KEGELAPAN malam bagaikan
selubung kematian warna hitam. Sekalipun langit cerah berbintang tanpa
rembulan, tapi tak sedikit pun bias sinar cerah ada yang menerangi jalanan di
ujung jembatan bambu. Jembatan itulah yang menghubungkan Tanah Merah dengan Lembah
Kabut.
Rindangnya dedaunan di sekitar
Jembatan bambu itu yang membuat kadang sinar rembulan pun tak bisa menerobos
masuk untuk menyinari jalanan penghubung itu. Sementara mereka yang akan
melintas dari Tanah Merah ke Lembah Kabut tak punya pilihan lain kecuali
melewati jalanan tersebut.
Karena di bawah Jembatan bambu
yang sering berderit reot jika terkena angin kencang itu adalah jurang yang
amat dalam dan tak mungkin bisa dilalui orang. Tetapi sudah tiga malam ini di
ujung jembatan nyala api lentera yang cukup menerangi keadaan sekitarnya.
Memang tak bisa sampai ke seberang jembatan bias sinar lentera itu, tapi
setidaknya bisa digunakan pemandu langkah sebelum memasuki jembatan bambu.
Seorang berpakaian putih
bersama kedua temannya ingin menyeberangi jembatan tersebut. Meraka dari Lembah
Kabut menuju Tanah Merah. Orang berpakaian putih itu berkata kepada kedua
temannya.
Ada lentera penerang jalan!
Lumayan bisa kita bawa sampai ke ujung jembatan, lalu kita tinggalkan di ujung
sana, biar orang dari sana nanti membawanya kembali dan meninggalkan di sini!.
"Ambillah! Memang sangat
beruntung membawa lentera melintasi jembatan. Setidaknya kaki kita tidak salah
langkah masuk ke jurang sedalam itu!"
Orang berpakaian putih itu
mengambil lentera dan menentengnya sambil melangkah menyeberangi jembatan. Dua
temannya mengikuti dari belakang. Langkah mereka sangat lancar karena
penerangan itu. Sekalipun jembatan bergoyang-goyang tapi langkah mereka menapak
dengan pasti. Dan ketika mereka sampai di seberang jembatan, lentera itu
diletakkan pada sebuah batu, biar dipakai menyeberang oleh orang lain yang mau
menuju ke Lembah Kabut.Namun tiga langkah setelah itu, orang berbaju putih
tiba-tiba jatuh, Brukk...! Ia mengerang sebentar. Temannya menolong, yang
berbaju kuning mengangkat kepala orang yang jatuh, yang berbaju hijau menarik
lengannya.
Tetapi si baju putih tiba-tiba
mengejang dan berkeringat sekujur tubuhnya . Kejap berikutnya si baju putih itu
pun tersentak, napasnya tertahan. lalu menghembus lepas dan tak bergerak lagi.
"Wirya...! Wiiir....!" temannya yang berbaju kuning menepuk-nepuk
pipi si baju putih itu. "Ya, ampuuun... dia mati, Kas!"
"Pasti ada orang yang
menyerangnya dengan senjata rahasia! " kata Kasmo, yang berbaju hijau itu.
"Coba periksa seluruh tubuhnya, Rantu!"
Segera yang berbaju kuning
bernama Rantu itu, memeriksa bagian punggung Wirya. Ternyata tak ada luka
seujung jarum pun. Juga di bagian sekitar tengkuk, leber, lengan, kaki, tak ada
luka bekas tusukan atau goresan senjata rahasia.
Hanya saja, Kasmo dan Rantu
menjadi heran melihat keringat Wirya begitu banyak dan berbau amis, seperti
amisnya darah. "Apa dia kena sambet penunggu jembatan itu ya,Kas?"
"Kurasa... Uhg...!
Uuhg...!"
"Kas...!
Kasmo....?!"
Kasmo mendelik, ingin
mengucapkan sesuatu tak bisa. Tubuhnya kejang seketika, lalu ia rubuh dalam
keadaan kaku. Matanya terbeliak, tubuhnya berkeringat, makin lama semakin
banyak keringat yang mengucur dari tubuhnya. Kejap berikutnya, Kasmo pun
menghembuskan napas terakhirnya.
"Kasmo...?!" pekik
Rantu dengan panik dan ketakutan, ia memandangi kedua temannya yang tahu-tahu
mati secara misterius itu. Ia segera bangkit dan melarikan dengan sekuat
tenaga. Namun belum sempat tiga tindak ia melangkah, tiba-tiba tubuhnya pun
terasa keras, kejang, dan ia rubuh ke tanah dalam keadaan menggelepar-gelepar
sebentar. Badannya mengucurkan keringat. Setelah itu napasnya pun tak
tertahankan lagi, lepas begitu saja untuk kemudian diam selama-lamanya.
Dalam waktu singkat, tiga
orang telah menjadi korban. Padahal mereka adalah orang-orang Lembah Kabut.
Orang-orang Lembah Kabut terkenal kuat dan ganas-ganas. Pada umumnya berilmu
tinggi karena di Lembah Kabut itulah terletak benteng Perguruan Kobra Hitam.
Perguruan ini sangat ditakuti di kalangan dunia persilatan, karena keganasan
ilmu yang dimiliki oleh masing-masing murid perguruan tersebut.
Tapi agaknya kematian yang
dialami oleh ketiga orang Lembah Kabut telah membuat seseorang terkikik geli
dan kegirangan di balik kerimbunan semak belukar itu. Suara kikik tawa yang
tertahan itu segera lenyap setelah terdengar langkah orang dari arah Tanah
Merah. Dua orang melangkah menuju Lembah Kabut, yang satu berpakaian
hitam-hitam, yang satu mengenakan pakaian putih-putih seperti Wirya tadi.
Mereka melangkah dengan gagahnya, karena di pinggang mereka terselip golok
panjang yang siap cabut dan bacok sewaktu waktu ada musuh menyerang.
Dua orang gagah berdada kekar
itu segera tersentak kaget melihat ketiga mayat bergelimpangan di jalanan ujung
jembatan bambu.
"Edan!" geram yang
berpakaian putih. 'Mereka mati di sini, Guntolo! Siapa yang menyerang
mereka?!"
"Periksa sekeliling
tempat ini, Cambang !" perintah yang berpakaian hitam-hitam.
"Kurasa pembunuhnya belum
jauh dari sini!"
Cambang ganti memerintah
Guntolo,
"Ambil lentera itu, kita
periksa bersama di sebelah timur itu!"
Dengan menenteng lentera
mereka memeriksa kerimbunan hutan sebelah timur. Sebentar kemudian mereka
memeriksa kerimbunan hutan yang di sebelah barat. "Tak ada manusia disini,
Gun!"
"Coba kita periksa sampal
di ujung jembatan sana!" "Bukankah itu wilayah kita?"
"Barangkali orang itu
sedang menyusup ke wilayah kita!" Cambang dan Guntolo bergegas
menyeberangi jembatan bambu. Langkah mereka tampak tergesa-gesa dengan mata
memandang nanar. Tiba-tiba Guntolo yang memegangi lentera itu tersentak,
"Uhg,..!"
"Gun! Kenapa...?!"
"Dadaku sakit!"
lentera diletakkan oleh Guntolo di atas sebuah batu datar setinggi pinggangnya.
Selesai meletakkan lentera tubuhnya limbung dan dipapah oleh Cambang.
"Gun, ada apa...?!"
Cambang menjadi tegang dan mulai cemas .
Guntolo mengejang, kejot-kejot
sebentar. Tubuhnya berkeringat deras . Amis baunya . Kemudian tubuh itu
tersentak satu kali, untuk kemudian melemas mati.
"Gun...?!
Guntolo...?!" Cambang mengguncang-guncang tubuh temannya itu. Namun
beberapapa saat kemudian, ia sendiri mengalami nasib seperti Guntolo. Kejang,
tak bisa bicara, mendelik, berkeringat banyak, dan bau amis, akhirnya
menghembuskan napas terakhir dengan terkulai lemas.
Suara tawa mengikik dari dalam
kerimbunan hutan itu terdengar lagi. Tapi tawa itu tertutup sesuatu, sepertinya
tangan orang Itu sendiri yang menutup mulutnya. Lima korban jatuh sudah. Apa
penyebabnya, tak jelas. Tapi sudah pasti ada saksi mata yang melihat kematian
aneh itu. Apakah saksi tersebut juga tahu penyebab kematian aneh tersebut?
Esoknya, gemparlah seluruh
Lembah Kabut membicarakan tentang kematian kelima orangnya. Peristiwa itu
sungguh membuat dunia seakan menjadi heboh, karena kematian lima korban itu
ternyata membawa korban lain.
Setiap orang yang mengangkut
korban tersebut beberapa saat kemudian mengalami nasib yang sama. Mengejang,
kaku, mata melotot, dan keluarkan keringat amis, setelan itu mati. Dalam waktu
singkat sembilan korban mati dengan keadaan sama seperti kelima korban malam
hari itu.
Kesembilan korban itu segera
ditolong, dirawat mayatnya, tapi toh tetap saja membawa korban baru sehingga
jumlah keseluruhan sampai siang hari ada dua puluh tiga korban yang mati aneh.
Kedua puluh tiga korban itu sama-sama keluarkan keringat berbau amis.
Perguruan Kobra Hitam ditimpa
musibah misterius. Logayo, sebagai ketua perguruan tersebut segera keluarkan
perintah,
"Jangan sentuh lagi
mayat-mayat korban!"
"Bagaimana kami mau
memakamkan mereka Ketua?!Mengapa Ketua melarang kami menyentuh mayat-mayat
saudara kami ini?!" Ekayana mengajukan pertanyaan yang bersifat menentang
keputusan dan perintah sang ketua.
Dengan suara penuh kegusaran
karena memendam murka, Logayo berseru kepada Ekayana,
"Matamu buta! Mayat-mayat
itu ternyata beracun, tahu?! Siapa yang menyentuhnya, akan tertular racun dan
mengalami mati yang sama dengan mayat sebelumnya! Dan racun itu amat ganas. Tak
memberi kesempatan bagi orang yang terkena untuk ber- obat ke mana pun juga!
Kalau kau ingin mati seperti mereka, sentulah mayat mereka, Ekayana!"
"Beracun...?!"
Ekayana menggumam, dahinya berkerut "Siapa yang mempunyai racun seganas
itu?!
"Ambil sebagian keringat
mereka memakai alat, dan suruh Brajawisnu menyelidikinya. Racun jenis apa dan
siapa pemiliknya!"
Ekayana adalah orang kedua
setelah Logayo. Ia banyak bertugas sebagai penghubung antara Logayo dengan para
anggota lainnya. Perguruan itu, bukan semata-mata tempat menimba ilmu dan
menuntut kesaktian tinggi, melainkan juga sebuah perkumpulan orang-orang sesat
yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kesenangan pribadi, atau
keuntungan bersama.
Braj awisnu adalah pakar racun
yang juga menjadi guru di situ. Jika para anggota atau murid Perguruan Kobra
Hitam ingin belajar ilmu racun, Brajawisnu-lah gurunya. Jika mereka ingin
memperdalam ilmu pedang, Ekayana-lah gurunya. Untuk setiap bagian mempunyai
setiap guru sendiri-sendiri. Ekayana mempunyai julukan sebagai Malaikat Maha
Pedang. Brajawisnu mempunyai julukan Iblis Maha Racun, dan sebagai ketua perkumpulan
orang sesat, Logayo mempunyai julukan sendiri, yaitu Dewa Murka.
Itulah sebabnya orang-orang
Tanah Merah heboh dan saling mengatakan, "Dewa Murka mengamuk! Dewa Murka
marah besar karena musibah yang menimpa Benteng Kobra Hitam!" Orang-orang
Tanah Merah bukan orang-orang seganas kelompoknya Logayo. Di Tanah Merah juga
ada perguruan, yaitu di seberang sebuah perkampungan orang-orang kate.
Penduduknya kerdil-kerdil dan
mempunyai masyarakat kerdil tersendiri. Hidup mereka dari bercocok tanam.
Karenanya, perkampungan itu dinamakan Perkampungan Orang Kate, cukup luas dan
banyak penduduknya.
Di seberang Perkampungan Orang
Kate itu terdapat sebuah perguruan yang bernama Perguruan Elang Putih, dipimpin
oleh seorang guru yang beraliran ilmu putih, bergelar si Embun Salju, ia
seorang perempuan tua yang awet muda, Cantik dan anggun laksana seorang ratu
yang bijaksana.
Tak banyak tokoh persilatan
yang tahu nama aslinya, karena setiap nama aslinya disebutkan, maka hujan petir
akan turun bersama deru hembusan badai yang mengamuk. Karenanya, para tokoh
rimba persilatan lebih sering menyebut namanya sebagai Embun Salju. Bagi mereka
yang sudah tahu nama asli Embun Salju, mereka tetap menyimpan nama itu, karena
tak mau kedatangan hujan petir dan amukan badai.
Perguruan Elang Putih ini
benar-benar perguruan murni yang mengajarkan ilmu-ilmu kebaikan . Mereka
menempati sebuah kuil kuno yang letaknya tak seberapa jauh dari pantai. Dan
perguruan ini pernah diserang oleh Perguruan Kobra Hitam, namun mereka
kehilangan jejak karena kuil tersebut bagaikan lenyap dimakan bumi beserta para
penghuninya.
Itulah sebabnya, Perguruan
Kobra Hitam tak berani mendekati orang-orang Elang Putih. Dewa Murka sendiri
mengingatkan kepada orang-orangnya agar menghindari permasalahan dengan orang-orang
Elang Putih. Tetapi hal itu dilakukan secara diam-diam supaya tak kentara bahwa
Dewa Murka merasa sungkan dan agak takut kepada Embun Salju.
Melewati wilayah Tanah Merah,
terdapat sebuah desa yang makmur dan berpenduduk padat juga. Desa itu bernama
Desa Kanjengan, karena masih dalam kekuasaan seorang adipati yang berkuasa
sejak turun temurun dan berkedudukan jauh dari Desa Kanjengan.
Hal yang dipertanyakan oleh
orang-orang Lembah Kabut adalah, siapa pemilik racun maut itu? Orang-orang Desa
Kanjengan? Atau salah satu dari Perkampungan Orang Kate? Atau orang dari Elang
Putih? Atau dari tempat lain. Mengingat banyaknya orang tidak menyukai sikap
dan tingkah laku orang-orang Kobra Hitam, maka Brajawisnu mengatakan kepada
mereka yang hadir dalam pertemuan di bangsal tersebut,
"Orang-orang Kate tidak
mungkin berani melintasi jembatan itu, bahkan mendekatinya pun tak akan berani.
Sedangkan orang-orang Desa Kanjengan sudah gentar lebih dulu jika orang kita
ada di sana. Tapi orang-orang dari Elang Putih masih punya kemungkinan berani
menyeberang ke Lembah Hitam ini dengan menyebar racun dijembatan.Tapi seingatku
, orang-orang Elang Putih tidak mempunyai racun jenis ini!"
"Racun apa itu?"
"Ini yang dinamakan Racun
Getah Tengkorak. Getah itu sebenarnya dari sejenis tanaman langka berkayu warna
putih kurus sebesar tulang, bercabang-cabang mirip tengkorak"
"Di mana adanya tanaman
itu?" tanya Dewa Murka.
"Setahuku ,"kata
Brajawisnu, 'Tanaman aneh itu tumbuh di hutan bersalju. Tapi tidak setiap hutan
bersalju punya tanaman aneh itu."
"Hutan bersalju? ! "
gumam Ekayana . "Mungkinkah si Embun Salju yang membawanya dari suatu
tempat yang bersalju?"
"Jangan terkecoh dengan
nama dan alam sebenarnya," kata Brajawisnu. "Embun Salju hanya sebuah
nama, bahkan mungkin belum tentu ia mengenal tanaman aneh dan Racun Getah
Tengkorak ini"
Logayo segera berkata,
"Jangan terpancing oleh dugaan yang gegabah! Bisa-bisa kita bentrok dengan
Embun Salju!"
"Mengapa takut?"
sela Ekayana.
"Mengapa harus
jera?!" Suara Logayo membentak kasar, "Aku bukan takut kepada Embun
Salju! Tapi aku menghindari pertumpahan darah yang bisa membuat orang-orang
kita banyak yang mati! Sementara persoalannya belum jelas bahwa Embun Salju
yang memiliki racun itu! Bodoh!"
Ekayana mengambil napas, menahan
kesabaran. Ia mengangkat tangannya sambil berkata,
"Baiklah, baiklah...!
Kita cari dulu kemungkinan di tempat lain. Embun Salju adalah kemungkinan
terakhir jika memang di tempat lain tak ada orang yang memiliki Racun Getah
Tengkorak itu!"
Kemudian setelah terjadi
hening sekejap, Logayo bertanya kepada Brajawisnu dengan sisa suara geramnya.
"Siapa lagi yang pantas kita curigai menurutmu?"
"Tabib Cawan Maut!"
jawab Brajawisnu.
"Apa urusannya orang
setua renta begitu masih mau mengganggu ketenangan kita?!" Ekayana
menyanggah, karena ia tahu, Tabib Cawan Maut sudah sangat tua, bahkan untuk
berjalan pun sudah payah, pelan, terbungkuk-bungkuk, sempoyongan, dan
tertatih-tatih.
Tabib Cawan Maut tak pernah
keluar dari pondoknya. Mereka yang butuh obat datang kepadanya dan ia tak
pernah bersedia dibawa keluar dari rumah.
"Mengapa kau mencurigai
orang setua Tabib Cawan Maut?" tanya Logayo kepada Brajawisnu.
"Dia punya pelayan,
Jongos Daki namanya. Bisa saja yang melepaskan racun itu adalah Jongos
Daki."
"Alasannya?"
"Kita pernah menghajar
Jongos Daki ketika ia menyembunyikan Shinta dari kejaran kita dulu! Barangkali
dia masih punya dendam kepada kita dan baru dilampiaskan setelah tiga tahun
peristiwa itu terjadi,"
"Kecil
kemungkinannya!" sahut Pancakana, guru untuk jurus-jurus cambuk maut yang
bergelar Hantu Naga Belah. "Kurasa Jongos Daki sudah melupakan peristiwa
yang sudah tiga tahun berlalu itu!"
Logayo manggut-manggut dengan
mata masih lebar dan brewoknya diusap-usap. Lalu, ia bertanya lagi kepada Brajawisnu,
"Selain Jongos Daki dan Tabib Cawan Maut, siapa lagi yang memungkinkan
bisa memiliki Racun Getah Tengkorak itu?"
"Tabib Awan Putih,"
jawab Brajawisnu.
"Dia tidak punya masalah
dengan kita! Dia hanya kenal sama kita dan tidak bikin perkara apa pun!"
" Tapi dia seorang tabib,
Tabib dari Cina. Sangat tahu akan Racun Getah Tengkorak," kata Brajawisnu.
"Bisa saja dia disuruh seseorang dengan upah tinggi untuk menyerang kita
dengan racun ganas ini!"
"Masuk akal,"kata
Pancakana, lalu diam lagi, "Selain Tabib Awan Putih?"
"Orang-orang
Sedayu!"
Tiba-tiba Logayo menarik
wajahnya dari sedikit maju menjadi tegak.
Ekayana juga terkesiap
mendengar nama Sedayu. Pancakana sendiri menyipitkan mata dengan dahi segera
berkerut.
"Mungkinkah mereka
menyerang kita?" ucap Logayo pelan.
"Kenapa tidak? Sedayu
merasa jengah dan bosan melayani cinta Ekayana. Ia merasa tak mampu menghindar,
maka ia bunuh kita satu persatu dengan cara seperti yang sudah kita lihat
sendiri"
"Bukankah Sedayu
mencintai Ekayana?" kata Pancakana. "Memang. Tapi cinta yang
bagaimana? Setelah ia menguasai semua Jurus pedang Ekayana, apakah dia masih
cinta? Jika benar masih mencintai Ekayana, mengapa dia selalu menolak jika
Ekayana mengajaknya menikah?"
"Jika benar orangnya
Sedayu," kata Logayo, lantas, dari mana dia mendapatkan Racun Getah
Tengkorak yang amat langka itu?"
"Pranawijaya...!"
jawab Ekayana sendiri.
"Benar!" Brajawisnu
menegaskan.
"Pranawijaya seorang
pengelana, ia juga mempunyai jurus pedang yang cukup lumayan, Ia sedang naksir
Sedayu, walau Sedayu tidak nyata-nyata membuka hati untuknya. Tapi dengan
bantuan memberikan Racun Getah Tengkorak, Sedayu dapat terkesan dan tertarik
nyata-nyata kepada Pranawijaya. Mungkin juga Pranawijaya sendirilah yang
menyebarkan racun itu ke tubuh korban kemarin malam!" kata Ekayana dengan
wajah tanpa senyum dan sedikit memerah.
"Tapi mengapa kita yang
diserang sedangkan urusannya adalah urusan antar pribadi. Kau dan dia !"
kata Logayo.
Ekayana yang menjawab lagi,
"Mungkin. . . mungkin Sedayu sendiri juga tidak suka dengan perkumpulan
kita ini! Untuk membuat perguruannya naik, ia harus menggempur perguruan kita!
Setidaknya jika berhasil, ia akan mendapat pujian dan sorotan dari para tokoh
persilatan! Dan Pranawij aya hadir sebagai pelaku impian Sedayu!"
Logayo menggeram pelan, tapi
segera menyentak. "Serang orang-orang Sedayu!"
2
DEBUR ombak bagaikan nyanyian
alam kubur yang terpendam lama. Ketika lidahnya menghantam batuan karang, sang
ombak pun pecah tak berbentuk lagi. Namun kejap berikut toh ia datang lagi
dengan garangnya menghantam batuan karang tanpa kenal menyerah dan pasrah.
Seperti ombak itulah gemuruh laga dua tokoh tua yang sedang bertarung di atas
dua gugusan batu karang.
Gugusan batu karang itu
terpisah antara sepuluh tombak jauhnya. Di masing-masing gugusan karang itu
duduk dua sosok manusia lanjut usia yang dapat dilihat dari putihnya rambut
mereka, atau keriputnya kulit wajah mereka.
Seorang lelaki berambut
panjang dan rata dengan uban itu membiarkan rambutnya dipermainkan angin laut,
hingga sesekali menyirat di wajahnya yang berkumis dan berjenggot putih itu.
Ia duduk bersila mengenakan
jubah putih dalam usia sekitar tujuh pulu tahun, sedangkan lawannya yang sejak
tadi tampak tangguh menahan kekuatan tenaga dalamnya itu juga duduk bersila di
atas gugusan karang di seberangnya.
Tokoh tua yang satu ini pernah
muncul dan berhadapan dengan Pendekar Mabuk dalam kisah 'Manusia Seribu Wajah'.
Orang itu berbadan kurus seperti lawannya, bermata cekung dan berkulit keriput,
rambutnya putih beruban rata disanggul tengah, sisanya dibiarkan meriap
sekeliling konde itu. Ia mengenakan jubah hitam dan celana putih. Biasanya
tokoh wanita berilmu tinggi ini bersenjata tongkat lengkung warna hitam, tapi
kali ini tongkat itu diletakkan di sampingnya, ia tak lain adalah Nini Pasung
Jagat. Guru dari si bencong Tanjung Bagus.
Perempuan itu duduk bersila
dengan kedua tangan di dada, yang kiri menyangga pergelangan tangan kanan yang
membuka telapaknya dan menghadap ke samping dalam keadaan tegak lurus.
Matanya sedikit terpejam,
bagai tengah mengerahkan segala kekuatannya untuk menyerang lawannya lagi.
Sementara itu, si Jubah Putih juga duduk bersila dengan kedua tangan di depan
dada, hanya dua telunjuk dan dua ibu jarinya yang saling bertemu, sisa jari
lainnya menggenggam.
Orang itu juga tampak sedang
memusatkan segenap jiwa, batin dan pikirannya untuk mengeluarkan serangan
tenaga dalam kepada lawannya.
Mulut mereka sama-sama bungkam
mencapai lima puluh helaan napas. Tetapi tiba-tiba dari ujung jari telunjuk si
Jubah Putih melesat sinar biru memanjang bagaikan sebatang tongkat kecil. Sinar
biru itu melesat menuju Nini Pasung Jagat.
Tetapi dari tengah kening Nini
Pasung Jagat mendadak keluar sinar merah berbentuk bola sebesar jeruk nipis.
Cahaya merah berpendar-pendar itu berkelebat bagai di panahkan dari tengah dahi
Nini Pasung Jagat, kemudian menghantam sinar biru bagaikan menyongsong serangan
sang lawan.
Blarrr...!
Entah untuk yang keberapa
kalinya bunyi ledekan menggelegar itu terjadi di atas perairan laut biru itu.
Ledakan yang kali ini ternyata menimbulkan gelombang angin kencang yang membuat
seluruh rambut si Jubah Putih berkelebat ke belakang dengan kuatnya, jubahnya
pun terhempas ke belakang bagai mau robek dari jahitannya.
Sedangkan Nini Pasung Jagat
pun mengalami hal serupa, bahkan tubuhnya sedikit guncang akibat menahan
gelombang angin yang ditimbulkan dari benturan dua sinar bertenaga dalam tinggi
tersebut.
