SOSOK kurus ber
wajah tua berdiri di atas gundukan tanah yang membukit. h itu mirip kuburan
raksasa, tanpa pohon dan batu kecuali rumput yang mirip karpet hijau itu. Wajah
si sosok tua dapat membuat bulu kuduk merinding, bahkan orang hamil bisa miskram mendadak karena rasa ngeri
melihat wajah bermata cekung, tulang pipi dan tulang rahang saling bertonjolan.
Jubah abu-abunya tak dikancingkan. Jubah itu
bergerak-gerak ditiup angin perbukitan hingga menyerupai sayap kelelawar
penghisap darah. Rambut putihnya yang dikonde sebagian itu juga meriap-riap
dihembus angin tanpa permisi dulu oleh si pemilik rambut.
Sosok tua kurus jelek dan angker itu milik seorang nenek
yang berkuku runcing warna kehitam-hitaman. Kuku itu dapat untuk merobek kulit
singa, apalagi kulit jeruk. Dengan pakaian dalam warna putih kusam, sosok tua
yang jelas berjenis kelamin perempuan itu sekarang sedang menjadi bahan
pembicaraan para tokoh rimba persilatan.
Dia adalah Nyai Dupa Mayat, guru si De wi Ranjang, yang
terbunuh dalam pertarungannya dengan Pendekar Mabuk, alias Suto Sinting. Nyai
Dupa Mayat memang mempunyai keringat berbau dupa. Wajah tuanya yang keriputan
dengan kedua bibir mirip jahitan celana
itu mempunyai kulit pucat, sepucat seorang almarhumah.
Karena ia dikenal dengan nama Nyai Dupa Mayat. Tapi nama
aslinya semasa gadis adalah Pratiwi Ekawati.
"Ya, aku ingat nama itu. T ak kusangka nama secantik
itu sekarang diganti dengan nama angker mirip kuburan leak," ujar seorang
lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Lelaki itu memandang Nyai Dupa
Mayat dari kejauhan, tepatnya dari balik kerimbunan pohon hutan, ia bersembunyi
di sana bersama seorang pemuda lulusan Pulau Parang yang punya wajah tampan
itu.
Masih ingat pemuda yang ke mana-mana membawa tongkat
pramuka sebagai senjata toya andalannya" Tongkat itu dari bambu kuning dan
mempunyai kesaktian tersendiri, walaupun tak sesakti bambu tuaknya si Pendekar
Mabuk. Pemuda murah senyum itu adalah Sandhi T anayom yang sering disingkat
menjadi Santana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kematian
Sang Durjana").
"Apakah Guru kenal betul dengan nenek kempot
itu?" tanya Santana kepada lelaki tua yang ternyata gurunya sendiri itu.
"Dulu aku bukan saja kenal dengannya, tapi juga
pernah mengadakan hubungan manis dengannya. Yaah... semacam cinta monyet,
begitulah kira-kira," ujar sang Gur u tanpa malu-malu.
Santana sunggingkan senyum geli tertahan.
"Amit-amit," gumam Santana lirih.
"Mau-maunya Gur u bercinta monyet dengan perempuan keriputan seperti
sarung tak dicuci itu"!"
"Oh, waktu itu dia masih muda dan paling cantik di
antara yang berwajah jelek. Dulu dia punya bentuk tubuh sekal, padat berisi,
dadanya juga seperti semenanjung Malakla.-."
"Maksudnya...?"
"Menjorok maju dan... dan memang joroklah
pokoknya!" ujar si Guru dengan lagak santai, jika bicara selalu seenaknya,
seperti tak pernah merasa tua dan kadang lupa bahwa dirinya adalah seorang guru
bagi muridnya. Sang Guru itu juga murah senyum dan selalu ceria.
Semangat mudanya masih menyala-nyala, pandangan matanya
pun masih jelas, sehingga bisa membedakan perempuan mana yang cantik dan yang
tidak cantik, hamil dan tidak hamil, mati dan tidak mati... semua bisa
dibedakan dengan mudah oleh si Guru. Se bab itulah, si Gur u mempunyai nama
julukan yang cukup dikenal bagi para sahabatnya.
Dewa Bandot. Itulah julukan gurunya Santana yang bertubuh
tak terlalu kurus, namun juga tidak gemuk, alias sedang-sedang saja. Kebiasaan
bermain kalung manik-manik biru yang panjangnya sampai ke perut itu merupakan
ciri si Dewa Bandot yang tak bisa dilupakan oleh para sahabatnya. Seperti saat
itu, di balik persembunyian pun tangannya bermain kalung manik-maniknya seraya
pandangi Nyai Dupa Mayat. Sang Nyai sendiri juga mengenakan kalung dari butiran
batu hitam namun tak sepanjang kalung yang dipakai si Dewa Bandot.
"Jadi, jauh-jauh dari Pulau Parang kau membawaku
kemari hanya ingin kau suruh melihat bekas kekasihku itu"!" bisik
Dewa Bandot kepada muridnya.
"Aku tidak tahu kalau dia bekas kekasih monyetnya
Gur u. Aku hanya ingin tunjukkan kepada Guru, nenek itulah yang punya ilmu
'Gerhana Senyawa', yaitu ilmu yang bisa membuat bayangannya bergerak sendiri
dan...." "Sudah, sudah... kau tak perlu jelaskan padaku. Aku gurumu,
berarti aku lebih tahu tentang berbagai macam ilmu!" potong si Dewa
Bandot. "Ngomong-ngomong, ilmu 'Gerhana Senyawa' itu kehebatannya di mana,
Santana?"
"Huuhh... tadi mau dijelaskan Guru melarang.
Sekarang malah menanyakannya."
Sambil pamerkan senyum tuanya, Dewa Bandot berbisik
lirih, "Yaah... namanya orang sudah tua begini, kadang lupa dengan
ucapannya sendiri. Maklumi saja, Santana. Jangan jadi beban pikiranmu, nanti
kau jatuh sakit, makin parah, lalu mati... itu tidak baik, Santana."
Entah apa yang digerutukan Santana, sebab anak muda itu
jika ditanya sering memberi jawaban yang berbeda dengan maksud pertanyaannya.
Mau tak mau si Dewa Bandot ajukan tanya lagi. Akhirnya sang muridmengulang
penjelasannya tadi.
"Bayangan itu bisa bergerak sendiri memburu lawan
atau menyerangnya. Bayangan hitam itu mempunyai daya panas yang sangat tinggi,
sehingga siapa pun tersentuh bayangan tersebut dapat terbakar, bahkan banyak
yang menjadi abu seketika."
"Ooo... ya, ya... sekarang aku ingat, Ilmu 'Gerhana
Senyawa' itu adalah kekuatan inti segala api, termasuk api neraka dan api unggun
diserapnya. T entu saja dapat membuat seseorang menjadi abu atau arang dengan
sekali sentuh."
"T api mengapa bayangannya bisa bergerak sendiri
tidak sesuai dengan gerakan orangnya, Guru?"
"Itu kekuatan iblis! Jadi, kekuatan iblis masuk ke
dalam dirinya dan selalu
berada pada bayangan. Karena iblis ada dalam bayangannya,
maka bayangan itudapat bergerak sendiri. Se bab itulah dikatakan 'Senyawa'
artinya, sama-sama punya nyawa tapi juga sama-sama punya bentuk
sepertipemiliknya, hanya beda wujud kasarnya."
Obrolan di balik persembunyian itu terhenti, karena
perhatian mereka segera terpusat kembali kepada Nyai Dupa Mayat yang berdiri
dengan kedua tangan bersidekap di dada. Karena matahari tepat di pertengahan
langit, maka bayangan Nyai Dupa Mayat tepat berada di ba wah kakinya. Tegak
lurus dengan tubuhnya.
Rupanya ada sesuatu yang ditunggu oleh Nyai Dupa Mayat,
sehingga ia berada di tempat itu. Sesuatu yang ditunggu tersebut ternyata sudah
datang dan kini sang Nyai yang bertubuh masih tegak tanpa kebungkukan itu
segera pandangi orang yang baru datang. Ia masih berada di atas gundukan tanah,
sehingga dapat terlihat dan melihat dengan jelas.
"Siapa orang yang baru datang itu, Santana"
Apakah kau kenal dengannya"!"
"Memang benar. Dia menunggu kedatangan orang
itu," jawab Santana seperti orang tuli diajak bicara. Sang Gur u terpaksa
mengulang dengan nada agak jengkel.
"Yang kutanyakan, siapa orang yang baru datang
itu"!"
"Oh, nama orang itu"! Hmmm... namanya...."
Sebelum Santana menjawab secara lengkap, tiba-tiba
sekelebat bayangan melintas di depan mata mereka. Bayangan itu berkelebat
menuju ke arah Nyai Dupa Mayat, tapi tidak mengetahui keberadaan Santana dengan
gurunya di balik pohon bersemak-semak itu.
Jleeg...! Bayangan yang berkelebat bagaikan angin itu
hentikan langkah dan tahu-tahu sudah berdiri di samping orang yang sudah lebih
dulu menghadap Nyai Dupa Mayat. "Edan! Keduanya sama-sama cantik,
Santana!" Ujar si Dewa Bandot dalam bisikan.
"Iya... cantik semua, Guru. Dan...."
"Ssst...!" sang Gur u mendesis sambil memberi
isyarat dengan telunjuk
ditempelkan ke mulut. Santana pun diam, tak jadi
lanjutkan kata-katanya. Mereka segera menyimak suara Nyai Dupa Mayat yang
bicara kepada dua ga dis yang menghadapnya. Dua gadis itu tampaknya sengaja diundang
oleh Nyai Dupa Mayat dan mereka merencanakan pertemuan di tempat itu.
"Kalian sengaja kupanggil untuk bicarakan tentang
permohonan kalian tempo hari," ujar Nyai Dupa Mayat dengan suara tuanya
yang masih garing seperti keripik singkong lama di penggorengan.
"Aku ingin kabulkan harapan kalian, yaitu
mempelajari Ilmu 'Gerhana Senyawa'. T etapi aku punya satu permintaan yang
harus kalian penuhi."
"Sebutkan permintaanmu itu. Nyai," ujar si
gadis yang baru datang.
"Cari pemuda bergelar Pendekar Mabuk! Bawalah dia
padaku, karena aku ingin membunuhnya sebagai balas dendam atas kematian murid
kesayanganku; Dewi Ranjang. Jika kalian bisa membawa Pendekar Mabuk kepadaku,
maka kalian akan dapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa' yang kalian idam-idamkan dari
dulu itu."
"Baik. Akan kucari si Pendekar Mabuk dan kuba wa
padamu!" ujar si gadis yang datang pertama kali itu.
Gadis yang baru datang berkata, "Asal kau jangan
menipuku, Nyai! Jika kau menipuku, aku akan bikin perhitungan sendiri
denganmu!"
"Jangan bicara sembarangan di depanku, Wigati!"
hardik Nyai Dupa Mayat sambil tangannya menuding lurus kepada gadis yang
barudatang itu. Mata sang Nyai memandang tajam sekali. Rupanya ia tersinggung
dengan kata-kata Wigati, sehingga wajah angkernya tampak semakin menyeramkan.
T api gadis yang bernama Wigati itu justru menanggapinya
dengan santai dan tenang. Bahkan senyumnya terkesan sedikit sinis.
"Aku hanya khawatir kalau kau berbuat licik, Nyai!
Karena aku adalah gadis yang paling benci kelicikan! Lebih baik kulakukan
pertarungan sampai mati daripada harus diliciki seseorang. Ingat-ingatlah hal
itu, Nyai!"
Ucapan Wigati semakin dirasakan sang Nyai memanaskan
telinga. "Belum-belum sudah membakar harga diriku, Wigati!" geram
Nyai Dupa Mayat dengan sorot pandangan mata semakin tajam.
Wigati masih bandel, menyahut dengan kata-kata berkesan
angkuh.
"Sebelum kau menjatuhkan harga diriku dengan
tipuanmu nanti, aku harus memberi peringatan padamu, Nyai!"
"Kau yang harus kuberi peringatan, Gadis
Bodoh!"
Tiba-tiba Nyai Dupa Mayat lakukan lompatan bagaikan
terbang. Tubuhnya meluncur di atas kepala Wigati.
Weess...! Pada saat itu, baik Wigati maupun gadis yang
pertama kali datang itu tidak punya kecurigaan apa-apa tentang gerakan sang
Nyai. Mereka menganggap sang Nyai turun dari atas gundukan tanah yang membukit.
T etapi ketika tubuh sang Nyai melayang melintasi atas
kepala Wigati, bayangannya menerjang gadis itu karena matahari tepat di atas
kepala manusia.
Wuusss...! Blaaabs...! Buuuusss...! Gadis yang pertama
kali datang menghadap Nyai Dupa Mayat itu segera terlonjak kaget hingga
tubuhnya mental ke belakang. Mata gadis itu mendelik melihat Wigati bagai
disambar petir tanpa suara. Cahaya merah berkerliap sekejap. Tak ada satu
kedipan mata. T ahu-tahu Wigati telah lenyap, tinggal asap yang mengepul tebal.
Asap itu pun sirna karena angin berhembus agak kencang. Dan pada saat itu pula si gadis yang
datang pertama kalitadi terpekik lirih bernada kaget.
"Ooh..."!" Gadis itu semakin lebarkan
matanya ketika melihat Wigati sudah menjadi abu dan tumpukan arang hitam. T
ubuh Wigati bagai dimasukkan dalam open yang panasnya ribuan derajat. Pakaian
dan pedangnya ikut terbakar. T ak ada yangtersisa dari tubuh Wigati selain
gundukan abu putih suram yang bercampur arang hitam. Arang itu adalah sisa
kerangka Wigati yang terbakar oleh hawa panas ribuan derajat tingginya.
"Edan!" gumam si Dewa Bandot dengan mata
mendelik dari balik ilalang. Mata itu segera dikedipkan dan kepala ditarik
mundur karena hembusan angin menggerakkan daun ilalang kecil. Daun ilalang
kecil itu mencolok mata si Dewa Bandot.
Untung saja ia tidak terpekik keras sehingga
keberadaannya di tempat itu masih tidak diketahui oleh orang lain. Santana
sendiri tak berkedip, karena baru sekarang ia melihat jelas sekali bagaimana
bayangan Nyai Dupa Mayat menghanguskan tubuh la wan. Santana tak bisa bersuara,
kerongkongannya bagaikan ikut kering saat bayangan Nyai Dupa Mayat membakar
Wigati dalam tempo kurang dari satu kedipan.
Mereka segera mendengar suara Nyai Dupa Mayat bicara
dengan gadis yang pertama kali datang menghadangnya itu.
"Aku tak suka punya utusan yang berani bicara tak
sopan di depanku! Ini suatu peringatan bagimu. Jika kau ingin dapatkan ilmu
'Gerhana Senyawa', kerjakan tugas itu dan jangan bicara sembarangan di depanku!"
"Aku mengerti, Nyai!"
"Pergilah sekarang juga, cari si Pendekar Mabuk!
Bawa dia padaku secepatnya!"
"Baik, Nyai!" jawab si ga dis, lalu segera
melesat pergi dengan gerakan seperti anak panah lepas dari busurnya. Blaas...!
"Aku akan menghadang gadis itu, Guru!" ujar
Santana bergegas pergi, tapi sang Guru segera mencekal lengannya.
"Jangan gegabah!"
"T api dia mau mencelakai sahabatku; si Pendekar
Mabuk itu, Guru!"
"Harus dipikirkan langkah yang paling aman, agar
kita tidak mati konyol, Santana!" Pemuda itu akhirnya hembuskan napas
panjang, menyabarkan diri, menahan hasrat menggebu yang ingin kejar gadis
utusan Nyai Dupa Mayat itu.
"Kita ikuti saja ke mana perginya si Pratiwi,"
ujar Dewa Bandot dalam bisikan.
"Karena sudah lama aku tak mengetahui di mana tempat
tinggal Pratiwi yang sekarang. Yang jelas dia sudah tidak tinggal di tempat
yang dulu. T empat itu agaknya sudah kena gusur karena di sana sudah dibangun
sebuah waduk untuk pengairan sawah orang-orang kadipaten Jumbalang."
Nyai Dupa Mayat segera berkelebat pergi tinggalkan tempat
itu. Dewa Bandot mengikutinya, Santana agak ketinggalan karena gerakannya
kalah, cepat dengan gerakan sang Guru.
"Kasihan Suto kalau sampai bernasib seperti Wigati
tadi," ujar Santana membatin.
"Di mana Suto sekarang berada" Aku harus
memberitahukan tentang utusan Nyai Dupa Mayat itu. Jangan sampai ia terjebak
sebelum punya persiapan hadapi keganasan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu."
Se benarnya saat itu Suto Sinting berada tak jauh dari
tempat tersebut, ia berada di balik bukit berhutan lebat itu. T api karena tak
terjadi suara ledakan atau denting pedang pertarungan, ia tak menuju ke tempat
itu.
Sayangnya lagi, mereka tak ada yang mengarah ke balik
bukit itu, hingga tak ada yang bertemu dengan murid sinting si Gila T uak dan
Bidadari Jalang.
Seandainya sang Nyai bergerak ke arah balik bukit, pasti
ia akan jumpa dengan Pendekar Mabuk dan ceritanya akan tamat sampai di sini
saja. Untung sang Nyai bergerak ke timur dan sang utusan bergerak ke utara,
sehingga kesibukan Pendekar Mabuk tidak ada yang mengganggu.
Sang pendekar tampan itu tetap tenang duduk di bawah
pohon berumput halus, melonjorkan kedua kakinya sambil dengan santai. Di
samping kanannya terdapat bumbung bambu berisi tuak yang berdiri bersandar batu
dengan santai pula.
Di pangkuan Suto, terdapat kepala manusia berambut
panjang. Kepala itu masih bisa mengedipkan mata dan sunggingkan senyum, sebab
kepala itu milik seorang gadis cantik yang menaruh hati kepada Pendekar Mabuk.
"Baru sekarang kurasakan betapa damainya hidup ini," ujar si gadis
yang kepalanya jatuh di pangkuan Suto. "Keindahan yang kurasakan saat ini,
benar-benar berbeda dengan keindahan yang ada dalam aliran hitam. T erasa lebih
agung dan lebih berarti bagi jiwaku."
"Betulkah kau tak pernah rasakan keindahan seperti
ini?" tanya Suto Sinting sambil mengusap-usap rambut gadis itu dengan
sentuhan yang teramat lembut dan berkesan sekali.
"Ada kemesraan yang pernah kurasa, ada keindahan
yang pernah unikmati, namun tak selembut ini. Baru sekarang seumur hidupku aku
bermanja di pangkuan seorang lelaki yang terasa menyatu dalam jiwaku."
"Ah, masa'..."!" Suto Sinting menggoda
dalam senyuman.
"Sumpah! Berani disedot setan kalau aku berkata
bohong padamu, Suto," ujar si gadis seraya mengusapkan tangannya ke pipi
Suto, dan jarinya pun mulai menyentuh bibir pemuda tampan itu. "Suto harus
percaya bahwa saat ini aku benar-benar merasa bahagia sekali, seolah-olah hidup
ini punya arti yang lebih dalam dari yang pernah kurasakan. Rasa-rasanya aku
tak ingin cepat mati jika selalu berada di pangkuanmu, Suto."
* * *
2
GADIS yang berbaring di pangkuan Pendekar Mabuk itu
berambut panjang selewat pundak, lebih sering rambutnya berada di depan pundak
dengan keikalan bagian bawahnya. Sedangkan rambut depan diponi sebatas kening,
ia mempunyai wajah cantik, namun tidak berkesan manja.
Kecantikannya itu adalah kecantikan yang mempunyai nilai
tegar, berani, dan cerdas. Selain hidungnya yang mancung, bibirnya yang tebal
sensual, matanya yang biru, alias mata yang tebal, gadis itu juga mempunyai
tubuh yang tinggi, sekal, berdada montok dan kencang.
Kemontokan dadanya itu tertutup rompi ketat anti senjata
tajam yang bercampur logam tembaga. Rok bawahnya juga bercampur logam tembaga
yang panjangnya hanya separo paha, sehingga kemulusan paha sekatnya itu sering
tampak menggiurkan hati seorang pemuda normal seperti Suto Sinting itu. Melihat
pedang berukuran panjang dari besi kehitam-hitaman dan pisau-pisau terbang yang
ada di sekeliling pakaian perangnya, gadis itu kentara sekali sebagai seorang
prajurit wanita dari suatu negeri. Negeri itu sekarang telah hancur, ratunya
binasa di tangan Pendekar Mabuk. Siapa lagi gadis cantik bermata biru tegar itu
jika bukan Pandawi, mantan prajurit Ratu Kehangatan yang kini bertekad pindah
dari aliranhitam ke aliran putih.
