DENGAN didampingi dua ekor
kuda di kanankirinya, lelaki berbaju merah itu menabuh bende berulang-ulang
sambil serukan kata. Tiga kuda tersebut berjalan dengan santai menyusuri jalan
pedesaan. Si penabuh bende yang menunggang kuda berbulu coklat muda itu
mengenakan ikat kepala kaku dari bahan kain bercampur logam yang menjadi simbol
sebuah kerajaan.
"Wara-wara...
wara-wara...!" serunya dengan suara lantang dan garang. Para penduduk desa
hentikan kerja mereka hanya untuk mendengarkan 'wara-wara' alias pengumuman
yang dibawakan oleh si penabuh bende itu.
"Gusti Ayu Sunggarini,
putri dari Prabu Dasawalatama, membuka sayembara untuk umum. Barangnya siapa.
"
"Husy, bukan 'barangnya'
siapa, tapi 'barang' siapa!" potong pengawal di samping kirinya.
"Maaf, keliru
sedikit!" seru si penabuh bende. Ia mengulang kata-katanya kembali setelah
bende ditabuh tiga kali.
Mung... mung... mung....
"Wara-wara. Gusti Ayu
Sunggarini, putri mendiang Prabu Dasawalatama, membuka sayembara untuk umum.
Barang siapa bisa menghidupkan kembali jenazah Prabu Dasawalatama, jika
perempuan akan dijadikan kakak angkatnya dan berhak menerima sebagian warisan
dari negeri Kincir Bantala, jika lelaki akan dijadikan suami tercinta Gusti Ayu
Sunggarini!"
Mung, mung, mung !
"Sekali lagi, barang
siapa bisa menghidupkan kembali jenazah Prabu Dasawalatama, ayahanda Gusti Ayu
Sunggarini, maka jika orang itu lelaki akan dijadikan suaminya, jika orang itu
perempuan akan diangkat sebagai kakak tertua Gusti Ayu Sunggarini!"
Orang-orang yang mendengar
pengumuman itu saling berkasak-kusuk. Bahkan ketika petugas menyebar pengumuman
dari kerajaan Kincir Bantala itu berhenti di bawah pohon rindang, tepat di
tengah desa tersebut, mereka bertiga dikerumuni oleh para penduduk desa. Mereka
yang berkerumun saling ajukan tanya dan saling membicarakan pengumuman itu
antara yang satu dengan yang lainnya.
"Apakah Prabu
Dasawalatama, raja dari Kincir Bantala itu telah meninggal dunia?!" tanya
salah seorang penduduk.
Penabuh bende menjawab,
"Kalau belum tewas tidak akan mendapat julukan 'jenazah', Tolol! Makanya
dikatakan 'jenazah' karena Kanjeng Prabu telah meninggal dunia akibat
sakit."
"Kenapa tidak segera
dimakamkan saja?!" seru salah seorang lagi.
"Gusti Ayu Sunggarini
telah membalsam jenazah ayahandanya dan bermaksud membangkitkannya kembali.
Tetapi sampai sekarang, belum ada satu orang sakti mana pun yang mampu
menghidupkan kembali Kanjeng Prabu Dasawalatama. Maka-nya Gusti Ayu Sunggarini
mengadakan sayembara untuk kalian semua. Ayo, siapa saja yang merasa mampu
menghidupkan kembali sang Prabu akan dijadikan suami Gusti Ayu Sunggarini, atau
diangkat sebagai saudara tua Gusti Ayu Sunggarini dan mendapat hak waris sama
seperti anak kandung keluarga Prabu Dasawalatama!"
Salah satu dari penduduk yang
berkumpul di bawah pohon itu ada seorang pemuda berpakaian celana putih dan
baju tanpa lengan warna coklat. Anak muda berambut panjang sepundak tanpa ikat
kepala itu dari tadi memperhatikan si penabuh bende dan dua pengawalnya. Anak
muda itu membawa bambu sedepa yang menjadi tempat menampung tuak. Siapa lagi
pemuda tampan itu selain si murid sintingnya Gila Tuak yang bernama Suto
Sinting alias Pendekar Mabuk.
Di samping Suto Sinting
berdiri pula dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, yang satu
mengenakan pakaian hitam dan berbadan kurus, yang satu berpakaian hijau
berbadan agak gemuk. Tiba-tiba saja yang berpakaian hijau berkata sambil
menuding Suto Sinting.
"Nah, anak muda ini cocok
sekali jadi suami Gusti Ayu Sunggarini!"
Yang berpakaian hitam
menyahut, "O, iya! Ketampanannya sangat serasi dengan kecantikan Gusti Ayu
Sunggarini. Cuma sayang, dia kumal dan hanya sebagai pedagang tuak
keliling."
"Lho, biar sebagai
pedagang tuak keliling, kalau memang bisa menghidupkan Prabu Dasawalatama,
tentunya dia akan diangkat menjadi suami Gusti Ayu Sunggarini."
"Iya, ya...!" kata
si baju hitam, ia segera bicara kepada Suto.
"Hei, Anak muda...!
Ikutlah sayembara itu. Siapa tahu kau beruntung, kau bisa menjadi suaminya
Gusti Ayu Sunggarini. Jujur saja kukatakan padamu, ya... menjadi 'suami angkat'
putri seorang raja itu enak lho! Kau ingin apa saja bisa terkabul. Bahkan
mungkin kau bisa menjadi raja di negeri Kincir Bantala itu."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan
senyum keramahan. Wajahnya yang ganteng itu memandang dua orang tersebut dengan
sikap bersahabat.
"Kang, kurasa sayembara
ini terlalu mengada-ada. Orang sudah mati kok disayembarakan?! Aku sama sekali
tidak tertarik dengan sayembara ini."
"Tentu saja kau tidak
tertarik, karena kau tak punya kesaktian yang bisa membangkitkan mayat orang
yang sudah mati!" ujar si baju hijau.
Suto Sinting justru tertawa
pelan, lalu berkata kepada si baju hitam,
"Katakan kepada si
penabuh bende itu; di sini tidak ada dewa penyambung nyawa! Kalau mau cari dewa
penyambung nyawa, suruh mereka pergi ke kayangan dan menemui dewa yang punya
urusan soal nyawa."
Setelah berkata begitu,
Pendekar Mabuk tinggalkan tempat itu dengan santainya. Delapan langkah kemudian
ia berhenti untuk menenggak tuak dari bumbung yang dibawanya, kemudian berjalan
lagi menjauhi kerumunan orang.
Namun tiba-tiba langkahnya
menjadi terhenti kembali karena mendengar derap langkah kaki kuda yang datang
dari arah timur. Derap kaki kuda itu terdengar bukan hanya seekor, melainkan
lebih dari tiga ekor. Hal itu menarik perhatian Pendekar Mabuk, sehingga murid
si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu segera palingkan wajah, memandang ke arah
datangnya derap kaki kuda.
Debu berhamburan membentuk
kabut samar-samar. Ternyata yang datang bukan tiga ekor kuda, melainkan delapan
ekor kuda yang berlari cepat menuju kerumunan orang.
"Siapa mereka itu?
Tampaknya ada niat tak beres dalam benak mereka," pikir Suto sambil
melangkah ke arah bawah pohon lain yang tumbuh di depan sebuah kedai nasi. Dari
sana ia memperhatikan kedelapan orang tersebut yang membuat kerumunan menjadi
bubar karena takut diterjang kuda mereka.
Delapan kuda itu ternyata
tidak berhenti, melainkan tetap berlari cepat menerjang tiga utusan dari kerajaan
Kincir Bantala. Tiga orang dari rombongan berkuda ganas itu mencabut pedang dan
tiba-tiba pedang itu ditebaskan ke arah tiga orang utusan dari Kincir Bantala.
Wees, weees, wees...! Cras,
cras...! "Aaaa...!"
Pekikan keras datangnya dari
para penduduk yang berada jauh dari tempat tersebut. Sebagian orang memekik,
sebagian lagi tertegun bengong tanpa bisa bicara, manakala mereka melihat dua
pengawal penabuh bende itu kehilangan kepalanya dalam waktu yang amat singkat.
Rombongan delapan penunggang kuda yang semuanya berpakaian seragam hitam
bergaris-garis merah itu melaju bersama kuda mereka tanpa henti.
"Gilaaa...?!" gumam
Suto Sinting dengan melongo.
Dua kepala yang terpisah dari
raganya itu menggelinding di tanah dengan darah berhamburan ke mana-mana.
Tetapi rupanya si penabuh bende punya keberuntungan tersendiri, ia terkapar
masih bernyawa, namun dadanya terluka karena sabetan pedang, sementara
kepalanya bocor dan beberapa tulangnya patah karena terinjak-injak kuda saat ia
jatuh ke tanah. Orang itu hanya bisa mengerang dengan suara pelan sekali,
nyaris tak terdengar karena ramainya jerit dan kekacauan masyarakat desa yang
diiiputi rasa takut itu.
"Mereka memenggal kepala
dua orang Kincir Bantala" ujar seseorang dari depan kedai, tepat di
belakang Pendekar Mabuk.
"Tentu saja, sebab mereka
orang-orang Kadipaten Pusar Langit," sahut orang yang satunya lagi,
membuat Suto Sinting berpaling memandang mereka karena tertarik dengan
percakapan itu.
"Yang mana orang
Kadipaten Pusar Langit itu, Paman?" tanya Suto Sinting kepada lima orang
yang ada di depan kedai itu.
"Itu tadi, yang jumlahnya
delapan orang tadi!" jawab salah satu dari lima orang tersebut.
Temannya menimpali,
"Kadipaten Pusar Langit adalah musuh bebuyutan Kerajaan Kincir Bantala.
Setiap saat dan kapan saja mereka bertemu pasti saling bunuh!"
Ada yang berseru, "Lihat,
si penabuh bende masih hidup!"
Semua mata tertuju pada si
penabuh bende. Orang itu berusaha untuk bangkit dengan merangkak, namun
keadaannya sangat lemah. Pendekar Mabuk segera menghampirinya disusul dengan
empat-lima orang yang mendekati si penabuh benda dengan waswas.
"Oouh... oooh...
bendeku... bendeku mana tadi..:?!" ratap si penabuh bende sambil
menyeringai menahan rasa sakit.
Tanpa bicara sepatah kata pun,
Pendekar Mabuk segera mengangkat tubuh si penabuh bende dan membawanya ke
kedai. Celoteh si penabuh bende berhamburan bersama erangan rasa sakitnya, ia
dibaringkan di 'lincak', tempat duduk dari anyaman bambu yang ada di teras
kedai. "Uuhg...! Aduuuh... oooh... bendeku mana... pemukulnya mana...
oooh... tubuhku sakit sekali! Bendeku rusak apa
tidak, tolong selamatkan
bendeku. "
Salah seorang yang
mengerumuninya berseru, "Selamatkan dulu nyawamu, jangan pikirkan
bende-mu, Tolol!"
Pendekar Mabuk segera membuka
tutup bumbung tuaknya. Kemudian ia menyuruh si penabuh bende meminum tuak itu.
"Minumlah tuakku.
Minumlah walau sedikit biar rasa sakitmu berkurang," bujuk Suto Sinting
dengan suara pelan.
Ada yang menggerutu di
belakang Suto, "Bocah ini otaknya di mana?! Orang sakit dan terluka
separah itu malah disuruh minum tuak? Kalau mau mabuk jangan ajak-ajak orang
sekarat begitu! Kasihan dia! Bukannya diobati tapi malah mau diajak
mabuk-mabukan!"
Tetapi tak satu pun kata-kata
kecaman itu dipedulikan oleh Suto Sinting. Si penabuh bende tetap dibujuk untuk
meminum tuak tersebut, sampai akhirnya orang tersebut mau meminum tuak tiga
teguk.
Glek, glek, glek !
"Uuhk, uhuk, uhuk,
uhuk...!" si penabuh bende terbatuk-batuk. Orang saling berceloteh
mengecam Suto Sinting, tapi tak satu pun kecaman itu dilayani dengan sanggahan.
Kecaman itu mulai berhenti
setelah mereka saling terbengong melihat luka di dada si penabuh bende berasap
tipis dan bergerak-gerak merapat sendiri. Semakin lama semakin rapat daging
yang robek terkoyak itu, sampai akhirnya menjadi utuh seperti semula. Luka itu
lenyap bersama sisa darah yang semula berlumuran di tubuh si penabuh bende.
"Edan! Luka itu bisa
hilang dalam waktu singkat dan tak membekas sedikit pun?!"
Pakaian yang robek memang
masih robek, tapi seluruh luka yang ada di tubuh si penabuh bende itu sirna
tanpa bekas. Darah yang berceceran bagaikan menguap dalam waktu singkat. Wajah
si penabuh bende tak terlihat sepucat tadi. Bahkan orang tersebut mampu bangkit
dan duduk memandang heran sekujur tubuhnya.
"Lho... ke mana lukaku
tadi?!" ujarnya dengan bingung. "Rasa sakitku...? Rasa sakitku kok
ikut-ikutan hilang? Kenapa tak ada rasa perih atau panas sedikit pun,
ya?!"
Mereka tidak ada yang tahu
bahwa tuak yang ada di bumbung bawaan Suto Sinting itu adalah tuak sakti.
Melalui tuak itu pula Suto mendapat julukan dari beberapa orang yang
mengenalnya sebagai Tabib Darah Tuak. Tentu saja mereka terheran-heran melihat
keampuhan tuak tersebut, walau sebenarnya yang mempunyai kesaktian bukan
terletak pada tuaknya, melainkan pada bumbung bambu itu yang sebenarnya adalah
jelmaan dari tokoh sakti eyang gurunya si Gila Tuak yang bernama: Wijayasura
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Biru").
"Anak muda itu ternyata
punya kesaktian tinggi?!" bisik salah seorang kepada temannya. Kasak-kusuk
segera terjadi di antara mereka. Namun Suto Sinting tetap tidak peduli dengan
kasak-kusuk itu. Bahkan tidak punya rasa bangga sedikit pun. Perhatiannya
justru tertuju pada si penabuh bende.
"Kusarankan agar
sebaiknya kau pulang ke negerimu dan suruh gusti ayu-mu itu membatalkan
sayembara itu." Penabuh bende yang belum sadar bahwa nyawanya telah
diselamatkan oleh Suto Sinting segera memandang dengan dahi berkerut, bersikap
kurang suka mendengar
saran Suto. Dengan nada ketus
orang itu berkata;
"Enak saja kau menyuruhku
begitu. Apa kepentinganmu, sehingga berani menyarankan agar gusti ayu-ku
membatalkan sayembara itu?!"
"Ayahanda gusti ayu-mu
sudah wafat. Biarlah beliau tenang di alam kelanggengan sana dengan cara
disemayamkan baik-baik. Tak perlu disayembarakan untuk dihidupkan kembali.
Setiap manusia mempunyai dua kodrat yang tak dapat disanggah lagi; lahir dan
mati, datang dan pergi. Katakan begitu kepada gusti ayu-mu."
"Katakanlah sendiri, aku
tak berani mengajukan saran seperti itu!" orang tersebut bersungut-sungut,
lalu segera hendak pergi mencari bendenya.
"Hei, tunggu...!"
cegah Suto Sinting. "Bawalah aku menghadap gusti ayu-mu, aku akan bicara
sendiri tentang saranku tadi!"
Si penabuh bende memandang
Suto Sinting dengan keheranan semakin tinggi. Namun sebelum ia bicara,
tiba-tiba seorang lelaki tua berusia enam puluh tahun yang rambutnya tak begitu
banyak beruban itu segera perdengarkan suaranya di belakang Suto Sinting.
"Anak muda, kusarankan
agar kau tak perlu terlibat urusan dengan orang-orang Kincir Bantala. Sebab kau
akan berurusan dengan orang Kadipaten Pusar Langit yang kabarnya sekarang
sedang mengumpulkan orangorang sakti yang dibayar untuk menumbangkan kerajaan
Kincir Bantala. Kau bisa menjadi korban mereka, Anak muda."
Mendengar ucapan itu, si
penabuh bende tergugah rasa pengabdiannya terhadap negerinya, ia segera berkata
kepada Suto Sinting,
"Jangan dengarkan omong
kosong itu. Mari kuantar menghadap Gusti Ayu Sunggarini. Orang-orang Kadipaten
Pusar Langit hanya mengumpulkan manusia rongsokan yang tak punya daya dan
kekuatan apa-apa! Jangan takut dengan orang-orang Pusar Langit, mereka hanya
berani main bokong! Sampai kapan pun mereka tak akan mampu menumbangkan
kerajaan Kincir Bantala!"
Orang tua itu hanya memandang
Suto Sinting dengan pundak menghentak naik satu kali, sebagai ganti ucapan,
"Terserah kau sajalah, Nak!"
Sedangkan Suto Sinting hanya
diam dalam keraguan yang penuh pertimbangan batin.
*
* * 2
PENABUH bende itu mengaku bernama
Kersa Gotri. Bekerja sebagai 'abdi dalem' di istana Kincir Bantala selama tujuh
tahun. Sekarang usianya sudah mencapai tiga puluh lima tahun.
"Aku bukan seorang
prajurit kerajaan, tetapi termasuk pelayan keluarga Kanjeng Prabu
Dasawalatama," ujarnya kepada Suto Sinting ketika mereka dalam perjalanan
menuju negeri Kincir Bantala.
Mereka sama-sama berjalan
kaki, karena kuda berbulu coklat tunggangan Kersa Gotri telah melarikan diri
saat diterjang delapan ekor kuda tunggangan orang kadipaten. Sedangkan dua ekor
kuda milik pengawal yang terpenggal itu pun tak dapat digunakan lagi, yang satu
kakinya patah karena jatuh, dan yang satunya lagi berlari liar bersama kuda
tunggangan Kersa Gotri. Namun sebagai orang suruhan raja yang tugasnya ke
sana-sini, termasuk mengirim surat atau menyebarkan pengumuman, Kersa Gotri
tahu jalan pintas menuju negerinya.
Jalan pintas itu ditempuh
dengan cara menyusuri kaki gunung yang berhutan tak seberapa lebat.
"Sang Prabu wafat tujuh
hari yang lalu. Sampai sekarang jenazahnya masih diawetkan oleh Gusti Ayu
Sunggarini dengan cara dibalsam. Tindakan itu dilakukan oleh Gusti Ayu karena
Gusti Ayu masih berharap ayahandanya bisa dibangkitkan lagi dari
kematiannya."
"Apakah Gusti Ayu
Sunggarini belum menyadari adanya kematian sebagai kodrat tiap manusia yang tak
bisa ditolak lagi?"
"Semua punggawa negeri
sudah mengingatkan hal itu, tapi Gusti Ayu tetap bersikeras bahwa ayahnya harus
hidup lagi. Seakan ia tak bisa menerima kenyataan atas kematian tersebut. Gusti
Ayu sangat mencintai sang Prabu, karena ia anak tunggal yang dimanjakan oleh
ayahandanya."
"Bagaimana dengan
ibunya?" tanya Suto sambil tetap melangkah.
"Ibunya sudah wafat sejak
Gusti Ayu berusia sepuluh tahun, jadi cinta kasih yang diterima Gusti Ayu lebih
banyak dirasakan datang dari sang Ayah."
"Mengapa dia sampai
bersedia menjadi istri pemenang sayembara itu? Apakah ia belum bersuami?"
"Memang belum, Gusti Ayu
merasa belum puas mengabdi dan melayani ayahandanya, sehingga beliau tak
berminat untuk bersuami. Jika beliau bersuami, beliau takut perhatian dan kasih
sayang untuk ayahandanya menjadi berkurang."
"Sungguh besar kesetiaan
dan rasa baktinya kepada sang Ayah. Seandainya "
Tiba-tiba kata-kata Pendekar
Mabuk terhenti dengan sendirinya. Langkah kakinya pun ikut terhenti, sehingga
Kersa Gotri berpaling memandangnya dengan heran.
