1
JURANG Lindu adalah sebuah
tempat yang mempunyai tebing cukup tinggi. Di bawah tebing itu ada sungai
dangkal berbatu-batu. Tebing itu juga mempunyai curahan air terjun yang cukup
deras hingga suara gemuruhnya dapat terdengar dari jarak radius lima kilometer.
Di balik curahan air terjun
yang bening itu, ternyata ada sebuah gua cukup besar yang menjadi tempat
tinggal seorang tokoh tua kelas tinggi dan namanya cukup kondang di rimba
persilatan. Tokoh itu tak lain adalah Ki Sabawana alias si Gila Tuak. Gila Tuak
mempunyai murid yang masih muda, tampan, gagah, berani, dan agak sinting. Bukan
otaknya yang sinting, melainkan ilmunya itulah yang sinting.
Karena dalam usia belum
mencapai dua puluh delapan tahun, ia sudah mampu tumbangkan tokoh-tokoh sesat
berilmu tinggi. Anak muda berbaju coklat tak berlengan dengan celana putih
kusam dan rambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah Suto
Sinting, yang kemudian dikenal dengan nama Pendekar Mabuk.
Pemuda itu ke mana-mana selalu
membawa bumbung bambu berisi tuak. Tuaknya itu bukan tuak sembarangan. Mampu
untuk sembuhkan penyakit dan melenyapkan luka dalam waktu singkat. Tuak itu
dikatakan sebagai tuak sakti, tapi sebenarnya bukan tuaknya yang sakti,
melainkan bumbung bambunya. Sebab bumbung bambunya itu adalah jelmaan dari
tokoh kawakan yang berilmu tinggi, yang tanpa pusar seperti Suto sendiri, dan
tokoh kawakan itu adalah Eyang Wijayasura.
"Kau boleh minum tuak
sepuas-puasmu, kapan saja dan di mana saja, tetapi ingat... jangan sampai
mabuk! Sekali lagi, jangan sampai mabuk!" Itu wanti-wanti si Gila Tuak
kepada sang murid tunggalnya.
"Kau boleh mabuk, tapi
hanya dalam memainkan jurusmu saja. Dalam kenyataannya kau harus tetap sadar
dan waspada."
"Minum tuak banyak-banyak
kok tidak boleh mabuk. Guru? Mana bisa begitu?"
"Bisa saja! Minum tuak
atau arak supaya tidak mabuk ada caranya sendiri."
"Caranya bagaimana,
Guru?"
"Caranya, salurkan air
tuak ke dalam sel-sel darah merahmu pada saat tuak sudah masuk ke tenggorokan.
Jangan dinikmati dengan hatimu, tapi nikmatilah dengan darahmu. Jika kau
menikmati tuak dengan darahmu, maka seluruh tubuhmu akan ikut menikmati. Sebab
seluruh tubuhmu mempunyai darah."
"Ada yang tidak mempunyai
darah, Guru."
"Bagian apa yang tidak
mempunyai darah dalam tubuh kita?"
"Rambut! He, he, he,
he...! Rambut kita kalau dipotong tidak berdarah, Guru. Jenggot Guru kalau
dipotong juga tidak berdarah kan?"
"Tapi kalau kepalamu
diketok pakai kayu kok berdarah?! Kalau tak percaya, mari kucoba...."
"Eh, eh... jangan, Guru! Jangan...!
Ampun, Guru!"
"Murid kalau dikasih tahu
kok pasti banyak ngototnya!" gerutu Gila Tuak sambil bersungut-sungut.
Itu percakapan beberapa tahun
yang lalu, ketika Suto Sinting baru tumbuh sebagai remaja dan ilmunya belum
seberapa tinggi. Sekarang, acara ngotot-ngotot sudah jarang dilakukan oleh
Suto. Walau kadang-kadang memang ia masih suka ngotot, tapi tidak sebandel
dulu.
Sekarang jika Gila Tuak
memberi wejangan ini-itu, Suto Sinting hanya mengangguk dan menerima wejangan
itu dengan penuh kesungguhan. Apalagi sejak sang Guru hampir mati karena
penyakit aneh itu, Suto Sinting mulai jarang membandel di depan gurunya.
Beberapa waktu yang lalu, Gila Tuak sakit parah.
Hampir saja nyawanya cabut dari raganya.
Penyakit itu disebabkan karena hukuman atas kelalaian si Gila Tuak. Seperti apa
kata Eyang Putri Batari, neneknya Dyah Sariningrum yang menjadi kekasih pujaan
hati Suto itu, bahwa Gila Tuak punya ilmu yang lupa belum diturunkan atau
dibuang dalam batas usia sampai sekarang. Karena, ilmu itu membuat Gila Tuak
sakit dan hampir koit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gerbang Siluman").
"Aku sendiri memang lupa
kalau aku punya ilmu yang bernama 'Sukma Lingga'. Sebab ilmu itu jarang
kugunakan. Sudah puluhan tahun aku tidak pernah memakai ilmu tersebut, tapi
juga lupa belum membuangnya," kata Gila Tuak sambil duduk berslia
berhadapan dengan muridnya di atas sebongkah batu besar yang datar tak seberapa
jauh dari curahan air terjun.
"Ilmu 'Sukma Lingga' itu
ilmu apa, Guru?"
"Ilmu itu sejenis ilmu
siluman, yaitu merupakan kesatuan dari kekuatan batin dan pikiran yang
bekerjasama dengan napas serta roh sejati kita."
"Perlu latihan berapa
lama, Guru?"
"Satu purnama sudah
cukup, terutama bagi orang yang sudah memiliki ilmu dasar pernapasan dan pemusatan
kekuatan batin."
"Apa yang kita dapatkan
dari ilmu 'Sukma Lingga' itu, Guru?" tanya Suto yang selalu ingin tahu
jika bicara soal ilmu.
"'Sukma Lingga' dapat
mengubah diri kita menjadi raksasa, ular naga, burung hantu, atau apa saja yang
bersifat aneh dan tidak masuk akal. Sebab ilmu 'Sukma Lingga' tercipta oleh
Eyang Buyut Guru-mu itu dari suatu kekuatan inti khayal yang diubah menjadi
inti nyata. Aku jarang memakainya, karena aku tak suka berkhayal."
"Apakah ilmu itu sama
dengan ilmu 'Dewatakara' pemberian si Payung Serambi yang sekarang masih
kumiliki ini, Guru?"
"Ya, sama persis, bahkan
bisa lebih tinggi 'Sukmalingga' jika kau pandai mengolahnya dalam tiap denyut
nadi dan tiap helaan napasmu. Tergantung seberapa tingginya daya khayalmu sebelum
menggunakan ilmu 'Sukma Lingga' itu."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Hatinya berdebar-debar karena merasa kagum dengan kehebatan
ilmu itu dan merasa bangga jika ia bisa memiliki ilmu tersebut.
"Sekarang ilmu itu akan
kuturunkan padamu."
"Benar, Guru. Sayang
sekali kalau harus dibuang, kan?"
"Sebenarnya akan kubuang.
Tapi mengingat kau telah selamatkan nyawaku saat aku dalam keadaan sekarat
gara-gara hukuman ilmu itu, maka sebagai hadiahnya, 'Sukma Lingga' akan
kuturunkan padamu. Tapi ingat, kalau ilmu itu sudah berada dalam dirimu selama
dua ratus tahun, kau harus membuangnya atau mewariskan kepada muridmu kelak.
Sebab jika tidak kau buang atau kau wariskan kepada seseorang, maka ilmu itu
akan mengeringkan darahmu dan membusukkan jantung, paru-paru, limpa, hati,
usus, babat, dan sebagainya. Kau akan menderita seperti penyakitku tempo hari
itu."
"Saya akan selalu
mengingat pesan Kakek Guru ini!" jawab Suto dengan tegas.
Sang Guru yang usianya sudah
mencapai dua ratus lima belas tahun itu segera berkata lagi dengan penuh
wibawa.
"Ilmu 'Sukma Lingga'
dapat meleburkan ilmu 'Dewatakara' yang kini berada dalam dirimu itu. Jika ilmu
'Dewatakara' telah lebur, maka darahmu bukan lagi darah siluman. Kau akan
kembali sebagai pemuda berdarah manusia biasa, namun mempunyai kekuatan gaib
setinggi para siluman, yaitu dengan cara mengendalikan ilmu 'Sukma Lingga'
tersebut. Paham?"
"Paham sekali, Guru!
Kapan saya mulai latihan? Sekarang?"
"Nanti dulu...!"
sang Guru bersungut-sungut. "Aku perlu berunding dulu dengan Bibi Guru-mu;
Bidadari Jalang. Sebab, dulu aku pernah janji padanya, kalau dia mau masuk
aliran putih, aku akan menurunkan ilmu itu padanya."
Bidadari Jalang adalah tokoh
cantik yang berilmu tinggi, satu tingkat di bawah Gila Tuak. Mereka dulu boleh
dikatakan satu perguruan, hanya saja beda guru. Jika Gila Tuak gurunya Eyang
Purbapati, maka Bidadari Jalang gurunya Eyang Nini Galih. Sedangkan Purbapati
dan Nini Galih itu suami-istri, mempunyai satu guru dan satu aliran, guru
mereka adalah Eyang Wijayasura.
Tetapi ketika Eyang Purbapati
dan Eyang Nini Galih sudah wafat, Bidadari Jalang menyimpang dari ajaran agung
sang Guru. Kehebatan ilmunya membuat Bidadari Jalang lupa daratan dan jadilah
ia seorang tokoh sesat yang sukar ditumbangkan. Kejahatan Bidadari Jalang
berkisar pada masalah gairah dan cinta. Tak peduli lelaki itu sudah punya
istri, kalau Bidadari Jalang bergairah kepada lelaki itu, maka ia akan berusaha
dengan cara kasar untuk mendapat kemesraan tersebut. Kalau perlu, istri lelaki
itu dibunuh.
Dan kalau lelaki itu tidak mau
melayani gairahnya, menolak ajakan bercumbu, maka hal itu sama saja si lelaki
menghendaki umur pendek. Bidadari Jalang tak segan-segan membunuh lelaki yang
menolak ajakan bercumbunya.
Akibat ulahnya yang tergolong
sesaat itu, maka Bidadari Jalang banyak musuhnya. Terutama musuh perempuan,
sebab yang banyak dikecewakan olehnya adalah kaum perempuan yang merasa suami
atau kekasihnya direbut oleh Bidadari Jalang. Tetapi setelah Bidadari Jalang
menemukan bocah tanpa pusar berusia sekitar tujuh tahun, ia menjadi tertarik
untuk turunkan ilmunya, ia berebut dengan kakak perguruannya sendiri; Gila
Tuak. Akhirnya mereka sepakat untuk sama-sama menurunkan ilmu mereka kepada
bocah tanpa pusar itu.
Dan bocah tersebut tumbuh
menjadi dewasa, hingga sekarang menjadi seorang pendekar perkasa berjuluk
Pendekar Mabuk. Sejak itulah Bidadari Jalang bertobat, insaf, sadar, tak mau
menjadi perempuan sesat lagi. Kini ia menjadi tokoh aliran putih dan
mengasingkan diri di Lembah Badai, ia ingin menebus segala dosanya dengan
banyak mendekatkan diri kepada Hyang Widi Wasa, banyak bersujud kepada Yang
Maha Kuasa.
Tetapi hutang lama Bidadari
Jalang masih banyak dan belum terlunasi. Tak heran jika banyak pula para
penagih hutang yang mencarinya dan bikin perhitungan dengannya. Salah satu
penagih hutang yang berhasil temukan tempat pengasingan Bidadari Jalang adalah
Nyai Watu Wadon, yang merasa dirugikan seumur hidupnya karena ulah Bidadari
Jalang tempo dulu.
"Sebelum nyawaku sirna
dari raga, aku tetap mengejarmu, Bidadari Jalang! Tak peduli apakah sekarang
kau sudah jadi orang baik atau orang buruk atau juga jadi orang hutan, tapi
hutang nyawa tetap harus dibalas nyawa! Tak pernah ada hutang nyawa dibayar
dengan beras!" ujar Nyai Watu Wadon ketika berhasil temukan Bidadari
Jalang di Lembah Badai.
Perempuan yang kehilangan
suaminya karena dibawa lari oleh Bidadari Jalang, dan beberapa hari kemudian
ditemukan sang suami sudah tak bernyawa di tepi hutan itu, sekarang usianya
sudah delapan puluh tahun. Tetapi berkat kesaktian ilmu yang dimilikinya, Nyai
Watu Wadon masih tampak tegar, kulitnya masih kencang untuk ukuran seorang
nenek seperti dia. Rambutnya memang sudah putih rata dan digulung asal-asalan.
Tetapi ia belum bungkuk dan jalannya tidak tertatih-tatih, ia bahkan masih
tampak lincah dan gerakannya cukup gesit.
Nyai Watu Wadon mengenakan
jubah abu-abu dengan pakaian penutup bagian pentingnya berwarna kuning kunyit.
Dengan senjata tongkat hitam yang ujungnya diberi senjata mirip bulan sabit
itu, Nyai Watu Wadon berdiri tegak menantang pertarungan dengan Bidadari
Jalang.
"Barangkali ada baiknya
kalau suamimu mati di tanganku, Watu Wadon!" ujar Bidadari Jalang.
"Karena suamimu sendiri adalah Ketua Perampok Laut Wetan! Kalau sekarang
ia masih hidup, ia tetap akan merugikan pihak lain yang tak berdosa
padanya."
"Bicaramu seperti seorang
biksu saja. Perempuan Liar! Jangan bicara tentang dosa, karena kau juga manusia
yang tak pernah kenal dosa! Sekarang hadapi saja hukuman dariku sebagai penebus
kematian suamiku!"
"Aku tidak mau membunuh
lagi, Watu Wadon."
"O, kalau begitu kau
lebih suka dibunuh?! Aha, itu sangat bagus. Kita pasangan yang cocok; kau suka
dibunuh dan aku suka membunuh!"
"Tapi kalau kau memaksaku
harus mempertahankan nyawa, dengan terpaksa kulayani tantanganmu, Watu
Wadon!"
"Eh, plin-plan juga kau
rupanya. Mulutmu harus dirobek dulu dengan tongkat 'Tanduk Keong' ini.
Hiaaaat...!!"
Weeesss...!
Nyai Watu Wadon berkelebat
menerjang Bidadari Jalang. Gerakannya ternyata sangat cepat dan membuat
Bidadari Jalang terlambat menghindarinya. Tongkat 'Tanduk Keong' hampir saja
merobek wajah Bidadari Jalang jika perempuan yang masih cantik dan berdada
montok itu tidak melompat ke kiri. Namun toh lompatannya itu tak luput dari
kibasan ujung tongkat yang bawah, sehingga kening Bidadari Jalang terhantam
kibasan tongkat tersebut.
Plaaak...!
Brrruk...! Bidadari Jalang
jatuh terbanting. Rupanya tongkat itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sama
besarnya dengan serudukan seekor banteng.
Kepala Bidadari Jalang terasa
mau pecah. Keningnya membekas merah kebiru-biruan. Pandangan matanya menjadi
buram dan makin lama makin gelap. Bidadari Jalang mencoba bangkit dengan tenaga
yang masih ada. Tapi baru separo berdiri, tahu-tahu tengkuknya ditendang oleh
Nyai Watu Wadon yang menggunakan tendangan belakang seperti kuda betina
menyepak lawannya. Duuuhk...!
"Uuhk...!"
Bruuuk...!
Bidadari Jalang tersungkur ke
depan, darahnya keluar dari mulut. Menyembur deras sebelum jatuh tadi.
Tendangan itu pun dialiri kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, hingga membuat
seluruh tubuh Bidadari Jalang menjadi panas bagai dipanggang api.
Agaknya Nyai Watu Wadon
sekarang jauh lebih tangkas dari waktu mudanya, ia telah memperdalam ilmunya
yang sengaja dipersiapkan untuk melawan Bidadari Jalang. Pada dasarnya,
Bidadari Jalang sebenarnya tak ingin melawan, apalagi membunuh Nyai Watu Wadon,
ia tak mau lakukan hal itu. Ia hanya ingin menghindari keributan tersebut
dengan sedikit memberi pertahanan agar tak sampai terbunuh.
Tetapi rupanya Nyai Watu Wadon
memang tidak ingin memberi kesempatan kepada Bidadari Jalang untuk bernapas
lebih lama lagi. Cita-citanya adalah membunuh Bidadari Jalang dalam dua-tiga
jurus saja. Jadi dia tidak boros jurus.
Karena itulah, begitu melihat
Bidadari Jalang terpuruk dalam keadaan luka dalam cukup parah. Nyai Watu Wadon
segera mengangkat tongkatnya 'Tanduk Keong' itu. Dengan satu lompatan, tongkat
itu dihujamkan ke bawah untuk memenggal leher Bidadari Jalang.
"Habis riwayatmu
sekarang, Jahanam! Hiaaaah...!"
Wuuuut...!
Brruuus...!
Nyai Watu Wadon justru
terpental agak jauh dan tubuhnya menabrak sebatang pohon besar. Tubuh yang
terhempas kuat pada batang pohon itu akhirnya jatuh tersungkur dan membuat
tulang-tulangnya terasa mau patah semua. Pandangan mata Nyai Watu Wadon pun
menjadi berkunang-kunang, hingga ia perlu mengerjap-ngerjapkan mata sambil
berusaha bangkit dengan bantuan tongkatnya.
"Maling kecut, kunyuk
botak...!" umpat sang Nyai.
"Siapa yang menerjangku
tadi?!" sambil ia clingak-clinguk. Lalu sebuah suara menjawab dari
belakangnya.
"Aku yang menerjangmu,
Nona!"
"Baah...! Bocah keparat
kau, berani menerjang orang tua! Apa matamu buta, aku sudah jadi nenek. Jangan
panggil aku Nona lagi. Itu penghinaan namanya!"
Pemuda yang menerjangnya itu
tersenyum kalem. Pemuda itu adalah Suto Sinting yang sudah siap dengan bumbung
tuaknya di tangan kanan.
"Siapa kau, sehingga
berani menggagalkan rencanaku membunuh Bidadari Jalang?!"
"Aku muridnya! Namaku
Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!"
"Bohong!" bentak
Nyai Watu Wadon. "Kau tak pantas jadi muridnya, karena kau tampan dan
gagah perkasa begitu. Kau pasti gundiknya si Jalang ini!"
"Aku muridnya!"
tegas Suto. "Kalau kau mau membunuh Bibi Guru, kau harus membunuhku lebih
dulu, Mbah!"
"Jangan panggil aku Mbah!
Kuno itu!" sentak Nyai Watu Wadon. "Panggil aku Dik... eh, jangan...
itu terlalu muda. Panggil aku Mbak... oh, jangan itu. Tapi... tapi persetan kau
mau panggil aku apa, yang jelas kau telah ikut campur dalam urusan ini dan kau
harus mati di tanganku. Ciaaaatt...!"
"Ssssttt...!!"
Nyai Watu Wadon hentikan
langkahnya yang ingin menyerang Suto dengan ujung tongkat sudah siap disodokkan
ke leher pemuda itu. Suto menempelkan telunjuknya di mulut yang berdesis tadi,
sepertinya ingin membisikkan sesuatu yang amat rahasia. Nyai Watu
Wadon kendurkan ketegangan dan
melangkah biasa sambil menyodorkan telinganya.
"Ada apa?" tanyanya
dalam nada bisik. Suto pun bicara dengan suara rendah seperti orang berbisik.
"Orang sudah tua tak baik
melawan anak muda. Nanti kualat! Durhaka!"
"Setan kampret!"
sentak Nyai Watu Wadon. Lalu ia hantamkan tangannya ke dagu Suto. Wuuut...!
Plak...! Tangan Suto
berkelebat menangkis dengan badan miring ke kiri, lalu mengayun ke belakang
seperti orang mabuk mau jatuh. Nyai Watu Wadon berputar dan kakinya menyepak ke
belakang. Wuuut...!
Ploook...!
"Aduuuh...!" Suto
Sinting terkena tendangan pada bagian pipinya, ia terpelanting dan hampir jatuh
kalau tidak segera berpegangan pada sebatang pohon.
"Bocah kupret mau
coba-coba melawanku dengan tipu muslihat, hmmm...! Cekak umurmu, Nak!"
seru Nyai Watu Wadon. "Kalau tak percaya bahwa umurmu akan cekak, inilah
buktinya! Heeeeah...!"
Nyai Watu Wadon melompat dan
mengibaskan tongkat 'Tanduk Keong' dengan cepat. Wuuut...! Tongkat itu
tiba-tiba menghantam sesuatu. Trring...!
Seperti menghantam logam besi,
tapi sebenarnya yang dihantam adalah bambu bumbung tuak. Bambu itu tidak lecet
atau remuk, justru tongkat sang Nyai yang hamper saja terlepas dari
genggamannya.
