1
SUDAH tiga purnama Suto
Sinting tidak jumpa dengan calon istrinya: Dyah Sariningrum. Rasa rindu ingin
memeluk sang kekasih idaman hati memaksa Pendekar Mabuk untuk menyewa sebuah
perahu berlayar tunggal. Perahu itu milik
seorang nelayan yang sedang menderita berbagai macam penyakit, antara lain:
sakit panas-dingin, sakit gigi, sakit encok, sakit perut, sakit kepala... dan
juga sakit hati.
Nelayan tua itu sakit hati
kepada anaknya yang perempuan. Karena si anak perempuan setelah menikah selalu
ikut suami dan tidak pernah mau menengok ayahnya. Kebetulan waktu itu Suto
Sinting si Pendekar Mabuk membutuhkan tumpangan untuk bermalam. Maka bertemulah
ia dengan si nelayan tua itu. Suto diberi tumpangan bermalam, tapi Suto juga
sembuhkan nelayan tua itu dengan cara meminumkan tuak dari bumbung bambu yang
ke mana-mana selalu dibawa oleh sang Pendekar Mabuk.
"Sakit kok borongan sih,
Pak Tua?!" ujar Suto setelah mengobati.
"Entahlah, Nak. Badanku
ini kalau sedang gemar sakit, penyakit apa saja diterimanya. Tidak ada yang
ditolak," jawab Pak Tua. "Biasanya para nelayan menderita sakit
macam-macam begini kalau pada jala yang dipakai menangkap ikan terdapat seekor
ikan mas dewa."
"Ikan mas dewa itu
seperti apa?"
"Ya seperti ikan mas tapi
memancarkan cahaya biru bening. Empat hari yang lalu ikan mas dewa itu
tersangkut dalam jalaku. Tapi ikan itu sudah kubuang kembali ke laut, kok ya
masih saja aku panen penyakit. Heran aku, Nak."
Percakapan menjadi akrab,
sampai akhirnya tiba pada pembicaraan sewa-menyewa perahu.
"Aku butuh perahu untuk
menyeberang ke Pulau Serindu, Pak Tua. Bolehkah aku menyewa perahumu?"
ujar pemuda tampan, gagah dan berbadan kekar itu.
"Mengapa harus menyewa?
Kalau kau mau pakai, pakailah saja. Aku punya empat perahu."
"Hebat...!"
"Tapi bocor semua!"
"Huuuuh... perahu bocor
kok ditawarkan," pemuda berbaju coklat tanpa lengan itu dan bercelana
putih lusuh itu bersungut-sungut.
"Tempo hari aku mencari
ikan dengan meminjam perahu temanku." "Kalau begitu, carikanlah aku
perahu sewaan untuk kupakai selama empat atau lima hari, Pak Tua."
"Tak usah mencari ke
mana-mana. Pakai saja perahuku itu. Kau mau pakai satu atau dua atau bahkan
tiga perahu mau kau pakai menyeberang semua, silakan! Aku tidak memungut biaya
sewa."
"Iya, tapi kalau bocor
semua buat apa?!"
"Lho, kan bisa ditambal
dulu? Dalam waktu tak sampai setengah hari aku bisa menambal perahu-perahu itu
sehingga dapat digunakan."
Pak Tua itu rupanya ingin
balas budi kepada si Pendekar Mabuk atas jasa sang pendekar yang berhasil
melenyapkan semua penyakitnya dalam waktu yang bersamaan. Sebelum siang hari,
keempat perahunya sudah tertambal dengan rapi dan diberi tulisan: Anti Bocor.
Tetapi biar bagaimanapun Suto tak ingin merepotkan nelayan tua itu. Agar
hatinya tidak cemas karena takut, perahunya tak kembali, Suto meninggalkan
sejumlah uang yang dikatakan sebagai uang sewa, tapi sebenarnya uang garansi,
bahwa perahu pasti akan kembali.
Menempuh pelayaran seorang
diri memang merupakan pekerjaan yang menjenuhkan. Kanan-kiri, depan-belakang,
yang ada hanya pemandangan biru dengan warna putih di atas kepala. Sesekali
gugusan pulau dilewati, tak bisa dilihat kedalaman hutannya karena terlalu jauh
dari pandangan mata.
Tetapi demi cinta dan rindu
kepada Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata,
Suto Sinting tetap jalankan pelayaran tunggal itu dengan hati resah menahan
kangen. Sesekali ia berdiri di buritan untuk mengatur kemudi perahu. Badannya
tampak tegap dan gagah dengan rambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap
tertiup angin samudera. Dalam benaknya tersimpan banyak khayalan indah yang
membuatnya selalu tersenyum tipis menandakan walau resah tapi ia punya
kegembiraan tersendiri.
Namun matanya yang bening dan
berbulu lentik untuk ukuran seorang lelaki itu tiba-tiba agak menyipit karena
harus menangkap sesuatu yang dipandang terlalu jauh. Bumbung tuak yang berisi
tuak penuh itu ditunggingkan hingga isinya mengucur di mulut. Setelah itu ia
memandang ke arah yang dianggap ganjil itu.
"Sepertinya di sana ada kapal
yang terbakar? Ada asap, tapi tak kelihatan api. Atau mungkin hanya gundukan
tanah dan rumput yang terbakar?!" hati si murid sinting Gila Tuak dan
Bidadari Jalang itu berkecamuk sendiri. Rasa penasaran mulai timbul dan semakin
menggelitik hati, sehingga perahu pun diarahkan pada kepulan asap dan gugusan
benda hitam jauh di sebelah sana.
Semakin lama perahu semakin
dekat dengan gugusan hitam itu. Pandangan mata Suto dipersempit lagi.
"Oh, benar! Sebuah perahu
terbakar! Oh, bukan sebuah tapi dua buah...? Ya, dua buah perahu! Keduanya
sama-sama terbakar dan... dan oh, ada yang bertarung di atas salah satu perahu
yang terbakar itu?!" Pendekar Mabuk kerahkan tenaga untuk gerakkan dayung
panjang. Perahunya semakin dekat, penglihatannya semakin jelas. Ternyata di
atas salah satu perahu berlayar putih yang sedang terbakar layarnya itu tampak
seorang pemuda sedang mempertahankan nyawanya dari dua perempuan berjubah hitam
dan abu- abu.
Pemuda itu mengenakan celana
dan baju tanpa lengan warna ungu. Ia berwajah tampan, berkulit bersih,
rambutnya lurus dikuncir satu, ia menggunakan senjata pedang bersarung perak.
Di ujung gagangnya ada ronce- ronce benang ungu sebagai penghias. Pemuda itu
juga mengenakan sepasang gelang kulit warna loreng hitam- putih di kedua pergelangan
tangannya. Punggung telapak tangannya
ada tato bergambar seekor elang biru mengepakkan sayapnya. Pendekar Mabuk kenal
betul ciri-ciri tersebut, yang tak lain adalah ciri-ciri dari sahabatnya
sendiri, yaitu Elang Samudera.
Pemuda itu adalah murid Pendeta
Darah Api yang menjadi pamannya Ratu
Remaslega dari Pulau Sangon. Sedangkan Pulau Sangon sendiri mempunyai perwira
muda yang cantik bernama Dewi Cintani. Dan Elang Samudera adalah adik dari Dewi
Cintani. Suto pernah membantu mereka dalam sebuah peristiwa pencurian Tongkat
Guntur Bisu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir
Malam").
Tetapi dua perempuan yang
berusia tua, sekitar enam puluh tahun ke atas itu, sama sekali belum pernah
dikenali oleh Suto. Kedua perempuan yang rambutnya abu-abu karena bercampur
uban itu tampak ganas dalam menyerang Elang Samudera. Mereka berilmu tinggi,
sehingga mampu berdiri di atas permukaan air laut dengan hanya berpijak pada
sepotong papan sebesar telapak tangan. Gerakan kedua nenek itu cukup lincah dan
mereka berkelebat loncat sana-sini sambil menyambarkan tongkatnya untuk
menghancurkan kepala Elang Samudera. Lompatan-lompatan mereka seperti sepasang
burung camar yang getol menyambar mangsanya.
Wes, wes... wuuuut...!
Claaap...! Blegaaar... blegaar...!
Ledakan terjadi berkali-kali
karena Elang Samudera selalu mengadu kekuatan tenaga dalamnya jika mendapat
serangan dari kedua lawan, ia jarang mengelak sinar yang datang padanya. Bahkan
ketika kedua nenek itu datang menerjang dari arah samping kanan-kiri dengan
hantaman tongkatnya, Elang Samudera menangkis hantaman kedua tongkat dengan
memukulkan tinjunya ke samping kanan-kiri. Proook...! Blegaaarrr...! Ledakan
pun kembali timbul karena tangan Elang Samudera dialiri tenaga dalam tinggi dan
tongkat itu pun demikian juga. Namun keduanya segera berputar cepat dan
menyabetkan tongkatnya ke punggung Elang Samudera.
Breeeukh...! Tongkat itu
menghantam bersamaan dengan menggunakan sepasang jurus yang sama pula. Elang
Samudera terpekik dengan tubuh tersentak ke depan, nyaris terjun ke laut.
Sebelum tubuh itu terjun ke laut, tendangan nenek berjubah hitam melayang cepat
dan kenai pinggang Elang Samudera.
Bet, buuukh...!
"Aaakh...!" Elang
Samudera terlempar melayang ke perahu yang sudah dipenuhi api itu. Pada saat
kritis seperti itulah, Pendekar Mabuk segera bertindak dari atas perahunya.
Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan
cahaya, Pendekar Mabuk menyambar tubuh Elang Samudera yang nyaris terjun ke
kobaran api tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
Pendekar Mabuk berdiri di atas
selembar kulit kayu kering yang mengapung di permukaan air. Ia sudah memanggul
Elang Samudera di pundak kiri, sementara pundak kanannya dipakai untuk
menggantungkan bumbung tuak saktinya.
Kedua nenek terkesiap melihat
kemunculan anak muda yang mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, terbukti
dapat berdiri di atas selembar kulit kayu yang mengapung di permukaan air.
Lebih kagum lagi, ternyata anak muda bersabuk merah itu mempunyai gerakan yang
mencengangkan mata kedua nenek tersebut. Mereka tak melihat gerakan Suto,
tahu-tahu mereka sudah melihat kemunculan Suto yang telah memanggul Elang
Samudera. Sementara itu, Adhiyaksa atau si Elang Samudera merintih pelan dan
mulutnya mengucurkan darah kental, ia terluka parah bagian dalamnya.
"Siapa kau, Begundal
monyet?!" bentak nenek berjubah abu-abu. "Apa maksudmu ikut campur
dalam urusan kami ini, nah?!"
"Aku hanya menyelamatkan
seorang teman," kata Suto dengan nada tegas.
"O, jadi kau mau cari
mampus?!" sahut nenek berjubah abu-abu.
"Budek!" sentak si
jubah hitam pada jubah abu-abu. "Dia hanya mau menyelamatkan seorang
teman! Bukan mau cari mampus!"
"Lha. iya...! Itu berarti
dia mau cari mampus, Tolol!" si jubah abu-abu mendorong kepala jubah hitam
hingga jubah hitam tersentak ke samping.
"Jangan main
julek-julekan begitu! Aku tidak suka!" bentak si jubah hitam. Jubah
abu-abu hanya diam dan tetap menampakkan kemarahannya kepada Pendekar Mabuk.
"Hei, Tikus
cilik...!" katanya sambil menuding Suto. "Biarkan murid si Pendeta
Darah Api itu mati di tangan kami, karena dulu murid kami pun mati dibunuh oleh
gurunya!"
"Kurasa Eyang Pendeta
Darah Api tidak akan segegabah itu, membunuh orang seenaknya kalau tidak ada
alasan yang kuat. Jika Eyang Pendeta Darah Api membunuh muridmu, berarti
muridmu adalah manusia sesat yang memang layak untuk dilenyapkan!"
"Eeeeh, eh, eh, eh...!
Kurobek mulutmu sampai ke tengkuk kalau berani mengatakan Juwanara adalah murid
sesat kami!" tuding si jubah abu-abu.
Jubah hitam menyahut,
"Kurasa sekarang sudah waktunya merobek mulutnya, Cakar Peri!"
"Kalau begitu, robeklah
sendiri mulut anak itu, Taring Peri!"
"Kita maju berdua saja!
Hsaaaah...!"
Kedua nenek itu segera lakukan
lompatan bagaikan terbang dengan tongkat terarah ke depan.
Wuuut...! Suto Sinting tak mau
menangkis, melainkan menghindari serangan itu dengan berkelebat cepat melebihi
kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya. Zlaaap...! Zlaaaap...!
Tahu-tahu ia sudah berpindah
tempat di perahunya sendiri. Elang Samudera diletakkan di perahunya itu.
Sementara kedua nenek tak bisa hentikan gerakan. Ketika sodokan tongkatnya
mengenai tempat kosong, keduanya sama-sama terjerumus dan terjun ke laut.
Byuuurr...! Byuuur...!
"Anak
jahanaaammm...!" geram si jubah hitam. "Heeaaat...!"
Bruuuusss...!
Cakar Peri yang berjubah
abu-abu tersentak meluncur ke atas, keluar dari permukaan air laut. Ia bagaikan
ikan terbang yang segera lepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangan
kirinya. Wuuuut...!
Sementara itu, Taring Peri
yang berjubah hitam hanya melompat keluar dari kedalaman air dan berdiri di
atas sepotong kayu papan. Tapi ia juga segera melepaskan pukulan sinar merah
berbentuk bola api dari tangan kirinya. Claaap...!
Sinar merah panjang dari
tangan Cakar Peri lebih dulu menghantam tubuh Suto Sinting. Namun dengan cepat.
Suto Sinting menangkis sinar merah panjang itu dengan bambu bumbung tuaknya.
Trrak, slaaaps...!
Sinar merah panjang itu
menjadi berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Sinar itu tidak
tepat membalik ke arah Cakar Peri, namun justru menghantam sinar merah bola
apinya si Taring Peri. Wuuub...! Blegaaarrrr...!
Ledakan dahsyat terjadi sangat
mengguncangkan alam. Air laut menyibak ke atas bagai ingin merangkup
perahu-perahu mereka untuk ditenggelamkan ke dasar laut. Pendekar Mabuk sendiri
sempat terpental ke belakang dan jatuh masih di dalam perahunya, menindih
tangan Elang Samudera yang masih merintih menderita sakit itu. Sedangkan kedua
nenek tadi terlempar ke atas tanpa keseimbangan tubuh. Mereka melayang-layang
dan akhirnya jatuh di perahu yang penuh api.
Brrruus...!
"Waaaaa...!" teriak
mereka, kemudian sama-sama melompat keluar dari kobaran api itu. Wuuurs...!
Byur...!
Jooorrss...!
Keduanya sama-sama seperti
besi membara yang dimasukkan dalam air. Tapi karena air laut mengandung garam,
maka luka bakar mereka terasa sangat perih dan membuat mereka berteriak-teriak
kesakitan dan menghamburkan makian yang tak karuan.
"Aaaahhh...! Kunyuk
bantaaaat...!"
"Jahanam laknat biadab,
keparaaaatt...! Periiiihh...!" teriak Cakar Peri. Rupanya ledakan tadi
bukan saja menghadirkan gelombang sentakan sangat kuat, melainkan juga
mengandung hawa panas yang membuat kulit tubuh tua para 'peri' itu menjadi
terkelupas. Bahkan dada Suto Sinting pun menjadi merah karena hawa panas tadi.
Untung ia buru-buru meneguk tuaknya, sehingga rasa panas pun segera sirna dan
badannya menjadi segar kembali.
"Kita lari saja dari
sini!"
"Lari ke mana?! Perahu
kita sudah terbakar habis gara-gara serangannya si murid pendeta bego
itu!"
"Aku tak kuat menahan
rasa perih di sekujur tubuhku.
Bukitku terbakar!"
"Bukitku juga. Tapi
biarlah, sudah peot ini, ngapain susah-susah dipikirkan! Cuma, oouh... sekujur
tulangku bagaikan ikut terbakar dan sebentar lagi .. akan menjadi lumer!"
"Ini gara-gara
kecerohohanmu, melepaskan pukulan 'Sangkar Api' bersama-sama terlepasnya jurus
'Inti Lahar'-ku, akibatnya yang seperti ini jika berbenturan!"
"Jangan salahkan aku,
salahkanlah si kunyuk muda itu! Dia menangkis dengan bumbung tuaknya. Coba
kalau tidak ditangkis, pasti tidak membalik ke arah kita!" "Oouh...!
Aku tak kuat menahan rasa panas yang
makin lama semakin
mengeringkan darahku ini!" "Makanya kita cabut saja dari sini!"
"Iyalah... kita cabut
saja dari... hei, itu ada dua potong papan mengambang! Kita gunakan papan papan
itu saja untuk lari!" "Pergunakan jurus 'Angin Pengecut' kita!
Huuup...!"
Zrrub...! Plek...! Taring Peri
lebih dulu melompat dari kedalaman air, kakinya jatuh di atas sepotong papan.
Cakar Peri menyusul melakukan hal yang sama. Wuuuut...! Mereka pun sama-sama
pergi melesat dengan kecepatan tinggi. Seakan mereka sepasang layar tua yang dihembus oleh angin badai. Itulah jurus
kabur mereka yang dinamakan jurus 'Angin Pengecut'.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan
kedua nenek itu kabur, ia segera menolong Elang Samudera yang terluka parah
bagian dalamnya itu. Beberapa teguk tuak diminumkan ke mulut Elang Samudera.
Dengan meminum tuak sakti tersebut, maka luka parah baik yang ada di dalam
maupun yang di luar tubuh menjadi sembuh tanpa bekas sedikit pun. Itulah
kehebatan tuak sakti dari bumbung bambu yang menjadi ciri khas si Pendekar
Mabuk.
"Siapa kedua nenek liar
tadi?" tanya Suto kepada Elang Samudera, setelah Elang Samudera menyatakan
rasa bersyukur dan berterima kasih atas kemunculan Suto di tempat itu.
"Mereka orang-orang dari
aliran hitam yang sakit hati kepada guruku karena kematian murid kesayangan
mereka. Lalu, mereka ingin balas membunuh murid dari guruku, yaitu aku
sendiri!"
"Hmmm...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Lalu, kau sendiri mau ke mana sebenarnya, Elang
Samudera?!"
"Aku mau ke Pulau
Swaladipa. Aku diutus oleh Ratu Remaslega menggantikan tugas kakakku; Cintani,
untuk menyelamatkan seorang bocah yang ada di Pulau Swaladipa."
"Bocah...?! Hei, kenapa
kau sekarang jadi tukang momong?!"
Pendekar Mabuk menertawakan.
Tapi Elang Samudera hanya tersenyum-senyum sambil matanya memandang jauh ke
cakrawala dan suaranya terdengar kembali.
"Bocah itu adalah bocah
emas yang kini sedang jadi incaran para penguasa di berbagai tempat."
"Bocah emas?!" gumam
Suto penuh keheranan. "Seluruh kulitnya berwarna kuning emas. Bahkan
keringat atau air matanya jika
membeku menjadi butiran emas. Menurut kepercayaan para sesepuh, bocah emas
adalah bocah keberuntungan yang akan membuat sebuah negeri atau sebuah wilayah
akan menjadi makmur dan kedudukan penguasanya tak akan bisa ditumbangkan jika
bocah emas itu berada dalam perawatannya!"
"Hebat! Baru sekarang
kudengar ada bocah sekeramat itu?!"
*
* *
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com 2
TIDAK ada perahu yang utuh dan
bisa dipakai lagi, baik perahu bawaan Elang Samudera maupun perahu bawaan kedua
nenek itu. Hanya perahu Suto yang masih utuh dan tidak mengalami kerusakan apa
pun. Maka mau tak mau Suto mengantar Elang Samudera sampai ke Pulau Swaladipa.
"Pulau Swaladipa adalah
pulau kekuasaan Ratu Lembah Girang," tutur Elang Samudera menjelaskan
selama dalam perjalanan di laut.
"Apakah bocah emas itu
adalah anak Ratu Lembah Girang?!"
"Bukan. Bocah emas itu
keturunan dari pasangan suami-istri yang menjadi sepasang pertapa di Gunung
Sambara. Sepasang pertapa itu adalah Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning."
"Keduanya masih
hidup?"
