Sampai di luar dusun, Oey Yong memanggil turun kedua burungnya, akan
tetapi burung itu tetap berputaran, masih saja mereka mencari apa-apa.
"Entah dengan siapa mereka bermusuhan hebat……" kata Kwee Ceng heran.
Lewat lagi sekian lama barulah kedua burung itu turun. Lantas ternyata
kaki kiri yang jantan berdarah, di situ ada bekas bacokan golok, syukur
kakinya tidak tertebas kutung. Pantas dia agaknya mendongkol.
Muda-mudi itu kaget. Sebelah kaki burung yang jantan mencengkeram suatu
barang hitam, setelah diperiksa, itulah kulit kepala orang, yang masih
ada rambutnya, yang masih ada darahnya.
Sembari memeriksa kulit kepala orang itu, Kwee Ceng berpikir. "Burung
ini dipelihara semenjak kecil, dia baik sekali," kata ia. "Aku tahu
mereka belum pernah melukai orang tanpa sebab. Kenapa sekarang mereka
berkelahi sama orang?"
"Mesti ada yang aneh," kata Oey Yong. "Mari kita cari orang yang kepalanya kehilangan kulitnya itu……"
Maka mereka mampir di dusun itu, untuk bermalam. Tapi dusun besar,
banyak rumah dan penduduknya. Mereka membuat penyelidikan sampai sore
tanpa ada hasilnya.
Besoknya pagi, mereka mendapatkan kedua burung mereka membawa pulang kuda mereka. Hiat-niauw tidak ada beserta.
"Mari kita cari," kata Oey Yong, yang mengajaki kembali. Ia sangat sayang burungnya itu.
Tapi Kwee Ceng berkhawatir untuk Ang Cit Kong, yang terluka dan entah
ada di mana, sedang harian Pee-gwee Tiong Ciu bakal lekas datang, mereka
mesti menghadirkan pibu di Yan Ie Lauw di Kee-hin. Ia kata, perlu
mereka lekas pergi ke timur.
Oey Yong dapat dikasih mengerti, ia suka turut. Demikian dengan naik
kuda merah, mereka berangkat. Mereka melarikan kuda mereka keras dan
burung mereka mengiringi dari udara. Oey Yong senang sekali, di
sepanjang jalan ia banyak omong dan tertawa, gemar ia bergurau. Ia jauh
lebih gembira dari pada yang sudah-sudah. Bahkan di waktu singgah,
sampai jauh malam, ia masih tidak mau tidur, sedang kawannya, yang
khawatir ia terlalu letih, menganjurkan ia beristirahat. Ada kalanya,
sampai jauh malam, sambil bersila di atas pembaringan, ada saja yang ia
omongi sama si anak muda.
Pada suatu hari tibalah mereka di tempat perbatasan sebelah selatan
antara dua propinsi Ciat-kang dan Kang-souw, di sini mereka mengasih
kuda mereka lari satu harian hingga singgah di sebuah penginapan. Oey
Yong pinjam sebuah rantang rotan dari pelayan, hendak ia berbelanja di
pasar.
"Kau sudah letih, kita dahar sembarangan saja di sini," Kwee Ceng mencegah.
"Aku hendak masak untukmu," berkata si nona. "Apakah kau tidak sudi makan masakanku?"
"Tentu aku suka hanya aku menghendaki kau lebih banyak beristirahat,"
kata si anak muda. "Nanti, kalau kau sudah sehat betul, itu waktu masih
ada tempo untuk kau masak untukku."
"Sampai aku sudah sehat betul……" mengulangi si nona. "Itu waktu ……"
Ia telah bertindak di ambang pintu, baru sebelah kakinya, atau ia berhenti.
Kwee Ceng tidak tahu apa orang bilang, tetapi ia menurunkan naya dari
lengan si nona. Ia kata; "Ya, sampai kita sudah dapat mencari suhu, baru
kau masak, nanti kita dahar bersama-sama……"
Oey Yong berdiam sekian lama, lalu ia kembali ke dalam, untuk merebahkan
diri di atas pembaringan. Ia terus berdiam, rupanya ia kepulasan……
Kemudian, datang saatnya bersantap. Pelayan telah menyajikan barang
makanan mereka. Si pemuda membanguni si pemudi, untuk diajak berdahar.
Nona itu bangun seraya berlompat turun. Ia tertawa. "Engko Ceng, kita tidak dahar ini," ia kata. "Mari turut aku!"
Pemuda itu menurut, ia mengikuti. Mereka pergi ke pasar. Oey Yong pergi
ke sebuah rumah besar yang temboknya putih dan pintunya hitam. Dia mutar
ke belakang. Di sini dia lompat naik ke tembok, untuk ke pekarangan
dalam. Si pemuda tidak mengerti tetapi ia mengikuti terus.
Oey Yong berjalan hingga ke ruang depan di mana ada api terang-terang, sebab tuan rumah tengah membikin pesta.
"Semua minggir!" berkata si nona sembari tertawa. Ia maju ke depan.
Semua orang di medan pesta itu heran. Sama sekali ada tiga puluh orang
lebih yang terbagi atas tiga meja. Mereka itu saling mengawasi. Mereka
heran mendapat orang adalah satu nona muda dan cantik.
Oey Yong menghampirkan satu tetamu yang gemuk, ia menjambak dan
mengangkat tubuh orang, kakinya menggaet, maka robohlah si terokmok itu.
"Apa kamu masih tidak mau menyingkir?" ia tanya, sambil tertawa.
Orang menjadi heran berbareng takut, mereka itu lantas jadi kacau.
"Mana orang? Mana orang?" tuan rumah berteriak teriak. Dia heran, kaget dan berkhawatir dan mendongkol juga.
Segera terdengar suara berisik, di situ muncul dua guru silat beserta belasan pengikutnya. Mereka itu membawa golok dan toya.
Oey Yong tidak takut, bahkan dia tertawa terus. Ketika ia menyambut
kedua guru silat itu, sebentar saja ia dapat merobohkan mereka, terus ia
menyerbu, merampas senjatanya belasan pengikut itu, hingga ruang pesta
jadi sangat kacau.
Tuan rumah jadi takut, dia hendak lari, tetapi dia dicekuk si nona,
jenggotnya ditarik, lehernya diancam dengan golok. Dalam takutnya dia
menekuk lutut, dengan suara gemetaran dan tidak lancar dia kata,
"Lie-tay-ong…… oh, nona… kau ingin uang, nanti aku sediakan, asal kau
ampuni jiwaku……"
"Siapa menghendaki uangmu?" kata Oey Yong tertawa. "Mari temani aku minum!"