"Ada apa, Suto?"
tanyanya pelan, ia tahu pemuda yang bersamanya bernama Suto Sinting, tapi ia
belum tahu bahwa Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk yang ilmunya cukup tinggi
hingga dikatakan berilmu sinting. "Aku mendengar suara langkah kaki di
belakang kita. Agaknya ada orang yang ingin menguntit perjalanan kita, Kersa
Gotri," bisik Suto sambil matanya melirik ke samping kanan.
"Aku tidak mendengar
suara apa-apa," balas Kersa Gotri dalam bisikan. Ketika ia ingin berpaling
ke belakang, Suto Sinting buru-buru menahannya dengan berkata,
"Jangan menengok ke
belakang, biar kita dianggap tidak tahu apa-apa. Jalan terus saja, nanti
setelah melewati batu besar itu kita segera bersembunyi di balik batu
tersebut."
Pendekar Mabuk mencekal lengan
Kersa Gotri dan setengah menarik agar berjalan kembali. Jurus 'Lacak Jantung'
segera dipergunakan oleh Pendekar Mabuk, sehingga murid si Gila Tuak itu dapat
mendengar suara detak jantung orang lain yang ada di belakangnya. Detak jantung
itu hanya satu jenis, berarti hanya ada satu orang yang, mengikutinya dari
belakang.
Wees...! Zlaap...!
Gerakan cepat melebihi anak
panah yang melesat dari busur itu dilakukan Pendekar Mabuk dengan menggunakan
Jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tangannya sempat menyambar tubuh Kersa Gotri,
sehingga mereka berdua tampak seperti menghilang ditelan bumi. Tapi sebenarnya
mereka bersembunyi di balik gugusan batu besar yang tingginya melebihi sebuah
rumah.
"Kenapa kita tiba-tiba
ada di sini?" bisik Kersa Gotri dengan heran, karena ia merasa terhempas
terbang dalam sekejap.
"Kita bersembunyi di sini
dulu. Aku ingin tahu siapa orang yang menguntit kita itu."
"Tapi aku merasa. "
"Ssstt...!" potong
Suto Sinting sambil berusaha membekap mulut Kersa Gotri.
Batu besar itu mempunyai celah
sempit yang hanya cukup dimasuki oleh satu orang. Di dalam celah batu itulah
Kersa Gotri berlindung di belakang Suto Sinting. Mereka tak bisa berdiri
bersebelahan, sehingga kepala Kersa Gotri selalu ingin mendesak keluar untuk
mengintai siapa orang yang menguntit mereka. Tapi kepala itu selalu ditekan
oleh pundak Suto Sinting, membuat Kersa Gotri menjadi jengkel namun tak berani
mendesak.
Cukup lama mereka diam tanpa
gerak dan bunyi di tempat itu. Penguntit mereka tidak kunjung lewat, sehingga
hati mereka menjadi penasaran.
"Jangan-jangan tak ada
apa-apa, hanya perasaanmu saja yang mengada-ada," bisik Kersa Gotri pelan
sekali, persis di depan telinga Suto Sinting. Bisikan itu tidak mendapat
jawaban kecuali gerakan jari Suto yang memberi isyarat agar Kersa Gotri tidak
bersuara sedikit pun.
Wuuk, wuuk...! Jlegg !
Rupanya orang yang mengikuti
mereka itu ada di atas batu besar tersebut. Orang itu kebingungan mencari Suto
dan Kersa Gotri, akhirnya melompat turun dari atas batu dengan gerakan bersalto
dua kali. Suto Sinting segera memberi isyarat agar mereka berjongkok, karena
orang yang mengikuti mereka sekarang berdiri di depan celah batu dalam jarak
sepuluh langkah. Orang itu clingakclinguk mencari mereka dengan mata tajam
memandang ke setiap penjuru.
"Perempuan...!"
bisik Kersa Gotri sambil menyiapkan senjatanya yang sejak semula terselip di
depan perut. Sebagai pesuruh raja, ia dibekali sebuah pusaka berupa keris
bergagang hitam dalam bentuk kepala burung garuda. Seberapa tinggi kehebatan
keris itu, Suto belum mengetahui karena memang Suto tak menghiraukan adanya
senjata tersebut.
Apalagi sekarang, perhatian
Suto Sinting lebih tertuju pada orang yang baru saja turun dari atas batu,
sebab orang tersebut ternyata adalah seorang perempuan berusia muda, namun
sudah tampak matang dalam bersikap. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun.
Mengenakan pakaian jubah berlengan panjang dari kain halus berwarna biru muda.
Rambutnya disanggul rapi dengan tusuk konde dari logam emas berbentuk kuncup
bunga kenanga. Perempuan itu menggenggam pedang di tangan kirinya dengan sarung
pedang dari logam kuningan berukiran dan gagangnya pun dari logam kuningan
berukir.
Wajah perempuan itu cukup
cantik, mempunyai hidung bangir dan bibir sedikit tebal tapi menggemaskan.
Matanya tajam, namun mempunyai kebeningan yang enak dipandang. Bulu matanya
lentik, alisnya tebal teratur rapi. ia mempunyai dada yang agak besar, namun
tampak masih kencang penuh tantangan. "Apakah kau kenal dengan perempuan
itu?" bisik
Suto Sinting pelan sekali.
"Melihat bentuk tusuk
kondenya itu, kurasa ia orang Pasir Pitu,"
"Pasir Pitu itu nama
kadipaten atau kesultanan?" "Pasir Pitu nama perguruan di bukit tepi
laut utara." "Kau kenal, dengannya?"
Kersa Gotri gelengkan kepala.
Pendekar Mabuk ingin berbisik lagi, kepalanya sudah menengok ke samping, tapi
segera dibatalkan karena tiba-tiba datang angin aneh berhembus dari arah depan.
Wuuurrss...!
Angin aneh itu berhembus satu
kali, menerbangkan dedaunan hijau kecil-kecil yang membuat perempuan berjubah
biru muda itu segera melompat sambil mencabut pedangnya. Wuuut...! Sraaang...!
Tring, tring, tring, tring,
tring ..! Craaang...!
Daun-daun hijau yang
berhamburan ke arahnya ditangkis cepat dengan pedangnya. Tangkisan itu membuat
suara denting yang mengherankan, karena daun-daun hijau itu bagaikan kepingan
logam tajam yang sukar dipatahkan atau dirobek dengan mata pedang. Daun-daun hijau itu berpentalan ke
sana-sini, salah satu ada yang jatuh tepat di depan kaki Pendekar Mabuk.
Daun yang jatuh di situ segera
dipungut dan diperiksa. Pendekar Mabuk hanya menggumam dalam desah,
"Edan...! Daun selembut
ini bisa berubah seperti baja pada saat beterbangan tadi. Pasti ada orang yang
menyalurkan ilmu tenaga dalamnya melalui helai-helai daun tadi."
Kersa Gotri ikut memegang
sehelai daun tersebut. Ternyata sangat lemas, tanpa tulang pengeras, tanpa
tepian yang tajam. Kersa Gotri pun akhirnya bicara sendiri dengan suara bisik.
"Daun selunak ini bisa
menimbulkan suara denting saat ditangkis dengan pedang?! Apakah telingaku tadi
tidak salah dengar?"
"Seseorang sedang lakukan
serangan ke arah perempuan itu, Kersa Gotri."
"Begitukah?! Di mana
orang yang menyerang perempuan itu?"
"Entahlah. Aku belum
menemukan tempat persembunyiannya. Tapi yang jelas orang itu pasti berilmu
tinggi, buktinya ia bisa menerbangkan daundaun tadi dan mengubah tiap helai
daun menjadi kepingan logam tajam mirip senjata rahasia. Untung perempuan itu
cepat-cepat melakukan tangkisan, jika ia menganggap daun-daun itu adalah
daun-daun biasa, mungkin tubuhnya saat ini sudah tercabik-cabik oleh ketajaman
daun-daun tersebut."
"Berarti ilmu perempuan
itu cukup tinggi. Buktinya ia bisa segera mengerti bahwa daun-daun itu bukan
sembarang daun terbang."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
membenarkan ucapan Kersa Gotri. Kemudian perhatiannya terarah kembali kepada si
perempuan yang sedang memandang ke sana-sini mencari penyerangnya. Namun
mendadak angin aneh datang kembali, berhembus lebih kencang dari yang pertama.
Weeessss...!
Kali ini yang berhamburan
bersama angin aneh itu adalah batu-batu kecil yang ukurannya lebih kecil dari
kerikil. Jumlahnya ratusan batu yang masing-masing bagai menerjang tubuh
perempuan tersebut. Namun rupanya perempuan itu mempunyai ilmu pedang yang
cukup hebat. Dengan sekali kelebat saja, pedangnya menyebarkan asap
mengelilingi tubuhnya. Asap putih agak tebal itu bagai menahan ratusan
batu-batu kecil. Akibatnya, batu-batu itu saling pecah menimbulkan suara
letusan dan memancarkan bunga api yang indah dipandang mata namun berbahaya
jika mengenai tubuh manusia.
Wuuutt...! Buuusssh...!
Tar, tar, tar, tar, tar, tar,
tar, traatar, tarrr...!
Angin hilang, batu-batu kecil
pun lenyap, asap putih sirna. Perempuan berkulit kuning itu segera berseru
tanpa arah yang pasti.
"Keluarlah dari
persembunyianmu, Rangkak Dulang! Aku tahu kau ada di sini dan ingin berhadapan
denganku! Keluar kau sekarang juga, Rangkak Dulang!" "Ooh...?!
Rangkak Dulang?!" Kersa Gotri terpekik dengan suara tertahan, bahkan
buru-buru menutup mulutnya dengan mata menegang. Suto Sinting yang menoleh ke
belakang memperhatikan ketegangan mata Kersa Gotri, sehingga ia pun ajukan
tanya kepada pesuruh raja Kincir Bantala itu.
"Siapa yang bernama
Rangkak Dulang itu? Apakah kau kenal dengannya?"
Kersa Gotri hanya mengangguk
satu kali sambil melepas dekapan pada mulutnya.
"Rangkak Dulang adalah
tokoh sakti dari Gunung Rancak Hantu. Dia dikenal dengan julukan: Pawang Setan
Binal."
"Aku baru sekarang
mendengar nama itu," gumam Pendekar Mabuk bagai bicara sendiri, kemudian
perhatiannya kembali ke arah depan. Karena pada saat itu, seberkas sinar merah
terbang dari balik kerimbunan semak. Bentuknya seperti kerikil pecahan batu
lahar. Sinar merah itu jatuh ke tanah, buuusss...! Asap mengepul merah
samar-samar, makin lama semakin hilang dan tampaklah sesosok tubuh kurus kering
bagai tulang dibalut kulit keriput. Wajah hitam bermata lebar, rambut hitam
meriap tak beraturan. Orang itu mengenakan pakaian abu-abu longgar, tanpa
lengan baju. Pada ikat pinggangnya yang berwarna merah itu terselip sebuah
senjata berupa trisula mata panah.
"Itu dia yang bernama
Rangkak Dulang alias Pawang Setan Binal," bisik Kersa Gotri.
Pendekar Mabuk hanya menggumam
sambil pandangan mata tertuju pada wajah bertulang saling bertonjolan dengan
bola mata lebar berkesan dingin dalam menatap si perempuan jubah biru. Rambut
hitamnya yang acak-acakan itu meriap merintangi sebagian wajahnya hingga
Rangkak Dulang kelihatan sangat angker.
"Ternyata kau masih saja
menjadi seorang pengecut, Rangkak Dulang! Percuma saja kau menyandang julukan Pawang Setan Binal, kalau melawanku
saja harus dengan sembunyi-sembunyi. Rupanya kau takut mati di tanganku,
Rangkak Dulang?!"
"Tutup mulutmu, Paras
Kencani!" hardik si Rangkak Dulang dengan suara seraknya. Mendengar nada
suaranya, Suto Sinting dapat memperkirakan usia Rangkak Dulang sekitar enam
puluh tahunan. Tangannya yang berkuku tajam dan runcing walau tak terlalu
panjang itu segera terangkat untuk menuding perempuan cantik yang ternyata bernama
Paras Kencani itu.
"Aku tak mau banyak
bicara, Paras Kencani. Serahkan saja kitab pusaka itu atau kucabut nyawamu
sekarang juga!"
"Aku tak memiliki kitab
pusaka yang kau cari-cari sejak beberapa bulan yang lalu itu! Apakah kau kurang
puas telah membantai orang-orangku dan mengobrakabrik perguruanku hanya untuk
suatu kesia-siaan itu? Bukankah kau telah tidak mendapatkan kitab pusaka
itu?"
"Tentu saja, karena kitab
pusaka itu kau simpan di tempat yang tak bisa kuketahui! Kau telah melapisinya
dengan hawa murni sehingga tak bisa kutembus dengan indera ketujuhku."
"Persetan dengan
dugaanmu! Yang jelas aku tidak memiliki kitab pusaka itu. Jika kau masih
menghalangi langkahku, maka aku akan menyingkirkan dirimu secara paksa!"
"Kau tak akan
mampu!" ucap Rangkak Dulang sambil menuding Paras Kencani. Jari yang
menuding itu tiba-tiba keluarkan sinar kecil bagai benang kaku yang melesat
menuju dada Paras Kencani. Claaap...!
Sinar itu sangat kecil dan
tipis, sehingga sukar dilihat oleh manusia biasa. Bahkan pandangan mata Suto
Sinting hampir saja tak mampu melihat sinar tersebut. Karenanya Paras Kencani
tak sempat menangkis dan menghindarinya. Juubs...!
"Uhg...!"
Sinar merah sebesar benang
jahit itu tepat kenai bawah pundak Paras Kencani. Hantaman sinar tersebut
membuat Paras Kencani jatuh terkulai bagai tanpa tulang sama sekali. Tubuhnya
yang sekal dan indah mengeluarkan asap samar-samar.
Zaab...! Pawang Setan Binal
bergerak dekati Paras Kencani dengan gerakan bagaikan badai berhembus. Tiba di
samping tubuh Paras Kencani ia keluarkan hardikannya lagi.
"Di mana kitab pusaka
itu?! Jika kau tak mau sebutkan, aku tak akan memberikan obat penawar racun
'Inti Mayat'. Selama ini tak ada orang yang dapat hidup lebih dari setengah
hari setelah terkena racun 'Inti Mayat'-ku itu! Katakan, kau simpan di mana
kitab itu?!"
"Buk... bukan ada padaku!
Kitab itu... sudah direbut oleh... oleh. "
"Oleh siapa?!" desak
Pawang Setan Binal dengan bentakan serak. Paras Kencani tampak sukar keluarkan
napasnya, namun ia berusaha dengan susah payah agar bisa bicara.
"Kitab itu ada... ada
pada... pada Perawan Titisan Peri!"
"Kucing Hutan?! Keparat
bejat si Kucing Hutan!"
Zaaab...! Pawang Setan Binal
melesat pergi bagaikan badai menghembus. Gerakannya itu timbulkan kepulan asap
yang makin jauh semakin meruncing dan lenyap sama sekali. Paras Kencani
ditinggalkan begitu saja tanpa diberi obat penawar racun seperti janjinya
semula.
"Licik sekali
dia...!" geram Suto Sinting sambil perhatikan ke arah lenyapnya si Pawang
Setan Binal.
Karena tak tega melihat
keadaan Paras Kencani yang masih tetap keluarkan asap dari kulit tubuhnya,
Pendekar Mabuk segera keluar dari persembunyiannya. Kersa Gotri pun mengikuti
dari belakang. Mereka mendekati Paras Kencani yang kesulitan bernapas dengan wajah
pucat pasi.
Melihat kedatangan Suto
Sinting dan Kersa Gotri, Paras Kencani tak punya pilihan lain kecuali mengeluh
kepada mereka,
"Tolong... tolonglah aku.
Jangan biarkan ragaku lumer dan menjadi busuk.... Oh, tol.. tolonglah
aku...!"
Kersa Gotri berkata pelan di
samping Suto, "Kabarnya, racun 'inti Mayat' dapat membuat korbannya
menjadi lumer dan membusuk bagaikan bubur bangkai. Kurasa dia akan menjadi
bubur bangkai dalam waktu tak lama lagi jika tak ada obat yang bisa menawarkan
racun tersebut."
Pendekar Mabuk menggumam
pendek, ia tampak tenang sekali, seolah-olah tak punya perasaan iba sedikit
pun., ia justru menenggak tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...! Setelah
itu baru berjongkok dekati Paras Kencani dan berkata,
"Minumlah tuak ini sebelum
kau menjadi bubur bangkai. Walau belum tentu bisa menyelamatkan jiwamu, tapi
setidaknya kau punya pengalaman pernah meminum tuaknya orang sinting sepertiku
ini! Maukah kau ikut-ikutan sinting denganku?!"
*
* *
3
KERSA Gotri memang membantin,
"Orang mau mati malah diajak sinting bersama. Benar-benar konyol anak
ini." Tapi gerutuan Kersa Gotri menjadi sirna, berganti rasa heran yang
terkagum-kagum manakala Paras Kencani mau meminum tuak saktinya Suto Sinting,
lalu asap yang mengepul dari kulit tubuhnya itu berhenti. Napas demi napas
berikutnya, keadaan Paras Kencani menjadi segar dan merasa bertulang kembali,
ia mampu bangkit berdiri dalam keadaan sehat. Bahkan merasa lebih segar
daripada sebelum bertemu Rangkak Dulang tadi.
"Luar biasa khasiat tuak
itu?" pujinya dalam hati penuh kekaguman yang disembunyikan. Kata hati pun
berlanjut lagi, "Selama ini, setahuku memang tak pernah ada korban yang
mampu hidup jika sudah terkena jurus racun 'Inti Mayat' milik si Rangkak Dulang
itu. Tapi kenyataannya aku bisa selamat dan racun itu tak jadi membusukkan
ragaku setelah minum tuak si ganteng itu. Hmmmm... beruntung sekali aku bertemu
dengannya. Ternyata ia bukan pemuda yang buta perasaan manusiawinya."
Pandangan mata saling beradu
dalam jarak empat langkah. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis sebagai
keramahan yang selalu menghiasi wajah tampannya. Dalam keadaan begitu,
ketampanannya menjadi bertambah memikat hati lawan jenisnya. Tak heran jika
Paras Kencani menarik napas secara diamdiam dan menahan perasaan gundah di
dalam hatinya yang seolah-olah ditaburi aneka bunga itu.
"Terima kasih atas
pertolonganmu. Aku berhutang nyawa padamu, Pendekar muda!"
"Namaku Suto
Sinting," ucap Pendekar Mabuk dengan kalem, namun bernada sedikit wibawa.
"Sepertinya aku pernah
mendengar nama itu," gumam Paras Kencani bagaikan bicara pada dirinya
sendiri.
"Apakah kau orang
Perguruan Pasir Pitu?" "Benar. Dari mana kau tahu, Suto
Sinting?"
"Kersa Gotri yang
mengatakan begitu padaku," jawab Suto sambil melangkah menyamping berlagak
memandang ke arah lain.
Lanjut Suto lagi, "Kami
tahu kau orang Perguruan Pasir Pitu, tapi kami tidak tahu apa alasanmu
mengikuti langkah kami sejak tadi."
Paras Kencani menarik napas
menutupi rasa malunya, ia buang muka sebentar sambil mempertimbangkan
jawabannya. Dalam hati sempat terucap kata,
"Sebaiknya aku bicara
terus terang saja pada mereka."
Lalu, mulutnya yang berbibir
indah itu pun bergerakgerak lontarkan kata dengan nada tegas, pandangan matanya
tertuju ke arah Suto Sinting dan Kersa Gotri secara berganti-gantian.
"Aku mengenali Kersa
Gotri sebagai orangnya Prabu Dasawalatama. Ketika ia mengumumkan sayembara itu,
aku tertarik dan segera mengikutinya secara diam-diam, karena aku tak tahu di
mana negeri Kincir Bantala berada."
"Jadi kau ingin mengikuti
sayembara itu?" potong Kersa Gotri. "Kau bisa menghidupkan jenazah
mendiang Kanjeng Prabu?!"