Sejak Pendekar Mabuk berhasil tumbangkan si Jahanam T ua
yang kala itu nyaris membunuh Pandawi, gadis itu menjadi lebihakrab dengan Suto
Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bibir Penyebar
Maut").
Rasa terpikatnya terhadap Suto tumbuh sejak ia melihat
Pendekar Mabuk bertarung melawan Dewi Ranjang dalam memperebutkan sebuah pedang
pusaka yang bernama Pedang Jagal Keramat. Dewi Ranjang tewas di tangan Suto
Sinting setelah pemuda itu menerima lemparan pedang dari Pandawi untuk melawan
serangan Dewi Ranjang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pertarungan Dewi Ranjang").
Pada mulanya Pandawi menaruh dendam kepada Suto Sinting
karena Suto Sinting berhasil hancurkan Istana Kematian tempatnya menjadi satu
dari beberapa prajurit wanita pengawal Ratu Kehangatan. Ia ingin kalahkan Suto
Sinting, sehingga ketika bertemu dengan Nyai Dupa Mayat, Pandawi memberi tahu
tentang kematian Dewi Ranjang di tangan Pendekar Mabuk. Sang Nyai pun segera
mengajak Pandawi untuk bersekutu menyerang Suto Sinting dengan perjanjian:
Pandawi akan mendapat ilmu 'Gerhana Senyawa' dari sang Nyai dan diangkat
sebagai muridnya.
Tetapi hati kecil yang menaruh kekaguman terhadap
ketampanan serta kegagahan Pendekar Mabuk membuat Pandawi tak bisa tidur,
selalu terbayang wajah Pendekar Mabuk yang makin lama memadamkan api dendamnya.
Akhirnya, Pandawi putuskan untuk tinggalkan Nyai Dupa Mayat dan bergabung
dengan Pendekar Mabuk. T ernyata pemuda tampan bertubuh kekar dengan senyum yang
mengguncangkan hati setiap gadis itu menerima Pandawi dengan tangan terbuka
tapi hati separo tertutup. Hati itu terpaksa ditutup separo, karena di dalamnya masih tersimpan cinta kasih dan
kesetiaan untuk Dyah Sariningrum, calon istri Suto Sinting yang menjadi ratu di
negeri Puri Gerbang Surga wi di alam nyata.
Namun sikap manis Pendekar Mabuk itu dirasakan Pandawi
semakin membuatnya bertekuk lutut dan terlena. Buaian mesra selembut itu belum
pernah dirasakan oleh Pandawi, sehingga dalam hatinya Pandawi bertekad ingin
memiliki kemesraan selembut itu selamanya.
Namun kini belaian lembut, kemesraan yang agung, dan
remasan jemari penuh getaran indah itu terpaksa harus mereka hentikan. Suasana
romantis mereka dirusak oleh datangnya sinar merah sebesar telur burung. Sinar
merah itu melesat dari atas pohon seberang dan mengarah ke tubuh Pandawi. Clap,
Wuuusss...!
Pendekar Mabuk melihat datangnya sinar tersebut, ia
segera meraih bumbung tuaknya sambil sentakkan kepala Pandawi hingga ga dis itu
terbangun. Bumbung tuak itu segera dipakai menangkis sinar merah tersebut
setelah Suto Sinting gulingkan tubuh satu kali dan berdiri dengan satu kaki
berlutut, kedua tangan pegangi bambu bumbung tuaknya. Deeb...! Wuuuusss...!
Sinar merah itu memantul balik ke arah semula dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat dari aslinya.
Brrruus... Blegaaarr...!
Pohon itu hancur bersama bunyi ledakan yang cukup
dahsyat. Dahan dan batangnya menyebar ke mana-mana menjadi potongan-potongan
sebesar telapak tangan.
Bahkan pohon di kanan-kirinya ikut bergetar nyaris
tumbang karena gelombang ledakan tadi mempunyai daya sentak cukup besar.
"Siapa itu tadi"!" geram Pandawi dengan
mata birunya memandang ganas. Gadis itu tampak tegang dan berang.
"T enang saja," ujar Suto Sinting kalem.
"Pasti ada orang yang tak suka melihat kedamaian kita, Pandawi."
"Akan kupenggal kepala orang itu! Berani-beraninya
dia mengganggu kemesraanku"!" sambil tangan Pandawi siap-siap
mencabut pedangnya. Namun tangan Suto memberi isyarat agar pedang jangan
dicabut dulu. Ia ingin tahu siapa orang yang berani melepaskan pukulan jarak
jauhnya tadi.
"Apakah dia ikut hancur bersama pohon yang meledak
itu"!" tanya Pandawi yang mau melangkah ke sana namun segera dicegah
oleh Pendekar Mabuk.
"T ak mungkin dia ikut hancur, karena aku yakin dia
bukan orang bodoh. Begitu melihat sinar merahnya berbalik arah ia pasti sudah
pergi dari pohon itu lebih dulu. Hanya saja kita tak sempat melihat ke mana
perginya. Aku akan mencari di sekitar sini. Kau tetap di tempat, Pandawi!"
T iba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
"Aku di sini!"
Pendekar Mabuk dan Pandawi cepat berbalik dan lemparkan
pandangan tajam kepada orang tersebut.
Pandawi sudah mulai merunduk sebagai sikap kuda-kuda
untuk hadapi serangan lawan. Tapi karena orang yang tiba-tiba muncul di
belakang mereka itu diam saja, tidak lepaskan serangan lagi, maka Pandawi pun
segera kendurkan ketegangannya.
"Dewi Kun..."!" gumam Suto Sinting,
menyebut sepotong nama itu dengan nada heran. Dewi Kun adalah kakak sulung dari
tiga gadis kembar yang menguasai Kuil Perawan Ganas di Pulau Swaladipa. Ia
seorang wanita berhati keras dan mudah menjadi ganas oleh suatu masalah yang
tidak berkenan di hatinya. Mulanya Suto Sinting sempat bingung sebentar ketika
melihat penampilan sosok cantik berambut keriting halus terurai sepanjang
punggung.
Rompi merah berumbai-rumbai dengan ujung rompi saling
terikat di depan perut, dan celana rumbai-rumbai berukuran separo paha yang
ketat itu, merupakan ciri pakaian dari ketiga gadis kembar dari Kuil Perawan
Ganas. T etapi begitu melihat tato bunga mawar di belahan dada kanannya, Suto
segera mengenali bahwa perempuan itu adalah Dewi Kun, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kuil PerawanGanas").
Pandawi merasa tak kenal dengan Dewi Kun. Ia segera
hampiri wanita itu yang sama-sama berani dalam beradu nyawa. Dewi Kun tetap
berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang. Tangan kirinya yang
menenteng pedang bergagang ukiran kepala burung itu tampak siap-siap menyatu
dengan tangan kanannya untuk mencabut pedang tersebut. T etapi Pandawi justru
melangkah lebih cepat dan lebih tegas lagi.
Suto Sinting menyangka Pandawi ingin memaki-maki di depan
Dewi Kun. Tapi di luar dugaan, begitu Pandawi tiba di depan Dewi Kun, tangannya
segera berkelebat menghantam dengan tinjunya ke wajah Dewi Kun tanpa bicara
sepatah kata pun.
Beet...! Dewi Kun menangkap genggaman tangan itu dengan
tangan kanannya. T eeb...! Namun tangan Pandawi segera terlipat sambil ia
bergerak ke samping dan sikunya menghentak kuat ke wajah Dewi Kun. Plok...!
"Ouh...!"
Dewi Kun tersentak ke belakang, terhuyung-huyung sambil
sedikit merunduk memegangi rahangnya yang terkena sodokan siku Pandawi.
Gerakan Pandawi tak putus sedikit pun. Begitu lawannya
oleng ke belakang, kakinya segera menendang dengan mantap. Wuuut...! Buuhk...!
"Uuh...!" Dewi Kun terpelanting hampir jatuh.
Pandawi melompat pendek dan rendah, tubuhnya berputar
cepat dan kaki kirinya lakukan tendangan putar.
Wuus...! Plook...! Wajah Dewi Kun terkena tendangan
dengan telak sekali, hingga wanita itu terlempar ke samping dan jatuh di
semak-semak. Brruus...!
Pandawi tak memberi kesempatan lawannya untuk membalas.
Bahkan tak ada kesempatan bagi Dewi K un untuk bersiap hadapi serangan berikut.
Karena baru saja ia jatuh terhempas, Pandawi sudah datang lagi dalam satu
gerakan lari cepat dan langsung menendang dagu Dewi Kun bagai menendang bola.
Dees...! "Ouff...!" Dewi Kun terjungkal makin
ke dalam semak. Pandawi ingin menginjak kepala Dewi Kun dengan satu lompatan
agak tinggi, tapi tiba-tiba sekelebat bayangan menyambarnya. Zlaap...!
Wuuut...!
T ahu-tahu ia sudah berada dalam jarak tujuh langkah dari
Dewi Kun, dan ia berada dalam pelukan Suto Sinting. "Cukup, Pandawi!
Cukup!"
"Lepaskan aku!" sentak Pandawi berang sambil meronta,
ia masih bernafsu inginmenyerang Dewi Kun lagi. T api gerakannya ditahan
kuat-kuat oleh tangan kiri Suto Sinting yang memeluknya.
"Sudah, sudah...! Jangan teruskan, Pandawi! Dia
sahabatku!"
"Sahabat"! Orang yang mau membunuh kita dengan
ilmu tenaga dalamnya itu kau anggap sahabat"!" bentak Pandawi dengan
mata nanar liar.
"Mungkin... mungkin dia hanya usil saja," jawab
Pendekar Mabuk mencari alasan, karena ia tidak mengharapkan kedua perempuan itu
saling bertarung hingga timbul korban lebih parah lagi.
"Lepaskan dia, Suto!" teriak Dewi Kun sudah
berdiri tegak dan mencabut pedangnya. "Akan kulihat seberapa tangguhnya
dia menghadapi jurus pedangku!"
"Hiaah...!" Pandawi menyentakkan kedua tangan
dan terlepas dari pelukan Suto Sinting. Suto jatuh ke belakang, terjengkang
seperti anak baru bisa berjalan.
Pandawi segera lari hampiri Dewi Kun sambil mencabut
pedangnya. Sraang...! "Hiaaat...!" Pandawi memekik panjang, lalu
tebaskan pedangnya yang lebih besar dan lebih panjang dari pedang milik Dewi
Kun.
Wuuut...! Pedang berkelebat bagai ingin membelah kepala
Dewi Kun, namun dengan cekatan sekali Dewi Kun menangkis pedang itu di atas
kepalanya. T raang...!
"Heeah...!" Pandawi menjejakkan kaki dan tepat
kenai perut Dewi Kun. Buuhk...!
"Heeegh...!" Dewi Kun terlempar mundur sejauh
empat langkah. Namun ia masih mampu berdiri walau sedikit oleng. Saat Dewi Kun
membetulkan posisi kakinya, Pandawi datang menyerang dengan tebasan pedang
besarnya itu.
Wuuk, wuuk, wukk, traang, trang, wuus...!
"Heeeeaaaat...!!"
Dewi Kun memekik panjang sambil sentakkan kaki ke tanah,
tubuh pun melambung ke atas dalam gerakan bersalto. Pedang segera berkelebat
menebas kepala Pandawi. Namun mantan prajurit wanita itu sedikit rendahkan kaki
dan menyilangkan pedangnya dengan kedua tangan di atas kepala. T raang...! T
ebasan Dewi Kun tertangkis pedang itu.
T ubuh Dewi K un bergerak turun dari udara dalam posisi
siap menapak. Pedangnya yang masih terulur ke depan itu segera disa bet dengan
pedang Pandawi. Sabetan pedang itu sangat kuat, mengandung kekuatan tenaga
dalam cukup besar.
Wuuut...! Trraang, daarrrr...!
Ledakan kecil yang mengejutkan itu mempunyai daya sentak
sangat kuat. Percikan api menyebar ketika pedang beradu dengan pedang. Namun
Dewi Kun segeramenggeragap ketika pedangnya ternyata terlepas dari genggaman
tangannya melayang dan menancap pada sebuah pohon, lima langkah dari tempatnya
berdiri.
Jruubs...! Pandawi menggenggam pedang dengan kedua
tangan, lalu segera ayunkan pedang itu dari atas ke bawah, seolah-olah ingin membelah
kepala Dewi Kun yang dianggap mirip
semangka itu. Wuuut...! Dewi K un berlutut satu kaki, lalu....zeeb! Pedang itu
berhasil dijepit dengan kedua telapak tangannya tanpa luka.
Kedua tangan Dewi Kun menyentak ke samping dengan
kekuatan tenaga dalam tersalur ke tangannya. Bett...!
Sentakan itu ternyata mampu melemparkan tubuh Pandawi ke
arah kiri. T ubuh itu terlempar dengan kuat.
Brruuk...! Pandawi jatuh dalam keadaan miring. T ubuhnya
sempat membal di tanah, ia mengerang kecil karena tulang pundaknya membentur
akar pohon sekeras batu, sedangkan pedangnya sudah tidak di tangan. Pedang itu
masih terjepit di kedua telapak tangan Dewi Kun.
"Hiaaah...!" Dewi Kun memutar balik pedang itu
hingga gagang pedang ada di tangannya, kemudian melemparkan pedang tersebut ke
arah tubuh Pandawi.
Wuuut...! Pandawi sempat melihat gerakan pedang meluncur
ke arahnya, ia segera berguling ke kiri. Juubs...! Pedang pun menancap di tanah
tempat Pandawi terbanting tadi.
Melihat pedangnya dalam satu jangkauan, Pandawi segera
bangkit untuk mencabut pedang itu. Namun Pendekar Mabuk segera kirimkan jurus
'Jari Guntur' yang merupakan sentilan bertenaga dalam, kekuatannya seperti
tendangan seekor kuda jantan. T ees, tees...!
"Aahk...!" Pandawi terlempar ke belakang karena
lengannya bagai ditendang kuda. Pedangnya tak jadi tercabut.
"Uuhk...!" Dewi Kun terlempar dan jatuh di
semak-semak sewaktu ia ingin melepaskan pukulan bersinar merah ke arah Pandawi.
Rupanya pemuda tampan itu juga lepaskan sentilan mautnya yang mengenai paha
Dewi Kun hingga perempuan itu tak jadi lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah
Pandawi.
Kini keduanya menyeringai kesakitan, sekujur tulang
mereka bagai terpotong-potong. Sakit semua. Mereka hanya mengerang sambil
menggeliat berusaha bangkit, namun tak bisa secepat tadi..
Pendekar Mabuk melesat dalam satu lompatan. Wuuut...! Ia
menyambar pedang Dewi Kun yang tertancap di pohon. Sleeb...!
Setelah pedang itu berhasil dicabut, kaki Suto yang masih
melayang itu menjejak pohon tersebut, sehingga gerakan terbangnya berpindah
arah. Dees, wuuut...!
Sleeb...! Pedang Pandawi berhasil disambar. Kini kedua
pedang perempuan itu ada di tangannya. Suto Sinting bersalto satu kali setelah
menjejakkan kakinya ke atas batu setinggi perut. Wuuk...! Dalam sekejap ia
sudah daratkan kedua kakinya di depan Dewi Kun dan Pandawi. Jleeb...!
"Kalau kalian masih tetap saling menyerang, kedua
pedang ini akan kuhancurkan!" ancam Pendekar Mabuk sambil mengangkat kedua
pedang dengan tangannya, sementara bumbung tuaknya menggantung di pundak
kanan, ia tampak serius, sehingga kedua wanita itu
sama-sama diam dalam keadaan duduk, sama-sama pandangi Suto Sinting yang tampak
serius itu.
Kedua perempuan itu akhirnya patuh kepada Pendekar Mabuk.
Agaknya mereka tak ingin kehilangan senjata kesayangan mereka, walau keduanya
bukan merupakan pedang pusaka, tapi cukup berarti bagi keselamatan hidup
mereka.
Rasa permusuhan mereka memang masih ada, tapi tidak
ditonjolkan di depan Pendekar Mabuk. Mereka segera diberi minum tuak dari
bumbung bambu sakti itu, sehingga dalam beberapa saat kemudian tubuh mereka
menjadi segar. Rasa sakit mereka lenyap, bahkan tuak itu mampu meredakan
kemarahan dalam hati Pandawi maupun Dewi Kun, walau tidak berarti padam sama
sekali. "Apa maksudmu mengarahkan pukulanmu ke Pandawi"!" tegur
Suto Sinting kepada Ketua Kuil Perawan Ganas itu, sambil serahkan kembali
pedang masing-masing.
Pandawi memandang angker kepada Dewi Kun yang meliriknya
dengan sinis.
"Aku merasa tak rela kau dibuai perempuan liar macam
dia!"
"Jaga mulutmu, Keparat!" sentak Pandawi. Ia
ingin menyerang lagi, tapi segera ditahan oleh genggaman tangan Suto yang
mencekal lengannya.
"Dewi Kun, tindakanmu terlalu melewati batas. Kau
tak berhak mencampuri urusan pribadiku!" ujar Suto Sinting dengan tegas.
"Kau dulu milikku!"
"T ak ada siapa pun orangnya yang memiliki diriku!
Semua adalah sahabatku."
Dewi Kun menarik napas, sepertinya menahan rasa perih di
hatinya mendengar ucapan Pendekar Mabuk Itu.
Namun ia berusaha untuk tidak menampakkan perasaan sebenarnya.
"Kalau tahu kau tidak mencintaiku, kukejar kau saat
melarikan Bocah Emas dari Pulau Swaladipa!" ujar Dewi Kun seperti orang
menggeram.
"T ak ada kata cinta yang keluar dari mulutku untuk
siapa saja...," ucap Suto, tapi hatinya melanjutkan sendiri, "...
kecuali untuk calon Istriku; Gusti Mahkota Sejati, Dyah Sariningrum."
"Sekarang katakan saja apa maksudmu datang ke tanah
Jawa ini, Dewi Kun"!"
"Aku ingin bertemu dengan Bocah Emas yang kau bawa
lari itu!"
"Hmm... untuk apa kau mencari Bocah Emas?"
"Aku ingin mencari tahu kelemahan ilmu 'Gerhana
Senyawa' yang...."
"Apa..."!" sahut Pandawi agak kaget. Suara
itu membuat Dewi Kun hentikan ucapannya, memandang Pandawi dengan tajam.
Suto Sinting segera menimpali, "Setahuku, Ilmu itu
milik Nyai Dupa Mayat, Dewi Kun! Apakah kau punya urusan dengan Nyai Dupa
Mayat"!"
"Beberapa waktu yang lalu dia telah mengacak-acak
Kuil Perawan Ganas dan bermaksud menguasainya.
Adik bungsuku, Dewi Mul tewas secara mengerikan; menjadi
abu dan arang setelah diterjang oleh bayangan hitamnya! Juga beberapa anak
buahku, dibuat menjadi abu. Kini waktunya aku bikin perhitungan dengan Nyai
Dupa Mayat. T api aku harus mengetahui kelemahan ilmu Itu. Menurutku, hanya
Bocah Emas yang mengetahui kelemahan ilmu apa pun!"
Pendekar Mabuk diam tertegun. Dalam benaknya terbayang si
Bocah Emas yang pernah dibawanya lari dari Pulau Swaladipa. Bocah Emas itu
adalah anak pasangan petapa sakti yang telah tiada, yaitu Eyang Winudaya dengan
Eyang Sutimuning, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bocah
Titisan Iblis").
Mendengar penuturan Dewi Kun, dalam hati Suto Sinting pun
bertanya-tanya, "Benarkah yang mengetahui kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa'
adalah si Bocah Emas"! Mungkinkah hanya si Bocah Emas yang mampu kalahkan
Nyai Dupa Mayat"!"
Pandawi pandangi Suto Sinting sejak tadi. Ia mengharapkan
satu langkah dari Suto untuk ikut mengetahui kelemahan Ilmu 'Gerhana Senyawa'
itu.
Pendekar Mabuk pun sempat memandang Pandawi sebentar,
kemudian pandangannya dialihkan ke arah Ketua Kuil Perawan Ganas.
