alam yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa, yaitu alam
gaib. Negeri itu bernama Puri Gerbang Surgawi. Seorang ratu bertakhta di sana.
Ratu itu adalah Ratu Kartika Wangi, tokoh sakti yang tidak mau ikut campur
dunia nyata walau mempunyai anak gadis yang menjadi ratu pula di dunia nyata,
yaitu di negeri Puri Gerbang Surgawi juga yang ada di Pulau Serindu.
Ratu itu bernama Dyah Sariningrum,
Gusti Mahkota Sejati gelarnya. Perempuan itulah calon istri Suto nantinya. Jadi
tanda merah itu pemberian dari calon mertua Suto yang memberi penghargaan
padanya sebagai Manggala Yudha Kinasih. Dengan mengusap noda merah yang hanya
bisa dilihat oleh tokoh berilmu tinggi itu, Suto dapat masuk ke alam kehidupan
tak terlihat mata. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia
Seribu Wajah").
Tak heran jika Pendekar Mabuk
bermaksud mengejar pengemis bungkuk itu, karena menyangka si pengemis masuk ke
alam gaib. Tetapi baru saja Suto ingin mengusap keningnya, tiba-tiba terdengar
sebuah suara berasal dari belakangnya.
"Aku di sini, Anak
Muda!"
Pendekar Mabuk cepat-cepat
palingkan wajah. Terkesiap menatap si pengemis bungkuk sudah tidak kenakan
pakaian compang-camping lagi, melainkan kenakan pakaian kuning
kecoklat-coklatan karena usangnya. Rambutnya tidak diriap seperti semula,
melainkan digulung rapi ke atas kepala. Tongkatnya sudah bukan tongkat kayu
kering biasa, melainkan tongkat hitam berkepala bulat seperti bola yang mulus
dan licin.
Pandangan mata Suto segera
tertuju ke arah tangan orang tersebut. Tampak Cincin Manik Intan melingkar di
jari tengah pada tangan sebelah kanan. Mata cincinnya yang berwarna putih intan
itu tidak terlihat karena cara memakainya dibalik. Mata cincin itu ada dalam
genggaman.
Karena dilihatnya Pak Tua itu
tenang-tenang saja, maka Suto Sinting pun menjaga sikap agar tetap tenang.
Bumbung tuaknya masih ditenteng dengan tangan kiri, berdirinya tegak, sedikit
renggangkan kaki, tampak gagah dan tegar. Jaraknya berdiri sekitar tiga tombak
dari si pengemis bungkuk itu.
"Pak Tua, apa maksudmu
menipuku dengan cara seperti ini? Kumohon padamu, kembalikan cincin pusaka
tersebut padaku."
"Kewaspadaanmu sangat
lemah, Anak Muda. Kecepatan gerakmu pun kurang bisa diandalkan."
"Jadi kau hanya
mengujiku, Pak Tua?"
"Aku tidak sekadar
mengujimu, tapi memang ingin menahan cincin pusaka ini!"
"Kusarankan jangan
memancing kemarahanku, Pak Tua."
"Aku tak peduli
kemarahanmu terpancing atau tidak, yang jelas aku akan menahan cincin milik
Bidadari Jalang ini!"
Suto Sinting kaget terperanjat
mendengar tokoh tua itu menyebutkan nama Bibi Gurunya. Ia mulai membatin,
"Berarti orang ini juga kenal dengan Kakek Guru si Gila Tuak. Hmm... siapa
sebenarnya dia?"
Pendekar Mabuk mencoba
menenangkan gemuruh yang hampir timbul lagi di dalam dadanya itu. Ia berkata
dengan sikap tetap tenang,
"Apakah tindakanku salah,
Pak Tua? Aku menolongmu dengan memberikan minum dengan tuakku sampai tuakku
habis. Apakah...," kata Suto Sinting terpotong,
"Siapa bilang tuakmu
habis?!"
Maka berhentilah Suto bicara.
Dahinya berkerut. Tangan kiri yang menjinjing bumbung tuak mulai dirasakan.
Diangkat pelan-pelan. Hatinya membatin dengan heran,
"Aneh. Bumbung tuak ini
rasa-rasanya agak berat dari sebelumnya. Padahal sudah kosong tanpa isi? Tapi
jika bumbung ini sekarang berat, berarti bumbung ini berisi sesuatu. Apakah...
apakah bumbung ini berisi tuak lagi?"
Pendekar Mabuk memeriksanya,
dan ternyata memang benar, bumbung itu berisi tuak, penuh seperti semula.
Bahkan lebih penuh lagi, karena air tuak sampai bisa terlihat jelas begitu
tutup bumbung dibuka. Padahal ketika Suto belum bertemu dengan pengemis bungkuk
tadi, ia sudah meneguk tuak tersebut tiga kali. Semestinya tidak sepenuh saat
ini.
Suto Sinting merasakan tuak
itu dengan meneguknya satu kali. Ia membantin, "Benar-benar air tuak.
Bahkan rasanya lebih enak, seperti Tuak Mojolegi?! Badanku terasa lebih segar
dan lebih tenang. Aneh sekali?! Aku bisa tenang dan... dan sangat tenang. Tak
ada kemarahan yang harus kutekan seperti tadi? Hei, kenapa bisa begini? Apakah
pengaruh dari tuak ini? Oh, kalau begitu apa yang kuduga tadi memang benar;
orang bungkuk ini adalah orang sakti."
Dengan sikap lebih hormat lagi
Suto Sinting berkata, "Sesungguhnya siapakah dirimu, Pak Tua. Sudilah
kiranya kau perkenalkan diri padaku."
"Gurumu pasti kenal
denganku. Tapi... baiklah, karena badanku bungkuk dan sudah tua renta begini,
kau boleh memanggilku si Bongkok Sepuh. Hanya itu yang bisa kuperkenalkan
padamu, Pendekar Mabuk."
Anehnya lagi, si Bongkok Sepuh
tampak lebih hormat juga dari sebelumnya. Sikap itu membuat Suto Sinting
menyimpan keheranan dalam hatinya, namun tak dicetuskan lewat kata apa pun. Ia
hanya berkata,
"Apa perlumu menahan
cincin pusaka itu, Ki Bongkok Sepuh?"
"Bukan semata-mata untuk
menantangmu, Gusti Manggala Yudha Kinasih...."
Kini Suto Sinting terperanjat
walau sekejap. Ia dipanggil dengan sebutan itu. Padahal sebutan itu hanya
berlaku bagi orang-orang Puri Gerbang Surgawi.
"Apakah kau orang Puri
Gerbang Surgawi, Ki Bongkok Sepuh?"
"Memang bukan. Tapi tanda
merah di keningmu membuatku merasa layak menghormat dengan sebutan itu.
Setidaknya kau dapat menyimpulkan...."
Zlaaap...! Orang itu lenyap
dalam pandangan Suto Sinting. Tentu saja Suto terkejut dan mencari-carinya.
Ternyata sudah ada di belakang dalam jarak lebih dekat lagi. Bongkok Sepuh
lanjutkan kata,
"... bahwa maksudku tidak
buruk kepadamu. Aku memang sedikit nakal, menahan Cincin Manik Intan yang
menjadi tanggung jawabmu ini. Artinya aku menahan tanggung jawabmu karena suatu
keperluan."
"Keperluan apa?"
"Tak ada cara lain yang
bisa kupakai agar kau mau membantuku selain dengan cara menahan Cincin Manik
Intan ini."
"Jelaskan apa yang harus
kubantu?"
"Sebaiknya ikutlah aku
sekarang juga!"
"Tapi...,"
Pendekar Mabuk tak jadi
lanjutkan kata karena orang itu telah melesat tanpa melangkah, tahu- tahu sudah
berada dalam jarak dua puluh langkah dari tempat Suto berdiri. Mau tak mau Suto
Sinting segera menghampirinya untuk lanjutkan kata-katanya tadi. Namun ketika
Suto baru mencapai jarak sepuluh langkah, orang itu sudah melesat tanpa
melangkah hingga jaraknya lebih jauh lagi, sekitar tiga puluh langkah dari
Suto. Terpaksa Suto juga melesat, mempergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
mampu berkelebat cepat melebihi anak panah itu. Zlaaap... I
Bongkok Sepuh berkelebat lagi.
Zlaaap...! Suto mengejarnya dengan gerakan yang tak mampu terlihat mata orang
biasa. Zlaap...! Sampai suatu saat Bongkok Sepuh terpaksa hentikan gerak,
karena ia tidak melihat Suto tertinggal di belakangnya. Ia mencari-cari Suto,
dan segera terkejut melihat Suto sudah ada di jalanan yang akan dilaluinya.
Jaraknya lebih cepat tiga langkah darinya.
"Sudah kuduga akhirnya
kau akan tunjukkan padaku kehebatanmu, Anak Muda."
"Maaf, Ki Bongkok Sepuh.
Kulakukan karena kau memaksaku untuk adu kecepatan. Aku tak mau kau kecam
seperti saat kau berhasil membawa lari cincin itu."
Bongkok Sepuh manggut-manggut
dengan senyum tuanya. Terdengar suaranya yang pelan berkata, "Aku harus
mengakui keunggulanmu yang melebihi gerakanku."
"Aku tidak butuh
pengakuan itu. Aku hanya butuh cincin pusaka itu."
"Akan kuberikan setelah
kau selesai mengatasi persoalanku. Ada baiknya kalau kau jangan bergerak lebih
cepat dariku, supaya kau tahu arah yang kutuju nanti, Anak Muda!"
Begitulah awal jumpa Suto
dengan si Bongkok Sepuh. Rupanya Bongkok Sepuh membawa Pendekar Mabuk ke sebuah
perbukitan cadas. Tanahnya keras walau ditumbuhi pepohonan yang tak terlalu
rindang. Di situ banyak tebing-tebing cadas yang tegak lurus namun tidak dalam.
Masih memungkinkan dipakai melompat seseorang dari atas ke bawah.
Pada salah satu bukit cadas
yang menyerupai gundukan tanah tinggi itulah si Bongkok Sepuh membawa Suto
berlindung di balik pepohonan. Dari sana mereka dapat memandang ke arah bawah,
jalanan tandus dengan pepohonan renggang dan rumputnya tak terlalu rimbun.
Di jalanan tandus itulah Suto
melihat dua wajah angker berdiri dengan tegar berdampingan menghadap ke timur.
Bongkok Sepuh menjelaskan tentang kedua orang angker yang berjuluk Kapak Iblis
dan Setan Akhirat. Kedua orang keras beraliran hitam dari Tebing Karma itu
tidak mengetahui jika ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka dari atas
bukit.
Kapak Iblis adalah orang yang
nyata-nyata terlihat keangkerannya, karena wajahnya brewokan, alisnya tebal,
matanya lebih ganas, rambutnya pendek namun diikat dengan kain merah. Ia
mengenakan pakaian biru tua dengan bagian dada terbuka. Pakaian itu diikat
dengan kain merah juga pada pinggangnya.
Usianya sama dengan Setan
Akhirat, sekitar lima puluh tahun. Tapi keangkeran wajah Setan Akhirat berkesan
dingin dan bengis, bagai manusia tak kenal kata ampun kepada lawannya. Setan
Akhirat mempunyai rambut tipis tapi panjang selewat punggung. Warna rambutnya
abu-abu karena sudah mulai banyak ubannya. Warna rambutnya itu kontras dengan
warna jubah yang dikenakan. Jubah merah darah. Ia tanpa kumis dan jenggot, tapi
matanya sedikit kecil. Sekalipun kecil, ketajaman pandangan mata itu mirip ujung
tombak yang runcing. Menggetarkan hati orang yang dipandangnya.
Kedua orang berwajah angker
itu berhadapan dengan seorang gadis yang menurut perkiraan Suto berusia sekitar
dua puluh enam tahun. Gadis itu berwajah cantik jelita, kulitnya kuning langsat,
bersih. Hidungnya bangir, bibirnya mungil segar. Badannya tak terlalu kurus.
Sekal berisi, dengan dada padat dan kemontokannya adalah kemontokan yang indah,
tidak berlebihan.
Gadis itu berpakaian hijau
muda sebatas dada, tapi dirangkap jubah warna ungu tua yang tak berlengan,
sehingga kemulusan kulit lengannya terlihat jelas tanpa cacat. Sebuah pedang
bersarung perak ukir terselip di pinggangnya. Gadis itu mempunyai rambut
panjang, sebagian digulung di tengah kepala dan diikat dengan pita hijau muda,
sisanya meriap ke sana-sini.
"Siapa perempuan cantik
itu, Ki Bongkok Sepuh?" tanya Suto yang sebenarnya ingin menyimpan rasa
ingin tahunya itu, namun tak tertahankan lagi.
"Namanya: Dara
Cupanggeni, murid dari Nyai Sunti Rahim."
"Nama itu sangat asing bagiku.
Siapa Nyai Sunti Rahim itu?"
"Bekas istriku,"
jawab Bongkok Sepuh pelan tapi mengejutkan Suto, sehingga pemuda tampan
berhidung bangir itu menatap si tua bungkuk.
"Bekas istrimu?"
"Ya. Kutinggalkan Sunti
Rahim, kupatahkan cintanya dan kuhancurkan hatinya, karena kala itu aku
terpikat dengan bibi gurumu; Bidadari Jalang."
"Ooo...?!" Suto
Sinting manggut-manggut.
"Waktu itu, Bidadari
Jalang benar-benar membuatku gila asmara kepadanya, sampai aku tega
menghancurkan hati dan cinta Sunti Rahim. Padahal waktu itu Sunti Rahim sedang
hamil muda. Karena perlakuanku, Sunti Rahim menggugurkan kandungannya dan
nyaris putus asa. Ketika ia mau lakukan bunuh diri, ia mendengar suara bayi
menangis, ternyata bayi itu hanyut di sungai di atas sebuah anyaman belarak,
atau daun kelapa kering. Sunti Rahim mengambil bayi itu, dan tak jadi bunuh
diri. Ia pergi mengasingkan diri, merawat bayi yang tak diketahui orangtuanya
itu. Sunti Rahim menurunkan semua ilmunya kepada bocah angkatnya itu, sampai
ilmu pengawet ayunya diturunkan, sehingga bocah itu sekarang tetap kelihatan
cantik dan muda, padahal usianya sudah hampir empat puluh tahun."
Suto terperanjat mendengar
jumlah usia itu. Tentu saja hatinya merasa heran tak menyangka gadis cantik itu
ternyata sudah berusia banyak. Tapi Suto segera lupakan soal itu, dan lebih
tertarik mendengarkan penjelasan Bongkok Sepuh yang tampak bernada sedih itu.
"Sunti Rahim pernah
bertemu denganku dan bersumpah akan membunuhku melalui anak angkatnya itu. Dara
Cupanggeni itulah wakil dan utusan Sunti Rahim untuk membalas sakit hati atas
perlakuanku semasa muda."
"Apakah kau sudah pernah
bicara dengan Dara Cupanggeni itu?"
Bongkok Sepuh menggelengkan
kepala. "Aku selalu berusaha menghindarinya. Sebab aku tahu, jika Dara
Cupanggeni sudah turun dari gunung, berarti seluruh ilmu Sunti Rahim sudah
diturunkan semuanya kepada anak itu."
"Lalu, mengapa kau
membawaku kemari dan memperlihatkan keadaan di bawah sana?" tanya Suto
dengan berbisik.
"Ingin kutunjukkan
kepadamu kesaktian Dara Cupanggeni itu."
"Setelah itu?"
"Bantulah aku menghadapi
gadis itu."
Suto Sinting berkerut dahi
dengan merasa heran lagi, "Apakah kesaktianmu tak mampu ungguli kesaktian
gadis itu?"
Bongkok Sepuh diam sebentar,
matanya tetap memandang ke bawah, ke pertarungan antara Dara Cupanggeni dengan
Kapak Iblis dan Setan Akhirat yang sudah dimulai walau baru secara
kecil-kecilan saja. Mata itu menerawang dalam memandang, karena mulut Bongkok
Sepuh berkata datar,
"Sunti Rahim sebenarnya
guruku sendiri."
"Hah...?!" Suto Sinting
jelas-jelas terperangah. "Ja... jadi usiamu dengan Nyai Sunti Rahim lebih
tua dia?"
"Lima belas tahun lebih
tua dariku," jawab Bongkok Sepuh. "Ilmu pengawet ayunya itulah yang
membuatku jatuh cinta padanya ketika itu. Dia tokoh wanita yang sakti, mendapat
warisan ilmu dari eyangnya sejak berusia tujuh tahun. Separo ilmunya sudah
diturunkan kepadaku, tapi aku tergoda oleh Bibi Gurumu, dan akhirnya kami
berpisah. Aku terpaksa berguru kepada tokoh sakti lainnya. Namun kesaktianku
tetap saja tidak bisa mengungguli Sunti Rahim."
"Kenapa waktu itu Sunti
Rahim tidak melabrak Bibi Guruku?"
Bongkok Sepuh gelengkan
kepala, "Hanya Bibi Gurumu yang tak bisa dilawan oleh Sunti Rahim, karena
ilmu yang dimiliki Bidadari Jalang sangat tinggi."
"Jadi, sekarang apa yang
harus kulakukan untukmu, Ki Bongkok Sepuh?!"
"Kalahkan Dara Cupanggeni
itu dengan cara melumpuhkan ilmu andalannya!"
"Apa ilmu andalannya
itu?" tanya Suto, tapi tidak segera mendapat jawaban.
***2
KEDUA tokoh angker itu seperti
sedang dipermainkan oleh Dara Cupanggeni. Diam-diam Pendekar Mabuk akui
kelincahan dan kegesitan gadis berjubah ungu itu. Kecepatan geraknya juga cukup
mengagumkan. Dara Cupanggeni mampu lakukan salto ke depan dan kembali salto ke
belakang pada saat tubuh masih melayang di udara.
"Edan!" gumam Suto
dalam hati. "Baru saja berjungkir ke depan sudah bisa kembali ke belakang
tanpa menjejak apa pun? Aku tak bisa lakukan gerak seperti itu! Tapi aku tahu
rahasianya; dia pergunakan udara sebagai tempat berpijak. Berarti getaran tubuhnya
dapat membuat udara menjadi sesuatu yang padat! Oh, sungguh mengagumkan. Aku
akan pelajari gerakan seperti itu."
Gerak tipuan itu membuat Kapak
Iblis lakukan serangan yang salah. Akibatnya pukulan bertenaga dalam jarak jauh
milik Dara Cupanggeni menghantam telak pinggang kiri Kapak Iblis.
Wuuut...! Bheeeg...!
Gadis itu mendaratkan kaki
dengan sigap dan memandang dengan senyum sinis. Senyum kemenangan yang membuat
Kapak Iblis menggeram dalam jatuhnya. Sementara itu Setan Akhirat sengaja
hentikan serangan karena ingin pelajari kelemahan jurus-jurus Dara Cupanggeni.
"Wedus bangsat!"
geram Kapak Iblis. "Rupanya kau benar-benar ingin beradu nyawa denganku,
hah?!"
"Dugaanmu tepat sekali
Kapak Iblis. Tapi yang lebih tepat lagi, siapa orang terkuat di Tebing Karma,
itulah yang ingin kutumbangkan. Bukan keroco-keroco seperti kalian."
"Setan Akhirat! Robek
mulut perempuan liar itu biar tak bisa berkoar lagi!" sentak Kapak Iblis
dengan suara keras berkesan buas.
"Aku hanya ingin pecahkan
batok kepalanya saja!" kata Setan Akhirat dengan sikap dingin berkesan
bengis, ia segera bergerak kembali dekati lawannya. Sang lawan hanya
senyum-senyum mengejek yang membangkitkan kemarahan besar di hati Setan
Akhirat.
"Heaaaah...!" Setan
Akhirat menerjang dalam satu lompatan sangat cepat. Telapak tangannya
dihantamkan tepat ketika ada di depan kepala Dara Cupanggeni. Semula gadis itu
diam saja dalam keadaan tubuhnya merapat di pohon. Tapi ketika hantaman telapak
tangan lawan mulai berkelebat, gadis itu pun bagaikan lenyap seketika, ia telah
berpindah tempat dengan gerakan amat cepat, seperti yang dilakukan oleh Bongkok
Sepuh saat menjadi pengemis bungkuk dan membawa lari cincin pusaka dalam
tempurungnya.
Tentu saja hantaman telapak
tangan Setan Akhirat tidak kenai sasaran semestinya. Telapak tangan itu kenai
batang pohon. Duaar...! Ledakan yang timbul cukup keras, pertanda telapak
tangan itu disaluri tenaga dalam yang amat besar. Dan akibatnya pohon yang
dihantam Setan Akhirat terbelah dari akar sampai ke atas menjadi empat belahan,
lalu tumbang tak beraturan lagi.
Dara Cupanggeni bertepuk
tangan mengejek dengan senyum yang memuakkan bagi kedua tokoh angker itu.
"Hebat sekali jurus
'Tepak Nyamuk'-mu, Setan Akhirat. Mengapa tidak kau ajarkan kepada anak-anak
kecil di desa-desa?" sindir Dara Cupanggeni.
Setan Akhirat menggeram dengan
mata kian menyipit penuh benci. Kapak Iblis diam-diam lepaskan pukulan tenaga
dalam melalui sentakan tangan kirinya dari samping kanan Dara Cupanggeni.
Wuuut...! Pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu tidak terbentuk dan
berwarna. Diduga lawan tidak merasa sedang diserang oleh gerakan kecil yang
menghadirkan bahaya tinggi itu.
Tetapi kepekaan Dara
Cupanggeni rupanya juga cukup tinggi. Gelombang hawa panas yang mendekatinya
dengan cepat terasa betul mendesak kulit tubuhnya. Dara Cupanggeni cepat-cepat
kibaskan kepala berpaling ke arah Kapak Iblis sambil denguskan napas. Wuuus...!
Dan tiba-tiba Kapak Iblis terjungkir balik sendiri dalam keadaan amat terkejut.
Gerakan kepala dan dengusan napas ternyata mampu hadirkan tenaga dalam tinggi
yang dapat kalahkan pukulan tenaga dalam Kapak Iblis. Tubuh lelaki brewokan itu
terbanting keras di tanah tak berumput.
Bruuk... !
"Monyet picak!"
makinya dengan berang.
Dara Cupanggeni hanya
tersenyum sambil perhatikan Kapak Iblis yang bangkit dengan sedikit menyeringai
karena pinggangnya bagaikan mau patah. Sikap Dara Cupanggeni kelihatan lengah,
sehingga Setan Akhirat segera lepaskan pukulan jarak jauh secara diam-diam
melalui gerakan empat jari yang menggenggam menjadi menyentak lurus ke depan.
Suuut...!
Gadis itu cepat palingkan
wajah ke kiri dan gerakkan tangan kanannya dalam keadaan terbuka menghadap
lawan. Wees...! Tenaga dalam besar yang dilepaskan Setan Akhirat itu membentur
telapak tangan Dara Cupanggeni, bagai terkumpul jadi satu di tangan itu. Dara
Cupanggeni segera menggenggam seakan menangkap tenaga dalam itu, lalu memutar
tangannya dan menyentakkan kembali ke depan dalam keadaan telapak tangan
terbuka ke atas dan disodokkan ke depan. Wuuut... !
Baaahg...!
"Heegh...!" Setan
Akhirat mendorong mundur dengan mendelik, kakinya tak menyentuh tanah sampai
akhirnya membentur sebongkah batu cadas. Buuhg...!
