Mendadak terdengar jeritan Oey Yong, disusul bunyi robeknya baju. Di
saat seperti itu, Kwee Ceng lupa akan keruwetan persoalannya sendiri,
yaitu pantas atau tidak ia menggunakan ilmu silatnya untuk melawan. Ia
berteriak, "Yongjie, aku akan membantumu!"
Ia lantas melompat, berlari ke dalam gua. Tepat saat itu ia melihat
Auwyang Hong memegang tongkat si nona dengan tangan kirinya, tangan
kanannya akan dipakainya untuk mencekuk lengan kiri nona itu. Untuk
mengatasi itu Oey Yong menggunakan jurus Menyontek Anjing Buduk. Dengan
menolak dan terus menarik, ia dapat meloloskan tongkatnya, hingga
berbareng dengan itu tangan kirinya pun terbebas.
"Bagus!" Auwyang Hong memuji. Ia hendak menyerang lagi ketika mendengar
suara Kwee Ceng dari luar gua. Mendadak mukanya memerah. Bukankah ia
telah memberikan janjinya? Mana dapat ia menyangkal janji itu? Ia
berbuat begini pun karena terpaksa. Ia malu pada dirinya sendiri. Maka
langsung ia mengundurkan diri. Dengan berkelit ia melompat ke luar gua,
menutupi mukanya dengan lengan bajunya. Dalam sekelebatan saja, ia telah
menyingkir ke luar gua dan lenyap.
Kwee Ceng tidak peduli orang itu kabur. Ia lari menghampiri Oey Yong, langsung mencekal keras kedua tangan si nona.
"Yongjie!" serunya. "Kau bikin aku hampir mati memikirkanmu!" Begitu
kencang debar hatinya, hingga tubuhnya bergetar. Oey Yong melepaskan
tangannya.
"Kau siapa?" tanyanya dingin. "Mau apa kau memegangiku ?”
Pemuda itu tercengang. "Aku Kwee Ceng," sahutnya. "Kau baik-baik saja?"
"Aku tak kenal kau!" kata si nona seraya terus melangkah ke luar.
Kwee Ceng menyusul mendului, lalu berulang-ulang menjura. "Yongjie!" panggilnya. "Yongjie, dengarkan aku...!"
"Hm! Apa kau kira kau dapat menyebut nama Yongjie?" kata si nona. "Kau siapa?"
Kwee Ceng celangap, tidak dapat mengeluarkan suara. Nona itu mengawasi,
maka sekarang ia melihat muka si pemuda yang pucat dan kucel, tubuhnya
pun agak kurus. Sesaat timbul rasa kasihannya, rasa tidak tega. Tapi
begitu ingat berulang kali ia telah disia-siakan, hatinya jadi panas
lagi.
"Fui!" Ia meludah, lalu melangkah cepat.
Kwee Ceng cemas, ia menyambar ujung baju si nona dan menariknya.
"Dengarkan dulu perkataanku...!" katanya.
"Bicaralah!"
"Di embal pasir aku menemukan gelang rambut dan bajumu, kusangka kau...."
"Kau ingin aku mendengarkan perkataanmu, sekarang aku sudah
mendengarkannya!" potong si nona. Ia menarik lepas bajunya, terus
berjalan. Kembali Kwee Ceng bengong, pikirannya bingung. Ia tidak pandai
bicara, maka tidak tahu mesti mengatakan apa. Ia khawatir si nona nanti
lenyap lagi, maka ia lantas mengikuti.
Oey Yong berjalan terus dengan pikiran kusut. Ia pulang dari Barat
dengan hati tawar. Di Tionggoan, ia sebatang kara. Ia ingin pulang ke
Pulau Persik untuk mencari ayahnya. Apa lacur, tiba di Shoatang ia
menderita sakit berat. Celakanya, tidak ada orang yang merawatnya.
Selagi rebah di pembaringan, ia sakit hati teringat sikap Kwee Ceng yang
ia anggap tipis budi pekertinya. Kalau ingat nasibnya yang buruk, ia
menyesal telah dilahirkan di dunia. Syukurlah, ia dapat sembuh dari
sakit, tapi belum bebas dari penderitaan. Di Shoatang Selatan ia
bersampokan dengan Auwyang Hong yang memaksanya turut pergi ke Hoa San.
Ia dipaksa untuk menjelaskan isi kitab Kiu Im Cin Keng. Kalau tidak ada
si pemuda, entah apa yang akan diperbuat Auwyang Hong pada dirinya.
Dengan sedih ia berjalan terus.
Kwee Ceng terus mengintil. Kalau si nona berjalan cepat, ia pun
mempercepat langkahnya. Kalau si nona pelan, ia ikut pelan. Sesudah
berjalan sekian lama, mendadak si nona menoleh ke belakang.
"Mau apa kau mengikutiku ?” tegurnya sinis.
"Aku akan mengikutimu selamanya...," sahut si pemuda. "Seumur hidup aku tak mau berpisah darimu...."
Oey Yong tertawa dingin. "Kau menantu Jenghiz Khan! Buat apa kau mengikuti budak melarat?"
“Jenghiz Khan telah menyebabkan kematian ibuku, mana dapat aku menjadi menantunya?" Kwee Ceng menjawab.
Muka si nona memerah. "Bagus!" serunya. "Kukira kau masih ingat sedikit
padaku, rupanya kau telah didepak Jenghiz Khan! Setelah tak dapat
menjadi huma, kau sekarang mencariku si budak melarat! Apa kau sangka
aku manusia hina-dina yang dapat kau hina sesukamu ?”
Si nona lantas menangis, air matanya bercucuran. Kwee Ceng terharu,
tetapi ia bingung. Apa yang mesti diperbuatnya? Apa yang mesti
dikatakannya...?
"Yongjie...," katanya kemudian, selagi nona itu sesenggukan. "Aku ada di
sini, jika kau hendak membunuhku, silakan, terserah padamu...."
"Buat apa aku membunuhmu?" tanya si nona, suaranya pilu. "Anggap saja
perkenalan kita sia-sia belaka.... Kumohon, janganlah kau
mengikutiku...."
Muka Kwee Ceng bertambah pucat. "Apa yang harus kulakukan supaya kau percaya padaku?" tanyanya.
"Sekarang kau baik denganku," kata si nona. "Kalau besok kau bertemu
dengan adik Gochin-mu, kembali kau akan melupakanku, kau bakal
menyia-nyiakanku.... Sekarang ini asal kau mati di depanku, baru aku
percaya padamu..."
Darah Kwee Ceng meluap, ia mengangguk. Kemudian ia memutar tubuhnya dan
melangkah ke jurang. Kebetulan saat itu ia berada di tepi Sia Sin Gay,
Jurang Mengorbankan Diri. Kalau ia terjun di situ, pastilah tubuhnya
hancur lebur.
Oey Yong tahu hati pemuda itu keras, ia melompat menyusul, tangannya
terulur untuk menyambar punggung si pemuda. Ia menarik keras, tubuhnya
mencelat, maka sekejap kemudian justru dialah yang berada di tepi
jurang. Ia mencucurkan air mata, hatinya tegang.
