Kaget pemuda itu. "Gambar apakah?" ia tanya.
"Gambar yang Huma sering pandang."
Kembali Kwee Ceng kaget. Lantas ia mendapat pikiran, "Dia membawa pergi
gambar itu, terang dia telah memutuskan segala apa denganku Tidak bisa
lain, aku mesti menyusul dia ke Selatan."
Dengan cepat pemuda ini menulis surat untuk Khu Cie Kie, lalu ia kabur
dengan kuda merahnya ke luar dari kota. Kuda itu kuat dan cepat larinya,
tetapi Kwee Ceng masih tidak puas, ia mencambuki, maka sebentar saja ia
telah melalui beberapa puluh lie. Di sini pun ia menyaksikan mayat
orang dan bangkai kuda masih berserakan. Di tempat luas beberapa puluh
lie, salju melulu yang nampak. Ia memperhatikan tapak kaki kuda, ia
kabur ke timur. Lega sedikit hatinya. Ia berpikir "Kudaku kuat lari
tanpa tandingan, lagi sebentar aku tentu dapat menyusul Yong-jie. Aku
akan mengajak dia menyambut ibuku, untuk bersama-sama pulang ke Selatan.
Adik Gochin boleh sesalkan aku tetapi apa boleh buat."
Lagi belasan lie, Kwee Ceng melihat arah tapak kaki kuda menjurus ke
utara, hanya di samping itu ada tapak kaki orang. Ia menjadi heran.
Tapak kaki itu juga luar biasa, ialah jarak di antara kaki kiri dengan
kaki kanan ada kira-kira lima kaki. Tindakan demikian lebar, tetapi
tapaknya, bekas injakannya enteng sekali. Melesaknya salju hanya
beberapa dim. Teranglah sudah, sebelum melesak ke dalam salju, kaki itu
sudah lantas diangkat pula.
Kapan pemuda ini ingat kepada kepandaian enteng tubuh, ia terkejut. Ia
tahu, untuk di tempat ini, kecuali Auwyang Hong, tidak ada lain orang
yang mempunyai kepandaian sedemikian lihay. Maka itu, mungkinkah See Tok
telah mengejar Oey Yong?
Mengingat itu, meskipun di waktu salju dingin begitu, tubuh si anak muda
mengeluarkan peluh. Ia kaget dan berkhawatir bukan main. Itu artinya
Oey Yong terancam bahaya. Si kuda merah seperti mengerti kekhawatiran
majikannya, tanpa dikeprak lagi, ia lari mengikuti tapak kuda dan tapak
orang itu, yang terus berdampingan.
Lewat pula beberapa lie, kembali terjadi keanehan pada tapak kaki
manusia itu. Tujuannya telah berubah-ubah. sebentar tapak itu belok ke
barat, sebentar mengkol ke selatan. Terputar-putar, tidak ada yang
tujuannya lempang. Tapi Kwee Ceng berpikir. "Pastilah Yong-jie
mengetahui Auwyang Hong mengejar padanya, dia sengaja berjalan
berputaran begini rupa. Di salju ini, tapak kaki terlihat tegas,
tentulah Auwyang Hong melihatnya dan dapat mengejar terus padanya."
Lagi-lagi belasan lie dikasih lewat. Di sini kedapatan banyak tapak kaki
manusia, yang arahnya bertentangan. Melihat itu, terpaksa Kwee Ceng
lompat turun dari kudanya, guna meneliti. Ia mendapat tahu, yang mana
tapak lebih dulu, yang mana yang belakangan, atau yang mana yang di
depan, yang mana yang di belakang. Ia pun mengawasi itu dari jauh.
Tiba-tiba ia ingat, "Yong-jie bertindak menuruti ajaran kitabnya Gak Bu
Bok. ia menggunai Pat Tin Touw, barisan rahasianya Cukat Liang, untuk
mengacaukan arahnya Auwyang Hong, supaya See Tok jalan terputar-putar
hingga dia tidak dapat ke luar dari kurungan tin ini, supaya dia pergi
serintasan lantas dia berjalan kembali."
Kwee Ceng lompat naik atas kudanya. sekarang ini ia bergirang berbareng
masgul. Girang sebab ia percaya Auwyang Hong tidak bakal dapat mengejar
terus si nona. Dan berduka, sebab kacaunya tindakan kaki, dia juga tidak
akan dapat mengikuti jejak nona itu. Karena ini ia maju lebih jauh
dengan tidak mengikuti jejak kaki hanya garis dari barisan rahasia Pat
Tin Touw itu. Lebih dulu ia menuju ke timur selatan, lalu ke timur
langsung. Tidak lama, ia melihat pula tapak kaki. lalu ia pun melihat,
di kejauhan, di antara salju dan langit, yang seperti menempel, ada
petaan seperti bayangan manusia. Ia lantas mengaburkan kudanya, guna
menyusul orang itu.
Lantas Kwee Ceng mengenali Auwyang Hong, siapa pun telah melihat
kepadanya, bahkan dia segera memanggil-manggil, "Lekas, lekas! Nona Oey
terjeblos di dalam embal." la kaget sekali, ia kaburkan kudanya. Ketika
lagi beberapa puluh tombak akan mendekati See Tok, ia merasakan kaki
kudanya menginjak bukan tanah keras hanya embal yang ketutupan salju.
Kuda merah juga merasa yang ia menginjak sesuatu yang empuk. dia
mempercepat tindakannya.
Sekarang, setelah datang lebih dekat pada Auwyang Hong, Kwee Ceng
melihat kelakuan orang yang luar biasa. See Tok lagi jalan mengitari
sebuah pohon kecil, cepat tindakannya, dia tidak mau berhenti sejenak
juga.
"Apakah dia bikin?" tanya si anak muda kepada dirinya sendiri. Ia
menahan kudanya, niatnya hendak menanya si Bisa dari Barat itu, atau
mendadak kudanya itu lari terus, lalu kembali. Sekarang ia baru
mengerti. Kudanya itu berada di embal, kalau dia berdiam, dia dapat
terpendam, kakinya bakal melesak masuk ke dalam lumpur. Ia pun menjadi
kaget, sekelebatan otaknya berpikir. "Apakah Yong-jie kejeblos di dalam
embal ini?"
Lantas dia menanya, "Mana nona Oey?"
Auwyang Hong berlari-lari terus, tapi ia menyahut, "Aku mengikuti tapak
kudanya dan tapak kakinya sendiri. Sampai di sini, dia lenyap. Kau
lihat." Ia menunjuk ke arah pohon.
Kwee Ceng melarikan kudanya lewat, ia memandang ke atas pohon yang
ditunjuk. Ia melihat tergantungnya gelang rambut dari emas. Tepat selagi
lewat di bawahan pohon, ia menyambar itu. Ia mengenali baik gelang
rambutnya Oey Yong. Karena ini, ia memutar kudanya, untuk menuju ke
timur. Baru lari kira satu lie, ia melihat suatu benda berkilau di atas
salju. Tanpa turun dari kudanya, hanya sambil membungkuk dalam, ia
menjumput itu selagi kudanya lewat. Sekarang ia mengenali bunga mutiara
yang si nona biasa pakai. Hatinya menjadi tidak karuan rasa saking
bingungnya. "Yong-jie! Yong-jie!" Ia memanggil-manggil. "Yong-jie! Kau
di mana?" Tidak ada jawaban sama sekali.
Memandang jauh ke depannya, Kwee Ceng melihat segala apa putih, tidak
ada setitik juga yang hitam yang bergerak-gerak. Ia berkhawatir, ia
penasaran. ia lari terus lagi beberapa lie. Kali ini di sebelah kirinya,
ia melihat sepotong baju bulu, ialah baju bulu si nona. Kembali ia
kaget. Baju itu dipandang sangat berharga oleh Oey Yong dan biasanya tak
pernah terpisah darinya, sekarang baju itu berada di tengah jalan.
Bukankah itu alamat dari bencana?
Kwee Ceng menyuruh kudanya lari mengitari baju itu, ia berseru. "Yong-jie!!"
Di situ tidak ada gunung atau lembah, suara keras itu tidak mendatangkan
kumandang. Hampir anak muda itu menangis. selagi ia tidak berdaya,
Auwyang Hong datang menyusul.