Masih hening sesaat di antara
kedua tokoh sakti itu. Mereka bagai mengumpulkan tenaga kembali, membiarkan
suara debur ombak mengisi keheningan di antara mereka berdua. Hanya saja, kejap
lain sang nenek mulai memperdengarkan suaranya yang lantang itu,
"Menyerahlah. Padmanaba!
Serahkan pusaka itu untuk kuberikan dan kuwariskan kepada muridku!"
"Berteriaklah sekuatmu
memohon begitu, Nini Pasung Jagat! Sampai tenggorokanmu pecah dan mulut tuamu
robek, tak akan aku serahkan benda itu kepadamu!" seru Ki Padmanaba alias
si Jubah Putih itu dengan suara tua yang masih lantang juga.
"Kau benar-benar keras
kepala, Padmanaba! Kau ternyata lebih sayang dengan benda itu daripada dengan
nyawamu ! Benar-benar manusia bodoh dan dungu kau, Padmanaba! "
"Terserah apa katamu.
Pasung Jagat! Yang jelas aku mempertahankan amanat guru kita, bahwa benda itu
tak boleh jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tanganmu dan ke tangan
muridku sendiri! Karenanya benda itu tak pernah kuserahkan kepada siapa pun !
Cucuku pun tak kuwarisi pusaka tersebut apalagi kamu. Pasung Jagat!"
"Benar-benar serakah
" geramm Nini Pasung Jagat. Matanya memandang dengan tajam dan ganas.
"Cukup lama pusaka itu
ada padamu, sekarang giliran aku yang harus memegang pusaka itu, Padmanaba!
Kalau kau tak memberikannya, aku akan merebut darimu sekalipun harus membunuh
nyawa saudara seperguruan sendiri!"
"Aku siap menerima
ancamanmu, Pasung Jagat! Kapan saja kau ingin mencabut nyawaku, aku telah siap
menghadapimu! Hanya yang kukhawatirkan, apakah kamu sendiri mampu mempertahan
kan nyawamu dari tanganku ini. Pasung Jagat!"
"Jangan kau meremehkan
aku. Padmanaba! Ilmu yang kumiliki bukan saja ilmu dari guru kita, melainkan
kuperoleh dari beberapa tempat, beberapa orang, dan beberapa waktu! Kau tak
akan bisa menandingi kesaktianku, Padmanaba! Percayalah, tak akan bisa!"
"Pasti bisa!" jawab
Ki Padmanaba dengan tegas dan penuh keyakinan. "Kau pikir aku tidak
mempersiapkan diri untuk melawanmu sejak dulu, hah? Aku tahu suatu saat kau
akan merebut pusaka itu dariku! Jadi aku sudah persiapkan jurus pencabut nyawa
untukmu, Pasung Jagat!".
"Keparat busuk kau.
Padmanaba!" geram Nini Pasung Jagat, kemudian kedua tangannya terangkat ke
atas dalam keadaan tetap duduk bersila. Wajahnya menyeringai bengis memancarkan
geram nafsu untuk membunuh saudara seperguruannya itu.
Tetapi agaknya Ki Padmanaba sendiri
tidak kalah siap. la segera membuka telapak tangannya dan meletakkan ke
samping. Dalam keadaan terbuka menghadap ke bawah ujung jari-jarinya. Dan
ketika dari kedua tangan Nini Pasung Jagat mengeluarkan sinar hijau
berturut-turut dengan cepatnya menyerang bak senjata rahasia itu, Ki Padmanaba
menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan, tak sampai lurus kedua tangan
tersentak, ternyata dari telapak tangan keduanya menyorotkan sinar biru pecah
bagaikan lampu besar di ujung mercu suar.
Wussst...!
Sinar terang warna biru itu
membentuk kabut setelah bertemu dengan sinar hijaunya Nini Pasung Jagat. Kabut
itu membungkus sinar hijau tersebut, hingga terjadi beberapa kali letupan yang
teredam suaranya. Tub, belp... tubb, tub, bleb...!
Namun Nini Pasung Jagat
ternyata sudah menduga akan terjadi hal seperti itu. Dan ia telah siapkan
serangan lain melalui kedua matanya. Dalam sekejap dari kedua matanya itu
melesat mengeluarkan dua berkas sinar ungu yang melesat cepat menghantam dada
Ki Padmanaba. Agaknya sinar ungu itu sangat di luar dugaan Ki Padmanaba,
sehingga ia sangat terkejut ketika sinar ungu itu melesat menghantam dadanya.
Dabb....!
Bagai mendapat dua pukulan
besar dada Ki Padmanaba terasa mau jebol sampai ke belakang.
Pukulan itu sangat dahsyat.
Berat dan kuat, sehingga tubuh kurus Ki Padmanaba pun terpental hebat. Tubuh
itu melayang bagaikan dilemparkan dan jatuh di pasir pantai yang jaraknya dari
tempat ia duduk tadi sekitar lima belas tombak. Brugggh...! Bruss....!
Tubuh itu sempat menyerosot di
pasir pantai dalam keadaan terkapar. Dada nya menjadi hitam, pakaiannya menjadi
hangus. Dan wajahnya pun pucat pasi, tak bisa bernapas.
Pada waktu itu, seorang pemuda
gagah dan tampan, berpakaian coklat dan celana putih, tiba di pantai tersebut.
Langkahnya terhenti ketika dilihat-nya sesosok tubuh menyerosot ke arah depan
kaki nya.
Dan pemuda berambut panjang
lemas dan tak mengenakan ikat kepala itu segera terkesiap mata nya, kaget
melihat wajah orang yang menyerobot di depan kakinya itu. "Ki Padmanaba...?!"
cetusnya kemudian.
Pemuda yang menyandang bumbung
tempat tuak di punggungnya itu segera berjongkok untuk memeriksa keadaan orang
sakti yang dikenalnya itu.
"Ki Padmanaba? Apa yang
terjadi?!"
Mata tua yang sedang sekarat
itu sempat memandang ke arah pemuda yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk itu.
Mulutnya yang sulit bernapas segera mengucapkan kata pelan, "Suto....
Sinting..."
"Ya, saya Suto Sinting,
murid dari si Gila Tuak, sahabat Ki Padmanaba itu! Kita pernah bertemu walau
satu kali. Masih ingatkah Ki Padmanaba pada guru saya? "
"Selamatkan... pusaka...
Pucuk Cemara Tunggal dalam purnama..." Ki Padmanaba tidak menggubris
pertanyaan Pendekat Mabuk tadi, tapi ia mengucapkan kata kata yang menyerupai
sebuah pesan itu.
"Ki Padmanaba, minumlah
tuak saya ini untuk..., untuk...," Suto Sinting ingin menuangkan tuak ke
mulut Ki Padmanaba yang berwajah seputih kapas itu. Namun ternyata Ki Padmanaba
sudah tidak bernapas lagi. Matanya terpejam sedikit dengan mulut ternganga,
tubuhnya dingin membeku dan tak bergerak sedikit pun.
"Oh, terlambat aku
memberinya minum tuak ini ! " gumam Suto dalam nada penuh kekecewaannya.
" Kalau saja aku sempat memberinya minum tuak ini, pasti luka hangus di
dadanya akan cepat sembuh, ia akan tertolong jiwanya. Kasihan, Ki Padmanaba...!
Mengapa begitu bertemu denganku lagi pada saat ia ingin menghembuskan napas
terakhirnya? Sungguh tak kusangka peristiwa ini akan kuhadapi. Dan... dan apa
yang diucapkannya tadi? Seperti sebuah pesan atau amanat?!"
Mendadak Suto dikejutkan dengan
kehadiran tokoh tua yang menjadi lawan Ki Padmanaba tadi.
Kesadaran Suto dari lamunannya
membuat pemuda itu berjingkat lompat ke belakang dan siap menghadapi serangan
dengan kuda kuda kekarnya. Matanya menjadi terkesiap ketika memandang kearah
tokoh tua yang bermata cekung itu,
"Oh, kau rupanya, Nini
Pasung Jagat...?!"
"Iyaah. . . ! Aku yang
membunuh Ki Padmanaba! Mau apa kau, Suto Sinting, Pendekar Mabuk?! Mau apa,
hah...?!" ucapan Nini Pasung Jagat pelan, tapi penuh tekanan menggeram
dengan wajah memandang angker.
Terlintas dalam sekejap
ingatan Suto pada saat bertemu dengan tokoh itu di saat ia ingin menyembuhkan
si Kembang Hitam (Baca Serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia
Seribu Wajah")
Teringat pula kehebatan ilmu
Nini Pasung Jagat yang mempunyai Jurus andalan kala itu bernama 'Rembulan
Jantan'. Hampir saja Suto Sinting mati atau celaka oleh Jurus tersebut. Nenek
yang satu ini memang agak berbahaya. Kelihatannya biasa-biasa saja, tapi
serangannya bisa membawa maut yang sukar dilawan.
Terasa heran Suto mendengar
pengakuan Nini Pasung Jagat telah membunuh Ki Padmanaba. Padahal Ki Padmanaba
ilmunya cukup tinggi, hampir memadai dengan Ki Jangkar Langit atau hampir
menyamai ilmu bibi Guru Suto yang bernama Bidadari Jalang itu.
Jika Ki Padmanaba bisa
terbunuh oleh Nini Pasung Jagat, berarti Nini Pasung Jagat setidaknya mempunyai
ilmu seimbang dengan Ki Padmanaba, bisa jadi lebih tinggi. Atau karena saat
pertarungan Ki Padmanaba agak lengah? Pendekar Mabuk tidak tahu bahwa Ki
Padmanaba dan Nini Pasung Jagat adalah saudara seperguruan.
Hanya saja, selepasnya Nini
Pasung Jagat dari gunung tempat dirinya digembleng itu, ia segera mencari guru
lain dan menekuni beberapa kitab pusaka yang pernah dipinjam, dicuri, atau
ditemukan secara tak sengaja. Itulah yang membuat Nini Pasung Jagat kelihatan
lebih unggul dari Ki Padmanaba . Suto pun tidak tahu persoalan sebenarnya
antara kedua tokoh tua itu, tapi ia didesak oleh Nini Pasung Jagat.
"Apa yang ia katakan
tadi, Suto?!"
"Apa maksudmu?" Suto
berlagak bego.
"Kulihat di kejauhan
tadi, ia bicara padamu! Apa yang ia katakan padamu?! Katakanlah pula padaku,
Bocah Sinting?!" perempuan tua yang masih tersisa rias kecantikan usangnya
itu menggertak bagai mengancam maut kepada Suto Sinting. Tapi pemuda tampan yang
murah senyum itu justru meneguk tuaknya beberapakali dengan cara mendongak dan
menuangkan bumbung tuak tersebut.
"Benar-benar sinting kau!
Diajak bicara orang tua malah menenggak tuak! Hihh...!"
Wutt....!
Pukulan tenaga dalam jarak
jauh dilepaskan dari sentakan pendek tangan kiri Nini Pasung Jagat. Pukulan
Jarak Jauh itu tidak bercahaya, namun dapat dirasakan oleh Suto hembusan
anginnya yang menuju ke arah pinggangnya. Maka, dengan kalem Suto menyentitkan
Jari telunjuknya, mengirim tenaga dalam melalui Jurus 'Jari Guntur'-nya itu.
Wuttt... ! Dubbb...!
Nini Pasung Jagat terguncang
sedikit tubuhnya. Pukulan tenaga jarak jauhnya bagaikan membalik sebagian dan
menghentak perutnya, ia menjadi lebih geram dengan mata memandang penuh
ketajaman permusuhan.
Di dalam hatinya ia membatin,
"Bocah ini memang tak
bisa dianggap sepele! Seluruh kekuatan dan kesaktian dia ada dalam diri bocah
ini ! " sambil sang nenek membayangkan seraut wajah yang menjadi gurunya
Suto Sinting, yaitu seraut wajah si Gila Tuak yang punya nama asli Sabawana.
"Bocah sinting! "
seru Nini Pasung Jagat, "Aku tahu, Ki Padmanaba adalah sahabat gurumu!
Pasti ada pesan rahasia yang disampaikan oleh Padmanaba sebelum ia
menghembuskan napas terakhirnya tadi, sebab ia pun pasti tahu bahwa kau adalah
murid sahabatnya. Pertemuan di ambang kematiannya, adalah suatu keberuntungan
besar bagi Ki Padmanaba. Tapi sekalipun hanya berupa pesan, aku harus merebut
pesan itu darimu, Suto!"
"Apa yang diucapkan tadi
oleh Ki Padmanaba, sedang kupikirkan, Nini! Sebab aku lupa!' jawab Pendekar
Mabuk dengan senyum tenangnya.
"Sabawana tidak akan
mempunyai murid bodoh, pasti ia memilih murid yang cerdas! Jadi aku tidak
percaya, kalau kau lupa dengan pesan Padmanaba tadi, Bocah Sinting!"
Suto tertawa pelan, geli sendiri
melihat sikap si nenek yang sangat penasaran itu. Kemudian tetap dengan kalem
Suto pun berkata kepada Nini Pasung Jagat,
"Manusia itu mempunyai
kodrat yang sama, ingat dan lupa selalu ada pada diri setiap
manusia,Nini!"
"Tak perlu bertele-tele
kau bicara padaku, Suto! Katakan apa yang diucapkan Padmanaba tadi?!
Lekas!" sambil Nini Pasung Jagat mulai mengangkat tongkatnya.
"Apa maumu menggertakku
begitu. Nini? Bukankah lebih baik kita tidak saling bermusuhan, ketimbang harus
saling membunuh?"
"Apa pun yang terjadi,
kau memang harus kubunuh,Suto!"
"Hanya untuk sebuah pesan
dari mulut orang yang sudah mati, kau tega membunuhku, Nini?"
"Bukan hanya karena
itu!" gertak Nini Pasung Jagat dengan suara semakin keras dan wajah kian
beringas.
"Jadi karena apa lagi
jika bukan karena itu?"
"Kau murid si Gila Tuak!
Itulah sebabnya aku harus membunuhmu!"
Berkerut tajam dahi Suto
Sinting mendengar jawaban tersebut, ia pun segera bertanya dengan nada heran,
" Mengapa sebab itu? Apa
salahnya aku menjadi murid si Gila Tuak di matamu? Aku tak pernah mengganggu
ketenangan dan kedamaianmu, bahkan kau yang menggangguku dan menyerangku lebih
dulu pada waktu kita Jumpa di Pulau Hitam itu?!"
"Hm. ..!" Nini
Pasung Jagat mencibir sinis, , melangkah pelan mengelilingi Suto Sinting dengan
mata tertuju ke arah Suto. Tajam. "Kau tidak tahu apa sebenarnya yang
terjadi antara aku dan gurumu!"
Hati Pendekar Mabuk semakin
tertarik dan menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Nini Pasung
Jagat dengan si Gila Tuak, gurunya itu. Sengaja Pendekar Mabuk tak bertanya apa
apa, tapi dengan kerutan dahinya yang dipamerkan semakin tajam itu, Nini Pasung
Jagat merasa mendapat pertanyaan yang membuat ia harus melanjutkan ucapannya.
Langkahnya terhenti lebih dulu, baru mulut sang nenek mulai bicara kembali.
"Entah beberapa puluh
tahun yang lalu, lebih dari setengah abad, ada seorang gadis yang mencintai
Sabawana. Begitu besar cintanya, sehingga gadis itu mau berkorban meninggalkan
keluarganya, meninggalkan adik-adiknya, ayahnya, ibunya, hanya untuk mengikuti
pengembaraan Sabawana. Beratap langit, bertudung hujan, gadis itu dengan
setianya mendampingi Sabawana! Tetapi alangkah sakit hati gadis itu, setelah
tahu Sabawana ternyata tidak bersedia menikah dengan gadis itu. Bahkan ia jatuh
cinta dengan perempuan lain! Sekalipun mahkota sang gadis masih tetap terjaga,
tapi pengorbanannya yang meninggalkan seluruh keluarga serta kampung halaman,
kesetiaannya yang tak pernah lapuk dipanggang mentari serta digores badai hujan
itu, adalah suatu hal yang amat menyakitkan jika dikhianati ! Sampai sekarang
gadis itu masih sakit hati kepada Sabawana alias si Gila Tuak. Dan gadis itu
adalah aku sendiri, Suto! "
"Oh...?!" Pendekar
Mabuk terperanjat sekejap, kemudian segara kembali menenangkan hati dan jiwa
nya.
"Sampai sekarang aku
masih mendendam kepada gurumu, Suto! Empat kali aku bertemu dengannya dan
mencoba membunuhnya untuk melampiaskan sakit hatiku, tapi selalu gagal. Dia
memang jauh lebih sakti dariku! Tapi setelah usiaku mencapai se tua ini,
tentunya ilmuku terus bertambah! Akan kucari si Gila Tuak untuk kubunuh!'
"Kau tak akan berhasil.
Nini!"
"Harus berhasil"
jawab Nini Pasung Jagat dengan menyentak keras. "Kau pikir aku akan gagal
membunuh si Gila Tuak itu karena dia mempunyai murid yang lebih muda, lebih
tangguh dan lebih perkasa ini? ! Hmm. . . ! Tidak! Aku tidak akan gagal
membunuhnya, Suto! Karena sebelum aku membunuhnya, mungkin aku harus membunuh
muridnya dulu! Karena aku benci pada ilmu yang dimiliki oleh si Gila Tuak, dan
ilmu itu ada padamu, maka aku harus membunuhmu! Kalau toh tidak berhasil
membunuhmu lebih dulu, tentu saja aku membunuh Gila Tuak lebih dulu, baru
menyusul membunuh muridnya! "
Berdetak setiap denyut nadi
yang ada dalam diri Suto. Merah telinganya mendengar kata-kata Nini Pasung
Jagat. Tak ketinggalan gigipun menggeletuk kuat-kuat menahan amarahnya. Apalagi
setelah Suto Sinting mendengar kata-kata Nini Pasung Jagat selanjutnya itu,
yang mengatakan,
"Gila Tuak di mataku saat
ini tidak lebih dari seekor semut yang siap digilas kapan saja! Seluruh ilmu
dan kesaktian Gila Tuak ada di telapak kakiku, sebagian ada di pantatku, tahu?!
Dan menurutku. Gila Tuak memang pantas mati dalam keadaan tercabik-cabik
tubuhnya, biar semua orang tahu, bahwa Gila Tuak telah modar tak bergeming lagi
namanya yang besar itu! "
Darah Pendekar Mabuk bagaikan
mendidih, ia selalu tak rela dan marah jika nama gurunya dijelek-jelekkan atau
dihina. Dan apabila Suto Sinting mulai marah, napasnya pun berubah menjadi
napas yang mengerikan.
Jika ia saat itu menyentakkan
napasnya ke arah Nini Pasung Jagat, maka nenek tua itu sudah pasti akan
melayang terbang terhempas badai yang amat dahsyat. Pepohonan akan tumbang,
batu-batu besar akan beterbangan, awan hitam datang dan bergulung-gulung di langit,
sambil sang petir menghujani bumi. Itulah kedahsyatan ilmu Napas Tuak Setan
yang ada dalam diri Pendekar Mabuk.
Napas maut itu tidak akan ada
seandainya Suto tidak menelan Pusaka Tuak Setan, yang mestinya dimusnahkan
namun secara tidak sengaja tertuang masuk ke dalam mulutnya dan tertelan. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Tetapi Pendekar Mabuk itu
selalu berusaha agar tidak menggunakan jurus 'Napas Tuak Setan' yang bisa
mendatangkan bencana dan korban bagi pihak tak bersalah. Hanya dalam keadaan
sangat terpaksa saja, maka Suto mau tak mau melepaskan jurus "Napas Tuak
Setan" tersebut.
Seperti saat ini Suto Sinting
masih berusaha menahan diri agar tidak melepaskan Napas Tuan Setan nya.
Sekalipun demikian, karena di dalam hati Suto bergemuruh darah murka akibat
gurunya dihina sedemikian rupa oleh Nini Pasung Jagat, maka napas biasanya saja
sudah bisa membuat pasir-pasir pantai beterbangan. Butiran pasar di bawah kaki
Suto yang terkena hembusan napas biasanya itu menjadi cekung dalam, karena
pasir itu menyirat ke mana mana terkena angin kencang dari napas Pendekar
Mabuk.
Pendekar Mabuk berdiri tegak
dengan mata memandang dingin ke arah Nini Pasung Jagat, ia tak mau menundukkan
kepala, takut napasnya membuat tanah di bawah kaki menjadi kian cekung ke
dalam. Tetapi dengan keadaan berdiri tegak, mata memandang Nini Pasung Jagat,
wajah terangkat datar ke depan, napasnya toh masih membuat rambut Nini Pasung
Jagat meriap-riap ke belakang, bagaikan mendapat semburan angin dari arah depannya.
Di dalam hatinya Nini Pasung
Jagat mulai berkata dalam kecemasan.
"Celaka! Kurasa bocah
sinting ini juga punya "Napas Tuak Setan'! Apakah Sabawana memberikan
Pusaka Tuak Setan kepada bocah ini? Oh, sinting betul si Sabawana jika benar
begitu! Bukankah dia sendiri tak berani meminum Tuak Setan karena takut
mencelakai orang tak bersalah melalui napasnya?! Tapi mengapa bocah bau kencur
ini bisa mengeluarkan napas sekuat dan sepanas ini? Padahal ia bernapas dengan
biasa-biasa saja?! Oh, kulit wajahku yang kena napasnya ini menjadi seperti
berada di depan kawah gunung berapi. Panas sekali. Rambutku bisa keriting
terbakar kalau terlalu lama berada di depan bocah sinting ini ! Agaknya aku
memang ha rus menyingkir lebih dulu! Pusaka itu harus kutemukan, setelah itu
baru aku melawan bocah sinting ini!'
Terdengar Pendekar Mabuk
berkata dengan suara datar menandakan sedang memendam kemarahan besar dalam
hatinya,
"Jangan sekali-sekali
menghina Guru di depanku, Nini Pasung Jagat! Kau tak akan mendapat ampun sedikit
pun dariku jika hal itu kau lakukan lagi ! Kau tak akan mendapat kesempatan
untuk menyerangku jika aku sudah menuntut penghinaan itu padamu, Nini! Ingatlah
kata kataku ini!"
"Persetan dengan kata
katamu! Aku tetap akan mencari Si Gila Tuak lebih dulu untuk membunuhnya!
" kata Nini Pasung Jagat memaksakan diri agar tidak kelihatan gentar.
" Tetapi untuk sementara
ini, ada yang kucari dan lebih penting dari urusanku denganmu dan si Gila Tuak,
Suto! Aku harus menemukan apa yang kucari itu lebih dulu, setelah itu aku
datang padamu untuk membunuhmu! Tak peduli kau punya 'Napas Tuak Setan', aku
sanggup membunuhmu, Juga menginjak-injak kepala gurumu! "
"Nini ...! " bentak
Suto dengan kemarahan meluap. Bentakan itu tiba-tiba mendatangkan angin kencang
yang sempat membuat tubuh Nini Patung Jagat terpental mundur lebih dari lima
tombak.
Brukk...! Ia jatuh di tanah
dengan wajah tegang dan cemas.
"Edan! Membentak saja
suaranya sampai bikin heboh bumi! Oh. batu itu menjadi pecah dan pohon itu pun
kulitnya mengelupas?! Benar-benar sinting murid si Gila Tuak itu! Aku harus
segera pergi!"
Tanpa banyak bicara lagi. Nini
Pasung Jagat segera melarikan diri. Suto Sinting bergegas mengejarnya, karena
ia takut Nini Pasung Jagat membunuh si Gila Tuak sebelum Pendekar Mabuk sempat
membunuh perempuan tua itu.
3
Nenek tua yang ternyata
usianya jauh lebih muda dari dugaan banyak orang itu, ternyata pula mempunyai
kecepatan berlari seperti kilatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Suto Sinting mempunyai Jurus gerak siluman dalam melarikan diri, yang mempunyai
kecepatan melebihi badai .Tetapi mungkin karena ia salah arah, sehingga ia
kehilangan jejak Nini Pasung Jagat.
Terlalu lama ia mencari Nini
Pasung Jagat, sehingga tanpa disadari kemarahan di dalam hatinya sudah menurun
dengan sendirinya. Terutama setelah dalam hatinya menemukan suatu pendapat yang
menenangkan jiwa, kemarahan itu menjadi susut sedikit demi sedikit.
"Sekalipun Nini Pasung
Jagat bisa bertemu dengan Guru, tak mungkin ia bisa mengalahkan kesaktian Guru.
Aku percaya, Guru tak akan kalah jika menghadapi amukan dendam cinta masa
mudanya Nini Pasung Jagat. Bisa jadi Nini Pasung Jagat jatuh berlutut dan
mengharapkan cinta pada Guru, karena Guru mempunyai Ilmu 'Sukma Kasmaran
Tumbang '. Sudah berpuluh-puluh tahun Ilmu itu tidak digunakan oleh Guru, hanya
semasa mudanya ilmu itu digunakan untuk menundukkan perempuan sejahat apa pun
menjadi pasrah kepada beliau. Tapi jika sekarang guru masih mau gunakan ilmu
itu, pasti Nini Pasung Jagat tidak akan bisa berkutik lagi ! "
Pendekar Mabuk bahkan
tersenyum.