"Aku bukan sang Pembeli
Hidup," jawab Paras Kencani bernada tegas. "Aku hanya seorang guru
dari sebuah perguruan yang sudah dihancurkan oleh Rangkak Dulang. Tapi aku
mempunyai tujuan yang sama dengan Sunggarini, putri Dasawalatama itu."
"Tujuan sama bagaimana
maksudmu?"
"Aku juga ingin
menghidupkan murid-muridku yang telah dibantai oleh si Pawang Setan Binal itu.
Karenanya aku segera pergi untuk mencari di mana Dasawalatama berada, karena
sesungguhnya aku adalah sahabat Dasawalatama semasa mudanya."
"Hahh...?!" Kersa Gotri terkejut, demikian pula Suto Sinting yang
memandang tajam dengan dahi berkerut.
"Kalau begitu usiamu sama
dengan Kanjeng Prabu Dasawalatama?"
"Benar, usiaku sejajar
dengan Dasawalatama." "Gila!" gumam Kersa Gotri. "Usia
delapan puluh
tahun seperti usia dua puluh
tujuh tahun! Pasti memakai ilmu awet muda!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil tetap memandang ke arah Paras Kencani. Yang dipandang menjadi semakin
gundah, hati berbunga-bunga resah, akhirnya mencoba alihkan pandangan ke arah
lain.
"Apa hubungannya Prabu
Dasawalatama dengan niatmu yang ingin menghidupkan kembali muridmuridmu
itu?" tanya Suto Sinting memecah keheningan yang terjadi selama empat
helaan napas itu.
"Dasawalatama bersahabat
akrab dengan tokoh dari puncak Bukit Wangi yang bernama Galak Gantung "
"Siapa?! Galak
Gantung...?!" Suto Sinting tersentak kaget, karena ia pun kenal betul
dengan tokoh yang menjadi sahabat karib gurunya itu (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pusaka Bernyawa").
"Apakah kau juga mengenal
si Galak Gantung?" "Aku
sangat kenal dengan
beliau, karena beliau
adalah sahabat guruku. Tapi apa hubungannya dengan
niatmu tadi?"
"Dulu aku pernah
mendengar Galak Gantung menitipkan sebuah pusaka kuno kepada Dasawalatama.
Pusaka itu milik keturunan Nyai Parisupit. Pusaka itu bernama: Panji-panji
Mayat atau Panji-panji Dewa. Pusaka itu dapat menghidupkan kembali orang yang
telah mati. Bahkan jika pusaka itu dibawa melewati kuburan, maka seluruh
penghuni kuburan akan bangkit mengikuti Panji-panji Mayat dan menjadi pengikut
si pemegang pusaka tersebut."
Hati pemuda tampan berhidung
bangir yang punya badan tinggi dan tegap itu menjadi berdebar-debar. Sebab
selama ini ia memang sedang memburu pusaka Panji-panji Mayat untuk diserahkan
kepada tiga saudara yang menjadi ahli waris terakhir dari keturunan Nyai
Parisupit. Tiga saudara itu adalah Dewi Hening, Dewi Kejora dan Dewi Menik.
Namun sampai sekarang Pendekar Mabuk masih belum mengetahui siapa orang yang
dititipi pusaka itu sebenarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Utusan Raja iblis").
"Jadi, menurutmu Galak
Gantung adalah orang yang dipercaya untuk menyimpan pusaka Panji-panji Mayat,
lalu pusaka itu dititipkan kepada Prabu Dasawalatama?!" ujar Suto Sinting
ingin meyakinkan kesimpulan hatinya.
"Benar," jawab Paras
Kencani. "Sebab setahuku, Dasawalatama mempunyai ruang rahasia yang tak
bisa dimasuki pencuri mana pun dan tak seorang pun walau kesaktiannya sangat
tinggi bisa memasuki ruangan tersebut. Hanya Dasawalatama yang bisa memasuki
ruangan rahasia Itu. Aku yakin pusaka tersebut tersimpan di dalam ruang rahasia
itu."
"Tak mungkin,"
sangkal Kersa Gotri secara tiba-tiba. "Jika Prabu Dasawalatama menyimpan
pusaka Panjipanji Mayat, tentunya Gusti Ayu Sunggarini tidak perlu membuka
sayembara untuk menghidupkan kembali ayahandanya. Pasti Gusti Ayu akan
menggunakan pusaka Panji-panji Mayat itu untuk menghidupkan kembali
ayahandanya."
"Masuk akal sekali
pemikiran Kersa Gotri itu," kata Suto kepada Paras Kencani.
"Justru aku ingin ke
negeri Kincir Bantala untuk menemui Sunggarini setelah kudengar Dasawalatama
telah mangkat. Aku perlu mengingatkan anak gadis si Dasawalatama itu tentang
adanya pusaka tersebut. Tentunya aku pun ingin meminta bantuan padanya untuk
membangkitkan jenazah murid-muridku yang sebagian besar masih kusimpan dalam
ruangan hampa udara."
Pendekar Mabuk merasakan ada
kebenaran dalam pemikiran Paras Kencani, ia sempat menjadi bingung sendiri
menentukan langkah berikutnya.
Kersa Gotri segera berkata,
"Kalau begitu, sebaiknya kita bersama-sama menghadap Gusti Ayu Sunggarini
untuk membicarakan pusaka tersebut!"
Suto Sinting beradu pandangan
mata sebentar dengan Paras Kencani, setelah itu terdengar suaranya bernada
lembut.
"Tak ada pilihan lain
yang lebih baik kecuali mengikuti saran Kersa Gotri."
Maka perjalanan menuju negeri
Kincir Bantala dilanjutkan kembali. Kali ini Kersa Gotri berjalan paling depan
sebagai pemandu, sementara Suto dan Paras Kencani berjalan di belakangnya dalam
jarak empat langkah. Kersa Gotri bagaikan memberi kesempatan kepada kedua insan
itu untuk saling lebih mengakrabkan diri, karena ia merasakan adanya pandangan
aneh dari tiap tatapan mata Paras Kencani kepada Pendekar Mabuk.
"Aku memang
mengaguminya," ujar Paras Kencani dalam hatinya. "Bahkan... aku
tertarik padanya. Tapi aku harus tetap menjaga wibawaku sebagai seorang guru
dari sebuah perguruan, walau perguruanku itu sekarang dalam keadaan hancur. Aku
harus bisa menyimpan perasaan ini sampai kutahu bagaimana sikap sejatinya
terhadapku. Bila perlu akan kusimpan selamanya, tak perlu pemuda itu
mengetahuinya."
Pendekar Mabuk perlambat
langkah karena ia harus meneguk tuaknya. Anehnya, secara tidak sadar langkah
kaki Paras Kencani pun ikut-ikutan berhenti, seakan ia tak ingin Pendekar Mabuk
ketinggalan langkah.
"Kuperhatikan sejak tadi
kau sebentar-sebentar menenggak tuakmu, tapi tak kulihat kau menjadi mabuk.
Kapan kau akan mabuk sebenarnya?" tanya Paras Kencani yang merasa heran
melihat Suto Sinting tetap segar dan gagah walau minum tuak cukup banyak.
"Aku tak pernah mabuk
kecuali sedang dalam pertarungan," jawab Suto Sinting sambil sunggingkan
senyum yang jelas maknanya bagi Paras Kencani.
"Barangkali kau termasuk
"
"Awaaass...!" sentak
Suto Sinting sambil menarik lengan Paras Kencani. Perempuan itu dibawanya
berguling ke tanah dengan gerakan cepat. Wuuutt...!
Rupanya pada saat itu mata
jeli Pendekar Mabuk melihat kilatan benda yang melayang dari berbagai arah.
Benda-benda kemilau itu menyerang mereka dari berbagai penjuru, seakan
mengepung gerakan mereka. Beruntung sekali Suto Sinting punya gerakan
naluri yang cukup tinggi, sehingga
mereka berdua lolos dari lempengan logam berbentuk piringan bergerigi.
Tetapi naas bagi Kersa Gotri
yang tak sempat menghindar dan jauh dari jangkauan tangan Pendekar Mabuk. Dua
piringan bergerigi menghantam leher dan punggungnya.
Zing, zing, zing, ziing...!
Cras, craaabs...!
"Aaahk...!" Kersa
Gotri terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya limbung dengan leher terkoyak
nyaris terpotong.
"Kersaa...! Kersaaa.
!" teriak Pendekar Mabuk yang
menjadi tegang melihat Kersa
Gotri terkapar berlumur darah, ia bergegas hampiri Kersa Gotri, tetapi tiba-tiba
tiga piringan bergerigi melayang bersamaan dari kanan, kiri, dan belakangnya.
Zing, zing, ziiing !
"Awass. !" pekik
Paras Kencani yang segera lakukan
lompatan dari keadaan duduk.
Wuuusss...! Traang, blaaarr !
Piringan bergerigi yang hendak
menghantam punggung Suto Sinting berhasil ditebas dengan pedangnya. Tebasan itu
bukan saja menimbulkan suara nyaring dan memancarkan bunga api, namun juga
menimbulkan ledakan yang mempunyai daya hentak cukup kuat. Tubuh Paras Kencani
sendiri terpental balik dan berguling-guling di semak ilalang.
Sementara itu Pendekar Mabuk
segera lakukan gerakan mirip orang mabuk; tubuhnya miring ke kiri seperti mau
tumbang, namun tangannya cepat hantamkan bumbung tuak ke arah piringan yang
datang dari arah kanannya. Traak...! Zzziiing...!
Piringan yang datang dari kiri
berhasil dihindari, sedangkan piringan yang dihantam dengan bambu tuaknya
memantul balik dengan lebih cepat dari gerakan terbang aslinya. Piringan
bergerigi yang berbalik arah itu menghantam sebatang pohon besar.
Jegaaar...!
Ledakan cukup dahsyat terjadi
akibat benturan senjata bergerigi dengan batang pohon. Ledakan itu membuat
batang pohon retak hebat, daun-daunnya berguguran dan beberapa dahannya patah
dengan mengepulkan asap. Batang pohon itu sendiri menjadi hangus bagai habis
disambar petir.
"Kejadian itu membuat
pemilik senjata menjadi terbengong melompong, karena tak menduga senjatanya
dapat menimbulkan kekuatan sedahsyat itu. Bahkan si pemilik senjata sempat
bergumam dalam hati dari persembunyiannya,
"Edan! Biasanya senjata
itu hanya bisa memotong sebagian batang pohon dan menjadikan pohon terkelupas
kulitnya. Tapi mengapa sekarang senjata 'Cakra Terbang' telah membuat pohon itu
bagai disambar sepuluh petir murka?!"
Pendekar Mabuk tak jadi dekati
Kersa Gotri, karena setelah itu dari kerimbunan semak muncul beberapa orang
berpakaian hitam dengan garis-garis merah. Mereka muncul dari berbagai arah,
sehingga keadaan Pendekar Mabuk dan Paras Kencani menjadi terkurung. Mereka
yang mengurung telah menggenggam senjata masing-masing yang bukan dari
lempengan piring bergerigi. Tetapi di pinggang masing-masing masih tampak
tersimpan senjata piring bergerigi yang sewaktuwaktu dapat digunakan sebagai
pengganti pedang atau golok pegangan mereka.
"Hati-hati, tampaknya
mereka cukup ganas!" bisik Pendekar Mabuk kepada Paras Kencani. Tapi
perempuan itu membalas bisikan dengan suara tenangnya.
"Aku tahu, mereka adalah
orang Kadipaten Pusar Langit. Mereka pasti menyangka kita memihak Kincir
Bantala."
"Jika begitu, kita harus
bagaimana, menurutmu?!" "Sudah telanjur begini, sulit dihindari.
Hadapi saja
mereka!"
"Aku setuju sekali!"
gumam Suto Sinting. "Tapi sebaiknya biarkan aku sendiri yang menghadapi
mereka. Mundurlah dan lindungi si Kersa Gotri."
"Percuma, dia sudah tidak
bernyawa."
"Ooh... celaka!"
geram Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi orang-orang yang mengepungnya.
Jumlah mereka ada sepuluh orang, dan masing-masing mempunyai sorot pandangan
mata sangat bermusuhan. Tapi agaknya Suto Sinting ingin mencoba untuk
mengurangi timbulnya korban sia-sia dengan mencoba berunding secara baik-baik.
Salah seorang dari mereka,
yang berkalung tali hitam dengan bandul logam perak berbentuk bunga matahari
itu berseru memberikan perintah kepada yang lain. Agaknya orang berkalung perak
dan berkumis lebat itu adalah ketua kelompok tersebut.
"Bunuh mereka berdua!
Jangan ada yang tersisa!" "Tunggu!" sentak
Suto Sinting sambil
mengangkat
bumbung bambu yang talinya
melilit di tangan kanan. "Kalian salah duga. Kami berdua bukan orang Kincir
Bantala. Kami hanya akan
menjadi tamu di sana!" "Persetan
dengan alasan kalian!
Seorang tamu bagi
Kincir Bantala adalah seorang
musuh juga bagi Pusar Langit!"
"Kalau begitu kau saja
yang berhadapan denganku. Mengapa harus mengajukan anak buahmu? Apakah kau
takut mati lebih dulu dari anak buahmu?!" kata Suto Sinting sengaja
memancing kemarahan orang berkumis lebat itu. Orang tersebut menyeringai dengan
menggeram marah.
"Bangsat kau!
Heeeaat...!"
Wuuuss...! Orang berkumis itu
melompat maju dengan pedang menebas cepat. Sasarannya adalah leher Pendekar
Mabuk yang akan dipenggal seperti Kersa Gotri itu.
Tetapi Pendekar Mabuk bergerak
limbung seperti orang mabuk mau jatuh. Tiba-tiba gerakannya yang miring ke kiri
itu terhenti dan kakinya berkelebat cepat, lakukan tendangan memutar
bersama-sama diputarnya tubuh, sedangkan bumbung tuaknya dihentakkan melintang
di atas kepala hingga pedang itu tertahan. Traang...! Beehg...!
"Ouh...!" orang itu
memekik, pinggangnya terkena tendangan keras yang membuat napasnya bagai
tersumbat dalam beberapa saat. Tubuh orang berkumis itu terpental ke samping
dan terguling-guling. Suto Sinting cepat sentakkan bumbung tuaknya ke tanah,
lalu tangannya bertumpu ujung bumbung dan menghentak, sehingga tubuhnya
melayang berjungkir balik di atas bumbung tuak itu, Wuuukk...!
Ketika ia mendaratkan kakinya
di depan orang berkumis yang baru saja hendak berdiri, bumbung tuaknya ikut
terbawa melambung dan dihantamkan ke arah pundak lawan. Wuung...! Duuggh...!
Krraakk...!
Terdengar suara tulang patah
dengan jelas sekali. Orang berkumis menjerit sekuat tenaga dengan tubuh
terkulai tak berdaya.
"Aaaa...!"
Mulutnya yang menganga
keluarkan darah akibat pukulan bumbung bertenaga dalam cukup tinggi. Suto
Sinting segera menginjak tangan kanan orang itu hingga pedangnya tak bisa
digunakan untuk menebas. Bumbung tuak telah diangkat tepat di atas kepala orang
yang jatuh telentang itu. Para pengepung lainnya bergerak maju, tapi segera
tertahan begitu mendengar suara seruan Suto Sinting.
"Satu orang maju,
kutumbuk hancur kepala ketua kalian ini!"
Rupanya mereka takut dengan
ancaman Suto yang secara diam-diam dikagumi dalam hati masing-masing. Akibat
ancaman itu, mereka mundur pelan-pelan dengan wajah tegang.
"Buang senjata kalian!
Buang semua!" seru Suto Sinting dengan wajah menampakkan seakan
benar-benar ingin menumbuk kepala orang berkumis yang mengerang tak berdaya.
Mereka membuang semua senjata,
termasuk sisa senjata di pinggang masing-masing berupa piring bergerigi.
"Semua berkumpul di
depanku!" perintah Suto Sinting dengan mata memandang tajam pada tiap-tiap
wajah. Perintah tersebut dituruti oleh mereka demi keutuhan kepala ketua
mereka.
"Sekali kuingatkan kepada
kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Kami hanya orang-orang yang ingin
datang bertamu untuk suatu keperluan. Jika kalian memusuhi kami, itu adalah
tindakan yang amat keliru! Kalian bisa mati tanpa guna!"
Masing-masing wajah dipandangi
lagi dengan sorot pandangan mata yang tajam. Paras Kencani sejak tadi hanya
diam, memasang kuda-kuda sebagai sikap siaga, tapi memberi peluang kepada Suto
Sinting untuk bertindak sekehendak hatinya. Mata perempuan itu pun memandang
sekeliling dengan jeli dan penuh waspada.
Karenanya, ketika orang
berkumis yang mengerang dalam keadaan sekarat itu berusaha mencabut pisau kecil
dari pinggangnya dan ingin ditancapkan ke betis Suto Sinting, dengan cepat
Paras Kencani lepaskan pukulan tenaga dalam berupa selarik sinar biru dari
kedua ujung jarinya. Claaap...! Sinar biru sebesar kelingking itu melesat dan
mengenai tangan kiri orang berkumis. Zuuub...! Prraak...!
"Aaaauh...!"
Orang berkumis itu semakin
memekik tinggi dan panjang karena sinar biru itu telah membuat pergelangan
tangan hancur hingga tangan kirinya tidak bertelapak tangan lagi.
Rupanya sinar biru itu bukan
hanya kenai tangan saja, melainkan, sebagian sinarnya ada yang mengenai mata
kiri, sehingga mata itu pun hancur mengerikan dan akhirnya orang tersebut tak
mampu keluarkan teriakan lagi. Ia menghembuskan napas terakhir setelah lima
helaan napas terhitung sejak putusnya tangan kiri itu.
Hahhh..?! Mahesa Bakor
mati?!" salah satu dari mereka berseru tertahan karena menjadi lebih
tegang lagi.
Pendekar Mabuk sendiri
sebenarnya kecewa, karena ia tidak bermaksud membuat orang berkumis itu mati.
Tetapi karena keadaan sudah telanjur begitu, maka ia segera berseru kepada
orang-orang kadipaten itu.
"Jika kalian tak segera
pulang, maka kalian akan alami nasib seperti orang ini!" Prajurit-prajurit
kadipaten yang tergolong kelas menengah itu menjadi ketakutan. Sebab setahu
mereka, orang bernama Mahesa Bakor itu adalah orang berilmu tinggi yang jarang
terkena pukulan lawan. Jika sekarang Mahesa Bakor tumbang dalam waktu sesingkat
itu, maka mereka berkesimpulan bahwa lawan mereka itu orang berilmu tinggi.
Dengan alasan melaporkan kepada sang Adipati, mereka pun akhirnya melarikan
diri tanpa memungut senjata masing-masing.
"Mestinya tak perlu harus
sampai mati," ujar Suto Sinting dengan suara tenang kembali.
Paras Kencani menjawab masih
dengan nada ketus. "Daripada ia melukaimu lebih baik kehilangan nyawa!
Apakah kau tak suka dengan tindakanku itu?!"
Sebaris napas ditarik dan
dihembuskan lepas-lepas. "Ya, sudahlah! Tak perlu dimasalahkan lagi. Yang
menjadi masalah sekarang adalah bagaimana kita bisa sampai ke negeri Kincir
Bantala jika penunjuk jalan kita telah tak bernyawa?!"
"Kita cari semampu kita.
Tak mungkin kita tak berhasil menemukan negeri Kincir Bantala!"
"Seingatku, tadi Kersa
Gotri berkata, kita akan menerabas hutan seberang lembah ini, memotong jalan
lewat sana. Apakah kau tidak keberatan menerabas hutan lebat itu?!"
"Bersamamu tak pernah ada
pekerjaan yang memberatkan bagiku. Apa pun akan kulakukan selama masih
bersamamu," sambil matanya menatap lekat-lekat ke wajah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis dan keluarkan gumam lirih,
"Aneh...!" ia
menahan geli dengan membuang muka ke arah lain.