"Mari kasih aku mengasoh di atas kuda," berkata See Tok. "Mari kita sama-sama mencari nona Oey."
Tapi Kwee Ceng gusar, ia membentak. "Kalau bukannya kau yang
mengejar-ngejar, mana bisa dia lari ke daerah embal ini?" Ia menjepit
perut kudanya, hingga kuda merah itu berlompat.
Auwyang Hong menjadi gusar sekali, dia berlompat, baru tiga kali, dia
sudah datang dekat, tangannya menyambar ekor kuda. Kwee Ceng kaget. Ia
tidak menduga orang demikian gesit. segera ia menyabet ke belakang
dengan jurusnya "sin liong pa bwee", atau "Naga Sakti Menggoyang Ekor".
Kedua tangan beradu dengan keras. Kebetulan mereka sama-sama menggunai
tenaga penuh. Tubuh Kwee Ceng terpental, hingga ia mencelat dari atas
kudanya. Syukur kudanya maju terus. Dengan tangan kirinya, ia menjambret
pelana kuda, ia menarik. Maka sedetik kemudian, ia sudah bercokol pula
di punggung kudanya itu. Auwyang Hong sebaliknya mundur dua tindak.
Karena tolakan Kwee Ceng keras dan dia mesti memasang kuda-kuda untuk
mempertahankan diri, kakinya melesak di embal. Kaki kirinya masuk ke
lumpur sebatas dengkul, hingga dia kaget tidak terkira. Dia tahu betul,
asal ia menggunakan tenaga, dia bakal melesak semakin dalam. Kaki
kanannya akan melesak juga. Karena ini dengan cepat dia merebahkan
tubuhnya, kaki kanannya menendang ke udara. Berbareng dengan itu, dia
mengangkat kaki kirinya, untuk dipakai menendang. Maka itu, dengan
lumpur bercipratan, kaki kirinya itu bebas dari dalam lumpur, setelah
itu dia berlompat bangun.
"Yong-jie! Yong-jie!" Ia mendengar Kwee Ceng memanggil-manggil pula.
Lantas dia melihat pemuda itu, bersama kudanya, sudah meninggalkan dia
pergi lebih dari satu lie jauhnya. Dia menduga orang sudah ke luar dari
daerah embal melihat larinya kuda yang mantap sekali. Dia mendongkol dan
menyesal. Terpaksa dia lari mengikuti jejak kuda merah itu. Hanya,
untuk kagetnya, dia merasakan kakinya menginjak dasar yang semakin
lunak. Rupanya, dia bukan mendekati tepian hanya berada semakin tengah
di embal itu. Dalam khawatir dan menyesalnya itu, dia jadi membenci si
anak muda, yang berulang kali membuatnya malu, apa pula yang paling
belakang ini, dia mesti bertelanjang dengan ditonton puluhan ribu
serdadu. Lantas, dengan ilmunya enteng tubuh yang paling mahir, dia
berlari untuk mengejar anak muda itu.
Kwee Ceng tengah melarikan kudanya tatkala ia menoleh ke belakang.
Tahu-tahu Auwyang Hong sudah berada dekat beberapa tombak. Ia lantas
menggeprak kudanya, hingga kuda itu terkejut dan berlompat lari, hingga
kuda dan orang, menjadi berkejar-kejaran.
"Yong-jie!" si anak muda terus memanggil-manggil.
Sementara itu, belasan lie telah dilalui. Kwee Ceng bergelisah ketika ia
melihat cuaca mulai gelap. Di waktu hari terang, Oey Yong susah dicari,
apa pula setelah datang sang malam. Syukur untuknya, kudanya itu lihay
sekali, mendapat tahu dia menginjak salju yang longgar dia lari semakin
keras, mirip terbang.
Auwyang Hong mengejar terus tetapi dia ketinggalan semakin jauh. Dia
menjadi letih, larinya menjadi kendor. Tapi juga si kuda merah cape,
keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, bulunya menjadi mengkilap dan
cahaya merahnya bertambah marong, nampak tegas di antara warna putih
dari salju di sekitarnya, mirip dengan sekuntum bunga cherry.
Akhir-akhirnya ketika langit telah menjadi gelap. kuda merah pun sudah
ke luar dari daerah embal yang luas itu. Auwyang Hong telah ketinggalan
jauh entah di mana. Hanya, meski ia bebas dari See Tok. Kwee Ceng tidak
bebas dari kekhawatiran atas nasibnya Oey Yong. Di mana adanya si nona?
Dia kependamkah di embal? Kalau benar, mana ada pertolongan lagi?
Anak muda ini mencoba menguasai dirinya. Ia turun dari kudanya, untuk
beristirahat, guna menentramkan hati, agar ia bisa menggunai pikirannya.
Ia mengusap-usap punggung kudanya, katanya, "Kudaku yang baik, hari ini
kau jangan takuti kesengsaraan, sebentar kau maju pula lagi sekali,
ya?"
Tidak lama ia beristirahat, ia melompat pula ke punggung kudanya. Tali
les ditarik membikin kuda itu berbalik ke embal, mencari Oey Yong di
daerah lumpur itu. Kuda itu agaknya jerih, setelah dipaksa, baru dia
lari. Keras larinya.
Sekonyong-konyong Kwee Ceng mendengar jeritan Auwyang Hong.
"Tolong! Tolong!" See Tok menjerit berulang-ulang.
Dia ternyata terbelesak di dalam embal, sampai sebatas dada. Kedua
tangannya diangkat tinggi ke atas, digerak-geraki seperti lagi
menjambret sesuatu. Kalau tubuhnya masuk terus ke dalam lumpur itu,
sampai di mulutnya, melewati hidungnya, maka akan habislah dia.
Kwee Ceng hampir lompat turun dari kudanya menyaksikan bahaya yang
mengancam See Tok itu. Ia membayangkan, jangan-jangan Oey Yong pun telah
mendapat nasib serupa.
"Tolong!" Auwyang Hong berteriak pula. "Lekas!"
"Kau telah membunuh guruku Kau pun mencelakai nona Oey." Kwee Ceng
berkata seraya menggertak gigi. "Kau ingin aku menolongmu? Jangan
harap!"
"Ingatlah janji kita" kata Auwyang Hong. "Tiga kali kau mesti memberi
ampun padaku. Dan inilah yang ketiga kalinya Apakah kau tidak mau
memegang kepercayaanmu?"
Kwee Ceng mengucurkan air mata. "Nona Oey sudah tidak ada di dalam dunia, apakah gunanya perjanjian kita itu?" katanya berduka.
Auwyang Hong menjadi sangat mendongkol, ia mencaci kalang kabutan. Kwee
Ceng tidak memperdulikan, ia larikan kudanya. Baru belasan tombak,
mendadak ia mendengar jeritan yang menyayatkan hati, lantas hatinya
menjadi lemah. Ia menghela napas. Terpaksa ia memutar balik kudanya. Ia
melihat See Tok sudah melesak sebatas lehernya.
"Suka aku menolong kau," katanya pada jago dari See Hek itu "Hanya
kudaku ini, kalau kita menaikinya berdua, muatannya menjadi berat, aku
khawatir dia pun akan kebelesak di embal."
"Kau menggunai tambang untuk menarik aku," Auwyang Hong mengasih pikiran.
Kwee Ceng tidak membekal tambang tetapi ia mengingat baju panjangnya,
maka ia meloloskan itu, dengan memegang keras satu ujungnya, ia
melemparkan itu.
Auwyang Hong menjambret dengan tangannya. Begitu dia dapat memegang,
kuda merah dikasih lari keras, maka dia lantas kena tercabut dari dalam
embal, terus dia diseret lari kuda itu ke arah timur. Belum lama,
tibalah dia di tempat yang selamat.
Kwee Ceng mau mencari Oey Yong, pikirannya selalu berada pada si nona,
dari itu ia kabur terus bersama kudanya itu, hingga See Tok juga turut
terbawa-bawa. Maka itu, dia memasang diri terlentang, dia membiarkan
tubuhnya di bawa kabur di atas salju itu. Ketika ini dipakai dia untuk
meluruskan jalan napasnya. Selama apa yang terjadi itu, sang tempo lewat
dengan cepat.