Suto segera berkelebat dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang punya kecepatan seperti cahaya pindah
tempat itu. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping Bidadari Jalang.
"Bibi Guru, minumlah tuak
ini. Lekas...! Aku akan hadapi dia!"
"Jangan. Dia bukan
lawanmu."
"Masa bodoh, yang jelas
dia mau bunuh Bibi Guru, berarti dia harus berhadapan denganku dulu!"
Pendekar Mabuk tinggalkan
bumbung tuaknya agar diminum Bidadari Jalang, ia terpaksa harus lakukan satu
lompatan cepat, karena Nyai Watu Wadon sudah menyerang kembali dengan
tongkatnya.
Kali ini logam putih tajam
yang mirip tanduk atau bulan sabit itu memancarkan sinar merah bara. Ketika
disodokkan ke depan, dua berkas sinar merah berkelok-kelok meluncur ke arah
Bidadari Jalang.
Claaap...!
Pendekar Mabuk melompat dan
berguling di tanah. Wuuut...! Kini ia berlutut satu kaki dan sentakkan kedua
tangannya ke depan. Dari kedua tangan itu melesat dua larik sinar ungu sebesar
lidi. Kedua sinar dari jurus 'Surya Dewata' itu bertabrakan dengan sinarnya
Nyai Wato Wadon.
Cralaaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan itu mengguncangkan
tanah sekitar mereka. Pohon-pohon pun bergetar, daunnya berguguran. Gelombang
ledakan itu menyentak kuat, membuat Nyai Watu Wadon terjungkal ke belakang dan
Suto Sinting terlempar ke samping. Brruus...! Gusraaak...!
"Maling tak sunat kau,
Cah Pitak! Rupanya kau punya kekuatan untuk hadapi jurus 'Sepasang Paruh
Kuda'-ku tadi. Kalau begitu, coba tahan jurus 'Bencana Gaib'-ku ini!
Hiaaah...!"
Nyai Watu Wadon yang ganas itu
segera lepaskan tongkatnya. Tongkat berdiri tegak di tanah tanpa ditancapkan.
Lalu kedua pergelangan tangannya saling rapat. Dan kedua tangan itu menyodok ke
depan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuuut...! Dari sodokan tangan itu
melesat sinar besar warna merah berasap.
Wuuus...!
Pendekar Mabuk cepat-cepat
pergunakan jurus 'Tangan Guntur'-nya. Kedua tangan menyentak ke depan lagi dan
keluarlah sinar biru besar dari telapak tangannya itu. Claaap...!
Sinar itu pun akhirnya
menghantam sinar merahnya Nyai Watu Wadon di pertengahan jarak. Jegaaaarrr...!!
Brruuk...! Gusraak...! Sruuuk...!
Bruuuss...!
Pohon-pohon tumbang karena
ledakan kali ini sungguh dahsyat. Tubuh Suto dan Bidadari Jalang terlempar
sepuluh langkah dari tempat semula. Tubuh Nyai Watu Wadon terpental pula dan
membentur pohon. Pohon itu sendiri tumbang dan menindih tubuh Nyai Watu Wadon.
Beberapa pohon lainnya pecah, batu-batu hancur, tanah terbelah menjadi beberapa
bagian.
Cahaya ungu yang berkerilap
bersama bunyi ledakan dahsyat tadi masih menyala dan membubung tinggi menyebar
lebar, menutup cahaya matahari. Langit bagaikan diselaputi kain ungu yang
membuat cahaya matahari sukar menembus ke bumi.
Cahaya ungu yang bercampur
kabut tipis itu makin lama semakin tinggi, lalu tampaklah matahari bersinar
ungu dan menjadi temaram. "Uuuhk...! Hiiiaaahk...!"
Nyai Watu Wadon menghantam
pohon yang menimpanya itu dengan kedua tangan. Praak...! Blaaarr...! Pohon itu
hancur, ia segera dapat meloloskan diri.
Namun ketika ia berdiri
menyambar tongkatnya, tiba-tiba ia memuntahkan darah dari mulut.
"Hoeek...!"
Zrrrook...!
Darah yang dimuntahkan
berwarna hitam dan cukup banyak. Nyai Watu Wadon mengerang dan mulai
terbatuk-batuk.
"Keparat kau, Jahanam
Busuk! Kau lukai aku separah ini dan... uuuhk...!" Nyai Watu Wadon pegangi
dadanya dengan menyeringai menahan sakit. Wajahnya menjadi pucat pasi.
"Celaka aku ini! Kalau
tetap melawan bocah sontoloyo itu bisa mampus di sini!" gerutunya dalam
hati.
Maka ia pun segera lakukan
sentakan kaki yang membuatnya melambung ke atas dan hinggap pada sisa batang
pohon yang patah di pertengahannya. Jleeeg...!
"Bocah congor sapi!"
serunya dengan suara tertahan. "Tunggu pembalasanku! Aku akan datang
dengan murid-muridku pada saatnya nanti!"
Blaaasss...! Nyai Watu Wadon
pergi dengan berkelebat cepat. Pendekar Mabuk yang mengucurkan darah dari
hidung dan telinganya bergegas mengejar. Tapi Bidadari Jalang segera berseru,
"Tunggu, Suto...!"
Langkah pengejaran terhenti, Pendekar Mabuk berpaling memandang Bibi Guru-nya.
"Jangan kejar dia!" larang
Bidadari Jalang.
"Kenapa, Bi?!"
"Dia Ketua Janda
Liar!"
"Apa kehebatannya?!"
*
* *
2
WAJAH Bidadari Jalang yang
cantik dan awet muda itu kini tampak murung diliputi kecemasan. Walaupun luka
dalamnya telah sembuh dan badannya cepat menjadi segar kembali karena minum
tuaknya Suto, tapi kegelisahan itu masih belum bisa sirna dari raut wajah
cantiknya.
Pendekar Mabuk tak habis pikir
melihat Bibi Gurunya menyimpan kecemasan. Mulanya ia ajukan tanya, tapi sang
Bibi Guru tak mau menjawab yang sebenarnya. Kecurigaan Suto membuat hatinya
kian penasaran hingga mendesak terus dengan pertanyaan yang sama.
"Sebenarnya ada apa, Bi?!
Mengapa Bibi Guru berpura-pura tenang padahal hati menyimpan kecemasan?!"
Bidadari Jalang agaknya masih
belum mau menjawab secara apa adanya. Bahkan ia sengaja alihkan pembicaraan
agar sang murid lupa dengan kegelisahannya.
"Apakah kedatanganmu ke
Lembah Badai ini diutus oleh Kakek Guru-mu?"
"Benar, Bibi. Aku diutus
Kakek Guru untuk memanggilmu datang ke Jurang Lindu. Ada masalah yang ingin
dibicarakan Kakek Guru kepada Bibi Guru."
"Masalah apa?"
"Tentang ilmu 'Sukma
Lingga' yang bikin sakit Kakek Guru tempo hari itu, Bi!"
"Oooo...," Bidadari
Jalang manggut-manggut.
Sekarang ia baru ingat bahwa
Gila Tuak memang punya ilmu 'Sukma Lingga' yang akan merusak jiwa raganya jika
dalam dua ratus tahun tak dibuang atau dialihkan ke orang lain. Suto Sinting
juga menceritakan tentang janji Gila Tuak kepada Bidadari Jalang, sesuai dengan
cerita sang Kakek Guru itu.
"Memang, dulu Gila Tuak
membujukku agar masuk ke aliran putih. Bahkan dia menjanjikan akan memberikan
ilmu 'Sukma Lingga' kepadaku jika aku mau masuk aliran putih dan meninggalkan
jalan sesatku. Tetapi pada waktu itu aku menolak."
"Apakah Bibi Guru tidak
mempunyai ilmu itu?"
"Tidak, ilmu 'Sukma
Lingga' adalah ilmu wasiat dari Eyang Purbapati. Aku mendapat warisan ilmu
wasiat sendiri dari Eyang Nini Galih, yaitu ilmu 'Candra Geni'. Dan ilmu itu
akan kuturunkan padamu sesuai janjiku, karena kau telah berhasil sembuhkan Kakek
Guru-mu dengan 'Tuak Dewata' itu."
Pendekar Mabuk tarik napas
lega bercampur gembira, karena ia juga akan mendapat ilmu tambahan dari Bibi
Guru-nya. Karena sebelum itu, Bidadari Jalang memang pernah berjanji akan
menurunkan ilmu 'Candra Geni' jika Suto berhasil selamatkan nyawa Gila Tuak
dari penyakit aneh itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Misteri Tuak Dewata").
"Tetapi agaknya kau harus
selesaikan dulu urusanmu dengan Kakek Guru-mu. Nanti setelah ilmu 'Sukma
Lingga' kau kuasai, aku baru akan menurunkan ilmu 'Candra Geni' itu."
"Apakah Bibi Guru tidak
keberatan jika ilmu 'Sukma Lingga' diwariskan padaku?" Bidadari Jalang
menggeleng. "Aku bertobat dan masuk ke aliran putih bukan karena ingin
memiliki ilmu 'Sukma Lingga'. Jadi bagiku tidak ada masalah ilmu itu mau
diwariskan padamu atau mau dibuang oleh si Gila Tuak. Jika memang akhirnya kau
yang akan menerima ilmu wasiat itu, pada dasarnya aku setuju saja. Tapi yang
terpenting bagiku sekarang ini...," Bidadari Jalang hentikan kata.
Wajah cantik itu tampak resah
lagi dan jelas sekali keresahan itu sengaja ingin disembunyikan namun gagal.
Suto Sinting melihat keresahan itu mengganggu ketenangan Bibi Guru-nya,
sehingga ia berusaha membujuk sang Bibi Guru mau jelaskan rahasia keresahannya
itu.
"Kesulitan Bibi Guru sama
saja dengan kesulitanku. Kalau Bibi Guru tidak mau membagi masalah denganku,
berarti aku sudah bukan lagi murid dari Bibi Guru! Aku akan pamit pergi dan tak
akan kembali lagi ke sini!"
"Pergilah sana dan tak
perlu ke sini lagi!"
"Yaaah... tadi kan cuma
gertakan saja, Bi!" Suto Sinting merajuk seperti anak kecil, ia memang
sering manja jika sedang berhadapan dengan Bibi Guru-nya.
"Jangan suruh aku
benar-benar pergi, Bi. Nanti aku sedih kalau kehilangan Bibi Guru."
"Ah, rayuanmu tak bisa
menyentuh hatiku!" sambil Bidadari Jalang melengos.
"Kalau Bibi bukan guruku
juga, pasti Bibi akan kurayu dengan asmara dan Bibi Guru akan kelabakan mencari
kemesraanku. He, he, he, he...."
"Kalau kau bukan muridku,
aku juga tidak akan turunkan jurus 'Rayuan iblis' yang dapat melumpuhkan hati
perempuan mana pun itu!"
"Jadi, sekarang aku masih
muridmu, bukan?" sambil Suto sengaja berpindah tempat agar berhadapan
dengan Bidadari Jalang.
Perempuan cantik berjubah ungu
muda dan pinjung penutup dada serta celana beludrunya yang berwarna merah itu
sengaja berbalik arah agar memunggungi murid tampannya.
"Tinggalkan aku dan
biarkan aku berpikir sendiri, Suto." Sang murid cengar-cengir. "Bibi
terlalu cantik kalau cemberut begitu."
"Tinggalkan aku sekarang
juga, Suto!" sentaknya tanpa berpaling kepada Suto yang ada di
belakangnya.
Suto memegangi jubah sang Bibi
Guru. "Bibi jangan membentak begitu, nanti hatiku deg-degan. Sebab kalau
Bibi sedang marah, wajah Bibi Guru jauh lebih cantik daripada rembulan
dan...."
"Suto...!!" bentak
sang Bibi Guru semakin keras. Suto Sinting terlonjak kaget dan segera undurkan
diri. Ia menundukkan kepala ketika Bibi Guru-nya memandang dengan mata
memancarkan kemarahan. Namun sesekali mata Suto melirik wajah sang Bibi Guru
dengan senyum geli disembunyikan.
"Persoalan ini adalah
persoalanku, dan kau tak boleh tahu!"
"Tapi, Bibi..., sebagai
muridmu juga, aku harus bisa membantumu dalam melepaskah diri dari segala
kesulitan."
"Tidak perlu. Aku tidak
butuh bantuan siapa pun. Yang penting, sekarang pergi dari sini dan kembalilah
ke Jurang Lindu. Katakan kepada Kakek Guru-mu bahwa aku setuju jika ilmu 'Sukma
Lingga' itu diwariskan padamu. Sudah, pergi sana!"
"Kenapa Bibi Guru menjadi
begitu berang kepadaku?" Suto berlagak manja dan bersungut-sungut.
"Dari dulu cuma Bibi Guru yang sering mengomelku!"
"Karena kau murid yang
bandel, nakal, dan...."
"Dan tampan, bukan?"
goda Suto sambil nyengir, pamer senyum ketampanan di depan Bibi Guru-nya. Plaaak...! Suto ditampar dan Suto Sinting
kaget, lalu berkata dengan wajah memelas.
"Terima kasih...!"
Bidadari Jalang bergegas pergi tinggalkan Suto Sinting. Tapi sang murid bandel
tetap memburunya, serta tiba-tiba menghadang langkah sang Bibi Guru.
Jleeg...!
"Pergi kau dari hadapanku!"
gertak Bidadari Jalang.
"Aku tak ingin pergi
sebelum Bibi Guru ceritakan apa sebabnya Bibi Guru gelisah dan resah
sekali."
"Kau mau melawan Bibi
Guru-mu ini?!"
"Boleh saja kalau memang
Bibi Guru ingin adu ilmu denganku!" jawab Suto sambil berlagak cuek,
garuk-garuk kepala dan memandangi daun-daun pohon.
"Kau benar-benar murid
yang minta dibasmi!" geram Bidadari Jalang.
"Memangnya aku tikus
sawah, kok mau dibasmi segala?!" Suto bersungut-sungut, Bidadari Jalang
melengos sembunyikan senyum. Kemudian perempuan itu bergegas pergi dengan satu
lompatan cepat.
Wuuut,..! Tapi Suto Sinting
menyusulnya dengan jurus 'Gerak Siluman' yang lebih cepat dari gerakan Bibi
Guru-nya.
Zlaaap...!
Bidadari Jalang hentikan
langkah karena Suto sudah menghadang di depannya. Ia berani lakukan canda
seperti itu, karena ia yakin Bibi Guruhnya tidak benar-benar marah. Hanya
merasa jengkel oleh ulahnya. Dan semakin sang Bibi Guru kelihatan jengkel,
semakin berani Suto mempermainkan sang Bibi Guru. Kebetulan saat-saat bahagia dalam
canda seperti itu sudah lama tidak terjalin di antara mereka berdua, karena
Suto Sinting sibuk mengejar musuh utamanya; Siluman Tujuh Nyawa. Kepala tokoh
terkutuk bernama Siluman Tujuh Nyawa itulah yang akan menjadi maskawinnya nanti
dalam melamar seorang ratu cantik dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam
nyata. Ratu itu bergelar Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli yang cantik:
Dyah Sariningrum.
"Kau benar-benar
membuatku marah, Suto!" geram Bidadari Jalang. "Kuhitung sampai tiga
kali kalau kau masih berdiri menghadangku, akan kuhajar kau sampai gempor,
Suto!"
"Kuadukan kepada Kakek
Guru, kau akan kena marah, Bibi!"
"Adukan sana! Aku tidak
takut berhadapan dengan si Gila Tuak!" sentak Bidadari Jalang dengan wajah
cantik cemberut.
"Jangan, ah! Kalau
kuadukan nanti Bibi Guru dimarahi oleh Kakek Guru. Kasihan, Bibi... sudah tak
punya sanak keluarga masa' harus dimarahi terus?!"
"Minggir kau, Suto!
Satuuu...!"
"Duaaaa...!" Suto
ikut-ikutan menghitung.
"Diam kau! Biar aku yang
menghitung!"
"Aku cuma tunjukkan bahwa
aku ingin membantu
setiap pekerjaan dan
kesulitanmu. Sebagai contoh, aku ikut membantu menghitung ancamanmu itu, Bibi
Guru."
"Duaaa...!"
Pendekar Mabuk sengaja
cengar-cengir di depan Bibi Guru-nya. Wajah cantik itu makin tampak kesal,
bahkan sempat menggeram dengan napas tertarik.
Tiba-tiba mereka mendengar
suara dentuman dari arah timur. Wajah mereka tampak terperanjat seketika.
Dentuman itu terdengar tak begitu jauh dari mereka. Pendekar Mabuk mulai
penasaran sebab ia yakin di sebelah timur pasti ada pertarungan. Wajah
cengar-cengirnya sirna seketika. Bidadari Jalang sendiri juga kehilangan
kejengkelannya.
Zlaaap...! Suto Sinting pergi
ke arah timur tanpa pamit apa-apa pada Bibi Guru-nya, sebab ia yakin sang Bibi
Guru pasti akan mengikutinya. Keyakinan Pendekar Mabuk memang terbukti.
Bidadari Jalang segera melesat mengikuti muridnya menuju ke timur. Saat itu
bumi terasa bergetar kembali dengan suara dentuman yang menggelegar seperti
tadi.
Blegaarr...!
Dari ketinggian tanah cadas
yang menyerupai bukit kecil itu, Suto dapat melihat dua sosok wanita saling
berhadapan dan saling memainkan jurus lamban.
Permainan jurus itulah yang
diperhatikan Suto Sinting setiap ia mengintai pertarungan.
"Hmmm... jurus yang aneh.
Lamban tapi mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar!" gumam Suto
Sinting. "Rupanya Nyai Watu Wadon tak sempat melarikan diri jauh-jauh. Ia
masih terluka, tapi mengapa berani lakukan pertarungan dengan perempuan
berjubah bunga-bunga merah hitam itu?!"
Pertarungan itu memang
dilakukan oleh Nyai Watu Wadon dan seorang perempuan berjubah kuning dengan
pola bunga-bunga merah hitam. Agaknya perempuan berjubah bunga-bunga itu
mempunyai ilmu yang cukup tinggi, karena serangan tongkat 'Tanduk Keong' Nyai
Watu Wadon tak dapat melukai kulitnya yang halus, mulus, dan berwarna kuning
langsat itu. Perempuan yang tampaknya
berusia sekitar tiga puluh tahun kurang sedikit itu sengaja membiarkan dirinya
diserang dengan senjata ujung tongkat itu berkali-kali. Bet, bet, bet...!
Tak satu pun bagian tubuh yang
tergores atau lecet karena tebasan tongkat Nyai Watu Wadon. Bahkan ketika Nyai
Watu Wadon hujamkan tongkatnya ke dada perempuan cantik berpayudara montok itu,
ternyata logam tajam di ujung tongkat itu justru patah dan tak berguna lagi.
Wuuut...! Traak...!
"Celeng sunat!"
sentak Nyai Watu Wadon melihat senjatanya patah. Perempuan berambut panjang
diriap lepas dengan bagian tengahnya dikonde kecil itu masih tetap bergerak
seperti orang menari malas-malasan, ia bagaikan tidak peduli dengan makian dan
keberangan Nyai Watu Wadon.
Bahkan ketika Nyai Watu Wadon
mengangkat tongkatnya dan tongkat itu menyala merah seperti besi membara,
perempuan berjubah bunga-bunga itu tetap bergerak lamban bagai menari-nari.
"Modar kau sekarang,
Gayung Jamban! Heaaah...!"
Wuuuut, praaak...!
Tongkat itu dihantamkan di
kepala si cantik. Tapi ternyata kepala itu tetap awet dan utuh, retak sedikit
pun tidak. Justru tongkat sang Nyai yang menjadi patah dan cahaya merah baranya
lenyap seketika. Tempat patahnya itu mengepulkan asap bagaikan bara habis
tersiram air.
"Gila! Rupanya perempuan
cantik itu tahan bacokan?!" gumam Suto Sinting lirih.
"Dia kuasai ilmu 'Kulit
Baja'...!"
Pendekar Mabuk sempat
terperanjat sekejap, karena tahu-tahu ada suara yang menimpali gumaman lirihnya
tadi. Ternyata suara itu milik Bibi Guru-nya yang menyusul di balik pohon
persembunyian itu.
"Bibi kenal dengan
perempuan berjubah bunga-bunga itu?!"
"Ya. Dia dikenal dengan
nama: Selimut Senja."
"Orang mana dia,
Bi?"
"Ssst...! Lihat saja
pertarungan itu. Agaknya si Watu Wadon mulai terdesak!"
Pendekar Mabuk tak jadi ajukan
tanya lagi, karena perhatiannya terpusat pada pertarungan yang cukup seru.
Selimut Senja tampak berhasil menguras tenaga Nyai Watu Wadon dengan pancingan
jurusnya.