"Bocah Emas itu ada di Pulau Sangon...."
"Ya, aku tahu! Bocah Emas itu berada di Istana Ratu
Remaslega. T api aku perlu bantuanmu untuk menghadap Ratu Remaslega,"
sahut Dewi Kun. "Se bab bila tidak bersamamu, maka kedatanganku ke sana
hanya akan dianggap sebagai musuh belaka. Apalagi di sana ada Elang Samudera,
yang setidaknya akan menaruh curiga buruk padaku!"
Pendekar Mabuk diam kembali, benaknya dililiti oleh
berbagai pertimbangan dan kesangsian. Namun akhirnya ia putuskan untuk mencoba
turuti permintaan Dewi Kun, sekalian ia sendiri ingin tahu rahasia kelemahan
Ilmu 'Gerhana Senyawa' Itu. Maka ia pun memandang Pandawi yang telah menjauh
dan berdiri di ba wah pohon, bersandar di sana dengan mata memandang tajam
kepada Dewi Kun. Pendekar Mabuk terpaksa dekati
Pandawi. "Kau mendengar sendiri apa yang
dikatakannya. Bagaimana menurutmu, Pandawi"!"
"Aku tak mau ikut ke Pulau Sangon!" jawab
Pandawi dengan nada datar berkesan ketus. Matanya tetap memandang ke arah Dewi
Kun yang juga menatapnya dengan sinis.
"Mengapa kau tak mau ikut ke Pulau Sangon"
Bukankah kita sejak kemarin bingung memikirkan kelemahan
Ilmu 'Gerhana Senyawa' itu"!"
"Aku tak sudi berjalan dengan perempuan menjijikkan
itu!" ucap Pandawi mirip orang sakit gigi.
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. T erasa serba
salah jadinya. Di sisi lain ia butuh keterangan dari si Bocah Emas tentang
kelemahan ilmu tersebut, di sisi lain Pandawi benci kepada Dewi Kun. Suto sendiri merasa tak enak jika pergi berdua
bersama De wi K un, sementara Pandawi tak mau bersamanya. Jelas hal itu akan
mengecewakan Pandawi dan hubungan manisnya dapat menjadi retak.
Pandawi akhirnya berkata lirih, "Kita memang harus
bertemu dengan orang yang kau maksud sebagai Bocah Emas itu, tapi jangan
bersama perempuan jahanam itu! Dia bisa kubunuh di perjalanan!"
"Pandawi, kau tak boleh begitu."
"Harus begitu!"
"Huhh... repot juga kalau be gini!" keluh Suto
lirih sambil lepaskan napas
panjang. Wajahnya pun menjadi tampak lesu.
* * *
3
SEBERKAS sinar hijau sebesar merica melesat dari belakang
Suto Sinting. Sinar itu sangat kecil dan tak ditangkap oleh pandangan mata Dewi
Kun. Suto sendiri tak rasakan hembusan hawa aneh yang mendekati punggungnya. T
ahu-tahu ia merasa tengkuknya seperti digigit nyamuk. Sniit...!
"Auuh...! Sialan!" Suto Sinting terkejut sambil
memaki, lalu menepak tengkuknya. Plaak...! Ia menyangka ada nyamuk yang
menggigit tengkuk kepalanya. Namun kejap berikut, pandangan mata Suto Sinting
menjadi berkunang-kunang, makin lama semakin buram. Kurang dari tujuh hitungan
tubuh Pendekar Mabuk menjadi lemas, ia pun jatuh terkulai tak sadarkan diri.
"Suto..."!" pekik Pandawi dengan kagetnya,
ia segera menangkap tubuh Suto yang terkulai lemas itu. Se dangkan Dewi Kun
bergegas hampiri Suto Sinting pula dengan wajah penuh keheranan. Namun tanpa
diketahui oleh dua wanita cantik itu, sinar hijau kecil itu melesat lagi dari
balik pepohonan rindang. Kali ini dua sinar hijau yang melesat dengan kecepatan
tinggi. Sniit, sniit...!
"Uhh...!" "Aah...!"
Pandawi merasa lehernya digigit semut, tangannya segera
menepak leher yang tersengat itu. Dewi Kun juga merasa daun telinganya seperti
disengat lebah. Secara refleks tangannya menepak telinga sendiri. Plak...!
Kejap berikutnya, kedua wanita itu saling berkerut dahi dan saling pandang.
Mereka pun akhirnya menjadi lemas, kemudian jatuh tak
sadarkan diri. Kini ketiga orang itu saling terkapar di tanah dalam keadaan
pingsan. Hutan yang sunyi tiba-tiba dihiasi oleh suara tawa yang terkekeh pelan
mirip orang menggumam. T awa itu berasal dari balik kerimbunan pohon berjarak
sekitar lima belas langkah dari tempat Suto terkapar.
Sesaat kemudian muncul seraut wajah tua mirip seorang
lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun. Kakek berambut panjang abu-abu
dengan kumis dan jenggotnya yang abu-abu
juga itu mengenakan jubah abu-abu dan tutup kepala kain merah. Badannya kurus,
matanya kecil, berhidung panjang. Salah satu bagian tubuhnya yang menjadi
ciri-cirinya adalah daun telinga yang mempunyai taji atau jalu kecil.
Setiap orang yang melihat sepasang taji kecil di telinga
tokoh tua itu pasti akan segera mengenalinya sebagai si Jalu Kuping dari Lereng
Kunyuk di Gunung Dara. Pendekar Mabuk pernah berhadapan dengan tokoh nyentrik
yang rada konyol itu. Suto juga pernah dibuat tak berdaya oleh kesaktian ilmu
si Jalu Kuping, sehingga raga Suto Sinting pernah ditukar dengan raga milik
muridnya yang bernama Badra Sanjaya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Jarum Surga").
Kali ini agaknya Suto Sinting juga 'dikerjain' oleh si
Jalu Kuping hingga tak berdaya. Jalu Kuping menyambar tubuh Suto Sinting dan
membawanya pergi sambil tinggalkan ucapan untuk Pandawi dan De wi K un yang
pingsan itu.
"Maaf, kupinjam sebentar jagoan kalian. Heh, heh,
heh, heh...!" .
Ki Jalu Kuping tak lupa membawa pula bumbung tuak Suto
Sinting, sebab ia tahu kekuatan Pendekar Mabuk seba gian besar berada dalam
kesaktian bumbung itu. Dengan memanggul Suto di pundak kirinya, seperti
memanggul kasur yang mau dijemur, Ki Jalu Kuping melesat bagaikan kilat menuju
ke pondoknya yang ada di Lereng Kunyuk. Hutan di lereng itu dulu pernah menjadi
pusat perkumpulan para monyet dari berbagai penjuru.
Tapi sejak Ki Jalu Kuping menempati daerah itu, para
monyet pun pergi dan tak ada yang mau singgah di petilasan mereka lagi. Ki Jalu
Kuping mempunyai ilmu yang dapat
mengusir segala macam jenis binatang, termasuk kutu di rambut seorang
perawan. Namun jauh sebelum mencapai kaki Gunung Dara, langkah Ki Jalu Kuping
dihadang oleh seorang lelaki tua yang berusia sekitar delapan puluh tahun juga.
Ia mengenakan pakaian model biksu yang membungkus tubuhnya agak gemuk itu.
Rambut juga tipis, tapi berwarna putih.
Begitu tipisnya hingga tokoh tua itu berkesan botak.
Namun ia empunyai janggut panjang
berwarna putih rata. Ki Jalu Kuping hentikan langkah ketika tiba-tiba tokoh tua
itu muncul dari balik gugusan cadas, seakan sengaja menghadangnya dengan senyum
berkesan konyol. "Ooh... kau!" keluh Jalu Kuping tampak kurang suka
dengan penghadangan itu,
"Telur sapi
berwarna Jingga,
dibuat bedak bikin manis rupa.
Sudah lama kita tak jumpa,
sekali jumpa wajahmu seperti buaya."
Orang itu segera terkekeh geli sendiri. Tapi si Jalu
Kuping bersungut-sungut sambil menggerutu tak jelas, ia terpaksa turunkan tubuh
Suto Sinting pelan-pelan, dibaringkan di tempat yang teduh. Rupanya si Jalu
Kuping sudah mengenal orang tersebut, terlebih setelah kemunculan seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang bertubuh kurus agak pendek.
Lelaki berpakaian serba hijau dan berikat kepala merah dikenal sebagai pelayan
sijanggut putih. "Bagaimana kabarmu, Pakar Pantun"!"
"Ooh, selalu sehat dan awet muda, Jalu Kuping,"
jawab si janggut putih yang tak lain adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya
yang bernama si Kadal Ginting.
Tokoh jago pantun itu sangat kenal baik dengan Suto
Sinting, sehingga ia tahu persis siapa orang yang dipanggul Jalu Kuping tadi,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Asmara Darah Biru").
"Telur gajah di dalam celana,
indah baunya harum bentuknya...."
Kadal Ginting segera memotong sambil mencolek
lengan majikannya, "Eyang... kebalik itu tadi. Yang
benar: 'indah bentuknya, harum baunya', begitu."
"Yang punya pantun aku, kenapa kau yang repot susun
kata"!"
"T erserah Eyang sajalah...," Kadal Ginting
cemberut tundukkan kepala. Sang Resi pun ulangi pantunnya tadi.
"Telur gajah di dalam celana,
indah bentuknya harum baunya.
Siapa orang yang tidak terpesona,
m elihat Pakar Pantun selalu berwajah Arjuna."
"Hehh, heeh, hehh, hehh...!"
Jalu Kuping sunggingkan senyum cekak. "Boleh saja
kau selalu merasa seperti Arjuna. Tapi sebaiknya segeralah menyingkir dan
jangan halangi langkahku, karena aku ada urusan yang sangat penting, Pakar
Pantun!"
Resi Pakar Pantun melirik ke arah Pendekar Mabuk yang
belum siuman juga itu. Kemudian senyumnya kembali merekah mirip durian tua.
"Kelihatannya kau punya urusan dengan Pendekar
Mabuk, Jalu Kuping!"
"Benar! Dan kau tak perlu tahu, sebab aku malas
memberi tahu dirimu!" tegas Ki Jalu Kuping yang kala itu tidak membawa
tongkat.
"Kelihatannya kau mencuri pemuda itu dan kau ba wa
pergi. Maksudku, kau buat dia pingsan lalu kau cabut dari tempatnya."
"Itu urusanku!"
"Ooo... berarti kau punya maksud tak baik terhadap
cucu angkatku itu, Jalu Kuping." "Jangan bikin masalah denganku,
Pakar Pantun!" gertak si Jalu Kuping. T api gertakan itu ditertawakan oleh
Resi Pakar Pantun.
"Telur bebek jatuh di tanah...."
"Pecah, Eyang...," sahut Kadal Ginting.
"Diam kau! Ini pantun, tak kenal kata pecah untuk
telur bebek. Mau jatuh di tanah kek, di batu kek, di atas kepalamu kek, tak
akan pecah!" omel sang Resi, dan sang pelayan hanya geleng-geleng kepala sambil menjauh, seakan
bersikap masa bodoh dengan pantun yang akan dilontarkan sang majikan. Maka Resi
Pakar Pantun pun lanjutkan pantunnya kepada si Jalu Kuping yang tampak masih
tenang dengan mengelus-elusjanggutnya.
"Telur bebek jatuh ke tanah,
berubah bentuk m enjadi rakit.
Bukan aku yang bikin m asalah,
tapi kau sendiri yang cari penyakit."
"Apa maksud pantunmu"!"
"Kau kuanggap menculik Pendekar Mabuk, dan itu
namanya kau mencari penyakit! Sudah pendekar, mabuk lagi, eeh... masih mau
diculik"! Kau bisa digibas oleh si Gila T uak, tahu"!"
"Aku punya urusan dengan murid si Gila T uak ini.
Bukan bermaksud menyakitinya. Aku takut ia tak mau menolongku jika tidak dengan
cara langsung kuba wa ke pondokku, maka terpaksa kubius dengan jurus ' Sengat
Rembulan'-ku!"
"Itu namanya curang!" sahut sang Resi,
sedangkan si Kadal Ginting segera menggerutu dengan bersungut-sungut.
"Rembulan mana punya sengat"! Uuh... ngaco saja
kalau bikin nama jurus orang ini!" Rupanya gerutuan itu didengar oleh si
Jalu Kuping.
Hatinya agak jengkel juga kepada si Kadal Ginting. Dengan
cepat ia sentakkan tangannya dengan jari tangan menegang keras dan lurus. Suuut...! Claap...! Sinar hijau sekecil
merica melesat dan kenai lengan si Kadal Ginting. Sang Resi mau bertindak
menghalangi sinar itu, tapi sinar sudah terlanjur kenai Kadal Ginting.
"Begitulah rasanya jika rembulan menyengat!" ujar
si Jalu Kuping dengan tersenyum sinis. Brruuk...! Resi Pakar Pantun terperanjat
pandangi pelayannya yang tahu-tahu roboh tak berkutik lagi, alias pingsan.
T indakan itu cukup menyinggung harga diri sang Resi.
Maka terdengarlah suara sang Resi yang mengecam si Jalu Kuping.
"T ak pantas kau lakukan hal itu kepada pelayanku,
Jalu Kuping!"
"Aku sudah bosan berhadapan dengan kalian! Kuharap
kau tidak mengganggu perjalananku lagi, Pakar Pantun!" sambil Jalu Kuping
mau mengangkat Suto Sinting dan bumbung tuaknya lagi. Tapi tiba-tiba hawa padat
dilepaskan dari tangan Resi Pakar Pantun.
Wuuut...! Buuuhk...!
Pukulan tenaga dalam tanpa sinar kenai pinggang Jalu
Kuping yang sedang membungkuk itu. Brruuus...!
Jalu Kuping terlempar melompati Suto Sinting. Ia jatuh
terguling-guling bagaikan dilanda badai kencang. Tapi ketika gerakan
tergulingnya berhenti, ia langsung bangkit dan berdiri dengan tegak.
Senyum tipis berkesan sinis, mekar di bibir tuanya yang
berwarna biru kehitam-hitaman. "Oo... jadi kau mau main-main denganku,
Pakar Pantun"!" sambil Jalu Kuping manggut-manggut.
"Kau yang mengawali lebih dulu dengan menyerang
pelayanku."
"Karena kalian menghalangi langkahku!" sahut
Jalu Kuping mulai beremosi.
"Kuhalangi langkahmu, karena aku curiga dengan maksudmu
membawa Pendekar Mabuk secara tidak sah!" bantah Resi Pakar Pantun.
"Untuk apa kau membawanya dengan cara seperti ini"!"
Jalu Kuping mencoba bersabar dengan menarik napasnya
dalam-dalam. Ia melangkah lebih mendekat lagi, lalu menuding Resi Pakar Pantun
sambil menggeram penuh kejengkelan.
"Dengar, Pakar Pantun...! Muridku si Badra Sanjaya
terkena pukulan 'Mati Raga' yang dimiliki oleh lawannya, ia tak bisa bergerak
dan bicara sedikit pun.
Sudah empat puluh hari lamanya ia menderita seperti itu.
Aku tak tahu siapa lawannya itu. Maka aku ingin menggunakan raga Suto Sinting
untuk mencari orang yang memiliki jurus 'Mati Raga' itu. Sukmanya akan
kupindahkan ke raga Suto, dengan begitu ia akan dapat membalas kekalahannya.
Setidaknya ia dapat sebutkan padaku siapa lawan yang telah membuatnya tak bisa
berbuat apa-apa itu!"
"Suto belum tentu mau!"
"Memang. Karena itulah ia kubius dengan jurus
'Sengat Rembulan', sehingga ketika ia sadar ia sudah berada di raganya Badra
Sanjaya dan Badra Sanjaya akan pergi mencari lawannya dengan memakai raganya si
Suto Sinting!"
"Itu pemaksaan namanya! Licik!" sentak Resi
Pakar Pantun penuh nada kecaman.
"Aku sendiri punya keperluan dengan Pendekar Mabuk
itu. Aku disuruh oleh Resi Wulung Gading untuk memanggil Suto sehubungan dengan
penyerahan Pedang Jagal Keramat ke tangan Karina, murid si Burung Bengal."
"T angguhkan dulu urusan itu! Aku tak ingin muridku
menderita lebih lama lagi. Setelah urusanku selesai, Pendekar Mabuk akan
kuantar sendiri ke Lembah Sunyi untuk temui Kakang Wulung Gading!"
"T idak bisa!" bantah sang Resi. "Urusan
ini lebih penting daripada urusan pribadimu! Jika sampai raga Suto bertemu
dengan lawannya muridmu, dan dia terkena jurus 'Mati Raga' lagi, lantas siapa
yang akan bertanggung ja wab dengan bencana itu"! Bisa atau tidak, Suto
Sinting akan kubawa ke Lembah Sunyi!"
"Kalau begitu kita terpaksa bertarung dulu, Pakar
Pantun," ujar Jalu Kuping dengan sikap meremehkan, senyumnya tetap
berkesan sinis. Sang Resi pun ikut-ikutan tersenyum sinis dan bersikap
meremehkan pula.
"Jika memang kau inginkan pertarungan, aku akan
melayani secara kecil-kecilan!"
"Hemm...! Kau akan tumbang di tanganku, Pakar
Pantun!"
"Telur dadar tersangkut dipaku,
m elam bai-lambai ditiup sang bayu.
Bersiaplah kenalan dengan ilmu baruku,
sekali tepuk rontok tulang dan tetelanm u."
Resi Pakar Pantun segera tarik kaki kirinya ke
belakang dan kedua kaki merendah, kedua tangan
mengeras, masing-masing mengeraskan telapak tangan.
Melihat persiapan seperti itu. Jalu Kuping pun se gera
renggangkan kaki dan merendah sedikit, lalu kedua tangannya yang berada di
samping dada saling mengeras pula dengan telapak tangan mengarah ke depan.
Napas pun terhempas pelan melalui
mulutnya.
"Hooooohhh...!!"
Kedua tangan Jalu Kuping segera berasap, ia lakukan
gerakan di tempat sebelum maju menyerang lawan.
Sementara itu, Resi Pakar Pantun pun mulai keluarkan asap
dari kedua telapak tangannya, ia mengubah posisi dengan gerakkan kaku karena
seluruh tubuhnya mengeras.
"Heeah...!" Resi Pakar Pantun menyentakkan
kaki, tubuh pun segera meluncur ke depan. Wuuus...! Dan si Jalu Kuping tak mau
diam di tempat, sentakan kakinya juga membuatnya meluncur ke depan dalam
keadaan seperti singa ingin menerkam mangsanya.
Kedua tokoh tua itu akhirnya bertemu di udara dan saling
hantamkan pukulan berasapnya secara
beruntun.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Mereka saling beradu tangan, saling tangkis, dan saling
beradu kaki dengan gerakan serba cepat. Ketika tubuh mereka hendak turun ke
bumi, mereka saling mengadu kedua telapak tangan.
"Hiaah...!"
Jegaaaarrrr...!
Kilatan cahaya ungu kemerah-merahan membias dalam sekejap
bersama suara ledakan dahsyat. Gelombang ledakan itu mempunyai hawa panas yang
menyentak kuat ke berbagai penjuru. Akibatnya, si Jalu Kuping terpental dalam
gerakan melambung ke udara cukup tinggi, sedangkan Resi Pakar Pantun terlempar
ke belakang dalam gerakan seperti dihempas badai.
Wuuut...! Brruk...!
Keduanya sama-sama jatuh terbanting. Agaknya si Jalu
Kuping lebih parah, karena ia terbanting dari keadaan yang lebih tinggi
ketimbang Resi Pakar Pantun.
Bluuk...! "Aaahk...!" Jalu Kuping mengerang
kesakitan, ia tak pedulikan janggutnya yang menjadi hangus dan bondol. Wajahnya
sendiri berubah menjadi kemerah-merahan karena hawa panas dari ledakan tadi.
Resi Pakar Pantun juga ber wajah merah, seperti kepiting diangkat dari air
rebusan, ia menggeragap dan kebingungan karena merasakan panas yang menjalar
lambat ke leher dan dada.
"Celaka! Hawa saljuku tak bisa padamkan rasa panas
membakar ini"!" gumam hati Resi Pakar Pantun dengan cemas. Di pihak
lawan, si Jalu Kuping juga mencemaskan hal yang sama.
"Uuhf...! T ak tahan aku dengan hawa panas ini!
Gila!