Kwee Ceng telah melintasi pula wilayah embal. Ia mendapatkan lagi tapak
kuda dan tapak orang. Itulah tempat dari mana Oey Yong datang. Hanya
sekarang, si nona tetap tidak ada. Ia lompat turun dari kudanya, ia
bengong mengawasi tapak kaki itu.
Dalam keadaan berduka dan berkhawatir itu, Kwee Ceng lupa kepada
musuhnya. Ia berdiri diam dengan tangan kiri memegangi les dan tangan
kanan mencekal baju bulunya Oey Yong. Setelah mengawasi tapak kaki,
terus ia memandang jauh ke depan. Ia baru terkejut ketika ia merasa
benturan perlahan pada pundaknya. Hendak ia memutar tubuh, atau
tahu-tahu tangan Auwyang Hong telah mengancam in-tay-hiat, jalan darah
di punggungnya, hingga ia tidak berdaya lagi. Inilah cara ketika ia pun
mencekuk si bisa bangkotan ketika dia baru ke luar dari liang perangkap.
Auwyang Hong mengasih dengar tertawanya yang dingin.
"Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah" kata si anak muda, yang
hatinya sudah tawar. "Kita memang tidak membuat perjanjian aku
menghendaki diberi ampun olehmu."
See Tok melengak. Dia memang berniat menyiksa pemuda ini, untuk menghina
padanya, habis mana dia hendak mengambil jiwa orang. Di luar dugaannya,
si pemuda justru meminta kematiannya.
"Si tolol ini sangat mencintai itu budak celaka, jika aku binasakan dia
maka tercapailah cita-citanya mencari kematian," ia berpikir. "Karena
budak celaka itu sudah mampus, tentang artinya kitab Kiu Im Cin-keng
sekarang aku bergantung hanya kepada dia ini."
Karena ini, ia lantas mengangkat tubuh si anak muda, buat dibawa naik ke
atas kuda, lalu kuda itu ia kasih lari ke selatan di mana ada sebuah
lembah.
Selagi melewati sebuah kampung, Auwyang Hong masuk ke situ. Ia berniat
singgah. Di situ berserakan banyak mayat. Hawa udara sangat dingin tidak
membikin mayat-mayat itu rusak. bahkan segala apa juga tidak berubah.
Maka semua mayat terlihat tegas seperti waktu baru matinya, dipandangnya
menggiriskan, sebab semua tubuhnya tidak sempurna lagi. Mereka semua
korban kekejaman tentara Mongolia.
Beberapa kali Auwyang Hong memanggil, ia tidak mendengar penyahutan dari
orang kampung, yang ada hanya suaranya beberapa puluh ekor kerbau dan
kambing yang seperti saling sahutan. Mengetahui ada binatang itu, ia
senang juga. Ia bawa Kwee Ceng ke dalam sebuah rumah batu. Ia kata, "Kau
sekarang tertawan olehku. Tidak ada niatku membunuh kau, umpama kata
kau dapat melawan aku, kau merdeka untuk pergi."
Kemudian ia menangkap seekor kambing, untuk disembelih dan dijadikan
penangsal perutnya yang kosong. Kwee Ceng mendelu melihat sikap orang
yang sangat bangga akan dirinya sendiri itu. See Tok sangat puas dengan
kemenangannya itu. Dari mendelu, ia menjadi gusar sekali. Kemudian
Auwyang Hong melemparkan sepotong paha kambing. "Kau dahar biar kenyang,
sebentar kita bertempur," katanya mengejek.
"Kalau kau mau bertempur, marilah." Kwee Ceng menjawab gusar. "Buat apa
menanti sampai sudah gegares kenyang?" ia lantas berlompat maju dan
menyerang.
See Tok menekuk kedua kakinya, untuk menongkrong. Dari mulutnya ke luar
dua kali suara kerak-kerok. Ia telah lantas menggunai ilmu silat
Kodoknya, dengan apa ia membalas menyerang. Maka itu, di situ mereka
lantas bertarung.
Setelah bertempur lebih dari seratus jurus, Kwee Ceng terdesak. Ia masih
kalah dalam hal tenaga dalam. Begitu ia dirangsak satu tindak dan
kempungannya ditinju. Ia kaget dan tidak berdaya, maka ia menanti
kebinasaannya. Auwyang Hong tidak meneruskan hajarannya itu, dia hanya
tertawa.
"Hari ini sampai di sini saja" dia berkata, "Pergi kau melatih ilmu
silatmu dari kitab Kiu Im Cin-keng, besok aku nanti melayani pula
padamu."
"Fui!" menghina si anak muda, yang lantas pergi duduk di bangku. ia
menjumput paha kambing untuk dimakan. Sembari makan, ia berpikir. "Dia
hendak mempelajari ilmu silat dari kitab. Kalau aku berlatih, dia akan
menontonnya. Tidak, aku tidak boleh kena diakali. Ah, ya, tadi
serangannya ke kempunganku itu, bagaimana harus aku menangkis atau
mengelakkannya? "
Ia lantas berpikir. Ia ingat, belum pernah ia mempelajari sesuatu jurus
yang dapat memecahkan serangan lawan itu. Ada juga di dalam kitab,
bagian "Hui Sie Keng", ialah ilmu "Kapas Terbang". Ilmu itu, kalau dapat
diyakinkan, akan membikin tenaga di kempungan bisa menghindarkan
serangan.
"Biar aku mempelajarinya di dalam hati, dia hendak menelad juga tidak
dia mampu," pikirnya pula. Maka lekas-lekas ia menghabisi daging
kambingnya, terus ia duduk bersila, untuk belajar sambil bersemedhi.
Dengan begitu ia bisa memusatkan pikirannya. Ia menghapal bunyinya
kitab. Setelah mengerti "It kin toan kut pian", ia sudah mendapati
pokoknya ilmu silat, dan sesudah mendapatkan pengajaran dari It Teng
Taysu, ia telah memperoleh kemajuan terlebih jauh, maka itu, tidaklah
sukar untuk ia meyakinkan "Hui Sie Keng". Belum dua jam, ia sudah
berhasil. Ia lantas melirik kepada Auwyang Hong, yang lagi bersemedhi.
"Awas" ia berseru. Ia bangun, lantas ia lompat menerjang, sebelah tangannya melayang.
Auwyang Hong telah siap sedia. Ia menangkis. Tadi ia berhasil dengan
tinjunya ke kempungan, maka selang tidak lama, setelah melihat
lowongannya, ia mengulangi serangannya itu. Hanya sekarang ia menjadi
heran. Tinjunya itu melejit lewat, tinju itu seperti mengenai sesuatu
yang licin, hingga tubuhnya sendiri sedikit terjerunuk ke depan. Justru
itu, tangan kiri Kwee Ceng terbang ke lehernya.
"Bagus" pikirnya. Ia kaget dan girang. Ia menjerunuki tubuhnya terus ke
depan, dengan begitu ia bebas dari serangan si anak muda. Setelah itu ia
membalik diri, akan berkata, "Bagus ilmumu ini adakah ini dari dalam
kitab? Apakah namanya?"
"See-cat Iet-wi, pay-hoat kek-ji," sahut Kwee Ceng.
See Tok melengak. Ia tidak mengerti. Tapi segera ia ingat akan
penyebutan lafal bahasa sansekerta. Maka ia pikir. "Baik aku melayani
dia dengan akal." Karena ini, ia lantas melayani lebih jauh pemuda itu.
Semenjak itu, sebulan lebih keduanya berdiam di rumah batu itu. Kalau
yang satu ingin mencangkok ilmu silat dari Kiu Im Cin-keng, yang lain
hendak menuntut balas. Saban-saban Kwee Ceng kena dibikin tidak berdaya.
Selamanya ia tidak dihajar atau dibinasakan, maka terus saban-saban ia
meyakinkan secara baru, untuk menandingi setiap pukulan dahsyat dari See
Tok. Selama itu, terus mereka dahar daging kambing, sampai binatang itu
hampir habis.