"Bagus ya, sedikit pun kau tak kasihan padaku!" katanya. "Aku baru
mengeluarkan sepatah kata karena panas hatiku, kau langsung tak mau
melewatkannya! Aku bilang padamu, jangan marahi aku, cukup asal kau
jangan bertemu lagi denganku..."
Muka Oey Yong pucat, tubuhnya gemetar.
"Yongjie, kemarilah," kata Kwee Ceng. Tadi ia mau bunuh diri, sekarang ia khawatir si nona yang akan terjun.
Oey Yong mendengar suara pemuda itu bergetar. Ia tahu si pemuda masih
mencintainya, ia sangat sedih. Sembari menangis, ia berkata, "Aku tahu
kau pura-pura saja berkata begini. Ketika aku sakit di Shoatang, tak
seorang pun memedulikanku.... Apakah waktu itu kau datang menjengukku?
Aku dikekang Auwyang Hong, aku tak dapat meloloskan diri, apakah kau
datang menolongku? Ibuku tak menyayangiku, dia pergi mati sendiri saja.
Ayah pun tak menghendakiku, dia tak mencariku.... Apalagi kau,
lebih-lebih tak menginginkanku! Di dunia ini, tak seorang pun
menyayangiku, mengasihaniku...." Ia menangis terus, sambil
membanting-banting kaki.
Kwee Ceng diam. Ia masih tidak tahu mesti bilang apa. Ia bisa merasakan
panasnya hati si nona. Ia cuma bisa mengawasi. Sunyi di antara mereka,
cuma terdengar embusan sang angin. Rupanya si nona merasa kedinginan,
tubuhnya menggigil. Kwee Ceng membuka baju luarnya, berniat mengerobongi
tubuh nona itu. Selagi ia akan melakukannya, mendadak ada bentakan dari
ujung jurang, "Siapa yang nyalinya begitu besar berani menghina Nona
Oey-ku?"
Kwee Ceng girang sekali. Ia langsung mendongak, melihat seorang tua
dengan rambut pendek dan kumis putih, dialah Ciu Pek Thong si Bocah Tua
Nakal.
"Kakak Ciu!" panggil Kwee Ceng.
Oey Yong pun memperdengarkan suaranya dengan agak mendongkol. "Eh. Bocah
Tua Nakal! Aku menitahkanmu untuk membunuh Kiu Cian Jin! Mana
kepalanya?"
Ciu Pek Thong menghampiri mereka, ia tidak menjawab, hanya tertawa haha-hihi.
"Nona Oey, siapa yang mengganggumu?" ia bertanya. "Nanti Bocah Tua Nakal membikinmu puas!"
"Siapa lagi kalau bukan dia!" sahut si nona seraya menunjuk Kwee Ceng.
Untuk menyenangkan si nona, si Bocah Tua Nakal bertindak sejadinya saja.
Tahu-tahu Kwee Ceng telah digaploknya dua kali hingga kelabakan. Kwee
Ceng sama sekali tidak menyangkanya. Karena itu, bengaplah pipi kiri dan
kanannya. Ketika baru dihajar, matanya juga berkunang-kunang.
"Nona Oey, cukupkah?" tanya Bocah Tua Nakal. "Jika belum cukup, nanti kuhajar lagi dia."
Menampak muka si pemuda merah dan bengap, di pipinya tampak bekas tapak
tangan dengan lima jari, kedongkolan Oey Yong mereda, lantas timbul rasa
kasihannya. Ia berbalik jadi mendongkol kepada si tua tukang guyon itu.
"Aku marah sendiri, tak ada hubungannya denganmu!" ia tegur orang tua
itu. "Kenapa kau lancang memukulnya? Kuperintahkan kau membunuh Kiu Cian
Jin, mengapa kau tak dengar perintahku?”
Pek Thong menjulurkan lidahnya panjang-panjang. Ia tidak dapat menjawab.
Ketika itu, jauh di belakang jurang, terdengar bunyi beradunya senjata.
Pek Thong mendengarnya, ia segera mendapat akal.
"Pastilah si tua bangka Kiu sudah datang, aku akan mendatanginya!"
katanya seraya terus memutar tubuh untuk lari ke belakang jurang itu.
Tentu saja Bocah Tua Nakal bukan mau mencari Kiu Cian Jin, bahkan
sebaliknya ia jeri dengan ketua Tiat Ciang Pang itu. Di antara kedua
jago ini, keadaan seperti jungkir balik.
Di rumah batu, tempat Kwee Ceng dan Auwyang Hong berlalu saling susul,
Pek Thong dan Cian Jin bertempur tidak lama. Cian Jin bisa lolos dan
kabur, ia dikejar Pek Thong. Ke mana pun lari ia disusul, hingga
akhirnya ia mendongkol berbareng putus asa. Ia berpikir, ia toh jago dan
ketua partai, mengapa sekarang ia begini sial menghadapi Ciu Pek Thong
yang lihai itu? la merasa sangat terhina. Karena putus asa, ia menjadi
nekat. Dari pada kena bekuk, lebih baik ia bunuh diri. Kebetulan ia
melihat seekor ular berbisa di sela batu, ia menangkap ular itu. la
berniat memagutkan ular itu ke dirinya sendiri. Dengan memegangi ular
itu, ia berkala pada Ciu Pek Thong, "Eh, Pek Thong bangsat, lihat ini!"
Sebenarnya Cian Jin hendak menempelkan mulut ular itu ke lengannya, tapi
mendadak Ciu Pek Thong menjerit, lalu memutar tubuhnya dan lari kabur.
Cian Jin menjadi heran. Namun sejenak kemudian ia lantas dapat menduga,
tentulah Bocah Tua Nakal takut ular. Maka ia sekarang berbesar hati, ia
membatalkan niatnya untuk bunuh diri, lantas mengejar si tua bangka
berandalan itu. Lebih dari itu ia menangkap seekor ular lain, hingga
tangan kiri dan kanannya masing-masing mencekal binatang berbisa itu.
Sembari mengejar, ia berteriak-teriak mengancam musuhnya.
Pek Thong ketakutan, ia lari ngacir. Kiu Cian Jin mempunyai julukan
Sui-siang-piauw, yang berarti larinya sangat pesat. Seandainya tidak
jeri, ia tentu sudah dapat menangkap Pek Thong. Maka mereka cuma main
kejar-kejaran. Dari siang mereka berlari-lari sampai hari gelap, setelah
itu barulah Pek Thong bisa lolos. Dalam hati Cian Jin tertawa. Ia
mengejar hanya untuk menggertak. Sekarang ia pun bebas dari ancaman si
tua berandalan itu.
Oey Yong melihat orang tua itu pergi, ia melirik Kwee Ceng. Ia menghela napas lantas menunduk.
"Yongjie!" panggil Kwee Ceng.
Nona itu menyahut lirih. Kwee Ceng hendak berbicara tetapi tidak tahu
mesti mengatakan apa, ia berdiri diam. Karena si nona pun terus
membungkam, keduanya berdiri bagaikan patung. Tubuh mereka disampoki
angin. Tak lama kemudian Oey Yong bangkis akibat terlalu banyak kena
angin. Kwee Ceng ingat bajunya, ia lantas menghampiri untuk menutupi
tubuh si nona dengan bajunya itu. Tadi ia diganggu oleh Ciu Pek Thong,
sekarang tidak ada rintangan lagi.