Nyai Watu Wadon menyerang
terus karena Selimut Senja kelihatan sering lengah. Padahal kelengahan Selimut
Senja justru suatu bahaya bagi Nyai Watu Wadon. Setiap pukulan tangan atau
tendangan kaki tanpa cahaya yang kenai tubuh Selimut Senja ternyata dapat
menyerap tenaga orang yang memukulnya. Terbukti, setiap Nyai Watu Wadon
berhasil menghantam punggung alau dada lawannya, ia selalu terengah-engah dan
menggelosor sendiri bagai kekurangan tenaga.
Sedangkan Selimut Senja hanya
oleng ke kiri atau ke kanan, sesekali tampak terhuyung ke belakang, namun tegak
kembali dan bergerak gemulai lagi bagai menari tanpa tenaga.
Tapi ketika Nyai Watu Wadon
melepaskan pukulan bersinar merah yang dipakai menyerang Suto tadi, Selimut
Senja melambung ke atas dan bersalto dengan cepatnya. Sambil lakukan gerakan
bersalto, seberkas sinar putih kecil lurus terlepas dari tangannya dan kenai
leher kiri Nyai Watu Wadon. Claap...!
Caaaasszz...!
"Aaahk...!" Nyai
Watu Wadon mengejang dengan tubuh melengkung ke belakang. Sinar putih yang
kenai lehernya itu membuat leher itu menjadi hitam seketika dan berasap. Kejap
berikutnya, Selimut Senja mendaratkan kakinya ke tanah. Jleeg...! Tanah di
sekitarnya tampak bergetar, daun-daun berguguran karena getaran tersebut. Nyai
Watu Wadon jatuh berlutut sambil masih mengerang dengan mata mendelik
menyeramkan. Kedua tangannya memegangi leher yang hitam dan berasap itu.
"Kepp... kepaarraat...
kauuu...."
"Sekarang akulah yang
menjadi Ketua Janda Liar!" ujar Selimut Senja dengan rentangkan kaki kanan
ke belakang jauh-jauh, dan kaki kirinya merendah hingga lututnya tampak
menonjol maju, satu tangan terangkat di atas kepala dengan jari lentik bagai
ingin mencari, tapi tangan yang satunya lagi menggenggam kuat di depan dada.
"Celaka! Mengapa aku diam
saja?!" gumam Bidadari Jalang tepat ketika Nyai Watu Wadon akhirnya roboh
ke belakang dan kepalanya menggelinding satu langkah darinya.
"Terlambat! Sudah
terlambat!" ucap Bidadari Jalang dalam geram membisik. Ucapan itu
memancing keheranan Suto, sehingga murid tampan yang nakal itu pun akhirnya
ajukan tanya dengan dahi berkerut.
"Ada apa sebenarnya, Bi?!
Wajah Bibi Guru kelihatan semakin resah dan seperti ketakutan?!"
Weees...! Pendekar Mabuk
kaget, karena saat ia berpaling memandangi Selimut Senja, ternyata perempuan
cantik berdada montok itu sudah melesat lebih dulu, lenyap dari pandangan Suto.
Ia pergi ke arah barat dan Suto ragu-ragu untuk mengejarnya, ia lebih tertarik
dengan kecemasan yang tampak makin mencekam jiwa Bibi Guru-nya itu.
"Seharusnya kita tidak
membiarkan Nyai Watu Wadon terbunuh!" ujar Bidadari Jalang sambil
memandang ke arah kepergian Selimut Senja.
"Bukankah Nyai Watu Wadon
adalah musuh Bibi Guru? Dia tadi ingin membunuh Bibi Guru. Mengapa sekarang
Bibi Guru tampak menyesal melihat Nyai Watu Wadon dibunuh Selimut Senja?!"
"Pandanglah langit!"
hanya itu jawaban Bidadari Jalang, kemudian berkelebat pergi tinggalkan tempat
itu.
Pendekar Mabuk tak mengerti
maksud Bidadari Jalang. Ia memandang langit sebentar. Langit masih dilapisi
kabut ungu. Sinar matahari hanya membayang tipis membuat alam menjadi temaram
berkesan redup.
"Bibi, tunggu...!"
Zlaaap...! Suto Sinting
menyusul Bibi Guru-nya dengan
menggunakan kecepatan 'Gerak Siluman'. Dalam waktu singkat ia sudah berhasil
menghadang langkah Bibi Guru-nya lagi.
"Bibi Guru, apa maksudmu
menyuruhku memandang langit?!"
"Bodoh!" sentak
Bidadari Jalang dengan jengkel karena langkahnya terhadang lagi itu.
"Kalau aku bukan murid
bodoh aku tidak akan bertanya kepada Bibi Guru. Kalau aku pintar, Bibi Guru
yang akan menjadi muridku!"
"Bocah lancang!"
geram Bidadari Jalang sambil mengangkat tangan untuk menampar wajah Suto.
Tetapi sang murid segera menampar pipinya sendiri dengan tangan kirinya.
Plaak...!
"Sudah, Bibi. Tak perlu
repot-repot menamparku, aku sudah menampar wajahku sendiri untuk meringankan
beban Bibi Guru, biar irit tenaga! Tapi jelaskan apa maksud Bibi Guru
menyuruhku memandang ke langit?!"
"Apakah kau tidak melihat
matahari diselimuti cahaya ungu berkabut?!"
"Ya, memang, itu karena
jurusnya Nyai Watu Wadon yang hampir merenggut nyawaku tadi. Ternyata cahaya
ungu berkabut itu belum sirna juga."
"Watu Wadon menggunakan
jurus 'Bencana Gaib'....!"
"O, ya... kudengar tadi
dia menyebutkan nama jurus itu," sahut Suto Sinting.
"Seharusnya sinar
merahnya tadi jangan kau tangkis dengan jurus 'Tangan Guntur' yang memancarkan
sinar biru. Mestinya kau tangkis dengan jurus lain atau kau hindari. Sinar
merah itu hanya akan membuat benda yang dikenainya menjadi lenyap, namun bayangannya
masih membekas di tanah, tergantung dari mana arah matahari datangnya."
"Jadi jika aku tadi
terkena jurus 'Bencana Gaib', maka tubuhku akan lenyap tapi bayanganku masih
ada, begitu?"
"Ya. Dan bayanganmu masih
bisa berjalan ke sana-sini atau berbuat apa saja, tapi tak bisa disentuh atau
menyentuh orang lain."
"Hmmm...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Lantas, apa salahnya jika kutangkis dengan jurus
'Tangan Guntur' tadi? Toh membuatku selamat dan benda apa pun tidak menjadi
lenyap."
"Benar! Tapi jurus 'Bencana
Gaib', jika bertemu sinar biru, dia akan berubah ungu dan membentuk cahaya
abadi berkabut. Cahaya ungu yang abadi dan menutup sinar matahari dinamakan
'Selaput iblis'. Sinar matahari tetap memancar, tapi timbulkan hawa lain yang
mempengaruhi kehidupan di bumi. Matahari tak akan bergerak ke barat atau ke
timur, karena ia terpaku 'oleh 'Selaput iblis' itu."
Bidadari Jalang mengusap
wajahnya dan selalu berusaha bicara tanpa memandang Suto Sinting. Bahkan ia
tampak sekali tak mau diperhatikan oleh murid-nya, sehingga sebentar-sebentar
Suto terpaksa bergeser mencari tempat yang bisa beradu muka dengan Bibi
Guru-nya.
"Apakah selamanya
matahari tidak akan bergerak ke barat atau ke timur, Bibi?!"
"Ya. Selamanya matahari
akan diam di sana, sebelum 'Selaput Iblis' itu hancur. Dan...," Bidadari
Jalang tampak ragu, namun desah napasnya menandakan kecemasannya kian
bertambah. Pendekar Mabuk menjadi tambah penasaran lagi.
"Lanjutkan penjelasanmu,
Bibi Guru! Tolong, jangan bikin hatiku penasaran dan ingin menggodamu terus,
Bibi!"
"Kuperintahkan padamu,
cari kekuatan yang bisa hancurkan 'Selaput Iblis' itu!"
"Mengapa harus
dihancurkan? Apa yang terjadi jika
'Selaput iblis' itu tidak
dihancurkan, Bibi Guru?!" Suto mendesak lebih detil lagi.
"Ketahuilah, Anak
Brengsek...! Cahaya matahari yang menembus 'Selaput Iblis' akan memudarkan
semua kekuatan ilmu pengawet ayu. Siapa pun orangnya yang menggunakan ilmu atau
mantra awet ayu dan awet muda, dalam waktu dekat kekuatan itu akan sirna
termakan bias cahaya matahari yang menembus lapisan ungu itu. Aku dan yang
lainnya, akan menjadi tua, wajahku akan buruk, keriput, rambutku akan berubah,
kecantikanku akan hancur dan... oooh...!"
Bidadari Jalang berbalik
wajah, dan menghantamkan tangannya pada sebatang pohon yang dipakai untuk
sembunyikan wajah dari pandangan sang murid.
Duuur...! Pohon itu bergetar
keras, ranting dan daunnya berguguran akibat pukulan tangan Bidadari Jalang
tadi. Suto Sinting tak peduli tentang daun gugur itu. Ia segera dekati Bibi
Guru-nya dengan mengitari pohon tersebut. Kini ia berada di depan Bibi Guru-nya
yang tertunduk.
"Bibi Guru...,"
sapanya pelan, bernada serius. Sang Bibi Guru angkat wajah dan pandangi Suto
Sinting.
"Bibi masih kelihatan
cantik, menarik, dan... dan sangat mengagumkan," ujar Suto Sinting bagai
merayu seorang kekasih.
"Sebentar lagi aku akan
berubah menjadi buruk dan menjijikkan! Semua perempuan yang menggunakan ilmu
atau mantra awet muda, akan menjadi tua dan menyeramkan setelah setiap bayangan
benda berubah menjadi ungu muda."
Pendekar Mabuk segera
memandang bayangannya sendiri. Ada bayangan samar-samar di tanah akibat bias
sinar matahari yang redup itu. Bayangan tersebut masih berwarna hitam seperti
biasanya. Tapi warna-warna ungu mulai tampak tipis pada tepian bayangan itu.
Bayangan pohon dan batu pun
demikian. Pendekar Mabuk menjadi tegang dan bertanya dalam hati, "Benarkah
jika setiap bayangan sudah berubah menjadi ungu, maka seluruh ilmu pengawet
kecantikan akan pudar dan membuat wajah-wajah mereka menjadi menyeramkan?! Oh,
kalau begitu, aku harus segera menghancurkan 'Selaput Iblis' itu agar Bibi Guru
tak menjadi buruk rupa! Tapi dengan apa aku menghancurkannya?!"
Pendekar Mabuk menanyakan hal
itu, tapi Bidadari Jalang mengaku tidak tahu persis tentang kekuatan yang dapat
hancurkan 'Selaput Iblis' itu.
"Kekuatan itu ada pada
Nyai Watu Wadon! Hanya dia yang bisa menghancurkan 'Selaput iblis'," kata
Bidadari Jalang.
"Tapi... tapi bagaimana
mungkin dia bisa hancurkan 'Selaput Iblis' itu, Bibi Guru, sebab Nyai Watu
Wadon sudah mati dan kepalanya tadi dibawa lari oleh Selimut Senja!"
"Itulah masalah yang
harus kau hadapi. Bagaimanapun juga, kau ikut andil dalam membentuk 'Selaput
Iblis' yang kini menutupi matahari itu. Jika kau tidak gunakan jurus 'Tangan
Guntur' yang bercahaya biru, tak mungkin cahaya merahnya si Watu Wadon akan
berubah menjadi cahaya ungu!"
"Ja... jadi aku termasuk
bersalah dalam hal ini. Bibi Guru?"
"Aku... aku tak bisa
bicara lagi. Lihat, bayangan kita sudah mulai berwarna ungu pada tepiannya."
Pendekar Mabuk memandang
dengan mata tak berkedip dan mulut terbengong melompong.
*
* *
3
BIDADARI Jalang sempat
berdebat dengan Gila Tuak setelah
Pendekar Mabuk dilaporkan pergi mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput
iblis' itu. Agaknya si Gila Tuak tidak setuju jika Suto Sinting dikatakan
sebagai orang yang ikut andil dalam menciptakan 'Selaput iblis' di langit.
"Warna merah apa pun,
kalau bercampur dengan warna biru, jelas akan hasilkan warna ungu," kata
Gila Tuak. "Jurus apa pun yang memancarkan sinar biru, jika bertemu dengan
sinar merahnya si Watu Wadon, tentu saja akan membiaskan warna ungu. Tetapi
bukan berarti Suto Sengaja menciptakan 'Selaput Iblis' di langit untuk
memudarkan kecantikanmu, Nawang Tresni!"
"Aku tidak menuduhnya
begitu, Sabawana! Aku hanya mengatakan bahwa ia ikut bertanggung jawab atas
terciptanya kabut sinar ungu yang menutupi matahari itu! Jadi dia harus ikut
berusaha mencari kekuatan yang dapat menghancurkan 'Selaput iblis' itu!"
"Seandainya Suto tidak mencari
kekuatan tersebut, dia tidak bersalah! Justru si Watu Wadon yang bersalah,
karena ia menggunakan jurus maut yang dapat membahayakan kaum wanita di seluruh
bumi ini! Dan justru Suto bertindak benar, karena melindungimu sebagai perilaku
yang baik bagi seorang murid!"
Bidadari Jalang tak mau
berdebat lagi. Pikirnya, perdebatan itu hanya akan membuat mereka berdua saling
bersitegang yang salah-salah bisa mengakibatkan permusuhan dalam sekejap.
Bidadari Jalang sudah merasa sungkan jika harus bertarung dengan saudara
seperguruannya lagi. Ia mempunyai rasa hormat kepada Gila Tuak, sebagai tokoh
tertinggi di deretan nama para tokoh dunia persilatan.
Akhirnya Bidadari Jalang
memohon dengan suaranya yang datar dan dingin.
"Lalu, bagaimana nasibku
sekarang? Tak dapatkah kau menghancurkan kabut sinar ungu di langit itu?!"
Gila Tuak menarik napas.
Kumisnya terbang beberapa lembar karena napas yang segera dihembuskan itu cukup
kuat.
"'Selaput Iblis' dulu
memang pernah tercipta, ketika Nyai Rumpun Sari, gurunya si Watu Wadon
melepaskan jurus 'Bencana Gaib' kepada Tunggul Ketawang, dan Tunggul Ketawang
mengadunya dengan sinar jurus bersinar biru. Tetapi pada waktu itu, Raja Maut
masih hidup. Dia yang mempunyai jurus penghancur 'Selaput iblis', sehingga
bencana buruk muka tidak sempat melanda para wanita. Sebab kala itu Tunggul
Ketawang dibela oleh si Raja Maut."
"Ya. Aku ingat juga
peristiwa itu. Tapi sekarang Raja Maut sudah tiada. Apakah kita harus memaksa
mayatnya agar menghancurkan 'Selaput Iblis' itu?!"
"Jelas mayat Raja Maut
tak mungkin mau biar diancam pakai seribu pedang pun!" kata Gila Tuak
dengan nada datar. "Sebaiknya kita bicarakan kepada para sahabat kita.
Mungkin si Tua Bangka atau Batuk Maragam mengetahui cara melumpuhkan 'Selaput
iblis' itu."
Kebetulan sekali pada waktu
itu Pendekar Mabuk bertemu dengan Batuk Maragam dalam perjalanannya mencari
kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Ia menemukan Batuk Maragam
dalam sebuah arak-arakan manusia yang menuju ke sebuah lembah.
Iring-iringan itu kebanyakan
terdiri dari kaum wanita. Hanya beberapa orang lelaki saja yang tampak ikut
dalam iring-iringan tersebut. Di antaranya adalah lelaki tua berusia sembilan
puluh tahun dengan rambut abu-abu potongannya mirip rambut Suto Sinting. Pak
Tua yang mengenakan jubah kuning dan celana biru itu selalu terbatuk-batuk dan
suara batuknya bisa beraneka ragam. Sebab itulah ia dijuluki Batuk Maragam di
kalangan para tokoh persilatan. Nama aslinya: Brajamusti. Tapi ia enggan
menggunakan nama itu karena kurang populer dan lebih kondang serta terasa lebih
angker baginya dengan nama Batuk Maragam.
Sebongkah tanah cadas sebesar
kepalan tangan orang dewasa melesat ke arah tengkuk Batuk Maragam.
Wees...! Gumpalan tanah cadas
yang keras itu tiba-tiba berhenti sendiri dalam jarak satu jengkal sebelum
kenai tengkuk Batuk Maragam. Seet...! Gumpalan tanah itu diam di udara bagai
ada kekuatan yang menyangganya.
Pada saat itulah Batuk Maragam
segera berpaling ke belakang, lalu gumpalan tanah cadas itu jatuh dengan
sendirinya. Pluk...! Batuk Maragam geleng-geleng kepala sambil memandang Suto
Sinting yang cengar-cengir di depannya.
"Tak mungkin kau bisa
menyerangku dari belakang, Suto. Sebab aku telah kuasai aji 'Lembu Sekilan'.
Belajarlah kepada si Gila Tuak bagaimana cara mengalahkan aji 'Lembu Sekilan'
itu, Bocah Konyol!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa
sambil lebih mendekat lagi. "Maaf, aku hanya ingin mengganggu
ketenanganmu, Ki Brajamusti!"
Batuk Maragam segera tersenyum
kecil, kemudian menepuk-nepuk punggung Suto Sinting.
"Kau pasti akan tampil
lebih baik dari peserta lainnya."
"Maksudnya tampil apa,
Ki?"
"Bukankah kau ingin
mengikuti sayembara itu?"
"Sayembara apa?!"
Pendekar Mabuk semakin heran, matanya memandang kepada iring-iringan yang
menuju lembah.
"Jadi kau kemari bukan
untuk mengikuti sayembara tanding laga?"
"Aku tidak sengaja lewat
sini, Ki Brajamusti. Aku tidak tahu kalau ada sayembara tanding laga. Siapa
yang mengadakan sayembara itu?"
"Partai Janda Liar
mengadakan sayembara tanding laga melawan Selimut Senja. Siapa bisa tumbangkan
Selimut Senja, dia akan diangkat oleh anggota Partai Janda Liar sebagai
ketuanya. Tetapi jika dua puluh peserta yang tampil tak bisa tumbangkan Selimut
Senja, maka mereka akan menetapkan Selimut Senja sebagai Ketua Partai Janda
Liar."
"Dan kau ingin mengikuti
sayembara itu, Ki Brajamusti?!"
"Mana mungkin aku mau
jadi Ketua Partai Janda Liar, bisa-bisa aku nanti, uhuk, uhuk, uhuk, ehek,
huueeek...! Cuih!" Batuk Maragam ambil napas dan lanjutkan bicaranya,
"Bisa-bisa aku nanti mati
lemas jika harus berada di antara para janda itu. Heh, heh, heh, heh, uhuk,
uhuk, eheeek, huueeek...! Cuih...!"
"Lalu, apa maksudmu
datang ke sini, Ki Brajamusti?"
"Hanya ingin tahu apakah
muridku si Camar Sembilu ikut-ikutan dalam sayembara itu atau tidak. Kalau
sampai ikut-ikutan, aku tidak setuju dan akan kupecat, tidak kuakui sebagai
muridku lagi."
"Ooh, begitu...?"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Terbayang pula seraut wajah cantik yang
sederhana milik Camar Sembilu yang dulunya bekas murid Peri Sendang Keramat,
wajah cantik berhidung bangir itu sudah lama tidak dijumpai Suto, hingga
menimbulkan rasa kangen di hatinya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Peri Sendang Keramat").
Pendekar Mabuk terpaksa ikuti
langkah Batuk Maragam ke arena pertarungan yang tak jauh dari bangunan bekas
sebuah candi. Bangunan itu dipakai sebagai pesanggrahan Partai Janda Liar.
"Kurasa," kata Batuk
Maragam,"... tidak akan ada orang yang bisa menggulingkan Selimut Senja,
karena dia menguasai ilmu 'Kulit Baja'. Tubuhnya yang mulus itu tak akan bisa
dilukai oleh benda apa pun. Tapi kalau di... uhuk, uhuk, dan di... uhuk, ehek,
ehek, huueek. Cuih! Kurasa bisa!"
"Kau ini ngomong apa
sebenarnya, Ki Batuk Maragam?!" sambil Suto Sinting tertawa pelan.
"Yah, beginilah kalau
orang sudah tua tapi masih keluyuran ke mana-mana; ngomong sedikit batuk,
tertawa sedikit batuk, nguap sedikit saja batuk!" sambil Batuk Maragam
mendongak ke atas. Tiba-tiba ia terperanjat dan kerutkan dahi.