Napas kutupku tak bisa memadamkan hawa panas yang
sebentar lagi membakar sekujur tubuhku!" Resi Pakar Pantun membatin,
"Ini harus dibantu dengan air! Ooh, ya... aku ingat, tadi di sebelah sana
aku melewati sungai! Sebaiknya aku berendam di sungai itu sambil kerahkah hawa
saljuku!" ,
Supaya tak disangka kalah dan larikan diri, Resi Pakar
Pantun segera serukan pantunnya dengan suara bergetar dan serak akibat menahan
sakit.
"Telur kuda jatuh di mulut babi,
telur babi tak pernah bisa bernyanyi.
Jangan pergi ke mana-mana kau, Kuping Sapi,
tak sampai sewindu aku kan datang lagi."
Blaass...! Resi Pakar Pantun pun pergi secepatnya. Jalu
Kuping mulai dapat menangkap maksud kepergian sang Resi.
"Dia pasti mau gunakan air sebagai pembantu hawa
dinginnya! Hmm, sebaiknya kuikuti dia, karena aku pun butuh air untuk membantu
hawa dingin dari napas kutupku!" Blaasss...! Jalu Kuping segera susul Resi
Pakar Pantun. Keadaan panas yang merambat ke dada itu membuat si Jalu Kuping
tak pedulikan keadaan Pendekar Mabuk, dan Resi Pakar Pantun tak pedulikan
keadaan si Kadal Ginting. Tanpa diketahui mereka berdua, Suto Sinting sudah
mulai siuman, karena para tokoh tua itu pergi terlalu lama. Rupanya sinar hijau
kecil yang menyengat dari si Jalu Kuping bukan pukulan mematikan.
Sinar hijau yang dinamakan jurus ' Sengat Rembulan' hanya
melumpuhkan urat saraf dan menghapus kesadaran seseorang. Beberapa saat
kemudian, orang itu akan siuman sendiri, tergantung ketahanan fisik dan Ilmu
yang dimiliki. Semakin tinggi ilmu orang itu, semakin cepat siumannya.
Berbeda dengan si Kadal Ginting; tak dapat cepat siuman
karena ia mempunyai ilmu tidak setinggi Pendekar Mabuk. Maka ketika Pendekar
Mabuk siuman, ia segera terkejut melihat Kadal Ginting terkapar tak jauh
darinya.
"Gila"! Kenapa si Pandawi berubah menjadi Kadal
Ginting"! Wah, celaka kalau begini"! Berarti aku tadi bermesraan
dengan si Kadal Ginting serta...," ucapan hati Suto terhenti sejenak,
karena memori dalam benaknya teringat kembali saat-saat terakhir bersama
Pandawi dan Dewi Kun.
"O, bukan! Pandawi bukan berubah menjadi Kadal
Ginting! Aku ingat... saat itu aku merasa seperti disengat nyamuk, lalu
pandangan mataku mulai buram dan... dan aku tak sadar lagi. Hmm... pasti orang
yang membawaku sampai di sini. Tapi apa hubungannya dengan Kadal
Ginting"!"
Pendekar Mabuk segera tenggak tuaknya. Dengan meneguk
tuak dari bumbung saktinya, rasa nyeri di sekujur tubuhnya menjadi hilang.
Badannya terasa segar dan sehat kembali,
seperti tak pernah pingsan atau terluka sedikit pun.
Kebetulan sekali Kadal Ginting pingsan dalam keadaan
mulut sedikit ternganga, seperti lubang belut. Pendekar Mabuk menuangkan
tuaknya pelan-pelan ke mulut Kadal Ginting. T uak masuk ke tenggorokan sedikit
demi sedikit bagai air merembas ke tanah.
Beberapa saat kemudian, Kadal Ginting sadar dan langsung
tersedak.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Kadal Ginting
terbatuk-batuk, karena ia memang rawan dengan penyakit batuk.
Wajahnya sampai merah dan berkeringat karena batuknya tak
berhenti-henti.
Plaak...! Suto Sinting menepak tengkuk Kadal Ginting
supaya batuknya berhenti. T api Kadal Ginting tersungkur jatuh dalam keadaan
tengkurap. Ulu hatinya terganjal akar yang menonjol. Napasnya sesak, dan ia pun
pingsan kembali.
"Sial! Rupanya tabokan tanganku terlalu keras
sehingga dia pingsan lagi. Haahhh... bikin kerjaan saja ini orang!" gerutu
Pendekar Mabuk sambil gulingkan tubuh Kadal Ginting agar telentang kembali.
* * *
4
PELAYAN Resi Pakar Pantun itu setelah ditolong Suto hanya
bisa jelaskan tentang siapa orang yang membawa Suto sampai ke tempat itu.
Persoalan yang sebenarnya, Kadal Ginting tak bisa jelaskan. Karena pada waktu
Jalu Kuping jelaskan perkara muridnya; si Badra Sanjaya itu, ia dalam keadaan
KO alias pingsan.
Maka dalam hati Suto pun diliputi tanda tanya besar,
"Apa alasan Ki Jalu Kuping membiusku dan ingin membawaku ke
pondoknya"! Kesulitan apa yang
dialaminya sehingga ia nekat bertindak sekonyol itu padaku" Lalu,
bagaimana dengan Pandawi dan Dewi Kun itu"!"
Ke mana kedua tokoh tua itu pergi, Kadal Ginting juga tak
bisa jelaskan. Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk segera perintahkan Kadal Ginting
untuk mencari kedua tokoh tua itu ke arah timur, sedangkan Suto sendiri akan
mencari ke arah utara.
Padahal kedua tokoh tua itu berlari ke arah barat. T entu
saja mereka tidak akan bertemu dengan kedua tokoh tua itu. T anpa terasa
Pendekar Mabuk sudah berkeliaran mencari mereka selama dua hari, baik mencari
kedua tokoh tua itu atau mencari Pandawi dan Dewi Kun.
Rasa-rasanya seluruh pelosok bumi telah dijelajahi Suto
untuk mencari mereka, padahal baru sebagian kecil dari permukaan bumi yang
dijelajahinya. Tentu saja mereka tak dapat ditemukan.
Anehnya, Pendekar Mabuk justru menemukan seraut wajah
cantik lainnya yang belum pernah dikenal dan dijamahnya. Seraut wajah cantik
jelita itu milik seorang gadis berpakaian kuning gading. Bajunya tanpa lengan,
agak ketat dengan tubuhnya yang sekal itu. Celananyajuga a gak ketat dengan
pinggulnya yang padat berisi itu.
T api gadis itu mengenakan jubah tanpa lengan yang mudah
dilepas. Jubah merah beludru itu seperti jubah milik Superman atau Drakula,
seakan bisa dipakai untuk terbang. T api sebenarnya gadis itu tidak bisa
terbang, karena bukan peranakan kelelawar, ia juga tidak doyan minum darah,
karena bukan keturunan vampire.
Suto Sinting temukan gadis berambut pendek sepundak itu
di sebuah lembah. Gadis yang mengenakan ikat kepala dari lempengan logam kuning
emas berbatu kecil-kecil seperti intan itu ditemukan Suto bukan dalam keadaan
sedang melamun atau menangis, tapi dalam keadaan sedang berjumpalitan di udara
karena hindari pedang seorang lawan. Lawan yang sedang bertarung dengan si
gadis itu pernah dilihat oleh Suto, yaitu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang
rambutnya digulung ke atas dan dililit pita merah.
Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap, dan ramping. Badannya
tidak sekekar Pendekar Mabuk, ia mengenakan jubah kuning mengkilat dari semacam
kain satin, pakaian dalamnya warna hitam. Sarung pedangnya dibungkus kain
jingga dan terselip di pinggang.
Pemuda berwajah tampan dan beralis tebal itu tak lain
adalah si Raden Lontar, putra bangsawan yang menjadi murid Perguruan Darah
Biru.
Raden Lontar adalah sosok pemuda yang haus ilmu, sehingga
ia pernah ingin membunuh seorang tokoh tua aliran putih yang bernama T ulang
Geledek, hanya untuk dapatkan ilmu dahsyat dari si manusia berwajah ba dak yang
bernama Rogana.
Kehadiran Pendekar Mabuk dan gadis konyol; Perawan
Sinting, membuat usaha menangkap T ulang Geledek menjadi gagal, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan Sinting").
"Aku masih ingat si Raden Lontar itu," gumam
hati Suto Sinting. "Tapi siapa gadis cantik berhidung mancung dan berbibir
menggemaskan itu"! Hmm...! Kecantikannya punya daya tarik tersendiri. Beda
dengan yang sudah-sudah. Kecantikan itu bagaikan memancarkan cahaya berlian
yang berkesan mewah dan mengagumkan. Hmmm... benar-benar mirip boneka gadis
itu." Suto Sinting geleng-geleng kepala dengan rasa kagum berbunga-bunga.
Gerakan gadis itu sangat lincah dan gesit. Segalanya
dilakukan dengan cepat, nyaris tak terlihat mata manusia biasa. Agaknya ia
belum mau menggunakan senjatanya walau Raden Lontar sudah menggunakan pedangnya
yang berkesan mewah itu.
"Menyerahlah kau, T irai Surga!" bentak Raden
Lontar yang rupanya kewalahan karena sejak tadi tak bisa kenai gadis itu dengan
pedangnya.
"Perguruanku tak kenal kata menyerah, Raden Lontar!
Tapi jika perguruanmu mengenal kata menyerah, kusarankan agar segeralah kabur
sebelum hidupmu berakhir di sini!" ujar si gadis yang ternyata bernama T
irai Surga itu.
"Kita buktikan siapa yang masa hidupnya berakhir di
sini! Hiaaah...! Raden Lontar menebaskan pedangnya dari kanan ke kiri. Arahnya
ke leher T irai Surga. T api dengan gerakan gesit dan cepat T irai Surga
meliukkan badan sambil merunduk hingga pedang Raden Lontar membabat tempat
kosong. Wuuss...!
Dengan geram Raden Lontar hentakkan kaki ke depan dan
pedangnya menghujam ke dada si gadis.
Suuut...! Gadis itu hanya bergeser ke samping dalam
gerakan miring. Pedang lawan lewat di depan dadanya. T angan si gadis segera
menghantam pergelangan tangan Raden Lontar. Plaak...! Pedang itu hampir saja
terlepas dari genggaman Raden Lontar, namun berhasil ditangkap kembali dengan
gerakan terhuyung ke kanan. Kesempatan itu digunakan oleh T irai Surga untuk
lepaskan tendangan menyamping.
Gerakan kaki itu sangat cepat, sehingga Raden Lontar tak
bisa hindari atau menangkisnya. Bet, plook...! Wajah Raden Lontar terkena
tendangan cepat dan kuat. Pemuda itu
tersentak ke belakang dan terjungkal satu kali.
"Monyet...!" geram Raden Lontar setelah
menegakkan badannya dalam keadaan satu kaki berlutut.
Wajahnya yang terasa panas dan tulang rahangnya seperti
patah itu ditahan sesaat. Raden Lontar segera lepaskan pukulan tangan kiri.
Wuuut...! Claap...! Sinar biru lurus melesat dari telapak tangan RadenLontar di
luar dugaan T irai Surga. Sinar itu berkelebat sangat cepat dan tak bisa
dihindari. Si gadis hanya bisa menahan dengan telapak tangannya yang segera
ingin memancarkan sinar merah.
Namun sebelum sinar merah itu menjadi besar dan terlepas
dari telapak tangan itu, sinar birunya Raden Lontar lebih dulu menghantamnya.
Blegaaar...! Ledakan cukup keras membuat T irai Surga terlempar sejauh tujuh
langkah dan jatuh berguling-guling. Ra den Lontar segera mengejarnya, tak beri
kesempatan bagi si gadis untuk lepaskan balasan. Kali ini Raden Lontar pergunakan
pedangnya untuk membunuh T irai Surga.
Dalam jarak satu langkah, pedang itu diayunkan memenggal
leher si gadis yang sedang sempoyongan akibat ledakan tadi.
Wuuut...! Traaang...!
T iba-tiba pedang itu terpental bagai disambar setan. Se
butir batu kecil telah melesat dan kenai pedang itu. Batu kecil itu disentilkan
dari tangan seorang pemuda tampan yang bersembunyi di balik semak. Pendekar
Mabuk itulah orangnya yang merasa sayang jika gadis secantik itu terpenggal
kepalanya.
"Setan...!! Siapa kau yang ada di semak-semak
itu"! Keluar!" seru Raden Lontar setelah memungut pedangnya. Pendekar
Mabuk sengaja tak menjawab, karena sebenarnya ia tak ingin terlibat urusan
antar perguruan itu. Ia hanya merasa sayang jika gadis itu sampai kehilangan
nyawa. Jika hanya luka atau celaka tak apa, asal jangan sampai mati.
Raden Lontar mencoba untuk tidak pedulikan gangguan dari
balik semak. Selagi T irai Surga belum bangkit dan masih tampak lemah akibat
pukulan sinar birunya tadi, Raden Lontar ayunkan kembali pedangnya untuk
memenggal kepala gadis Itu. Wuuut...!
Traang...! Lagi-lagi batu sekecil kemiri melesat kenai
pedang Raden Lontar. Pedang itu tersentak kuat membalik arah, bahkan membuat
keseimbangan Raden Lontar menjadi
limbung. Hampir saja ia jatuh terjengkang kalau tak segera pasang
kuda-kuda rendah. "Bangsat kurap betul orang itu!" geram Raden
Lontar, kemudian tangan kirinya lepaskan pukulan bersinar biru seperti tadi ke
arah semak-semak. Claap...!
Sinar biru itu melesat cepat ke arah semak-semak. Suto
Sinting melihat gerakan sinar biru itu, lalu cepat-cepat hadangkan bumbung
tuaknya sebagai penangkis. Tuub...! Sinar itu membentur bumbung tuak seperti
benda padat membentur karet.
Bumbung tuak tidak mengalami luka lecet atau hangus
sedikit pun, tapi ia mampu pantulkan sinar biru itu ke arah semula dalam
keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Wuuus...! "Edan..."!" pekik Raden Lontar
dengan mata mendelik melihat sinar birunya memantul balik dengan lebih cepat
dan lebih besar dari aslinya, ia sempat panik, dan segera melepaskan jurus
bersinar kuning dari sentakan pedangnya. Pedang yang disentakkan ke depan
keluarkan sinar kuning dari ujungnya
sebesar telur ayam kampung. Claap...! Jegaaarrr...! Benturan sinar kuning yang
baru saja keluar dari ujung pedang dengan sinar biru timbulkan ledakan dahsyat yang melemparkan
tubuh Raden Lontar sejauh sepuluh langkah lebih. T ubuh itu melayang ke
belakang bagai tersapu badai dan jatuh terbanting di atas sebongkah batu sebesar
anak sapi. Bruuuk...!
"Huaaaahhkk...!!" pekik Raden Lontar dengan
kerasnya. Suara pekikan itu dibarengi dengan semburan darah segar dari
mulutnya.
Suto Sinting sendiri terkejut, karena tak sangka akan
membuat Raden Lontar separah itu. "Salahnya, pakai ditangkis dengan sinar
kuning segala!" gerutu hati Suto
Sinting. "Coba dihindari saja, tak akan membuatnya terluka dalam
separah itu"!"
T irai Surga pun terperanjat melihat lawannya terlempar
sejauh itu dan semburkan darah segar dari mulutnya. Gadis itu dapat menduga,
lawannya terluka parah bagian dalam tubuhnya. Namun siapa orang yang
memihaknya, T irai Surga tak dapat menduga.
Raden Lontar mencoba bangkit dengan terhuyung-huyung.
Wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat. Mulutnya menganga terus karena
berusaha menghirup napas yang tampak sukar sekali itu. Ia melangkah mundur
dengan masih pegangi pedangnya. Langkahnya itu menggeloyor dan jatuh terduduk
di tempat, darah keluar lagi dari mulutnya. Namun ia mencoba bangkit kembali
dengan pandangan mata mulai sayu.
"Wah, mati tuh orang..."!" gumam hati Suto
Sinting dengan agak menyesal. Ia ingin bergegas keluar untuk menolong Raden
Lontar,karena di antara dirinya dan Raden Lontar sebenarnya tak punya masalah
pribadi apa pun. Ia hanya menyelamatkan nyawa si cantik T irai Surga itu, tak
sengaja membuat Raden Lontar sampai segawat itu.
Namun sebelum Pendekar Mabuk keluar dari
persembunyiannya, murid Perguruan Darah Biru itu sudah kabur lebih dulu. Dalam
hati Raden Lontar yakin bahwa lukanya akan semakin parah jika dilanjutkan
melawan T irai Surga atau orang yang ada di balik semak itu. Maka ia memilih
lari dari pertarungan dan segera temui gurunya untuk lakukan pengobatan.
"T api aku akan kembali lagi untuk bikin perhitungan
sendiri denganmu, T irai Surga!" geram hati Raden Lontar yang cepat menghilang
di balik kerimbunan hutan seberang. T
irai Surga sudah dapat berdiri dan menahan
kayunya, ia ingin kejar musuh perguruannya itu. T etapi
tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara yang muncul dari semak-semak di
belakangnya.
"T ahan...!"
T irai Surga terkejut meiihat seraut wajah tampan yang
sedang melangkah tegap ke arahnya. Gadis itu sempat tertegun bagai melihat setan ganteng
menghampirinya.
"Ya, ampun... ganteng amat pemuda ini"!
Senyumnya walaupun tipis namun terasa meneduhkan hatiku yang marah kepada si
Raden Lontar itu"!" ujar T irai Surga dalam hati. "Anak siapa
dia, ya"! Pandangan matanya membuat hatiku berdesir-desir indah. Ooh...
kurasa dia memakai ilmu pelet sehingga aku bisa terpesona oleh penampilannya. Tapi...
tapi apa benar dia pakai ilmu pelet"! Wajahnya toh memang asli tampan,
badannya juga tegap, gagah, dan langkahnya mantap sekali. Kurasa tanpa ilmu
pelet pun dia sudah menawan."
Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah di depan T irai
Surga dalam jarak satu tombak kurang. Senyumnya sengaja dipamerkan supaya si
gadis tahu bahwa ia bermaksud bersahabat bukan bermusuhan. Namun si gadis belum
bisa membalas senyumannya. Walau hati si gadis berdebar-debar indah, tapi ia
tak mau pamer senyum sembarangan. Ia memasang wajah berkesan dingin. Hanya
saja, sorot pandangan matanya tak bisa berbohong, bahwa ia terpesona kepada
murid sinting si Gila T uak itu.
"T ak perlu kau kejar dia, Nona. Lukanya sudah
terlalu berat. Anggap saja dia kalah tanding denganmu dan melarikan diri.
Jangan menyerang orang yang telah melarikan diri dan tak berdaya itu."
"Kaukah yang ikut campur dalam pertarunganku
ini"!" suara T irai Surga terdengar dingin sekali, seakan acuh tak
acuh terhadap kehadiran Suto di situ.
"Ya, memang aku yang menyentilkan batu ke pedang
Raden Lontar, karena aku tak ingin nyawamu melayang dalam usia semuda ini dan
secantik ini. Kau boleh mati setelah wajahmu keriput dan kempot, yaah...
kira-kira setelah berusia seratus tahun lebih," ujar Suto Sinting
seenaknya saja dalam bicara.
"Apakah kau dewa penentu usia seseorang"!"
"T erserah anggapanmu. Dianggap dewa ya mau,
dianggap raja ya mau, dianggap pangeran ya mau! Asal jangan dianggap sapi
saja."
Senyum pemuda tampan itu makin mekar. Tirai Surga merasa
diajak bercanda, tapi ia sengaja menahan senyum dan tawa agar tak berkesan
sebagai gadis yang mudah terpikat oleh ketampanan dan kelakar setiap pemuda. Ia
justru melangkah ke bawah pohon, supaya tubuhnya yang putih mulus itu
terlindung oleh sengatan sinar matahari. Suto Sinting hanya mengikuti dengan
pandangan mata, namun karena gadis itu berhenti agak jauh, mau tak mau Suto
Sinting pun menghampirinya, ia ingin melihat sebentuk kecantikan yang mulus,
tanpa cacat, dan jerawat sebutir pun.
"Kau terlalu lancang, ikut campur dalam urusan perguruanku!"
"Maaf, seperti kukatakan tadi. aku hanya tak ingin
Raden Lontar mencabut nyawamu. Kalau hanya membuatmu bonyok atau babak belur,
itu tak apa. Asal jangan membuatmu mati."
