1
LEBIH dari dua puluh orang
mengarak seorang kakek berusia sekitartujuh puluh tahun. Kakek berbadan kurus
dan mengenakan pakaian abu-abu itu dalam keadaan tubuhnya dililit tali, hingga
kedua tangannyatak bisa bergerak. Lehemya dikalungi tambang lalu dituntun
seperti menuntun kambing bandot.
"Gantung dia! Gantung
saja! Ayo, gantung! Sekali gantung tetap gantung!" seru mereka bersahutan
dengan hentak-hentakkan kepalan tangannya ke atas.
Para pengarak itu bukan saja
terdiri dari orang dewasa, malah ada yang masih remaja ikut-ikutan mengarak dan
berteriak. Tapi yang menuntun kakek berambut putih pendek itu adalah seseorang
yang berseragam keprajuritan, membawa pedang di pinggang. Sedangkan beberapa
prajurit bertombak mengamankan daerah sekeliling. Dari ciri pakaiannya dapat
diketahui bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Kadipaten Balungan, adipatinya
masih berusia sekitar lima puluh tahun kurang, bernama Adipati Janarsuma.
Wajah tua yang digiring ke
bukit tak seberapa tinggi itu tampak bersungut-sungut bagai memendam
kedongkolan. Bahkan adayangmengatakan,
"Mau digantung bukannya
sedih malah cemberut! Hoi, sedihlah kau! Kau ini mau digantung! Jangan
cemberut!"
"Sesukaku! Mau cemberut,
mau sedih, mau tersenyum, yang mau digantung aku, bukan kau! Kenapa kau yang
ribut sendiri?!" ujar sang kakek sambil tetap melangkah dalam tuntunan
tambang yang dipegangi seorang prajurit berpedang itu.
Pendekar Mabuk memperhatikan
dari jarak tak seberapa jauh. Iageli sendiri mendengarperdebatantadi. Ia masih
tetap kalem dengan pikiran mencoba mencari apa kesalahan si kakek bergigi depan
tinggal dua itu. Sampai akhirnya rombongan pengarak itu lewat di depannya. Suto
Sinting menyempatkan diri menegur salah seorang dari mereka.
"Maudiapakan itu kakek,
Kang?"
"Mau digantung. Masa' mau
dicuci?!" jawab orang yang lebih tua usianya dari Pendekar Mabuk.
"Apa kesalahannya sampai
orang setua itu mau digantung?"
"Mempeikosa istri Kanjeng
Adipati."
"Ah, yang benar saja,
Kang?! Masa' orang setua dia masih bisa memperkosa?"
"Kalau tak percaya
cobalah sendiri!"
"Maksudmu kau menyuruhku
mencoba memperkosa istri Adipati?"
"Goblok! Maksudku,
cobalah tanya sendiri pada si Tua Bangka."
"Yang mana yang namanya
Tua Bangka itu, Kang?"
"Ya itu, yang mau
digantung itu!" sentak orang tersebut agak kesal melayani pertanyaan
Pendekar Mabuk.
Ia belum tahu, atau memang
tidak tahu bahwa pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan dan celana putih
sambil menyandang bumbung tuak di punggung itu adalah sang Pendekar Mabuk,
murid si Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting itu. Karenatidak tahu
maka ia berani bentak-bentak Suto Sinting. Seandainya ia tahu, mungkin ia akan
bicara sopan dan lemah lembut. Sebab nama Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu
sudah kesohor sebagai pendekar sakti yang ilmunya gila-gilaan.
Ternyata di atas bukit kecil
itu sudah disediakan tiang gantungan, berbentuk tiang gawang dengan tali jerat
terjulur di tengahnya. Di bawah tali jerat itu terdapat sebuah bangku bundar
untuk tempat berdiri orang yang akan digantung. Bangku bundar itu akan
ditendang atau ditarik oleh seorang petugas penggantungan, sehingga orang yang
lehernya telah dijerat tali gantungan akan tergantung-gantung seperti kentongan
dikelurahan.
Tua Bangka dipaksa naik ke
atas bangku bundar itu. Dengan wajah masih bersungut-sungut dan mata
memancarkan dendam, ia menuruti gertakan petugas penggantungan.
"Masukkan kepalamu ke
lingkaran tali itu!" bentak petugas penggantungan.
"Mana bisa?! Tanganku
terikat begini kok disuruh memasukkan kepala ke tali. Mengambil talinya saja
susah!" Tua Bangka ganti membentak.
"Kau saja yang
mengalungkan tali itu," perintah petugas penggantungan kepada seorang
prajurit.
"Pakai apanaiknya?
Gantungannyatinggi begitu?!"
"Sini, naik di
pundakku!"
Prajurit itu berdiri di pundak
orang bertubuh kekar yang bertugas sebagai penggantung nanti. Dengan pelan-
pelan orang yang diinjak pundaknya berdiri. Si prajurit terayun-ayun mau jatuh
dan segera berpegangan kepala si Tua Bangka.
"Dasar prajurit tak tahu
sopan, kepala orang tua dibuat pegangan!" gerutu si Tua Bangka.
"Waaah... tidak bisa,
Kang!" seru prajurit itu kepada orang yang di bawahnya.
"Kenapatidak bisa?!"
"Talinya ketinggian!
Tidak akan bisa masuk sampai lehernya. Paling bisa hanya sampai batashidung
saja."
"Manaada orang digantung
sebatas hidung, Tolol!"
"Habis bagaimana kalau
memang gantungannya ketinggian? Turun dulu, turun dulu...."
Setelah prajurit itu turun
dari pundak orang bertubuh kekar tanpa baju itu, segera terdengar seruan si
orang kekartersebut.
"Siapa yang bikin
gantungan ini?! Kenapa bisa ketinggian?! Goblok!"
"Tenang saja, jangan
marah dulu. Toh talinya masih bisa diturunkan sedikit," ujar kepala
prajurit yang berpedang di pinggang. Lalu, ia menyuruh anak buahnya untuk
menurunkan tali gantungan.
"Barjo... Bar, turunkan talinya
biar bisa masuk ke leher si Tua Bangka!"
Sementara mereka sibuk
membetulkan tali gantungan, orang-orang yang tadi mengarak Tua Bangka saling
berkasak-kusuk, bahkan ada yang berteriak seenaknya.
"Huuhh.... Terlalu lama!
Penontonkecewa!"
"Gantung saja rambutnya,
kalau jebol kan mati juga!" seru yang lain.
Pendekar Mabuk masih diam saja
memperhatikan kesibukan para prajurit yang baginya cukup menggelikan itu. Ia
menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bergeser agak ke depan, karena saat
itu tali gantungan sudah dibetulkan dan sudah dimasukkan sampai ke leher si Tua
Bangka.
Ketika prajurit memberi
sambutan alakadarnya sebelum acara penggantungan dimulai. Ia berseru di depan
mereka dengan berdiri di atas sebuah batu yang ada di sampingtiang gantungan.
" Saudara-saudara
sekalian, hari ini saudara-saudara akan menjadi saksi keadilan Kanjeng Adipati
kita dengan menyaksikan acara penggantungan atas diri si Tua Bangka ini. Sekali
lagi perlu ditegaskan, bahwa Tua Bangka dijatuhi hukuman gantung karena mencoba
memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, yaitu istri Kanjeng Adipati Janarsuma."
"Setuju! Setuju! Gantung
saja penjahat tak tahu kesusilaan itu!"
"Sebelum acara
penggantungan dimulai, mari kita mengheningkan cipta sebentar untuk mendoakan
semoga arwah Tua Bangka diterima di sisi Yang Maha Kuasa. Berdoaaa...
mulai!"
"Tunggu, tunggu...!"
seru salah seorang. "Tidak usah didoakan. Arwah orang jahat biarkan saja
masuk neraka!"
"Benar. Iya, benar tak
usah didoakan!" sahut yang lain.
"Baiklah. Kalau begitu, hukuman
gantung akan segera dimulai. Tapi sebelumnya, mari kita dengarkesan dan pesan
dari orang yang akan kita gantung ini...."
"Aah...tak usah, tak
usah...!" seru mereka. "Langsung gantung saja! Biar cepat
selesai!"
"Baiklah,
Saudara-saudara... kita mulai saja tanpa mendengarkan pesan dan kesan si Tua
Bangka ini."
Kemudian petugas penggantungan
yang berbadan kekar dan bertubuh tinggi tanpa baju itu segera membungkuk
memegangi kaki bangku yang dipijak Tua Bangka, ia bersiap menarik bangku
tersebut setelah mendapat aba-aba dari ketuaprajurit.
Ketua prajurit berseru lebih
keras lagi. "Hari ini, hukuman gantung terhadap si Tua Bangka dilaksanakan
sebagai tindakan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Kanjeng Adipati
sekeluarga. Setelah hitungan ketiga, hukuman segera dilaksanakan."
Lalu ia mengambil napas
panjang dan berseru, "Satuuu ...... "
Orang-orang diam tak bersuara.
Tua Bangka menggerututak jelas sambil mulutnya cemberut.
"Duaaa...!"
"Hentikan...!"
tiba-tiba ada seruan yang membuat suasana sepi itu menjadi bergemuruh seperti
lebah menggerutu. Semua matatertuju kepada si pemilik suara yang dianggap
berani menahan aba-aba sang ketua prajurit.
Pendekar Mabuk segera tampil
ke depan mendekati tiang gantungan. Empat prajurit bersenjata tombak segera menghadang
di depan Suto Sinting, membentuk pagar pengaman dengan tombak diacungkan ke
arah depan.
Sang ketua prajurit memandang
heran ke arah Suto, demikian pula sang petugas penggantungan yang sudah
siap-siap menarik bangku. Tua Bangka sendiri ikut terperanjat melihat anak muda
tampan yang berani menghentikan acara tersebut.
"Apa maksudmu
menghentikan hitunganku, Anak Muda?!" tegur ketua prajurit dengan sentakan
galaknya.
Murid si Gila Tuak itu tidak
langsung menjawab melainkan menenggak tuaknya beberapa teguk. Sementara itu
beberapa mulut terdengar berkasak-kusuk dengan nadategang.
"Apakah dia si Pendekar
Mabuk, kok pakai minum tuak segala?"
"Sepertinya memang
Pendekar Mabuk, ciri bumbung tuak dan pakaiannya memang seperti itu."
"Wah, gawat kalau memang
dia si Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Pasti bakal jadi geger kalau si ketua
membentak-bentaknya"
"Ah, masa' Pendekar Mabuk
sampai di daerah kita ini? Mungkin dia hanya orang yang mirip Suto Sinting atau
yang sengaja meniru penampilan Pendekar Mabuk, biar ditakuti orang."
Di antara para prajurit pun
terjadi kasak-kusuk yang sama. Merska ragu dan bahkan tidak percaya bahwa
pemuda berbaju coklat itu adalah Pendekar Mabuk. Mereka juga menduga ada se
seorang yang meniru penampilan Suto biar dianggap Pendekar Mabuk.
"Aku minta hukuman
gantung ini dihentikan untuk sementara!" kata Suto Sinting kepada si
ketua. "Jangan sampai kalian menggantung orang tak bersalah. Menggantung
orang yang tak bersalah merupakan tindakanyangkejam dan patut ditentang."
"Yang kutanyakan, siapa
dirimu! Bukan soal gantungan!" bentak sang ketua prajurit.
Dengan senyum kalem, Suto
Sinting, menjawab, "Namaku Suto...!"
Prajurit di depan menyebut,
"Pakai sinting apa tidak?!"
"Ya, pakai!" jawab
Pendekar Mabuk. "Namaku Suto Sinting!"
"Ah, bukan. Suto Manyun,
barangkali!" celetuk seseorang.
"Suto Sinting kok!
Sumpah!" kataPendekar Mabuk.
Ketua prajurit mendekati
dengan langkah penuh kegeraman.
"Jangan mengaku-aku
sebagai Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ya?! Bisa dibacok para pengagumnya kau!"
ia menuding-nuding Suto tanpa ada sopannya sedikit pun.
"Aku bukan mengaku-aku
sebagai Pendekar Mabuk. Aku memang Pendekar Mabuk, Paman."
Ada yang nyeletuk, "Kok
dari tadi tidak mabuk- mabuk?!"
Seruan itu tidak dihiraukan.
Sang ketua segera berkata kepada Suto,
"Kami tidak percaya kalau
kau Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting. Kuingatkan padamu, Anak muda...
pergilah yang jauh dari sini dan jangan mengganggu jalannya hukuman gantung
ini!"
Pendekar Mabuk malahan
cengar-cengir membuat orang semakintidak yakin kalau dia adalah murid si Gila
Tuak.
Petugas penggantungan tak
sabar menahan kejengkelannya, ia segera melompat dan tiba-tiba sudah berdiri di
depan Suto. Jleeg...!
"Mau pergi atau mau
kugantung sekalian kau, hah!" bentaknya dengan matamendelik.
" Sabar dulu, Kang.
Sabarlah dulu... aku hanya ingin mengingatkan kau dan yang lainnya agar jangan
menggantung orang yang tidak bersalah. Kasihan dia. Sudah kurus, ompong, eeh...
digantung lagi! Padahal orang setua dia tidak usah digantung pun akan mati
sendiri."
"Dia memang terbukti
bersalah, mau memperkosa Gusti Ayu, istri Adipati kami! Mengapa kau masih mau
membelanya, hah?!" bentak si petugas penggantungan dengan kasar.
"Orang setua dia mana
mungkin mampu memperkosa?! Bayangkan saja, usianya sudah setua itu, badannya
sudah sekurus itu, mana mungkin masih punya tenaga kejantanan untuk lakukan
perkosaan? Jangankan memperkosa, dikasih secara cuma-cuma saja belum tentu dia
mampu mengerjakan!"
Geerr...! Beberapa orang
tertawa mendengar kata- kata Pendekar Mabuk. Bahkan Tua Bangka ikut
terkekeh-kekeh tanpa suara yang jelas. Tawa mereka membuat petugas
penggantungan dan prajurit lainnya menjadi semakin dongkoldan geregetan.
Si ketua prajurit keluarkan
perintah kepada petugas penggantungan,
"Singa Pama, hancurkan
mulutnya!"
Orang berbadan kekar tanpa
baju yang temyata bernama Singa Pama itu segera melayangkan pukulannya lurus ke
mulut Suto Sinting.
Wuuuttt...!
Suto Sinting menghindar dengan
meliukkan badan seperti orang mabuk yang ingin tumbang. Weesss...! Pukulan itu
tidak mengenai sasaran. Suto tetap di tempat. Ketika tegak kembali, kaki Singa
Pama menyambutnya dengan tendangan lurus ke depan.
Wuuttt...!
Badan si tampan itu meliuk
kembali bagaikan orang mabuk sempoyongan. Weesss...! Tendangan itu meleset
kembali. Singa Parna menjadi tambah jengkel. Maka diserangnya Pendekar Mabuk
dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi.
Wuuutt, wuutt, wesss...! Wuuk,
wukk, wuuss...!
Tak ada satu pun serangan yang
bisa kenai tubuh Pendekar Mabuk. Padahal kaki Suto tidak bergeser sedikit pun,
hanya badannya yang meliuk-liuk dengan cepat hindari serangan beruntun itu.
Singa Parna sendiri menjadi ngos-ngosan dan merasa semakin dongkol karena
serangannya yang bertubi-tubi itu tidak ada yang dapat mengenai sasaran.
"Monyet kurap kau!"
bentaknya. Lalu ia menyerobot tombak seorang prajurit tak jauh darinya.
Weett...! Dalam jarak satu tombak kurang, ia menghujamkan tombak itu ke perut
Suto. Kaki kiri Suto bergeser ke samping. Weesss...! Tombak meleset dari sasaran.
Singa Pama penasaran dan menghujamkan tombak itu secara bertubi-tubi.
Suuut, suut, suutt, wettt,
weett, wuuss... weesss...!
Teb! Tombak berhasil dikempit
pakai ketiak Suto Sinting, lalu disentakkan menyamping. Seet...! Kraakkk...!
Tombak pun patah. Mata mereka
terbelalak. Suara mereka mengaum kagum. "Woooww...?!"
Senyum Suto Sinting masih
mengembang menampakkan ketenangannya Ketua prajurit mundur beberapa tindak,
prajurit lainnya ikut mundur dengan wajah tegang. Singa Parna mau tak mau ikut
mundur juga karena merasa mau ditinggal teman-temannya. Wajah mereka memandang
dalam rona ketakutan. Tapi si ketua prajurit masih coba-coba tunjukkan sisa
wibawanya dengan membentaktak sekerastadi.
"Apamaumu sebenarnya,
Orang Gila?!"
"Batalkan hukuman gantung
ini!"
"Tidak bisa! Tua Bangka
bersalah dan Kanjeng Adipati telah jatuhi hukuman gantung kepadanya, kami harus
melaksanakan!"
"Baiklah, kalau begitu...
bebaskan dia dan gantilah aku yang digantung."
"Hahh...?!" semua
orangterperangahkaget.
"Bocah gendeng! Yang
bersalah saja membela diri supaya tidak dihukum gantung, dia malah minta
digantung. Kalau bukan bocah gendeng tidak ada yang berani senekat itu!"
gerutu seseorang di belakang Suto Sinting.
Ketua prajurit berunding
dengan Singa Parna dan beberapa anak buah lainnya.
"Terlepas dia benar-benar
Pendekar Mabuk atau hanya bocah ingusan yang mabuk, tapi dia sangat berbahaya
bagi kita. Bisa-bisa menimbulkan korban di antara kita. Sebaiknya kita turuti
saja kemauannya.
Biarlah kita lepaskan si Tua
Bangka dan kita ganti dia sebagai orang yang kita gantung!"
"Terserah keputusanmu.
Yang pentingjangan sampai kami disalahkan oieh Kanjeng Adipati," kata
Singa Pama.
Para penonton menunggu
keputusan dengan tegang. Satu dan yang lainnya saling berbisik-bisik membicarakan
tuntutan pemuda tampan itu. Ada juga yang berkasak-kusuk membicarakan tentang
hilangnya jemuran di belakang rumah. Tapi mereka akhirnya menghadap ke arah
tiang gantung lagi setelah ketua prajurit berdiri di batu tinggi, tempat ia
berdiri semula.
"Saudara-saudara, mohon
perhatian! Mohon perhatian sebentar!"
Suasana hening sejenak.
"Saudara-saudara
mendengar sendiri tuntutan bocah sinting itu. Dia bersedia menggantikan hukuman
si Tua Bangka. Jadi, daripada ribut-ribut, tak baik didengar tetangga, maka kami
setuju untuk menggantikan si Tua Bangka dengan bocah sinting itu!"
Lalu dengan suara keraspenuh
wibawa, ketua prajurit keluarkan perintah kepada Singa Parna yang masih
berwajah geram itu.
"Singa Parna, lepaskan si
Tua Bangka dan ganti bocah itu yang kita gantung!"
"Tidak!" seru Tua
Bangka. "Bocah itu tidak tahu menahu masalah ini. Jangan dia yang
dijadikan korban. Aku saja yang digantung, biar Adipati kalian puas melihat
keputusan lalimnya itu!"
"Goblok!" seru salah
seorang penonton. "Mau dibebaskan biar bisa hidup kok malah ngotot!
Huuh... dasar Tua Bangka tidak tahu diri!"
"Kenapa jadi kau yang
sewot, Kang?!" tegur anak muda di sampingnya.
"Habis aku jengkel sekali
dengan si Tua Bangka itu! Gobloknya melebihi ayam makan pedang!" jawabnya
sambil bersungut-sungut.
Seruan itu tidak membuat
keputusan berubah. Bahkan usul Tua Bangka tak dihiraukan oieh ketua prajurit,
ia segera dibebaskan, Suto Sinting yang menggantikan. Sebelumnya Suto sempat
temui Tua Bangka untuk menitipkan bumbung tuaknya.
"Tolong bawa bumbung tuak
ini! Jaga baik-baik, Tua Bangka."
"Tidak mau!" sentak
Tua Bangka. "Lebih baik aku yang digantung daripada disuruh membawa
bumbung tuakmu."
"Tua Bangka, aku tahu kau
tidak bersalah. Aku melihat kebenaran di pihakmumelalui so rot matamu dan air
mukamu itu. Bawalah bumbung tuak ini..., aku punya rencana sendiri,"
kalimat terakhir itu bernada bisik. Akhirnya orang tua berkulit keriput
itumenurut apakata Suto. Ia membawakan bumbung tuaknya dan membiarkan Suto
Sinting diikat sekujur tubuhnya, hingga tangannya tidak bisa bergerak lagi.
Kemudian ia dibawa naik ke bangku bundar itu.
"Waah... talinya
kependekan. Naikkan lagi tali gantungan itu!" seru Singa Parna. Akhirnya
mereka membongkar ikatan tali gantungan dan meninggikan sesuai ukuran tinggi
tubuh Pendekar Mabuk
"Bikin susah saja bocah
sinting itu! Tali sudah pas buat menggantung, gara-gara digantikan dia jadi
harus dibongkar lagi. Huuh...! Rasa-rasanya aku kepingin mencolok matanya pakai
tombak!" gerutu orang yang membongkar tali.
Kini tali penjerat leher sudah
dikalungkan. Suto Sinting tetap tenang tanpa lakukan pemberontakan apa pun,
tanpa perasaan sedih sedikit pun. Mereka memandang dengan penuh rasa kagum,
namun ada juga yang punya rasa tak suka menganggap Suto bocah bodoh yang menjengkelkan
hati.
"Hukuman gantung sebagai
wakil si Tua Bangka segera dilaksanakan!" teriak ketua prajurit.