"Biarlah dua asmara usang
bertemu lagi dalam kenangan masing-masing, Kurasa aku tak perlu mencemaskan
keadaan Guru. Tapi... tapi bagaimana jika ilmu 'Sukma kasmaran Tumbang' itu
sudah tidak dimiliki Guru lagi? Bukankah ilmu itu telah diwariskan kepadaku?
Walau tak pernah kugunakan, tapi aku merasakan jelas kehadiran iImu 'Sukma
Kasmaran Tumbang' itu. Dan... Guru bisa berbahaya dalam menghadapi Nini Pasung
Jagat?!"
Gundahnya hati Suto saat itu,
terbawa lelap di alam tidumya yang ada di atas pohon. Pada saat tidur itulah,
segala amarah dan kecemasan mengendap diam di lubuk hati, tertutup oleh selaput
ketenangan jiwa. Sehingga, pada saat ia bangun esok paginya, tak ada lagi
kecemasan dan kegundahan selain hanya hasrat untuk menguntit kepergian Nini
Pasung Jagat, ingin tahu apakah nenek tua itu pergi menemui si Gila Tuak, atau
mencari benda yang dimaksud?
"Apa benda yang dimaksud
itu? " pikir Suto Sinting . "Mengapa ia mendesakku untuk mendengar
pesan yang diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum menghembuskan napas terakhirnya
itu?!"
Dalam renungannya, Suto
menjadi terngiang kata-kata Ki Padmanaba yang berbunyi, "Selamatkan pusaka
Pucuk Cemara Tunggal dalam purnama...! ".
Suto bicara sendiri dengan
suara pelan.
"Tak jelas apa maksudnya!
Pusaka Pucuk Cemara Tunggal. . . pusaka bentuk apa itu? Di mana letaknya?
Sepintas kelihatannya Ki Padmanaba menyuruhku menyelamatkan pusaka, tapi dimana
aku harus menemukan pusaka itu, sebab ia tidak menyebutkan tempatnya. Apa yang
dimaksud dalam purnama itu? Apakah aku harus pergi ke bulan untuk mendapat kan
pusaka di sana? Mustahil sekali kedengaran! Tapi agaknya pusaka itulah yang
diinginkan oleh Nini Pasung Jagat. Dan pasti pusaka itu sangat berbahaya Jika
jatuh di tangan orang seperti Nini Pasung Jagat, sehingga Ki Padmanaba
menyuruhku menyelamatkan pusaka tersebut. Ah, membingungkan sekali pesan
terakhir Ki Padmanaba itu! Sungguh tak jelas ke mana arah langkahku untuk
memenuhi pesannya tersebut, tak jelas apa yang harus kutemukan: kitab, pedang,
tombak, keris, atau batu atau apa....? Dan anehnya, mengapa aku sejak saat itu
jadi mempunyai kewajiban besar, yaitu kewajiban memenuhi pesan yang disampaikan
menyerupai perintah tersebut? Mengapa aku jadi punya rasa harus menyelamatkan
pusaka tersebut? Bukankah aku tidak menjadi pewaris pusaka itu dan tidak berhak
memilikinya?!"
Luar biasa bingungnya Suto
menghadapi teka-teki tersebut. Karena timbulnya perasaan aneh di dalam hatinya
itulah yang membuat Pendekar Mabuk jadi repot sendiri memikirkan pusaka Pucuk
Cemara Tunggal.
Suara hati kecil yang
mengatakan, "Aku harus mendapatkan pusaka itu ! " adalah sebuah kata
hati yang lahir tanpa kehendak hati nurani Suto sendiri. Sepertinya ada
kekuatan yang memaksa Suto harus mencari pusaka itu dan menyelamatkannya dengan
sekuat tenaga . Ini yang kadang membuat Pendekar Mabuk jadi bertanya tanya,
"Apakah arwah Ki
Padmanaba bermukim dalam hati kecilku dan memerintahku seperti ini?!"
Renungan Pendekar Mabuk
terhenti sebentar. Matanya melihat sekelabat manusia lewat menembus dedaunan
semak hutan. Arahnya tidak menuju ke tempatnya. Tapi mata Suto tak bisa
dibohongi, bahwa manusia yang berkelebat dengan pakaian kuning itu tak lain
adalah seorang perempuan. Muda atau tua, belum bisa dipastikan. Hanya saja,
melihat langkahnya yang cepat dan memburu itu, Suto menjadi ingin tahu, apa
yang diburu oleh perempuan itu,
"Jangan-jangan ia dikejar
oleh Nini Pasung Jagat?!" pikir Pendekar Mabuk yang membuat ia semakin
ingin mengikuti perempuan berpakaian kuning gading itu.
Rupanya ia seorang gadis yang
menyandangi pedang di punggungnya. Tubuhnya sekal, padat, tidak terlalu kurus,
tidak pula gemuk. Rambutnya pendek berponi tanpa ikat kepala, Gerakannya cukup
lincah. Gadis itu juga punya ilmu peringan tubuh yang bisa membuatnya melesat
naik ke atas dahan sebuah pohon dengan satu kali kaki menjejak bumi. Bahkan ia
mampu melompat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan banyak suara. Sampai pada
suatu saat, ia melompat turun dengan bersalto satu kali. Wuttt...! Jlegg....!
Ia mendarat di depan langkah
seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh tegap, gagah, berambut pendek,
dengan ikat kepala kuning emas. Pemuda itu mengenakan pakaian serba hijau,
dengan ikat pinggangnya kain rajutan benang emas. Pedangnya ada di pinggang
kiri.
Pemuda itu menghembuskan napas
kesal melihat gadis berpakaian kuning gading itu tahu-tahu menghadang langkah
di depannya. Ia tampak gemas namun kegemasan itu tertahan melalui hembusan
napasnya yang mendengus tanda kesal hati nya.
"Mau apa lagi kau,
Kirana?!" geram pemuda berpakaian hijau itu.
Si gadis yang ternyata bernama
Kirana itu segera menjawab dengan wajah cemberut ketus,
"Jawab dulu pertanyaanku
tadi! Ke mana kau akan pergi, Pranawijaya?! Kau tadi belum menjawab
pertanyaanku tapi sudah kabur!"
Pranawijaya, pemuda tampan
itu, tertawa kecil di sela kedongkolan hatinya, kemudian berkata,
"Kirana, aku sudah
dewasa, sudah besar, sama halnya dengan dirimu. Ke mana aku akan pergi, tak
perlu kau tahu, Kirana! Kau memang punya perhatian padaku! Tapi tidak harus
mengetahui segala hal sekecil apa pun dari apa yang kulakukan. Kita sudah
sama-sama dewasa,jangan sama sama mengusik 'pribadi masing-masing!"
"Hmmm. . . ! Kirana
mencibir, semakin cantik ia jika mencibir dengan matanya yang bundar bening itu
kian indah dipandangnya. Kirana berkata dengan wajah cemberut. "Pasti kau
mau menemui Sedayu!"
Pranawijaya tersenyum, lalu
tertawa dalam gumam dengan satu tangan bertolak pinggang,
"Kalau memang benar
begitu, kau mau apa? ! " kata Pranawijaya .
"Jauhi dia!" Jawab
Kirana dengan tegas dan ketus sekali.
Pranawijaya semakin
memperpanjang tawanya.
"Dengar kataku,
Prana!" bentak Kirana. Masih banyak perempuan lain yang layak kau jadikan
sahabat atau layak kau cintai, tapi jangan Sedayu!"
"Cinta tidak bisa dirakit
dan direncanakan, Kirana! Cinta tidak bisa diperintah, karena dia bergerak
secara naluriah ! "
"Pokoknya jangan kau
dekati lagi Sedayu!" bentak Kirana. "Aku justru tega membunuhmu jika
kau bercinta dengan Sedayu. Prana!"
Berkerut dahi Pranawijaya
memandang tajam matanya kepada Kirana yang tampaknya bersungguh-sungguh itu .
Perasaan heran dipendam dalam hati Pranawijaya ketika ia berkata,
"Kau tak bisa melarangku,
Kirana!"
"Aku melarangmu karena
aku tak ingin membunuhmu! Tapi jika kau tak mau hiraukan laranganku itu maka
jangan salahkan aku jika aku pun terpaksa tega membunuhmu. Prana!"
"Apa alasanmu? Apa
alasanmu melarangku jatuh cinta pada Sedayu?"
"Kau tak perlu tahu
alasanku!" ucap Kirana dengan wajah semakin kelihatan sangar-sangar cantik.
"Sedayu sangat baik
padaku! Sedayu cantik dan ia mencintaiku juga, tapi ia tidak berani ucapkan
sebelum aku mendului mengucapkan cintaku di depannya!"
"Tapi dia adalah
perempuan iblis yang layak dibunuh!"
"Kirana!" sentak
Pranawijaya kelihatan mulai geram kepada gadis berdada sekal dan montok itu.
"Jangan kau memancing
perselisihan denganku, Kirana! Aku pun bisa tega membunuhmu kalau kau memusuhi
Sedayu, mengerti?!"
"Kau pikir aku takut
dengan gertakan dan ancamanmu?! "
" Hmm ........ ! Sama
sekali tidak, Pranawijiya! Aku tetap akan membunuh Sedayu jika bertemu
dengannya!"
"Kenapa?!" bentak
Pranawijaya tak sabar lagi.
"Karena dialah yang
membunuh guruku, Prana! Dia membunuh guruku dari belakang! Bukankah sikap
seperti itu adalah sikap perempuan berjiwa iblis?!"
"Tutup mulutmu,
Kirana?!" teriak Pranawijaya.
"Aku tak akan tutup mulut
sebelum kau mau menuruti permintaanku, jangan dekati Sedayu dan jangan jatuh
cinta dengan perempuan laknat itu! " kata Kirana dengan nada makin lama
semakin tinggi.
"Soal dia membunuh
gurumu, itu urusan pribadimu! Tak ada sangkut-pautnya dengan urusan pribadiku!
Tak akan membuat aku berhenti mengejar cinta Sedayu!"
Kirana menghempaskan napas,
mencoba menahan kemarahannya yang hampir saja meledakkan dada itu. Kemudian ia
berkata dengan suara agak rendah,
"Kalau kau mencintai dia,
sedangkan aku harus membunuhnya, itu berarti kau akan membela dia dan kau akan
bertarung denganku!"
"Apa boleh buat!"
"Kau bilang kita punya
urusan pribadi masing-masing dan tak boleh saling mencampuri! Lalu aku punya
urusan pribadi dengan Sedayu karena dia membunuh guruku. Jika kau ikut campur
apakah itu namanya bukan kau ikut campur urusan pribadi ku?"
"Karena urusan pribadimu
menyangkut urusan pribadiku, Kirana! Cinta adalah sesuatu yang sangat pribadi,
hingga terasa pantas jika harus dibela sampai mati!"
"Tahi kucing soal
cinta!" bentak Kirana meninggi lagi suaranya.
"Mungkin dugaanmu tentang
pembunuh gurumu itu salah, Kirana . Mungkin bukan Sedayu yang
membunuhnya!"
"Jelas Sedayu yang
membunuhnya ! la tinggalkan guruku setelah melemparkan tiga senjata rahasianya
dari belakang. Guruku terkapar di bawah Cemara Tunggal, ia sangka saat itu Guru
sudah mati, tapi ketika bertemu denganku, Guru masih sempat memberitahu siapa
pelaku penyerangan itu. Setelah menyebutkan nama Sedayu. Guru pun wafat dan aku
segera membawanya pergi dari Cemara Tunggal!"
"Ada apa gurumu ke Cemara
Tunggal?"
"Itu urusan Guru, aku
tidak tahu! Yang jelas sekarang, jauhi Sedayu atau kita bertarung lebih dulu
sebelum tiba saatnya aku membunuh perempuan iblis itu!"
Srett. . . ! Kirana segera
mencabut pedang dari punggungnya. Matanya telah memperlihatkan sikap bermusuhan
yang siap tarung itu. Maka Pranawijaya pun melayaninya dengan mencabut
pedangnya dari pinggang.
"Baiklah kalau kau
memaksa, Kirana! Kusanggupi desakanmu ini! Bersiaplah untuk mati demi membela
gurumu, Kirana!"
"Kau pun bersiaplah untuk
mati demi membela perempuan liar yang bersekutu dengan orang-orang Kobra Hitam
itu!"
"Omong kosong!"
bentak Pranawijaya dengan marah sekali. Lalu,ia pun segera melompat maju dengan
kilatan pedangnya menyambar dada Kirana. Dengan cepat Kirana menangkisnya dalam
satu ke lebatan. Trangng...!
Begitu pedang tertangkis, kaki
Kirana menjejak ke depan dengan kuatnya. Wuttt...! Beggh...!
Perut Pranawijaya menjadi
sasaran empuk tendangan cepat itu. Pranawijaya mundur dua tindak. Tapi ia tidak
merasa gentar sedikit pun. Ia kembali menebaskan pedangnya dengan satu sentakan
kaki maju ke depan. Wuttt...!
Kirana menghindar ke samping
hingga tebasan dari atas ke bawah yang seharusnya memenggal pundaknya itu
terhindar jelas-jelas.
Kirana membalas dengan
menebaskan pedang nya bertubi-tubi ke tubuh Pranawijaya. Kegeraman-nya tercurah
sambil melontarkan pekik,
"Hiaaat....!"
Trang tang trang trang,..!
Wugggh...! Trang! Behgg...! Plokk...!
Pukulan Pranawijaya mengenai
wajah Kirana, tendangan kakinya yang memutar, menampar wajah itu juga. Kirana
terhempas ke samping, dan jatuh dalam posisi tengkurap. Pada waktu itu
Pranawijaya segera menebaskan pedangnya ke punggung Kirana sambil berteriak
penuh amarah yang meluap,
"Demi cintaku pada
Sedayu, aku terpaksa harus membunuhmu, Kirana. Hiaaat...!"
Wuttt...! Tubb...!
"Aaaah...!"
Teriakan itu cukup keras dan
mengejutkan. Bukan Kirana yang berteriak, melainkan Pranawijaya yang kesakitan
sambil memegangi pergelangan tangannya, dan pedangnya sendiri jatuh ke tanah di
depannya.
Kirana terkejut melihat
Pranawijaya mengalami pembengkakan pada punggung tangan kanannya yang tadi
dipakai menggenggam pedang itu. Punggung tangan tersebut menjadi bengkak dan
membiru, Kirana tak tahu, bahwa pada saat Pranawijaya hendak mengayunkan
pedangnya untuk membabat punggung, tiba-tiba sebulir batu kecil sebesar butiran
jagung melayang dengan cepat. Mencelat dari satu sisi dan menghantam punggung
lengan tersebut.
Pada saat itulah, Pranawijaya
menjadi kesakitan, karena punggung tangannya bagaikan dihantam kuat kuat dengan
sepotong besi baja. Sekujur tubuhnya terasa sakit, sepertinya ada urat yang
ditarik dengan paksa. Rasa sakit itu membuat tubuh Prana-wijaya lemas sekejap,
hingga pedangnya jatuh.
Ketika rasa sakit seluruh
tubuhnya lenyap, kini se olah-olah semua rasa sakit bersarang di punggung
tangannya.
Kirana yang merasa tidak
melakukan hal itu segera membelalakkan mata dan berkata, "Siapa yang
melakukan?!"
"Aku!" Jawab
seseorang yang tahu-tahu sudah berada di belakang Kirana.
Cepat-cepat Kirana ber paling
memandang ke belakang, dan dilihatnya seorang pemuda tampan seusia Pranawijaya
telah berdiri dengan badan tegap, tinggi, dan wajah sangat menawan. Kirana
terperanjat sesaat memandangi pemuda yang belum dikenalnya itu, kemudian wajah
terperanjat itu berubah menjadi ketus dan berkesan benci.
Pranawij aya bergegas
mengambil pedangnya dengan tangan kiri, kemudian berseru kepada si pelempar
batu kerikil tadi, yang tak lain adalah Suto Sinting si Pendekar Mabuk.
"Apa perlumu mengganggu urusan kami, heh?!" bentak Pranawijaya.
"Kau kejam! Kau ingin
membunuhnya dari belakang!" Jawab Pendekar Mabuk. "Kalau memang kau
kesatria berjiwa pendekar, hadapi dia dari depan, dan bunuh dia dari depan
juga!"
"Persetan dengan
omonganmu! Membunuhmu dari depan pun aku sanggup, Manusia usil! Hiaaat...!
"
Pranawijaya menyerang Suto
dengan menggunakan pedang di tangan kiri . Pedang itu ditebaskan ke perut Suto,
tapi dengan sigap Pendekar Mabuk sedikit melompat mundur dan menangkisnya
dengan gerakan bumbung yang sejak tadi sudah dijinjing nya itu. Trakk...!
Cepat-cepat pula tangan itu
ditendang dari bawah oleh Suto Sinting. Plakkk..!
Tangan pemegang pedang
tersentak naik ke atas bagaikan disambar petir dari bawah. Karena keras
sentakan tangan itu, pedang yang digenggamnya terlempar ke belakang. Wurrsss..!
Jrab!
Padang itu menancap ke tanah.
Sedangkan Pendekar Mabuk cepat membuat gerakan berputar, dan kakinya menampar
wajah Pranawijaya dengan kuat kuat Plakkk...!
Pranawijaya terjerembab ke
belakang. Kepalanya membentur batu . Dugggh ...! Tulang pipinya yang menjadi
sasaran, hingga tulang pipi itu sedikit bengkak memerah.
Semua gerakan yang dilakukan
Suto begitu cepat dan tak tertangkap pandangan mata Pranawijaya maupun Kirana.
Menyadari gerakan secepat itu dari lawannya, Pranawijaya segera menggunakan
pukulan jarak jauh. Ia melepaskan pukulan lewat dua jari telunjuk dan jari
tengah yang disentakkan ke depan, seperti dicolokkan ke alam bebas. Zlapp.
zlapp...!
Dua sinar merah berbentuk
pipih seperti dua lembar daun beringin, melesat mengarah ke tubuh Pendekar
Mabuk. Tapi dengan gerakan cepat pula, Pendekar Mabuk menghadangkan bumbung
tuak nya, sehingga dua sinar merah itu menghantam bumbung tuak tersebut.
Tubb tubb...! Wosss, wosss...!
Sinar merah itu membalik arah
ke tempat semula dengan lebih cepat dan lebih besar. Pranawijaya terbeliak
kaget, kemudian berguling-guling di rerumputan semak. Tetapi, satu dari dua
sinar merah itu tak sempat dihindari. Sinar itu mengenai ujung pundak
Pranawijaya. Desss....!
"Aahg...!"
Pranawijaya memekik dengan mata terpejam dan mulut menganga, wajahnya
menyeringai.
"Jahanam kau!
Hiaaat...!" Kirana yang terkejut melihat Pranawijaya terkena pukulan balik
itu menjadi naik pitam. Ia melompat dan menebaskan pedangnya ke leher Suto.
Dengan cepat Suto Sinting merendahkan badan sambil menadahkan bumbung tuaknya
menggunakan dua tangan.
Trakk...!
Pedang itu mengenai bumbung
tuak. Benturan itu ternyata mempunyai saluran tenaga dalam yang cukup besar,
sehingga tangan Kirana yang memegang pedang terlempar keras ke belakang, dan
hampir saja copot dari engselnya jika tubuhnya tidak segera ikut terbawa
terlempar dan jatuh berguling-guling.
"Kenapa kau justru
menyerangku?! Aku membelamu. Bodoh!" sentak Suto yang merasa dongkol
dengan sikap Karina. Dilihatnya ke arah Pranawijaya, ternyata pemuda itu sudah
melarikan diri dengan cepatnya sambil mengambil pedangnya yang menancap di
tanah.
"Pranaa...!" teriak
Kirana. Tapi ia tak segera mengejarnya karena ia melihat Pendekar Mabuk
bergegas mau mengejar, sehingga Kirana justru menghadang di depan Suto.
"O, kau tak menghendaki pemuda itu kubawa kemari untuk meminta maaf kepadamu?!"
"Aku tak membutuhkan
jasamu!" jawab Kirana dengan ketus.
"Aneh kau ini!"kata
Suto sambil sunggingkan senyum di bibirnya. "Kau hampir mati. Aku
menyelamatkan nyawamu, tapi kau justru memusuhiku? Begitukah caramu berterima
kasih kepada seorang penolong?!"
"Aku tidak butuh
pertotonganmu! teriak Kirana dengan gusar. Dia tidak mungkin membunuhku!"
"Kenapa?"
"Dia kakakku!"
"Ooo...!" Suto
mangut-mangut sambil membuka tutup bumbung tuak. "Tapi agaknya kau
menghalangi cintanya tadi! Seseorang bisa gelap mata dan tak mengenal saudara
jika sudah terganggu cintanya! Dia bisa menjadi buas dan liar seperti seekor
binatang!"
"Persetan celotehmu! Aku
harus mengejar Prana agar tidak menemui Sedayu dan membocorkan rencanaku!"
"Hei,. tunggu! Aku ingin
tahu tentang Cemara Tunggal yang kau sebutkan tadi , Kirana!"
Kirana tidak peduli saat
pemuda itu menyebut namanya, ia terus berlari mengejar Pranawijaya, kakaknya.
Pendekar Mabuk meneguk tuak sebentar, kemudian segera mengejar Kirana dengan
gerakan jurus silumannya. Zlappp...!
Dalam waktu sekejap, Suto
Sinting sudah tiba di depan Kirana, membuat langkah gadis cantik itu ter henti
dan terperanjat melihat Suto tahu-tahu sudah ada di depan langkahnya, antara
lima tombak.
"Kau tadi kudengar
menyebut nyebut tentang Cemara Tunggal! Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal
itu, Kirana!"
"Tanyakan pada nenek
moyangmu! Jangan ke padaku!" ketus Kirana sambil bergegas meninggal kan
tempat. Tapi tangan Suto sempat meraih dan mencekal lengan Kirana, sehingga
gadis itu terhenti dan mengibaskan pegangan tangan Suto dengan wajah masih
cemberut.
"Jangan ganggu aku lagi!
Kau dan aku tidak ada hubungan apa apa, dan tidak punya persoalan
apa-apa!" kata Kirana.
"Percayalah padaku,
Kirana...! Kalau kau berkeras hati melarang Pranawijaya bertemu dengan Sedayu,
kau pasti akan dibunuh ! Kulihat cahaya cinta Pranawijaya pada Sedayu sangat
berkobar-kobar. Kulihat kobaran itu tampak jelas di kedua matanya saat kau
menghina Sedayu!"
"Aku tak peduli ! Dan
ingat..., aku tak butuh per tolonganmu! Jangan melindungi aku!" sentak
Kirana dengan amat ketus dan galak, ia sengaja bersikap begitu, karena
sebenarnya ia merasa takut kepada hatinya sendiri. Hatinya saat itu
berdebar-debar dan menimbulkan letupan-letupan keindahan pada saat memandang ketampanan
Suto Sinting itu.
Kirana ingin membuang letupan
indah itu agar ia tidak terperangkap oleh khayalannya sendiri dengan bersikap
galak. Namun sikap galak itu justru membuat Suto Sinting melebarkan
senyumannya, dan senyuman itulah yang menjadikan Kirana semakin gelisah dicekam
keindahan yang nyaris menjerat hatinya.
Maka, dengan cepat ia pun
melarikan diri menggunakan tenaga peringan tubuhnya. Dan Pendekar Mabuk
mengejarnya terus, karena ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang tadi ia dengar
disebutkan Kirana.
4
Di Lereng Tudung Bumi sedang
terjadi keributan. Lereng Tudung Bumi adalah tempat tinggal Sedayu bersama
beberapa murid-murid peninggalan mendiang gurunya. Sejak gurunya wafat,
Sedayu-lah yang berkuasa di perguruan tersebut dan menjadi guru bagi para murid
yang pada umum-nya terdiri atas perempuan itu.
Tetapi saat ini, Perguruan
Tudung Bumi sedang diserang oleh orang-orang dari Kobra Hitam, dipimpin
langsung oleh Ekayana, yang berjuluk Malaikat Maha Pedang itu. Pada mulanya
Ekayana hanya ingin menangkap Sedayu. Setidaknya ia ingin berbicara lebih dulu
dengan Sedayu tentang pembunuhan beracun yang menewaskan orang-orang Kobra
Hitam itu. Tetapi Sedayu menanggapinya dengan marah, karena beberapa orangnya
Ekayana yang sudah mengepung perguruan itu dianggap sudah merupakan penyerangan
dengan maksud tak baik.
Sedayu pun segera
memerintahkan murid-muridnya untuk menyerang orang-orangnya Ekayana. Di depan
Ekayana, Sedayu berkata,
"Serang mereka ! Jangan
biarkan satu pun yang mengepung tempat kita! Itu sudah merupakan tindakan yang
jelas bermusuhan!"
"Tunggu!" Ekayana
berteriak. "Aku perlu bicara dulu padamu Sedayu! Kalau memang bisa, aku
tak ingin ada pertumpahan darah di antara kita, Sedayu!"
"Kau telah mengawali
pertumpahan darah dengan memotong telinga anak buahku yang berjaga di
perbatasan, Ekayana!"
"Karena aku terpaksa dan
perlu memberi pelajaran padanya!" jawab Ekayana membela diri.
Tapi Sedayu tetap berkata,
"Itu sudah merupakan tantangan bagi kami!"
"Aku minta maaf!"