"Sudah tiada," jawab
Elang Samudera. "Pasangan pertapa sakti itu mati tanpa raga. Artinya tidak
ada jasad yang ditinggalkan kecuali hanya pakaian mereka berdua. Dan menurut
keterangan guruku, Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning meninggal sekitar tujuh
puluh tahun yang lalu."
"Oh...?!" Suto agak
kaget. "Kalau begitu sekarang yang dinamakan Bocah Emas itu sudah besar,
bahkan mungkin sudah tua?!"
"Seharusnya begitu. Tapi
kenyataannya bocah itu tetap awet kecil, seperti bocah berusia lima tahun
kurang, ia tinggal di dalam gua pertapaan ayah-ibunya di Gunung Sambara. Ia
hidup bersama pelayan tua pasangan pertapa sakti itu. Pelayan itu bernama Ki
Jurumomong. Tapi beberapa waktu yang lalu, Ratu Remaslega dan beberapa tokoh
tua dalam persilatan mendengar kabar bahwa Ki Jurumomong telah tewas juga. Maka
si Bocah Emas itu hidup sendirian dan sekarang sedang dijadikan bahan rebutan
para tokoh baik dari aliran hitam maupun dari aliran putih."
"Apa ada hubungannya
dengan Ratu Lembah Girang?!"
"Hubungannya adalah...
Ratu Lembah Girang menjaga ketat wilayah Gunung Sambara, karena ia sendiri ingin
merawat Bocah Emas itu untuk memperkokoh kedudukannya dan mencari kejayaan dari
kekuasaannya."
"Ikut aliran mana ratu
itu?"
"Aliran hitam!"
jawab Elang Samudera dengan tegas dan jelas. Lalu, ia menyambung penjelasannya
tanpa diminta oleh Pendekar Mabuk.
"Pada mulanya, Pulau
Swaladipa diperintah oleh Nyi Ageng Sangir, bibinya Ratu Remaslega. Tapi
perempuan sesat berjuluk Lembah Girang segera menggulingkan kekuasaan Nyi Ageng
Sangir. Maka pulau tersebut dan wilayah jajahannya berada dalam genggaman Lembah
Girang, yang kemudian menobatkan diri sebagai ratu di pulau itu."
Suto Sinting manggut-manggut.
Ia tampak antusias sekali mendengarkan cerita tersebut. Bahkan ia menjadi
penasaran, ingin tahu seperti apa wujud si Bocah Emas dan Ratu Lembah Girang itu.
Rasa penasarannya itu sempat menyisihkan rasa rindunya kepada Dyah Sariningrum,
sehingga secara tak langsung Pendekar Mabuk akan membantu usaha Elang Samudera
untuk dapatkan si Bocah Emas itu.
Rasa ingin tahunya membuat
Suto kembali ajukan tanya kepada Elang Samudera dengan lebih teliti lagi.
"Jadi siapa sebenarnya
yang berhak memiliki Bocah Emas itu?"
"Secara silsilah, Ratu
Remaslega yang berhak memiliki bocah tersebut karena Nyi Ageng Sangir, bibinya
Ratu Remaslega itu masih punya darah keturunan dari Eyang Winudaya dan Eyang
Sutimuning. Bahkan kalau diurut-urutkan, Ratu Remaslega adalah cucu canggah
dari Eyang Sutimuning."
"Cucu canggah...?!"
gumam Suto agak bingung. "Cucu canggah adalah anak dari cucu buyut.
Misalnya kau menjadi buyutnya
Gila tuak, maka kau memanggil ayahnya Gila Tuak dengan sebutan Eyang
canggah."
"Oooo.,.," Pendekar
Mabuk manggut-manggut dalam gumamnya yang lirih.
"Jika Bocah Emas itu
berada dalam perawatan tokoh sesat, maka tokoh itu akan menjadi semakin sesat
dan sukar ditumbangkan. Benar atau tidak, tapi guruku sendiri pernah berkata,
bahwa siapa pun yang merawat Bocah Emas maka usianya akan panjang, seluruh
angan- angan dan gagasannya akan menjadi kenyataan. Sebab bocah itu
dibayang-bayangi hawa keramat dari roh kedua orangtuanya."
"Pantas kalau bocah itu
dijadikan rebutan," ujar Suto mirip orang menggumam, seakan bicara pada
diri sendiri.
"Sebelum aku berangkat
dari Pulau Sangari sebagai utusan Ratu Remaslega, terlebih dulu aku pamit dan
mohon doa restu dari Guru. Lalu, guruku berpesan agar aku harus mampu
mempertahankan bocah itu agar jangan sampai jatuh di tangan tokoh sesat seperti
Ratu Lembah Girang itu."
"Barangkali kalau aku
pamit kepada guruku juga akan diwanti-wanti begitu."
Tanpa terasa perahu pun
akhirnya merapat di sebuah pantai. Dan menurut Adhiyaksa alias Elang Samudera,
pantai tersebut adalah ujung kulon dari Pulau Swaladipa lebarnya hampir sama
dengan tanah Jawa. Elang Samudera melompat dari perahu lebih dulu, memandang
keadaan sekeliling yang tampak sepi-sepi saja. Pendekar Mabuk menyusulnya
dengan menarik tambang perahu. Perahu tersebut ditambatkan pada dua gugusan
karang yang membentuk celah persembunyian untuk sebuah perahu, sehingga keadaan
perahu tidak semata-mata tampak dari berbagai arah.
"Kita harus mencari
Gunung Sambara." Ujar Elang Samudera yang usianya sekitar dua puluh tahun
itu.
"Tahukah kau arah menuju
Gunung Sambara?!"
Elang Samudera angkat bahu,
"Kita tanyakan saja pada penduduk sekitar pantai ini!"
"Hmmmm...," Suto
menggumam pendek, matanya memandang sekeliling. "Kulihat ada kepulan asap
di sebelah sana. Aku yakin di sana ada sebuah desa dan kita bisa tanyakan pada
penduduk di desa itu!"
Mereka pun segera melesat ke
arah kepulan asap tipis itu. Elang Samudera bergerak dengan lincah dan cepat,
namun jika Suto menggunakan jurus 'Gerak Siluman' maka Elang Samudera akan
tertinggal jauh oleh gerakan Suto. Dalam keadaan seperti itu, Suto hanya
menyesuaikan gerakannya agar bisa tetap bersama-sama Elang Samudera.
Ketika mereka mencapai sebuah kaki
bukit yang berpohon renggang, langkah mereka dihentikan oleh kemunculan seorang
perempuan cantik berkulit putih.
Perempuan itu mengenakan rompi
panjang warna merah dengan tepian berumbal-rumbai. Rompi itu tidak mempunyai
kancing pada bagian depannya. Ujung kanan-kiri rompi itu saling terikat di atas
pusar. Sementara celananya yang juga merah berumbai-rumbai itu sangat ketat dan
pendek, kurang dari separuh paha.
Perempuan berambut keriting
halus tapi panjang sepunggung itu seakan memamerkan tubuhnya yang putih mulus
dalam dandanan yang merangsang. Belahan dadanya tampak sebagian membusung
kencang tanpa kutang. Perutnya terlihat putih mulus tanpa cacat seperti kedua
pahanya, ia menenteng pedang bergagang kepala burung garuda. Melihat sabuk
hitam kecil yang melilit di pinggangnya, tak salah lagi jika pedang itu
sesekali ditenteng sesekali diselipkan di pinggangnya. Sabuk hitam itu terbuat
dari kulit emas yang kepalanya berhias kepala singa berambut panjang.
Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera saling lirik sebentar. Keduanya tetap tenang dan bersikap waspada.
Perempuan cantik yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu dipandangi
mereka berdua tanpa sapaan sepatah kata pun. Suto sempat menikmati gumpalan
belahan dada perempuan itu yang putih namun mempunyai tato gambar setangkai
mawar. Tato itu ada pada gumpalan dada sebelah kanan.
"Sudah janda atau masih
gadis perempuan ini?" bisik Elang Samudera kepada Suto. Pendekar Mabuk
tersenyum geli mendengar bisikan itu.
"Melihat ketegasannya
dalam berhadapan dengan kita, aku yakin dia sudah bukan gadis lagi. Tapi kurasa
dia juga belum bersuami. Tahu maksudku, bukan?"
"Hmmm, ya, ya...,"
Elang Samudera manggut- manggut sambil tersenyum.
"Kira-kira apa maksudnya
menghadang kita?" bisik Elang Samudera lagi.
"Mungkin kita dianggap
pamannya," jawab Suto seenaknya. Lalu mereka sama-sama tertawa cekikikan
sambil buang pandangan ke arah lain biar tak terlalu menyinggung gadis itu.
Tapi tiba-tiba gadis itu
menyentakkan tangannya ke depan dalam keadaan dua jarinya lurus dan mengeras.
Dari ujung dua jari itu keluar dua larik sinar kuning yang menghantam ke arah
Elang Samudera dan Suto Sinting.
Clap, claap...!
Sinar itu bergerak cepat dam
nyaris tak terlihat. Tahu- tahu Elang Samudera seperti tertusuk jarum pada bagian
bawah pundaknya dan Suto Sinting merasa seperti disengat lebah di tulang
iganya.
"Aakh...!"
"Ouh...!"
Kedua pemuda itu sama-sama
terpekik pendek dan saling tersentak mundur satu langkah dengan tubuh
melengkung ke depan. Sinar kuning itu lenyap dari kedua jari gadis berhidung
mancung dan berbibir sensual itu. Tangannya diturunkan, sikap berdirinya masih
tetap tegap dam menantang. Rambut keriting halus yang terurai sepunggung itu
meriap-riap dipermainkan oleh angin.
"Apa yang ia lakukan
terhadap kita tadi?" tanya Elang
Samudera kepada Suto.
"Menyerang!" jawab
Suto. "Tapi kok kita tidak mati!"
"Mungkin sebentar lagi.
Cepat minum tuakku!" ujarnya, lalu Suto sendiri meminum tuaknya dan Elang
Samudera ikut meminumnya juga.
Tiba-tiba perempuan beralis tebal
dan bermata indah walau bukan berarti bundar bening, segera perdengarkan
suaranya sambil gerakkan bola mata yang tajam itu berpindah-pindah antara Suto
dan Elang Samudera.
"Kalian memasuki wilayah
kami tanpa izin! Maka sudah selayaknya kalian kuberi peringatan dengan
melumpuhkan seluruh urat dalam tubuh kalian!"
Elang Samudera dan Suto
Sinting sama-sama gerakkan tangan dan kaki. "Kok tidak lumpuh,
Nona?!" ujar Suto Sinting.
Gadis itu kerutkan dahi
sebentar. Merasa heran melihat kedua pemuda tampan itu masih berdiri di
depannya dengan tegar. Bahkan Suto Sinting bergerak meliuk-liuk bagai mengejek
dengan tarian.
"Apakah kau mau jadi
orang lumpuh, Elang Samudera?"
"O, tentu mau asal
digendong oleh gadis secantik dia, Suto!" jawab Elang Samudera mengimbangi
sindiran Pendekar Mabuk.
Gadis itu masih diam,
bertampang tak ramah, namun justru tampak semakin cantik.
Tiba-tiba Elang Samudera dan
Suto Sinting tersentak kaget karena mendapat tendangan dari arah belakang.
Tendangan itu membuat mereka terlempar ke depan dan tersungkur bagai mau
mencium kaki gadis bertato bunga mawar itu.
Rupanya tendangan tersebut
bukan hanya sekadar tendangan biasa, ia mempunyai jurus tertentu yang dapat
kenai saraf tulang punggung melumpuhkan sekaligus membuat korbannya tak sadar.
Terbukti setelah Elang Samudera dan Suto jatuh tersungkur mereka tak
bergerak-gerak lagi dan tak mengerti apa yang terjadi pada diri mereka
selanjutnya.
"Bawa mereka dan buang
bambu tuak itu!"
Hanya kata-kata itu yang masih
tersisa di telinga Pendekar Mabuk sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri.
Suara yang keluar, jelas dari suara si tato bunga mawar. Tapi entah siapa yang
diperintahkan begitu dan apa yang dilakukan orang yang menerima perintah
tersebut, Suto Sinting benar-benar tak bisa mengingat apa-apa lagi.
Ketika ia sadar, ia sudah
berada di sebuah ruangan berlantai marmer putih. Dindingnya juga berlapis
marmer putih dengan serat-serat kecoklatan. Ruangan itu kosong, tanpa perabot
apa pun. Lebarnya juga tak sampai lima langkah. Ruangan itu menyerupai penjara
tapi sangat bersih dan tertutup rapat. Pintunya terbuat dari besi dengan lubang
pengintai sebesar biji salak. Lubang itu mempunyai tutup sendiri di bagian
luar, sehingga bisa dibuka dan ditutup oleh orang yang ada di luar kamar.
"Ruangan apa ini?!
Mengapa aku sendiri di sini? Ooh... mana Elang Samudera?!" ujar Suto
membatin sambil berusaha bangkit berdiri, namun tak jadi karena tiba-tiba ia
roboh kembali. Bruuuk...!
"Aduuuh...
tulang-tulangku terasa remuk semua. Urat-uratku bagaikan putus. Uuufh...! Gila!
Serangan apa yang kuterima sehingga melumpuhkan sekujur tubuhku begini. Oouh...
aku seperti manusia tanpa tulang dan tanpa otot lagi. Celaka kalau begini?
Hmmm... mana bumbung tuakku? Oh, benarkah sudah dibuang oleh si cantik bertato
mawar itu?"
Sekalipun Suto ingat bahwa
bumbung tuaknya dibuang oleh lawannya sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri,
tapi hati Suto tidak merasa cemas sedikit pun. Bumbung tuak itu bumbung
bernyawa. Dibuang ke manapun akan datang sendiri mengikuti Suto Sinting, sebab
bambu bumbung tuak itu adalah bambu jelmaan tokoh sakti zaman dulu yang bernama
Wijayasura, kakek gurunya si Gila Tuak.
Suto yakin bumbung bambu
tempat tuak itu datang sendiri menghampirinya. Keyakinan itu ternyata terbukti
juga setelah beberapa saat Suto terkulai lemas di lantai dingin itu. Bumbung
tuak tersebut tiba-tiba muncul dalam bayang-bayang di samping kanannya. Bayang-
bayang tersebut makin lama semakin jelas, dan akhirnya mewujud dalam bentuk
nyata.
"Nah, datang juga
akhirnya!" ucap Suto dengan hati girang. Lalu, tangan kirinya meraih
bumbung itu dan dengan gemetar tuak pun ditenggaknya beberapa teguk. Glek,
glek, glek...!
Pandangan mata yang semula
buram, kini menjadi terang. Urat-urat yang tadinya lemas, kini menjadi kencang
kembali. Tulang-tulang yang terasa remuk, kini mampu dipakai untuk duduk tegak.
Bahkan Suto Sinting berhasil bangkit berdiri dengan tegar dan kekar. Badannya
terasa lebih segar dari sebelumnya.
"O, rupanya dinding
sebelah kiri itu dilapisi kaca tembus?!" ucapnya rada kaget, ia segera
dekati dinding kiri yang memang dilapisi kaca tembus pandang ke ruangan
sebelahnya. Ternyata ruangan sebelah itu adalah tempat memenjarakan Elang
Samudera.
Ruangan sebelah juga dalam
keadaan bersih dan tanpa perabot. Dinding dan lantainya mempunyai warna yang
sama, bahkan ukuran luas ruangan juga sama dengan yang ditempati Suto Sinting.
Hal yang membuat berbeda adalah keadaan kaca tersebut. Suto melihat Elang
Samudera sedang menggeliat bangkit pelan-pelan dan mengerang kesakitan. Pemuda
berbaju ungu itu akhirnya berhasil berdiri dengan berpegangan pada dinding
kaca. Namun matanya yang memandang ke arah kaca itu bagai tak melihat Suto di
balik kaca.
"Elang...! Elang, kau
bisa bertahan?!" seru Suto Sinting sambil melambai-lambaikan tangan. Tapi
tak ada reaksi apa-apa dari Elang Samudera. Pemuda berbaju ungu itu justru
memperhatikan wajahnya bagai orang sedang bercermin.
"Ooo... sekarang aku tahu
keadaan kaca ini. Dari tempatku bisa dipakai untuk melihat ruang sebelah, tapi
dari tempat Elang Samudera tak bisa dipakai melihat keadaanku di sini. Kurasa
dari ruangan itu kaca ini menjadi cermin untuk merias diri atau entah untuk
apa. Yang jelas, orang yang berdiri di depan cermin itu hanya akan melihat
bayangannya sendiri di dalam cermin, tak bisa melihat keadaanku di sini."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dan memandangi sekelilingnya. Hati pun membatin kembali dalam nada gumam.
"Sebenarnya bisa saja
kujebol kaca ini! Mudah sekali menghancurkan dinding ini. Tapi aku ingin tahu
dulu, apa maksud gadis itu menangkapku dan Elang serta menempatkan kami berbeda
ruangan? Siapa sebenarnya gadis cantik yang bibirnya menggemaskan itu? Apakah
mereka anak buah Ratu Lembah Girang?! Apakah mereka mengetahui maksud dan
rencana kedatanganku dengan Elang yang ingin mengambil si Bocah Emas itu?"
Suto manggut-manggut kembali
sambil bertolak pinggang menggantungkan bumbung tuak di pundak kanannya.
Matanya memandang ke arah Elang Samudera yang tampaknya tak bisa berbuat
apa-apa lagi itu.
"Akan kuikuti dulu permainan
gadis itu sampai kutahu maksudnya menangkap kami. Dan. "
Ucapan batin Pendekar Mabuk
terhenti, karena tiba- tiba ia melihat lubang pintu terbuka. Ada mata yang
mengintai dari sana. Suto Sinting tetap berdiri di dekat kaca dengan tangan
kiri menopang di dinding dan tangan kanan bertolak pinggang, mencantilkan
jempolnya pada tali bumbung tuak. Bola mata yang mengintai itu jelas bola mata
wanita, dan Suto ingat mata itu adalah milik gadis bertato mawar.
Klak, klak, Klaaaaaang !
Suara kunci pintu dibuka.
Pendekar Mabuk tetap tenang dalam posisi semula, ia membiarkan pintu itu
terbuka dan seraut wajah cantik bergigi indah menggemaskan itu muncul dari
balik pintu. Dugaannya tak salah, gadis bertato mawar yang mengintai dari
lubang tersebut. Kini gadis itu mengunci pintu kembali dan anak kuncinya
diselipkan di sabuk hitam, ia berdiri dengan tegar, pedangnya terselip di
pinggang. Kakinya sedikit merenggang, dan kedua jempol tangannya menggantung di
sabuk depan perut. Rambut keriting halus yang terurai sepunggung meriap
sebagian menutupi pipi kirinya, ia tampak lebih cantik dan menggairahkan dengan
busana serba mini itu.
Mata tajam yang mempunyai
kebeningan mengagumkan itu menatap ke arah bumbung tuak. Hati gadis itu sempat
membatin penuh keheranan melihat bumbung tuak ada di pundak Suto lagi.
"Dari mana dia bisa
memperoleh bumbung tuak itu? Bukankah sudah dibuang jauh-jauh sebelum ia dibawa
kemari?!"
Pendekar Mabuk mencoba
memberikan senyum keramahan. Senyum itu bukan saja senyum keramahan, namun
mempunyai daya tarik yang dapat menggetarkan hati perempuan mana saja. Walau
kenyataannya, wajah gadis itu tetap kaku dan dingin, seakan tak tertarik dengan
senyuman Suto Sinting. Namun sebenarnya hati gadis itu berdesir-desir ketika
senyuman itu terpampang jelas di depan matanya dalam jarak empat langkah.
"Kaukah yang terkenal
dengan nama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?!" si gadis perdengarkan
suaranya yang serak-serak basah.
"Benar. Dari mana kau
bisa mengenaliku?"
"Kalian sempat saling
sebutkan nama ketika menertawakan diriku!" jawabnya bernada ketus.
"O, rupanya kau punya
otak cukup cerdas," sambil Suto sunggingkan senyum berkesan meremehkan. 1
"Saat kudengar kau
memanggil temanmu itu dengan nama Elang Samudera, dan Elang Samudera
memanggilmu: Suto. Maka kucocokkan, nama itu dengan ciri-ciri yang pernah
kudengar dari beberapa sahabatku yang ada di tanah Jawa. Ternyata ciri-ciri itu
sama dengan nama Suto Sinting. Maka kutahu, kaulah Pendekar Mabuk yang kondang
dengan kesaktian gilanya itu!"