"Sattuuu... duaaa... tigaaa...!"
Singa Parna tidak menarik
bangku yang diinjak Suto Sinting, melainkan menendangnya sebagai luapan kejengkelanhatinyatadi.
Braakk...!
Kaki bangku patah seketika
setelah ditendang Singa Pama. Maka tubuh Suto Sinting pun tergantung,
lehernyaterjerat tali gantungan. Seettt...!
"Huuu...!"
orang-orang menggumam puas.
"Mampuslah kau!"
teriak yang jengkel.
"Selamat jalan, Bocah
sinting!" seru yang lain.
Tua Bangka tertegun bengong
melihat tubuh Suto Sinting tergantung dengan kepalaterkulai mataterpejam, tapi
mulutnya tidak menganga. Suto bahkan seperti sedang menyunggingkan senyum
tipis. Dan mereka pun menjadi terheran-heran melihat senyum itu kian melebar.
Bahkan mereka menjadi tersentak kaget ketika Suto Sinting membukamatanya.
Blaakk...!
"Haahh...?!" seru
mereka serentak.
Pendekar Mabuk memandangi
mereka dengan senyum jelas-jelas mekar di bibirnya. Wajahnya tidak menjadi
pucat walau sudah tergantung sepuluh helaan napas lamanya Bahkan ia berkata
kepada si Tua Bangka,
"Awas, jangan miring
bumbung itu nanti tuaknya tumpah"
Semakin tegang wajah mereka,
semakin diliputi perasaan takut hati mereka. Tubuh yang jelas-jelas tergantung
dengan kaki tanpa menapak apa pun masih bisa bicara sesantai itu. Tentu saja
ketua prajurit pun menjadi sangat ketakutan.
"Celaka! Dia pasti
siluman iseng! Cepat kabur! Lariii...!"
Mereka tidak tahu kalau Suto
menggunakan jurus 'Layang Raga' yang membuat tubuhnya bisa mengambang di udara.
Mereka menganggap Suto Sinting hantu yang gentayangan di siang hari. Maka satu
seruan 'lari' membuat mereka bubar serentak, saling tabrak, saling injak, gaduh
sekali suasananya. Ada yang menabrak pohon, ada yang jatuh tersungkur lalu
dilewati delapan pasang kaki. Bahkan ada yang tertusuk tombak secara tidak
sengaja, Lalu menjerit memegangi pahanya yang tertusuk tombak. Ia segera
digotong oleh temannya. Salah seorang yang sudah berlari jauh
terpaksa kembali lagi ke dekat
tiang gantung.
"Sandalku
ketinggalan!" ia memungut sandalnya dan kabur dengan secepat-cepatnya.
Yang tinggal di situ hanya Tua
Bangka. Bengong- bengong, memandang ke sana-sini seperti orang pikun. Akhirnya
ia memandang Suto Sinting dan terkejut melihat Suto masih hidup.
"Hahh...?!" lalu ia
jatuh terkulai di tanah dengan lemas. Rasa kaget yang terlambat justru membuat
Pendekar Mabuk tertawa geli.
"Hei, Tua Bangka...
lepaskan tali pengikat tanganku ini, jangan duduk santai begitu!" kataSuto
Sinting.
Tua Bangka geleng-geleng
kepala dengan wajah begonya.
"Minum tuakku sedikit
biar kau tidak linglung!" kata Suto.
Dengan gemetar Tua Bangka
menenggak tuak Pendekar Mabuk.
"Sedikit saja! Jangan
dihabiskan,Tolol!"
Tua Bangka sadar sudah terlalu
banyak menenggak tuak. Akhirnya ia hentikan perbuatan itu, napasnya
terengah-engah. Hatinya menjadi tenang. Kemudian ia melepaskan tali pengikat
tubuh Suto. Tangan Suto pun melemparkan tali penjerat leher, dan ia bergerak
turun pelan-pelan tanpa satu lompatan sedikit pun. Tua Bangka memandang tak
berkedip gerakan tubuh yang turun secara pelan-pelan itu.
"Ck, ck, ck..." ia
geleng-geleng kepala di depan Suto Sinting.
"Jurus apa yang kau pakai
itu, Anak Muda? Maukah kau mengajariku?"
***2
KAKEK bergigi depan tinggal
dua itu akhirnya mengikuti Suto Sinting. Padahal Suto Sinting sudah berkata
kepadanya, "Kalau mau pergi ke suatu tempat, pergilah sana. Tak perlu
mengikuti aku, Tua Bangka. Aku mau ke Pulau Jelaga, menolong seorang teman yang
dalam kesulitan."
"Sebagai tanda terima
kasihku atas tindakanmu menyelamatkan nyawaku, aku ingin ikut kau ke mana pun
kau pergi, Suto."
Itulah sebabnya Suto Sinting
melangkah bersamaTua Bangka, karena ia tak bisa menolak keinginan kakek
berpakaian abu-abu itu. Dalam perjalanannya, Suto Sinting sempat bertanya
kepada Tua Bangka tentang tuduhan memperkosa itu.
"Sebenarnya, seperti apa
yang kau katakan kepada mereka, aku tidak mungkin bisa memperkosa Gusti Ayu
Trahsumuning, sebab aku sudah... sudah tidak segesit dulu."
"Apa maksudmu tidak
segesit dulu?"
"Artinya, kemampuanku
memberi kemesraan kepada seorang perempuan sudah tidak ada. Sudah mati."
"Ooo...," Suto
Sinting tertawa geli setelah memahami maksud kata-kata si Tua Bangka.
"Jangankan disuruh memperkosa,
diberi secara cuma- cuma saja aku hanya bisa geleng-geleng kepala,"
sambung Tua Bangka.
"Lalu apa yang membuat
Adipati Janarsuma menjatuhi hukuman gantung padamu?"
"Rasa sirikhati!"
"Sirik hati
bagaimana?" desak Suto Sinting.
Tua Bangka sengaja berhenti di
bawah pohon rindang, sekalian meluruskan napasnya yang bengkok karena
perjalanan melelahkan itu. Mau tak mau Pendekar Mabuk ikut berhenti dan
menenggak tuaknya. Tua Bangka terang-terangan meminta tuak itu karena haus,
Suto Sinting memberikannya beberapateguk.
"Aku ditangkap oleh
prajurit kadipaten yang dipimpin Branjang Kawat pada saat aku merapatkan
perahuku ke pantai," ujar Tua Bangka.
"Branjang Kawat itu ketua
prajurit yang tadi mempimpin hukuman gantung?"
"Bukan. Branjang Kawat
itu prajurit laga andalan sang Adipati."
"O, tunggu dulu... jadi
kau punya perahu, Tua Bangka?"
"Ya. Aku menyimpannya di
Teluk Karang. Karenanya kusarankan kau menuju ke arah barat daya, karena Teluk
Karang ada di sana. Kau bisa gunakan perahuku untuk menyeberang ke Pulau
Jelaga."
"Ooo... paham aku kalau
begitu. Lalu, atas tuduhan apa kau ditangkap oleh Branjang Kawat?" tanya
Suto yang masih penasaran, ingin tahu siapa sebenarnya Tua Bangka itu.
"Dulu aku pernah mengabdi
kepada sang Adipati sebagai juru taman. Tapi baru tiga purnama sudah dipecat,
karena aku dianggap malas kerjaku hanya nonton Branjang Kawat melatih ilmu
kanuragan kepada para prajurit kadipaten. Setelah beberapa waktu berlalu,
tiba-tiba aku dicari mereka kembali dan ditangkap atas tuduhan mencuri sebuah
pusaka. Padahal waktu aku pergi dari istana kadipaten, aku tidak mencuri
apa-apa kecuali sebungkus nasi untuk bekal diperjalanan."
"Pusaka apa
maksudnya?" Suto Sinting makin tertarik.
"Nama pusaka itu adalah
Kapak Setan Kubur."
Suto terkejut mendengar nama
pusaka tersebut. "Kapak Setan Kubur pernah kudengar dari mulut
Ayunda?" pikirnya, "Kalau tak salah ingat, seseorang yang mempunyai
ilmu 'Mahkota Neraka' hanya bisa dibunuh oleh Kapak Setan Kubur. Dan ilmu
'Mahkota Neraka' dimiliki oleh Gandapura, manusia titisan raksasa yang doyan
makan daging manusia dan sekarang kabarnya sedang mengamuk di Pulau Jelaga,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan Tanpa Ajal").
Tapi, apa benar Kapak Setan Kubur pernah dimiliki oleh Adipati Janarsuma?!"
Tua Bangka menjelaskan,
"Aku tidak tahu apakah
sang Adipati benar-benar punya pusaka seperti itu atau tidak, yang jelas aku
dipaksa menyerahkan Kapak Setan Kubur. Tentu saja aku kebingungan dan tak bisa
menuruti permintaan sang Adipati. Lalu, untuk menutup kabar tentang Kapak Setan
Kubur agar tidak diketahui orang banyak, aku difitnah dengan tuduhan memperkosa
istrinya. Aku mengelak, tapi tak mampu berbuat banyak karena Adipati kerahkan
prajuritnya. Akhirnya aku dijatuhi hukuman gantung atas tuduhan itu. Tuduhan
tersebut hanya sebagai alasan supaya aku bisa digantung, rakyat pun akan
membenarkan keputusan sang Adipati. Padahal semua itu hanya gara-gara sang
Adipati kecewa sekali terhadapku."
Gumam memanjang terdengar dari
mulut Pendekar Mabuk yang manggut-manggut. Setelah diam dalam renungannya
selama empat helaan napas, murid si Gila Tuak itu kembali ajukan tanya kepada
si Tua Bangka.
"Apakah sebelum kau
dipecat dari kadipaten, kau pernah tahu bahwa sang Adipati mempunyai pusaka
Kapak Setan Kubur?"
Tua Bangka menggeleng.
"Aku tidak pernah dengar ia menyebut-nyebutkan nama pusaka itu. Soal punya
dan tidak akutidak mengerti, Suto."
"Kau tahu kekuatan sakti
dalam pusaka Kapak Setan Kubur itu?"
Wajah tua bermata cekung itu
gelengkan kepala. "Setahuku itu hanya isapanjempol."
"Lho, jempol siapayang
dihisap?"
"Artinya, hanya kabar
bohong. Kapak Setan Kubur tidak ada. Sang Adipati mengarang-ngarang cerita
saja. Maksud sebenarnya sudah kuketahui, ia menangkapku karena iatakut rahasia
di dalam istana kubongkar kepada pihak lain."
"Rahasia apa itu?"
"Yaah... termasuk jalan
rahasia yang langsung menuju pantai, termasuk kamar rahasia yang bisa tembus ke
lorong menuju pantai untuk melarikan diri, dan... sebagainya. Adipati tak mau
rahasia itu bocor dari mulutku. Lalu dia mengarang nama sebuah pusaka dan
memfitnahku demikian."
Pendekar Mabuk kembali
termenung, ia sempat menggumam lirih dalam renungannya itu, "Kapak Setan
Kubur hanya isapan jempol...? Tapi mengapa Ayunda pernah menyebutkannya? Bahkan
katanya pusaka itu dimiliki oleh mendiang Nini Pucanggeni?!"
Tiba-tiba terdengar suara
gelegar ledakan yang mengagetkanmerekaberdua. Blegaarrr...!
"Apa itu!" Tua
Bangkatersentak dan menjadi tegang.
"Gledek!" jawab Suto
Sinting menenangkan diri, tapi hatinya penuh curiga.
"Gledek apa orang
batuk?"
"Suaranya dari arah
selatan sana. Kita lihat ada apa di balik lembah itu!"
Pendekar Mabuk dan Tua Bangka
segera berlari ke arah lembah sebelah selatan mereka. Tua Bangka tertinggal
karena gerakannya lamban. Ternyata di balik lembah ada pertarungan seperti yang
dibayangkan Pendekar Mabuk. Tetapi siapa yang bertarung, pada mulanya Suto
tidak bisa menduga.
Namun ketika ia melihat siapa
yang bertarung, matanya menjadi terbelalak, karena ia merasa kenal dengan gadis
cantik berbaju hitam dan celananya abu-abu. Gadis itu mempunyai rambut lurus
sepundak dengan bagian depannya diponi. Wajah cantiknya berhidung mancung dan
bermata bundar.
"Pinang Sari...?!"
gumam Suto pada saat Tua Bangka sudah ada di sampingnya.
"Pinang Sari itu kekasihmu?"
tanya Tua Bangka dalam bisik.
"Bukan. Kekasihku adalah
Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi," jawab Suto, masih
sempat membanggakan calon istrinya yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu.
Lalu, ia menjelaskan siapa Pinang Sari yang dulu dikenalnya saat bertarung
melawan Ayunda.
"Pinang Sari
itumuridnyaNiniPucanggeniyang...."
"Pucanggeni?" gumam
lirih Tua Bangka.
"Ya. Nini Pucanggeni.
Kenapatermenung? Kaukenal dengan mendiang Nini Pucanggeni?"
Tua Bangka gelengkan kepala.
"Namanya bagus, pasti orangnya cantik. Tapi... kau sebut dia 'mendiang'?
Apakah dia sudah mati?"
"Sudah. Dibunuh oleh
Ayunda, muridnya Nyai Gerhani Semi. Murid dan guru ini pun sudah mati dalam
peristiwa Pertarungan Tanpa Ajal."
Tua Bangka menggumam dengan wajah
datar. Lalu memandang ke arah pertarungan.
"Lalu, lelaki yang
bertarung melawan Pinang Sari itu siapa?" tanyanya.
"Aku tidak tahu. Baru
sekarang kulihat wajah angker lelaki kerempeng itu."
Orang kerempeng yang menjadi
lawan Pinang Sari itu memakai jubah coklat tua yang lusuh dengan celana merah
tanpa baju dalam. Tulang iganya kelihatan bertonjolan. Wajahnya tampak angker,
karena matanya biar kecil tapi memancarkan kebengisan. Rambutnya kucal, tipis,
panjang sebatas punggung. Lelaki itu menyelipkan senjata di pinggangnya berupa
pedang lengkung panjangnya satu lengan, tapi ukurannya cukup kecil.
Pedang itu belum dicabutnya,
ia masih menggunakan tangan kosong dalam melawan Pinang Sari. Tangannya itu
bagaikan besi yang mampu membuat pohon yang terhantam menjadi somplak besar.
Pinang Sari masih tampakkan
kelincahannya dengan melenting ke atas dan bersalto hindari serangan orang
kurus itu.
Wuukkk...! Pinang Sari
mendarat ke belakang orang kurus itu dalam jarak lima langkah. Orang kurus itu
segera balikkan badan dan sentakkan satu tangannya ke depan. Wuuttt...!
Slaapp...!
Sinar merah lurus tanpa putus
keluar dari tangan telapak tangannya. Sinar sebesar jempol kaki itu menghantam
ke dada Pinang Sari. Tapi dengan cepat Pinang Sari mencabut trisula putihnya dan
dihadangkan ke arah datangnya sinar merah tersebut.
Taarrr...! Terdengar suara
letupan kecil saat sinar merah itu menabrak trisula. Kemudian trisula itu
sendiri menyebarkan sinar hijau patah-patah, sepertijarum yang berjumlah
puluhan batang. Praatak...!
Bleegarrr...!
Dentuman hebat terjadi cukup
menakjubkan. Gelombang ledakan itu menyentak kuat dan membuat tubuh Pinang Sari
terlempar ke sembarang arah sejauh delapan langkah. Tubuh orang kerempeng itu
terpental naik ke atas dan melayang-layang kehilangan keseimbangan, lalu jatuh
berdebam di tempatnya berdiri tadi. Bluukkk...!
"Dahsyat sekali...?! Ck,
ck, ck...!" Tua Bangka geleng-gelengkan kepala penuh rasa kagum.
"Kau tunggu di sini, Tua
Bangka. Aku akan membantuPinang Sari."
Tua Bangka mencekal lengan
Suto Sinting. "Jangan! Orang kurus itu punya kesaktian sangat dahsyat.
Nanti kau mati kalau melawan dia."
"Akan kau lihat sendiri
siapayangtumbangnanti!"
"Jangan ke sana!"
sentak Tua Bangka dengan roman wajah tegang. "Nanti aku berteriak lho
kalau kau nekat ke sana."
Suto Sinting tertawa tanpa
suara mendengar ancaman seperti anak kecil itu. Matanya kembali menatap ke
pertarungan. Ternyata Pinang Sari sudah siap berdiri menghadapi lawannya, walau
dari mulutnya tampak ada darah yang mengalir membasahi dagu samping.
Orang kerempeng itu pun sudah
berdiri dan maju dengan wajah berang. Sebelum mencapai jarak lima langkah di
depan Pinang Sari, ia hentikan langkah dengan napasterengah-engah.
"Pinang Sari, kalau
kautetap berkeras kepala, akutak akan mengampunimu lagi. Kupecahkan kepalamu
sekarangjuga!"
Pinang Sari menjawab dengan
berani, "Akutak akan mundur melawanmu, Papan Rayap!"
Tua Bangka cekikikan, mulutnya
buru-buru dibekap oleh Suto Sinting. "Sssttt...!"
Tangan itu disingkirkan oleh
Tua Bangka. "Aku geli. Nama kok Papan Rayap. Apatidak ada yang lebih bagus
lagi?"
"Itu sebuah julukan saja,
Tua Bangka. Mungkin karena tubuhnya kurus dan tipis seperti papan sehingga ia
berjuluk Papan Rayap."
"Mungkin juga karena
wajahnya mirip rayap jadi julukannya Papan Rayap, begitu ya?"
Pendekar Mabuk tak sempat
menyimak ucapan Tua Bangka karena telinganya segera dipasang untuk mendengarkan
perdebatan antara Pinang Sari dengan si Papan Rayap.
"Kau benar-benar masih
meremehkan aku, Pinang Sari! Sebenarnyaaku ragu untuk menghancurkanmu saat ini.
Sebaiknya jangan paksa aku untuk berbuat lebih keji dari yang sudah kulakukan
tadi. Serahkan saja pusaka Kapak Setan Kubur itu padaku, dan kau akan selamat
sepanjang masa."
Suto Sinting kaget mendengar
Kapak Setan Kubur diucapkan oleh si Papan Rayap. Tua Bangka pun tampak berkerut
dahi dengan heran, tapi tak bicara apa-apa. Yang terdengar saat itu adalah
suara Pinang Sari yang melengking tinggi.
"Koreklah telingamu
dengan pedangmu, Papan Rayap. Sejak tadi sudah kukatakan, aku tidak tahu menahu
tentang pusaka Kapak Setan Kubur!"
"Mendiang gurumu memiliki
kapak itu!"
"Omong kosong!"
bantah Pinang Sari. "Guru tidak pernah ceritakan soal pusaka itu. Beliau
tak pernah menyinggung-nyinggung sedikit pun tentang pusaka tersebut. Kuharap
kau jangan mengada-ada, Papan Rayap!"
"O, kau masih berlagak
bodoh rupanya. Baiklah, aku terpaksa memberimupelajaranyang ketiga.
Hiaaatt...!"
Sraang... !
Pedang lengkung ujungnya itu
dicabut oleh Papan Rayap sambil lakukan serangan melompat ke depan.
Wuuttt...!
Kemudian ia tebaskan pedang
itu ke pundak Pinang Sari. Sayangnya trisula putih masih dalam genggaman Pinang
Sari, sehingga mampu untuk menangkis pedang tersebut.
Trang, trang, t rang,
blaarr... !
Ledakan terjadi lagi karena
kedua senjata itu beradu dengan dialiri tenaga dalam. Sinar biru bening
memercik sekejap, lalu sirnatanpatimbulkan asap apa pun.
Papan Rayap semakin cepat
membabatkan pedangnya ke arah lawn.
Bed, bed, bed, be d...!
Pinang Sari melompat-lompat
hindari serangan pedang, namun pihak Papan Rayap mendesak terus dengan tebasan
pedangnya ke berbagai arah. Sesekali Pinang Sari menangkis dengan trisulanya.
Trang, trang, trang, trang...
!
Sampai pada satu ketika,
pedang itu bergerak dengan gerakan meliuk dari bawah ke atas dan sukar
ditangkis Pinang Sari karena ia sudah tertipu gerakan pedang sebelumnya.
Wuuttt...! Brreett...!
"Aaauh...!" Pinang
Sari terpekik. Ulu hatinya bagaikan sedang dibedah oleh pedang lengkung itu. Ia
segera tersentak mundur dan tergagap-gagap. Darah menyembur dari
lukapanjangtersebut.
Brrukk...! Pinang Sari jatuh
terjengkang, kini ia terkapar dengan tubuh menggigil. Rupanya pedang si Papan
Rayap beracun ganas. Dalam waktu cukup singkat tubuh Pinang Sari mulai
dikerumuni rayap yang muncul dari dalam tanah akibat mencium bau racun pedang
yang bercampur dengan darah.
Binatang putih kecil-kecil itu
semakin banyak jumlahnya dan membuat Pinang Sari menjerit karenajijik.
"Katakan di mana kau
simpan kapak itu! Lekas! Kalau tidak kau katakan, akan kubiarkan rayap-rayap
itu menggerogoti tubuhnya hingga menjadi tulang belulang!"
Namun sekelebat bayangan
segera bergerak menerjangPapan Rayap. Bruuss...!
Papan Rayap terpelanting dan
jatuh dengan menyedihkan karena kepalanya bagaikan disambar kaki petir. Hampir
saja ujung pedangnya menancap di lam bung kiri.