Tuan rumah itu ditarik jenggotnya, ia ketakutan, ia diam saja.
"Mari duduk," kata si nona, yang pun menarik tangan Kwee Ceng. Ia
mengajaknya duduk di meja tuan rumah bersama tuan rumah itu. "Kamu juga
duduk!" ia kata pada orang banyak, yang berkumpul di pojokan, bingung
dan khawatir. "Eh, kenapa kamu tidak mau duduk?" Ia lantas menancap
golok di meja, golok itu berkilauan.
Semua tetamu itu ketakutan, dengan saling desak, mereka berebut maju, hingga kursi pada terlanggar terbalik.
"Kamu toh bukan bocah-bocah umur tiga tahun!" si nona menegur. "Apa kamu tidak dapat duduk dengan rapi?"
Semua tetamu itu takut, mereka lantas berlaku tenang. Oey Yong minum araknya dengan gembira.
"Perlu apa kau membikin pesta?" ia tanya tuan rumah. "Apakah kau kematian anggota keluargamu?"
"Sebenarnya aku tambah anak," kata tuan rumah. Sekarang ia tak terlalu
takut lagi. Hari ini adalah hari ulang tahun satu bulan anakku itu dan
aku mengundang sahabat dan tetangga-tetanggaku……"
"Bagus!" kata si nona tertawa. "Coba kau bawa ke luar anakmu itu!"
Tuan rumah kaget, mukanya pucat. Ia takut anaknya dibunuh. Dengan
membelalak, ia mengawasi pisau yang masih nancap di meja. Tapi karena
takut, ia terpaksa menyuruh orang membawa ke luar anaknya itu.
Oey Yong menggendong itu bayi, ia mengawasi muka orang. Ia pun memandang
muka tuan rumah. "Tidak mirip-miripnya," katanya. "Jangan-jangan ini
bukan anakmu sendiri."
Tuan rumah itu likat berbareng berkhawatir, kedua tangannya
bergemetaran. Semua tetamu merasa lucu tetapi tidak ada yang berani
tertawa.
Oey Yong mengeluarkan sepotong uang emas berat kira lima tail, ia
serahkan itu kepada si babu pengasuh berikut bayinya seraya berkata,
"Ini tidak berarti, hitung saja sebagai tanda mata dari nenek luarnya."
Semua orang merasa heran dan lucu. Dia orang luar dan menyebut dirinya
nenek luar sedang dialah satu nona remaja. Tuan rumah nampaknya girang.
"Mari! Aku beri kau selamat satu mangkok!" kata Oey Yong. Dan ia
mengambil satu mangkok besar, ia isikan arak, ia tolak itu ke depan tuan
rumahnya.
"Aku tidak kuat minum, maaf," kata tuan rumah itu.
Mendadak si nona mengasih lihat roman bengis, tangannya pun menyambar jenggot.
"Kau minum atau tidak?" dia tanya keras.
Tuan rumah ketakutan, terpaksa ia menenggak arak itu.
"Nah, ini baru bagus!" kata si nona. "Mari, sekarang kita main teka-teki!"
Semua orang takut, maka apa yang si nona inginkan, lantas kejadian. Tapi
mereka bangsa saudagar atau hartawan, tidak ada yang pandai main
teka-teki, si nona jadi sebal. "Sudahlah!" katanya.
Sementara itu tuan rumah roboh menggabruk. Dia tidak kuat minum tetapi mesti minum banyak arak ……
Si nona tertawa, ia dahar, Kwee Ceng menemani padanya. Akhirnya
terdengar tanda jam satu malam, si nona mengajak kawannya pulang, tuan
rumah dan tetamunya dibiarkan dalam bingung ……
"Bagus tidak, engko Ceng?" Oey Yong tanya setibanya di pondokan.
"Ah, tidak karu-karuan kau membikin orang ketakutan," kata si anak muda.
"Sekarang ini aku mencari kesenangan untukku, aku tidak perduli orang lain ketakutan," kata si nona.
Pemuda itu heran. Kata-kata itu mesti mengandung arti tetapi ia tidak sanggup menangkapnya.
"Aku hendak pergi jalan-jalan, kau turut tidak?" kemudian Oey Yong tanya.
"Di waktu begini mau pergi ke mana lagi?" tanya si pemuda heran.
"Aku ketarik sama bayi tadi. Ingin aku memain dengannya, sesudah beberapa hari, baru aku akan membayarnya pulang……"
"Eh, mana dapat……" kata Kwee Ceng heran.
Tapi si nona tertawa, dia pergi ke luar, dia melompat tembok pekarangan.
Kwee Ceng menyusul, ia menarik tangan orang. "Yong-jie, kau sudah main-main lama, apakah itu masih belum cukup?" tanyanya.
"Belum cukup," si nona menyahuti. "Mari kau temani aku, kita main-main
sampai puas benar. Lewat lagi beberapa hari bukankah kau bakal
meninggalkan aku, kau akan pergi mengawini putri Gochin Baki? Tentu dia
bakal tidak mengijinkan kau bertemu pula sama aku. Kau tahu, waktunya
aku berada bersama kau, lewat satu hari berarti kurang satu hari, maka
itu satu hari tempo itu ingin aku bikin menjadi seperti dua hari,
seperti tiga hari, ya seperti empat hari! Engko Ceng, hari kita sudah
tidak banyak lagi, maka malam juga aku tidak mau tidur, aku mau terus
pasang omong dengan kau! Mengertikah kau sekarang? Bukankah kau tidak
bakal mencegah aku pula atau menasihati aku untuk beristirahat?"
Kwee Ceng terbengong. Baru sekarang ia mengerti perubahan sikap nona ini
- sikap yang luar biasa itu. Si nona jadi tak ingin berpisah darinya.
Tempo yang pendek hendak dibikin panjang dengan pertemuan lama, tak
siang tak malam…… Ia memegang erat tangan nona itu, ia merasa kasihan,
ia mencinta.
"Yong-jie, otakku memang tumpul," katanya. "Sebegitu jauh aku tidak
mengerti maksudmu. Aku…… aku……" Ia berdiam tak dapat ia berkata terus.
Ia tidak tahu mesti mengatakan apa.
Oey Yong bersenyum.
