"Suhu," kata Oey Yong kemudian. "Di dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu,
pihak sana pasti bakal mengundang Auwyang Hong, benar Loo Boan Tong
tidak bakal kalah tetapi dia berandalan, dia suka mengacau, aku khawatir
nanti timbul keonaran, maka itu aku pikir perlu kita pergi ke Tho Hoa
To untuk mengundang ayahku. Dengan begitu barulah kita akan merasa pasti
akan kemenangan kita!"
"Kau benar," berkata Cit Kong. "Biar aku yang pergi dulu ke Kee-hin dan kamu berdua pergi ke Tho Hoa To."
"Baiklah kita pergi bersama dulu ke Kee-hin," kata Kwee Ceng. Ia berkhawatir untuk gurunya itu.
"Tidak usah, biar aku pergi sendiri," kata guru itu. "Aku akan
menunggang kudamu. Umpama kata ada orang jahat, aku dapat
mengaburkannya. Siapa dapat menyusul aku?" Ia lantas lompat naik ke
punggung kuda, di mana ia menenggak araknya. Ketika ia menjepit kedua
kakinya, kuda itu berpekik menghadapi Kwee Ceng, terus dia kabur ke arah
utara.
Pemuda itu mengawasi gurunya sampai guru itu lenyap dari pandangan
matanya, lantas dia mengingat sikap Kwa Tin Ok, gurunya yang ke satu itu
dari pihak Kanglam Cit Koay, ia menjadi sangat berduka.
Oey Yong tahu orang bersusah hati, ia tidak membujuki, hanya ia terus
menyewa perahu, untuk mengajak orang menaikinya, guna berangkat ke Tho
Hoa To. Di dalam perjalanan ini, mereka tidak mengalami sesuatu, maka
mereka tiba dengan tidak kurang suatu apa di pulau yang dituju. Setelah
mendarat dan membayar sewaan perahu, hingga si tukang perahu lantas
pergi, baru ia kata kepada kawannya. "Engko Ceng aku hendak memohon
sesuatu kepadamu, kau suka meluluskan atau tidak?"
"Kau sebutkan dulu, aku mendengarnya," menyahut si anak muda, "Jangan nanti soal yang aku tidak dapat melakukannya."
Oey Yong tertawa.
"Aku bukannya minta kau memotong kepalanya ke enam gurumu itu!" katanya.
Pemuda itu tidak puas.
"Perlu apa kau menimbulkan urusan itu, Yong-jie?" ia tanya.
"Kenapa aku tidak menimbulkannya?" si nona balik menanya. "Mungkin kau
dapat melupakan itu, aku tidak! Biarnya aku baik dengan kau tetapi aku
tidak suka kepalaku dipotong olehmu ……"
Anak muda itu menarik napas panjang.
"Sungguh aku tidak mengerti kenapa toasuhu demikian gusar…" katanya.
"Toasuhu ketahui baik sekali kaulah orang yang aku cintai. Biar aku
mesti mati seribu atau selaksa kali, tidak nanti aku sudi melukai kau
biar bagaimana kecil juga."
Oey Yong bersyukur. Ia menarik tangan si anak muda, ia menyenderkan tubuhnya ke tubuhnya.
"Engko Ceng, apakah kau anggap Tho Hoa To ini bagus?" ia tanya. Ia
menunjuk ke barisan pohon yangliu di tepi air. Perlahan suaranya.
"Mirip tempat dewa-dewi," Kwee Ceng menyabut.
Si nona menarik napas.
"Ingin aku tinggal hidup di sini, tidak sudi aku di bunuh kau…" bilangnya.
Kwee Ceng mengusap-usap rambut nona itu.
"Anak tolol! Mana dapat aku membunuh kau…"
"Bagaimana kalau kau didesak enam gurumu, ibumu dan sekalian sahabatmu? Kau turun tangan juga atau tidak?"
"Biar semua orang di seluruh jagat memusuhkan kau, aku tetap akan melindungimu!" berkata si anak muda.
Oey Yong memegang keras tangan orang.
"Untukku, kau suka mengorbankan segala apa bukan?" ia tanya.
Kwee Ceng berdiam, agaknya ia bersangsi.
Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengawasi mata orang. Sinar mata itu menunjuki roman kedukaan atau ragu.
"Yong-jie," kata si anak muda kemudian. "Aku telah bilang padamu aku
suka berdiam di Tho Hoa To untuk menemani kau seumur hidupku, ketika aku
mengatakan itu, aku telah mengambil keputusanku."
"Bagus!" si nona berseru. "Mulai hari ini, kau tidak akan meninggalkan pulau ini!"
Kwee Ceng heran.
"Mulai hari ini?" dia tanya.
"Ya, mulai hari ini!" berkata si nona. "Aku akan minta ayah pergi ke Yan
Ie Lauw untuk membantu pihakmu, aku bersama ayah nanti pergi membunuh
Wanyen Lieh guna membalaskan sakit hatimu, habis itu aku bersama ayahku
nanti pergi ke Mongolia menyambut ibumu! Bahkan, akan aku minta ayah
menemui keenam gurumu guna memohon maaf untukmu. Aku hendak membikin
supaya hatimu lega dan tidak ada apa-apa lagi yang harus dipikirkan!"
Kwee Ceng heran. Aneh sekali sikapnya nona ini.
"Yong-jie, apa yang aku bilang, semua itu kata-kataku," ia bilang. "Kau baiklah bertetap hati."
Si nona menghela napas.
"Urusan di dalam dunia ini banyak yang sukar dibilang pasti," ia
berkata. "Ketika dulu hari kau menerima baik perjodohan putri Mongolia
itu, mana kau pernah ingat bahwa hari ini kau bakal menyangkal dia. Juga
aku sendiri, aku pikir aku dapat melakukan segala apa sesukaku.
Sekarang baru aku tahu …… Ah, apa yang kita pikir baik, Thian justru
pikir sebaliknya."
Kedua matanya si nona menjadi merah, lekas-lekas ia tunduk.
Kwee Ceng pun berdiam, pikirnya bekerja. Ingin ia menemani Oey Yong
seumur hidup di pulau Tho Ho To ini, tetapi berat untuk meninggalkan
semua urusan di dalam dunia, itulah tidak sempurna. Hanya kenapa ia
tidak dapat menyebutnya.
"Aku bukannya tidak percaya kau dan hendak memaksa kau berdiam di sini,"
si nona berkata pula sesaat kemudian, perlahan, "Hanya… hanya… Di dalam
hatiku, aku sangat takut…" Ia lantas mendekam di pundak anak muda itu,
ia menangis.
Kwee Ceng bengong. Inilah ia tidak sangka. Ia juga heran.
"Kau takut apa, Yong-jie?" ia tanya.
Si nona tidak menjawab, ia hanya menangis terus.
Kwee Ceng menjadi semakin heran. Semenjak mengenal si nona, biar
bagaimana hehat pengalaman mereka, belum pernah nona itu menangis, dia
lebih banyak tertawa, tetapi sekarang, sepulangnya ke pulaunya ini?
Inilah kampung halamannya. Apakah yang dia buat takut? Bukankah dia
justru bakal segera bertemu sama ayahnya?
"Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan ayahmu?" ia tanya akhirnya.
Oey Yong menggoyangi kepala.
"Apakah kau takut, kalau aku meninggalkan Tho Hoa To, lantas aku tidak kembali?"
Oey Yong menggeleng kepala pula. Dan ini dilakukan terus meski si anak muda menanya pula ia hingga empat atau lima kali.