Seorang pemuda berwajah
ganteng tapi masih tampak remaja berdiri dengan badan tegap. Pemuda itu memakai
rompi hijau berhias benang emas pada tepiannya. Celananya juga hijau menyala
berhias benang emas tepiannya. Sabuknya hitam, menyelipkan sebilah pedang dari
sarung perak. Rambutnya panjang digulung tengah, sisanya meriap sampai
sepundak, ia berdiri tegak dengan kaki sedikit terentang.
Suto Sinting kerutkan dahi,
karena masih merasa asing dengan pemuda yang diperkirakan berusia sekitar
sembilan belas tahun itu. Tua Bangka juga merasa asing dengan pemuda itu,
sehingga berbisik kepada Suto Sinting.
"Siapa bocah ganteng
itu?"
"Aku tak tahu, dan baru
sekarang melihatnya. Kurasa dia kekasihnya Pinang Sari."
"Ooo... pantas dia berani
menerjang Papan Rayap, mungkin untuk menunjukkan cintanya, sehingga ia lakukan
belapati buat si gadis cantik itu, ya?"
Pendekar Mabuk hanya menggumam
pendek dan anggukkan kepala. Karena saat itu Papan Rayap telah bangkit dan
menatap pemuda berpakaian hijau itu dengan mata lebihtajam lagi.
"Siapa kau, Monyet
sawah?!" gertak Papan Rayap. "Lancang sekali kakimu, berani men en
dang kepala orang setua aku. Mau cari modar kau, nah?!"
"Aku yang bernama Darah
Prabu!" jawabnya tegas dengan suara mudanya. "Mungkin kau belum
mengenalku, Papan Rayap. Karena memang baru sekarang aku diizinkan oleh guruku
untuk turun gunung."
"Keparat! Siapa gurumu,
Bocah kurap?!"
"Resi Badranaya!"
"Persetan dengan nama
itu. Aku tidak kenal! Menyingkirlah dari sini dan jangan ikut campur urusanku
lagi kalau kau mau selamat!"
"Kau langkahi dulu
bangkaiku baru kau bisa teruskan urusanmu dengan kakakku; Pinang Sari!"
"Ooo... dia adiknya
Pinang Sari?!" gumam Suto Sinting yang membuat Tua Bangka juga manggut-
manggut.
"Darah Prabu!"
sentak Papan Rayap. "Kalau memang itu yang menjadi tekadmu, terimalah
jurus 'Pedang Jalang-ku ini!
Heaaah...!"
Papan Rayap melompat dengan
cepat bagaikan angin berhembus. Darah Prabu tidak menghindar, melainkan justru
menyongsongterjangan Papan Rayap. Wuusss...!
Brruusss...! Praaang...!
Lalu keduanya saling melintas
tukar tempat. Wuutt...! Jleegg... !
Ternyata si Darah Prabu sudah
menggenggam pedangnya dengan kokoh. Ia mendarat ke tanah dalam keadaan
memunggungi Papan Rayap. Ujung pedangnya tampak basah oleh darah. Berarti Papan
Rayap terluka oleh pedang itu.
Papan Rayap yang juga
memunggungi Darah Prabu diam sesaat dalam keadaan kedua kaki sedikit merendah.
Kemudian ia balikkan badan
secara pelan-pelan, demikian juga Darah Prabu. Lalu, tampaklah luka menganga di
bawah pundak Papan Rayap. Luka itu mengucurkan darah segar hingga basahi bagian
tubuh bawahnya.
"Bagus sekali gerakan
pedang anak muda itu?" pikir Pendekar Mabuk. "Tapi ia tak perhatikan
kalau Pinang Sari sudah mulai kelojotan diserang ratusan rayap begitu. Bahaya
sekali kalau tak segera kutolong. Aku harus bertindak cepat"
"Hei, Suto... mau ke
mana! Jangan ke sana nanti kamu kesabet pedang mereka!" cegah Tua Bangka
sambil pegangi kain celana Pendekar Mabuk, membuat langkah Pendekar Mabuk
tertahan.
"Aku mau selamatkan
Pinang Sari! Lepaskan celanaku!"
"Jangan! Nanti kau
celaka!"
"Tidak. Lepaskanlah...
lepaskan...!"
Wreekk...!
"Aduh, kau ini.... Lihat,
celanaku malah robek begini?"
"Wah, maaf. Maaf sekali, Suto.
Aku tak sengaja membuat pantatmu jadi mengintip begitu. Maaf...!" Tua
Bangka jadi ketakutan. Untung robeknya celana tak terlalu lebar. Suto Sinting
menutupnya dengan menurunkan kain ikat pinggang hingga tak kentara kalau
celananya robek. Dengan cepat ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu. Zlaappp...!
Sementara itu, Papan Rayap
semakin garang, ia menjadi sangat murka karena tubuhnya sudah dilukai oleh anak
muda itu. Dengan satu lompatan cepat lagi ia menyerang Darah Prabu.
"Heeeaaattt...!"
Darah Prabu lakukan sentakan
kaki ke tanah, dan tubuhnya melambung tinggi dalam gerakan jungkir balik.
Wuuutt...! Pedang lawan yang mengibas ke atas ditangkis dengan pedangnya.
Trang, trang, trang... !
Mereka sibuk lanjutkan
pertarungan. Suto Sinting sibuk singkirkan rayap-rayap dari tubuh Pinang Sari
yang telah lemas tak berdaya itu. Mulut gadis itu dingangakan dengan satu
tangan, kemudian dituangi tuak ke dalamnya. Beberapa tuak tertelan oleh Pinang
Sari, hingga gadis ituterbatuk-batuk. Namun tuak itulah yang menyelamatkannya
dari luka racun. Tuak itulah yang membuat rayap-rayap merasa mabuk, sehingga
pulang ke dalam tanah menurut tempatnya masing- masing.
Trang, trang, trang... !
Duuaarrr... !
Ledakan itu mengagetkan
Pendekar Mabuk. Suaranya bagai di depan telinga kanan, ia segera bangkit
memandang ke arah pertarungan. Rupanya si kerempeng Papan Rayap lepaskan
kekuatan tenaga dalamnya melalui pedang lengkungnya. Pertarungan pedang itu
membuat ledakan cukup dahsyat karena keduanya menggunakan tenaga dalam. Tapi
agaknya Darah Prabu masih kalah kuat. Iaterpental melambung dan jatuh ke
semak-semak. Brruusss...!
Namun keadaan Papan Rayap pun
cukup berbahaya. Selain terluka pada bagian bawah pundak, separo wajahnya
menjadi biru legam akibat gelombang ledakan tadi. Ia tampak limbung, tenaganya
bagai berkurang sangat banyak. Namun ia masih berusaha memandang ke arah Pinang
Sari.
Ia sangat terkejut melihat
kehadiran Pendekar Mabuk di samping Pinang Sari. Matanya masih berusaha
memandang bengis kepada pemuda berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu.
"Siapa kau, Setan
tengil...?!" gertaknya dengan tubuh agak terbungkuk-bungkuk karena menahan
sakit di pundak. "Kaukah yang menyimpan Kapak Setan Kubur itu, hah?!
Mengaku saja, ataukutebas sekalian lehermu!"
"Jangan galak-galak,
nanti kau mati terpenggal pedangmu sendiri!" kata Suto Sinting dengan
kalem.
"Keparat! Aku tak butuh
pelajaranmu. Kau yang butuh pelajaranku. Heeaaah...!"
"Wah, nekat orang
ini!" gumam Suto Sinting yang segera mengibaskan bumbung tuaknya untuk
menyambut datangnyapedang si Papan Rayap.
Weesss... !
Praakk...!
Buuhhg... !
Pedang patah menjadi empat
potong karena menghantam bumbung tuak Pendekar Mabuk. Kaki kanan Pendekar Mabuk
pun berkelebat menendang tepat di ulu hati Papan Rayap. Orang ituterpental jauh
hingga menabrak sebatang pohon tak terlalu besar.
Brruusk... !
"Aaahgg...!" darah
segar menyembur dari mulut Papan Rayap. Matanya terbeliak dalam keadaan
terbungkuk dan berlutut.
Darah Prabu mulai melangkah
lagi dalam keadaan hidung berdarah. Matanya terkesiap melihat Papan Rayap
berada kurang lebih delapan tombak darinya, ia juga tadi melihat Papan Rayap
menyerang Pendekar Mabuk yang membuat pedang orang kerempeng itu patah dengan
ringkihnya Rasa kagum itu segera dipendam dan ia mendekati Papan Rayap. Pedang
peraknya masih di tangan. Pedang itu hendak ditebaskan ke arah Papan Rayap.
"Tahan!" seru Suto
Sinting.
***3
ORANG kerempeng bertampang
angker itu segera larikan diri ketika gerakan pedang Darah Prabu terhenti oleh
seruan Pendekar Mabuk. Bahkan ketika pemuda berompi hijau itu hendak
mengejarnya, Suto Sinting mencegahnya dengan seruan pula. Akhirnya mereka
berkumpul berempat.
Pinang Sari mulai sehat,
lukanya bagaikan mengatup dengan sendirinya setelah menenggak tuak saktinya
Suto Sinting. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Begitu ia bangkit
dan memandang ke arah Darah Prabu, ia langsung menghambur dan memeluk Darah
Prabu. Pemuda ganteng berwajah remaja itu diciuminya beberapa kali dalam tawa
kebahagiaan.
"Kau sudah diizinkan
turun gunung oleh gurumu? Atau melarikan diri dengan kenakalanmu?!"
"Aku memang diizinkan
turun gunung oleh Guru, Yu Pinang."
Pinang Sari mencubit pipi
adiknya dengan gemas. Kemudian memperkenalkan adiknya kepada Pendekar Mabuk
setelah terlebih dulu berkata.
"Syukurlah kau segera
muncul, Suto. Racun pada pedang si Papan Rayap itu cukup berbahaya dan nyaris
membuatku kehilangan nyawa."
"Dia memang tokoh alot
tapi memualkan perut kalau dipandang terlalu lama."
"Yu Pinang, siapa orang
ini? Apakah dia kekasihmu, Yu?"
Pinang Sari tersenyum malu.
"Dia adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak."
"Ooh...?!" Darah
Prabu tercengang kaget. "Murid Eyang Gila Tuak?!" sambil matanya
membelalak memandangi Suto Sinting.
Suto tersenyum dan berkata,
"Mengapa kau memanggil guruku dengan sebutan 'Eyang'?"
"Guruku sering bercerita
tentang kehebatan Eyang Gila Tuak dan Eyang Bidadari Jalang. Aku jadi kagum
kepada beliau. Guruku adalah sahabat beliau. Dan aku juga sering mendengar
cerita tentang kehebatan murid Eyang Gila Tuak. Ternyata kaulah muridnya, Kang.
Sungguh tak kusangka aku bisa bertemu dengan murid Eyang Gila Tuak secepat ini!
Padahal aku baru turun gurun delapan hari dan mencari kakakku; Pinang Sari ini.
Aku senang sekali bisa jumpa pendekar sakti, Yu Pinang."
Suto Sinting menyahut,
"Kau pun cukup sakti, Darah Prabu. Gerakan pedangmu sangat
mengagumkan."
"Oh, aku belum ada sekuku
hitamnya dibandingkan dirimu, Kang Suto!"
Tua Bangka menimpali,
"Anak yang baik. Semakin tinggi ilmunya semakin menunduk. Seperti
setangkai padi, semakin berisi semakin tunduk. Kalau ingin punya ilmu lebih
dahsyat lagi, bergurulah kepada Pendekar Mabuk ini, Nak!"
"Begitukah menurutmu,
Kek?" Darah Prabu tersenyum, segera memandang Suto Sinting dan bertanya,
"Apakah kau datang bersama kakekmu ini, Kang?"
"Aku bukan kakeknya
Suto!" potong Tua Bangka. "Aku... aku adalah penasihatnyaPendekar
Mabuk. Ya, penasihat pribadi!"
Suto Sinting melirik dengan
sedikit bersungut-sungut. Tua Bangka tak enak hati, sehingga berkata kepada
Darah Prabu,
"Maksudnya, penasihat
yang jarang sehat. He, he, he...!"
Tiba-tiba gadis cantik itu
berkerut dahi dan berkata pelan, "Tua Bangka, aku sepertinya pernah
melihatmu sebelum ini."
"O, ya?! Di mana kau
melihatku, Anakmanis?"
"Entah. Aku lupa. Tapi
aku merasa pernah melihatmu. Mungkin... mungkin dalam mimpi"
"Memang dari muda aku
sering menjadi impian para gadis," kata Tua Bangka dengan nada sombong,
membuat Suto Sinting mencibir geli.
"Apakah kau kenal dengan
Papan Rayap tadi, Darah Prabu?!" tanya Suto Sinting mengalihkan
pembicaraan.
"Tidak. Akutidak kenal
dengan si Papan Rayap."
"Tapi kudengar kau tadi
menyebutkan namanya"
"Ya, karena saat Yu
Pinang berdebat dengan Papan Rayap, aku mendengar namanya disebutkan oleh Yu
Pinang. Aku sengaja ingin melihat kehebatan kakakku, karenanya akutak mau
muncul dari persembunyianku di balik pohon sanatadi."
"Papan Rayap adalah orang
Pantai Ajal," sahut P inang Sari
"Pantai Ajal...?!
Bukankah tempat itu adalah wilayah kekuasaan sipemakan daging manusia;
Gandapura?!"
"Memang dia salah satu
dari kaki-tangan si Gandapura!" kata Pinang Sari. "Sebab itu dia
ditugaskan mencari pusaka Kapak Setan Kubur. Karena Gandapura mulai mendengar
desas-desus munculnya pusaka Kapak Setan Kubur di rimba persilatan, ia menjadi
cemas, sebab Kapak Setan Kubur dapat membuatnya tumbang, walau ia punya
kesaktian yang bernama ilmu 'Mahkota Neraka'."
"Ilmu apa itu
sebenarnya?" tanya Tua Bangka.
"Ilmu 'Mahkota Neraka'
itu sebuah ilmu yang membuat seseorang tidak bisa mati. Orang itu bisa mati
kalau ilmu tersebut sudah dititiskan ke orang lain, atau ia terkena pusaka
Kapak Setan Kubur. Sebab itulah Gandapura menyuruh anak buahnya melenyapkan
Kapak Setan Kubur, supaya tak akan ada orang yang bisa melawannya."
Tua Bangka manggut-manggut,
tapi sepertinya tidak terlalu menggapai penjelasan tersebut, karena matanya
melirik kanan-kiri dengan cemas. Sepertinya ia merasa takut kalau-kalauPapan
Rayap muncul dari belakangnya dan menyerang mereka dengan ganas. Hanya Suto
Sinting dan Darah Prabu saja yang memperhatikan penjelasan Pinang Sari,
sehingga Suto Sinting segera ajukan tanya kepada gadis berponi indah itu.
"Bukankah dulu kau bilang
padaku tidak tahu- menahu tentang Kapak Setan Kubur? Dan kau juga bilang bahwa
mendiang gurumu tak pernah menyebut- nyebutkan pusaka itu? Tapi sekarang kau
bisa menjelaskannya dengan lancar. Apakah sebenarnya kapak itu ada di tanganmu?
Atau masih berada dalam pondok mendiang gurumu?"
"Tidak. Mendiang guruku
memang tidak pernah menyinggung-nyinggung soal Kapak Setan Kubur. Tapi ketika
aku bertarung dengan Ayunda dan berhasil melumpuhkannya, sebelum akhirnya ia
kubawa ke bukit pertarungan antara Eyang Poci Dewa dengan Ki Buyut Gerang itu,
aku sempat tanyakan apa alasan Ayunda membunuh guruku dengan racunnya. Lalu ia
jelaskan tentang dua tugas dari gurunya: Nyai Gerhani Semi, yaitu mengacaukan
tiga perguruan, termasuk perguruanku sendiri, supaya perguruannya menjadi
menonjol. Tugas kedua adalah merampas pusaka Kapak Setan Kubur dari tangan
guruku. Padahal Guru tidak tahu menahu tentang Kapak Setan Kubur, sehingga
Ayunda jengkel dan membunuh guruku. Dengan kematian guruku maka Ayunda bebas
dari tugas mencari Kapak Setan Kubur."
Tua Bangka ikut-ikutan manggut-manggut
setelah melihat Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut- manggut pula. Tapi
tiba-tiba Darah Prabu berkata dengan sikapnya yang tenang.
"Sepertinya aku pernah
mendengar cerita dari guruku tentang seseorang yang tinggal di... di mana, ya?
Ah, aku lupa nama tempatnya Tapi aku masih ingat nama orangnya"
"Siapa nama
orangnya?" sergah Suto Sinting dengan rasa ingin tahu menggebu-gebu.
Darah Prabu menjawab,
"Namanya adalah Empu Tapak Rengat."
Pinang Sari tampak
terperanjat.
"Tidak mungkin, Darah
Prabu. Empu Tapak Rengat tidak mungkin memiliki pusaka Kapak Setan Kubur."
"Apa alasanmu bilang
begitu?" tanya Suto Sinting.
"Karena aku kenal baik
dengan Empu Tapak Rengat yang tinggal di kaki Gunung Bunting."
"Nah, benar! Gunung
Bunting nama tempat itu!"
sahut Darah Prabu dengan
bersemangat.
"Tapi itu tak mungkin,
Darah Prabu. Guruku sahabat dekatnya EmpuTapak Rengat. Kata Guru, sudah selama
dua puluh lima tahun Empu Tapak Rengat tidak mau berurusan dengan senjata atau
pusaka apa-apa lagi, yaitu sejak istrinya meninggal akibat pusakanya sendiri
yang haus darah itu: Keris Serap Getih. Jadi, menurutku Empu Tapak Rengat tidak
menyimpan pusaka itu, sebab ia tidak mau punya pusaka dan senjata apa pun.
Bahkan hidupnya cenderung menyepi dan tidak ingin mencampuri urusan duniawi
lagi."
"Siapa tahu semua pusaka
dan senjata diwariskan kepada muridnya?"
"EmpuTapak Rengat tidak
mempunyai murid," kata Pinang Sari. "Satu-satunya yang ia miliki
adalah seorang anak perempuan yang bernama: Tembang Selayang."
"Mungkin dialah yang
memegang pusaka Kapak Setan Kubur" sela Suto Sinting.
"Ah, kalian terlalu
bodoh, dibohongi oleh cerita edan mau saja," kata Tua Bangka sambil
bersungut-sungut. Mereka memandang Tua Bangka dengan dahi berkerut dan senyum
tipis.
Tua Bangka menambahkan kata,
"Dari muda sampai setua ini aku belum pernah mendengar nama pusaka aneh
seperti itu. Itu tandanya kabar tentang pusaka Kapak Setan Kubur hanya isapan
jempol; entah jempol tangan atau jempol kaki, yang jelas itu bo hong
semata!"
"Matanya siapa?" sela
Suto Sinting menanggapi dengan santaijuga.
"Mungkin mata kalian
itulah yang dibohongi!" gerutu Tua Bangka.
Darah Prabu dan Pinang Sari
menjadi heran dan menampakkan wajah keraguannya Akhirnya Darah Prabu berkata,
"Aku perlu tanyakan
kepada Guru tentang kebenaran pusaka itu. Ada atau tidak, dan benarkah
EmpuTapak Rengat tidak mau memegang senjata pusaka lagi. Aku perlu jawaban dari
Guru secepatnya."
"Aku akan
mendampingimu," kata Pinang Sari. "Aku juga perlu menceritakan
kematian guruku kepada Resi Badranaya, sebab kudengar kabar dari seorangtokoh
tua yang telah tiada; Resi Badranaya adalah kakak sepupu mendiang guruku."
Suto menyahut, "Kalau
begitu aku akan ke Gunung Bunting untuk temui Empu Tapak Rengat. Akan
kutanyakan kebenarantentang pusaka itu juga."
"Baiklah, kita berpisah
untuk sementara waktu Suto," kataPinang Sari. "Sepertinyakita
akanjumpa lagi dalam peristiwa Kapak Setan Kubur ini. Kita sama-sama mencari
keterangan sejelas-jelasnya."
"Kau mau ikut siapa, Tua
Bangka?" tanya Suto Sinting. "Ikut Pinang Sari atau ikut aku, atau
mau pergi sendiri?"
Setelah berpikir dengan suara
gumam tak jelas, Tua Bangka berkata, "Aku lebih baik ikut kau saja, Suto.
Karena sepertinya aku butuh bantuanmu lagi."
"Soal apa itu?"
"Mencari cucuku yang
hilang beberapa waktu yang lalu."
"Siapa cucumu itu, Tua
Bangka?"
"Cawan Pamujan. Dia
satu-satunya cucu kesayanganku yang masih hidup."
"Semuanya ada berapa
cucu?"
"Ya, cuma satu. itu
saja," sambil ia melangkah mendekati semak, memungut sebatang kayu kering
yang enak dipakai untuk tongkat berjalan.
Pada saat ia membungkuk,
tiba-tiba seberkas kilatan cahaya pantulan matahari berkelebat menuju ke arah
punggung si Tua Bangka. Gerakan datangnya kilatan cahaya menyilaukan itu
terlihat oleh ekor mata Darah Prabu. Dengan cepat anak remaja itu mengibaskan
tangan kanannyake samping.
Wuutt...! Slaapp...!
Tring....!
Ternyata senjata rahasia
seseorang yang diarahkan ke punggung Tua Bangka dihantam telak oleh senjata
rahasianya Darah Prabu. Kedua benda kecil itu jatuh di samping Tua Bangka.
Keadaan itu membuat wajah Suto
Sinting dan Pinang Sari terperanjat seketika. Lalu kedua orang itu sama- sama
memandang ke arah datangnya senjata rahasia yang ingin menyerang Tua Bangka
itu.