"Mengapa kau tak ingin kalau aku mati?"
"Hmmm... karena... karena itu akan merepotkan aku.
Aku adalah orang yang tak bisa melihat mayat tergeletak tanpa dikubur. Aku
selalu menguburkan mayat tak kukenal, terutama yang berwajah cantik,"
sambil Suto Sinting tertawa pelan pertanda ucapannya hanya sekadar kelakar
belaka. Kali ini si gadis sunggingkan senyum kecil berkesan sinis.
"Rupanya kau ingin kuanggap sebagai pendekar sakti,
ya" Hmmm...," gadis itu mencibir. "T anpa kau bela pun
sebenarnya aku bisa tumbangkan pemuda laknat tadi! Aku sengaja diam, dan
menunggu dia mendekat, lalu akan kuhantam dia dengan jurus mautku. T api rupanya
kau terlalu usil dan sok jago, sehingga ia akhirnya kabur dalam keadaan
bernyawa. Padahal aku ingin dia kabur dalam keadaan sudah tak bernyawa."
"Mana mungkin"!" ujar Suto sambil tertawa
lirih.
"Mungkin saja! Kau sangka ilmuku lebih rendah dari
Raden Lontar"! Hmmm...! Sepuluh Raden Lontar pun sanggup kugulingkan dalam
waktu sekejap"!"
"Maksudku, mana mungkin orang sudah tak punya nyawa
bisa lari"!" potong Suto Sinting membuat Tirai Surga hentikan
kata-katanya, sedikit merasa malu menyadari ucapannya yang salah ucap tadi.
Setelah sama-sama diam sesaat, Pendekar Mabuk segera
ajukan tanya kepada T irai Surga yang sejak tadi dipandanginya penuh rasa kagum. "Kalau boleh kutahu, perkara apa
yang membuat perguruanmu bermusuhan dengan perguruannya Raden Lontar"!"
"Urusan Guru sama Guru, murid jadi kena
getahnya!" jawab T irai Sur ga masih bernada dingin. "Mereka berebut
kitab warisan Eyang Guru, lalu kami para murid saling mendukung Guru
masing-masing. Permusuhan ini sudah lama
berlangsung, tak satu pun dari mereka ada yang mau saling mengalah. Maka jika
orang perguruanku bertemu orang Perguruan Darah Biru, pasti saling beradu
nyawa."
"Kau dari perguruan mana?"
"Aku dari Perguruan T elaga Murka. Saat ini kami tak
mempunyai ketua, karena ketua perguruan kami baru saja meninggal karena
penyakit ketuaannya."
"Jadi kau sedang mencari seorang ketua untuk
perguruanmu"!"
"Malam purnama yang akan datang akan dilakukan
pemilihan calon ketua dengan cara adu kekuatan di antara para murid. Siapa yang
terkuat dan unggul melawan para calon ketua, dialah yang akan dinobatkan
sebagai ketua kami."
"Aneh. Kau bilang tadi, gurumu dan gurunya Raden
Lontar selalu bermusuhan, tapi sekarang kau bilang sedang mencari ketua
perguruan yang...."
"Guru tidak mau menjadi ketua perguruan! Guru hanya
sebagai pengawa s dan penggembleng para murid. Gur u juga tidak mau menunjuk
salah satu dari kami untuk menjadi ketua. Maka kami sepakat untuk adakan adu
kekuatan tenaga luar. Dan aku ingin sekali menjadi orang berjasa dalam
perguruan yang nantinya akan kuhadapi musuh utama kami si Beruang iblis,
karenanya aku harus mencari tambahan ilmu dari pihak luar secara
diam-diam."
"Ooo... ceritanya kau ingin cari penghasilan
sampingan di luar perguruan"!" ujar Suto Sinting sambil tertawa pelan
dan manggut-manggut kecil. "Kau memang termasuk murid bengal, T
irai."
T irai Surga tak tersenyum sedikit pun. T api ia pandangi
Suto Sinting dengan mata beningnya yang tak berkedip sejak tadi itu. Sesaat
kemudian, ia mulai perdengarkan suaranya yang terdengar seperti ragu-ragu dalam
pengucapannya itu.
"Maukah... maukah kau membekaliku sedikit ilmu untuk
membuatku menjadi lebih tinggi dari
para murid lainnya"!"
Suto Sinting tertawa lagi. Seakan permohonan itu dianggap
lucu dan tak perlu ditanggapi secara serius.
"Kau belum mengenalku, belum tahu namaku, belum tahu
seberapa tinggi ilmuku, mengapa kau sudah berani meminta ilmu padaku"
Siapa tahu ilmumu sendiri lebih tinggi dari ilmuku"!"
T irai Surga gelengkan kepala pendek saja. Matanya tetap
tertuju ke arah wajah Suto Sinting. Sikap berdirinya mengesankan sebagai gadis
pemberani yang tak pernah kenal kata menyerah. "Kulihat kau tadi sudah
bisa mengembalikan sinar birunya Raden Lontar dalam keadaan lebih cepat dan
lebih besar, itu sudah menandakan kau berilmu tinggi, karena dari perguruanku
maupun dari perguruan Raden Lontar tak ada yang punya ilmu seperti itu,"
ujarnya dengan polos tanpa senyum.
"Begitukah?" sambil Suto tersenyum bangga,
namun senyum itu justru memancarkan daya pikat lebih tinggi lagi, sehingga
debar-debar di hati T irai Surga menjadi bertambah meresahkan jiwanya. Namun
gadis itu pandai sembunyikan perasaannya, sehingga tak mudah diketahui oleh
pemuda yang ada di depannya itu.
"Namaku: Tirai Surga! Kau boleh memanggilku Tirai
saja, atau Surga saja. Kurasa kau tak akan rugi menurunkan sedikit ilmumu
kepadaku, karena akan kukenang sepanjang masa dan...."
"Dan namaku Suto Sinting," potong Suto yang tak
mau mendengar janji-janji bercorak bualan belaka itu.
"Kau boleh memanggilku Suto, boleh memanggilku
Sinting. T erserah seleramu saja!" tambah Suto Sinting.
Gadis itu sudah hampir mau tersenyum. Tapi tiba-tiba
mereka mendengar suara ledakan yang menggelegar. Suara ledakan itu sangat
jelas, dan cukup dekat menurut perhitungan jarak lari Pendekar Mabuk. T anah
tempat mereka berpijak sempat terasa bergetar, menandakan ledakan tadi terjadi
karena perpaduan dua kekuatan berilmu tinggi.
"Maaf, aku harus pergi ke arah ledakan tadi, untuk
melihat siapa yang bertarung di sana!" "T unggu! Aku ikut denganmu!"
sahut T irai Surga."Kau keberatan"!"
Pendekar Mabuk belum jadi melangkah pergi, ia menatap T
irai Surga yang ber wajah cantik mulus. Kulitnya begitu lembut bagaikan kulit
bayi. "Biarkan aku ikut denganmu. Aku tidak akan mengganggu ruang gerakmu,
Suto!" ujar T irai Surga setengah mendesak. Pendekar Mabuk hanya sentakkan
kedua pundaknya, kemudian segera melesat dengan kecepatan tinggi, menyerupai
gerakan seberkas sinar, karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
T irai Surga terbengong melompong melihat kecepatan gerak
itu. Ia terkesima di tempat hingga tertinggal cukup jauh oleh Suto Sinting.
"Aku harus mendekatinya terus. Siapa tahu kekuatan dan ilmunya biasa
kugunakan untuk melindungiku dari maut yang sedang kuburu ini"!" ujar
gadis itu sambil bergegas menyusul Suto.
* * *
5
MATA pendekar tampan itu tidak berkedip pandangi
pertarungan antara seorangnenek berjubah abu-abu dengan seorang kakek berjubah
biru muda. Hal yang amat menarik bagi Suto Sinting adalah keduanya bertarung di
atas daun-daun ilalang. T entu saja mereka sama-sama pergunakan Ilmu peringan
tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu berdiri di atas pucuk-pucuk ilalang.
Seakan pucuk-pucuk ilalang adalah tanah padat atau hamparan batu luas tanpa
celah sedikit pun.
Si jubah biru tampak bergerak dengan lincah, lakukan
lompatan ke sana-sini sambil lepaskan pukulan bersinar putih. Pukulan itu
ditangkis terus oleh si nenek berjubah abu-abu dengan kibasan tangannya. Angin
kibasan tangan itu mewakili perisai hawa padat yang membuat sinar putih itu tak
pernah berhasil menyentuhnya.
Sekali si nenek lepaskan pukulan dengan tubuh melayang
bagai terbang, kedua tangan mereka beradu di udara dan timbullah ledakan besar
yang kedua kalinya. Blegaarr...! Jubah biru yang belum dikenal Suto Sinting itu
jatuh berlutut, tapi tetap di atas ilalang tanpa terperosok sedikit pun. Itu
menandakan kemampuan dalam menjaga keseimbangan tubuh dalam ilmu peringannya
nyaris mendekati sempurna.
Sayangnya si jubah biru tidak segera dongakkan wajah,
sehingga ia tak tahu ketika nenek berjubah abu-abu dan berkuku runcing itu
melepaskan sinar hijau kecil sebesar lidi dari ujung telunjuknya. Sinar hijau
itu melesat lurus bagaikan kawat dan menghantam leher si jubah biru. Claap...!
Dess...! "Uuhk...!" Jubah biru memekik dan
jatuh terperosok ke dalam semak.
Pada saat itu, T irai Surga datang mendekati Suto Sinting
dengan langkah pelan agar tak timbulkan suara.
Namun bagi Suto, suara langkah kaki gadis itu masih bisa
didengar karena jaraknya semakin dekat. Suto Sinting menengok sesaat, kemudian
ketika T irai Surga ada di sampingnya, Suto pun berbisik dengan suara sangat
pelan.
"Kau lihat si jubah biru tadi?"
"Ya. Dia yang berjuluk si Singa Bangka dari Pantai
Bacin. Dia termasuk gurunya Raden Lontar di luar Perguruan Darah Biru."
"Ooo..." Suto Sinting menggumam lirih dan
manggut.
"Sebenarnya ia termasuk orang tangguh. T api sayang
ia lebih dulu terkena jurus 'Mati Raga',
sehingga ia tak akan bisa berkutik lagi," tambah Tirai Surga yang tadi
sempat melihat sinar hijau lurus menghantam leher Singa Bangka.
"O, sinar hijau tadi namanya jurus 'Mati
Raga'"!" gumam Suto merasa baru tahu nama jurus itu. "Lalu, yang
berjubah...."
Kata-kata Pendekar Mabuk terhenti sampai di situ, karena
matanya segera terbelalak ketika melihat bayangan nenek berjubah abu-abu itu
bergerak sendiri, bagai melompati tubuh
jubah bir u yang terperosok di dalam ilalang itu. Sedangkan si pemilik
bayangan segera melesat ke arah lain, memunggungi Suto Sinting.
Weess...! Blaass...!
Gerakan bayangan hitam yang berbeda dengan gerakan si
pemilik bayangan itu timbulkan letupan kecil dan nyaris tak terdengar.
Bluub...! Wuuurss..!
"Hahh..."!" Suto Sinting nyaris terpekik
karena kagetnya. Sayang rasa kagetnya terlalu besar sehingga yang
keluar dari mulutnya hanya desah napas menyentak. Matanya
masih tak berkedip pandangi bayangan hitam yang segera bergabung dengan tubuh
si jubah abu-abu. Mereka bagai dua nyawa
yang se gera melesat pergi tinggalkan tempat tersebut.
Tubuh Singa Bangka segera kepulkan asap, lalu asap segera
lenyap ditiup angin, dan Singa Bangka ternyata sudah menjadi abu bercampur
arang.
"Ger.... Ger.... Gerhana Senyawa..."!"
ucap Suto Sinting lirih sekali sambil
menggeragap dan terpaku di tempat.
"Benar. Itu tadi jurus ' Gerhana Senyawa' yang
sangat dahsyat dan mematikan sekali!" ujar T irai Surga sambil matanya
pandangi ke arah kepergian si jubah abu-abu. Pendekar Mabuk belum bisa kedipkan
mata. Jantungnya bagai menyentak-nyentak setelah tahu bahwa Singa Bangka
akhirnya tewas menjadi abu karena dilanda bayangan hitam dari sosok tubuh si
jubah abu-abu tadi.
Kini si jubah abu-abu sudah sangat jauh dan menghilang
dari pandangan Suto Sinting serta Tirai Surga. Namun keadaan Suto masih tetap
terpaku di tempat bagaikan patung bernyawa dengan mulut ternganga. T irai Surga
memeriksa abu itu dengan menerabas semak-semak ilalang. Sesaat kemudian ia
kembali temui Suto. T api pemuda itumasih terpaku di tempat dengan mata melebar
dan mulut ternganga.
"Hei, kenapa kau"!" tegur T irai Surga
seraya menepuk punggung Pendekar Mabuk. T epukan dan teguran itu berhasil
membuat Suto Sinting sadar dan menggeragap.
Napasnya terengah-engah,
wajahnya menjadi pucat dan menegang. Hal itu menimbulkan
keheranan dan kecurigaan bagi T irai Surga.
"Ada apa kau"! Kenapa wajahmu menjadi sepucat
mayat puasa"!"
Bisa dibayangkan, wajah mayat saja sudah pasti pucat
pasi, dan orang puasa pun berwajah pucat. Dapat dibayangkan pula seperti apa
kepucatan wajah Suto kala itu jika T irai Surga sampai mengatakan 'seperti
mayat puasa'" Suto Sinting sangat shock begitu melihat kematian Singa
Bangka dari Pantai Bacinitu. Ia sampai tak bisa bicara sesaat, karena
tenggorokannya sibuk menelan napas beberapa kali. Bahkan ketika ia melangkah ke
bawah pohon dan sandarkan tangan kirinya di sana, ia masih belum bisa bicara
dengan benar sewaktu T irai Surga menegurnya lagi.
"Ada apa sebenarnya"! Kau aneh sekali, Suto
Sinting"!"
"Itu... tadi... iya... hmm... jurus itu...."
"Jurus yang mana" Apakah maksudmu jurus '
Gerhana Senyawa' itu"!"
"Kau... kau kenal dengan si jubah abu-abu
tadi"!"
"T entu. Dia adalah Nyai Dupa Mayat yang sedang
memburu Pendekar Mabuk," jawab Tirai Surga dengan polos, karena ia tak
tahu bahwa Suto Sinting itu adalah si Pendekar Mabuk.
"Oohhhh...," Suto Sinting mengeluh dengan tubuh
melemas.
"Untuk saat ini, memang baru Nyai Dupa Mayat yang
menguasai ilmu 'Gerhana Senyawa'. T api ia juga mempunyai beberapa jurus maut
yang membahayakan lawan, di antaranya adalah jurus 'Mati Raga' itu tadi.
Seseorang yang terkena jurus 'Mati Raga' selamanya tak
akan bisa bergerak, namunnyawa dan napasnya masih ada."
T uak segera diteguk untuk menenangkan getaran hatinya.
Hal yang membuat Suto Sinting menjadi shock adalah penglihatannya yang tak
disangka-sangka.
Dengan jelas sekali ia melihat sosok Nyai Dupa Mayat.
Dengan jelas pula ia melihat bagaimana bayangan hitam itu berkelebat membakar
tubuh Singa Bangka dalam sekejap.
Sedangkan saat itu nyawa Suto merasa terancamoleh ilmu
gila itu. T ak dapat dibayangkan olehnya jika nenek berjubah abu-abu itu tadi
pergi dengan melintas atas kepalanya,
tentu saja saat ini ia sudah menjadi abu seperti nasib Singa Bangka itu.
Baru sekarang Suto Sinting melihat sosok orang yang akan
menjadi calon lawannya nanti. Rasa sesal itu mengejutkan hati Suto, karena
sebenarnya tadi ia punya kesempatan untuk menyerang Nyai Dupa Mayat dengan
jurus 'Manggala' atau jurus 'Yudha'-nya. Sayang sekali ia tak tahu siapa nenek
berjubah abu-abu itu, sehingga yang dilakukan hanya terbengong melompong
saksikan pertarungan tersebut. "Bodoh! Bodoh sekali aku! Lawan sudah di
depan mata dibiarkan pergi begitu saja"! Ia tak mungkin bisa terkejar
olehku, karena ia juga punya gerakan cepat, menyamai dengan jurus 'Gerak
Siluman'-ku!" geram Suto Sinting dalam hatinya.
Tirai Surga pandangi Suto sejak tadi. Yang dipandang cuek
saja, tak hiraukan si gadis, karena pikirannya tertuju pada penyesalan besarnya
itu. Wajah Nyai Dupa Mayat yang sempat dilihatnya sepintas tadi masih membayang
terus di pelupuk matanya. Suto Sinting merasa seperti melihat sang malaikat
yang akan mencabut nyawanya.
"Suto, katakan dengan jujur, mengapa kau tampak
ketakutan sekali"! Apakah baru sekarang kau melihat korban ilmu
"Gerhana Senyawa'?" ujar T irai Surga.
"Hmmm. Eeh... iya, memang baru sekarang," jawab
Suto menutupi kasus sebenarnya yang sedang dihadapi.
"Kau tak perlu khawatir, Suto. Nyai Dupa Mayat tak
akan mencelakaimu semasa kau tidak mengganggunya. Aku tahu betul tentang
sifatnya yang pendendam itu, karena dia pernah tiga kali datang ke perguruanku
dan mengajak guruku bergabung. T api guruku menolaknya. Aku tahu banyak tentang
dia dari guruku."
"O, ya..."!" jawab Suto Sinting secara
basa-basi, tapi sebenarnya ia tidak begitu menghiraukan kata-kata tersebut.
Hanya dalam hatinya ia berkata, "Kau tidak tahu yang sebenarnya. T irai
Surga. T entu saja kau bisa berkata begitu."
T irai Surga menyambung kata-katanya tadi, "Lupakan
tentang apa yang kau lihat tadi. Percayalah, Nyai Dupa Mayat tidak akan
menyerangmu. Dia hanya membutuhkah nyawa si Pendekar Mabuk saja!"
Hati Suto Sinting bagai diiris dengan sembilu. Bukan saja
perih namun juga merasakan kecemasan yang amat besar, ia membayangkan saat
bayangan hitam itu melintasi tubuhnya, dan akan terasa seperti apa panas yang
menyengat sekujur tubuh dan membuatnya menjadi abu.
"Kalau masih sempat bertarung saling berhadapan,
masih ada kesempatan bagiku untuk melawan dan menghindarinya. T api kalau
tiba-tiba bayangannya melintasiku sementara aku sedang duduk beristirahat
dengan santai, mau dibilang apa" Matilah aku saat itu juga! Hmmm... memang
mestinya aku harus segera temui si Bocah Emas untuk mencari tahu penangkal ilmu
'Gerhana Senyawa' itu. Sebab kali ini lawanku bisa saja mencabut nyawaku pada
saat aku tidur. Tentu aku tak akan merasakan kehadiran bayangan hitam
itu."
Pendekar Mabuk termenung panjang. Hatinya berceloteh
sendiri, sementara T irai Surga tampak pandangi keadaan sekeliling. Gadis itu
tak mau pergi dari Suto, karena hatinya punya niat untuk bisa selalu berada di
dekat pemuda tampan itu.
Suto pun membatin kembali, "Semakin matahari condong
ke barat, atau berada di sisi timur,
maka bayangan tubuh Nyai Dupa Mayat akan semakin panjang. Sangat mudah baginya
untuk menyerangku jika bayangan itu semakin panjang. Dan jika bayangan itu
tahu-tahu mendekatiku dari samping, sementara aku berhadapan dengan Nyai Dupa
Mayat, mana mungkin aku bisa mengetahuinya jika mataku tak memandang waspada
keadaan sekelilingnya"
Lalu, jika bayangan itu datang dari belakang, mana
mungkin kudengar kehadirannya" Mana mungkin kurasakan gerakannya"
Oh, gila betul ini! Sekarang aku benar-benar sedikit
grogi berhadapan dengan lawan yang punya ilmu edan-edanan itu! Untung bukan
Siluman Tujuh Nyawa, musuh utamaku, yang mempunyai ilmu edan seperti itu. Seandainya dia yang mempunyai ilmu itu, akan
semakin sulit bagiku untuk mengalahkannya dalam setiap pertarungan"!"