Maka berdiamlah mereka sekian lama.
"Engko Ceng," kata si nona kemudian seraya mengangkat kepalanya
mengawasi si anak muda. "Aku takut tetapi tidak dapat aku mengatakan apa
sebabnya… Kalau aku ingat sikap dan romannya gurumu tempo ia hendak
membinasakan aku, aku jadi bingung sekali. Aku menjadi khawatir, akan
ada satu harinya yang kau nanti mendengar perintah gurumu itu hingga kau
membunuh aku… Maka itu aku minta kau jangan meninggalkan lagi pulau
ini. Kau berjanjilah!"
Kwee Ceng tertawa.
"Aku kira urusan besar bagaimana, tak tahunya urusan begini!" katanya.
"Ingatkah kau kejadian dulu hari di Pakkhia ketika keenam guruku
mengatai kau sebagai siluman? Ketika itu aku ikut kau pergi, lalu
akhirnya tidak terjadi apa-apa. Memang roman keenam guruku itu bengis
tetapi hati mereka baik, maka kalau nanti kau sudah mengenal baik
mereka, mereka tentulah akan menyukaimu …… Jiesuhu lihay ilmunya merabai
saku orang, nanti kau boleh belajar padanya. Tentang Citsuhu, ia sangat
halus dan sabar ……"
Tapi si nona memotong, "Dengan begitu, artinya kau mau meninggalkan pulau ini?"
"Kita meninggalkannya bersama-sama," berkata si anak muda. "Kita
sama-sama pergi ke Mongolia untuk menyambut ibuku. Kita bersama-sama
membunuh Wanyen Lieh. Lalu bersama-sama juga kita pulang! Bukankah itu
bagus?"
Si nona melongo.
"Kalau begitu, tidak dapat untuk selamanya kita pulang bersama dan tidak
dapat juga untuk selamanya berada bersama," katanya selang sesaat.
Kwee Ceng menjadi heran.
"Kenapa begitu?" ia tanya.
"Aku tidak tahu," si nona menggeleng kepala. "Jikalau aku melihat
romannya toasuhumu, aku dapat menerka sesuatu. Untuk dia, tidak cukup
dia mengutungi saja kepalaku! Dia membenci aku sampai di dalam
tulang-tulangnya!"
Kwee Ceng melihat orang bicara secara sungguh-sungguh, nona itu jadi
sangat berduka. Ia jadi memikir. Tanpa merasa, ia pun berkhawatir. Ia
ingat pula sikap gurunya yang kesatu yang sangat bengis itu.
"Dia biasa pandai berpikir," katanya di dalam hati, "Kalau sekarang aku
tidak turuti dia dan kemudian kekhawatirannya terbukti bagaimana nanti
jadinya?" Ia jadi sangat berduka. Tapi ia pun dapat mengambil
putusannya. Maka ia kata, "Baiklah, aku tidak akan berlalu dari sini!"
Mendengar itu, Oey Yong bengong mengawasi pemuda itu, air matanya meleleh dari kedua belah pipinya.
"Yong-jie, kau menghendaki apa lagi?" tanya si pemuda perlahan.
"Aku menghendaki apa lagi?" menyahut si nona. "Apa juga aku tidak
menghendaki pula." Lantas sepasang alisnya yang bagus bergerak, lantas
dia tertawa. Ia kata pula, "Kalau aku menghendaki apa-apa lagi, Thian
juga tidak bakal meluluskannya!"
Saking gembiranya, lantas di situ dia menari-nari, tangan bajunya yang
panjang berseliweran, gelang emasnya berkilauan. Kadang-kadang ia
menyambar-nyambar pohon dengan bunganya berwarna merah, putih kuning dan
ungu, hingga dia mirip seekor kupu-kupu Tiba-tiba ia berlompat naik ke
atas pohon, ke pohon yang lain, kembali lagi. Dalam kegembiraannya itu
ia bersilat dengan Yan Siang Hui dan Lok Eng Ciang.
Menyaksikan si nona, Kwee Ceng seperti ngelamun, "Dulu ibu mendongeng
kepadaku bahwa di laut Tang Hay ada sebuah gunung dewa, bahwa di atas
gunung itu ada sejumlah dewinya. Mustahilkah di dunia ada gunung dewi
yang terlebih indah dari pada pulau Tho Hoa To ini? Mungkinlah benar ada
dewi yang melebihkan cantiknya Yong-jie?" Ia sadar ketika mendadak Oey
Yong berseru seraya terus lompat turun, tangannya menggapai padanya
seraya dia terus lari ke depan, nerobos di antara rimba.
Kwee Ceng menyusul. Ia pun khawatir nanti kesasar.
Oey Yong lari berliku-liku sampai ia berhenti dengan mendadak.
"Apakah itu?" tanyanya seraya tangannya menunjuk ke depan di mana ada benda bertumpuk.
Kwee Ceng mendahului maju. Itulah seekor kuda yang lagi rebah. Bahkan ia
lantas mengenali itulah kudanya Han Po Kie, samsuhu atau gurunya yang
nomor tiga. Ia mengulur tangannya memegang perut kuda itu. Dingin
rasanya. Terang sudah kuda itu telah mati lama. Berbareng heran, Kwee
Ceng berduka. Kuda ini pernah turut pergi ke gurun pasir dan dengannya
Kwee Ceng kenal sejak ia masih kecil.
"Boleh dibilang inilah kuda luar biasa dan kuat, kenapa dia mati di
sini?" si anak muda berpikir. "Tentu sekali samsuhu sangat berduka…"
Mengawasi lebih jauh, Kwee Ceng dapat memperhatikan, kuda itu bukan mati
rebah melonjor hanya keempat kakinya tertekuk meringkuk. Ia terkejut.
Ia lantas ingat kudanya Gochin Baki, yang terbinasa dihajar Oey Yok Su.
Kuda putri itu mati melingkar, mirip dengan kuda ini. Maka dengan tangan
kirinya ia mengangkat lehernya kuda itu dan dengan tangan kanannya
meraba dua kaki depannya. Untuk kagetnya, ia mendapatkan
tulang-tulangnya kuda itu remuk. Ia lantas meraba punggung kuda itu.
Tulang punggung itu juga patah! Ketika ia mengangkat tangannya, ia
melihat tangannya itu berlepotan darah - darah yang sudah berubah
menjadi hitam tetapi bau amisnya masih ada. Mungkin sudah tiga empat
hari matinya kuda itu.
Oleh karena penasaran, Kwee Ceng membalik tubuh binatang itu, untuk
memeriksa. Ia tidak mendapatkan luka di luar. Saking heran, ia duduk
dengan menjatuhkan diri di tanah, hatinya bekerja, "Mungkinkah ini
darahnya samsuhu? Habis di mana adanya guruku itu?"
Sekian lama Oey Yong berdiam di samping menyaksikan kelakuannya Kwee
Ceng, ia pun heran, tetapi ia dapat menenangkan diri. Maka kemudian ia
kata; "Kau jangan bergelisah. Mari kita memeriksanya dengan
perlahan-lahan ……"
Nona ini maju, ia mementang kedua tangannya membiak pohon-pohon bunga,
sembari jalan ia memperhatikan tanah. Kwee Ceng mengikuti, ia juga
mengawasi ke tanah, maka terlihat olehnya titik-titik yang disebabkan
berceceran darah. Saking ketarik dan tegang hatinya, ia sampai melupai
jalan yang sesat, ia mendahului si nona, dari jalan perlahan, ia menjadi
membuka tindakan lebar. Tidak heran kalau beberapa kali ia kesasar.