*
* *
4
SEBUAH desa tak seberapa luas
dan hanya dihuni oleh beberapa puluh penduduk telah menjadi tempat persinggahan
perjalanan Pendekar Mabuk. Petang yang meremang menuju malam, bagai mulut
raksasa siap menelan bumi. Sebuah kedai menjadi sasaran sementara perjalanan
Pendekar Mabuk dan Paras Kencani.
"Kedai ini tampak
sepi-sepi saja," bisik Paras Kencani kepada Suto Sinting saat ia mulai
duduk di bangku panjang itu.
"Suasana desa juga terasa
lengang," timpal Suto Sinting. "Hanya sedikit orang yang keluar
rumah, padahal kita masih di ujung petang, belum memasuki pertengahan
malam."
Pemilik warung yang bertubuh
kurus dan agak jangkung itu menyajikan pesanan mereka. Tentu saja Suto Sinting
memesan sepoci arak lebih dulu setelah itu baru menambah bumbungnya dengan tuak
yang baru.
"Mengapa suasananya
sepi-sepi saja, Pak Tua?" tanya Paras Kencani.
"Memang beginilah keadaan
desa kami sejak peristiwa itu." "Peristiwa apa?!" sambar Suto
Sinting menjadi penasaran.
"Peristiwa pembantaian
yang terjadi setiap malam, selama tujuh malam berturut-turut."
Pendekar Mabuk saling beradu
pandang dengan Paras Kencani. Dahi mereka sama-sama berkerut menandakan rasa
heran terhadap kabar tersebut. Lalu, Suto Sinting ajukan tanya kepada Pak Tua
pemilik kedai,
"Pembantaian apa
sebenarnya, Pak Tua?"
"Entahlah," jawab
Pak Tua dengan wajah murung. "Keponakanku yang lelaki pun menjadi korban.
Darahnya bagai dihirup habis oleh si pembantai malam. Kebanyakan para korban
adalah lelaki dan mengalami pengeringan darah."
"Pantas masih sesore ini
mereka jarang berani keluar rumah," gumam Paras Kencani.
"Tentu saja mereka takut
malam Iii terjadi pembantain lagi," kata Pak Tua. "Yang lebih
menyedihkan lagi, pembantain itu dilakukan secara terang-terangan, artinya
walau ada saksi mata yang melihat kejadian itu, si pembantai tak menggubrisnya
sama sekali."
"Seorang ibliskah
dia?" tanya Paras Kencani.
"Aku kurang paham tentang
dia. Hanya saja, beberapa orang yang menjadi saksi mata memberi keterangan yang
sama, bahwa si pembantai itu adalah seorang perempuan cantik. Beberapa orang
dari mereka ada yang mengatakan, bahwa perempuan itu adalah orang yang dikenal
dengan nama Perawan Titisan Peri." "Kucing Hutan!" sentak Suto
seketika begitu mendengar nama Perawan Titisan Peri. Ia segera ingat tentang
seorang perempuan cantik yang tinggal di Lembah Meong, karena ia memang pernah
berhadapan dengan perempuan yang berpakaian seronok itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
"Aku juga pernah
mendengar nama itu," kata Paras Kencani. "Tapi aku belum pernah
beradu muka dengan si Perawan Titisan Peri itu. Hanya saja, aku pernah
mendengar kabar bahwa perempuan aliran hitam itu berilmu tinggi dan mempunyai
kegemaran meminum darah lelaki."
"Kabar yang kudengar juga
begitu," kata Pendekar Mabuk. "Sejujurnya kukatakan padamu, bahwa
perjalanan kali ini sebenarnya dalam upaya memburu si Kucing Hutan alias
Perawan Titisan Peri."
Paras Kencani tampak
terperanjat sesaat, matanya memandang Suto Sinting lebih lekat lagi. Tanpa
diminta untuk menjelaskan, Pendekar Mabuk lebih dulu menceritakan peristiwa
pertemuannya dengan Perawan Titisan Peri. Paras Kencani menjadi lebih
terperanjat, karena Perawan Titisan Peri ternyata ada hubungannya dengan
persoalan Pusaka Panji-panji Mayat.
"Dia memburu pusaka itu,
dan tampaknya memang bernafsu sekali untuk memilikinya," ujar Suto Sinting
yang segera meneguk tuak dari cangkirnya.
"Rupanya kau pun termasuk
orang yang memburu pusaka Panji-panji Mayat!" kata Paras Kencani bernada
sesal yang terlalu kentara.
"Usahaku memburu pusaka
itu bukan untuk kumiliki. Aku hanya sekadar membantu keturunan Nyai Parisupit,
yakni Dewi Hening, Dewi Kejora, dan Dewi
Menik. Saat ini mereka berada di Lembah Sunyi, di kediaman Resi Wulung
Gading. Mereka sengaja kusarankan untuk tetap di Lembah Sunyi, sementara aku
berusaha mendapatkan pusaka itu untuk kuserahkan kepada mereka. Tapi sampai
saat ini, aku belum tahu secara pasti siapa penyimpan pusaka kuno itu
sebenarnya."
Paras Kencani diam termenung,
entah apa yang berkecamuk dalam benaknya. Yang jelas di antara mereka berdua
terjadi kebisuan, sampai akhirnya datang seorang tamu kedai berambut uban. Dia
adalah seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, mengenakan
jubah merah kusam dengan ikat kepala pada rambutnya yang panjang sebahu
berwarna hitam. Tokoh tua itu menggenggam tongkat setinggi pundak dengan ujung
tongkat berbentuk tengkorak monyet.
Ia duduk dengan tenang, agak
jauh dari tempat duduk Suto Sinting dan Paras Kencani. Lelaki tua bertubuh
kurus itu memesan sepoci arak merah yang harganya cukup mahal dan hanya sedikit
dimiliki oleh si pemilik kedai. Pendekar Mabuk sengaja memandang ke arah tokoh
tua yang duduk memunggmginya itu, tetapi Paras Kencani berpura-pura tidak
melihat kehadiran tokoh tua tersebut. Bahkan, perempuan itu bagaikan enggan
untuk palingkan wajah ke arah si tokoh tua. Namun saat orang itu tadi memasuki
kedai, sepasang mata bening Paras Kencani sempat menatapnya sekilas, lalu
buru-buru palingkan wajah.
"Melihat penampilannya
yang tenang dan berkharisma, aku yakin ia bukan tamu kedai biasa. Pasti ia
seorang tokoh berilmu tinggi," bisik Suto Sinting kepada Paras Kencani.
Wajah perempuan itu tampak menyimpan kegelisahan, namun berusaha untuk tetap
tenang dan acuh tak acuh atas kehadiran tokoh berjubah merah itu.
Paras Kencani sempat berkata
dalam nada membisik, "Lupakan tentang dia."
"Hei, ada apa dengan
dirimu? Mengapa kau sepertinya tak mau memandang ke arahnya? Apakah kau
mengenalnya, Paras Kencani?"
Paras Kencani tidak langsung
menjawab, ia melirik pedangnya yang digeletakkan di atas meja, tepat di samping
kanannya. Di wajah cantiknya semakin terlihat keresahan yang berusaha ditutup
rapat-rapat dengan ketenangan. Tetapi Pendekar Mabuk yang memperhatikan
wajahnya sejak tadi tak bisa dibohongi oleh ketenangan palsunya. Pendekar Mabuk
mengetahui ada sesuatu yang tak beres dan menggundahkan hati Paras Kencani,
karenanya ia mendesak kembali dengan pertanyaan yang sama,
"Siapa orang itu
sebenarnya, Paras Kencani?! "Ia dikenal dengan nama: Duta Raja."
"Mengapa kau tampak cemas
sejak kehadirannya?
Apakah Duta Raja itu
musuhmu?!"
Paras Kencani meneguk
minumannya satu kali. Ia bicara tanpa memandang Suto dan bersuara pelan, hingga
Pendekar Mabuk perlu memasang pendengarannya tajam-tajam.
"Dia pernah menjadi
kekasihku. Dulu kami ingin hidup bersama. Tapi setelah kutahu dia adalah pengikut
aliran Rangkak Dulang, maka kuputuskan hubungan cinta kasih kami sampai
sekarang."
"Jadi... jadi dia
muridnya Pawang Setan Binal?"
"Dia sahabat karibnya
Pawang Setan Binal. Sampai sekarang kurasa dia masih bersahabat erat dengan
tokoh hitam itu. Kurasa sekarang pun ia dalam upaya mencari kitab yang dulu
diburu Rangkak Dulang. Pengabdiannya kepada Rangkak Dulang akibat sumpahnya
yang berlebihan."
"Sumpah bagaimana?"
desak Suto Sinting semakin ingin tahu.
"Dia pernah hampir mati
terkena pukulan beracun yang sukar disembuhkan. Ketika itu ia bersumpah, barang
siapa bisa selamatkan nyawanya, maka ia akan mengabdi dan bersaudara dengan
orang itu. Ternyata Rangkak Dulang berhasil selamatkan nyawanya dari racun
ganas itu. Maka, jadilah ia sahabat sekaligus pelayan si Pawang Setan Binal
sesuai sumpah dan janjinya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dengan gumam kecil yang nyaris tak terdengar. Matanya melirik sekejap ke arah
Duta Raja, dan terkejut melihat Duta Raja ternyata tidak meletakkan pantatnya
di atas bangku. Pantat Duta Raja mengambang di atas bangku, namun tetap dalam
keadaan seperti duduk menempel pada bangku.
"O, rupanya ia ingin
pamer diri padaku bahwa ia berilmu tinggi. Tapi apa perlunya ia pamer ilmu
padaku? Apakah karena ia cemburu melihatku berduaan dengan Paras Kencani?"
pikir Suto Sinting sambil sunggingkan senyum tipis nyaris tak kentara. Pendekar
Mabuk tetap tenang, meneguk tuaknya dari cangkir dengan santai sekali. Duduknya
semakin merapat mendekati Paras Kencani, seakan biar tampak mesra.
Pergeseran duduk itu membuat
Paras Kencani merasa aneh dan heran, lalu ia melirik Pendekar Mabuk dengan
curiga. Bahkan ia berbisik lirih sekali,
"Apa maksudmu merapatkan
diri padaku?"
"Aku ingin tahu apa
maksudnya datang ke kedai ini. Sekadar kebetulan saja atau sengaja menguntitmu
sejak tadi?"
"Ah, Suto... jangan
memancing kemarahannya, aku bingung berpihak. Selama ini aku berusaha
menghindari pertikaian dengannya. Aku tak mau melawannya, namun juga tak ingin
diganggunya lagi."
"Apakah kau masih sayang
padanya?"
"Aku memang tidak
membencinya, Suto. Tapi aku juga tidak ingin didekati olehnya selama ia masih
menjadi pengikut Rangkak Dulang. Apalagi kau tahu sendiri, Rangkak Dulang
hampir saja membunuhku dengan racun 'Inti Mayat'-nya, aku semakin tak mau
berurusan dengan Duta Raja."
"O, ya... aku lupa
menanyakan sebuah kitab pusaka yang dikehendaki oleh si Pawang Setan Binal itu.
Tentunya kau tidak keberatan menceritakan tentang kitab pusaka yang kalian
perebutkan itu."
"Aku keberatan!"
jawab Paras Kencani secara tegas dan jelas. Bahkan ia sempatkan diri menatap
lekat-lekat ke wajah pemuda tampan di samping kanannya itu.
Suto Sinting menjadi sedikit
salah tingkah, tapi ia segera menutupi perasaannya itu dengan sebuah penjelasan
yang merupakan alasan dari rasa ingin tahunya.
"Maksudku, jika aku tahu
nama kitab pusaka itu, barangkah aku lebih bisa membantumu menyelamatkan diri
dari ancaman Rangkak Dulang."
"Bagiku kitab itu sangat
pribadi, Suto."
"Baiklah, mungkin memang
sangat pribadi. Tapi apakah kau benar-benar menyimpan kitab pusaka itu? Jika
memang tidak, mungkin aku akan mengambil sikap lain dalam menghadapi Rangkak
Dulang. Tapi jika kau benar-benar menyimpan kitab pusaka itu, maka aku akan
bertindak lebih tegas lagi terhadap Pawang Setan Binal itu. Dan yang perlu
diketahui, benarkah kau pemilik kitab pusaka tersebut? Atau kau mempertahankan
kitab itu untuk kepentingan pribadimu sendiri?"
Tiba tiba terdengar suara yang
menyahut dari belakang mereka,
"Aku tahu di mana kau
sembunyikan kitab itu, Paras Kencani!"
Pendekar Mabuk dan perempuan
cantik dari Perguruan Pasir Pitu itu terkejut mengetahui Duta Raja sudah ada di
belakang mereka. Kehadirannya bagaikan hantu yang tahu-tahu menjelma tanpa
suara dan tandatanda apa pun. Pendekar Mabuk cepat pandangi wajah Duta Raja
yang tampak dingin tapi memancarkan kecemburuan. Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum nyengir sambil sedikit bergeser jauhi Paras Kencani.
Dengan wajah ketus Paras
Kencani segera buang muka, namun mulutnya lontarkan kata-kata untuk Duta Raja,
"Apa perlumu ikut campur
dalam percakapan kami?!' "Aku hanya ingin mengingatkan dirimu, bahwa
Rangkak Dulang tetap akan memburumu walau kau berhasil selamat dari racun 'Inti
Mayat' itu. Karena setahu Rangkak Dulang, kaulah pencuri kitab pusaka
tersebut!"
"Persetan dengan apa pun
yang akan kalian perbuat pada diriku! Aku sudah siap menghadapi kalian
berdua!" tegas Paras Kencani, namun tetap tak mau memandang langsung ke
arah Duta Raja.
"Jangan libatkan aku
dalam urusan kitab pusaka itu. Sekalipun aku tahu di mana kau menyimpan kitab
tersebut, namun aku akan berlagak tidak mengetahuinya. Semua kulakukan dengan
menghormati masa mudaku dan peristiwa indah yang pernah kita alami."
"Lupakan tentang
peristiwa dan masa mudamu itu! Semua kuanggap lelah musnah ditelan zaman. Jika
kau ingin membantu Rangkak Dulang untuk memperoleh kitab itu, kau boleh saja
beradu kesaktian denganku! Kapan pun kau mau, aku siap menghadapimu atau si
Pawang Setan Binal itu!"
Kali ini Paras Kencani memang
mengadu pandangan mata dengan Duta Raja untuk menunjukkan sikap permusuhannya.
Keadaan Paras Kencani pun telah berdiri di luar bangku, tangan kirinya telah
menggenggam pedang yang sewaktu-waktu siap dicabut untuk melawan Duta Raja.
Tetapi dalam hatinya masih timbul rasa tak tega jika harus melukai mantan
kekasih itu. Duta Raja sendiri hanya diam saja dengan tongkat di tangan kanan.
Pandangan matanya yang berkesan dingin itu belum mau lepas dari wajah Paras
Kencani.
Kesunyian yang mengandung
ketegangan itu tiba-tiba buyar oleh suara jeritan dari luar kedai.
"Aaaa...!"
Semua terkejut, termasuk Pak
Tua pemilik kedai. Wajah Pak Tua menjadi pucat pasi dan lebih tegang lagi,
karena ia segera berkata bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Pasti korban si Perawan
Titisan Peri itu!" Mendengar ucapan Pak Tua, dengan cepat Suto
Sinting melompat tinggalkan
kedai tanpa permisi lagi. Wuuutt...! Paras Kencani terperanjat melihat Pendekar
Mabuk berkelebat cepat, ia segera berkata kepada Pak Tua, pemilik kedai,
"Nanti kami kembali
lagi!"
Wuuutt...! Paras Kencani pun
ikut-ikutan melesat pergi menyusul Suto Sinting, ia tak peduli lagi dengan si
Duta Raja yang merasa dongkol karena ditinggal pergi begitu saja. Paras Kencani
hanya membatin dalam hatinya,
"Jangan sampai Suto
terluka oleh keganasan si Perawan Titisan Peri! Aku tak ingin si tampan itu
celaka!"
Sampai di tempat kejadian,
ternyata yang terbunuh seorang perempuan muda dalam keadaan setengah bugil.
Perempuan itu adalah pengantin baru yang mati terkapar di pelataran rumahnya.
Menurut kabar dari pihak orangtua perempuan itu, seorang perempuan lain telah
membawa lari suami perempuan itu saat mereka berdua sedang di kamar mandi.
"Perempuan itu jelas
perempuan yang kemarin membunuh Sumpana," kata ayah korban. "Dia
adalah si Perawan Titisan Peri!"
"Lari ke arah mana
dia?" tanya salah seorang sesepuh desa.
"Ia berkelebat ke arah
timur dengan cepat bagai menghilang."
Pendekar Mabuk menarik napas
memandang ke arah timur. Dalam benaknya sempat berkata
"Berarti Kucing Hutan
bersembunyi tak jauh dari desa ini. Mungkin ia meninggalkan Lembah Meong karena
suatu alasan tertentu. Tapi... haruskah aku mengejarnya jika keterangan Paras
Kencani itu memang benar, bahwa pusaka Panji-panji Mayat disimpan di ruang
rahasia yang hanya bisa dimasuki oleh mendiang Prabu Dasawalatama?!"
Ada keraguan yang timbul di
hati Pendekar Mabuk. Rasa percaya dengan keterangan Paras Kencani menjadi
berkurang karena suatu pertimbangan yang baru saja muncul dalam otaknya.
"Saat Paras Kencani
dipaksa oleh Rangkak Dulang untuk serahkan kitab pusaka, ia mengatakan kitab
itu ada di tangan Perawan Titisan Peri. Tetapi saat kusebutkan nama Perawan
Titisan Peri, ia mengaku pernah mendengar nama itu namun belum pernah bertatap
muka dengan Perawan Titisan Peri. Mana yang benar? Jika memang kitab itu ada di
tangan Perawan Titisan Peri, tentunya Paras Kencani pernah beradu muka dengan
perempuan peminum darah itu. Mengapa ia harus berbohong padaku?!"
*
* *
5
TOKOH tua berjubah merah kusam
muncul di tempat pembunuhan. Kala itu Pendekar Mabuk sedang bergegas untuk
kembali ke kedai. Tetapi belum jauh dari rumah korban sudah berpapasan dengan
Duta Raja.
Sikap dari Duta Raja yang
berhenti di depan langkah Pendekar Mabuk menimbulkan kecurigaan tersendiri bagi
pemuda tampan itu. Dengan tetap menjaga ketenangan sikapnya, Pendekar Mabuk
sengaja hentikan langkah tiga tindak di depan Duta Raja. Cahaya rembulan
samar-samar menyinari wajah-wajah mereka.
"Ada yang ingin
kubicarakan padamu, Anak muda," kata Duta Raja dengan nada tak ramah.
"Apakah kau ingin bicara
tentang kitab pusaka yang dicari oleh majikanmu; si Pawang Setan Binal itu?!
Kalau benar kau ingin bicara denganku tentang kitab tersebut, sebaiknya
urungkan saja niatmu itu. Aku tak pernah tahu tentang kitab tersebut."
"Ada yang lebih penting
kau dengar dari kitab pusaka itu."
"Katakanlah, aku tak
punya banyak waktu untuk bicara, karena aku tak mau terlalu lama meninggalkan
Paras Kencani."
"Dia sudah pergi dari
kedai!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi,
diliputi perasaan bimbang. Duta Raja berkata lagi dengan suaranya yang juga
bernada dingin.
"Pasti dia pergi searah
dengan kepergian si Perawan Titisan Peri."
"Dari mana kau
tahu?"
"Naluriku mengatakan
demikian," jawab Duta Raja. "Paras Kencani bersekutu dengan Perawan
Titisan Peri. Dia mendapat tugas mencari pusaka Panji-panji Mayat."
Jantung terasa bagai ditarik
seketika. Pendekar Mabuk nyaris tersedak karena kaget mendengar ucapan Duta
Raja tentang Paras Kencani.