"Secara tak langsung kau
mengakui keunggulanku, bukan?"
"Hmmm...!" gadis itu
mencibir, melangkah ke samping dua tindak, kemudian berhenti dan memandang Suto
kembali.
"Kau boleh bangga punya
kesaktian gila-gilaan di tanah Jawa. Tapi di sini, di dalam Kuil Perawan Ganas
ini, kesaktianmu seperti daun kering yang menjadi penghuni tempat sampah!"
"O, kalau begitu ruangan
ini adalah tempat sampah?!" "Hmmm...!" gadis itu mendengus
kesal.
"Aku belum mengenalmu,
Nona. Kalau aku sudah mengenalmu, barangkali aku berani menyerangmu untuk
memperkenalkan kesaktianku di depan gadis seangkuh dirimu, Nona."
"Aku yang bernama Dewi
Kun!" jawab si gadis dengan tegas dan ketus. "Aku yang tertua dari
para penghuni kuil ini!"'
"Dewi Kun...," gumam
Suto bagai menghafalkan nama itu.
"Sekarang kau sudah tahu
namaku. Kau ingin adu kesaktian denganku?!"
Pendekar Mabuk sengaja nyengir
konyol. "Ah, tadi cuma pancingan saja. Biar aku tahu siapa nama gadis
cantik yang sejak tadi menggetarkan hatiku ini." "Hmmm...!" Dewi
Kun mencibir, seakan
meremehkan rayuan Suto.
"Lalu, mengapa kau
menangkap kami, Dewi Kun?" "Semula karena kesalahan langkahmu yang
memasuki wilayah Kuil Perawan
Ganas tanpa izin lebih dulu. Tapi setelah kutahu kau adalah Suto Sinting si
Pendekar Mabuk, maka segalanya menjadi berubah."
"Berubah bagaimana?"
"Kau harus tunduk
padaku!" jawabnya pelan tapi tegas dan pandangan mata tajam dan penuh
wibawa.
Dewi Kun berkata lagi,
"Jika kau tidak tunduk pada perintahku, maka temanmu itu akan kehilangan
kepalanya!"
"Oh, jangan begitu, Dewi
Kun!" sergah Suto, "Kalau Elang Samudera kehilangan kepala, lantas
dia mau pakai kepala apa? Kepala bebek?!"
"Terserah mau pakai
kepala apa bukan urusanku lagi jika sudah begitu. Yang perlu kau ingat,
kata-kataku ini bukan sekadar ancaman! Tapi akan terbukti dengan nyata jika kau
tak mau tunduk dan patuh pada pihakku! Sekarang pun akan kupotong jari tangan
si Elang Samudera sebagai bukti kesungguhan ancamanku!"
Dewi Kun bergegas ke pintu,
Suto Sinting melompat dan menghadang langkah gadis itu. Jleeg...!
"Jangan lakukan itu
padanya! Lakukan saja padaku jika kau ingin pamer kekejaman!" sambil Suto
mengulurkan tangan kirinya seakan mempersilakan Dewi Kun untuk memotongnya.
Dewi Kun diam memandang tak berkedip, tanpa senyum dan keramahan sedikit pun.
Mereka saling beradu pandang selama dua helaan napas. Kemudian gadis itu
berkata dengan nada kian tegas lagi.
"Tunduk dan patuhlah
kepadaku, maka temanmu itu akan selamat dan tidak cedera sedikit pun!"
Pendekar Mabuk menarik napas
panjang dan menghembuskannya.
"Baiklah! Tapi bagaimana
dengan keadaan Elang Samudera sekarang itu? Dapatkah kau memulihkan kekuatannya
kembali?!"
"Kita lihat
saja...," sambil mata Dewi Kun memandang ke arah kaca. Pendekar Mabuk
ikut-ikutan memandang ke sana. Tiba-tiba Dewi Kun meletakkan jari telunjuknya
di pelipis sambil pejamkan mata dan kerutkan dahi. Suto menyangka gadis itu
sedang berpikir sesuatu. Tetapi kejap berikutnya Suto menjadi terperangah penuh
keheranan.
Dewi Kun tampak memasuki
ruangan yang dipakai menawan Elang Samudera. Dewi Kun juga tampak sedang
hampiri Elang Samudera dan menuding pemuda itu dengan telunjuk tengah. Dari
telunjuk tengah itu keluar seberkas sinar merah. Claap...! Menghantam tengah
kening Elang Samudera.
Pemuda murid Pendeta Darah Api
itu menggeragap dan terengah-engah. Lalu, ia bergegas bangkit berdiri dengan
mata membelalak memandangi gadis di depannya. Gadis itu segera keluar dan
mengunci pintu kembali. Tapi keadaan Elang Samudera sudah bisa berdiri tegak
dan kekuatannya tampak telah pulih kembali seperti sediakala. Hanya saja ia
masih tertegun seperti baru menyadari keadaan sekelilingnya.
"Aneh! Rupanya kau punya
ilmu cukup tinggi? Kau ada di sini, tapi juga bisa ada di ruang sebelah sana?!
Hebat sekali ilmumu, Dewi Kun!" puji Suto Sinting dengan wajah masih
tampak terheran-heran, karena ia tak menyangka gadis semuda Dewi Kun sudah
menguasai ilmu pindah raga seperti itu.
"Aku hanya bicara melalui
batin." "Maksudmu bagaimana?!"
"Carilah sendiri
jawabannya dalam otakmu. Yang jelas, begitulah keputusanku tadi! Sekali kau
menentang perintah maka akan kucederai sahabatmu itu!"
"Bagaimana kalau kita
bertarung adu kesaktian?!" tantang Suto.
"Tak masalah bagiku. Tapi
pada saat kau bergerak menghantamku maka sahabatmu akan kehilangan satu anggota
badannya; mungkin jari tangan, mungkin pergelangan, mungkin matanya atau
mungkin juga kepalanya!"
"Kau ini cantik-cantik
kok menyeramkan sekali, Dewi?!"
"Karena aku tak ingin
disepelekan oleh kaum pria, terutama pemuda mata keranjang sepertimu!"
tegas Dewi Kun dengan pandangan mata sedikit menyipit menandakan kebenciannya
sebagai perempuan yang tak mau diremehkan oleh kaum lelaki.
"Baiklah. Lalu, apa yang
harus kulakukan sekarang?!" pancing Suto semakin ingin tahu maksud gadis
itu.
"Berbaringlah...!"
"Apa...?!"
"Berbaringlah di lantai
dan buka semua pakaianmu!" "Gila! Yang benar saja kalau memberi
perintah,
Dewi!"
Suara Dewi Kun makin keras dan
tegas. "Berbaringlah di lantai dan buka semua pakaianmu! Lekas!"
"Gawat...?!" gumam
Suto Sinting, kemudian melirik ke arah kaca. Ia mencemaskan keadaan Elang
Samudera yang bisa celaka sewaktu-waktu jika ia tak mau turuti perintah itu.
Pendekar Mabuk melepaskan baju
dan ikat pinggang dari kain merah. Ketika mau melepaskan celananya, tiba-tiba
pintu digedor seseorang dari luar. Dewi Kun terperanjat sekejap, kemudian
bergegas ke arah pintu. Lubang pintu ada yang membuka dari luar. Tampak bola
mata memandang ke dalam. Dewi Kun kerutkan kening, pejamkan mata, tundukkan
kepala, jari telunjuknya menekan pelipis. Kejap berikutnya ia tegak kembali dan
berkata kepada Suto Sinting.
"Berbaringlah saja dulu!
Aku akan datang secepatnya!"
Dewi Kun keluar dari ruangan
tersebut dengan mengunci pintu besi itu. Pendekar Mabuk berbaring di lantai
dalam keadaan sudah tidak berbaju namun masih bercelana. "Kenapa aku jadi
seperti bayi yang menurut perintah ibunya, ya?!" pikir Pendekar Mabuk
dalam baringannya. "Wah, jangan-jangan dia ingin memperkosaku?! Bahaya!
Bahaya jika aku tak mau berhenti diperkosa!"
*
* *
3
KEPERGIAN Dewi Kun dari kamar
membuat Suto menjadi ingin menjebol kaca tembus pandang itu. Ia segera
melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak tiga langkah. Beet, wuuut...!
Brruuuk...!
Pendekar Mabuk terpental
sendiri hingga membentur dinding belakangnya.
"O, rupanya dinding ini
dilapisi udara padat yang dapat memantulkan pukulan tenaga dalam, dalam bentuk
apa pun?!" Suto Sinting diam termenung sambil garuk- garuk kepala.
"Agaknya lapisan udara padat ini mempunyai ketebalan yang berbahaya jika
dihantam dengan tenaga bersinar. Bisa-bisa memantul balik mengenai diriku
sendiri. Hmmm... cukup hebat juga. Andai kuhantam pakai bumbung tuak
bagaimana?!'
Pendekar Mabuk akhirnya
mencoba menghantamkan bumbung tuaknya ke kaca tembus pandang. Wuuut, weees...!
Bruuuuk...!
Ternyata bumbung tuak tak
berhasil menyentuh kaca tembus pandang. Bumbung itu bagai menghantam karet
tebal yang membuat tubuh Suto terlempar sendiri ke belakang dan jatuh membentur
dinding lagi.
Suto penasaran, ia mencoba
menghantamkan bambu tuaknya ke dinding tak berkaca. Ternyata hasilnya sama
saja. Bahkan sekarang kepala Suto menjadi sakit karena membentur dinding kaca
dengan keras. Kaca itu tidak pecah, bahkan bergetar pun tidak.
"Luar biasa! Lapisan
tenaga dalam apa ini, sehingga sangat sukar ditembus dengan kekuatan sebesar
tadi?!"
Baju masih belum dipakai.
Pendekar Mabuk terengah-engah. Dadanya yang kekar dan berotot itu tampak
bergerak naik turun.
Rupanya di kamar sebelah,
Elang Samudera juga melakukan percobaan seperti yang dilakukan Suto. Pemuda itu
terpental keras saat ingin menendang pintu dan kepalanya membentur dinding
hingga nyaris bocor. Ia menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya.
Pendekar Mabuk tertawa melihat
Elang Samudera kesakitan.
"Percuma saja! Lebih baik
simpan saja tenagamu untuk keperluan nanti setelah di luar kamar ini,
Elang!" serunya keras-keras, tapi Elang Samudera tampaknya tak mendengar
seruan itu sedikit pun.
Elang Samudera juga penasaran.
Kini ia berdiri lagi menghadap ke pintu dan ingin menjebol pintu itu dengan
kekuatan tenaga dalam. Dua jarinya mengeras dan tangan pun berkelebat bagai
melemparkan pisau. Suuuut...!
Elang Samudera kaget. Dari
raut wajahnya terlihat jelas ia tersentak kaget melihat ujung jarinya tidak
mengeluarkan sinar apa pun. Hai itu dicobanya sekali lagi dengan otot lengan
mengeras sebagai tanda mengerahkan tenaga cukup besar. Tetapi ternyata ujung
kedua-jarinya itu tidak mengeluarkan sinar apa pun. Bahkan ketika ia mencoba
dengan menggunakan telapak tangannya, telapak tangan itu juga tidak
mengeluarkan sinar apa pun.
Elang Samudera menjadi sangat
tegang sambil memperhatikan tangannya sendiri.
"Oh, dia kehilangan
tenaga dalamnya?!" Pendekar Mabuk segera tanggap akan hal itu dan ikut
tegang juga.
"Jangan-jangan aku juga
begitu?!" pikir Suto dengan cemas. Maka ia segera mencoba mengeluarkan
tenaga dalamnya walau bukan dalam bentuk tenaga bersinar.
Sentilan jari yang dinamakan
jurus 'Jari Guntur' segera dilepaskan ke arah dinding. Teees...! Wuuut,
brrruk...!
"Oooukh...!" Suto
Sinting mengerang kesakitan memegangi perutnya. Ternyata tenaga dalamnya masih
ada dan sentilan yang mengeluarkan tenaga dalam itu membalik arah mengenai
perut sendiri. Suto terengah- engah sambil merasa mual. Ia buru-buru meminum
tuaknya untuk hilangkan rasa mual dan sakitnya.
"Tenaga dalamku masih
ada. Tapi mengapa Elang Samudera kehilangan tenaga dalamnya? Bukankah aku dan
dia diserang secara bersamaan? Mungkin juga dengan jurus yang sama. Tapi
mengapa tenaga dalamku masih ada, sedangkan tenaga dalamnya Elang Samudera
menjadi hilang? Apakah karena sinar merah yang tadi dipakai mengembalikan
kekuatan Elang oleh Dewi Kun itu telah menyerap atau melumpuhkan tenaga dalam
Elang Samudera? Hmmm... ya, kurasa begitu! Elang menjadi sehat dan bisa berdiri
lagi karena sinar merah dari jari Dewi Kun, sedangkan aku menjadi sehat karena
minum tuak. Seandainya aku menjadi sehat karena sinar merah tadi, mungkin
kekuatan tenaga dalamku juga akan lumpuh seperti Elang Samudera, dan yang
tersisa hanya kekuatan tenaga luar saja."
Kejap berikut, Dewi Kun muncul
lagi. Suto segera menyergah dengan nada protes.
"Kau telah lumpuhkan
tenaga dalamnya Elang Samudera, ya?!"
"Terpaksa kami lakukan
supaya kau mau tunduk dengan perintahku!" ketus Dewi Kun. "Dia hanya
mempunyai tenaga kasar, dan hal itu memudahkan kami untuk memenggal kepalanya
jika kau membangkang perintah kami!"
"Kau curang!" geram
Suto. "Aku ingin kau kembalikan tenaga dalamnya Elang Samudera!"
"Semuanya akan kembali
seperti semula, termasuk kebebasannya juga, apabila kau sudah memenuhi syarat
yang harus kau lakukan."
Pendekar Mabuk mendengus
kesal. Tapi tatapan mata Dewi Kun membuat rasa kesal itu berangsur-angsur
luluh. Suto merasakan tatapan mata perempuan itu bukan sekadar tatapan mata biasa.
Sorot pandangan mata perempuan
itu mengandung obat penjinak secara gaib yang dapat menenteramkan hati yang
gundah ataupun gusar.
"Syarat apa yang harus
kulakukan?" tanya Suto.
"Kau harus bisa
menyerahkan kepada kami seorang bocah dari Gunung Sambara!"
"Bocah Emas,
maksudmu?!"
"Benar!" jawab Dewi
Kun tegas, tapi membuat Suto tersengat oleh ketegangan dalam hati.
"Rupanya pihak Kuil
Perawan Ganas ini juga menghendaki Bocah Emas itu," gumam Suto dalam
hatinya.
"Elang Samudera ditukar
dengan Bocah Emas, maka kalian akan bebas!"
Suto masih diam, tapi membatin
dalam gerutu. : "Elang Samudera sendiri ditugaskan membawa pulang si Bocah
Emas, kok sekarang justru nyawanya harus ditukar dengan Bocah Emas?! Wah,
kelewat berani perempuan ini! Mungkin dia belum tahu kalau aku sudah mengamuk,
habis sudah bibir perawan secantik dia!"
Setelah sama-sama diam
beberapa saat, setelah sama- sama beradu pandang dengan hati saling berdebar,
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya sebagai ungkapan rasa ingin tahunya,
"Mengapa bukan kalian
sendiri yang mengambil Bocah Emas dari Gunung Sambara?! Bukankah kalian lebih
tahu di mana letak gunung itu daripada aku?"
"Kami tak sanggup hadapi
kekuatan Ratu Lembah Girang!" jawabnya secara jujur. "Kekuatan kami
tidak seimbang." "Apalagi aku!" Suto bersungut-sungut. "Aku
hanya sendirian, mana mungkin bisa melawan kekuatan Ratu Lembah Girang?"
"Bisa!" sahut Dewi
Kun. "Semua bisa dilakukan dengan siasat!"
"Siasat bagaimana?!"
"Aku akan berlagak
menjual dirimu kepada Ratu Lembah Girang. Setelah kau berada di dekatnya, kau
dapat membujuknya untuk meminta Bocah Emas
sebagai upah kerjamu melayani gairahnya. Lalu, Bocah Emas kau bawa
kemari dan Elang Samudera pun bebas dari cengkeraman kami!"
"Gila! Jadi kau ingin
menjualku kepada Ratu Lembah Girang?!"
"Tepat sekali!"
"Hmmm...! Belum tentu
usaha ini berhasil! Kau pikir Ratu Lembah Girang tak mengerti siasatmu?"
Dewi Kun gelengkan kepala
pelan. "Ratu Lembah Girang menyukai pemuda kekar dan tampan
sepertimu!" Pendekar Mabuk diam termenung dalam keadaan tetap berdiri
bersandar dinding. Dewi Kun memandanginya terus tanpa berkedip. Lama-lama gadis
itu mendekat hingga dalam jarak kurang dari satu langkah. Mau tak mau Suto
menatapnya karena ingin
tahu apa maksud pendekatan
Dewi Kun itu.
Mata beradu pandang, mulut saling
membungkam. Bahasa mata mengisyaratkan bahwa Dewi Kun tergetar batinya oleh
ketampanan dan keperkasaan Pendekar Mabuk. Sang pendekar sunggingkan senyum.
Senyum itu semakin menggetarkan hati Dewi Kun. Terpaksa gadis itu berucap kata
dalam nada membisik.
"Kau memang menawan, tapi
belum tentu mampu layani Ratu Lembah Girang."
"Bagaimana kau bisa
berkesimpulan begitu?" "Karena kau tidak tanggap terhadap pandangan
seorang perempuan. Bahasa
matamu masih kurang peka, Suto."
"Jadi mestinya
bagaimana?"
"Ciumlah Ratu Lembah
Girang jika ia memandangmu seperti aku memandangmu begini."
"Apakah pandanganmu ini
punya arti minta di cium" "Kau tak perlu tanyakan hal itu. Kau
sebagai lelaki
harus lebih tanggap terhadap
bahasa isyarat kaum wanita."
Senyum Suto ditebarkan.
"Aku sebenarnya sudah memahami maksud hatimu, tapi aku takut melakukannya.
Salah-salah habis menciummu aku akan kena tampar tujuh kali. Memangnya enak,
cium sekali tampar tujuh kali?"
Dewi Kun tidak membalas senyum
geli Pendekar Mabuk, ia bahkan mendekatkan wajahnya dengan bibir merekah seakan
menantang untuk dikecup. Tapi Suto Sinting tetap diam dengan senyuman
lembutnya. Suto tidak segera menerkam bibir itu, melainkan justru memandanginya
dengan pandangan menggoda.
Dewi Kun tidak sabar menunggu
reaksi Suto, maka bibir yang merekah itu kini ditempelkan pelan-pelan di bibir
Suto. Cuuup...! Bibir Suto yang merah jambu itu dikecup oleh Dewi Kun. Kecupan
itu sangat pelan dan lembut, sehingga kehangatan yang hadir terasa menjalar
dari kepala sampai ke ujung kaki. Suto tak tahan untuk berdiam diri, akhirnya
lidahnya menyapu bibir Dewi Kun, selanjutnya lumatan lembut diberikan oleh Suto
yang membuat Dewi Kun menjadi ganas.
Dewi Kun seperti perawan
kehausan cinta. Ciumannya bersifat mencecar membuat Suto Sinting gelagapan.
Remasan tangannya pun menandakan luapan gairah yang melonjak-lonjak dalam dada
dan ingin mendapatkan keindahan sepenuhnya.
Rompi panjang yang bagian
depannya terikat itu kini dilepaskan oleh pemakainya sendiri. Dengan lepasnya
ikatan tersebut, maka rompi pun terbuka lebar dan sepasang bukit indah yang
kencang tampak menonjol penuh tantangan. Tangan Pendekar Mabuk merayap sampai
ke dada dan meremas lembut pada sepasang bukit mulus itu.
"Ooh, Suto... tunjukkan
kehebatanmu agar aku tak sangsi akan kepiawaianmu dalam melayani Ratu Lembah
Girang nanti," bisik Dewi Kun yang segera terputus oleh suara pekikan,
karena sebelum ia selesai bicara, Pendekar Mabuk sudah merayapkan ciumannya ke
leher. Kepala gadis berambut keriting lembut sepanjang punggung itu terdongak
memberikan kesempatan pada ciuman Suto agar lebih leluasa. Tapi ciuman Suto
justru merayap ke bawah leher. Memagut- magut sebentar, lalu turun lagi hingga
ke dada. Maka disapunya ujung-ujung dada itu dengan kehangatan lidah Suto yang
membuat Dewi pun memekik dengan suara tertahan dan kedua tangan meremas pundak
Suto.