"Bisa kumaafkan, tapi
harus kau ganti dengan daun telingamu sendiri yang harus kupotong!"
"Sedayu..?!" geram
Ekayana.
Sedayu berseru kepada anak
buahnya,
"Seraaang,..!"
Ekayana pun berteriak kepada
anak buahnya,
"Hancurkan mereka!"
Maka, terjadilah pertempuran
hebat antara kelompok Ekayana dengan kelompoknya Sedayu. Anehnya, Ekayana
justru meninggalkan Sedayu dan membabat habis beberapa anak buah Sedayu.
Sementara itu, Sedayu pun cukup banyak menewaskan anak buah Ekayana yang
jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang itu.
Sedayu mempunyai kekuatan
pertahanan tak seimbang dengan orang-orang ganas dari Lembah Kabut, Perguruan
Kobra Hitam itu. Dalam waktu tak terlalu lama, tinggal beberapa anak buahnya
yang masih tersisa. Melihat keadaan begitu, Sedayu segera melarikan diri, dan
Ekayana mengejarnya. Pedang yang sudah bermandikan darah itu masih tergenggam
di tangan Sedayu dan Ekayana.
Pelarian Sedayu tiba di lereng
sebuah bukit yang jarang ditumbuhi oleh pepohonan tinggi, hanya beberapa semak
menggerumbul terpisah di sana-sini, bebatuan yang menjulang tinggi, dan rumput
kering di sekelilingnya.
Di sana, Ekayana berhasil
melepaskan pukulan jarak jauhnya yang membuat Sedayu terpelanting dan jatuh.
Pelarian Sedayu untuk sementara waktu terhenti. Kini ia berhadapan dengan
Ekayana, orang yang sering datang membawa segenggam kemesraan padanya, dan
Sedayu pun sering memanfaatkan kemesraan itu sebagai pengisi hatinya yang
kosong, sebagai pemuas dahaganya yang selalu kerontang jika tak jumpa Ekayana
dalam sepekan.
Tapi agaknya kali ini Ekayana
datang tidak membawa segenggam kemesraan, melainkan segenggam maut di ujung
pedang. Sedayu sendiri siap mencabut maut tersebut dengan petaka yang sudah
disiapkan di ujung pedangnya pula.
Pukulan jarak jauh itu hanya
membuat nyeri di tulang belakang. Tapi Sedayu cepat mengatasi rata nyeri itu
dengan menghirup napas panjang-panjang dan menahannya beberapa saat.
Perempuan berpakaian biru muda
itu kini tegak di depan lelaki berpakaian kulit bulu beruang putih yang tanpa
lengan, menyerupai rompi panjang itu. Mereka saling berpandangan mata tajam
beberapa saat, kemudian Sedayu yang membuka suara lebih dulu,
"Tak kusangka kau keji
padaku, Ekayana!"
"Karena kau pun kejam
terhadapku, Sedayu!"
"Di mana letak
kekejamanku padamu? Bukankah setiap kau datang aku selalu menyambutnya dengan
hangat?"
"Tapi kau punya rencana
busuk di balik kehangatan cintamu, Sedayu! Kau telah menyebar racun di antara
orang-orangku, sehingga cukup banyak jumlah yang mati termakan racun Getah
Tengkorak yang kau sebar di Lembah Kabut itu!"
"Apa yang kau bicarakan
sebenarnya, Ekayana?! Kau seperti bayi yang tidur siang hari dan sedang
mengigau! " kata Sedayu sambil berkerut dahi menandakan keheranannya.
Ekayana menahan luapan
amarahnya sambil sesekali menggelutukkan giginya, dan berkata kepada Sedayu,
"Jangan berpura-pura
bodoh, Sedayu! Pasti akulah sasaran yang akan kau bunuh, karena kau sudah bosan
padaku! Kau ingin menyingkirkan diriku, dan sekaligus ingin menjadikan
perguruanmu menjadi terkuat di jajaran Tanah Selatan ini. Lalu kau sebarkan
racun itu pada malam hari! Entah siapa yang kau suruh, tapi aku yakin kau ada
di balik racun itu Sedayu!"
"Kurobek mulutmu jika
berani bicara selancang itu lagi, Ekayana!" geram perempuan berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu. "Aku tak punya tindakan sebodoh itu!
Kalau aku mau, cukup dengan membunuhmu, aku bisa menggemparkan dunia persilatan
di Jajaran Tanah Selatan!"
"Kalau kau tak bersalah,
kau tak akan lari, Sedayu! Dan kemana arah tujuanmu melarikan diri, sudah dapat
kuketahui! Pasti kau akan minta bantuan kepada Pranawijaya! Pria itu yang
sekarang mengisi hatimu. bukan?!"
"Tutup mulutmu,
Ekayana!" bentak Sedayu dengan gusar. Ekayana tertawa keras hingga
tubuhnya terguncang-guncang. Ia kegirangan melihat wajah Sedayu menjadi merah
karena tertebak hatinya. Tapi ia tak tahu bahwa hal itu justru membuat Sedayu
menjadi bertambah benci dan murka kepadanya. Karena itu, Sedayu pun segera
melepaskan serangan pedangnya lebih dulu. "Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang Sedayu
menebas leher Ekayana, tapi dengan cepat Ekayana tahu-tahu sudah berada di
belakang Sedayu. Pedangnya ditebaskan dari atas ke bawah dengan tujuan membelah
punggung Sedayu. Tetapi, Sedayu sudah lebih dulu berputar balik, sambil
kelebatkan arah pedangnya ke arah Ekayana. Trangng...!
Pedang Ekayana yang hampir
membelah tubuh Sedayu itu berhasil ditangkis. Tetapi, Ekayana segera memutar
badan dan sentakkan kaki .
Wuttt...! Wess.,.! Plok!
Wajah Sedayu terkena tendangan
kuat. Terlambat sedikit saja kaki Ekayana bergerak mundur setelah menendang,
maka ia akan menjadi buntung dibabat pedang Sedayu. Tapi karena gerakan kaki
begitu cepatnya, maka wajah Sedayulah yang menjadi sasaran, membuat Sedayu
terpental antara tujuh langkah jauhnya.
Pada saat Sedayu dalam keadaan
bergegas bangkit, Ekayana sudah menusukkan pedangnya dari jarak jauh. Maka,
seberkas sinar kuning melesat dari ujung pedang itu. Zlappp...!
Sinar kuning seperti kumpulan
benang-benang kasur itu menghantam tubuh Sedayu.
Tetapi sebelum sempat mencapai
tubuh Sedayu, seberkas sinar putih perak melesat dan mematahkan gerakan sinar
kuning tersebut. Duarrr...!
Tubuh Sedayu jatuh tersungkur
lagi karena gelombang ledakan itu menghentak kuat. Ia terguling-guling tiga
kali, kemudian segera berpegangan pada salah satu sisi batu. Ia menghempaskan
napas kelelahan di sana, kemudian cepat bangkit berdiri dengan bersiap
menyerang Ekayana. Tapi alangkah terkejutnya Sedayu setelah mengetahui,
ternyata di depannya ada Pranawijaya yang sedang memunggungi, dan berhadapan
dengan Ekayana.
Sedayu segera berseru,
"Pranawijaya,
menyingkirlah! Biar kuhadapi dia!" Pranawijaya menjawab dengan tanpa
memandang Sedayu, tapi menatap Ekayana yang tampak menyunggingkan senyum tipis
sambil mengusap-usap kumis tipis di wajahnya.
"Istirahatlah, Sedayu!
Orang ini bagianku!"
"Aha...! Seorang ksatria
datang mau menolong tuan putri yang cantik?! Duhai. . . . seperti dongeng
sebelum bayi tidur saja! Ha ha ha ha...!"
"Tutup bacotmu, Ekayana!
Kita selesaikan perkara ini secara jantan...!"tantang Pranawijaya sambil
mencabut pedangnya. Dalam hati ia menggerutu,
"Sial! Gara-gara tanganku
masih memar akibat terlempar kerikil di sana, pegangan pedangku masih belum
begitu kuat! Tapi lumayan, luka di pundakku sudah bisa kusembuhkah dengan hawa
murniku sendiri, walaupun masih terasa mengilukan tulang sebelah
kanan...,"
Terdengar suara Ekayana
berseru, " Orang gendeng. ...! Kalau kau sudah bosan hidup, majulah, biar
perempuan itu tahu bagaimana cara membelah kepalamu seperti membelah sebuah
semangka!"
"Kau benar-benar manusia banyak
bacot, Ekayana! Heaaah....!"
Ekayana diam saja ketika
Pranawijaya maju menyerang dalam satu lompatan. Pedang segera ditebaskan. Tapi
serta-merta Ekayana bergerak menangkis dengan cepat sekali.
Trang...! Brett..!
"Auuhg...!"
Pranawijaya terpekik. Gerakan pedang Ekayana yang berkelebat cepat itu merobek
perut Pranawijaya.
Segera tangan kiri Pranawijaya
mendekap lukanya dengan jatuh terlutut di tanah. Kalau pada saat itu, Ekayana
segera menyerang, ia pasti bisa dengan mudah memenggal kepala Pranawijaya.
Tetapi Ekayana segera
meninggalkan Pranawijaya, karena dilihatnya Sedayu segera melarikan diri begitu
melihat Pranawijaya terkena sabetan pedang lawan. Ekayana berlari mengejar
Sedayu sambil berseru,
"Jangan lari kau,
Sedayu...! Aku tak akan kehilangan jejakmu walau kau lari ke lubang semut
sekalipun!"
Pranawijaya tak bisa mengejar
Ekayana. Ingin rasanya ia menahan pemuda itu agar tidak mengejar Sedayu. Tetapi
luka di perutnya itu cukup membuat ia gemetar sekujur tubuh dan panas dingin.
Maka, segera ia mencari tempat dan melakukan semadi secepatnya, ia memompa hawa
muminya ke perut, supaya lukanya tak menjadi parah. Toh luka itu sendiri tidak
sampai ke bagian yang paling dalam. Masih bisa disembuhkan dengan hawa
murninya.
Sementara itu, Ekayana benar-benar
tak memberi kesempatan Sedayu untuk melarikan diri, ia berhasil mencegat Sedayu
di tanah datar berpepohonan lebat itu. Sedayu terpaksa menghentikan langkahnya
dan kembali bersiap menghadapi pedang Ekayana. Dalam hati Sedayu pun mengakui
kehebatan pedang Ekayana,
"Gerakan pedang orang ini
memang hebat. Rasa-rasanya aku sedang dipermainkan olehnya! Kalau dia mau, dia
bisa membunuhku saat Pranawijaya belum datang! Buktinya, ia bisa lukai
Pranawijaya dengan secepat itu!"
"Sedayu!" seru
Ekayana. "Mau lari ke mana lagi? Ke tempat yang rimbun? Merayuku untuk
bercumbu? Oh. tidak! Tidak bisa, Sedayu! Saat ini bukan saat bercumbu, tapi
saatku membalas kematian orang orangku yang kau musnahkan dengan racunmu
itu!"
"Aku tidak melakukannya
!" bentak Sedayu. Tapi kalau kau tetap menganggapku begitu, apa pun
keinginanmu akan kulayani! Jangan anggap hanya kau yang jago main pedang! Aku
pun bisa menandingi-mu!"
"Bagus ! Aku lebih suka
membunuh orang yang punya ilmu pedang, daripada yang hanya punya ilmu memuncakkan
gairah! He he he...!"
"Manusia berotak kotor!
Terimalah pedang 'Jegal Baja'-ku ini! Hiaaat!" Sedayu melompat menyerang,
pedangnya menebas cepat ke kiri dan ke kanan bagai membuat garis silang
beberapa kali. Ekayana sempat mundur dua tindak, kemudian dengan cepat ia
kelebatkan pedangnya dari bawah ke atas. Wrruttt....! Trangng...!
Pedang Sedayu terpental
melayang jauh. Perempuan itu menjadi tegang karena tanpa pedang lagi di
tangannya.
Ekayana tersenyum menang. Tapi
segera ia menghentakkan kakinya ke depan, melangkah satu kali dan pedangnya
menebas miring dari bawah kanan ke atas kiri. Wesst...! Trangngng...!
Sepotong dahan kering melesat
menghalangi gerakan pedang itu. Sepotong dahan itu terbelah menjadi dua,
padahal seharusnya dada Sedayu yang sekal itu yang terbelah menjadi dua. Ada
seseorang yang menyerang dan melemparkan sebatang dahan itu. Ekayana segera
mencari orang itu ke samping kanan-kiri.
Tapi ketika ia menengok ke
belakang, tiba-tiba sebuah kaki menjejak wajahnya dengan sangat kuat dan cepat.
Plokk...!
"Uhff...!" Ekayana
terpental ke belakang, jatuh terkapar di rerumputan. Dengan cepat ia kibaskan
pedangnya sambil tiduran ketika sebatang tongkat hendak menancap di dadanya.
Trakk...! Lalu, dengan sentakan pinggang, Ekayana melenting naik dan berdiri
dengan tegap lagi . Kedua tangannya menggenggam pedang, matanya melirik taj am
ke arah seseorang yang ada di samping kirinya.
"Bangsat tua ...! Kau
rupanya!" geram Ekayana yang sudah mengenali tokoh tua bertongkat itu tak
lain adalah Nini Pasung Jagat.
5
TERLINTAS dugaan kuat di dalam
pikiran Ekayana, "Jangan-jangan nenek tua ini yang menabur racun di Lembah
Kabut?! Karena sudah tiga kal dia bentrok denganku, satu kali bentrok dengan
Brajawisnu!"
Ekayana membiarkan Sedayu
mencari pedangnya yang mental tadi. Kini perhatian Ekayana lebih tertuju kepada
tokoh tua yang sudah lama dikenal nya. Bahkan sama seperti dulu, setiap bertemu
dengan tokoh tua itu, sepertinya bentrokan harus terjadi dan tak pernah bisa
dielakkan. Kali ini pun tokoh tua itu sudah memancarkan sinar permusuhan di
dalam tatapan matanya yang cekung dan angker itu.
"Kakekmu sudah kubantai
mati!" kata Nini Pasung Jagat.
Terperanjat Ekayana
mendengarnya. Jantungnya bagaikan mau berhenti saat itu juga. Tapi ia bertahan
untuk tenang dan membantah pengakuan tersebut dengan berkala,
"Tidak mungkin! Kau tidak
mungkin unggul melawan kakekku!"
"Padmanaba tidak ada
sekuku hitamnya jika dibandingkan dengan kesaktianku, Ekayana! Tengoklah di
pesisir, barangkali bangkainya masih tersisa beberapa bagian, kalau belum habis
dimakan burung!"
"Tidak mungkin!"
bentak Ekayana mlaui naik pitam. "Mungkin saja! Sebab dia tidak mau
tunjukkan padaku di mana dia simpan pusaka itu?! Dia tidak mau serahkan pusaka
peninggalan guru kami, sehingga dia serahkan nyawanya secara cuma-cuma ! Hik,
hik, hik hik ....! "
Nini Pasung Jagat tertawa
terkikik-kikik. Ekayana menggeram. Dadanya naik turun karena napasnya
terengah-engah menahan luapan amarah. Bahkan ia biarkan Sedayu yang diam-diam
melarikan diri darinya.
"Agaknya memang benar
pengakuan itu, " kata Ekayana di dalam hatinya.
" Kakek selama ini tidak
tahu apa yang kulakukan di dalam tubuh Perkumpulan Kobra Hitam ini! Kakek
selama ini menganggapku sebagai orang baik-baik yang layak menerima sebuah
pusaka jika memang waktunya tiba dan dirasakan sudah saatnya harus ada di
tanganku. Kakek pernah bilang, bahwa pusaka itu diincar terus oleh Nini Pasung
Jagat. Rupanya sekaranglah saatnya bagi si nenek tua ini untuk mendesak Kakek
Padmanaba untuk mendapatkan pusaka itu, dan aku percaya kalau Kakak Padmanaba
mempertahankan sampai mati! Tapi aku tak pernah tahu. apa dan di mana pusaka
itu sebenarnya. Kakek tak pernah mau menceritakannya kepadaku, sekalipun aku
adalah cucu kesayangannya!"
Nini Pasung Jagat segera lontarkan
kata kepada Ekayana yang menatapnya dalam bungkam, tak berkedip, dan tetap
menggenggam pedangnya yang siap tebas itu.
"kalau kau seorang cucu
yang cerdas dan pintar, kau tentunya tidak akan mengikuti jejak kakek mu yang
bodoh itu! Kalau kakekmu bertahan sampai kehilangan nyawanya dan tak mau
serahkan pusaka itu, tentunya kau tak akan ikut-ikutan menyerahkan nyawa
kepadaku jika aku inginkan pusaka itu, Ekayana. Bukankah begitu. Nak?!"
"Persetan dengan
bujukanmu! Aku tak tahu-menahu tentang putaka itu!" bentak Ekayana dengan
marahnya.
"Yang kupikirkan
sekarang, bagaimana menanam mayatmu nanti jika kau telah kupotong-potong dalam
satu jurus pedangku ini!"
"Hi hi ni hik...!"
Nini Pasung Jagat menertawakan. Bocah ingusan seperti kamu berlagak mau menggertak
ku yang tua begini? O, alaa. . Nak, Nak! Sadarlah bahwa nyawamu tadi sudah di
ujung tongkatku ini! Kalau aku tidak kasihan padamu, sudah melayang sejak tadi
sukmamu itu, Ekayana! Tapi karena aku yakin, kau pasti tahu di mana pusaka itu
disimpan, maka kuharap kau mau menyebutkannya, walau tak harus mengambilnya
sendiri. Biarlah aku yang mengambilnya!"
"Dasar Nenek budek! Sudah
kubilang, aku tak tahu menahu tentang pusaka itu, tapi masih saja memancing
kemarahanku untuk segera meledak sekarang juga! Kalau memang itu maumu,
terimalah jurus 'Pedang Pembelah Petir' ini, heaaah...!"
Wusss...! Wuttt...!
Ekayana melompat menyerang
dengan cepat. Pedangnya ditebaskan dalam beberapa gerakan tapi kelihatannya
hanya satu gerakan. Dan hal itu membuat Nini Pasung Jagat tersentak mundur lalu
ber salto ke belakang satu kali dan ganti menebaskan tongkatnya untuk
menggempur kepala Ekayana, Wuesss...!
Dengan lincah Ekayana bergerak
ke samping dan mengirimkan tendangan miring kepada lawan nya.
Wuttt...! Degg...!
Tendangan itu ditahan dengan
kepala tongkat, kemudian kepala tongkat menyodok ke depan mengikut gerakan kaki
Ekayana. Buhgg...!
"Ehg...! Ekayana
mendelik, perutnya bagai di sodok dengan batu sebesar gunung. Ia terpental ke
belakang hingga berguling-guling dan membentur pohon tubuhnya. Ekayana tak bisa
bernapas dalam beberapa kejap. Nini Pasung Jagat menyerangnya lagi sebelum anak
muda itu kelihatan segar kembali . Kali ini ia melepaskan pukulan tenaga dalam
melalui sentakan tangan kirinya. Wuttt..!
Sinar merah terlepas dan
melesat menghantam Ekayana, Tapi oleh Ekayana sinar itu ditangkisnya dengan
menghadangkan pedangnya di depan wajah. Pedang itu keluarkan cahaya perak
berkilauan, seluruh tubuh pedang yang memancar membentuk perisai. Dan sinar
merah itu menghantam cahaya perak yang berkilauan dengan kuat. Blarrr...!
Mau tak mau Ekayana kembali
terpekik tertahan, karena gelombang ledakan itu sangat kuat menghantam dadanya,
sementara Nini Pasung Jagat hanya tersentak mundur antara tiga tindak, ia
terhuyung-huyung mau jatuh, namun buru-buru bertahan pada sebuah pohon besar.
"Edan! Pukulan apa tadi
yang dilepaskannya padaku?!" pikir Ekayana sambil bergegas bangkit dengan
melalui rambatan pada sebatang pohon. "Kulit tubuhku terasa mau pecah dan
tercabik-cabik terhantam ledakannya tadi. Untung aku bisa menahannya, kalau
tidak, habislah riwayatku tadi! Agaknya ia cukup tangguh untuk ditumbangkan! Ia
bisa lolos dari gerakan jurus '"Pedang Pembelah Petir"tadi. Biasanya
lawan yang kuserang dengan jurus itu. tubuhnya akan terpotong-potong menjadi
beberapa bagian. Jurus itu sukar dihindari atau ditangkis! Tapi nenek tua itu
ternyata mampu menyelamatkan diri dari jurus pedangku itu! Luar biasa!"
Napas dihela dalam-dalam
beberapa kali. Ekayana memandang kanan-kiri, melihat arah pelarian Sedayu
sambil berpikir,
"Bimbang juga pikiranku,
Sedayu atau nenek tua ini yang sebenarnya menaburkan racun Getah Tengkorak?!
Jika nenek ini yang berbuat, mengapa Sedayu melarikan diri? Pasti dia
menghindar dari maut karena merasa bersalah! Kalau begitu, Sedayu saja yang
kucecer lebih dulu! Urusan nenek edan ini nanti saja, setelah kuselesaikan
urusanku dengan Sedayu, baru aku menuntut balas atas kemauan kakek dari tangan
si nenek edan ini!"
Tiba-tiba terdengar suara Nini
Pasung Jagat menyentak keras,
"Ekayana! Kalau kau
bersikeras ingin menyerahkan nyawa daripada menyerahkan pusaka itu, maka
terimalah jurus 'Rembulan Jantan' ini, hiaaah...!"
Sebuah pukulan tongkat yang
memutar memercikkan cahaya kuning bagai piringan. Cahaya kuning itu melayang,
melesat cepat dalam keadaan datar. Clappp...!
Begitu cepatnya sampai-sampai
tak memberi kesempatan Ekayana untuk menarik napas, ia segara kibaskan
pedangnya dengan memutar di atas kepala juga, dan dari kibasan itu keluar
percikan sinar merah yang membentuk piringan bundar pula. Clapp...! Blarrr...!
Glarrr...!
Begitu dahsyatnya ledakan itu
hingga bisa terjadi dua kali. Itu karena kedua sinar maut sama sama berkekuatan
tinggi dan sama sama ingin tetap menyerang lawan. Akibatnya ledakan kedua adalah
ledakan penghabisan dari sebuah serangan yang dahsyat.
Dua kali ledakan dahsyat itu
membuat Nini Pasung Jagat terpental dan tubuhnya jatuh terjepit di sela dua
pohon yang merapat tumbuhnya itu. Sementara Ekayana jatuh di atas semak semak
berduri yang rimbun.
Tubuhnya tergores duri bagai
disergap mata pisau ratusan buah. Untunglah Ekayana cepat gunakan ilmu peringan
tubuhnya, sehingga duri duri itu tidak sempat menancap di kulit tubuhnya dan ia
segera melesat lompat dari sana. Sementara itu, Nini Pasung Jagat terpaksa
menghentakkan kedua tangannya ke kanan kiri dan merubuhkan dua pohon itu
sekaligus dalam satu kali hentakan kuat.
Krakkk...Brukk! Grubukkk...!
Kalau tidak begitu, ia tidak
bisa lepas dari himpitan dua pohon yang tumbuhnya merapat itu. Ia tersangkut
dan terjepit kuat hingga sukar meloloskan diri dengan cara wajar. Melihat Nini
Pasung Jagat berusaha meloloskan diri, Ekayana segera sentakkan kakinya dan
melesat pergi tinggalkan tempat.
Saat itu Nini Pasung Jagat
tidak melihat gerakan minggat Ekayana. Ia hanya tertegun bingung dan
celingak-celinguk begitu bisa lepas dari dua pohon yang menghimpitnya itu. Ia
mencari-cari Ekayana yang disangka mati di suatu tempat. Namun begitu ia
melihat kelebatan Ekayana di kej auhan sana, ia pun menggeram sambil memukulkan
tongkatnya ke tanah. Setelah itu segera mengejar Ekayana sambil berkata dalam
hati.
"Anak itu harus
kutemukan, harus kutangkap! Tidak akan kubunuh sebelum kupaksa ia menjawab di
mana pusaka kakeknya itu berada! Jika memang ia tak tahu atau tetap ngotot,
terpaksa harus kubunuh daripada kelak ia membokongku dari belakang! Sudah tentu
ia tidak akan tinggal diam setelah tahu akulah yang membunuh kakeknya!"
Kalau tidak karena punya
dugaan kuat kepada Sedayu sebagai orang penyebar racun di Lembah Kabut, Ekayana
pasti akan menggempur terus ke adaan Nini Pasung Jagat tadi. Tapi kali ini
agaknya ia harus melupakan hal itu dan mengejar sedayu dengan mengandalkan
gerak nalurinya.
Sayang di penjalanan ia sempat
melihat Tanjung Bagus, yang berambut panjang selewat punggung, memakai bunga
kemboja putih di atas telinga kanan nya. Cepat-cepat Ekayana menghampiri lelaki
yang berdandanan wanita, dengan wajah cantik dan ber kesan binal itu. Pakaian
pinjung sebatas dada menutupi gundukan daging yang tak seberapa besar tapi
berkesan montok. Celana dan pinjung ketat warna kuning itu dirangkapi kain
jubah warna merah jambu.