"Lho... jadi sejak tadi
matahari dilapisi... oh, bukankah itu lapisan bencana yang dinamakan 'Selaput
Iblis'?!" Batuk Maragam menuding bayangan matahari di balik kabut sinar
ungu.
"Apakah Paman baru
tahu?!"
"Kusangka tadi cuaca
mendung."
"Justru itulah
kesulitanku, Paman."
"Kau ini memanggilku
Paman, tadi Ki, tempo hari Eyang, mana yang kau suka sebenarnya?! Uhuk, uhuk,
huuuaakr... cuih!"
"Aku hanya menirukan
panggilan keponakanku; Dewi Angora, yang memanggilmu Paman. Sedangkan untuk
menghormatimu sebenarnya aku pantas memanggilmu Eyang. Tapi sebagai tanda
keakrabanku, rasanya aku pantas pula memanggilmu Ki Brajamusti."
"Ya, sudah...! Tak usah
dibahas hal itu. Menghabiskan waktu. Yang penting aku ingin tahu, mengapa tadi
kau bilang 'itulah kesulitanku', maksudnya bagaimana?"
"Bibi Guru; Bidadari
Jalang, mengutusku mencari kekuatan yang dapat untuk hancurkan 'Selaput Iblis'
itu, Paman. Sebab katanya 'Selaput Iblis' itu dapat melunturkan seluruh ilmu
pengawet muda yang digunakan beberapa perempuan, termasuk Bibi Guru Bidadari
Jalang sendiri."
"Iya. Memang benar! Tapi
yang kuherankan mengapa 'Selaput Iblis' itu sampai terjadi dan menutupi
matahari? Kalau begini caranya, jemuranku tak akan kering-kering karena tak
mendapat panas matahari. Dan hal ini akan berlangsung lama. Tak akan ada siang
tak ada malam. Kerupuk yang kujemur di loteng juga akan bantat, tak akan bisa
mekar jika digoreng."
"Ceritanya begini,
Paman...," kemudian Suto Sinting menceritakan pertarungannya dengan Nyai
Watu Wadon, sampai akhirnya ia melihat Nyai Watu Wadon dibunuh oleh Selimut
Senja dan penggalan kepalanya dibawa lari sebagai bukti bahwa Selimut Senja
berhasil membunuh Ketua Partai Janda Liar itu.
"Oo... pantas para
anggota Partai Janda Liar menguji Selimut Senja dalam suatu sayembara tanding
laga ini?!"
Batuk Maragam manggut-manggut.
"Apakah Paman tahu
kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput Iblis' itu?" tanya
Suto Sinting.
Batuk Maragam diam sebentar.
Matanya memandang ke arah panggung rendah yang lebar dan dipakai sebagai arena
pertarungan. Kala itu, Selimut Senja sedang menghadapi seorang perempuan kurus
yang berambut jambul. Tapi perhatian Batuk Maragam jelas tidak ke arah
pertarungan, melainkan kepada pertanyaan Suto Sinting tadi.
Kejap berikut suara Batuk
Maragam terdengar lagi. "Kalau kau bermaksud menghancurkan 'Selaput Iblis'
itu, berarti kau harus menemui seorang sahabatku yang bernama Begawan Parang
Giri. Beliau tinggal di Bukit Canting bersama cucu-cucunya."
"Kau yakin bahwa dia
punya kekuatan untuk menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman?"
"Uhuk, uhuk, ehek, ihik,
ihiiiik, ahhh...!" Ki Brajamusti terbatuk sesaat, kemudian menjawab
kesangsian Suto Sinting tadi.
"Begawan Parang Giri itu
kakak sepupunya mendiang Raja Maut. Dulu Raja Maut dapat menghancurkan 'Selaput
Iblis' karena mendapat petunjuk dari Begawan Parang Giri."
"Dengan apa mendiang Raja
Maut menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman?"
"Aku hanya mendengar
ceritanya saja. Aku tak melihat sendiri, karena pada waktu itu aku masih
memperdalam ilmu di Pegunungan Sojiyama. Tapi... sebaiknya temui saja Begawan
Parang Giri dan mintalah bantuan kepadanya, setidaknya mintalah petunjuk
bagaimana caranya menghancurkan 'Selaput Iblis itu."
"Kalau begitu, agaknya
aku harus ke Bukit Canting sekarang juga, Paman."
"Maaf, aku tak bisa
mendampingimu. Aku masih harus mencari muridku di antara para wanita itu!"
"Aku akan berangkat ke
sana sendiri. Hanya saja, kira-kira ke arah mana aku harus melangkah agar
sampai di Bukit Canting, Paman?"
"Ke selatan. Jika kau
menemukan kuil kembar, maka di situlah Begawan Parang Giri berada.
Karena...," ucap Batuk Maragam terhenti. "Oh, itu dia murid-ku, si
Camar Sembilu?!"
Seorang gadis cantik berjubah
hijau dengan pinjung penutup dada warna coklat berbulu halus sedang mendekati
Batuk Maragam dan Suto Sinting. Gadis bersanggul kecil dengan sisa rambut
meriap itu telah sunggingkan senyum lebih dulu begitu matanya menatap ke arah
Suto Sinting. Suto menyambutnya dengan lambaian tangan kecil dan senyum yang
menawan hati setiap wanita.
"Tak kusangka kau ada di
sini, Suto."
"Kebetulan saja kulihat
Paman Batuk Maragam menyaksikan pertarungan tanding laga itu, jadi kusempatkan
menyapa beliau," ujar Suto Sinting penuh keramahan.
"Aku mencarimu, Camar
Sembilu! Apakah kau ikut dalam sayembara itu?"
"Tidak, Guru! Saya hanya
ingin tahu siapa akhirnya yang menjadi Ketua Partai Janda Liar setelah kematian
Nyai Watu Wadon."
"Syukurlah jika kau tidak
ikut. Sebab kalau kau ikut sayembara tanding laga dan kau menang, aku tidak
setuju kau menjadi Ketua Partai Janda Liar. Apalagi kalau kau kalah dan mati,
aku sangat tidak setuju kau mati mendahuluiku. Itu namanya murid yang
ngelunjak! Gurunya belum mati kok muridnya sudah mati lebih dulu. Uhuk, uhuk,
uhuk, uhuuuiiik, ahh...!"
Sambil tertawa kecil, Camar
Sembilu berkata, "Guru tak perlu khawatir. Aku tak punya minat menjadi
Ketua Partai Janda Liar, sebab aku belum pernah kawin, mana mungkin bisa
menyandang gelar sebagai janda? Bukankah begitu, Suto?"
"Bukan. Eh... iya!"
Setelah Batuk Maragam bertemu
dengan Camar Sembilu, maka Suto Sinting pun segera pamit untuk pergi ke Bukit
Canting menemui Begawan Parang Giri.
Sementara itu, matahari masih
tetap tidak bergerak dan kabut sinar ungu itu semakin membuat bayangan benda
mulai berwarna ungu. Tapi warna hitamnya masih lebih besar khususnya pada
bagian tengah bayangan.
Tiba-tiba langkah Suto Sinting
berhenti sejenak karena mendengar suara denting pedang beradu. Suara itu
berasal dari hutan seberang kirinya, dan diyakini sebagai suara pertarungan
berpedang. Pendekar Mabuk tak bisa cuek dengan suara pertarungan. Hasrat ingin
mengintip Jurus-jurus yang digunakan dalam pertarungan sangat besar, sehingga
ia sempatkan berkelebat ke arah hutan seberang. Zlaaap...!
Wuuut, wuuut...!
Pendekar Mabuk melompat ke
atas dalam gerakan bersalto naik. Dalam sekejap ia sudah berada di sebuah dahan
besar dari sebatang pohon berdaun kecil namun rimbun. Dari pohon itu ia dapat
melihat pertarungan yang terjadi dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari pohon
itu.
"Ooh...?! Kalau tak salah
perempuan berjubah ungu muda itu adalah si Pelangi Sutera alias
Sumbaruni?!" gumam Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. Tapi dahinya
berkerut sebagai tanda keraguan atas apa yang telah dilihatnya.
"Benarkah dia
Sumbaruni?!"
Sumbaruni adalah salah satu
dari sekian wanita cantik yang ngebet sekali cintanya kepada Suto Sinting.
Hanya saja, Suto Sinting selalu menjaga jarak sehingga Sumbaruni tidak terlalu
kecewa atas penolakan Suto.
Perempuan cantik dan bertubuh
sexy sekali itu seperti berusia dua puluh lima tahun. Padahal usianya sudah
cukup banyak, ia mantan istri jin Kazmat yang mendapat warisan ilmu dari
seorang pertapa sakti. Karenanya, sampai sekarang ia masih kelihatan cantik dan
dadanya montok menawan setiap pria, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ratu Tanpa Tapak").
Tapi dalam keremangan cahaya
matahari yang redup, wajah Sumbaruni tampak sedikit berbeda dari biasanya. Dan
hal itulah yang membuat Suto Sinting berkerut dahi, merasa heran serta
ragu-ragu dengan penglihatannya.
"Mengapa wajahnya tampak
berbeda dari biasanya? Apakah karena aku sudah lama tidak melihatnya? Hmmm...
wajah itu sedikit berkeriput dan hidungnya tak begitu mancung. Tepian bibirnya
juga kelihatan agak berkerut, rambutnya... oh, rambutnya itu ada ubannya walau
tak rata. Bukankah Sumbaruni mempunyai rambut yang hitam mengkilat dan
lembut?!"
Sementara itu, perhatian Suto
berpindah kepada lawan Sumbaruni yang tampaknya juga cukup mahir dalam bermain
pedang. Perempuan yang satu itu hanya mengenakan kutang hijau muda, pinggulnya
dibungkus kain warna merah. Rambutnya pendek diponi depan, ia gadis berusia
sekitar dua puluh lima tahun, bermata bundar nakal, berhidung bangir dan
mempunyai bibir yang sensual. Selain montok juga berpinggul sexy.
Pendekar Mabuk mengenal gadis itu
sebagai Awan Setangkai, mantan prajurit ulung dari Selat Bantai. Tetapi
sekarang ia menjadi penguasa Selat Bantai setelah Ratu Cendana Sutera
dikalahkan oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pemburu Darah Satria").
Awan Setangkai mempunyai ilmu
cukup tinggi, ia mempunyai ilmu yang dapat mengubah-ubah wajah menjadi orang
lain. Tetapi Sumbaruni juga berilmu tinggi, ia dapat mengukur seberapa
tingginya ilmu seseorang dengan menggunakan ilmu 'Gerat Sukma'-nya. Ia juga
bekas panglima negeri Ringgit Kencana yang mempunyai ratu cantik bernama Ratu
Asmaradani.
Pertarungan dengan pedang itu
membuat keduanya sama-sama kerahkan tenaga dan keluarkan jurus-jurus pedang
mautnya. Percikan bunga api selalu menyebar ke mana-mana setiap pedang mereka
saling beradu.
Tapi dalam kesempatan
tertentu, Awan Setangkai berhasil lukai punggung Sumbaruni dengan gerakan
memutari tubuh lawannya begitu cepatnya. Breet...!
Punggung Sumbaruni berdarah
dari samping kiri ke kanan. Tetapi kala itu, Sumbaruni hanya diam dan
membiarkan dipandangi oleh Awan Setangkai.
Senyum Awan Setangkai
tersunggingkan sebagai senyum kemenangan. Tetapi Sumbaruni juga sunggingkan
senyum sinis punya makna tersendiri.
"Sebentar lagi kau akan
mati kering termakan oleh racun pedangku, Sumbaruni! Dengan begitu, maka urusan
lama kita tentang dendamku kepadamu telah selesai. Dulu kau melukaiku sampai
aku hampir mati, sekarang aku pun melukaimu dengan luka yang sangat
berbahaya."
Awan Setangkai masih
sunggingkan senyum sinis, ia berkata lagi dengan nada bangga. "Tapi
agaknya kau perlu mengetahuinya, Sumbaruni... sekarang aku bukan anak buahnya
Ratu Cendana Sutera lagi. Aku bukan dari golongan hitam, melainkan sudah
mengikuti jejak Pendekar Mabuk, membawa orang-orang Selat Bantai masuk dalam
aliran putih. Sayang sekali kau terluka oleh pedangku, dan itu
berarti...."
Ocehan Awan Setangkai berhenti
seketika, ia merasakan hawa panas membakar perutnya. Hawa panas itu semula
justru terasa seperti hawa dingin. Makin lama semakin panas dan merayap ke
seluruh permukaan perutnya. Maka, kecurigaan hati Awan Setangkai membuatnya
terpaksa melirik ke arah perut.
"Setan...!" geramnya
dengan gigi menggeletuk.
Ternyata perutnya juga
tergores pedang Sumbaruni. Dan pedang itu pun beracun, karena luka yang
melintang dari kiri ke kanan itu berwarna hitam dan darah yang keluar pun
berwarna merah kehitam-hitaman.
"Apakah hanya kau sendiri
yang mampu melukai dengan pedang beracun?!" ujar Sumbaruni sambil menahan
rasa sakit hingga keringat dinginnya keluar semua.
"Biadab kau,
Sumbaruni!"
"Kau lebih biadab karena
kuanggap menyerangku dari belakang!"
"Kalau begitu, tentukan
saja siapa yang harus minggat ke neraka di antara kita berdua! Hiaaat...!"
Awan Setangkai sentakkan
pedangnya ke depan, maka melesatlah sinar merah lurus dari ujung pedang itu.
Claaap...!
Rupanya Sumbaruni juga sudah
siap hadapi serangan lawan, ia pun segera tebaskan pedangnya dari kiri bawah ke
kanan atas, Wuuut...! Claaap...! Angin tebasan pedang itu keluarkan cahaya
hijau panjang yang berkelebat hampiri Awan Setangkai.
Pendekar Mabuk segera lakukan
sesuatu dengan melemparkan bumbung tuaknya ke pertengahan jarak di antara kedua
perempuan itu. Wuuut...! Weeees...!
Bumbung tuak melesat sangat
cepat dan tiba di pertengahan jarak dihantam oleh dua sinar tadi.
Jlegaaaarrr...!!
Ledakan dahsyat terjadi
mengguncang bumi, membuat kedua perempuan itu sama-sama terpental ke belakang.
Beberapa pohon di dekat, mereka menjadi retak, nyaris terbelah menjadi dua dari
atas ke bawah.
Tapi Suto merasa lebih
beruntung keadaan begitu daripada kedua sinar itu saling beradu, maka gelombang
ledakan yang akan ditimbulkan oleh kedua sinar yang bertabrakan itu akan
membuat keadaan lebih parah lagi.
Bisa-bisa dada kedua perempuan
itu sama-sama pecah, sebab tiba-tiba saja firasat Suto mengatakan bahwa kedua
perempuan itu sama-sama keluarkan jurus unggulan yang sukar dilawan. Oleh sebab
itulah, Suto melemparkan bumbung tuaknya sebagai penangkis kedua sinar itu. Toh
bumbung tuak itu tetap utuh dan tak mengalami luka goresan sedikit pun, karena
bumbung itu memang terbuat dari bambu sakti jelmaan Eyang Wijayasura.
Zlaaap...! Suto Sinting segera
tiba di pertengahan jarak dan memungut bumbung tuaknya yang jatuh di tanah
dalam keadaan berdiri bagai tonggak kekar. Kedua perempuan yang sama-sama
memuntahkan darah dari mulutnya itu segera bangkit, lalu mereka terkejut
memandang kehadiran pemuda tampan yang sudah sama-sama mereka kenal.
"Pendekar
Mabuk...?!"
"Sutooo...?!"
Sumbaruni dan Awan Setangkai
sama-sama dekati Pendekar Mabuk dalam keadaan sempoyongan. Pemuda berambut
sepundak tanpa ikat kepala yang memiliki wajah tampan dan hidung bangir itu
hanya sunggingkan senyum bernada canda.
"Maaf, aku mengganggu
pertarungan kalian, karena bumbung tuakku tiba-tiba lari sendiri dan tak sempat
kukejar."
"Kau berada di pihak
mana, hah?!" gertak Sumbaruni.
Awan Setangkai juga
menggertak, "Kau akan membela dia, Suto?!"
"Sabar, sabar...,"
Suto Sinting semakin melebarkan senyum dan tampak tenang sekali.
"Sebaiknya kalian sama-sama meminum tuakku dulu biar luka kalian tak
mengakibatkan kematian!"
"Biar aku saja yang
meminum tuakmu! Dia tak perlu!" sentak Awan Setangkai.
"Harus adil," kata
Suto. "Kau sahabatku, dan Sumbaruni juga sahabatku!"
"Sahabat istimewa!"
sahut Sumbaruni.
"Istimewa apa?
Cuih...!" Awan Setangkai meludah, Sumbaruni juga meludah.
"Cuih...!"
Suto ikut-ikutan meludah.
"Cuih...!" Tapi kemudian ia berkata dengan geli.
"Kok kita malah main
ludah-ludahan, ya?!"
Kedua perempuan itu akhirnya
sama-sama tertolong oleh tuak Suto. Luka mereka lenyap setelah meneguk tuak
dari bumbung sakti tersebut. Tubuh mereka pun menjadi lebih segar dari
sebelumnya. Tetapi Awan Setangkai tampak tak suka melihat Suto bersikap ramah
kepada Sumbaruni.
"Sekiranya kau ingin
lampiaskan rindumu kepada perempuan keparat itu, pergilah dari sini dan jangan
bermesraan di depanku, Suto!"
"Siapa yang
rindu...?" Suto Sinting bersungut-sungut. "Aku hanya ingin bicara
kepada Sumbaruni tentang...."
"Tidak, Suto!"
potong Sumbaruni setelah melirik bayangan dirinya di tanah telah menjadi
semakin ungu Sumbaruni cepat palingkan wajah tak berani memandang Suto Sinting.
Tetapi Pendekar Mabuk yang
merasa penasaran itu segera berusaha berdiri di depan Sumbaruni, hanya saja
perempuan itu selalu menghindari pertemuan wajah dengan Suto.
"Pergilah kalian! Kau tak
perlu temui aku lagi, Suto!"
"Sumbaruni, mengapa kau
begitu?! Hei... pandanglah aku, Sumbaruni!"
"Tidak! Tidak...!"
Sumbaruni menjauh dengan rasa takut. Kedua tangannya berusaha menutupi wajah.
"Apa yang terjadi,
Sumbaruni?! Aku akan membantumu!"
"Aku akan berusaha
mengatasinya sendiri. Selamat tinggal, Suto!" Blaas...!
"Sumbaruni...!" Suto
ingin mengejar, namun Sumbaruni sudah jauh dan menghilang di balik kerimbunan
hutan.
Awan Setangkai tertawa kecil
bernada sinis, membuat Suto Sinting yang terbengong segera sadar dan segera
menarik napas dalam-dalam.
"Tentu saja dia tak
berani kau pandang, karena wajahnya semakin tampak tua dan buruk!" ucap
Awan Setangkai. "Matahari yang menembus kabut sinar ungu itu akan membuat
wajah tuanya yang asli menjadi kelihatan. Ilmu awet ayunya akan sirna dan ia
akan malu jika kau pandang!"
"Rupanya kau tahu tentang
'Selaput Iblis' itu, Awan Setangkai."
"Tentu saja, sebab dulu
mendiang Ratu Cendana Sutera sangat takut dengan warna ungu di langit. Kalau
saja Ratu Cendana Sutera sekarang masih hidup, ia juga akan bersembunyi di
bawah kolong ranjang, karena takut ketahuan wajah tuanya yang asli!"
Awan Setangkai mencibir angkuh
dibuat-buat.
"Hmmm...! Mendingan
wajahku, biar tak seberapa cantik, tapi asli! Tanpa mantra kecantikan, tanpa
ilmu pengawet ayu!" sambil ia melenggok dan melengos seakan jual mahal.
"Kau tahu kekuatan apa
yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput iblis' itu?"
"Mengapa kau bertanya
begitu? Apakah ketampananmu juga akan luntur jika terkena sinar matahari yang
menembus kabut sinar ungu itu?!"
Pendekar Mabuk mulai
sunggingkan senyum.
"Ketampananku asli, bukan
kekuatan mantra atau minum obat awet ganteng!"
"Kalau begitu kita
sama-sama punya wajah rupawan yang asli, Suto," sambil mata Awan Setangkai
memandang nakal, senyumnya mulai tampak bermaksud jahil. Pendekar Mabuk
menatapnya tak berkedip ketika lidah Awan Setangkai menyapu bibirnya sendiri
pelan-pelan.
"Apakah aku kalah cantik
dengan Sumbaruni?"
Suto hanya bisa menggeleng
dengan tetap terbengong. Awan Setangkai mendekat dengan langkah lenggak-lenggok
penuh irama penggoda gairah. Ketika tiba di depan Suto dalam jarak kurang dari
satu langkah, Awan Setangkai berucap kata dengan suara bisik.