"Dulu hari ayah mengajarkan aku membaca banyak syair, yang mengenai
kedukaan dan penasaran," katanya. "Aku kira itu disebabkan ayah berduka
karena mengingat ibuku yang telah meninggal dunia itu, baru sekarang aku
ketahui, hidup di dalam dunia ini, orang benar banyak lelakonnya,
sebentar girang, sebentar bersusah hati……"
Malam itu bulan sisir, udara terang, hawa pun adem. Angin meniup halus.
Kwee Ceng jadi berpikir. Ia tidak menyangka si nona mencintai ia
demikian rupa. Sekarang ia mengerti akan kelakuan luar biasa nona itu
selama beberapa hari yang paling belakangan ini.
"Bagaimana kalau kita berpisah nanti?" pikirnya. "Yong-jie cuma ditemani
ayahnya, apa tidak kesepian ia berdiam seorang diri di Tho Hoa To? Dan
bagaimana lagi nantinya, kalau ayahnya telah menutup mata? Tidakkah ia
akan ditemani hanya hamba-hamba gagu? Mana dia bisa merasa
senang-senang?"
Mengingat begitu, hati pemuda ini menjadi kecil. Ia pegangi keras tangan si nona, ia menatap mukanya.
"Yong-jie," katanya, "Biar langit ambruk, akan aku menemani kau di Tho Hoa To!"
Tubuh si nona bergemetar, ia mengangkat kepalanya. "Apa katamu?" ia tanya.
"Aku tidak memperdulikan lagi Jenghiz Khan atau Gochin Baki," menyahut
si anak muda. "Seumur hidupku, akan aku menemani kau saja!"
"Ah……" kata si nona dan ia nyelundup ke dadanya si anak muda.
Kwee Ceng merangkul. Sekarang ia merasa hatinya lega.
"Bagaimana dengan ibumu?" si nona tanya selang sesaat.
"Aku akan pergi menyambutnya untuk diajak ke Tho Hoa To," sahut si anak muda.
"Apakah kau tidak takut pada Jebe, gurumu dan Tuli serta sekalian saudaranya, semua pangeran itu?"
"Mereka semua baik terhadapku tetapi aku tidak dapat memecah dua hatiku……"
"Bagaimana dengan keenam gurumu dari Kanglam serta Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya lagi?"
"Pasti mereka bakal gusar tetapi perlahan-lahan saja aku akan minta maaf
mereka. Yong-jie, kau tidak mau berpisah dari aku, aku juga tidak mau
berpisah dari kau."
"Aku ada punya akal," berkata si nona tiba-tiba. "Kita bersembunyi di
Tho Hoa To, untuk selamanya kita jangan berlalu dari situ. Ayah pandai
mengatur hingga pulau itu tertutup untuk orang lain, taruh kata mereka
dapat mendatangi tetapi tidak nanti mereka dapat mencari kau……"
Kwee Ceng menganggap akal itu tidak sempurna, ia hendak mengutarakan
pikirannya itu atau mendadak ia memasang kupingnya. Ia mendengar
tindakan kaki di tempat belasan tombak, tindakan dari dua orang yang
biasa berjalan malam, datangnya dari selatan, tujuannya utara. Ia pun
dapat mendengar perkataan satu di antaranya, "Loo Boan Tong telah kena
terjebak Pheng Toako, kita jangan takuti dia lagi! Mari lekas!"
Juga Oey Yong mendengar sama seperti si anak muda. Kedua mereka tidak
berniat memikir apa juga, ingin mereka menyenangi hati, tetapi
disebutnya nama Loo Boan Tong membuatnya mereka itu berdua berjingkrak
berbareng, dengan serentak mereka lari untuk menyusul dua orang itu.
Orang-orang yang belum dikenal itu berlari-lari tanpa mengetahui yang
mereka lagi dikuntit. Mereka lari terus hingga lima enam lie di belakang
dusun itu. Tempo mereka membelok ke sebuah tikungan, dari sebelah depan
lantas terdengar suara yang berisik sekali serta cacian.
Dengan mempercepat larinya, Kwee Ceng dan Oey Yong lantas sampai di
tempat tujuan. Dengan lantas mereka menjadi terkejut dan heran. Mereka
telah melihat Ciu Pek Thong lagi duduk bersila di tanah, tubuhnya tak
bergerak, entah dia masih hidup atau sudah mati. Dan di depannya, duduk
bercokol juga, ada seorang pertapaan sebagaimana dia kenali dari
jubahnya. Dialah Leng Tie Siangjin si pendeta bangsa Tibet.
Di samping Ciu Pek Thong ada sebuah gua gunung yang mulutnya kecil, yang
tiba muat tubuh satu orang dengan orang itu mesti masuk sambil
membungkuk. Di luar gua ada enam orang, ialah mereka yang suaranya
berisik itu, mereka berani membuka mulut tetapi takut masuk ke dalam
gua, seperti juga di dalam situ ada suatu makhluk yang dapat mencelakai
orang.
Kwee Ceng khawatir Ciu Pek Thong telah menjadi korbannya si Pheng Toako,
sebagaimana tadi ia mendengar perkataannya orang, karena itu hendak ia
lantas maju mendekati.
Oey Yong melihat sikap kawannya, ia mencegah sambil menarik tubuh orang.
"Sabar," kata si nona. "Mari kita memeriksa dulu dengan teliti."
Kwee Ceng dapat dicegah maka berdua mereka mengumpatkan diri. Dengan
begitu mereka jadi bisa melihat tegas rombongan orang itu, yang
kebanyakan ada kenalan-kenalan lama, ialah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong,
Kwie-bu Liong Ong See Thong Thian, Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw
dan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dua lagi ialah si orang tukang jalan
malam yang tadi, mereka ini tidak dikenal.
Oey Yong merasa semua orang itu bukan tandingannya dia serta Kwee Ceng.
Dua orang baru itu juga tidak usah dikhawatirkan. Tapi ia masih melihat
ke sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain. Maka ia kisiki kawannya;
"Dengan kepandaiannya Loo Boan Tong, beberapa orang ini pastilah tidak
bisa berbuat sesuatu atas dirinya, maka itu, menurut sangkaanku, mesti
di sini ada See Tok Auwyang Hong. Entah dia bersembunyi di mana ……"
Si nona lantas hendak mencari tahu atau ia mendengar suara tak sedap
dari Pheng Lian Houw. "Binatang, jikalau kau tetap tidak ke luar, aku
nanti ukup kau dengan asap!"
Dari dalam gua, ke dalam mana ancaman Lian Houw diberikan, terdengar
jawaban yang berat dan angker, "Kau mempunyai kepandaian bau apa, kau
keluarkan saja!"