Suto Sinting bergumam lirih di
samping Bongkok Sepuh, "Gila! Tenaga lawan dapat ditangkap dan
dikembalikan seenaknya saja?!"
Bongkok Sepuh berujar,
"Itu belum seberapa. Jurus-jurus yang dimainkan gadis itu masih merupakan
jurus-jurus kecil yang kumiliki juga."
"Mengapa ia tidak segera
gunakan jurus mautnya?"
"Kurasa dia sengaja
permainkan tokoh kasar itu supaya keduanya menjadi gila sendiri oleh
kegagalannya menyerang lawan. Agaknya Dara Cupanggeni punya maksud memancing
mereka agar mengadukan kehebatannya kepada ketua Tebing Karma yang bergelar
Gerhana Mandrasakti itu."
"O, guru mereka masih
hidup?"
"Masih. Lebih tua dariku,
tapi usia kami tak terpaut banyak. Hanya saja, kudengar Gerhana Mandrasakti
sudah tidak mau lakukan pertarungan dengan siapa pun.Ia hanya ingin turunkan
ilmu-ilmunya kepada murid- murid yang terpilih dan sesuai dengan hatinya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
kecil, pandangan mata dan perhatiannya kembali ke pertarungan di bawah sana.
Bongkok Sepuh pun segera bungkamkan mulut.
Kapak Iblis dan Setan Akhirat
tampak semakin penasaran, karena tak satu pun serangan mereka ada yang mengenai
tubuh Dara Cupanggeni. Kini mereka lakukan serangan bersama dengan jurus
pukulan bersinar. Dua sinar hijau terlepas dari tangan mereka dan menerjang
tubuh Dara Cupanggeni dari dua arah. Ciap, ciaaap... !
Draassh ..! Dua sinar itu
menghantam bersamaan. Tubuh Dara Cupanggeni bagaikan sasaran empuk, karena
gadis itu tidak lakukan tangkisan ataupun gerakan menghindar. Tetapi kedua
sinar hijau itu hanya bisa kepulkan asap setelah mengenai tubuh Dara
Cupanggeni. Asap itu melesat dan hilang, sehingga keadaan Dara Cupanggeni
tampak utuh tanpa luka apa pun, justru senyumnya yang angkuh membentang lebar
di depan kedua lawannya.
Tentu saja Kapak Iblis dan
Setan Akhirat terkejut dan terperangah, sama halnya dengan keadaan Suto Sinting
di atas sana; terperangah dengan dahi berkerut menandakan rasa heran yang luar
biasa.
Belum sempat Suto bicara, ia
sudah harus perhatikan kembali gerakan Setan Akhirat yang kirimkan pukulan
sinar hijau lagi ke arah Dara Cupanggeni. Sinar yang sama seperti tadi segera
dihindari Dara Cupanggeni dengan satu lompatan bersalto ke depan. Sinar hijau
itu akhirnya melesat melalui samping telinga Kapak Iblis yang ada di
seberangnya. Wuuus..! Dan sinar itu menghantam sebatang pohon besar jauh di
belakang Kapak Iblis.
Blaaar... !
Tanah bergetar, pohon itu
hancur tak beraturan bagaikan kain yang dirobek dengan paksa. Pohon di
sampingnya ikut bergetar hebat, tapi hanya sempat membuat daun-daunnya
berguguran.
"Seharusnya tubuh Dara
Cupanggeni tadi mengalami nasib seperti pohon itu, apalagi mendapat serangan
dua sinar hijau sekaligus. Tapi mengapa ia tidak mengalami cedera sedikit
pun?!" gumam Suto Sinting pelan sekali.
"Itulah salah satu jurus
andalannya."
"Maksudmu?"
"Dara Cupanggeni mewarisi
ilmu 'Darah Gaib' milik Sunti Rahim. Jurus dari ilmu 'Darah Gaib' telah membuat
Dara Cupanggeni tidak akan mampu ditembus oleh sinar tenaga dalam macam apa
pun, tidak akan mempan dilukai oleh senjata apa pun. Ia menjadi orang kebal.
Dulu Sunti Rahim sebelum menikah denganku juga demikian, tapi setelah
keperawanannya hilang, ilmu 'Darah Gaib' lenyap dengan sendirinya."
Pandangan pendekar tampan ini
masih tertuju ke arah Dara Cupanggeni, walau telinganya dengarkan kata-kata
Bongkok Sepuh. Tetapi sebagian pendengarannya juga menangkap seruan Dara Cupanggeni
yang tertuju kepada kedua lawannya.
"Kuperingatkan sekali
lagi, temukan aku dengan guru kalian. Aku butuh Gerhana Mandrasakti. Yang ingin
kutundukkan adalah dia, bukan kalian! Kalau kalian nekat melawanku, kalian akan
dapat ganjaran sendiri dariku! Ini peringatanku yang terakhir!"
Kapak Iblis berteriak,
"Persetan dengan perintahmu, Gadis Busuk! Terimalah jurus 'Kapak Lebur'-ku
ini, hiaaaaah...!"
Rupanya bukan hanya Kapak
Iblis yang kerahkan tenaga dalamnya dengan mengeraskan seluruh otot lengan,
melainkan Setan Akhirat juga lakukan hal yang sama. Tangan Kapak Iblis menyala
hijau berpendar- pendar, tangan Setan Akhirat juga menyala bagaikan bara,
kuning kemerahan. Keduanya kini melompat menerjang Dara Cupanggeni.
Wuuuuttt...!
Dara Cupanggeni diam di
tempat. Kedua tangannya mengembang ke depan pada saat kedua lawan dari
kanan-kiri datang menghantam. Pukulan mereka ditangkis dengan kedua lengan itu.
Plak, plak...! Tangan mulus itu seharusnya bukan hanya patah melainkan hancur
menjadi debu. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Tangan itu melebihi baja
kekuatannya, karena memang tidak mempan dihantam tenaga setinggi apa pun.
Bahkan Dara Cupanggeni segera sentakkan kaki dan melompat, lalu kedua kakinya
menendang ke samping dengan secara bersamaan.
"Hiaaah...!"
lengkingnya sambil menendang kedua arah.
Beegh, beegh... !
Kedua ulu hati lawan terkena
tendangan telak gadis itu. Kedua orang berwajah angker itu terlempar ke arah
kanan-kiri. Tubuh kekar mereka melayang bagaikan sampah terhempas angin kencang.
Akhirnya keduanya jatuh terpuruk tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuh mereka.
Brruk...! Brruk...! Gusraak...! Kapak Iblis terseret menjauh hingga membentur
onggokan batu.
Setan Akhirat tersedak satu
kali ketika berusaha bangkit. Ternyata sedakan itu keluarkan darah kental dari
mulutnya. Wajah dinginnya semakin pucat, mata tajam kian meruncing
pandangannya. Ia tetap bangkit untuk lakukan pembalasan.
Tetapi tiba-tiba Dara
Cupanggeni kelebatkan tangan kanannya. Jari telunjuknya berdiri tegak dan
mengeras, seperti lakukan totokan dari jarak jauh. Namun yang terjadi bukan
jurus totokan, melainkan jurus maut yang menjadi andalannya. Ujung jari
telunjuk itu lepaskan selarik sinar merah yang mampu bergerak cepat dan
memanjang sampai sasarannya. Ciaaap...!
Setan Akhirat tak bisa
menghindar atau menangkis, karena pada saat sinar merah itu melesat dari jari
gadis tersebut, tubuhnya diam tak bergerak, seakan menjadi patung di tempatnya
berdiri. Tentu saja sinar merah itu dapat kenai sasaran dengan tepat. Leher Setan
Akhirat adalah sasaran yang dituju, dan sinar merah itu menghantam leher
tersebut. Dees...! Blaap...! Sinar merah panjang pun lenyap seketika. Noda
merah bundar membekas di leher Setan Akhirat.
Tokoh itu mulai bisa bergerak
lagi sejak hilangnya sinar merah.
Tetapi ternyata Setan Akhirat
hanya mampu bergerak tiga langkah. Tubuhnya segera jatuh dan terkulai lemas di
tanah. Lalu sejumlah asap mengepul bagaikan asap babi panggang yang baru
diangkat dari tempat bakarannya. Bau hangus tercium di mana-mana. Setan Akhirat
ternyata tidak bergerak lagi dan napasnya pun lenyap bersama mengepulnya asap
putih samar-samar dari tubuh.
"Bangsat busuk kau, Setan
Wadon! Heaaaah...!" Kapak Iblis berada di puncak kemarahannya begitu
melihat Setan Akhirat tumbang tak bernyawa, ia segera kerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menyerang. Tetapi jari telunjuk Dara Cupanggeni lebih dulu
bergerak bagai menotok dengan jurus tangan menguncup. Ciaaap...! jari telunjuk
itu keluarkan selarik sinar merah panjang.
Kapak Iblis yang ingin
melompat jadi mematung dalam keadaan tangan terbuka dan mengembang serta kaki
terangkat satu siap melompat. Dalam keadaan tubuh tak bisa bergerak, tentu saja
Kapak Iblis tak mampu hindari sinar merah panjang itu. Maka sinar tersebut
menghantam telak leher kiri Kapak Iblis.
Deess... !
Nasib Kapak Iblis tak berbeda
dengan nasib Setan Akhirat. Noda merah di lehernya membuat Kapak Iblis hanya
mampu lanjutkan gerak tiga kali, setelah itu jatuh terpuruk tanpa daya.
Tubuhnya berasap, bau hangus menyebar, tapi tubuh itu masih utuh bagai tanpa
luka sedikit pun. Hanya saja sekarang tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi dan
dalam waktu beberapa kejap telah dikerumuni belatung yang tersumbul keluar dari
dalam dagingnya.
"Ada sesuatu yang aneh,
kurasakan terjadi dua kali, Ki Bongkok Sepuh!" kata Suto dalam bisikannya.
"Ya, memang aneh. Dua
kali keanehan itu juga kurasakan. Kau tak bisa bergerak dan napasmu terasa
terhenti dua kali, bukan?"
"Benar," jawab Suto
sambil menatap Bongkok Sepuh yang tetap pandangi Dara Cupanggeni. Kala itu Dara
Cupanggeni sedang periksa lawan-lawannya dengan sungging senyum kemenangannya.
"Itulah jurus andalan
yang kumaksud tadi. Dara Cupanggeni telah kuasai ilmu "Bias Dewa' yang
dulu tak sempat dipelajari oleh gurunya karena telanjur kurenggut
kegadisannya."
"Apa itu ilmu 'Bias
Dewa'?"
"Jurus itu hanya bisa
dimiliki oleh seseorang yang masih perawan. Sinar merah yang keluar dari jari
telunjuk Dara Cupanggeni itu adalah sinar berkekuatan gaib. Bukan saja mampu
membusukkan tubuh lawan dalam sekejap, tapi juga membuat alam menjadi
mati."
"Alam menjadi mati?"
gumam Suto dalam keheranan.
"Jika sinar merah dari
ilmu 'Bias dewa' dilepaskan, maka seluruh kegiatan di muka bumi ini terhenti
sampai sinar itu padam. Angin akan berhenti, ombak lautan berhenti, gerakan air
terjun pun terhenti, semua hewan bagai mati sekejap, manusia tak mampu gerakkan
tubuhnya, napas kita seakan tak mampu dihela lagi.
Jantung kita berhenti
berdetak. Segalanya serba berhenti. Bahkan matahari pun berhenti dari jalur
edarnya jika sinar 'Bias Dewa' dilepaskan. Itulah sebabnya sinar merah tadi tak
bisa ditangkis dan dihindari oleh Kapak Iblis dan Setan Akhirat, ilmu itulah
yang ingin kutunjukkan padamu."
Suto Sinting tertegun dengan
mulut terperangah bengong. Batinnya mengakui kehebatan ilmu 'Bias Dewa' yang
baru kali ini dilihat dan dirasakan akibat sampingannya. Wajah Pendekar Mabuk
kelihatan sangat kagum dan terheran-heran mendengar penjelasan Bongkok Sepuh.
"Jika ilmu itu bisa
hentikan peredaran waktu segala, berarti Dara Cupanggeni adalah orang yang tak
bisa dikalahkan?" ujarnya lirih.
Bongkok Sepuh mengangguk dan
menambahkan kata,
"Memang benar. Karena
itulah aku tak berani hadapi dia. Untuk saat ini, Dara Cupanggeni sebenarnya
telah menjadi orang tertinggi ilmunya dari semua tokoh di rimba persilatan.
Gurumu sendiri kalah tinggi dan bisa ditumbangkan olehnya. Aku yakin, sasaran
utama Dara Cupanggeni adalah diriku, sasaran kedua adalah Bibi Gurumu; Bidadari
Jalang. Sebab Sunti Rahim turunkan semua ilmu kepada gadis itu hanya untuk dua
sasaran utama itu. Selebihnya adalah kehendak Dara Cupanggeni sendiri."
"Celaka...!" geram
Suto Sinting merasa cemas mendengar bibi gurunya terancam maut oleh
kemunculan Dara Cupanggeni.
"Aku yakin, kalau saja
dulu Sunti Rahim telah kuasai ilmu itu, pasti dia akan labrak Bidadari Jalang,
dan akan mampu tumbangkan bibi gurumu itu. Bahkan ia tak akan merasa gentar
sekalipun Gila Tuak berada dipihak Bidadari Jalang. Gila Tuak dapat dengan
mudah ditumbangkan seperti Dara Cupanggeni menumbangkan dua tokoh keras dari
Tebing karma itu."
Suto Sinting meneguk tuaknya
sebentar, lalu menghempaskan napas panjang dengan menahan kemarahan agar tak
meluap. Kecemasan akan ancaman maut bagi bibi gurunya itu membuatnya sedikit
resah, sehingga perlu menenggak tuak agar menguasai ketenangan kembali.
"Lalu, mengapa dia ingin
bertemu dengan Gerhana Mandrasakti?"
"Dugaanku, Dara
Cupanggeni akan tundukkan semua tokoh sakti dan ingin menjadi orang terunggul
di rimba persilatan. Dan aku percaya bahwa dia akan berhasil tumbangkan siapa
saja, karena dua ilmu berbahaya itu ada padanya!"
"Kalau begitu aku harus
hentikan tindakannya sekarang juga, sebelum kedua guruku menjadi korban kedua
ilmu itu!"
"Apakah kau sudah punya
cara untuk melumpuhkannya?"
"Akan kucoba dengan
bumbung tuakku ini!" kata Suto dengan tegas, lalu ia melesat pergi diikuti
oleh Bongkok Sepuh. Mereka terpaksa berpindah tempat karena Dara Cupanggeni
sudah tinggalkan kedua lawannya itu. Suto Sinting sengaja mengejar dari
ketinggian tebing cadas, sampai akhirnya ia melihat Dara Cupanggeni sedang
berlari tak begitu cepat menuju arah Tebing Karma. Tentunya ia akan temui
Gerhana Mandrasakti dan menantang pertarungan di Tebing Karma.
Suto Sinting melesat turun
tebing gunakan gerak silumannya. Dalam waktu sekejap ia sudah berdiri di depan
Dara Cupanggeni. Kemunculannya membuat gadis itu terhenyak dan berhenti
melangkah dalam seketika. Matanya memandang lembut dan tak berkedip. Suto
Sinting sengaja sunggingkan senyum menawan agar gadis itu tak lekas-lekas
lakukan penyerangan berbahayanya.
Di tempat persembunyian, di
antara pohon dan semak, mata si Bongkok Sepuh memperhatikan pertemuan dua tokoh
muda itu dengan hati berdebar- debar. Bahkan tokoh tua itu sempat membatin;
"Moga- moga murid Gila
Tuak mampu kalahkan kekuatan Dara Cupanggeni dengan caranya yang tak bisa
kubayangkan. Jika pemuda itu gagal, maka keganasan Dara Cupanggeni akan melebar
ke mana-mana dan menguasai dunia persilatan. Dia bisa menjadi tokoh lalim yang
tak kenal belas kasihan kepada siapa pun."
Bongkok Sepuh sering mendengar
kehebatan ilmu murid si Gila Tuak, tapi hatinya masih saja berdebar- debar
mengetahui siapa lawan Pendekar Mabuk kali ini. Padahal Suto Sinting sendiri
menghadapi gadis itu dengan tenang sekali. Sang gadis sendiri tampak tidak
mengumbar ketegangan, sehingga pertemuan mereka bagaikan terselubung sikap
bersahabat yang saling dipamerkan.
"Benarkah kau yang
bernama Dara Cupanggeni, murid Nyai Sunti Rahim?" sapa Suto Sinting
sekadar memancing percakapan.
Dengan senyum tipis penuh
makna pribadi Dara Cupanggeni menanggapi sapaan pendekar tampan itu. Suaranya
lembut, seakan tak mempunyai keganasan apa pun di dalam hatinya.
"Dugaanmu memang benar;
aku Dara Cupanggeni, murid Nyai Sunti Rahim. Apakah kau kenal baik dengan guruku?"
"Hanya mendengar namanya
saja. Tapi aku tak pernah jumpa dengan beliau."
"Mungkin kau orang Tebing
Karma, murid Gerhana Mandrasakti?!"
Suto Sinting tertawa kecil
berkesan ramah walau sebenarnya dipaksakan.
"Aku sama sekali tak
punya hubungan dengan orang Tebing Karma. Bertemu dengan Gerhana Mandrasakti
pun belum pernah. Apakah kau belum mengenali ciri- ciriku?"
"Aku baru turun gunung,
tak kudengar kabar apa pun tentang rimba persilatan sekarang ini. Hanya
satu-dua kabar yang kudengar dari para pengelana."
"Dari mana kau bisa
mendengar nama Gerhana Mandrasakti?"
"Dulu dia musuh guruku
dan pernah melukai Guru. Tugasku adalah membalaskan kekalahan Guru."
Sambil berkata demikian, Dara
Cupanggeni langkahkan kakinya pelan-pelan, dekati tanaman bunga liar warna
kuning dan tangannya yang berjari lentik indah itu memetik- metik dedaunan
bunga tersebut. Jaraknya semakin dekat dengan Pendekar Mabuk, sehingga si
tampan Suto terpaksa harus lebih waspada lagi dengan selalu memandangi gadis
itu.
"Jadi kau turun ke rimba
persilatan untuk membalas dendam kepada musuh-musuh gurumu masa lalu?"
"Benar. Nama-nama mereka
telah kucatat dalam ingatanku. Selain Gerhana Mandrasakti juga Empu Sakya, Raja
Maut, Raja Tumbal, Embun Salju, Dampu Sabang, Nini Pancungsari, Nyai Gandrik,
Urat Setan, Nyai Demang Ronggeng ......... "
Suto Sinting segera memutus
kata ketika Dara Cupanggeni berpikir sebentar.
"Beberapa nama itu
kukenal dengan baik. Sebagian sudah ada yang mati."
"O, ya? Siapa saja?"
"Empu Sakya mati dibunuh
oleh cucunya sendiri. Dampu Sabang, Raja Tumbal, Nyai Demang Ronggeng, tewas di
tangan seorang pemuda gunung yang...."
"Siapa nama pemuda
itu?" sergah Dara Cupanggeni merasa tertarik, sebab ia tahu nama-nama yang
disebutkan Suto adalah nama-nama tokoh berilmu tinggi yang konon sukar
ditumbangkan. Jika ada seorang pemuda yang mampu menumbangkan tokoh-tokoh
berilmu tinggi itu, Dara Cupanggeni ingin sekali mengenalnya, karena dianggap
berada di pihaknya.
Suto sendiri kikuk saat ingin
menjawab bahwa tokoh- tokoh sakti itu tewas di tangannya. Namun ia segera
menjawab, "Kudengar mereka tewas di tangan Pendekar Mabuk."
"O, ya... aku ingat! Nama
Pendekar Mabuk berhubungan erat dengan nama tokoh utama yang harus kulenyapkan
sesuai pesan guruku."
Suto Sinting memancing,
"Siapa nama tokoh utama yang harus kau musnahkan itu?"
"Ada dua," jawab
Dara Cupanggeni. "Pertama adalah si Setan Arak, kedua adalah Bidadari
Jalang."
"Setan Arak?" gumam
Suto dalam hati. "Mungkinkah si Bongkok Sepuh itu dulunya berjuluk Setan
Arak? Jika benar, pantas dia tak merasa mabuk meminum tuakku sampai satu
bumbung dihabiskan?!"
Dara Cupanggeni berkata jelas,
"Mereka adalah pasangan yang menghancurkan hati Guru dan meninggalkan
bekas luka yang sampai sekarang masih terasa perih di hati Guru. Aku harus
melenyapkan mereka. Tapi kudengar Bidadari Jalang mempunyai murid sakti bernama
Pendekar Mabuk. Barangkali aku juga harus lenyapkan muridnya itu jika ikut
campur urusan ini. Bahkan si Gila Tuak yang konon menjadi guru utamanya
Pendekar Mabuk, jika ikut campur akan kuhabisi sekalian biar mata dunia tahu,
bahwa murid Nyai Sunti Rahim adalah orang yang layak dinobatkan sebagai Perawan
Maha Sakti."
Gemuruh di dalam dada Pendekar
Mabuk bagai ingin menyentak keluar. Gemuruh itu adalah kemarahan saat mendengar
kedua gurunya diancam seremeh itu oleh Dara Cupanggeni. Tetapi dengan menahan
napas beberapa saat, kemarahan yang bergemuruh itu mampu diredakan, sehingga
penampilan Suto Sinting masih tetap kelihatan tenang-tenang saja.
"Kalau boleh aku beri
saran padamu," kata Suto dengan mata tetap memandang ke mata gadis
itu,"... sebaiknya urungkan saja niatmu untuk melenyapkan Bidadari Jalang
atau yang lainnya."
Dara Cupanggeni yang menjuluki
dirinya Perawan Maha Sakti sunggingkan senyum tipis berkesan manis. "Rasa-rasanya
aku tak bisa terima saranmu. Kau tak punya alasan kuat untuk memberikan saran
seperti itu."
"Alasanku adalah demi
perdamaian di antara sesama dan demi keselamatan jiwamu juga. Bidadari Jalang
dan Gila Tuak adalah dua tokoh yang tak bisa ditumbangkan dengan sekali-dua
kali gebrak saja."
"Kau salah duga,"
kata gadis itu sambil tertawa kecil. "Justru aku akan memperlihatkan
kepada mata para tokoh persilatan bahwa Bidadari Jalang akan menjadi belatung
dalam dua kejap netra saja oleh Perawan Maha Sakti!"
Senyum Suto mulai sinis karena
menahan kejengkelan.
"Sesumbarmu sangat
berbahaya, Dara Cupanggeni. Bidadari Jalang jangan disamakan dengan tokoh sakti
lainnya. Sekalipun kau mempunyai ilmu 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa' tapi kau
akan hancur lebih dulu sebelum bertemu dengan Bidadari Jalang."
Gadis itu mulai curiga.
Mulutnya diam terkatup, matanya tajam memandang. Akhirnya terlontar pula
pertanyaan dari kecurigaannya itu,
"Kau tahu tentang dua
jurus andalanku itu? Kau bersikap menghalangi niatku untuk melawan Bidadari
Jalang? Siapa kau sebenarnya?"
"Aku hanya pemuda desa
yang tak berarti bagimu. Namaku Suto Sinting," jawab Pendekar Mabuk dengan
tenang, bahkan segera membuka tutup bumbung tuak dan menenggak tuaknya dengan
cuek. Ia tak peduli dipandangi gadis itu dengan wajah penuh keheranan.