Dewi Kun membiarkan sabuknya
dilepas oleh Suto. Ia hanya mendesah-desah sambil berdiri bersandar pada
dinding. Kepalanya menggeliat-geliat bersama erangan dan desah yang menghambur
tiada henti. Sesekali ia memandang kepala Suto, matanya menjadi sangat sayu
kala pandangi mulut Suto yang memagut-magut tato bunga mawar, lalu melahap
pucuk-pucuk bukit daranya. Kadang mata itu terbeliak sambil kepala mendongak
lagi bersama erangan yang melambangkan kenikmatan.
"Oouh... teruskan, Suto!
Oouh, aku suka sekali. Aku suka sekali, Suto... terus ke bawah, Sayang "
Untuk sebuah kemesraan, Suto
Sinting tak pernah memperhitungkan gelar kependekarannya. Untuk sebuah
kenikmatan, Suto Sinting tak pernah keberatan mengecup-ngecup paha dan lutut
pasangannya. Akibat pagutan pada lutut yang sesekali disapu oleh lidah itu,
Dewi Kun sempat memekik keras sambil melorotkan kain penutup 'mahkotanya'-nya
itu. Suto Sinting memberi kebebasan pada wanita itu agar melepaskan segalanya.
Ketika segalanya telah terlepas, Dewi Kun pun melebarkan diri dan menarik
kepala Suto agar merapat ke tepian 'mahkota'. Namun yang dilakukan Suto justru
merapat di pertengahan 'mahkota' dengan lidah seperti seekor ular lapar. Tentu
saja hal itu membuat Dewi Kun menjerit kecil dan panjang sambil kedua tangannya
meremas rambut Suto karena menahan rasa syur yang luar biasa.
"Ooouh... gila kau, Suto!
Kau gila...! Oouh, aku suka sekali gayamu, Suto! Teruskan... teruskan... ooooh,
indah sekali ini, Suto. Uuuh... uuhh... Sutooo...!" Dewi Kun menjerit
keras-keras ketika Suto mencecarkan serangannya tanpa henti. Rupanya Dewi Kun
berhasil mencapai puncak keindahan pada saat itu, sehingga jeritan keras dan
remasan tangannya di luar kontrol kesadaran.
Daaar, daar, daar...!
Gedoran pintu terdengar
mengagetkan mereka. Asmara yang sudah mulai melambung tinggi kontan jatuh
hingga ke dasarnya lagi. Dewi Kun sempat berang karena merasa kemesraannya
terganggu oleh orang yang menggedor pintu itu. Ia buru-buru mengenakan
celananya dan bergegas membukakan pintu dengan langkah penuh emosi. Suto
Sinting hanya nyengir sambil duduk di lantai bersandar dinding, membersihkan
mulutnya yang basah dengan kain bajunya.
"Ada apa...?!"
sentak Dewi Kun, kemudian tak terdengar lagi karena-ia sudah berada di luar
kamar dan mengunci pintu itu kembali.
"Mampus kau kalau sudah
kena jurus kemesraanku," ucap Suto pelan, seperti bicara sendiri.
"Itu belum pakai gigitan. Kalau sudah pakai gigitan, hmmm... biar bangunan
ini runtuh pun kau tetap tidak akan peduli lagi."
Pendekar Mabuk menenggak tuak
tiga tegukan. Selesai menenggak tuak, bumbung pun ditutupnya kembali. Dan pada
saat itulah Suto merasakan lantai bergetar dengan suara gemuruh terdengar
sayup-sayup. Kotoran debu dari atap turun menghambur ke lantai. Sepertinya
tempat itu mulai dilanda gempa. Tapi Suto yakin, getaran itu bukan karena
gempa, melainkan karena ada pertarungan dahsyat di sekitar Kuil Perawan Ganas
itu.
"Setan! Aku tidak bisa
keluar kalau begini. Padahal aku yakin di sekitar sini ada pertarungan cukup
seru! Aduh, rugi sekali kalau aku tak melihat pertarungan itu!" Pendekar
Mabuk menjadi tegang dan jengkel sendiri karena kegemarannya menyaksikan sebuah
pertarungan kali ini terpaksa tak tersampaikan, ia segera menendang pintu besi
tersebut. Namun sebelum kakinya menyentuh pintu, tubuhnya
telah terpental ke belakang dan
membentur dinding seperti
tadi. Bruuuk...!
Bertepatan dengan itu, suara
ledakan menggelegar samar-samar dan lantai pun bergetar kembali. Keadaan
tersebut membuat Suto bertambah beringas dan penasaran.
"Monyet kudis! Buka
pintunya, aku mau melihat pertarungan itu!" teriaknya sendirian seperti
orang gila.
*
* *
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com 4
PENJARA Kuil Perawan Ganas itu
dilengkapi dengan obor-obor dari logam putih anti karat. Obor-obor itu menempel
pada dinding marmer. Dalam satu ruangan terdapat delapan obor, hingga ruangan
tersebut menjadi terang benderang.
Salah satu obor tersebut
hampir saja jatuh karena guncangan bumi yang tadi dirasakan oleh Suto dan
diduga karena adanya pertarungan di luar kuil. Tapi nyala obor sekarang sudah
kembali normal, berarti sudah tidak ada guncangan atau getaran pada bumi lagi.
Suto hanya bertanya-tanya dalam hati, "Apakah pertarungan itu sudah
selesai? Lalu pihak mana yang unggul dalam pertarungan tersebut?"
Rasa ingin mendapat jawaban
menggelisahkan hati Pendekar Mabuk, ia terpaksa menunggu kemunculan Dewi Kun
lagi untuk dapatkan jawaban tersebut. Tapi yang ditunggu ternyata tak
muncul-muncul hingga beberapa saat lamanya. Pendekar Mabuk akhirnya
terkantuk-kantuk dalam duduknya yang melonjor dan bersandar dinding sambil
memeluk bumbung tuaknya.
Belum sampai kantuk itu
menguasai Suto, tiba-tiba ia terkejut kecil ketika mendengar suara pintu
dibuka. Dewi Kun muncul lagi dengan
membawa nampan berisi makanan dan buah-buahan. Tak lupa pintu pun ditutup dan
dikunci lagi, tapi kuncinya dibiarkan tergantung pada lubang kunci di pintu.
"Makanlah, seharian ini
kau tidak makan apa-apa!" kata Dewi Kun sambil meletakkan nampan berisi
makanan dan buah-buahan itu di lantai depan Suto.
Mata Suto sempat melirik ke
arah kunci. Sebenarnya ia bisa saja menyambar kunci itu dengan gerakan
cepatnya, lalu keluar dari ruangan tersebut. Tapi pertimbangan otaknya
mengatakan, bahwa hal itu akan membuat Elang Samudera celaka jika ia melarikan
diri. Setidaknya Dewi Kun dan orang-orang Kuil Perawan Ganas akan menyiksa
Elang Samudera sebagai pelampiasan atas murka mereka terhadap pelarian Suto
nanti. Maka, rencana dan niat itu pun dibuang jauh-jauh oleh Pendekar Mabuk.
"Biarlah kuikuti dulu apa
maunya orang-orang kuil ini, yang penting Elang Samudera jangan teraniaya.
Kasihan. Dia sudah kehilangan tenaga dalamnya dan tak bisa lakukan perlawanan
apa-apa terhadap Dewi Kun dan anak buahnya."
Begitu kata batin Suto saat
memandangi makanan tersebut. Dewi Kun menegur dengan tepukan pelan di paha
Suto.
"Hei, jangan melamun
saja! Makanlah, supaya kau nantinya dapat melayani Ratu Lembah Girang dalam
keadaan kuat! Ratu akan sangat senang dan selalu menuruti apa saja permintaan
seorang pria yang mampu membuat gairahnya terpuaskan. Kami mengandalkan dirimu,
karenanya... minum pula adonan jamu ini."
Pendekar Mabuk memandang ke
arah cangkir perak bertutup runcing. Cangkir itu yang tadi dituding oleh Dewi
Kun saat bicara tentang jamu. Suto penasaran dan membuka tutup cangkir
tersebut. "Hmmmhh...! Baunya tak enak! Jamu apa ini?!" "Jamu
kuat!" jawab Dewi Kun tegas tanpa senyum.
"Ramuan ini bisa
membuatmu selalu bergairah dan mampu memuaskan asmara Ratu Lembah Girang."
Pendekar Mabuk tertawa geli
bernada menyepelekan khasiat jamu tersebut. Dewi Kun menambahkan penjelasannya
tentang jamu tersebut.
"Hanya tabib kami yang
bisa membuat ramuan pembakar gairah lelaki semujarab ini! Di tempat lain tak
ada ramuan setangguh ini,"
"Ah, bualanmu terlalu
berlebihan!" "Cobalah sendiri kalau tak percaya!"
Ketika Pendekar Mabuk mau
meminum jamu itu, tangannya segera ditahan oleh tangan Dewi Kun,
"Makan dulu, baru minum
jamu itu! Jika perutmu kosong tanpa makanan, dan kau meminum ramuan jamu
tersebut, maka kau akan mengalami kekecewaan besar dalam bercumbu."
"Kekecewaan apa
maksudmu?!"
"Siapa pun meminum jamu
ini dalam keadaan perut kosong, maka ia akan mengalami kesukaran dalam mencapai
puncak kemesraannya. Bisa empat hari empat malam kau tak akan mencapai puncak
kemesraan walau semangat masih terus berkobar-kobar. Kau hanya akan menemukan
kejengkelan yang akhirnya akan menyakitkan hati karena tak mencapai titik tertinggi
dari kencanmu nanti. Sementara itu, orang yang meminum jamu ini tidak akan mau
berhenti melakukan cumbuan sebelum puncak kemesraannya tercapai." Sambil
tertawa pendek Suto berkomentar, "Wah, hebat sekali!"
"Memang hanya tabib kami
yang punya kehebatan seperti itu."
"Maksudku, hebat sekali
ngibulnya! Mana ada jamu yang punya khasiat seperti itu?!" Suto
bersungut-sungut tak percaya. Bahkan ia tahu-tahu telah nekat meminum jamu
tersebut.
"Heiii...?!" sentak
Dewi Kun kaget. Ia menarik tangan Suto yang memegangi cangkir, tapi terlambat.
Isi cangkir sudah ditelan habis oleh Suto, padahal Suto belum makan apa-apa
sejak di lautan sampai mendarat di pantai Pulau Swaladipa tadi.
"Kau gila!" sentak
Dewi Kun. "Kau sama saja akan menyiksa dirimu sendiri dengan meminum jamu
ini tanpa makan lebih dulu!"
"Aku tak percaya dengan
bualanmu tadi! Tanpa jamu seperti ini, aku sudah mempunyai semangat yang tinggi
dan mampu bertahan diri untuk tidak mencapai puncak kemesraan. Jadi, kuanggap
jamu ini hanya celoteh tanpa makna!"
"Ak... aku tak mau
bertanggung jawab jika kau menjadi liar dan ganas. Kau sendiri yang melanggar
aturan minum jamu ini, Suto!"
Kecemasan itu justru
ditertawakan oleh Pendekar Mabuk. Dengan santainya ia menenggak tuak, setelah
itu baru melahap buah anggur berwarna hijau bening.
"Aku tak selera makan
makanan seperti ini," ujar Suto sambil mengunyah buah anggur. "Aku
bosan makan panggang ayam, burung bakar atau sejenisnya. Aku malah kepingin
makan peyek udang atau tempe bacem."
"Dasar pendekar norak!"
umpat Dewi Kun dengan cemberut.
"O, ya... tadi kurasakan
ada getaran dan kudengar ada suara ledakan samar-samar. Apakah di luar telah
terjadi pertarungan?"
"Ya Biasa, orang-orang
Bukit Sulang bikin onar di wilayah kami! Mereka menyerang kami dan ingin
menguasai kuil ini."
"Lalu...?"
"Kami berhasil mengusir
mereka!" "Ada yang korban?"
"Delapan orang Bukit
Sulang mati di tangan kami." "Dari pihakmu ada yang tewas?"
"Tidak. Hanya dua orang
yang tewas."
"Itu namanya ada yang
tewas! Kok bilang tidak!" Suto bersungut-sungut.
"Kurasa dalam waktu dekat
orang Bukit Sulang akan datang lagi dengan mengajukan Gembongsuro sebagai orang
terdepan yang diunggulkan."
"Gembongsuro itu
sakti?" tanya Suto seperti pertanyaan anak kecil yang diikuti lahapan buah
anggurnya.
"Kudengar, Gembongsuro
adalah orang terkuat di Bukit Sulang, ia tidak akan turun tangan dalam suatu
penyerangan jika tidak dalam keadaan benar-benar penting. Sekarang sudah dua
kali orang Bukit Sulang ingin merebut kuil ini. Tapi dua kali pula kami
berhasil menyingkirkan mereka dan menewaskan lebih dari lima belas orang."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil menggumam kecil dan mengunyah buah anggurnya.
"Jika Gembongsuro muncul,
kami pasti akan terdesak, karena kesaktian Gembongsuro di atas kesaktian
kami."
"Apakah jarak Bukit
Sulang dengan kuil ini termasuk dekat?"
"Ya, memang termasuk
dekat. Kurang dari seperempat hari untuk lakukan perjalanan dari sini ke Bukit
Sulang."
Pendekar Mabuk ingat tentang
Elang Samudera. Ia bergegas bangkit dan memandang Elang Samudera dari kaca
tembus, itu. Ternyata Elang Samudera juga mendapat jatah makan seperti yang
dikirimkan kepadanya. Elang Samudera tampak makan sendirian dengan lahap dan
tidak merasa canggung lagi.
Tapi Pendekar Mabuk segera
berkerut dahi ketika melihat di nampan itu juga ada cangkir putih bertutup
runcing seperti cangkir tempat ramuan jamu yang diminumnya tadi. Kecurigaan
Suto mendesak hati untuk ajukan tanya kepada Dewi Kun.
"Mengapa Elang Samudera
juga mendapat cangkir itu? Apakah cangkir itu juga berisi ramuan jamu seperti
yang kuminum tadi?"
Perempuan itu bangkit berdiri
dan ikut memandang melalui cermin tembus pandang. "Ya, dia juga perlu
meminum ramuan yang sama dengan yang kau minum."
"Dengan maksud apa kau
memberikan minuman itu kepada Elang Samudera?"
"Supaya badannya merasa
segar dan tidak loyo."
Tapi hati Suto mengatakan,
bukan itu alasan yang sebenarnya. Naluri Suto segera, mengatakan bahwa Elang
Samudera sengaja diberi ramuan jamu supaya dapat dimanfaatkan oleh Dewi Kun atau
perempuan- perempuan Kuil Perawan Ganas sebagai pasangan bercumbu. Dalam
keadaan tanpa ilmu tenaga dalam dan kesaktian apa pun, tentu saja Elang
Samudera akan mudah terbujuk dan dirayu hingga hanyut dalam permainan cinta.
"Kau mulai menampakkan
kecurigaanmu lagi!" sambil Suto menuding perempuan berhidung mancung itu.
"Kau pasti akan memanfaatkan kehangatan Elang Samudera sebagai pemuas
gairahmu, atau pemuas gairah para anak buahmu! Sementara aku kau jual kepada
Ratu Lembah Girang, kalian bisa memanfaatkan Elang Samudera sebagai hiburan tak
senonoh!"
"Bagaimana kalau dugaanmu
itu ternyata meleset?!" "Tidak mungkin! Aku yakin kau...
kau...." Pendekar
Mabuk terhenti dari ucapannya
yang menggebu-gebu. Ia merasakan debar-debar indah hatinya. Ketika matanya
menatap raut wajah cantik perempuan di depannya, hati Suto merasa bagai dibuai
oleh keindahan yang menggembirakan, sehingga timbul rasa ingin memeluk dan
mencium perempuan itu. "Celaka! Kenapa aku jadi begini bergairah
kepadanya?" ujar Suto dalam batinnya, ia mencoba menahan hasrat ingin
memeluk Dewi Kun, tapi usahanya itu sepertinya akan menemui kegagalan. Napas
Suto sudah mulai terengah-engah dan batinnya mulai dibakar oleh keinginan untuk
bercinta.
"Kenapa aku ini?!"
tanyanya kepada perempuan itu. "Aku... aku suka sekali kepadamu. Aku...
ingin menciummu. Ooh... kenapa aku jadi ingin memeluk dan menciummu?!"
"Jamu itu mulai bekerja
dalam darahmu dan membakar saraf kejantananmu!"'
"Tapi... tapi.... Oh,
tidak! Aku tidak ingin lakukan!" Suto Sinting menjauhi perempuan tersebut,
ia berdiri di sudut ruangan. Kedua tangan memeluk dirinya sendiri, sementara
bumbung tuaknya dibiarkan tergeletak di dekat nampan berisi makanan itu. Ia
terengah-engah hingga keluarkan keringat dingin. Kedua kakinya gemetar begitu merasakan
hasrat untuk bercumbu menyentak-nyentak makin kuat.
Perempuan itu mendekatinya
dengan sorot pandangan mata lain dari yang tadi. Kali ini sorot pandangan mata
itu mengandung ajakan untuk bercumbu. Seakan ia tidak keberatan jika Suto ingin
memeluk dan menciuminya.
"Pergi kau!
Pergiii...!" bentak Suto. "Jangan memancing gairahku semakin tinggi!
Tinggalkan aku sendirian. Aku tak mau lakukan hal itu. Pergi kau...!"
"Kau yakin tak ingin
memperolehnya dariku?"
Suto tak menjawab, ia
menggeram dengan gigi menggeletuk.
Tapi perempuan itu belum mau
pergi dari hadapan Pendekar Mabuk. Perempuan itu justru melepas pengikat rompi
merahnya, sehingga belahan depan rompi itu pun tersingkap lebar. Gumpalan
dadanya tampak jelas di mata Pendekar Mabuk.
"Setan kau! Minggat dari
hadapanku, lekas!" sentak Suto walau tak mampu dengan suara keras, karena
napasnya sibuk meredam hasrat ingin bercumbu.
Sentakan itu tidak dihiraukan
oleh si perempuan. Justru perempuan itu meliuk-liukkan tubuhnya sambil
tangannya mengusap lembut bukit-bukit di dadanya. Lidahnya sesekali menjilati
bibirnya sendiri dengan keadaan bibir telah merekah dan mata menjadi sayu penuh
tantangan bercumbu. Pendekar Mabuk semakin dibakar oleh gairahnya. Dadanya
terasa sesak karena jantungnya berdetak kian keras. Perempuan itu juga
melepaskan sabuk dan kancing celana pendeknya. Pelan- pelan sekali celana itu
diturunkan, sementara rompinya telah dilepas sejak tadi hingga kemulusan
tubuhnya tampak jelas menantang Suto.
"Iblis kau! Kau
meracuniku dengan minuman itu! Kau... kau.... Aaah!" sentak Suto Sinting
sambil menghentakkan kakinya bagai orang dihinggapi kejengkelan.
Tapi perempuan itu justru
memperhebat godaannya. Kini ia sudah menjadi seperti bayi baru lahir, ia
meliuk- liukkan tubuhnya dengan kepala sesekali mendongak bersama terlontarnya
erangan dan desahan penuh gairah. Perempuan itu bersandar pada dinding,
tangannya mengusap apa saja yang dapat menghadirkan kenikmatan bagi dirinya.
Napasnya menjadi terengah- engah, sampai akhirnya ia merosot ke bawah dan duduk
di lantai dengan posisi menantang.
"Oouh... aaah... oooohh.
"
Desah-desah yang berhamburan
masuk ke telinga Suto dan membuat hasratnya kian terbakar lagi. Akhirnya Suto
Sinting tak mampu menahan diri ketika dilihatnya mata perempuan itu memandangnya
dengan sangat sayu dan bibirnya merekah menunggu kecupan.
"Booo... bolehkah aku...
aku mengusap betismu?" ucap Suto dengan terbata-bata karena napas yang
menderu-deru.
"Usaplah dengan bibirmu,
Suto. Aku ingin rasakan sentuhan kemesraanmu. Usaplah, Sayang "
Pendekar Mabuk akhirnya
merangkak, menempelkan kecupan bibirnya di betis indah yang mulus itu. Kecupan
itu menjalar sampai ke betis. Si perempuan kian melebarkan diri, bahkan tangan
Suto dituntun untuk menjamah 'mahkota' yang telah siap menerima kedatangan sang
tamu itu. Tangan Suto akhirnya menari- nari di sana. Tapi pagutan dan sapuan
lidahnya masih bermain di sekitar lutut serta paha, membuat perempuan itu makin
mengerang panjang dan terengah-engah.