Lama-lama, Kwee Ceng sendiri mendapatkan kemajuan yang tentu, Auwyang
Hong sebaliknya cuma dapat berlatih, tidak dapat dia ilmu dari Kiu Im
Cin-keng yang diharap-harap itu. Dia malah menjadi bingung. Apa yang dia
lihat dari Kwee Ceng ini, tidak cocok sama bunyinya kitab yang dia
suruh si pemuda menuliskannya untuknya selama mereka berdiam di dalam
perahu dulu hari itu. Karena ini, lama- lama jago dari See Hek ini
berkhawatir juga. Dia pikir, "secara begini, selagi aku sendiri tidak
mendapatkan artinya kitab, bisa-bisa aku akan menjadi bukan tandingan
dia." Dia menjadi jeri sendirinya.
Selama beberapa hari ini, dengan cara berlatihnya itu di otak. Kwee Ceng
mulai mempelajari ilmu silat bersenjata. Ia menggunai pedang pendeknya
untuk membuat pedang kayu. Dengan itu ia melayani tongkat ular dari See
Tok.
Sekarang Auwyang Hong memakai tongkat kayu tanpa dibantu ularnya yang
istimewa. Ketika dulu dia menempur Ang Cit Kong, tongkatnya terlempar
lenyap di laut. Kemudian dia membikin tongkat baja, dia melilitkan
ularnya di ujung tongkat, tetapi tongkat ini lenyap di kurungan es
selama dia digencet es oleh Lou Yoe Kiak. Meski hanya tongkat kayu dan
tanpa ularnya, ilmu silatnya tak berubah. Dari itu, tongkatnya ini tetap
lihay. Beberapa kali pedang kayu si anak muda kena dibikin mental. Coba
tongkat itu ada ularnya, pasti lihaynya bertambah.
Selama itu, kuping mereka mendengar suara terompet, kuda dan tentara,
dari tentara Jenghiz Khan yang berangkat kembali ke timur, yang mana
berjalan beberapa hari lamanya. Semua itu tidak dihiraukan dua orang
yang lagi bertarung ini. Adalah pada suatu malam, ketika pasukan
Mongolia itu sudah pergi semua, baru mereka merasakan kesunyian.
"Malam ini tetap aku tidak bakal dapat mengalahkan kau tetapi juga
tongkatmu tidak akan dapat berbuat banyak atas pedangku," kata Kwee Ceng
di dalam hatinya selagi ia berdiri siap. Dengan pedang di tangannya. Ia
baru dapat memikir satu jurus yang baru dan hendak mencobanya, untuk
mana ia menanti lawannya menyerang lebih dulu. Mereka belum mulai
bertempur tatkala mendadak mereka mendengar bentakan di atas genting,
"Jahanam, kau hendak lari ke mana?" Itulah suaranya Ciu Pek Thong.
Dua-dua Kwee Ceng dan Auwyang Hong terbengong. Sama-sama mereka memikiri
"Kenapa dia datang begitu-jauh ke Barat ini?" Mereka baru mau membuka
mulut atau mereka mendengar tindakan kaki dari dua orang, yang satu di
depan, yang lain di belakang, datang mendekati ke rumah batu ini. Inilah
mungkin disebabkan selagi lain-lain rumah kosong, di sini nampak cahaya
api.
Dengan sebat See Tok mengebut dan apinya padam. Justru itu daun pintu
tertolak hingga bersuara dan seorang lari masuk. Didengar dari tindakan
kakinya yang enteng, orang yang dikejar Pek Thong itu tak usah kalah
ilmunya enteng tubuh dari Loo Boan Tong. Maka heranlah See Tok hingga ia
berkata di dalam hatinya, "Dia dapat lari puluhan ribu lie tanpa
terbekuk Loo Boan Tong, dia lihay. Orang dengan kepandaian seperti dia,
sekarang ini tinggal Oey Yok Su dan Ang Cit Kong. Inilah hebat untukku
si bisa bangkotan."
Di dalam gelap itu terdengar suara orang berlompat naik ke atas penglari
di mana dia terus berduduk. terus terdengar tertawanya Ciu Pek Thong,
yang berkata, "Kau main petak dengan Loo Boan Tong, aku senang sekali.
Sekarang jangan kau molos pula."
Setelah itu terdengar si tua tukang guyon itu menutup pintu dan
mengangkat sebuah batu besar guna dipakai menunjang belakang pintu,
sesudah mana dia berkata, "Eh, bangsat bau, kau berada di mana?" Dia pun
bertindak dengan tangannya meraba-raba, seperti lagi mencari sesuatu.
Kwee Ceng, yang telah lama berdiam di tempat gelap. dapat melihat
samar-samar lagaknya kakak angkat itu, hendak ia menunjuki bahwa orang
ada di atas penglari, akan tetapi sebelum ia keburu membuka mulutnya,
mendadak Ciu Pek Thong berlompat sambil tertawa, dia menyambar kepada
orang yang lagi sembunyi itu. Rupanya dia telah ketahui di mana orang
berdiam dan berlagak mencari, untuk bersiap berlompat naik,
Orang yang dipanggil jahanam itu benar lihay. Tidak menanti sampai ia
kena dicekuk. ia mendahului menyingkir dengan lompat jumpalitan turun,
hingga sesaat kemudian ia sudah berjongkok di pojok rumah.
Pek Thong agaknya jeri juga terhadap si jahanam itu, ia berlaku sangat
berhati-hati. Sebelum mencari, ia memasang dulu kuping dan matanya. Maka
itu sebagai orang lihay ia lantas mendapat ketahui, kecuali ia sendiri,
di situ ada suara bernapas dari tiga orang. Ia heran kenapa orang
berdiam saja. Mungkin orang kaget dan takut? Ketika tadi ia mendatangi
rumah batu ini, ia juga menduga mesti ada penghuninya dan itu dibuktikan
sama padamnya api serta sekarang sama suara bernapas.
Akhirnya ia berkata, "Tuan rumah, jangan takut Aku datang ke mari untuk
membekuk satu maling cilik. Setelah dia terbekuk, akan aku lantas
berlalu dari sini."
Habis berkata, Loo Boan Tong memasang kupingnya. Ia lantas mendengar
suara bernapas yang semakin perlahan. Ia mendapat tahu, suara bernapas
itu datangnya dari tiga penjuru, timur, barat dan selatan.
Ia terkejut tetapi ia segera berseru, "Hm, jahanam, kiranya di sini kau menyembunyikan kawanmu." Ia tidak mendengar jawaban.
Kwee Ceng juga berdiam saja. Ia tahu, dengan Ciu Pek Thong menghadapi
lawan tangguh, Pek Thong tentulah tidak bisa membantu padanya. Ia pikir
baiklah ia menanti ketikanya.
Habis mementang mulut, Pek Thong bertindak perlahan ke pintu, dari
mulutnya ke luar ocehan. “Jangan-jangan Loo Boan Tong tidak bakal
berhasil membekuk orang dan sebaliknya ialah yang nanti kena dicekuk."
la bertindak terus.
Itu waktu dari kejauhan terdengar suara seruan ramai dibarengi sama
tindakan kaki kuda yang riuh, rupanya itu dari satu pasukan tentara yang
besar. suara itu mendatangi ke arah rumah batu ini.
Mendadak terdengar suaranya Ciu Pek Thong. "Bantuanmu makin lama makin
banyak. Nah, sudahlah. Loo BoanTong minta maaf saja, tidak dapat dia
menemani kau lebih lama pula."
Dia lantas memegang batu besar penunjang pintu itu, agaknya dia hendak
menyingkirkannya guna membuka pintu, guna mengangkat kaki. Akan tetapi,
setelah batu itu terangkat oleh kedua tangannya, mendadak dia
melemparkannya ke arah tempat sembunyinya orang yang dia kejar-kejar
itu. Pintu itu menghadap ke selatan dan orang itu jadinya berada di
utara.
Auwyang Hong dapat mendengar segala apa. Ia berpikir. "Dia menyerang,
dengan begitu bagian kanannya menjadi tidak terlindung, baiklah aku
hajar padanya. Kalau dia sudah mampus, maka berkuranglah bencana untukku
di belakang hari, dan kalau nanti terjadi rapat yang kedua di Hoa-san,
musuhku juga lenyap satu." Begitu berpikir, begitu ia menongkrong,
sebelah tangannya diajukan- ia menyerang dengan Hap Mo Kang, ilmu
Kodoknya. Dia berada di barat, dari barat dia menyerang ke timur.