Oey Yong diam saja menunduk terus. Dalam kesunyian itu. kuping mereka
mendengar tawa nyaring Ciu Pek Thong yang terus berseru memuji, "Bagus!
Bagus!”
Mendadak si nona mengulurkan tangannya, mencekal tangan Kwee Ceng seraya berkata pelan. "Kakak Ceng, ayo kita lihat!"
Kwee Ceng mengikuti. Ia tidak bisa menyahut. Kali ini saking girangnya
ia mencucurkan air mata. Dengan ujung bajunya Oey Yong mengusap air mata
si pemuda.
"Di mukamu ada air mata dan bekas tapak tangan. Kalau orang tak tahu, dia bisa menyangka akulah yang menamparmu...."
Dengan tertawanya si nona, berarti mereka berdua sudah akur lagi. Dengan
bergandengan mereka lari melintasi jurang, pergi ke tempat asal
datangnya tawa Ciu Pek Thong. Di sana mereka melihat banyak orang dengan
sikap yang aneh-aneh.
Pek Thong terlihat girang bukan main. Ia memegangi perutnya sambil
terbungkuk-bungkuk. Ia tertawa puas sekali. Di dekatnya tampak Khu Ci
Kee berdiri diam dengan pedang di tangan. Di antara mereka masih ada
empat orang lagi, ialah See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti,
dan Hauw Thong Hay. Sikap keempat orang itu luar biasa. Mereka memegang
senjata masing-masing, ada yang sedang menyerang, ada yang sedang
berkelit atau mundur. Sikap tubuh mereka tetap begitu, sebab mereka
tidak dapat bergerak bagaikan patung. Sebab mereka korban totokan si
Bocah Tua Nakal yang kekanak-kanakan.
"Tempo hari itu aku membuat obat pulung dari lumpur tubuhku," kata Ciu
Pek Thong kepada See Thong Thian berempat. "Aku menitahkan kalian untuk
menelannya. Kemudian kalian kawanan bangsat cerdik juga, kalian tahu itu
bukan obat penawar racun, lantas kalian tak mau dengar kata-kata
kakekmu ini. Hm! Bagaimana sekarang?*
Pek Thong mengatakan demikian sebab meski berhasil membekuk mereka, ia
tidak tahu bagaimana harus menghukum mereka. Tapi begitu melihat Oey
Yong dan Kwee Ceng, ia lantas mendapat pikiran. Katanya, "Nona, empat
bangsat bau ini kuserahkan padamu!"
"Apa gunanya mereka buatku?" tanya si nona. "Kau main gila, ya? Kau tak
mau membunuh tapi juga tak mau melepaskan mereka! Kau telah" menangkap
mereka tapi tak berdaya mengurus! Lekas kau panggil aku kakak yang baik
tiga kali, nanti kau kuajari!"
Pek Thong tidak mau banyak pikir, ia juga tidak peduli dengan segalanya,
maka tanpa sangsi sedikit pun ia memanggil "Kakak yang baik!" tiga
kali. Bahkan ditambah dengan menjura dalam-dalam.
Oey Yong tersenyum.
"Geledah dia!" kata si nona seraya menunjuk Pheng Lian Houw.
Pek Thong menurut. Dari tubuh Lian Houw ia mendapatkan cincin dengan jarum beracun dan dua peles kay-yok, obat pemunah racun.
Kata si nona, "Dia pernah menusuk Ma Giok, kemenakan seperguruanmu,
dengan jarumnya ini. Sekarang tusuklah dia .beberapa kali, juga ketiga
kawannya!"
Lian Houw semua mendengar perkataan si nona, mereka kaget dan takut
bukan main, tetapi mereka masih tertotok, tidak dapat lari atau pun
meronta. Maka mereka mesti merasakan sakitnya ditusuk Pek Thong beberapa
kali.
"Obatnya ada di tanganmu," kata si nona lagi kepada Bocah Tua Nakal.
"Sekarang kau dapat menitahkan mereka untuk melakukan apa pun yang
kaukehendaki. Coba lihat mereka berani membangkang atau tidak!"
Pek Thong girang. Ia lantas mengasah otak. Ia tidak usah membuang tempo
untuk mendapatkan akal. Ia membuat obat lagi dari kotoran, namun kali
ini kotoran itu dicampur dengan kay-yok, dipulung menjadi
butiran-butiran kecil, kemudian diserahkannya kepada Khu Ci Kee sambil
berkata, "Sekarang kaugiring kawanan bangsat bau ini ke Kuil Tiong Yang
Kiong di Ciong Lam San. Penjarakan mereka selama dua puluh tahun. Jika
selama dalam perjalanan mereka menurut kata-katamu, beri mereka
masing-masing sebutir pil mustajabku ini. Tapi kalau sebaliknya, biarkan
saja, biar mereka tahu rasa! Mereka berbuat, mereka mesti bertanggung
jawab, jangan sekali-kali kasihan pada mereka!"
Khu Ci Kee menerima obat itu sambil menjura. Ia menghaturkan terima kasih seraya memberikan janjinya.
Oey Yong tertawa dan berkata pada Pek Thong, "Bocah Tua Nakal,
kata-katamu ini tepat sekali, sangat pantas! Tak kusangka, baru setahun
kita tak bertemu kau telah maju begini pesat!"
Pek Thong puas sekali, ia tertawa senang. Sesudah itu ia membebaskan
totokan keempat orang itu. Katanya pada mereka, "Sekarang kalian mesti
pergi ke Tiong Yang Kiong, tinggallah di sana baik-baik selama dua puluh
tahun. Jika kalian benar-benar hendak bertobat, di belakang hari kalian
masih dapat menjadi orang baik. Tapi jika kalian masih tetap jahat...
Hm! Hm...! Perlu kalian ketahui, kami para imam dari Coan Cin Kauw bukan
orang yang dapat dibuat permainan, kami ahli membetot otot tanpa
mengerutkan alis! Maka, empat bangsat bau. berhati-hatilah kalian!"
Lian Houw berempat tidak berani banyak omong, mereka cuma mengangguk.
Khu Ci Kee menahan tawa melihat sikap paman gurunya yang lucu itu. la
kembali menjura, lantas menggiring pergi keempat tawanannya turun
gunung, untuk pulang ke gunungnya sendiri.
"Eh, Bocah Tua Nakal," kata Oey Yong tertawa. "Sejak kapan kau belajar
mendidik orang? Kata-katamu yang bagian depan masuk akal, tapi yang
belakangan lantas jadi tak keruan...."
Pek Thong tidak menjawab, ia hanya tertawa sambil melengak. Saat itu ia
melihat sinar putih berkelebat di puncak kiri, lalu lenyap, la yakin itu
sinar senjata tajam.
"Eh, apa itu?" tanyanya heran.
Oey Yong dan Kwee Ceng mengangkat kepala, tapi sinar itu sudah lenyap.
Pek Thong takut Oey Yong akan menanyakan Kiu Cian Jin lagi, maka ia
lantas menggunakan alasan.
"Biar kulihat!" katanya. Terus ia lari pergi.