Oey Yong berlaku teliti, ia berjalan hingga di gombolan rumput, di
pinggir batu karang. Di situ tanda darah itu sebentar kedapatan sebentar
lenyap. Ia memeriksa dan melihat tapak serta bulu kuda.
Tanpa mengenal capai, mereka berjalan terus hingga beberapa lie, sampai
di depan sekumpulan pohon bunga dan pepohonan lain di mana ada sebuah
kuburan. Melihat itu Oey Yong lari menghampirkan.
Ketika dia pertama kali datang ke Tho Hoa To, Kwee Ceng pernah melihat
kuburan itu, yang ia masih mengenalinya. Itulah kuburan dari ibunya si
nona. Hanya kali ini, kuburan itu tidak utuh seperti dulu hari itu. Batu
nisannya telah roboh. Ia maju untuk mengangkat itu. Ia membaca tulisan
batu peringatan itu. Ibunya Oey Yong ada orang she Phang. Terang tulisan
itu ada tulisan Oey Yok Su - tulisannya bagus dan tegak.
Oey Yong melihat pintu pekuburan telah terpentang lebar-lebar. Ia merasa
pasti bahwa di pulaunya ini sudah terjadi sesuatu. Tadi pun ketika dari
atas pohon ia melihat melingkarnya kuda, hatinya sudah bercekat. Ia
tidak lantas bertindak masuk. Lebih dulu ia memasang mata ke sekitar
kuburan. Di kiri kuburan, rumput hijaunya bekas diinjak-injak. Di muka
pintu terlihat bekas-bekas senjata beradu. Ia memasang kuping. Ia tidak
mendengar suara apa-apa. Maka dengan membungkuk, ia masuk di pintu.
Kwee Ceng berkhawatir, ia mengikuti masuk.
Begitu berada di dalam, muda-mudi ini merasakan hati mereka tegang.
Lebih-lebih si pemuda. Bukankah itu kuburan ibunya Oey Yong? Tembokan
pada gugur atau gugus, bekas terhajar senjata tajam akibat suatu
pertempuran dahsyat.
Oey Yong memungut suatu barang ketika ia mulai bertindak masuk. Kwee
Ceng mengenali itulah batang timbangan atau dacin, yang menjadi senjata
gurunya keenam, Coan Kim Hoat. Timbangan itu terbuat dari besi,
ukurannya sebesar lengan, tetapi toh orang dapat mematahkannya menjadi
dua. Maka berdua mereka saling mengawasi, mulut mereka bungkam, mereka
seperti tidak berani membuka mulut. Mereka tahu, cuma ada beberapa
gelintir orang yang tenaganya kuat istimewa dan untuk di Tho Hoa To,
orang itu melainkan Oey Yok Su…
Kwee Ceng menyambut dari tangan Oey Yong potongan dacin itu, ia lantas
mencari potongan yang lainnya, sembari mencari ia merasakan hatinya
tertindih berat sekali. Ia bersangsi, ingin ia mencari dapat, ingin ia
tidak dapat mencarinya…
Lebih jauh ke dalam, tempat kuburan itu menjadi terlebih suram. Kwee
Ceng lantas membungkuk, tangannya meraba-raba ke tanah. Mendadak
tangannya itu membentur sesuatu yang keras, yang lantas ternyata adalah
batu timbangan, batu mana dapat dipakai Kim Hoat sebagai senjata rahasia
untuk menimpuk. Hatinya berdebaran. Ia masuki gandulan itu ke sakunya,
ia maju lehih jauh.
Untuk terkesiapnya hatinya, Kwee Ceng kena meraba benda yang dingin
tetapi lunak. Ia meraba-raba. Akhirnya ia kaget hingga ia berlompat
bangun, ia kena pegang muka orang. Justru ia lompat, justru – duk ……!
Kepalanya membentur langit kuburan itu. Tapi di saat seperti itu, ia
melupakan nyeri. Maka ia lantas mengeluarkan bahan apinya dan menyalakan
itu. Begitu dapat melihat, begitu ia menjerit, begitu ia roboh pingsan!
Api di tangannya pemuda itu tidak padam. Dengan cahaya api itu, Oey Yong bisa melihat tegas.
Coan Kim Hoat rebah terlentang sebagai mayat, kedua matanya terbuka
besar. Di dadanya nancap potongan yang lain dari dacinnya itu. Maka
sekarang duduknya hal telah menjadi terang.
Oey Yong kaget tetapi ia mencoba menentramkan diri. Dari tangannya Kwee
Ceng ia mengambil api, dengan itu ia mengasapi hidungnya si anak muda.
Itulah daya untuk menyadarkan orang pingsan.
Tidak lama, anak muda itu berbangkis dua kali, lantas ia mendusin. Ia
membuka matanya mengawasi si pemudi. Kemudian ia bangun, untuk berdiri.
Tanpa membilang suatu apa, ia masuk lebih jauh. Oey Yong mengikuti.
Di ruang dalam, yang merupakan liang kubur asli, segala apa kacau. Meja
sembahyang pecah ujungnya. Pikulan besi dari Lam Hie Jin nancap di
lantai. Di pinggir kiri kamar itu, rebah melintang tubuh satu orang,
ikat kepalanya robek, sepatunya copot. Dengan melihat dari punggung saja
sudah dapat dikenali dialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa
Tangan Lihay.
Dengan tindakan perlahan, Kwee Ceng menghampirkan. Ia membalik tubuhnya
jiesuhu itu, gurunya yang nomor dua. Ia melihat bibir yang bersenyum,
tapi yang sudah dingin, seperti dinginnya seluruh tubuhnya. Maka anehlah
senyumannya Kanglam Cit Koay yang kedua ini.
"Jiesuhu, teecu Kwee Ceng datang!" kata si anak muda perlahan. Setelah
itu dengan berhati-hati, ia mengangkat tubuhnya guru itu, atau -
tingtang! Ia mendengar suara barang jatuh saling susul. Itulah jatuhnya
dari sakunya banyak barang permata, seperti batu kumala, yang berserakan
di lantai.
Oey Yong menjumput beberapa potong barang permata itu, untuk
ditelitikan. Segera ia melemparkannya pula, dengan dingin, ia berkata,
"Ini permata mulia yang dikumpul ayahku yang disengaja dipakai untuk
menemani ibuku!"
Kwee Ceng terkejut. Ia menoleh kepada kekasih itu. Ia menjadi lebih
kaget pula. Di samping suara dingin dan tak sedap dari nona itu, ia
melihat sinar mata yang mencorong tajam dan bengis, dari mata yang merah
bagaikan darah.
"Apakah kau maksudkan guruku datang ke mari mencuri permata ini?" ia menanya perlahan.
Mata si pemudi menatapsi pemuda akan tetapi dia ini tidak dapat mundur,
dia bahkan mengawasi, hanya sekarang sinarnya berubah. Itulah sinar mata
dari putus asa, dari kedukaan.
"Guruku yang kedua seorang laki-laki sejati," kata Kwee Ceng. "Mana
mungkin dia mencuri harta ayahmu? Lebih-lebih tak mungkin dia mencuri
barang permata di dalam kuburan ibumu ini!"
Oey Yong mendengar nada orang, dari gusar menjadi berduka.