"Suto Sinting?"
gumam Dara Cupanggeni pelan sekali, lalu suara itu menjadi lebih jelas lagi
ketika berkata, "Seingatku, Guru pernah sebutkan nama Suto Sinting sebagai
nama asli Pendekar Mabuk. Apakah... apakah kau Pendekar Mabuk yang sekarang
sedang kesohor namanya itu?"
"Setahuku, aku hanyalah
murid tunggal dari Bidadari Jalang dan Gila Tuak!"
Wuuut... !
Dara Cupanggeni pindah tempat
dengan gerakan cepat. Wajahnya mulai menegang dan kecantikan dari senyum manisnya
lenyap seketika. Suto Sinting melirik dalam senyum sambil menutup kembali
bumbung tuaknya.
"Kau terkejut?"
sindir Suto kini melebarkan senyumnya, tenang sekali.
"Pantas kau mengenal
tokoh-tokoh sakti yang ada dalam daftar orang-orang yang harus kulenyapkan!"
"Hanya kebetulan saja aku
mengenal mereka. Sama halnya dengan sekarang, hanya kebetulan saja aku jumpa
kau di sini."
"Kalau begitu aku harus
harus singkirkan dirimu sebelum kau nyata-nyata menjadi penghalangku berhadapan
dengan Bidadari Jalang!"
"Kapan kau akan
singkirkan diriku? Sekarang? Aku sudah siap sekarang juga!" tantangan itu
terdengar kalem tapi memanaskan darah gadis cantik itu.
"Jika kau menantangku
sekarang juga, dengan sangat terpaksa aku harus melakukannya, Suto
Sinting!" geram Dara Cupanggeni dengan mata menyipit benci.
Tali penggantung bumbung bambu
dililitkan di tangan kanan Suto Sinting. Bumbung itu dapat digerakkan dengan
mudah dan cepat jika talinya melilit di telapak tangan dan digenggam kuat-kuat.
Suto Sinting sudah persiapkan diri dengan menempatkan bumbung tuaknya di depan
dada. Matanya selalu memandang ke arah tangan Dara Cupanggeni secara tidak
kentara.
"Aku harus mengadu
kecepatan gerak dengan tangannya," pikir Suto sebelum Dara Cupanggeni
berkata,
"Rupanya kau ingin
menjajal ilmu 'Bias Dewa'-ku, Pendekar Tampan?!"
"Aku tak memaksamu
keluarkan jurus itu," kata Suto. "Tapi kalau kau ingin lepaskan
sekarang juga, aku sudah siap hadapi kekuatanmu itu, Dara Cupanggeni!"
"Dasar bodoh!
Hiaaah...!"
Rupanya dalam menghadapi
Pendekar Mabuk yang namanya cukup terkenal dan sedang menjadi bahan percakapan
para tokoh itu, Dara Cupanggeni tidak mau bermain-main seperti menghadapi dua
orang angker dari Tebing Karma tadi. Gadis itu segera lepaskan ilmu andalannya
yang paling berbahaya.
Tangannya berkelebat menguncup
dengan jari telunjuk meruncing keras. Gerakan tangan yang seperti hendak me
lakukan totokan jarak jauh itulah yang diperhatikan Suto Sinting, sehingga ia
dapat perkirakan sinar merah yang akan keluar nanti mengarah ke mana. Suto
Sinting sudah persiapkan perisainya dengan menggerakkan bumbung tuak ke arah
atas dada. Dugaannya sinar itu akan melesat ke lehernya. Maka ketika sinar
merah itu benar-benar melesat dari ujung jari sang gadis, bumbung tuak segera
menjadi sasarannya.
Claaap...! Desss...!
Blegaaar...! .
Sekalipun tubuh Suto Sinting
tak dapat bergerak saat sinar itu melesat, namun bumbung tuak telah lebih dulu
menghadang dan ledakan dahsyat pun terjadi menggelegar menggema kemana-mana.
Suto Sinting segera terhempas ke belakang ketika sinar itu padam bersama bunyi
ledakan dahsyat tadi. Dara Cupanggeni pun terlempar mundur lebih dari tiga
tindak.
Tubuhnya membentur pohon dalam
keadaan berdiri limbung, ia memandang lawannya dengan sangat terheran-heran,
karena Suto Sinting ternyata masih bisa berdiri lebih dari tiga gerakan. Namun
keadaan Suto cukup parah. Mulutnya keluarkan darah, wajahnya tampak memar
membiru. Hampir saja ia terhantam batang pohon yang tumbang seketika begitu
terjadi ledakan bergelombang tinggi dan mengguncang bumi.
"Bumbung bambu itu tidak
pecah?! Aneh?!" gumam hati Dara Cupanggeni. "Biasanya tak ada benda
yang tidak bisa ditembus 'Bias Dewa'-ku. Tapi bumbung tuak itu tidak bolong
sedikit pun. Tak ada tanda-tanda keretakan, bahkan lecet sedikit pun
tidak?!"
Memang benar, bumbung itu
tidak mengalami kerusakan apa pun. Tapi Suto sendiri juga merasa aneh karena
sinar merah itu ternyata tidak bisa memantul balik seperti sinar-sinar tenaga
dalam dari musuhnya yang terdahulu.
"Sekujur tubuhku panas
sekali. Gila! Dadaku sakitnya bukan main," Suto membatin, tapi matanya
yang mulai buram dalam penglihatan tetap mencoba mengawasi gerakan Dara
Cupanggeni. Bumbung tuaknya masih berada di tangan. Talinya melilit telapak
tangan sampai lengan.
Dara Cupanggeni tidak
mengalami cedera apa pun kecuali hanya rasa ngilu akibat terbentur pohon
punggungnya. Melihat Suto Sinting limbung dalam berdirinya, ia bermaksud
lepaskan sinar 'Bias Dewa' sekali lagi.
"Kali ini dia tak akan
bisa menangkis dengan bumbung tuaknya!" pikir Dara Cupanggeni. Maka,
tangannya pun mulai merapatkan jemari, siap berkelebat melakukan serangan
serupa.
Sayang sekali tiba-tiba
sekelebat bayangan melintas di depannya dengan sangat cepat. Bayangan itu
bagaikan sebentuk angin aneh yang menerjang Pendekar Mabuk, lalu kejap
berikutnya sosok pendekar tampan itu lenyap dari pandangan mata Dara
Cupanggeni. Zlaaap...!
Rupanya ada seseorang yang
telah menyambar Pendekar Mabuk dalam keadaan terluka dalam cukup parah itu.
Dara Cupanggeni bergegas memburu ke arah lenyapnya bayangan tadi. Tapi agaknya
ia tidak mampu mengejar lawannya, bahkan sempat melesat kearah yang berlawanan.
"Kurang ajar! Siapa orang
yang berani ikut campur urusanku ini? Siapa yang menyambar Pendekar Mabuk?! Dia
kira aku tak bisa melumpuhkannya walau ia mampu bergerak secepat itu?!"
geram Dara Cupanggeni dalam pelacakannya.
* * *3
DALAM keadaan terluka
berbahaya seperti itu, seandainya Dara Cupanggeni alias Perawan Maha Sakti itu
lepaskan jurus 'Bias Dewa'-nya, pasti Suto tak akan dapat menangkisnya lagi.
Sinar merah itu akan menghantam leher Pendekar Mabuk, dan nasib si tampan akan
berakhir sampai di situ saja. Itulah pertimbangan seorang tokoh yang menyambar
Suto Sinting.
Sampai di suatu tempat, Suto
Sinting dibaringkan di bawah pohon. Ternyata keadaannya sudah semakin parah.
Kulitnya mulai keluarkan bintik-bintik merah menyerupai ujung darah. Pandangan
matanya kian buram, sehingga tak bisa melihat jelas siapa orang yang telah
menyambarnya sampai ke situ.
Tetapi Suto mendengar suara
samar-samar yang memerintahkan dirinya agar membuka mulut. Dengan lemas mulut
itu pun membuka pelan-pelan, kemudian ia juga rasakan ada air yang mengucur ke
dalam mulutnya hingga terpaksa tertelan beberapa teguk. Glek, glek, glek...!
Suto tak sadar bahwa bumbung tuaknya sudah tidak ada di tangan lagi. Dan air
yang mengucur itu tak lain tuak dari bumbung tersebut.
Rupanya kepergian tokoh yang
menyambar Suto Sinting itu segera diikuti oleh si Bongkok Sepuh. Sampai di
tempat itu, Bongkok Sepuh pandangi tokoh penolong Suto yang mengenakan pakaian
ketat ungu muda model angkin sebatas dada berhias benang emas di tepiannya.
Tokoh itu adalah seorang perempuan cantik seperti layaknya gadis berusia dua
puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah lanjut usia. Ia juga kenakan jubah
lengan panjang warna ungu tua. Rambutnya disanggul sebagian dengan pedang di
punggung dibungkus kain ungu tua dari bahan beludru. Ia seorang perempuan yang
cantik, mancung, dan bermata indah walau berkesan galak.
Bongkok Sepuh mengenal tokoh
tua yang awet muda itu, karenanya Bongkok Sepuh segera menyapa dengan suaranya
yang mirip orang menggumam.
"Mengapa kau ikut campur
urusanku ini,Sumbaruni?!"
Perempuan cantik itu segera
menatap Bongkok Sepuh dengan pandangan mata memancarkan kedongkolan hati. Mulut
Sumbaruni masih terkatup diam. Bongkok Sepuh kembali ucapkan kata sambil dekati
Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang menjadi pewaris seluruh ilmu tokoh tua
bernama Eyang Bayudana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu
Tanpa Tapak").
"Mestinya kau tak boleh
remehkan kekuatan Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu, Sumbaruni. Mundur
dari pertarungan merupakan tindakan yang kurang terhormat bagi seorang pendekar
kondang seperti Suto Sinting itu! Kau telah memalukan nama besar murid Gila
Tuak dan Bidadari Jalang, Sumbaruni!"
Dengan menggeram jengkel
Sumbaruni bicara, "Otakmu kau taruh di mana, Setan Arak?! Tak tahukah kau
bahwa Suto bukan tandingan Dara Cupanggeni bersama ilmu 'Bias Dewa'-nya?!"
Rupanya usia Sumbaruni yang
asli sejajar atau melebihi usia Bongkok Sepuh yang dulu dikenal dengan nama
Setan Arak. Dengan begitu Sumbaruni bebas bicara dengan Bongkok Sepuh tanpa
memandang si Bongkok Sepuh orang tua. Dan Bongkok Sepuh pun agaknya tidak
pedulikan sikap Sumbaruni yang tampaknya ngelunjak, namun sebenarnya memang
layak bersikap demikian.
Ketidakpedulian itu disebabkan
karena Bongkok Sepuh mengakui bahwa dirinya lebih muda dari Sumbaruni, walau
wujud nyatanya terbalik.
"Kalau murid Sunti Rahim
itu tidak gunakan ilmu 'Bias Dewa', aku tak akan campuri urusan mereka berdua.
Tapi karena aku tahu bahwa Dara Cupanggeni telah kuasai ilmu 'Bias Dewa', maka
aku tak akan biarkan Suto Sinting mati di tangan gadis itu."
"Kau mengecewakan aku,
Sumbaruni!" Bongkok Sepuh bersungut-sungut sambil melangkah dengan
tongkatnya. "Harapanku selamat dari ancaman dendam Sunti Rahim terletak
pada kekuatan ilmu Pendekar Mabuk. Dan aku yakin pemuda itu punya cara sendiri
untuk melawan ilmu 'Bias Dewa'. Buktinya ia tidak langsung mati seperti yang
lain walau Dara Cupanggeni sudah lepaskan sinar merahnya! Kurasa bocah itu
lebih cerdas daripada otakmu, Sumbaruni!"
"O, berarti kau yang
membujuk Suto untuk bertarung dengan murid Sunti Rahim itu?! Keparat kau, Setan
Arak! Kau gunakan orang lain sebagai tameng urusan masa lalumu! Licik kau,
Setan Arak!" sentak Sumbaruni mulai marah.
"Kau tak punya hak untuk
marah padaku, Sumbaruni! Kau bukan apa-apanya Suto Sinting!"
"Siapa pun orang yang
ingin celakai kekasihku, akan kupertaruhkan nyawaku untuk membalas orang yang
kucintai ini!"
"He, he, he, he...!"
Bongkok Sepuh terkekeh.
"Jadi kau mencintai Suto
Sinting?! Oh, itu sebuah mimpi buruk bagimu, Sumbaruni. Cintamu tak akan
dihiraukan oleh Suto Sinting, sebab setahuku dia sudah menjadi kekasih penguasa
Puri Gerbang Surgawi yang bernama Dyah Sariningrum.Tentu saja Suto Sinting akan
memilih Dyah Sariningrum daripada memilih perempuan bekas istri jin, sama saja
Suto mendapatkan barang bekas jika memilihmu. Barang bekas kalau masih bagus
agak lumayan, tapi kalau barang bekas yang sudah rusak berat tak ada gunanya
dipiara. Suto tentunya tak akan mau dapatkan barang bekas yang tinggal
sisa-sisa ketuaannya itu! He, he, he, he...!"
Sumbaruni gemetar menahan
luapan amarah. Giginya menggeletuk, matanya menyipit, suaranya menggeram penuh
getaran,
"Mulutmu perlu
dihancurkan, Setan Arak! Heaaah...!" tiba-tiba Sumbaruni sentakkan kedua
tangannya yang mengembang di atas kepala. Dari sentakan telapak tangan yang
membentuk cakar itu melesat dua sinar kuning secara bersamaan.
Clap, claaap...! Sinar kuning
itu menghantam wajah Bongkok Sepuh. Tetapi orang berkulit keriput itu segera
kibaskan tongkatnya memutari kepala satu kali dan bagian ujung tongkat yang
berbentuk seperti bola licin itu disodokkan kedepan. Wuuut... !
Dari bola hitam tersebut
keluar segumpal asap hijau bergulung-gulung dan cepat menyebar ke kanan-kiri.
Sinar kuning terperangkat asap hijau.
Zrruuub...! Asap itu bagaikan
membungkus kedua sinar tersebut, membentuk bola besar berasap, melambung naik
ke angkasa dan kejap berikutnya meledak dahsyat di atas sana.
Blegaaar...!
Bumi terasa berguncang akibat
dentuman dahsyat itu.
Asap hijau menyebar kian
tebal, seakan langit ingin dilapisi dengan kabut hijau seluruhnya. Cahaya
matahari tak bisa menerobos kabut tersebut, membuat alam menjadi remang-remang.
Angin yang berhembus hadirkan hawa dingin yang makin lama semakin menggigilkan
tubuh. Rupanya Bongkok Sepuh telah lepaskan jurus anehnya yang mempunyai
kekuatan inti salju, dapat membekukan semua darah yang dinaungi awan hijaunya
itu.
Suto Sinting yang mulai segar
karena telah meneguk tuak saktinya itu hanya memandangi awan hijau dengan tubuh
sedikit menggigil. Ia tahu datangnya hawa dingin melebihi salju, maka ia segera
meneguk tuaknya lagi.
Glek, glek, glek, glek...!
Tuak itu sebagal penangkal
hawa dingin salju. Sedangkan Sumbaruni segera lakukan gerakan-gerakan cepat
dengan pergunakan kibasan kedua tangannya ke sana-sini untuk atasi hawa dingin
itu. Lalu tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke atas dengan satu kaki
berlutut.
Ciaaap... !
Sinar merah terang dan lebar
terlepas dari kedua tangan itu dan melesat ke atas menembus kabut hijau.
Blegaar...! Gumpalan awan hijau itu pecah dan lenyap seketika setelah terhantam
sinar merah dari tangan Sumbaruni. Alam terguncang tapi sinar matahari dapat
memancar kembali ke bumi dan udara hangat mulai terasa menyebar.
Bongkok Sepuh memandang ke
atas, memperhatikan lenyapnya awan hijaunya dengan rasa kecewa. Saat itulah
Sumbaruni segera melompat dan menerjang Bongkok Sepuh dengan tendangan beruntun
yang tak bisa dilihat mata.
Bruuuss... !
Tubuh Bongkok Sepuh terlempar
delapan langkah dan terpelanting jatuh seperti dibanting di atas bebatuan.
Bruuk!
"Kau perlu dihajar agar
lain kali tak akan pergunakan kekasihku untuk tameng nyawamu, Setan Arak!
Hiaaah...!"
Sentakan tangan kiri Sumbaruni
membuat tubuh yang terpuruk melesat tinggi ke atas, lalu kibasan tangan kanan
Sumbaruni memutar tubuh itu dengan kencang. Wuuut...! Wwerrr...!
Tubuh tua itu berputar bagai
baling-baling, kemudian terlempar lagi ke arah lain dan membentur pohon.
Bluuurrr...! Pohon itu guncang hebat, sepertinya mau patah dan tumbang. Bongkok
Sepuh terpuruk di bawah pohon itu dengan terengah-engah dan bagaikan tak
berdaya lagi.
"Sumbaruni, hentikan
menghajarnya," seru Suto Sinting yang sudah mampu berdiri tegak dan
keadaan tubuhnya sudah sesehat sebelum bertarung dengan Dara Cupanggeni. Suto
Sinting mencoba dekati Sumbaruni yang sedang marah. Tapi langkah Suto terhenti
setelah ia dibentak dan dituding oleh Sumbaruni,
"Diam di tempatmu! Aku
akan kasih pelajaran pada si tua pikun itu!"
Sumbaruni hendak pergunakan
kekuatan jarak jauhnya lagi untuk membanting dan mengajar Bongkok Sepuh. Tapi
tiba-tiba tangan Bongkok Sepuh yang melepaskan tongkatnya itu mengembang dan
telapak tangannya menghadang ke arah Sumbaruni. Dari telapak tangan itu keluar
sinar putih sebesar lidi yang melesat ke arah Sumbaruni.
Zuiiit...!
Sumbaruni cepat sentakkan kaki
dan melesat tinggi di angkasa, ia bersalto hingga kakinya mencapai salah satu
dahan pohon yang kering. Sinar putih itu menerobos sebatang pohon besar.
Jraab...! Zlaaap...! Pohon itu berlubang sebesar bumbung tuaknya Suto. Bahkan
enam pohon di deretan belakang pohon pertama pun masih mampu ditembus sinar
putih sebesar lidi itu.
Jrab... !
Blus, blus, blus, blus... !
Melihat keenam pohon berlubang
seukuran bumbung tuak, Suto Sinting terperanjat kaget dan segera melompat ke
depan Bongkok Sepuh.
"Hentikan! Hentikan
seranganmu!"
"Biarkan aku bertarung
dengan si mulut sumbar itu, Suto!"
Sedangkan Sumbaruni segera
melayang turun dari atas pohon dan berseru seraya mencabut pedangnya,
"Minggir, Suto! Biarkan aku menebaskan pedangku sebagai pelajaran terakhir
bagi si tua bangka itu!"
"Tidak! Hentikan
pertarungan ini!" bentak Suto kelihatan marah.
"Minggir, Suto,"
geram Bongkok Sepuh sambil melangkah dengan tongkat dltangan kiri, sedangkan
Suto semakin mendekatinya.
"Kau berjanji hanya akan
menahan Cincin Manik Intan-ku! Kau tidak akan menggunakannya! Kenapa sekarang
kau menggunakan cincin itu untuk menyerang Sumbaruni! Aku tak setuju! Kuminta
kembali cincin itu dengan cara apa pun!"
"Aku terpaksa lakukan
karena Sumbaruni seenaknya menghajarku!"
"Tidak bisa!" sentak
Suto. Bentakan itu membuat tubuh Bongkok Sepuh terdorong mundur tiga langkah.
Orang tua itu merasa mendapat sentakan tenaga cukup besar dari hembusan napas
mulut Suto.
Anak muda itu berseru lagi,
"Kalau kau masih tetap mau pergunakan cincin pusaka itu, hantamkan ke
tubuhku sekarang juga. Lepaskan amarahmu ke dadaku! Lakukan, Bongkok Sepuh! Dan
aku tak akan membantumu lagi mengalahkan Dara Cupanggeni!"
Bongkok Sepuh terdorong mundur
lagi. Ia mulai sadar, napas Suto sudah mulai membahayakan. Napas Tuak Setan
lebih berbahaya jika sampai disentakkan melalui mulut Suto Sinting. Bongkok
Sepuh mulai berpikir seratus kali untuk mempertahankan Cincin Manik Intan itu.
Apalagi Suto Sinting berkata,
"Kalau kau ingin memiliki
cincin itu untuk kepentingan murkamu, sebaiknya kita bertarung secara jantan,
Bongkok Sepuh! Kau dulu disebut Setan Arak, dan aku Pendekar Mabuk! Kita adu
kekuatan arak dengan tuak!"
Bongkok Sepuh semakin ciut
nyali. "Kalau kulayani, mungkin juga aku bisa menang, mungkin pula akan
hancur berkeping-keping diterjang Napas Tuaknya. Lagi pula, Gila Tuak pasti
tidak akan tinggal diam dan menuntut balas atas perlakuanku kepada muridnya.
Ah, jangan sampai Gila Tuak dan Bidadari Jalang mengamuk padaku! Sebaiknya
kuserahkan saja cincin ini, tampaknya anak muda itu sudah mulai dipengaruhi
oleh Napas Setan Tuak-nya. Berbahaya sekali. Bisa-bisa orang lain yang berada
di arah belakangku bisa menjadi korban tak bersalah jika anak muda ini mulai
murka."
Sumbaruni sendiri mulai tegang
setelah ingat bahwa Suto Sinting mempunyai jurus yang amat berbahaya, yaitu
Napas Setan Tuak. Sumbaruni mengendurkan ketegangannya, bahkan memasukkan
pedangnya kembali. Sebab ia tahu bahwa saat itu Suto Sinting benar-benar
diliputi kemarahan karena Bongkok Sepuh menggunakan Cincin Manik Intan.
Sumbaruni tak tahu bagaimana awalnya hingga Cincin Manik Intan ada di tangan
Bongkok Sepuh, yang jelas ia tahu kekuatan dahsyat pada cincin pusaka tersebut.
"Serahkan cincin itu atau
kita adu kesaktian?!" geram Suto yang terpancing kemarahannya karena
melihat Sumbaruni nyaris mati dengan cincin itu.
"Tapi kau janji tetap
akan menghadapi Dara Cupanggeni?!"
"Aku janji!" kata
Suto dengan tegas.
Bongkok Sepuh tak punya
pilihan lain. Cincin Manik Intan dilepas dan diserahkan kepada Suto. Cincin itu
dikenakan di jari manis Suto sebelah kanan. Cara memakainya juga terbalik,
sehingga sewaktu-waktu getaran amarahnya meluap, Cincin Manik Intan tidak
keluarkan sinar tanpa arah yang dapat membahayakan orang lain.
"Hadapi gadis itu, kalau
perlu pergunakan cincinmu itu, Suto," kata Bongkok Sepuh.
Tapi Sumbaruni segera menyahut,
"Tidak! Tak kuizinkan
Suto bertarung melawan murid Sunti Rahim!"
"Apa urusanmu melarang
Suto, hah?!" sentak Bongkok Sepuh.
"Kalau dia celaka aku
yang rugi!" jawab Sumbaruni dengan keras.
Bongkok Sepuh dekati Sumbaruni
dan berkata dengan geram, "Bercerminlah dalam wujudmu yang sebenarnya
Sumbaruni! Suto layak menjadi cucumu, bukan suamimu! Kau lebih pantas menjadi
istri jin seperti dulu!"