"Sengaja aku keluar dari
Istana Selat Bantai untuk mencarimu, Suto."
"Untuk apa kau
mencariku?"
"Aku sakit,"
jawabnya lirih sekali.
"Sakit kok
keluyuran?"
"Sakit rindu,"
jawabnya lagi dengan suara mendesah dan tangannya mulai berani merayap di dada Suto.
Jari-jarinya berlagak mempermainkan tepian baju Suto, sesekali menyentuh kulit
dada kekar itu.
"Aku rindu dan ingin
sekali jumpa denganmu. Sudah beberapa malam aku tak bisa tidur, Suto."
"Karena memikirkan
diriku?"
"Karena banyak nyamuk di
kamarku."
"Mengapa tak memakai
selimut?"
"Selimutku pergi dan
sudah lama tak kembali padaku. Kini selimutku ada di depan mataku, namun masih
tak mau menyelimuti diriku."
Awan Setangkai mendekatkan
wajah, makin lama semakin dekat, dan bibirnya muali menyentuh bibir Suto
Sinting. Bibir itu mengecup bibir Suto Sinting dengan pelan-pelan. Sesekali di
sela lumatan bibir itu Awan Setangkai menggigit pelan bibir Suto. Tetapi Suto
Sinting diam saja bagaikan patung.
Namun ketika Awan setangkai
meraihnya dalam pelukan, dan lumatan bibirnya mulai mengganas, Suto Sinting tak
dapat diam lagi. Ia membalas kecupan yang hangat dan membakar gairah cintanya.
Bahkan ketika Awan Setangkai mengerang dengan kepala mendongak seakan memberi
kesempatan pada mulut Suto untuk menyapu habis lehernya, tangan pemuda itu
dituntun untuk menelususp ke tempat yang lebih hangat lagi.
Ternyata tangan Suto cukup
tanggap dengan kemauan Awan Setangkai. Tangan itu segera meraba, mengusap,
merayap, dan akhirnya meremas sesuatu yang padat namun kenyal di permukaan dada
Awan Setangkai.
"Ooh, Suto... aku ingin
sekali mendapatkan yang lebih dari ini. Ingin sekali, Sutooo...!"
Maka tangan Suto pun ditarik
ke bawah. Tangan itu menurut saja. Suto tak bisa bicara karena mulutnya
disumbat oleh gumpalan dada yang membusung padat itu. Tapi tangan Suto pun
mulai bekerja menjamah pusat keindahan Awan Setangkai.
"Oouh...!"
Awan Setangkai memekik, lalau
mengerang, "Sutoo... aku suka itu, Suto! Teruskan, Sayang....
teruskan...!"
Awan Setangkai bersandar di
pohon, kedua kakinya berjauhan, kedua tangannya meremas-remas rambut Suto
Sinting sambil memberi tekanan, seakan kepala Suto tak boleh jauh dari dadanya.
Bahkan sesekali ia berhasil menggigit kecil telinga Suto, lalu menyapu telinga
itu bagaikan seekor induk kucing memandikan anaknya. Sapuan hangat itu semakin
membakar gairah Suto Sinting membuat Suto tak ingin melarang tangan Awan
Setangkai menjamah dan meremas sesuatu yang telah terpegang oleh perempuan itu.
"Oh, Suto... berikan itu
lebih dari ini, maka akan kuberikan pula rahasia menghancurkan 'Selaput Iblis'
itu!" bisik Awan Setangkai, membuat Suto terperanjat dan segera menarik
diri, menatap Awan Setangkai yang telah bermata sayu itu.
"Benarkah kau akan
memberikan rahasia kekuatan penghancur 'Selaput Iblis' itu?!"
"Ooh, tentu saja,
Sayang.... Apa pun yang kau inginkan akan kukabulkan, asal kau mau memberiku
secawan anggur kenikmatan."
"Kau tidak mendustaiku
nantinya?!"
"Tidak mungkin, Sayang...
sebab... sebab aku tahu di mana 'Jemparing Malaikat' itu berada."
"Ap... apa itu 'Jemparing
Malaikat'?!"
"Panah pusaka milik
Begawan Parang Giri. Oh, lekaslah beri aku secawan kenikmatan, jangan bicara
soal itu dulu, Suto!"
"Tidak bisa, Awan
Setangkai! Aku harus bias menghancurkan 'Selaput Iblis' itu lebih dulu sebelum
menghancurkan Selaput kesucianmu!"
"Suto, aku sudah tidak
berselaput lagi. Tapi aku punya kesucian hati kepadamu, Suto! Sumpah mati, aku
punya kesucian hati padamu, Sayang.... Oh, lekaslah peluk aku dan berikan apa
yang kudambakan sejak kita berpisah dulu, Suto...," bujuk Awan Setangkai
dalam rengekan manjanya. Napasnya sudah terengah-engah dan tangannya meremas
serta merayap ke mana-mana.
"Awan Setangkai,"
bisik Suto. "Bagaimana kalau hal itu kita bicarakan di kamar tidurmu
saja?!"
"Ooh.... itu pasti lebih
indah, Suto! Kalau begitu, sekarang juga kau harus segera kubawa ke Istana
Selat Bantai, Sayang...! Aku punya ranjang hangat untuk kita berdua. Ayo,
lekaslah, Suto!" Awan Setangkai menarik-narik Suto, tampak tak sabar lagi.
Sementara itu, Suto Sinting sempat berpikir dalam benaknya,
"Haruskah kulayani
gairahnya untuk dapatkan rahasia itu? Oh, celaka! Gairahku sendiri telah
menggebu-gebu dan menuntut kemesraan yang lebih dalam lagi. Oh, sebaiknya apa
yang harus kulakukan kalau sudah begini?"
*
* *
4
TIBA-TIBA sekelebat bayangan
menyambar mereka dari arah depan. Bayangan itu berupa senar putih yang
menyilaukan yang muncul dari balik semak yang akan dilalui mereka.
Claap, blaaab...!
Untuk sesaat Suto dan Awan
Setangkai tak bias bernapas. Mereka sama-sama tumbang dan pingsan. Sinar putih
yang tiba-tiba menyerang mereka itu ternyata datang dari tangan seorang
perempuan berambut jabrik, acak-acakan. Perempuan itu mengenakan pakaian serba
hitam, ketat dengan tubuh, bagaikan terbuat dari karet atau bahan lainnya yang
elastis. Perempuan yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu sebenarnya
berwajah cantik, walau berkesan liar dan galak. Sayang sekali rambutnya yang
jabrik itu tidak pernah disisir rapi, sehingga kecantikannya sangat
tersembunyi.
Perempuan berdada sekal dan
berbibir sensual itu tak lain adalah Angin Betina, yang berstatus masih gadis
walau belum tentu masih perawan, dan sangat mencintai Suto Sinting. Ia banyak
membantu Suto dalam berbagai masalah, dan sering menjadi penyelamat jiwa Suto Sinting,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Kayu Petir").
Agaknya Angin Betina cemburu
mengintip Suto Sinting bermesraan dengan Awan Setangkai, sehingga sebelum
mereka berdua bergerak ke Istana Selat Bantai, Angin Betina lebih dulu melumpuhkan
mereka. Padahal sebenarnya Angin Betina masih sakit hati kepada Suto yang
seolah-olah memusuhinya ketika Angin Betina berhadapan dengan Payung Serambi,
utusan dari Istana Laut Kidul itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Geger Selat Bantai").
"Seharusnya aku
berkerjasama denganmu mencari kekuatan pemunah Selaput Iblis itu, agar
kecantikan kakakku; si Merpati Liar, tetap terjaga dan tidak menjadi luntu
karena Selaput Iblis itu. Tapi sayang, aku masih sakit hati dengan sikapmu kala
itu, Suto. Terpaksa aku menggagalkan rencanamu bercumbu dengan gadis rakus
itu!" kata Angin Betina bagai bicara sendiri, karena pada waktu itu Suto
Sinting masih dalam keadaan pingsan.
Angin Betina segera membawa
pergi Suto Sinting jauh-jauh. Ia hanya tak ingin Suto dan Awan Setangkai
terlibat percumbuan asmara yang akan menyenangkan hati Awan Setangkai. Ia
membawa Suto ke dalam sebuah gua, lalu meninggalkannya disana.
"Maaf, aku terpaksa
memisahkan kau dengan perempuan rakus itu agar perempuan itu sama denganku; yaitu
sama-sama tak mendapatkan kemesraan darimu! Kau harus kutinggalkan di gua ini,
sementara aku akan menuju Bukit Canting untuk temui Begawan Parang Giri, sesuai
petunjuk kakakku; Merpati Liar. Nanti kau akan buta oleh seranganku tadi. Tapi
jika kau minum tuakmu, maka kebutaan itu akan cepat sirna dan penglihatanmu
pulih seperti sediakala. Selamat tinggal, Suto!"
Wees...! Angin Betina bergerak
cepat nyaris tak bisa diikuti oleh pandangan mata siapa saja. Gadis yang
memiliki kitab 'Lorong Zaman' itu ternyata juga menuju ke Bukit Canting untuk
temui Begawan Parang Giri. Rupanya ia diutus oleh kakaknya; si Merpati Liar,
yang juga menggunakan aji awet ayu hingga tetap kelihatan muda dan cantik.
Seperti apa kata Angin Betina,
ketika Suto sadar ia segera menggeragap karena matanya menjadi buta. Ia sempat
tegang sesaat, lalu tangannya yang meraba-raba segera temukan bumbung tuak di
sampingnya. Tuak pun diteguknya beberapa kali, dan ternyata tak sampai sepuluh
helaan napas, kedua mata Pendekar Mabuk sudah berfungsi sebagaimana mestinya.
Hanya saja ia sempat termenung dan membatin dalam hatinya.
"Samar-samar tadi
sepertinya kudengar suara si Angin Betina. Hmmm... benarkah yang membawaku
kemari Angin Betina? Benarkah dia sedang menuju ke Bukit Canting? Ah, mungkin itu
hanya bayanganku saja di alam pingsan! Tapi... tapi di mana si Awan Setangkai
tadi?! Oh, aku kehilangan jejak orang yang bisa jelaskan tentang rahasia
menghancurkan 'Selaput Iblis' itu. Aduh, celaka! Ke mana aku harus mencari Awan
Setangkai, ya?"
Suto keluar dari gua dan
garuk-garuk kepala menandakan sedang bingung menentukan arah langkahnya.
Instingnya mulai digunakan. Melalui instingnya ia tentukan langkah penuh
keyakinan bahwa ia harus menuju ke timur jika ingin bertemu Awan Setangkai.
"Kau harus pergi ke arah
timur jika ingin bertemu Awan Setangkai," kata hatinya. Namun sebenarnya
yang berkata demikian bukan hati Suto, melainkan Suto Sejati alias Guru Sejati
yang pernah ditemuinya di alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode
: "Gerbang Siluman").
Sementara itu, Awan Setangkai
segera sadar dari pingsannya. Tapi ia terpekik kaget setelah mengetahui matanya
menjadi buta.
"Suto...?!
Sutooo...?!" panggilnya dengan kedua tangan meraba-raba. Ia memeriksa
pedangnya, ternyata masih di punggung, ia memeriksa kanan-kirinya, ternyata
yang ditemukan hanya pohon dan gundukan batu.
"Suto, ke mana kau...?!'
serunya dengan harapan mendapat jawaban dari Pendekar Mabuk. Tetapi ternyata
harapannya sia-sia. Tak ada jawaban apa pun dari Suto Sinting, dan ia tak tahu
di mana Suto berada saat itu.
"Gawat! Mataku menjadi
buta begini?! Sinar apa tadi yang menerpaku?! Oh, di mana Suto berada? Mengapa
ia tak menjawab seruanku?" batin Awan Setangkai berkecamuk sendiri sambil
mencoba melangkah dengan meraba-raba.
Namun langkahnya segera
terhenti ketika tangannya menyentuh sesosok tubuh kekar.
"Oh, Suto... kenapa kau
tak menjawab seruanku! Kukira kau jauh dariku, Pendekar Mabuk!" ujarnya
sambil tersenyum lega. Tangannya masih meraba-raba tubuh kekar itu, dan ia yakin
tubuh itu adalah milik Suto, sebab Suto memang berbadan kekar serta dadanya
keras berotot, sama dengan lengannya. Bahkan ketika ia menyentuh wajah, meraba
bibir dan hidung bangir, ia semakin yakin bahwa pemuda yang di depannya adalah
Suto Sinting.
Padahal pemuda itu bukan Suto
Sinting. Pemuda kekar berperawakan tinggi tegap itu adalah Taring Naga, yaitu
kakak dari Naga Langit. Taring Naga memang mengejar-ngejar Suto Sinting karena
Suto telah melenyapkan seluruh ilmu Naga Langit. Taring Naga bermaksud menuntut
balas, ia belum tahu kalau adiknya sudah mati di tangan Nyai Ronggeng Iblis,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Tanpa Raga").
Melihat gadis cantik berdada
montok terkapar, Taring Naga mulai berpikiran kotor. Sayang waktu itu Awan Setangkai
segera siuman dan memanggil-manggil Suto.
Namun Taring Naga masih ingin
mencoba keberuntungannya dengan mendekati gadis itu, lalu ia disangka sebagai
Suto Sinting oleh sang gadis.
"Dia menyangkaku Suto
Sinting dan berani merabaku segala. Ah, sebaiknya kumanfaatkan kebutaan-nya itu
untuk berlagak sebagai si Pendekar Mabuk keparat itu!" kata Taring Naga
dalam hatinya.
"Suto, apakah keadaanmu
baik-baik saja?"
"Iya...," jawab
Taring Naga sambil memberanikan diri mencium pipi Awan Setangkai.
"Ah, kau sudah mulai
nakal lagi," ucap Awan Setangkai sambil tertawa kecil. "Apakah kau
juga buta karena sinar putih tadi?"
"Iya...," jawab
Taring Naga lagi dalam suara mendedah supaya suara aslinya tidak diketahui.
"Oh, Suto... rupanya kau
sudah tak sabar lagi, ya?" bisik Awan Setangkai sambil membiarkan wajah
pemuda itu mendusal di dadanya, ia justru tertawa cekikikan disiram
kebahagiaan.
Taring Naga menjadi semakin
bergairah ketika Awan Setangkai berbisik kembali, "Dapatkah kau mencari
semak-semak yang aman, Suto?"
"Ooh, yaah... kurasa di
sini pun sudah cukup aman," suara Taring Naga mendesah diburu gairah. Awan
Setangkai memaklumi, karena ia menyangka Suto Sinting sudah diburu oleh
kebutuhan batinnya. Bahkan gerakan tangan pemuda yang merayapinya itu lebih liar
dari Suto Sinting. Tapi Awan Setangkai menyangka bahwa keganasan gairah Suto
Sinting yang asli telah keluar. Awan Setangkai justru menyukainya, ia semakin
dibuat mabuk gairah oleh sapuan bibir Taring Naga yang sampai ke tempat-tempat
tersembunyi itu.
Tawa yang cekikikan membuat
Taring Naga kian tak sabar, akhirnya ia hanya melepaskan baju dan pedang
ditaruh di samping kanan. Awan Setangkai sendiri yang sudah terengah-engah
tampak tak bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan perempuan itu telah berbaring di
bawah pohon berumput tebal.
"Suto, cepatlah...,"
desah Awan Setangkai sambil menarik tangan Taring Naga. Lalu ketika Taring Naga
memberikan apa yang diinginkan Awan Setangkai, gadis itu memekik dengan suara
tertahan.
"Oouh....
Sutooo...!!" sambil tangannya meremas pundak tak berbaju itu.
Awan Setangkai menjadi ganas
walau dalam keadaan buta. Ia tak sempat memikirkan beberapa kejanggalan karena
otaknya sudah dipenuhi harapan indah dan hanyut oleh kenikmatan bercumbu yang
tak tertahankan lagi itu. Bahkan gadis itu menjerit kecil lepas kontrol ketika
mencapai puncak keindahannya. Tak lama kemudian jeritan itu terulang kembali,
kali ini disertai dengan remasan tangan di punggung pasangannya, karena sang
pasangan menyemburkan sejuta keindahan yang tertinggi.
"Ooooh... nikmat sekali,
Suto. Tapi kenapa hanya sebentar saja. Ooh, aku ingin mengulangi lagi, Suto!
Aku masih ingin mengarungi samudera cinta bersamamu di sini. Ooh... ayolah,
Sutooo...!" rengek Awan Setangkai, tapi Taring Naga sudah tidak mempunyai
kemampuan, ia hanya terengah-engah sambil terbaring di samping Awan Setangkai.
Gadis itu akhirnya tertawa
sambil tangannya meraba, sesuatu yang sudah tak berdaya lagi.
"Hik, hik, hik, hik...!
Rupanya kau terlalu mengumbar gairah hingga tak bisa mengendalikan lagi, ya?
Oh, tak apalah! Nanti di tempatku kau mau mengulanginya lagi, bukan?"
"Ya, Sayang...,"
jawab Taring Naga masih dengan suara desah.
"Aku sudah cukup lega dan
bahagia menerimanya. Tapi nanti kalau kau sudah meminum jamu seduhanku, ooh...
kau akan menjadi seperti kuda jantan yang sanggup berperang menembus ratusan
musuh di depanmu. Hik, hik, hik, hik...!"
Tiba-tiba dari arah
semak-semak seberang muncul seorang pemuda yang berlari sambil mencari sesuatu.
Pemuda itu segera terkejut ketika memergoki Taring Naga sedang dibelai oleh
seorang gadis dalam keadaan tanpa baju.
"Ooh...?!" pekik
pemuda itu dengan mata terbelalak. Taring Naga juga kaget dan menggeragap
menyambar baju dan pedangnya.
"Suto, apakah menurutmu
ada orang lain di sekitar kita?!" Awan Setangkai mulai curiga ketika
Taring Naga menarik diri dan segera membetulkan pakaiannya.
"Sialan! Bocah itu
lagi!" gerutunya dalam hati.
Orang yang membuat Taring Naga
menjadi tegang itu adalah Panji Klobot, seorang pemuda usia dua puluh tahun
yang menjadi pelayan sang adipati dan kemudian menjadi sahabat Suto Sinting.
Dua kali Taring Naga selalu dibuat mules perutnya oleh tendangan Panji Klobot
yang dinamakan jurus 'Tendangan Cuci Perut' itu. Taring Naga menyangka Panji
Klobot berilmu tinggi, padahal Panji Klobot hanya mempunyai satu jurus konyol
pemberian pamannya itu.
"Celaka! Kalau dia
menyerangku, padahal di sini jauh dari sungai, waah... bisa habis semua daun
kupakai untuk membersihkan diri! Lebih baik kabur saja sebelum bocah sakti itu
membuat perutku mules lagi!"
Wuuut...! Taring Naga lari
tanpa pamit kepada Awan Setangkai. Panji Klobot sendiri segera lari berlainan
arah, karena ia takut bertemu Taring Naga tanpa Suto Sinting.
Padahal Panji Klobot hanya
kebetulan lewat di tempat itu. Ia sedang mencari Tenda Biru, gadis yang
belakangan ini mengajarkan ilmu kanuragan padanya, walau belum membuat Panji
Klobot bisa menangkis serangan lawan. Tetapi hubungannya dengan Tenda Biru
semakin akrab, sudah seperti kakak sendiri, sehingga Panji Klobot merasa
kehilangan ketika Tenda Biru menyaksikan sayembara tanding laga di Pesanggrahan
Janda Liar, (Tentang Panji Klobot dan Tenda Biru, silakan baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Sutooo...?! Ke mana
kau?!" Awan Setangkai tak berani bersuara terlalu keras, ia curiga ada
orang yang mengintai perbuatannya tadi. Tapi setelah dirasakan suasana menjadi
sepi, ia pun mulai bangkit dan membenahi pakaiannya.
"Suto...?! Suto, kau di
mana?!" panggilnya sambil mulai melangkah meraba-raba. Panji Klobot sudah
jauh, meneruskan usahanya mencari gadis berjuluk Tenda Biru itu. Sedangkan
Taring Naga juga sudah berlari sejauh mungkin, karena tak ingin isi perutnya
terkuras lagi oleh tendangan Panji Klobot. Akibatnya, Awan Setangkai menjadi kebingungan
sendiri.
"Tadi sepertinya ada
orang datang, tapi kenapa sekarang orang itu pergi? Kudengar suara larinya ke
arah depanku. Dan Suto Sinting sendiri...? Oh, mengapa dia harus lari juga?
Apakah dia mengejar orang yang muncul dari semak-semak sana? Ah, sepertinya
Suto Sinting lari lebih dulu. Kalau begitu, orang yang tadi muncul itu mengejar
Suto Sinting? Atau... aduh, bagaimana ini sebenarnya? Mengapa pandangan mataku
tetap buta begini?"