Oey Yong berdua Kwee Ceng membiarkan orang tua itu pergi, sebab banyak
yang hendak mereka bicarakan. Mereka mencari tempat untuk duduk, lalu
saling menuturkan pengalaman masing masing dan saling mengutarakan isi
hati. Sampai matahari sudah turun ke barat, mereka masih belum berhenti
pasang omong.
Kwee Ceng berbekal ransum kering. Ia mengeluarkannya untuk mereka santap
bersama-sama. Sembari makan, Oey Yong berkata, "Bangsat tua Auwyang
Hong memaksaku menjelaskan isi Kiu lm Cin Keng. Bukankah kitab tulisanmu
yang kauberikan padanya kacau balau? Nah, aku pun tak keruan
menjelaskannya! Tapi dia percaya, maka dia bersengsara selama beberapa
bulan ini untuk mempelajari ilmu itu. Kubilang dia mesti berlatih
terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, dia menurut. Dia sungguh
hebat, dapat membuat jalan darahnya tersalur secara bertentangan, yaitu
jalan darah im-wie yang-wie. im-kiauw. dan yang-kiauw. Entah bagaimana
andai kata dia membalik semua jalan darahnya."
Kwee Ceng tertawa. "Pantas aku melihat dia jalan meloncat-loncat dengan
kepala di bawah dan kaki di atas, kiranya dia sedang kau permainkan!"
katanya. Memang sulit untuk berlatih dengan cara demikian.
Oey Yong tersenyum.
"Kau datang kemari, apa kau juga hendak turut berebut gelar orang gagah nomor satu di kolong langit itu?" tanyanya.
"Ah, Yongjie, kau menggodaku," sahut si pemuda.
"Aku datang ke gunung ini buat mencari Kakak Ciu supaya diajari ilmu untuk melenyapkan ilmu silatku...."
Kwee Ceng lantas menjelaskan alasan mengapa ia sampai mendapat pikiran demikian. Oey Yong memiringkan kepalanya, berpikir.
"Ya, melupakan itu pun baik juga," katanya kemudian. "Memang, semakin
kita pandai, pikiran kita semakin tak tenang. Lebih baik seperti waktu
masih kecil, kita tak bisa segala-galanya, tak ada yang kita pikirkan,
tak ada yang menyusahkan kita...."
Waktu mengatakan itu, si nona tidak berpikir bahwa sudah wajar dengan
bertambahnya usia manusia berarti bertambah juga keruwetan hidupnya,
bahwa kehidupan ini tidak ada hubungannya dengan pandai silat atau
tidak. Kemudian ia berkata, "Besok tiba saatnya pertemuan di Hoa San
ini, untuk mengadu pedang. Ayah pasti akan ambil bagian. Karena kau tak
berniat turut memperebutkan gelar jago itu, menurutmu bagaimana cara
kita untuk membantu ayahku?"
"Yongjie," kata si pemuda, "bukannya aku tak mau mendengar perkataanmu,
tapi dalam hal ayahmu, sebagai manusia, dia kalah dari Ang Insu...."
Ang Insu berarti Guru Ang yang berbudi, yaitu Ang Cit Kong.
Oey Yong sedang duduk bersender. Begitu ia mendengar Kwee Ceng
mengatakan ayahnya kalah dari Cit Kong, artinya ayahnya bukan manusia
baik-baik, mendadak ia menjadi gusar. Ia mendorong Kwee Ceng. Tentu saja
Kwee Ceng melengak. Hanya sedetik, si nona lantas tertawa.
"Memang, memang Suhu Ang baik pada kita," katanya. "Sekarang begini
saja. Kita tidak membantu pihak mana pun! Bagaimana menurutmu?"
"Ayahmu dan Suhu Ang sama-sama ksatria, jika kita membantu diam-diam, tentu mereka tak senang," kata Kwee Ceng.
"Apa? Diam-diam? Apa sangkamu aku orang jahat?"
Lantas si nona memperlihatkan roman tidak senang. Kwee Ceng heran.
"Ah, aku salah omong...," katanya.
Si nona mengawasi, tiba-tiba ia tertawa lagi. "Sudahlah!" katanya.
"Sebenarnya, asal kau tak menyia-nyiakanku, kita masih bisa cukup lama
berkumpul...."
Bukan main girangnya Kwee Ceng, ia mencekal keras tangan si nona. "Mana bisa aku menyia-nyiakanmu!" katanya.
"Ya, sebab si tuan putri tak menghendakimu lagi, baru kau menghendaki aku si budak hina...."
Kwee Ceng diam. Disebutnya nama Gochin membuat ia teringat kepada ibunya
yang mati secara menyedihkan di gurun pasir. Cahaya rembulan menyinari
muka anak muda ini. Oey Yong melihat muka itu pucat dan lesu, ia
terkejut. Ia menyangka telah salah omong.
"Kakak Ceng," katanya lekas-lekas, "lebih baik kita jangan membicarakan
lagi urusan yang sudah-sudah. Kita sekarang telah berkumpul, kita
senang. Aku sebenarnya senang sekali. Bagaimana jika kubiarkan pipiku
kaucium?"
Muka Kwee Ceng memerah. Ia tidak berani mencium. Oey Yong tertawa, ia melengos. Ia likat sendiri.
"Coba bilang, siapa yang bakal menang besok?" ia menyimpangkan pembicaraan.
"Itu sukar dibilang. Entah It Teng Taysu datang atau tidak...."
"Dia sudah menjadi orang suci, dia takkan berebut nama kosong lagi."
"Aku pun menduga demikian. Ayahmu, Suhu Ang, Kakak Ciu, Kiu Cian Jin,
dan Auwyang Hong mempunyai kepandaian masing-masing. Mengenai Suhu Ang,
aku tak tahu dia sudah sembuh atau belum dan entah bagaimana
kepandaiannya...."
Waktu mengucapkan begitu, Kwee Ceng sedih.
"Menurut keadaan. Bocah Tua Nakal yang paling lihai," kata si nona.
"Tapi kalau tidak menggunakan Kiu Im Cin Keng, dia kalah dari empat
orang yang lain...."
Kwee Ceng membenarkan dugaan itu. Mereka masih bicara sampai rasa kantuk
si nona datang, maka tidak lama kemudian, ia pulas di dada si pemuda,
yang membiarkannya. Tidak lama setelah itu, Kwee Ceng pun ingin tidur,
namun ketika baru layap-layap tidurnya, mendadak ia mendengar langkah
yang disusul dengan berkelebatnya dua bayangan yang lari ke belakang
jurang. Ia terkejut, samar-samar ia mengenali Pek Thong dan Cian Jin. Ia
heran melihat Bocah Tua Nakal dikejar Cian Jin. Ia tidak tahu ketua
Tiat Ciang Pang itu menggunakan ular berbisa. Bukankah tadinya Cian Jin
yang dikejar-kejar Pek Thong? Pelan-pelan ia membangunkan si nona dan
berkata, "Lihat!"
Oey Yong bangun, mengangkat kepalanya. Ia lantas melihat Pek Thong yang
lari berputar-putar di dekat mereka. Kemudian didengarnya Bocah Tua
Nakal berkata, "Bangsat tua Kiu, di sini bersembunyi kawanku tukang
menangkap ular berbisa! Apa kau masih tak mau lekas-lekas kabur?"