Duta Raja sedikit menjauh,
memandang purnama yang mengintip di balik mega. Tapi suaranya terdengar jelas
ke telinga Pendekar Mabuk.
"Rangkak Dulang membantai
habis anak buahnya dan menghancurkan Perguruan Pasir Pitu. Paras Kencani kalah
tanding dengan Rangkak Dulang, lalu bergabung dengan Perawan Titisan Peri. Ada
dua tujuan yang ingin dicapai oleh Paras Kencani. Pertama, ingin meminjam
kekuatan si Kucing Hutan untuk membalas dendam kepada Rangkak Dulang. Kedua,
ingin mendapat perlindungan dari Kucing Hutan untuk mendapatkan Panji-panji
Mayat, karena ia ingin menghidupkan kembali murid-muridnya yang terbantai oleh
Rangkak Dulang."
Duta Raja berpaling memandang
Pendekar Mabuk yang masih tertegun bengong, antara percaya dan tidak mendengar
penjelasan tersebut. Duta Raja mendekati Pendekar Mabuk dan berkata,
"Hati-hati dengan perempuan
itu. Dia bukan saja licin bagaikan belut, tapi juga licik bagaikan ular!"
"Haruskah aku mempercayai
kata-katamu, Duta Raja?"
"Aku tak memaksamu untuk
percaya. Tapi setidaknya kau punya bekal jika kau berhadapan dengan Paras
Kencani lagi. Kusarankan tak perlu temui dia dan lupakan tentang dia! Kau masih
muda, masih punya kesempatan lebih panjang untuk mencari perempuan yang lebih
cantik dari Paras Kencani."
Pendekar Mabuk masih tertegun
di tempat, ia bagai tersihir dan tak bisa berbuat apa-apa ketika Duta Raja
pergi meninggalkannya. Arah kepergiannya menuju ke perbatasan desa. Berarti
Duta Raja tidak kembali lagi ke kedai.
"Benarkah Paras Kencani
bersekutu dengan Perawan Titisan Peri?!" pikir Suto Sinting masih berdiri
di tempat. "Berarti hampir saja aku terkecoh oleh pengakuan perempuan itu.
Mungkin ia ingin memanfaatkan kekuatanku menembus negeri Kincir Bantala untuk
mengambil pusaka Panji-panji Mayat. Barangkali apa yang dikatakan tentang
pusaka tersebut memang benar-benar tersimpan di sebuah kamar rahasia di negeri
Kincir Bantala. Tetapi niatnya bukan hanya untuk menghidupkan kembali
murid-muridnya, melainkan ingin menyerahkan pusaka Panji-panji Mayat kepada
Kucing Hutan. Kurasa, dengan menyerahkan pusaka tersebut, Kucing Hutan bersedia
membalaskan dendam Paras Kencani kepada Rangkak Dulang atau si Pawang Setan
Binal."
Kaki pun mulai melangkah
pelan-pelan sambil benak berkecamuk terus. Saat beberapa langkah lagi sampai di
kedai, Suto Sinting sempat berkata pada dirinya sendiri.
"Aku harus bisa segera
bertemu dengan Gusti Ayu Sunggarini sebelum Paras Kencani tiba di negeri itu.
Aku khawatir Paras Kencani berhasil membujuk Gusti Ayu Sunggarini untuk
menunjukkan kamar rahasia mendiang Prabu Dasawalatama. Jika hal itu terjadi,
besar kemungkinan ia akan menggunakan berbagai cara untuk masuk ke kamar
tersebut dan mengambil pusaka Panjipanji Mayat. Tetapi... ah, lagi-lagi aku
selalu dibuat bingung arah mana yang harus kuambil agar tiba di negeri Kincir
Bantala?!"
Duduk di kedai merenung
sendirian membuat Pak Tua pemilik kedai tertarik untuk mendekatinya. Dengan
hati-hati Pak Tua pemilik kedai mengajak Pendekar Mabuk bicara dengan
mengajukan sebuah pertanyaan, "Perawan Titisan Peri memakan korban lagi,
Nak?" "Benar, Pak Tua."
"Dan teman perempuanmu
juga menjadi korban?"
Pendekar Mabuk memandang tajam
ke arah Pak Tua pemilik kedai.
"Apa maksud pertanyaanmu,
Pak Tua?"
"Sebab kulihat ketika
teman perempuanmu tadi bergegas menyusulmu, si tua bangka berjubah merah itu
juga berkelebat menyusulnya. Aku khawatir teman perempuanmu menjadi sasaran si
jubah merah."
"Mengapa kau berkata
begitu?"
"Karena menurut dugaanku,
si jubah merah adalah teman si pembantai yang haus darah itu. Setiap kali akan
terjadi korban pembantain selalu diawali dengan kemunculan si jubah merah
tadi."
"Maksudmu... Duta Raja
itu?!"
"Aku tak tahu namanya.
Tapi sudah empat kali dia selalu muncul di kedaiku, dan beberapa saat kemudian
terjadilah pembantain yang dilakukan oleh Perawan Titisan Peri. Jika bukan
karena kerja sama, mengapa kemunculannya selalu bertepatan dengan peristiwa
pembantain itu?"
"Edan!" geram Suto
Sinting dalam hati sambil garukgaruk kepala. "Sekarang semakin
membingungkan lagi. Pak Tua ini memberikan keterangan yang bertentangan dengan
keterangan si Duta Raja. Mana yang benar? Siapa sebenarnya yang bekerja sama
dengan si Kucing Hutan itu? Paras Kencani atau Duta Raja?!"
Paras Kencani memang tak
pernah muncul lagi sampai pagi menyingsing. Pendekar Mabuk terpaksa harus
tinggalkan desa itu seorang diri. Tapi sebelumnya ia sempat menemui Pak Tua
pemilik kedai.
"Kalau aku mau ke negeri
Kincir Bantala, tahukah kau arah mana yang harus kutuju, Pak Tua?"
"Kau bisa berjalan terus
ke arah utara, melewati sebuah lembah di kaki perbukitan cadas, dan akan menjumpai
sebuah sungai besar. Di seberang sungai itulah tanah wilayah negeri Kincir
Bantala."
"Terima kasih atas
bantuanmu, Pak Tua."
"Apakah kau ingin
mengikuti sayembara membangkitkan jenazah Prabu Dasawalatama, Nak?"
"Tidak. Aku hanya ingin
bicara dengan putri sang Prabu saja."
"Berhati-hatilah, karena
negeri itu sedang berselisih dengan Kadipaten Pusar Langit. Dan kudengar
Adipati Pusar Langit sedang menyewa beberapa orang berilmu tinggi aliran hitam
untuk menumbangkan negeri Kincir Bantala."
"Terima kasih atas
saranmu, Pak Tua!"
Perjalanan pagi menyusuri kaki
perbukitan pun dilakukan seorang diri oleh Pendekar Mabuk. Wajah Paras Kencani
masih membayang terus di pelupuk mata. Bukan karena rasa cinta, melainkan
karena penjelasan dari Duta Raja bagai menghantui pikiran terus-menerus.
Pertimbangan demi pertimbangan telah membuat langkah kaki Pendekar Mabuk tak
terasa telah menyusuri kaki perbukitan
cadas yang jarang ditumbuhi pepohonan. Perbukitan itu terasa kering dan tandus,
sekalipun dua tiga pohon tampak di sana-sini.
Akhirnya langkah itu pun
terhenti manakala mata Pendekar Mabuk memandang ke puncak perbukitan yang
membujur dari barat ke timur. Di atas perbukitan yang tandus itu terlihat
gerakan dua orang sedang lakukan pertarungan cukup sengit.
Seorang perempuan berusia tiga
puluh tahun sedang menghadapi serangan tokoh tua berjubah merah kusam. Tokoh
tua itu tak lain adalah Duta Raja yang saat itu sedang menghantamkan tongkatnya
ke tubuh perempuan cantik berambut terurai sepunggung.
Kalau saja perempuan itu tidak
cepat rundukkan badan, maka kepalanya akan terhantam gerakan tongkat si Duta
Raja yang berkelebat cepat tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Wuuukk...!
Pada saat itulah perempuan berpakaian terusan warna biru ketat menghantamkan pukulan
dua jarinya ke arah perut Duta Raja. Sett...! Sodokan dua jari ke depan memang
tidak kenai perut lawannya, tapi sinar hijau lurus yang keluar dari dua jari
itu menghantam ke arah pusar si Duta Raja. Claaapp...!
Dengan tangkas Duta Raja
sentakkan tongkatnya ke tanah hingga tubuhnya melayang ke atas dalam keadaan
kedua tangan masih bertumpu pada tongkat. Sinar hijau itu lolos dari perutnya.
Tubuh Duta Raja berjungkir balik dengan cepat bagai seekor garuda terbang ke
arah belakang perempuan bertubuh elok itu.
Weeess...! Jlegg...!
Perempuan itu sempat bingung
menghadapi lawannya. Karena ketika lawannya melintas di atas kepala dan
mendaratkan kaki di tanah belakangnya, tongkat sang lawan terlepas dan bergerak
menyodok sendiri dari arah depan. Perempuan itu lebih mengkhawatirkan serangan
dari arah belakangnya, sehingga ia berusaha cepat balikkan badan. Tapi tongkat
lawan sudah lebih dulu menyodok telak mengenai pinggangnya. Dugg...! .
"Aaahg...!"
perempuan itu terpekik bagai tak sadar, suaranya cukup keras menandakan rasa
sakitnya pun amat tinggi, ia jatuh terkulai bagai tak bertenaga lagi. Tongkat
itu jatuh begitu saja, lalu Duta Raja segera melompati tubuh yang jatuh
terkulai dan menyambar tongkatnya dengan menggunakan kaki.
Wuuutt...! Taaabb...!
Dalam sekejap tongkat sudah
berada di tangan Duta Raja, dan kedua kakinya menapak dengan tegap di tanah
seberang perempuan yang sedang menggeliat kesakitan. Rupanya sodokan tongkat
itu bukan sekadar sodokan biasa, melainkan mempunyai kekuatan tenaga dalam tinggi
yang mampu membengkakkan semua bagian dalam tubuh. Napas perempuan itu tak bisa
dihela lagi, hingga ia ternganga-nganga berusaha menghirup udara sebanyak
mungkin.
Duta Raja tak mau membiarkan
lawannya hanya kesakitan, ia segera sentakkan kaki dan tubuhnya melesat lurus
ke atas, lalu tongkatnya disentakkan
sedikit ke arah perempuan itu. Seberkas sinar lurus warna merah keluar dari
ujung tongkat dan mengarah pada punggung perempuan tersebut, Clappp..!
Pendekar Mabuk segera lepaskan
pukulan sinar biru dari kedua tangan disentakkan ke depan.
Clappp...! Jurus 'Tangan
Guntur' yang mengeluarkan sinar biru itu menghantam sinar merah dari tongkat
Duta Raja. Blegaarrr...!
Ledakan dahsyat mengguncang
perbukitan. Sebagian lereng bukit mengalami longsor, bebatuannya berhamburan
menggelinding ke bawah. Ledakan itu menghadirkan gelombang berdaya sentak
tinggi, sehingga tubuh Duta Raja terlempar ke belakang dan jatuh terpelanting.
Brrruukkk ..!
Pendekar Mabuk sengaja
mematahkan serangan Duta Raja, karena perempuan yang nyaris mati oleh sinar
merah dari ujung tongkat itu tak lain adalah Merpati Liar, murid mendiang Nyai
Parisupit yang bukan dari pihak keluarga. Merpati Liar merupakan orang yang
berusaha menyelamatkan pusaka Panji-panji Mayat agar tidak jatuh ke tangan
orang yang bukan ahli waris Nyai Parisupit. Pendekar Mabuk berjumpa dengan
Merpati Liar ketika ia dituduh berada di pihak Perawan Titisan Peri, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").
Apa persoalan yang terjadi
antara Merpati Liar dengan Duta Raja, belum jelas diketahui oleh Pendekar
Mabuk. Namun nalurinya mengatakan bahwa ia harus memihak Merpati Liar.
Setidaknya menyelamatkan perempuan itu dari ancaman jurus mautnya Duta Raja,
mengingat Duta Raja adalah pelayan dan sahabat erat Rangkak Dulang, sedangkan
Rangkak Dulang adalah tokoh aliran hitam.
Tetapi sebelum Suto Sinting
tiba di atas perbukitan, Merpati Liar masih sempat bangkit walau hanya bisa
merangkak dengan bertumpu kedua tangannya. Pandangan matanya yang tajam itu
berusaha menatap Duta Raja. Pada waktu itu Duta Raja menggeram penuh kemarahan
akibat kegagalannya membunuh lawan.
Ketika Duta Raja setengah
berdiri, kepala Merpati Liar mengibas ke kanan. Weeess...! Tubuh Duta Raja yang
berjarak delapan langkah darinya terbuang dan membentur sebongkah batu besar.
Brruss...!
Walaupun Suto kini sudah
mencapai puncak bukit yang memang tak seberapa tinggi itu, tapi ia segera
hentikan langkah dan gerakan demi melihat Merpati Liar lakukan serangan dengan
jurus 'Kendali Netra'-nya yang mempunyai kekuatan pada pandangan mata. Dengan
menatap Duta Raja, ia dapat melemparkan tokoh tua itu ke atas, ke bawah atau ke
mana saja. Bahkan kali ini setelah Duta Raja dilemparkan dengan kekuatan matanya ke atas dan jatuh terjungkal di tanah
tak berumput, Merpati Liar segera memandang sebongkah batu berukuran sebesar
gentong air. Batu itu tiba-tiba terangkat sendiri dan melayang menghantam tubuh
Duta Raja. Wuuuttt...!
Praakk...!
Sayang sekali sebelum batu itu
sampai di tubuh Duta Raja, keadaan Duta Raja telah berjongkok bersiap untuk
bangkit. Maka batu besar yang melayang ke arahnya segera dihantam dengan
tusukan dua jari kirinya yang melepaskan segumpal tenaga dalam cukup tinggi.
Suuutt..!
Tak heran jika batu itu hancur
menjadi berkepingkeping sebelum kenai sasarannya. Duta Raja segera bangkit dan
melompat ke kiri, menyambar tongkatnya yang tergeletak di tanah dengan
menggunakan satu kaki. Wuuutt...! Taaab...!
Tongkat tergenggam kembali di
tangannya. Tubuh Duta Raja bagaikan menghilang. Weess...! Tahu-tahu sudah
berada di atas sebongkah batu cadas lebih besar lagi. Ia masih tampak segar dan
sehat walau pakaiannya menjadi kotor akibat dibanting ke sana-sini dengan
kekuatan mata Merpati Liar.
"Hentikan...!" seru
Suto Sinting begitu melihat Merpati Liar beradu pandangan mata dengan Duta
Raja.
Perpaduan pandangan mata itu
rupanya saling berusaha menjatuhkan lawan. Tubuh tokoh tua itu bergerak-gerak
bagai lidi dihembus angin di atas sebuah batu. Tetapi tubuh Merpati Liar juga
bergetar dalam keadaan berlutut dengan kedua tangan merentang kuat. Di
pertengahan jarak keduanya terjadi percikan bunga api beberapa kali yang
mengeluarkan letupan-letupan kecil. Dari situlah Suto Sinting tahu bahwa mereka
sedang beradu kekuatan tenaga dalam melalui pandangan mata. Karenanya, Suto
Sinting perlu mengulang seruannya tadi dengan suara lebih keras lagi.
"Hentikaaan...!"
Wuuuk...! Beeehg...!
"Aaaahg...!"
Duta Raja memekik panjang,
tubuhnya terlempar bagaikan dihantam tenaga amat besar. Tubuh itu akhirnya
jatuh ke lereng bukit dan terguling-guling tanpa ampun lagi. Sementara itu,
Merpati Liar terengah-engah dengan tubuh bersimpuh lemas.
"Merpati, lekas minum
tuakku ini!"
Sementara Merpati Liar meneguk
tuak Suto, tampak Duta Raja berkelebat pergi larikan diri dalam keadaan
terhuyung-huyung. Agaknya ia terluka bagian dalam cukup parah oleh serangan
Merpati Liar, sehingga merasa perlu menyingkir untuk sembuhkan lukanya lebih
dulu.
"Aku harus
mengejarnya!" ujar Merpati Liar begitu selesai meminum tuak dan melihat
Duta Raja melarikan diri.
"Jangan, Merpati! Tunggu
tenagamu pulih kembali." Pendekar Mabuk sengaja menahan karena ia tahu
kekuatan Merpati Liar belum pulih seperti sediakala. Rasa sakit di seluruh
tubuh memang sudah hilang, tapi Merpati Liar harus menunggu waktu sekitar lima
puluh hitungan untuk memulihkan kekuatannya yang tadi hilang akibat sodokan
tongkat lawan.
"Aku tak ingin kehilangan
dia, Suto!"
Pendekar Mabuk sengaja
menghadang di depan Merpati Liar, sikapnya tetap tenang seakan memasang wibawa
untuk menundukkan keinginan perempuan cantik itu.
"Mengejar dan
menangkapnya itu persoalan mudah. Aku sanggup lakukan sendiri. Tapi sebelumnya
aku perlu tahu, mengapa kau bentrok dengannya?"
"Duta Raja menyerangku
lebih dulu, karena ia tahu aku murid mendiang Guru Nyai Parisupit. Pasti dia
tahu bahwa aku adalah salah satu dari orang yang akan merintangi niatnya
memperoleh pusaka Panji-panji Mayat!"
Dahi Pendekar Mabuk berkerut
heran. "Jadi, dia ingin mendapatkan pusaka Panji-panji Mayat? Apa
alasannya?"
"Duta Raja adalah adik si
Kucing Hutan!"
"O, ya...?!" Suto
Sinting terbelalak bengong. Kabar itu seperti petir menyambar di ujung
hidungnya.
*
* *
6
SATU pertanyaan tersimpan
dalam batin Suto Sinting, "Jika Duta Raja ternyata adalah adik dari Kucing
Hutan atau Perawan Titisan Peri, lalu bagaimana dengan Paras Kencani
sendiri?"
Merpati Liar membersihkan
pakaiannya yang kotor akibat jatuh tadi. Rambutnya yang panjang kini disatukan
ke belakang dan diikat dengan seutas akar kecil. Perempuan itu tampak semakin cantik
dalam keadaan rambut dikebelakangkan, ia menjadi serba kikuk setelah sadar
sejak tadi dipandangi oleh Pendekar Mabuk yang dari dulu dikagumi oleh hatinya,
namun tak pernah dinyatakan lewat ucapan. "Bagaimana kau bisa sampai di
perbukitan ini, Suto?" Merpati Liar mengalihkan rasa agar tak semakin
salah tingkah.
"Sejak kau lari mengejar
Perawan Titisan Peri itu, aku segera menyusulmu setelah lebih dulu menyuruh
Hantu Laut dan Kadal Ginting pergi ke Lembah Sunyi untuk menemui Resi Wulung
Gading," tutur Pendekar Mabuk sehabis menenggak tuaknya tiga tegukan.
Lanjutnya lagi,
"Sementara itu pula, Resi Badranaya pulang ke padepokannya bersama
muridnya; Darah Prabu. Aku sengaja menyusulmu karena khawatir terjadi sesuatu
pada dirimu jika berhadapan dengan si Kucing Hutan."
Merpati Liar menarik napas,
ada perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir indah begitu mendengar
pengakuan Suto Sinting, ia masih bisa membayangkan peristiwa pertarungan Kucing
Hutan dengan Resi Badranaya yang membuat Suto Sinting dan dirinya segera
mengambil alih pertarungan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Gadis Buronan").
"Sayang sekali aku tidak
tahu ke mana arah pengejaranmu kala itu, sampai akhirnya aku berjumpa dengan
penabuh bende dari negeri Kincir Bantala yang menyebarkan sayembara. Kersa
Gotri, si penabuh bende yang menjadi wakil suara Gusti Ayu Sunggarini itu
sempat membawaku ke negeri Kincir Bantala. Dalam perjalanan itu aku bertemu
dengan seorang tokoh wanita yang usianya sudah mencapai delapan puluh tahunan,
tapi penampilannya masih muda dan cantik." "Hmmm...!" Merpati
Liar sempat mencibir sinis, kemudian segera ajukan tanya, "Siapa nama
perempuan itu?"