Sekelebat bayangan melesat di
balik kerimbunan pohon. Suto Sinting segera mengejarnya. Zlaapp...! Langkahnya
begitu cepat hingga mirip orang menghilang.
"Siapa yang mau
membunuhku?" gumam Tua Bangka sambil memungut dua senjata rahasia yang
saling menempel rekat itu. Yang satu berbentuk seperti bunga matahari,
bergerigi runcing mengkilap, yang satu berbentuk seperti mata garpu tiga
runcing, terbuat dari logam baja hitam.
"Yang ini
senjataku," kata Darah Prabu sambil mengambil sekeping logam mirip mata
garpu itu.
"Yang satunya ini milik
siapa?"
"Ya, milik orang yang mau
membunuhmu!" kata Pinang Sari kepada Tua Bangka.
"Senjata ini mempunyai
racun ganas, terlihat ujung runcingnya berwarnakebiru-biruan," kata Darah
Prabu.
"Kenapa bisa menempel
menjadi satu dengan senjatamu?" tanyaPinang Sari kepada adiknya.
"Senjata rahasiaku ini
terbuat dari baja sembrani. Mampu menyedot logam lain atau menempel di logam
lain."
Tua Bangka segera mengambil
posisi di belakang Pinang Sari dengan rasa takut ketika Suto Sinting menerabas
ilalang dan muncul dengan memanggul seseorang di pundaknya .
Brrukkk...! Orang itu
diletakkan ke tanah seperti membanting karung. Mata mereka memandang kepada
orang yang baru saja ditangkap Pendekar Mabuk.
Suto bertanya kepada Tua
Bangka. "Kau kenal dengan orang ini?"
Tua Bangka pandangi sosok
lelaki muda berbadan kurus. Usianya sekitar dua puluh limatahun. Rambutnya
pendek, mengenakan rompi hitam dan celana hitam.
"Ak... aku... aku tidak
kenal dengan anak ini. Mengapa kau tanyakan padaku, Suto? Kau pikir dia cucuku
yang bernama Cawan Pamujan?!"
"Bukan begitu, Tua
Bangka. Kuhantam dia dengan jurus 'Jari Guntur'-ku, dan ia pingsan seketika
karena seranganku mengenai ulu hatinya. Orang ini yang berkelebat lari setelah
kau diserang dengan senjata rahasia."
"Mengapa kau bawa
kemari?! Nanti dia malah mudah membunuhku, Bodoh!" sentak Tua Bangka
dengan kegugupannya karena masih merasa ngeri membayangkan senjata rahasia yang
nyaris merenggut nyawanya itu.
"Kupikir kau kenal dengan
anak ini, sehingga perlu didesak apa alasannya melemparkan senjata berbahaya ke
punggungmu. Ternyata kau tidak mengenalnya. Hmmm...kau kenal dia, Darah
Prabu?"
Anak muda belia itu gelengkan
kepala. "Aku tidak mengenalnya, Kang. Aku juga tidak punya musuh seperti
dia."
"Bagaimana dengan kau,
Pinang Sari?"
Gadis itu menggeleng
samar-samar. "Aku juga tidak mengenalnya. Tapi bisa kita tanyakan kalau
dia sudah siuman nanti."
"Kalaubegitukubikin dia
siuman sekarang juga!"
Claapp...! Tiba-tiba sinar
merah berkelebat menerobos pertengahan jarak berdiri antara Pinang Sari dan
Darah Prabu. Sinar sebesar lidi itu menghantam leher orang berompi hitam.
Jraab...! Taaarr...!
Letupan kecil terdengar
bersamaan dengan pecahnya leher orang tersebut. Tentu saja hal itu sangat
mengejutkan mereka. Orang muda berompi hitam itu pun tak akan bangun selamanya
karena lehernya hampir putus dihantam sinar merah tadi.
"Kurang ajar!" geram
Suto Sinting, ia segeramelesat ke arah datangnya sinar merah tadi. Zlaapp...!
"Pinang... jangan ikut
mengejar! Nanti aku sendirian di sini!" Tua Bangka gemetartakut.
Gerakan si pemilik sinar merah
itu cukup cepat, atau memang Pendekar Mabuk salah arah dalam mengejarnya. Orang
tersebut tak berhasil ditangkap oleh Pendekar Mabuk. Beberapa saat lamanya Suto
mencari orang itu ke beberapa arah, namun tetap tidak berhasil ditemukan.
"Agaknya aku sudah
telanjur salah arah dalam mengejarnya. Sebaiknya aku segera kembali menemui Tua
Bangka. Barangkali kakek ompong itu punya bayangan siapa kira-kira orang yang
ingin membunuhnya itu."
Namun alangkah terkejutnya Suto
begitu kembali ke tempat semula, ternyata Tua Bangka sudah tidak ada di tempat.
Pinang Sari dan Darah Prabu juga tidak ada di tempat. Yang tinggal hanya mayat
orang berompi hitam.
"Ke mana mereka
perginya?!" pikir Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. "Apakah
orang yang kukejar tadi yang membawa pergi mereka? Oh, kalau begitu aku tertipu
oleh pancingannya?! Sial! Aku pasti tertipu olehnya, ia sengaja memancingku
agar mengejarnya dengan cara membunuh orang berompi hitam itu. Pada saat aku
tidak ada ia datang dan melumpuhkan mereka bertiga. Lalu mereka bertiga
dibawanya pergi dan...," Suto Sinting diam sebentar. Ada kejanggalan yang
ditemukan di tempat itu.
"Tak ada tanda-tanda pertarungan?!
Setidaknya Darah Prabu atau Pinang Sari akan melakukan perlawanan jika orang
itu menyerang mereka. Paling tidak bunyi ledakan tenaga dalam beradu pasti akan
kudengar. Tapi dari tadi aku tidak mendengar suara ledakan apa pun. Dan tempat
ini tidak menampakkan bekas terjadi pertarungan. Mungkinkah Tua Bangka, Darah
Prabu, dan Pinang Sari dilumpuhkan dalam sekejap lalu mereka dibawa pergi?
Dengan apa membawanya? Apakah orang itu tidak sendirian?"
Pendekar Mabuk meneguk tuaknya
sesaat. Setelah itu diam berpikir sambil duduk di bawah pohon rindang. Matanya
pandangi keadaan sekeliling dengan jeli. Lalu tiba-tiba ia melihat sekelebat
bayangan jauh di seberang sana. Suto Sinting tidak maukehilangan jejak lagi .
"Pasti dialah orangnya
yang tadi gagal kukejar!"
Zlaaap...! Ia bergerak dengan
cepat bagaikan menghilang. Bayangan ungu itu dikejarnya dengan memotong arah
gerak bayangan. Suto Sinting bermaksud menghadang orang tersebut.
Kali ini usaha Pendekar Mabuk
tidak sia-sia. Ia berhasil mencegat orang berpakaian ungu di kaki bukit. Orang
itu pun hentikan langkah begitu melihat pemuda tampan berdiri menghadangnya
dengan sikap tenang.
"Oh, ternyata dia seorang
gadis?!" gumam Suto dalam hatinya.
Gadis itu mengenakan jubah
ungu, tapi pinjung dalamnya berwarna merah tua. Celana ketatnya sebatas
pertengahan betis itu juga berwarna merah tua dari kain beludru dihiasi
manik-manik warna perak. Gadis yang diperkirakan berusia dua puluh tiga tahun
itu bertahi lalat di sudut bibir atasnya Kecantikannya menggetarkan hati.
Hidungnya mancung dan matanya sedikit lebar namun tak bundar. Bulu matanya
lentik dan alisnyatebal namun berbentuk indah.
Ia berambut panjang dengan
potongan rambut disanggul seluruhnya. Beberapa helai rambut berjuntai di
kanan-kiri telinganya yang bergiwang ungu sebesar kacang tanah.
Gadis berkulit langsat itu
pandangi Suto tiada berkedip. Bibirnya yang tak begitu mungil namun berbentuk
indah menggemaskan itu masih tetap terkatup tanpa gerak sedikit pun.
"Mau apa kau berdiri di
depanku?!" hardik gadis itu dengan sikap berani.
"Kau yang membunuh orang
berompi hitam itu! Aku perlu bicara padamu," kata Pendekar Mabuk bersikap
langsung menuduh.
Agaknya gadis yang menyandang
pedang di punggungnya itu terdesak dengan tuduhan Pendekar Mabuk. Akhirnya ia
berkata dengan wajah kian ketus.
"Memang aku yang
membunuhnya, karena urusan pribadi yang tak bisa dicampuri orang lain."
"Boleh tahu urusan
pribadimu itu?"
"Untuk apakautahu?"
"Karena kau telah membawa
lari ketiga sahabatku itu."
"Jangan bicara seenak
mulutmu! Bisa kurobek mulutmu kalau kau menuduhku yang bukan-bukan. Aku hanya
membunuh Praguli! Tidak membawa lari tiga sahabatmu itu."
Suto sedikit berkerut dahi,
hatinya diliputi kebimbangan dengan pengakuan tersebut. Melihat nada bicaranya,
agaknya gadis itu bukan gadis yang takut bertanggungjawabterhadap segala
tindakannya Namun Suto Sinting mencoba untuk mempelajari gadis itu melalui
beberapa pertanyaan yang diajukan.
"Apa alasanmu membunuh
orang yang kau sebut sebagai Praguli itu?!"
"Dia anak buahnya
Branjang Kawat! Dia yang membunuh adik seperguruanku," jawabnya bernada
tegas dan menampakkan sikap kurang bersahabat.
"Branjang
Kawat...?!" Pendekar Mabuk menggumam karena merasa pernah mendengar nama
itu dari mulut Tua Bangka.
"Ya, Branjang Kawat,
orang Kadipaten balungan yang suka berlagak jagoan itu! Apakah kau sahabatnya
juga?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum kalem namun senyuman itu memancarkan daya tarik yang sempat membuat
gadis itu berdesir hatinya.
"Mengapa bukan Branjang
Kawat yang kau bunuh untuk membalas dendammu itu?"
"Karena kulihat sendiri;
Praguli yang menewaskan adik perguruanku sementara aku sedang bertarung dengan
Branjang Kawat."
"Apakah kau unggul
melawan Branjang Kawat?"
Gadis itu tidak langsung
bicara, ia diam beberapa saat dengan mata masih tertuju tajam kepada Suto.
Sementara itu pandangan mata Suto Sinting singgah sebentar di dada gadis itu,
mengagumi kemontokan dada si gadis dan membayangkan sesuatu yang menggelitik
dalam hatinya. Namun bayangan itu segera dibuang jauh-jauh oleh Suto Sinting,
karena iatak ingin hatinya tergoda dan hanyut oleh tantangan dada gadis itu.
"Ada kalanya manusia
mengalami kelengahan, ada kalanya manusia menemukan masakejayaannya. Sayang
waktu aku melawan Branjang Kawat kelengahanku tercuri olehnya, sehingga ia
hampir saja merenggut nyawaku kalau aku tak segera larikan diri."
"O, begitu? Jelasnya kau
tak bisa unggul melawan Branjang Kawat. Begitu saja singkatnya" Suto
Sinting sengaja bicara dengan senyum seakan mengejek kekalahan gadis itu. Yang
dilakukan oleh si gadis hanya tarik napas dan segera mengalihkan pembicaraan.
" Jelaskan apamaksudmu
menghadang langkahku?!"
"Aku ingin tahu namamu,
Nona Cantik," jawab Suto Sinting makin berkesan menggoda. Hati gadis itu
agak jengkel dan berusaha ditahannyakuat-kuat.
"Untuk apakaumengetahui
namaku?"
"Karena aku mencurigaimu
membawa lari ketiga sahabatku."
"Kecurigaanmutidak
benar!"
"Itulah sebabnya aku
ingin tahu namamu karena aku ingin meminta maaf padamu," bujuk Suto
Sinting dengan suaranya yang lembut dan punya daya pesona tersendiri.
"Namaku... Tembang
Selayang."
"Ooh...?!" Suto
Sintingterperanjat kaget bukan main. Ia segera ingat kata-kata Pinang Sari
tentang nama anak perempuan dari Empu Tapak Rengat.
"Bukankah Pinang Sari
mengatakan bahwa Empu Tapak Rengat hanya punya satu anak yang bernama Tembang
Selayang?" pikir Suto Sinting. "Jadi, apa hubungan gadis ini dengan
hilangnya ketiga sahabatku itu?"
***4
ANGIN senja mulai berhembus
ketika Pendekar Mabuk melangkah bersama Tembang Selayang. Arah tujuan mereka ke
kaki Gunung Bunting. Mereka ingin temui Empu Tapak Rengat karena Pendekar Mabuk
berbicara tentang pusaka Kapak Setan Kubur.
"Aku memang pernah dengar
nama pusaka itu dari ayahku, tapi aku tidak pernah diserahi pusaka tersebut,"
kata Tembang Selayang.
"Kata Ayah, Kapak Setan
Kubur bukan miliknya. Suatu saat seorang sahabat menitipkan kepadanya, tapi
sejak Ayah tidak mau membuat senjata lagi, tidak mau mempunyai senjata dan
pusaka apa pun lagi, pusaka itu dikembalikan kepada pemiliknya."
"Siapa pemiliknya
itu?"
"Aku tidak jelas, karena
Ayah tidak sebutkan nama pemilik Kapak Setan Kubur itu. Karenanya ada baiknya
kita temui ayahku saja dan kau bisa tanyakan sendiri padanya Aku akan bicara
dengan guruku tentang kebenaran adanya ilmu 'Mahkota Neraka' itu."
Gadis cantik itu bicara sambil
sesekali pandangi wajah Suto Sinting, ia menyimpan perasaan kagum dan
menyembunyikan getaran hati yang menggelitik keindahan dalam khayalnya.
Pendekar Mabuk berlagak tidak tahu hal itu dan tetap memusatkan perhatian ke
hal pembicaraan pusaka Kapak Setan Kubur itu.
"Menurutku kau jangan
pergi menemui gurumu dulu. Bantulah aku mencari tempat tinggal ayahmu itu, kita
dengar sendiri penjelasan dari beliau. Setelah itu, barulah kau dan aku menemui
gurumu."
Tembang Selayang diam tak
berucap kata apa pun. Pandangan matanya dilayangkan ke arah jauh. Pendekar
Mabuk pun kembali ajukantanya,
"Apakah kau keberatan
dengan usulku?"
Tembang Selayang sunggingkan
senyum tipis sambil gelengkan kepala.
"Tidak. Aku tidak
keberatan. Hanya saja aku khawatir."
"Apa yang kau
khawatirkan?"
"Aku khawatir kalau Ayah
menduga aku pulang membawa calon suami"
Kini pemuda tampan murid si
Gila Tuak yang ganti tertawa. Tak kerastapi punya dayatarik tersendiri.
"Menurutmu," Suto
mengalihkan perhatian. "... pusaka Kapak Setan Kubur itu memang ada
atautidak?"
"Memang ada, karena
ayahku pernah memegang dan menyimpannya."
"Hmm..., pendapatmu itu
sama dengan pendapat Darah Prabu dan Pinang Sari."
"Siapa mereka itu?!"
Tembang Selayang menampakkan sikap asing terhadap kedua nama tersebut.
"Mereka adalah murid Nini
Pucanggeni dan Resi Badranaya."
"Oh, ya! Nama Nini
Pucanggeni pernah kudengar dan nama Resi Badranaya juga pernah kudengar. Kalau
tak salah mereka adalah sahabat ayahku."
"Menurut pengakuan mereka
memang begitu. Tapi si Tua Bangka tidak percaya kalau pusaka itu memang
ada."
"Hmmm... siapa lagi si
Tua Bangka itu?!"
"Bekas orang Kadipaten
Balungan yang sudah dipecat dan ditangkap kembali dengan tuduhan mau memperkosa
Istri Adipati. Padahal kenyataannya tidak demikian, ia dijatuhi hukuman mati
karena dituduh mencuri pusakanya sang Adipati yang bernama Kapak Setan
Kubur!"
"Oh...?!" Tembang
Selayang agak bingung. "Apakah pusaka itu sudah pernah ada di tangan sang
Adipati?!"
"Menurut si Tua Bangka,
sang Adipati tidak pernah punya pusaka seperti itu. Tua Bangka yakin kalau sang
Adipati hanya mengarang-ngarang cerita tentang pusaka, pada dasarnya hanya
ingin melenyapkan Tua Bangka, sebab Tua Bangkatahu beberapa rahasia di dalam
istana, termasuk jalan rahasia yang bisa tembus sampai ke pantai."
Tembang Selayang tarik napas
dalam-dalam. "Agak memusingkan juga perkara pusaka itu. Hanya ayahku yang
bisa menjawabnya dengan benar. Sayang waktu itu Ayah tidak bicara tentang ilmu
'Mahkota Neraka', sehingga aku perlu menanyakan kepada Guru akan hal itu.
Agaknya Ayah tidak tahu adanya ilmu 'Mahkota Neraka' yang bisa bikin orang tak
bisa mati itu."
"Yang kuherankan sekarang
adalah, siapa orang yang menculik tiga sahabatku itu?! Apakah orang dari
Kadipaten Balungan juga, atau dari pihaknya Gandapura? Sebab kekalahan Papan
Rayap bisa membuat orang-orangnya Gandapura menjadi marah besar dan menuntut
balas atas kekalahan itu."
Langkah mereka menuju ke
Gunung Bunting terhenti oleh pemandangan yang menarik perhatian. Sesosok mayat
mereka temukan tergeletak di rerumputan dalam keadaan hangus menjadi arang.
Suto Sinting berdebar- debar karena menyangka mayat yang tak jelas bentuk dan
rupanya itu adalah salah satu dari ketiga sahabatnya yang hilang.
"Jangan-jangan dia adalah
Pinang Sari?!"
"Apakah kau yakin mayat
ini adalah mayat seorang perempuan?"
"Hmm... sulit diyakini.
Sama sekali tak bisa dikenali jenisnya; pria atau wanita? Tak ada sisa pakaian
dan rambut sedikit pun."
"Aku yakin mayat ini
adalah mayat lelaki."
" Dari mana kau
tahu?"
"Tak ada sisa perhiasan
menempel di raga hangus ini."
Suto Sinting manggut-manggut
membenarkan dugaan Tembang Selayang. Mayat yang sudah tidak berasap sedikit pun
itu benar-benar tak ubahnya dengan seonggok arang menyerupai orang meringkuk.
Sangat sukar untuk dikenali ciri-cirinya. Tak ada senjata apa pun
yangtertinggal di sekitar mayat hangus itu.
"Kalau mayat ini Pinang
Sari, pasti trisulanya tertinggal, atau setidaknya ada bentuk arang yang
menyerupai bentuk trisula. Demikian pula jika mayat arang ini adalah Darah
Prabu, pasti pedangnya akan tertinggal membekas. Hmmm...."
"Bagaimana kalau
sahabatmu yang satu itu? Siapa? O, ya... si Tua Bangka Itu?"
"Tua Bangka...?!"
Suto Sinting memegangi dagunya dengan memandangi mayat arang Itu. "Tua
Bangka tidak bersenjata apa-apa. Mungkin juga mayat ini adalah mayat si Tua
Bangka. Tapi... tapi apa iya Tua Bangka mati terbunuh sekejam ini? Siapa
pelakunya? Mengapa Pinang Sari dan Darah Prabu tidak membelanya?!"
"Tunggu...!"
tiba-tiba Tembang Selayang teringat sesuatu hingga nada bicaranya menyentak
mengagetkan Pendekar Mabuk.
"Aku ingat sesuatu,
tentang cerita dari ayahku yang ada hubungannya dengan pusaka Kapak Setan Kubur
itu."
"Penjelasan yang
bagaimana?"
"Kapak Setan Kubur dapat
untuk membakar hangus seorang lawn jika yang digunakan adalah kesaktian sinar
biru kapak tersebut. Kata Ayah, sinar biru dari kapak itu akan membuat seorang
lawn bagaikan disergap puluhan petir sehingga dalam sekejap saja akan menjadi
arang hangus seperti mayat ini."
Suto Sinting agak menegang.
"Maksudmu, kau akan mengatakan bahwa mayat ini adalah korban dari Kapak
Setan Kubur?"
"Aku tak yakin begitu,
tapi aku jadi teringat cerita Ayah tentang kesaktian kapak tersebut. Barangkali
saja orang initerkena sinar birunya Kapak Setan Kubur. Jika ia terkena sinar
merahnya kapak pusaka itu tidak akan menjadi hangus, melainkan akan menjadi
terpotong- potong sebanyak tiga puluh tiga bagian."
"Oh, jadi kapak itu bisa
keluarkan dua sinar berbahaya?"
"Tiga sinar," tukas
Tembang Selayang. "Satu lagi adalah sinar hijau dari kapak pusaka itu,
bisa membuat lawannya mati tercabik-cabik seperti dicakar puluhan beruang
ganas."
Pendekar Mabuk tertegun
beberapa saat, dalam keadaan berdiri melipat tangan di dada.
"Hati kecilku mengatakan,
bahwa mayat ini bukan Tua Bangka," kata Suto Sinting setelah merenung
panjang.
"Sebaiknyakitatinggalkan
sajatempat ini. Kita harus cepat sampai ke kaki Gunung Bunting sebelum hari
menjadi gelap."
"Kita akan bermalam di
perjalanan," kata Tembang Selayang. "Tak cukup waktu untuk tiba di
pondok ayahku hanya dalam satu malam. Kita akan melewati Desa Panganbumi dan
bermalam di sana. Aku tahu tempat penginapan di desa itu."