Plaaak... !
Kelebatan tangan Sumbaruni tak
bisa ditangkis Bongkok Sepuh. Tamparan yang mendarat di pipi Bongkok Sepuh
membuat orang tua itu terpelanting, nyaris jatuh kalau tak segera bertahan
dengan tongkatnya. Pipi tua itu membekas merah, empat jari Sumbaruni ada di
pipi itu.
"Tahan...!" seru
Suto Sinting. Pendekar tampan dan gagah itu segera dekati Sumbaruni, berdiri di
samping wanita muda yang cantik jelita itu.
"Biarkan aku menghadapi
Dara Cupanggeni! Dia punya niat tak baik bagi kehidupan kita bersama,
Sumbaruni!"
"Dara Cupanggeni bukan
tandinganmu, karena dia memiliki ilmu 'Bias Dewa'. Jangan bodoh kau, Suto! Kau
akan mati jika nekat melawannya!"
"Akan kutantang dengan
Cincin Manik Intan ini!"
"Cincin itu tak akan
mampu menembus tubuhnya, karena dia punya ilmu 'Darah Gaib' yang kusaksikan
dari tempat tersembunyi saat ia bertarung melawan dua orang Tebing Karma
itu!"
"Jangan remehkan
kesaktian cincin ini, Sumbaruni!"
"Aku tidak remehkan! Tapi
aku tahu bahwa dia punya 'Darah Gaib' yang tak bisa ditembus dengan kekuatan
dahsyat pusaka apa pun! Kekuatan 'Darah Gaib' sejajar dengan kekuatan 'Seruling
Malaikat', Suto! Dia hanya bisa dikalahkan dengan Pedang Kayu Petir!"
Bongkok Sepuh menyambar
omongan, "Siapa bilang?! Aku yakin Cincin Manik Intan dapat tembus 'Darah
Gaib'. Sekarang baru kusadari kebodohanku tadi. Seharusnya aku tidak menawan
cincin pusakamu itu, Suto. Seharusnya tadi kau pergunakan cincin itu untuk
melawan Dara Cupanggeni!"
"Tua bangka! Jangan kau
jerumuskan orang tak bersalah ini untuk kepentingan pribadimu! Cincin itu tidak
akan bisa imbangi kekuatan 'Darah Gaib'!"
"Bisa!" bantah Bongkok
Sepuh tak mau kalah.
"Tidak bisa!"
Suto Sinting berseru,
"Bisa atau tidak harus kucoba dulu!"
"Betul!" kata
Bongkok Sepuh.
"Tidak! Aku tidak setuju!
Ilmu yang ada pada gadis itu tidak bisa dipakai untuk coba-coba!"
"Aku punya cara sendiri
untuk mencobanya!"
"Aku tidak setuju!"
sentak Sumbaruni. "Kalau kau nekat mau mencoba menghadapinya, hadapi dulu
jurus 'Anak Rembulan' ini!"
Tangan Sumbaruni tak
disangka-sangka berkelebat seperti melemparkan sesuatu dari samping. Yang
keluar dari lemparan itu adalah sinar kuning berbentuk seperti bintang. Sinar
kuning itu tahu-tahu telah kenai pundak Suto. Claaap...!
Brruk...! Suto Sinting
langsung terkulai lemas bagai kehilangan seluruh kekuatannya.
Sinar kuning itu pernah
diterima Suto dan membuat Suto seperti tak berilmu lagi beberapa waktu yang
lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
Siapa pun yang terkena jurus 'Anak Rembulan' akan menjadi lunglai tanpa daya,
bahkan menggerakkan jari tangannya pun tak bisa.
Melihat keadaan Suto
dilumpuhkan, Bongkok Sepuh menjadi marah. Ia segera sabetkan tongkatnya ke arah
Sumbaruni sambil berseru,
"Beraninya kau lumpuhkan
jago andalanku itu, hah...? Heaaah...!"
Wuuut... ! Sumbaruni hadangkan
pukulan tongkat dengan lengan kirinya. Dees...! Blaar...! Ledakan terjadi
menghentakkan kedua tokoh itu. Namun mereka masih sama-sama saling serang
kembali. Pertarungan itu membuat mereka lengah dan tak tahu ada sekelebat
bayangan hitam yang menyambar tubuh Suto bersama bumbung tuaknya.
Wuuuusss... !
***4
KERIMBUNAN hutan sisi lereng
membentuk semacam lorong-lorong beratap dedaunan. Ranting- ranting saling
bertaut, dahan-dahan rendah berbentuk lengkung. Di situlah Suto Sinting
ditelentangkan oleh si penyambar yang menganggap tempat itu lebih aman dan lebih
tersembunyi.
Kali ini orang yang menyambar
Suto dalam keadaan lemas tanpa daya itu adalah seorang gadis berwajah cantik
liar. Cantik tapi kesannya seperti liar dan ganas. Rambutnya acak-acakan,
pakaiannya serba hitam ketat seperti terbuat dari karet. Ketatnya pakaian
membentuk tubuh meliuk-liuk penuh pesona kegairahan. Siapa lagi gadis
berpakaian hitam dan berwajah cantik liar kalau bukan Angin Betina, murid Nini
Pancungsari yang telah berubah aliran dari hitam ke putih? Pertemuan dan
perkenalannya dengan Pendekar Mabuk itulah yang membuat tokoh muda beraliran
hitam itu merubah haluan menjadi tokoh cantik beraliran putih, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Kayu Petir").
Janjinya yang ingin menjadi
pelindung Suto Sinting, tameng terdepan bagi Pendekar Mabuk, telah membuatnya
berang melihat sang pendekar terkapar tak berdaya. Tak ada raut sedih pada
wajahnya, yang ada hanyalah kemarahan yang menggeram-geram penuh hasrat untuk
berbalas dendam.
"Jangan ke mana-mana.
Tetaplah di sini. Aku akan segera kembali setelah menghajar Sumbaruni!"
katanya kepada Suto yang terkapar tanpa daya sedikit pun itu. Namun karena Suto
masih bisa bicara lamban, ia pun berkata,
"Jangan lakukan!"
"Tidak bisa! Sumbaruni
yang menyerangmu saat kuintip dari balik semak! Aku melihat sendiri sinar
kuningnya kenai pundakmu!"
"Angin Betina...."
"Aku hanya sebentar.
Jangan ke mana-mana!"
"Mau ke mana lagi,
Tolol?! Keadaanku seperti ini jelas tak mungkin ke mana-mana!" ucap Suto
Sinting dengan nada kesal namun tak bisa dilampiaskan dengan tekanan
semestinya.
Angin Betina bangkit. Pedang
yang diselipkan di pinggang dicabut bersama sarungnya. Digenggam dengan tangan
kiri untuk dicabut sewaktu-waktu, ia bergegas pergi setelah berkata,
"Perempuan itu memang
layak mendapat pelajaran terberat dariku!"
"Angin Betina, tunggu
dulu!" cegah Suto Sinting. "Jangan lakukan pertarungan dengan
Sumbaruni!'
'Kau pikir aku kalah ilmu
dengannya? Dia boleh cabut pedangnya dan bertarung sampai mati denganku.Kau
akan tahu siapa yang unggul dalam bermain pedang nanti!"
"Memang betul, tapi
dengarlah dulu kataku, Angin Betina...!"
"Tidak bisa! Aku harus
bikin perhitungan dengannya. Dia atau aku yang mati!"
"Dengarlah dulu, Angin
Betina! Dia lakukan begini bukan karena benci padaku tapi karena...."
"Kau masih ingin
membelanya?!" sergah Angin Betina bernada cemburu. "Kalau kau memang
ingin membelanya, baiklah aku pergi dan kita tak perlu jumpa lagi!"
"Angin Betina...,"
keluh Suto yang tanpa daya itu. 'Ini bukan masalah pembelaan, ini masalah keselamatan.
Kau salah paham, Angin Betina. Sebaiknya.... "
"Aku sudah berjanji
padamu untuk menjadi pelindungmu! Barang siapa ingin lukai dirimu harus melukai
nyawaku lebih dulu! Sekarang Sumbaruni membuatmu terkulai begini, kehilangan
kekuatan, kehilangan ilmu, dan harus ditebus dengan kehilangan nyawanya. Aku
tidak terima! Aku akan menuntut balas kepadanya!"
"Jangan pergi, Angin
Betina...!"
Weees...! Gadis itu melesat
seperti angin. Suto Sinting berusaha berseru namun tak seberapa keras, 'Angin
Betina...! Tolong pulihkan dulu diriku! Hei... kembalilah! Ada yang harus kau
lakukan sebelum kau pergi! Haaai...! Kampret!"
Kesal sekali hati Suto Sinting
ditinggalkan Angin Betina dalam keadaan masih terkulai tak berdaya sebegitu.
Padahal mestinya Angin Betina tuangkan tuak ke mulut Suto lebih dulu, supaya
kekuatannya pulih kembali. Sebab dulu ketika Suto alami sama seperti itu, Angon
Luwaksi bocah penggembala datang dan menuangkan tuak ke mulut Suto. Dengan
begitu pengaruh jurus 'Anak Rembulan' segera lenyap. Suto tidak lagi terkulai
lemas. Seluruh kekuatannya pulih kembali bersama ilmunya.
Tetapi agaknya gadis berambut
acak-acakan itu lebih mementingkan amarahnya ketimbang memulihkan Suto. Atau ia
memang tidak tahu bahwa hal yang sebaiknya dilakukan paling utama adalah
menuangkan tuak ke mulut Suto. Rasa cemburu dan dendam itulah yang membuat
Angin Betina hanya punya satu tujuan; melabrak Sumbaruni.
Akibatnya Suto hanya terkapar
dengan mata berkedip-kedip dan di hati penuh kedongkolan. Bukan pada Sumbaruni
saja, melainkan dongkol pula kepada Angin Betina. Di sela-sela kedongkolan hati
itu terselip pula perasaan cemas membayangkan pertarungan Angin Betina dengan
Sumbaruni. Sekalipun Angin Betina mahir memainkan jurus pedang dan mampu
melakukan gerakan secepat anak panah, tetapi kekuatan tenaga dalamnya lebih
unggul Sumbaruni. Angin Betina bisa mati dihajar Sumbaruni dari jarak jauh.
Jika Sumbaruni pergunakan jurus 'Siulan Hantu'-nya, Angin Betina belum tentu
mampu menahan kekuatan bunyi siulan yang bertenaga dalam tinggi dan mampu
meledakkan
pohon serta batu besar itu.
"Gadis dungu!"
gerutu Suto dengan suara pelan. "Kalau dia mati melawan Sumbaruni, siapa
yang tahu bahwa aku ada di sini? Aku bisa mati dengan sendirinya jika
tersembunyi di sini berbulan-bulan! Konyol juga gadis itu!"
Suto Sinting berusaha gerakkan
kepalanya, namun sedikit pun tak mampu bergerak. Matanya mencoba melirik ke
kanan-kiri mencari di mana bumbung tuaknya, tapi Suto tak berhasil melihat
benda itu di sampingnya. Padahal benda itu ada di atas kepalanya dalam jarak
tiga jengkal saja. Suto menjadi lebih dongkol lagi menghadapi keadaan dirinya.
Kekuatan batinnya pun tak mampu digunakan untuk mengangkat tubuh atau
menggerakkan benda apa pun. Ia benar-benar seperti bayi baru lahir yang hanya bisa
gerakkan mata kanan-kiri dengan pelan-pelan. Semula ia ingin berteriak minta
tolong, tapi menyadari suaranya tak mampu keras akhirnya niat itu dibatalkan.
Ia hanya bisa mendesah
membuang kekesalan hatinya. Tetapi desahannya terasa lain. Hati Suto Sinting
merasa heran sekali mendengar suara desahan napasnya menggeram besar. Setahunya
ia tak punya suara desahan sebesar itu. "Gggrraaaoww...!"
"Mati aku! Suara apa itu
tadi? Macan apa harimau? Oh, sama saja! Aduh, dari mana suara itu tadi?!"
Suto menjadi tegang sendiri, matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Telinganya
menangkap suara gemerisik, seperti tanaman dan ranting terinjak kaki, entah
kaki manusia atau kaki binatang. Yang jelas suara geram yang didengarnya tadi
membayangkan sebentuk wajah seram dengan gigi runcing dan taring setajam
pedang.
Langkah-langkah kaki kian
mendekat. Semak yang terinjak bertambah jelas di pendengaran. Kejap berikut
suara raung membesar terdengar lagi lebih dekat.
"Grraaow...!"
Suto Sinting melirik ke kiri.
Semak ilalang di sebelah kiri bergoyang-goyang. Itu menandakan ada sesuatu yang
mendekam di sana atau menerabas melintasinya. Suara tersebut terdengar lagi,
"Grraaow...!"
"Oh, Dewa...! Itu
benar-benar suara harimau. Matilah aku. Mati sudah!" Pendekar Mabuk mulai
ciut nyali. "Dalam keadaan tak bisa bergerak tak bisa melawan, harimau itu
dapat seenaknya menyantap dagingku. Oooh... nasib sial apa sebenarnya yang
menimpaku jadi begini?!"
"Graaaaooowww...!"
raung harimau memanjang, wajahnya tampak di balik semak sedang mengincar ke
arah Suto Sinting. Harimau itu berbulu loreng kuning- hitam. Seringai mulutnya
tampak sedang mempersiapkan diri memangsa hidangan yang terbaring bebas dalam
jarak empat langkah di depannya.
Suto Sinting berdebar-debar.
"Bagaimana caraku melawannya jika dalam keadaan begini?! Oh, sudahlah.
Pasrah saja. Mudah-mudahan sekail santap aku langsung mati, jadi untuk santapan
berikutnya aku tak rasakan sakit. Mudah-mudahan jangan jempol kakiku lebih dulu
yang dicicipinya...!" Suto membatin dalam ketegangan yang sebenarnya telah
hadirkan keringat dingin di keningnya.
"Hmmmmgggrrr...!"
Harimau itu pakai menggumam segala, makin membuat hati Suto bagai dipermainkan.
Wujudnya telah tampak penuh. Menyeramkan sekali. Tubuh harimau loreng itu besar
dan mulutnya tampak lebar. Ia melangkah pelan-pelan dengan suara geram dan
raungnya yang membuat jantung Suto seakan-akan sedang diguncang dan
dipermainkan.
Tiba-tiba dari sisi kanan
terdengar suara yang sama. "Grraaoowww...!"
Suto membatin, "Wah, ada
dua...?! Mampuslah aku. Sudah tak dapat bergerak, masih harus dikeroyok dua
harimau! Hmmm... selamat tinggal sajalah kepada dunia ini! Kapan-kapan aku
datang kalau Dewata mengizinkan."
Mata Pendekar Mabuk meiirik ke
kanan, ia terkejut karena di sebelah kanan tampak sosok harimau lebih besar
dengan bulu loreng putih hitam. Mata harimau loreng hitam itu tampak lebih
tajam memperhatikan ke arah Suto, lebih bernafsu sekali untuk menyantap tubuh
Suto. Jantung pun seakan berhenti berdetak karena cepatnya hingga tak terasa
debarannya.
"Ggrraaoow...!"
raung si loreng hitam-kuning.
"Grrraaaoowwm...!"
balas si loreng hitam-putih.
Suto Sinting hanya membatin,
"Barangkali mereka sedang berunding, siapa dulu yang ingin menerkamku?
Celaka! Baru sekarang nasibku dirundingkan oleh dua binatang buas. Ooh...
benar-benar konyol si Angin Betina itu; meletakkan diriku di sarang macan! Sama
saja ia meletakkan diriku di atas ujung tombak!"
"Grraaowww...!"
Dan tiba-tiba harimau loreng
hitam-putih itu meraung panjang sambil melompat ke arah Suto Sinting.
"Grrraaaoooww...!"
Weeesss... !
Suto Sinting pejamkan mata
kuat-kuat sambil mengeluh, "Habislah riwayatku!"
Tetapi suara raung kedua
harimau itu semakin tidak beraturan. Suto Sinting buka mata kembali. Melirik ke
kiri dan melihat kedua harimau itu sedang saling bertarung dengan sendirinya.
Geram dan raungan pertarungan mereka menggema memenuhi hutan berpepohonan
lengkung.
Kalau saja saat itu Suto bisa
bergerak, ia pasti akan cepat-cepat larikan diri pada saat kedua binatang buas
itu bertarung. Tapi karena ia tidak bisa berbuat apa-apa, maka ia hanya bisa
membatin sambil menunggu nasib,
"Mereka bertarung
memperebutkan diriku. Oh, nasib! Biasa diperebutkan wanita sekarang
diperebutkan harimau. Kutukan siapa sebenarnya ini?
Pertarungan dua harimau itu
cukup seru. Mereka saling cakar dan saling terkam. Tapi agaknya si loreng
hitam-putih yang unggul, karena tubuhnya tak terluka sedikit pun, sedangkan si
loreng hitam-kuning tampak berdarah di bagian tengkuk dan wajahnya. Si loreng
hitam-putih menyerangnya dengan buas, sampai akhirnya loreng hitam-kuning
larikan diri, loreng hitam- putih mengejar.
Napas Suto yang semula berat
menjadi ringan kembali. Hatinya membatin,
"Bagus! Kejar terus dia
sejauh mungkin, dengan begitu diriku akan selamat dari ancaman maut mulut
kalian!"
Kini yang diharapkan Suto
adalah kehadiran Angin Betina. Suto ingin cepat-cepat tinggalkan sarang harimau
itu. Napasnya yang sudah lega dan enteng tak mau menjadi berat lagi karena
kemunculan binatang buas lainnya. Hal yang dicemaskan Suto ialah kemunculan
seekor ular yang jelas tak mungkin bisa diajak berunding lagi.
Tetapi sampai beberapa saat
lamanya Angin Betina belum kembali. Pasti sedang sibuk lakukan pertarungan
dengan Sumbaruni.
"Atau mungkin malah sudah
mati dihajar Sumbaruni?!" pikir Suto.
"Eh... tapi sepertinya
ada suara langkah kaki yang datang dari arah kiri? Oh, syukurlah! Pasti Angin
Betina gagal temui Sumbaruni dan kembali dengan wajah murung. Masa bodohlah!
Dia mau berhasil tumbangkan Sumbaruni atau tidak, yang penting dia akan
cepat-cepat singkirkan aku dari sini!" seraya mata Suto melirik ke kiri.
Tepat ketika ia melirik ke kiri, langkah kaki yang didengarnya sudah dekat dan
suara pun terdengar menggetarkan jantung.
"Grrraaaoowww...!"
"Yaaaah... dia
lagi?!" ucap Suto membatin dengan sambil matanya meredup pertanda hatinya
melemah kembali. Harimau loreng hitam-putih muncul lagi dengan sorot matanya
yang tajam. Langkahnya bagaikan ingin mengguncang bumi karena badan harimau itu
cukup gemuk. Makin lama langkahnya makin pelan ketika jaraknya kian dengan
Suto.
"Rupanya dia masih ingat
ada makanan yang tersisa di sini sehingga balik kembali. Sial! Kalau yang
ini... sekali caplok kepalaku pasti masuk. Mudah-mudahan dia langsung menggigit
patah leherku jika kepalaku sudah masuk ke mulutnya. Jangan sampai hanya
dikulum-kulum saja, bisa putus jantungku tanpa luka leherku," pikir Suto
dalam kepasrahannya.
"Ggrrraaaaooww...!"
Suto mencoba mengajak bicara
karena tak punya akal apa-apa lagi, "Jangan begitulah. Kita kan teman?
Kita bersahabat saja."
"Ggrraaooowwm...!"
"Berhentilah di situ.
Jangan dekati aku. Aku tak berdaya. Tidakkah kau kasihan padaku? Jika
kedatanganku di sini mengganggu wilayahmu, jangan salahkan aku. Salahkanlah
Angin Betina. Cari dia dan gigitlah dia, karena dia yang menempatkan aku di
sini!"
Harimau itu benar-benar
berhenti dalam jarak tiga langkah sebelum mencapai Suto Sinting. Ada keheranan
di hati Suto pada saat itu, "Dia berhenti karena mendengar kata-kataku
atau berhenti untuk memperhitungkan bagian mana yang harus disantapnya lebih
dulu?"
Ekornya bergerak-gerak bagai
kipas tak berkembang.
Matanya yang bundar ganas
masih memandang penuh selera makan. Hembusan napasnya terasa menerpa lengan
Suto Sinting. Tak heran jika kulit Suto Sinting pun merinding karena merasakan
awal dari bencana yang akan menimpanya.
Suto Sinting yang tak punya
daya dan tak punya akal lagi mencoba mengajak binatang itu untuk bicara,
"Duduklah yang sopan.
Jangan berdiri terus di situ. Tak ada jeleknya kau menghormati calon korbanmu
sebelum kau menyantapnya."
Eh, binatang itu benar-benar
duduk. Kedua kaki belakangnya dilipat, merapat dengan tanah, kedua kaki
depannya ditekuk sebatas persendian. Matanya melirik ke sana-sini dengan
gerakan kepala yang lamban. Ekornya berkopat-kapit seakan siap menyabet lalat
yang ingin mengganggunya.
Dalam hati Suto Sinting merasa
heran melihat harimau loreng putih-hitam duduk sesuai perintahnya.
"Jangan-jangan dia mengerti bahasa manusia? Atau sengaja menikmati wujud
calon mangsanya sepuas mungkin baru bertindak? Oh, ya... bukankah aku punya
jurus 'Siulan Peri' yang bisa bikin gendang telinga manusia dan hewan menjadi
sakit? Bagaimana kalau kucoba untuk mengusir hewan ini?"
Suto Sinting segera mencoba
bersiul. "Suiisss... suiiiis...!"
"Sial! Siulanku tak bisa
keras dan bening. Pasti ini pengaruh 'Anak Rembulan' yang melumpuhkan seluruh
ilmuku juga."
Jurus 'Siulan Peri' tidak
dapat digunakan. Suto Sinting semakin pasrah. Hanya ada satu harapan, yaitu
mengajak bicara binatang itu, siapa tahu bisa dijinakkan dengan kata-kata.
Maka, Suto Sinting pun kembali melirik ke kiri.
"Hahh...?!" mata
Suto kalau bisa mendelik pasti akan mendelik, karena harimau loreng hitam-putih
itu ternyata sudah berubah wujud menjadi seorang lelaki kurus yang duduk dengan
santai, kedua kakinya ditekuk sampai hampir menyentuh dada. Kedua tangannya
mendekap kaki itu. Orang tersebut nyengir geli memandangi Suto yang terperanjat
kaget.
Lelaki berpakaian serba hitam,
berambut putih, dan berusia lanjut itu segera menyapa dengan suara kekeh
tawanya,
"Baru sekarang aku
melihat pendekar hebat tak terkalahkan berwajah pucat dan berkeringat dingin.
He, he, he, he...!"
"Ki Sonokeling...!"
keluh Suto menyebut nama orang yang sudah dikenalnya. "Kalau aku bisa
bergerak sudah kupukul kau, Ki Sonokeling!"
Orang tua itu semakin terkekeh
geli. Ki Sonokeling adalah tokoh tua, teman dari si Gila Tuak yang dulu pernah
jumpa dengan Suto Sinting dalam peristiwa di Petilasan Teratai Dewa, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Malaikat Jubah Keramat"), ilmu
orang tua itu memang dapat merubah diri menjadi seekor harimau. Tapi hal itu
sangat di luar dugaan Suto Sinting.