Awan Setangkai sengaja diam
bersandar di bawah pohon sambil berkecamuk dalam hatinya, ia memikirkan langkah
selanjutnya yang harus dilakukan.
Beberapa kejap kemudian, Suto
Sinting menemukan tempat itu.
"Awan Setangkai...!"
serunya dari kejauhan. Gadis itu tergugah dari lamunan dan menjadi ceria. Walau
matanya masih buta, tapi hatinya sudah lega karena ia mendengar suara langkah
Suto Sinting yang tadi menyapanya di kejauhan.
"Awan, kau... kau masih
buta?!"
"Masih! Tapi... tapi aku
bahagia sekali karena kau telah kembali lagi."
"Minumlah tuakku ini,
biar matamu bisa melihat lagi."
Ternyata setelah Awan
Setangkai meminum tuak beberapa teguk, kegelapan di matanya menjadi buram, lalu
ia dapat melihat bayangan pohon dan benda lain secara samar-samar. Beberapa
kejap berikutnya kebutaan itu telah hilang, kini kedua mata Awan Setangkai itu
dapat dipakai untuk melihat lagi dengan jelas.
"Ooh, sayang sekali tadi
kita sama-sama buta, ya?" ujarnya kepada Suto sambil memeluk dan
menjatuhkan kepala di dada Suto Sinting. Pendekar Mabuk tak jelas yang dimaksud
ucapan Awan Setangkai, ia hanya berkata dalam gumam lirih.
"Iya, sayang kita tadi
sama-sama buta. Kalau tidak... pasti kita bisa mengetahui dengan jelas siapa
orang yang menyerang kita tadi."
"Mungkin itu orang iseng
yang tidak suka melihat kemesraan kita, Suto. Biarkan saja dia, tapi waspadalah
mulai sekarang. Sekali ia muncul lagi, kuhabisi dia saat itu juga!"
"Kau jadi mengajakku ke
Istana Selat Bantai?"
"O, ya... tentu jadi! Aku
ingin mengulang kemesraan yang tadi."
Suto Sinting tersenyum, karena
ia menduga maksud Awan Setangkai adalah kemesraan saat mereka saling beradu
ciuman tadi. Sedangkan maksud Awan Setangkai adalah kencan yang lebih dalam di
balik semak-semak itu.
"Agaknya kau harus minum
jamu agar mampu berpacu lebih lama lagi."
"Ah, kau pikir aku
seorang penunggang kuda yang payah?!"
"Buktinya kau tadi cepat
menyelesaikan tugas, padahal aku masih ingin melanjutkannya ke puncak yang
lebih tinggi," ujar Awan Setangkai tanpa malu-malu lagi, karena merasa
sudah menyatu dalam satu pribadi, ia hanya tertawa cekikikan sambil tetap
melangkah dan merangkul pinggang Suto dari samping.
Suto Sinting masih belum paham
maksud kata-kata Awan Setangkai sebenarnya.
"Tak kusangka kalau kau
ternyata juga ganas dan sangat panas!" ujar Awan Setangkai lagi. Suto
menyangka permainan tangan dan ciumannya tadi dianggap ganas.
"Ah, baru segitu masa'
sudah kau anggap ganas?"
"Eh, tadi... menurutmu
siapa tadi yang mengintip kita, Suto?"
"Yang... yang mana?"
"Tadi, saat kau sedang
terkulai ngos-ngosan di sampingku dan aku sedang membelaimu. Bukankah tadi ada
orang yang mengintip pergumulan kita?"
"Pergumulan?! Maksudmu,
pergumulan yang bagaimana?"
"Ah, jangan berlagak
pikun kau," sambil Awan Setangkai mencubit hidung Suto dan tertawa riang,
ia sengaja hentikan langkah untuk menatap Suto Sinting.
"Terus terang saja, biar
hanya sebentar, tapi aku sudah lega. Aku sudah puas menerima kemesraanmu. Maaf
kalau sampai aku tadi menggigit pundakmu dan mencakar punggungmu, aku sering
lupa daratan kalau sedang begitu!"
"Mencakar...?! Rasa-rasanya
punggungku tidak ada yang mencakarnya?!" kata Suto Sinting dengan heran.
"Kau pasti tak ingat,
karena kita tadi sama-sama terbang tinggi. Tapi... ternyata indah juga bercumbu
dalam keadaan sama-sama buta, ya?" "Hahh...?!"
Pendekar Mabuk mulai memahami
maksud kata-kata Awan Setangkai. "Kapan kita bercumbu dalam keadaan
buta?"
"Aaah... kau suka
berlagak pikun, nanti pikun betul lho!" goda Awan Setangkai. Suto pun
membatin, "Wah, agaknya tadi ada orang yang memanfaatkan kebutaan Awan
Setangkai dan memberinya kepuasan. Buktinya gadis ini tidak segalak tadi?
Celaka! Kalau begitu, ini namanya tidak makan nangka tapi kena getahnya!"
"Awan Setangkai, jujur
saja kukatakan padamu, saat aku siuman dari pingsanku, kudapatkan mataku telah
buta. Lalu, aku minum tuak ini, dan kebutaanku hilang.
Tapi kutemukan diriku sudah
berada di dalam gua. Lalu aku keluar dan mencarimu kemari!"
Awan Setangkai justru tertawa
berkepanjangan. "Kau pandai mengarang cerita yang menggoda hatiku, Suto.
Ooh... aku senang sekali punya pendamping sepertimu. Sudahlah, tak perlu kita
bahas lagi. Sebaiknya kita segera ke Istana Selat Bantai. Aku akan bicara
tentang pusaka 'Jemparing Malaikat' milik Begawan Parang Giri itu. Kuanggap,
kau sudah memberiku secawan anggur kenikmatan, aku telah lega. Tidak penasaran
seperti tadi. Terserah kau mau berlagak bodoh atau berlagak pikun, yang jelas
aku sudah mendapatkannya darimu. Kini aku akan memenuhi janjiku untuk bicara
tentang rahasia 'Selaput Iblis' yang ada di langit itu!"
"Wah, kacau kalau
begini...!" gumam Suto dalam hati. "Dia tetap merasa bergumul
denganku! Tapi... ah, masa bodoh soal itu! Yang penting aku harus bisa
cepat-cepat hancurkan 'Selaput Iblis' agar Bibi Guru Bidadari Jalang tidak
mengalami perubahan pada wajahnya."
Namun tiba-tiba muncul
ketegangan kecil dari pikiran Suto. "Bagaimana kalau sampai Awan Setangkai
nanti hamil? Pasti dia akan menyangka akulah yang menghamilinya, dan dia akan
menuntut tanggung jawabku, lalu kami harus kawin, oooh... kiamat! Aku tak mau
menikah dengan siapa pun kecuali Dyah Sariningrum, calon istriku itu!"
Pikiran Suto pun menjadi
bercabang lagi antara 'Selaput Iblis' dan bekas 'Selaput Dara'-nya Awan
Setangkai itu. Suto menjadi jengkel sendiri dan menggerutu dalam hati.
"Persoalan selaput bikin
kacau pikiranku! Sial! Kenapa aku dihadapkan persoalan seperti ini?!"
Tanpa sadar Pendekar Mabuk bersungut-sungut sendiri, sehingga Awan Setangkai
menertawakan, karena dianggapnya Suto tetap bersandiwara untuk menggoda
hatinya. Gadis itu justru semakin tertarik kepada Suto Sinting. Malahan ia
bertekad untuk membantu kesulitan Suto dengan harapan akan mendapatkan
kemesraan yang lebih indah dari kemesraan yang dinikmati dalam kebutaan tadi.
*
* *
5
ENTAH sudah berapa hari
sebenarnya Suto dibuat sibuk oleh kasus 'Selaput Iblis' itu. Mungkin sudah dua
hari, mungkin juga baru sehari semalam. Semuanya tak jelas, karena matahari tak
mau bergerak. Seakan sang matahari lakukan mogok terbenam dan mogok terbit.
Bayangan manusia sudah berubah
menjadi ungu. Orang-orang Selat Bantai, sisa anak buah Ratu Cendana Sutera
banyak yang menjadi korban ketuaan, karena ternyata mereka banyak yang
menggunakan aji pengawet ayu mengikuti mantan sang Ratu Selat Bantai itu.
Mereka yang wajahnya menjadi keriput, peot, kempot, dan beruban, kebanyakan
mulai mengenakan cadar penutup wajah. Akibat banyaknya perempuan di Selat
Bantai yang mengenakan cadar, maka suasana Selat Bantai seperti suasana di
Mesir.
Pendekar Mabuk sempat
terperanjat ketika baru saja tiba di Istana Selat Bantai, karena melihat
banyaknya perempuan bercadar, ia sempat berkata pelan kepada Awan Setangkai
yang disambut oleh mereka dengan penghormatan, karena Awan Setangkai sebenarnya
sekarang seorang ratu di Selat Bantai. Hanya saja karena Awan Setangkai masih
berjiwa muda, maka ia masih gemar keluyuran sendiri, bahkan keluar dari istana
tanpa diketahui para pengawalnya.
"Apakah prajuritmu
sekarang banyak yang bergigi tonggos, sehingga menutup wajah dengan kain
cadar?"
"Kurasa persoalannya
bukan terletak pada gigi mereka, tapi pada perubahan kecantikan mereka yang
menjadi keriput dan menua," jawab Awan Setangkai.
"Kau masih kenal gadis
berbaju tak berlengan warna biru itu?"
"Hmmm... maksudmu yang
memakai ikat kepala rantai emas berbandul merah itu?"
"Benar. Apakah kau masih
ingat dia?"
Suto memandang perempuan yang
berbadan sekal dengan rambut sepunggung dikepang dan bersenjata pisau kembar
serta membawa busur yang melintang di punggung. Ingatan Suto melayang sejenak
pada peristiwa penyergapan terhadap dirinya beberapa waktu yang lalu.
"Kalau tak salah, dia
adalah si Bunga Ranjang!" sambil benak Suto membayangkan pertarungannya
dengan Bunga Ranjang, mantan pengawalnya Ratu Cendana Sutera itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Cendana Sutera").
"Benar. Akan kupanggil
dia biar kau jelas semuanya."
Bunga Ranjang yang kini tunduk
di bawah perintah Awan Setangkai segera berlari menghadap Awan Setangkai begitu
dipanggil dengan suitan. Perempuan itu mengenakan kerudung hitam di kepalanya
dengan wajah tertutup kain tersebut. Bagian wajah yang kelihatan hanya bagian
sepasang matanya yang mulai tampak buram itu.
"Bunga Ranjang, bukalah
kain cadarmu itu. Kau tidak menghormati tamu agung kita ini jika tetap
mengenakan kain cadar."
"Tapi...."
"Bukalah kain cadarmu!"
Awan Setangkai mempertegas dengan nada wibawanya sebagai Ratu atau Ketua
orang-orang Selat Bantai. Mau tidak mau Bunga Ranjang membuka kain cadarnya,
lalu cepat-cepat menundukkan kepala, karena ia kenal siapa tamu agung yang
dimaksud itu. Ia malu kepada Pendekar Mabuk yang dulu pernah dipameri
kecantikannya bersama Mawar Rimba.
"Selamat berjumpa lagi
denganku, Bunga Ranjang. Bagaimana keadaanmu sekarang? Betah punya ratu ganjen
macam si Awan Setangkai ini?"
Pluk...! Awan Setangkai
menepuk lengan Suto sambil tertawa malu, sedangkan Bunga Ranjang hanya
tersenyum-senyum sambil kian menundukkan kepala. Rupanya ia tak ingin Pendekar
Mabuk melihat wajahnya lebih jelas lagi.
Tapi keadaan itu sudah cukup membuat Suto Sinting menjadi prihatin dan
merasa iba terhadap Bunga Ranjang, sehingga ia perlu membuat suasana menjadi
ceria dengan kelakarnya tadi.
Siapa orangnya yang tak merasa
terharu jika melihat mata yang dulu sayu indah berbulu lentik, sekarang menjadi
mata yang keruh tanpa bulu selengkap dulu. Kulit yang dulu kencang dan bersih,
sekarang berkeriput bagai kain tak disetrika. Bibir yang dulu mungil sensual
menggemaskan, sekarang berkerut tepiannya dan tenggelam ke dalam karena
keompongan gigi depannya.
Hidung yang dulu mancung,
sekarang melebar ke samping bagai sisa permadani digelar di wajah. Awan
Setangkai segera menyuruh Bunga Ranjang pergi mempersiapkan tempat untuk
menjamu sang tamu agung itu. Lalu, dengan hati sedih pula Awan Setangkai
berkata kepada Suto Sinting.
"Dia korban kabut sinar
ungu itu! Dulu ia tampak cantik, bukan?"
"Memang cantik dan
menggairahkan. Matanya yang sayu jika memandang seakan sebuah ajakan untuk
berkencan di balik semak-semak."
"Dia seperti itu karena
menggunakan mantra kecantikan pemberian mendiang Ratu Cendana Sutera. Sekarang
mantra itu tidak berguna lagi, dan akibatnya seperti kau lihat sendiri
tadi."
"Kasihan sekali,"
gumam Suto Sinting sambil membayangkan wajah Bidadari Jalang yang usianya hanya
terpaut setahun dua tahun dari si Gila Tuak. Semangat Suto untuk menghancurkan
kabut sinar ungu itu semakin membara, sehingga ia segera mengarahkan
pembicaraannya tentang pusaka milik Begawan Parang Giri itu.
"Seperti kukatakan padamu
sebelum kau memberikan kehangatan yang indah itu padaku," Awan Setangkai
mengawali dengan senyum dan kerlingan mata nakalnya.
"Pusaka itu adalah sebuah
panah emas yang dapat memudarkan segala macam kekuatan gaib atau ilmu siluman.
Ratu Cendana Sutera dan orang-orang Selat Bantai ini, termasuk diriku, paling
takut kalau melihat lawan membawa panah emas, walau sebenarnya belum tentu
panah emas itu pusaka 'Jemparing Malaikat'-nya sang Begawan."
"Apakah dulu ketika
gurunya Nyai Watu Wadon melapisi matahari dengan 'Selaput Iblis' juga
dihancurkan oleh panah emas itu?"
"Menurut cerita mendiang
Ratu Cendana Sutera memang begitu, tetapi yang memanahkannya bukan Begawan
Parang Giri, melainkan seorang tokoh angkatan lama bernama Raja Maut."
"Oh, aku kenal dengan
Raja Maut yang kini sudah almarhum itu."
"Hanya orang berilmu
tinggi yang bisa menarik busur untuk melepaskan panah 'Jemparing Malaikat' itu.
Sang Begawan sendiri sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menarik tali busur
dan melepaskan panah itu, karena ia sudah sangat tua dan ilmunya sudah dibuang
semua. Kini sang Begawan hanya ingin menyepi, menyucikan diri, mendekatkan
hidupnya dengan Yang Maha Kuasa sambil menunggu saat kematiannya tiba."
"Dan panah itu masih ada
padanya?"
Awan Setangkai menggelengkan
kepala. Langkah mereka berhenti di taman indah yang dulu sering dipakai kencan
oleh mendiang Ratu Cendana Sutera dengan lawan jenisnya. Di taman itu ada
bangku dari batu marmer hitam mengkilat. Awan Setangkai mengajak Suto duduk di
batu itu sambil memandangi kolam berikan warna-warni dan bunga-bunga aneka
ragam.
"Panah itu semula ada padaku.
Tapi sekarang hilang dicuri oleh salah seorang anggota Partai Janda Liar."
"Oh, ya...?!" Suto
terperanjat. Matanya memandang Awan Setangkai dengan dahi berkerut tajam.
"Ketika aku datang
menemui Begawan Parang Giri di Bukit Canting, aku mengeluh pada beliau karena
menurut silsilah, beliau masih ada hubungan darah dengan leluhurku. Aku
mengeluh tentang hak kekuasaanku di Selat Bantai ini yang direbut oleh Ratu
Cendana Sutera. Pusaka itu kupersiapkan untuk saat-saat penggulingan kekuasaan
nanti, terutama jika aku sudah punya pendukung cukup banyak. Tetapi sebelum
makar itu kulakukan, ternyata sudah ada peristiwa 'Bulan Kesuburan' yang
melibatkan dirimu dan akhirnya sang Ratu mati di tanganmu."
Pendekar Mabuk menenggak
tuaknya, Awan Setangkai terpaksa hentikan ceritanya sesaat, karena ia ingin
ceritanya didengar Suto dengan serius. Setelah Pendekar Mabuk selesai menenggak
tuaknya, Awan Setangkai lanjutkan pula ceritanya.
"Beberapa waktu yang
lalu, orang Partai Janda Liar datang kemari, ia meminta panah itu dengan paksa.
Aku mencoba mempertahankannya dengan perlawanan sengit. Tetapi dia punya
keberuntungan dapat melihat sisi kelemahanku. Aku dibuatnya tak berdaya dan
nyaris mati. Satu langkah lagi, jika aku tidak serahkan panah itu, nyawaku akan
melayang dan sekarang tak bias menjumpaimu, tak bisa merasakan kenikmatan
cumbuanmu."
"Jadi panah itu kau
serahkan padanya?" sahut Suto Sinting yang tak mau bicara tentang cumbuan,
karena merasa kesal hati; tidak mencumbu dikatakan mencumbu dengan mesra.
"Ya, panah itu kuserahkan
padanya. Lalu, aku segera pergi ke Bukit Canting dan melaporkan hal itu kepada
Begawan Parang Giri."
"Apa tindakan sang
Begawan?!"
"Dia menyuruhku
membiarkan panah itu ada di tangan orang tersebut, karena orang itu adalah
cucunya sendiri yang memang berhak memiliki panah pusaka itu."
"Ooo... jadi cucunya
Begawan Parang Giri ada yang menjadi anggota Partai Janda Liar?"
"Benar. Dia seorang
perempuan yang patah hati karena dua kali menikah dua kali pula dikhianati oleh
suaminya. Lalu ia menggabungkan diri dengan Partai Janda Liar agar mendapat
bantuan dari Nyai Watu Wadon dalam melepaskan dendamnya kepada kedua mantan
suami itu. Ternyata usahanya berhasil, kedua mantan suami dibunuhnya dengan
bantuan kekuatan Nyai Watu Wadon."
"Hmmm...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Siapa nama perempuan yang menjadi cucunya
Begawan Parang Giri itu?"
"Perempuan itu dikenal
dengan nama Selimut Senja."
"Ooh...?!" Suto
Sinting kaget. "Bukankah Selimut Senja yang membunuh Nyai Watu Wadon? Saat
itu aku melihatnya sendiri!"
"Memang benar. Rupanya
Selimut Senja ingin merebut kekuasaan di dalam Partai Janda Liar. Mungkin ia
punya maksud menyusun kekuatan bersama para pengikut Partai Janda Liar yang
terdiri dari janda-janda sakit hati itu untuk memerangi kaum pria yang pernah
menyakiti hati mereka."
"Padahal kulihat Selimut
Senja punya ilmu cukup tinggi. Bahkan kudengar ia menguasai ilmu "Kulit
Baja' yang anti bacok anti tonjok itu."
"Menurut berita dari
mata-mata yang kususupkan ke sana, ilmu 'Kulit Baja' itu dikuasai olehnya
baru-baru ini saja. Sebelumnya ia tidak mempunyai ilmu 'Kulit Baja' dan ilmunya
masih di bawah Nyai Watu Wadon. Jika ia sudah mempunyai ilmu 'Kulit Baja'
tentunya ia tidak perlu bergabung dengan Nyai Watu Wadon untuk membunuh kedua
mantan suaminya yang berilmu tinggi itu."
"Hmmm, ya... benar
juga," Suto manggut-manggut lagi. "Lalu, apa hubungannya perebutan
kekuasaan si Partai Janda Liar itu dengan panah pusaka 'Jemparing Malaikat'
itu?!"
"Aku tak tahu secara
pasti. Tapi menurut dugaan ku, panah itu juga dipersiapkan untuk melawan Nyai
Watu Wadon, sebab Nyai Watu Wadon mempunyai jurus 'Bencana Gaib' yang
berbahaya."
Setelah merenung sesaat, Suto
Sinting pun berkata seperti bicara pada diri sendiri. "Kalau begitu, saat
aku bertarung dengan Nyai Watu Wadon, ada sepasang mata yang melihatnya dari
persembunyian. Mungkin kepergian Nyai Watu Wadon diikuti oleh sepasang mata
yang tak lain milik Selimut Senja itu. Dan ketika ia mengetahui keadaan Nyai
Watu Wadon terluka cukup berbahaya, ia menyerangnya sebelum luka itu
tersembuhkan. Karena kulihat Selimut Senja tidak menggunakan panah emas itu
dalam pertarungannya melawan Nyai Watu Wadon."