"Paras Kencani,"
jawab Suto Sinting tenang, namun membuat Merpati Liar terperangah dan memandang
dengan tajam.
Suto menjadi heran melihat
perubahan wajah itu. "Mengapa kau terkejut? Apakah kau kenal dengan Paras
Kencani?"
"Ketua Perguruan Pasir
Pitu!"
"Memang benar.
Perguruannya dihancurkan oleh Rangkak Dulang dan. "
"Rangkak Dulang alias
Pawang Setan Binal itu?!" "Benar. Apakah kau juga kenal dengan tokoh
aliran
hitam itu."
"Aku pernah bertarung
dengannya beberapa tahun yang silam, karena suatu urusan pribadi. Kami samasama
terluka parah, lalu sama-sama sepakat untuk menunda pertarungan. Sampai sekarang
aku belum pernah bertemu lagi dengannya!"
"Sekarang dia sedang
mengejar Kucing Hutan, karena mengejar sebuah kitab pusaka yang menurut
pengakuan Paras Kencani kitab itu ada di tangan Kucing Hutan. Aku sempat
selamatkan Paras Kencani yang terkena pukulan beracunnya si Pawang Setan Binal
itu."
"Hemm...!" Merpati
Liar mencibir lagi. Setiap Suto Sinting sebutkan nama Paras Kencani, wajah
Merpati Liar menampakkan kesinisannya. Keanehan itu disimpan dalam hati Suto
selama menuturkan perjalanannya hingga sampai di perbukitan itu.
Sambil menuruni lereng
perbukitan, Suto masih melanjutkan ceritanya.
"Sejak semalam aku
berpisah dengan Paras Kencani, dan sampai saat ini aku tak tahu dengan pasti ke
mana perginya. Aku pun masih sangsi dengan keterangan Duta Raja tentang
persekongkolan Paras Kencani dengan si Kucing Hutan."
Merpati Liar sengaja hentikan
langkah tepat dibawah pohon teduh.
"Paras Kencani itu
cucunya Gajahloka!"
Pendekar Mabuk terperangah
kaget. "Cucunya Gajahloka?!"
Otak murid si Gila Tuak segera
mengingat silsilah keluarga Nyai Parisupit yang mempunyai paman tiri Eyang
Kurupati. Sedangkan Eyang Kurupati mempunyai anak Gajahloka. Gajahloka
mempunyai tiga anak, yang bungsu adalah ibu dari Barakoak, yang dikenal dengan
nama si Raja Iblis. Salah satu anak dari Gajahloka mempunyai keturunan yang
sekarang masih hidup, dan Paras Kencani itulah keturunan dari anak Gajahloka,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa).
"Berarti tujuannya
menemui Gusti Ayu Sunggarini bukan sekadar untuk meminjam pusaka buat
menghidupkan murid-muridnya, melainkan memang ingin menguasai pusaka
Panji-panji Mayat itu?!"
"Dugaanmu tak salah
lagi!" ujar Merpati Liar dengan tegas. "Barangkali karena ia tidak
mempunyai kekuatan yang cukup untuk merebut Panji-panji Mayat, maka ia
pergunakan dirimu sebagai penambah kekuatannya."
"Tapi dia tidak tahu
bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak. Dia hanya mengenalku sebagai Suto
Sinting, bukan sebagai Pendekar Mabuk."
"Omong kosong! Ciri-ciri
penampilanmu sudah dikenal di rimba persilatan. Sebagai ketua perguruan, Paras
Kencani pasti mengenali ciri-cirimu sebagai Pendekar Mabuk, ia hanya
berpura-pura tolol supaya niat busuknya
tidak kau ketahui!"
Mendengar keterangan itu,
Pendekar Mabuk menjadi tertegun lama. Ia sama sekali tak menduga kalau Paras
Kencani ternyata keturunan dari Eyang Kurupati. Hampir saja ia terjebak dan
terpedaya oleh kepurapuraan Paras Kencani.
"Tapi anehnya, mengapa
malam itu ia menghilang dariku? Apakah benar ia mengikuti pelarian si Kucing
Hutan?"
"Menurutku apa yang
dikatakan Duta Raja tentang si Paras Kencani itu tidak benar. Mungkin Duta Raja
hanya merasa sirik karena ia gagal menjadi pendamping hidup si Paras Kencani.
Mungkin juga ia cemburu melihat kau berduaan dengan Paras Kencani, sehingga ia
perlu menyebar fitnah seperti itu agar kau menjauhi Paras Kencani."
"Rasa-rasanya...
pendapatmu itu ada benarnya," gumam Suto Sinting sambil menerawang dalam
keadaan tertegun di tempat.
Merpati Liar yang bersikap
angkuh di depan Suto Sinting itu perdengarkan suaranya lagi, "Barangkali
apa yang dikatakan oleh Paras Kencani tentang kamar rahasia dari Prabu
Dasawalatama itu memang benarbenar ada. Sebab, sudah lama kudengar kabar bahwa
Paras Kencani berteman akrab dengan Dasawalatama ketika Dasawalatama belum
menjadi raja dan belum mencapai puncak kejayaannya. Setahuku juga, Dasawalatama
berteman akrab pula dengan Galak Gantung."
"Karena itulah aku
bertekad ingin temui Gusti Ayu Sunggarini, putri tunggal mendiang Prabu
Dasawalatama itu."
"Apakah kau sanggup
menahan diri?"
Pendekar Mabuk pandangi
Merpati Liar dengan dahi berkerut. "Apa maksudmu, Merpati?!"
Dengan melengos ke arah lain,
Merpati Liar menjawab bernada dingin, "Sunggarini punya kecantikan yang
memikat tiap lelaki. Apakah kau sanggup untuk tidak terpikat olehnya?"
Pendekar Mabuk tertawa pendek.
Merpati Liar berkata lagi,
"Kalau kau sanggup untuk
tidak terpikat oleh Sunggarini, akan kuantar kau ke kerajaan Kincir
Bantala."
"Kau pernah ke
sana?!"
"Sunggarini adalah
sahabatku." Hanya itu jawaban dari mulut Merpati Liar. Pendekar Mabuk
menunggu keterangan tambahannya, namun Merpati Liar tetap katupkan bibirnya
yang bikin hati geregetan itu. "Satu lagi yang ingin kutanyakan
padamu," ujar Suto Sinting. "Menurut keterangan Paras Kencani, Duta
Raja adalah sahabat sekaligus pelayannya Rangkak Dulang. Benarkah itu?"
"Setahuku, dulu memang
begitu. Tapi belakangan ini Duta Raja tidak memihak lagi kepada Rangkak Dulang,
karena ia tahu bahwa kakaknya; si Kuping Hutan, telah menjalin permusuhan dengan
Rangkak Dulang. Tentu saja Duta Raja yang dulu pernah menjadi utusan mendiang
Raja Bonang segera berbalik sikap memihak kakaknya. Karena itu Rangkak Dulang
pun benci kepada Duta Raja dan menggolongkan Duta Raja sebagai musuhnya."
"O, begitu ceritanya?!
Lengkap sekali kau mengetahui cerita itu. Dari mana kau dapat mengetahuinya,
Merpati?!"
"Duta Raja, Paras Kencani
dan aku sendiri, pernah bersatu melumpuhkan kekuatan negeri seberang. Tiga
tahun lamanya kami bersatu dan saling mengenal diri, kemudian setelah negeri
seberang runtuh, kami saling berpisah."
Murid si Gila Tuak menggumam
dan manggutmanggut, merasakan kelegaan dalam hatinya setelah mengetahui segala
sesuatu yang sejak kemarin menjadi ganjalan hatinya. Sebenarnya ia ingin ajukan
pertanyaan lagi kepada Merpati Liar. Namun niat itu tertunda karena tiba-tiba
mereka mendengar suara ledakan menggelegar dari arah utara.
Blegaarrr...! Pendekar Mabuk
beradu pandang dengan Merpati Liar.
"Ada yang mengadu ilmu di
sebelah utara!" ucap Suto Sinting seperti bicara pada diri sendiri.
Merpati Liar hanya membungkam
diri, tapi pandangan matanya segera diarahkan ke utara. Tampak kepulan asap
hitam membubung tinggi dari balik sebuah bukit cadas. Dapat dibayangkan,
alangkah dahsyat ilmu yang mereka pertarungkan di sana. Hal itu sangat menarik
perhatian Pendekar Mabuk, sehingga tanpa menunggu pertimbangan Merpati Liar,
Suto segera melesat ke arah kepulan asap hitam itu.
"Aku akan menengoknya ke
sana!"
Zlaaapp...! Pendekar Mabuk
bagaikan menghilang karena kecepatan bergeraknya yang menyerupai hembusan
angin, melebihi kecepatan anak panah. Merpati Liar tak mau tinggal diam di
tempat, ia pun bergerak cepat menggunakan ilmu peringan tubuhnya hingga mirip
orang terbang. Weeess...!
Ternyata di balik bukit cadas
itu terjadi pertarungan cukup seru. Pendekar Mabuk yang mengintai dari atas
bukit sangat mengenali dua tokoh yang sering beradu kesaktian. Mereka tak lain
adalah Pawang Setan Binal sedang menghajar seorang perempuan buta berpakaian
biru laut yang menyandang panah dan busur di punggungnya. Perempuan buta itu
tak lain adalah Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita yang cacat matanya saat
melawan Peluh Setanggi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis
Buronan"). Merpati Liar baru saja tiba saat Dewi Geladak Ayu terjungkal
oleh pukulan jarak jauh si Pawang Setan Binal. Hanya dengan kelebatan tangan
kiri bagai menyambar air, tubuh Dewi Geladak Ayu dibuat terjungkal bagai
dihantam tenaga dalam cukup besar. Bahkan perempuan cantik dari aliran hitam
itu sempat memuntahkan darah kental dari mulutnya. Tangannya meraba-raba
mencari tempat pegangan, namun tempat pegangan itu tak ditemukan di sekitar
tempatnya jatuh.
"Di mana si Kucing Hutan?
Kutahu kau berdua dengannya beberapa waktu yang lalu? Katakan saja di mana dia
daripada aku harus mencabut nyawamu, Geladak Ayu!"
Dengan napas terengah-engah,
Dewi Geladak Ayu menjawab dengan nada geram.
"Persetan dengan si
Kucing Hutan! Kalau aku berdua dengannya bukan lantaran aku bersekutu
dengannya, tapi karena aku diperdaya olehnya. Kalau kau mencari Kucing Hutan,
aku pun sedang mencarinya untuk menuntut balas tindakannya padaku tempo hari.
Tapi jika kau tidak percaya padaku, apa pun maumu akan kulayani walau mataku
telah buta, Rangkak Dulang!"
"Keparat!" geram si Pawang
Setan Binal. "Kutelanjangi tubuhmu sebagai upah sesumbarmu itu, Geladak
Ayu!"
Weeess...! Weeesss...! Wut,
wut, wut, wut...!
Pendekar Mabuk terbelalak
bengong karena kagum melihat kecepatan gerak si Pawang Setan Binal. Lelaki tua
yang kurus kerontang itu berkelebat mengitari Dewi Geladak Ayu. Rupanya ia
mencabik-cabik pakaian tipis perempuan itu dengan menggunakan kuku-kuku
tajamnya. Gerakannya bagaikan sebentuk hembusan angin topan yang mengelilingi
Dewi Geladak Ayu. Weeesss...! Dalam kejap tertentu ia menjauh dan muncul pada
jarak tujuh langkah dari si bajak laut wanita itu.
"Oooh...?!" Dewi
Geladak Ayu terpekik tertahan setelah meraba tubuhnya ternyata tidak terbungkus
kain lagi. Kain yang membungkus tubuh eloknya telah tercabik-cabik hingga terlepas
seluruhnya.
"Gila! Ck, ck,
ck...!" Pendekar Mabuk gelenggelengkan kepala melihat Dewi Geladak Ayu
tidak berpakaian lagi.
Merpati Liar segera menotok
tengkuk kepala Suto Sinting. Tees...!
"Uuhg...!" Suto
terpekik lirih. Kemudian ia menjadi berdebar-debar tegang setelah matanya tak
bisa dipakai untuk memandang. Tangan Suto mencoba mengucal kedua matanya, namun
pandangan yang dapat dilihatnya hanya warna hitam berbintik-bintik merah dan
kuning.
"Merpati...! Gila
kau!" gerutunya pelan sekali. "Mengapa kau totok diriku hingga
menjadi buta?! Lepaskan totokanmu ini, Merpati!"
"Matamu harus dipenjara
agar tidak menjadi jalang melihat Geladak Ayu tanpa busana."
"Merpati, aku tidak
memandang ke arah tubuh Geladak Ayu. Aku... aku... oh, lepaskan totokanmu ini,
lekas!"
"Mata nakalmu tak bisa
kupercaya!" ujar Merpati Liar dengan tetap membiarkan Suto Sinting dalam
kebutaan.
Sementara itu, Rangkak Dulang
masih tetap menganggap Dewi Geladak Ayu bersekongkol dengan Kucing Hutan, ia
tetap mendesak agar Dewi Geladak Ayu memberitahukan di mana Kucing Hutan
berada. Tetapi perempuan yang sudah tak berbusana lagi itu tetap ngotot, bahkan
melepaskan pukulan bersinar merah secara membabi buta.
Clap, clap, clap, clap...!
Wess, weess, weesss...!
Pawang Setan Binal menghindari
tiap serangan itu dengan sangat mudah. Tubuhnya bagai sulit dihantam dengan
sinar-sinar merah itu. Akibatnya, beberapa batu dan dinding bukit menjadi
sasaran sinar merahnya Dewi Geladak Ayu.
Blaarr, blaarr, Jegaarr...
blegarr..!
Batu dan dinding bukit hancur.
Tanah dan bukit itu berguncang karena ledakan dahsyat yang terjadi saat itu.
Dewi Geladak Ayu mengamuk tanpa hiraukan keadaan tubuhnya yang tidak berpakaian
lagi itu. Bahkan busur serta anak panahnya telah terpental entah ke mana pada saat
ia dikelilingi Rangkak Dulang tadi.
"Heeeaaatt...!"
Dengan menggunakan mata
batinnya, Dewi Geladak Ayu lakukan serangan dengan sebuah lompatan mirip
terbang ke arah lawannya. Rangkak Dulang hanya menghindar mundur tanpa gerakan
bersalto. Zaaab...! Tahu-tahu ia sudah pindah tempat, lima langkah dari tempat
berdirinya semula.
Rupanya serangan membabi buta
Dewi Geladak Ayu semakin membangkitkan kemarahan Pawang Setan Binal. Maka
dengan mengangkat tangan kanannya ke depan, dari kuku jari kelingking melesat
selarik sinar biru sebesar lidi. Claapp...! Sinar itu tepat kenai pinggang Dewi
Geladak Ayu. Jeerb...!
Blegaaarrr...!
Pinggang dan perut Dewi
Geladak Ayu jebol seketika. Tentu saja tokoh bajak laut wanita itu akhirnya
terkapar tanpa nyawa lagi. Rangkak Dulang hanya memandanginya dengan dingin,
kemudian cepat-cepat pergi dengan menimbulkan asap yang bergerak makin jauh
makin menipis dan lenyap.
"Merpati! Merpati
lepaskan totokanmu!" Suto Sinting ribut sendiri, berusaha melepaskan
totokan dengan tangan sendiri tapi tidak berhasil. Padahal hatinya sangat
penasaran mendengar suara ledakan dan pekik pertarungan tadi.
Pendekar Mabuk mencoba meminum
tuaknya untuk membebaskan totokan yang membutakan matanya. Tetapi tuak tidak
menolong. Mata masih tidak bisa digunakan untuk memandang sebagaimana mestinya.
Jari-jari tangannya menotok leher dan beberapa bagian tubuhnya sendiri: des,
des, des, des...!
"Aaauh...!" ia
justru kesakitan karena totokannya sendiri. Sementara itu totokan Merpati Liar
masih mengunci urat matanya hingga tak bisa dipakai untuk melihat apa-apa.
"Merpati! Lepaskan totokan ini! Lekaslah, Merpati... aku ingin melihat
pertarungan itu! Hei, Merpati...?! Merpati di mana kau?!"
Suto Sinting akhirnya diam
dengan merasa heran. Telinganya ditelengkan untuk menangkap dengus napas
Merpati Liar. Bahkan jurus 'Lacak Jantung' digunakan untuk mendengar detak
jantung Merpati Liar. Tetapi ternyata tak ada suara detak jantung sedikit pun,
kecuali detak jantungnya sendiri.
Pendekar Mabuk menjadi cemas
manakala ia sadari keadaan di sekelilingnya sangat sepi. Ia dapat menduga bahwa
Merpati Liar tidak ada di sampingnya.
"Celaka! Dia telah
meninggalkan aku dalam keadaan buta begini?! Kurang ajar! Awas nanti jika
kudapatkan, akan kubalas dengan tindakan yang lebih menjengkelkan lagi!"
geram Suto Sinting sambil mencoba melangkah dengan tangan meraba-raba.
*
* *
7
Merpati Liar sengaja pergi
mendekati mayat Dewi Geladak Ayu. Ia menutup mayat yang telanjang itu dengan
tanah di sekitarnya. Selesai melakukan hal itu, barulah ia bergegas kembali
menemui Suto Sinting.
"Aaaa...!"
"Sutooo...!" seru
Merpati Liar dengan tegang saat melihat Suto tergelincir dari atas bukit dan
jatuh berguling-guling menuruni lerengnya. Weeesss...! Merpati Liar segera
bergerak dan menahan gerakan tubuh
Suto yang hampir
saja membentur batu besar pada bagian kepalanya. Wuuutt...! Tubuh kekar
Suto Sinting disambar dengan kedua tangan, seakan hal itu dilakukan dengan
ringan, tanpa beban berat sedikit pun. Jika bukan dilakukan dengan tenaga dalam, tak
mungkin Merpati Liar dapat menyambar tubuh kekar Suto seperti
menyambar
selembar sarung.
"Kucing kurap kau,
Merpati!" maki Pendekar Mabuk sambil menahan rasa jengkel. "Gara-gara
mataku kau buat buta, aku tergelincir dari atas bukit! Uuuh... sakitnya tulang
pinggangku!"
Merpati Liar tertawa kecil,
tapi Suto Sinting tak bisa melihat senyuman si cantik yang menjengkelkan itu.
Hati pendekar tampan hanya bisa menggeram dongkol, lalu segera menerima bumbung
tuaknya yang diambilkan oleh Merpati Liar.
Bumbung tuak itu tadi sempat terlempar jauh dari Suto Sinting. Untung tak ada
orang yang menyambarnya, sehingga Suto dapat segera menenggak tuak beberapa
teguk untuk menghilangkan rasa sakit akibat jatuhnya tadi.
Deebb...! Merpati Liar pun
segera melepaskan kunci totokannya. Dengan begitu penglihatan Pendekar Mabuk
menjadi terang kembali. Tapi rasa dongkol masih menyumbat relung hatinya, hanya
saja karena ia segera tertarik pada mayat Dewi Geladak Ayu, maka rasa dongkol
itu tidak dihiraukan lagi olehnya.
"Geladak Ayu
tewas...?!" "Rangkak Dulang murka dan membunuhnya. Perutnya jebol,
mengerikan sekali. Karena itu kututup dulu dengan tanah supaya kau tak dapat
melihat lukanya dan melihat... dadanya," kata-kata terakhir itu diucapkan
dengan pelan sekali. Pendekar Mabuk hanya menarik napas dan geleng-geleng
kepala merasakan kekecewaan besar yang terpaksa harus ditelannya.