"Aku baru saja mau
beranjangsana ke tempat tinggal gurumu, Suto. Kebetulan aku lewat jalanan
sebelah selatan sana. Kudengar ada suara aum harimau. Maka kudekati tempat ini,
dan ternyata kau dalam ancaman bahaya si loreng tadi. Kulihat kau dalam keadaan
lemas tak berdaya, maka aku terpaksa mengusir si loreng tadi dengan merubah
diri seperti kawanannya."
Napas Pendekar Mabuk menjadi
enteng kembali. "Pantas kau bisa mengerti bahasaku," ujarnya bernada
gerutu. "Lain kali jangan memandangiku dengan menyeramkan begitu.
Jantungku nyaris terbelah menjadi tujuh, Ki."
"He, he, he, he....
Maafkan aku, Suto. Aku senang menggoda anak muda yang selama ini menjadi
kebanggaanku. Tapi... ngomong-ngomong mengapa kau sampai seperti ini, Suto? Apa
yang membuatmu terkulai lemas tak berdaya ini?"
Suto Sinting tidak langsung
menjawab tapi justru berkata, "Tolong tuangkan tuak ke mulutku, Ki Sonokeling.
Apakah di sekitar sini ada bumbung tuakku?"
"Ya, ada di atas
kepalamu."
"Tuangkanlah, biar
kuminum beberapa teguk."
"Katakan dulu apa yang
membuatmu menjadi begini?"
"Tuangkanlah dulu, nanti
kujelaskan!" kata Suto, karena pikirnya hal yang paling utama adalah
meneguk tuak untuk peroleh kekuatan kembali daripada menjelaskan masalahnya
dalam keadaan masih terkapar tanpa daya. Bisa-bisa Ki Sonokeling pergi memburu
Angin Betina dan Sumbaruni sebelum menuangkan tuak ke mulutnya.
Tokoh tua itu akhirnya
menuangkan tuak tersebut. Beberapa teguk tuak ditelan Suto. Sebagian tuak ada
yang tersiram di wajah. Suto gelagapan dan berkata sedikit seru,
"Hati-hati! Jangan sampai masuk ke hidung dan mata. Perih!"
"Maaf, aku geli melakukan
hai ini. Ingat waktu aku mengisi air di lubang belut pinggir sungai!"
"Jangan anggap mulutku
seperti lubang belut, Ki."
"Maaf, aku terlalu
jujur!"
Tuak sudah tertelan beberapa
teguk. Bahkan Suto sempat tersedak batuk. Kemudian ia diam beberapa saat,
pejamkan mata sambil mengatur pernapasannya. Ki Sonokeling memandang ke
sana-sini, seakan menjaga keamanan Suto, murid sahabat karibnya itu.
Beberapa saat kemudian, jemari
tangan Suto mulai bisa digerakkan, disusul dengan anggota tubuh lainnya, dan
kini Suto pun mulai bisa bangkit. Duduk dengan kaki dilonjorkan,
dipijat-pijatnya sendiri karena merasa kaku pada bagian persendian lututnya.
"Sekarang kau sudah bisa
jelaskan masalahmu?" tanya Ki Sonokeling.
"Kau kenal
Sumbaruni?"
"Ya. Bekas istri Jin
Kazmat itu maksudmu?"
"Benar. Dialah yang
membuatku lemas tak berdaya."
Ki Sonokeling kerutkan dahi
tuanya yang memang sudah berkulit mengkerut itu, matanya menatap heran pada
Suto Sinting. Sebelum Suto Sinting ucapkan kata, Ki Sonokeling sudah lebih dulu
berujar,
"Mengapa ia memusuhimu?
Padahal ketika kami ingin mencabut gelar kependekaranmu dalam peristiwa
kematian Empu Sakya itu, Sumbaruni orang yang paling ngotot membelamu. Ada
persoalan apa sehingga Sumbaruni tega melumpuhkanmu?!"
"Bukan dengan maksud
benci atau bermusuhan. Maksudnya baik, tapi caranya yang tidak kusetujui."
Suto Sinting mencoba berdiri,
ternyata bisa tegak, ia melemaskan gerakan kaki dan tangan, juga melicikkan
pinggangnya yang tadi terasa kaku dan pegal itu. Setelah merasa dirinya pulih
seperti sediakala, penjelasan yang ditunggu Ki Sonokeling itu dilanjutkan.
"Sumbaruni melarangku
bertarung dengan Dara Cupanggeni yang menjuluki dirinya Perawan Maha Sakti,
murid Sunti Rahim. Mungkin kau kenal nama Sunti Rahim."
"Ya, ya... aku sangat
kenal nama itu. Dan aku sedang mau bicarakan kepada gurumu; Gila Tuak, tentang
sebuah ilmu yang hanya dimiliki oleh Sunti Rahim."
Suto Sinting berkerut dahi,
"Maksud Ki Sonokeling, ilmu 'Bias Dewa'?"
"Benar. Karena aku
merasakan adanya pengaruh ilmu 'Bias Dewa' beberapa kali. Saat kumandi di
pancuran, air pancuran berhenti mendadak. Kejap berikutnya bergerak seperti
biasa lagi. Aku jadi ingat ilmu 'Bias Dewa' yang bila digunakan bisa membuat
alam mati dalam sekejap."
"Kalau begitu semua tokoh
tingkat tinggi tentunya mengetahui tentang penggunaan ilmu 'Bias Dewa'
itu?"
"Kurasa begitu. Tapi
setahuku ilmu tersebut tak bisa dipergunakan oleh Sunti Rahim, sebab dia sudah
tidak perawan lagi."
"Muridnya yang
menggunakannya, Ki. Perawan Maha Sakti julukannya."
"Pantas! Pasti dia masih
gadis, masih perawan, dan... itu sangat berbahaya. Dia akan kalahkan siapa saja
dengan ilmu 'Bias Dewa' itu, Suto. Kau pun tak mungkin bisa tandingi ilmu 'Bias
Dewa'. Jadi..., kurasa langkah yang diambil Sumbaruni memang benar, hanya
caranya sedikit salah. Kusarankan juga, jangan hadapi murid Sunti Rahim itu,
Suto. Kau bisa ditumbangkannya!"
Kemudian Suto Sinting
ceritakan masalahnya dengan Bongkok Sepuh sampai ia mencoba menghadapi Perawan
Maha Sakti dan disambar oleh Sumbaruni, lalu disambar pula oleh Angin Betina.
Ki Sonokeling menerawang memandangi dedaunan sambil berkata bagai orang
menggumam,
"Sebenarnya Setan Arak
tak boleh begitu! Urusan pribadinya harus dia hadapi sendiri, jangan memaksa
seseorang untuk ikut mencampurinya!"
"Dia sangat ketakutan, Ki!"
"Sekarang di mana Setan
Arak? Aku mau temui dia!"
"Bertarung dengan
Sumbaruni. Namun terlepas dari masalah pribadi Setan Arak, menurutku Perawan
Maha Sakti memang harus dilumpuhkan, ia mencoba menantang Gerhana Mandrasakti,
juga ingin membalaskan sakit hati gurunya kepada Bibi Guru Bidadari Jalang.
Malahan jika perlu ia akan melawan Kakek Guru Gila Tuak, Ki. Banyak tokoh sakti
yang akan ditumbangkannya, karena ia ingin diakui sebagai orang terkuat di
dunia persilatan, sebagai Perawan Maha Sakti yang patut dihormati oleh semua
tokoh!"
"Hmmm... begitu?" Ki
Sonokeling manggut- manggut. Suto Sinting meneguk tuaknya lagi. Sebentar
kemudian berkata,
"Aku harus mencegah niat
jahatnya itu, Ki. Aku harus menghadapinya!"
Ki Sonokeling tarik napas,
melangkah menjauhi Suto dengan berpikir, lalu kembali lagi dekati pendekar
tampan yang telah gagah perkasa kembali itu.
"Ini pekerjaan yang
sulit. Apalagi kau tadi menceritakan tentang ilmu 'Darah Gaib' yang juga
dimiliki oleh Perawan Maha Sakti. Jelas ini hal yang paling sulit untuk
dihadapi. Kau tidak mudah menumbangkannya, Suto. Dia kebal, tapi juga punya
ilmu berbahaya. Dalam sekejap saja kau bisa dibuatnya tak bernyawa."
"Aku akan melawannya
dengan Cincin Manik Intan. Ki!" sambil Suto memperlihatkan cincin yang dikenakan
terbalik di tangannya. Ki Sonokeling pandangi cincin pusaka itu beberapa saat
sambil berpikir, lalu memandang Suto dengan berkata pelan,
"Aku tak yakin cincin ini
bisa menembus 'Darah Gaib'. Setahuku ilmu 'Darah Gaib' adalah ilmu kebal yang tertinggi,
sejajar dengan ilmu kebal bagi pemilik pusaka Seruling Malaikat. Jadi, terus
terang saja aku tak yakin kalau sinar maut Cincin Manik Intan ini dapat
menembus lapisan gaib tubuh
Perawan Maha Sakti."
"Bagaimana jika
menggunakan jurus 'Manggala Yudha'-ku itu, Ki?"
"Aku tidak tahu secara
pasti, tapi hati kecilku tetap sangsi akan keberhasilan jurus itu."
Suto Sinting diam sesaat.
Dalam hatinya timbul niat untuk berlaku curang, mencoba jurus-jurus mautnya
dari belakang Perawan Maha Sakti. Tapi niat itu disingkirkan karena hati kecil
Suto seakan tak ingin melakukan pertarungan dengan cara membokong lawan.
"Jadi menurutmu kedua ilmu itu tidak mempunyai kelemahan apa pun,
Ki?" tanya Suto membuka kebisuan mereka.
"Setinggi-tinggi ilmu
memang ada kelemahannya, kecuali ilmunya Yang Maha Kuasa. Tapi setahuku, kedua
ilmu itu memang tak memiliki kelemahan kecuali dengan cara merengguk
keperawanan gadis itu."
Suto Sinting menatap tajam
dengan dahi berkerut. Ki Sonokeling merasa perlu berikan alasan terhadap kata-
katanya.
"Ingat, kedua ilmu itu
hanya bisa dimiliki oleh orang yang masih perawan. Jadi jika Dara Cupanggeni
alias Perawan Maha Sakti sudah tidak perawan lagi, maka ilmu itu akan sirna
dengan sendirinya."
"Kau menyuruhku
memperkosa dia?"Ki Sonokeling terkekeh geli. "Bukan. Bukan begitu
maksudku, Suto. Ini penalaran saja. Hilangnya kedua ilmu itu apabila si
pemiliknya sudah tidak suci lagi. Tentang bagaimana caranya membuat dia tidak
suci, aku tidak tahu. Secara lahiriah memang aku tahu dan jago membuat perawan
tidak suci, tapi secara batiniah aku tak mengerti bagaimana cara mendekatinya
dan membujuknya. Sebab biasanya orang yang sudah telanjur memiliki kedua ilmu
itu, ia akan selalu menjaga kesuciannya. Sebelum niatnya tercapai, ia tidak
akan serahkan kesuciannya kepada pria mana pun."
"Bagaimana kalau ternyata
dia mampu kubuat kasmaran padaku?"
"Itu terserah dirimu, kau
tak perlu mengundangku untuk menyaksikan caramu melumpuhkan kedua ilmu
itu," Ki Sonokeling tersenyum-senyum.
Suto Sinting diam termenung
dalam sunggingan sisa senyum gelinya. Ia mempertimbangkan langkahnya. Ia merasa
mampu menundukkan hati gadis itu menjadi kasmaran kepadanya, tapi sanggupkah ia
menodai gadis itu sementara ia sangat menjaga kesetiaan cintanya terhadap Dyah
Sariningrum? Gusti Mahkota Sejati calon istrinya itu pasti akan tahu jika ia
berbuat tak senonoh dengan perempuan lain, karena segala gerak-gerik Suto
terpantau dari Pulau Serindu. Setidaknya sang Ratu Kartika Wangi, sebagai calon
mertuanya itu pun akan mengetahui jika Suto telah menodai seorang gadis.
"Jika alasanku demi
menyelamatkan dunia dari kehancuran kedua ilmu itu, apakah mereka bisa
menerimanya?" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
***5
TOKOH tua yang punya ilmu
'Singa Lohdaya' itu juga menyinggung-nyinggung tentang Pedang Kayu Petir.
Terlintas dalam pikiran Pendekar Mabuk untuk meminjam Pedang Kayu Petir kepada
Resi Wulung Gading. Tetapi lebih dulu ia harus segera susul Angin Betina agar
tidak mati di tangan Sumbaruni.
Sementara itu Ki Sonokeling
tetap teruskan perjalanan ke Jurang Lindu untuk temui si Gila Tuak dan
bicarakan tentang kemunculan ilmu 'Bias Dewa' itu.
Apa yang dikhawatirkan Suto
sebenarnya memang telah terjadi. Pertarungan antara Sumbaruni dengan Angin
Betina pada mulanya hanya sebatas luapan amarah tak terlalu membahayakan.
Sumbaruni memaklumi kemarahan Angin Betina yang belum memahami maksud dan
tujuannya dalam melumpuhkan Pendekar Mabuk.
Pertemuan mereka terjadi
setelah Sumbaruni dan Bongkok Sepuh merasa sama-sama kehilangan Suto dan segera
mencarinya bersama pula. Angin Betina kebingungan mencari jejak Sumbaruni.
Namun dengan firasatnya akhirnya Sumbaruni ditemukan juga saat hendak menuruni
lereng. Tempat sedikit tandus itulah yang dijadikan ajang pertarungan oleh
Angin Betina.
Serangan sinar putih perak
dari Angin Betina menghantam Sumbaruni dari belakang. Tetapi Sumbaruni cepat
tanggap akan datangnya bahaya, ia segera melenting ke udara dan bersalto satu
kali, sehingga sinar putih perak itu lolos dari tubuhnya. Duaaar...! Sinar itu
menghantam sebongkah batu besar di seberang sana. Batu tersebut hancur
berkeping- keping.
Bongkok Sepuh yang sebenarnya
tidak membenci Sumbaruni dan hanya merasa jengkel saja itu segera melepaskan
pukulan tenaga dalamnya melalui sodokan ujung tongkatnya ke arah datangnya
sinar putih tadi. Dari tongkat itu melesat sinar hijau lurus dan menghantam dua
pohon berjajar. Blaaar...!
Namun sebelum kedua pohon itu
tumbang bersamaan, dari balik pohon itu telah melesat sesosok bayangan hitam
yang cepat berkelebat bagaikan angin berpindah tempat. Sosok bayangan itu
akhirnya tampakkan diri dan Sumbaruni kenali orang tersebut yang tak lain
adalah Angin Betina.
"Kau rupanya?!"
Sumbaruni sunggingkan senyum sinis, karena ia tahu belakangan ini Angin Betina
adalah gadis yang sering bersama Suto Sinting. Rasa cemburu Sumbaruni timbul,
namun mampu dikendalikan dengan teratur.
"Aku ke sini hanya untuk
bikin perhitungan denganmu, Sumbaruni!"
Angin Betina bicara dengan
tegas dan jelas. Pandangan matanya menampakkan sinar permusuhan yang cukup
besar. Sumbaruni hanya sunggingkan senyum kian sinis, karena cepat mengerti
maksud Angin Betina yang tak lain pasti berkaitan dengan Suto Sinting.
Karenanya Sumbaruni berkata
kepada Bongkok Sepuh,
"Setan Arak,
menyingkirlah dulu di bawah pohon sana. Ini urusan perempuan!"
"Siapa bilang aku ingin
campuri urusanmu," kata Bongkok Sepuh sambil bersungut-sungut melangkah,
menjauhi kedua perempuan itu, berdiri di bawah pohon rindang sambil pegangi
tongkatnya."
Sumbaruni dekati Angin Betina
dan berkata dengan keras, "Perhitungan tentang apa maksudmu?!"
"Kau telah lumpuhkan
Suto, dan kau harus menebusnya dengan nyawa!"
"Tak salah dugaanku. Kau
adalah gadis bodoh yang tak mengerti bagaimana cara menyelamatkan seseorang
yang dicintainya!"
Angin Betina diam saja.
Matanya memandang angker dengan rambut acak-acakan yang menambah seram raut
mukanya. Tangan kirinya memegang pedang bersama sarungnya, tangan kanannya
menggenggam di samping, tapi dalam sekejap dapat cabut pedang itu untuk lakukan
penyerangan.
Sumbaruni berkata lagi,
"Aku memang melumpuhkan Suto Sinting demi menyelamatkan jiwanya yang ingin
menghadapi Dara Cupanggeni alias Perawan Maha Sakti! Jika ia berhadapan dengan
Perawan Maha Sakti, maka dalam waktu dua kejap ia akan menjadi bangkai berbelatung
menjijikkan, karena Perawan Maha Sakti mempunyai dua ilmu unggulan; 'Darah
Gaib' dan 'Bias Dewa'. Kau mungkin masih belum tahu tentang dua ilmu unggulan
itu, karena kau memang masih hijau, Angin Betina!"
"Kurasa aku sudah mampu
memenggal kepalamu walau sehijau apa pun!"
Senyum sinis Sumbaruni yang
juga bernama Pelangi Sutera kala menjadi panglimanya Ratu Asmaradani, penguasa
negeri bawah laut itu, kembali membias di depan mata Angin Betina. Senyum itu
berkesan meremehkan dan memancing hasrat pertempuran di hati Angin Betina.
"Dengar, Gadis
Bodoh...!" kata Sumbaruni seenaknya saja. "Kalau kau tak ingin
pendekar tampan itu celaka, jangan izinkan dia menemui Perawan Maha Sakti.
Cegah dia dengan berbagai cara, supaya kita tetap bisa bertemu dengannya kapan
saja!"
"Kau tak perlu
memerintahku, Sumbaruni! Aku hanya merasa perlu menuntut tindakanmu yang
melenyapkan segala kekuatan pada diri Suto!"
"Aku bisa memulihkannya
kembali kalau ia berjanji tidak akan menghadapi Perawan Maha Sakti!" kata
Sumbaruni dengan membanggakan diri.
"Pulihkan sekarang juga,
atau kutebaskan pedang ini ke lehermu!"
"Hei, jangan galak-galak
padaku, Gadis Bodoh! Kau bisa celaka sendiri kalau bersikap galak padaku!"
"Cabut pedangmu dan kita
tentukan siapa yang celaka!"
Angin Betina tak tersenyum
sedikit pun. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang. Sumbaruni memperhatikan
dengan kesan remeh. Lalu ia berkata sambil berpaling hendak meninggalkan Angin
Betina,
"Sebaiknya kuteruskan
mencari anakku daripada mengurusimu!"
Sumbaruni hendak bergerak
pergi, tapi Angin Betina maju sambil membentak,
"Selesaikan urusanmu
denganku, Sumbaruni!"
Sentakan itu membuat Sumbaruni
mulai tak sabar lagi. Kakinya segera berkelebat menendang dengan gerakkan tubuh
memutar balik. Wees...! Plaaak...! Tendangan putar itu ditangkis oleh tangan
Angin Betina yang menggenggam pedang dan sarungnya. Angin Betina cepat
memunggungi Sumbaruni, lalu tangan kanannya menyodokkan siku ke belakang. Jarak
yang rapat dengan lawan membuat siku itu berhasil kenai ulu hati Sumbaruni.
Duuhg...!
"Eehg...!"
Sumbaruni tersentak dengan
suara tertahan. Tapi dengan cepat tangannya menghantam tengkuk kepala Angin
Betina. Wuuut...! Tepat tangan menyentak tubuh Angin Betina merunduk dan kedua
kakinya menjejak ke belakang dengan sangat cepat bagaikan seekor kuda menyepak
lawan. Bluuhg...!
Perut Sumbaruni menjadi
sasaran kedua kaki bertenaga dalam itu. Tubuhnya pun melayang ke belakang namun
cepat diatas dengan sentakkan kaki di atas batu. Sentakan kaki itu membuat
tubuh Sumbaruni melenting di udara dan bersalto maju satu kali. Wuuuk... !
Jleeg...!
Sumbaruni mendarat dengan
sigap. Kedua kakinya sedikit merenggang, napasnya tertarik panjang untuk atasi
rasa mual akibat tendangan tadi. Sedangkan Angin Betina sudah sejak tadi siap
mencabut pedang dengan mata angker memandangi lawannya. Sementara itu, Bongkok
Sepuh membatin dari kejauhan,
"Bocah liar itu punya
gerakan cukup hebat. Cepat dan tepat! Sumbaruni bisa tumbang kalau dia
meremehkan bocah liar itu."
Sumbaruni pun juga membatin,
"Agaknya aku tak boleh main-main dengannya. Ia bersungguh-sungguh ingin
menuntut balas dan mencelakakan diriku. Benar- benar gadis bodoh! Aku harus
memberi pelajaran padanya!"
Pedang di punggung Sumbaruni
sengaja tidak dicabut. Ia segera melepaskan jurus 'Anak Rembulan' dengan maksud
ingin lumpuhkan Angin Betina. Kilatan cahaya kuning terlepas dari kibasan
tangannya.
Tetapi Angin Betina yang sudah
siaga dari tadi segera hentakkan kaki yang membuat tubuhnya melonjak tinggi,
lalu dari tangan kanannya terlepaslah sinar putih perak menghantam sinar kuning
tersebut. Claaap...! Blaaar... !
Asap mengepul dari ledakan
besar itu. Angin Betina daratkan kakinya ke tanah. Namun baru saja mendarat,
empat larik sinar biru dari empat jari kanan Sumbaruni menghantamnya dengan
gerakan cepat. Zraaab...!
Angin Betina sudah telanjur
menapakkan kaki, mau tak mau ia hadapi sinar biru empat larik itu dengan
mencabut pedangnya dan mengibaskannya ke samping. Kibasan pedang itu keluarkan
nyala sinar putih perak menyilaukan dan berbenturan dengan keempat sinar biru
tadi.
Slaaap...! Blegaaarrr...!
Angin Betina terlempar sendiri
karena gelombang hentakan tenaga ledak tersebut. Sedangkan Sumbaruni melenting
ke atas dan bersalto di udara dua kali. Ketika tubuhnya mendarat ia melihat
Angin Betina baru saja hendak bangkit dari jatuhnya.
Maka dengan kekuatan tenaga
dalam jarak jauh, Sumbaruni sentakkan tangan kirinya. Wuuuut...! Tubuh Angin
Betina terlempar ke atas. Tangan kanan Sumbaruni segera digerakkan memutar
dalam satu ayunan kuat. Wuuut... ! Dan tubuh Angin Betina yang melayang itu
menjadi berputar cepat. Terjungkal tak mampu kuasai keseimbangan. Bahkan ketika
Sumbaruni gerakkan tangan kanannya ke kiri, tubuh Angin Betina terlempar keras
dan membentur pohon di sebelah kanannya.
Duuurrrr...! Beehg...!
"Uuhg...!" Angin
Betina meringis. Ia terkapar dengan dihujani rontokan daun-daun pohon yang
ditabraknya itu. Sumbaruni segera melesat mendekatinya.
Weess...!
Angin Betina yang pandangannya
sedikit buram itu tak tahu kalau Sumbaruni sudah berdiri di belakangnya.
Tahu-tahu rambutnya merasa ada yang menjambak dari belakang. Kepalanya diputar
cepat hingga menghadap Sumbaruni, lalu telapak tangan kiri Sumbaruni
dihantamkan ke wajah Angin Betina. Plook...!