Wajah yang tertunduk hanyut dalam renungan itu kini
terangkat ingin memandang T irai Surga. T iba-tiba sekelebat benda tampak
meluncur dari atas pohon seberang ke arah gadis itu.
"T irai, awaas...!" seru Suto Sinting sambil
bergegas menyambar tangan gadis itu dan menariknya ke dalam pelukan. Gadis itu
sempat terpelanting hilang keseimbangan dan tubuhnya berputar balik dengan
punggung menyentuh dada Suto Sinting.
Namun pada saat itu pula, benda yang melesat cepat dari
atas pohon seberang itu menancap di dada kiri T irai Surga. Zaaap...! Jrrub...!
"Aaahk...!"
Sebatang anak panah menancap di dada kiri gadis itu,
tepatnya di bawah pundak. Pendekar Mabuk tak sempat menangkap anak panah itu
karena tangan kanannya memegangi bumbung tuak dan tangan kirinya menarik tubuh
T irai Surga. Ga dis itu langsung mengejang dan mengerang pelan.
"Uuuhhh...!" suaranya merintih mengharukan. T
ubuh si gadis menjadi lemas, bahkan tak mampu berdiri dengan kedua kakinya.
"T irai..."! Tirai..."!" Suto Sinting
mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Tirai Surga semakin redupkan matanya dalam
pelukan Suto. Hati si pemuda menjadi berang, gemas, dan jengkel sendiri. Maka
dicabutnya anak panah yang menancap di dada gadis itu.
Sleeb...! Suto Sinting sempat terperanjat heran karena
tak ada darah yang mengalir dari luka berlubang itu. Luka tersebut mengeluarkan
darah hanya sedikit dan berwarna hitam, hanya di sekitar lubang luka saja.
Jelas hal itu dikarenakan ujung anak panah mempunyai racun yang cukup
membahayakan.
Pendekar Mabuk segera baringkan gadis itu ke tanah
berumput. Mulutnya yang ternganga keluarkan erangan merintih itu segera
dituangi tuak. Sebagian tuak ada yang terminum, sebagian ada yang berceceran di
sekitar mulut dan leher.
Selesai itu, Suto tak pedulikan lagi keadaan Tirai Surga,
ia segera menatap ke arah pohon tempat keluarnya anak panah tersebut. T ernyata
di sana masih ada si pemanah yang tampaknya ingin memastikan apakah T irai
Surga benar-benar mati atau tidak. Kesempatan itu segera digunakan Suto untuk
melepaskan pukulan jarak jauhnya yang dinamakan 'Pukulan Guntur Perkasa' itu.
Sentakan tangan kiri Suto Sinting keluarkan sebaris sinar
hijau. Claaap...! Sinar itu segera menghantam dahan pohon besar berdaun rimbun
itu.
Jegaaarrr...!
Ledakan membahana terdengar bersamaan berpendarnya sinar hijau besar. Kejap
berikut pohon itu telah hancur separo bagian. Sekelebat bayangan tampak melesat
dari pohon itu, terlempar akibat gelombang ledakan. Walau sinar hijau itu tak
kenai tubuh si pemanah, namun gelombang ledakannya melemparkan si pemanah
sejauh delapan tombak dari pohon tersebut.
Pendekar Mabuk segera hampiri orang itu dengan gerakan
cepatnya. Zlaap...! T ahu-tahu ia sudah berada di samping si pemanah yang
sedang berusaha bangkit sambil mengerang. Busur panahnya patah akibat tertimpa
tubuhnya sendiri saat jatuh terbanting. Seba gian anak panahnya berceceran ke
mana-mana. Si pemanah ternyata seorang lelaki yang berusia sekitar empat puluh
tahun dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala merah tua.
Lelaki berperawakan sedang, berkumis lebat dan bermata
besar itu sengaja dibiarkan bangkit oleh Suto Sinting, sampai akhirnya lelaki
itu memandang Suto dengan tersentak kaget. Raut wajahnya tampak menyimpan
kecemasan bercampur kemarahan. Se bilah pisau sepanjang dua jengkal dicabut
dari pinggangnya. Sreet...! Ia sedikit membungkuk sambil mengarahkan pisau
mengkilat itu kepada Suto Sinting.
"Majulah kalau kau ingin mati di tanganku, Bangsat!"
"Namaku; Suto, bukan Bangsat!" ujar Pendekar
Mabuk dengan kalem, walau hatinya geram sekali ingin menghantam congor orang
itu.
"Persetan dengan siapa namamu! Tapi kau sudah
mencampuri urusanku, maka kau pun harus mati di ujung pisauku ini! Hiaaat...!"
Wut, wut, wut, wess, wuut, wees, wess...!
Serangan orang itu datang secara beruntun, menusuk dan
menyabetkan pisaunya. Tapi dengan gerakan cepat yang menggeloyor ke sana-sini
seperti orang mabuk ingin jatuh, Suto berhasil hindari tusukan dan sabetan pisau
itu. Sampai suatu saat akhirnya tangan orang itu berhasil ditendang oleh Sulo
dengan tendangan berputar cepat. Beet...! Wuut...!
Tangan itu tersentak ke atas dengan kuat, pisaunya
terpental dari genggaman.
"Hahh..."!" orang itu membelalak tegang setelah
sadari tangannya tak memegang pisau lagi. Pendekar Mabuk berputar sekali lagi
dengan gerakan cepat.
Wuuus...! Kakinya bagai menampar wajah orang itu dengan
telak sekali. Plook...!
"Aauw...!" Orang itu terjungkal ke samping
karena kuatnya tendangan Suto. Ia jatuh berguling-guling dengan wajah bagaikan
ditampar dengan balok kayu yang amat besar. Untuk sesaat orang itu menjadi
buta, tak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba bangkit dengan meraba-raba dan
mengerang dengan suara napas memburu ganas. Pendekar Mabuk sengaja biarkan
orang itu geragapan mencari pegang.
Pada saat itu mata
Suto sempat melirik ke arah Tirai Surga. Gadis itu telah berdiri dan memandang
heran ke arah dadanya yang terluka. Luka tersebut telah merapat dan lenyap.
Kulit dada menjadi mulus kembali tanpa luka seujung jarum pun. Hanya saja, baju
kuningnya yang tanpa lengan itu terpaksa bolong akibat ditembus anak panah
beracun tinggi itu.
Wut, wut, wut...!
Plook...! Tirai Surga berplik-plak cepat, berjungkir
balik dengan menggunakan kedua tangannya di tanah menuju ke arah si lelaki
berpakaian hitam itu. Begitu tiba di depan lelaki tersebut, kaki T irai Sur ga
menendang ke atas dengan cepat dan kuat. Dagu si lelaki terkena tendangan
tersebut, sehingga orang itu terdongak dan sambil mengerang keras, lalu
sempoyongan ke belakang.
"Hiaaah...!" T irai Surga menjejak dengan
cepat, dada orang itu terkena telak dan membuatnya semakin terlempar, lalu
jatuh terkapar setelah semburkan darah segar dari mulutnya.
Gadis itu mempunyai senjata gelang pipih bertepian tajam.
Sepasang gelang pipih mirip piringan itu mempunyai tempat tersendiri di
pinggang kanan-kiri yang terbuat dari kulit. Gelang pipih sebesar piring makan
itu segera dicabut dari tempatnya. Matanya memandang beringas kepada lelaki
yang sedang berusaha bangkit dengan merangkak-rangkak itu.
"Habis sudah riwayatmu, Setan Ajak!" teriak T
irai Surga tampak murka sekali. Senjata itu akan dilemparkan ke arah si Setan
Ajak untuk memenggal leher orang tersebut. T api Suto Sinting yang saat itu ada
di belakang T irai Surga segera mencekal tangan yang sudah memegang senjata
gelang putih dari besi baja itu.
"Jangan! Dia sudah cukup terluka oleh tendanganmu. T
erlambat menyembuhkan dia akan mati dengan sendirinya!"
"T api dia hampir saja membunuhku secara curang! Dia
harus menerima hukumannya; kehilangan kepala!"
"T irai, kau masih hidup dan tetap sehat,
bukan"! Kurasa tak perlu harus mencabut nyawanya. Jangan terlalu mudah
mencabut nyawa orang selama tidak dalam
keadaan sangat terpaksa, T irai!"
Gadis itu menatap Suto, dan Suto pun menatapnya
lekat-lekat. "T urunkan amarahmu, T irai."
Tatapan mata lembut itu terasa menembus sampai ke dasar
hati, menyiramkanketeduhan yang damai bagi T irai Surga. T atapan mata itu
menjinakkan hati yang beringas terhadap si Setan Ajak. Namun demi
memperlihatkan ketangguhan dan harga dirinya, Tirai Surga berseru kepada Setan
Arak yang bermaksud melarikan diri itu.
"Katakan kepada Beruang Iblis; ketua perguruanmu
itu, T irai Surga tak akan gentar jika harus bertarung melawannya! Jangan
coba-coba lagi berusaha membunuhku jika tak ingin perguruanmu kuratakan dengan
tanah!"
Setan Ajak bagai tak pedulikan seruan itu. Ia bergegas
pergi tanpa menengok ke belakang lagi. Sesekali arah langkahnya terhuyung ke
kiri atau ke kanan karena ia masih harus menahan luka di dalam dadanya.
"Siapa si Setan Ajak itu sebenarnya"!"
"Orang perguruan Pintu Neraka, anak buah si Beruang
Iblis!" jawab T irai Surga setelah hembuskan napas pengendur
ketegangannya.
"Beruang iblis..."!" gumam Suto Sinting
merasa asing dengan nama itu.
"Jika aku menjadi ketua perguruan nantinya, Beruang
Iblis adalah la wan beratku yang harus kuhadapi. Karena itu aku butuh tambahan
ilmu yang dapat kupakai untuk melumpuhkan si Beruang Iblis. Maukah kau ajarkan
salah satu ilmu andalanmu padaku?" Pendekar Mabuk kembali diliputi
perasaan serba salah, ia tak tahu harus bilang apa kepada gadis itu, sementara
hati kecilnya merasa ingin mengajarkan salah satu jurus mautnya, tapi ia
terikat oleh satu perintah dari sang Gur u Gila T uak dan Bidadari Jalang,
bahwa ia masih tak boleh ajarkan ilmu kepada siapa pun.
Sementara itu, T irai Surga semakin yakin bahwa Suto
Sinting adalah pemuda tampan yang berilmu tinggi, karena ketika ia dapatkan
lukanya mengering dan rasa sakitnya lenyap, hatinya melontarkan berbagai pujian
dan rasa kagum yang amat besar kepada pemuda tampan itu. Lenyapnya luka dalam
waktu singkat hanya bisa dilakukan oleh orang berilmu tinggi, menurutnya.
Karena itu, Tirai Surga semakin bernafsu untuk dapatkan satu atau dua ilmu
andalan dari Suto Sinting.
"T anpa ada tambahan ilmu dari aliran lain, kurasa
aku tak akan bisa kalahkan si Beruang Iblis. Padahal si Beruang Iblis itu lebih
berbahaya daripada gurunya Raden Lontar," tambah si gadis dengan harapan
dapat meluluhkan hati Suto Sinting. Yang diajak bicara hanya diam saja dengan
senyum menghiasi bibirnya yang menawan. Bahkan pemuda itu kini menenggak
tuaknya beberapa teguk. Kala itu ia melihat langit sore mulai memerah.
T iba-tiba mereka mendengar suara jeritan kematian di
kejauhan.
"Aaaaa...!"
Pendekar Mabuk tersentak kaget. "Suara apa
itu"!
Seseorang terbunuh"!" sambil matanya menatap
Tirai Surga. Yang ditatap hanya angkat pundak sambil kembangkan kedua tangan.
"Itu sudah hukum yang berlaku bagi mereka."
"Bagi siapa"! Mereka siapa
maksudmu"!"
"Kau mau lihat ke sana" Akan kutunjukkan
jalannya!"
T irai Surga lebih dulu bergerak ke arah jeritan kematian
itu. Pendekar Mabuk segera mengikutinya, ia sangat penasaran dengan apa yang
dikatakan T irai Surga tadi. * * *
6
SETAN Arak ditemukan tewas dengan luka lebar di dadanya.
Pendekar Mabuk sempat merasa heran dan segera menatap T irai Surga. Gadis itu
sunggingkan senyum tipis seraya berkata dengan nada dingin.
"Dia gagal membunuhku, maka dia harus dibunuh!"
"Siapa yang membunuhnya"!"
"T emannya sendiri!" jawab T irai Surga kalem.
"Rupanya ia menjadi 'Utusan Maut' dari pihak
perguruannya. Hukum yang berlaku di Perguruan Pintu Neraka, siapa pun yang
diangkat menjadi 'Utusan Maut' akan dibunuh oleh teman sendiri jika gagal
menjalankan tugasnya. Orang yang diutus membunuh 'Utusan Maut' dinamakan
'Utusan Ajal'. Dan bagi 'Utusan Maut' tak pernah tahu siapa teman
seperguruannya yang dijadikan 'Utusan Ajal', bahkan tidak tahu di mana sang
'Utusan Ajal' itu bersembunyi menguntit
tugasnya."
"Kejam sekali"!"
"Seperti itulah kekejaman hati si Beruang
Iblis!"
"Mengapa bukan si 'Utusan Ajal' yang
membunuhmu?"
"Sekalipun aku lewat di depannya, ia tak akan
membunuhku, karena tugasnya hanya lakukan hukuman mati bagi kegagalan si
'Utusan Maut'...."
Percakapan itu berlanjut sambil mereka sama-sama
melangkah. Ketika senja mulaimenua dan sebentar lagi petang akan tiba, mereka
menemukan sebuah gua di lereng bukit. Gua itu tampaknya sering digunakan
sebagai tempat beristirahat bagi para pengembara atau pencari kayu. Sisa-sisa
kayu bakar bekas api unggun masih ada di dalam gua datar yang mempunyai
langit-langit tinggi itu. Maka mereka pun tak perlu mencari kayu bakar lagi,
karena menurut Suto, sisa kayu bakar yang ada di dalam gua jika dikumpulkan
cukup untuk menghidupkan api unggun selama satu malam.
`Tak jauh dari gua itu, ada telaga yang berukuran kecil
yang bisa dipakai untukmandi. Airnya bening, dan berwarna kehijau-hijauan.
Ketika Suto menyalakan api unggun, T irai Surga sempatkan diri pergi ke telaga
kecil itu.
"Haruskah aku membawa T irai Surga ke Pulau Sangon
untuk temui si Bocah Emas?" pikir Suto saat gadis berjubah merah beludru
itu belum kembali dari telaga kecil.
"Sepertinya gadis cantik itu akan mengikutiku terus sebelum
mendapatkan satu-dua ilmu dariku. Agaknya ia benar-benar membutuhkan ilmu
tersendiri untuk kalahkan si Beruang Iblis. Hmmm...! Tapi hal itu tak mungkin
kulakukan, aku takut melanggar peraturan dari Kakek Guru Gila T uak dan Bibi
Guru Bidadari Jalang," ucap batin Suto sambil tangannya menata kayu bakar
agar nyala apinya tetap stabil. "Kurasa aku harus berterus terang padanya
tentang ketidaksanggupanku untuk menurunkan satu ilmu pun padanya. Tentang dia
mau ikut ke Pulau Sangon, itu tak jadi masalah, selama ia sendiri tidak bikin
masalah di perjalanan. Aku harus cepat-cepat temui si Bocah Emas untuk dapatkan
keterangan tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu."
T iba-tiba ucapan batin Suto terhenti, karena mendadak ia
ingat sesuatu yang pernah dikatakan T irai Surga.
"Dia banyak mengetahui tentang Nyai Dupa
Mayat"!
Apakah ia juga tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa'
itu"! Hmmm... sebaiknya kutanyakan saja padanya. Siapa tahu dia bisa
jelaskan rahasia kelemahan ilmu gila itu"!"
Hati Suto Sinting agak cemas ketika T irai Sur ga sudah
cukup lama belum kembali ke gua. Ia se gera menyusul ke telaga kecil itu dengan
penerangan sinar bulan yang baru muncul seperempat bagian itu.
Setibanya di telaga, Suto tak temukan T irai Surga di
sana. T api kemilau air telaga yang terkena pantulan sinar bulan samar-samar
itu menggoda hatinya, sehingga ia pun sempatkan diri untuk mandi di telaga itu.
Selesai mandi, ia baru berpikir lagi tentang T irai Surga.
"Jangan-jangan aku tadi bersimpang jalan"
Sebaiknya kutengok dulu keadaan di dalam gua, mungkin ia sudah sampai di
sana," pikir Suto, maka ia pun bergegas kembali ke gua. T ernyata gadis
itu sedang berdiri dengan cemas di depan pintu gua, memandang ke sana-sini
mencari Suto Sinting.
"Dari mana saja kau"! Bikin orang cemas
saja!" omel T irai Surga sambil mendahului masuk ke dalam gua tersebut.
Suto hanya sunggingkan senyum kecil.
"Aku mencarimu. Kupikir kau hilang, karena terlalu
lama berada di telaga."
"Aku mengejar ayam hutan!" sambil ia menuding
ke atas api unggun, ternyata di sana sudah ada ayam hutan yang sedang dibakar.
"Hmmm... pantas bau sedapnya tercium olehku dari
bawah sana. Perutku jadi lapar sekali, Tirai."
"Aku sengaja menangkapnya untuk santap malam kita,
Guru."
"Guru..."!" Suto tertawa pelan. "Jangan
mengigau memanggilku guru. Aku bukan gurumu." "Walau hanya satu ilmu
yang akan kau turunkan padaku, tapi kau tetap layak kupanggil guru."
"T irai, tak akan satu pun ilmu yang kuturunkan
padamu, karena aku belum mendapat mandat dari guruku sendiri. Aku takut
melanggar larangan beliau."
Gadis itu diam saja, tapi wajahnya tampak menyimpan
kekecewaan. Pendekar Mabuk berlagak tak hiraukan kekecewaan itu. Sambil
menggerai-geraikan rambut basahnya di dekat api unggun, Suto sempatkan bicara
kepada T irai Surga.
"Kalau kau memintaku membantu menundukkan si Beruang
iblis atau siapa pun, aku sanggup. T api kalau untuk menurunkan ilmu padamu,
atau kepada siapa saja, aku tak sanggup."
Gadis itu melepaskan jubah merahnya. Jubah itu diletakkan
di atas batu setinggi satu betis. Dari sana Tirai Surga terdengar mengulang
kata-kata Suto tadi.
"Jadi, kau bersedia membantuku tumbangkan si Beruang
iblis?"
"Kenapa tidak, semasa Beruang Iblis tokoh aliran
sesat yang perlu dimusnahkan"!"
Pendekar Mabuk bicara sambil membolak-balikkan ayam bakar
supaya tak sampai hangus, ia duduk di atas batu yang panjangnya sedepa dan
tingginya separo betis. Batu itu menyerupai anak tangga, punya tempat lebih
tinggi dan lebih rendah.
Suto duduk di tempat yang tinggi, sementara Tirai Surga
datang mendekat, lalu duduk di tempat yang agak rendah Itu.
"Kalau begitu, besok akan kubawa kau ke Lereng
Curam, tempat Perguruan Pintu Neraka berada!" ujar T irai Surga seraya
membetulkan susunan kayu bakar paling bawah. "Jangan besok!" potong
Suto. "Besok aku harus pergi ke Pulau Sangon."
"Pulau Sangon..."! O, ya... aku pernah dengar
nama Pulau Sangon yang di bawah kekuasaan Ratu Remaslega itu."
"Pengetahuanmu cukup lumayan juga rupanya,"
puji Suto sambil memandang dan sunggingkan senyum. Tirai Surga bagai tak
hiraukan pujian itu.
"Mau apa kau ke sana?"
"Temui seorang sahabatku," jawab Suto, sengaja
tak mau sebutkan nama si Bocah Emas, karena takut menjadi masalah tersendiri di
rimba persilatan.
"Kekasihmu ada di sana?" pancing T irai Surga.
Suto tertawa pendek.
"Aku tidak punya kekasih di Pulau Sangon."
"Lalu di pulau mana kekasihmu?"
"Di Pulau Serindu," jawab Suto terus terang,
tapi justru membuat T irai Surga mencibir tak percaya.
"Pulau Serindu adalah kekuasaan Ratu Gusti Mahkota
Sejati yang bernama asli Dyah Sariningrum. Orang-orang Pulau Serindu jarang
yang punya kekasih dari tanah Jawa. Kau tak perlu membual di depanku,
Suto."