Memang juga pikiran Kwee Ceng berubah dengan perlahan-lahan. Ia
menyangka si nona menuduh gurunya itu, seorang ksatria, ia menjadi tidak
senang, ia menjadi gusar. Segera setelah itu, ia memikir kepada
kenyataan. Bukankah gurunya itu terkenal sebagai si tangan lihay, yang
sangat pandai mencopet? Bukankah semua permata itu meluruk dari sakunya
guru itu? Bukankah mereka justru berada di dalam liang kubur di mana
harta itu disimpan? Tapi, benarkah gurunya datang ke situ untuk mencuri?
Bukankah guru itu laki-laki sejati? Ia menyangsikan gurunya berbuat
demikian busuk dan hina. Maka ia menduga kepada sesuatu yang di luar
dugaannya. Dalam kesangsian itu, antara kegusaran dan kedukaan dan
keragu-raguan ia mengepal keras tangannya hingga terdengar suara
meretek.
Oey Yong masih mengawasi lalu ia berkata dengan perlahan. "Ketika itu
hari aku melihat air mukanya gurumu yang nomor satu, aku merasa aneh
sekali, aku lantas seperti dapat firasat bahwa di antara kita berdua
sulit ada akhir yang baik, yang membahagiakan. Jikalau kau hendak
membunuh aku, sekarang kau boleh turun tangan. Ibuku ada di sini, maka
kau tolong saja mengubur aku di sisinya. Setelah selesai kau mengubur
aku, kau mesti lekas mengangkat kaki dari sini, supaya jangan sampai kau
bertemu dengan ayahku ……"
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia jalan mondar-mandir, tindakannya lebar dan cepat, napasnya pun memburu.
Oey Yong berdiam. Ia mengawasi ke gambar lukisan dari ibunya. Ia melihat
sesuatu di situ, ia lantas menghampirkan. Nyata itulah dua senjata
rahasia yang nancap. Ia menurunkan itu.
Kwee Ceng melihat senjata itu, ia mengenali tok-leng, atau lengkak rahasia, dari Kwa Tin Ok.
Oey Yong terus berdiam, tangannya menyingkap toh-wie di belakang meja
sembahyang. Di situ ada pernahnya peti mati dari ibunya. Ketika ia
menghampirkan, mendadak ia menghela napas panjang. Di belakang peti mati
ibunya itu rebah dua mayat dari kakak beradik, atau engko dan adik. Han
Po Kie dan Han Siauw Eng. Siauw Eng itu terang telah membunuh diri,
sebab tangannya masih memegang gagang pedang. Tubuh Po Kie sendiri
menindih peti mati. Hanya yang hebat, batok kepalanya telah meninggalkan
liang bekas lima jari.
Kwee Ceng telah melihat kedua mayat itu. Ia sekarang bisa berlaku
tenang. Ia memondong turun tubuh gurunya yang ketiga itu, seorang diri
ia berkata, "Aku melihat sendiri kematiannya Bwee Tiauw Hong. Di kolong
langit ini, orang yang pandai Kiu Im Pek-kut Jiauw, siapa lagi kecuali
Oey Yok Su?" Ia mengambil pedangnya Siauw Eng, terus ia bertindak ke
luar, ketika ia melewati Oey Yong, ia tidak berpaling lagi pada nona
itu.
Nona Oey merasa hatinya dingin secara tiba-tiba. ia terdiam. Justru itu,
ruang itu menjadi gelap, sebab apinya padam. Ia kaget, hatinya
berdebaran. Itulah kuburan yang ia kenal baik, tetapi di situ sekarang
rebah empat mayat dalam caranya yang berlainan, yang mengerikan, maka ia
lantas lari ke luar. Satu kali ia terpeleset, hampir ia roboh.
Setibanya di luar baru ia ingat bahwa ia kesandung tubuhnya Coan Kim
Hoat. Sekarang ia melihat batu nisan yang roboh. Ia hendak menutup pintu
kuburan ketika ia ingat satu hal. Ia lantas kata pada dirinya sendiri,
"Kalau ayah yang membunuh keempat anggota Kanglam Cit Koay ini, kenapa
pintu ini tidak dikunci? Ayah sangat mencintai ibu, biarnya ia sangat
kesusu, tidak nanti ia membiarkan pintu tinggal terpentang?" Maka ia
menjadi ragu-ragu. Ia menjadi ingat pula, "Cara bagaimana ayah dapat
membiarkan mayat keempat orang ini menemani ibu? Tidak mungkin!
Mungkinkah ayah sendiri yang nampak sesuatu yang tidak dinyana?"
Lantas Oey Yong membetulkan batu nisan itu, ia mengunci pintunya, ialah
dengan mendorong batu nisan ke kanan tiga kali dan ke kiri tiga kali
juga, habis itu ia lari ke arah rumahnya. Ia dapat menyusul Kwee Ceng
meskipun si anak muda telah ke luar lebih dulu beberapa puluh tindak.
Anak muda itu berputaran karena kesasar. Kapan dia melihat si nona, dia
lantas mengikuti. Mereka berjalan tanpa membuka suara, mereka melintasi
pengempang, sampai di rumah peranti bersemedi dari Oey Yok Su. Hanya
sekarang rumah itu roboh tidak karuan, di bagian depan terlihat
tiang-tiang dan penglari yang patah.
Oey Yong kaget sampai ia menjerit-jerit. "Ayah! Ayah!" Dia lari ke dalam
rumahnya. Di situ kursi meja pada terbalik dan segala perabot tulis,
buku semua berserakan di lantai. Di situ tidak ada sekalipun bayangannya
Oey Yok Su.
Nona ini berotak tajam, dia cerdas dan lekas berpikir, tetapi kali ini
pikirannya kacau. Ia memegang meja tulis ayahnya, tubuhnya
bergoyang-goyang mau jatuh. Sampai sekian lama, baru ia bisa menetapkan
hati. Ia lari ke samping, ke kamarnya budak-budaknya yang gagu, sia-sia
belaka ia mencari, ia tidak dapat menemukan seorang budak juga. Di dapur
sunyi semua. Rupanya, meski orang tidak mati, semua telah pergi entah
ke mana. Rupanya di pulau itu, kecuali mereka berdua, tidak ada orang
lainnya lagi…
Dengan tindakan perlahan Oey Yong menuju ke kamar tulis, di sana Kwee
Ceng berdiri menjublak, matanya mengawasi lempang ke depan.
"Engko Ceng, lekas kau menangis!" berkata si nona. "Kau menangis dulu, baru kita bicara!"
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya dengan mata mendelik ia mengawasi nona
itu. Ia sangat mencintai keenam gurunya, sekarang ia mendapat pukulan
begini hebat, kedukaannya sampai di puncaknya hingga tak dapat ia
menangis.
Oey Yong kaget.
"Engko Ceng!" katanya. Cuma sebegitu ia bisa bilang, lantas ia berdiam.
Keduanya berdiri saling mengawasi.
Akhirnya si anak muda ngoceh seorang diri "Tidak dapat aku membunuh Yong-jie, tidak dapat aku membunuh Yong-jie!"
Oey Yong lantas berkata, "Gurumu telah mati, kau menangislah!"
"Tidak, aku tidak menangis!" kata Kwee Ceng seorang diri.
Kembali keduanya berdiam. Sunyi kamar tulis itu. Cuma di kejauhan terdengar samar-samar suara berdeburnya gelombang.
Oey Yong berpikir keras, ia mengingat segala apa, tetapi tetap ia berdiam.
"Aku mesti mengubur dulu guru-guruku ……" Kemudian terdengar Kwee Ceng mengoceh pula.
"Benar, semua guru mesti dikubur lebih dulu!" menimpali Oey Yong. Bahkan ia mendahului berjalan kembali ke kuburan ibunya.