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali suara gurunya yang nomor satu, yaitu
Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Terbangkan Langit. Sekarang
ia tidak ingat lagi kepada Auwyang Hong, lantas ia berseru, "Suhu,
muridmu datang!" Suaranya itu disusul sama lompatannya yang pesat,
hingga ia muncul sambil berbareng mencekuk punggungnya Hauw Thong Hay,
tubuh siapa lantas dilemparkan!
Munculnya si anak muda membuatnya pihak Thong Hay menjadi kaget. Pheng
Lian Houw berdua See Thong Thian lantas maju menerjang, sedang Nio Cu
Ong pergi ke belakang orang, untuk membokong.
Kwa Tin Ok di dalam gua pun turut bekerja. Ia rupanya melihat perbuatan
si orang she Nio, ia lantas menyerang dengan sebatang tokleng atau
lengkak beracun.
Cu Ong terkejut, dia berkelit sambil tunduk, tidak urung kondenya kena
tersambar hingga beberapa juir rambutnya putus. Ia kaget bukan main. Ia
tahu senjatanya Tin Ok itu beracun, sebagaimana dulu hari hampir saja
Pheng Lian Houw terbinasa karenanya. Maka ia berlompat ke samping seraya
meraba kepalanya. Ia berlega hati ketika ia mendapat kenyataan kulitnya
tidak terluka. Ia lantas mengeluarkan senjata rahasianya, paku
Touw-kut-jiam, terus ia jalan mutar ke kiri gua, maksudnya untuk
menyerang ke dalam gua secara diam-diam, guna membokong musuh yang ada
di dalam itu. Ia baru menggeraki tangannya atau ia merasakan lengannya
kaku, pakunya lantas saja jatuh dengan menerbitkan suara nyaring. Tengah
ia bingung, ia mendengar suara tertawanya seorang nona yang terus
berkata, "Lekas berlutut! Kau akan merasai tongkat lagi!"
Nio Cu Ong berpaling. Ia melihat Oey Yong dengan tongkat di tangan,
berdiri sambil tertawa haha-hihi. Ia kaget berbareng girang. Pikirnya,
"Kiranya tongkat Ang Cit Kong jatuh di tangannya dia ini?" Dengan segera
ia mengerjakan dua tangannya berbareng, Tangan kiri melayang ke pundak
si nona, tangan kanan menyambar ke tongkat, yang ia hendak rampas.
Dengan lincah, Oey Yong berkelit dari sambaran tangan kiri itu. Ia tidak
menarik tongkatnya, ia sengaja memberinya ketika hingga ujung tongkat
itu kena dipegang perampasnya. Cu Ong girang bukan main. Dia lantas
menarik dengan keras, di dalam hatinya dia kata; "Jikalau dia tidak
melepaskan maka tubuhnya bakal ketarik bersama."
Benar saja tongkat itu kena ketarik, tetapi cuma sedetik, cekalannya
lolos sendirinya. Sebab selagi ia menarik dan si nona mengikuti,
mendadak nona itu mendorong dengan kaget, hingga terlepaslah cekalannya.
Tengah ia terkejut, tahu-tahu tongkat itu sudah berbalik, melayang ke
kepalanya. Ia kaget melihat tongkat itu berkelebat. Dasar ia lihay, ia
lantas menjatuhkan diri, berguling jauh satu tombak. Ketika ia sudah
berdiri pula, ia menampak si nona berdiri diam mengawasi ia dengan
bersenyum.
"Kau tahu apa namanya jurus ini?" si nona tanya, tertawa. "Kau telah
kena aku kemplang satu kali, kau tahu kau telah berubah menjadi apa?"
Dulu hari pernah Nio Cu Ong merasa lihaynya tongkat itu, dia dibuatnya
Ang Cit Kong "mati dan hidup pula", maka juga meski sang tempo telah
lama lewat, dia masih ingat itu dan merasa jeri, sekarang dia
merasakannya pula, meski tidak hebat, toh hatinya terkesiap, dia menjadi
jeri. Justru itu dia melihat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw tengah
terdesak hebat, mereka itu cuma dapat membela diri, dia lantas berseru
dan memutar tubuh, untuk mengangkat kaki.
See Thong Thian kena disikut Kwee Ceng, dia terhuyung tiga tindak.
Meneruskan serangannya, tangan kiri si anak muda melayang kepada Pheng
Lian Houw. Dia ini tidak berani menangkis, dia berkelit. Tapi dia kalah
gesit, tangan kanan anak muda itu kena menyambar lengannya, yang terus
dicekal keras. Dia bertubuh kate dan kecil, dengan gampang tubuhnya itu
kena diangkat, hingga kedua kakinya seperti bergelantungan di udara ……
Sambil mengangkat tubuh orang Kwee Ceng mengepal tangan kirinya, siap
sedia meninju dada orang tawanannya itu. Lian Houw melihat itu, dalam
takutnya dia berseru menanya, "Hari ini bulan ke delapan tanggal
berapa?"
"Apa kau bilang?" tanya si anak muda tercengang.
"Kau memegang kepercayaan atau tidak?" Lian Houw tanya. "Apakah kata-katanya satu laki-laki tak masuk hitungan?"
"Apa kau bilang?" Sambil menegasi, Kwee Ceng masih mengangkat tubuh orang.
"Bukankah janji kami ialah Pee-gwee Cap-gouw," kata Lian Houw. "Bukankah
janji pertandingan kita di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada tanggal lima
belas bulan delapan itu? Dan tempat ini bukannya kota Kee-hin dan
sekarang bukannya harian Tiong Ciu! Bagaimana dapat kau mencelakai aku?"
Kwee Ceng pikir perkataan orang itu benar juga, ia hendak melepaskan atau mendadak ia ingat suatu apa.
"Kamu bikin apa atas dirinya Toako Ciu Pek Thong?" ia tanya.
"Dia sekarang lagi bertaruh sama Leng Tie Siangjin," menyahut Lian Houw.
"Mereka bertaruh, siapa bergerak paling dulu, dialah yang kalah! Urusan
dia tidak ada hubungannya sama aku!"
Kwee Ceng mengawasi dua orang yang duduk di tanah itu, pikirnya,
"Kiranya begitu?" Lantas ia menanya keras; "Toasuhu, adakah kau baik?"
Itulah pertanyaan untuk Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu.