Lalu Kiu Cian Jin menjawab sambil tertawa, "Apa kausangka aku bocah umur tiga tahun?"
Ciu Pek Thong berteriak-teriak, "Saudara Kwee! Nona Oey! Lekas bantu aku!"
Kwee Ceng hendak membantu. Ketika ia mau melompat bangun, Oey Yong menariknya dan tetap merebahkan diri di dada si pemuda.
"Jangan bergerak!" kata si nona lirih.
Pek Thong terus lari berputar-putar, ia tidak juga melihat kemunculan
kedua orang yang diteriakinya itu. Setelah mengulangi tapi tetap tidak
ada yang memedulikannya, ia berteriak, "Bocah busuk! Budak iblis! Kalau
kau tetap tak mau ke luar, nanti kucaci maki delapan belas leluhurmu!"
Oey Yong lantas muncul. Ia tertawa. "Aku tak mau ke luar!" katanya. "Kalau kau bisa, makilah!"
Pek Thong tidak berani memaki. "Nona, bantulah aku," katanya. "Bagaimana kalau aku mencaci delapan belas leluhurku?"
Melihat munculnya sepasang muda-mudi itu, hati Kiu Cian Jin ciut. Ia
lantas berniat kabur, sebab celakalah kalau ia dikepung mereka bertiga.
Kalau besok, bertempur satu lawan satu. ia tidak jeri. Lantas ia
mengangkat ularnya, menyampokkannya ke muka Pek Thong.
Bocah Tua Nakal kaget, ia berkelit. Mendadak ia merasakan sesuatu yang
dingin di lehernya, ia kaget sekali. Ia menyangka itu ular berbisa.
"Mati aku! Mati aku!" teriaknya berulang-ulang.
Binatang itu meronta-ronta di punggungnya. Ia pun tidak berani merogoh.
Mendadak ia lemas, lantas tubuhnya roboh. Oey Yong dan Kwee Ceng kaget,
keduanya melompat menubruk untuk menolong. Kiu Cian Jin heran melihat
robohnya Pek Thong tapi karena ini kesempatannya yang baik, ia hendak
lari pergi. Belum lagi ia mengangkat kaki, dari gerumbulan pohon muncul
sesosok bayangan, yang lalu berkata dengan dingin, "Bangsat tua Kiu,
hari ini kau tak dapat lolos lagi!"
"Siapa kau?" bentak Cian Jin. Orang itu berdiri membelakanginya, hingga
Cian Jin tidak dapat melihat mukanya. Ia hanya bisa khawatir.
Pek Thong rebah di tanah, mengira dirinya sudah ada di alam baka. Tapi
kupingnya mendengar, "Tuan Ciu, jangan takut, itu bukan ular!" Ia pun
ditolong bangun. Ia lantas melompat berdiri. Kembali ia merasakan
sesuatu yang dingin di punggungnya, benda itu bergerak gerak. Kembali ia
kaget, hingga menjerit, "Dia menggigitku! Ular! Ular!"
"Bukan ular, hanya ikan emas!" kata orang itu lagi. Sekarang Oey Yong
berdua Kwee Ceng telah melihat orang yang bicara itu, malahan mereka
mengenalinya, yaitu si tukang pancing, murid kepala It Teng Taysu. Orang
itu pun lantas mengambil ikan dari punggung Bocah Tua Nakal.
Si tukang pancing datang ke Gunung Hoa San, ia melihat sepasang ikan
emas Kim-wawa, maka ia lantas menangkapnya. Entah bagaimana ia membuat
yang seekor terlepas, bahkan tepat sekali jatuh ke dalam baju Ciu Pek
Thong. Tak heran Pek Thong kaget dan takut bukan main, sebab ia
menyangka itu ular Kiu Cian Jin.
Begitu Pek Thong membuka mata dan mengawasi orang itu, ia bengong. Ia
seperti mengenali orang itu, tetapi lupa siapa. Kemudian ia berpaling
kepada Kiu Cian Jin, ketua Tiat Ciang Pang itu sedang mundur selangkah
demi selangkah, sedangkan si bayangan maju selangkah demi selangkah
juga. Ia mengawasi bayangan itu. Akhirnya ia kaget tak terkira,
semangatnya seolah terbang tinggi. Bayangan itu ternyata Eng Kouw atau
Lauw Kui-hui dari istana Negara Tali!
Kiu Cian Jin juga kaget bukan main. Ia datang ke Hoa San dengan harapan
besar, sebab meski gagah Ciu Pek Thong bisa dipengaruhi dengan ular. Ia
sama sekali tidak menyangka sekarang Lauw Kui-hui muncul tiba-tiba.
Selama di Chee-liong-toa, ia telah menyaksikan selir itu mengamuk, maka
sekarang hatinya jadi ciut. Justru itu terdengar si nyonya berkata,
"Kembalikan jiwa anakku...!"
Sebenarnya Cian Jin heran bagaimana nyonya ini mengenalinya, karena dulu
ketika menyatroni istana Toan Hongya, ia menyamar. Dulu ia juga tidak
berniat membinasakan anak itu. Sebab maksudnya ialah supaya Toan Hongya
mengobati anaknya dan menjadi lelah karenanya.
"Eh, perempuan edan, buat apa kau menggangguku?" tanyanya sambil memaksakan diri tertawa.
"Pulangkan jiwa anakku!" jawab Eng Kouw.
"Buat apa kau menyebut-nyebut anakmu?" tanya Cian Jin. "Anakmu sudah mati, apa hubungannya denganku?”
"Sebab kaulah pembunuhnya! Malam itu aku tak melihat mukamu, tapi aku
mendengar tawamu! Nah, coba kau tertawa lagi! Tertawa! Cepat!"
Kiu Cian Jin mundur lagi. Ia melihat wanita itu akan menerkamnya. Ketika
nyonya itu benar-benar maju, ia menggeser sedikit ke samping, tangan
kirinya menepuk tangan kanannya, lalu tangan kanannya itu meluncur ke
perut si nyonya. Itulah jurus Im-yang Kwi-It, Bersatunya Im dan Yang,
salah satu di antara ketiga belas jurus dari Tiat Ciang Kiat, silat
Tangan Besi-nya yang lihai. Tenaga tangan kanannya dibantu dengan tangan
kirinya.
Eng Kouw tahu hebatnya serangan itu. la hendak membebaskan diri dengan
Ni Ciu Kang, ilmu Lindung-nya, tetapi di luar dugaannya, gerakan Cian
Jin sangat sebat. Ia menjadi nekat. Maka bukannya menangkis atau
berkelit, ia justru menubruk untuk memeluk musuh, supaya mereka
sama-sama jatuh ke jurang.
Belum lagi kedua pihak mempertaruhkan jiwa mereka, Kiu Cian Jin
merasakan sambaran angin di sampingnya, sedangkan matanya melihat
bayangan berkelebat. Terpaksa ia menarik pulang serangannya untuk
dipakai menangkis. Ia lantas melihat siapa yang telah merintanginya, ia
gusar sekali.
"Ah, Bocah Tua Nakal, kau lagi!" serunya.
Memang Pek Thong-lah yang menolong Eng Kouw dari bahaya. Tiba-tiba saja
datang rasa cinta si orang tua, bahkan ia menyerang dengan jurus dari
Kiu Im Cin Keng. Meski menolong, Pek Thong tidak berani memandang
langsung kekasihnya.