Tanpa bersuara, Kwee Ceng mengikuti, selagi si nona hendak mendorong
batu nisan, mendadak ia lompat melewati, terus ia menendang batu nisan
itu. Ia menggunai tenaga besar tetapi batu besar dan berat, ia tidak
dapat menggempur roboh, sebaliknya, kakinya yang berdarah, hanya ia
tidak merasakan itu. Bagaikan kalap, ia menyerang kalang kabutan dengan
pedangnya, menikam dan menebas, dan tangan kirinya juga menghajar,
hingga batu gugur dan gugusannya terbang berhamburan. Pedangnya tak
tahan, pedang itu patah. Ia menjadi panas, maka ia terus menyerang
dengan tangannya. Kali ini ia berhasil membikin batu patah, hingga
terlihat sebatang besi. Ia pegang besi itu, ia menggoyang-goyang keras.
Dengan satu suara nyaring, besi itu membuatnya pintu kuburan terbuka
sendirinya. Ia melengak, ia kata seorang diri; "Kecuali Oey Yok Su,
siapa dapat membikin pintu rahasia ini dan siapa dapat memancing semua
guruku masuk ke dalam kuburan hantu ini?" Lalu dia berdongak dan berseru
nyaring, terus ia melemparkan pedang buntungnya, untuk lari masuk ke
dalam kuburan itu!
Oey Yong mengawasi pedang buntung dan batu nisan yang patah, yang
terkena darahnya si anak muda, ia bengong, hatinya bekerja. Ia melihat
kebencian hebat dari Kwee Ceng itu. Ia pikir; "Jikalau dia melampiaskan
hawa marahnya dengan merusak peti ibuku, lebih dulu aku akan membunuh
diri dengan membenturkan kepalaku kepada peti ……" Lantas ia hendak
menyusul pemuda itu atau ia melihat Kwee Ceng berjalan ke luar dengan
memondong tubuhnya Coan Kim Hoat, setelah meletaki tubuh itu, dia masuk
pula, akan mengambil mayat Cu Cong. Perbuatan itu dilanjutkan kepada
mayat Han Po Kie dan Han Siauw Eng.
Dengan mata mendelong, Oey Yong mengawasi si anak muda pada air muka
siapa kentara sekali cintanya kepada guru-gurunya itu. Hatinya menjadi
dingin. Ia kata di dalam hatinya itu, "Nyatalah dia mencintai gurunya
melebihkan cintanya kepadaku. Ah, mesti aku cari ayahku, mesti aku cari
ayahku ……"
Kwee Ceng membawa mayat keempat gurunya ke dalam rimba, terpisah dari
kuburan ibunya Oey Yong beberapa ratus tindak, di situ barulah ia
menggali lobang. Ia menggali dengan patahan pedang, hebat ia menggunai
tenaganya. Sekian lama ia bekerja, mendadak pedangnya itu bersuara keras
- pedang itu patah pula!
Justru itu ia merasakan dadanya sesak, hawa panas naik, ketika ia
mementang mulutnya, ia memuntahkan darah hidup hingga dua kali, tetapi
ia bekerja terus, dengan kedua tangannya ia membongkar tanah, yang ia
saban-saban melemparkannya.
Melihat demikian, Oey Yong lari mengambil dua buah sekop peranti bujang
gagunya, yang satu ia kasihkan pada si anak muda, yang lain ia pakai
sendiri, untuk membantui menyingkirkan tanah.
Kwee Ceng merampas sekop di tangan si nona, ia patahkan itu kemudian
dengan sekop yang satunya bekerja sendiri, ia menggali terus lobangnya.
Oey Yong tahu artinya perbuatan pemuda itu, merasakan hatinya sakit, tetapi ia tidak menangis, ia lantas duduk mengawasi saja.
Kwee Ceng bekerja luar biasa. Ia berhasil menggali dua buah liang satu
besar dan satu kecil. Ke lubang yang kecil itu ia pondong tubuh Siauw
Eng, untuk diletak dengan hati-hati. Ia lantas berlutut, ia paykui
beberapa kali. Ia mengawasi muka guru wanita itu, guru yang ketujuh,
sesudah itu baru ia menguruknya. Setelah itu ia mengangkat tubuh Cu Cong
dimasuki ke dalam liang kubur yang besar. Mendadak ia berpikir,
"Permata mulia kotor dari Oey Yok Su mendapat menemani jiesuhu?" Maka
itu, ia merogoh saku gurunya, ia mengeluarkan sisa batu permatanya.
Paling akhir ia menarik ke luar sehelai kertas putih, yang ada suratnya.
Ia membeber itu dan membaca,
"Yang rendah dari Kanglam, Kwa Tin Ok, Cu Cong, Han Po Kie, Lam Hie Jin,
Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng, dengan ini menghaturkan pemberitahuan
kepada cianpwe pemilik Tho Hoa To bahwa mereka telah mendengar kabar
bahwa Coan Cin Cit Cu, dengan tidak menaksir tenaganya sendiri, hendak
melakukan sesuatu terhadap Tho Hoa To. Mengenai itu, menyesal kami tidak
dapat berbuat apa-apa untuk mengakurkannya, hanya mengingat bahwa
cianpwee adalah pantarannya Ong Tiong Yang Cinjin, kami memikir mana
dapat cianpwee malayani anak-anak muda. Di jaman dulu Lin Siang Jie
telah mengalah terhadap Liam Po, peristiwa itu menjadi buah tutur yang
berupa pujian. Karena siapa gagah, dadanya lapang bagaikan lautan, dia
tentu tidak menghiraukan segala perbuatan di antara ayam dan kutu. Kalau
nanti kejadian Coan Cin Cit Cu datang ke depan Tho Hoa To, untuk
nengakui kesalahannya sendiri, pastilah semua orang gagah di kolong
langit ini akan mengagumi kepribadian cianpwee. Tidakkah itu bagus?"
Habis membaca itu, Kwee Ceng berpikir; "Dulu hari Coan Cin Cit Cu
bertempur sama Oey Yok Su di Gu-kee-cun, lantas Auwyang Hong secara
diam-diam menggunai akal jahatnya dan membinasakan Tiang Cun Cu Tam Cie
Toan, kesalahan digeser kepada Oey Yok Su. Oey Yok Su berkepala besar,
dia tidak menghiraukan urusan itu tidak mau membersihkan diri, maka
kejadian Coan Cin Cit Cu jadi sangat membenci padanya. Rupanya sekarang
guruku mendapat dengar Coan Cin Cit Cu datang untuk melakukan
pembalasan, karena ia khawatir kedua pihak itu rusak bersama, guruku
menulis suratnya ini menganjurkan Oey Yok Su menyingkirkan diri untuk
sementara waktu, supaya kemudian didapat jalan guna membeber duduknya
hal. Dengan begitu, guruku ini bermaksud baik, maka Oey Yok Su si tua,
kenapa dia telah menurunkan tangan jahatnya kepada guruku semua?" Baru
ia berpikir begitu, atau ia lantas berpikir pula, "Jiesuhu sudah menulis
suratnya ini, kenapa dia tidak menyampaikan kepada alamatnya hanya
dibiarkan berada di dalam sakunya? Ah, mungkin waktu terlalu mendesak,
Coan Cin Cit Cu telah keburu datang, dia jadi tidak mendapat tempo lagi
untuk menyerahkannya, maka mereka lantas datang sendiri, guna maju di
sama tengah di antara kedua pihak yang bertempur itu. Oey Lao Shia, Oey
Lao Shia, mungkin kau menyangka guruku adalah kawan-kawan undangan dari
Coan Cit Cin Cu, yang bakal membantu pihak sana, maka dengan sembrono
kau telah menurunkan tangan jahatmu itu…"
Kembali pemuda ini berdiam. Surat itu ia lipat, hendak dimasuki ke dalam
sakunya. Selagi ia melipat tiba-tiba di belakang itu ia melihat coretan
beberapa huruf, yang membikin ia kaget hingga hatinya berdebaran.