Desa Panganbumi adalah sebuah
desa yang sudah cukup maju, karena letaknya hanya sehari semalam mencapai
Kotaraja. Kehidupan masyarakatnya lebih banyak yang menjadi pedagang hasil bumi
ketimbang yang menjadi petani tulen. Mereka menjual panenan hasil bumi kepada
orang Kotaraja. Bahkan belakangan ini lebih sering pedagang dari Kotaraja yang
datang sendiri di Desa Panganbumi untuk membeli hasil bumi secara ijon; dibeli
dengan harga murah sebelum waktunyapanen.
Selewat petang perjalanan
mereka tiba di desa tersebut. Sebenarnya Suto Sinting akan gunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang mempercepat langkahnya segera tiba di kaki Gunung Bunting sebelum
petang tiba. Namun ia khawatir gadis cantik bermata tajam itu tertinggal, atau
tak mampu mengimbangi gerak cepatnya, sehingga yang akan dialami Suto bukan
tiba di kaki Gunung Bunting melainkan tersesat ke arah lain.
Memasuki desa itu, mereka
disambut dengan peristiwa hiruk-pikuknya para penjudi dadu koprok. Mereka
membentuk kelompok sendiri-sendiri dengan penerangan obor. Suasananya cukup
ramai, bahkan ada suara gamelan berkumandang menghiasi iramamalam.
"Ramai sekali desa
ini?" gumam Suto Sinting sambil melangkah di samping Tembang Selayang.
"Biasanya tak seramai
ini. Berarti ada yang punya hajat sehingga suasana desa menjadi seramai
ini."
"Sepertinya dugaanmu memang
benar. Ada yang punya hajat, karena kudengar ada suara gamelan berbunyi. Pasti
adatontonan di suatutempat"
"Kita langsung menuju
penginapan saja. Di sana juga ada kedai makan. Kau bisa mengisi bumbung tuakmu,
Suto," kata Tembang Selayang yang sudah mengetahui siapa Suto Sinting
sejak sebelum Suto menoeritakan tentang Kapak Setan Kubur tadi.
Agaknya gadis itu sudah sering
singgah di Desa Panganbumi. Ia banyak mengetahui beberapa tempat penting,
seperti penginapan, rumah tabib, balai desa dan sebagainya. Bahkan ia juga
mempunyai beberapa kenalan di desa tersebut. Ketika mereka masuk ke penginapan
yang bagian bawahnya digunakan untuk membuka kedai makan, seorang lelaki muda
berwajah polos menyapanya dengan ramah.
"Tembang Selayang,
ahai... kenapa baru muncul sekarang? Dari mana saja kau?"
"Ada yang harus
kukerjakan di tempat jauh, Wiraga."
Anak muda yang berusia sekitar
dua puluh tahun dengan tampang polosnya itu berkata lagi sedikit pelan,
"Adhiyasa mencarimu
terus. Hampir setiap bertemu denganku menanyakan dirimu, Tembang
Selayang."
Gadis itu hanya sunggingkan
senyum kaku. Rupanya ia tak enak hati kata-kata tersebut ikut didengar oleh
Suto Sinting, ia segera mengajak Suto untuk duduk di salah satu bangku kosong.
Sementara itu, para pengunjung kedai lainnya sibuk dengan percakapan
masing-masing.
Wiraga yang berpakaian serba
biru dirangkap rompi merah tua itu segera mendekati tempat duduk Tembang
Selayang, ia duduk di depan Tembang Selayang, sedangkan Pendekar Mabuk duduk di
samping Tembang Selayang.
"Adhiyasa ingin sekali
jumpa denganmu, Tembang Selayang. Temuilah dia,tapi...."
"Sampaikan salamku saja
kepada Adhiyasa jika kau bertemu dengannya."
"Kurasa kami akan
lamatidak saling jumpa."
"Kenapa begitu?"
"Adhiyasa sedang pergi.
Sudah dua purnama ini tak menampakkan batanghidungnya!"
"Pergi ke mana?"
tanya Tembang Selayang pelan, seakan tak mau didengar Pendekar Mabuk.
"Kabarnya ia sedang
memburu pusaka Kapak Setan Kubur."
"Hahh...?!" Tembang
Selayang kaget. "Mengapa Adhiyasa memburu pusaka itu?"
"Ia diupah seseorang, ia
ingin dapatkan upah tinggi,hasilnyaakan dipakai untukkawin."
"Edan-edanan dia
itu!" gerutu Tembang Selayang dengan bersungut-sungut. "Apakah dia
tahu di mana pusaka itu berada?"
"Kudengar ia sudah
mendapat keterangan dari orang yang menyuruhnya, hanya saja ia tidak mau bilang
padaku siapa orang yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Mulanya ia
mencarimu karena ingin mengajakmu mencari pusaka itu."
Tembang Selayang tarik napas
dalam-dalam. Ia diam dengan wajah cemberut. Entah apa artinya; mungkin kurang
setuju dengan langkah Adhiyasa, mungkin juga jengkel karenatak bisa bertemu
Adhiyasa.
"Wiraga, pergilah sana
dan biarkan aku bicara berdua dengan sahabatku ini."
"O, ya! Aku memang akan
pergi. Mau nonton wayang."
" Siapa yang punya hajat?"
"Ki Lurah mengawinkan
putrinya; Murda Rukmi."
Setelah itu Wiraga pergi. Ki
Punjul, pemilik kedai dan penginapan yang sudah mengenal Tembang Selayang itu,
segera datang melayani mereka berdua. Suto Sinting memesan tuak sebumbung
penuh, dan tuak dalam poci kecil.
"Ki Punjul, aku butuh
kamar untuk bermalam. Apakah masih ada kamar kosong?"
"Masih ada, Tembang. Kau
bisa gunakan kamar di lantai atas. Nanti kusuruh pelayanku menyiapkan kamar
untukmu. Agaknya kalian ingin berbulan madu, ya? He,he, he, he...!"
"Bulan madu...!"
gerutu Tembang Selayang bersungut-sungut. Lelaki kurus berusia sekitar lima
puluh tahun itu dibiarkan pergi ke dapur sambil menghabiskantawanya.
"Apa yang kuduga
benar-benar terjadi; mereka akan sangka aku datang membawa kekasihku," ujar
Tembang Selayang tanpa memandang Suto Sinting, namun sang pendekar tahu ucapan
itu ditujukan padanya, ia hanya tertawa kecil dan memandangi orang-orang yang
berkunjung ke kedai tersebut.
Sesaat kemudian Pendekar Mabuk
ajukan tanya dengan suara yang pelan dan berkesan hati-hati sekali agar tidak
menyinggung perasaan gadis itu. "Siapa Adhiyasa itu, Tembang?"
"Sahabatku," jawab
Tembang Selayang pelan tanpa ada kemarahan. Sepertinya ia masih memendam
kedongkolan.
"Sahabat dekat atau
sahabat jauh?" pancing Suto dengan mengulum senyum.
"Jangan cemburu."
"Lho, aku tidak cemburu.
Jangan salah sangka. Aku hanya ingin tahu, sebab kudengar ia j uga sedang
memburu pusaka itu demi mengejar upah besar dari seseorang. Mungkin kau bisa
memberitahukan padaku, siapa orang yang mengupahnya itu?"
"Aku tak tahu. Kami sudah
dua purnama tidak saling jumpa. Dia adalah sahabatku, tapi... tapi dia
sepertinya punya hati padaku, hanya saja aku tidak mau melayani maksudnyayang
ingin mencintaiku."
"Aha...! Seharusnya kau
melayaninya semasa kau menyimpan hati pula padanya."
"Cukup!" hardik
gadis itu. "Akutak ingin bicara soal itu," Ia semakin cemberut, tapi
Pendekar Mabuk semakin cengar-cengir geli.
Setelah saling meneguk minuman
dan menelan makanan, Pendekar Mabuk mulai membuka percakapan lagi dengan suara
pelan bagaikan berbisik. Untuk itu duduknya lebih merapat lagi. "Murid
siapa Adhiyasa itu?"
"Limatingkat di
bawahku."
"O, jadi kalian saudara
seperguruan?"
"Ya. Tapi ketika aku
meninggalkan perguruan, dia baru masuk, sehingga aku semula tidak tahu kalau ia
juga murid dari Nyai Guru Guntur Ayu."
Pendekar Mabuk terkesiap
pandangi Tembang Selayang.
"Kalau begitu kau kenal
dengan Dinada?!"
"O, ya. Aku kenal
dengannya. Dinada atau Milasi adalah seangkatan denganku. Kami sama-sama keluar
dari perguruan terutama setelah perguruan dipegang oleh Merak Cabul. Kami tidak
sepaham dengan tujuan si Merak Cabul."
Pendekar Mabuk menggumam
panjang dan manggut- manggut, terbayang wajah gadis cantik peniup seruling yang
bernama Dinada. Ia jadi rindu ingin bertemu gadis itu. Terbayang pula
kelincahan Dinada kala gadis itu mempermainkan Suto dengan serulingnya, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "GelangNaga Dewa").
"Apakah dia
kekasihmu?"
"Bukan. Kenapa nada
pertanyaanmu penuh curiga?"
"Pemuda tampan sepertimu
biasanya di mana-mana punya banyak 'demenan' alias gundik."
"Ha, ha, ha...!"
Suto Sinting tertawa agak keras karena geli sekali mendengar kata-kata itu. Ia
buru-buru menutup mulut setelah sadar bahwa saat itu ia berada di kedai, ia
juga menjadi malu ketika orang-orang memperhatikan ke arahnya.
Akibat tawa yang terlepas itu,
seorang lelaki gemuk berkumis lebat dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala
biru itu mendekati Suto Sinting. Lelaki bergelang bahar hitam itu menepuk
pundak Tembang Selayang sambil berkata nakal.
"Tembang Selayang...
rupanya kau sekarang punya pemuas dahaga semuda itu, hmm...?! Pantas aku tak
pernah melihatmu. Wajahmu pucat sekali. Apakah dikurung terus oleh anak muda
itu?"
Teebb...! Tembang Selayang
mencekal tangan orang tersebut tanpa memandangnya. Wajahnya dingin dan ketus.
"Jangan macam-macam
padaku, Guci Kopong!"
Krraakk...! Terdengar seperti
suaratulang patah. Guci Kopong meringis dengan mata terpejam. Mulutnya
ternganga karena menahan rasa sakit.
"Ada yang ingin kau
katakan lagi padaku?!" pertanyaan itu bernada datar dan dingin, tanpa
diikuti pandangan matake arah orang yang ditanya Guci Kopong tak bisa menjawab
karena genggaman tangan Tembang Selayang bagaikan kian meremukkan pergelangan tangannya.
Pendekar Mabuk hanya memandanginya tanpa berbuat apa-apa. Senyumnya mekar di
bibir, seakan menertawakan orang gemuk yang berlagak jagoan itu.
"Hei, lepaskan dia,
Tembang!" seru orang berbadan agak kurus dari Guci Kopong. Orang berbaju
kuning dan berkumis melengkung ke bawah itu segera melompat dari tempat
duduknya ingin menyerang Tembang Selayang .
Suto Sinting segera sentilkan
jarinya. Deess...! Tenaga dalam berkekuatan tendangan kuda jantan dilepaskan
melalui sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Orang berbaju kuning
langsung terbang kembali arah danjatuh di atas meja. Brakkk...!
"Uuhg...!" ia
mendelik dan memegangi ulu hatinya bagaikan sukar bernapas.
Tembang Selayang bangkit dan
menghentakkan sikunya ke belakang sambil lepaskan genggaman tangannya.
Buuhg...!
"Heegh...!" Guci
Kopong terpelanting ke belakang dan menabrak seorang pembeli lainnya yang
sedang memunggunginya. Brakkk... !
Tembang Selayang berbalik arah
menghadapi lawannya, sedangkan Suto Sinting masih tetap duduk dengan santai.
Satu kakinya ditumpangkan di bangku dalam keadaan setengah bersila, ia
tersenyum-senyum memandangi kedua orang yang bermaksud cari gara-gara itu.
Guci Kopong tersiram kuah
santan pada wajahnya, sedangkan orang berbaju kuning itu terkena sambal di
bagian rambutnya.
Mereka sama-sama berdiri
dengan wajah masih menyeringai menahan rasa sakit. Tembang Selayang tahu, bahwa
Suto Sinting tadi ikut membantunya menyerang orang berbaju kuning, sehingga ia
berkata kepada orang itu dengan mata galaknya.
"Bawa kakakmu pergi dari
sini dan jangan boleh menggangguku lagi, Pawang Kera!"
"Kau mematahkan tangan
kakakku, Tembang Selayang! Aku harus membalas dengan mematahkan batang lehermu,
Keparat! Hiaaah...!"
Baru saja si Pawang Kera
menggerakkan tangannya membuka jurus keranya, tiba-tiba Suto Sinting sentilkan
kembali 'Jari Guntur'-nya secara diam-diam. Deess...!
"Uhaaghh...!" Pawang
Kera terbungkuk dan muntah di tempat membuat orang-orang menggerutu benci. Yang
makan segera meninggalkan makanannya karena jijik.
Kedua orang kakak-beradik itu
akhirnya meninggalkan kedai setelah diperingatkan oleh orang- orang
sekelilingnya.
" Sudah, pergi saja
kalian! Bikin kacau di sini saja! Kami mau makan, bukan mau melihat orang
berlagak jago!"
Di pintu menuju keluar, Guci
Kopong berseru tinggalkan ancaman sambil menyangga tangan kanan yang remuk
tulangnya itu.
"Tunggu kalian di sini!
Kami akan datang bersama ketua kami!"
"Panggil ketua
perguruanmu!" tantang Tembang Selayang. "Kami tak takut. Kami
menunggu di sini sampai esokpagi!"
"Awas kau, Tembang! Kau
akan mati hangus dan menjadi arang atau terpotong menjadi tiga puluh tiga
bagian!" geram Guci Kopong, setelah itu ia ditarik oleh Pawang Kera agar
segera pergi tinggalkan kedai.
Suasana tenang kembali.
Tembang Selayang menyatakan bersedia mengganti kerugian atas kerusakan
yangterjadi di situ. Tapi pemilik kedai berkata,
"Tak perlu. Kau sudah
mengusir mereka, aku sudah cukup berterima kasih. Sebab mereka kalau terlalu
lama di sini, daganganku bisa habis tanpa ada uangnya. Mereka tak pernah mau
bayar apa saja yang mereka makan di sini."
"Kita lanjutkan
percakapan kita di kamar saja." ajak Tembang Selayang. Suto Sinting tidak
menolak, karena ia memang ingin melonjorkan badan agak santai sebentar. Pelayan
yang mengurus persewaan kamar segera mengantarkan Tembang Selayang dan Suto
Sinting ke kamar lantai atas. Penginapan itu mempunyai dua lantai dengan
sepuluh kamar sewaan. Pada umumnya yang menyewa kamar di situ membawa perempuan
malam atau gundik mereka, sehingga Suto agak kikuk dan tak enak hati karena ia
tahu orang-orang itu menyangka Tembang Selayang adalah gundiknya.
Tapi gadis itu lebih bersikap
masa bodoh, sehingga Suto Sinting pun akhirnya ikut-ikutan bersikap demikian
untuk menenangkan jiwanya.
"Siapa mereka berdua
tadi, Tembang Selayang?!"
"Pawang Kera dan Guci
Kopong. Mereka orang- orang Perguruan Monyet Sakti, ketuanya bernama: Dewa
Beruk."
"Baru sekarang kudengar
nama-nama mereka. Hmm... Dewa Beruk?" Suto menggumamkan nama itu seakan
punya maknatersendiri.
"Tak perlu kau risaukan
mereka. Aku masih sanggup hadapi sepuluh orang Monyet Sakti! Ketua mereka
sendiri ilmunyamasih sejajar denganku."
"Bukan itu yang
kupikirkan, tapi ancaman mereka."
Tembang Selayang sunggingkan
senyum sinis berkesan meremehkan kekhawatiran Suto Sinting, ia segera
merebahkan badan di atas dipan sebelum Suto menggunakan dipan itu.
"Jangan pikirkan ancaman
itu. Biasanya mereka hanya besar mulut, jarang terbukti. Orang-orang Perguruan
Monyet Sakti hanya banyak berkoar, di mana- mana meninggalkan sesumbar dan
ancaman, tapi ilmu mereka sebenarnya sangat kecil."
Suto Sinting tersenyum dekati
Tembang Selayang, ia berdiri di samping dipan menatap gadis yang berbaring
dengan pedang didekap di dadanya.
"Sial. Hatiku deg-degan
memandang ia berbaring begini?!" gerutu Suto dalam hati, tapi di mulutnya
ia berkata lain.
"Aku tak takut pada
ancaman mereka. Tapi aku menemukan kejanggalan yang perlukita pikirkan."
"Kejanggalan apa?"
"Guci Kopong tadi bilang,
akan datang memanggil ketuanya dan seakan ketuanya sanggup membuat kita mati
hangus menjadi arang atauterpotongtiga puluh tiga bagian."
"Itu sesumbarnya
saja."
"Mungkin memang benar.
Tapi dari mana ia bisa sesumbar begitu kalau bukan karena ia pernah melihat
bukti? Dan siapa orang yang bisa bertindak begitu jika bukan orang yang
memiliki Kapak Setan Kubur?!"
Tembang Selayang diam
sebentarmerenungkan, tiba- tiba ia tersentak bangkit dan menatap tegang kepada
Suto Sinting.
"Benar juga! Berarti
pusaka Kapak Setan Kubur ada di tangan Dewa Beruk?!"
Suto Sinting hanya angkat bahu
dengan senyum tipisnya.
***5
PERGURUAN Monyet Sakti
terletak di lereng Gunung Bunting sebelah barat. Jika ingin ke sana harus
melewati kaki Gunung Bunting, yang berarti harus melewati pondok tempat tinggal
Empu Tapak Rengat. Sebelum membuktikan apakah pusaka Kapak Setan Kubur memang
ada di tangan Dewa Beruk, Suto Sinting sangat setuju untuk tetap singgah dan
temui ayah Tembang Selayang seperti rencana semula.
Perjalanan ke kaki Gunung
Bunting memakan waktu kurang dari seperempat hari. Suto Sinting menggerutu dan
berkata,
"Kalau tahu tidak sejauh
ini, mendingan tadi malam kita lanjutkan perjalanan, tak perlu bermalam di
penginapan Ki Punjul."
"Naluriku menghendaki
begitu, dan ternyata kita akan memperoleh tanda-tanda siapa pemegang pusaka
Kapak Setan Kubur itu. Coba kalau kita tidak bermalam di desa itu, kita tidak
bertemu Guci Kopong dan Pawang Kera, sehingga tidak mempunyai bayangan siapa
pemegang pusakatersebut?"
"Benar juga," jawab
Suto akhirnya menyerah dalam perdebatan itu. "Tapi ada satu hal yang
membuatku merasa janggal tentang dirimu."
"Tentang hubunganku
dengan Adhiyasa?! Oh, kau masih tak percaya kalau akutidak mencintai
Adhiyasa?"
"Bukan soal itu,
Manis," kata Suto dengan tersenyum geli. Lalu ia tampak bersungguh-sungguh
dalam ucapannya.
"Kau mengatakan bahwa
gurumu adalah Nyai Guntur Ayu, kau satu perguruan dengan Dinada."
"Benar. Apakah kau tak
percaya?"
"Bukan soal tak percaya.
Tapi kau bilang akan bertanyapada gurumu tentang ilmu 'Mahkota Neraka'."
"Memang, karena guruku
banyak tahu tentang ilmu- ilmukelastinggi itu."
"Tapibukankah Nyai Guntur
Ayu sudah meninggal?"
"Ya, memang sudah
meninggal."
"Lalu, bagaimana kau mau
bertanya kepada orang yang sudah meninggal? Aku merasa janggal membayangkannya"
Tembang Selayang sunggingkan
senyum tipis berkesan meremehkan pertanyaan itu. Tetapi ia segera bicara dengan
sungguh-sungguh tanpa ada kesan membohongi Pendekar Mabuk.
"Hanya aku murid dari
Nyai Guru Guntur Ayu yang bisa bicara dengan makam Guru, karena akulah satu-
satunya murid yang berhasil pelajari ilmu 'Rohwicara'. Murid lainnya tidak
berhasil pelajari ilmu itu. Bahkan anak Nyai Guru sendiri; Aswarani, tidak bisa
kuasai ilmu 'Rohwicara' itu."
"Aswarani...?! Maksudmu
si Anak Petir itu?!"
"Ya. Dia adalah
putritunggal Nyai Guru Guntur Ayu. Kau pernah kenal dia?"
"Pernah," jawab Suto
Sinting, tak lanjutkan penjelasannya. Suto tak ingin ceritakan bahwa Anak Petir
yang menjadi perempuan sesat itu telah mati di tangannya dalam satu
pertempuran, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "GelangNaga
Dewa").
Percakapan mereka terhenti
karena mata mereka memandang kepulan asap di balik kerimbunan hutan. Kepulan
asap itu membubung tinggi berwarna hitam. Tembang Selayang menjadi tegang dan
berkata dengan suara gemetar,
"Ada kebakaran di sana.
Padahal di sana adalah pondok kediaman ayahku?! Adakah sesuatu yang terjadi
terhadap ayahku?!"
"Cepat kitake sana!"
seru Suto Sinting, kemudian ia melesat lebih dulu. Separo kecepatan dari jurus
'Gerak Siluman' dipergunakan, sehingga kecepatannya bisa sejajar dengan
kecepatan gerak Tembang Selayang. Tapi ternyata gadis itu bergerak lebih cepat
lagi, sehingga Suto perlu menambah kecepatan geraknya supaya tetap sejajar.