"Hm!" jawab Hui Thian Pian-hok dari dalam gua. Sampai di situ, pemuda
ini lantas melepaskan cekalannya sambil ia terus menolak dada orang.
"Pergilah!" ia mengusir.
Pheng Lian Houw tidak roboh, karena ia terus berlompat. Ketika kedua
kakinya telah menginjak tanah, ia berpaling ke arah kedua kawannya, See
Thong Thian dan Nio Cu Ong, maka ia mendapatkan mereka itu sudah pergi
jauh. "Celaka, manusia tidak ingat persahabatan!" ia mencaci di dalam
hatinya. Lantas ia memberi hormat kepada Kwee Ceng seraya membilang,
"Nanti tujuh hari kemudian, kita mengadu kepandaian pula di Yan Ie Lauw
untuk memastikan kalah menang!" Setelah beraksi begitu ia memutar
tubuhnya, dengan menggunai ilmu enteng tubuhnya. Ia lantas mengangkat
kaki!
Itu waktu Oey Yong telah menghampirkan Ciu Pek Thong dan Leng Tie
Siangjin. Dua orang itu saling mengawasi dengan matanya masing-masing
terbuka lebar, tidak ada yang mengedip atau menoleh. Ia lantas ingat
perkataannya dua orang yang berjalan malam itu bahwa Pek Thong telah
kena ditipu Lian Houw, sekarang ia membuktikan itu. Pasti, karena jeri
kepada Pek Thong, jago tua itu telah dipancing kemurkaannya dia diadu
dengan Leng Tie Siangjin, dengan cara adunya mereka main diam-diam.
Dengan cara begitu juga, Pek Thong jadi dibikin tidak dapat berkutik,
hingga mereka itu leluasa mengepung Kwa Tin Ok. Pek Thong gemar
bergurau, ia pun polos, gampang saja dia kena diperdayakan, maka juga
meski di sampingnya orang bertempur hebat dan mengacau, dia tidak
mengambil mumet, dia terus mengadu diam dengan Leng Tie, si pendeta dari
Tibet. Dia berduduk tegar, maksudnya yang utama ialah mengalahkan Leng
Tie.
"Loo Boan Tong, aku datang!" kata Oey Yong.
Pek Thong mendengar itu, tetapi dia takut kalah, dia berdiam saja.
"Dengan bertaruh begini kamu menyia-nyiakan waktu," kata si nona. "Lagi
satu jam juga, belum tentu kamu ada yang menang atau kalah! Mana itu
menarik hati? Begini saja! Aku yang menjadi wasitnya! Aku akan mengitik
kamu, mengitiknya sama, lantas aku mau lihat, siapa yang tertawa paling
dulu. Siapa yang tertawa, dialah yang kalah!"
Sebenarnya Pek Thong sudah habis sabar, bahwa ia toh tetap berdiam saja,
ia penasaran kalau ia sampai kalah, sekarang mendengar usulnya si nona,
ia akur. Tapi ia tidak mau mengasih tanda akan kesetujuannya, sebab
kalau ia menepi atau bergerak ia kalah.
Oey Yong tidak menanti jawaban, ia mendekati mereka, ia memernahkan diri
dari di antara mereka itu, lalu ia mementang kedua tangannya, dengan
berbareng ia menotok ke jalan darah siauw-yauw-hiat mereka itu, ialah
urat tertawa. Ia tahu Pek Thong menang unggul dari Leng Tie, ia tidak
berlaku curang. Kesudahannya totokannya itu membuatnya heran. Pek Thong
memang tetap bercokol, tetapi anehnya, Leng Tie pun berdiam saja,
pendeta itu seperti tidak merasakan apa-apa dia seperti tidak
menggubrisnya godaan itu.
"Heran pendeta ini," pikir si nona. "Nyata dia lihay ilmunya menutup
jalan darahnya. Jikalau aku, tentulah aku sudah tertawa
terpingkal-pingkal ……" Ia penasaran, maka ia menotok pula, kali ini
dengan terlebih keras.
Ciu Pek Thong mengumpul tenaga dalamnya, ia menentang totokannya Oey
Yong. Segera ia menjadi heran. Ia mendapat kenyataan tenaganya si nona
menjadi besar sekali. Ia melawan terus, ia bertahan, tetapi ia
kewalahan. Di akhirnya, ia melepaskan perlawanannya, sambil berlompat
bangun, ia tertawa berkakakan. Kemudian ia kata; "Eh, eh pendeta, kau
hebat! Baiklah, Loo Boan Tong menyerah kalah!!"
Oey Yong menjadi menyesal. Ia tidak menyangka Pek Thong begitu gampang
saja mengaku kalah. Pikirnya, "Kalau tahu begini, aku tidak mengganggu
dia, aku hanya mengeraskan totokanku kepada si pendeta." Maka ia lantas
menghadapi Leng Tie dan berkata; "Kau sudah menang, nonamu tidak
menginginkan jiwamu! Lekas mabur!"
Leng Tie tidak menyahuti, dia duduk tetap.
"He, siapa kesudian menontoni macam tololmu ini?" membentak si nona seraya tangannya menolak. "Kau berpura-pura mampus?"
Oey Yong menolak dengan perlahan, tetapi tubuh si pendeta yang besar dan
gemuk itu roboh terguling dengan tiba-tiba, robohnya dengan tangan dan
kakinya tidak bergerak, seperti tadi dia bersila.
Si nona terkejut, juga Kwee Ceng dan Pek Thong.
"Apakah ini disebabkan ilmunya menutup jalan darah?" tanya Oey Yong.
"Apa ilmunya itu belum sempurna, maka ia gagal bertahan dan menjadi kaku
terus-terusan dan mati sendirinya. Ia lantas menaruh tangannya di depan
hidung pendeta itu, ia merasakan hawa tarikan napas yang biasa, ia
menjadi heran mendongkol dan lucu.
"Loo Boan Tong, kau terpedayakan, kau tidak tahu!" ia kata sambil tertawa pada Pek Thong. "Sungguh manusia tolol!"
"Apa kau bilang?" tanya si orang tua, matanya dipentang lebar.
Si nona tertawa.
"Kau bebaskan dulu dia dari totokan jalan darah, baru kita bicara pula!" sahutnya.
Si tua jenaka itu melengak, tetapi ia membungkuk kepada Leng Tie
Siangjin tubuh siapa ia lantas raba-raba, usap sana dan usap sini, ia
juga menepuk-nepuk, dengan begitu ia menjadi mendapat kenyataan, si
pendeta telah ditotok seluruh jalan darahnya. Ia lantas berjingkrak dan
berseru-seru; "Tidak, tidak, inilah tidak masuk hitungan!"