Tulisan itu, yang suratnya tidak karuan, berbunyi; "Segera bakal terjadi
hal yang tidak diduga-duga, maka semua bersiaplah berjaga-jaga ……"
Masih ada tulisan lainnya, yang belum tertulis lengkap, mungkin
disebabkan bencana sudah lantas tiba.
"Inilah terang huruf 'Tong' yang hendak ditulisnya. Jiesuhu memperingati
untuk bersiaga untuk 'Tong Shia' sayang sudah terlambat…"
Maka ia kepal-kepal surat itu menjadi gulungan kecil dengan mengertak
gigi, ia kata dengan sengit; "Jiesuhu, jiesuhu, maksudmu yang baik telah
dipandang sebagai maksud jahat oleh Oey Lao Shia…"
Setelah itu, surat itu jatuh ke tanah, ia sendiri lantas mengangkat tubuh Cu Cong.
Oey Yong mengawasi terus pemuda itu, ia melihat air muka orang yang
seperti berubah-ubah. Ia menduga surat itu mesti penting sekali, maka
perlahan-lahan ia bertindak. Ia pungut surat itu untuk segera dibaca
dua-duanya, yang di depan dan yang di belakang. Ia pikir "Keenam gurunya
datang ke Tho Hoa To dengan maksud baik, maka sayang Biauw Ciu Sie-seng
hatinya tidak lurus, sudah biasa dia menjadi pencopet melihat hartanya
ibuku hatinya terpincuk, hingga dia melanggar pantangan besar dari
ayahku…"
Ketika itu Kwee Ceng telah meletaki tubuhnya Cu Cong, lalu dia membuka
tangan kiri orang yang terkepal, mengambil dari situ serupa barang.
Oey Yong melihat itulah sebuah sepatu wanita, yang panjangnya satu dim
lebih. Terang itu ada sepatu mainan sebab terbuat dari batu hijau tetapi
buatannya indah sekali. Itulah benda yang berharga mahal. Belum pernar
ia ingat ibunya mempunyai barang mainan semacam itu maka entahlah dari
mana Cu Cong mendapatkannya.
Kwee Ceng membulak-balik sepatu-sepatuan itu bagian bawahnya ia melihat
ukiran huruf "ciauw" sedang di dasar sebelah dalam, ada ukiran huruf
"pie". Ia sengit ia banting sepatu batu itu, syukur tidak pecah.
Kemudian ia bergantian mengangkat tubuh Han Po Kie dan Coan Kim Hoat,
dikasih masuk ke dalam lubang yang besar itu diletaki dengan rapi.
Ketika ia hendak mulai menguruk ia melihat muka ketiga gurunya hatinya
tak tega. Maka ia mengawasi ke batu permata. Tiba-tiba timbul pula hawa
amarahnya. Ia pungut semua itu dengan kedua tangannya, ia lari ke
kuburan ibunya Oey Yong.
Si nona khawatir orang nanti merusak peti mati ibunya, ia pun lari. Ia
lari, untuk mendahului. Ia bisa memotong jalan, maka ia tiba lebih dulu.
Lantas ia menghadang di depan pintu kuburan, kedua tangannya dipentang.
"Kau mau apa?" ia tanya si pemuda.
Kwee Ceng tidak menjawab, dengan tangan kirinya ia menolak tubuh si
nona, lalu kedua tangannya disempar ke depan, maka terdengarlah suara
nyaring, dari meluruk jatuhnya barang-barang permata, di antaranya itu
sepatu mainan dari batu hijau yang jatuh ke kaki si nona.
Oey Yong membungkuk, ia memungutnya.
"Ini bukannya barang ibuku," ia kata, dan ia membayarnya pulang.
Kwee Ceng menyambut, ia awasi itu, terus ia masuki ke dalam sakunya.
Setelah itu ia memutar tubuhnya. Kali ini ia mulai menguruk tanah,
hingga menutup rapat mayat keempat gurunya.
Lama sang waktu lewat, hari mulai magrib.
Oey Yong menyaksikan, Kwee Ceng terus tidak menangis, ia merasa sangat
berduka. Maka ia pikir, kalau dibiarkan sendiri, mungkin hati pemuda itu
lega. Dari itu ia pergi pulang, untuk memasak nasi serta lauk-pauknya.
Apabila semua itu sudah matang, ia pernahkan di dalam naya, ia
membawanya ke luar.
Kwee Ceng terlihat berdiri menjublak di depan kuburan gurunya. Dia
berdiri tetap di tempat dia berdiri semula, tubuhnya juga tidak berkisar
atau berubah. Ia berdiam setengah jam lebih selama si nona masak,
hinggga dia mirip patung. Maka si nona kaget sekali.
"Engko Ceng, kau kenapa?" ia tanya.
Kwee Ceng tidak menyahuti, tubuhnya tetap tidak bergerak.
"Engko Ceng, mari dahar," kata pula si nona. "Sudah satu harian kau belum dahar ……"
"Meski aku mati kelaparan tidak nanti aku makan barang dari Tho Hoa To!" berkata si anak muda.
Mendengar itu, meskipun tidak sedap, hati Oey Yong lega sedikit. Ia
mengerti adat orang, tentu Kwee Ceng pegang perkataannya itu. Dari itu
ia meletaki naya, duduk di tanah.
Demikian, yang satu berdiri tegak, yang lain berduduk, keduanya berdiam
menghabiskan waktu, hingga rembulan mulai muncul di permukaan laut. Si
Putri Malam naik terus, sampai dia berada di atasan kepalanya dua orang
itu, sedang sayur di dalam naya telah menjadi dingin sendirinya. Hati
mereka seperti sama dinginnya. Dengan kesunyian itu, suara gelombang
terdengar semakin nyata. Dari kejauhan pun terdengar beberapa kali suara
seperti suara srigala dan harimau, suara minip dengan jeritan. Sang
angin juga yang membikin suara itu lenyap sendirinya.
Oey Yong memasang kupingnya, ia menyangsikan itu suara manusia atau
suara binatang yang sedang menderita, karena perhatiannya tertarik, ia
berbangkit, untuk lari menuju ke sana. Sebenarnya ia berniat mengajak si
anak muda atau ia membatalkan pikirannya itu setelah ia berpikir pula,
"Kebanyakan inilah urusan tidak bagus, aku akan cuma-cuma menambah
keruwetan pikirannya ……" Ia sebenarnya sedikit jeri untuk suasana
seperti itu, tetapi karena ia kenal baik pulaunya itu, ia maju terus.
Selagi si nona berlari-lari, dia merasakan angin menyambar di
sampingnya. Segera ia mendapat kenyataan, Kwee Ceng lagi mencoba
mendahului dia. Pemuda ini tidak kenal jalanan, maka itu ia maju dengan
tangan dan kakinya saban-saban menghajar pohon-pohon yang menghadang di
hadapannya. Dilihat dari romannya, pemuda itu seperti telah kehilangan
pikirannya yang sehat.