Pendekar Mabuk tak mau
buru-buru menyambar 'mahkota' itu. Kecupannya melewati sang 'mahkota', merayap
ke perut dan mencapai dada. Dua bukit di dada itu tampak merentang penuh
keberanian. Pendekar Mabuk menyusuri dengan mulutnya di tepian bukit, ia
memagut tato yang ada di sana. Namun dalam hatinya sempat terkejut melihat tato
itu bukan bergambar bunga mawar merah, melainkan bergambar kelabang merah.
"Secepat inikah ia
mengubah tatonya? Atau... tato itu akan berubah dengan sendirinya jika
gairahnya mulai terbakar? Oh, sayang aku tadi tidak memperhatikan tatonya
ketika ia mencapai puncak kemesraan, sebelum keluar dari ruangan ini. Mungkin
tato itu tato ajaib, yang dapat berubah dari gambar bunga mawar menjadi gambar
kelabang merah. Letaknya pun berpindah di dada kiri."
Sambil berkecamuk begitu,
mulut Suto tiada hentinya memagut-magut kedua bukit itu secara bergantian.
Tangan perempuan tersebut juga tak mau tinggal diam. ia berhasil meraih apa
yang disembunyikan Suto di balik kain putihnya. Perempuan itu memekik ketika
berhasil menggenggamnya.
"Ooow..?! Besar sekali,
Suto. "
"Apanya?"
"Semangatmu besar sekali.
Ooh... aku suka yang begini! Aku suka sekali, Suto...! Aaaahh. !"
Perempuan itu mengamuk dalam
gerakan liar. Suto terpelanting dan jatuh telentang. Kini perempuan itu
menerkamnya dengan suara erangan mirip singa kelaparan.
Ia melepaskan kain penutup
tubuh Suto secara kasar, ia juga memagut-magut dada Suto dengan liar. Bahkan ia
menyambar 'jimat antik' itu dengan rakus sekali. Tapi semua kekasaran,
kerakusan, keliaran dan kebuasan itu justru menghadirkan sejuta kenikmatan bagi
Suto Sinting. Bahkan Suto tak segan-segan untuk berteriak ketika kenikmatan itu
melonjak-lonjak dalam dadanya.
"Ganas sekali dia? Tadi
tak seganas ini. Rupanya tadi dia masih malu-malu padaku, sehingga keganasannya
ini masih disembunyikan," pikir Suto Sinting sambil meremas lengan
perempuan itu.
"Oh, Suto... bangun!
Berdirilah... lekas berdiri!" perintahnya dengan mendesak. Suto pun
menuruti perintah itu, ia berdiri di samping cermin tembus pandang itu.
Perempuan tersebut berlutut di hadapan Suto, kemudian ia menyapu habis sekitar
tempat tersebut, sehingga Suto terpaksa meremas rambut perempuan tersebut untuk
menahan gejolak rasa bahagianya.
Tetapi tiba-tiba Suto terkejut
manakala matanya memandang ke ruang sebelah, ternyata di sana Elang Samudera
juga sedang dicumbu oleh seorang perempuan. Elang Samudera sudah tidak
mengenakan selembar benang pun, demikian pula si perempuan. Hal yang membuat
Suto lebih kaget lagi, ternyata perempuan yang mengganas di sana adalah perempuan
bertato bunga mawar merah pada dada kanannya.
"Tunggu dulu!"
sergah Suto. Ia menarik perempuan itu hingga berdiri. Si perempuan memandang
dengan peluh bercucuran dan napas berhamburan.
"Siapa kau sebenarnya?
Kau... kau Dewi Kun?! Oh, lihat... lihat temanku sedang bercumbu denganmu atau
dengan siapa itu?!"
"Dia bercumbu dengan
kakakku." "Kakakmu siapa?"
"Dewi Kun..."
"Jaa... jadi kau...?"
"Aku Dewi Sun, saudara
kembar Dewi Kun!" "Oooh... pantas kau lebih ganas dari dia."
"Penjelasannya nanti saja. Aku masih ingin
membuaimu!" ucapnya
seraya menciumi leher Suto Sinting dengan tubuh dirapatkan ke badan Suto. Suto
Sinting tak bisa menolak karena gairahnya terasa semakin lebih besar dari yang
pertama tadi.
*
* *
5
SEBELUM pelayaran cintai dimulai.
Pendekar Mabuk sempatkan untuk meminum tuaknya, ia biarkan Dewi Sun terbaring
di lantai menunggu lawan cintanya menyerbu.
Namun ketika tuak diminum,
saat Pendekar Mabuk ingin mengawali pelayaran cintanya dengan menunggang perahu
asmara yang telah disiapkan Dewi Sun, tiba-tiba saja gairahnya lenyap dan
bayangan Dyah Sariningium muncul dalam benaknya. Rasa setia dan cinta terhadap
Dyah Sariningrum membakar di sekujur tubuhnya. Perasaan tak ingin menodai kisah
kasihnya terhadap Ratu Puri Gersang Surgawi itu membalut jiwa dan hatinya,
sehingga hasrat untuk berlayar bersama Dewi Sun itu pun lenyap seketika.
Ciuman Suto terhenti sebelum
tubuhnya menyatu dengan tubuh Dewi Sun. Ia menarik diri dan memandangi Dewi Sun
dengan perasaan heran.
"Mengapa aku hampir saja
menodai cinta suciku Kepada Dyah?" pikirnya kala itu. "Dewi Sun
ataupun Dewi Kun memang cantik, tapi hatiku tak bisa menerima kecantikan itu.
Hatiku hanya bisa merasakan deburan gairah tanpa jiwa yang tulus menyayanginya?
Untuk apa kulakukan jika semua itu hanya tipuan rasa saja?"
"Suto, ayolah... tunggu
apa lagi, Suto? Aku sudah siap. Aku sudah siap, Sayang...," rengek Dewi
Sun sambil mengulurkan tangannya ingin memeluk Suto.
Tapi pemuda tampan yang
berbadan macho itu justru tarik diri dan menyambar celananya.
"Hei, kenapa kau begitu,
Suto?! Mengapa tak kau lanjutkan perjalanan cinta kita?!"
"Aku tidak bisa!"
tegas Suto.
"Bukankah... bukankah kau
telah meminum ramuan itu?"
"Aku tidak punya
kesanggupan untuk melanjutkan permainan cinta kita! Kau lihat sendiri, aku
tidak punya kemampuan seperti tadi, bukan?"
Mata Dewi Sun tertuju pada
sesuatu yang dimaksud Suto. Sesuatu itu sekarang tidur dengan pulasnya, seakan
tak akan terusik oleh godaan apa pun. Dewi Sun sendiri merasa heran dan berucap
lirih bagai bicara pada dirinya sendiri.
"Mengapa jadi begitu?
Biasanya ramuan itu akan membangkitkan gairah lelaki hingga menyala-nyala dan
menjadi buas tiada hentinya. Tapi sekarang mengapa justru membuatnya loyo
begitu?!"
"Kurasa tabibmu salah
ramu!" ujar Suto Sinting sambil mengenakan baju coklatnya yang tanpa
lengan itu.
Tentu saja Dewi Sun tak tahu
bahwa khasiat jamu kuat buatan tabibnya itu tak akan mampu mengalahkan khasiat
sakti dari tuak dalam bumbung bernyawa itu. Seandainya Pendekar Mabuk tidak meminum
tuaknya lebih dulu, maka pelayaran ke laut cinta pun akan terjadi entah hingga
berapa kali. Tetapi karena sebelum mendayung perahunya Suto merasa kehausan dan
perlu meneguk tuaknya, maka tuak itu langsung memadamkan api cinta dan gairah
yang berkobar-kobar tadi. Tuak itu mengembankan kesadaran Suto yang nyaris
tersirap oleh pengaruh jamu kuat yang mengandung mantra gaib juga itu.
Sementara di ruang sebelah,
Elang Samudera masih giat melakukan perjalanan cintanya dengan Dewi Kun. Bahkan
meskipun Dewi Kun telah mencapai puncak- puncak kebahagiaannya beberapa kali,
tapi Elang Samudera masih tangguh dan dengan penuh semangat mendayung perahu
cintanya sesuai dengan selera yang diinginkan Dewi Kun.
"Kau mengecewakan aku,
Suto!" geram Dewi Sun yang ingin memeluk Suto namun dijauhi oleh pemuda
tampan itu.
"Maafkan aku. Aku tak
mampu seperti Elang Samudera!"
"Banci!" sentak Dewi
Sun dengan berang. "Percuma kau menjadi pendekar gagah perkasa
begitu, ternyata kau tidak berguna bagi
seorang perempuan! Kau tidak punya kemampuan apa-apa, Suto! Potong saja
'jimatmu' itu dan jadilah perempuan sepertiku!"
Senyum Suto mengembang tipis,
ia tahu kata- kata itu sengaja dilontarkan untuk membangkitkan emosi cintanya.
Tapi Suto tetap tak berselera melakukan percumbuan, ia hanya bisa memaklumi
ejekan tersebut dilontarkan Dewi Sun yang tentu saja sangat kecewa terhadap
kegagalan itu.
"Percuma kau jadi
pendekar kondang kesaktiannya kalau tak mampu membahagiakan perempuan!"
omel Dewi Sun seraya mengenakan pakaiannya kembali.
"Lebih baik kau berikan
tugas lain daripada harus berlayar di lautan cinta denganmu," kata Suto
tegas- tegas.
Dewi Sun menyeka keringatnya
yang masih mengalir di sela-sela belahan dadanya. Wajahnya kusut sekali,
sekusut rambutnya yang tadi diacak-acak Suto saat ia membuainya dengan ciuman
maut.
"Kau harus dihukum, Suto!
Karena kau tak mau melayaniku, tak mau memuaskan keinginanku, maka kau harus
dihukum!"
"Akan kuterima selama aku
tak mampu menghindari hukuman itu! Tapi jika aku bisa menghindari hukuman itu,
barangkali kaulah yang akan berbalik menjalankan hukumannya!" ujar Suto
setengah menantang.
Dewi Sun semakin berang, maka
kaki kanannya segera berkelebat menendang ke arah wajah Suto.
Wuuuut...!
Weess...! Suto Sinting hanya
menggeloyor ke samping seperti orang mabuk mau tumbang. Tendangan itu tak
mengenai sasaran sedikit pun.
Wwwu, weess...! Wuuut,
wess...! Wuuut, wweess...!
Tiga tendangan beruntun dengan
kecepatan tinggi berhasil dihindari Suto Sinting. Dewi Sun semakin dongkol,
maka ia pun segera menghantamkan telapak tangannya yang mengandung kekuatan
tenaga dalam tanpa sinar itu. Beeet...!
Suto Sinting sengaja mengadu
telapak tangannya dengan telapak tangan Dewi Sun. Tapi tak lupa ia juga
menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke dalam tangan tersebut. Plaaak...!
Buuub...!
Asap mengepul dari perpaduan
telapak tangan itu. Dewi Sun terpental ke belakang dan membentur pintu,
sementara Suto Sinting masih tegar berdiri dengan wajah sunggingkan senyum
tipis agak dingin.
"Laknat kau, Suto!"
geram Dewi Sun sambil bangkit kembali.
"Di kamar sesempit ini,
kalau kau melawanku, maka kau akan mati tanpa diketahui oleh siapa pun!"
Suto sengaja menakut-nakuti mental Dewi Sun. Agaknya ucapan itu membuat Dewi
Sun berpikir juga, sehingga ia terpaksa menahan gejolak kemarahannya dan
bergegas
keluar dari kamar tersebut.
"Kuanggap kau telah
menghinaku! Ada saatnya sendiri kau harus menerima ganjaran atas penghinaan
ini, Suto!"
"Kutunggu ganjaran
darimu, Dewi Sun!" kata Suto dengan tegas dan membuat Dewi Sun semakin
dongkol lagi. Brrak...! Pintu ditutup dan dikunci kembali. Dewi Sun pergi entah
ke mana, yang jelas Suto Sinting tertawa cekikikan sendiri.
"Ramuan jamu kuat?! He,
he, he, heh...! Ternyata sama tuakku masih kalah kuat! Untung aku tadi segera
meminum tuak, kalau tidak, habislah kesucianku direnggutnya. Ciah... kesucian
nih ye...?!" ia tertawa geli lagi.
Pendekar Mabuk akhirnya hanya
bisa menyaksikan tontonan gratis di kamar sebelah melalui cermin tembus
pandang. Elang Samudera terengah-engah kecapekan. Tetapi agaknya pemuda itu
belum mencapai puncak keindahannya. Sementara itu, Dewi Kun sudah terkulai
tanpa daya. Seandainya tidak, pasti dia masih menyuruh Elang Samudera untuk
mendayung perahunya lagi.
Lantai menjadi basah oleh
keringat mereka. Elang Samudera tak bisa bilang apa-apa karena sibuk bernapas.
Tapi tangannya masih berusaha untuk berbuat nakal, yang segera dihindari oleh
Dewi Kun.
Pendekar Mabuk hanya
geleng-geleng kepala melihat kenakalan itu.
"Kalau bukan karena
meminum ramuan jamu tadi, tak mungkin Elang Samudera sampai setangguh
itu," ujarnya dalam hati.
Secara jujur hati Suto
mengakui kehebatan ramuan tersebut seandainya tanpa dilawan dengan tuak
saktinya. Terbukti Elang Samudera masih tetap bersemangat memburu kemesraan
walaupun Dewi Kun sudah keluar kamar dan beberapa saat masuk kembali. Ternyata
yang masuk kembali itu bukan Dewi Kun melainkan Dewi Sun.
Elang Samudera juga melayani
perempuan itu dengan semangatnya yang masih menyala-nyala. Tetapi kehadiran
perempuan itu membuat Suto menjadi sangsi dan berkerut dahi.
Ketika perempuan itu
melepaskan rompinya, maka tampaklah sebuah tato bergambar kupu-kupu yang
merentangkan sayapnya di pertengahan dada. Suto Sinting sempat bertanya-tanya
dalam hati,
"Benarkah dia Dewi Sun?!
Tapi melihat keganasan dalam menyerang lawan bercintanya, keganasan itu seperti
milik Dewi Sun. Hanya saja, kenapa tatonya berubah menjadi gambar kupu-kupu dan
letaknya di pertengahan dada? Bukankah Dewi Sun tatonya bergambar seekor
kelabang merah dan letaknya di dada kiri?!"
Klak, klak, klaaang...!
Pintu kamar Suto dibuka.
Perempuan berwajah cantik seperti yang sedang bercumbu dengan Elang Samudera
itu muncul dengan keangkuhannya. Perempuan itu tampak berlumuran keringat,
sehingga rambutnya menjadi basah dan rompinya pun lengket dengan tubuh. Napas
perempuan itu masih sedikit terengah-engah menandakan habis melakukan pekerjaan
berat.
Begitu melirik ke arah dada,
Suto melihat tato bergambar bunga mawar. Tak salah lagi dugaan hatinya, bahwa
perempuan itu adalah Dewi Kun yang habis mendapat kepuasan dari Elang Samudera.
Dewi Kun ikut memandang ke
arah cermin tembus pandang. Suto Sinting memperhatikan dengan lirikan mata dan
senyum yang mengembang penuh ketenangan.
"Mengapa kau tidak mau
melayani adikku; Dewi Sun?!"
"Aku tak mampu!"
jawab Suto tanpa malu-malu. "Kau kalah hebat dengan temanmu itu. Lihatlah,
dia
masih bersemangat melayani
gairah adikku." "Apakah dia Dewi Sun?"
"Bukan. Dewi Sun sedang
murung di serambi dan kecewa berat karena tingkahmu!"
"Lalu siapa yang sedang
bercumbu dengan Elang Samudera itu?"
"Adik kembarku; Dewi Mul
namanya."
"Oooh...?!" Suto
manggut-manggut dan memperhatikan tato bergambar kupu-kupu yang sesekali sedang
dikecupi oleh Elang Samudera itu.
"Jadi kau kembar tiga
orang?"
"Ya, dan masing-masing
punya ciri pada tato kami. Dengan melihat tato kami, kau bisa mengerti siapa
yang kau hadapi; aku, Dewi Sun atau Dewi Mul?"
"Ketiganya... ketiganya
punya gairah yang besar rupanya." "Kurasa begitu!" jawabnya
datar. "Dan kami selalu membunuh pria yang tidak mampu memuaskan gairah
kami, karena pria semacam itu kami anggap tidak akan berguna bagi kehidupan di
dunia!"
Suto Sinting agak kaget.
"Jadi kau ingin membunuhku?!"
"Perlu kupertimbangkan
dulu bersama kedua adik kembarku itu. Karena di satu sisi, aku membutuhkan
tenagamu untuk mengambil Bocah Emas itu!"
"Aku tak akan pergi
mengambil Bocah Emas jika tidak bersama Elang Samudera!"
"Itu tak bisa! Kau harus
pergi sendirian dan mendapatkan Bocah Emas itu!"
"Aku tak tahu jalan
menuju ke Gunung Sambara!
Tapi Elang Samudera mengetahui
jalan ke sana!"
"Salah satu dari kami
akan mendampingimu dan mengantarmu sampai bertemu dengan Ratu Lembah
Girang."
"Apakah kau masih ingin
menjualku kepada Ratu Lembah Girang? Tidakkah kau tahu bahwa aku tidak punya
kemampuan untuk melayani seorang perempuan? Kurasa Ratu Lembah Girang akan
kecewa padaku dan tidak mau memberikan Bocah Emas itu."
Dewi Kun segera memandang Suto
Sinting. Sepertinya ada sesuatu yang baru diingatnya dan perlu dipertimbangkan
lebih masak lagi.
"Kau benar-benar tidak
mampu melayani perempuan?"
"Kau tanyakan saja kepada
adikmu; Dewi Sun itu!" Mulut berbibir ranum itu diam terbungkam. Tapi
kejap berikutnya Dewi Kun memandang Suto lagi seraya berkata pelan.
"Tapi kau pandai membuai
kami dengan bibir dan lidahmu, bukan?"
"Oh, itu hanya kebetulan
saja dan... dan. "
"Aku telah merasakannya
sendiri. Kau berhasil menerbangkan jiwaku sampai ke puncak-puncak keindahan
dengan hanya menggunakan mulut dan jemarimu. Kurasa Ratu Lembah Girang pun akan
menyukainya."
"Tak mungkin,"
bantah Suto. "Ratu pasti menghendaki kemesraan yang lebih sempurna dan
tidak sekadar kemesraan seperti yang pernah kau rasakan dariku itu. Dan untuk
memberikan yang sempurna itu aku tak sanggup!"
"Tabib Sumpah Mada akan
kuperintahkan membuat ramuan yang paling dahsyat dari yang kau minum tadi!
Ramuan itu dapat membangkitkan seleramu, sehingga kau akan mampu melayani Ratu
Lembah Girang sebaik mungkin."
Pendekar Mabuk tertawa pelan.
"Percuma saja kau menyuruh tabibmu membuat ramuan apa saja. Seleraku tak
akan sanggup berkobar jika pada saat ingin mengarungi lautan cinta bersama
perahu cinta sang Ratu. Tapi jika hanya membuai keindahan, mungkin aku masih mampu!"
"Kata-katamu itu harus
dibuktikan dulu. Aku akan menghubungi Tabib Sumpah Mada dulu! Yang jelas, esok
pagi kau harus berangkat temui Ratu Lembah Girang."
Dewi Kun ingin keluar dari
kamar, namun segera ditahan oleh tangan Suto yang mencekal pundaknya.
"Tunggu...! Kenapa kau
tak perintahkan aku langsung ke Gunung Sambara saja?!"
"Gunung Sambara dijaga
oleh makhluk-makhluk aneh ciptaan Ratu Lembah Girang. Tanpa membawa Sambang
atau tanda sebagai utusan Ratu Lembah Girang, kau tak akan mampu mencapai
puncak gunung tersebut. Kau akan mati sia-sia melawan makhluk- makhluk aneh itu
jika tidak membawa aenda atau lambang dari Ratu Lembah Girang!"
"Kurasa aku mampu
menyingkirkan makhluk- makhluk aneh itu, asal bekerja sama dengan Elang
Samudera!" desak Suto.