Bagi lelaki yang belum tahu
siapa Tanjung Bagus itu, maka ia akan terangsang melihatnya karena dianggap
sebagai perempuan yang punya daya pikat tinggi dan menggairahkan. Padahal orang
itu sebenarnya seorang lelaki yang punya nama asli Legowo. Ekayana melompat dan
tahu-tahu berdiri di depan Tanjung Bagus.
Orang itu memekik genit dan
latah, "Eh, alah... kadal, babi, kambing, cicak, semut, gajah..! Iih!
Bikin kaget saja kamu!" sambil tangan nya melambai dan tubuhnya melenggok
ganjen.
Kalau Ekayana tidak sedang
marah, ia akan ter tawa dan terus menggoda kelatahan Tanjung Bagus. Tapi karena
ia sedang marah kepada gurunya Tanjung Bagus, maka wajah Ekayana tetap diam,
dingin, dan memancarkan nafsu untuk membunuh. Tanjung Bagus sedikit curiga,
tapi ia hanya meliriknya dengan pasang gaya genit supaya menarik minat lelaki
tampan di depannya. Bahkan ia berkata,
"Lain kali kalau mau
temui aku jangan gitu, ah! Kita kan kaget , Ekayana!. Mau apa sebenarnya kamu,
ha? Mau apa? Ngomonglah ! Aku siap menerima ajakanmu untuk apaaa . . saja !
" lalu ia tersenyum nyengir, Menurutnya senyuman itu manis, tapi menurut
Ekayana memuakkan.
Ekayana diam saja, masih
membisu di tempat Tanjung Bagus memandangnya dengan mata nakal.
Senyumnya adalah senyum jalang
yang biasa dipakai menggoda lelaki atau lebih tepatnya menjebak lelaki yang
diminatinya. "Mau apa kamu menghadangku, Ekayana? Ngomonglah...!"
"Mau membunuhmu ! "
bentak Ekayana keras membuat Tanjung Bagus terlonjak kaget dan berucap latah,
"E, alah... babi,
kambing, tikus, bebek, kucing,ayam...! Aduh, suaramu itu lho! suka bikin
jantung cotot, eh... comot, eh...copot!"
Tanjung Bagus bahkan berjalan
melenggok lenggok mendekati Ekayana seraya berkata lagi,
"Datang-datang kok mau
membunuhku? Ada masalah apa, Ekayana? Kamu kalau sedang cemberut gitu ganteng
sekali lho! Betul kok! "
Srett...! Wutt,,,! Pedang
dicabut, ditebaskan dari bawah ke atas dalam satu gerakan mencabut.
Crasss...! Tanjung Bagus diam,
memandang Ekayana dalam senyum. Tapi senyumnya itu lama-lama kendor. Tanjung
Bagus tetap tak bergerak dan tak berkedip. Lama lama tubuhnya mulai meliuk mau
tumbang, perut sampai dada robek dalam, bahkan leher pun sempat robek karena
tebasan kilat pedang Ekayana.
Brukkk...! Tanpa bicara 'A', I
atau U, Tanjung Bagus rubuh dan tak bernyawa lagi. Ekayana yang sejak tadi juga
diam dengan pedang terangkat habis dipakai menyabet tubuh lawannya, kali ini
menarik badannya yang melangkah maju menjadi sejajar tegak. Pedangnya pun sudah
diturunkan. Wajahnya masih berkesan bengis.
"Tak dapat membunuh
gurunya, muridnya pun jadi!" katanya. " Tapi ini belum lunas! Nini
Pasung Jagat masih harus membayar nyawa kakek dengan nyawanya sendiri!"
sambil menggumam begitu, Ekayana membersihkan darah dipedangnya memakai rambut
mayat Tanjung Bagus. Dan tanpa ia sadari, hal itu dilihat oleh Nini Pasung
Jagat dari kejauhan sehingga berteriaklah nenek ganas itu.
Wess...! Ekayana cepat
tinggalkan tempat, tak mau melayani Nini Pasung Jagat yang segera mendekati
mayat muridnya. Ia terperanjat kaget melihat Tanjung Bagus sudah tidak bernyawa
lagi. Ia berseru,
"Banci...! Banci, kau
mati, Nak...? Oh, murid ku...?!" Nini Pasung Jagat meratap.
Tanjung Bagus satu-satunya
murid yang setia padanya, karena itu Nini Pasung Jagat sangat sayang kepada
Tanjung Bagus walaupun anak itu banci. Melihat kematian muridnya, Nini Pasung
Jagat meluap murkanya kepada Ekayana. Bahkan ia berteriak sambil mengangkat
kedua tangannya yang memegangi tongkat di sebelah kanan itu,
"Ekayana. . . ! Aku
bersumpah akan membunuh mu untuk menebus kematian muridku! Tunggu aku,
Ekayanaaa.. .!"
Entah mendengar atau tidak
Ekayana saat itu, yang jelas pemuda berpakaian kulit beruang putih bercelana
hitam itu berlari mengikuti petunjuk nalurinya dalam mengejar Sedayu. Dan
ternyata, Sedayu memang ada dalam arah yang dituju.
Tetapi ternyata Pranawijaya
sudah lebih cepat bergerak memotong jalan dan berhasil menyusul Sedayu.
Keadaan luka di perut
PranawiJaya telah tertutup kain pengikat pinggang, dan beberapa ramuan daun
telah dimakan dan diborehkan pada lukanya itu. Keadaan tersebut membuat
Pranawijaya tak berkurang kekuatannya.
"Sedayu...! panggilnya
dari belakang. Sedayu menoleh dan juga berseru kaget,
"Prana...! Oh, Prana...
syukurkah kau selamat!"
Sedayu memeluk Pranawijaya.
Agaknya memang hati perempuan itu saat ini sedang tertuju pada Pranawijaya,
sehingga dengan erat dan hangat ia memeluk Pranawijaya, bahkan menciuminya
penuh gairah.
Tetapi kecemasan telah membuat
gairah itu surut dan terpendam untuk sementara waktu.
"Dia masih mengejarmu,
Sedayu?"
"Ya. Masih! Tapi tadi
kulihat dia bertarungdengan tokoh tua, dan aku punya kesempatan melarikan diri
kemari! Oh, syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi Prana!" sambil Sedayu
memeluk Pranawijaya lagi.
"Tenangkan hatimu! Aku
punya tempat persembunyian yang cukup aman buat kita, Sedayu!" sambil
tangan Pranawijaya mengusap usap rambut Sedayu yang bersandar di dadanya dengan
hangat.
"Di sana kau aman dari
gangguan siapa saja. Sedayu! Kau bisa istirahat dengan tenang!"
Tiba-tiba ada yang menyahut,
"Iya. Kuburan itulah tempatnya beristirahat dengan tenang!"
Pranawijaya terkejut, demikian
pula Sedayu, ia buru-buru menjauhkan jarak dengan Pranawijaya. Keduanya
buru-buru memandang ke atas pohon, ternyata di sana sudah bertengger seorang
gadis cantik berpakaian kuning gading. Dialah Kirana! Wuggg...!
Kirana melompat turun dari
atas pohon. Jaraknya hanya tiga langkah dari depan Sedayu. Matanya memancarkan
gairah untuk membunuh Sedayu. Tetapi Sedayu tak gentar sedikit pun, bahkan
berkata dengan nada menggeram gemas,
"Bocah usil! Begitukah
kerjamu setiap hari mengintip orang yang sedang bermesraan?!"
"Kerjaku setiap hari
mengincar kamu untuk ku bunuh, Sedayu! "
Kirana bicara dengan keras dan
berani.
"Kirana, jaga
bicaramu!" Pranawijaya membentak.
Tapi Kirana justru bersuara
lebih keras lagi,
"Kau boleh berada di
pihak dia, Prana! Aku tak akan gentar melawan kalian berdua!"
Sedayu segera berkata.
"Bocah bodoh kamu ini!
Tak ada masalah apa apa mau membunuhku?!"
"Kau yang berlagak bodoh.
Sedayu! Kau telah membunuh guruku, tapi berlagak tidak mempunyai masalah apa
apa denganku?!"
"Ooo... jadi kau menuntut
kematian gurumu itu?!" Sedayu manggut-manggut sambil pamerkan wajah
sinisnya. "Jangan banyak bicara! Terima saja pembalasanku ini! Heaah...!
Srett...! Wuttt wuttt...!
Dua kali Kirana berkelebat
menebaskan pedangnya ke wajah Sedayu, tapi bisa dihindari oleh Sedayu dengan
memiringkan badan dan merunduk satu kali. Tapi dengan cepat Kirana membalikkan
badan dan dengan tendangan berputar, ia mencapai dada Sedayu, lalu menyentakkan
kakinya kuat-kuat. Behgg...!
"Uhg...! Sedayu terpekik
tertahan karena sentakan itu. Tubuhnya tersentak ke belakang, dan kini merapat
dengan sebatang pohon . Dengan cepat Kirana melompat dan membabatkan pedangnya
ke arah leher Sedayu.
Crass...! Pedang itu melukai
batang pohon, karena Sedayu segera berguling ke tanah sambil mencabut pedang,
kemudian dengan cepat ia berdiri sigap, menatap Kirana yang sedang ditahan dari
belakang oleh Pranawijaya. "Hentikan, Kirana! Hentikan...!"
"Setan kau. Prana!
Hihh...!" Kirana menendang bagaikan kuda, Pranawijaya terkena tendangan
itu di perutnya yang masih luka, ia memekik,
"Auuh.. . ! "dan
terhuyung huyung mundur dua tindak. Melihat Pranawijaya terkena tendangan yang
menyakitkan, Sedayu segera melepaskan serangan nya dengan jurus pedang menebas
dari atas ke bawah sambil ia memekik keras, "Hiaaah...!" Wuttt. . !
Trang...!
Kirana berhasil menangkis
pedang itu, tapi oleh Sedayu pedang tersebut diputar dan disentakkan ke
samping. Clakk. . . ! Pedang itu terlepas dari genggaman Kirana. Segera tubuh
Kirana ditodong ujung pedang Sedayu sambil Sedayu berkata penuh kegeraman hati,
"Lihat! Betapa mudahnya
aku membunuhmu saat ini, bukan?! Jangan sekali-sekali kau bertingkah di depanku
dan berkoar mau membunuhku! Kau bisa terbunuh sendiri oleh ucapanmu,
Kirana!"
"Setan jalang kau,
Sedayu!" Wuttt...! Plakk...!
Di luar dugaannya, Kirana
menyentakkan kaki ke atas sambil tubuhnya melengkung ke belakang dan berjungkir
balik dengan cepat. Gerakan kaki yang dilakukan bersamaan dengan berjungkir
balik, itu telah mengenai tangan Sedayu, sehingga tangan itu tersentak naik,
dan pedangnya terlepas, karena tulangnya terasa ngilu akibat tendangan kaki
bertenaga dalam itu.
Clap Clap...!
Kedua perempuan itu kini sudah
kembali menggenggam pedang masing-masing. Kirana siap-siap menyerang. Tapi
tahu-tahu dari arah belakang ia merasakan ada gerakan dingin yang mendekatinya
dengan cepat. Maka serta-merta ia berlutut satu kaki dan menadahkan pedang
menyilang di atas kepala dengan tangan kiri menopang ujung pedangnya.
Trangngng...!
Gerakan Pranawijaya yang ingin
membelah kepala adik sendiri dengan pedang itu berhasil ditangkis. Tapi
tiba-tiba tubuh Kirana dijatuhkan dan berputar cepat menyabet kaki kakaknya
dengan pedang berkecepatan tinggi.
Wuuttt...! Kaki itu melompat
dengan cepat dan menendang waj ah Kirana. Plokk...!
"Auh ...!" Kirana
memekik kesakitan, tulang pipi nya bagaikan mau pecah akibat tendangan
Pranawijaya.
Sedayu segera menyerang dengan
pedang menebas ke tanah. Tapi Kirana berguling ke samping, lalu pedangnya
berkelebat menyabet tangan Sedayu. Wuttt...! Crass...!
Tangan Sedayu terlambat
sedikit menghindari sabetan pedang Kirana, akibatnya tangan itu tergores mata
pedang yang tajam. Untung tak seberapa dalam. Hanya agak panjang lukanya dan
mengeluarkan darah yang membuat mata Pranawijaya terbelalak marah.
"Kau benar-benar cari
mampus, Kirana!" teriak Pranawijaya.
Pada waktu itu, Kirana sudah
siap berdiri dengan sigap dan mengangkat pedangnya ke samping dada kanan dengan
kaki sedikit merendah, rapat antara yang kiri dengan yang kanan. Tubuhnya
sedikit serong, sehingga sewaktu waktu datang serangan tinggal menebaskan
pedangnya. Wuttt...! Crass...!
"Aahg....!"
Sedayu yang terpekik saat itu.
Pranawijaya terkejut dan menoleh ke belakang, ia tambah terbelalak melihat
Ekayana sudah berada di sana, baru saja berhasil menyabetkan pedangnya dan
melukai punggung Sedayu. Untung tidak terlalu parah, sehingga Sedayu bisa cepat
melompat menjauhinya dan bergabung dengan Pranawijaya.
"Bangsat! Kau harus
menebus lukanya dengan nyawamu, Ekayana ! " bentak Pranawijaya lalu cepat
maju menyerang bersama pedangnya.
"Hiaaah...!"
Wuttt wuttt., trang trang...!
Plok...!
Wajah Pranawijaya menjadi
merah. Sebuah tendangan bertenaga dalam tinggi menghantam wajahnya, membuat ia
terpental mundur empat langkah. Melihat Pranawijaya terjungkal jatuh dalam
keadaan payah, Kirana segera berteriak garang dan menyerang Ekayana.
"Heaaat...!"
Wuttt, wuttt...! Trang trang
trang...! Behgg!
Kini tendangan kaki Kirana
yang menghantam telak perut Ekayana. Pemuda itu tersentak mundur tiga langkah,
lalu berdiri tegak lagi.
"Kau mau ikut campur
rupanya!"
"Kau mau membunuh
kakakku! Maka aku yang akan berhadapan denganmu ! " kata Kirana, masih
saja membela kakaknya walaupun tadi hampir saja ia mati di ujung pedang
Pranawijaya.
"Kepung dia" seru
Sedayu dengan masih kuat melakukan serangan walau sudah terluka punggungnya.
Pranawijaya yang mendengar seruan itu segera bangkit dan mengepung Ekayana.
Kini, Ekayana dikeroyok tiga orang yang masing-masing punya kemampuan memainkan
pedang.
"Sedayu!" kata
Ekayana. "Sebaiknya kau menyerah saja dan kubawa ke Lembah Kabut untuk
diadili di sana! Daripada kau di sini mati di tanganku, lebih baik kau diadili
oleh Logayo. Aku bisa membelamu untuk mendapatkan keringanan hukuman
darinya!"
"Cuih...!" Sedayu
meludah. 'Lebih baik kau bawa kepalaku ke sana ketimbang aku harus diadili
sementara aku tak bersalah!"
"Mengakulah.,Sedayu!
Orang-orangku sudah banyak yang tahu bahwa kaulah yang menyebar racun Getah
Tengkorak di tempatku! Kau tak bisa mengelak lagi, Sedayu!"
"Mendengar nama racun itu
saja baru dari mulutmu! Bagaimana mungkin aku bisa menggunakan racun tersebut?
! Dari mana aku mendapatkannya!? Kau jangan mengada-ada, Ekayana! Bilang saja
kau cemburu karena kau tahu aku sekarang berpindah pelukan pada
Pranawijaya!"
"Baiklah kalau kau tetap
membandel! Aku; Malaikat Maha Pedang, terpaksa merampungkan tugasku dengan
berat hati!"
"Seraaang...!"
teriak Sedayu memberi perintah. Maka, Pranawijaya dan Kirana pun menyerang
Ekayana secara serempak. Ekayana sendiri hanya diam saja ketika mereka bertiga
bergerak maju, tapi tiba-tiba ia menggunakan jurus 'Pedang Pembelah Petir' nya
itu. Wuttt...!
Cras...! Crass...! Trang...!
Dalam satu gerakan cepat,
pedang Ekayana telah berhasil merobek dada Sedayu dan leher Pranawijaya.
Sementara gerakan berikutnya dapat ditangkis oleh Kirana, sehingga gadis itu
hanya terpental akibat kekuatan tenaga dalam yang mengalir dalam pedang
Ekayana.
Begitu Kirana berhasil cepat
berdiri, takut diserang lagi, ia menjadi tertegun melihat kakaknya rubuh tak
bernyawa dan Sedayu pun tergolek mati di samping Pranawijaya.
"Prana...?!"
Kirana ingin berteriak, tapi
tak mampu, sehingga yang keluar hanya berupa desah kesedihan mendalam. Ia pun
tak bisa mendekati mayat kakaknya karena serangan dari Ekayana kembali
membahayakan j iwanya .
Kirana menangkis serangan itu
dua kali dan berhasil menendang tubuh Ekayana hingga terjeng kang jatuh sang
lawan, kemudian ia cepat-cepat melarikan diri meninggalkan lawannya yang
membahayakan itu.
Ia berlari sambil membawa
kesedihan atas kematian kakaknya, namun juga membawa ketegangan karena Ekayana
berlari mengejarnya.
6
KALAU Kirana tidak lari, dia
akan mati. Kirana tahu persis kekuatan ilmu pedang lawannya itu. Ia tak mau
mati konyol melawan sesuatu yang jelas lebih tinggi ilmunya dari ilmu yang
dimilikinya.
Yang menjadi masalah sekarang
adalah bagaimana menghindari kejaran dari Ekayana. Agaknya orang itu bernafsu
juga untuk membunuh Kirana dalam kaitan pengeroyokannya bersama Pranawijaya dan
Sedayu . Sudah pasti Ekayana menganggap Kirana berkomplot dengan kedua orang
tersebut.
Padahal Kirana sendiri
sebenarnya merasa tak menyukai Sedayu dan kecewa sekali Sedayu mati di tangan
Ekayana.
Pelarian di ujung senja itu
membawa Kirana ke sebuah pantai. Sampai di sana, Kirana merasa bingung harus
bersembunyi di mana, sementara dia tahu persis, Ekayana masih terus
membuntutinya. Bahkan kali ini Kirana terpekik kaget dengan pedang cepat
berkelebat ke belakang sambil membalikkan badan, karena ia mendengar suara
seorang lelaki di belakangnya,
"Mau menyeberang
lautan?!" Wuttt...!
"Hai, tunggu dulu!"
seru pemuda itu yang ternyata adalah Suto Sinting. Untung Suto segera sentakkan
badan ke belakang, sehingga pedang itu lewat di depan perutnya dalam jarak satu
jengkal.
"Oh, kau...!" Kirana
menggeram jengkel-jengkel senang. Napasnya dihempaskan lepas .
Cepat-cepat ia buang muka
karena tak mau terlalu lama memandang senyuman Pendekar Mabuk yang membahayakan
hatinya itu.
"Lain kali berteriaklah
dulu kalau mau mendekatiku! Jangan begitu caranya! Hampir saja aku
membunuhmu!"
"Bukankah itu lebih baik
bagimu?" kata Suto menggoda. "Kau sudah hampir membunuhku tadi
pagi!"
"Aku... aku khilaf!"
jawab Kirana. "Sekarang... sekarang aku dalam bahaya ! Aku menghadapi
musuh yang punya ilmu pedang cukup tinggi! Kakakku dan Sedayu kekasihnya, mati
di tangan Ekayana! Dia sedang mengejarku, dan kusangka kau adalah Ekayana!
Karenanya kutebaskan pedangku lebih dulu sebelum dia membunuhku!"
"O, kau mau dibunuh oleh
orang yang bernama Ekayana?"
"Ya. Aku sudah mencoba
melawannya, tapi kurasa aku kalah!" Pendekar Mabuk tertawa, "Kalau
tak kalah, tak mungkin kau lari sampai ke sini!"
Kirana ingin mengucapkan kata
kala lagi, tapi ia bimbang, bingung, dan akhirnya hanya menghempaskan napas
sambil angkat bahu. Ia duduk di atas sebuah batu yang tingginya sebatas
pinggulnya. Ia masih memegangi pedang di tangannya. Sementara itu, Suto Sinting
menenggak tuaknya beberapa teguk dan merasakan kesegaran tuak melalui hembusan
napas lewat mulutnya.
"Siapa kau
sebenarnya?" tanya Kiran setelah membisu beberapa saat. Ia memandang Suto
sekejap,lalu buru-buru memandang laut yang ingin menelan matahari senja itu.
"Kau mulai ramah padaku rupanya! Mungkin kau punya maksud tersembunyi di
balik keramahan mu?"
"Yang ingin kutahu, siapa
dirimu!" Kirana membelalakkan mata seperti dipaksakan untuk menjadi galak
lagi. Suto menertawakan sekejap, kemudian ia menjawab dengan suaranya yang
lembut, melenakan kalbu,
'Namaku Suto Sinting! Secara
kebetulan saja aku sedang mencari apa arti Cemara Tunggal!"
"Arti Cemara Tunggal ? !
" Kirana berkerut dahi memandang Suto .
"Maksudku, aku tidak tahu
apakah Cemara Tunggal itu nama sebuah tempat, nama pusaka, nama tokoh tua.,
atau nama makanan!"
Kirana diam. Tapi kemudian ia
tertawa berderai.
Suto sedikit malu tersipu,
namun ia segera berkata lagi,
"Aku memang bodoh dalam
hal itu!"
"Aku bisa menolongmu,
tapi kau harus menolongku!"
"Apa yang harus kulakukan
untuk menolongmu?"
"Menghadapi
Ekayana!"
Pendekar Mabuk makin
melebarkan senyum, bahkan tertawa dalam nada gumam. Kirana berkata lagi,
"Kau bersedia?"
"Sebenarnya bersedia,
tapi karena kau tadi pagi sudah mengatakan bahwa dirimu tak butuh
pertolonganku, maka kuurungkan pertolonganku untukmu!" goda Suto sambil
mulai membuka tutup bumbung tuaknya.
"Kalau kau tak mau
menolongku, aku juga tak mau menolongmu! Padahal aku tahu banyak tentang Cemara
Tunggal!" Kirana membuang muka ber-lagak acuh tak acuh.
Suto membiarkannya, malahan ia
menenggak tuak beberapa teguk. Setelah itu ia melangkah bersebelahan dengan
Kirana. Ikut memandang ke arah lautan lepas.
"Indah sekali pemandangan
senja di tepi pantai itu! Hampir setiap ada kesempatan, aku selalu meluangkan
waktu untuk menikmati keindahan seperti saat ini!"
"Hei, bagaimana dengan
tawaranku tadi?!" Kirana merasa sedang dialihkan bicaranya, sehingga ia
tak mau melayani pembicaraan Suto, namun memaksa Suto untuk kembali ke
percakapan semula.
Suto Sinting hanya memandang
dengan senyum menawan tersungging di bibirnya yang masih tampak basah karena
tuak tadi.
"Apakah kau benar benar
membutuhkan bantuanku?"
"Ya," jawab Kirana
dengan tegas dan jelas.
"Kau tidak kecewa seperti
saat mendapat pertolongan dariku tadi pagi?!"
"Tidak akan! Karena ini
demi menyelamatkan nyawaku!"
"Yang kulakukan tadi pagi
juga demi menyelamatkan nyawamu "
"Tapi lawanku adalah
kakak sendir! Dan aku tak yakin dia akan tega membunuhku! Tapi kali ini,
Ekayana yang menjadi lawanku. Dia orang buas dari sekian banyak manusia bejat
yang tinggal di Lembah Kabut dan dalam benteng Perguruan Kobra Hitam! Kurasa
dia benar-benar ingin membunuhku, dan aku butuh pelindung!"
"O,begitu?" Suto
sengaja menggoda dengan lagak acuh tak acuhnya, dan juga lagak bodohnya. Kirana
ingin marah karena merasa sedang dipermainkan, tapi sisi hatinya yang lain
merasa senang dengan cara Suto mempermainkannya.
"Baiklah," kata
Pendekar Mabuk akhirnya. "Ku ingatkan saja padamu, lain kali jangan kau
sesumbar dan sesombong begitu! Sekarang aku akan menolongmu!"
"Kalau kau tak suka, tak
apalah! Aku tak akan memaksamu minta tolong," kata Kirana dengan sikap angkuhnya
ditonjolkan.
Pendekar Mabuk geleng-geleng
kepala, merasa aneh dengan lagak gadis cantik berhidung mancung itu.
"Sebutkan dulu, apa nama
Cemara Tunggal itu?"
"Setahuku itu nama sebuah
tempat , letaknya di Bukit Canang ! Disana memang ada sebuah cemara yang tumbuh
sendirian, tanpa tanaman lain, berbentuk lurus, tinggi, seperti sebuah menara
atau prasasti tugu bersejarah. Hanya ada satu cemara di sekitar Bukit
Canang."
"Hmm... di mana tempat
itu? Maksudku, Bukit Canang terletak di sebelah mana?" tanya Sulo semakin
serius.
Tapi tiba-tiba Kirana
terperanjat. Matanya melebar seketika, karena ia melihat sekelebat sinar hijau
tua yang melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Kirana yang terkesiap dan
tak sempat menghindar itu dihantam sinar hijau tua dalam bentuk seperti ujung
anak panah.
Melihat hal itu, Suto bergerak
cepat di luar dugaan Kirana. Bumbung tuaknya dihadangkan di depan Kirana, dan
sinar hijau itu membentur bumbung tersebut. Trangng...!