"Kau ikut aku!" kata si nona.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia berteriak-teriak, "Soe-suhu!
Soe-suhu!" Ia telah mengenali suara gurunya yang keempat, Lam Hie Jin.
Hati Oey Yong terkesiap. Ia tahu, kalau Kwee Ceng bertemu sama gurunya
itu, entah bakal terjadi apa pula atas dirinya. Tapi ia tidak takut,
maka ia lari terus, akan menunjuki jalan. Ia lari ke timur, di mana ada
banyak pepohonan. Tiba di situ, ia melihat seorang berada di bawah
sebuah pohon, tubuhnya bergulingan, tubuh itu melingkar. Itulah Lam Hie
Jin.
Kwee Ceng menjerit, ia berlompat menubruk gurunya itu, untuk dipondong.
Ia melihat mulut gurunya terbuka, tertawa, tetapi suaranya bukan tertawa
wajar. Ia kaget dan girang, hingga ia menangis.
"Soe-suhu! Soe-suhu!" ia memanggil-manggil.
Lam Hie Jin tidak menyahuti, hanya sebelah tangannya melayang.
Kwee Ceng tidak menyangka tetapi ia sempat berkelit. Hanya habis
menggaplok dan gagal, Hie Jin terus meninju dengan tangan kirinya. Kali
ini si anak muda tidak berkelit, ia tidak menangkis. Ia menyangka guru
itu menyesalkan atau mempersalahkan padanya. Hebat serangan guru yang
nomor empat ini, Kwee Ceng terpental jumpalitan. Ia tidak menduga
gurunya bertenaga demikian besar. Dulu-dulu, di waktu berlatih
dengannya, tenaga guru itu tidak sedemikian besar. Ia baru bangun atau
Hie Jin, yang sudah maju, menyerang pula dengan kepalannya. Masih si
murid tidak berkelit, ia mandah. Hajaran ini terlebih hebat pula, Kwee
Ceng merasa matanya berkunang-kunang, hampir ia roboh pingsan.
Setelah itu, Hie Jin memungut batu besar, lagi-lagi dia menyerang. Kalau
Kwee Ceng terhajar batu ini, mesti ia pecah batok kepalanya. Ia memang
masih pusing kepalanya.
Melihat demikian, Oey Yong berlompat maju, dengan tangan kirinya ia
menolak lengan Kanglam Cit Koay yang nomor empat itu, atas mana,
bersama-sama batunya Hie Jin roboh ke tanah, mulutnya mengasih dengar
suaranya tertawa seperti tadi, habis itu dia tidak merayap bangun lagi
……
Adalah maksudnya si nona untuk menolongi Kwee Ceng, maka di luar
sangkaannya, Hie Jin ada demikian tidak bertenaga, dia roboh hanya
karena tolakan tangan yang enteng. Dengan lantas si nona mengulur
tangannya untuk mengasih bangun. Atau ia melihat muka orang yang
tertawa, tertawa yang dipaksakan, hingga menjadi menyeringai, nampaknya
sangat menakuti. Ia menjerit, ia menarik pulang tangannya, untuk
membikin tangan itu tidak mengenai tubuh orang. Sebaliknya tangan kiri
Hie Jin menyambar pundak si nona. Atas itu dua-duanya, si nona dan si
penyerang, mengasih dengar seruan bahna sakit dan kaget.
Oey Yong mengenakan baju lapisnya, meski begitu ia merasakan sakit sampai ia terhuyung beberapa tindak.
Hie Jin merasa sakit karena ia menghajar baju yang ada durinya, karena mana tangannya lantas mengucurkan darah.
"Soe-suhu!" Kwee Ceng berteriak saking kagetnya.
Hie Jin menoleh mengawasi si anak muda, suara siapa ia rupanya ia
mengenalinya, hanya ketika ia hendak membuka mulutnya cuma bibirnya
bergerak sedikit, suaranya tidak terdengar. Ia masih mengasih lihat
senyuman hanya itulah senyum dari putus asa. Sinar matanya pun guram.
"Soe-suhu, baik kau beristirahat," kata Kwee Ceng, "Sebentar lagi kita bicara."
Hie Jin mencoba mengangkat kepalanya, ia seperti memaksa mau bicara,
lagi ia gagal, mulutnya tidak dapat dibuka. Ia cuma dapat bertahan
sebentar segera kepalanya teklok, terus tubuhnya roboh terjengkang, lalu
berbalik.
"Soe-suhu!" Kwee Ceng berseru, ia berlompat maju, guna mengasih bangun.
"Jangan!" berkata si nona, "Gurumu lagi menulis surat ……"
Tajam matanya si nona.
Kwee Ceng mengawasi. Benar, dengan tangan kanannya, 'Hie Jin lagi
mencoret ke tanah. Di antara sinar rembulan, segera terlihat ia menulis,
"Yang …… membunuh …… aku …… ialah ……"
Oey Yong mengawasi, ia mendapatkan Hie Jin menulis dengan susah sekali,
ia lantas goncang hatinya. Ia lantas ingat; "Da berada di Tho Hoa To,
sekalipun orang yang paling tolol tentulah tahu ayahku yang membunuh
dia, maka kenapa dia begini susah menulis nama ayahku itu? Apakah si
pembunuh lain orang sebenarnya ……?"
Semakin lama dia menulis, tenaganya Hie Jin makin habis. Hati si nona
tegang, hingga ia memuji; "Kalau kau mau menulis nama lain orang,
lekaslah!"
Ketika Hie Jin menulis huruf yang kelima, yang mesti menjadi she atau
nama orang yang membunuh dia, baru dia menulis dua coret, yang menjadi
huruf "sip" - "sepuluh", mendadak tangannya berhenti bergerak.
Kwee Ceng melihat tubuh orang bergerak, tanda dari pengerahan tenaga
yang terakhir, habis itu berhentilah napasnya sang guru. Ia sendiri
menahan napas, ketika ia melihat huruf "sip" itu, ia berteriak,
"Soe-suhu, aku tahu kau hendak menulis huruf Oey - huruf Oey!" Terus ia
menubruk tubuh gurunya, terus ia menangis keras, kedua tangannya
menumbuki dadanya. Dengan demikian meledaklah amarah dan kedukaannya
yang sangat, yang sekian lama terbenam di dalam dadanya. Ia menangis
menggerung-gerung tidak lama atau ia pingsan di atas tubuh gurunya itu.
Berapa lama anak muda ini tak sadarkan diri, ia tidak tahu, ketika
kemudian ia mendusin, ia melihat sinar matahari, langit telah menjadi
terang. Ia bangun, untuk melihat ke sekitarnya. Ia tidak melihat Oey
Yong, entah ke mana perginya si nona. Ia mendapatkan tubuh Hie Jin, yang
kedua matanya terbuka besar. Ia lantas ingat pembilangan, "mati tidak
meram", maka ia lantas menangis pula, air matanya turun deras. Ia
mengulurkan kedua tangannya, guna merapatkan mata gurunya itu.
Mengingat gurunya begitu sengsara hendak melepaskan napasnya yang
terakhir, Kwee Ceng menjadi heran maka ia membukai baju gurunya itu,
untuk memeriksa tubuhnya. Aneh, seluruh tubuh itu tidak kurang suatu
apa, dari kepala sampai di kaki, tidak ada yang luka, kecuali luka di
tangan bekas terkena duri baju lapisnya Oey Yong. Pula tidak ada luka di
dalam, kulitnya tidak hitam atau hangus.