Dewi Kun gelengkan kepala.
"Percuma kau bekerja sama dengan temanmu itu. Dia sudah kehilangan seluruh
ilmu dan tenaga dalamnya. Makhluk aneh itu tak akan mampu dikalahkan dengan
hanya menggunakan tenaga luar saja!"
"Kalau begitu... izinkan
aku menemui Elang Samudera lebih dulu sebelum harus berangkat bersamamu!"
Dewi Kun diam sejenak,
mempertimbangkan sesuatu dalam benaknya. Sebentar kemudian ia memandang Suto dan perdengarkan suaranya yang
serak-serak basah itu.
"Esok pagi kau kutemukan
dengan Elang Samudera. Malam ini tidurlah, dan simpan tenagamu untuk esok. Tapi
lebih dulu, kau harus mencoba ramuan terdahsyat buatan Tabib Sumpah Mada!"
Setelah berkata demikian, Dewi
Kun segera keluar dari pintu. Suto Sinting bermaksud ingin menerobos keluar,
tapi ia ingat keadaan Elang Samudera yang mudah dijadikan sasaran kemarahan
tiga perempuan kembar itu. Apalagi Elang Samudera dalam keadaan kehilangan
tenaga dalamnya, maka ia akan mudah dilumpuhkan oleh ketiga dewi kembar itu.
Suto pun akhirnya membatalkan niatnya untuk menerobos keluar, ia masih harus
bersabar sampai saatnya nanti tiba.
*
* *
6
MENURUT dugaan Suto, ia sudah
setengah hari satu malam berada di Kuil Perawan Ganas itu. Baru kali ini ia keluar dari kamar penyekapannya ketika
Dewi Kun muncul dan membawanya untuk bertemu dengan Elang Samudera.
Sebelum Dewi Kun membawa Suto
keluar kamar, Dewi Kun sempat berkata kepada Suto, terutama setelah mengetahui
keadaan Suto biasa-biasa saja.
"Apakah jamu ramuan dari
Tabib Sumpah Mada belum kau minum?"
"Sudah. Aku meminumnya
sampai habis. Tabib Sumpah Mada sendiri yang semalam mengantarkannya dan
menungguiku meminum ramuan tersebut."
Dewi Kun diam sebentar,
sepertinya bingung mau berkata apa kepada Suto, Tapi dari sorot matanya
perempuan itu tampak sedang memendam perasaan heran melihat Suto biasa-biasa
saja.
"Kenapa kau bertanya
begitu? Apakah kau tak percaya dengan pengawan tabibmu sendiri?!"
"Wajahmu biasa-biasa
saja," ujar Dewi Kun datar sekali.
"Maksudmu, setelah
meminum ramuan itu wajahku harus berubah seperti monyet?!"
Dewi Kun tersenyum dingin. Baru
sekarang perempuan itu tampak tersenyum.
"Cantik juga kalau kau
tersenyum," ujar Suto pelan, tapi Dewi Kun berlagak tidak mendengar pujian
itu.
"Seharusnya wajahmu
berubah kemerah-merahan dan matamu menjadi nanar, jalang, tanganmu juga nakal,
tapi... sepertinya kau tak mengalami hal itu."
"Pecat saja tabibmu itu!
Dia tidak bisa membuat ramuan berkhasiat dahsyat, seperti katamu itu!"
Dewi Kun bingung sendiri,
akhirnya hanya menarik napas dan segera membawa Suto bertemu dengan Elang
Samudera.
Dalam hati Suto tertawa geli,
karena tanpa setahu Tabib Sumpah Mada, tuak sakti itu segera diminumnya setelah
Suto selesai meminum ramuan jamu kuat yang katanya paling dahsyat itu. Dengan
meminum tuak saktinya, maka pengaruh jamu kuat itu sirna tanpa bekas. Tentu
saja Tabib Sumpah Mada nanti akan bingung sendiri jika mendengar kecaman Dewi
Kun.
"Suto...?!" sambut
Elang Samudera dengan riang. "Kusangka mereka mendustaiku dengan
mengatakan kau masih selamat. Ternyata omongan mereka itu benar. Oh, aku senang
sekali melihatmu masih tetap segar begini, Suto."
"Aku ada di kamar
sebelahmu. Aku melihat apa yang kau lakukan bersama Dewi Mul dan dia,"
sambil Suto melirik Dewi Kun.
"Kurasa itu tak perlu
dibicarakan, Suto!" tegur Dewi Kun dengan sedikit malu.
"Tinggalkan kami. Biarkan
kami bicara berdua. Jika kau tak izinkan kami bicara, aku tak akan berangkat
memenuhi perintahmu!" kata Suto dengan pelan tapi tegas. Dewi Kun akhirnya
tinggalkan kamar itu dengan tak lupa mengunci pintunya.
Setelah Dewi Kun pergi, Suto
buru-buru menyerahkan bumbung tuaknya.
"Minum tuak ini,
lekas!"
Elang Samudera bingung.
"Aku... aku tidak apa-apa, Suto! Aku sehat-sehat saja!"
"Lekas minum tuak ini
sebelum mereka melihat dari cermin tembus pandang itu!"
Karena desakan Suto
menegangkan, maka Elang Samudera pun buru-buru menenggak tuak tersebut. Bumbung
tuak buru-buru direbut Suto, sehingga seandainya ada yang mengintai dari cermin
tembus pandang tidak akan melihat Elang Samudera meminum tuak. "Ada apa
sebenarnya?" tanya Elang Samudera
dengan lirih.
Suto bersikap tenang, supaya
jika Dewi Kun melihatnya dari kamar sebelah tidak timbul kecurigaan apa-apa.
"Tetaplah tenang,"
kata Suto mengawali percakapan seriusnya.
"Kau yang kelihatan tidak
tenang, Suto!"
"Elang, dengar kataku....
Aku tahu kau kehilangan tenaga dalammu."
"lyy... iya, benar! Aku
jadi tidak punya kekuatan dahsyat yang biasanya bisa kukeluarkan lewat tangan,
jari, kaki, atau yang lainnya." Elang Samudera tampak mulai tegang.
"Aku juga tahu gairahmu
telah dibakar oleh jamu yang kau minum kemarin saat habis mendapat suguhan
makan itu. Jamu itu membuatmu kuat melayani mereka." "Hmmm... hmmm...
iya, sepertinya memang begitu,"
jawab Elang Samudera dengan
malu-malu.
"Tuakku tadi akan
mengembalikan kekuatan tenaga dalammu dan melumpuhkan pengaruh jamu yang kau
minum."
"O, ya...?! Elang
Samudera tampak girang, ia segera ingin mencobanya dengan menggunakan tangan
yang akan dihantamkan kearah pintu. Tapi Suto Sinting segera mencegah perbuatan
itu.
"Jangan lakukan di sini!
Kau harus berpura-pura tetap tidak mempunyai kekuatan tenaga dalam. Kau
juga harus berpura-pura masih bergairah
dengan mereka." "Mengapa begitu?!"
"Mereka ingin menjualku
kepada Ratu Lembah Girang."
"Hahh...?!"
"Tenang dan bersikaplah
wajar-wajar saja!" Suto mengingatkan dengan berlagak kalem.
"Tugasku membujuk Ratu
Lembah Girang untuk mengambil Bocah Emas itu. Bocah Emas harus kuserahkan
kepada orang-orang disini. Kau dijadikan sandera oleh mereka. Jika aku menolak,
kau akan dibunuhnya."
"Biadab...!"
"Tenang, tenang...! Semua
sudah kuatur dalam otakku," ujar Suto mengingatkan emosi Elang Samudera.
"Jadi... kau menerima
tawaran itu?!"
"Aku jadi banyak
mengetahui tentang keadaan di Gunung Sambara. Agaknya kunci untuk mendapatkan
Bocah Emas itu ada di tangan Ratu Lembah Girang. Aku memang harus menemui ratu
itu. Kau tetap saja di sini dengan berpura-pura tanpa tenaga dalam dan masih
bersemangat dalam bercinta. Tapi kalau bisa tolak saja ajakan kencan mereka
dengan cara yang tidak kentara."
"Baik, aku akan mengikuti
saranmu."
"Tugasmu di sini adalah
menahan mereka agar jangan menyusulku. Aku hanya akan didampingi oleh Dewi Kun,
atau mungkin salah satu dari tiga perempuan kembar itu."
"Oh, jadi mereka itu
kembar tiga? Kusangka hanya satu orang? Pantas gairah mereka seperti tak
kunjung padam!"
"Jika Bocah Emas itu
sudah kudapatkan, siapa pun yang mendampingiku akan kulumpuhkan. Kemudian Bocah
Emas itu akan kusimpan dalam perahu kita. Aku akan datang menjemputmu kemari
dengan tidak menimbulkan keonaran. Jika sampai terjadi keributan, pergunakan
tenaga dalammu. Lalu kita akan pergi tinggalkan tempat ini bersama Bocah Emas
itu."
"Bagaimana jika mereka
mengejar kita?" "Lumpuhkan ketiga perempuan kembar itu, maka
yang lain tidak akan bertindak
apa-apa! Tugasmu adalah mempelajari kelemahan-kelemahan yang ada di sini.
Usahakan kau mengetahui kelemahan mereka sebelum aku datang menjemputmu."
"Baik. Akan kuusahakan
hal itu secepatnya!" kata Eiang Samudera penuh semangat.
"Jika dalam empat hari
aku tidak datang kembali, berarti aku tewas di perjalanan."
"Kuharap kau kembali
dalam keadaan sehat!"
"Atau jika aku tidak
kembali dalam empat hari, mungkin aku tertawan di tangan Ratu Lembah Girang.
Kau harus berusaha pulang dan cari bantuan untuk membebaskanmu. Terutama
hubungi Sumbaruni, Merpati Liar, Angin Betina, dan si Rupa Setan alias
Anjardini."
"Ya, aku ingat nama-nama
itu. Aku akan minta bantuan kakak perempuanku untuk menghubungi mereka jika
sampai terjadi sesuatu pada dirimu," kata Elang Samudera dengan mantap.
"Jika mereka memberimu minuman jamu lagi, usahakan jangan kau minum,
buanglah di tempat lain entah dengan cara bagaimana saja!"
"Baik," Elang
Samudera mengangguk bagai orang yang patuh kepada perintah atasannya.
"Ada satu hal yang perlu
kau ingat, Suto," tambah Elang Samudera. "Bawalah Bocah Emas itu
dalam keadaan dibungkus kain atau dedaunan. Maksudnya jangan sampai kulitnya
memantulkan cahaya saat terkena sinar matahari. Jika sampai memantulkan cahaya,
maka ke mana pun kau pergi akan diketahui oleh musuh. Dan lagi, Bocah Emas itu
menyebarkan aroma wangi cendana. Jadi jika dibungkus kain atau apa saja, maka
aroma itu tidak menyebar ke mana-mana."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. "Ya, akan kuperhatikan pesanmu itu."
"Satu lagi, jangan sampai
bocah itu menangis. Jika ia menangis, air matanya akan berubah menjadi emas,
dan pihak musuh dapat memunguti emas itu yang akhirnya akan menemukan arah
pelarianmu."
"Akan kuusahakan agar
bocah itu tertawa terus," kata Suto dengan senyum mantap. Pundak
sahabatnya ditepuk satu kali. Pluuuk...!
"Percayalah, semua akan
berjalan lancar! Kau tak perlu cemas dan tetap bertindak sebagaimana yang kita
rencanakan tadi."
"Baik. Hanya
saja...," ucapan itu terhenti karena mereka mendengar suara kunci pintu
dibuka. Wajah cantik berhidung mancung muncul. Suto segera melirik pada belahan
dada perempuan itu. Ternyata dada itu mempunyai tato bergambar kelabang merah.
Berarti bukan Dewi Kun yang datang, melainkan Dewi Sun.
"Sudah tak ada waktu lagi
untuk bersantai ria, Pendekar Banci!" ucap Dewi Sun, rupanya masih dongkol
dengan kegagalannya bercumbu dengan Suto.
"Aku butuh waktu sebentar
lagi. Ada yang ingin kubicarakan dengan Elang Samudera!"
"Tidak ada waktu
lagi!" gertaknya. "Kakakku memanggilmu. Kalian akan segera
berangkat!"
"Maksudmu, aku dan Elang
Samudera?"
"Kau dan kakakku!"
sentak Dewi Sun tampak bermusuhan sekali dengan Suto.
Pendekar Mabuk menarik napas
dalam-dalam. Matanya memandang Elang Samudera yang tampak menggeram ingin
lepaskan pukulan kepada Dewi Sun. Tapi satu kedipan mata Suto sudah cukup
sebagai isyarat agar Elang Samudera menahan emosinya.
Dewi Sun segera membawa
Pendekar Mabuk ke serambi depan. Ternyata serambi yang dimaksud adalah ruangan
besar tanpa dinding samping kanan-kiri, seperti pendopo. Di sana telah
berkumpul beberapa wanita muda yang mempunyai paras cantik-cantik. Jumlahnya
sekitar dua puluh lima orang. Tetapi dua wajah kembar berada di sisi lain. Dua
wajah kembar itu adalah Dewi Kun dan Dewi Mul. Mereka segera pandangi Suto
Sinting yang melangkah bersama Dewi Sun dengan senyum tipis membias bak
menyebarkan daya tarik kepada setiap mata yang ada di situ. Dewi Sun hentikan
langkah di samping Dewi Kun, sedangkan Suto berada di sebelah kiri Dewi Sun.
Tapi kejap kemudian tangannya ditarik oleh Dewi Kun, hingga ia berdiri
berdampingan dengan Dewi Kun menghadap para wanita cantik yang berpakaian
seronok itu.
Dewi Kun bicara kepada mereka
dengan berwibawa. "Hari ini aku akan berangkat mencari Bocah Emas
didampingi oleh Pendekar Mabuk
ini!"
"Oooo...?!" mereka
menggumam kagum, sepertinya baru tahu bahwa pemuda tampan itu adalah orang yang
sering didengar kabarnya melalui percakapan dari mulut ke mulut. Agaknya mereka
belum tahu bahwa ketua mereka telah berhasil menawan Pendekar Mabuk, sehingga gumam
kekaguman mereka terdengar secara serempak.
"Kalian dan kedua adikku;
Dewi Mul serta Dewi Sun, bertugas mempertahankan kuil ini dari gangguan siapa
pun, terutama orang-orang Bukit Sulang. Dalam waktu empat hari, aku akan
kembali baik tanpa Pendekar Mabuk maupun bersama Pendekar Mabuk. Jika dalam
waktu empat hari aku tidak kembali, berarti aku tewas di perjalanan atau di
tangan Ratu Lembah Girang. Jika dalam empat hari Pendekar Mabuk tidak kembali
ke sini membawa Bocah Emas, maka temannya yang bernama Elang Samudera harus
kalian bunuh sebagai imbalan kegagalannya mendapatkan Bocah Emas itu!"
Pendekar Mabuk hanya
manggut-manggut sambil tersenyum-senyum. Seakan ia tak merasa kaget dan
khawatir dengan ancaman yang baru saja dilontarkan Dewi Kun itu.
Setelah meninggalkan berbagai
pesan, Dewi Kun segera berangkat bersama Pendekar Mabuk menuju ke istana Lembah
Girang. Mereka pergi dengan menunggang seekor kuda secara berboncengan. Dewi
Kun yang duduk di belakang, sedangkan Suto Sinting sebagai pengemudinya. Tetapi
arah gerakan kuda tergantung petunjuk dari Dewi Kun.
Dewi Kun sengaja duduk di
belakang sambil memeluk Suto Sinting, agar jika terjadi sesuatu ia terlindung
oleh tubuh Suto, dan jika Suto ingin berbuat sesuatu ia leluasa mencegahnya.
Karena Dewi Kun memeluknya dari belakang, maka bumbung tuak terpaksa
disilangkan ke depan dada. Dengan begitu pelukan Dewi Kun tidak terganjal oleh
bumbung tuak.
Sebelum berangkat tadi, Suto
sempat meminta agar bumbungnya dipenuhi oleh tuak. Dewi Sun mengambilkan tuak
terjelek dan rasanya tak sedap. Tetapi ia tidak tahu, bahwa tuak apa pun yang
masuk ke bumbung sakti itu akan menjadi tuak yang sedap dan berkhasiat tinggi.
Perjalanan menuju ke istana
Lembah Girang ditempuh dengan berkuda memakan waktu setengah hari. Hanya saja,
baru mencapai seperempat hari tiba- tiba kuda itu harus memperlambat larinya.
"Ada mayat di sebelah
sana!" ujar Dewi Kun sambil menunjuk ke suatu arah. Suto Sinting
diperintahkan mendekati mayat itu. Ternyata ada tiga mayat yang tergeletak
dalam keadaan luka parah. Dewi Kun memeriksanya dari atas punggung kuda.
"Sepertinya mayat
orang-orang Lereng Hitam!" kata Dewi Kun.
"Apakah kau kenal dengan
orang-orang Lereng Hitam?"
"Kukenali dari ikat
kepala mereka yang selalu berbentuk runcing ke atas!"
"Hmmm...!"
Suto-menggumam sambil ikut memandangi tiga mayat itu dengan menggerakkan
kudanya memutari mayat tersebut.
"Sepertinya mereka luka
tercabik-cabik oleh binatang buas," tambah Suto setelah Dewi Kun lama
tidak memberi komentar apa-apa.
"Ya, sepertinya memang
mereka dimangsa oleh binatang buas. Tapi perhatikan, tidak ada bagian tubuh
mereka yang hilang dimakan binatang buas. Seandainya seekor singa atau harimau
hutan, pasti salah satu anggota tubuh mereka ada yang hilang. Tapi nyatanya
mereka hanya tercabik-cabik dan keadaan dadanya jebol."
"Mungkin bagian dalam
tubuh mereka yang diambil, seperti jantung, paru-paru atau yang lainnya!"
"Entahlah. Yang jelas,
mereka tampak baru saja mengalami kematiannya. Darah mereka belum sempat kering
betul. Dan menurut dugaanku, bukan binatang buas yang melakukannya. Pasti dari
pihak musuh mereka."
"Siapa musuh orang-orang
Lereng Hitam itu?!" "Siapa lagi kalau bukan orang-orang Bukit Sutang
yang rakus akan wilayah kekuasaan."
Suto memandang ke arah
sekeliling. Tiba-tiba ia temukan bayangan mayat tergeletak di bawah pohon
seberang sana.
"Sepertinya di sana juga
ada korban lagi!" Lalu tanpa menunggu perintah Dewi Kun, ia memacu kudanya
ke arah yang dimaksud.
"Hmmm... dugaanku pasti
benar. Mereka orang-orang Lereng Hitam yang dibunuh oleh orang-orang Bukit
Sulang," ujar Dewi Kun setelah
memperhatikan sekeping logam yang menancap di pohon tersebut. Logam itu
berbentuk seperti kelopak bunga.
"Ini senjata milik
orang-orang Bukit Sulang!"
"Tapi apakah karena
senjata itu maka mayat-mayat ini mati dalam keadaan tercabik-cabik
begitu?!"
"Seharusnya kematian
mereka tidak separah ini!" sambil Dewi Kun membuang senjata rahasia
berbentuk kelopak bunga yang tadi dicabutnya dari pohon. Kemudian ia naik
kembali ke punggung kuda, karena saat mau mencabut senjata rahasia itu ia
sempatkan diri untuk turun dari punggung kuda.
Namun baru saja Dewi Kun duduk
di belakang Suto, tiba-tiba sekeping logam menyambar mereka dari arah kanan.
Ziiing...!
"Awas!" seru
Pendekar Mabuk sambil tangan kanannya berkelebat ke samping. Teeb...! Tahu-tahu
dua jarinya telah menjepit sekeping logam bundar berbentuk kelopak bunga yang
bagian tepinya mempunyai keruncingan dan ketajaman melebihi mata pisau. Dewi
Kun sempat terkejut dan menjadi tegang setelah mengetahui jari Suto menjepit
senjata rahasia seperti yang tadi dicabut dari pohon. Dewi Kun segera berbisik
pelan dari belakang Pendekar Mabuk.
"Turun! Orang-orang Bukit
Sulang ada di sekitar sini!"
"Apakah menurutmu kita
telah terkepung?!"
"Kita lihat saja
nanti!" sambil Dewi Kun mendahului lompat dari punggung kuda. Wees...!
Jleeg...!