Bagai dua besi baja beradu
suara nya. Sinar hijau itu membalik kearah pemiliknya dengan lebih besar dan
lebih cepat gerakan terbangnya.
Zlappp...!
Duarrr.. . ! Brrrukk... !
Sebatang pohon kelapa menjadi
sasaran sinar hijau tersebut, sebab pemiliknya segera melompat menghindari
sinar yang membalik. Dan pohon kelapa itu pecah berantakan pada bagian yang
terkena sinar hijau, sehingga sisanya di bagian atas tumbang tanpa ampun lagi.
Bau terbakar menyengat hidung. Bagian batang kelapa yang hancur kepulkan asap
dalam keadaan hangus, bahkan masih terdapat bara api yang menyala di sana.
Sedangkan buahnya menggelinding berserakan di pasir pantai tersebut.
"Itu yang bernama
Ekayana!" bisik Kirana.
Bisikan itu terucap setelah
mereka sama-sama memandang kemunculan Ekayana yang tadi bersalto di udara
menghindari sinar hijaunya yang membalik arah itu.
"Diamlah di sini, biar
aku yang menemui dia!" bisik Suto Sinting.
"Hati-hati, dia jago
pedang!"
"Aku jago lari"
jawab Suto seenaknya saja sambil meninggalkan Kirana sendirian. Ia melangkah
mendekati Ekayana yang berdiri dengan pedang telah tergenggam di tangannya.
Ekayana berkerut dahi merasa
asing dengan wajah Suto Sinting yang baru kali itu ditemuinya. Kerutan dahi
membuat wajah Ekayana yang berkumis tipis dan tampak ganteng pula itu menjadi
berkesan tegang.
Sementara itu, Suto tetap
tampak lebih tenang dan kalem penampilannya.
"Kekasihmukah itu?"
tanya Ekayana dengan nada sinis dan keras. Kirana yang mendengar menjadi
deg-degan. Lebih deg-degan lagi saat Suto menjawab,
"Ya, dia kekasihku! Mau
apa kau?!"
"Dia akan kubunuh!"
"Silahkan! " jawab
Suto seenaknya saja. Kemudian ia menyisih, seakan membuka jalan untuk Ekayana.
Kirana menjadi kebingungan.
"Sinting betul itu orang!
Disuruh melindungiku malah membiarkan orang itu akan membunuhku? ! " pikir
Kirana dengan ketegangan yang disembunyikan.
Ekayana sendiri menjadi curiga
melihat Pendekar Mabuk memberi jalan kepadanya. Ekayana tidak segera bergerak
melangkah mendekati Kirana. Ia bahkan menatap Suto dengan mata sedikit
menyipit, memperlihatkan sikap permusuhannya.
"Silahkan...! "
ulang Suto dengan kalem, tangannya bergerak melambai, selayaknya orang memper
silakan tamu yang mau lewat.
"Kau tak kecewa dan tak
menyesal kalau sampai kekasihmu itu mati di ujung pedangku?!"
"Tidak!" jawab Suto
terang-terangan dan nyeplos begitu saja.
"Kenapa kau tidak
menyesal kalau dia mati?"
"Karena aku yakin kau
tidak akan bisa menggerakkan pedangmu!" Jawab Pendekar Mabuk.
"Hm...!" Ekayana
tersenyum sinis.
Pendekar Mabuk segera membuka
bumbung tuak, dan menenggaknya beberapa saat. Kemudian melangkah mendekati
Kirana.
"Jangan sakit hati pada
ucapanku!" bisik Suto.
"Kau mempersilakan dia
membunuhku! Bagaimana aku tak sakit hati?"
"Percayalah, dia tak akan
bisa menggerakkan tangannya! Pedang itu tak akan bisa ditebaskan ke tubuhmu,
walau kakinya bisa berjalan mendekatimu! Lihat saja nanti!"
Benar saja apa yang dikatakan
Pendekar Mabuk itu. Ekayana ingin menggerakkan pedangnya yang sudah terangkat
di atas pundak kanan dengan menggunakan kedua tangan. Pedang itu sebenar nya
sudah siap menebas lawan. Tapi Ekayana kebingungan menggerakkan kedua tangan,
Bahkan untuk membungkukkan badannya saja terasa kaku, tak bisa ditekuk
sedikitpun. Kedua tangan itu bagaikan membeku, urat-uratnya sangat keras dan
kaku. Sedikit pun jarinya tak ada yang bisa digerakkan. Tetap saja menggenggam
gagang pedang dengan keras.
"Bangkai busuk kenapa
tangan dan badanku jadi kaku begini?! Apakah pemuda brengsek itu telah menotok
jalan darahku untuk bagian tangan dan badan? Sejak kapan dia menotokku?!"
pikir Ekayana dengan terheran-heran. Kirana sendiri memandangnya dengan heran
sekali.
Dalam hatinya ia berkata,
"Orang tampan ini sintingnya kelewat batas! Tak kulihat gerakan
menotoknya, tapi tahu-tahu Ekayana tak bisa menggerakkan kedua tangannya? !
Tinggi juga ilmu Suto Sinting ini? Murid siapa dia?!"
Pendekar Mabuk hanya
tersenyum-senyum memandangi Ekayana,yang mirip patung sedang jadi tontonan itu.
Kemudian, Kirana berbisik,
"Sejak kapan kau
menotoknya?"
"Lewat gerakan tanganku
waktu mempersilakan dia berjalan!"
"Ooo...,"
Kirana manggut-manggut, namun
dalam hatinya berkata,
"Memang edan dia ini !
Hanya dengan gerakan tangan selembut itu ia bisa kirimkan tenaga dalam untuk
menotok Iawan dalam jarak tiga langkah di depannya! Luar biasa sekali
ilmunya!"
Ekayana bersusah payah
melepaskan diri dari pengaruh totokan tersebut . Bahkan ia berlari ke dekat
pohon kelapa, dan dibentur-benturkan badannya ke sana, tangannya yang jadi
sasaran pembenturan itu.
Tapi pengaruh totokan
tangannya belum bisa terlepas. Masih saja tangan itu kaku. Keduanya memegang
gagang pedang yang sudah ada di atas pundaknya. Punggungnya sendiri tak bisa
ditekuk, walau ia telah menggerakkan tenaganya sekuat mungkin.
"Hoi...! Monyet...!"
panggil Ekayana.
"Kau memanggil dirimu
sendiri atau memanggil orang lain?!" tanya Suto dengan nada melecehkan.
Ekayana hanya menggeram dengan
wajah merah menahan amarah. "Bebaskan aku
dari pengaruh totokanmu! Jangan berani-beranian mempermainkan orang Kobra Hitam
begini, Kunyuk!"
"Kobra Hitam?! Apa hebatnya
Kobra Hitam itu? Mengapa kau sombongkan di depanku?! Kalau orang Kobra Hitam
itu orang kuat , sakti, jagoan, tidak mungkin bisa meratap ratap minta
dibebaskan totokan jalan darahnya!" Pendekar Mabuk tertawa pelan.
Luapan amarah sudah tak
terbendung lagi sebenarnya. Tapi Ekayana terpaksa tak bisa melampiaskan selain
hanya bisa berah-uh-ah-uh, memaksakan tenaga untuk melepaskan diri dari
pengaruh totokan itu.
"Bangsat kaut" geram
Ekayana. "Kalau kau merasa berilmu tinggi, mari kita bertarung secara kesatria!
Ambil pedang dan kita beradu nyawa dengan pedang!"
"Aku tidak mau!"
jawab Suto sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak bisa jurus
pedang! Tapi kalau jurus memenggal kepala tanpa menggunakan pedang atau senjata
apa pun, aku bisa!"
"Manusia busuk kau!
Banci! Cengeng dan kecil nyalimu!" Ekayana sengaja memancing kemarahan
Pendekar Mabuk.
Tapi Suto hanya tertawa sambil
tetap berada di samping Kirana.
"Kau mengatai dirimu
sendiri!" kata Suto. "Kalau kau tidak merasa banci, cengeng, dan
kecil nyalimu, coba kau lepaskan diri dari pengaruh totokan itu! Coba!"
tantang Suto makin memanaskan hati Ekayana.
Saat itu, darah Ekayana
benar-benar mendidih. Tapi karena tak bisa berbuat apa-apa, Ekayana hanya bisa
menggeram penuh kejengkelan.
"Tunggu! Jangan pergi ke
mana pun kalian! Aku akan datang kembali menemui kalian di sini!" setelah
berkata begitu, Ekayana segera pergi meninggalkan pantai dengan berlari lari,
tangan keduanya masih menggenggam pedang di atas pundak kanannya.
Suto menertawakan dan Kirana
pun cekikikan geli melihat Ekayana lari dalam keadaan seperti itu. Mereka tak
tahu apa yang dicemaskan hati Ekayana sebelum berlari meninggalkan tempat,
"Nini Pasung Jagat pasti
sedang memburuku! Kalau aku dalam keadaan seperti ini. Nini Pasung Jagat pasti
dengan mudah membunuhku. Sebelum nenek setan itu muncul, aku harus melarikan
diri lebih dulu. Kurasa Brajawisnu ataupun Pancakana, dapat menolongku
membebaskan pengaruh totokan iblis ini! Kelak jika aku berhadapan dengan pemuda
berbumbung tuak itu, aku harus lebih waspada lagi! Memang edan ilmu yang
dimiliki pemuda itu!"
Nini Pasung Jagat adalah orang
yang ditakuti Ekayana pada saat mengalami nasib seperti itu. Tetapi, Kirana
mempunyai dugaan lain, dan segera berkata kepada Pandekar Mabuk,
"Pasti dia pulang untuk
memanggil orang orangnya! Sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini,
Suto!"
"Mengapa harus
menyingkir? Biar saja ia datang bersama orang-orangnya! Tak ada salahnya dia ke
sini membawa teman, barangkali butuh ngobrol bersama di tepi pantai!"
"Suto! Orang orang Kobra
Hitam itu ganas-ganas dan berilmu tinggi . Kau jangan meremehkan mereka !
" Kirana tampak cemas .
"Kalau aku meremehkan
mereka, kenapa?"
"Kau bisa dibunuh oleh
mereka!" sentak Kirana tak sabar.
"Kalau aku dibunuh
mereka?"
"Matilah kau!"
"Ya, sudah. Biar saja
mati. Memangnya kenapa kalau aku mati? Apa kau merasa rugi?!"
Kirana gelisah dan jengkel
sendiri, akhirnya menjawab dengan wajah cemberut ketus, "Tidak!"
Dan Pendekar Mabuk tahu
perasaan hati Kirana sebenarnya, karena itu ia menertawakan gadis itu. Sang
gadis semakin tersipu dongkol.
7
RUMAH terdekat dari pantai itu
adalah tempat kediaman Tabib Cawan Maut. Rumah itu ada di tepi laut, tapi di
sebuah bukit karang yang sepi oleh penghuni, sunyi oleh binatang burung, karena
tak ada tanaman di atas bukti karang itu. Bukit tersebut jika lewat siang hari
tertutup bayangan tebing karang yang tinggi, letaknya di seberang bukit karang.
Antara bukit tersebut dengan tebing karang yang tinggi terdapat selat berombak
besar. Curam dan berkesan ganas alam di bawah bukit itu.
Tabib Cawan Maut membuat atap
lebar dan panjang dari daun kelapa dan nipah. Dengan adanya tempat bernaung
yang panjang dan lebar itu, rumah gubuk kediaman Tabib Cawan Maut menjadi teduh
dan nyaman ditempati . Di situ ia tinggal dengan seorang pelayannya, lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun yang bernama Jongos Daki.
Dulu kerjanya mendaki gunung
untuk mencari tanaman yang dibutuhkan sebagai campuran ramuan obat. Itulah
sebabnya ia dikenal dengan nama Jongos Daki. Sekali pun orangnya agak gemuk dan
pendek, tapi kerjanya cepat, gerakannya gesit dan lincah. Kirana mengenal
Jongos Daki, dan memanggil nya dengan sebutan Paman. Kepada Tabib Cawan Maut
pun, Kirana cukup kenal baik, karena dulu ia sering disuruh oleh gurunya, si
Punding Sunyi, untuk memesan berbagai macam obat -obatan yang di perlukan.
Seringnya datang memesan
obat-obatan, membuat hubungan mereka menj adi baik. Tak heran jika kehadiran
Suto dan Kirana ke rumah itu disambut dengan baik oleh Tabib Cawan Maut dan
Jongos Daki .
"Cukup lama kau tidak
kemari, Kirana?! Apakah orang-orang Mawar Seruni dalam keadaan sehat
semuanya?" kata Tabib Cawan Maut kepada Kirana.
"Untuk sementara ini,
kami dalam keadaan baik dan sehat-sehat saja, Tabib! Hanya... Guru yang..."
"Ada apa dengan
gurumu?" sergah lelaki tua yang sudah kempot dan keriput wajahnya itu.
Badannya kurus, matanya cekung, punggungnya sedikit bungkuk, rambutnya panjang
beruban rata. Suto mengira-ngira usia tabib itu sekitar delapan puluh tahunan.
"Katakan apa sebenarnya
yang terjadi pada gurumu, Kirana?" desak Tabib Cawan Maut dengan suara tua
yang bergetar itu. "Guru telah tewas, Tabib!" Jawab Kirana dengan
sedih. "Punding Sunyi tewas...?!" mata tabib itu menj adi sayu saat memandang
Kirana. Dan gadis berambut poni yang cantik itu hanya menganggukkan ke palanya.
Kemudian menceritakan siapa pembunuhnya dan bagaimana saat bertemu dengan
gurunya yang terluka itu.
"Sebenarnya kalau belum
terlambat, bisa kutawarkan racun itu! Sedayu punya racun berbahaya dari
kakeknya dulu, dan nama racun itu adalah Racun Lintah Merah. Aku punya obat
penawarnya, "kata tabib.
"Tapi rupanya semua itu
sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Kematian tetap saja harus terjadi dan
tak bisa dielakkan lagi! Kesembuhan pun datangnya dari dia, yang menguasai kita
sekalian.Cuma kadang-kadang orang salah mengartikan, bahwa kesembuhan datangnya
dari tanganku, atau tabib lain! Padahal aku dan tabib-tabib lainnya itu ha nya
semata-mata sebagai perantara dari penyembuhan-Nya."
Banyak yang dibicarakan oleh
Kirana dan Tabib Cawan Maut. Karena asyiknya mereka bicara, Suto keluar
menikmati pemandangan dan udara malam, karena saat itu rembulan muncul separo
bagian di balik awan bermega putih perak. Memandang malam, menikmati sunyi,
merupakan sesuatu yang berarti sekali bagi jiwa Pendekar Mabuk itu.
Setidaknya ia memperoleh
sebentuk ketentraman jiwa yang begitu menyegarkan.
Sesaat kemudian, Jongos Daki
muncul dan mendekati Suto yang duduk di pelataran dekat pagar tebing samping.
Suto duduk di sebuah bangku dari kayu gelondongan, hanya dikemas bagian atasnya
supaya enak dipakai duduk. Jongos Daki membawa kan empat potong jagung rebus
yang konon diambilnya dari ladang petani yang sudah kenal baik dengannya,
beberapa waktu yang lalu.
Di bangku itu, mereka duduk
menghadap ke tebing tinggi dan laut yang menggelora. Suara debur ombaknya
terdengar jelas dari tempat mereka berada. Tanpa sadar percakapan mereka sampai
pada Kirana.
"Dia gadis yang cantik
dan menggairahkan. Kalau dulu aku tidak dikebiri oleh seseorang yang berjiwa
binatang, mungkin aku juga merasa tertarik dengan perempuan secantik Kirana.
Dan, kurasa kau sendiri sependapat denganku, Suto, bahwa Kirana sudah cukup
umur dan layak untuk bersuami!"
"Ya, saya sependapat
dengan Paman Jongos Daki. Tapi siapa lelaki yang akan menjadi suami Kirana,
kita tak tahu. Atau mungkin Paman tahu siapa kekasih Kirana?"
"Dia tak pernah bercerita
tentang seorang kekasih sejak aku mengenalnya! Bahkan membawa seorang teman
lelaki, baru sekarang. Kaulah orangnya. Dan, kusangka kau adalah kekasihnya!
Aku merasa kagum saat dia datang bersamamu, dan hatiku berkata, sungguh serasi
Kirana memilih calon suami. Ternyata..."
Jongos Daki tertawa sendiri
sambil menikmati jagung rebusnya. Suto pun jadi ikut tertawa sambil melemparkan
bonggol jagung yang sudah habis termakan bulir-bulirnya.
"Tapi apa benar kau bukan
kekasihnya?" Jongos Daki menyatakan kesangsiannya yang dipendam sejak
tadi. "Bukan, Paman!"
"Mengapa kau tidak
mengambil dia sebagai istrimu saja? Kurasa tak ada ruginya beristrikan wanita
secantik Kirana itu! Keberaniannya pun membuatku kagum."
"Saya sudah punya kekasih
sendiri, Paman, " j awab Suto jujur.
"Boleh tahu siapa wanita
yang beruntung menjadi kekasihmu?" Jongos Daki tersenyum- senyum. Suto
agak tersipu walau akhirnya ia berkata,
"Seseorang yang
tinggalnya jauh dari sini. Ada di sebuah pulau."
"Sebutkan nama pulaunya,
maka aku akan mampu menebaknya!"
Suto berpaling memandang
Jongos Daki,
"Paman punya banyak
pengalaman mengarungi lautan?"
"Dulu aku ikut sebuah
kapal. Ayolah, sebutkan nama pulau itu! Setidaknya aku bisa menebak siapa
kekasihmu itu. Suto."
"Baiklah, Pulau itu bernama
Pulau Serindu!"
"Hah,..?!"
Jongos Daki terperanjat kaget,
mulutnya sampai ternganga lebar, matanya mendelik dan wajahnya menjadi tegang,
ia mengusap kedua lengannya yang terasa merinding mendengar nama Pulau Serindu.
Hal itu membuat Suto menjadi terheran-heran dan segera mengajukan tanya bernada
bimbang,
"Kenapa..., kenapa Paman
kelihatan kaget?"
"Setahuku, Pulau Serindu
adalah tempat berdirinya Istana Puri Gerbang Surgawi, dan aku tahu penguasa di
Pulau Serindu itu adalah Gusti Mahkota Sejati, yang mempunyai nama asli Dyah
Sariningrum!"
"Dialah kekasihku,
Paman," Jawab Suto sambil tersenyum. 'Edan! Tak mungkin!" Jongos Daki
agak ngotot. "Mengapa tak mungkin?"
"Dyah Sariningrum adalah
perempuan yang di incar oleh Siluman Tujuh Nyawa, tak ada orang yang berani
mendekatinya! Kalau kau ingin menjadi kekasih atau bahkan suami dari Gusti
Mahkota Sejati, itu berarti kau harus berhadapan dengan Siluman Tujuh
Nyawa!"
"Maksud Paman, orang yang
bernama asli Durmala Sanca itu?!"
"Benar! Benar sekali!
Apakah... apakah kau kenal dia?"
"Aku sedang memburunya
untuk memenggal kepalanya!"
"Eh, Jangan begitu
bicaramu! Hati-hatilah! Kalau ada yang mendengar, kau bisa celaka diamuk oleh
murkanya!"
Jongos Daki tampak
bersunguh-sungguh dalam kecemasannya. Tetapi Suto Sinting tetap tenang dan
berkata,
"Kalau Paman bisa
mempertemukan saya dengan dia, saya akan kasih hadiah kepada Paman
Jongos!"
"Kau... kau benar-benar
sedang memburunya?"
Tidak dijawab oleh Pendekar
Mabuk, melainkan Pendekar Mabuk ganti bertanya, "Paman tahu betul tentang
Siluman Tujuh Nyawa itu?"
Paman Jongos Daki terbungkam
mulutnya. Seperti ada rasa sesal terhadap apa yang pernah diucapkan tadi.
Setelah diam beberapa saat dan sadar jawabannya ditunggu oleh Suto, Jongos Daki
pun menjawab dengan suara pelan,
"Dulu aku adalah anak
buahnya!"
"Oh...?!" kini
Pendekar Mabuk yang terperanjat kaget.
"Tapi aku melarikan diri,
tak tahan hidup sesat dengan kelompoknya. Bahkan, seperti yang kukatakan tadi,
aku dikebiri oleh manusia berjiwa binatang,sehingga aku tidak punya selera lagi
terhadap perempuan secantik apa pun dia. Dan orang yang mengebiri aku itu
adalah Durmala Sanca keparat!"
Jongos Daki menuturkan
kisahnya dengan mengenang penuh duka. Suto Sinting tidak memotong ucapan demi
ucapan dari Jongos Daki. Ia sengaja membiarkan mantan anak buah Siluman Tujuh
Nyawa itu membeberkan rahasia Siluman Tujuh Nyawa.
"Durmala Sanca adalah
orang yang sulit dibunuh. Ia punya otak penuh dengan kelicikan dan kekejaman.
Tak pernah ada anak buahnya yang bisa lari dengan selamat kecuali aku. Itu pun
karena aku ditolong olah seorang tokoh sakti yang bernama Ki Padmanaba."
Kembali Suto tersentak kaget
begitu Jongos Daki menyebutkan nama Ki Padmanaba. Cepat-cepat Pendekar Mabuk
bertanya kepada Jongos Daki, "Apakah Paman banyak mengetahui tentang Ki
Padmanaba?'
"Hmmm.. yah, sedikit
banyak tahulah! Dulu aku pernah mengabdi menjadi pelayannya. Tapi semenjak dia
mengangkat murid yang bernama Ekayana, aku mengundurkan diri, tak tahan melihat
tingkah laku muridnya yang sekaligus cucunya sendiri itu."
"Hmmm...!" Suto
manggut-manggut.
"Kakek dan cucunya sangat
bertolak belakang sifatnya. Ekayana itu sombong dan berjiwa kejam. Kakeknya
kebalikannya dan ..... "
"Tunggu, Paman!"
kali ini Suto baru memotong pembicaraan karena dirasakan ada yang perlu
ditanyakan sebelum percakapan menginjak ke masalah lain.
"Apakah Paman tahu, bahwa
Ki Padmanaba mempunyai sebuah pusaka yang sangat dirahasiakan?"
"Hmmm... ya, memang dia
punya! Dia pernah bercerita padaku tentang pusaka tersebut. Tapi tak pernah
ditunjukkannya kepadaku."
"Kalau boleh saya ingin
tahu, apa jenis pusaka-nya itu?"
"Sebuah pedang."
"O, sebuah pedang!"
Suto manggut-manggut lalu merenung beberapa kejap. Jongos Daki menambahkan
kata, "Pedang itu bernama... kalau tak salah ingatan ku... pedang itu
bernama Pedang Wukir Kencana."
"Wukir Kencana?!"
Pendekar Mabuk mengejanya ulang. "Kabarnya, ini menurut cerita Ki
Padmanaba, pedang itu terbuat dari emas murni yang cukup berat. Seluruhnya dari
emas. Bagian tengahnya berukir gambar seekor naga. Kedua sisinya sangat tajam.
Kata dia, pedang itu bisa membelah benda apa pun juga, termasuk pilar baja,
juga bisa dipakai memburu lawan. Ke mana pun lawan bersembunyi pedang itu akan
bergerak dengan sendirinya menunjukkan tempat lawan yang bersembunyi. Tangan
kita yang memegang nya hanya bisa mengikuti saja ke mana kemauan pedang
tersebut bergerak."
"Hebat sekali,"
gumam Suto memuji. Jongos Daki menambahkan kata setelah ia mengingat-ingat
cerita yang didengar dari mulut Ki Padmanaba sendiri.
"Bahkan Ki Padmanaba
pernah bilang padaku, bahwa pedang itu bisa membuat orang sebodoh apa pun bisa
main pedang dengan dahsyat jika memegang pedang tersebut. Karenanya, dulu Ki
Padmanaba pernah berjuluk Dewa Pedang Pamungkas!"
"Lalu... kenapa tidak
digunakan terus oleh Ki Padmanaba?"
"Ia sudah bersumpah pada
diri sendiri agar tidak menggunakan pedang warisan gurunya itu, karena pernah
terjadi suatu peristiwa menyedihkan buat si Dewa Pedang Pamungkas itu."
"Peristiwa apa?"
desak Suto Sinting.
"Pedang dipakai oleh
istrinya, dan istrinya itu membunuh orangtua Ki Padmanaba sendiri! Sejak itu,
sejak Ki Padmanaba akhirnya membunuh istrinya sendiri ketika tidur malam, Ki
Padmanaba tidak mau menggunakan pedang tersebut. "
"Apakah istrinya Jago
pedang?"
"Konon, Istrinya
perempuan biasa yang lemah dan penurut.Tapi ketika cekcok dengan mertuanya, ia
mengambil pedang itu dan bisa jago bermain pedang, padahal mertuanya juga
sangat tinggi ilmu pedangnya, tapi bisa dikalahkan oleh istri Ki Padmanaba. Karena
seperti yang kukatakan tadi, Pedang Wukir Kencana bisa membuat seseorang
menjadi jago pedang jika membawa atau menggunakan pedang tersebut! Itulah
bahayanya Pedang Wukir Kencana jika jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Karena itu, Ki Padmanaba menyimpan pusaka tersebut, entah di
mana tempat penyimpanannya!"