Kwee Ceng sementara itu tidak berdiam saja. Ia memasang matanya ke
segala penjuru, terutama terhadap See Tok. Seperti si Bisa dari Barat,
ia juga sudah biasa dengan tempat gelap itu. Demikian ia melihat sepak
terjangnya Auwyang Hong. Bokongan itu berbahaya untuk Pek Thong. Tidak
ayal lagi, dengan jurus "Hang- liong Yu-hui", ia menyerang ke arah
manusia licik itu.
Di pihak orang yang dikejar-kejar Pek Thong itu, dia pun tidak berpeluk
tangan. Ketika dia mendapat tahu datangnya serangan, dia memasang
kuda-kudanya, terus kedua tangannya dipakai menyambut sambil menolak
pergi batu besar itu. Karena ini dengan berbareng empat orang sama-sama
mengeluarkan tenaganya.
Dengan suara nyaring, batu besar jatuh ke tengah-tengah ruangan. Di situ
ada sebuah meja, maka ringseklah meja itu, suaranya berisik menulikan
telinga. Mendengar itu, Kwee Ceng girang, dia tertawa. sebenarnya dia
tertawa nyaring sekali tetapi suaranya lenyap di antara seruan riuh
pasukan tentara yang mendatangi itu, yang sudah mulai memasuki dusun.
Sekarang ini Kwee Ceng dapat mendengar lebih nyata. Itulah dua buah
pasukan yang lagi bertempur.
Rupanya tadi orang main berkejar-kejaran. Itu pula pasukan Khoresmia
yang kalah perang, yang kabur sambil dikejar tentara Mongolia. Mungkin
tentara shah Ala-ed-Din itu hendak mempertahankan diri di dusun ini atau
mereka telah kecandak. Demikian, suara anak panah pun terdengar
swang-swing tak hentinya, disusul sama bentrokan pelbagai senjata
lainnya.
Mendadak Pek Thong mendapatkan ada orang menerobos masuk. Ia menyambar,
ia mencekuk orang itu, terus ia melemparkannya ke luar. Habis itu ia
mengangkat batu, guna dipakai mengganjal pula pintu itu, yang ia telah
lantas menutup rapat kembali.
Sampai itu waktu Auwyang Hong, yang gagal dengan bokongannya karena
dirintangi Kwee Ceng, mengasih dengar suaranya. Rupanya menyangka yang
ia telah terpergoki. Ia tanya.
"Loo Boan Tong, tahukah kau aku siapa?"
Pek Thong tidak segera mengenali suara orang. Sebaliknya, dengan sebelah
tangan menjaga diri, dengan tangan yang lain ia menyerang ke arah dari
mana suara datang. Ia lantas mendapat perlawanan. Mulanya tangannya
ditangkis untuk ditangkap. terus ia diserang. Ia kaget sekali ketika ia
menangkis.
"Ha, bisa bangkotan, kau di sini?" tanyanya heran.
Untuk memperbaiki diri, ia menggeser tubuh ke kiri Justru itu, orang
yang bersembunyi di utara itu, mendadak menghajar ke punggungnya. Ia
lihay, sambil tangan kanannya menyerang See Tok. dengan tangan kirinya
ia menangkis ke belakang. Ia menganggap inilah ketikanya yang baik akan
mencoba ilmu silat yang ia ciptakan di Tho Hoa To, ialah ilmu kedua
tangannya berkelahi masing-masing, yang tadinya ia belum peroleh
kesempatannya akan mengujinya. Akan tetapi tangkisannya ke belakang ini
telah ditalangi Kwee Ceng. si anak muda berlompat maju, tangan kanannya
menangkis tangan kakak angkat itu, tangan kirinya menangkis serangan si
lawan belum dikenal.
Berbareng sama bentrokan tangan ketiga orang itu, dua seruan terdengar berbareng.
"Saudara Kwee!" demikian suaranya LooBoan Tong, si tua tukang berguyon.
"Kiu Cian Jin!" berteriak Kwee Ceng.
Sudah tentu suara itu membuat Auwyang Hong heran, karena di sini ia
dapat bertemu sama Loo Boan Tong serta ketua Tiat Ciang Pang itu.
Ketika terjadi pertandingan di Yan Ie Lauw itu, lantaran takut ular
berbisa, Pek Thong telah menyembunyikan dirinya di wuwungan lauteng,
dengan begitu, ia bebas dari panah tentara negeri dan selamat juga dari
pagutan ular. Ia berdiam terus di situ sampai kabut buyar dan orang
semua bubaran. Habis itu, ia berkeliaran saja. Lewat beberapa bulan, ia
bertemu dengan seorang anggota Kay Pang, yang memberikan sepucuk surat
kepadanya. Itulah suratnya Oey Yong, yang menagih janji padanya. Ia
pernah menjanjikan si nona, apa saja yang dia minta, ia tidak bakal
tolak. Sekarang Oey Yong minta ia pergi membinasakan Kiu Cian Jin. Si
nona menulis juga, kalau "tugas" ini rampung, maka Lauw Kui-hui atau Eng
Kouw, tidak bakal mencari pula padanya. Ia menerima baik permintaan si
nona. Ia pikir, Kiu Cian Jin toh jahat sudah bersekongkol sama bangsa
Kim. Sebagai pengkhianat, pantas dia dibinasakan. Maka seorang diri ia
pergi ke Tiat Ciang Hong. Mulanya mereka berimbang. Sesudah Pek Thong
menggunai kedua tangannya menuruti caranya masing-masing, Kiu Cian Jin
keteter. Dia kabur, dia lantas dikejar terus-terusan. Sebetulnya Cian
Jin heran kenapa Pek Thong memusuhkannya. Pernah ia minta keterangan,
tapi Pek Thong tidak dapat memberikannya. Begitulah mereka
berkejar-kejaran, sebentar kecandak dan bertempur, sebentar Cian Jin
lari pula. Sampai akhirnya tibalah mereka di rumah batu itu di mana
justru berada Auwyang Hong dan Kwee Ceng. Kiu Cian Jin lari ke Barat ini
dengan pengharapan Loo Boan Tong tidak kuat menahan hawa dingin, sedang
Pek Thong norek, ia cuma tahu mengejar tak hentinya.
Sampai di situ, Kwee Ceng dan Ciu Pek Thong masing-masing mengetahui
baik, siapa itu dua orang yang berada bersama mereka di dalam rumah batu
itu. Auwyang Hong juga mengetahui mereka itu bertiga dan bahwa Kiu Cian
Jin musuhnya Pek Thong. Sebaliknya Kiu Cian Jin itu cuma mengenali Pek
Thong dan Auwyang Hong, ia masih ragu-ragu untuk Kwee Ceng.
Kiu Cian Jin, Ciu Pek Thong dan Auwyang Hong adalah orang-orang lihay,
yang sebanding kepandaiannya, tetapi juga Kwee Ceng, setelah melayani
See Tok sekian lama, pesat kemajuannya, hingga ia jadi berimbang sama
mereka itu. Hanya sekarang mereka itu merasakan rintangan dari ruang
yang gelap dan suara sangat berisik di luar.
Kwee Ceng bebal tetapi sekarang ia dapat berpikir. "Baik aku merintangi
See Tok biar Ciu Toako membinasakan Kiu Cian Jin, kemudian berdua kita
mengepung si Bisa dari Barat ini."
Ia lantas mengambil putusannya. Ia juga bisa berkelahi dengan dua
tangannya seperti Pek Thong, maka sekarang ia menggunai ilmu silat yang
istimewa itu. Dengan tangan kanan ia menyerang ke dada, dengan tangan
kiri menyambut satu serangan. Tapi ketika tangannya bentrok. la
terkejut. Ia mengenali ia bentrok sama tangannya Pek Thong. Ia lantas
lompat, ingin ia menarik tangannya toako itu. Mendadak Pek Thong
bergerak mendahului ia, tangan kirinya ditarik pulang, tangan kanannya
menyerang. Inilah ia tidak sangka, maka tahu-tahu ia terhajar pundaknya.
ia merasa sakit dan kaget sekali.