Sembari membelakangi ia berkata, "Eng Kouw, kau bukan tandingan tua bangka ini, lekas pergi! Aku pun mau pergi dari sini!"
Bocah Tua Nakal benar-benar mau angkat kaki. tetapi Eng Kouw bertanya,
"Ciu Pek Thong, kau hendak menuntut balas untuk anakmu atau tidak?"
"Apa? Anakku?" tanya Bocah Tua Nakal. Ia heran hingga melengak.
"Benar! Pembunuh anakmu adalah Kiu Cian Jin!" sahut Eng Kouw. Pek Thong
bingung, la tidak tahu bahwa hubungannya beberapa hari dengan Lauw
Kui-hui telah menghasilkan anak. Selagi ia diam, telah datang beberapa
orang lain, maka tempo mengangkat kepala ia melihat It Teng Taysu serta
keempat muridnya.
Kiu Cian Jin mendapati dirinya berada kurang tiga kaki dari jurang,
artinya ia sudah terkurung dan terancam bahaya, sedangkan semua musuhnya
lihai. Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi nekat. Ia menepukkan kedua
tangannya dan berkata angkuh, "Aku mendaki Gunung Hoa San ini untuk
memperebutkan gelar orang kosen nomor satu di kolong langit, tapi kalian
berkumpul sekarang! Hm! Apakah kalian mengepungku hendak menyingkirkan
satu lawan lebih dulu? Dapatkah kalian melakukan perbuatan sehina ini?"
Menurut Ciu Pek Thong perkataan orang itu beralasan. "Biarlah besok,
sehabis pertemuan adu silat, baru aku mengambil jiwamu yang busuk!"
"Baiklah!" kata Kiu Cian Jin.
"Tidak bisa!" teriak Eng Kouw. "Mana bisa aku menanti sampai besok?!"
"Bocah Tua Nakal!" Oey Yong turut bicara. "Dengan orang terhormat kita
bicara tentang kehormatan, dengan manusia licik kita bicara secara
licik."
Muka Kiu Cian Jin memucat, la mengerti sedang menghadapi bahaya. Tapi ia licik, ia mendapat akal.
“Kenapa kau hendak membunuhku?" tegurnya.
"Kau jahat sekali, setiap orang berhak membunuhmu!" jawab si pelajar.
Cian Jin tertawa terbahak sambil melengak. "Kalian lebih banyak, aku
bukan tandingan kalian!" ejeknya. "Tapi apa kalian kira aku takut?
Barusan kalian bicara tentang kehormatan dan kejahatan, baiklah!
Sekarang aku bersedia melayani kalian! Nah, majulah siapa di antara
kalian yang seumur hidup belum pernah membunuh manusia serta belum
pernah berbuat jahat! Kalian boleh turun tangan, aku nanti mandah
menyerahkan leherku untuk dipenggal! Jika aku mengerutkan alis, aku
bukan laki-laki!"
It Teng Taysu menghela napas. Ia lantas mendului mengundurkan diri untuk
duduk bersila. Kata-kata Cian Jin berpengaruh sekali. Sekalipun si
tukang pancing, tukang kayu, petani, dan pelajar pernah memangku
pangkat, mereka semua pernah membunuh orang.
Ciu Pek Thong dan Eng Kouw saling memandang, keduanya teringat segala
hal yang mereka alami bersama dulu. Kwee Ceng dan Oey Yong turut diam.
Kiu Cian Jin menggunakan kesempatan, la melangkah ke arah Kwee Ceng. Si
pemuda minggir. Cian Jin mengerahkan tenaganya untuk lompat melewatinya,
namun mendadak dari balik batu besar menyambar sebatang tongkat bambu
ke mukanya. Ia terkejut tapi bisa menangkis untuk menangkap tongkat itu,
berniat merampasnya. Di luar dugaannya, ia gagal, bahkan tiga kali
beruntun tongkat itu menyerang. Ia kaget, ternyata setiap serangan
adalah totokan ke jalan darah. Ia kewalahan, sedangkan di situ tidak ada
jalan mundur. Terpaksa ia mundur ke tempatnya tadi, mendekati jurang.
Segera setelah ia mundur, sesosok bayangan melompat ke depannya.
"Suhu!" teriak Oey Yong. Si nona mengenali sosok itu, yaitu Kiu Ci Sin Kay Ang Cit Kong!
"Hai, pengemis bau!" Kiu Cian Jin mencaci. "Kenapa kau usil? Sekarang
masih belum tiba waktunya pertemuan untuk beradu ilmu pedang!"
"Aku datang untuk menyingkirkan kejahatan!" jawab Ang Cit Kong. "Siapa mau rapat beradu pedang denganmu!"
"Bagus, orang gagah! Pendekar!" teriak Kiu Cian Jin. "Ya, aku si orang
jahat, kau sendiri si manusia baik yang belum pernah melakukan perbuatan
busuk!"
"Memang!" jawab Cit Kong lagi. "Aku si pengemis tua telah membinasakan
531 orang yang semuanya jahat, pembesar rakus, hartawan, jago jahat,
atau manusia tak berbudi! Benar, aku si pengemis tua sangat kemaruk
hidangan lezat; tapi seumur hidupku belum pernah aku membunuh orang
baik-baik! Kiu Cian Jin, kaulah orang ke-532 yang akan kubunuh!"
Mendengar itu Cian Jin tersentak.
"Kiu Cian Jin," Ang Cit Kong berkata lagi, "Ketua Siangkoan Kiam Lam
dari Tiat Ciang Pang adalah orang gagah perkasa, seumur hidup dia setia
pada negara, tak pernah berubah pikiran. Tapi kau, yang sama-sama
menjadi ketua, bersekongkol dengan bangsa Kim, berkhianat, menjual
negara! Kalau nanti kau mati, apakah kau punya muka untuk bertemu dengan
Ketua Siangkoan? Sekarang kau mendaki Gunung Hoa San ini, kau bemiat
gila mengharapkan kehormatan sebagai orang kosen nomor satu di kolong
langit! Jangan kata ilmu silatmu tak mampu menandingi orang-orang gagah
lain, umpama kata kau benar tiada tandingan, di kolong langit ini, orang
gagah mana yang sudi takluk pada pengkhianat penjual negara!"
Kiu Cian Jin berdiri menjublek. Hebat kata-kata itu. Teringatlah ia akan
kejadian-kejadian beberapa puluh tahun lampau ketika ia pertama kali
menerima kedudukan sebagai ketua Tiat Ciang Pang. Waktu itu Siangkoan
Kiam Lam, ketua yang lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah
meninggalkan pesan, menjelaskan pada Kiu Cian Jin tentang aturan suci
Tiat Ciang Pang, berpesan supaya mencintai negara dan menyayangi rakyat.
Kiu Cian Jin ingat, semakin menanjak usianya, semakin tinggi
kepandaiannya, sepak terjangnya semakin bertentangan dengan cita-cita
partainya. Semua anggotanya yang jujur dan setia mengundurkan diri;
sedangkan yang buruk tetap berkumpul bersamanya, hingga kemudian Tiat
Ciang Pang yang suci murni itu telah berubah menjadi kotor, menjadi
sarang penjahat. Ia mengangkat kepalanya, melihat rembulan bersinar
terang. Sepasang mata Ang Cit Kong bersinar tajam mengawasinya. Mendadak
ia menginsafi semua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian. Tanpa
sadar peluh membasahi seluruh tubuhnya.