"Tidak masuk hitungan apa?" Oey Yong menegasi.
"Dia ini dipermainkan konconya," kata Loo Boan Tong. "Sesudah dia duduk
tadi, konconya totok dia hingga dia jadi duduk tegak tanpa bisa
berkutik. Dengan begitu, meski kita bertaruh sampai lagi tiga hari dan
tiga malam, dia pasti tidak bakal kalah!" Ia berbalik pula pada si
pendeta, yang rebah melengkung di tanah, ia kata; "Mari, mari! Mari kita
mulai mengadu pula!"
Sementara itu, hati Kwee Ceng menjadi lega. Ia melihat orang tidak
kurang suatu apa, bahkan sehat sekali. Maka ia tidak sudi mendengari
ocehan orang lebih lama. Ia ingat kepada gurunya. Dari itu ia lantas
lari ke dalam gua.
Pek Thong sendiri lantas menolongi Leng Tie Siangjin, yang ditotok
bebas, sembari menolongi, masih ia mengoceh tak hentinya. "Mari, mari
kita bertaruh pula!"
"Mana guruku?" Oey Yong tanya dingin kepada orang tua berandalan itu. "Kau buang ke mana guruku itu?"
Ditanya begitu, Pek Thong terkejut hingga dia berteriak, lantas dia lari
ngiprit ke arah gua, hingga hampir saja dia saling tabrak sama Kwee
Ceng, yang ke luar dari dalam gua itu sambil mempepayang gurunya.
Tiba di luar anak muda ini berdiri menjublak. Ia melihat Kwa Tin Ok,
gurunya yang paling tua itu, melibat kepala dengan sabuk putih, bajunya
baju putih juga.
"Suhu, apakah kau sedang berkabung?" akhirnya ia menanya heran. "Jie-suhu dan yang lainnya mana?"
Tin Ok tidak menyahuti, hanya ia mengangkat kepalanya memandang langit. Dengan lantas ia mengucurkan air mata.
Kwee Ceng heran dan kaget, sampai ia tidak berani lantas mengulangi pertanyaannya.
Ketika itu Pek Thong sudah muncul pula dari dalam gua, ia mempepayang
satu orang yang tangannya yang kiri mencekal cupu-cupu arak, tangannya
yang kanan memegang daging ayam sebelah potong, sedang mulutnya
menggigit satu paha ayam juga. Dialah Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong.
Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali. "Suhu!" mereka memanggil.
Justru itu Kwa Tin Ok, dengan romannya yang bengis, menghajar nona Oey dengan tongkat besinya.
Oey Yong sedang bergirang sekali, ia tidak menyangka yang ia bakal
diserang. Itulah satu jurus dari Hok Mo Thung-hoat yaitu Ilmu Tongkat
Menakluki Iblis, yang Tin Ok sengaja menciptakannya di gurun pasir,
untuk melawan Bwee Tiauw Hong. Sebaliknya Kwee Ceng melihat itu. Bukan
main kagetnya murid ini. Tidak ada tempo lagi untuk mencegah dengan
mulut, terpaksa si anak muda mengulur tangan kirinya, guna menyampok
tongkat itu, sedang dengan tangan kanannya, ia menyambar ujungnya, guna
membikin tongkat itu tidak jatuh. Dalam kesusu, ia menggunai tenaga
besar. Inilah hebat untuk Kwa Tin Ok. Dia tersampok dan tertarik, dia
tidak dapat mempertahankan dirinya, tongkatnya terlepas, tubuhnya
terpelanting jatuh!
Kembali Kwee Ceng menjadi kaget.
"Suhu!" ia berseru seraya menubruk, guna mengasih bangun gurunya itu.
Mulutnya Kwa Tin Ok mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot, sedang mukanya bengkak akibat jatuhnya itu.
"Untuk kau!" katanya ketika ia mengambil kedua buah giginya itu dan menyerahkannya kepada muridnya. Tangannya berlepotan darah.
Kwee Ceng menjatuhkan diri di depan gurunya itu. "Teecu salah, suhu," ia kata. "Silahkan suhu menghukumnya ……"
"Untukmu!" kata pula si guru, tangannya tetap dilonjorkan.
"Suhu ……" murid itu kata pula sambil menangis.
Ciu Pek Thong menyaksikan kejadian itu, yang ia anggap lucu, maka ia
tertawa dan kata; "Semenjak dulu adalah guru yang menghajar murid tetapi
hari ini murid menghajar guru! Bagus-bagus!" Ia tidak memperdulikan
lagi bahwa ia justru membikin hati Tin Ok menjadi makin panas. Karena
sang murid tidak mau menerima giginya itu, Tin Ok lantas menelan itu!
"Bagus, bagus!" kembali Pek Thong berseru-seru dan bertepuk tangan.
Oey Yong bingung. Ia tidak tahu kenapa Tin Ok hendak membinasakan padanya. Ia mendekati Cit Kong tangan siapa ia cekal.
"Biar bagaimana juga teecu tidak berani melawan suhu," kata Kwee Ceng
mengangguk-angguk. "Barusan teecu kesalahan tangan, maka itu harap suhu
menghukum padaku ……"
"Suhu! Suhu!" membentak sang guru. "Siapa gurumu? Kau mempunyai pemilik
dari Tho Hoa To sebagai mertuamu, perlu apa lagi kau dengan gurumu?
Kanglam Cit Koay cetek kepandaiannya, mana tepat dia menjadi gurunya
Kwee Toaya?"
Kwee Ceng semakin menyesal, ia mengangguk-angguk pula. Hebat sekali
kemurkaan guru itu hingga Oey Yok Su disebut-sebut sebagai mertuanya dan
ia pun disindir "toaya" atau "tuan besar".
Ang Cit Kong tidak dapat mengawasi saja.
"Kwa Tayhiap," ia berkata, "Di antara guru dan murid, keterlepasan
tangan adalah hal yang umum, oleh karena itu, aku harap kau maafkan
muridmu ini. Barusan anak Ceng menggunai jurus dari ilmu silat ajaranku
si pengemis tua, akulah yang bersalah, di sini aku hatur maaf kepadamu."
Pengemis itu benar-benar menjura kepada jago Kanglam itu.