"Barangkali saja memang
begitu. Tapi yang jelas sekarang Selimut Senja di pihak yang menang. Sebab
dengan membiarkan matahari dilapisi kabut sinar ungu, maka ia dapat membuat
lawan-lawan perempuannya yang punya ilmu pengawet ayu itu mengalami
penderitaan. Selimut Senja sendiri mempunyai kecantikan yang asli dan tidak
menggunakan mantra atau ilmu pengawal ayu, seperti keayuanku ini," sambil
Awan Setangkai tersenyum angkuh menggoda Suto Sinting.
Tangan Suto berkelebat
mencubit pipi Awan Setangkai dengan gemas. Yang dicubit diam saja, bahkan
menarik tangan itu lalu memeluknya. Gadis itu memang tampak lebih ceria ketimbang
semasa menjadi anak buahnya Ratu Cendana Sutera. Kebebasannya menjadi penguasa
Selat Bantai agaknya telah membuat Awan Setangkai tak sungkan-sungkan bertindak
apa saja. Buktinya ia langsung menciumi Suto Sinting begitu pemuda tampan itu
jatuh dalam pelukannya. Ciumannya menggelora bagaikan ingin menyapu bersih
wajah itu. Bahkan kali ini bibir Suto Sinting dilumatnya habis-habisan, seakan
bibir itu ingin ditelannya bulat-bulat, hingga Suto Sinting sempat gelagapan
sebentar.
"Gusti Ratu...,"
sapa seorang prajurit muda yang punya kecantikan asli pula itu. Sapaan tersebut
membuat Awan Setangkai menggeragap kaget dan buru-buru melepaskan ciumannya,
memisahkan diri dan Suto Sinting, ia sempat salah tingkah sebentar, sementara
Suto Sinting menertawakan dengan senyum dipalingkan ke arah lain.
"Kau benar-benar tak tahu
sopan, Kundarini! Mengapa kau berani mengganggu kemesraanku dengan Pendekar
Mabuk, hah?!" Awan Setangkai memarahi prajurit yang menghadap dengan napas
terengah-engah dan wajah tegang itu.
"Maaf, Gusti Ratu... saya
hanya ingin memberitahukan bahwa kita telah kedatangan seorang tamu yang
membuat keributan di depan bangsal pertemuan, ia telah berhasil mendobrak
gerbang dan ingin masuk ke bangsal keratuan."
"Keparat! Siapa orang
itu?"
Prajurit muda itu menjawab,
"Saya tidak tahu, Gusti Ratu. Tetapi beberapa rekan prajurit atasan saya
mengatakan bahwa perempuan itu bernama Sedap Malam, mantan orang kita
juga."
"Nyai Sedap
Malam...?!" gumam Suto Sinting dengan wajah sedikit tegang, karena ia kenal
betul dengan perempuan yang menjadi istrinya Ki Palang Renggo, sahabat gurunya
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pemburu Darah
Satria").
"Akan kuhadapi sendiri
dia! Tahan para prajurit agar jangan lakukan penyerangan. Nanti banyak korban
yang sia-sia. Biar kuhadapi sendiri si Sedap Malam yang masih ingin ikut campur
urusan Selat Bantai itu!" kata Awan Setangkai dengan berang.
"Biar aku yang bicara
dengannya," kata Suto setelah Kundarini pergi melaksanakan perintah sang
Ratu nyentrik itu.
"Tidak. Kurasa ia datang
karena ada urusan lama denganku, sebab ia memang bekas orangnya Ratu Cendana
Sutera yang diusir karena berhubungan cinta dengan Ki Palang Renggo!"
"Aku pernah mendengar hal
itu, tapi aku kenal dengannya dan...."
"Kau tetap di sini.
Tunggu aku beberapa saat. Akan kulumpuhkan dia dalam dua-tiga jurus saja!"
Awan Setangkai bergegas pergi
tinggalkan taman itu. Namun Suto Sinting tak mungkin tinggal diam begitu saja,
sebab hubungannya dengan Nyai Sedap Malam dan Ki Palang Renggo cukup baik.
Bahkan Nyai Sedap Malam pernah selamatkan nyawanya ketika ia terkena racun
'Bayu Panggang'-nya si Awan Setangkai, ketika Awan Setangkai berusaha membunuh
Suto agar tidak menjadi penabur keturunan bagi Ratu Cendana Sutera.
Nyai Sedap Malam mengenakan
jubah kuning garis-garis merah, ia menggenggam senjata sebuah tongkat berkepala
bunga. Tongkat itu yang digunakan untuk menghantam punggung seorang pengawal
dalam gerakan bersalto di udara dengan cepat. Buuhk...!
"Aaahk...!"
Suuur...! Pengawal itu menyemburkan
darah dari mulutnya, menandakan pukulan tongkat tersebut dialiri dengan tenaga
dalam cukup besar.
Melihat pengawal itu
tersungkur dan tak berkutik lagi, walau masih menggeliat pelan dengan
menyeringai kesakitan, temannya merasa semakin penasaran dan segera menyerang
Nyai Sedap Malam dengan pukulan bercahaya kuning. Claaap...! Sang Nyai rupanya
cukup tangkas dalam menghadapi serangan lawan, ia berkelebat dalam gerakan
memutar balik ke belakang, kemudian sinar kuning lurus yang semula mengarah kepadanya
itu dihantam dengan kepala tongkat yang segera membara biru terang. Wuuut...!
Blegaaarr...!
Ledakan cukup seru terjadi dan
sempat menggetarkan tanah sekitar mereka. Nyai Sedap Malam berhasil lompat ke
atas atap ruang pertemuan itu. Wuuut...!
Jleeg..! Tongkatnya segera
dimainkan berputar cepat di atas kepala. Gerakan tongkat yang memutar cepat itu
menimbulkan angin panas yang mengeringkan dedaunan. Tetapi tiba-tiba sebuah
suara berseru dengan lantang dari bawah.
"Hentikan tingkahmu.
Sedap Malam!"
Nyai Sedap Malam memandang
orang yang berseru dengan lantang itu. Ternyata si Awan Setangkai yang bertolak
pinggang bagai menantang pertarungan di bawah. Nyai Sedap Malam benar-benar
hentikan permainan tongkatnya.
"Turun kau kalau memang
mau cari mati di sini!" seru Awan Setangkai menunjukkan sikap tegasnya
sebagai pengganti penguasa Selat Bantai.
Wuuut...! Jleeg...!
Nyai Sedap Malam turun dari
atap dalam satu lompatan lurus hingga jubahnya berkelebat bagai sayap seekor
burung merak betina.
Pada saat itu pula Suto
Sinting tiba di tempat itu, agak jauh di belakang Awan Setangkai. Pandangan
mata Suto sedikit mengecil karena ia menemukan kejanggalan di wajah Nyai Sedap
Malam.
"Oh, kasihan sekali Nyai
Sedap Malam... rupanya ia telah menjadi korban 'Selaput Iblis' itu, sehingga
sekarang wajahnya tampak tua, berkerut-kerut dan kecantikannya hilang sama
sekali. Rambutnya pun telah beruban dan bola matanya menjadi keruh, tak
sebening waktu itu," kata Suto dalam batinnya.
Awan Setangkai berseru dengan
wajah berang, "Apa maksudmu bikin keonaran di sini, Sedap Malam?!"
"Orang-orangmu
menghinaku, menganggapku orang jahat dan tak diizinkan bertemu denganmu. Maka
kutunjukkan pada mereka bahwa aku bukan orang murahan yang pantas disepelekan
oleh mereka!" kata Nyai Sedap Malam dengan suara sedikit serak karena
ketuaannya.
"Tentu saja mereka tak
izinkan kau menggangguku, karena aku sedang kedatangan seorang tamu agung. Kami
sedang asyik bermesraan, lalu kau datang mau mengganggu kemesraanku. Hmmm...!
Perempuan tak tahu diri itu namanya!"
"Persetan dengan
kemesraanmu, tapi aku membutuhkan dirimu untuk meminta panah emas milik Begawan
Parang Giri yang ada padamu sebelum kau melakukan makar terhadap Ratu Cendana
Sutera! Bukankah waktu itu aku yang menyarankan agar kau meminta bantuan
Begawan Parang Giri dan meminjam pusakanya untuk melawan sang Ratu kala itu?!
Tapi mana balas budimu padaku? Bahkan ketika aku diusir dari Selat Bantai, kau
tidak ada pembelaan terhadap diriku!"
"Karena aku tak mau
campuri urusan pribadimu, Tolol!"
"Sekarang aku datang
untuk meminjam pusaka 'Jemparing Malaikat' itu! Tentunya kau tahu keadaanku
yang sekarang dan mengerti apa yang harus dilakukan untuk menghentikan bencana
ini, Awan Setangkai!"
"Pusaka itu sudah tidak
ada di tanganku!" ujar Awan Setangkai dengan tegas.
"Jangan mengecewakan
diriku, Awan Setangkai! Aku tidak bermaksud bermusuhan dengan pihakmu. Aku
hanya ingin meminjam panah itu untuk hancurkan kabut sinar ungu yang menutupi
matahari itu!"
"Sudah kubilang, panah
itu tidak ada padaku!" seru Awan Setangkai dengan lebih galak lagi.
"Hmmm...," Nyai
Sedap Malam mencibir sinis, wajahnya semakin tampak tua dan buruk. "Kau
khawatir pusaka itu tak kukembalikan? Oh, aku bukan perempuan yang keji seperti
dugaanmu. Bahkan aku punya pilihan lain; kau sendiri yang melepaskan panah itu
ke langit, atau aku meminjamnya dan melepaskannya ke langit?!"
"Persetan dengan
pilihanmu! Aku benar-benar tidak memegang panah itu lagi!"
"Kalau begitu kau ingin
agar aku melumpuhkanmu lebih dulu, Awan Setangkai!"
"Kulayani apa maumu,
Sedap Malam! Kau sangka aku takut padamu, hah?!"
"Baik, bersiaplah
menghadapi jurus mautku, Awan Setangkai!"
Nyai Sedap Malam segera
bergerak ke kiri dan memutar tongkatnya pelan-pelan. Pandangan matanya tertuju
ke arah Awan Setangkai dengan tajam dan penuh nafsu bermusuhan. Awan Setangkai
sendiri segera mengambil posisi untuk lepaskan pukulannya ke arah Nyai Sedap
Malam.
"Tahan...!"
tiba-tiba sebuah suara berseru dari belakang Awan Setangkai. Suara itu adalah
suara Pendekar Mabuk yang segera hadir di samping Awan Setangkai.
"Ooh...?!" Nyai
Sedap Malam terkejut melihat Suto ada di sisi Awan Setangkai. "Rupanya kau
sudah berpihak kepadanya, Suto!"
"Nyai, dengarkan dulu
penjelasanku!" ujar Suto Sinting dengan sabar. "Kebetulan aku
berkunjung ke Selat Bantai karena persoalan yang sama dengan persoalanmu. Aku
diutus oleh guruku; Bidadari Jalang, untuk mencari kekuatan yang dapat
hancurkan 'Selaput Iblis' itu. Dan kebetulan Awan Setangkai mengetahui senjata
pusaka yang pernah dipakai untuk hancurkan 'Selaput Iblis' beberapa tahun yang
silam."
"Kalau begitu, paksa si
Awan Setangkai agar keluarkan panah 'Jemparing Malaikat', dan hantamlah kabut
sinar ungu itu, Suto!"
"Tunggu dulu, Nyai....
Kita sama-sama menghadapi persoalan yang sama. Artinya, kita sama-sama
kehilangan panah pusaka itu."
"Bicara yang benar kau,
Pendekar Mabuk!" ucap Nyai Sedap Malam dengan tegas sambil menuding Suto
memakai tongkatnya.
"Minggirlah, akan kuhajar
dia biar percaya bahwa panah itu tidak ada padaku!" sambil Awan Setangkai
mendorong tubuh Suto agar menyingkir, tapi Suto bertahan dan mencoba meredakan
kemarahan Awan Setangkai dengan bujukan penuh kesabaran.
"Ini perkara yang sia-sia
jika harus menggunakan pertarungan! ini hanya kesalahpahaman saja, dan
kesalahpahaman ini membutuhkan penjelasan sejelas mungkin!"
Awan Setangkai mendengus,
namun ia tidak melarang Suto untuk maju mendekati Nyai Sedap Malam.
"Nyai... baru saja tadi
kubicarakan dengan Awan Setangkai bahwa kami sepakat untuk menghancurkan
'Selaput Iblis' itu. Tetapi panah pusaka itu sekarang berada di tangan Selimut
Senja, ketua Partai Janda Liar yang baru."
Nyai Sedap Malam terperanjat
dan memandang Suto lebih tajam lagi. Ia sama sekali tak pedulikan kecantikannya
yang luntur itu, karena yang ada dalam benaknya hanya panah pusaka untuk
hancurkan 'Selaput Iblis' itu.
"Nyai, aku tidak
mendustaimu. Aku tahu kau sangat menderita, sama seperti Bibi Guru-ku; si
Bidadari Jalang. Karenanya, redakanlah amarahmu, Nyai. Singkirkan anggapan burukmu
terhadap Awan Setangkai. Percayalah, aku tidak akan tinggal diam dalam perkara
ini!"
"Dapatkah mulut seorang
lelaki yang sedang dimabuk kemesuman kupercayai?!"
Suto tersenyum geli.
"Nyai, aku tidak sedang mabuk. Walau ke mana-mana aku menenteng bumbung
tuak, tapi aku toh tidak pernah mabuk. Begitu pula dengan sekarang, walau aku
menenteng Awan Setangkai, tapi aku tidak pernah merasa mabuk oleh kecupan
bibirnya yang... hangat sekali, Nyai. Uuh, tadi aku hampir saja tak bisa
bernapas karena ia...."
"Cukup!" sentak Nyai
Sedap Malam, membuat suara Suto yang berbisik itu lenyap seketika.
"Kalau begitu, aku harus
merebut panah itu dari tangan si Selimut Senja?" geram Nyai Sedap Malam.
"Kau akan tumbang dan
mati sia-sia jika melawannya!" ujar Awan Setangkai. "Apakah kau belum
mendengar kabar bahwa Selimut Senja sudah menguasai ilmu 'Kulit Baja' dari
kitab pusaka kakeknya yang dicuri nya itu?!"
Suto Sinting segera berkata,
"Nyai, serahkan persoalan ini padaku. Aku akan menyelesaikannya secepat
mungkin. Jangan korbankan nyawamu untuk mendapatkan panah tersebut. Jalan yang
terbaik bagimu masih ada. Tunggulah saatnya, tak lama lagi kabut sinar ungu itu
akan hancur dan kecantikanmu akan kembali seperti sediakala!"
"Apa sangsinya jika kau
gagal? Kepalamu kupenggal?"
"Jangan berat-berat
sangsinya, Nyai! Biar gagal aku kan masih butuh kepala juga," kata Suto
Sinting dengan bersungut-sungut. Lalu, Awan Setangkai menimpali dengan ketus.
"Sebelum kau memenggal
kepala Suto, lebih dulu kepalamu kupancung, Sedap Malam!"
"Kalau begitu kita
buktikan siapa yang lebih cepat memenggal kepala!" sentak Nyai Sedap
Malam. Suto segera menengahi.
"Hei.. hei... ini bukan
soal kepala, ini soal 'Selaput Iblis'. Jangan melantur ke mana-mana!"
Akhirnya Nyai Sedap Malam
pasrah kepada usaha Suto Sinting, ia sempat diyakinkan oleh Awan Setangkai,
bahwa Suto pasti berhasil dapatkan panah itu.
Maka, Pendekar Mabuk pun
segera pergi untuk temui Ketua Partai Janda Liar yang baru itu.
*
* *
6
PENDEKAR Mabuk bertekad untuk
tidak pergunakan kekerasan dulu terhadap Selimut Senja. Sekalipun ia merasa
mampu tumbangkan Selimut Senja, tapi jika perempuan itu mati, maka belum tentu
ada yang mengetahui di mana panah pusaka itu disembunyikan oleh Selimut Senja.
"Aku harus menggunakan
cara halus, agar Selimut Senja menyerahkan panah itu secara suka rela. Hmmm...
agaknya aku harus gunakan jurus 'Senyuman Iblis' untuk membuat hati perempuan
itu terpikat padaku. Jika ia sudah kubuai dengan kemesraan, maka dengan mudah panah pusaka itu akan kuperoleh," pikir
Suto dalam perjalanan ke Pesanggrahan Janda Liar itu.
Perjalanan itu sempat terhenti
oleh kemunculan Panji Klobot dari arah lereng perbukitan. Suara Panji Klobot
itulah yang menghentikan langkah kaki Suto Sinting, sehingga pemuda polos, lugu,
dan tanpa ilmu apa pun kecuali jurus 'Tendangan Cuci Perut' itu segera
mendekati Suto dengan wajah tegangnya.
Pendekar Mabuk menjadi heran
melihat Panji Klobot ada di situ.
"Aku mencari-cari Tenda
Biru, Suto! Dia pergi begitu saja tanpa pamit padaku ketika mendengar kabar
bahwa di suatu tempat ada sayembara tanding laga dan hadiahnya adalah menjadi
Ketua Partai Janda Liar. Kabar itu datang dari Kelambu Petang. Tapi Kelambu
Petang tidak ikut pergi!" tutur Panji Klobot yang mengenakan baju tanpa lengan
warna biru, sama dengan warna celananya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun
itu juga menceritakan telah memergoki Taring Naga yang sedang bercumbu dengan
seorang gadis dengan ciri-ciri si gadis disebutkan pula. Dan Suto Sinting
terperanjat karena mengetahui bahwa gadis yang diceritakan Panji Klobot itu
adalah Awan Setangkai.
"Aku sempat terpaku
seperti patung melihat adegan itu. Dan sepertinya gadis itu adalah gadis buta.
Tapi...tapi aku sendiri tak tahu kenapa Taring Naga melarikan diri begitu
melihatku. Mungkin aku disangkanya seekor beruang yang sedang mencari madu,
ya?"
Suto Sinting sunggingkan
senyum tipis, kemudian berkata dalam hatinya.
"Oooh... kalau begitu hal
itu terjadi saat Awan Setangkai mengalami kebutaan! Kurang ajar betul si Taring
Naga itu, memanfaatkan kebutaan seorang gadis untuk menikmati
kehangatannya!"
Panji Klobot berkata,
"Aku takut kehilangan Tenda Biru, Suto. Sebab gadis itu sudah seperti
kakakku sendiri dan dia sedang mengajarku beberapa jurus, tapi belum sempat
kukuasai sudah menghilang begini!"
Suto Sinting menggumam lirih
sambil merenungi kata-kata Panji Klobot. Pemuda yang masih tampak ingusan itu
berkata lagi.
"Pada saat ia belum
pergi, kulihat wajahnya ada perubahan. Aku takut dia kena penyakit menular,
Suto."
"Perubahan
bagaimana?" Suto semakin tertarik.
"Kulitnya agak keriput,
dan hidungnya tidak semancung biasanya. Saat kukatakan hal itu, ia buru-buru
pergi sampai sekarang. Apakah dia tersinggung, ya?"
Suto Sinting diam saja, tapi
hatinya membatin, "Oh, kalau begitu Tenda Biru pun menggunakan aji
pengawet kecantikan dan sekarang mengalami perubahan karena matahari tertutup
kabut sinar ungu itu. Aji pengawet ayu itu mungkin diperoleh saat ia menjadi
muridnya Nyai Garang Sayu."
Kemudian Suto berkata kepada
Panji Klobot, "Kalau begitu, kita cari di Pesanggrahan Partai Janda Liar
saja!"
"Kalau kutahu tempatnya,
sudah pasti aku ke sana!"
"Aku tahu tempatnya. Mau
ikut aku atau mau pergi sendiri?"
"O, tentu saja aku lebih
baik mengikutimu!"
Tiba-tiba terpetik sebuah
gagasan dalam benak Suto untuk memanfaatkan Panji Klobot. Gagasan itu tidak
dibicarakan lebih dulu, karena akan mengacaukan rencana jika Panji Klobot
sampai mendengarnya.
Ketika mereka tiba di sebuah
lembah yang dinamakan Lembah Liar, Pendekar Mabuk berkata kepada Panji Klobot.
"Maukah kau menungguku di
sini, di balik bebatuan itu?!"
"Kenapa aku harus
menunggu di sini? Bukankah pesanggrahan itu sudah kelihatan dari sini dan aku
masih kuat berjalan mengikutimu sampai ke sana!"
"Bukan soal kuat atau
tidak kuat jalan, Panji. Aku ingin memeriksa dulu keadaan di dalam sana, apakah
Tenda Biru ada atau tidak. Jika ada ia akan segera kubawa keluar. Jika tidak
ada, mungkin dia belum datang. Dan kau berjaga-jaga di sini. Jika kau lihat
Tenda Biru datang, cegatlah dia lalu bujuklah agar segera pulang."
"Oo, begitu?! Baiklah,
aku menurut saja apa katamu, Suto!"