Mereka terperangah ketika tiba
di suatu ketinggian lereng dan memandang ke bawah. Sebuah rumah gubuk terbakar
dengan kobaran api membubung tinggi.
"Ayaaaah...!" teriak
Tembang Selayang memandang tiga orang yang sedang menghajar lelaki tua berbadan
kurus dengan kain selempang sebagai ganti pakaiannya yang berwarna putih lusuh
itu. Orang tua berambut abu- abu dengan usia sekitar enam puluh tahun itu tak
lain adalah EmpuTapak Rengat.
Kemudian terdengar suara gadis
itu mengalunkan tembang yang lembut mendayu-dayu dengan suaranya yangjernih dan
berkesanteduh.
"Awan putih ditelan
mendung Matahari diam membisu seribu kata Dewa-dewa palingkan muka tak mau
bicara Awanputih hancur di ujung gerhana Adakah damai di atas sana yang mampu
mengusir petaka Bidadari sucimenitikkan kebeningan dari celah duka Karena tiada
tangan yang menggapai menolongnya.... "
Suara lembut Itu bagaikan
menyebar ke seluruh penjuru dunia. Matahari yang memancarkan sinarnya dengan
terang menjadi redup. Kobaran api pun kian menyusut. Pertarungan di bawah sana
menjadi terhenti, mereka saling bungkam dan membisu, diam tertunduk seakan
meresapi syair tembang yang mengalun lembut menggores hati.
Tak berbeda halnya dengan
Pendekar Mabuk yang juga menunduk. Hatinya menjadi sedih, terbayang masa
anak-anaknya yang menyedihkan. Terbayang wajah ayahnya yang tersiksa oleh
kekejaman orang-orangnya Kombang Hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Bocah TanpaPusar").
"Celaka! Aku hampir
menangis dicekam masa lalu yang amat menyedihkan. Mengapa aku jadi membayangkan
peristiwa itu? Oh, syair tembang dan suara merdunya ternyata mempunyai kekuatan
yang melumpuhkan hati orang yang mendengarnya. Tinggi juga ilmu gadis ini. Aku
harus mengimbangi dengan menjaga pernapasanku agar teratur dan memusatkan
perhatianku pada musuh bebuyutan: Siluman Tujuh Nyawa...," pikir Suto
Sinting.
Ternyata tiga orang yang
menyerang Empu Tapak Rengat itu juga mengalami hal yang sama dengan Pendekar
Mabuk. Teringat masa-masa yang amat menyedihkan, kenangan masa anak-anak atau
pun peristiwa duka apa saja kembali bermunculan dalam ingatan mereka. Suara dan
syair tembang itu ternyata mampu menggugah ingatan duka masa lalu bagi siapa
pun yang mendengarnya.
Tiga orang berambut pendek
dengan usia rata-rata empat puluh tahun itu akhirnya terisak-isak.
Mereka menangis dan tak mampu
menahan air matanya. Ada yang langsung terduduk di tanah dan tersengguk-
sengguk, ada yang sambil berdiri, ada pula yang hanya sekadar jongkok dan
meraung-raung ingat kematian ibunya.
"Huaaa.... Huaaa....
Ibuuu... kenapa kau tinggalkan aku sendirian, Ibuuu...!" orang berbaju
merah itu meraung-raung bagaikan baru saja Ibunya meninggal di depan mata.
Nyala api yang semula berkobar
semakin lama semakin surut dan akhirnya padam. Angin berhembus agak kencang,
dan matahari tertutup mega hitam hingga suasana mendung tercipta saat itu juga.
Alunan suara Tembang Selayang
ternyata mampu mempengaruhi alam, sehingga dedaunan pun menjadi layu dan udara
membawa embun dingin yang terasa membasah di kulit t ubuh manusia.
Empu Tapak Rengat juga
tertunduk dalam sikap duduknya yang bersila. Agaknya ia pun dicekam duka
karenaterkenang kematian istrinya yang menjadi tumbal sebuah pusaka miliknya
itu. Namun agaknya Empu Tapak Rengat mengetahui kehadiran duka itu tidak
sewajarnya, sehingga ia mencoba melawannya dengan lakukan semadi seadanya.
"Hentikanlah tembangmu,
mereka telah berhenti menyerang ayahmu!" bisik Suto Sinting yang menjadi
tegar karena menenggak tuak agak banyak.
Wuusss...! Tembang Selayang
melompat menuruni lereng dengan lincah, kakinya menapak dari atas batu yang
satu ke batu lainnya dalam jarak lebar. Pendekar Mabuk hanya gunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Zlapp...! Tahu-tahu sudah ada di depan tiga orang berambut
pendek yang sedang menangis itu. Kejap berikutnya barulah Tembang Selayang tiba
di tempat tersebut, ia langsung menghajar ketiga orang itu dengan gerakan
cepatnya
Plak, plok, duhg, prakkk,
bruss...!
Tiga orang yang sedang
menangis menjadi semakin mengerang karena kesakitan. Dukanya hilang tapi rasa
sakitnya datang mengejutkan sekali. Mereka segera bangkit satu persatu dengan
murkanya. Mata mereka saling memandang Tembang Selayang yang berdiri tegar,
seakan tak mudah ditumbangkan.
"Keparat perempuan itu!
Habisi dia!" teriak yang berpakaian hitam. Maka kedua orang yang
berpakaian merah dan abu-abu itu segera menerjang Tembang Selayang.
"Heeaaahh...!"
Blarrr...!
Rupanya gadis itu tak mau
membuang waktu menunda dendam. Kedua telapak tangannya disentakkan ke depan
secara bersamaan, dan melesatlah sinar biru menghantam tubuh mereka
masing-masing.
Brrruuss... ! Gusrakk... !
Kedua orang itu terkapar
dengan kulit tubuh mengelupas merah. Mata mereka terbelalak tak bisa berkedip
dengan mulut ternganga bagaikan mencari udara untuk ditelannya. Kejap
berikutnya tubuh-tubuh yang mengejang itu akhirnya terkulai lemas dan napas
mereka pun lenyap saat itu juga.
"Bangsat kau!"
teriak orang yang berpakaian hitam. "Kau harus menebus nyawa dua rekanku
dengan nyawamu dan nyawa si tua peot itu!" ia menuding Empu Tapak Rengat.
Orang berpakaian hitam itu
mencabut goloknya dan memutar-mutarkan dengan cepat. Kilatan cahaya putih perak
sesekali tampak melesat dari putaran golok di atas kepala tersebut. Kilatan
cahaya putih perak itu menyambar tubuh Tembang Selayang. Namun gadis itu
menghindarinya dengan melompat ke sana kemari dengan licah, sampai akhirnya
berada di belakang orang berbaju hitam. Sebuah tendangan samping diarahkan ke
punggung orang berbaju hitam. Wuuttt...! Duhhgg...!
"Heeegh...!" orang
itu terpekik keras dan tersentak sampai terjungkal ke tanah. Suto Sinting
tersenyum kagum, karena ia tahu tendangan itu punya kekuatan tenaga dalam cukup
tinggi. Terbukti lawn yang terkena tendangan Tembang Selayang itu langsung
mengerang dengan mata mendelik dan wajahnya menjadi biru legam. Memang an eh,
yang ditendang punggungnya yang biru legam wajahnya. Itulah pemusatan tenaga
dalam yang disalurkan melalui telapak kaki Tembang Selayang.
Tendangan itu cukup berat,
sang lawn tak bisa menahannya, sampai akhirnya semburkan darah dari mulutnya.
Brruusss...! Sekitar empat helaan napas, orang itu pun tak berkutik lagi. Diam
tanpa napas tanpa nyawa.
"Ayah...!" seru
Tembang Selayang, ia bergegas hampiri EmpuTapak Rengat yang masih duduk bersila
di tanah dengan kepala tertunduk.
"Ayah, aku datang...! Aku
yang datang, Ayah...!" gadis itu berlutut di hadapan ayahnya
Suto Sinting memperhatikan
penuh curiga kepada Empu Tapak Rengat yang membiarkan kedatangan anaknya
Beberapa saat kemudian, Suto Sinting segera berseru kepada Tembang Selayang.
"Diaterlukaberat bagian
dalamnya!"
Tembang Selayang terperanjat,
ia segera mengangkat wajah sang Ayah. Ternyata wajah itu bukan saja pucat pasi
melainkan biru bagaikan mayat yang hampir membusuk.
"Ayaaaah...!" seru
Tembang Selayang sambil mendekap tubuh sang Ayah. Pendekar Mabuk bergegas memeriksanya
sesaat, tanpa pedulikan tangis Tembang Selayang.
"Baringkan di tempat
teduh!" kata Suto. "Kurasakan denyut nadinya masih ada."
Pukulan tenaga dalam yang
mengandung racun telah kenai bagian dada Empu Tapak Rengat. Terlambat sedikit
saja, nyawa sang Empu akan melayang. Untung Suto Sinting bergerak cepat dan
berhasil meminumkan tuak ke mulut Empu Tapak Rengat dengan dibantu Tembang
Selayang. Beberapa saat kemudian, Empu Tapak Rengat tersedak dan
terbatuk-batuk. Itulah tanda kesadarannya pulih kembali, tapi kekuatannya belum
seberapa pulih.
"Biarkan ia berbaring
dulu, biar tenaganyaterkumpul kembali," ujar Suto Sinting.
Tembang Selayang masih
menangis dalam kecemasan. Suto Sinting menghiburnya Karena jaraknya cukup
dekat, maka Tembang Selayang pun jatuhkan kepala ke dada Pendekar Mabuk,
kemudian ia dipeluk dan diusap-usap rambutnya oleh sang pendekar tampan itu.
"Tenangkan hatimu. Ayahmu
selamat. Sebentar lagi akan bisa kita ajak bicara. Tenanglah, Tembang Selayang
"
Pondok sang Empu terbakar
habis. Sisanya berupa bangunan hitam yang tak bisa digunakan lagi. Tembang
Selayang menatap dengan hati duka. Iba terhadap nasib sang Ayah yang hidup
menyendiri tanpa istri dan anak, karena Tembang Selayang jarang pulang
menjenguk orangtuanya.
"Kalau saja kedua kakakku
masih hidup, tentu Ayah tidak akan sendirian dalam menjalani masa tuanya.
Sayang kedua kakakku meninggal dalam usia masih bocah, sehingga Ayah hidup
sendiri dan aku tak bisa menungguinya."
"Mulai sekarang
menetaplah bersama ayahmu, agar beliau ada yang merawatnyadi masa tua
ini."
"Ya, baru saja hatiku
mengatakan begitu. Aku ingin menetap dengan Ayah. Tapi agaknya aku harus
mendengar dulu keterangan dari Ayah tentang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Aku
penasaran sekali, dan tak ingin pusaka itu jatuh di tangan Dewa Beruk."
Empu Tapak Rengat ternyata
mempunyai garis tangan seperti tanah yang retak. Barangkali karena garis tangan
yang lebar dan sangat jelas dilihat itulah maka ia berjuluk Empu Tapak Rengat.
Orang berjenggot pendek abu-abu tanpa kumis itu sudah dalam keadaan sehat
berkat tuak saktinyaPendekar Mabuk. Mereka berbicara di bawah pohon rindang
yang mempunyai batu setinggi lutut orang dewasa. Sang Empu duduk di sana,
sementara Tembang Selayang bersila di rerumputan. Pendekar Mabuk berdiri dua
langkah ke samping kanan T embang Selayang.
"Rupanya dunia persilatan
sekarang sedang dilanda geger pusaka Kapak Setan Kubur," kata kakek yang
kepalanyamengenakan sorbanputih itu."
"Memang benar, Ayah.
Justru aku dan Pendekar Mabuk datang kemari untuk menemui Ayah dan menanyakan
tentang kebenaran pusaka tersebut," kata Tembang Selayang. "Tapi
terlebih dulu aku ingin mengetahui, siapa tiga orang yang menyerang Ayah dan
membakar pondok itu?"
"Mereka orang-orang
bayaran. Mereka disuruh mencari pusaka Kapak Setan Kubur dengan upah yang
tinggi. Entah siapa yang memberitahukan kepada mereka, yang jelas mereka tahu
bahwa aku pernah menyimpan pusaka itu. Lalu mereka mendesakku dengan kasar, dan
aku mencobanya melawan karena merasa tidak bersalah."
"Siapa yangmengupah
mereka bertiga itu, Ayah?"
"Adipati Janarsuma."
Jawaban itu mengejutkan
Tembang Selayang dan Pendekar Mabuk. Mereka berdua saling pandang dengan dahi
berkerut.
"Aku sendiri tidak tahu
persis, yang mana yang bernama Adipati Janarsuma itu," kata Empu Tapak
Rengat. "Yang jelas orang itu sangat membutuhkan pusaka tersebut. Kalau
tidak, ia tidak akan mengirimkan orang bayaran untuk mencari pusaka Kapak Setan
Kubur."
"Apakah pusaka itu memang
ada, Ki?" tanya Pendekar Mabuk.
"Memang ada, dan aku pernah
menyimpannya!" jawab Empu Tapak Rengat dengan tegas dan jelas.
"Pusaka itu berupa kapak dengan tiga mata, kanan-kiri dan ujung depan.
Panjangnya hanya sekitar dua jengkal, mata kapaknya pun tak seberapa lebar,
terbuat dari logam emas. Tangkainyaterbuat dari perak ukir. Ujung bawah
tangkainya itu berlubang."
" Seperti pipa,
begitu?"
"Benar. Dan jika lubang
itu ditiup dengan kekuatan tenaga dalam, maka mata kapak itu akan terbang
sendiri- sendiri memburu mangsanya, lalu hinggap kembali ke tempat semula jika
sudah kenai lawan "
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dan tampak senang sekali mendengar keterangan tersebut. Tembang Selayang diam
memandangi ayahnya dengan rasa kagum terhadap kapak pusaka itu.
"Karena ukurannya tak
seberapa besar, dan tangkainya dari logam kosong, maka kapak pusaka itu sangat
ringan dan mudah dibawa ke mana-mana. Tetapi jika ditebaskan dari atas ke
bawah, maka dalam jarak sejauh dua puluh tombak pun masih bisa keluarkan sinar
merah menyerang lawan. Orang yang terkena sinar merah itu akan terpotong
menjadi tiga puluh tiga bagian."
"Hebat sekali?!"
gumam Suto Sinting semakin yakin lagi dengan keterangan Tembang Selayang saat
di perjalanan kemarin.
"Jika kapak ditebaskan
dari kiri ke kanan, akan keluarkan sinar biru yang dapat membuat lawan mati
hangus menjadi arang dalam sekejap. Jika ditebaskan dari kanan ke kiri, akan
keluarkan sinar hijau yang membuat lawan mati dalam keadaan tercabik-cabik
mengerikan. Jika lawan hanya tergores oleh salah satu mata kapak, maka lukanya
tidak akan sembuh dengan obat apa pun dan tubuhnya akan cepat membusuk karena
racun pada mata kapak itu."
"Sebenarnya siapa pemilik
pusaka itu, Ayah?" tanya sang gadis bertahi lalat di bibir atas yang
membuat ia kelihatan semakin cantik dan manis.
"Pemilik aslinya adalah
Ratu Rias Pundi, beliau penguasa Pulau Singkang, yang sekarang menjadi seorang
pertapa di Gunung Parang. Pusaka itu adalah warisan Eyang sang Ratu. Tetapi
karena sekarang Ratu Rias Pundi sudah menjadi pertapa, maka pusaka itu
dipercayakan kepada adiknya. Adiknya itu adalah sahabatku, bernama Sanupati,
tinggal di...."
Tiba-tiba sekelebat sinar
putih hampir menyatu dengan sinar matahari berkelebat menghantam pinggang Suto
Sinting. Dess...!
"Uhhg...?!" Suto
tersentak dengan mata mendelik, kemudian jatuh terkulaitak sadarkan diri.
Brrukk...!
"Suto...?!" pekik
Tembang Selayang dengan wajah tegang.
Tembang Selayang baru mau
bergerak, tiba-tiba sinar putih melesat lagi, nyaris tak terlihat bentuknya
karena menyatu dengan cahaya matahari. Slapp...! Dess...!
"Aaahg...!" Tembang
Selayang mengejang karena terhantam sinar yang mirip cermin terkenapantulan
sinar matahari itu. Akibat punggungnya terkena sinar putih, Tembang Selayang
terkulai tak sadarkan diri.
Tentu saja Suto Sinting tidak
dapat lakukan apa-apa, karena ia dilumpuhkan lebih dulu oleh sipenyerang gelap
itu. Untuk beberapa saat lamanyaPendekar Mabuk bagaikan cucian basah yang tanpa
tulang sedikit pun.
Ia menjadi siuman ketika hari
menjelang senja. Hembusan angin senja yang merontokkan dedaunan membuatnya
tergugah dari masa pingsannya, ia segera bangkit dengan badan terasa lemas
sekali.
"Empu...! EmpuTapak
Rengat...?!"
Wajah tegang Suto Sinting
lebih mirip orang yang baru saja bangun tidur, ia bingung mencari EmpuTapak
Rengat telah menghilang dari tempat duduknya di atas batu setinggi lutut itu.
Tetapi tak jauh darinya masih tampak utuh Tembang Selayang terkulai belum
sadarkan diri.
Pendekar Mabuk buru-buru
menenggak tuaknya. Glek, glek, glek, glek...! Badannya terasa segar kembali.
Kekuatan dan tenaga bagaikan pulih secara berangsur- angsur.
Kemudian ia segera menyadarkan
Tembang Selayang dengan tuaknya juga. Gadis itu segera menegang ketika
mengetahui bahwa sang Ayah sudah tidak ada di tempat, ia bergegas mencari ke
berbagai tempat sekitarnya, tapi sang Ayah tetap tidak ada. Pendekar Mabuk pun
gagal mencari sang Empu walau sempat mengacak-acak reruntuhan pondok yang
hangus itu.
"Ayahku pasti diculik
oleh si penyerang kita tadi!" geram Tembang Selayang.
"Kurasa memang begitu.
Kita dilumpuhkan, tapi ayahmu dibawanya lari entah dengan cara bagaimana."
"Kurang ajar! Kuhabisi
nyawa orang itu kalau sampai beradu muka denganku!" geram sang gadis
semakin kuat. Kedua tangannya mengepal kencang, giginya menggeletuk penuh
dendam.
Setelah sama-sama diam sesaat,
tiba-tiba Suto Sinting punya gagasan baru dan segera berkata kepada Tembang
Selayang.
"Kau mau ikut aku ke
Kadipaten Balungan?"
Tembang Selayang kerutkan
dahi. "Maksudmu, Adipati Janarsuma yang menculik ayahku?"
"Utusannya yang melakukan
penculikan itu!" tegas Suto. "Tentunya sang Adipati yakin betul bahwa
pusaka itu ada di tangan ayahmu dan disembunyikan di suatu tempat, sehingga
karena ayahmu tidak bisa dibujuk dengan cara apa pun, maka ia menculiknya.
Tentunya sang Adipati dapat bertindak semaunya sendiri terhadap ayahmu selama
ayahmu ada dalam tawanannya. Yang penting ia harus membuat ayahmu mengaku di
mana pusaka itu disembunyikan!"
"Keparat! Kalau begitu
ayahku akan disiksa oleh sang Adipati?!"
"Besar kemungkinan
begitulah kira-kiranya. Kalau kita tak bergerak cepat, ayahmu bisa jadi korban
salah sasaran. Sang Adipati pasti belum tahu bahwa Kapak Setan Kubur sudah di
tangan Dewa Beruk."
Tembang Selayang menenangkan
diri, mengatur pernapasannya yang dibakar api kemarahan. Setelah diam beberapa
saat, suaranya pun diperdengarkan kembali.
"Apakah kau yakin pusaka
itu ada di tangan Dewa Beruk yang ilmunyatak seberapa tinggi itu?"
"Firasatkumengatakan
demikian"
"Kalau begitu aku akan ke
Perguruan Monyet Sakti untuk mengambil Kapak Setan Kubur dan kuserahkan kepada
Adipati Janarsuma sebagai tebusan mengambil ayahku!"
"Hmmm... kalau begitu aku
ikut kau dulu ke sana. Kita hadapi bersama si Dewa Beruk kalau benar ia
menggunakan kapak pusaka itu untuk melawan kita."
Pendekar Mabuk berpikiran
begitu karena ia khawatir akan keselamatan Tembang Selayang; si cantik berdada
sekal itu. Dalam bayangan Suto, jika memang kapak pusaka itu ada di tangan Dewa
Beruk, maka Dewa Beruk akan menggunakannya untuk melawan siapa saja yang ingin
merampas kapak pusaka tersebut. Dan keyakinan Suto mengatakan, bahwa Tembang
Selayang akan celaka jika berhadapan dengan lawan yang bersenjata kapak pusaka
itu.
Tanpa banyak berunding lagi
mereka segera berkelebat menuju lereng gunung tersebut yang menghadap ke arah
barat.
"Cari jalan terdekat agar
sebelum petang tiba kita sudah sampai di perguruan itu!" kata Suto Sinting
kepada Tembang Selayang.
Namun mendadak langkah mereka
terhenti karena Suto terpekik melihat ke arah lembah sebelah kanannya.
"Tunggu...! Siapa itu yang terkapar di sana!"
Tembang Selayang kerutkan dahi
menatap ke arah lembah.