Kini mulai jelas teka-teki
yang selama ini meresahkan pikiran Suto, bahwa ada pusaka yang disimpan oleh Ki
Padmanaba di Cemara Tunggal, yang ada di Bukit Canang itu. Pusaka itu adalah
sebuah pedang sakti.
Pantas kalau dalam pesan
terakhirnya sebelum wafat, Ki Padmanaba menyebutkan kata-kata 'selamatkan'.
Mungkin yang dimaksud agar jangan sampai pedang itu jatuh ke tangan orang-orang
sesat. Renungan itu dibawa oleh Suto sampai ke peraduan. Tempatnya tidur,
bersebelahan dengan tempat tidurnya Jongos Daki. Mereka tidur di ruangan
terbuka, dalam arti tanpa dinding penyekat .Tabib Cawan Maut pun tidur di dipan
sebelah kanan, sementara itu Kirana berada di dipan lain, jauh dari Suto. Sebenarnya
tadi Kirana ingin menempati tempat tidur yang dipakai oleh Jongos Daki, namun
ia tak enak hati karena Jongos Daki lebih dulu membaringkan badan di tempat
tersebut.
Sementara itu, di tempat lain,
terjadi sebuah pesta yang tidak terlalu mewah, namun cukup meriah. Perguruan
Kobra Hitam yang mengadakan pesta mabuk-mabukan. Pasalnya, mereka menyambut
gembira atas berita terbunuhnya Sedayu, si penyebar racun maut itu.
Pada mulanya, berita tersebut
tidak dipercayai oleh Logayo, si Dewa Murka yang menjadi ketua perguruan
tersebut. Terlebih kedatangan Ekayana membuat suatu kegaduhan lebih dulu.
Ekayana datang dalam keadaan tangan masih kaku tertotok jalan darahnya, dan tak
bisa membungkuk sedikitpun.
Pada waktu ia ingin menemui
Logayo di serambi belakang, Ekayana datang dari arah belakang Logayo. Ketika ia
menyapa Logayo, orang itu berpaling. Tapi karena melihat kedua tangan Ekayana
menggenggam pedang di pundak kanan, Logayo merasa mau diserang oleh Ekayana.
Maka dengan cepat kakinya
menendang empat kali berturut-turut ke arah dada, perut, leher, dan wajah
Ekayana. Tendangan itu adalah tendangan yang mematikan. Gerakannya cepat,
beruntun dan bertenaga dalam tinggi.
Tentu saja hal itu membuat
Ekayana terpental dalam keadaan berdarah dari mulut dan hidungnya. Suaranya
menjadi serak, dan bibirnya jontor ke depan. Untung tak sampai rompal giginya.
Kalau Ekayana bukan orang berilmu tinggi, pasti sudah mati terkena tendangan
beruntun yang dinamakan jurus "Patuk Kobra Liar".
"Apa maksudmu mau
membunuhku. hah?!" bentak Logayo dengan murka.
Pada waktu itu, beberapa orang
sudah mengepung Ekayana dengan senjata masing-masing, termasuk Pancakana dan
Brajawisnu.
Tetapi ketika mereka memaksa
bangun Ekayana, dan tangan Ekayana masih tetap seperti orang mau membabatkan pedangnya,
mereka menjadi berkerut dahi dan terheran-heran. Logayo berseru,
"Sarungkan pedangmu atau
kusuruh mereka merajangmu sekarang juga, Ekayana!"
"Tid.. tidak
bisa..."
"Bangsat! Jadi kau
benar-benar menghendaki kematianku? Kau mau membunuhku, hah?!"
Ekayana menggeleng-geleng
dengan sedih, menahan marah dan jengkel yang tak tersalurkan. Lalu, ia berkata,
"Aku kena totok dalam
keadaan begini! Tanganku sejak dari sana tidak bisa turun!"
Setelah dijelaskan lebih rinci
lagi maka meledaklah tawa Logayo bersama yang lainnya. Rupanya Logayo salah
duga dan menyangka mau dibabat pedang oleh Ekayana, padahal Ekayana mau memberi
laporan dan meminta tolong tentang tangannya yang kaku itu. Andai Ekayana
datangnya tidak dari belakang Logayo dan menyapanya tidak dari jarak dua
langkah di belakang Logayo, tentunya Logayo tak akan berpikiran buruk.
Peristiwa salah paham itu
sungguh menggelikan bagi mereka, tapi memalukan bagi Ekayana. Untuk menghibur
hati Ekayana, Logayo membuat pesta kecil-kecilan dengan beberapa guci arak yang
paling bagus dan berharga mahal.
Apalagi setelah Brajawisnu dan
beberapa orang membuktikan mayat Sedayu terkapar di samping Pranawijaya, mereka
semakin yakin dan mengelu-elukan Ekayana, memuji dan menyanjung-nyanjung
Ekayana. Bahkan Logayo berkata,
"Tak ada lagi yang perlu
dicemaskan oleh kita sekarang ini! Dua orang itu sudah mati. Sedayu dan
Pranawijaya! Dan kalau bukan karena kehebatan Ekayana, tak mungkin dalam waktu
sesingkat ini mereka bisa terbunuh!"
Malam menyusup di antara
sunyi. Pesta minum, pesta perempuan jalanan, pesta judi terbeber luas di balik
tembok tinggi yang disebut bentang itu. Malam yang pekat, hadirkan gelap karena
cahaya rembulan tak bisa menerobos masuk melewati celah dedaunan yang merapat,
menutupi jembatan bambu yang menghubungkan Lembah Kabut dengan Tanah Merah.
Tapi di tengah malam,
seseorang meletakkan lentera di ujung jalan jembatan bambu itu. Lentera itu
terletak di atas batu pada sisi ujung jembatan yang akan menuju ke Lembah
Kabut. Dua orang lewat, mereka habis membeli makanan dari sebuah desa dan
sedang menuju pulang ke lembah tersebut. Sebelum melewati jembatan bambu yang
gelap, orang yang berpakaian biru segera menyuruh temannya yang berpakaian
kuning untuk membawa lentera itu.
"Bawalah lentera itu! Kurasa
memang disediakan untuk penerang jalan di tengah jembatan!"
Si baju kuning merasa tidak
keberatan, karena membawa lentera tidaklah terlalu sulit, tidak pula berat.
Lentera itu mempunyai kawat lengkung ke atas sebagai tempat menjinjing. Namun
seperti yang sudah sudah orang berpakaian kuning itu tiba-tiba jatuh begitu
selesai meletakkan lentera di ujung jembatan, dengan maksud jika ada yang mau
menyeberang jembatan dari arah Lembah Kabut ke Tanah Merah, lentara itu bisa
dibawa menyeberang lagi.
Peristiwa sama seperti malam
sebelumnya. Orang berpakaian kuning tiba-tiba mengejang, keringatnya mengucur
keluar dan berbau amis, temannya menolong, kemudian keduanya sama sama mati .
Hanya saja kali ini muncul
sesosok bayangan hitam yang mendekati kedua mayat tersebut. Orang itu
mengenakan kerudung ketat di sekujur tubuhnya, memakai pakaian hitam, bertutup
kepala hitam, hanya bagian matanya yang tampak. Kakinya dibungkus alas kaki
hitam, tangannya mengenakan sarung tangan kulit binatang warna hitam pula.
Orang itu menyeret dan menyembunyikan mayat kedua orang itu ke semak semak
pinggir jalan menuju jembatan. Lentera masih diletakkan di tempatnya.
Beberapa saat kemudian, muncul
empat orang. Rupanya mereka rombongan tamu yang diundang pesta oleh Logayo.
Mereka mau pulang, dan menyeberangi jembatan. Salah seorang berkata, "Bau
amis daerah sini, ya?"
"Air Jurang itu mungkin
menguap dan karena tak pernah mengalir deras, maka comberan di dasar jurang itu
menyebarkan bau amis," kata temannya.
"Wah, gelap sekali lewat tengah
jembatan! Bisa-bisa kita kejeblos di tengah jembatan sana!"
"Bawa saja lentera itu,
nanti letakkan di ujung jembatan sana!" kata yang satunya lagi.
Dalam beberapa saat saja,
empat orang itu sudah terkapar mati di Tanah Merah dalam keadaan berkeringat
dan berbau amis. Orang berpakaian serba hitam itu segera memindahkan lentera ke
tanah wilayah Lembah Kabut.
Ketika itu, tiga orang tamu
mau lewat jembatan untuk pulang. Ketiganya pun akhirnya meninggal karena
membawa lentera tersebut, tanpa diketahui bahwa tubuh yang mati itu pun
menularkan racun ganas, yang jika disentuh tangan orang, maka orang itu akan
terbunuh oleh racun tersebut.
Setelah mendapat mangsa
kira-kira sepuluh orang lebih , manusia berpakaian hitam-hitam itu segera
menjejer-jejerkan mayat tersebut di ujung jembatan pada wilayah Lembah Kabut.
Beberapa orang keluar dari benteng, mereka mau menyeberang ke Tanah Merah.
Melihat mayat-mayat itu,
mereka terkejut dan segera menyingkirkan mayat-mayat, membawanya ketepian.
Maka, jatuhlah beberapa orang itu, mati tak bernyawa serupa dengan mayat-mayat
yang disingkirkan oleh mereka sendiri. Logayo tertegun dengan wajah memerah
memandang mayat mayat yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu, setelah
pagi hari jumlahnya dihitung dengan tepat.
Murka Logayo tak bisa
dilampiaskan kepada siapa pun saat itu, karena penjaga pintu gerbang pun kedua
duanya mati karena racuntersebut. Logayo tak tahu, bahwa orang berpakaian serba
hitam itu telah memindahkan lenteranya di dekat jalanan menuju pintu gerbang.
Hal itu dilakukan setelah ia
melihat sendiri banyak korban yang berjatuhan di ujung jembatan. Dan kali ini
pancingannya kembali mengenai sasaran. Satu dari petugas pintu gerbang itu
tertarik dengan lentera tersebut, lalu mengambilnya dan membawanya kepada teman
satu tugas itu. Kemudian, orang tersebut jatuh tak bernyawa, temannya menolong
dan jatuh pula tak bernyawa.
Dari dalam muncul beberapa
orang dan tanpa sadar langsung saja menolong kedua penjaga tersebut. Akibatnya,
jatuh lagi korban Racun Getah Tengkorak itu. Sedangkan si pemasang jerat yang
menggunakan lentera itu, lebih dulu meninggalkan tempat dengan meniup lentara
dan api lentara menjadi padam.
"Setan Alas!" geram
Logayo sambil mengepalkan kedua tangannya. "Sedayu sudah dibunuh,
Pranawijaya juga sudah, tapi ternyata masih saja ada orang yang menyebarkan
racun itu kepada kita! Lama-lama habislah orang-orangku dimakan racun ganas
itu."
Mereka yang dipanggil
menghadap Logayo, menundukkan kepala dengan rasa takut menghadapi murka Logayo.
Segera orang itu berseru dengan urat leher sebesar jari bertonjolan keluar,
"Brajawisnu! Tugasmu cari pelakunya dan bunuh seketika itu juga memakai
racun andalanmu!"
"Baik! " kata
Brajawisnu. Tapi dalam hatinya ia bertanya pada diri sendiri, "Siapa
pelakunya itu?! Sulit sekali memastikannya!"
8
SUTO merencanakan untuk
mencari pusaka itu di Cemara Tunggal. Ia akan mendesak Kirana agar mau
mengantarkan ke Bukit Canang. Tetapi, ketika bangun di pagi hari, ternyata
Kirana sudah tidak ada di tempat tidurnya.
Sementara itu, Tabib Cawan
Maut dan Jongos Daki belum bangun. Suto bangun lebih dulu karena tiba tiba
hatinya tersentak kaget tanpa tahu apa sebabnya.
"Kirana hilang?! Pasti
dia mau menghindar dari janjinya! Aku sudah tolong dia, tapi dia tidak mau
tunjukkan di mana Bukit Canang dan Cemara Tunggal itu! Kurang ajar!"
Suto meneguk tuaknya sebentar,
kemudian bergegas pergi walaupun hari masih terlalu pagi. Ia tak sempat
membangunkan Jongos Daki atau Tabib Cawan Maut karena tergesa-gesa. Hatinya
diliputi rasa jengkel dan ia berharap bisa mengejar Kirana. Karena tergesa-gesa
itulah maka Pendekar Mabuk pun lupa menutup pintu kembali.
Namun, baru saja ia melangkah
tiga tindak dari depan pintu, ia melihat Kirana berjalan santai dengan kedua
tangan berada di belakang dan tampak sedang menikmati udara pagi yang segar.
Pendekar Mabuk menghembuskan napas lega.
Ternyata Kirana bukan lari
melainkan sudah bangun sejak tadi, dan sedang menikmati udara segar di pagi
yang cerah. Gadis itu melangkah memasuki pekarangan berpagar balok-balok kayu
setinggi satu dada.
Kirana justru berkerut dahi
melihat Suto Sinting sudah menyelempangkan bumbung tuaknya ke punggung, itu
pertanda Suto mau pergi . Maka ketika ia mendekati Suto, mulutnya ingin
mengajukan sebuah pertanyaan, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu
memperdengarkan suaranya,
"Rupanya kau sudah bangun
dari tadi, Kirana?!"
Dengan tenang, Kirana
menjawab, "Aku tak bisa tidur!"
"Kenapa?"
"Karena tidur
sendirian," Jawab Kirana acuh tak acuh.
Ia melangkah mendekati pagar samping
dan memandang ombak laut di pagi hari yang bergulung gulung dengan indahnya.
Suto Sinting menenggak tuaknya sebentra, lalu memperdengarkan suaranya kembali.
"Apakah biasanya kau
selalu mempunyai teman tidur?" Kirana memandang Suto dengan cepat, agak
cemberut. Lebih berkesan melirik sewot. Kemudian ia berucap kata pelan,
"Hati hati kalau bicara!
Jangan membuatku tersinggung! Aku bukan perempuan murahan yang setiap malam
berganti ganti teman tidur!"
Suto tertawa menyepelekan
kecemberutan itu.
"Aku tidak berprasangka
begitu, Kirana! Siapa tahu setiap malamnya kau punya teman tidur wanita yang
bisa diajak ngobrol sebelum lelap tertidur. Itu maksudku!"
Kirana tahu bahwa Pendekar
Mabuk hanya mengalihkan praduga saja, ia tidak memberi ucapan tentang apa yang
ia tahu dari nada bicara Suto tersebut, tapi ia hanya berkata,
"Karena aku susah tidur,
maka kugunakan jalan jalan begitu kulihat cahaya matahari mulai tiba."
"Kusangka kau pergi,
sehingga aku ingin menyusulmu. Maksudku, mengejar kepergianmu!"
"Mengejarku?! Apa kau mau
mengejarku kalau aku pergi meninggalkan kamu?!" pancing Kirana.
"Kenapa tidak?"
"Sungguh?" gadis itu
mulai sunggingkan senyum manis walau tipis.
"Ya, sungguh!"
"Kenapa kau mau
mengejarku?" pancing Kirana dengan hati makin berdebar-debar.
"Karena aku membutuhkan
kamu, Kirana," jawab Suto pelan.
"Membutuhkan.... dalam
arti bagaimana?" pancing Kirana lagi .
"Aku harus ke Cemara
Tunggal, dan aku butuh bantuanmu untuk mencapai ke sana!"
Kirana menarik napas panjang
panjang, kemudian dihembuskan dengan lepas. Tampak ada rona kecewa di wajah
cantik itu. Suto Sinting tahu, jawaban apa sebenarnya yang diharapkan Kirana,
tapi Suto merasa tak bisa memberikan jawaban yang diharapkan oleh gadis itu.
Maka, Suto pun bertanya pelan,
"Apakah kau menolak dan
keberatan kuminta bantuanmu mengantar ke Cemara Tunggal?"
"Kalau aku keberatan, kau
mau apa?" ketus Kirana bernada dongkol.
"Aku akan mencarinya
sendiri, biar susah payah bagaimanapun juga! Mungkin aku bisa bertanya dan
minta tolong perempuan lain yang tahu letak Cemara Tunggal."
Mendengar kata-kata itu,
Kirana melirikkan matanya dengan masih berwajah cemberut tipis, lalu berkata.
"Aku yang antar kau!
"
Ada rona cemburu kali ini di
wajah Kirana. Pendekar Mabuk hanya tertawa sambil membuang pandangan ke arah
laut, tak mau memandang gadis yang tersipu dongkol itu. Menginjak sedikit
siang, mereka berang kat ke Cemara Tunggal. Perjalanan hampir mencapai setengah
hari. Bukit Canang terletak di antara dua gunung besar. Bukit itu sebenarnya
tidak terlalu tinggi. Untuk mendaki puncaknya hanya membutuhkan waktu beberapa
saat saja, tak sampai lima ratus langkah.
Pada satu lereng bukit, memang
terlihat tanah kosong yang ditumbuhi oleh rumput dan beberapa batu besar . Tapi
di bagian tengah tanah kosong itu, terdepat sebatang pohon cemara tinggi.
Pucuknya meliuk-liuk dipermainkan angin. Hanya satu pohon cemara yang ada. Dan
itulah yang dinamakan Cemara Tunggal oleh setiap orang.
"Sebenarnya apa yang kau
cari di sini?" tanya Kirana yang sebenarnya tidak mau tahu urusan Pendekar
Mabuk itu. Akhirnya ia tak kuat menahan rasa ingin tahunya, hingga terlontar
pertanyaan seperti itu.
"Sebelumnya aku ingin
tahu, apa yang dicari oleh gurumu saat kau temukan tewas di sini?!"
"Aku tidak tahu! yang
jelas, dulu semasa mudanya, Guru punya tempat tinggal di daerah ini. Tepatnya
di lereng sebelah selatan sana, di balik bukit ini!"
"Apakah sekarang tempat
tinggalnya itu masih ada?" "Tinggal petilasannya saja. Semua bangunan
telah roboh diamuk badai yang datang kala itu."
"Hmmm...!" Sambil
memandang sekeliling, Suto mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi diam-diam
hatinya bertanya, mana tempat yang memungkinkan untuk menyimpan sebuah pedang?
"Menurutmu, apa yang
dicari gurumu di petilasan tempat tinggalnya dulu itu?!"
"Sudah kubilang, aku tak
tahu!" sentak Kirana. "Tapi sebelum guruku pergi, sudah pamit kepada
salah satu temanku bahwa dia mau ke Cemara Tunggal. Lalu aku menyusulnya kemari
dan menemukan Guru sudah terkapar di batu sebelah sana itu!" sambil Kirana
menuding ke arah dua batu yang berjejeran, masing-masing tingginya sebatas dada
manusia dewasa.
"Mari kita ke sana !
" ajak Pendekar Mabuk dan hal itu semakin membuat Kirana terheran-heran.
Sampai di batu dua jajar itu
pun, Kirana bertambah kerutkan dahi melihat Suto berusaha mendorong batu itu
dengan tenaga biasa. Suto juga memandangi sekeliling batu tersebut. Kirana
tidak tahu bahwa Suto menduga ada lubang atau ruangan di bawah tanah yang
pintunya melalui tempat sekitar batu tersebut.
Suto menyangka cara membuka
pintu ruangan itu dengan menggeser batu tersebut. Tapi ternyata, Suto segera
menghapus dugaan itu. Karena menurutnya, tak ada pintu apa-apa, sebab rumput di
sekelilingnya tak memberi tanda bekas diinjak manusia atau terdapat satu garis
aneh. Tak ada hal itu. Jadi Suto berkesimpulan, mungkin di tempat lain pusaka
itu disembunyikan.
"Suto, kalau kau tak mau
jujur padaku, aku akan pergi dan tak mau menemanimu di sini!" ancam
Kirana. "Apa yang kau cari di sini sebenarnya?!"
"Sebuah pusaka, "
jawab Pendekar Mabuk setelah diam beberapa saat.
Jawaban itu tidak membuat
Kirana kaget namun justru menyunggingkan senyum dan sekarang malahan tertawa
geli. Suto-lah yang menjadi terheran-heran melihat sikap Kirana. "Maksudmu
pusaka milik Ki Padmanaba?!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk
mendengar Kirana menyebutkan nama itu. Ia segera berkata lirih, seperti
ditujukan pada dirinya sendiri, "Kau mengenal nama itu rupanya?!"
"Ki Padmanaba adalah
teman dari guruku Nyai Punding Sunyi. Dan kabar tentang Ki Padmanaba punya pusaka
ampuh itu sudah lama beredar, tapi tak satu pun ada yang menemukannya . Karena
itu, kabar tentang pusaka Ki Padmanaba itu dianggap omong kosong belaka!"
"Omong kosong? ! "
Pendekar Mabuk berkerut dahi makin tajam. "Kalau kau mau tanya soal
pusaka, tanyalah kepada Ekayana! Karena dia adalah cucunya Ki Padmanaba!"
"Dari mana kau
tahu?"
"Sudah lama!" jawab
Kirana acuh tak acuh, kadang gadis ini memang menjengkelkan, kadang menggelikan
juga. "Kalau memang pusaka itu hanya omong kosong, mengapa gurumu datang
ke sini? Pasti dia saat itu sedang mencari pusaka tersebut!"
"Setahuku guruku tak
pernah tertarik dengan pusaka Ki Padmanaba! Bahkan diajak bicara tentang hal
itu pun beliau tak mau. Sudah bosan membicarakannya dari dulu!"
"Sudah bosan, atau
menutup diri supaya orang tak banyak membicarakan dan mengincarnya?. Siapa tahu
diam-diam gurumu mempelajari tentang rahasia pusaka tersebut, sampai suatu saat
menemukan rahasia penyimpanan pusaka itu, dan akhirnya datang sendiri untuk
mengambilnya secara diam-diam?!"
Sambil berkata begitu, Suto
melangkah mendekati pohon cemara yang seperti anak sebatang kara itu. Kirana
mengiringi di samping kiri Suto sambil merenungkan penjelasan Suto Sinting tadi
.
"Orang pintar," kata
Pendekar Mabuk lagi. " Jelas tak akan banyak bicara tentang rahasia pusaka
itu. Ia akan bersikap tenang, kalau perlu bersikap masa bodoh dan tidak
mempercayai adanya pusaka ampuh milik Ki Padmanaba. Tapi diam-diam ia mencari
dalam hatinya, dengan begitu ia merasa sebagai pemburu pusaka sendirian tanpa
ada orang lain yang menjadi saingannya!"
"Mungkinkah Guru
begitu?!" gumam Kirana, setelah mereka berhenti tepat di bawah cemara.
Pendekar Mabuk tidak melayani
kata-kata Kirana untuk sejenak. Suto sibuk memeriksa batang pohon cemara
tersebut. dari atas sampai bawah ia pandangi dengan baik-baik. Batangnya
dipukul pukul pelan, karena ada kemungkinan pedang pusaka itu disimpan dalam
batang cemara. Jika memang benar, berarti batang itu berongga di dalamnya.
Melalui pukulan pukulan, Pendekar Mabuk dapat mendengarkan bunyi gema jika
memang ada bagian dalam batang yang berongga. Tapi nyatanya tidak ada.
Suto Sinting membatin kata.
"Cemara Tunggal dalam purnama? Apa maksudnya? ! Pedang itu tersimpan di
Cemara Tunggal dalam purnama. Apakah yang dimaksud bentuk lingkaran yang ada di
sekitar pohon cemara ini? ! "
Suto pun berkeliling
memandangi tempat-tempat tertentu, mencari bentuk lingkaran. Tapi bentuk itu
sendiri tak ada, bagaimana mungkin bisa menemukan pusaka tersebut?
Suto duduk di bawah cemara
itu. Kirana pun ikut duduk di sebelahnya. Mereka sama-sama merenung, dan
agaknya Kirana mulai tertarik dengan kemungkinan Suto, bahwa Nyai Punding Sunyi
agak-nya mulai mengetahui letak pusaka tersebut setelah sekian lama memikirkan
tempat penyimpanannya. Andai kata benar, lalu mengapa Nyai Punding Sunyi
dibunuh oleh Sedayu? Benarkah gara-gara saling tersinggung dengan ucapan yang
terjadi setahun yang lalu? Apakah bukan berarti Nyai Punding Sunyi telah
rnenemukan pedang pusaka itu, lalu dicuri oleh Sedayu? Tapi mengapa Sedayu
tidak menggunakannya untuk melawan Ekayana? Mengapa Sedayu mati di tangan
Ekayana?
Pemikiran seperti itu, ada di
dalam benak Suto Sinting. Tetapi sampai hampir menj elang senj a, mereka masih
saj a duduk di situ, dan Suto belum menemukan jawaban yang pasti.
Sampai akhirnya Kirana
berkata, "Kelihatannya ada orang sedang berlari kemari, Suto! "
seraya ia menatap ke arah kanan. Suto ikut memandang jauh. Dan ternyata benar,
ada seseorang yang berlari menuju ke arah Cemara Tunggal itu. Orang tersebut
mengenakan pakaian abu-abu dan berbadan sedikit pendek dan agak gemuk. Semakin
dekat semakin jelas bentuk waj ahnya,
"Paman Jongos Daki!"
gumam Kirana.
"Benar! Kelihatannya
memang dia. Tapi mengapa dia menyusul kita kemari? Pasti ada sesuatu yang penting."