"Uhg...!" Angin Betina
tersentak dan membentur pohon yang tadi juga.
Keadaan Angin Betina yang
menggeragap segera disambut dengan tendangan kaki kanan Sumbaruni yang mampu
bergerak cepat dan kenai perut sampai kepala lawan secara beruntun.
Des, des, des, des, des,
des... !
Lalu tubuh Sumbaruni memutar
dan kaki kirinya yang berkelebat menendang bagaikan menampar wajah Angin Betina
yang sudah melelehkan darah dari mulut.
Ploook... !
Weees...!
Tubuh Angin Betina terlempar
ke samping lima langkah jauhnya. Ia jatuh terpuruk di sana. Sekujur tulangnya
bagaikan patah semua. Seluruh isi perutnya terasa ingin dimuntahkan. Tendangan
bertenaga dalam secara beruntun tadi membuat darah keluar cukup banyak dari
mulutnya. Jika bukan orang berlapiskan tenaga dalam tinggi, Angin Betina pasti
sudah mati dihajar habis seperti itu. Ia mengalami luka remuk dalam. Tangannya
sudah tak kuat menggenggam pedang lagi, sehingga pedang itu terlepas dan jatuh
dalam jarak lebih dari satu jangkauannya.
Bongkok Sepuh membatin,
"Bocah liar itu bisa mati di tangan Sumbaruni kalau Sumbaruni mau
pergunakan pedangnya. Tapi mengapa Sumbaruni agaknya tak mau membinasakan gadis
liar itu?"
"Di mana Suto!
Katakan!" bentak Sumbaruni sambil berdiri di samping Angin Betina yang
berusaha bangkit dengan berlutut. Angin Betina tidak menjawab. Sumbaruni
menendang pinggang Angin Betina dengan seenaknya. Buuhg... !
Tendangan itu pasti bertenaga
dalam juga, terbukti tubuh Angin Betina dapat terlempar empat langkah jauhnya
dari tempatnya ditendang. Darah kembali keluar dari mulut Angin Betina yang
tersungkur di sana.
Kepala Bongkok Sepuh
manggut-manggut, "Rupanya alasan itulah yang membuat Sumbaruni tak berani
membunuh gadis liar itu. Ia butuh keterangan tentang di mana Suto Sinting
disembunyikan. Hmmm... tapi, hei...?! Siapa itu yang datang kemari dari arah
sana? Oh, bahaya...!" Zlaaap...!
Sumbaruni tak tahu kalau
Bongkok Sepuh telah lenyap larikan diri. Perhatian Sumbaruni masih tertuju pada
Angin Betina dengan kemarahan yang berusaha tidak dilepaskan seluruhnya.
"Kalau kau tak mau
katakan, aku akan menghajarmu lebih parah lagi!" sentak Sumbaruni. Angin
Betina masih diam, memendam murka yang tak mampu dilepaskan karena sekujur
tubuhnya bagai kehilangan daya lagi. Tulang-tulangnya seakan remuk semua,
dipakai bergerak terasa sangat sakit. Bahkan untuk bernapas pun sakit. Ulu
hatinya bagai diganjal dengan mata pisau yang jika digunakan untuk menarik
napas terasa perih.
Tiba-tiba Sumbaruni mendengar
suara tepukan pelan bernada mencemoohkan kemenangannya terhadap Angin Betina. Sumbaruni
buru-buru berpaling ke belakang dan hatinya sempat terkejut melihat sesosok
wanita cantik rambutnya digulung di tengah kepala dengan dililit pita hijau
muda.
"Perawan Maha
Sakti...?!" desahnya dalam hati yang menjadi tegang. Tapi Sumbaruni berusaha
sembunyikan perasaan cemas dan ketegangannya dengan melangkah
dekati Dara Cupanggeni,
tinggalkan Angin Betina.
"Siapa kau?" sapa
Sumbaruni berlagak tak mengenal pendatang baru itu.
"Aku murid Sunti Rahim.
Namaku Dara Cupanggeni. Julukanku Perawan Maha Sakti! Mungkin baru sekarang kau
melihatku, demikian juga aku melihatmu. Tapi aku cukup salut melihat
kemenanganmu. Kau pasti orang hebat dan berilmu tinggi!"
Sumbaruni tidak kasih jawaban
apa-apa. Matanya menatap tak berkedip, mulutnya terkatup rapat, tapi batinnya
berkecamuk sendiri. Akhirnya Perawan Maha Sakti perdengarkan suaranya lagi,
"Siapa namamu,
Sobat?!"
"Pelangi Sutera!"
jawab Sumbaruni sengaja menyembunyikan nama aslinya. Sebab nama aslinya itu
tentunya dikenal pula oleh guru Perawan Maha Sakti. Sumbaruni menjaga keadaan
agar jangan menjadi panas, karena ia belum siap hadapi Perawan Maha Sakti
dengan ilmu 'Bias Dewa'-nya.
Angin Betina mendengar nama
Perawan Maha Sakti disebutkan. Ia bergegas bangkit untuk melihat dengan lebih
jelas lagi sosok gadis yang ditakuti Sumbaruni, dan yang membuat Sumbaruni
melarang Suto berhadapan dengan gadis berjuluk Perawan Maha Sakti itu. Tapi
kekuatan Angin Betina sangat terbatas, sehingga ia hanya bisa duduk bersandar
di bawah pohon itu sambil meraih pedangnya.
"Agaknya lawanmu sebentar
lagi kehilangan nyawa, Pelangi Sutera. Rupanya kau orang berilmu tinggi.
Bagaimana jika ilmumu
diajarkan kepadaku sekitar tiga- empat jurus saja?!"
Sumbaruni diam karena memilih
jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa dirinya sedang dipancing untuk lakukan
pertarungan. Ia tak mau terpancing saat itu. Karenanya ia pun segera bertanya,
"Apa maksudmu berkata
begitu? Hendak menantangku?!"
Perawan Maha Sakti tersenyum
angkuh. "Kalau kau merasa mampu melawanku, anggap saja kata-kataku tadi
adalah sebuah tantangan bagimu. Bagaimana?"
"Kita tak punya persoalan
apa-apa, Dara Cupanggeni. Mengapa harus saling beradu nyawa?"
"Karena aku selalu ingin
membuat orang sakti mana pun bertekuk lutut di hadapanku. Jadi jika sekarang
kau mau berlutut di depanku dan mengakui kesaktianku, maka pertarungan itu
tidak pernah ada!"
"Keparat betul anak
ini!" geram batin Sumbaruni. Matanya melirik ke arah seberang, ternyata di
sana sudah tidak ada Bongkok Sepuh. Batin Sumbaruni berucap lanjut,
"Pantas Setan Arak sudah
menghilang lebih dulu, karena dia tahu yang akan datang adalah Perawan Maha
Sakti. Hmmm... bocah ini benar-benar pintar memancing kemarahan seseorang. Aku
harus lebih hati-hati lagi menghadapi pancingannya."
Terdengar suara Perawan Maha
Sakti berseru, "Mengapa diam saja, Pelangi Sutera?! Apakah kau sangsi
dengan pengakuanku, bahwa aku adalah Perawan Maha Sakti yang layak dihormati?
Kalau kau sangsi, apakah kau ingin mencoba bermain dua-tiga jurus
denganku?"
Sumbaruni tetap diam.
Tantangan itu sebenarnya memanaskan darah, tapi Sumbaruni tetap mengendalikan
hawa murkanya. Sedangkan Angin Betina yang mendengar lagak bicara Perawan Maha
Sakti itu ikut dibakar kemarahan. Kalau saja keadaannya tidak terluka cukup
parah, Angin Betina pasti akan menerjang Perawan Maha Sakti tak peduli apa pun
akibatnya nanti.
"Hei, apakah kau
tiba-tiba menjadi tuli, Pelangi Sutera?" Perawan Maha Sakti dekati
Sumbaruni. Yang dilakukan Sumbaruni hanya menarik napas.
Gadis itu berkata lagi,
"Berlututlah sekarang juga sebagai tanda kau mengakui kehebatanku!"
"Persetan dengan
kata-katamu, Dara Cupanggeni!" geram Sumbaruni dengan gigi menggeletuk dan
mata menyipit. Tapi hal itu justru membuat Perawan Maha Sakti tertawa
kegirangan.
"Bagus! Kau sudah berani
memakiku, itu bagus! Berarti kau berani melawanku!"
"Apa yang kutakuti dari
dirimu?!" kata Sumbaruni bagai penuh dendam. Sambungnya lagi,
"Jika kau ingin adu
kesaktian denganku, jangan sekarang! Sebab sekarang aku masih punya urusan
dengan pihak lain! Tentukan tempatnya di mana kita akan bertanding laga satu
lawan satu?!"
Rupanya Sumbaruni tak mau
terhina dan diremehkan begitu saja. Ia sengaja mengulur waktu untuk menunda
hasrat Dara Cupanggeni yang ingin melawannya.
"Bagus sekali! Aku suka
jiwa-jiwa pemberani sepertimu, Pelangi Sutera. Aku punya tempat pertarungan
tersendiri. Kau tahu letak Bukit Perawan?!"
"Ya," jawabnya
tegas.
"Aku membuka pertarungan
bebas di Bukit Perawan. Datanglah tiga hari lagi terhitung mulai esok! Kutunggu
kau di Bukit Perawan!" ucapnya sambil masih tersenyum sinis.
"Aku tak akan kecewakan
dirimu. Aku akan ada di sana tepat pada waktunya!"
Wuuut...! Sumbaruni tidak
memberi kesempatan Perawan Maha Sakti untuk bicara terlalu banyak lagi. Ia
segera pergi tinggalkan tempat itu. Perawan Maha Sakti hanya tertawa kecil
melihat kepergian Sumbaruni. Sesaat kemudian ia pun segera pergi ke arah timur.
Ia tak pedulikan Angin Betina, dianggap tak ada siapa pun di situ sejak
kepergian Sumbaruni.
Angin Betina sempat merasa
cemas karena kepergian Perawan Maha Sakti ke arah tempatnya menyembunyikan Suto
Sinting. Angin Betina khawatir gadis angkuh itu temukan Suto dan Suto akan
dihabisi di sana.
Sebab itu Angin Betina
kerahkan tenaga yang tersisa untuk segera pergi menyusul ke arah timur. Namun,
ketika ia mampu berdiri, baru satu langkah sudah terhuyung-huyung dan jatuh.
"Angin Betina...!"
seru sebuah suara yang tak lain adalah suara Suto Sinting. Pendekar tampan itu
terperanjat cemas melihat keadaan Angin Betina yang penuh luka memar dan mulut
serta hidungnya berdarah. Ia segera menghampirinya, memapah gadis itu ke tempat
teduh.
"Sumbaruni-kah yang
melakukannya?"
"Ya," jawab Angin
Betina pelan sekali.
Suto Sinting buru-buru membuka
tutup bumbung tuaknya sambil berkata, "Sudah kuingatkan, jangan hadapi
Sumbaruni. Dia tak mudah ditumbangkan!" Suto segera menyuruh Angin Betina
meminum tuaknya.
Sesaat kemudian Suto berkata,
"Aku akan ke pondoknya Resi Wulung Gading untuk meminjam Pedang Kayu
Petir. Aku akan kalahkan Perawan Maha Sakti dengan pedang itu."
Angin Betina gelengkan kepala.
"Justru aku pergi dari sana mau kasih tahu kau, bahwa Resi pergi berziarah
ke makam Nini Galih sambil membawa pedang itu."
"Celaka!" gumam
Suto. "Aku tak tahu di mana makam Eyang Nini Galih?!"
***6
MENDENGAR cerita dari Angin
Betina, Pendekar Mabuk menjadi cemaskan nasib Sumbaruni. Menurutnya, Sumbaruni
sendiri terlalu berani jika menerima tantangan itu. Suto Sinting yakin,
Sumbaruni akan binasa jika melawan Perawan Maha Sakti.
"Aku harus temui
Sumbaruni!" kata Suto sebelum mereka bergegas pergi.
"Untuk apa menemuinya?
Mau minta dilumpuhkan lagi?!"
"Justru aku yang ganti
akan melumpuhkannya!" tegas Suto Sinting. "Aku tak izinkan dia
menerima tantangan itu."
"Kalau dia berani,
mengapa harus dilarang? Itu haknya untuk menerima tantangan atau
menghindarinya!" Angin Betina agak ngotot, karena dalam hatinya sangat
setuju jika Sumbaruni maju ke pertarungan. Dengan begitu, Sumbaruni akan
tumbang di tangan Perawan Maha Sakti. Jika Sumbaruni tumbang, menurut Angin Betina
ia akan bebas mendekati Suto dan tak ada yang mengganggu dengan
kecemburuan-kecemburuan seperti yang terjadi belakangan ini.
Pendekar Mabuk sendiri paham
dengan maksud hati Angin Betina. Karenanya, ia segera membendung hasratnya yang
ingin menggagalkan pertarungan Sumbaruni melawan Perawan Maha Sakti. Tetapi
pada dasarnya, sebelum hari pertarungan itu tiba, Suto Sinting harus bisa
melumpuhkan Perawan Maha Sakti.
Satu- satunya cara ialah
dengan meminjam Pedang Kayu Petir. Karena Pedang Kayu Petir saat itu dibawa
berziarah oleh Resi Wulung Gading, sedangkan Suto tidak tahu di mana makam Nini
Galih, gurunya Bidadari Jalang itu, maka Suto harus pergi ke Lembah Badai untuk
temui Bidadari Jalang dan tanyakan letak makam itu.
"Aku setuju, dan aku ikut
ke sana!" kata Angin Betina.
Maka pergilah mereka menuju ke
Lembah Badai. Jalan pintas tercepat untuk menuju Lembah Badai melalui arah
timur. Angin Betina mencegah langkah Suto.
"Sebaiknya lewat arah
lain saja, sebab Perawan Maha Sakti tadi melesat ke arah timur. Kita hindari
perjumpaan dengannya sebelum kita dapatkan pedang pusaka itu."
Mau tak mau Suto Sinting
merubah arah ke selatan. Angin Betina hampir tertinggal ketika Suto Sinting
gunakan 'Gerak Siluman'-nya. Ternyata gerakan itu mempunyai kecepatan melebihi
angin, sehingga Angin Betina benar-benar tertinggal dalam jarak tak begitu
jauh. Gadis itu berseru dengan dongkol karena merasa tak mampu menyamai gerakan
Suto. Akibatnya Suto Sinting kurangi kecepatan larinya sehingga mereka bisa
melesat dalam seiring.
"Ternyata kecepatan jurus
'Jejak Kilat'-ku tidak bisa mengungguli kecepatan gerakmu, Suto," kata
Angin Betina mengakui kelebihan Pendekar Mabuk.
"Kalau kau mau perdalam
jurusmu itu, kau bisa samai gerakanku."
"Apakah kau mau ajarkan
jurus 'Gerak Siluman'-mu itu?"
"Tak terlalu sulit untuk
mengajarkannya padamu, karena kau sudah punya dasar gerakan kilat seperti
ini!"
"Tapi...," ucapan
itu tak dilanjutkan, karena tiba-tiba mereka harus hentikan langkah. Seseorang
melesat di jalanan depan mereka. Mau tak mau mereka pun berhenti dan menatap
orang yang menghadang di depan jalan itu.
Suto Sinting berbisik kepada
Angin Betina, "Kau masih ingat orang itu?"
"Ya. Dia si tampan
berjuluk Dewa Rayu!"
"Tepat sekali. Ternyata
ingatanmu sangat tajam untuk wajah-wajah tampan," goda Suto Sinting sambil
dekati pemuda berkumis tipis yang menghadang jalan mereka itu. Angin Betina
hanya bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas.
"Rupanya kau telah sehat
kembali, Dewa Rayu," sapa Suto Sinting, sebab Dewa Rayu beberapa waktu
yang lalu terluka parah karena dihajar habis oleh Lancang Puri, keponakannya
Nyai Gandrik. Dan Nyai Gandrik sendiri yang membawa lari tubuh Dewa Rayu dalam
keadaan terluka parah untuk dibawa ke Pulau Lanang dengan tujuan sangat
pribadi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kitab Lorong
Zaman").
Angin Betina menimpali
perkataan kepada Dewa Rayu, "Rupanya Nyai Gandrik telah mengobati luka-
lukamu dengan caranya sendiri, Dewa Rayu. Sayang kau kelihatan pucat dan letih.
Mungkin karena kewalahan melayani Nyai Gandrik!"
"Nyai Gandrik
curang!" kata Dewa Rayu. "Dia sembuhkan luka parahku, dia juga
menyembuhkan diriku dari pengaruh 'Racun Edan Cumbu', tapi dia tanamkan 'Racun
Cumbu Abadi' dalam diriku, sehingga... hasratku untuk bercinta tak pernah ada
puasnya."
Angin Betina sembunyikan tawa
geli. Ia tahu bahwa Nyai Gandrik termasuk tokoh tua jago pelet. Hasrat kepada
lelaki sangat besar, sebab ia mempunyai penyakit yang membuatnya akan mati jika
dalam satu purnama tidak bercumbu dengan lelaki. Sebab itu Angin Betina tak
heran jika Dewa Rayu ingin dikuasai Nyai Gandrik dengan cara menanamkan 'Racun
Cumbu Abadi', supaya pemuda tampan dan perkasa itu selalu mempunyai kebutuhan
yang sama dengannya.
"Apa kekuatan dan
bahayanya 'Racun Cumbu Abadi' itu?" tanya Suto.
"Setiap saat hasratku
menyala-nyala. Jika hasrat bercumbu kutahan sampai tiga hari, maka aku akan
kehilangan tenaga. Lebih dari tiga hari, aku akan menjadi lumpuh. Genap tujuh
hari, aku akan mati rasa seumur hidup. Jadi aku selalu harus lakukan keinginan bercumbuku
untuk dapatkan kekuatan hidup."
"Tentu saja Nyai Gandrik
membuatmu menjadi seperti itu, karena ia berharap kau mau melayaninya setiap
saat," ujar Angin Betina.
"Aku tahu, karenanya aku
lari darinya."
"Mengapa kau lari
darinya? Bukankah bersamanya kau akan tetap dapatkan kekuatan karena bisa
bercumbu kapan saja kalian inginkan?" kata Suto.
Dewa Rayu tundukkan kepala
sebentar, lalu berucap dengan memandang Suto.
"Aku telah membunuh
Lancang Puri, keponakannya."
"Oh...?!" Suto dan
Angin Betina sama-sama terperanjat.
"Bagaimana kau bisa
membunuh Lancang Puri, sedangkan setahuku Lancang Puri berilmu tinggi,"
Angin Betina bernada kurang percaya.
Dewa Rayu jelaskan,
"Lancang Puri memaksaku bercumbu tanpa setahu Nyai Gandrik. Kulayani dia,
tapi aku juga ingat dengan 'Racun Edan Cumbu'-nya yang membuatku akhirnya jadi
begini. Maka ketika ia sedang menikmati asmaranya, kutancapkan pisau di
punggungnya sebagai pembalasan atas dendam kekalahanku! Lalu... aku melarikan
diri dari Pulau Lanang."
Rupanya kejadian itu terjadi
saat Lancang Puri berkunjung ke Pulau Lanang yang dikuasai oleh bibinya itu.
Pada awalnya, Lancang Puri memang tidak bergairah kepada Dewa Rayu, mungkin
karena masih dalam keadaan memusatkan pikiran ke masalah Kitab Lorong Zaman.
Tetapi lama kelamaan,
seringnya Lancang Puri melihat bibinya bermesraan dengan Dewa Rayu, hasratnya
menjadi terbakar. Rasa penasaran dan ingin mencoba menambah hasrat bercumbunya
kian besar, sehingga Lancang Puri pun melepaskan hasrat itu kepada Dewa Rayu. Ia
tidak menyangka kalau Dewa Rayu ternyata masih punya dendam kekalahan tempo
hari yang membuat Dewa Rayu akhirnya menderita ancaman 'Racun Cumbu Abadi'.
"Lalu, apa maksudmu
menghadang langkah kami di sini, Dewa Rayu?" lanjut Pendekar Mabuk dalam
sapaannya.
"Aku merasa sudah mulai
kehabisan tenaga. Aku butuh seorang perempuan."
"Apa maksudmu?!"
hardik Angin Betina mulai curiga.
Dewa Rayu berwajah sedih. Ia
sulit menjawab, namun akhirnya dipaksakan juga untuk bicara apa adanya.
"Aku membutuhkan
kau!"
"Edan!" sentak Angin
Betina.
"Sudah dua hari aku tidak
melakukannya. Sekarang hari ketiga. Badanku sudah mulai merasa lemas."
"Persetan dengan badanmu!
Kau anggap apa aku ini, sehingga kau berani menghadangku dan membutuhkan diriku
untuk melayanimu?!"
"Jika memang terpaksa,
mungkin aku harus melakukannya dengan kekerasan."
Suto Sinting tersenyum tipis.
Hatinya membatin, "Berani juga dia bersikap seperti ini di depan Angin
Betina. Apakah dia tidak perhitungkan bahwa aku ada di pihak Angin
Betina?"
Menurut dugaan Suto, hal itu
berani dilakukan oleh Dewa Rayu karena pemuda bekas anak Raja Pengging itu
sudah sangat kepepet. Mungkin sejak tadi ia tidak temukan perempuan di hutan
itu, sehingga ketika melihat Angin Betina ia beranikan diri untuk menyatakan maksudnya.
Tak heran jika Angin Betina
pun tersinggung dengan pernyataan Dewa Rayu, apalagi diucapkan di depan Suto,
sebagai orang yang dicintai, tentu saja Angin Betina akan tunjukkan sikap
menantang keras ajakan Dewa Rayu, sekalipun Dewa Rayu punya ketampanan yang
hampir senilai dengan ketampanan si Pendekar Mabuk. Setidaknya saat-saat
seperti ini adalah saat kesempatan bagi Angin Betina untuk tunjukkan kesetiaan
hatinya kepada Suto Sinting.
Wajar-wajar saja jika Angin
Betina segera cabut pedangnya dan berkata dengan suara keras,
"Kupertaruhkan nyawaku
untuk menjaga kehormatanku! Kalau kau memang inginkan tubuhku dan berani
memaksaku, aku pun inginkan nyawamu dan berani memenggalmu, Dewa Rayu."
Sraang...! Pedang pemuda
berkumis tipis itu juga dicabut dari sarungnya dengan tenang.
"Lebih baik aku mati
dalam pertarungan daripada menjadi lumpuh dan mati rasa seumur hidupi"
"Wah, benar-benar nekat
anak ini!" gumam Suto membatin dengan perasaan geli. Ketika Angin Betina
dan Dewa Rayu mulai bersiap untuk saling lepaskan serangan, Pendekar Mabuk
segera berseru dengan sunggingkan senyum meremehkan pertarungan tersebut.
"Tahan amarahmu, Angin
Betina!"
"Minggirlah kau, biar
kutangani sendiri penghinaan pribadiku ini!"
"Tahanlah. Ada jalan yang
lebih baik daripada harus beradu nyawa begini," ujar Suto Sinting dengan
kalem, ia masuk ke pertengahan jarak antara Angin Betina dengan Dewa Rayu.
"Dewa Rayu, mendekatlah
kemari. Barangkali tuakku bisa lenyapkan kekuatan 'Racun Cumbu Abadi'
itu!"