***6
ORANG yang terkapar itu
kenakan pakaian abu-abu, rambutnya putih, badannya kurus dan gigi depannya
tinggal dua. Pendekar Mabuk segera terperanjat pandangi tubuh yangterkapar itu.
"Tua Bangka...?!"
serunya sambil lebih mendekat lagi, Tembang Selayang mengikuti dari belakang.
Tua Bangka terengah-engah
bagaikan baru sadar dari pingsannya. Mulutnya ingin ucapkan sesuatu tapi tak
mampu. Badannya lemas, mengangkat salah satu tangan pun bagaikan tak mampu
lagi. Wajah tua itu menghiba hati Suto dan Tembang Selayang.
"Beri dia minuman tuakmu
biar tenaganya pulih!" ujar Tembang Selayang, sepertinya mengingatkan
Pendekar Mabuk yang tertegun mematung pandangi si Tua Bangka itu.
Setelah terbatuk-batuk karena
terlalu banyak menenggak tuak, Tua Bangka mulai kelihatan sehat. Matanya
dikerjap-kerjapkan seakan membuang kerabunan pandangannya.
"Tua Bangka, apa yang
terjadi pada dirimu?"
Tua Bangka pandangi Suto
Sinting dengan mata sedikit menyipit dan mulut melongo bagaikan linglung.
"Aku Suto...! Suto
Sinting! Masih ingat?" seraya Suto Sinting menepuk-nepuk dadanya.
"Ooh... oh, kau...? Kau
Pendekar Mabuk? Oooh... syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi, Suto! Jangan
jauh-jauh lagi dariku, Suto. Akutakut...! Takut sekali," wajah Tua Bangka
berubah tegang.
"Takut kepada siapa?!
Katakan yang sebenarnya, Tua Bangka!" desak Pendekar Mabuk masih jongkok
di depan Tua Bangka yang duduk di tanah.
"Orang itu... orang yang
tadi itu...."
"Yang mana? Apakah tadi
ada orang lewat sini?"
Tua Bangka mengangguk seperti
anak kecil. "Tadi dia memergokiku dan membantingku di sini, lalu... lalu
habis dibanting ditinggal pergi begitu saja, tidak ditolong, tidak
diapa-apakan. Ooh... orang itu jahat
sekali, Suto!"
"Bagaimana ciri-ciri
orangnya?!" tanya Tembang Selayang.
"Orangnya... kurus, tua,
rambutnya abu-abu memakai... memakai kain sorban putih. Pakaiannya... hanya
kain putih dililitkan lalu diselempangkan ke pundak kiri."
"Berjenggot pendek warna
abu-abu pula?" tanya gadis itu ikut penasaran.
"Iya, iya... betul.
Berjenggot pendek dan tidak punya kumis."
"Tak mungkin!"
tiba-tiba Tembang Selayang menyentak dan menarik diri. Ia memalingkan wajah
dengan ronakebingungan.
"Mengapa kau bilang tak
mungkin? Apakah kau tahu ciri-ciri orang tersebut?"
"Tentu sajatahu. Itu
ciri-ciri ayahku."
Suto Sinting tertegun sesaat
membayangkan Empu Tapak Rengat, kemudian angguk-anggukkan kepala sambil
menggumam lirih.
"Hmmm... ya, ya... itu
memang ciri-ciri ayahmu."
"Tapi tak mungkin Ayah
lakukan tindakan sekasar itu kepada orang setua ini?!" sangkal Tembang
Selayang. Suto Sinting jadi bingung sendiri, sebab menurutnya Empu Tapak Rengat
memang tak mungkin bersikap kasarterhadap orang seusia Tua Bangka itu.
"Pinang Sari dan Darah
Prabu bagaimana?!" tanya Pendekar Mabuk kepada Tua Bangka.
"Mereka... mereka...
entahlah. Sejak aku dihantam dari belakang oleh seseorang, aku tak ingat
apa-apa lagi. Aku sadar sudah berada di dalam sebuah gubuk. Kemudian mataku
ditutup dengan kain hitam, mulutku disumbat, dan aku segera ditotok. Setelah
ditotok dibawa pergi entah ke mana," tutur Tua Bangka seperti anak kecil
mengadu kepada kakaknya.
"Apakah yang menotok dan
yang membawamu pergi orang berciri-ciri seperti tadi?"
"Iiy... Iya! Orang berjenggot
pendek abu-abu itu! Kurasa dia pula yang memukulku saat kau mengejar orang yang
membunuh pemuda berompi hitam itu, Suto."
"Aku tak percaya,"
gumam Tembang Selayang dengan pelan menandakan ia sendiri merasa ragu terhadap
rasa tidak percayanya itu.
"Apa maksud orang yang
membawamu kemari itu?" tanya Suto Sinting.
"Dia sangka aku orang
Kadipaten Balungan. Dia menduga aku abdinya sang Adipati Janarsuma. Dia ingin
membunuhku. Tapi setelah kujelaskan bahwa aku sendiri hampir mati digantung
oleh sang Adipati, ia tak jadi membunuhku. Tapi ia membantingku dengan jengkel
di sini sampai aku tak bisa bernapas beberapa saat, lalu aku pingsan. Orang itu
sendiri pergi, entah ke manaperginya akutak tahu, sebab aku pingsan."
Suto Sinting semakin bingung.
Pertama-tama dilihatnya Empu Tapak Rengat bertarung melawan tiga orang bayaran
yang diutus oleh Adipati Janarsuma. Kemudian sang Empu akhirnya hilang setelah
Suto dan
Tembang Selayang terkena
pukulan dari tempat tersembunyi. Ketika Suto siuman, sang Empu sudah lenyap.
Padahalmenurut Suto yang menghantamnya dari tempat persembunyian bukan sang
Empu sendiri. Lalu, sekarang ditemukan Tua Bangka mengaku mau diserahkan kepada
sang Adipati, dan akhirnya dibanting dengan jengkel setelah Tua Bangka mengaku
sebagai buronan sang Adipati Janarsuma.
"Lalu, apamaksud
EmpuTapak Rengat sebenarnya?" pikir Pendekar Mabuk dalam renungannya.
"Ada di pihak mana sebenarnya EmpuTapak Rengat itu?"
Tembang Selayang tak enak hati
melihat Suto termenung, ia yakin yang direnungkan adalah ayahnya, ia yakin Suto
Sinting bercuriga buruk kepada ayahnya. Sedangkan ia sendiri juga punya
pertanyaan yang membingungkan tentang ayahnya itu. Akhirnya Tembang Selayang
berkata kepada Suto Sinting.
"Sebaiknya kau urus dulu
orang tua ini. Biarkan aku datang sendiri ke Perguruan Monyet Sakti untuk
merebut Kapak Setan Kubur itu."
"Jangan gegabah dulu.
Persoalannya agak meleset dari perkiraan kita. Ternyata ayahmu tidak diculik
oleh sang Adipati."
Tembang Selayang diam, seakan
mengakui bahwa ayahnya memang tidak diculik oleh orang utusan sang Adipati.
Tapi ia tidak mempunyai keputusan apa pun karena dicekam oleh kebimbangan
bertindak.
Pendekar Mabuk berkata lagi,
sementara Tua Bangka hanya menjadi pendengar yang sesekali memandang jauh
karenatakut diserang seseorang lagi.
"Kau dengar sendiri
kata-kata ayahmu, bahwa pusaka itu sebenarnya milik Ratu Rias Pundi. Kemudian
sang Ratu menjadi pertapa, dan pusaka itu di-serahkan kepada adik sang Ratu
yang bernama Sanupati. Sang Ratu adalah penguasa Pulau Singkang. Jadi, sekarang
langkah kita adalah pergi ke Pulau Singkang mencari Sanupati, si pemilik pusaka
tersebut."
"Tapi tadi kau yakin
kalau pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, ketua Perguruan Monyet Sakti?!
Kenapa sekarang berubah pikiran?"
"Bukan berubah," tegas
Suto Sinting. "Kita perlu tanyakan di mana letak kelemahan pusaka itu.
Jika kita sudah mengetahui kelemahan pusaka itu, kita dapat melawan Dewa Beruk
yang bersenjata kapak pusaka itu!"
"Terlalu membuang
waktu!" sahut Tembang Selayang. "Ingat, pihak Kadipaten Balungan juga
menghendaki pusaka itu. Jangan sampai kita didului oleh mereka. Jika kita harus
ke Pulau Singkang dulu, begitu kembali ke lereng gunung ini, bisa-bisa pusaka
sudah berpindah tangan."
Pendekar Mabuk tarik napas
mempertimbangkan langkahnya Tua Bangka masih terbengong melongo memamerkan dua
gigi depannya tanpa bisa memberi pendapat dan pandangan apa-apa. Barangkali ia
malu karena pusaka itu ternyata memang ada.
Tak ada pilihan yang lebih
baik saat itu kecuali menyetujui rencana Tembang Selayang. Perhitungan gadis
itu dinggap lebih benar oleh Pendekar Mabuk. Kecuali Dewa Beruk sukar
ditumbangkan dengan pusaka itu, maka rencana kedua akan dipakai, yaitu pergi ke
Pulau Singkang dan menemui orang yang bernama Sanupati untuk menanyakan kelemahan
pusaka Kapak Setan Kubur.
"Kalian mau ke
mana?" tanya Tua Bangka.
"Ke Perguruan Monyet
Sakti. Kami akan temui Dewa Beruk untuk mengambil Kapak Setan Kubur,"
jawab Suto. "Kau ikut kami, Tua Bangka."
"Tidak," Tua Bangka
mundur. "Aku tidak mau ikut kalian. Nanti aku celaka diserang lawan
kalian."
"Atau kau mau tinggal di
sini dulu? Siapa tahu orang yang membantingmu itu muncul lagi?"
"Oh, tidak! Aku tidak mau
dibanting lagi. Kalau begitu... baiklah, aku ikut kalian. Tapi kalian harus
lindungi keselamatanku!" kata Tua Bangka seperti anak kecil minta jaminan.
Mereka bergegas menuju lereng
sebelah barat. Namun lagi-lagi langkah mereka terhenti karena menemukan sesosok
mayat yang tergeletak di jalanan dalam keadaan menyedihkan. Sosok mayat itu
terkapar tanpa nyawa dalam keadaan tercabik-cabik, sekujur tubuhnya bagaikan
dirajang-rajang dengan puluhan mata pisau yang tajam. Tak ada bagian tubuh yang
tampak utuh. Sampai pada daun telinga pun tercabik-cabik berlumuran darah.
"Ooh...?!" Tua
Bangka bergidik merinding sambil jauhi mayat itu. "Pasti di sini ada
binatang buas yang telah berhasilmenumbangkan orang Ini."
"Bukan binatang
buas," gumam Tembang Selayang.
Suto membenarkan pendapat
Tembang Selayang. "Ya, memang bukan binatang buas. Tapi seseorang yang
bersenjata Kapak Setan Kubur. Pasti ia gunakan sinar hijaunya kapak tersebut,
sehingga tubuh mayat itu tercabik-cabik mengerikan begini."
Tembang Selayang memperhatikan
mayat itu beberapa saat, karena khawatir kalau-kalau mayat itu adalah mayat
ayahnya sendiri. Tapi setelah dilihat dari jenis pakaiannya yang bukan putih
tapi coklat muda, maka Tembang Selayang pun hembuskan napas lega, karena yakin
bahwa mayat itu bukan ayahnya.
Mereka lanjutkan perjalanan
dengan kesimpulan semakin kuat, bahwa mereka sudah semakin dekat dengan pusaka
Kapak Setan Kubur.
"Waspada dan hati-hati,
kita sudah semakin dekat dengan pusaka itu," kata Suto Sinting
mengingatkan Tembang Selayang, tapi yang menjadi ketakutan Tua Bangka. Orang
bergigi depan tinggal dua itu lebih merapat kepada Suto, melangkah sambil
memegangi tali bumbung tuak Suto karena merasa takut mendapat serangan dadakan.
"Kalau kau gelayuti
begini langkahku tak bisa bebas, Tua Bangka. Tenang sajalah, aku tak akan
biarkan pusaka itu menyantap tubuh tuamu!"
Tua Bangka bersungut-sungut
dengan gerutuan tidak jelas, ia melepaskan pegangannya dan memberanikan diri
untuk berjalan agak jauh dari Pendekar Mabuk. Hal itu membuat Pendekar Mabuk
sempat tersenyum geli memperhatikan lagak Tua Bangka yang tak mau dibilang pengecut
itu.
Senja kian menipis ketika
mereka tiba di lereng sebelah barat Gunung Bunting. Langkah mereka diperlamban
dengan mata mulai menegang karena mereka mulai mencium bau asap bakaran. Mata
mereka menatap penuh waspada. Angin senja bertiup menggeraikan rambut mereka.
"Ooh... Suto, lihat
itu!" seru Tua Bangka sambil merapatkan diri pada Suto Sinting. Apa yang
dituding Tua Bangka menjadi pusat perhatian mereka.
Tiga sosok mayat terkapar
dalam keadaan mengerikan, yang satu tercabik-cabik, satunya lagi terbakar
hangus menjadi arang, dan yang satunya lagi terpotong-potong menjadi beberapa
bagian. Diperkirakan potongan itu berjumlah tiga puluh tiga bagian.
"Semakin jelas, seseorang
telah menggunakanpusaka Kapak Setan Kubur dalam waktu belum terlalu lama dari
kedatangan kita ini, Tembang Selayang."
"Ya, aku pun berpendapat
demikian. Tapi siapa mereka ini?"
Tua Bangka tiba-tiba berkata,
"Tombak mereka ada di bawah batu itu."
"Oh benar. Mereka
bersenjata tombak dan... dilihat dari jenis hiasan benang bawah mata tombak
itu, sepertinya mereka para prajurit sebuah negeri," gumam T embang
Selayang.
"Benar. Aku ingat tombak
ini merupakan ciri tombak prajurit Kadipaten Balungan!" ujar Tembang
Selayang dengan wajah tegang. "Aku masih hafal ciri-ciri tombak mereka.
Suto Sinting dan Tembang
Selayang saling beradu pandang.
"Kadipaten Balungan...?!
Mungkinkah orang kadipaten sudah mendului kita merebut Kapak Setan Kubur,
Suto?"
"Tak menutup kemungkinan,
hal itu bisa sajaterjadi. Mungkin mereka mendapat kabar dari seseorang bahwa
kapak pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk. Hanya saja, apakah mereka berhasil
merebut kapak pusaka itu atau masih tetap bertahan di tangan Dewa Beruk?!"
Langkah mereka semakin cepat
menuju pusat perguruan. Sepanjang jalan ditemukan mayat bergelimpangan. Ada
yang mati dengan ciri-ciri kedahsyatan Kapak Setan Kubur, ada pula yang mati
karena tebasan senjata tajam lainnya. Mayat-mayat itu bukan hanya menandakan
sebagai ciri prajurit Kadipaten Balungan, namun terdapat pula mayat orang
Perguruan Monyet Sakti.
"Tak dapat dipungkiri
lagi, Suto... belum lama ini pasti terjadi pertarungan antara orang kadipaten
dengan orangnya Dewa Beruk," ujar Tembang Selayang.
"Ya, benar. Kita lihat
saja bagaimana keadaan di pusat perguruan itu!"
Ternyata keadaan di pusat
Perguruan Monyet Sakti semakin menyedihkan. Perguruan hancur, porak- poranda,
terbakar di sana-sini. Nyaris tak ada bangunan yang tersisa. Mayat pun semakin
banyak bergelimpangan, jumlahnya lebih dari tiga puluh mayat. Bahkan ada
beberapa ekor kuda yang mati menjadi hangus atauterpotong menjadi tiga puluh
tiga bagian.
Tua Bangka memandang dengan
wajah sangat tegang. Langkahnya tak jauh dari Pendekar Mabuk. Matanya mendelik
memandangi sekelilingnya.
"Gila! Di mana si Cawan
Pamujan kalau begini?" gumamnya mencari sang cucu.
"Mengapa kaumencari
cucumu di sini, Tua Bangka?"
"Aku takut kalau cucuku
mengalami nasib seperti ini!" ujar Tua Bangka dengan wajah menyeringai
antara sedih dan ketakutan.
Mereka melangkah semakin ke
dalam bekas benteng perguruan. Ternyata hampir seluruh murid perguruan binasa.
Beberapa prajurit kadipaten pun tampak mati mengenaskan.
Tembang Selayang berseru,
"Dewa Beruk...! Keluarlah, aku yang datang; Tembang Selayang! Keluarlah
Dewa Beruuuk...!"
Tak ada jawaban apa pun yang mereka
peroleh. Suara tak ada, gerakan pun tak ada. Yang ada hanya sisa asap kebakaran
yang merambah bagai mempercepat datangnya sang petang.
"Tak ada tanda-tanda
kehidupan lagi," kata Suto Sinting kepadaTembang Selayang."
"Mengerikan sekali!"
gumam Tua Bangka dengan wajah tetap tegang.
Mereka memeriksa seluruh
tempat, dan ternyata memang tak ada satu pun korban pertarungan yang bisa
diselamatkan.
"Aku tak temukan mayat
Dewa Beruk," kata Tembang Selayang. "Berarti dia melarikan diri atau
lakukan pengejaran bagi prajurit kadipaten yang selamat!"
"Jika dia memegang Kapak
Setan Kubur, tak mungkin ia mundur dan melarikan diri. Pasti maju menyerang
atau mengejar," kata Suto Sinting dengan penuh keyakinan.
Mereka bergegas menuju ke
Kadipaten Balungan. Tetapi langkah mereka terhambat malam, Tua Bangka tak
berani lakukan perjalanan malam. Mau tak mau mereka bermalam kembali ke Desa
Panganbumi. Sasaran mereka adalah penginapan Ki Punjul, tempat Suto dan Tembang
Selayang bertemu dengan Guci Kopong serta Pawang Kera. Dalam hati mereka merasa
heran karena mereka tidak menemukan mayat Guci Kopong dan Pawang Kera. Dugaan
yang ada pada mereka adalah pengejaran yang dilakukan oleh Dewa Beruk terhadap
orang-orang kadipaten diikuti pula oleh beberapa murid perguruan, di antaranya
Guci Kopong dan Pawang Kera.
"Atau barangkali mereka
mati hangus menjadi arang yang sukar kita kenali ciri-cirinya itu?"
"Mungkin saja
begitu," jawab Suto Sinting saat mereka mengadakan percakapan di
penginapan tersebut.
Desa itu menjadi desa yang
sepi dan sunyi. Tidak seramai malam yang lalu. Tentu saja hal itu menimbulkan
pertanyaan di batin Suto Sinting, sehingga ia pun ajukan pertanyaan kepada Ki
Punjul, si pemilik kedai dan penginapan itu.
"Mengapa sepi sekali, Ki?
Malam kemarin begitu ramai. Banyak pembeli yang berkunjung ke kedai ini."
"Yah, maklum saja habis
terjadi peristiwa mengerikan sebelum sore tiba tadi," jawab Ki Punjul
dengan waswas.
"Peristiwa apa
yangterjadi itu, Ki Punjul?"
"Dewa Beruk mengamuk
karena perguruannya dibumihanguskan oleh orang kadipaten."
Jawaban Ki Punjul membuat mata
Tembang Selayang menatapnya tak berkedip. Tua Bangka ikut-ikutan memandang Ki
Punjul dengan hasrat mendengarkan cerita seru. Ki Punjul menjelaskan kembali
apa yang dilihat dengan matakepalanya sendiri.
"Ada dua prajurit yang
lari kemari, masuk ke dalam kedai ini. Tapi mereka segera dilempar keluar oleh
Guci Kopong, lalu di sana mereka disambut oleh Dewa Beruk yang bersenjata kapak
dari emas. Kedua prajurit itu akhirnya hangus dan menjadi arang tak berbentuk
lagi. Mengerikan sekali untuk dikenang. Senjatanya sangat ganas, kurasa orang
kadipaten akan dibantai habis oleh Dewa Beruk yang murka itu."
Semakin jelas sekarang, bahwa
pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk. Cerita tersebut
membuat Suto dan Tembang Selayang tertegun beberapa saat. Tua Bangka
ikut-ikutan termenung, bagaikan sedang membayangkan kengerian dari
pertarungantersebut.
"Sekarang ke manaperginya
Dewa Beruk, Ki?" tanya T embang Selayang.
"Mereka menuju ke
kadipaten Balungan. Tentunya yang menjadi sasaran mereka adalah sang Adipati
Janarsuma, karena beliaulah yang memerintahkan menyerang Perguruan Monyet Sakti
untuk dapatkan kapak emas itu."
"Berapa orang yang
mengikuti Dewa Beruk, Ki?" tanya Suto Sinting.
"Hanya dua orang; si Guci
Kopong dan Pawang Kera, serta seorang gadis yang agaknya menjadi tawanan Dewa
Beruk."
"Seorang gadis?!"
Tembang Selayang bergumam heran sambil menatap Ki Punjul. Suto Sinting dan Tua
Bangka pun memandang Ki Punjul dengan penuh rasa ingin tahu.
"Ya, seorang gadis
berpakaian kuning kunyit, berwajah cantik dan masih muda."
"Dari mana kautahu kalau
gadis itu menjadi tawanan Dewa Beruk?"
"Kedua tangannya selalu
dalam ikatan, dan Pawang Kera yang menjaganya."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Tua Bangka tampak gelisah, iaditepuk oleh Suto dan berkata,
"Jangan takut, ia tidak
akan bisa memperlakukan dirimu seperti gadis itu karena kau bersamaku dan
bersamaTembang Selayang."