Mendengar Cit Kong berkata demikian, Pek Thong pikir ia pun baik
berbicara. Maka ia kata kepada Hoe Thian Pian-hok, "Kwa Tayhiap di
antara guru dan murid keterlepasan tangan adalah yang umum sekali,
karena sambaran saudara Kwee barusan kepada tongkatmu adalah sambaran
ajaranku, di sini aku si Loo Boan Tong matur maaf padamu."
Dan ia pun menjura dalam.
Dalam murkanya itu, Tin Ok menganggap orang mengejek ia, ia bukan saja
mendongkol pada si tua yang doyan bergurau ini, ia juga menganggapnya
Ang Cit Kong mau main gila terhadapnya, maka itu dengan sengit ia kata;
"Kamu Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kamu semua sangat
mengandalkan kepandaian kamu, kamu menganggap kamu dapat malang
melintang di kolong langit ini, akan tetapi di mataku, perbuatan kamu
semua banyak yang tak pantas, maka akhirnya nanti mesti buruk adanya!"
Pek Thong heran.
"Eh, apakah salahnya Lam Tee hingga kau membawa-bawa dia?" ia tanya.
Oey Yong melihat suasana buruk sekali, kalau ia diam saja, si tua bangka
berandalan ini bisa mengacau hebat, karena dalam murkanya itu, Tin Ok
mesti dibikin sabar dan bukannya dikocok, maka itu ia lantas menyelak.
Ia kata; "Loo Boan Tong, burung wanyoh mau terbang berpasangan datang
mencari kau, apakah kau tidak mau lekas-lekas pergi melihat dia?"
Pek Thong kaget hingga ia lompat berjingkrak. "Apa?" ia menanya.
"Dia ingin bersama kau di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi mandi baju merah…" kata pula si nona.
Pek Thong menjadi terlebih kaget lagi.
"Di mana? Di mana?" ia tanya berulang-ulang.
"Di sana!" sahut Oey Yong, tangannya menunjuk ke arah selatan. "Di sana! Lekas kau pergi cari dia!"
"Untuk selama-lamanya aku tidak akan menemui dia pula!" berseru Pek
Thong. "Nona yang baik, apa juga kau boleh menitahkannya kepadaku asal
kau jangan membilangi dia bahwa aku berada di sini…!" Belum berhenti
suaranya, dia sudah lari ke utara.
"Kau ingat perkataanmu ini ialah janjimu!" kata Oey Yong.
"Kalau Loo Boan Tong sudah mengatakan, dia tidak nanti menyesal!" kata
Pek Thong dari jauh, lalu dia lenyap dari pandangan matanya si nona.
Maksudnya Oey Yong ialah memperdayakan si tua jenaka itu pergi mencari
Eng Kouw, siapa tahu, Pek Thong takut bertemu sama nyonya itu, dia
bahkan kabur. Tapi biar bagaimana, orang toh telah menyingkir, maka lega
juga hatinya nona ini.
Kwee Ceng masih berlutut di depan gurunya, ia masih minta diberi
hukuman. Sambil menangis ia berkata pula, "Buat guna teecu, suhu
bertujuh telah pergi jauh ke gurun di utara, tempat yang bersengsara,
maka itu biarpun tubuh teecu hancur lebur, sukar untuk teecu membalas
budi suhu semua. Tanganku ini bersalah, baiklah teecu tidak
menginginkannya pula!"
Dengan tangan kanannya, si anak muda mencabut pedangnya, dengan itu ia
menebas tangannya yang kiri, tetapi Kwa Tin Ok menangkis dengan
tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras, lelatu apinya muncrat,
tangan si guru dirasakan sakit. Itulah bukti yang muridnya itu
benar-benar mau mengutungi tangannya itu. Maka lantas ia berkata,
"Baiklah! Sekarang aku ingin kau melakukan sesuatu!"
"Titahkan saja, suhu, tidak nanti teecu membantah," Kwee Ceng bilang.
"Jika kau menampik, lain kali jangan kau bertemu pula padaku!" kata si guru. "Biarlah perhubungan kita putus bagaikan ditebas!"
"Teecu akan melakukan itu dengan sungguh-sungguh," kata Kwee Ceng, "Kalau tidak sampai mati baru teecu berhenti."
Tin Ok membanting tongkatnya ke tanah.
"Kau kutungi kepalanya Oey Lao Shia serta kepala gadisnya!" ia bilang keras.
Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Itulah titah sangat hebat, yang ia tidak sangka.
"Suhu!" serunya. "Suhu ……!"
"Bagaimana?" tanya si suhu bengis.
"Entah kenapa Oey Lao Shia bersalah kepada suhu?"
"Hm! Hm!" mengejek si guru. "Aku mengharap Thian memberikan ketika
sejenak saja untuk aku bisa melihat, asal aku bisa melihat mukamu
binatang cilik yang bong in pwee gie!" Dia mengangkat pula tongkatnya,
niat menyerang.
Bukan main sedihnya Kwee Ceng, yang dikatakan bong it pwee gie - tidak
mengenal budi. Ia melihat tongkat mengancam. Ia tidak berkisar, tidak
berkelit.
Oey Yong terkejut, apa pula ketika ia mendapatkan si pemuda berdiam saja.
"Menolong dulu, itulah perlu!" pikirnya. Maka ia menggeraki tongkatnya, dengan jurusnya "Anjing jahat menghadang jalanan".
Tongkatnya Tin Ok tidak mengenai sasarannya.
Bukan main mendongkolnya ketua Kanglam Cit Koay ini. Tangkisan si nona
membuatnya terhuyung, meski ia tidak jatuh. Dua kali ia menumbuk dadanya
sendiri, lantas dia lari ke arah utara.
"Suhu! Suhu!" Kwee Ceng berteriak-teriak memanggil.
"Apakah Kwee Toaya menghendaki jiwa tuaku?" guru itu tanya.
Kwee Ceng tercengang. Ia tidak berani mencegah pula. Ia menunduki
kepala. Maka itu ia cuma bisa mendengar suara tongkat besi mengenai
tanah atau batu, makin lama makin jauh, makin jauh, makin samar, lalu
lenyap. Ia ingat budinya guru itu. Ia menjatuhkan diri di tanah dan
menangis menggerung-gerung.
Sambil menuntun tangan Oey Yong, Cit Kong menghampirkan muridnya itu.
"Dua-dua Kwa Tayhiap dan Oey Lao Shia mempunyai tabiatnya
sendiri-sendiri yang sangat luar biasa." ia berkata, "Entah ada terjadi
perselisihan hebat apa di antara mereka itu. Sekarang kau jangan
bersusah hati, kau serahkan urusan padaku, nanti aku si pengemis tua
yang membereskan, supaya mereka menjadi akur pula."