"Kali ini kau sangat
mengecewakan diriku, Merpati. Tingkahmu seperti anak-anak. Aku kan sudah
dewasa, sudah pantas memandang keindahan perabot seorang wanita cantik seperti
Dewi Geladak Ayu. Bukan hal tabu lagi barang seperti itu untuk kupandangi"
"Kawini saja mayat si
Geladak Ayu," ketus Merpati Liar dengan tangan ditangkringkan di atas
gagang pisau kembarnya yang terselip di pinggang kiri.
"Maksudku, hal yang
sangat mengecewakan adalah karena aku tak bisa melihat pertarungan seru antara
Dewi Geladak Ayu dengan Rangkak Dulang. Seharusnya "
Kata-kata itu terhenti
seketika karena Merpati Liar tiba-tiba menendang tubuh Pendekar Mabuk dengan
keras. Wuuutt...! Beeehg !
Weeess...! Tubuh pemuda tampan
itu terpental melayang dan jatuh berguling-guling. Tali bumbung tuaknya sengaja
digenggam erat-erat agar tak terpisah darinya.
"Perempuan kecut!
Apa-apaan dia sebenarnya?!" geram hati Pendekar Mabuk setelah cepat-cepat
berdiri kembali. Rupanya pada saat Merpati Liar selesai melayangkan
tendangannya ke arah Suto Sinting, ia sendiri segera bersalto ke belakang dalam
gerakan plik-plak beberapa kali dengan cepat. Gerakan plik-plak-nya yang terakhir
sempat membuat Merpati Liar jatuh berlutut, dan ketika Suto telah berdiri serta
memandangnya, perempuan itu sedang berdiri dari jongkoknya.
Namun ada sesuatu yang lebih
menarik perhatian Pendekar Mabuk dan membuat dahinya berkerut heran. Sebatang
tombak tertancap di tanah tempatnya berdiri sebelum ditendang Merpati Liar.
Tombak itu berpita merah panjang pada ujungnya. Seluruh mata tombak terbenam di
tanah, sedangkan pita merahnya terkulai di tanah.
"Tombak siapa itu?!"
gumam Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip. Kemudian pandangan matanya
segera beralih ke arah datangnya tombak. Ternyata di sana telah berdiri tiga
orang lelaki berbadan kekar dan berwajah tak bersahabat. Usia mereka ratarata
sekitar empat puluh tahun.
"O, rupanya tendangan
Merpati Liar tadi bermaksud menyelamatkan diriku dari lemparan tombak yang
datang dari ketiga orang itu?! Hmmm... memang lebih baik terkena tendangan
Merpati Liar daripada kelilipan tombak!" gumam Suto dalam hatinya.
Pendekar Mabuk segera
melangkah menghampiri Merpati Liar, sedangkan perempuan itu pun juga melangkah
menghampirinya. Mereka bertemu di dekat mayat Dewi Geladak Ayu. Keduanya
sama-sama menghadap ke arah datangnya tiga orang kekar yang sedang menghampiri
mereka.
"Siapa tiga orang itu,
Merpati?!" tanya Suto Sinting dalam bisikan.
"Entahlah. Tapi menurutku
mereka bukan orang negeri Kincir Bantala. Mungkin anak buahnya si Geladak Ayu.
Biar kuhadapi mereka!"
Satu dari tiga lelaki kekar
itu mengenakan rompi ketat warna merah beludru bersulam benang emas. Lelaki itu
berkumis tipis, menyandang keris di perutnya, ia memakai ikat kepala kaku dari
kain beludru merah juga yang bersulam benang emas. Sedangkan dua lelaki di
kanan-kirinya mengenakan rompi panjang dari kain biasa warna hijau dan hitam.
Kedua orang itu menggenggam tombak berujung pedang besar. Dapat disimpulkan,
tombak yang tertancap di tanah itu pasti senjata milik si rompi merah.
Ketika mereka hentikan langkah
dalam jarak lima tindak dari Suto Sinting dan Merpati Liar, lelaki berompi
merah maju satu langkah, sebagai tanda bahwa ia yang mewakili kedua lelaki di
kanan-kirinya itu. Dengan mata nanar tanpa kesan bersahabat, lelaki itu lebih
dulu perdengarkan suaranya yang bernada besar.
"Hanya kebetulan saja
kalian masih bisa bernapas di depanku. Mestinya salah satu dari kalian modar di
ujung tombakku! Tapi percayalah, sebentar lagi kalian akan kukirim ke neraka,
karena tak ada orang Kincir Bantala yang akan hidup lebih lama jika kami yang
berjuluk Iblis Tiga Paksa telah bertindak!" "Kami bukan orang Kincir
Bantala!" ucap Merpati Liar dengan ketus dan dingin. "Kami tak kenal
siapa kalian, dan kami tak punya urusan dengan kalian!"
"Ha, ha, ha.,.! Rupanya
perempuan cantik itu budek kupingnya," ujar lelaki yang memakai rompi
merah kepada orang berbaju hitam.
Maka orang berbaju hitam tanpa
lengan itu berkata kepada Merpati Liar ,
"Kami adalah Iblis Tiga
Paksa yang disewa oleh Adipati Pusar Langit untuk membantai habis orang orang
Kincir Bantala!"
"Sekali lagi kutegaskan
pada kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Tetapi jika kalian bosan hidup,
aku akan mewakili El Maut untuk merenggut nyawa kalian!"
Pendekar Mabuk sengaja diam
saja. Tapi matanya tak lepas dari ketiga orang tersebut. Terutama yang berbaju
hijau, tampak sudah menggeram dengan tangan menggenggam tombak menjadi kuat.
Agaknya mereka tersinggung dengan ucapan Merpati Liar .
"Perempuan bermulut
lebar! Kurobek mulutmu sekarang juga. Heeeah...!"
Orang berompi merah lakukan
lompatan ke atas sambil tangannya menyentak ke depan. Telapak tangannya itu
mengeluarkan seberkas sinar hijau tertuju ke arah Merpati Liar. Dengan kaki
merendah, Merpati Liar juga menyentakkan telapak tangannya ke depan, dan sinar
merah tanpa putus melesat dari telapak tangan. Sinar merah itu menahan
datangnya sinar hijau dan akhirnya meledak di pertengahan jarak.
Blegaaarr..!
Orang berompi merah yang
melayang ke atas menjadi terpental tak tentu arah. Rupanya gelombang ledakan
itu keluarkan angin menyerupai badai yang mampu menerbangkan tubuh orang
tersebut, sementara tubuh Merpati Liar sendiri terdorong mundur tiga tindak.
Kedua orang berpakaian hijau
dan hitam segera bertindak menyusul serangan si rompi merah. Namun baru saja
mereka mengangkat tombaknya, kedua tangan Suto Sinting menyentil ke arah depan.
Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan oleh Pendekar Mabuk. Sentilan yang
mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar itu tepat mengenai ulu hati kedua
orang tersebut. Dub, dub...!
"Heeggh..!" keduanya
sama-sama terpekik dengan tubuh melengkung ke depan dan terdorong mundur dengan
cepat. Keduanya sama-sama jatuh terkapar bagaikan dibanting tangan, raksasa.
Buhgg...!
"Biarkan aku saja yang
melayaninya!" hardik Merpati Liar kepada Pendekar Mabuk.
Murid si Gila Tuak hanya bisa
sunggingkan senyum tipis sambil angkat bahu satu kali. Kemudian ia sengaja
melangkah ke tempat lain, memberikan kesempatan kepada Merpati Liar untuk
melawan ketiga orang sewaan Adipati Pusar Langit itu.
Merpati Liar berdiri tegak
dengan kaki sedikit merentang. Matanya mulai memandang tajam ke arah lelaki
berompi merah. Sebilah keris yang terselip di depan perut lelaki itu
dipandanginya, lalu kepalanya menyentak ke atas samping. Maka keris itu pun
terbang sendiri terbuang jauh bersama sarungnya.
Weeess...!
Si pemiiik keris tercengang
bengong. Pada saat itu tiba-tiba tubuhnya bagai ada yang melemparkan ke arah
samping. Wuuutt...! Brrrukk...!
"Aaaoh...!"
Orang itu menjerit kesakitan
karena kepalanya bagaikan dibenturkan dengan sebongkah batu besar. Tenaga yang
melemparkan orang itu adalah tenaga yang datang dari pandangan mata Merpati
Liar .
Wuuut, brruk,..! Wuuutt,
brruukk...! Weeess, prrok...!
"Aaaauh, aaah... aaaow...
tolong, aaaauh...!"
Orang berompi merah
menjerit-jerit kesakitan karena tubuhnya dilemparkan ke sana-sini,
dibentur-benturkan batu ataupun pohon yang ada tak jauh darinya. Jurus 'Kendali
Netra'-nya Merpati Liar membuat orang itu babak belur dan kehabisan tenaga.
Sementara itu, kedua temannya hanya bisa memandang dengan kagum dan mulutnya
ternganga bengong.
"Kenapa si Golo itu?!
Mengapa ia membenturkan diri ke batu dan pohon?!" ujar si baju hitam.
"Perempuan itu
menggunakan kekuatan mata! Serang dia sekarang juga! Heeeeaaah...!"
Kedua orang yang ingin maju
menyerang itu tiba-tiba saling beradu kepala. Merpati Liar menggunakan kekuatan
matanya untuk mengadu kepala kedua orang itu dengan kerasnya. Prraaakk...!
"Aaaoww...!"
Wees, praaakk...!
"Aaaohh...!"
Kedua orang itu berlumur
darah, kepala mereka saling bocor. Bahkan terakhir kalinya tubuh mereka
terlempar tinggi-tinggi saat kepala Merpati Liar menyentak ke atas. Tubuh yang
terlempar tinggi itu akhirnya jatuh dalam keadaan kepala di bawah.
Brruukk...!
"Ouhgg...!"
Kedua orang itu mengalami
patah tulang lehernya. Kepalanya yang sudah berlumur darah semakin bocor lagi
karena mereka jatuh ke tempat yang keras. Pada saat itu segera terdengar suara
si lelaki berompi merah.
"Lariii...! Cepat
lariii...!"
Dengan sempoyongan, mereka
akhirnya melarikan diri ke arah selatan. Rupanya Merpati Liar sangat berang
kepada mereka, sehingga ia pun segera mengejarnya. Weeess...!
"Merpati...! Tak perlu
dikejar!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tak dihiraukan oleh Merpati
Liar. Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala melihat Merpati Liar mengejar
tiga orang tersebut.
"Perempuan itu kalau sudah
marah membahayakan sekali! Aku harus mencegahnya!" pikir Suto Sinting yang
segera menyusul Merpati Liar. Zlapp...!
"Tahan amarahmu, Merpati.
Tak perlu kau semarah itu kepada mereka!" kata Suto Sinting yang tiba-tiba
muncul di depan langkah Merpati Liar, membuat langkah perempuan itu akhirnya
terhenti. "Mereka harus diberi pelajaran biar jera!"
"Kurasa pelajaran untuk
mereka sudah cukup. Mereka kabur, itu
tandanya mereka jera melawanmu, Merpati! Tahanlah luapan amarahmu itu, nanti
dapat mencelakakan diri sendiri."
Bujukan Pendekar Mabuk lambat
laun berhasil menurunkan kemarahan Merpati Liar. Walau wajah perempuan itu
masih cemberut, tapi helaan napasnya sudah tidak memburu seperti tadi.
"Sebaiknya kita teruskan
perjalanan kita menuju Kincir Bantala!" usul Suto. Merpati Liar tidak
menjawab, namun melangkah lebih dulu sehingga
diikuti oleh Pendekar Mabuk setelah sang pendekar tampan menenggak
tuaknya tiga kali. Akhirnya mereka tiba di tanggul sebuah sungai lebar. Menurut
keterangan Pak Tua pemilik kedai, sungai itu adalah perbatasan tanah negeri
Kincir Bantala. Merpati Liar sendiri hentikan langkah dan berkata,
"Kita harus menyeberangi
sungai itu. Di seberang sanalah istana negeri Kincir Bantala berada."
"Tak ada jembatan yang
dekat dari tempat kita ini.
Merpati?!"
"Seorang berilmu tinggi
sepertimu, apakah masih membutuhkan jembatan untuk menyeberangi sungai?!"
ucap Merpati Liar dengan nada melecehkan pertanyaan Suto Sinting tadi. Pendekar
Mabuk hanya menyeringai, kemudian segera memetik beberapa daun selebar telapak
tangan. "Kita menyeberang sekarang juga, Merpati!"
Pendekar Mabuk segera
lemparkan helai demi helai daun yang dipetiknya. Pluk, pluk, pluk, pluk!
Daun-daun itu mengambang di permukaan air sungai. Kemudian Pendekar Mabuk
menyeberangi sungai itu dengan menggunakan daun-daun tersebut sebagai alas
pijakan kakinya.
Tab, tab, tab, tab, tab...!
Jleeggg...!
Merpati Liar rupanya tak mau
kalah ilmu dengan Pendekar Mabuk. Daun-daun bekas pijakan kaki Suto Sinting
digunakan sebagai pijakan kakinya, sehingga ia seperti berjalan di atas
permukaan air sungai yang tak seberapa deras itu.
Tab, tab, tab, tab...!
Jlegg...!
Keduanya kini telah tiba di
seberang sungai. Merpati Liar segera naik ke tanggul diikuti oleh Pendekar
Mabuk. Tepat pada saat itu, Suto melihat sekelebat bayangan berlari di
sela-sela pepohonan jati.
"Ssstt...! Kita ikuti
dia!" bisik Suto Sinting.
Merpati Liar kerutkan dahinya
memandang bayangan yang berkelebat menjauhi tanggul sungai. Mulutnya sempat
menggumam dengan nada menggeram.
"Duta Raja...?! Rupanya
dia lebih dulu sampai di sini!"
"Ia sudah berhasil
menyembuhkan luka pertarungannya denganmu tadi."
"Ya, dan... dan kurasa ia
sedang menuju ke Istana Kincir Bantala."
"Apakah ia juga
menghendaki Panji-panji Mayat?!" "Tentu saja, sebab ia berpihak
kepada kakak perempuannya; Perawan Titisan Peri! Bukankah Perawan Titisan Peri
bernafsu sekali untuk memiliki pusaka itu?"
"Tapi bagaimana ia bisa
tahu bahwa pusaka itu ada di Istana Kincir Bantala?!"
*
* *
8
LANGKAH Duta Raja terhenti
karena dihadang oleh tokoh yang baru saja menghilang dari penglihatan Merpati
Liar. Mau tak mau Pendekar Mabuk menahan gerakan Merpati Liar dan mengajaknya
bersembunyi di balik kerimbunan pohon.
"Mau apa si Pawang Setan
Binal itu?!" bisik Pendekar Mabuk.
"Tentunya dia punya
urusan sendiri dengan Duta Raja. Kita lihat saja sejauh mana Pawang Setan Binal
melepaskan kebenciannya kepada Duta Raja."
Pandangan mata yang dingin
bagai menusuk tulang membuat Duta Raja menarik napas, ia sadar kali ini ia berhadapan
dengan tokoh yang lebih tinggi ilmunya. Namun ia tidak menampakkan rasa takut
ataupun gentar sedikit pun. Ia menghadapi Rangkak Dulang dengan sikap tenang.
"Aku terpaksa
menghadapmu, Pengkhianat!" ujar Rangkak Dulang menampakkan kebenciannya.
"Aku tak punya urusan lagi denganmu, Rangkak Dulang. Kumohon, jangan
menggangguku lagi. Aku sudah cukup berbakti kepadamu selama dua puluh tahun
melayanimu dan bersahabat denganmu. Kita tak punya urusan apa-apa lagi."
"Siapa bilang?"
gumam Rangkak Dulang. "Sekarang kau memihak kakak perempuanmu; si Perawan
Titisan Peri itu. Pasti kau tahu di mana perempuan laknat itu!"
"Bicaralah yang ramah
kepadaku, Rangkak Dulang!" "Persetan dengan keramahan, kau tidak
membutuhkan dan aku pun tidak
membutuhkannya. Yang kubutuhkan adalah si Kucing Hutan yang rakus darah itu! Di
mana dia sekarang?!"
"Untuk apa kau mencari
kakakku?!"
"Dia telah merebut kitab
pusaka dari tangan Paras Kencani! Kitab itu harus kumiliki!"
"Oh, kurasa kau telah
dikelabuhi oleh Paras Kencani. Kakakku tidak memiliki kitab pusaka dan tidak
pernah merebutnya dari Paras Kencani. Urusan yang dihadapi Kucing Hutan adalah
memiliki pusaka kuno yang bernama Panji-panji Mayat. Aku ditugaskan mencurinya
dari istana Kincir Bantala."
"Omong kosong! Pusaka itu
sudah tidak ada, hilang entah ke mana!"
"Pusaka itu masih
ada!" bantah Duta Raja. "Paras Kencani berhasil dilumpuhkan saat
keluar dari kedai bersama pemuda tampan yang kurasa ia adalah murid si Gila
Tuak. Kuserahkan Paras Kencani kepada Kucing Hutan yang malam itu berhasil
membawa seorang lelaki untuk diambil darahnya. Di tempat kediaman kami, Paras
Kencani tak tahan menerima siksaan dari kakakku, sehingga sebelum ia
menghembuskan napas terakhir, ia telah menyebutkan di mana pusaka Panji-panji
Mayat berada. Karena itu, aku ditugaskan oleh Kucing Hutan untuk mencuri pusaka
tersebut yang tersimpan di salah satu kamar rahasia di dalam Istana Kincir
Bantala."
"Bualanmu berlebihan,
Duta Raja!"
"Aku bicara tentang
kenyataan. Aku dan Kucing Hutan tak pernah bicara tentang kitab pusaka. Yang
kami bicarakan belakangan ini hanya pusaka Panji-panji Mayat."
Dari persembunyian Suto
Sinting menggumam lirih sekali dan berbisik kepada Merpati Liar,
"O, rupanya waktu aku
memeriksa di rumah korban pembantain si Kucing Hutan, Duta Raja sempat
melumpuhkan Paras Kencani dan menyerahkan kepada Kucing Hutan yang sedang
membawa lari lelaki suami korban."
"Dan sekarang Paras
Kencani sudah meninggal akibat siksaan keji si Kucing Hutan."
"Tapi dari mana Kucing
Hutan mengetahui bahwa Paras Kencani punya rahasia tentang pusaka Panji-panji
Mayat itu?"
"Duta Raja berhubungan
lama dengan Paras Kencani. Tentunya ia tahu Paras Kencani keturunan dari
Gajahloka. Mungkin juga Paras Kencani dulu pernah menceritakan tentang pusaka
tersebut kepada Duta Raja, sehingga saat Kucing Hutan membutuhkan pusaka itu,
Duta Raja mengorbankan Paras Kencani sebagai kunci rahasia penyimpanan pusaka
tersebut. Lagi pula "
"Ssst...!" potong
Suto Sinting. "Ceritanya nanti saja. Sekarang perhatikan kedua orang itu,
agaknya Duta Raja bersikeras melawan Rangkak Dulang."
Duta Raja memang masih berdiri
tenang dengan tongkat digenggamnya. Tetapi Rangkak Dulang sudah tak bisa
menahan kemarahannya. Rangkak Dulang tidak mempercayai keterangan Duta Raja dan
tetap mendesak agar Duta Raja menyebutkan di mana Perawan Titisan Peri berada.
Sampai akhirnya Duta Raja berkata dengan tegas-tegas.
"Jika kau ingin mengusik
kakakku, kau harus melangkahi mayatku lebih dulu, Rangkak Dulang!"
"Biadab mulutmu, Duta
Raja!" geram Rangkak Dulang. Matanya memandang semakin tajam dan dingin.
Rahangnya kelihatan menggeletuk kuat.
Rangkak Dulang mengangkat
tangan kirinya dengan jari-jari membentuk cakar terarah kepada Duta Raja.
Wuuutt...! Srraabb. !