Jurus 'Senyuman Iblis' mulai
dikenakan oleh Pendekar Mabuk. Senyuman itu dapat menundukkan perempuan mana
pun, meski perempuan itu berhati karang dan sukar terpikat oleh seorang pria.
Dengan memasang 'Senyuman Iblis' penjerat hati, para penjaga pesanggrahan
Partai Janda Liar yang terdiri dari para wanita frustrasi itu dibuat
terbengong-bengong oleh kehadiran Suto Sinting.
"Aku ingin bertemu dengan
Ketua Partai Janda Liar yang baru," kata Suto kepada salah seorang penjaga
gerbang.
"Oh, hmmm... bisa saja.
Tapi... tapi beliau sedang mengadakan pesta penobatannya sebagai ketua yang
baru."
"Tak bisakah aku bertemu
sebentar dengannya?"
Penjaga yang satunya buru-buru
menjawab, "Oh, tentu saja bisa! Ketua kita yang baru ini baik hati dan tak
mudah marah kok. Mari kuantar menemui beliau. mmm... boleh kutahu siapa
namamu?"
"Namaku... Panji
Klobot," jawab Suto sengaja menyamar sebagai Panji Klobot.
"Oh, itu nama yang bagus
sekali, sesuai dengan orangnya. Bukankah begitu, Arumwani?!"
"Iya. Bagus sekali. Lebih
bagus lagi kalau nama itu menjadi penghuni tetap di pesanggrahan kita,
ya?"
Kedua penjaga itu cekikikan,
dua penjaga lainnya juga ikut cekikikan, namun tidak ikut mendekati Suto.
Mereka tetap menjaga kewaspadaan dari tempatnya berdiri.
Selimut Senja merasa heran
mendengar kedatangan tamu seorang pemuda tampan, gagah perkasa, dan sangat
menawan. Pesta segera dihentikan sesaat. Selimut Senja menyuruh pengawalnya
membawa tamu itu menghadap.
Suto Sinting pun muncul di
tengah pesta yang dihadiri oleh kaum wanita. Mereka menggumam kagum secara
serempak begitu Suto Sinting muncul dengan langkah gagah dan senyum memancarkan
daya pikat tinggi.
"Ooh, gila...! Ini namanya
rezeki nomplok!" ujar salah seorang dari mereka. Selimut Senja menatap
Suto dengan dahi berkerut. Tetapi ketika Suto semakin dekat dan senyumannya
semakin melebar, Selimut Senja tak bisa diam saja. Senyumannya pun mulai mekar
karena hatinya berdebar-debar bagai dihinggapi ribuan bunga indah.
"Kalau tak salah
penglihatanku, kau adalah pemuda gagah yang pernah kuintai sedang bertarung
dengan mendiang Nyai Watu Wadon itu," ujar Selimut Senja dengan wajah
berseri-seri.
"Aku tak tahu kapan kau
mengintainya, tapi kuakui aku memang bertarung dengan Nyai Watu Wadon dan
berhasil melukainya," kata Suto dengan suara lembut namun penuh
kejantanan. Pandangan matanya yang teduh membuat Selimut Senja semakin
berdebar-debar, demikian pula para anggota Partai Janda Liar yang saling
berkasak-kusuk dan cekikikan membicarakan khayalannya masing-masing bersama
Suto Sinting.
"Sayang sekali kala itu
aku tak mendengar Nyai Watu Wadon menyebutkan namamu."
"Namaku sederhana sekali.
Ibuku memberikan nama Panji Klobot untukku."
"Nama yang bagus sekali
itu. Tidak sesederhana anggapanmu. Panji!"
Beberapa perempuan di sekitar
situ saling menyebut nama Panji Klobot.
"Oo, namanya Panji
Klobot."
"Apa? Panci Borot?"
"Panji Klobot,
Congek!"
"Hik, hik, hik,
hik...!"
Selimut Senja merasa tak enak
menjadi bahan perhatian anak buahnya, karena biasanya ia bersikap tegas dan
galak terhadap lelaki, tapi kali ini ia bersikap manis-manis terhadap pemuda
itu. Untuk menjaga agar tetap tampak wibawa, Selimut Senja segera membawa Suto
Sinting ke kamar pribadinya. Pendekar Mabuk sangat tidak keberatan karena ia
sudah mengerti maksud hati Selimut Senja membawanya ke kamar pribadi itu.
"Apa maksudmu datang
kemari menemuiku, Panji Klobot!"
"Ibuku mendengar Ketua
Partai Janda Liar telah diganti. Nyai Watu Wadon telah disingkirkan. Aku diutus
untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Ketua Partai Janda Liar yang baru.
Karena ibuku merasa senang mendengar Nyai Watu Wadon telah terbunuh, dan
kabarnya kau yang membunuhnya."
"Memang benar. Tapi aku
belum mengenal siapa ibumu, Panji Klobot."
"Ibu juga merasa belum
mengenalmu, Ketua. Tapi ibu mengakui kehebatanmu dan pengakuannya itu
diungkapkan dalam bentuk ucapan selamat yang harus kusampaikan padamu."
Selimut Senja merasa bangga,
hatinya kian berbunga-bunga. Apalagi Suto Sinting bicaranya sambil sunggingkan
senyum menawan, Selimut Senja merasa sedang dibuai oleh sejuta keindahan yang
amat membahagiakan hati.
"Apakah ibumu adalah
perempuan berjubah ungu yang ketika itu terluka oleh pukulan Nyai Watu
Wadon?"
"Benar! Itulah ibuku,
tapi...." Suto Sinting diam seketika, wajahnya diubah menjadi murung bagai
sedang menahan duka. Selimut Senja merasa kehilangan keindahan di wajah Suto.
Ia segera mendekat dan mengangkat wajah Suto dengan menyangga dagu memakai
ujung jarinya.
"Kenapa kau tampak sedih,
Panji. Jangan sedih, biarkan aku bahagia menikmati ketampananmu yang menawan
ini."
"Aku ingat ibuku yang
menderita," ucap Suto Sinting lirih. "Ibuku saat ini sedang menderita
karena ulahku sendiri."
"Oh, apa yang diderita
oleh ibumu itu? Katakanlah, Panji... katakanlah...."
Suto berlagak ragu-ragu untuk
mengatakan. Selimut Senja segera membawanya duduk di tepian ranjang dengan
hati-hati.
"Ceritakanlah, siapa tahu
aku bisa membantumu agar kau tampak ceria dan menawan seperti tadi,
Panji," bujuk Selimut Senja.
Pendekar Mabuk memandang sayu
kepada Selimut Senja yang sedang menatapnya. Tatapan mata itu tampak begitu
lembut dan teduh, walau mengharukan hati Selimut Senja.
"Kau mau membantuku,
Ketua?"
"Akan kubantu apa pun
kesulitanmu, tapi... tapi maukah kau tinggal di sini bersamaku, Panji?"
"Tinggal di sini?"
Suto berlagak girang seperti anak kemarin sore. "Oh, aku suka sekali kalau
boleh tinggal di sini."
Senyum perempuan itu pun mekar
kembali, karena ia senang melihat Suto Sinting berwajah ceria dengan senyuman
yang menggetarkan hati itu.
"Kau sudah punya
kekasih?"
Suto Sinting menggeleng. Mirip
pemuda yang polos. Jawaban itu membuat Selimut Senja kian berdebar-debar,
seakan apa yang diharapkan dapat menjadi kenyataan.
"Ibu selalu melarangku
mendekati wanita, dan aku tak boleh jatuh cinta pada seorang wanita, karena ibu
takut kalau aku lupa pada ibu karena mencintai wanita itu."
"Oh, kasihan sekali
kau," sambil Selimut Senja mengusap-usap rambut Suto.
"Padahal aku sudah ingin
sekali mempunyai istri. Aku ingin dipeluk oleh wanita, ingin dicium dan dicumbu
oleh wanita," Suto berlagak bersungut-sungut.
"Kau benar-benar pemuda
yang malang jika begitu. Tetapi... jika kau mau tinggal di sini, kau dapat
merasakan pelukan dan ciumanku," bisik Selimut Senja.
"Benarkah itu?"
"Ya, benar. Sekarang pun
kau boleh mencobanya, Panji," Selimut Senja semakin membisik, jantungnya
berdetak-detak ketika Suto Sinting memandang dengan berseri-seri. Ia
mendekatkan wajahnya dan mata terpejam sedikit.
"Ciumlah aku... ayo,
ciumlah... jangan takut...," bujuk Selimut Senja. Maka, Suto Sinting pun
mencium pipi perempuan itu pelan-pelan.
"Jangan di pipi saja,
kecuplah bibirku. Hmmm...!"
Selimut Senja menyodorkan
bibirnya. Pendekar Mabuk berlagak gemetar, namun segera menempelkan bibirnya ke
bibir Selimut Senja. Bukan Suto yang melumat bibir, melainkan Selimut Senja
yang melumat bibir Suto karena tak tahan digoda gairah yang telah meletup-letup
sejak tadi. Lama-lama Suto Sinting memberi balasan, ganti melumat bibir Selimut
Senja yang membuat gairah perempuan itu semakin terbakar.
"Oh, nikmat sekali. Sudah
lama aku tidak merasakan kehangatan itu. Ooh... kecuplah lagi, Panji. Kecuplah
seluruh tubuhku. Mana yang kau suka, ambillah, Sayang...!" sambil ia
berbaring dengan menarik tangan Suto.
Maka, Suto Sinting pun segera
menciumi wajah Selimut Senja dengan sentuhan lembut. Sesekali ciuman itu
mengganas, namun sesekali lembut kembali. Hal itu membuat gairah Selimut Senja
bagai dipermainkan lebih indah lagi. Bahkan kali ini ia membentangkan jubahnya,
melebarkan dadanya yang telah tak berlapis kain lagi itu.
Kepala Suto sedikit didorong
agar menyentuh dadanya. Maka, Suto Sinting pun menyapu habis dada itu dengan
kecupan dan pagutan hangatnya.
"Oouh.... Panji, nikmat
sekali! Sungguh nikmat sekail kecupanmu. Ooh... jangan berhenti, Sayang. Lebih
ganas lagi, Panji. Lebih ganas lagi...!"
Pada saat Selimut Senja
memekik-mekik karena ditikam sejuta kenikmatan, Suto Sinting menghentikan
aksinya secara mendadak, ia menarik diri dan duduk dengan wajah murung lagi.
"Panji, kenapa berhenti?
Lakukanlah lagi, Panji...," rengek Selimut Senja.
Suto menggeleng murung.
"Aku ingat penderitaan Ibu. Wajah ibuku menjadi buruk karena matahari tertutup
kabut sinar ungu."
"Ooh... ibumu menggunakan
ilmu pengawet ayu, ya?"
"Iya. Tapi gara-gara aku
melawan Nyai Watu Wadon, matahari jadi tertutup kabut sinar ungu dan wajah
ibuku menjadi tua. Aku harus menolong ibuku, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.
Padahal Ibu sudah bilang padaku, jika aku bisa menghancurkan kabut sinar ungu
yang menutupi matahari itu, maka aku akan diizinkan untuk menikah dengan
seorang wanita pilihanku. Ibu tak keberatan aku jatuh cinta pada seorang wanita
jika aku bisa menolong membebaskan Ibu dari bencana yang melanda kecantikannya
itu."
"Lupakan dulu soal itu.
Nanti aku akan membantumu jika kau benar-benar mau hidup bersamaku. Cumbulah
aku lagi, Panji...."
"Tidak. Aku tidak bisa
merasakan kebahagiaan dalam bercumbu sebelum bisa membantu meringankan
penderitaan Ibu. Aku kehilangan gairah dan selera jika ingat Ibu."
Selimut Senja tarik napas
dalam-dalam, kejap kemudian ia berkata sambil menciumi pipi Suto dan tangannya
meremas sesuatu yang sudah berhasil digenggamnya. Suto diam saja menerima
remasan itu.
"Dengar kataku, Panji...
layanilah aku dulu, nanti kuhancurkan 'Selaput Iblis' itu dengan pusaka milik
kakekku. Jika kabut sinar ungu itu hilang, maka kecantikan Ibumu akan kembali
seperti sediakala."
"Kau... kau bohong."
"Tidak. Aku tidak bohong.
Aku benar-benar mempunyai pusaka panah 'Jemparing Malaikat' milik kakek-ku.
Akan kuambil sebentar biar kau percaya...."
Selimut Senja mendekati
dinding yang terbuat dari susunan batu candi itu. Salah satu susunan batu yang
letaknya sedikit miring ditekannya. Soeerrrk...! Ternyata batu yang letaknya
miring merupakan kunci bagi sebuah almari rahasia. Begitu batu itu ditekan,
maka dinding di dekat pintu bergeser. Dinding yang bergeser itulah almari
rahasia tempat menaruh kitab dan beberapa barang yang dirahasiakan, termasuk
sebatang anak panah terbuat dari emas murni.
"Lihat, ini adalah panah
emas yang dinamakan 'Jemparing Malaikat' milik kakekku; Begawan Parang Giri.
Panah ini sebenarnya kusiapkan untuk melawan musuh besarku; Raja Tobe, dari
Pantai Gangga. Tetapi...."
"Oh, tidak... aku tidak
mau! Aku takut dengan panah. Aku takuuut...!" Suto Sinting berpura-pura
seperti orang gila yang ketakutan melihat anak panah.
"Hei, dengar dulu,
Panji...."
"Tidak. Aku tidak mau!
Aku takut melihat anak panah itu. Tidaaak...!" Suto Sinting sengaja lari
keluar kamar.
"Panji, tunggu...!"
Selimut Senja segera mengejar karena ia sudah telanjur berkhayal mendapat
cumbuan dari pemuda itu dan ia tak mau gairahnya tertunda.
Suto Sinting berlari meninggalkan
pesanggrahan itu. Selimut Senja mengejarnya terus. Anak buahnya dilarang ikut
mengejar, karena masalah itu dianggapnya masalah pribadi yang tak boleh
dicampuri siapa pun.
Dalam sekejap Suto sudah
sampai di tempat Panji Klobot bersembunyi, ia segera menggunakan ilmu 'Seberang
Raga'. Ilmu itu ditujukan kepada Panji Klobot dengan cara memandang sebentar,
lalu pejamkan mata, dan ketika mata terbuka lagi Panji Klobot sudah salin rupa
menjadi sosok Suto Sinting, lengkap dengan bumbung tuak dan pakaiannya.
"Ada apa, Suto?!"
Panji Klobot belum menyadari keadaannya yang sudah berubah menjadi Pendekar
Mabuk. Bahkan ia tidak merasa kalau di punggungnya terdapat bumbung tuak yang
melintang, ia hanya menjadi tegang dan berdebar-debar memandangi Suto Sinting yang
berlari tinggalkan pesanggrahan itu.
"Panji Klobot, jika nanti
ada perempuan memburumu, berlarilah ke arah selatan sana, lalu berhentilah di
balik bukit cadas tempat kita bertemu tadi. Mengerti?"
"Lho, kenapa aku diburu
oleh seorang perempuan?"
"Dia jatuh cinta padamu
dan ingin mendapat cumbuan darimu. Hindarilah, nanti kalau kau turuti kau bisa
ketagihan. Kau harus lari dan lari terus, jika terpaksa tertangkap, jangan
bertindak kasar, tapi bujuklah agar dia membatalkan niatnya yang ingin bercumbu
denganmu."
"Cantik apa buruk
wajahnya, Suto?"
"Jangan pikirkan hal itu.
Larilah sekarang juga, dia sudah tampak menuju kemari!"
"Bba... baik...
baik!" Panji Klobot gugup, namun ssgera berlari. Sementara itu, Suto
Sinting berkelebat ke balik pohon rindang dan bersembunyi di sana.
"Panji...! Panji Klobot,
tunggu aku...!" seru Selimut Senja membuat Panji Klobot percaya dengan
kata-kata Suto. Ia semakin berlari cepat, sedangkan Selimut Senja makin
penasaran dan memburu Panji Klobot yang dalam penglihatannya berwujud Suto
Sinting.
"Oh, sial! Panahnya tidak
dibawa," gerutu Suto dalam hati ketika melihat Selimut Senja melintas di
depannya.
"Kalau begitu aku harus
menyusup masuk ke kamarnya tadi dan menekan batu yang agak miring, lalu
mengambil anak panah itu!"
Zlaaap...! Suto Sinting
gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya.
Zlaaap... zlaaap... zlaaap...!
Para penjaga gerbang
pesanggrahan hanya diam saja karena merasa tak melihat bayangan berkelebat.
Tapi mereka menjadi heran melihat pintu gerbang terbuka sendiri dan tertutup
dengan cepat. Mereka yang ada di dalam pesanggrahan juga tak sempat melihat
gerakan Suto Sinting. Ketika Suto masuk ke dalam kamar pribadi Selimut Senja,
tak seorang pun mengetahuinya karena gerakannya yang menyamai kecepatan cahaya
itu.
Batu bersusunan miring
ditekan, almari rahasia terbuka. Panah emas ada di sana. Suto segera
menyambarnya. Wuut...! Kemudian ia bergerak tinggalkan tempat itu dengan
kecepatan yang sama.
Zlaaap, zlaap, zlaap,
zlaaaapp...!
"Panji Klobot...!
Panjii...! Oh, jangan lari, Sayang. Aku tidak akan melukaimu...!" seru
Selimut Senja yang penasaran ingin lampiaskan gairahnya saat Itu juga.
Suara itu menjadi patokan bagi
Suto Sinting, ia segera berkelebat melalui pohon demi pohon. Dalam sekejap ia
sudah sampai di balik bukit. Di sana tampak Suto Sinting palsu bersembunyi.
Pendekar Mabuk segera gunakan ilmu mengubah wujud yang membuat Panji Klobot
menjadi wujud aslinya. Blaab...! Dan Panji Klobot masih belum merasa bahwa
dirinya sudah berubah menjadi Panji Klobot sebenarnya, ia justru merasa tidak
terjadi perubahan apa-apa sejak tadi.
Zlaaap...!
"Ooh, kau sudah di sini,
Suto?!"
"Iya. Lekas ikut aku
tinggalkan perempuan yang mengejarmu itu."
"Tunggu dulu, dia... dia
tampaknya cantik dan..."
"Aaah..." Mau
macam-macam kau, hah?!"
Dees...! Suto Sinting menotok
Panji Klobot. Bocah itu terkulai lemas, lalu dipanggul oleh Suto dan dibawa
lari menuju ke Istana Selat Bantai.
Zlaap, zlaaaap, zlaaap...!
Ia tak peduli Selimut Senja kebingungan
mencari 'Panji Klobot'-nya, yang penting anak panah emas sudah diperolehnya, ia
segera menemui Awan Setangkai dan Nyai Sedap Malam. Panji Klobot dibebaskan
dari totokannya, dan menjadi tambah bingung berada di Istana Selat Bantai.
"Bunga Ranjang, pinjam
busur panahmu!" kata Suto. Dengan gunakan busur panah milik Bunga Ranjang,
Suto Sinting mulai meletakkan panah emas itu di tali busur. Lalu dengan
kekuatan tenaga dalam yang tinggi, tali busur bisa ditarik dan anak panah pun
dilepaskan ke arah matahari.
Slaaab...! Wuuut...!
Panah emas berkilauan di
langit, akhirnya menghantam kabut sinar ungu itu. Sluub...!
Jlegaaaarrrrrr...!
Ledakan itu mengguncang
seluruh bumi. Tapi kabut sinar ungu sirna seketika. Matahari bersinar terang
kembali. Sedangkan panah emas itu melesat ke arah semula dan ditangkap oleh
tangan Suto Sinting dengan gerakan cepat. Teeb...! Bayangan manusia pun menjadi
hitam kembali.
Wajah-wajah yang dilanda
bencana ketuaan itu berangsur-angsur cantik kembali. Beberapa perempuan Selat
Bantai melepaskan cadarnya dan, bersorak kegirangan.
Di tempat lain, Bidadari
Jalang juga berubah cantik kembali, demikian pula Sumbaruni, Tenda Biru,
Merpati Liar, dan beberapa orang lainnya.
"Kau benar-benar hebat,
Suto!" puji Awan Setangkai.
"Tapi panah emas ini
tetap akan kukembalikan kepada Begawan Parang Giri!" kata Suto Sinting,
dan Awan Setangkai tak berani membantah, demikian pula Nyai Sedap Malam.
Tapi Panji Klobot segera
berkata, "Suto, aku akan kembali ke tempat tadi. Perempuan cantik itu
pasti merindukan diriku, Suto. Dia memanggil-manggil namaku terus. Pasti dia
tergila-gila padaku!"
Mereka segera menertawakan
Panji Klobot, setelah Suto Sinting menceritakan bagaimana menyiasati Selimut
Senja sehingga ia berhasil mencuri panah emas itu.
SELESAI