"Ah, saudara yang baik, kau hendak menguji aku?" kata Pek Thong. "Hati-hatilah."
Dan dia menyerang pula dengan tangan kirinya. sekarang ini Kwee Ceng
telah bersedia, ia berhasil menangkis. Selagi Pek Thong dan Kwee Ceng
bertempur, Auwyang Hong juga bergebrak sama Kiu Cian Jin.
Cian Jin lantas berpikir, "Kita tidak bermusuh satu dengan lain tetapi
di Hoa-san nanti, kita bakal bentrok. Maka kalau sekarang aku dapat
menghajar dia, pasti itulah baik."
Maka itu ia menyerang dengan hebat. Hanya, baru beberapa jurus, dua-dua
ia dan See Tok mendapat pikiran yang serupa. Itulah disebabkan mereka
mendapat kenyataan Pek Thong bertempur sama Kwee Ceng. Mereka berpikir.
"Pek Thong ini tidak karuan lagaknya, kenapa sekarang aku tidak mau
memberi rasa padanya?" Maka itu, keduanya lantas menanti ketika yang
baik.
Setelah belasan jurus, Pek Thong mendapat tahu kemajuan Kwee Ceng. Ia
girang sekali, ia heran juga. Ia tanya, "Eh, saudara yang baik, dari
mana kau peroleh kepandaianmu?" suara di luar berisik sekali, Kwee Ceng
tidak mendengar, ia tidak menjawab. Pek Thong menjadi gusar. Ia tidak
ingat suara berisik itu.
"Baik" katanya. "Kau tidak mau memberitahukan aku Kau main gila, ya?"
Justru itu datang serangan berbareng dari Kiu Cian Jin dan Auwyang Hong.
Ia lantas lompat berkelit, terus ia kata kepada si anak muda. "Baiklah,
aku membiarkan kau sendiri melawan mereka." Benar-benar, ia tidak
melawan kedua penyerangnya. Ia digantikan Kwee Ceng, yang hendak
membelai padanya.
Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, yang mendapat tahu Ciu Pek Thong mundur,
lantas menyerang Kwee Ceng. Anak muda ini menjadi bingung. Tadi ia heran
atas serangannya Pek Thong. sekarang ia menghadapi dua musuh tangguh.
Satu Auwyang Hong saja sudah hebat. Tapi ia terpaksa mesti berkelahi.
Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Sesudah bertempur sekian lama, Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin menjadi
heran. Menurut mereka, siapa saja di antara mereka berdua, pasti akan
dapat mengalahkan Kwee Ceng, siapa tahu sekarang, mereka menampak
kesulitan. Ke mana mereka menyerang, si anak muda selalu dapat melayani.
Akhir-akhirnya, mereka menjadi kewalahan.
Ciu Pek Thong beristirahat di atas penglari. Ia tahu berapa lama sudah
Kwee Ceng telah menempur dua musuh yang tangguh itu. Ia pikir, ia perlu
lekas turun, untuk membantu, kalau tidak adik angkatnya itu bisa susah.
Lantas ia turun dengan diam-diam, ia bertindak berindap-indap ke
belakang Auwyang Hong. Di dalam gelap itu, ia sengaja menutup kedua
matanya. Hanya tangannya yang diajukan ke depan, guna menjambret.
Kebetulan ia melanggar punggungnya Auwyang Hong, yang lagi nongkrong
guna menyerang Kwee Ceng dengan ilmu Kodoknya.
See Tok terkejut, ia segera menyerang ke belakang. Kwee Ceng mendapatkan
tidak ada serangan, ia menendang Kiu Cian Jin, habis mana ia berlompat
mundur ke pojok. Kebetulan untuknya, Pek Thong datang pada waktunya yang
tepat, kalau tidak ia bisa celaka di tangannya si Bisa dari Barat. Ia
sudah bernapas memburu. Tapi ia tidak bisa beristirahat lama, segera ia
mesti menghadapi pula ketua dari Tiat Ciang Pay, sedang Ciu Pek Thong
menyambut Auwyang Hong. Atau mereka mesti saling ganti lawan. Yang lucu
adalah kalau Pek Thong bertempur pula sama adik angkatnya itu seperti
tadi. Di dalam gelap. sukar untuk mereka lekas saling mengenali.
Pek Thong gembira sekali dengan ini pertempuran kacau. Satu kali, selagi
melayani Kwee Ceng, ia kata kepada anak muda itu. "Tangan kita
masing-masing seperti melayani dua musuh, sekarang aku hendak mencoba,
kau melayani empat tangan. Kau anggap mereka berdua hanya satu orang."
Kwee Ceng tidak mendengar apa yang orang bilang hanya ia lantas merasa
ia seperti dikepung tiga orang. Tentu sekali, itulah berbahaya. Maka ia
lebih sering berkelit.
"Jangan takut, jangan takut," kata Pek Thong, yang ketahui orang lebih
banyak menolong diri dari pada membalas menyerang. “Jangan takut, kalau
ada bahaya, aku nanti bantu kau."
Loo Boan Tong boleh mengatakan demikian, tetapi mereka berada di tempat
gelap. Dia bisa terlambat, maka itu, Kwee Ceng menjadi letih pula,
sedang begitu ia merasakan tangan kedua lawannya semakin berat. Ia telah
memikir untuk lompat naik ke penglari, untuk beristirahat. Siapa tahu,
Pek Thong mendesak kepadanya. Ia kaget dan mendongkol, akhirnya ia kata
nyaring, "Ciu Toako, manusia tolol, perlu apa kau mengganggu aku?"
Percuma anak muda ini mengasih dengar suaranya, suara itu tak terdengar
Pek Thong. Di luar, suara pertempuran ada sangat berisik. Ia lantas
mundur. Tiba-tiba kakinya terpeleset, hampir ia roboh. Di saat itu
datanglah serangannya Kiu Cian Jin. Sambil terhuyung, ia memungut batu
yang ia injak itu, ia angkat tinggi ke dadanya, guna dipakai melindungi
tubuhnya. Maka itu, serangannya Cian Jin mengenai batu itu.
Menyusul itu datang serangannya Auwyang Hong, yang menuju ke kirinya. Ia
menggunai terus batunya. Kali ini sambil menangkis, ia melemparkan batu
keras sekali ke tinggi. Kesudahannya, batu itu membikin wuwungan
bolong, hingga di sana nampak sedikit cahaya terang dan bintang-bintang
di langit.
Pek Thong gusar melihat cahaya terang itu. Ia membentak "Sekarang segala apa tampak nyata Mana menggembirakan?"
Kwee Ceng merasa sangat letih la tidak memperdulikan teguran itu, bahkan
ia lompat tinggi sekali, noblos di wuwungan yang bolong itu. Auwyang
Hong berlompat naik, untuk menyusul.
"Jangan pergi! Jangan pergi!" Pek Thong berseru-seru. Mari menemani aku
bermain-main." Dan ia berlompat juga, guna menyambar kakinya See Tok.
Auwyang Hong kaget, ia menendang. Kakinya itu bebas, tetapi karena itu,
ia tidak dapat naik terus, ia mesti turun pula.
Kiu Cian Jin melihat keadaan orang, tanpa menanti si Bisa dari Barat
menginjak lantai, dia berlompat menendang ke dada, karena mana, Auwyang
Hong mesti membikin mengkerat dadanya itu, sambil menolong diri, ia juga
menotok ke kaki si penyerang. Karena ini, keduanya jadi bertarung pula.
Sekarang dengan adanya cahaya terang, orang bertempur dengan satu sama
lain bisa saling melihat. Hanya ketika itu, di luar, suara berisik telah
jadi semakin berkurang.
Ciu Pek Thong menjadi lenyap kegembiraannya, ia menjadi mendongkol,
karena uring-uringan, ia menyerang Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin, ia
menyerang dengan hebat sekali.