"Belum tahu dia," gumam hati Suto sambil
bibirnya sunggingkan senyum lebar.
Mereka menikmati santap malam berupa ayam bakar sambil T
irai Surga bercerita tentang latar belakang kehidupannya. Bahwa ia ternyata
putri seorang panglima perang dari sebuah kerajaan yang sudah tidak mempunyai
sanak keluarga lagi. Sang ayah tewas dalam peperangan ketika T irai Surga berusia
delapan tahun.
Kemudian menyusul ibunya tewas ketika T irai Surga
berusia sepuluh tahun. Ia dan adiknya sempat melarikan diri ketika keturunan
sang panglima perang itu dihabisi oleh seorang musuh dari Laut Bangkai. Tapi sang adik akhirnya meninggal
juga setelah sama-sama berguru kepada Eyang Syakati dari Gunung Waru. Sang adik
tewas karena terkena jarum beracun dari lawannya.
T irai Surga mengaku bercita-cita ingin mengabdi kepada
seorang raja, dan berkeinginan keras menjadi panglima perang dalam kerajaan
itu. Ia ingin meneruskan profesi sang ayah dulu, namun selama ini ia masih
merasa belum cukup ilmu, sehingga tak berani melamar sebagai prajurit. Ia
bersumpah tak akan menikah sebelum menjadi seorang perwira di sebuah negeri.
"Apakah kau mampu menahan kehadiran cinta dalam
usiamu sekarang ini?" tanya Suto Sinting, saat itu mereka sudah
menghabiskan ayam bakar tersebut.
"Mengapa tidak" Buktinya sampai sekarang aku
belum pernah jatuh cinta pada seorang lelaki."
"Sulit dipercaya, gadis secantik kau tidak mengenal
cinta seorang kekasih, adalah suatu hal yang langka sekali."
"Secara manusiawi, kadang aku memang punya keinginan
bermesraan dengan seorang pemuda. Namun sampai sekarang, aku tak pernah temukan
pemuda yang sesuai dengan hatiku."
"Sampai sekarang belum ada pemuda, yang cocok dengan
seleramu"!" Suto bernada tak percaya. "Hmmm... hmmm...," T
irai Surga sulit menjawab, karena ia sadar saat ini hatinya selalu
berdebar-debar penuh keindahan, karena merasa bangga dan bahagia bisa berada
dalam satu gua dan satu malam bersama Suto Sinting. Akhirnya gadis itu diam
membisu, hanya pandangi lidah api unggun yang menari-nari bagai seorang penari
telanjang.
"Mau minum lagi?" Suto menawarkan tuaknya
setelah ia meneguknya beberapa kali. Tuak itu masih separo bumbung, Masih cukup
untuk perjalanan ke sebuah desa dan mengisinya kembali dari sebuah kedai. Tirai
Surga menenggak tuak itu sedikit. Gerakan menengadah itu dipandangi oleh Suto, sehingga gadis itu sempat grogi dan
tuaknya tumpah di sekitar mulut dan leher. "Ooh...!" Tirai Surga
sempat tersenyum malu, dan hati Suto Sinting berdebaran manakala melihat senyum
itu begitu manis dan indahnya.
"Ini gara-gara kau pandangi aku terus!" gerutu
si gadis sambil sembunyikan senyum malunya.
"Kau cantik kalau sedang tersenyum begitu,"
ujar Suto Sinting dengan lembut. Tangannya menerima bumbung tuak dan menutupnya
kembali. T irai Sur ga sengaja palingkan wajah. Dadanya bergemuruh bagaikan ada
tanah longsor di dalam dada itu. Pujian Suto terasa semakin mendebarkan hati,
membuat tangannya sempat gemetar halus.
"Sungguh cantik menurut pandanganku."
"Lupakan pujian itu," kata T irai Surga.
"Aku bukan gadis yang gila pujian,"
"Apakah kau pikir aku sedang memujimu" Oh,
tidak! Kau salah duga, Tirai. Aku bukan sedang memujimu, tapi sedang bicara
dengan hatiku sendiri. Kau tak perlu mendengarnya."
Si gadis menjadi salah tingkah. Namun ia cepat kuasai
getaran jiwanya itu dengan menelan napas beberapa kali. Matanya tertuju ke arah
api unggun, tak berani melirik Suto Sinting yang ada di sebelah kanannya.
"Lehermu basah oleh tuak, T irai."
"Ya. Biar saja!"
"Boleh aku mengeringkannya?"
Se belum mendapat jawaban, Suto Sinting melepaskan
bajunya, kemudian baju itu dipakai untuk mengeringkan tuak yang membasahi leher
T irai Surga. Ga dis itu menjadi semakin gemetar dan serba salah. Keindahan
yang ditimbulkan dari sentuhan perbuatan Suto itu sangat menyentuh perasaannya,
sehingga lidah pun menjadi kelu. Hembusan napas dari hidung Suto terasa
menghangat di pipinya, karena jarak wajah mereka sangat dekat. Suara Suto yang
membisik membuat Tirai Surga semakin tak bisa bicara lagi.
"T irai, boleh aku mencium pipimu"!"
Pendekar Mabuk sengaja hadapkan wajah cantik itu
pelan-pelan dengan menyentuh dagu si gadis dan menariknya ke samping. Mata
indah itu ditatap lekat-lekat oleh Suto Sinting. Si gadis tak bisa lari dari
pandangannya, ia pun merasakan kedamaian dan keteduhan di dalam hatinya
manakala bola mata Suto itu dipandanginya tak berkedip. "Bolehkah aku
menciummu?" ulang Suto dalam bisikan. T irai Surga hanya bisa membuat bibirnya merekah, dan bibir itu
tampak gemetar jelas-jelas.
Akhirnya si gadis pejamkan mata pelan-pelan. Suto Sinting
pun segera mencium pipi si gadis yang berkulit halus dan lembut mirip kulit
bayi itu.
Kehangatan yang menyiram wajah berhidung mancung itu
bagai membakar sekujur tubuh. Si ga dis meremas tangan Suto, dan Suto rasakan
remasan itu punya getaran yang dapat dirasakan oleh tangan Suto.
"Suto...," gadis itu membisik ketika Suto ingin
menarik wajahnya dari ciuman pertama. Suara itu terdengar parau dan lirih
sekali. Napas yang terhembus dari hidung mancung itu mengalir deras menghangat
di wajah Suto Sinting.
Rupanya gadis itu tak ingin wajah Suto jauh dari
wajahnya. Wajah itu pun bergeser ke kiri, sehingga bibir mereka saling
bersentuhan. Maka bibir itu pun dikecup oleh Suto pelan-pelan.
Kecupan itu seperti mengambang, antara menyentuh dan
tidak. Hati si gadis makin berdesir bagai terbang. Bibir ranum itu
dikecup-kecup oleh Suto Sinting, makin lama semakin terasa jelas kecupannya.
Akhirnya si gadis memeluk Suto kuat-kuat setelah bibirnya terasa dilumat dengan
lembut dan penuh kehangatan.
Si gadis mencoba membalas kecupan Suto. Bibir Suto
dipagutnya pelan-pelan. Tapi Suto justru menyodorkan lidahnya. Si gadis pun
memagut lidah Suto. Lalu ia ingin rasakan jika lidahnya dipagut, maka ia pun
ulurkan lidahnya dan Suto Sinting memagut dengan lembut.
"Oooh... ternyata lebih nikmat dan indah
sekali," ucap si gadis dalam hatinya, ia memeluk Suto semakin kuat, karena
merasakan ada sentakan dalam dada yang menuntut keindahan itu berkepanjangan.
"Aku belum pernah rasakan keindahan seperti ini,
Suto," bisiknya pelan ketika Suto sengaja merebahkan kepala si gadis di
dadanya. T angan kekar Pendekar Mabuk
itu memeluk hangat dan membuat hati si gadis bagai terlindung oleh
perisai kedamaian dan kemesraan.
"Betulkah selama ini kau belum pernah dicium seorang
lelaki?"
"Aku berani sumpah mati sekarang juga kalau aku
berbohong padamu," jawab T irai Surga sambil meremaskan genggamannya ke
tangan kiri Suto yang jatuh di pangkuannya. Sementara tangan kanan Suto
mengusap-usap rambut yang ada di kening si gadis.
Usapan itu membuat si gadis terasa kian terbuai oleh
kemesraan yang baru pertama kali dirasakan.
"Memang sudah lama aku ingin menikmatinya,
setidaknya merasakan seperti apa kemesraan seorang lelaki itu. T etapi... tak
pernah ada pemuda yang membuatku tertarik untuk melakukannya."
"Melakukan apa?" pancing Suto sengaja menggoda.
"Yaah, melakukannya seperti tadi," jawab T irai
Surga sambil tertawa kecil, malu-malu kelinci. Suto Sinting ikut tertawa seraya
mempererat pelukannya.
Gadis itu sedikit menengadah, wajahnya dihadapkan ke arah
Suto. Lalu, ciuman Suto Sinting mendarat lagi di pipinya. Ciuman itu bergeser
ke bibir, dan si gadis menyambarnya lebih dulu. Ia melumat bibir Suto Sinting
dengan kelembutan yang hangat.
"Auh...!" Suto terpekik sambil menarik wajah ke belakang. Si gadis
cekikikan, sembunyikan wajah di dada Suto. Ia telah menggigit bibir pemuda itu
karena gemasnya. "Nakal kau ini!" sambil Suto Sinting menyentil ujung
hidung T irai Surga.
Si gadis makin tertawa kegirangan, lalu tangannya
merangkul Suto dan wajahnya semakin dibenamkan di dada pemuda tampan itu. Sang
pemuda memeluk dengan kedua tangan. T api karena T irai Surga banyak bergerak
dalam tawanya, karena ia juga menggigit dada Suto dengan nakal, maka Suto pun
jatuh terbaring dan si gadis tiduran di dada pemuda itu.
"Suto, apakah kau benar-benar mau menolongku jika
tak bisa turunkan ilmumu?"
"T entu saja, T irai Surga. Katakan, apa yang harus
kulakukan untukmu?"
T irai Surga tak langsung menjawab, benaknya penuh
pertimbangan, ia hanya bermain anak rambut yang jatuh di samping leher Suto
Sinting. Kepalanya direbahkan di dada bidang dalam posisi miring dengan wajah
menghadap ke arah wajah Suto Sinting.
Agaknya si gadis ragu-ragu untuk katakan sesuatu,
sehingga ketika Suto mengulangi pertanyaannya, gadis itu hanya menjawab lirih.
"T idak. T idak ada yang perlu kau lakukan untukku
selain berada di dekatku."
"T irai, mengapa kau berkata begitu?"
"Karena aku suka berada di dekatmu. Pada dirimulah
kutemukan keindahan dan kemesraan yang pertama
kalinya. Mungkin sulit bagiku untuk melupakan saat-saat indah seperti
malam ini." Pendekar Mabuk usapkan tangannya ke rambut gadis itu. Usapan
yang pelan-pelan membawa mereka dalam kebisuan. Si ga dis sengaja tak bicara
untuk resapi usapan lembut yang baru kali itu diperolehnya dari seorang pemuda.
"T irai...," Suto Sinting segera perdengarkan
suara setelah mereka cukup lama tenggelam dalam kebisuan.
"Benarkah kau tahu banyak tentang Nyai Dupa
Mayat"!" Suto menyambung ucapannya.
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Aku ingin tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa'
itu." T irai Surga bangkit pandangi wajah pendekar tampan yang masih
berbaring tanpam, baju itu. "Mengapa kau ingin tahu kelemahan ilmu itu,
Suto?"
"Jangan bertanya dulu. Ja wablah dulu pertanyaanku,
T irai. Tahukah kau tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu?"
T irai Surga diam sesaat bagai memikirkan sesuatu.
Kemudian suaranya terdengar dengan jelas sambil gelengkan kepala. "Tidak,
aku tidak tahu!"
Pendekar Mabuk pandangi wajah T irai Surga. Sorot mata
gadis itu tampak menyimpan kebohongan. Suto Sinting mengetahui ada sesuatu yang
disembunyikan di balik tatapan mata sayu gadis itu. T api ia ragu-ragu untuk
mendesaknya.
"Aneh," ujar Suto dalam hati. "T iba-tiba
hati kecilku merasa yakin kalau dia tahu kelemahan ilmu itu"! Mengapa
naluriku mengatakan demikian"! Suatu saat aku pasti akan tahu rahasia ilmu
itu darinya. Mungkin sekarang ia masih ragu karena aku tak mau menurunkan ilmu
padanya, atau... atau dia sengaja ingin membuatku penasaran, sehingga aku tetap
bersamanya"! Oh, kalau begitu dia pandai membuat satu jeratan hati dengan
rahasia itu" Benar-benar aneh! T iba-tiba saja aku berpendapat seperti
itu. Padahal pendapatku itu belum tentu benar. Bisa saja salah!"
Suto Sinting sengaja berlagak melupakan pertanyaannya
tadi. Ia mengalihkan dengan satu tanya yang segera dija wab dengan anggukan
kepala oleh si gadis. "Besok aku harus ke Pulau Sangon. Apakah kau mau
ikut ke sana juga?"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tenang ketika
melihat kepala si gadis mengangguk. Lalu, si gadis ajukan tanya,
"Katakan dulu, untuk apa kau mau ke Pulau
Sangon."
"Ada seorang sahabatku yang tahu tentang kelemahan
ilmu 'Gerhana Senyawa' itu. Aku ingin menanyakan padanya."
Wajah gadis itu tampak sedikit tegang karena kecemasan
mulai membersit lewat tatapan matanya. Suto Sinting sengaja memperhatikan mata
yang menyimpan keresahan kecil itu.
"Kurasa...," si gadis menelan ludah sendiri.
"Kurasa tak perlu ke Pulau Sangon."
"Mengapa tak perlu"!"
"Hmmm... eehh...," setelah pandangannya serba
salah, T irai Surga akhirnya menatap Suto Sinting.
"Mengapa kau repot-repot ke sana, toh Nyai Dupa
Mayat tidak mengincar nyawamu"!"
"Sebenarnya...."
"Ah, sudahlah! Kau tak perlu mencampuri urusan
pribadi Nyai Dupa Mayat, salah-salah kau benar-benar menjadi korban berikutnya,
Suto! Aku tak ingin kau menderita nasib seperti Singa Bangka atau pemuda yang
lainnya!"
Setelah bicara demikian, T irai Surga mulai tampakkan
keresahan dan kecemasannya. Suto Sinting berkata dalam hatinya,
"O, rupanya ia resah dan gelisah karena takut kalau
aku menjadi korban Nyai Dupa Mayat"! Ia pasti akan merasa kehilangan
sesuatu yang amat berharga kalau sampai
aku mati di tangan sang Nyai! T api ia belum tahu bahwa aku adalah si
Pendekar Mabuk itu. Haruskah kujelaskan padanya?"
* * *
7
BUKAN hanya Suto Sinting yang mengetahui ke mana arah
menuju Pulau Sangon. T etapi mantan prajurit istana Kematian yang bermata biru
itu juga mengetahui arah ke Pulau Sangon. Pandawi akhirnya mengarahkan langkah
kakinya ke sana setelah berputar-putar mencari Suto Sinting tak ditemukannya.
Gadis berba dan tinggi sekal itu akhirnya menjalin
hubungan kerja sama dengan Dewi Kun, karena mereka sama-sama merasa kehilangan
Pendekar Mabuk. Mereka juga sama-sama merasa harus menemukan Suto. Perkara
nanti jika sudah bertemu mereka harus bertarung lagi karena rasa iri, itu tak
masalah bagi mereka.
"Jika ingin kalahkan ilmu 'Gerhana Senyawa' harus
tahu rahasianya. Dan si Bocah Emas pasti tahu rahasia itu, karena ia kuasai
seluruh rahasia kelemahan ilmu apa pun!" ujar Dewi Kun yang membuat
Pandawi merasa perlu juga datang ke Pulau Sangon dan menanyakannya kepada si
Bocah Emas.
Dugaan Pandawi memang benar, Suto Sinting tetap ngotot
dalam hatinya untuk temui si Bocah Emas. Ia membawa T irai Surga ke arah Pulau
Sangon dengan alasan hanya sekadar ingin tahu rahasia ilmu tersebut.
"Aku tidak akan melawan Nyai Dupa Mayat. Aku hanya
ingin tahu saja rahasia tersebut, sebagai bekal pengetahuanku di masa
mendatang," tambah Suto dalam ajukan alasan yang kira-kira bisa diterima
oleh akai sehat Tirai Surga, dan tidak timbulkan kecurigaan yang mencemaskan
gadis itu.
Namun langkah Pendekar Mabuk dan T irai Surga terhenti
karena suara orang bicara di balik kerimbunan pohon bambu hutan. Suara- suara
itu sangat dikenali oleh Suto Sinting. Oleh sebab itu, Suto membawa T irai
Surga ke jalan setapak yang menuju balik pepohonan bambu itu.
"T ak ada gunanya kita saling berbaku hantam lagi,
jika ternyata kita sama-sama kehilangan dia!"
"Ini semua gara-gara ulahmu. Pakar Pantun!"
"Ulahmu juga, Jalu K uping! Lain kali kau tidak
boleh lakukan cara seperti itu. Kurasa bocah itu akan bersedia membantumu jika
kau jelaskan perkara yang sebenarnya!"
Mereka adalah dua tokoh tua yang sudah tiga hari ini
kebingungan mencari Pendekar Mabuk. Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping sempat
dibuat jengkel oleh tingkah mereka sendiri.
Akhirnya saling menyadari bahwa perselisihan itu tak
perlu terjadi. Mereka memang sudah bertemu dengan si Kadal Ginting, sehari
setelah Kadal Ginting sendiri kebingungan mencari majikannya. Tapi ternyata
menemukan Pendekar Mabuk tidak semudah menemukan Kadal Ginting. Namun mereka
sudah mendapat penjelasan arah kepergian
Suto saat bersepakat dengannya mencari kedua tokoh tua itu.
Maka ketika Suto Sinting muncul dari satu arah, Kadal
Ginting lebih dulu berseru sambil menunjuk ke arah Suto.
"Itu dia orangnya!"
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping sama-sama menengok ke
arah yang ditunjuk Kadal Ginting, lalu wajah mereka sama-sama tampak lega
melihat Suto Sinting berjalan dengan gagahnya. Tetapi mereka sempat berkerut
dahi ketika melihat di samping Suto ada gadis cantik yang melangkah seiring,
bahkan tangannya digandeng mesra oleh Suto Sinting.
"Siapa lagi gadis itu"!" gumam Resi Pakar
Pantun.
"Setiap kujumpa dia selalu saja ganti-ganti wajah
gadis pendampingnya." Jalu K uping menyahut lirih, "Kita dulu juga
pernah muda, bukan"!" Senyum keramahan Suto mengawali percakapan
mereka. Namun terlebih dulu sang Resi segera lepaskan pantunnya sambil sesekali
melirik ke arah Tirai Surga.
"Telur tokek beranak m enjangan,
jatuh ke lum pur langsung dimakan.
Jika tangan sudah bertemu tangan,
orang tua pun dianggap boneka pajangan."
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang menggumam, T
irai Surga tersipu malu, karena sebelum muncul tadi Suto Sinting sudah jelaskan
siapa-siapa mereka bertiga itu. Maka gadis itu pun tampakkan sikap bersahabat
tanpa kecurigaan apa pun.
"Eyang Resi, Ki Jalu K uping... perkenalkan, ini T
irai Surga, murid si Perguruan T elaga Murka."
Jalu Kuping menyahut, "Ooo... jadi kau muridnya si
Gampar Sewu"!"
"Benar, Ki! Aku murid Eyang Gampar Sewu!" jawa
b T irai Surga dengan sopan.
Resi Pakar Pantun segera utarakan maksudnya, yaitu tugas
memanggil Suto untuk hadiri penyerahan Pedang Jagal Keramat kepada Karina
Larasita, murid si Burung Bengal. "Secepatnya kedatanganmu ditunggu di
Lembah Sunyi, Suto!"
"T api sebaiknya ke pondokku dulu, Suto," sahut
Ki Jalu Kuping yang segera jelaskan perkara muridnya itu.
Suto Sinting dan T irai Surga saling pandang ketika
mereka mendengar nama jurus 'Mati Raga' disebutkan.
"Setahuku, jurus itu dulu milik Bega wan Dawung
Gada. T api beliau sudah lama meninggal," ujar Ki Jalu Kuping. "Aku
tak tahu siapa orang yang memiliki jurus itu sekarang ini, Suto.