Lima larik sinar biru sebesar
lidi keluar berkuatan dari tiap ujung kuku tangan tersebut. Duta Raja segera
memutar tongkatnya dengan gerakan sangat cepat. Putaran tongkat itu keluarkan
cahaya merah lebar yang menjadi perisai datangnya lima sinar biru. Claaapp..!
Blegaaarr !
Duta Raja terlempar sejauh
lima langkah. Tubuhnya terbanting dengan kuat hingga membuat bumi seolaholah
semakin berguncang. Padahal tanpa jatuhnya tubuh itu, bumi pun sudah berguncang
akibat ledakan dahsyat tersebut. Pohon-pohon di sekitar tempat itu menjadi
bergetar dan daun-daun berguguran.
Rangkak Dulang masih tetap
berdiri tegak tanpa bergeser dari tempatnya. Matanya memandang tajam ke arah
Duta Raja yang sedang berusaha untuk bangkit. Namun tiba-tiba tubuh Rangkak
Dulang bagaikan menghilang. Zaabb...! Tahu-tahu muncul di samping kiri Duta
Raja. Tentu saja kemunculannya sempat membuat Duta Raja terperanjat. Belum
habis rasa kagetnya, Duta Raja telah menerima pukulan telapak tangan Rangkak
Dulang pada pelipisnya. Plaaakk...! Dueerr...!
Hantaman itu menimbulkan suara
ledakan yang membisingkan telinga. Duta Raja terpental lagi dan
berguling-guling. Tongkatnya terlepas dari genggaman tangan. Telinganya
berdarah, separo wajahnya menjadi hitam menyedihkan. Asap mengepul dari
pori-pori kulit wajahnya.
Duta Raja tak bisa bicara,
bahkan merintih pun sudah tak mampu. Tubuhnya terkapar dengan bersandar pada
sebatang pohon besar. Keadaan itu membuat mulut Duta Raja tampak mengucurkan
darah yang berbusa-busa. Kelopak matanya sudah tak sanggup untuk dibuka lagi,
tarikan napasnya tampak tersengal-sengal dan memberat. Sekalipun demikian,
agaknya Rangkak Dulang masih belum puas menghajar lawannya, ia segera
melepaskan pukulan tenaga dalam berbentuk sinar merah tak kentara yang keluar
dari ujung dua jari tangannya yang
disentakkan ke depan.
"Racun 'Inti Mayat'...?!" bisik Pendekar Mabuk dengan tegang.
Namun pada saat sinar sebesar
benang itu melesat ke arah dada Duta Raja, tiba-tiba muncul sinar hijau bening
menghantam ujung sinar merah tersebut. Claaap...! Jegaaarr...!
Dentuman dahsyat terdengar
kembali. Disusul kemudian dengan kemunculan seorang perempuan cantik seperti
masih berusia dua puluh lima tahun. Matanya biru bening, hidungnya mancung,
alisnya tebal rapi, bulu matanya lentik. Rambutnya terurai lepas sepunggung, ia
mengenakan kutang tipis penutup dada montoknya berwarna ungu, dilapisi jubah
sutera ungu.
"Kucing Hutan
datang?!" sentak Pendekar Mabuk dalam nada membisik.
"Saatnya untuk
melumpuhkan si Perawan Titisan Peri itu!" geram Merpati Liar. Ia ingin
bergerak keluar dari persembunyiannya, tapi ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Biarkan dulu ia
berurusan dengan Pawang Setan Binal! Hematlah tenagamu, siapa tahu Perawan
Titisan Peri itu hancur di tangan Rangkak Dulang."
Rupanya pada saat terjadi
ledakan dahsyat itu, gelombang hentakannya menghantam dada Duta Raja.
Akibatnya, napas yang sepotong itu pun akhirnya lenyap seketika. Duta Raja tak
bernyawa lagi di depan kakaknya yang masih tampak muda belia itu.
"Keparat kau, Rangkak
Dulang! Kau telah membunuh adikku, harus kau tebus dengan seluruh darah dan
dagingmu!" "Kau pun akan mengalami nasib seperti adikmu, Kucing
Hutan. Tapi akan kubebaskan dari murkaku jika kau mau serahkan kitab Lorong
Zaman yang kau rampas dari tangan Paras Kencani!"
Pendekar Mabuk terperanjat
sekali mendengar nama Kitab Lorong Zaman, sebab ia tahu persis di mana kitab
itu berada.
"Kitab Lorong Zaman
adalah kitab yang mempelajari ilmu untuk tembus waktu, bisa melompat ke masa
lalu dan masa datang," bisik Merpati Liar seakan tak mau ketinggalan
pengetahuannya tentang kitab tersebut.
Tapi pikiran mereka tidak
tertuju pada kitab itu lagi, karena tampaknya Kucing Hutan tak sanggup menahan
murkanya terhadap Rangkak Dulang, ia segera melepaskan serangannya berupa
sepasang sinar biru lurus dari kedua matanya. Claaapp ..!
Zaaab...! Rangkak Dulang
bagaikan lenyap ditelan bumi. Tahu-tahu ia berada di belakang Kucing Hutan.
Sementara sepasang sinar biru itu menghantam pepohonan dan membuat dua pohon
itu hancur menjadi serbuk lembut tanpa suara menggelegar.
Zuuurrb...! Weerrsss...!
"Uuuaaaoooww...!"
Perawan Titisan Peri mengerang
setelah lakukan lompatan cepat ke arah sebatang pohon, lalu kakinya menjejak
pohon itu dan tubuhnya melesat ke arah lain sambil bersalto. Ketika kakinya
mendarat ke tanah, tubuhnya membungkuk dan mengerang seperti seekor kucing
murka. Rangkak Dulang sempat dibuat bingung hingga tak jadi melepaskan
serangannya.
Wuuub...! Rangkak Dulang
berubah menjadi asap, dari kepulan asap itu muncul sinar merah sebesar
kelereng. Sinar merah itu bergerak melayang-layang memburu Kucing Hutan
menimbulkan cahaya merah kecil bagai ekor bintang jatuh. Wut, wut, wut, wut...!
Sinar merah sebagai ganti perwujudan Rangkak Dulang bergerak mengejar Kucing
Hutan.
Slap, Slaaapp...! Kucing Hutan
bersalto di udara dan tahu-tahu sudah berada di atas pohon, ia mengerang dengan
buas, menampakkan giginya yang bertaring pendek.
"Oooeewww..!
Oooeeoooww...!"
Weeess...! Sinar merah
mengejar ke atas pohon. Zlab, zlab..! Perawan Titisan Peri itu lenyap dalam
sekejap, muncul di pohon lain. Lenyap lagi, dan muncul kembali sudah di tanah.
Jleeg...!
Sinar merah bergerak
memburunya. Tapi pada saat sinar itu melayang di udara, Perawan Titisan Peri
melepaskan pukulan bersinar biru dari telapak tangannya. Claaapp...! Sinar
sebesar jari telunjuk Itu menghantam sinar merah tersebut.
Blegaaarr...!
Dentuman dahsyat mengguncang
alam sekitar tempat itu. Pohon-pohon tumbang, tanah bagaikan dijungkirbalikkan
oleh tangan-tangan raksasa. Sinar merah jelmaan Rangkak Dulang itu pecah dan
padam seketika. Dan itulah tanda kematian bagi si Pawang Setan Binal. Namun
amukan alam akibat gelombang ledakan yang dahsyat telah membuat tubuh Merpati
Liar terlempar keluar dari persembunyiannya. Suto Sinting pun terjungkal ke
semak-semak lain setelah lebih dulu tanah yang dipijaknya menghentak ke atas
bagai mengalami ledakan dari kedalamannya.
Brrrukk...! Merpati Liar jatuh
terguling di tanah depan Perawan Titisan Peri. Melihat kemunculan Merpati Liar,
Perawan Titisan Peri menyeringai sambil mengerang bagaikan kegirangan.
"Ooeeegggrrr...!"
Merpati Liar cepat bangkit dan
pasang kuda-kuda. Pisau kembarnya dicabut dari pinggang. Tetapi baru saja pisau
itu dicabut, Kucing Hutan sudah menerjang lebih dulu. Wuuutt...! Brrruifbs...!
Pisau kembar itu bisa terpental dari kedua tangan Merpati Liar . Sementara itu,
tubuh Merpati Liar pun terdorong mundur dan jatuh membentur pohon yang baru
saja tumbang.
"Perempuan picisan!
Rupanya kau ada di sini untuk menghalangi niatku mendapatkan pusaka itu, hah?!"
hardik Perawan Titisan Peri.
Merpati Liar bergegas bangkit
dengan penuh waspada. Matanya yang tajam pandangi si Kucing Hutan yang bergerak
ke sana-sini di depannya.
"Kau akan mati menelan
murkaku jika masih tetap ingin menghalangi niatku! Aku tahu kau murid
Parisupit, tapi jangan harap aku merasa gentar dengan murid Parisupit yang
bertugas melindungi pusaka Panji-panji Mayat itu! Apa pun jadinya, pusaka itu
harus kuperoleh! Siapa yang menghalangiku akan kuhancurkan dan rohnya kukirim
ke neraka!"
"Jahanam kau, Kucing
Hutan!" geram Merpati Liar. "Hiaaah...!"
Merpati Liar sentakkan
kepalanya bagai ingin melemparkan tubuh Kucing Hutan dengan kekuatan matanya.
Tetapi Kucing Hutan diam tak bergerak
dengan pandangan mata tetap tertuju pada Merpati Liar. Perawan Titisan Peri
juga sentakkan kepalanya bagai Ingin membuang tubuh Merpati Liar dengan
kekuatan pandangan matanya.
"Hiaaahh..!"
Merpati Liar mengokohkan
kuda-kuda, menjaga keseimbangan tubuhnya. Tubuh itu hanya merasa bergerak
sedikit namun bisa cepat dikuasai. Rupanya si Kucing Hutan juga mempunyai
kekuatan melemparkan lawan dengan pandangan mata. Akibatnya kedua perempuan itu
saling mengerahkan tenaganya dari jarak enam langkah, tubuh mereka sama-sama
gemetar karena berjuang keras menumbangkan lawan.
"Hiaaah...!"
"Hhheeeah...!"
Mereka saling mengerang dengan
suara tertahan. Urat-urat leher saling keluar bertonjolan. Wajah mereka menjadi
berkulit merah, sama-sama mendelik dengan gigi menyeringai.
"Hentikan!
Hentikaaan...!" seru Pendekar Mabuk yang mencemaskan keselamatan Merpati
Liar. Tapi kedua wanita itu bagai tak mendengar seruan tersebut. Mereka masih
saling mengerahkan tenaga dan saling serang melalui pandangan mata.
"Sebaiknya kulepaskan
jurus 'Jari Guntur'-ku agar Merpati Liar tak kalah tenaga," pikir Suto
Sinting.
Namun baru saja ia bersiap
ingin menyentil Kucing Hutan dari jarak jauh, tiba-tiba sekelebat bayangan
melesat dan menerjang Kucing Hutan dari arah samping kanan. Wuuutt...!
Bruuss...!
"Aaahg...!" Kucing
Hutan memekik tertahan. Perawan Titisan Peri itu terjungkal dan
berguling-guling bagai diterjang sebongkah batu gunung. Namun ia cepat bangkit,
tak mempeduiikan rasa sakitnya. Matanya segera memandang orang yang baru
datang.
"Kaaau...!" geram
Perawan Titisan Peri.
Pendekar Mabuk terperangah
dengan mulut ternganga melihat orang
yang baru datang itu. Sedangkan Merpati Liar pun agak terkejut sejenak.
Suto Sinting tak berkedip
memandangi gadis berambut acak-acakan dengan pakaian hitam yang lekat dengan
tubuh, seperti terbuat dari bahan karet. Pedang bergagang hitam disandang di
punggungnya. Suto Sinting tak akan lupa dengan wajah cantik berkesan liar dan
ganas itu.
"Angin Betina?!"
ucap Suto Sinting membuat Merpati Liar
terperanjat kembali karena tak menyangka Suto Sinting kenal dengan gadis itu.
Merpati Liar tak pernah tahu bahwa Suto cukup lama mengenal Angin Betina
sebagai gadis yang tak rela jika Suto Sinting dilukai orang karena perasaan
cinta yang ada di dalam hati gadis itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Seruling Malaikat").
Tetapi saat itu bukan saat
saling membeberkan kisah lama. Karena pada saat itu, Perawan Titisan Peri
semakin murka setelah mendapat serangan telak dari Angin Betina. Matanya
memandang Angin Betina yang berdiri di depan Merpati Liar seakan menjadi
perisai bagi Merpati Liar .
"Laknat busuk kau!
Heeeaahh...!"
Kucing Hutan sentakkan kedua
tangannya ke depan dan dari kedua telapak tangan itu keluar sepasang sinar
besar warna marah membara. Wooosss...!
"Angin Betina, minggir
kau!" seru Merpati Liar. Tetapi Angin Betina tak mau menyingkir, bahkan ia
mengerahkan tenaganya dan menyentakkan kedua tangannya juga ke depan, dari
telapak tangan keluar sepasang sinar putih perak sebesar kelingking. Claaap...!
Sinar putih perak beradu dengan sinar merah besar di pertengahan jarak.
Blegaaarrr...!
Angin Betina terlempar ke
belakang menabrak Merpati Liar. Keduanya saling berguling-guling dalam hempasan
hawa panas akibat ledakan dahsyat itu. Sedangkan Perawan Titisan Peri hanya
terlempar ke belakang dalam keadaan masih bisa berdiri dan punggungnya
membentur potongan batang pohon yang tadi patah akibat guncangan hebat.
Beeegh...!
"Kalau aku tak turun
tangan, bisa berbahaya kedua perempuan itu!" pikir Suto Sinting yang juga
ikut terpental akibat sentakan gelombang ledak tersebut. Ia segera melompat ke
pertengahan jarak, menghadap ke arah Perawan Titisan Peri.
Tetapi pada saat itu, Perawan
Titisan Peri tampak semakin liar dan ganas, ia menyentakkan kedua tangannya ke
langit.
"Heeeaaahhh..!"
Blegaarr...! Kilatan cahaya
petir menyambar, langit menjadi redup tertutup mega hitam dalam waktu sangat
singkat. Kemudian dari langit turun hujan merah yang mengerikan. Hujan itu
adalah hujan bara panas yang dapat membuat kulit hangus ataupun melepuh.
"Aaauh...! Uuuh..!
Aaah...!"
Mereka saling terpekik karena
tubuhnya dihujani bara panas. Tapi anehnya si Kucing Hutan tidak merasakan
panas sedikit pun walau tubuhnya juga terkena hujan bara. Pendekar Mabuk sempat
kelabakan menghadapi hujan bara itu. Sambil melompat ke sana-sini ia berusaha
menenggak tuaknya untuk menahan rasa panas.
Tiba-tiba dengan hati dongkol,
Pendekar Mabuk sentakkan suara dalam keadaan mendongak ke langit.
"Heeeaahh...!"
Jurus 'Napas Tuak Setan'
terlepas dari hembusan napas Pendekar Mabuk. Angin badai datang dengan
gilagilaan. Untung arahnya ke langit, sehingga hujan bara itu bagai dipindahkan
ke arah lain dalam waktu sangat singkat. Gelegar suara guntur bersahutan
membuat langit bagai mau pecah.
Kucing Hutan terperangah
melihat hujan bara buatannya berhasil disingkirkan oleh Pendekar Mabuk. Dengan
sangat murka ia segera mencabut pisau garpunya sebagai senjata berbahaya yang
mengandung racun ganas.
"Keparat kau! Terimalah
pisau ini sekarang juga, hiaaah...!"
Tangan Pendekar Mabuk
tiba-tiba menghentak ke depan dalam keadaan miring, napas terhembus dalam satu
sentakan melalui hidung. Fuihh..!
Clap, clap, clap, clap...!
Cahaya perak berbentuk bintang
kecil-kecil keluar dari telapak tangan Pendekar Mabuk. Cahaya perak itu tak
bisa dilihat jika bukan oleh mata orang berilmu tinggi. Bintang-bintang itu
menghantam dada Perawan Titisan Peri secara beruntun. Zuurrt, Kemudian
perempuan itu diam tak bergerak bagaikan patung.
Pendekar Mabuk telah
mempergunakan jurus 'Yudha' pemberian Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah
Sariningrum, calon istrinya itu. Akibatnya, satu demi satu tubuh Kucing Hutan
terpotong dengan sendirinya. Ruas demi ruas bagian tubuh itu berjatuhan sampai
akhirnya Perawan Titisan Peri itu menjadi setumpuk potongan tubuh yang tak bisa
disambung sambung lagi.
"Akhirnya ia mati dengan
jurus 'Yudha'-ku juga!" gumam hati Pendekar Mabuk sambil menghempaskan
napas kelegaan. Kejap berikutnya, ia segera hampiri Merpati Liar dan Angin
Betina yang mengalami luka bakar karena hujan bara tadi. Mereka segera diberi
minum tuak, sehingga dalam waktu singkat luka bakar itu hilang, rasa panas pun
sirna.
"Angin Betina...
bagaimana mungkin kau bisa tahu aku berada di sini?!" tanya Pendekar Mabuk
dalam keheranannya.
"Aku diutus oleh Resi
Wulung Gading untuk menemui Sunggarini agar membatalkan sayembaranya itu,"
jawab Angin Betina dengan nada tegas. Sesekali ia melirik Merpati Liar yang ada
di samping kirinya.
Katanya lagi, "Heboh
pusaka Panji-panji Mayat sampai ke telinga Resi Wulung Gading. Walau sebenarnya
dari dulu aku memburu pusaka itu, tapi setelah mendapat penjelasan dari Resi
Wulung Gading, niatku untuk memiliki pusaka itu menjadi kubatal kan."
"Apa alasan Resi Wulung
Gading menyuruh Sunggarini membatalkan sayembaranya?"
"Takut pusaka kuno itu
semakin banyak yang memburu untuk menghidupkan mendiang Prabu Dasawalatama.
Padahal pusaka Panji-panji Mayat yang ada di tangan Batuk Maragam telah
diserahkan kepada Resi Wulung Gading dan sekarang sudah diterima oleh Dewi
Hening, sebagai pewaris pusaka yang sebenarnya." "O, jadi pusaka itu
sebenarnya ada di tangan Batuk
Maragam?"
"Betul. Sedangkan yang
disimpan oleh Prabu Dasawalatama adalah tiruannya, untuk mengecohkan para
pemburu pusaka seperti si Perawan Titisan
Peri itu."
"Hmmm...!" Suto
Sinting manggut-manggut. "Tapi... tapi ada satu masalah lagi yang belum
kuketahui. Kucing Hutan, Rangkak Dulang, dan Paras Kencani memperebutkan sebuah
kitab pusaka yang bernama Kitab Lorong Zaman. Padahal setahuku kitab itu ada di
tanganmu. Apakah benar kitab itu dicuri oleh Paras Kencani?!"
"Hanya tiruannya juga
yang dicuri Paras Kencani beberapa waktu yang lalu."
"Ooo... hanya kitab
tiruannya?!"
"Kitab yang asli kusimpan
di suatu tempat setelah isinya selesai kupelajari," kata Angin Betina.
"Hei, tunggu
sebentar...!" sela Merpati Liar. "Sejak kapan kalian saling kenal
sehingga ngobrol seenaknya sendiri begitu hah?"
"Cukup lama," jawab
Pendekar Mabuk. "Dan kau sendiri, sejak kapan mengenal Angin Betina,
sahabat eratku ini?!"
Merpati Liar menjawab,
"Dia adikku...!"
"Hahh...?!" Pendekar
Mabuk memandang dengan mata melebar.
Angin Betina berkata kepada
kakaknya, "Suto adalah kekasihku!"
"Haahh...?!" kini
Merpati Liar yang membelalakkan mata, lalu menatap Suto Sinting dengan tak
berkedip. Hal itu membuat Angin Betina hanya bisa berkerut dahi memandangi
kakaknya dengan perasaan heran, ia tak tahu bahwa kakaknya pun terpikat oleh
ketampanan Suto Sinting yang hanya terpendam dalam hati
SELESAI