Kwee Ceng di lain pihak lari terus hingga ke luar dusun. ia telah
menyaksikan sisa kedua pihak tentara yang terluka dan terbinasa, ia pun
mendengar rintihan datang dari sana sini. ia tidak memperdulikan mereka,
ia hanya mencari satu tempat sunyi di mana ia segera merebahkan diri,
untuk beristirahat. Ia sangat letih, ia merasakan otot-ototnya dan
buku-buku tulangnya ngilu dan nyeri. Tanpa merasa ia tidur kepulasan.
Lama anak muda ini tidur, ketika besoknya pagi ia mendusin, ia mendusin
dengan kaget hingga ia berlompat bangun. Itulah disebabkan ia merasa
mukanya terusap-usap sesuatu. Ketika ia berlompat, ia berbareng
mendengar meringkiknya kuda, untuk girangnya ia melihat kuda merahnya,
yang datang padanya dan menjilati mukanya. Ia menjadi girang sekali ia
merangkul leher binatang itu.
Ketika si anak muda dikurung Auwyang Hong, kuda itu diumbar saja, dia
dapat hidup sendiri Tempo terjadi pertempuran tentara Kim dan tentara
Mongolia, dia menyingkir jauh, setelah kedua pihak tentara pergi, dia
mencari majikannya itu.
Dengan menuntun kudanya, Kwee Ceng berjalan perlahan-lahan kembali ke
dalam dusun. Sekarang ia melihat tegas sisa pertempuran, mayat serdadu
dan bangkai kuda, berserakan di sisi pelbagai senjata. Masih ada serdadu
yang terluka, yang merintih. Ia terharu sekali. Terpaksa ia tidak
menghiraukan segala itu, ia langsung kembali ke rumah batu. Sebelumnya
masuk. Ia memasang kuping dulu, lalu ia mengintai dari sela pintu.
Setelah tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat sesuatu, dengan
perlahan ia menolak daun pintu untuk bertindak masuk. Tidak ada orang di
situ, entah ke mana perginya Ciu Pek Thong, Auwyang Hong dan Kiu Cian
Jin bertiga. Untuk sejenak ia berdiri menjublak. Kemudian ia ke luar
dari dalam rumah, untuk naik kudanya, guna berangkat ke arah timur. Ia
melarikan binatang tunggangannya itu. Tidak lama ia berhasil menyandak
pasukan perangnya Jenghiz Khan.
Itu waktu Khoresmia telah terpukul hebat, pelbagai kotanya pecah atau
diserbu rusak. Angkatan perangnya hancur luluh, bahkan rajanya, shah
Ala-ed-Din, kabur entah ke mana. Tapi shah itu, atas titahnya Jenghiz
Khan, dicari terus oleh Subotai dan Jebe, yang menyusul ke arah Barat.
Jenghiz Khan sendiri berangkat pulang dengan kemenangannya itu.
Subotai berdua telah mengejar sampai di sebelah barat Moskwa, di dekat
kota Kiev, di tepi sungai Dnieper, di mana mereka telah melabrak
beberapa puluh ribu jiwa serdadu Russia dan Kimchak. Di mana pun mereka
menghukum hertog dari Kiev serta sebelas pangeran dengan jalan melindas
mereka dengan kereta. Ini dia yang dinamakan "Perang Kalka". Demikian
padang rumput Russia mengeluh di bawah injakan kaki kuda Mongolia.
Jenghiz Khan masgul dan cemas karena hilangnya Kwee Ceng di Samarkand.
Sekarang ia melihat si anak muda kembali, hatinya girang. Pula tak dapat
dikatakan girangnya putri Gochin Baki.
Khu Cie Kie tetap turut di dalam angkatan perang yang pulang ke timur
ini, saban-saban ia membujuk pendekar Mongolia itu untuk dia mencintai
rakyat dan mencoba mengurangi pembunuhan kepada musuh. Jenghiz Khan
sangat tidak menyetujui sikap imam ini tetapi karena ia tahu orang ada
orang berilmu, ia tidak mau terlalu menentang nasihat itu. Dengan
begitu, kata-katanya imam dari Coan Cin Kauw ini telah menolong banyak
sekali jiwa orang. Di dalam kitab Yuan-shih, jasanya Khu Cie Kie ada
tercatat jelas.
Untuk “pemerintah dunia", Cie Kie menasihati janganlah orang gemar
membunuh. Ditanya tentang cara memerintah, ia menganjurkan untuk
menghormati Thian dan mencintai rakyat.
Mengenai pertanyaan ilmu umur panjang, ia menasihati untuk membersihkan
hati dan mengurangi seggla nafsu keinginan. Karena ini, ia disebut
sin-sian atau dewa dan Jenghiz Khan menganjurkan putra-putranya
mencontoh imam ini. Ketika kemudian Mongolia menyerang negara Kim,
kembali Khu Cie Kie berhasil menolong banyak jiwa manusia.
Untuk pulang dari Khoresmia ke negerinya Jenghiz Khan memerlukan banyak
waktu. Ketika akhirnya ia tiba di negaranya, ia membuat pesta besar.
Terus ia memelihara tentaranya. Lewat lagi beberapa bulan, timbullah
keinginan pendekar ini maju pula ke selatan, guna menyerang bangsa Kim.
Untuk itu ia segera mengadakan rapat.
Di dalam rapat ini, Kwee Ceng menutup mulut. semenjak pulang, ia
senantiasa berduka. Sering seorang diri ia pesiar di tanah datar atau di
padang rumput, dengan menunggang kuda merahnya sambil membawa kedua
burungnya. Ada kalanya selama orang bicara, ia berdiam terbengong saja.
Semua ini disebabkan ia terlalu keras memikirkan Oey Yong yang lenyap
itu. Putri Gochin membujukinya. Ia tidak mengambil perduli, ia seperti
tidak mendengarnya. Orang tahu ia bersusah hati, sampai tidak ada yang
menyebut-nyebut urusan jodohnya. Demikian di harian rapat itu, selagi
lain orang bicara banyak ia berdiam saja.
Habis rapat, Jenghiz Khan menitahkan semua panglimanya mengundurkan
diri. Seorang diri ia berdiam di atas bukit, otaknya bekerja. Besoknya
pagi ia mengasih titah untuk angkatan perangnya maju di tiga jurusan,
untuk menyerang negeri Kim.
Tatkala itu Juji bersama Subotai masih ada di Barat, lagi mengurus
negara-negara taklukannya. Maka itu sekarang pasukan kesatu dikepalai
oleh Ogotai, putra nomor tiga. Pasukan kedua diserahkan di bawah
pimpinan Tuli, putra nomor empat. Kwee Ceng dapat tugas pula, untuk
memimpin pasukan ketiga.
Jenghiz Khan memanggil berkumpul ketiga kepala perangnya itu, ketika ia
mau bicara sama mereka itu, ia menitahkan semua pengiringnya
mengundurkan diri, lantas ia berkata. "Pasukan perang Kim dipusatkan di
Tongkwan. Kota itu sukar dipukul pecah karena keletakannya di selatan
nempel sama pegunungan dan di utara berbatas dengan sungai besar.
Pikiran dari pelbagai perwira pun tidak ada yang akur satu dengan lain.
Kalau kita maju dari depan, gerakan kita tentu bakal meminta tempo yang
lama. Maka itu aku pikir, jalan yang paling sempurna ialah kalau kita
bangsa Mongolia berserikat sama kerajaan Song. Aku pikir baiklah kita
meminjam jalan dari negara Song itu, ialah kita maju dari Tong-ciu dan
Teng-ciu untuk menuju langsung ke ibukota Kim, Tay- liang."
Mendengar itu, Ogotai, Tuli dan Kwee Ceng berlompat untuk saling rangkul, buat bersama-sama berteriak. "Bagus!"
Jenghiz Khan memandang Kwee Ceng sambil bersenyum. "Kau pandai mengatur
tentara, aku senang denganmu," kata pendekar ini. "Sekarang aku hendak
tanya kau, setelah Tay-liang kena dipukul pecah, bagaimana?"
Kwee Ceng menggeleng kepala. "Tidak menyerang Tay-liang," sahutnya.
Ogotai dan Tuli menjadi heran. Terang barusan ayah mereka menyebutnya
menyerang ibukota Kim itu. Kenapa sekarang Kwee Ceng membilang demikian?