*
* *
7
PENDEKAR MABUK justru turun
dari kuda dengan pelan-pelan. Ia bersikap tenang sekali, walau sebenarnya
memasang kewaspadaan tinggi. Bahkan ia sempat mengikat tali kekang kuda ke
ranting-ranting semak. Setelah itu baru melangkah dekati Dewi Kun sambil
memandang ke sekelilingnya. Sedangkan Dewi Kun tampak tegang dan sudah
menghunus pedangnya yang menyilang di punggung.
"Jangan santai-santai
saja, Tolol! Kita diancam bahaya tak diketahui dari mana datangnya!" omel
Dewi Kun dengan nada gerutu dari suara pelan seperti orang menggeram.
Suto Sinting memindahkan
bumbung tuaknya yang menyilang di dada ke pundak. Kini bumbung tuak itu
tergantung di pundak dan sewaktu-waktu siap digunakan.
"Kita tunggu saja
serangan berikutnya," ujar Suto. "Perhatikan arah datangnya serangan
berikutnya nanti. Maka kita akan mengetahui di mana bahaya itu berada!"
Dewi Kun yang sedikit
membungkuk dengan memasang kuda-kuda dan menggenggam pedang, kini menjadi tegak
dan tidak setegang tadi. Karena setelah ditunggu beberapa saat lamanya,
ternyata serangan berikutnya tidak kunjung tiba. Sedangkah senjata rahasia yang
tadi ditangkap Suto Sinting itu tidak diketahui dari mana datangnya. Memang berasal
dari sebelah kanan mereka alias sebelah barat, tapi di sebelah barat banyak
pohon rimbun dan semak belukar. Tak bisa dipastikan apakah penyerangnya ada di
atas pohon atau di bawah pohon.
Jurus 'Lacak Jantung' segera
digunakan oleh Pendekar Mabuk. Dengan
menggunakan jurus 'Lacak Jantung' maka ia dapat mendengarkan detak jantung
seseorang selain dari mereka berdua.
"Oh, gawat!" gumam
SutoSinting baru mulai sedikit menegang.
"Ada apa?!" tanya
Dewi Kun yang tak mengerti bahwa Suto mempunyai jurus 'Lacak Jantung' itu.
"Ternyata kita telah
terkepung." "Dari mana kau tahu?!"
Suto mulai melilitkan tali
bumbung tuaknya di tangan kanan sebagai persiapan hadapi serangan lawan.
"Aku menangkap detak
jantung yang lebih dari tujuh orang, selain kita berdua. Detak jantung itu
kudengarkan berasal dari depan kita, kiri, kanan dan belakang kita. Suaranya
riuh gaduh, pertanda jumlah mereka lebih dari tujuh orang."
"Kalau begitu bersiaplah!
Jangan santai-santai saja!" "Apakah kau melihat aku masih
santai-santai saja?!
Lihat gayaku ini, hmmm... ini
gaya orang yang siap tempur!" ujar Suto agak konyol dengan memamerkan
gayanya yang sedikit merundukkan badan dan menggenggam tali bumbung tuak
kuat-kuat.
"Lihat lirikan mataku
ini," ujarnya lagi bernada konyol. "Hmmm... ini lirikan mata
menangkap mangsa. Terutama wanita...," sambil Suto memperagakan lirikan-
lirikan matanya yang diterima Dewi Kun sebagai kekonyolan tak lucu.
Sebelum Dewi Kun katakan
sesuatu, tiba-tiba mereka diserang dengan beberapa senjata rahasia yang meluncur
dari berbagal arah. Ziing, ziing, ziing, ziiing...!
"Awas!" seru Suto
Sinting sambil lakukan satu lompatan melambung ke atas melebihi ketinggian
benda- benda terbang itu. Wuuut...! Sementara Dewi Kun tetap di tempat dan
mengibaskan pedangnya dengan cepat ke berbagai arah, bahkan sempat berputar
dengan gerakan seperti gangsing.
Wees...! Trang, tring, tring,
trang, triiing...!
Jleeg...! Suto Sinting
daratkan kaki ke tanah. Tepat ketika itu senjata-senjata rahasia sudah
tersingkirkan oleh tebasan pedang Dewi Kun.
Suasana menjadi sepi kembali.
Tak ada gerakan tak ada suara. Mata Dewi Kun memandang liar dengan sikap
berjaga-jaga. Suto Sinting agak tenang sedikit walau tetap melirik dengan jeli
ke keadaan sekitarnya.
Sesaat kemudian, Dewi Kun berbisik
kepada Suto. "Pancing dengan pukulan jarak jauhmu!"
"Pukulanku tidak boleh
jauh-jauh," kata Suto. "Kalau jauh-jauh nanti nyasar!"
"Kau tidak
bersungguh-sungguh menghadapi bahaya ini!" geram Dewi Kun yang merasa
mendapat jawaban konyol. Akhirnya ia sendiri yang melakukan pukulan jarak jauh.
Tangan kirinya menyentak ke
depan, dan dari telapak tangan melesat sinar merah sebesar jari kelingking.
Claaap...! Blaaarr...!
Krraaaak... brruuk...!
Sebatang pohon tumbang dalam
keadaan mengepulkan asap karena dihantam oleh sinar merah itu.
Clap, clap, clap...! Blarr,
blaar, blaar...!
Beberapa pohon menjadi rusak.
Hancur dan tumbang tak tentu arah. Tetapi satu pun tak ada suara pekikan yang
didengar mereka. Berarti pukulan-pukulan jarak jauhnya Dewi Kun tidak kenai
lawan yang bersembunyi. Suasana menjadi hening kembali. Hanya suara dedaunan
yang gemerisik karena hembusan angin. Satu suara batuk pun tak didengar oleh
mereka. Pendekar Mabuk kembali pergunakan jurus 'Lacak Jantung'-nya
yang tadi.
"Lho...? Lho, kok
begini?!" gumamnya pelan, namun terdengar di telinga Dewi Kun. "Ada
apa lagi?!"
"Tak ada suara detak
jantung satu pun, kecuali jantungku dan jantungmu! Aneh...?!" Pendekar
Mabuk kerutkan dahi sambil bergeser memutar pelan-pelan.
"Mengapa jadi sepi sekali
begini?! Tadi kudengar banyak suara detak jantung dari berbagai arah. Sekarang
tak satu pun ada suara detak jantung selain detak jantung kita. Apakah Jurus
'Lacak Jantung'-ku sudah rusak?!"
Setelah ditunggu sampai
beberapa saat lamanya tak muncul serangan lagi, Dewi Kun memutuskan untuk
lanjutkan langkah dan tidak perlu hiraukan serangan mereka. Suto Sinting
akhirnya sepakat untuk lanjutkan perjalanan.
Tapi baru saja mereka
mendekati kuda hitam yang tadi mereka tunggangi, tiba-tiba tiga benda mengkilap
melesat dari tiga arah. Zing, zing, zing...! Suto Sinting yang lebih dulu dekat
dengan kuda segera bersalto ke belakang sambil berteriak cepat.
"Mundur!"
Dewi Kun yang belum memasukkan
pedangnya ke sarung pedang juga segera lakukan lompatan bersalto ke belakang
dengan lincahnya.
Wuk, wuk...!
Jleeg...! Kini keduanya
sama-sama berdiri tiga langkah dari kuda hitam. Benda-benda yang melayang cepat
itu memang tidak mengenai kulit tubuh mereka. Tetapi malang bagi sang kuda,
benda-benda itu akhirnya menancap di tubuh kuda hitam. Jrub, jrub, jruub...!
"Hieeeekhhh...!"
Kuda itu meringkik panjang bagai menjerit kesakitan. Kaki depannya naik ke atas
dan mengais-ngais. Kemudian kuda itu segera roboh sambil kelojotan membuat Dewi
Kun dan Pendekar Mabuk sama-sama tegang. Mereka saling beradu punggung dan
bergerak memutar sambil memandang penuh waspada.
Suasana jadi tenang kembali.
Suara kuda pun sudah tak ada karena kuda ttu sudah tak mau bernapas lagi alias mati. Badan kuda tampak berasap tipis,
luka akibat ditembus senjata rahasia itu mengepulkan asap agak tebal. Darah
yang keluar dari luka berwarna hitam, menandakan racun yang ada pada senjata
rahasia itu sangat ganas dan mematikan.
"Jahanam! Mereka membunuh
si Keling!" ujar Dewi Kun dengan geram kemarahan melihat kudanya yang
bernama si Keling mati secara mengenaskan.
"Agaknya mereka ingin
mempermainkan kita! Berjaga-jagalah di sini, aku akan mengelilingi tempat
ini!"
Sebelum mendapat izin atau
keputusan dari Dewi Kun, Pendekar Mabuk sudah lebih dulu melesat menggunakan
jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaaap, zlaap, zlaap...!
Dewi Kun bengong melihat
gerakan Suto yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu, ia tak menyangka
kalau Pendekar Mabuk mampu bergerak secepat itu. Bahkah menurutnya kecepatan
gerak tersebut melebihi kecepatan setan lari terbirit-birit.
Suto mengelilingi tempat
tersebut. Matanya memandang dengan tajam dan teliti sekali. Namun ternyata tak
satu pun manusia yang ditemukan di sekitar tempat itu. ia segera kembali temui
Dewi Kun. Zlaaap...! Namun alangkah kagetnya ketika ia menemukan tempat itu
telah kosong. Dewi Kun tidak ada di tempatnya semula. Mata Suto memandang
sekeliling kembali, mencari gerakan Dewi Kun, tapi ia tetap tidak
menemukan gerakan apa-apa.
"Dewi Kun...! Dewi
Kun...!" panggilnya sambil bergerak memutar pelan-pelan.
"Kuuun...!
Kuntilanak...!" teriaknya sengaja meledek supaya Dewi Kun berang dan
keluar dari suatu tempat. Namun pancingan itu ternyata tidak membuat Dewi Kun
menampakkan diri dari suatu tempat. Hal itu membuat Suto menjadi bingung dan
curiga.
"Ke mana dia?! Apakah
ditelan bumi? Hmmm... sepertinya tak mungkin," sambil Suto memandangi
tanah tempatnya berpijak.
"Tak ada tanda-tanda
tanah habis retak. Berarti Dewi Kun tidak ditelan bumi. Lalu... ditelan siapa kalau
begitu?!"
Pendekar Mabuk berjalan
mengelilingi tempat itu. Tak terlalu jauh dari tempat bangkai kuda tergeletak
dan sekarang dalam keadaan menjadi lunak hampir membusuk. Tapi yang tercium
oleh Suto kala itu bukan bau bangkai yang membusuk, melainkan bau wangi cendana
yang samar-samar. Pendekar Mabuk sempat merinding dicekam ketegangan yang
misterius sekali. Untuk menghilangkan ketegangan itu, Pendekar Mabuk terpaksa
berteriak-teriak memanggil Dewi Kun kembali "Dewi Kuuun...! Kuuun...!
Kuntilanaaak...!"
Lalu hati pun membatin,
"Wah, kalau yang keluar benar-benar kuntilanak, repot aku!"
Setelah memeriksa sekeliling
ternyata tidak ada Dewi Kun, dan pedangnya pun tak ada, tetesan darah juga tak
ada, akhirnya Suto memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke Kuil
Perawan Ganas. Karena jika ia teruskan langkah, ia tidak tahu arah Gunung
Sambara atau arah istana Lembah Girang.
Namun baru saja ia ingin
bergerak pulang, tiba-tiba melesatlah dua logam dari arah kanan-kirinya yang
menerjang ke tubuhnya. Ziiing, ziiing...!
Dengan merendahkan satu kaki
ke belakang dan mengibaskan bumbung tuaknya, dua benda melayang itu berhasil
ditangkis menggunakan bumbung tuak tersebut.
Trang, trang...! Suara benda
membentur bambu tuak seperti logam membentur bumbung besi. Bagi Suto itu bukan
hal aneh. Yang paling aneh adalah munculnya senjata rahasia tadi. Gerakan mata
Suto sempat menangkap keluarnya benda berbahaya itu yang ternyata dari dalam
batang pohon.
"Benda itu tadi keluarnya
bukan dari atas pohon, melainkan dari dalam batang pohon?! Aneh sekali?! Apakah
aku salah lihat?!" gumamnya sambil berkerut dahi dan pandangi salah satu
pohon yang dilihatnya mengeluarkan senjata rahasia beracun ganas itu. Lalu,
pohon tersebut dihampirinya dan diperiksa. Ternyata pada salah satu sisinya
tampak ada bekas lubang pipih yang seukuran dengan lebarnya senjata rahasia
tadi. "Hmmm...! Dari lubang ini benda itu tadi muncul dan
menyerangku. Aneh sekali dan
baru kali ini kutemukan ada pohon bisa keluarkan senjata rahasia. Apakah di dalamnya
ada orang yang melemparkan senjata itu?!"
Rasa penasaran membuat Suto
Sinting akhirnya menghantam pohon itu dengan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', yaitu
gerakan menggeloyor seperti mau jatuh namun ternyata menyodokkan bumbung
tuaknya ke pohon tersebut. Wuuk, duuukh...!
Beewwrr...! Krraaak...!
Daun pohon itu rontok semua.
Pohon itu sendiri segera terbelah menjadi dua memanjang dari bawah ke atas.
Tapi di dalamnya ternyata tidak ada manusia siapa pun. Akibat sodokan bambu
tuak tadi, tubuh Suto menjadi dihujani daun-daun yang berguguran. Akhirnya ia
menggerutu sendiri sambil menebah-nebah tubuhnya, menyingkirkan daun-daun yang
menghujaninya.
"Sialan! Tubuhku malah
jadi seperti sarang burung begini!" gurutunya dalam hati, tapi mata tetap
waspada memandang keadaan sekeliling.
"Ternyata tak ada orang
di dalam batang pohon itu! Tapi mengapa bisa keluarkan senjata rahasia?!
Anehnya, senjata itu bisa diarahkan tepat ke tubuhku. Kalau aku tak segera
lakukan tangkisan, nasibku bisa seperti kuda si Keling itu!"
Pendekar Mabuk merasa
menghadapi tantangan yang aneh dan baru kali ini dialaminya, ia terpaksa
memeriksa pohon yang satunya lagi. Di pohon itu juga ada bekas keluarnya
senjata rahasia, ia memeriksa bagian belakangnya, ternyata tak ada lubang
tempat masuknya senjata tersebut.
"Bagian sini rapat!
Berarti senjata itu tidak dilemparkan dari sisi sini dan menembus batang pohon!
Tapi memang keluar dari dalam batang pohon. Hmmm... apakah pohon itu adalah
pohon setan?! Bisa menyerang orang yang tidak disukai dengan senjata rahasia
seganas itu?! Tapi jenis pohon ini dengan jenis pohon yang kupecahkan tadi
berbeda. Kenapa bisa sama-sama keluarkan senjata rahasia? Ah, kurasa ada
sesuatu yang tak beres di tempat ini!" ucapnya membatin sambil bergidik
merinding.
Tiba-tiba kesunyian itu
dipecahkan oleh suara jeritan yang melengking panjang dan berasal dari
kejauhan.
"Aaaaa...!"
"Apa lagi itu?!"
gumamnya dalam hati sambil mata memandang arah datangnya jeritan.
"Jangan-jangan Dewi Kun?!"
Pendekar Mabuk pun bergegas melesat
ke arah datangnya jeritan tadi. Dengan menerabas semak ia berkelebat cepat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Dalam waktu singkat ia tiba di suatu tempat
yang berpohon renggang. Di sana ia temukan seseorang sedang kelojotan dalam
keadaan tubuhnya berlubang pipih. Ada tiga tempat yang mengalami luka seperti
ditancap oleh senjata rahasia, yaitu ba gian ulu hati, leher dan tengah dahi.
Ketika Suto mendekati orang
itu, nyawa orang itu terburu-buru pergi sehingga orang tersebut tak bisa diajak
bicara. Orang itu adalah seorang lelaki gemuk, brewokan, berkulit gelap, dan
berwajah sangar. Ketika menghembuskan napas terakhir, matanya terbuka lebar dan
tak mau terpejam lagi selamanya. Suto merasa ngeri memandang wajah mayat yang
mulutnya terbuka dan lidahnya terjulur itu.
"Gila! Senjata rahasia
itu terbenam habis ke dalam tubuhnya!'' ujarnya membatin sambil tinggalkan
mayat berpakaian serba hitam yang mengenakan ikat kepala merah itu. Kemudian ia
memandangi semak-semak dan pohon di sekitar tempat itu. Ternyata tak ada satu
pun manusia yang terlihat bersembunyi di semak ataupun pohon tersebut.
Suasana menjadi lengang
kembali. Sepi tanpa suara dan gerakan mencurigakan. Hanya gemerisik dedaunan
yang terdengar karena hembusan angin. Namun hembusan angin itu juga menyebarkan
aroma cendana yang lebih jelas lagi dari saat berada di dekat bangkai kuda.
Wangi cendana itu membuat Suto Sinting merinding, bulu kuduknya jadi berdiri,
ia seperti terancam bahaya yang mengelilinginya. Bahkan ia merasa nyawanya
tinggal seujung jarum lagi.
*
* *
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com 8
SEKELEBAT bayangan kali ini
terlihat melintasi pepohonan bambu hijau yang tumbuh lurus-lurus. Bayangan
orang berlari menjauhi tempat itu tampak mengenakan pakaian merah. Pendekar Mabuk
langsung teringat rompi dan celana mini Dewi Kun yang juga berwarna merah.
"Tak salah lagi, pasti
dialah orangnya!" pikir Suto. Ia pun berseru memanggil, "Dewi Kun...!
Hei, tunggu...!"
Zlaaaap...! Zlaaap...!
Pengejaran dilakukan dengan
gunakan jurus 'Gerak Siluman'. Tapi pengejaran pun segera dihentikan ketika di
sisi lain tampak sekelebat bayangan berlari searah dengan gerakan Suto.
Bayangan itu berada di sebelah kirinya, sehingga Suto menjadi bingung. Mana
yang harus diburunya; bayangan merah atau bayangan hitam yang di sebelah
kirinya?
"Orang berbaju merah tadi
yang harus kukejar lebih dulu, karena aku yakin dia adalah Dewi Kun!"
Zlaaap...! Zlaaap...!
Dari sela-sela rumpun bambu
yang tumbuh secara renggang itu, Pendekar Mabuk nyaris kehilangan jejak
bayangan merah yang dikejarnya. Setitik warna merah yang bergerak menjauhinya
masih tertangkap oleh pandangan mata. Tetapi mendadak muncul bayangan lain di
sebelah kanannya yang bergerak cepat bagaikan angin. Bayangan berwarna biru itu
melesat cepat searah dengan pelarian bayangan merah juga. Ia menelusup di
antara sela-sela batang bambu yang tumbuh lurus dan berjarak renggang. Wes,
wes, wes...!
"Ada tiga bayangan yang
bergerak searah?! Jarak mereka memang saling berjauhan, tapi mengapa gerakannya
searah? Siapa yang dikejar dan yang mengejar sebenarnya?!" gumam Suto
dalam kebingungan.
Tetapi kejap berikutnya
Pendekar Mabuk dikejutkan oleh munculnya cahaya kuning yang melompat dari pohon
bambu ke pohon bambu lainnya. Cahaya kuning itu meluncur cepat dalam ketinggian
yang sukar dijangkau. Laaap, laaap, laaap...!
Di samping gerakannya sangat
cepat, perpindahan tempatnya tidak beraturan. Kadang lurus, kadang ke kiri,
kadang nyelonong ke kanan. Bayangan memancarkan cahaya kuning itu berbentuk
seperti gumpalan asap, namun tidak mengepul dan tidak buyar. Bahkan cenderung
seperti benda padat yang dilapisi cahaya kuning seluruhnya. Dari tempat Suto
berdiri, cahaya kuning itu berukuran sebesar buah nangka.
"Sial! Makin bingung saja
aku dibuatnya. Mana yang harus kukejar atau kuikuti gerakannya?! Tapi cahaya
kuning itu juga menarik perhatian dan membuatku penasaran. Apa sebenarnya
cahaya kuning itu?"
Akhirnya Suto memutuskan untuk
mengejar cahaya kuning itu. Tapi gerakan cahaya kuning lebih cepat dari gerakan
bayangan lainnya. Pendekar Mabuk terpaksa kerahkan tenaga untuk menyusul cahaya
kuning dan jika memungkinkan ingin menangkap atau melumpuhkan cahaya kuning
tersebut. Sambil berlari cepat Suto selalu mendongak ke atas mengikuti gerakan
cahaya kuning yang berpindah tempat dengan arah membingungkan.