"Tuakmu tidak punya kekuatan
apa-apa. Aku masih ingat saat kau guyur wajahku dengan tuakmu, ternyata aku
masih dalam pengaruh 'Racun Edan Cumbu'-nya si Lancang Puri."
"Barangkali kekuatan
'Racun Edan Cumbu' dengan 'Racun Cumbu Abadi' agak berbeda. Cobalah dulu, siapa
tahu 'Racun Cumbu Abadi' bisa ditawarkan dengan tuakku!"
Pada mulanya Dewa Rayu ngotot
tidak mau meminum tuak, melainkan butuh seorang perempuan. Angin Betina yang
sudah sangat muak itu hampir- hampijr menebaskan pedangnya ke leher Dewa Rayu.
Tapi berkat kesabaran Suto dalam membujuk, akhirnya Dewa Rayu mau meminum tuak
dari bumbung bambu itu.
Rupanya kekuatan 'Racun Cumbu
Abadi' cukup besar. Racun itu jika bercampur dengan tuak hanya akan datangkan
rasa kantuk yang amat kuat, namun tidak membuat racun itu menjadi tawar. Dewa
Rayu jatuh terkulai setelah sesaat menenggak tuak. Akhirnya ia tertidur di
bawah pohon dalam keadaan duduk bersandar.
"Setan itu malah
ngorok!" gerutu Angin Betina. "Tinggalkan saja dia! Untuk apa
mengurusinya?!"
"Tunggu sebentar, aku
jadi punya rencana sendiri untuknya."
"Rencana apa?"
"Memanfaatkannya untuk
menghadapi Perawan Maha Sakti."
Angin Betina pandangi Pendekar
Mabuk dengan perasaan heran, ia mencoba menduga rencana tersebut, membayangkan
pertarungan Dewa Rayu dengan Perawan Maha Sakti. Akhirnya Angin Betina mendesis
dan berkata,
"Dia pun akan hancur di
tangan Perawan Maha Sakti kalau benar Perawan Maha Sakti memiliki ilmu sehebat
itu."
"Mungkin pertarungannya
agak berbeda dengan pertarungan yang kau bayangkan."
"Kau akan menghantam
Perawan Maha Sakti dari belakang saat ia bertarung melawan Dewa Rayu?"
"Tidak. Seingatku, Guru
pernah berpesan padaku: 'Jika kau tak bisa atasi lawanmu dengan ilmu, atasi
lawanmu dengan kecerdasan otak'. Berarti aku harus gunakan siasat untuk
mengalahkan Perawan Maha Sakti."
"Siasat yang
bagaimana?"
Suto Sinting sunggingkan
senyum, seakan telah terbayang kemenangan di tangannya. Tapi ia tidak jelaskan
siasatnya itu. Ia hanya berkata,
"Carikan sebuah tempat
untuk menyembunyikan pemuda itu!"
Angin Betina mendesah malas.
Suto Sinting membujuk sampai akhirnya Angin Betina memandang ke sana-sini, lalu
berkata, "Seingatku di sebelah barat bukit ini ada gua yang biasa
digunakan bermalam para pengelana. Entah gua itu masih ada atau sudah tertutup,
aku kurang bisa memastikan. Tapi ada baiknya kalau kita periksa dulu ke
sana!"
Ternyata gua yang dimaksud
Angin Betina adalah gua yang pernah digunakan Suto untuk menolong mengobati
Raja Maut dalam peristiwa Ratu Tanpa Tapak. Gua itu masih ada. Tempatnya
termasuk bersih untuk sebuah gua di lereng bukit. Letaknya sedikit tersembunyi,
karena empat langkah di depan pintu gua terdapat tanaman semak yang rimbun
dengan sebatang pohon berdaun lebat. Menurut Suto Sinting, gua itu layak
dipakai untuk menyembunyikan Dewa Rayu.
Ketika mereka membawa masuk
Dewa Rayu yang tertidur itu, Angin Betina sempat menahan lengan Suto hingga
langkah Suto terhenti di pintu gua. Mata Angin Betina memandang ke arah timur.
Suto mengerti maksud Angin Betina, sehingga ia segera memandang ke arah timur
juga.
Lembah sebelah timur merupakan
tempat yang ditumbuhi pohon berjarak renggang, sehingga apa yang ada di lembah
itu dapat terlihat dengan jelas dari depan gua tersebut. Di sana terjadi
pertarungan yang tak asing lagi bagi Suto Sinting.
Perawan Maha Sakti ada di
lembah itu, hanya saja siapa lawannya kali ini masih belum diketahui Suto
Sinting. Dengan terburu-buru Suto Sinting masuk ke gua yang tidak terlalu dalam
tapi ditumbuhi banyak bebatuan datar yang menjulang di sana-sini itu. Ia
meletakkan tubuh Dewa Rayu yang masih tertidur pulas. Setelah itu ia berkata
kepada Angin Betina yang masih melongok ke luar, memandang ke arah lembah.
"Angin Betina, kau tunggu
di sini! Aku akan ke lembah timur sana!"
"Mau apa?!" Angin
Betina cemas bercampur curiga.
"Lakukan saja perintahku.
Tetaplah di sini dan jaga dia agar jangan sampai pergi," kata Suto seraya
bergegas keluar gua.
"Suto, apa yang akan kau
lakukan di sana? Katakan!"
"Nanti sepulangnya dari
sana akan kukatakan."
"Aku tidak ingin kau
bertarung melawannya!" geram Angin Betina sambil dekati wajah Suto dan
dipandanginya dalam jarak amat dekat. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum
menawan yang menjengkelkan hati Angin Betina.
"Aku tidak akan bertarung
dengannya. Kali ini kuturuti keinginanmu," ujar Suto sambil menepuk-nepuk
pipi Angin Betina. Sikap itu menyenangkan bagi Angin Betina. Tepukan pipi
diterima sebagai tepukan mesra.
Angin Betina merasa mendapat
perhatian, karena Suto mau turuti keinginannya untuk tidak bertarung dengan
Perawan Maha Sakti itu. Akibatnya, Angin Betina pun tak bisa tolak tugasnya
menjaga Dewa Rayu, sekalipun hatinya muak melihat pemuda tampan berkumis tipis
itu.
Pendekar Mabuk sempat meneguk
tuaknya lebih dulu sebelum tiba di pertarungan itu. Ketika sampai di balik pohon
dekat tempat pertarungan, ternyata lawan yang dihadapi Perawan Maha Sakti
adalah lelaki berjubah hitam yang usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya
kurus, rambutnya panjang, kuku tangannya panjang dan tajam-tajam. Suto tidak
mengenali siapa lelaki berwajah dingin itu. Karenanya ia sempat menyimak
percakapan mereka ketika mereka hentikan pertarungan sejenak, yaitu pada saat
lelaki berjubah hitam terpental karena pukulan jarak jauhnya Perawan Maha
Sakti.
"Sekali lagi kuberi
kesempatan padamu untuk tetap hidup, asal kau segera pulang dan memanggil
Gerhana Mandrasakti. Jangan sampai kesempatan yang kuberikan ini kucabut
kembali, Kucing Terbang!"
Suto membatin, "O,
rupanya kucing itu bernama Kucing Terbang. Dia pasti orang Tebing Karma, anak
buah Gerhana Mandrasakti.
Terdengar suara si Kucing
Terbang yang serak pada saat ia bangkit dari jatuhnya, "Tebus dulu nyawa
kedua saudara sepupuku itu, baru kuturuti perintahmu, Gadis Jalang!"
"Nyawa kedua saudaramu
adalah korban ketidaktaatannya kepada perintahku! Kalau waktu itu Kapak Iblis
dan Setan Akhirat segera pergi memanggil Gerhana Mandrasakti, mereka pasti akan
selamat sampai sekarang juga!"
"Untuk apa taat kepadamu?
Kau pikir siapa dirimu, hah?!" Kucing Terbang menampakkan sikap
bermusuhannya, sedikit pun tak merasa gentar menghadapi lawannya.
"Sekalipun menurut
mata-mata Tebing Karma yang melihat pertarunganmu dengan kedua saudaraku itu,
kau mempunyai jurus maut, tapi jangan merasa bangga dulu jika berhadapan
denganku; si Kucing Terbang! Jurus mautmu itu belum tentu bisa tandingi jurus
'Meong Seribu Kaki'! Majulah kalau kau mau tahu kehebatan jurusku: 'Meong
Seribu Kaki'!"
Suto Sinting menahan geli.
Tersenyum sambil geleng-gelengkan kepala. Hatinya membatin,
"Kucing Terbang terlalu
berani. Dia belum tahu kekuatan 'Bias Dewa'-nya Dara Cupanggeni. Biar pakai
jurus 'Meong Seribu Kaki' atau 'Meong Seribu Istri', tetap saja akan tumbang
jika Perawan Maha Sakti sudah lepaskan jurus 'Bias Dewa'-nya."
Beberapa saat setelah Suto
berpikir demikian, tiba- tiba ia rasakan dirinya tertegun mematung. Laaap...!
Jantung bagaikan berhenti, semuanya terasa mati. Ternyata saat itulah Perawan
Maha Sakti lepaskan jurus 'Bias Dewa'-nya yang menghantam leher Kucing Terbang.
Dees...!
Akibatnya bisa dibayangkan
sendiri; nasib Kucing Terbang seperti nasib Kapak Iblis dan Setan Akhirat. Ia
tumbang dan segera dikerumuni belatung dalam waktu beberapa saat saja.
Suto Sinting yang mulai sadar
kembali setelah nyala sinar merah dari telunjuk gadis itu padam, segera
memandang ke arah pertarungan dengan wajah sedikit tegang. Matanya lebih
tertuju pada mayat Kucing Terbang. Ia hanya geleng-gelengkan kepala merasa
prihatin melihat nasib korban jurus maut Itu.
Perawan Maha Sakti bermaksud
tinggalkan tempat. Suto Sinting bergegas keluar dari persembunyiannya, langsung
melompat dalam gerakan salto beberapa kali. Sampai akhirnya ia tapakkan kakinya
di tanah belakang gadis itu tanpa terdengar suara kaki menyentuh tanah.
"Dara...!" Suto
Sinting langsung menyapa. "Masih ingat aku tentunya!"
Perawan Maha Sakti yang
berpaling segera putar tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan Pendekar
Mabuk. Gadis itu masih diam memandang dengan wajah tanpa senyum. Sikap
bermusuhannya masih terbayang walau tipis. Tetapi Suto Sinting tampak tenang,
bahkan sunggingkan senyum ketampanannya.
"Kau ingin lanjutkan
pertarungan kita yang tertunda itu?!" tantang Perawan Maha Sakti secara
tak langsung.
Tetapi tantangan itu dijawab
dengan senyum lebar oleh Suto Sinting. Perawan Maha Sakti sempat membatin,
"Pantas namanya Suto Sinting, agaknya dia benar-benar sinting; ditantang
malah cengar-cengir?!"
"Menciptakan pertarungan
itu mudah," kata Suto. "Tapi menciptakan perdamaian itu susah."
Gadis cantik berbibir merekah
itu pandangi Suto tak berkedip. Ia tak tahu bahwa Pendekar Mabuk mempunyai satu
jurus yang sebenarnya sudah jarang digunakan. Jurus itu adalah pemberian dari
Bibi Gurunya, Bidadari Jalang yang sering dipergunakan semasa Bidadari Jalang
menjadi tokoh aliran hitam. Jurus tersebut sering mengembang dengan sendirinya,
tapi tidak terlalu parah bagi korbannya. Namun jika dipergunakan dengan
sengaja, jurus itu mampu membuat lawannya tak berkutik.
Seperti kata Ki Sonokeling,
gadis yang memiliki ilmu 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa' biasanya sangat berhati-
hati menjaga jiwanya. Ia mencoba untuk tidak jatuh cinta kepada lelaki sebelum
apa yang diinginkan dari dua ilmu itu terlaksana. Begitu pula Perawan Maha
Sakti, sekalipun Suto dipandangnya sebagai pemuda yang menawan, tampan, gagah,
dan perkasa, namun Perawan Maha Sakti menutup pintu hatinya untuk tidak
terpikat dengan pendekar tampan itu.
Hanya saja, di saat menjelang
senja tiba itu, pertemuannya dengan Pendekar Mabuk rupanya mempunyai makna lain
dalam hidup Perawan Maha Sakti. Suto Sinting pergunakan jurus pemberian
Bidadari Jalang yang dinamakan jurus 'Senyuman Iblis'. Dengan menahan napas
pada saat tersenyum, menyalurkan kekuatan batin dan hawa murni pada saat
memandang, maka memancarlah kekuatan gaib yang membuat senyuman itu luar biasa
memikatnya.
Andai pada waktu itu Perawan
Maha Sakti pejamkan mata, maka ia tidak akan terperangkap gelombang gaib
senyuman Suto Sinting. Tapi karena Perawan Maha Sakti justru memandang tanpa
berkedip dan menikmati keindahan senyuman tersebut, maka hatinya menjadi
berdebar-debar dan berbunga indah. Semakin lama mereka saling pandang, semakin
lama gadis itu menikmati senyuman Suto, semakin resah jiwanya dan bayangan
kemesraan bercumbu menggoda hati, tak bisa dihindari lagi.
"Celaka! Dia begitu
menggetarkan hatiku dan batinku menuntut kemesraan. Aduh...! Aku tak bisa
mengatasi rasa terpikatku ini. Kurang ajar sekali pemuda yang satu ini.
Sikapnya benar-benar menyenangkan hatiku, membuat khayalanku terbang ke
mana-mana. Oh, Dewa... baru sekarang kuperhatikan bahwa senyumnya benar-benar
enak dinikmati. Wajahnya yang tampan, sangat serasi dengan tubuhnya yang kekar,
berotot, perkasa, dan... oh, kulihat genangan keringatnya membersit di leher,
mengalir sampai di dadanya. Oh, Dewa... bagaimana cara menghentikan khayalanku
ini?!"
Sementara itu, Pendekar Mabuk
pun membatin, "Kau boleh andalkan ilmu 'Darah Gaib'-mu untuk menolak
serangan-serangan keras, senjata tajam, dan tenaga dalam penghancur raga. Tapi
mampukah 'Darah Gaib'- mu itu menolak kehadiran 'Senyuman Iblis'-ku? Mampukah
kau bertahan jika batinmu yang kuserang dengan kemesraan? Mampukah kau
menghindari pancaran bunga cintaku jika hatimu yang kutuju? Oh, tingkahmu sudah
mulai serba salah. Mau apa kau? Kalau kutinggalkan, bagaimana? Mampukah kau
biarkan aku pergi?"
Suto Sinting yang punya ilmu
edan-edanan itu sering bersikap konyol. Ketika dilihatnya mata Perawan Maha
Sakti mulai redup dan menjadi sayu, senyum tipisnya kian mekar penuh harap,
napasnya mulai tampak tak teratur, bibirnya sering digigit sendiri, pandangan
matanya salah tingkah, saat seperti itulah yang dimanfaatkan Suto Sinting untuk
mempermainkan hati gadis itu dengan kekonyolannya.
"Dara Cupanggeni,"
ucap Suto dengan suara merdu yang kian menawan hati bagi gadis berjubah ungu
itu. Sang gadis segera angkat wajah dan pandangi Suto dengan menggigit bibir
bawahnya.
"Untuk melanjutkan
pertarungan kita yang tertunda itu, aku sama sekali tak keberatan. Satu-satunya
hal yang membuatku berat hati adalah jika sampai kulit halusmu itu tergores
atau terluka. Hatiku retak jika melihatmu sampai terluka. Aku sendiri tak tahu,
mengapa aku punya perasaan begitu. Bahkan aku merasa lebih rela kehilangan
nyawa dibandingkan harus melihat tubuhmu ada yang terluka."
Perawan Maha Sakti semakin
berdebar-debar indah mendengar ucapan itu. Sangkanya hati Suto benar-benar
tulus mengucapkan perasaan sebenarnya. Padahal kata- kata itu adalah seonggok
gombal yang sudah lama tak pernah digunakan oleh Suto Sinting. Kali ini ia
terpaksa menggunakannya demi runtuhkan kedua ilmu berbahaya itu.
Katanya lagi seraya mendekat
dan mengusap pipi gadis itu dengan punggang telapak tangannya, "Ilmu
setinggi apa pun bisa kucari dan kupelajari. Tapi kecantikan seperti ini hanya
ada satu di dunia, yaitu hanya kau pemiliknya."
"Jangan merayuku,"
ucapnya lirih sekali, hampir tak terdengar. Pandangan matanya semakin sayu
karena terbuai keindahan dalam hatinya.
"Kalau kata-kataku ini
kau anggap rayuan, izinkan aku merayumu beberapa saat sebelum akhirnya kita
harus bertarung. Tapi sesungguhnya apa yang kukatakan adalah curahan hatiku
yang sukar kubendung sejak aku harus berhadapan denganmu. Mestinya aku tak
ingin temui kau lagi, karena kau mempunyai ilmu yang dahsyat. Tetapi harapan
hatiku menuntut jiwaku untuk bisa bertemu denganmu walau untuk yang terakhir
kalinya. Harapan hati itu hanya semata-mata ingin curahkan perasaan yang
kukatakan ini. Hanya itu tujuanku menemuimu sore ini, Dara Cupanggeni. Setelah
itu, marilah kita ianjutkan pertarungan kita yang tertunda itu."
Perawan Maha Sakti menatap
sedikit mendongak karena Suto lebih tinggi darinya. Wajah ayu berbibir merekah
penuh gairah itu menggeleng pelan-pelan. Lalu terdengar suaranya bagai orang
mendesah dicekam asmara.
"Tidak. Aku tidak ingin
lanjutkan pertarungan denganmu. Aku... aku...," Perawan Maha Sakti
tundukkan wajahnya, terdengar lagi lanjutan katanya,
"Aku tak sanggup
bertarung melawanmu. Aku benar- benar tak sanggup."
Suto Sinting raih dagu gadis
itu dan diangkatnya pelan hingga matanya menatap lembut si mata sayu itu. Lalu
dengan senyum berkekuatan gaib, Suto Sinting berucap kata lirih,
"Jangan lemahkan hatimu.
Mari lanjutkan pertarungan kita."
"Tidak, Suto,"
ucapnya pelan sekali. Lalu gadis itu menggigit bibirnya sendiri, seperti ada
suatu perasaan yang ingin meledak dalam dadanya tapi ditahan kuat- kuat.
"Lalu apa yang kau
inginkan?"
"Hmmm... ehh... ppe...
peluklah aku walau sekejap saja, Suto."
Bukan Suto Sinting yang
memeluk, tapi Perawan Maha Sakti yang mendahului memeluk Suto. Kepalanya
disandarkan di dada Suto dengan mata terpejam seakan meresapi kehangatan yang
mengalir dari tubuh Pendekar Mabuk, sebab Pendekar Mabuk pun membalas pelukan
itu erat-erat. Perawan Maha Sakti merasa dirinya terbenam sangat dalam hingga
menyentuh kehangatan dasar hati Suto.
* * *7
SEMENTARA itu, Angin Betina
yang resah di dalam gua segera melongok keluar dan memandang ke arah lembah.
Matanya terbelalak, wajahnya bagai disiram air panas melihat Suto sedang
berpelukan dengan Dara Cupanggeni. Jantung Angin Betina seakan dibetot dari
dalam, terasa ingin meledak dadanya.
"Setan! Iblis! Peri!
Hantu! Buaya buntung...!" makinya dalam geram dengan kedua tangan
menggenggam kencang sekali. "Dasar sapi otak kerbau! Katanya mau
berhadapan dengan gadis itu ternyata malah berpelukan! Katanya bermusuhan
dengan gadis itu, nyatanya malah berkasih-kasihan. Uuuhhh...!" Angin
Betina jengkel sekali. Darahnya bagaikan mendidih dan mengguyur seluruh kepala.
Kedua kaki dan tangannya gemetar menahan amukan yang mendesak untuk meledak.
"Pendekar cap
tikus!" cacinya sambil mondar-mandir di dalam gua dengan pedang terhunus.
"Apa yang harus kulakukan jika begini?! Membantai mereka berdua? Atau
pergi meninggalkan mereka selamanya?! Uuhh...! Dasar lelaki mata keranjang,
mata serokan ikan, mata buaya, mata kucing, mata... mata sapi juga! Benci aku
padanya! benci aku! Benciiiii...!"
Duuurrr...! Sebongkah batu
ditendang langsung hancur menjadi kerikil-kerikil lembut. Kemarahan Angin
Betina berkobar karena kecemburuan dalam hatinya meluap-luap. Ia kembali masuk
ke dalam gua dengan mondar-mandir salah tingkah sendiri. Pedang yang sudah
dihunus ingin dipancungkan ke leher Dewa Rayu yang sedang tertidur, tapi niat
itu segera dibatalkan. Ia kembali melongok keluar, memandang ke lembah.
"Dasar buaya kampung
kumuh!" makinya lagi. "Dari tadi belum mau melepaskan pelukannya!
Iiih... benci aku! Benciii...!"
Plook... ! Angin Betina
menampar pipinya sendiri untuk lampiaskan kegeraman yang menyiksa batin itu.
Ketika ia melongok keluar lagi, ternyata di lembah sudah tidak ada Suto
Sinting.
Mata Angin Betina membelalak
tegang, mencari-cari Suto ke sekitar lembah dengan pandangan matanya yang
tersembunyi di celah bebatuan. Suto tidak kelihatan, tapi Perawan Maha Sakti
masih diam di sana, duduk di sebatang kayu pohon kering yang tumbang sudah
sekian lama.
"Ke mana si buaya kampung
kumuh itu? Mengapa tidak ada? Mengapa gadis itu masih di sana? O, aku tahu... !
Pasti si buaya kampung kumuh sedang cari tempat buat kencan mereka! Setan peot!
Sebaiknya kuhampiri gadis itu dan kuserang dari belakang sebelum dibawa kencan
oleh si buaya mata kodok!"
Rupanya Suto Sinting memang
berjanji akan kembali lagi, sehingga Perawan Maha Sakti masih menunggu di sana.
Suto Sinting pamit mau cari tempat buat tidur mereka, karena senja mulai tua
dan mereka harus punya tempat untuk bermalam. Perawan Maha Sakti setuju sekali,
bahkan hatinya yang sudah kasmaran itu bersorak kegirangan. Suto tidak langsung
menuju ke gua, melainkan mengambil jalan putar, sehingga ia muncul dari arah
sisi kiri gua tersebut.
"Hei, mau ke mana
kau?!" sergah Suto dengan suara berbisik ketika dilihatnya Angin Betina
hendak tinggalkan gua dengan pedang terhunus.
Angin Betina menatap dengan
mata mengecil tanda menyimpan benci. Bicaranya pun ketus. Giginya bagai tak mau
terbuka.
"Iblis kau, Suto! Peri
hamil busung kau!"
"Hei, hei... kenapa kau
marah begitu? Masuklah! Lekas masuk, kita bicaral"
Suto menarik lengan Angin
Betina untuk dibawa masuk ke gua. Angin Betina sentakkan lengannya dengan kasar
hingga terlepas dari genggaman Suto Sinting.
"Jangan sentuh diriku
lagi! Kau telah puas memeluknya!"
"Angin Betina, ini
siasat! Hanya siasat semata!"
"Siasat untuk menutupi
kerakusanmu?! Siasat untuk memuaskan hasratmu? Iya?!"