Karenanya..,."
"Nyai Dupa Mayat!" sahut Suto Sinting cepat
membuat Jalu Kuping hentikan ucapannya dan terkesiap pandangi Suto Sinting.
"Benar, Ki. Jurus 'Mati Raga' dikuasai oleh Nyai
Dupa Mayat," timpal Tirai Surga. "Aku tahu persis dia memiliki ilmu
itu."
"Dan juga ilmu 'Gerhana Senyawa'...," tambah
Suto Sinting.
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping tertegun tak berucap
satu kata pun.
"Dan sekarang dia sedang mencariku, Eyang
Resi," ujar Suto membuat T irai Surga melirik heran. Suto tak pedulikan
lirikan itu. Ia tetap menyambung kata-katanya.
"Nyai Dupa Mayat mencariku untuk balas dendam,
karena muridnya yang bernama Dewi Ranjang tumbang di tanganku ketika kami
berebut pusaka Pedang Jagal Keramat itu." Resi Pakar Pantun
manggut-manggut. "Sudah kuduga si Pratiwi akan turun tangan juga demi
membela muridnya. T api aku tak tahu kalau Pratiwi alias Nyai Dupa Mayat itu
menguasai ilmu 'Gerhana Senyawa', itu ilmu paling berbahaya. Sebaiknya hindari
pertarungan dengannya, Suto."
"Rasa-rasanya sulit, Eyang. Sebab ia tak akan
hentikan pencariannya sebelum bertemu muka denganku!"
T irai Surga semakin kerutkan dahi. "Ini orang kalau
ngomong sembarangan saja!" gumamnya dalam hati.
"Apa maksudnya bicara begitu"!"
Di kaki bukit itu, ternyata mereka dikejutkan oleh
kemunculan seorang pemuda yang bersenjata toya bambu kuning.
"Santana..."!" sapa Suto Sinting agak keras. Wajahnya sedikit
tegang melihat Santana berlari-lari dengan kesan panik.
"Ooh... kebetulan kau ada di sini, Suto! Ooh.
ooh...,"
Santana terengah-engah.
"Kalau tak salah lihat, ini kan muridnya Banyudana
ailas si Dewa Bandot dari Pulau Parang"!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Benar, Kek... aku... aku muridnya Eyang Dewa
Bandot!" jawab Santana sambil berusaha menenangkan
napasnya. "Apa yang terjadi, Santana"!"
"Aku sendiri tak tahu mengapa harus terjadi. Padahal
kami sudah berusaha untuk tidak menemuinya. Tapi...."
"Yang kutanyakan; apa yang terjadi sampai kau
ngos-ngosan dan tegang begitu"!" tegas Suto dengan suara agak keras.
"Oohhh..."!!" Santana justru terbelalak
kaget dan wajahnya memancarkan rasa takut yang lebih besar lagi.
Pandangan matanya yang melebar itu tertuju ke arah T irai
Surga.
"Sssu.... Suto, sebaiknya jangan berada dekat gadis
itu! Cepat ke sini!"
"Apa-apaan kau ini, Santana"!" Suto agak
menyentak karena keheranannya. Bukan hanya Suto Sinting yang merasa heran
melihat sikap Santana yang tampak takut memandang T irai Surga, tapi juga Resi
Pakar Pantun, Kadal Ginting, dan Ki Jalu Kuping ikut heran terhadap tingkah
Santana.
"Lekas, Suto...! Lekas kemari, jangan dekat-dekat
dia! Kau akan mati, Suto!"
Suto Sinting memandang bingung ke arah Santana dan T irai
Surga secara bergantian. Pada mulanya Tirai Surga juga merasa heran melihat
tingkah Santana. Tapi lama-lama ia tersinggung juga ketika Santana berseru
dengan wajah tegang,
"Suto, dia bukan gadis yang pantas bersahabat
denganmu! Dia adalah racun maut yang akan merenggut nyawamu!"
"Bicara apa kau sebenarnya, Keparat!!" bentak T
irai Surga mulai tampakkan kemarahannya, ia ingin maju menyerang Santana, tapi
segera dihalang-halangi oleh Resi Pakar Pantun.
"T unggu! Sa barlah, T irai Surga...!"
"Dia menghinaku sedemikian rupa, Eyang Resi!"
"Biar Suto yang selesaikan! Serahkan masalah ini
kepada si Pendekar Mabuk itu!"
"Pendekar Mabuk..."!" T irai Surga
terkejut, wajahnya tersentak mundur bagai ada petir yang menyambar giginya, ia
memandang Suto dan sang Resi secara bergantian sambil melangkah mundur. T
indakan itu membuat Suto Sinting menjadi sangat heran terhadap T irai Surga.
"T irai... mengapa kau menjadi setegang itu"!
Aku memang Pendekar Mabuk. T api kau tak perlu menatapku dengan cara seperti
itu, T irai...!"
"T idak...!" sentaknya sambil si ga dis ingin
menangis.
Ketika Suto mendekatinya, ia justru melangkah mundur
dengan cepat.
"T irai, aku tak bermaksud jahat padamu, mengapa kau
takut"!"
"T idak! Jauhi aku! Jauhi aku, Suto.,..!" si
gadis kini benar-benar menangis.
Air matanya membasah di pipi dan ia tetap melangkah
mundur pelan.
"Santana! Apa yang terjadi sebenarnya dengan gadis
itu"!" tegur Ki Jalu Kuping,
"Gadis itu memang cantik. Kuakui
kecantikannya...."
"Yang kutanyakan, ada apa dengan gadis
itu"!" sentak Ki Jalu K uping jika ja waban Santana terasa akan tak
sesuai dengan pertanyaannya. "Oh, hmmm... gadis itu... gadis itu adalah
utusan Nyai Dupa Mayat! Aku dan guruku sendiri melihat ia menghadap Nyai Dupa
Mayat bersama seorang gadis yang bernama Wigati. T api Wigati tewas karena
banyak menentang Nyai Dupa Mayat.
Satu-satunya orang yang menjadi utusan sang Nyai adalah
dia!"
Pendekar Mabuk mulai gemetar. Dadanya bergemuruh karena
jantungnya menyentak-nyentak. Ia sempat tak percayai kata-kata Santana.
"Jangan menyebar fitnah di depanku, Santana!"
"Aku berani bersumpah, Suto! Dia adalah utusan Nyai
Dupa Mayat! Tugasnya menangkapmu dengan
bujukan dan membawanya kepada Nyai Dupa Mayat, ia mendapat upah cukup
besar, yaitu ilmu 'Gerhana Senyawa' yang akan diturunkan padanya jika ia
berhasil menjebakmu!"
"T idaaaakkk...!!"
T irai Surga berteriak sekeras-kerasnya, kemudian ia
melesat pergi sambil membawa tangisnya yang bukan sekadar tangis kacangan.
Blaas, blaas, blaas...! Dalam waktu singkat ia sudah berada di tempat jauh.
Tapi telinga Suto Sinting seperti masih mendengar suara isak tangisnya yang
mengharukan.
"Jangan kejar dia!" cegah Ki Jalu Kuping ketika
Suto Sinting tampak ingin bergerak mengejar T irai Surga.
Sang pendekar tampan hanya diam di tempat dengan napas
memburu. Napasnya sudah mulai berubah menjadi napas badai. T anah yang
berhadapan dengan arah hidungnya menjadi berongga, rumputnya tercabut dengan
sendirinya. Jurus 'Napas T uak Setan' sudah mulai bekerja dengan sendirinya
karena kemarahan Suto mulai menggumpal di dada.
Untung Resi Pakar Pantun dan Ki Jalu Kuping segera
menghibur hingga kemarahan yang tak mengerti harus dicurahkan kepada siapa itu
mulai surut. Perhatian Suto mulai terarah kembali kepada Santana.
"Santana, di mana gurumu sekarang"!" tanya
Suto Sinting, masih ingin mendengar sendiri pengakuan itu dari si Dewa Bandot.
"Guruku adalah Dewa Bandot, ia memang sudah tua
tapi...."
"Di mana gurumu sekarang"!" bentak Suto
Sinting, suaranya menggetarkan hati jantung setiap orang yang ada di situ,
termasuk si Kadal Ginting yang kedua kakinya gemetar sekali bagai nyaris
kehilangan kekuatan untuk berdiri.
"Guruku..."! Ooh, ya... hmmm... guruku ada di
balik bukit itu! Beliau sedang
membantu Pandawi dan...."
"Ada apa dengan Pandawi"!" sentak Suto
karena terkejut mendengar nama Pandawi.
"Yang kutanyakan, ada apa dengan Pandawi! Jawab yang
benar!" ulang Suto.
"Pandawi..."! Hmmm... o, ya.... Pandawi sedang
berhadapan dengan Nyai Dupa Mayat!" "Apaa..."!" suara Suto
menyentak lagi, tampak semakin tegang.
"Guruku berusaha untuk selamatkan Pandawi",
karena kukatakan bahwa Pandawi adalah kekasihmu. Benar dan tidaknya, dibetulkan
nanti saja! Yang jelas...."
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di
lereng bukit tanpa menunggu Santana selesai bicara. Resi Pakar Pantun segera
berkata kepada Ki Jalu Kuping. "Dia pasti menuju ke pertarungan itu!"
"Ikuti dia!" ujar Ki Jalu Kuping. Maka mereka
pun bergegas mengikuti Suto Sinting. T ernyata apa yang dikatakan Santana
memang benar.
Di balik bukit itu ada pertarungan. Pertarungan itu
terjadi antara Pandawi dengan Nyai Dupa Mayat.
Pada mulanya Pandawi berdua bersama Dewi Kun dalam
perjalanan menuju pantai, karena mereka ingin menuju ke Pulau Sangon. Tetapi
begitu melihat kelebatan Nyai Dupa Mayat, dendam Dewi Kun bergolak teringat kematian adik bungsunya dan
beberapa orang Kuil Perawan Ganas.
Dewi Kun menyerang Nyai Dupa Mayat lebih dulu dengan
pukulan bersinar biru. T api pukulan itu bisa dipatahkan oleh sang Nyai.
Maka bertarunglah Dewi Kun dengan Nyai Dupa Mayat.
Sementara itu, Pandawi mengincar kelengahan Nyai Dupa Mayat secara diam-diam.
Tindakan itu dilakukannya karena Pandawi takut kalau sang Nyai nantinya justru
akan menewaskan Pendekar Mabuk.
T etapi dalam beberapa gebrakan saja Dewi Kun telah
diterjang oleh bayangan sang
Nyai. Ketika perempuan tua berkelebat ke kiri,
bayangannya berkelebat ke kanan dan lakukan pukulan ke arah Dewi Kun. Bluub...!
Wuuurss...!
Maka hanguslah tubuh Dewi Kun seketika itu juga tanpa
sempat memekik, ia menjadi abu dan tumpukan arang yang mengerikan.
Kejadian itu bukan saja dilihat oleh Pandawi sendiri,
namun Santana dan Dewa Bandot melihatnya, sebab mereka memang sempat kehilangan
arah ketika mengikuti jejak sang Nyai. Secara kebetulan mereka melewati tebing
bukit, sehingga melihat pertarungan tersebut dari atas sana. Maka turunlah
Santana dan gurunya.
"Lari dan bersembunyilah! Jangan sampai Dupa Mayat
melihatmu, nanti kau disangka Pendekar Mabuk, sebab katamu dia belum tahu
seperti apa si Pendekar Mabuk itu. Maka pergilah, jauhi tempat ini. Aku akan
mencoba menenangkan murkanya!" ujar Dewa Bandot kepada muridnya. Maka
Santana pun berlari menjauh sampai akhirnya bertemu dengan Suto Sinting.
Pada saat Suto tiba di tempat itu, Dewa Bandot telah
terkapar terkena jurus 'Mati Raga' dari sang Nyai.
Pada kala itu Dewa Bandot baru berkata, "Pratiwi,
kumohon jangan gunakan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu! Kau boleh membalas dendam
kepada Pendekar Mabuk, tapi jangan gunakan ilmu terkutuk itu. Kemenanganmu tak
akan sempurna dan...."
"Jangan banyak bicara kau. Dewa Bandot!" bentak
sang Nyai, lalu jurus 'Mati Raga' pun dilepaskan. Dewa Bandot tak menduga, dan
berusaha menghindar tapi gagal. Akhirnya ia terkapar tanpa bisa bergerak
sedikit pun.
Kepada Pandawi sang Nyai berseru, "Kau...! Mengapa
kau tak jadi menangkap Pendekar Mabuk dan menyerahkannya padaku, hah"! Kau
ingin menjadi pengkhianat bagiku, Pandawi"!"
"Kurasa lebih baik aku membunuhmu daripada Pendekar
Mabuk yang kau bunuh. Nyai!" ucap Pandawi dengan tegas. Srraang...! Ia
segera mencabut pedangnya tanpa tanggung-tanggung.
"Gadis busuk!" geram Nyai Dupa Mayat, kemudian
ia menyerang dengan satu lompatancepat. Pandawi perhatikan bayangan sang Nyai.
Ia berusaha hindari bayangan itu, namun justru terkena tendang kaki Nyai Dupa
Mayat dengan telak. Buuuhk...!"
"Heeehhk...!!" Pandawi terlempar ke belakang
dan jatuh setelah membentur pohon besar. T ubuhnya sampai terpental ke depan
lagi karena kerasnya benturan itu.
Pedang pun terlepas dari tangannya, dan napas menjadi
sesak, dada terasa jebol akibat tendangan telak tadi. Pandawi berlutut ingin
bangkit, tapi bayangan hitam Nyai Dupa Mayat bergerak melesat mendahului raga
sang Nyai. Wuuus...!
Saat itu pula sekelebat bayangan menyambar tubuh Pandawi.
Zlaap...! Wuuut...! Bayangan sang Nyai tak kenai tubuh Pandawi, karena tubuh
itu lenyap sebelum bayangan mendekatinya. Pandawi sudah berada di sisi lain
dalam jarak delapan langkah dari Nyai Dupa Mayat.
Di samping Pandawi berdiri seorang pemuda tampan yang tak
lain adalah Pendekar Mabuk. Sang Nyai pandangi pemuda tampan itu ketika
bayangan hitamnya menyatu kembali dengan kakinya yang menapak di tanah. Suto
Sinting menatap tanpa berkedip ke arah Nyai Dupa Mayat. Namun ia sempat
berbisik kepada Pandawi tanpa berpaling memandang gadis itu.
"Menjauhlah...! Sudah saatnya ia harus bertemu
denganku! Lekas menjauh dan hindari bayangannya!"
"T api, Suto...."
"Jangan banyak bicara! Pergi sana!" geram Suto
Sinting sambil meraih bumbung tuaknya dari pundak.
Pandawi pun segera menyingkir, namun tetap memasang
kewaspadaan untuk sewaktu-waktu lepaskan pukulan guna membantu Suto Sinting.
"Akulah orang yang kau cari, Nyai! Aku si Pendekar
Mabuk yang ingin kau bunuh itu!" "Bagus! Rupanya pekerjaanku sudah
akan selesai! Bersiaplah mati demi menebus nyawa murid kesayanganku, Pendekar
Mabuk! Heeaat...!"
T ubuh sang Nyai melayang hendak menerkam, tapi Suto
Sinting juga segera melayang menyambut serangan itu dengan bumbung tuak diputar
di atas kepala.
Wuuus...! Wuuung...!
Bumbung tuak disabetkan, namun kedua tangan Nyai Dupa
Mayat menangkis dengan lengan. Duaar...! Benturan bumbung
tuak dengan kedua tangan timbulkan ledakan, menandakan kedua lengan Nyai Dupa
Mayat telah dilapisi tenaga dalam cukup tinggi. Sang Nyai memang terpental dan
jatuh terbanting, tapi kedua tangannya tetap utuh dan tak merasakan sakit
sedikit pun.
"Edan! Baru sekarang ada orang kuat menahan pukulan
bumbung tuakku"!" gumam Suto dalam hati sambil tapakkan kakinya
kembali ke tanah. Nyai Dupa Mayat kembali lakukan serangan dengan satu lompatan
menendang ke samping. Wees...!
Pada saat itu bayangan hitamnya mulai bergerak lebih
cepat dari gerakan tubuh sang Nyai. Suto hampir saja terpancing gerakan
melompat lawannya. Semula Suto hanya akan bergeser ke samping dengan
menggeloyor seperti orang mabuk, lalu akan sodokkan bumbung tuaknya.
Tapi melihat bayangan hitam lawannya tampak bergerak
lebih cepat, konsentrasi Suto sempat dibuat kacau.
T iba-tiba terdengar suara berseru dari atas pohon
terdekat, "Hancurkan dia, Sutooo...!!"
Wuuurss...! Selembar Jubah merah beludru melayang,
dilemparkan oleh seseorang yang ada di atas pohon. Jubah itu melebar di udara
dalam gerakan memutar melayang-layang di atas kepala Nyai Dupa Mayat. Dengan
begitu cahaya matahari menutupi sang Nyai dan bayangan hitamnya hilang
seketika. Pendekar Mabuk pun segera sodokkan bumbung tuaknya ke arah kaki sang
Nyai. Buuhk...! Lalu meliukkan badan ke tanah dan menyodokkan kembali bumbung
tuaknya ke perut sang Nyai. Blaaarr...!
"Aaaaaaahh...!!"
Perut berlapis tenaga dalam itu robek seketika bersama
bunyi ledakan keras setelah terkena sodokkan bumbung tuak dari jurus 'Mabuk
Lebur Gunung' dari Suto Sinting. Jeritan histeris pun terlontar dari mulut
nenek berjubah abu-abu itu.
Nyai Dupa Mayat akhirnya jatuh terpuruk tanpa gerak lagi
dalam keadaan tak berdaya. Jubah merah beludr u milik T irai Surga itu jatuh
menutupi tubuh sang Nyai. Bruuuk...!
"T irai..."!" seru Suto Sinting setelah
lawannya tak bergerak-gerak lagi. Ia
memandang ke arah pohon di mana gadis cantik yang menjadi
utusan Nyai Dupa Mayat itu telah berubah pikiran dan berada di pihak Pendekar
Mabuk.
Jubah merah itu telah menyelamatkan nyawa Suto dari
terjangan bayangan Nyai Dupa Mayat. Seandainya jubah T irai Surga tidak menjadi
payung penutup raga sang Nyai dari sinar matahari, mungkin Suto sudah menjadi
abu dan arang seperti nasib Dewi Kun.
T irai Surga segera dekati jubahnya dan mengambil jubah
itu. Wuuuut...! Ternyata Nyai Dupa Mayat sudah tak bernyawa, sekujur tubuhhya
menjadi hitam dan muiai membusuk akibat sodokan bambu saktinya Pendekar Mabuk
tadi.
"Dia telah mati!" ujar T irai Surga dengan nada
dingin. "Kematiannya sama dengan kepergian bayangan iblis dari ilmu
'Gerhana Senyawa'! Kau tak perlu khawatir lagi!"
"T irai... kau telah selamatkan nyawaku!
Aku...."
"Karena aku masih ingin jumpa denganmu di lain
waktu!" sahut T irai Surga, kemudian melesat pergi tanpa pamit lagi. Kedua
matanya masih digenangi air yang ditahan agar tak menitik di depan siapa saja.
Pandawi segera dekati Suto Sinting dan bertanya penuh
curiga, "Siapa dia sebenarnya?"
"Seorang sahabat," jawab Suto Sinting dengan
masih terbengong pandangi kepergian T irai Surga, sang utusan maut yang menjadi pengkhianat majikannya demi
kenangan indah di saat ia dan Suto berada di dalam gua.
Pandawi mendengus kesal, Suto Sinting tak terlalu
hiraukan sikap gadis bermata biru. Ia segera dekati Resi Pakar Pantun yang
berdiri bersama Ki Jalu K uping, Santana, dan Kadal Ginting. Mereka berada di
dekat si Dewa Bandot. Jurus 'Mati Rasa' itu akhirnya berhasil dikalahkan oleh
kesaktian tuak Suto yang diminumkan ke mulut Dewa Bandot.
Sang Guru dari Pulau Parang itu menjadi sehat seperti
sediakala. Demikian pula dilakukan Suto untuk Badra Sanjaya pada hari
berikutnya. T api di pihak lain, Pandawi masih penasaran dan ingin mengetahui
hubungan apa yang terjadi antara Suto Sinting dengan T irai Surga itu.
SELESAI