"Ketua Ang, kau benar!" katanya akhirnya. Ia memutar tubuh untuk
melompat ke jurang. Cit Kong kaget. Ia memegang tongkatnya untuk menjaga
diri. Ia khawatir, karena gusarnya, Kiu Cian Jin akan menerjangnya. Ia
tahu ketua Tiat Ciang Pang itu lihai. Maka ia tidak menyangka orang itu
menjadi nekat hendak bunuh diri. Ia tercengang. Selagi ia tidak
berdaya, orang lain telah mencelat maju ke lepi jurang. Orang itu
adalah It Teng Tay.su yang sejak tadi duduk bersila saja. Pendeta ini
melompat tidak dengan kakinya, namun dengan tubuh melayang. Ia masih
dalam posisi bersila. Tangan kirinya terulur, ia menyambar kaki Kiu Cian
Jin dan menariknya keras-keras, sambil memuji, "Siancay! Siancay! Laut
kesengsaraan tidak ada batas pinggirnya. Siapa yang menoleh, melihat
tepian! Kau telah insaf, kau telah menyesal, maka bagimu masih belum
kasip untuk kembali menjadi manusia benar! Pergilah kau mengurus dirimu
baik-baik!"
Kiu Cian Jin menangis menggerung-gerung, berlutut di depan si pendeta,
pikirannya pepat. Tidak dapat ia mengatakan sesuatu. Eng Kouw melihat
orang itu berlutut membelakanginya. Melihat kesempatan itu, ia menghunus
belatinya, menikam punggung musuhnya itu.
"Tahan!" seru Ciu Pek Thong seraya menahan tangan si nyonya.
"Kau mau apa?" bentak Eng Kouw gusar.
Bocah Tua Nakal memang tidak mau berurusan dengan si nyonya, maka
dibentak begitu ia berteriak, lantas memutar tubuhnya untuk lari kabur.
"Ke mana kau mau pergi?" bentak Eng Kouw lalu mengejar.
"Perutku sakit, aku hendak buang kotoran!" sahut Pek Thong sambil lari
terus. Sejenak Eng Kouw tergugu, lantas ia mengejar lagi. Ia tidak
memedulikan kata-kata orang itu.
Pek Thong berteriak-teriak lagi, "Celaka! Celaka! Celanaku penuh kotoran, bau sekali, jangan dekat-dekat aku!"
Eng Kouw tidak memedulikannya, ia terus mengejar. Sudah dua puluh tahun
ia mencari, kalau sekarang ia membiarkan orang itu lolos lagi, lain kali
sukar mencarinya hingga ketemu. Ia lari kencang.
Bocah Tua Nakal mendengar langkah kakinya, ia kaget. Sekarang ia
benar-benar terkejut. Kalau tadi ia mengatakan hendak buang air besar
hanya untuk menggertak Eng Kouw. sekarang ia benar-benar hendak
melakukannya....
Kwee Ceng dan Oey Yong tersenyum melihat lagak Pek Thong itu, yang
bersama Eng Kouw lenyap dengan cepat. Kemudian mereka menoleh, memandang
lt Teng Taysu.
Pendeta itu bicara berbisik kepada Kiu Cian Jin, dan ketua Tiat Ciang
Pang itu mengangguk-angguk. Kemudian Toan Hongya yang sudah "mati" itu
bangkit.
"Mari berangkat!" katanya.
Sampai di situ Kwee Ceng dan si nona menghampiri untuk memberi hormat.
Mereka pun memberi hormat pada si tukang pancing berempat. It Teng
mengusap-usap kepala sepasang muda-mudi itu. Ia tersenyum, kelihatan
nyata pada romannya bahwa ia mengasihi mereka.
Ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan berkata. "Saudara Cit, kau sehat
walafial, lebih gagah dari pada dulu! Kau pun telah menerima dua murid
yang baik sekali, selamat padamu!"
Ang Cit Kong menjura. "Hongya juga baik!" katanya.
It Teng tertawa. "Sekarang aku bukan hongya lagi!" katanya. Ia menolak
sebutan hongya atau raja. "Saudara Cit, gunung itu tinggi, air itu
panjang. Sampai bertemu lagi!" la merangkapkan kedua tangannya untuk
memberi hormat, lantas membalikkan tubuh akan beranjak pergi.
"Eh, eh," kata Cit Kong. "Besok pertemuan berlangsung. Kenapa Toan
Hongya pergi sekarang?" Karena telah jadi kebiasaan, ia tidak dapat
mengubah panggilan Toan Hongya itu.
It Teng berbalik. la tertawa. "Aku dari kalangan lain, tak berani aku
berebutan dengan orang-orang gagah di kolong langit," sahutnya.
"Kedatanganku hari ini hanya untuk menyelesaikan keruwetan dari dua
puluh tahun lampau. Maka aku bersyukur maksudku telah tercapai. Saudara
Cit, sekarang siapa lagi orang gagah itu kalau bukannya kau. Janganlah
merendahkan diri!"
Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas pergi dengan menggandeng
Kiu Cian Jin. Si tukang pancing berempat menghormat pada Ang Cit Kong,
kemudian mengikuti guru mereka. Si pelajar lewat di dekat Oey Yong,
melihat muka si nona bercahaya, ia tertawa dan menggoda dengan
bersenandung, "Di lanah rendah ada pohon yang toh, cabangnya halus dan
lemas."
Oey Yong membalas sindiran itu, "Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah jadi malam...."
Si pelajar tertawa lebar, ia menjura dan melanjutkan perjalanan. Kwee
Ceng heran, ia tidak mengerti. Ia menduga mereka main teka-teki.
"Yongjie, apakah itu kata-kata Sanskerta?" tanyanya.
Si nona tertawa. "Bukan. Itu syair dari Kitab Syair."
Kedua syair si pelajar dan Oey Yong itu masih ada sambungannya tetapi
mereka sengaja menyebut permulaannya saja. Si pelajar mengatakan si nona
belum menikah tapi sudah kegirangan, sedangkan Oey Yong mengumpamakan
si pelajar sebagai binatang.
Sementara itu Kwee Ceng, yang telah mendengar teguran Ang Cit Kong
kepada Kiu Cian Jin, turut tersadar. Ia seperti mendapat petunjuk untuk
mengatasi keruwetannya selama ini. Gurunya itu telah membunuh banyak
orang, tapi semuanya orang jahat. Tindakan gurunya itu tidak dapat
dikatakan tidak pantas. Guru itu bukannya jahat, bahkan sebaliknya,
gurunya orang baik. sebab ia menindas kejahatan. Karena itu semestinya
ia tidak melupakan atau membuang ilmu silatnya.
Lantas muda-mudi ini menghampiri guru mereka untuk memberi hormat,
kemudian mereka pasang omong tentang segala hal yang terjadi sejak
perpisahan mereka yang terakhir.