Tua Bangka ambil napas
dalam-dalam, lalu terbatuk- batuk sesaat. Suara tuanya terdengar kembali
bernada mirip orang menggerutu.
"Kalau kalian lakukan
pertarungan mana sempat menjagaku?! Aku bisa dihantam oleh anak buahnya yang
satu lagi."
Pendekar Mabuk menertawakan
kecemasan Tua Bangka. Beberapa saat kemudian Tua Bangka berkata lagi,
"Aku tak perlu ikut ke
kadipaten. Aku tinggal di penginapan sini saja. Orang kadipaten akan
mengeroyokku karena peristiwa tempo hari itu."
"Kalau kau di sini, aku
tak bisa menjagamu," kata Suto Sinting. "Tapi kalau kau memang merasa
aman di sini, yakin bahwa Dewa Beruk atau yang lainnya tak akan muncul di sini,
ya silakan saja kalau kau mau tinggal di penginapan ini. Tapi jikaterjadi
sesuatu yang mencelakan dirimu, jangan salahkan diriku dan T embang
Selayang"
Tua Bangka garuk-garuk kepala.
Semalaman ia tak tidur karenamemikirkan hal itu. Paginya ketika Suto dan
Tembang Selayang berangkat ke kadipaten, Tua Bangka memutuskan untuk ikut
mereka. Karena ia ingat janjinya kepada Suto Sinting yang telah menyelamatkan
nyawanya dari tiang gantungan, bahwa ia akan ikut Pendekar Mabuk ke mana pun
anak muda itu pergi.
Rupanya perbatasan wilayah
Kadipaten Balungan telah terjadi pertarungan seru antara orangorang kadipaten
dengan Dewa Beruk. Jumlah yang melibatkan diri dalam pertarungan itu sekitar
sepuluh prajurit dari kelas teri sampai kelas kakap. Branjang Kawat pun ada di
antara mereka. Orang pilihan sang Adipati itu tidak lakukan pertarungan
secepatnya, namun mencoba mempelajari kelemahan Dewa Beruk yang bersenjatakan
Kapak Setan Kubur itu.
Guci Kopong dan Pawang Kera
ikut ambil bagian juga sebagal pihak pembela Dewa Beruk. Melihat tingkah laku
Dewa Beruk, Branjang Kawat yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar dengan
celana serta rompinya yang berwarna biru tua itu, segera melesat dari tempat
berdirinya dan tahu-tahu menebaskan pedangnya ke punggung Guci Kopong.
Wuutt...! Craass...!
"Aaaahhg...!" Guci
Kopong memekik dalam keadaan punggung terbelah.
Dewa Beruk segera berpaling
menatap kematian anak buahnya yang berbadan gemuk itu. Orang berjubah hitam
yang sebentar-sebentar garuk-garuk badan itu segera bersalto ke belakang dan
kakinya mendarat di tanah depan Branjang Kawat.
"Bangsat kau! Tebus
kematian anak buahku ini dengan nyawamu! Hiaaat...!" Dewa Beruk sentakkan
kaki dan melenting di udara pada saat Branjang Kawat menebaskan pedangnya.
Pedang lewat di bawah kaki
Dewa Beruk, lalu kapak emas bermata tiga yang digenggamnya sejak tadi itu
dikibaskan dari kiri ke kanan.
Wuuuttt...!
Claapp...! Sinar biru keluar
dari mata kapak berbentuk gerakan tak beraturan dan sukar diketahui ke mana
arah gerakan sinar itu, kemudian sinar biru tersebut menyam bar tubuh Branjang
Kawat.
Jrraaab...!
Bleegaarrr...!
Tak ada suara yang timbul dari
Branjang Kawat. Tubuh itu langsung berasap dan rubuh tak berkutik. Keadaannya
sudah hitam menjadi arang berasap dengan senjata pedangnya ikut-ikutan menjadi
cairan kental yang meleleh lumer dan akhirnya membeku tak berbentuk lagi.
Sementara itu, Singa Parna
yang ikut dalam pertempuran itu berhasil membokong Pawang Kera dengan tombaknya.
Tombak bermata tiga itu dihujamkan ke punggung Pawang Kera, ketika orang itu
sedang menangkis serangan lawan dari depan. Jruubb...!
"Aaahgg...!" Pawang
Kera memekik keras sekali dengan tubuh melengkung ke depan, kemudian rubuh tak
bernyawa. Dewa Beruk semakin buas, murkanya dilepaskan tiada batas.
Pada waktu itu, rombongan
Pendekar Mabuk tiba di tempat tersebut. Namun mereka tidak segera bertindak
karena perlu mempelajari keadaan setempat.
Tiba-tiba Tua Bangka berseru
dengan mata melebar dan wajah menegang,
"Cucuku...! Cawan...!
Cawan Pamujan! Oooh... itu dia cucuku! Cawan Pamujaaan...!"
Seorang gadis yang kedua
tangannya diikat ke belakang berseru memanggil Tua Bangka.
"Kakeeek...!"
Gadis berpakaian hijau muda
dengan rambut di konde dua itu segera berlari menerobos hiruk-pikuknya
pertarungan. Gadis cantik berwajah imut-imut itu membuat pandangan mata
Pendekar Mabuk terpana beberapa saat. Tua Bangka segera berlari tertatih-tatih
menyambut kedatangan cucunya. Suto Sinting dan Tembang Selayang menjadi cemas.
"Tua Bangka, jangan
mendekati pertarungan! Tua Bangka, kembaliii...!" teriak Pendekar Mabuk.
Namun si Tua Bangka tidak pedulikan seruan itu. Ia tetap berlari menyongsong
cucunya; si Cawan Pamujan.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
bergerak cepat dan menyambar gadis itu. Pada saat sang gadis disambar Suto,
kilatan cahaya merah mengarah kepada mereka. Pendekar Mabuk cepat sentakkan
kaki dan, zlaaap...! Ia bergerak lebih cepat dari cahaya merah yang datang dari
kapak emas tersebut.
Gerakan Suto Sinting yang
kedua itu disertai raihan tangan kirinya sehingga menyambar tubuh kurus si Tua
Bangka.
Gelegar ledakan berbunyi
saling bersahutan. Tenaga dalam orang-orang kadipaten diadu dengan kekuatan
dahsyat yang keluar dari Kapak Setan Kubur itu.
Pendekar Mabuk berhasil
selamatkan Cawan Pamujan dan Tua Bangka dari hujan sinar yang dikeluarkan dari
kapak maut tersebut. Murka sang Dewa Beruk membuat ia melepaskan sinar itu ke
sembarang arah, sehingga korban pun berjatuhan.
"Cawan...! Ooh, cucuku...
untung kau selamat, Nak.
Untung kau masih hidup!"
Tua Bangka memeluk cucunya, si Cawan Pamujan. Sementara itu, Tembang Selayang
buru-buru melepaskan tali pengikat yang menjerat kedua tangan gadis berwajah
mungil manis itu, sehingga sang gadis berkulit kuning langsat itu pun bisa
memeluk kakeknya dalam tangis.
"Kakek... aku takut,
Kek...!"
"Kau nakal, akibatnya
begini! Kau tidak bisa kendalikan nafsumu, dan hampir saja nyawamu
melayang!" sang kakek ngomel dengan hati girang, sebentar-sebentar memeluk
cucunya.
"Sebaiknya menyingkir di
bawah pohon sana supaya kau dan cucumu aman, Tua Bangka!" saran Tembang
Selayang, karena ia bersiap akan menghadapi Dewa Beruk bersama P endekar Mabuk.
"Dia membawa kapak itu,
Kek. Dia merampasnya, dan membunuh orang banyak dengan kapak itu!" celoteh
Cawan Pamujan dengan cerewet dan bernada manja.
Tiba-tiba hening tercipta
bagai membungkam alam. Rupanya sekian banyak orang kadipaten telah berhasil
ditumbangkan oleh Dewa Beruk. Keadaan itu membuat Suto Sinting, Tembang
Selayang, Tua Bangka, dan Cawan Pamujan menjadi terbungkam sambil memandangi
Dewa Beruk yang masih garuk-garuk ketiaknya.
Orang berjubah hitam yang
punya wajah angker itu segera menatap ke arah rombongan Suto Sinting. Pada saat
itu Suto sempat berbisik pelan kepada Tembang Selayang,
" Jagai aku. Biar aku
yang maju sebagai umpan kapak itu. Akan kuhadapi dengan bumbung tuakku!"
"Baik. Majulah,kujagai
dari sini!"
Dewa Beruk garuk-garuk perut
dengan tangan kirinya sambil berseru dengan ganasnya
"Kalian juga kehendaki kapak
ini? Majulah kalau kalian ingin kupotong-potong, atau kubakar hangus seperti
orang-orang kadipaten itu!"
Pendekar Mabuk cepat-cepat
menenggak tuak, tapi tidak semuanya ditelan. Sisanya dibendung dalam mulut
untuk disemburkan. Dan pada waktu itu Dewa Beruk tak sabar ingin menuntaskan
murkanya Maka kapak emas itu segera dikibaskan dari atas ke bawah. Wuuutt...!
Claapp...! Wut, wut, wut, wut,
wut...! Gerakan sinar merah yang keluar dari kapak itu zigzag ke sana-sini
sukar diikuti oleh pandangan mata. Sinar merah adalah sinar yang akan memotong
tubuh Pendekar Mabuk menjadi tiga puluh tiga bagian. Namun karena di mulut
Pendekar Mabuk sudah tersimpan tuak yang sebenarnya ingin digunakan untuk
menyembur kapak itu dengan jurus 'Sembur Siluman', supaya kapak menjadi lenyap
dari genggaman Dewa Beruk, terpaksa kali ini yang digunakan Suto Sinting adalah
jurus ' Sembur Wiwaha', yang mampu memercikkan api dari semburan tuaknya dan
membakar kemana-mana.
Brruusss...!
Pendekar Mabuk lakukan
semburan tuak ketika sinar merah itu mendekat ke arahnya. Percikan api keluar
dari mulut Pendekar Mabuk dan menyergap sinar merahnya Kapak Setan Kubur.
Zraabbb..! Blegaarr...!
Pendekar Mabuk terpental
dengan tubuh melambung tinggi. Ledakan itu cukup ganas dan dahsyat sekali, mengguncangkan
tanah, merubuhkan dua pohon, mendatangkan angin membadai dalam sekejap. Tembang
Selayang pun terpental jatuh karena gelombang ledak yang menyentak kuat itu.
Dewa Beruk terlemparke belakang dan berguling-guling. Tua Bangka rubuh sambil
melindungi cucunya hingga tubuhnya tertindih sang cucu. Ia terbatuk-batuk dan
mengerang kesakitan. Namun sang cucu segera membantunya untuk bangkit,
sedangkan Pendekar Mabuk pun baru saja berdiri kembali dari keadaan yang
membantingnyatadi.
Zlaappp...! Suto Sinting maju
lebih dekat. Kini jaraknya hanya tiga langkah dari samping Dewa Beruk yang
sedang berusaha bangkit lagi itu. Kaki Suto Sinting segera menendang leher Dewa
Beruk dengan kuatnya. Wuuuttt...! Deess...!
"Uuhg...!" Dewa
Beruk terlempar dan jatuh tak berapajauh dari Tua Bangka.
Ia segera meniup gagang kapak
pusaka itu. Puih...! Dan tiga mata kapak pun terbang berputar-putar menerjang
Suto Sinting. Seketika itu pula, Tua Bangka melompat maju dan kakinya menendang
tangan Dewa Beruk yang masih pegangi gagang kapak, menunggu kembalinya tiga
mata kapak. Deesss...! Wuuuttt...!
Gagang kapak terpental terbang
dalam ketinggian melebihi pucuk pohon. Dewa Beruk terperangah bengong.
Sementara itu, Tua Bangka cepat sentakkan kakinya ke tanah, dan tubuhnya pun
melesat ke atas cukup tinggi, ia bersalto satu kali di udara dan tangannya
segera menyambar gagang kapak tersebut. Wuuuttt...! Teeb...!
Suto Sinting kebingungan
hindari tiga mata kapak yang menyerangnya, ia terpaksa gunakan bumbung tuaknya
untuk menangkis. Wuuusss...!
Dar, dar, dar...! Tiap mata
kapak yang menghantam bumbung tuak selalu timbulkan ledakan dan nyala api merah
yang memercik. Ketiga mata kapak itu tetap terbang memutar dan kembali ke
tempat semula. Pada saat itu Tua Bangka acungkan gagang kapak ke atas, lalu
tiga mata kapak itu hinggap ke ujung gagangnya dan menjadi rekat seperti sedia
kala Tembang Selayang, Suto Sinting, dan Dewa Beruk sama-sama terperanjat
melihat Kapak Setan Kubur kini ada di tangan Tua Bangka. Sesuatu yang membuat
Tembang Selayang sulit kedipkan mata adalah gerakan salto Tua Bangka yang
melesat tinggi itu adalah gerakan yang tak pernah dibayangkan Tembang Selayang.
Ternyata Tua Bangka mampumelakukannya.
"Keparat kau, orang
peot!" geram Dewa Beruk sambil garuk-garuk lengannya, ia belum sempat
bergerak, tahu-tahu Tua Bangka lakukan gerakan yang sukar dilihat mata manusia
biasa. Wuuutt...!
Kakinya menendang Dewa Beruk
dengan berputar cepat. Tendangan bertubi-tubi yang amat cepat itu mengenai
kepala Dewa Beruk secara beruntun, lebih dari sepuluh kali tendangan.
Plak, plak, plak, plok,
plok...!
Dan tendangan terakhir adalah
gerakan memutar yang sangat cepat. Praaak...! Tua Bangka diam dalam keadaan
pasang kuda-kuda dan kapak terangkat ke atas. Dewa Beruk terlempar dengan wajah
berlumur darah, ia jatuh tepat di samping Suto Sinting.
Agaknya Dewa Beruk masih
penasaran. Dengan menggerang buas ia bangkit dan karena yang terdekat adalah
Suto Sinting, maka ia lepaskan pukulan tenaga dalam andalannya ke arah Sut o
Sinting.
Pendekar Mabuk melihat geiagat
yang akan membahayakan nyawanya Belum sempat tangan Dewa Beruk bergerak, Suto
telah memutar tubuhnya dengan cepat dan nyaris tak terlihat sedikit pun.
Bumbung tuaknya dilayangkan dan menghantam punggung Dewa Beruk.
Wuuutt...! Grraakkk...!
Ada suara tulang remuk
bersamaan terlemparnya tubuh Dewa Beruk ke arah Tua Bangka. Mulut orang itu
semburkan darah ke mana-mana. Tua Bangka menyambutnya dengan kibasan kapak emas
yang membelah dari dada ke perut. Breett...!
"Uuuhhg...!" Dewa
Beruk akhirnya terkulai, jatuh berlutut dalam keadaan dadanya terbelah hingga
perut, kemudian ia jatuh tersungkur ke depan dan selanjutnya tidak bernapas
lagi.
Suto Sinting buru-buru
menenggak tuaknya karena wajahnya memar membiru akibat geiombang ledakan yang
membuat tubuhnya terbanting tadi. Pada saat itu, Tua Bangka bermaksud memenggal
kepala Dewa Beruk. Tapi tiba-tiba sebuah seruan terdengar di sela kesunyian
alam.
"Cukup, Tua Bangka!"
Semua mata memandang ke arah
orang yang berseru itu. Ternyata Empu Tapak Rengat muncul bersama Pinang Sari,
dan Darah Prabu. Mereka sangat terkejut, terutama Suto dan Tembang Selayang.
Gadis itu segera berseru dan berlari memanggil ayahnya. "Ayaaah...!"
EmpuTapak Rengat mengusap-usap
punggung anak gadisnya. "Ayah tak apa-apa! Tenanglah"
Suto Sinting segera bertanya,
"Dari mana saja kau, Ki EmpuTapak Rengat?!"
"Tanyakan pada Tua Bangka
itu. Dia yang menculikku dan memenjarakan diriku di dalam gua. Ternyata di situ
juga ada Pinang Sari dan adiknya; Darah Prabu."
"Benar!" seru Pinang
Sari dengan wajah kesal. "Aku dan Darah Prabu ditotok oleh Tua Bangka dan
disembunyikan dalam gua. Pintu gua ditutup dengan batu berlapis tenaga dalam
yang selalu membuatku terpental jika mendekatinya, Suto. Untung ada Empu Tapak
Rengat ini, sehingga batu itu bisa dijinakkan dan kami bisa keluar dari
gua!"
Suto Sinting pandangi Tua
Bangka dengan dahi berkerut dan matamemancarkan ketajaman. Tua Bangka hanya
nyengir dan garuk-garuk kepala. Empu Tapak Rengat segera mendekat dan berkata,
"Lain kali aku tidak suka
dengan permainan seperti ini, Sanupati!"
"Maafkan aku, semua demi
menyelamatkan pusaka ini. Sekarang kalau kalian mau menghukumku, silakan! Aku
memang bersalah terhadap kalian."
"Ayah... berarti orang
yang bernama Sanupati itu adalah si Tua Bangka ini?!"
"Benar, Anakku. Dialah
adik dari Ratu Rias Pundi yang masa mudanya senang ugal-ugalan. Setelah bertemu
denganku menjadi pria pen diam. Dan Nyai Pucanggeni, adalah bekas
kekasihnyasemasamuda."
"Ooo..., pantas aku
seperti pernah melihatnya. Rupanya dulu aku pernah ikut Guru menemui seseorang
di sebuah bukit untuk lakukan percakapan rahasia, dan orang itu adalah dia, Ki
Empu!" Pinang Sari cepat menyahut.
Suto Sinting agak dongkol
karena selama ini merasa terke(joh oleh penampilan Tua Bangka yang berlagak
polos, lugu, dan bodoh itu. Ternyata orang yang mau digantung itu adalah orang
berilmutinggi.
"Apa maksudmu
bersandiwara seperti itu, Tua Bangka?!" tanya Suto agak menggertak. Tua
Bangka nyengir dan garuk-garuk kepala, seperti orang malu karena merasa
bersalah.
" Semua terpaksa
kulakukan untuk sembunyikan siapa diriku. Dengan begitu orang tidak akan
mengejar- ngejarku untuk dapatkan Kapak Setan Kubur ini. Orang akan mengejar
orang lain, dan aku hanya membayang- bayangi saja. Aku hanya akan bergerak jika
Kapak Setan Kubur dan cucuku sudah ada di depan mat aku. Saat itulah orang akan
tahu bahwa akulah pemiliknya."
"Kakek," kata Cawan
Pamujan. "Maafkan kesalahanku. Semua ini gara-gara kelancanganku mencuri
pusaka itu untuk membunuh Gandapura!"
Suto Sinting terkejut.
"Kau ingin membunuh titisan raksasa itu?!"
"Ya, aku ingin membalas
dendam padanya, karena kekasihku dimakan olehnya!" jawab Cawan Pamujan
dengan ketus, seakan tak mau disalahkan oleh orang lain kecuali oleh kakeknya
sendiri.
"Mengapa bisa jatuh ke
tangan Dewa Beruk?" tanya T embang Selayang.
"Dia menyergapku dari
belakang. Aku dilumpuhkan, lalu kapak diambil olehnya, dan aku dijadikan
tawanan, mau dipakai pemuas gairahnya. Tapi belum sampai terjadi. Sumpah, aku
masih suci kok!"
Cawan Pemujan memandang Suto,
"Sumpah, aku masih suci!"
"Masa bodoh!" jawab
Suto dengan jengkel dan menyingkir dua langkah dari depan gadis itu. Sikap
tersebut membuat Empu Tapak Rengat tersenyum geli, demikian pula Tua Bangka
alias Ki Sanupati itu.
Namun dalam hati Suto Sinting
sempat membatin dalam renungannya,
"Pantas sang Adipati
menangkap Tua Bangka dan memaksa Tua Bangka serahkan kapak itu karena ia tahu
bahwa Tua Bangka memilikinya. Pantas Tua Bangka menyebarkan kabar palsu bahwa
Kapak Setan Kubur itu hanya isapan jempoi belaka, maksudnya supaya tak banyak
yang memburu pusaka tersebut. Tapi, yang membuatku masih merasa heran adalah
sikap sang Adipati Janarsuma. Mengapa ia sangat berkeinginan untuk memiiiki
Kapak Setan Kubur, sampai mengorbankan sekian banyak prajuritnya? Apa yang
ingin dilakukan oleh sang Adipati jika Kapak Setan Kubur ada di
tangannya?"
Tua Bangka mendekati Pinang
Sari dan Darah Prabu.
"Maafkan aku, aku
terpaksa menyembunyikan kalian dulu supaya kalian tak menyebar kabar bahwa
akulah pemilik pusaka ini. Sebab jika kalian bertanya kepada Badranaya, ia akan
sebutkan nama Sanupati alias Tua Bangka. Jadi, sebelum kalian temui sahabatku;
si Badranaya atau gurumu, Darah Prabu, aku terpaksa mencegah dengan cara
sembunyikan diri kalian. Kalau kalian merasa perlu menghukumku, hukumlah
sekarang juga. Aku tak akan mendendam pada kalian."
Pinang Sari menjawab ketus,
"Hukumanku hanya suatu permintaan; jaga cucumu, jangan sampai terlalu
dekat dengan Pendekar Mabuk. Karena ia pandai menjerat hatiwanita!"
Pendekar Mabuk tertawa tanpa
suara sambil melengos.
Tua Bangka, Empu Tapak Rengat,
dan Darah Prabu juga tertawa. Sedangkan Tembang Selayang hanya tersenyum-senyum
dan Cawan Pamujan cemberut malu, sembunyi di belakang kakeknya.
SELESAI