Mereka berdua bergegas
menyongsong kedatangan Jongos Daki yang tampak berwajah tegang. Kirana yang
menyapa lebih dulu dengan cemas, karena firasatnya mengatakan ada yang tak
beres telah terjadi di kediaman Tabib Cawan Maut itu. "Ada apa, Paman?!"
Jongos Daki menjawab dengan
napas terengah-engah. Agaknya ia melarikan diri terus-menerus tanpa berhenti
dari bukit karang itu sampai ke Bukit Canang. "Tabib... tewas!"
"Hahh...?!" Suto dan
Kirana sama-sama terkejut dan terbelalak.
"Apa yang terjadi sebenarnya,
Paman?!" "Orang... orang-orang Kobra Hitam menyerang. Tabib tewas dan
aku melarikan diri dalam pengejaran mereka."
"Mengapa tabib
dibunuh?" tanya Pendekar Mabuk, sementara Kirana termenung sambil
menggumam lirih, "Kobra Hitam...!"
Jongos Daki menjawab,
"Permasalahannya tak begitu jelas, Suto. Tapi kudengar salah seorang
bicara menuduh kepada tabib, dan karena Tabib Cawan Maut menyanggah tuduhan
itu, maka diseranglah tabib oleh mereka yang berjumlah tiga orang itu!"
"Tuduhan apa yang
dilemparkan pada Tabib Cawan Maut?!"
"Tuduhan... meracuni
orang orang Kobra Hitam! Mereka menyangka tabib mempunyai Racun Getah Tengkorak
dan dipakai membunuh banyak orang Kobra Hitam! Padahal, tabib merasa tidak
memiliki racun Getah Tengkorak yang amat jarang terdapat di sembarang tempat
itu. Tabib hanya merasa, racun seperti itu memang ada. Tapi ia tak menyimpannya
walau sedikit pun!"
Napas Jongos Daki masih
terengah-engah sewaktu Pendekar Mabuk termenung sedih membayangkan kematian
Tabib Cawan Maut. Kirana pun menundukkan kepala, tanda ikut berkabung atas
meninggalnya tabib yang dikenalnya dengan baik itu.
"Tolong aku...! Mereka
mengejarku dan juga menuduhku orang yang menyebarkan racun itu!" kata
Jongos Daki. "Mengapa Paman tidak melawannya?" tanya Kirana.
"Tak mungkin. Mereka yang
datang berilmu tinggi semua. Ekayana, Brajawisnu, dan Pancakana! Mereka
orang-orang kuat di Kobra Hitam!"
"Ya. ya... aku paham.
Tapi seharusnya mereka tidak membabi-buta begitu!" kata Kirana dengan
menggenggamkan tangannya kuat-kuat.
Kepada Pendekar Mabuk yang
tertegun. Kirana bertanya. "Maukah kau lari bersembunyi bersama kami?
Mereka pasti mengejar sampai kemari!"
" Akan kuhadapi mereka !
Tak perlu lari ! " kata Pendekar Mabuk dengan tenang. Kemudian ia meneguk
tuaknya beberapa kali.
9
TIGA orang berkuda mendekati
Cemara Tunggal. Dari kejauhan sudah kelihatan mereka bertiga tampak bernafsu
sekali untuk membunuh orang yang mereka duga sebagai penyebar Racun Getah
Tengkorak. Wajah mereka tampak beringas dan buas. Seolah-olah tiga ekor singa
yang kelaparan dan memburu mangsa siapa saja yang ditemuinya.
Melihat tiga ekor kuda
berderap menuju Cemara Tunggal, Jongos Daki mulai tampak cemas dan bergeser
berdirinya ke belakang Suto Sinting. Kirana sendiri kelihatan memendam
kegelisahan, hatinya waswas, sehingga ia berlagak mendekati Jongos Daki ke
belakang Suto Sinting.
Berbeda dengan Pendekar Mabuk,
ketika melihat tiga ekor kuda menuju tempat mereka berada, ia justru meneguk
tuaknya beberapa kali dan dengan tenang melangkah ke tanah yang datar. Jongos
Daki dan Kirana bergegas mengikuti Suto dari belakang.
Ketika itu Pendekar Mabuk
segera membalikkan badan dan berkata kepada mereka, "Jangan dekat-dekat.
Menjauhlah dan carilah tempat bersembunyi!"
"Kau sendirian,
Suto!" bisik Kirana.
"Dari dulu memang aku
sendirian," jawab Suto.
Jongos Daki ikut bicara,
" Mereka bukan orang
sembarangan.Mereka pasti orang-orang pilihan dari Kobra Hitam yang kusaksikan
sendiri ilmu mereka begitu tingginya."
Kirana menimpali,
"Mereka bersenjata, sedangkan
kau tidak,Suto. Pakailah pedangku!"
"Bawalah buat menjaga
dirimu sendiri," kata Suto Sinting. "Mana yang paling berbahaya dari
ketiga orang itu?" tanyanya .
"Ekayana lebih berbahaya
dari keduanya itu," jawab Kirana.
"Baiklah, kalau begitu
kulumpuhkan Ekayana lebih dulu! Lekas menjauhlah. Mereka mulai semakin dekat
kemari! Bersembunyilah di balik dua batu besar itu, supaya jangan sampai kalian
menjadi sasaran pukulan tenaga dalam mereka jika meleset mengenaiku! Pergilah
ke sana, Kirana. Jangan bengong saja!"
Ada kebimbangan di hati
Kirana. Ada kecemasan untuk meninggalkan Pendekar Mabuk sendirian menghadapi
tiga orang ganas itu. Tak tega hati Kirana sebenarnya membiarkan Suto bertarung
sendirian. Tapi karena Suto mendesaknya terus, akhirnya Kirana pun mengikuti
saran Pendekar Mabuk yang masih kelihatan tetap tenang itu.
Setelah Kirana dan Jongos Daki
bersembunyi di balik dua batu berjajar yang dipakai tempat bersandarnya Nyai
Punding Sunyi pada saat sebelum ajal tiba, Pendekar Mabuk maju beberapa tindak
menyambut kedatangan tiga orang ganas itu.
Kuda kuda mereka berhenti
dalam jarak antara sepuluh tombak dari tempat Pendekar Mabuk berdiri, Suto
berdiri di dekat gugusan batu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya. Di sana
ia sedikit bersandar punggung pada batu tersebut, kedua tangannya terlipat di
dada. Ia sengaja menunggu ketiga orang itu mendekatinya. Tapi ketiga manusia
beringas itu masih tetap berada di punggung kuda.
Ekayana sudah terbebas dari
totokan pada tangannya. Logayo sendiri yang membebaskan totokan darah tersebut.
Kini ia kelihatan tampak siap bersama pedangnya di pinggang, kepalanya diikat
kain putih bagai seseorang yang sudah siap mati dalam pertempuran.
Ia berada di tengah, di antara
Brajawisnu dan Pancakana yang berwajah lonjong, beralis tebal, dan kumisnya
turun ke bawah sampai dagu itu. Pancakana juga berambut panjang, tapi diikat
kain merah sebagai lambang berani mati.
Ia bersenjatakan cambuk
berujung mata pisau. Sedangkan Brajawisnu yang berjubah ungu tua dengan usia
sekitar enam puluh tahun itu, kelihatan tak sabar ingin segera turun dan
menyerang pemuda tampan di depannya itu. Brajawisnu yang bermata cekung dan
dingin itu berambut panjang pula tapi tak diikat.
Orang yang tak pernah
tersenyum itu menyimpan beberapa pisau terbang di balik jubahnya, karena memang
pisau-pisau terbang itulah senjata yang paling diandalkan. Karena pada
pisau-pisau itulah Brajawisnu yang ahli racun itu membubuhkan berbagai macam
jenis racun untuk setiap mata pisaunya.
Ketiga manusia yang masing-masing
berjuluk Malaikat Maha Pedang, untuk Ekayana, Iblis Maha Racun untuk
Brajawisnu, dan Hantu Naga Belah untuk Pancakana, segera turun dari punggung
kuda setelah diberi aba-aba oleh Ekayana. Tali kekang kuda ditambatkan begitu
saja di rimbunan semak yang menggerombol tak jauh dari mereka. Kemudian dengan
langkah pelan dan menegangkan mereka bertiga mendekati Pendekar Mabuk yang
tetap berdiri dengan tenang, memandang dengan kalem, bahkan terhias senyum
tipis membayang di bibirnya.
Saat itu, Ekayana sempat berbisik
kepada kedua temannya, "Itu yang kubilang pemuda setan kurap! Dia yang
menotokku dengan cara yang tak kuketahui."
"Sikapnya sengaja
menunggu kedatangan kita," gumam Brajawisnu. "Apakah dia berpihak
pada Jogos Daki?"
"Entahlah. Tapi tadi
kulihat Jongos Daki bersama Kirana, orang Perguruan Mawar Seruni!"
"Kalau begitu, jelas
sudah pemuda mabuk itu pasti berpihak kepada Jongos Daki. Atau, mungkin saja
dialah orangnya yang menyebarkan Racun Getah Tengkorak di tempat kita,"
kata Pancakana.
Brajawisnu menggeram,
"Habisi dia sekalian!"
Ekayana berkata,
"Biarkan aku dulu yang
maju melawannya.Kalian berdua jagai aku dari kejauhan!"
"Baik," jawab
Pancakana sedangkan Brajawisnu hanya menggumam.
Ekayana meneruskan langkah
lebih mendekati Pendekar Mabuk, sementara Brajawisnu dan Pancakana diam di
tempat. Tapi keduanya saling berjaga-jaga. Pancakana sudah kelihatan mulai
mengambil cambuk mautnya dari pinggang. Cambuk itu masih tetap digulung tiga
lilitan, dan digenggam dengan tangan kanannya.
"Kita bertemu lagi,
bangsat!" kata Ekayana sengaja memancing kemarahan Suto dengan makian.
Tapi Pendekar Mabuk tetap tenang dan bahkan menyunggingkan senyum berkesan
meremehkan.
"Terlalu lama aku
menunggumu di pantai, jadi aku pindah ke sini untuk menunggumu, Ekayana."
"Bagus. Tapi aku ke sini
juga mengejar Jongos Daki." "Untuk apa kau mengejar lawan yang lebih
rendah ilmunya dari mu?"
"Jongos Daki dan Tabib
Cawan Maut bekerja sama menyebarkan Racun Getah Tengkorak untuk membunuh sekian
banyak orang-orangku! Mereka layak mendapat anugerah kematian dari tangan
kami!"
"Apakah mereka sudah
terbukti bersalah?"
"Hanya Tabib Cawan Maut
yang mengetahui adanya racun itu! Hanya saja, entah siapa yang disuruhnya
menaburkan racun itu ke tempat kami, mungkin Jongos Daki, mungkin juga kau!
Atau mungkin kalian berdua bekerja sama!"
"Tak perlu pakai alasan
macam-macam tuduhan! Aku tahu apa yang kamu inginkan datang kemari,
Ekayana!"
"Benar! Kau pasti tahu
kalau aku ingin mencabut nyawamu. Bangsat Kurap! Jika kau tak sabar, bersiaplah
menghadapi pedangku! Kali ini tak kubiarkan kau bergerak sedikit pun! "
Srett...! Ekayana mencabut
pedangnya sambil melompat dan menyabetkan ke dada Pendakar Mabuk.
Tapi serangan yang cepat itu
segera dihindari oleh Suto dengan gerak silumannya. Zlapp...!
Tahu-tahu Suto berada di
samping Ekayana, sementara itu Ekayana menyabetkan pedangnya dari atas ke bawah
dan mengenai batu yang tadi dipakai sandaran Pendekar Mabuk. Tringngng...!
Percikan api keluar akibat
kecepatan tebas pedang di permukaan batu keras itu.
"Gerakan jurus pedangmu
belum sempurna, Ekayana!" kata Suto Sinting sengaja memancing luapan
amarah lawannya. Ternyata pancingan itu termakan oleh Ekayana, sehingga ia
bergerak semakin tanpa perhitungan. Nafsunya untuk membunuh Pendekar Mabuk meluap-luap
dan tak terkendali lagi.
"Terima jurus ' Pedang
Pembelah Petir ' ini, Monyet busuk! Hiaah! "
Wuttt...! Wes wes wes wes
wwukk...!
Ekayana bergerak dengan cepat.
Kelihatannya hanya satu kali menebaskan pedangnya, padahal beberapa kali
gerakan tebas pedang telah dilakukan, kurang dari satu helaan napas. Tetapi
akhirnya Ekayana bingung sendiri, karena ternyata ia menebas tempat kosong
bebarapa kali. Sedangkan orang yang dijadikan sasaran tahu-tahu sudah berada
dalam jarak lima tombak di belakangnya, sedang menengadahkan kepalanya, meminum
tuaknya beberapa teguk.
Brajawisnu berbisik kepada
Pancakana, "Dia punya gerakan yang tak bisa dilihat mata kita! Dia cukup
berbahaya!" "Kalau kau takut, mundurlah! Biar aku yang hadapi
dia!" "Setan kau! Jangan bicara begitu! Dia boleh punya gerakan
secepat setan, tapi belum tentu bisa mengimbangi gerakan pisau terbangku!
Lihat...!" Wuttt...!
Tiba-tiba tangan Brajawisnu
berkelebat ke depan. Rupanya dia telah mencabut pisau dan melemparkannya ke
arah Pendekar Mabuk yang baru saja selesai meneguk tuaknya. Gerakan pisau
terbang yang amat cepat itu masih bisa ditangkis oleh bumbung tuak Suto dalam
keadaan Suto melimbungkan diri seperti gerakan orang mabuk.
Trakkk....! Pisau itu mengenal
bumbung tuak, dan bumbung itu dibelokkan sedikit oleh Pendekar Mabuk dalam
gerakan cepat. Akibatnya pisau itu memantul tapi tidak berbalik ke arah
penyerangnya, melainkan meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Ekayana.
Zuttt...! Crabb..!
"Aaah...!" Ekayana
terpekik, pisau itu menancap di bawah pundak kirinya. Brajawisnu dan Pancakana
mendelik kaget melihatnya.
"Ekayana...?!"pekik
Pancakana segera melompat menghampiri Ekayana yang menjadi merah bagian pundak,
dada serta lengan kirinya itu. Racun ganas pada pisau tersebut membuat Ekayana
menjadi lemah.
Brajawisnu merasa bersalah,
menyesal sekali Ekayana bisa terkena pisau beracun itu. Hatinya menjadi panas
kepada Suto Sinting yang seenaknya saja menangkis pisau terbangnya. Brajawisnu
merasa diremehkan. Karenanya, setelah melemparkan sebutir obat kepada Ekayana
dan menyuruh Ekayana menelan butiran sebesar tahi kambing itu, Brajawisnu
segera menghadapi Pendekar Mabuk.
"Keparat kau! Terlalu
meremehkan kami dengan kesombonganmu! Hadapi aku si Iblis Maha Racun ini!"
"Baik. Kulayani permintaanmu!"
kata Pendekar Mabuk. Brajawisnu segera menyerang dengan menyentakkan tangannya
dalam keadaan telapak tangan terbuka mekar dan menghadap ke bawah, lalu dari
dalam tangan jubahnya melesatlah dua mata pisau kecil yang berwarna putih
mengkilat, bercahaya karena pantulan sinar matahari. Zlaapp, zlappp...!
Pendekar Mabuk sentakkan
kakinya pelan ke tanah, tubuhnya melesat naik dan bersalto maju dua kali.
Jlegg...! Ia sudah ada di depan Brajawisnu dalam jarak hanya dua langkah,
sedangkan dua pisau tadi meluncur terus mengenai pohon di tempat jauh. Pohon
itu tumbang dengan menimbulkan suara gemuruh yang mengerikan.
Hadirnya Suto Sinting di depan
mata membuat Brajawisnu terkejut. Saat terkejut itulah Suto segera melepaskan
tendangan beruntun ke wajah dan tubuh Brajawisnu.
Tendangan beruntun itu sangat
cepat. Sepertinya tendangan satu kali lepas saja, tapi sesungguhnya punya lima
tendangan yang mengenai sasaran dengan cepat. Dari wajah sampai ke perut
Brajawisnu rata mendapat bagian tendangan ber tenaga dalam tinggi itu.
Jeb jeb jeb jeb jeb !
"Hiaaaah....!" pekik
Pendekar Mabuk untuk tendangan yang terakhir kalinya, yaitu melompat dan
memutar tubuh dengan cepat. Kakinya melayang kuat menghantam wajah kiri
Brajawisnu,
Plokkkk...!
Telak sekali tendangan yang
terakhir itu, membuat Brajawisnu terlempar dan jatuh menabrak Ekayana yang
sudah siap menyerang Suto kembali itu. Akibat tabrakan tersebut, Ekayana jadi
ikut terpental dan jatuh tertindih Brajawisnu. "Braja....!" pekik
Pancakana yang hampir saja tadi ikut tertabrak tubuh Brajawisnu. Mata Pancakana
menjadi terbelalak karena ia melihat dengan jelas pedang Ekayana menembus
lambung Brajawisnu dan tembus ke pinggang sebelahnya.
"Ekayana! Kau telah
membunuh Brajawisnu!" teriak Pancakana dengan panik. Ekayana sendiri
terkejut luar biasa setelah menyadari pedangnya menembus tubuh teman sendiri.
"Bangsaaaattt....!"
teriak Ekayana dalam amukannya yang meledak-ledak. Ia sangat menyesal karena
merasa sepertinya dialah yang membunuh teman sendiri.
Malaikat Maha Pedang itu
segera menyerang Pendekar Mabuk bersama-sama dengan Pancakana. Cambuk berujung
pisau itu dilecutkan, tak ada suara yang keluar dari cambuk itu. Wutt...!
Hanya itu yang didengar dari
lecutan cambuk, Suto menghindarinya dengan melompat ke kiri.
Wutt...!
Kembali cambuk dilecutkan,
Suto menghindar ke depan dan bersalto. Begitu mendaratkan kaki, pedang Ekayana
berkelebat dengan cepatnya. Wesss....!
Trakkk! Suto menangkis dengan
bumbung tuak, lalu dengan cepat bumbung tuaknya dihantamkan ke wajak Ekayana.
Duarrrr...!
Terdengar suara ledakan ketika
bumbung tuak menghantam kepala Ekayana. Setetah itu, Ekayana tak berkutik lagi.
Rubuh dalam keadaan hancur kepalanya.
"Jahanam kau!" geram
Pancakana dengan mata makin melotot.. Ia mengamuk melihat Ekayana mati dengan
keadaan sangat menyedihkan. Maka cambuknya pun dilecutkan beberapa kali ke
tubuh Suto Sinting. Wuttt, wutt, wutt, wuttt ...!
Zrattt...! Cambuk melilit di
bumbung tuak yang ditangkiskan Pendekar Mabuk. Pancakana berusaha menarik
cambuknya, tapi dengan mengerahkan tenaga sebesar apa pun, cambuk itu tetap
melilit ke bumbung tuak. Maka, dengan kedua tangannya Suto pun menyentakkan
bumbung tuak itu ke belakang, dan satu kali sentak tubuh Pancakana melayang
terbang karena tarikan cambuknya. Begitu tubuh Pancakana mendekat, bumbung tuak
segera dimiringkan dan kini bagian bawah bumbung disodokkan ke dada Pancakana
dengan kuat. Duhggg....!
"Ughh....!"
Pancakana terpental balik dengan cambuk terlepas. Tubuhnya melayang dan jatuh
sejauh lima tombak. Ia jatuh di bawah kaki kuda dalam keadaan wajah menjadi
biru legam, rambutnya mulai rontok tertiup angin.. Sedikit demi sedikit
akhrirnya rambut itu habis dari kepala Pancakana. Kepala orang itu menjadi
plontos dan berwarna biru legam.
Rupanya sodokan bumbung tadi
mempunyai kekuatan dahsyat yang tak diduga-duga oleh siapa saja. Pancakana
sendiri tak menyangka kalau akan tersodok bumbung tuak pada saat Suto Sinting
menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Rupanya itulah jurus "Mabuk
Pelebur Gunung" yang dimiliki oleh Pendekar Mabuk.
Pancakana merasa seperti ada
jutaan semut yang menggerayangi dan menggerogoti bagian dalam dadanya.
Jantungnya terasa sakit, demikian pula paru parunya bagai mulai kropos .
Cepat-cepat ia berusaha melomnpat ke punggung kuda. Dengan sikap sedikit
telungkup menahan sakit, ia memacu kuda untuk meninggalkan tempat tersebut.
Orang berkepala pelontos gundul itu melarikan diri dari pertarungannya, karana
ia merasa jiwanya tak akan bisa tertolong lagi tapi perlu memberi laporan
kepada sang ketua Perkumpulan Kobra Hitam.
Kirana segera berlari dan
melompat, tahu-tahu ia sudah duduk di atas punggung kuda. Suto segera berseru,
"Kirana! Mau apa kau?" "Mengejar setan busuk itu!"
"Tak perlu! Dia akan mati
begitu tiba di tempat, atau mungkin dalam perjalanannya!"
Akhirnya Kirana pun turun dari
kuda, tak jadi mengejar Pancakana. Tiba-tiba terdengar suara letupan keras. Tar
tarrr...!
Suto Sinting tegang dan
bersiap menghadapi serangan lagi. Matanya memandang sekeliling dengan tajam.
Tapi Kirana segara berkata dengan tenang.
"Tak ada apa-apa. Suto!
Itu hanya suara lecutan cambuk Pancakana yang tertinggal!" "Yang
tertinggal?!" Suto heran.
"Cambuk itu tadi melebihi
kecepatan suara. Dan itulah kehebatan cambuk Pancakana, bisa meredam suara pada
saat dilecutkan ke lawan, sehingga lawan akan merasa menyepelekan kekuatan
cambuk itu"
Jongos Daki muncul dari balik
batu. Pada saat ia mendekati Suto dan Kirana, suara cambuk Pancakana yang tadi
dilecutkan empat kali tanpa suara itu, kali ini terdengar lagi.
Tar tar tar tarrrr...!
Pendekar Mabuk hanya
geleng-geleng kepala. Ia mengguman, "Cukup dahsyat sebenarnya, cambuk itu,
tapi sayang digenggam tangan sesat, jadi tak berguna bagi hidupnya
sendiri.!"
"Logayo pasti akan murka
mendapat kabar dua orang kuatnya kau rubuhkan, Suto " kata Kirana.
"Lebih murka lagi melihat
Pancakana seolah-olah kau kirim kembali sebagai bangkai! Dia pasti akan mencari
kita!"
"Aku siap menghadapinya
kapan saja. Yang penting bagiku sekarang adalah mencari tahu, di mana pusaka Ki
Padmanaba disimpannya?"
Jongos Daki berkata, "Aku
sendiri tak tahu. Tapi yang jadi buah pikiranku sekarang ini adalah, siapa
orang yang menabur racun di antara orang orang Kobra Hitam itu?! Siapa pemilik
Racun Getah Tengkorak yang langka dan sulit diperoleh itu?"
Kirana berkata.
"Barangkali untuk mencari
tahu tempat penyimpanan pusaka Ki Padmanaba, kita bisa tanyakan kepada Nyai
Embun Salju, ketua Perguruan Elang Putih, yang nama aslinya tak boleh
disebutkan oleh siapapun karena bisa mendatangkan hujan petir dan amukan
badai!" "O, begitu dahsyatnya nama itu sendiri?" kata Suto
dengan kagum. "Kalau begitu, cepat bawa aku kepada Nyai Embun Salju! Kita
perlu mengetahui dimana Ki Padmanaba menyimpan pusaka tersebut."
Jongos Daki bertanya kepada
Kirana, "Mengapa harus kepada Nyai Embun Salju kita bertanya?!"
"Karena Nyai Embun Salju
adalah kakak dari Ki Padmanaba, tapi mereka hanya satu ibu lain bapak!"
jawab Kirana "Yang kutakutkan kalau Nyai Embun Salju tidak mengetahui
tempat pusaka itu di simpan, tapi justru kakak ipar Ki Padmanaba
mengetahuinya."
"Kakak ipar?! Maksudnya
kakak dari istrinya Ki Padmanaba?" tanya Suto Sinting dengan semakin ingin
tahu. "Benar! Karena ketika Ki Padmanaba membunuh istrinya, kakak iparnya
mengancam akan merebut pusaka itu ! Dan kakak iparnya itulah yang mem pengaruhi
istri Ki Padmanaba untuk membunuh mertua sang istri, yaitu membunuh orangtua Ki
Padmanaba!"
"Siapa kakak iparnya Ki
Padmanaba itu?!"
"Logayo, ketua perguruan
Kobra Hitam!" jawab Kirana dengan tegas.
Pendekar Mabuk berkerut dahi
dan memandang ke arah jauh. Sebenarnya ia tak ingin terlibat dalam masalah
pusaka, yang bukan hak miliknya itu. Tapi amanat dari Ki Padmanaba saat
menjelang ajalnya tiba itu, membuat Suto semakin merasa bertanggung jawab untuk
menyelamatkan pusaka itu agar tidak jatuh ke tangan orang sesat.
Sementara itu sebuah
pertanyaan masih menyelinap di dalam hati Suto tentang siapa penyebar Racun
Getah Tengkorak itu sebenarnya?
TAMAT