Angin Betina angkat pedangnya
untuk ditebaskan, Suto Sinting hanya merunduk dan menyilangkan tangannya seakan
ingin menangkis pedang itu dengan tangan.
"Tunggu dulu. Kujelaskan
dulu rencanaku!"
Angin Betina hempaskan napas
dengan dongkol sekali. Ia tak suka melihat Suto berpelukan dengan wanita lain,
tapi ia harus menahan rasa tak suka itu untuk dengarkan penjelasan dari
Pendekar Mabuk.
"Kau menyingkirlah dulu.
Pindah di tempat lain yang tersembunyi!"
"Apa...?! Kau menyuruhku
pergi dari gua ini dan gua ini akan kau pakai untuk bermesraan dengan gadis
liar itu?!" mata Angin Betina mendelik.
Suto masih menjaga sikap
sabarnya. "Tenang dulu, dengarlah penjelasanku!" Suto Sinting
mendekat. Angin Betina buang muka. Ia berkata lagi,
"Aku berhasil menjerat
hatinya. Ia terpikat padaku. Ia kasmaran padaku. Lalu kami sepakat untuk
mencari tempat buat bermalam. Ia senang sekali ketika kukatakan bahwa aku
berusaha mencari tempat yang nyaman dan enak untuk bermalam bersama. Ia bahkan
mau menungguku di sana, dan aku berjanji akan kembali lagi secepatnya."
Angin Betina menjauh,
memandang ke arah luar gua, melirik ke arah Dara Cupanggeni yang bagai perawan
setia menunggu sang kekasihnya datang. Suto Sinting bicara dari belakang Angin
Betina dengan suara pelan tapi jelas.
"Ia bergairah sekali
untuk tidur bersamaku. Aku berhasil memancing gairahnya dan dia...."
"Tentu saja dia bersedia
sekali tidur denganmu!" potong Angin Betina dengan ucapan cepat. Suto
Sinting sempat gelagapan, lalu tertawa kecil.
Angin Betina buang muka lagi
seraya berkata, "Dia boleh tidur denganmu jika dia bisa lepaskan nyawaku
dari raga! Akan kutantang dia sekarang juga!"
"Hei, tunggu dulu!"
cegah Suto Sinting menarik pundak Angin Betina.
Gadis berambut acak-acakan itu
menepiskan tangan Suto dengan kasar. Tapi ia tidak tahu bahwa saat ia
mengucapkan niatnya untuk menantang Perawan Maha Sakti, Suto telah lakukan
sesuatu di belakangnya; memejamkan mata dan mengarahkan wajahnya kepada Dewa
Rayu yang sedang tidur itu.
Maka ketika Angin Betina
berbalik arah dan memandang Suto dengan sengit, tiba-tiba wajah tegang itu
mengendur, mata sipit itu melebar, mulut runcing itu ternganga. Di belakang
Suto ia melihat sosok Suto Sinting sedang tertidur, sedangkan sosok Dewa Rayu
tidak ada.
Angin Betina jadi tergeragap,
"Lho, it... kok... kuk...
puas... di... nguk... ngok... ngek...."
Suto Sinting hanya tertawa
dengan mulut terbungkam, hingga yang terdengar hanya gumam terpatah-patah.
Katanya dalam senyum, "Makanya jangan salah anggap dulu. Dengarkan
penjelasanku, baru ngotot kalau memang tak setuju!"
"Tap... tapi... siapa
yang tidur itu?"
"Dewa Rayu!" jawab
Suto dengan kalem.
"Mengapa wajahnya,
perawakannya, pakaiannya, semuanya seperti dirimu?"
"Aku menggunakan ilmu
'Seberang Raga'. Biasanya ilmu 'Seberang Raga' kugunakan untuk mengecoh
pandangan lawan. Benda apa pun bisa menyerupai diriku dan akan kembali ke wujud
semula jika batinku sudah melepaskan ilmu 'Seberang Raga' itu."
"Jadi apa maksudmu?"
"Kupancing Perawan Maha
Sakti agar masuk ke gua ini. Dia akan menemui Dewa Rayu yang disangka diriku.
Lalu... tentu saja dia akan bermalam di gua ini bersama Dewa Rayu. Sementara
itu, kita mencari tempat lain untuk bersembunyi, tapi jangan jauh-jauh dari
sini untuk menjaga kalau terjadi sesuatu pada diri Dewa Rayu."
Angin Betina manggut-manggut
dengan kemarahan yang mereda. "Ternyata kau bukan buaya kampung kumuh,
tapi kancil mata keranjang!" ejek Angin Betina.
Suto hanya tersenyum.
"Sekarang, kita bangunkan dulu Dewa Rayu...!"
Dengan susah payah mereka
membangunkan Dewa Rayu. Percikan tuak di wajah Dewa Rayu baru bisa membuat
pemuda berkumis tipis yang sudah menjadi serupa betul dengan Suto itu
menggeragap dan bangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapatkan dirinya sudah
mengenakan pakaian mirip dengan Suto Sinting.
Tapi ia menjadi lebih
terbelalak melihat Angin Betina dan mulai mendesis dengan pandangan mata penuh
gairah. Dewa Rayu pun berkata kepada Suto,
"Tuakmu hanya bisa
membuatku mengantuk. Tapi hasratku untuk bercinta dengan seorang wanita masih
menyala-nyala. Semakin kuat mencekam jiwaku!"
"Karena itulah kau
kudandani seperti diriku!"
"Apa maksudmu
mendandaniku seperti ini?" tanyanya penuh keheranan. Bahkan ia juga merasa
heran melihat bumbung tuak ada di sampingnya.
Suto Sinting jelaskan,
"Kau akan kuberikan obat pelega jiwa. Tapi kau harus bisa berpura-pura
menjadi diriku."
"Aku tak mengerti
maksudmu?!" Dewa Rayu kerutkan dahi.
"Kami mau kasih kamu
perempuan!" sentak Angin Betina dengan kasar.
"Pokoknya nanti kalau ada
gadis cantik datang kemari berjuluk Perawan Maha Sakti, jangan kecewakan dia.
Turuti saja apa keinginannya. Kau tetap harus merasa menjadi Suto Sinting, tak
perlu sering-sering minum tuak tak apa, tapi kau harus merasa menjadi diriku
dan merasa sudah kenal lama dengan Perawan Maha Sakti."
"Mengapa begitu?"
"Karena aku punya kencan
dengan Perawan Maha Sakti, tapi tidak bisa melaksanakan. Aku harus temui
seorang tokoh tua yang sedang ziarah dan tak kutahu di mana makam itu. Aku dan
Angin Betina akan pergi, baik-baiklah di sini dan jangan ke mana-mana!"
Dalam hati Angin Betina kagum
dengan kecerdasan Suto Sinting. "Biar sinting tapi otaknya encer
juga!" katanya membatin sambil ia duduk di atas pohon berdaun rindang.
Sementara itu Suto Sinting sedang memancing Perawan Maha Sakti agar memasuki
gua tersebut. Angin Betina masih bisa pandangi pertemuan Suto dengan Perawan
Maha Sakti di lembah, karena pohon tempatnya bersembunyi tak jauh dari gua
tersebut.
Di sana, Suto Sinting kembali
mekarkan senyum pemikatnya. Hati Perawan Maha Sakti kian berbunga- bunga.
Senyum gadis itu menampakkan kegirangan hati yang sepertinya baru kali ini
dialami dan dirasakannya.
"Kusangka kau tak akan
kembali lagi."
"Kau pikir aku lelaki
yang bodoh?! Mana mungkin akan kubiarkan gadis secantik kau duduk sendirian di
sini sampai petang tiba?"
Mereka berhadap-hadapan,
jaraknya sangat dekat. Tangan Perawan Maha Sakti sempat berbuat nakal, mencubit
pipi Suto, mengusap rambut panjangnya, dan semua itu membuat Angin Betina di
atas pohon salah tingkah lagi. Ia lekas-lekas buang muka sambil menggerutu dan
bersungut-sungut,
"Mudah-mudahan lain kali
Suto tidak temui lawan yang seperti itu! Menyakitkan hati kalau dipandang.
Sudah kubilang jangan bersentuhan lagi, eeh... malah nempel! Ah, dasar buaya
kampung kumuh bermata kodok!"
Perawan Maha Sakti berkata,
"Sebentar lagi petang tiba. Apakah kau sudah dapatkan tempat untuk
bermalam?"
"Ya. Aku sudah dapatkan
sebuah gua di sebelah sana!" seraya Suto menunjukkan tempat gua tersebut.
Senyum gadis itu mekar berseri-seri, matanya tampak berbinar-binar penuh
kegembiraan.
"Kalau begitu, tak ada
jeleknya jika sekarang juga kita ke sana saja!"
Suto anggukkan kepala.
"Aku menjadi pelayanmu jika kau bisa mencapai gua itu lebih dulu
dariku."
"O, kau mengajak beradu
kecepatan lari? Baik! Kita mulai sekarang!"
Wees...!
Zlaaap...! Suto Sinting
menggunakan 'Gerak Siluman' hingga Perawan Maha Sakti tertinggal jauh. Tapi
gadis itu melihat Suto masuk ke gua tersebut. Padahal hanya masuk selintas,
kemudian keluar lagi dengan gerakan cepat yang nyaris tak tertangkap mata
Perawan Maha Sakti. Maklum, remang petang kian menua, sehingga mata gadis itu
sulit menangkap kelebatan bayangan Suto Sinting.
"Ternyata kau lebih dulu
sampai di sini," kata Perawan Maha Sakti kepada Dewa Rayu yang disangka
Suto Sinting. Dewa Rayu hanya tersenyum dan berkata,
"Cukup lama aku
menunggumu di sini. Tak sabar rasa hatiku untuk segera membawamu terbang
tinggi- tinggi."
"Terbang? Oh..., hi, hi,
hi, hi...!"
Suara tawa lirih terdengar
sampai di atas pohon tempat Suto dan Angin Betina bersembunyi. Jarak pohon
dengan gua yang tak seberapa jauh membuat suasana malam kian memperjelas
suara-suara mesra di dalam gua itu. Kadang terdengar suara cekikikan, kadang
terdengar suara desahan memanjang menyerupai erangan orang kesakitan. Sementara
mereka yang di atas pohon hanya bisa saling bungkam, membiarkan malam meluncur
bersama rembulan separo bagian, membiarkan suara- suara mesra berhamburan di
dalam gua sana. Angin Betina membayangkan apa yang terjadi di dalam gua itu,
terlalu kuat bayangan tersebut, akibatnya jantungnya berdetak-detak dan
tubuhnya berkeringat dingin.
"Suto," bisiknya
kepada Suto Sinting yang duduk di dahan sampingnya, "Aku berkeringat
dingin. Hi, hi, hi, hi...!"
"Pakailah bajuku kalau
kau kedinginan," balas Suto.
"Bukan kedinginan!"
sentak Angin Betina dalam bisik. "Aku tergoda dengan suara-suara mereka
itu."
"Kalau begitu, pejamkan
mata dan tidurlah. Biar aku saja yang menjaga mereka dari sini."
Dahan yang besar dan pipih itu
bisa dipakai untuk merebahkan badan. Suto Sinting tahu, Angin Betina bergairah
mendengar suara-suara mesra dari dalam gua. Apa yang diharapkan Angin Betina
juga diketahui Suto. Tapi Suto tidak mau memberikannya. Ia hanya menghibur hati
Angin Betina dengan membiarkan gadis itu berbaring di pangkuannya, rambutnya
diusap-usap oleh Suto, sampai akhirnya Angin Betina tertidur dengan sendirinya.
Suto sengaja tidak tidur,
sebab jika ia tidur maka pengaruh kekuatan ilmu 'Seberang Raga' akan lenyap.
Dewa Rayu menjadi wujud sebenarnya. Suto menjaga agar kekuatan ilmu itu masih
tetap ada sampai esok pagi. Setidaknya memberi kesempatan panjang bagi Dewa
Rayu untuk melenyapkan kedua ilmu andalan Perawan Maha Sakti yang amat
berbahaya itu.
Melintasi pertengahan malam,
ketika malam dicekam sepi, Suto Sinting mendengar suara isak tangis samar-
samar dari dalam gua tersebut. Angin Betina terbangun oleh suara tangis itu.
"Suara siapa?"
tanyanya kepada Suto.
"Jelas suara perempuan.
Pasti suara Dara Cupanggeni."
"Mengapa menangis? Apakah
Dewa Rayu berubah wujud?"
"Kurasa dia menangis
karena sadar bahwa kedua ilmu andalannya telah hilang!" jawab Suto pelan
sekali.
"Kalau begitu... dia
sudah tidak perawan lagi?"
"Mungkin saja begitu.
Tapi bisa jadi tangis itu disebabkan karena Dewa Rayu tak bisa memenuhi
seleranya, atau mungkin kakinya kejatuhan batu atau hal-hal lainnya."
"Bagaimana kalau kita
intip lebih dekat?"
"Jangan! Nanti keadaan
menjadi kacau-balau jika Dara Cupanggeni mengetahui aku ada di luar gua."
Sampai pagi tiba, Angin Betina
tidak bisa tidur lagi. Tapi mereka masih di atas pohon. Dan ketika matahari
mulai merayap naik, mereka melihat Perawan Maha Sakti keluar dari gua dalam
keadaan lesu.
'Hei, dia keluar sendirian.
Mana si Dewa Rayu? Mengapa tidak ikut keluar juga?" kata Angin Betina
berbisik.
"Jangan-jangan...
jangan-jangan Dewa Rayu dibunuh olehnya?!"
"Coba kau periksa gua
itu, dan aku akan mengikutinya dari belakang!" kata Angin Betina, lalu ia
melesat berpindah pohon tanpa timbulkan suara. Suto Sinting segera melesat ke
arah gua dengan melintasi dahan-dahan pohon lainnya. Dara Cupanggeni berjalan
dengan gontai, seperti orang putus asa.
Suto Sinting terkejut melihat
gua dalam keadaan kosong. Dewa Rayu tak ada di tempat, tapi baju dan celananya
tertinggal di sana, juga bumbung tuaknya.
"Ke mana perginya? Apakah
dia pergi tanpa kenakan pakaian apa-apa?"
Suto Sinting segera susul
kepergian Perawan Maha Sakti. Tapi pada waktu itu Perawan Maha Sakti sudah
terhenti langkahnya karena Angin Betina nekat menghadang dari arah depan.
Perawan Maha Sakti segera tegakkan badan dan pasang lagak sebagai orang yang
tidak mengalami duka apa pun.
"Siapa kau?" sapanya
dengan ketus kepada Angin Betina.
"Angin Betina! Aku
kekasih Suto! Kau ingat saat bertemu dengan Sumbaruni? Akulah yang dihajar
habis- habisan oleh perempuan itu."
"O, ya...! Aku ingat
tentang itu. Tapi aku tidak tahu kalau kau kekasih Pendekar Mabuk! Pendekar
tampan itu mengaku padaku tidak mempunyai kekasih siapa pun!"
"Kau telah ditipunya! Dan
kulihat semalam kau masuk ke gua bersamanya!"
"Ya, benar!"
jawabnya tegas penuh keberanian yang dlberani-beranikan.
Angin Betina pandangi wajah
itu, bahkan seluruh tubuh dari atas ke bawah dipandanginya. Angin Betina
temukan noda merah di leher Perawan Maha Sakti . Noda merah itu ada di kanan
dan kiri leher.
"Noda merah apa
itu?" pikir Angin Betina. "Pukulan maut atau ciuman maut?"
Perawan Maha Sakti merasa
kikuk dipandangi demikian, ia segera sentakkan suara untuk membuang
kekakuannya.
"Apa maksudmu
menghadangku?! Kau ingin tuduh aku yang membawa lari Suto Sinting itu?! Hmm...!
Kalau itu maumu, kau salah duga! Aku tidak membawa pergi Suto Sinting! Justru
aku merasa kecewa karena Suto telah dibawa lari seseorang ketika kami sedang
bercengkerama!"
Angin Betina terperanjat,
namun buru-buru ditutupi dengan tarikan napas.
"Siapa yang membawanya
lari?!"
"Tak kukenal! Aku tak sempat
mempertahankan karena aku ditotok melalui pandangan matanya yang tajam
itu!"
Angin Betina berpikir, "
apakah orang yang membawa lari itu tahu bahwa pemuda tersebut adalah Dewa Rayu?
Jangan-jangan Dewa Rayu diculik orang sebelum merenggut kesucian gadis ini?
Keadaanku gawat juga kalau ternyata gadis ini masih perawan. Berarti dia bisa
serang diriku dengan jurus 'Bias Dewa'-nya itu. Hmmm... sebaiknya aku
menyingkir saja sebelum luapan amarahnya dilampiaskan padaku!"
Tanpa pamit apa-apa Angin
Betina cepat-cepat pergi, berkelebat bagaikan angin pegunungan berhembus di
pagi hari. Gerakan cepat itu segera dihentikan ketika berpapasan dengan
Pendekar Mabuk.
"Bagaimana
keadaannya?"
"Gua kosong. Dewa Rayu
tak ada. Tapi pakaiannya ada di tempat."
"Berarti pengakuan gadis
itu memang benar," kata Angin Betina seperti bicara pada diri sendiri.
Lalu ia ceritakan apa yang diceritakan Perawan Maha Sakti. Suto Sinting
berkerut dahi, pertanyaan dalam benaknya sama dengan pertanyaan batin Angin
Betina.
"Apakah dia sudah
kehilangan kesuciannya saat Dewa Rayu diculik orang?"
"Aku tak tahu dengan
pasti. Aku hanya melihat noda merah di lehernya, yang menurutku adalah noda
kemesraan yang diberikan oleh Dewa Rayu."
"Berarti penculik itu
orang berilmu tinggi yang bisa menyelinap masuk ke dalam gua tanpa kulihat.
Padahal aku semalaman tidak tidur."
"Mungkin pada saat kau
memandang ke arah lain, penculik itu masuk ke gua dan membawa pergi Dewa Rayu.
Barangkali juga kejadiannya ketika tengah malam terdengar suara tangis. Itulah
suara tangis Dara Cupanggeni yang kehilangan Suto Sinting-nya!"
"Tapi menurutmu tadi, dia
ditotok dengan pandangan mata?!"
"Memang. Tapi totokan
yang bagaimana? Mungkin hanya totokan yang membuatnya tidak bisa bergerak
kecuali hanya bersuara dan menangis saja?"
"Kalau begitu...,' kata
Suto setelah diam. "Aku harus menjajal ilmunya. Aku akan bertarung dengan
Perawan Maha Sakti. Jika dia masih perawan, maka dia akan lepaskan jurus
mautnya itu. Tapi jika ia tidak perawan lagi, ia akan pergunakan jurus lain
yang tidak berbahaya!"
"Aku keberatan!"
debat Angin Betina. "Kalau ternyata dia masih perawan, belum sempat
direnggut Dewa Rayu, maka kau akan jadi korban jurus mautnya itu! Sebaiknya aku
saja yang mencoba bertarung dengannya!"
Suto berpikir, "Belum
tentu Angin Betina bisa hindari jurus mautnya. Daripada dia yang celaka, lebih
baik aku yang mencobanya dengan caraku sendiri. Seandainya Perawan Maha Sakti
sudah tak berilmu maut, siapa tahu ia masih punya ilmu dahsyat lainnya yang
sukar ditandingi oleh Angin Betina?"
Tiba-tiba Suto Sinting
gerakkan tangannya, menyentil tiga kali ke arah depan. Jurus 'Jari Guntur'
dilepaskan, segumpal tenaga melesat dari sentilan itu mengenai beberapa tempat
di tubuh Angin Betina. Perempuan itu terkejut sesaat, untuk selanjutnya
badannya tak bisa bergerak kecuali mulutnya yang berseru dengan marah,
"Setan kau, Suto!
Lepaskan totokan ini! Hei, Suto...! Lepaskan totokan ini atau kuhajar
kau!"
"Aku harus hadapi Perawan
Maha Sakti. Maafkan aku, nanti kulepaskan kalau aku sudah bertemu dia!"
"Buaya kampung miskin!
Jangan hadapi dia!" teriak Angin Betina, tapi Suto Sinting tetap melesat
dengan kecepatan gerak silumannya. Zlaaap...! Sebaris makian terdengar makin
kecil dan hilang karena kecepatan Suto mencapai tempat yang jauh dalam beberapa
kejap saja.
"Itu dia orangnya!"
Suto membatin. "Sebelum ia lepaskan jurus mautnya, aku harus mendahului
melepaskan pukulan jarak jauh. Jika ternyata masih belum bisa menembus lapisan
'Darah Gaib'-nya, berarti dia masih perawan dan aku harus cepat lari sebelum ia
membalas dengan jurus 'Bias Dewa'-nya."
Suto Sinting hentikan langkah
dalam jarak delapan tindak di belakang Perawan Maha Sakti. Ia menyapa dengan
satu sentakan, "Daraaa...!"
Gadis itu langsung berpaling
ke belakang. Ia terperanjat melihat Suto. Keceriaannya terlintas sekejap,
karena Suto Sinting segera lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru
besar dari telapak tangan. Ciaaap... !
Tentu saja munculnya sinar
biru itu mengejutkan bagi Perawan Maha Sakti. Dengan gerak naluri kedua
tangannya menghadang dada dan keluarkan sinar merah membias dari kedua telapak
tangan itu. Namun sebelum sinar merah sempat melesat, sinar birunya Suto dari
jurus 'Tangan Guntur' telah lebih dulu menghantam tangan bersinar merah itu.
Deeess...!
Blaaar..!
"Uuhg...!"
Terdengar pekik tertahan dari
mulut Perawan Maha Sakti. Gadis itu terlempar ke atas, melayang-layang dalam
keadaan tubuh berasap, menandakan jurus 'Tangan Guntur' berhasil kenai tubuh
lawan.
"Pukulanku kena sasaran?!
Berarti dia sudah tidak mempunyai lapisan 'Darah Gaib' lagi. Ilmu 'Bias Dewa'-
nya juga pasti telah hilang. Jika begitu... ternyata dia sudah tidak perawan
lagi?!"
Tubuh yang berasap itu tepat
jatuh di kedua tangan seseorang yang berkelebat dari balik sebatang pohon
besar. Brlleb...! Gerakannya sangat cepat, seimbang dengan kecepatan 'Gerak
Siluman'-nya Suto Sinting. Tokoh yang baru datang itu berambut putih, tapi
wajahnya masih cantik, hidungnya kecil bangir. Ia mengenakan jubah abu-abu
dengan pakaian dalamnya berwarna kuning gading. Matanya memandang tajam kepada
Suto, suaranya terdengar ketus penuh dendam.
"Tunggu pembalasanku!
Kalau sampai muridku ini tak tertolong, kuhancurkan dirimu di depan Bidadari
Jalang!"
Zlaaap...! Tokoh berambut
putih meriap-riap itu bagaikan lenyap. Suto Sinting tertegun bengong beberapa
saat, lalu hatinya membatin, "Berarti dia adalah Nyai Sunti Rahim; gurunya
Dara Cupanggeni?!"
Sambil menuju ke tempat Angin
Betina tertotok, Suto berbicara sendiri dalam hati, "Perawan Maha Sakti
sudah tak perawan lagi. Kedua ilmu mautnya sudah hilang. Buktinya jurus 'Tangan
Guntur'- ku bisa celakai dirinya. Syukurlah jika dua jurus maut itu telah
lenyap darinya. Cuma yang membuatku heran, siapa orang yang menculik Dewa Rayu
itu?"
SELESAI