Ang Cit Kong ikut Oey Yok Su ke Pulau Persik Di sana ia dapat
menyembuhkan diri dengan memahami Kiu Im Cin Keng. Dengan melatih ilmu
tenaga dalamnya untuk memperlancar jalan pernapasan dan jalan darahnya.
Dalam tempo setengah tahun ia sembuh, lalu dalam tempo setengah lahun
berikutnya ia berhasil memulihkan kepandaian silatnya, la sudah sembuh,
tetapi ia meninggalkan Pulau Persik sesudah Oey Yok Su, yang pergi lebih
dulu untuk mencari anak daranya yang selalu dipikirkan dan
dirindukannya. Oey Yok Su bertolak ke utara. Cit Kong bertemu dengan Lou
Yoe Kiak, maka ia tahu tentang kedua muridnya itu, kecuali hal-hal yang
terjadi setelah rombongan Yoe Kiak meninggalkan Mongolia.
"Suhu, sekarang silakan Suhu beristirahat," Kwee Ceng mempersilakan.
"Sang fajar bakal lekas tiba, sebentar lagi tiba waktunya beradu
kepandaian. Suhu mesti menggunakan banyak tenaga."
Cit Kong tertawa dan berkata, "Usiaku telah lanjut, tapi kegemaranku
akan menang pun bertambah. Tapi mengingat yang bakal kuhadapi Sesat
Timur dan Racun Barat, hatiku kurang tentaram. Selama ini, Yongjie,
kepandaian ayahmu maju pesat sekali. Coba tebak, siapa yang akan lebih
kuat atau lebih lemah di antara ayahmu dan gurumu?"
"Sebenarnya kepandaian Suhu dan kepandaian Ayah berimbang," sahut Oey
Yong. "Tapi sekarang Suhu telah mewarisi It Yang Ci dari lt Teng Taysu
dan Suhu sendiri telah meyakinkan Kiu Im Cin Keng, maka tentulah ayahku
bukan tandingan Suhu lagi. Aku akan omong dengan ayahku, supaya Ayah tak
usah melawan Suhu lagi, lebih baik lekas-lekas pulang ke Pulau Persik."
Ang Cit Kong memikirkan perkataan si murid yang nada suaranya berbeda,
ia lantas menduga isi hati gadis itu. Ia tertawa lebar dan berkata, "Tak
usah kau bicara berputar-putar. It Yang Ci kepunyaan Toan Hongya dan
Kiu Im Cin Keng kepunyaan kalian berdua, maka tak usah kalian sebut
lagi. Aku si pengemis tua tidak bakal menebalkan muka menggunakannya.
Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan kepandaian asalku."
Memang itulah maksud Oey Yong, maka ia tertawa.
"Suhu," katanya, "jika kalah dari ayahku, kau akan kumasakkan seratus macam masakan untuk berpesta pora. Bagaimana, akur?"
Air liur Cit Kong langsung terbit. "Eh, bocah cilik, hatimu tak bagus!"
kalanya. "Sudah membakar hatiku, kau menyogok juga. Kau sangat licik,
berharap supaya ayahmulah yang menang!"
Oey Yong tertawa. Belum lagi ia menyahut, mendadak Cit Kong bangun
berdiri dan sambil menunjuk ke belakangnya berkata, "Bisa Bangkotan, kau
datang begini pagi!"
Kwee Ceng dan si nona melompat bangun, lantas menoleh, berdiri di
samping guru mereka. Mereka segera melihat Auwyang Hong yang tinggi
besar sedang berdiri. Racun Barat datang secara diam-diam, hingga
muda-mudi itu tidak tahu. Mereka heran dan terkejut.
"Datang lebih pagi pibu lebih pagi!" sahut Auwyang Hong. "Datang siang,
pibu siang. Eh. pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur. Katakan,
kita bakal bertempur untuk mencari kemenangan yang memutuskan atau untuk
mengadu jiwa?"
"Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang, itu berarti hidup dan
mati," jawab Ang Cit Kong. "Maka kalau kau menurunkan tangan, tak usah
kau main kasihan-kasihan lagi!"
"Baik!" kata Auwyang Hong. Ia lantas menggerakkan tangan kirinya, yang
tadi ditaruhnya di belakang. Ternyata ia telah menyiapkan tongkatnya. Ia
menotok batu seraya berkata lagi, "Di sini saja atau di tempat lain
yang lebih lebar?"
Cit Kong belum menyahut, tapi sudah didului Oey Yong. "Tidak bagus
Gunung Hoa San ini dipakai sebagai tempat pibul" kata si nona. "Lebih
baik kita pergi ke perahu!"
Pengemis Utara melengak. "Apa kau bilang?" ia bertanya menegaskan.
"Dengan bertempur di perahu, kita dapat memberikan kesempatan sekali
lagi pada Paman Auwyang untuk membalas kebaikan dengan kejahatan!" si
nona menjelaskan. "Biarlah dia mendapat kesempatan untuk membokong
lagi!"
Ang Cit Kong tertawa terbahak. "Dulu kita teperdaya satu kali, maka satu
kali juga kita belajar pintar!" katanya. "Jangan harap si pengemis
bangkotan nanti memberi ampun lagi!"
Racun Barat merasakan sindiran si nona, air mukanya tidak berubah sama
sekali, namun tanpa bilang apa-apa ia lantas menekuk kedua dengkulnya,
menongkrong, sedangkan tongkatnya berpindah ke tangan kiri. Tangan
kirinya itu lantas dipakai untuk mengerahkan ilmu silat istimewanya,
Hap-mo-kang.
Melihat demikian. Oey Yong segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada gurunya.
"Suhu!" katanya. "Lawan bangsat licik ini dengan Tah-kauw-pang dan It
Yang Ci! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala aturan atau kemurahan
hati!"
Cit Kong lantas berpikir, "Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku
dapat mengalahkan dia, sedangkan sebentar lagi aku mesti melayani Oey
Yok Su. Kalau aku sudah letih, mana bisa aku melayani Sesat Timur."
Ia menyambut tongkat keramat partainya itu. lalu bergerak dalam sikap
Mengeprak Rumput Membikin Ular Kaget dan Membiak Rumput Mencari Ular.
Tongkatnya bergerak ke kiri dan ke kanan.
Sudah beberapa kali Auwyang Hong bertempur melawan Pengemis Utara, namun
belum pernah ia melihat orang itu menggunakan tongkatnya, yang pernah
disaksikannya adalah ilmu tongkat Oey Yong, yang kurang diperhatikannya.
Sekarang untuk pertama kalinya ia melihat, ia kagum. Gerakan Cit Kong
pulang-pergi, mengembuskan angin keras, karena itu tanpa ayal lagi ia
maju menyerang ke liong-kiong—tengah.
Tempo hari ketika Cit Kong dibokong Auwyang Hong, jiwanya nyaris
melayang, sehingga ia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun.
Setelah itu barulah kesehatannya pulih dan kepandaiannya kembali, maka
hari ini ia tidak mau berkelahi secara sembarangan. Kekalahannya dulu
adalah kekalahan besar yang belum pernah dialaminya seumur hidup, juga
bahaya yang belum pernah dihadapinya. Sekarang, berhubung merupakan saat
penentuan kehormatan dan kehinaan, atau hidup dan mati, ia tidak main
sungkan lagi.