Tak disadari ternyata dirinya
sampai di sebuah gundukan tanah cadas yang menyerupai bukit rendah. Gundukan
tanah cadas itu mempunyai permukaan tak rata karena banyak bebatuan yang
bertonjolan dan membentuk sekat-sekat sempit. Pendekar Mabuk akhirnya berhenti
di balik bebatuan pipih yang mirip lempengan dinding itu.
Dari atas gundukan tanah cadas
itu, mata Suto dapat melihat sesosok tubuh berpakaian hitam yang berdiri di
tengah tanah datar dikelilingi pohon bambu yang
tumbuh lurus dan renggang itu. Orang berpakaian hitam yang tadi terlihat
bergerak cepat di samping kiri Suto ternyata seorang lelaki berkumis lebat
dengan ikat kepala dari kain batik berbentuk runcing ke atas. Menurut
penjelasan Dewi Kun, bentuk ikat kepala yang runcing ke atas itu adalah ciri
orang-orang Lereng Hitam.
"Kurasa dia memang orang
Lereng Hitam yang sedang dikejar orang Bukit Sulang. Mungkinkah bayangan biru
tadi adalah orang Bukit Sulang?!"
Pendekar Mabuk masih
memperhatikan dari satu celah di antara dua batu pipih. Orang berpakaian hitam
itu tampak kebingungan dan berwajah tegang. Senjatanya yang berupa kampak
digenggam dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merentang bagai
menghadang gerakan lawan.
Tiba-tiba mata Suto menangkap
gerakan halus yang ada di atas salah satu pohon bambu hijau itu. Gerakan halus
tersebut ternyata adalah cahaya kuning yang berkilauan bagaikan emas
menggantung di batang pohon bambu. Karena pancaran sinarnya menyilaukan, maka
Suto Sinting terpaksa mengecilkan pupil matanya untuk menangkap bentuk di balik
cahaya kuning menyilaukan itu.
Tetapi sebelum matanya
berhasil menangkap bentuk asli cahaya kuning menyilaukan itu, tiba-tiba
pandangannya harus berpindah ke arah lain. Di sana muncul seorang berpakaian
serba biru yang berambut panjang dan berkumis serta brewokan. Orang itu
menggenggam sebilah pedang besar dan bersikap menghadang orang berpakaian
hitam.
"Oh, itu tadi orang yang
berlari di sebelah kananku?! Hmmm... dilihat dari sikapnya dalam berhadapan dengan orang berpakaian hitam, tampaknya
mereka bermusuhan. Tapi sebaiknya kutunggu saja di sini apa yang terjadi di
antara mereka berdua."
Jarak Suto dengan kedua orang
itu tak seberapa jauh, sehingga percakapan mereka dapat didengar dari celah dua
batu pipih itu. Yang berpakaian biru berseru lebih dulu dengan nada berang.
"Ke mana pun kau
bersembunyi dan melarikan diri, tetap saja akan bertemu denganku,
Sargulo!"
"Jangan salah duga,
Bawoka! Aku bukan lari dari tantanganmu! Ada sesuatu yang lebih ganas dari
orang- orang Bukit Sulang sepertimu, Bawoka!"
"Kau hanya beralasan
untuk hindari hutang nyawamu, Sargulo! Kau harus menebus kematian kakakku; si
Gembongsuro yang pasti telah kau bunuh secara licik! Tiga lubang kutemukan di
tubuh kakakku; Gembongsuro. Satu di ulu hati, satu di leher dan satu lagi di
Jengah kening. Kau pasti melepaskan senjata rahasia secara sembunyi-sembunyi.
Jika tidak, tak mungkin Gembongsuro tewas di tanganmu!"
"Aku tidak membunuh
Gembongsuro!" bentak si baju hitam yang bernama Sargulo itu. "Kalau
aku bisa membunuh Gembongsuro, mengapa aku harus lari. Justru itu merupakan
kebanggaanku! Jika aku bisa membunuhnya, mengapa aku harus takut padamu!
Bukankah aku akan lebih mudah membunuh adiknya daripada si Gembongsuro sendiri?!"
"Jangan banyak bacot!
Hadapi saja pembalasanku ini...!"
Bawoka baru mau bergerak
mengangkat pedang besarnya, tiba-tiba Suto melihat dari dalam sebatang pohon
bambu keluar cahaya putih yang ternyata adalah sekeping logam berbentuk kelopak
bunga yang merupakan senjata rahasia beracun mematikan itu. Ziiiing...!
Gerakan itu dapat dilihat Suto
dengan jelas, karena pada waktu itu kebetulan Suto sedang menatap gerakan
bayangan merah yang bersembunyi di balik tiga pohon bambu yang tumbuh merapat.
Di depan tiga pohon bambu itu ada sebatang pohon bambu pula yang tumbuh lurus
sendirian, dan dari pohon bambu itulah senjata rahasia itu melesat menghantam
tengkuk kepala Bawoka.
Jraaab...!
"Aaaakh...!" Bawoka
mendelik dengan tubuh kejang. Ia masih memaksakan diri untuk melangkah dekati
Sargulo, tetapi baru dua langkah sudah roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Dari luka di tengkuknya mengalir darah hitam seperti yang dialami nasib kuda si
Keling itu.
Sargulo justru terbengong di
tempat melihat kematian lawannya yang tak diduga-duga itu. Wajah tegang lelaki
bertubuh besar itu membuat Suto Sinting memperhatikan dengan tegang pula.
Sekejap kemudian mata Suto berpindah ke bayangan merah yang bersembunyi di balik tiga bambu yang tumbuh merapat itu.
Namun pandangan itu segera
terhenti pada sebatang bambu yang tumbuh lurus sendirian dalam jarak tak jauh
dari persembunyian si bayangan merah.
Pandangan Suto tertuju di
bagian atas bambu tersebut. Ternyata di sana telah bertengger cahaya kuning
yang sekarang tidak menyilaukan lagi. Cahaya itu meredup dan sosok wujud di
balik cahaya itu menampakkan diri. Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat bocah
kecil berkepala gundul tapi berkulit kuning keemasan sedang berdiri di salah
satu ranting kecil dari pohon bambu itu. Tanpa ilmu peringan tubuh, ranting itu
pasti akan patah ditumpangi tubuh bocah tersebut. Suto sempat terbengong
melompong melihat bocah kecil telanjang dada hanya mengenakan celana model
cawat berwarna kuning keemasan pula. "Bocah Emas...?!" pekik hati Suto
begitu menyadari apa yang dipandangnya sejak tadi.
Bocah yang tingginya hanya
seukuran tinggi pinggul Suto sedang bertolak pinggang memandangi Sargulo. Dan
tiba-tiba pandangan matanya beralih pada sebatang pohon bambu yang tumbuh di
samping kiri Sargulo. Tangan bocah itu menuding ke arah pohon bambu, lalu
bergerak cepat menuding Sargulo. Pada saat itu juga Suto Sinting melihat
sekeping senjata rahasia keluar dari dalam pohon bambu dan menyerang Sargulo.
Ziiiing...!
"O, rupanya dia yang
mengeluarkan senjata rahasia dari batang-batang pohon melalui kekuatan gaibnya.
Mungkin dengan cara memandangi pohon itu, sudah dapat keluarkan pisau dari
pohon tersebut!" gumam Suto Sinting dengan nada kaget. "Dan rupanya
dia pula yang sejak tadi menyebarkan bau wangi cendana. Terbukti bau cendana
sekarang semakin tajam dan semerbak kuat."
Tapi pada saat itu Sargulo
cepat tanggap akan datangnya bahaya dari sisi kirinya. Kampaknya segera
berkelebat ke kiri dengan tubuh bergerak setengah putaran. Wuuuut, trrriing...!
Senjata rahasia itu berhasil
dihalau oleh kampak Sargulo dan mental entah ke mana. Namun bocah di atas pohon
bambu itu menuding pohon lainnya, dam dari pohon itu melesat kembali sekeping
logam berkilat yang mengarah ke punggung Sargulo. Ziiiing...!
Sargulo merasakan ada angin
cepat mengarah ke punggungnya. Dengan gerakan mengibaskan kapak setengah
lingkaran, senjata rahasia itu berhasil terhadang oleh mata kapak tersebut.
Wuuuuuut, trriiing...! Pluk...! Senjata rahasia itu jatuh di depan kaki
Sargulo.
Dua kali Sargulo berhasil
lolos dari serangan maut yang sungguh aneh itu. Tetapi kali ini Bocah Emas itu
melayang cepat dari atas pohon bambu dan menerjang Sargulo dari depan. Wees...!
Bocah itu berkelebat dalam bentuk cahaya merah dan dalam sekejap terdengarlah
suara pekikan suara Sargulo yang kesakitan.
"Uaaaakhh...!"
Jleeeg...!
Bocah itu berdiri di atas batu
setinggi betis. Tubuhnya sudah tidak
bercahaya lagi. Matanya yang bundar kecil itu memandang ke arah Sargulo yang
mengerang kesakitan. Suto Sinting membelalakkan mata juga melihat tangan
Sargulo yang tadi memeganggi kapak telah robek bagai tercabik-cabik dari batas
siku sampai telapak tangan. Kapak pun jatuh depan kaki Sargulo. Tapi yang
membuat Suto heran, tangan Sargulo seperti habis dicakar-cakar oleh kuku binatang
buas sejenis beruang atau singa. Padahal Suto melihat sendiri bahwa tangan itu
tadi hanya disambar oleh cahaya kuning dari Bocah Emas itu.
"Berarti mayat-mayat yang
kutemukan mati dalam keadaan tercabik-cabik itu adalah orang yang dibunuh oleh
Bocah Emas itu sendiri?! Oooh... alangkah ganasnya si Bocah Emas itu?!"
pikir Suto Sinting.
Sargulo terkejut mengetahui
penyerangnya si Bocah Emas. Ia ragu-ragu untuk membalas serangan bocah itu,
karena tentunya Sargulo tahu keistimewaan Bocah Emas tersebut. Tetapi begitu
tangannya yang terluka parah dirasakan sangat sakit, Sargulo menggeram dan
bermaksud menerkam bocah itu dengan satu lompatan bagai seekor singa memburu
mangsanya.
"Haaaahhrr...!"
Bocah Emas itu tiba-tiba juga
melesat maju dengan kecepatan tinggi. Weess...! Ia sengaja menabrakkan diri ke
dada Sargulo. Bruuuss...! Plooss...!
Pendekar Mabuk terbelalak
kaget, ia menyaksikan dengan jelas tubuh bocah itu menembus dada Sargulo hingga
dada itu jebol dan Sargulo pun tumbang tanpa nyawa setelah berkelejot sesaat.
Bocah itu berdiri memunggungi Sargulo tanpa bekas darah. Namun di tangannya
telah menggenggam sesuatu yang merah, dan sesuatu yang merah itu ternyata
adalah jantung Sargulo.
"Gila...?!" Pendekar
Mabuk menggumam lirih dengan tegang, bulu kuduknya pun merinding dan jantungnya
berdebar-debar.
Bocah Emas itu berpaling
memandang mayat Sargulo dengan sorot pandangan mata dingin. Jantung itu segera
dimakannya, dikunyah seenaknya seakan menikmati hidangan yang lezat. Pendekar
Mabuk semakin merinding menyaksikan adegan itu.
"Ternyata bocah itu iblis
yang ganas! Mengapa Ratu Remaslega ingin memiliki bocah itu? Oh, kasihan Elang
Samudera jika tidak tertahan di Kuil Perawan Ganas. Nasibnya pasti akan serupa
dengan Sargulo dan yang lainnya," ujar Suto membatin. Saat memakan jantung
Sargulo, mulut bocah itu berlumuran darah. Tetapi darah tersebut cepat hilang
bagai terserap ke dalam kulit kuningnya itu atau menguap diserap angin. Dalam
sekejap bocah itu bersih kembali tanpa noda darah setetes pun.
"Apa yang harus kulakukan
jika begini?!" pikir Suto Sinting.
Selagi ia berpikir dalam
kebingungannya, tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan merah yang sejak tadi
bersembunyi di balik tiga pohon bambu yang tumbuh merapat itu keluar dari
persembunyiannya. Ternyata orang tersebut memang Dewi Kun. Perempuan itu
mendekati Bocah Emas dari arah belakang.
Pendekar Mabuk menjadi tegang
sekali. "Wah, mati kau, Dewi!" gumamnya tanpa suara.
Pendekar Mabuk cepat-cepat
keluar dari persembunyiannya. Namun Bocah Emas ternyata telah berbalik lebih
dulu menghadapi Dewi Kun. Dari gerakan tangannya yang sedikit merenggang, Suto
dapat menduga apa yang akan dilakukan Bocah Emas itu. Pasti akan menerjang
tubuh Dewi Kun seperti yang dilakukan terhadap Sargulo tadi.
Pendekar Mabuk mendahului
bergerak dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaapp...!
Tepat saat itu si Bocah Emas
juga lakukan lompatan menerjang Dewi Kun. Weess...!
Tapi Pendekar Mabuk lebih
cepat sampai di tempat dan menyambar tubuh Dewi Kun dengan cepat. Wuuut...!
Craaas...! "Aaaakh...!" Dewi Kun memekik. Bocah Emas memang tertambat
menerjang Dewi Kun, tapi angin terjangannya bagai menyebarkan serbuk beling
yang tajam dan merobek lengan Dewi Kun yang tak terhalang tubuh Suto.
Zlaaap, zlaaap...! Suto
Sinting membawanya menjauhi tempat itu, yakni ke atas gundukan tanah cadas
tempatnya bersembunyi tadi.
"Lepaskan aku! Aku harus
menangkap Bocah Emas itu!" Dewi Kun meronta dengan suara keras.
"Kau akan mati jika
mendekati bocah itu! Apa kau tak tahu keganasan bocah itu?!" bentak Suto
Sinting.
"Dia bisa dibujuk! Dia
tidak akan ganas terhadap orang yang bersikap baik kepadanya!"
"Lihat lukamu! Ini
menandakan dia tak bisa diajak ramah oleh siapa pun!"
"Ini karena kau datang
mengejutkan dirinya dan membuatnya liar!" sentak Dewi Kun sambil meronta
dan berhasil melepaskan diri dari genggaman tangan Suto. Ia segera keluar dari
balik bebatuan pipih itu. Pendekar Mabuk mengejarnya sambil berseru
mengingatkan sekali lagi.
"Dewi Kun, lukamu beracun
ganas! Tinggalkan bocah itu!"
Dewi Kun baru saja mau
menuruni gundukan cadas yang membukit, tapi langkahnya ternyata sudah dihadang
oleh si Bocah Emas yang memandang dengan sorot mata sedingin salju.
"Hai, Bocah
Emas...," Dewi Kun mencoba bersikap ramah dan tersenyum kaku. Pendekar
Mabuk terpaksa hentikan gerakannya dan ingin melihat sejauh mana Dewi Kun bisa
membujuk bocah itu.
"Jangan marah kepadaku,
Bocah Emas. Aku bukan orang Lereng Hitam atau orang Bukit Sulang. Aku adalah
orang Kuil Perawan Ganas. Aku tidak bermusuhan denganmu, Bocah Emas,"
seraya Dewi Kun melangkah setapak demi setapak.
"Kau ingin menangkapku
juga, Iblis Betina!" seru Bocah Emas dengan suara kecilnya yang lengking.
"Oh, tidak begitu, Bocah
Emas. Aku hanya akan merawatmu. Aku ingin mengangkatmu sebagai anak asuh. Mari,
dekatlah padaku dan jangan memusuhiku, Bocah Emas," bujuk Dewi Kun sambil
terus mendekati si Bocah Emas.
"Kau Dewi Kun, salah satu
dari tiga gadis kembar penghuni Kuil Perawan Ganas!" seru Bocah Emas.
"Ya, benar. Aku Dewi Kun!
Kita pulang ke kuil, yuk?!"
"Kau perempuan busuk!
Kerjamu hanya mencari kepuasan dari seorang lelaki!"
Dewi Kun kaget, melirik Suto
yang ada di belakangnya. Ia tampak malu ketika Suto sunggingkan senyum tipis.
"Jangan berkata begitu,
Bocah Emas. Sebaiknya lupakan saja tentang itu dan mari kita hidup bersama di
dalam kuil yang akan membuatmu aman dari gangguan siapa pun!"
"Kau penentang kekuasaan
Ratu Lembah Girang! Kau ingin memelihara diriku untuk menyerang Ratu Lembah
Girang dan merebut kekuasaan di sana! Kau pun harus mati, Dewi Kun!"
"Bocah Emas, kau salah
duga. Aku. "
Weeess. ! Bocah Emas itu bagai
tak sabar menunggu
ucapan Dewi Kun. Ia langsung
melompat dan menerjang bagian dada Dewi Kun.
Tetapi Suto Sinting sangat
waspada. Ketika kedua tangan bocah itu sedikit merenggang pertanda ingin
lakukan lompatan, Suto segera berkelebat menyambar tubuh Dewi Kun.
Zlaaap...! Wuuut !
"Aaaakh...!" Suto
Sinting dan Dewi Kun sama-sama terpekik keras. Angin terjangan itu bagaikan
serat-serat mata pisau yang merobek kulit tubuh mereka.
"Gila! Kekuatan iblis
macam apa ini?!"
Punggung Suto robek bagai
disabet kuku-kuku setajam pisau, sedangkan pundak Dewi Kun semakin koyak dan
menyemburkan darah ke atas pertanda robekan itu sangat dalam.
Suto meletakkan Dewi Kun yang
kehilangan tenaga karena rasa sakit begitu tinggi.
"Sutooo... selamatkan
ak... aku. "
"Bertahanlah! Ini
kesalahanmu sendiri!" ujar Suto dengan suara berat karena sambil menahan
sakit. "Seandainya kau tidak pergi meninggalkan aku, kita dapat selalu
berunding dalam menentukan langkah selanjutnya!"
"Maa... maafkan aku. Aku
pergi saat... saat kau memeriksa keadaan tempat si Keling mati tadi, kar...
karena... karena aku melihat Gembongsuro melarikan diri. Tap... tapi ternyata
Gembongsuro mati tanpa kuketahui siapa pembunuhnya dan... dan aku segera
melarikan diri lagi begitu melihat cahaya emas di atas pohon... ooouh, sakit
sekali sekujur tubuhku, Suto. Ak... aku tak kuat...!"
"Bertahanlah! Minumlah
tuak ini, dan...," Suto Sinting hentikan ucapannya, ia tak jadi meminumkan
tuak ke mulut Dewi Kun. Karena pada saat itu, Bocah Emas terbang dengan cepat
ke arah Pendekar Mabuk.
Dengan menahan rasa sakit di
punggung, Suto segera menghantamkan bumbung tuaknya ke arah Bocah Emas itu.
Wuuuut...! Blaaarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika tubuh
Bocah Emas itu dihantam dengan bumbung tuak. Pendekar Mabuk terpental ke
belakang dan terguling-guling. Dadanya terasa sakit bagaikan dihantam palu
godam, ia memuntahkan darah kental dari mulutnya. Sedangkan Bocah Emas itu juga
terpental jauh dan terjepit di sela- sela dua dari tiga pohon bambu yang tumbuh
merapat itu.
"Eaaaakh...!"
Bocah Emas berseru
menyeramkan, ia sedang merentangkan dua pohon bambu itu untuk bisa loloskan
diri. Pendekar Mabuk tak mau ambil risiko terlalu berbahaya, ia segera menyambar
tubuh Dewi Kun dan membawanya lari pulang ke Kuil Perawan Ganas.
Zlaaap, zlaap, zlaaap...! Luka
Dewi Kun telah menjadi hitam, terutama luka di lengannya. Dewi Kun dalam
keadaan tak sadar. Wajahnya pucat bagaikan mayat. Sementara itu, tenaga Suto sendiri
makin lama semakin berkurang. Gerakannya mulai lemah dan lamban. Padahal di
belakangnya, si Bocah Emas tampak sedang lakukan pengejaran dalam bentuk cahaya
emas.
Berhasilkah Suto meloloskan
diri dari pengejaran si Bocah Emas itu? Haruskah ia dan Elang Samudera tetap
berusaha menangkap Bocah Emas dan diserahkan kepada Ratu Remaslega?
Bocah Emas akan semakin
mengganas dalam episode mendatang: "Bocah Titisan Iblis". Tentu saja
lebih seru, lebih menegangkan dan... so pasti lebih panas lagi dong!
SELESAI