Maka keduanya mengawasi dengan melongo. Jenghiz Khan sebaliknya tetap
bersenyum.
"Kalau tidak menyerang Tay- liang, bagaimana?" dia tanya pula.
Kwee Ceng menjawab dengan tenang. "Sudah tidak menyerang, bukannya juga
tidak menyerang. Menyerang tetapi tidak menyerang, tidak menyerang
tetapi menyerang." Kedua pangeran itu menjadi heran bukan main.
Jenghiz Khan tertawa, ia berkata pada si anak muda "Menyerang tetapi
tidak menyerang, tidak menyerang tetapi menyerang. Bagus kata-kata itu.
Nah, kau menjelaskanlah kepada semua kakakmu ini."
Kwee Ceng mengangguk. la berkata, "Aku dapat menerka siasat perang dari
Khan yang agung. Kita berpura-pura menyerang ibukota Kim, untuk membasmi
musuh di kaki tembok kota. Tay-liang ialah kota tempat kediaman raja
Kim, tetapi di sana tentara yang ditempatkan tidak banyak. jikalau kita
pergi ke sana. Pasti sekali raja Kim bakal segera mengirim pasukan dari
Tong-kwan untuk menolongnya. Tong-kwan terpisah jauh dari Tay-liang
kalau tentara dikirim cepat, tentara itu akan keburu lelah di tengah
jalan. Umpama kata tentara itu dapat tiba tepat, mereka tentulah tidak
kuat berperang. Dari itu tentara kita yang besar tinggal melabrak saja
kepadanya. Kita pasti menang Kalau bala bantuan musuh itu dapat dipukul
hancur, kota Tay-liang bakal jatuh tanpa diserang lagi. Sebaliknya kalau
langsung kita menyerang Tay-liang, itulah sulit, kita pun bisa digencet
musuh dari depan dan belakang."
Jenghiz Khan bertepuk tangan sambil tertawa lebar. "Bagus! Bagus!" pujinya.
Lantas raja ini mengeluarkan sehelai peta bumi, ia membeber itu di atas
meja, untuk ketiga panglima perangnya itu melihatnya. Menampak itu,
semua ketiga panglima itu heran bukan main. Peta itu ialah peta bumi
sekitar kota Tay- liang, di situ terlukis garis untuk dua pasukan
tentara - pasukan Mongolia dan musuh. Di situ pun tercatat jelas siasat
guna menyerang musuh, buat menghajar bala bantuan dari Tong-kwan selagi
bala bantuan itu baru tiba dan masih letih. Jadi cocoklah itu dengan
pikiran Kwee Ceng barusan. Kota Tay-liang mau diserang, toh tidak
diserang - kota itu tidak diserang, toh bakal dirampas.
Ogotai dan Tuli sating memandang, mereka memandang ayah mereka, lalu
mereka memandang Kwee Ceng. Pada wajah mereka terlukis nyata keheranan
dan kekaguman mereka.
Jenghiz Khan berkata pula, "Dengan penyerangan kita ke selatan kali ini,
sudah pasti negara Kim bakal kena dipukul pecah. Di sini ada tiga buah
surat tertutup, kamu bawalah seorang satu. Kalau nanti kota Tay-liang
sudah dipukul pecah, kamu berkumpul di istana Kim-loan-thian raja Kim,
di sana kamu membukanya dengan berbareng, lalu kamu bertindak menuruti
apa yang tertera di situ."
Sembari berkata, khan agung itu merogoh sakunya mengeluarkan surat
tertutup itu atau kim-long atau "kantong sulam", ia menyerahkannya
seorang satu. Kwee Ceng melihat surat itu tertutup dan tersegel, laknya
dicap dengan cap khan sendiri.
"Sebelum kamu memasuki kota Tay-liang, jangan kamu lancang membuka surat
tertutup ini." Jenghiz Khan memesan. "Maka itu, sebelumnya kamu
membuka, mesti kamu mengasih lihat satu pada lain, untuk diperiksa dulu
ada atau tidak tanda rusaknya." Ketiga panglima itu menjura seraya
berjanji akan mentaati pesan itu
"Kau biasanya lambat, kenapa sekarang kau cerdas dan sebat?" kemudian khan menanya Kwee Ceng.
Pemuda ini tidak mau mendusta, ia mengaku bahwa. ia telah membaca kitab
Gak Hui. Jenghiz Khan lantas menanyakan hal ikhwalnya Gak Hui dan si
anak muda menuturkannya. Gak Hui itu telah melabrak bangsa Kim di
Cu-sian-tin, hingga Gak Hui dipangil "Gak Yaya" alias " Kakek Gak",
sampai timbul sebutan, "Menggoncang gunung gampang, menggoncangkan
tentaranya Gak Hui sukar."
Mendengar itu, khan ini membungkam, ia jalan mondar-mandir di kemahnya
sambil menggendong tangan, kemudian ia menghela napas dan mengatakannya,
"Menyesal aku tidak terlahir pada seratus tahun dulu supaya aku bisa
bersahabat sama pendekar itu. Sekarang ini di dalam dunia ini siapakah
dapat menjadi tandinganku?"
Untuk sejenak itu, hati raja jago ini menjadi tawar sendirinya. Karena
menyesalnya, Kwee Ceng sendiri sekeluarnya dari kemah, sudah lantas
menuju langsung ke kemah ibunya. Saking repot sama tugasnya, sudah
beberapa hari ia tidak dapat ketika menjenguk orang tuanya itu. Besok ia
mau berangkat perang ke selatan, guna membalas sakit hati negara, jadi
hari itu perlulah ia menemani ibunya. Ketika ia sampai di kemah, ia
mendapat sebuah kemah kosong, segalanya sudah dibawa pergi. Cuma seorang
serdadu tua menjaga di situ. Atas pertanyaan, serdadu itu
memberitahukan bahwa atas perintah khan agung, ibunya sudah pindah ke
lain kemah. Setelah menanya jelas, ia pergi terus ke kemah yang
disebutkan itu. Ia lantas mendapatkan sebuah kemah besar, yang beberapa
lipat lebih besar dari kemah yang lama tadi. Dan begitu ia menyingkap
pintu, ia terbengong. Di situ terlihat banyak barang berharga yang
bergemerlapan, yang tentara Mongolia dapat merampas dari musuh. Putri
Gochin juga berada di situ tengah menemani ibunya, yang lagi menutur hal
ikhwal ia sendiri di waktu masih kecil. Menampak si anak muda, putri
itu berbangkit menyambut sambil bersenyum.
"Ibu," Kwee Ceng memanggil. "Dari mana semua ini?"
"Khan agung membilang selama berperang di Barat, kau berjasa besar, maka
semua ini ialah hadiah untukmu," sahut sang ibu. "Sebenarnya kita sudah
terlalu biasa dengan penghidupan kecil, semua ini tidak ada perlunya
untuk kita."
Di kemah itu ada tambah delapan budak. untuk merawati Lie Peng. Semua
mereka ada budak-budak asal rampasan, maka itu bisa dimengerti kalau
mereka ada dari kalangan bangsawan.
Ketiganya lantas duduk memasang omong. Tidak lama, putri Gochin
mengundurkan diri. Ia tahu, anak itu tentu mau bicara banyak sama
ibunya, ia tidak mau mengganggu mereka. Hanya, lama ia menantikan di
luar, ia tidak melihat si anak muda ke luar.
"Anak Ceng," berkata Lie Peng. "Putri menantikan kau di luar, pergi kau bicara sama dia."
Kwee Ceng menyahut. “Ya,” tapi ia tidak bergerak dari tempatnya duduk.
Lie Peng menghela napas, ia berkata. "Sudah dua puluh tahun kita tinggal
di Utara ini. Meski pun benar khan agung sangat memperhatikan kita,
tapinya aku sangat ingin pulang. Maka itu semoga kau berhasil
memusnahkan negara Kim, supaya kita berdua bisa lekas kembali ke kampung
halaman kita. Kita tinggal tetap di Gu-kee-cun, di tempat kediaman lama
dari ayahmu. Kau bukannya seorang yang kemaruk harta dunia dan
keagungan, jadi tak usahlah kau datang pula ke sini. Hanya urusan putri
yang sedikit sulit."