Sesudah memeriksa dengan sia-sia, Kwee Ceng memondong mayat gurunya,
niatnya untuk dikubur bersama dengan ketiga gurunya yang lainnya. Ketika
ia sudah jalan beberapa puluh tindak ke tempat dari mana tadi dia
datang, ia kehilangan jalanannya. Terpaksa ia menggali sebuah lubang
lain di bawah pohon, guna mengubur di situ mayat gurunya itu.
Habis itu, ia menjadi bingung. Ia pun merasa sangat lapar. Sia-sia ia
berjalan, untuk mencari jalanan ke luar. Ia duduk di bawah sebuah pohon,
guna beristirahat, guna menentramkan pikirannya. Ketika ia berjalan
pula, ia mengambil putusan tidak perduli apa juga, ia mengambil satu
tujuan, ialah ke arah timur, terus menghadapi matahari. Dengan begini,
ia masih mengalami kesukaran, dan pepohonan yang sangat lebat. Sekarang
di setiap pohon ia melihat adanya rotan panjang dan duri tajam. Umpama
kata ia jalan di atas pohon, di situ tidak ada tempat untuk menaruh kaki
……
"Tapi hari ini, cuma ada maju, tidak ada mundur!" ia pikir. Ia paksa
berlompat naik ke atas pohon. Ia baru menindak atau "Bret!" maka
celananya robek kesangkut duri, hingga kulitnya lecet dan darahnya
mengalir. Rotan pun ada yang melilit kakinya. Maka dengan pisau
belatinya, ia memotong putus pohon oyot itu.
Memandang jauh ke depan, Kwee Ceng melihat hanya oyot belaka.
"Biar habis daging betisku, aku mesti ke luar dari pulau iblis ini!"
katanya di dalam hati. Degan itu ia mengambil keputusannya. Ia mau
bertindak pula, lalu mendadak ia mendengar suaranya OeyYong, "Kau turun!
Nanti aku mengantarkanmu!" Ia lantas tunduk, maka ia melihat si nona,
dengan pakaian putih seluruhnya, lagi berdiri di bawah pohon. Tanpa
membilang apa-apa, ia lompat turun. Ia melihat muka Oey Yong pucat
sekali, seperti tidak ada darahnya. Ia terkejut. Hendak ia menanya,
tetapi segera ia dapat menguatkan hati.
Oey Yong melihat orang hendak bicara tetapi gagal. Ia menanti sekian
lama, tetap ia tidak mendengar suara orang. Ia menghela napas.
"Jalanlah!" katanya.
Dengan berliku-liku, mereka menuju ke timur. Oey Yong lesu dan berduka.
Ia baru sembuh, ia perlu beristirahat dan ketenangan hati, siapa tahu ia
telah mesti membuat perjalanan jauh dan menghadap peristiwa berat dan
gelap ini. Ia pikir tidak dapat ia menyesalkan Kwee Ceng atau
mempersalahkan ayahnya, ia juga tidak bisa menyesalkan Kanglam Liok
Koay, Ia hanya menyesalkan diri sendiri. Kenapa Thian berbuat begini
macam terhadapnya? Apa Thian membenci kepada orang yang hidup terlalu
senang?
Tanpa berkata-kata nona ini menunjuk jalan kepada Kwee Ceng menuju ke
tepi laut. Ia mau percaya, dengan kepergiannya ini, anak muda itu bakal
tidak kembali. Maka itu setiap satu tindaknya, ia merasa hatinya pecah
satu potong.
Ketika akhirnya mereka ke luar dari rimba lebat dengan rotan dan duri itu, pesisir terlihat di depan mata.
Oey Yong merasa dirinya sangat letih, ia mencoba menguati hati tetapi
tubuhnya terhuyung juga, lekas-lekas ia menggunai tongkatnya, untuk
menekan tanah, guna menunjang, hanya sekarang ia merasakan tangannva
juga tidak bertenaga, tongkatnya itu miring, hingga tubuhnya turut
terguling.
Kwee Ceng melihat itu, segera ia mengulur tangan kanannya, guna
memegangi si nona, atau mendadak ia ingat sakit hati hebat dari
guru-gurunya itu, segera dengan tangan kirinya ia menghajar tangan
kanannya. Itulah pukulan ajarannya Ciu Pek Thong, yang dapat memecah
pikiran, hingga kedua tangannya dapat bergerak sendiri-sendiri. Karena
dihajar, tangan kanannya itu segera membalas. Habis itu, ia berlompat
mundur.
Dengan begitu, sendirinya robohlah Oey Yong.
Oleh karena jatuhnya ini tanpa pertolongan, hati si nona pepat sekali. Ia menyesal, ia penasaran, ia berduka.
Juga Kwee Ceng kaget, juga pemuda ini menyesal, penasaran dan berduka.
Ia lompat maju, untuk mengangkat tubuh si nona. Ia melihat kelilingan,
untuk membawa nona itu ke tempat di mana dia bisa beristirahat.
Juga Oey Yong turut melihat ke sekitar mereka.
Di arah timur laut, di mana ada sebuah batu besar, terlihat sepotong
kain hijau tertiup angin. Ketika melihat itu Oey Yong lantas berteriak;
"Ayah!" Ia lantas saja mendapat tenaga, ia lari.
Kwee Ceng juga lari bersama, maka itu mereka saling berpegang tangan.
Tiba di batu itu, di situ pun kedapatan sepotong kulit muka orang.
Oey Yong kenal baik topeng kulit kepunyaan ayahnya itu, dengan
kebingungan ia membungkuk akan memungutnya begitu pun baju hijau itu di
mana ada tapak tangan dari darah, tegas nampak bekas telunjuk.
Melihat itu Kwee Ceng berpikir; "Pasti ini tapak Kiu Im Pek-kut Jiauw
dari Oey Yok Su, habis dia mencelakai samsuhu, dia menyusut tangannya di
sini ……" Ia tengah memegang tangan si nona ketika mendadak ia
melepaskannya sambil menyempar terus ia merampas baju hijau itu dan
merobeknya. Ketika itu ia melihat ujung baju itu pecah sedikit, maka ia
ingat, juiran itu pastilah yang telah dibawa burung rajawali tempo si
nona minta ikan emas istimewa.
Kwee Ceng berdiri diam kapan ia telah mengawasi tapak jari tangan itu,
kemudian ia lekas menggulung itu dan mengasih masuk ke dalam sakunya,
habis itu tanpa membilang apa-apa, ia lari ke pinggir laut sekali di
mana ada sebuah perahu layar, yang tidak ada anak buahnya. Entah ke mana
perginya semua budak gagu. Ia tidak berpaling pula pada Oey Yong ketika
ia memotong putus dadungnya perahu itu, ia mengangkat jangkarnya, ia
memasang layarnya, terus ia berlayar…
Oey Yong dengan bengong mengawasi perahu menuju ke barat. Mulanya ia
masih mengharap si anak muda berbalik pikir dan akan kembali, untuk
mengajak ia pergi, maka ternyata, habislah pengharapannya. Dengan lekas
perahu layar itu seperti terbenam di dalam lautan. Sekarang merasalah ia
yang ia berada sebatang kara di pulaunya itu. Engko Cengnya pergi,
ayahnya entah bagaimana, entah masih hidup atau telah terbinasa ……!
"Yong-jie, Yong-jie!" akhirnya ia kata pada dirinya sendiri. "Siang hari
masih panjang! Kau tidak dapat berdiri diam saja di pesisir ini! Ingat
Yong-jie, tidak dapat kau memikir pendek!"