Kwee Ceng berhenti menangis, ia bangun. "Suhu, tahukah suhu apa sebabnya itu?" ia tanya.
Cit Kong menggeleng kepala, tetapi ia berkata; "Loo Boan Tong telah kena
orang perdayakan. Dia bertaruh mengadu diam maka kejadianlah dia diam
tak berkutik. Memangnya kawan manusia jahat itu hendak membikin celaka
padaku, kebetulan gurumu itu sampai, dia melindungi aku, dia mengajaknya
aku bersembunyi ke dalam gua itu. Dengan mengandal pada lengkak beracun
gurumu itu, orang jahat tidak berani memasuki gua. Maka kita dapat
bertahan sekian lama. Gurumu itu seorang mulia hati, melindungi aku
dengan memberbahayakan dirinya sendiri."
Pengemis itu berhenti bicara, dia mencegluk araknya dua kali, akan
menggerogoti paha ayamnya, yang ia terus telan, setelah mana, ia menyeka
mulutnya. Habis itu, baru ia berkata pula, "Pertempuran barusan hebat
sekali. Celaka untukku, karena kepandaianku telah ludas, aku tidak dapat
turun tangan untuk membantu. Aku bertemu sama gurumu itu tetapi tidak
sempat aku bicara dengannya. Aku percaya kegusarannya barusan pasti
bukan karena kau keterlepasan tangan. Dia seorang berbudi dan jauh
pandangannya, tidak nanti dia berlaku dengan cupat pikiran. Lagi
beberapa hari akan tiba waktu perjanjian Pee-gwee Cap-gouw, maka
sesudahnya pertandingan di Yan Ie Lauw nanti aku menjadi orang
pertengahan akan mengakuri mereka itu."
Kwee Ceng mengucap terima kasih.
"Kepandaian kamu berdua maju sangat pesat anak-anak," Cit Kong berkata
pula tertawa. "Kwa Tayhiap ada seorang Rimba Persilatan yang kenamaan
tetapi setelah kamu turun tangan, dia jatuh pamornya. Sebenarnya
bagaimanakah halnya dengan kamu?"
Kwee Ceng berduka dan malu, ia tidak dapat bicara, maka Oey Yong yang
menutur hal perjalanan mereka berdua semenjak mereka berpisah di istana
kaisar.
Cit Kong memuji dengan seruannya mendengar Yo Kang membinasakan Auwyang
Kongcu. Ketika ia mendengar halnya Yo Kang menipu Lou Tiangloo sekalian,
ia mencaci anak muda itu sebagai anak jadah. Kemudian ia melongo
mendengar halnya It Teng Taysu menolongi nona Oey sampai pada lelakonnya
Sin Soan Cu Eng Kouw yang penasaran dan mendendam hebat. Di akhirnya ia
bcrseru kaget mengetahui Eng Kouw muncul di Chee-liong-tha di mana
nyonya itu menjadi seperti hilang ingatan.
"Suhu, apakah suhu kenal Eng Kouw?" Oey Yong tanya.
"Tidak, aku tidak kenal dia," menyahut guru itu, "Hanya di waktu Toan
Hongya masuk menjadi pendeta, aku berada di sisinya. Dia telah mengirim
surat padaku di Utara, dia mengundang aku datang ke Selatan. Aku lantas
datang karena aku percaya tanpa urusan penting tidak nanti dia
mengundang aku. Aku datang karena sekalian aku ingin mencoba pula
makanan Inlam yang lezat, bahkan aku berangkat dengan cepat. Tempo aku
bertemu sama Toan Hongya, dia lesu sekali, dia sangat beda sama waktunya
pertemuan di Hoa San di mana dia gagah bagaikan naga dan harimau. Aku
heran sekali. Besoknya dia mengajaki aku berunding tentang ilmu silat
maksudnya untuk mewariskan padaku dua macam kepandaiannya. Sian Thian
Kan dan It Yang Cie. Kembali aku menjadi heran. Sian Thian Kang dari
Toan Hongya bersama Hang liong Sip-pat Ciang dari aku, Hap Mo Kang dari
Auwyang Hong dan Pek Khong Ciang dari Oey Lao Shia, sama tersohornya,
sama tangguhnya, maka itu setelah dia pun memperoleh It Yang Cie dari
Ong Tiong Yang, pasti sudah dia bakal jadi jago nomor satu di kolong
langit ini dalam pertempuran yang kedua di Hoa San. Tidak karu-karuan
sekarang dia mau mewariskan dua rupa kepandaiannya itu padaku, untuk itu
ia memakai alasan merundingkan ilmu silat. Kenapa dia tidak mau
mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku? Mesti ada sebabnya. Hal
itu aku telah memikirkannya. Kemudian setelah diam-diam aku berbicara
dengan empat muridnya, baru aku ketahui sebab aneh itu. Kiranya, habis
mewariskan kepandaiannya padaku, dia hendak membunuh diri…"
"Suhu," berkata Oey Yong, "Toan Hongya itu khawatir, setelah dia mati,
It Yang Cie tidak ada yang mewariskan dan itu artinya tidak ada orang
yang dapat menguasai lagi Auwyang Hong."
"Benar, aku pun telah melihat hal itu. Karena itu juga, aku bilang aku
tidak suka mempelajari dua rupa kepandaiannya itu. Setelah aku menampik,
dia baru menutur maksud hatinya. Dia kata keempat muridnya, biarnya
mereka jujur dan setia, tetapi sebab perhatian mereka itu ditumpleki
pada urusan pemerintah, tidak nanti mereka memperoleh kemajuan. Dia kata
pula, tidak apa aku tidak menyukai Sian Thian Kang tetapi It Yang Cie
sangat perlu. Dia bilang, apabila It Yang Cie terbawa ke kubur olehnya
tanpa ada yang mewariskan, dia malu bertemu Ong Tiong Yang Cinjin di
dunia baka. Aku masih membandel tidak mau menerima warisannya itu. Aku
pikir, dengan membandel artinya jiwanya dapat ditolong."
"Kejadian itu sungguh aneh," kata Oey Yong. "Semenjak dulu adalah umum,
seorang mau belajar dan minta diajari dan orang menolak mengajari, akan
tetapi kali ini, orang tidak mau belajar tapi ia justru dibujuki,
dipaksa!"
"Oleh karena aku tetap menolak," Cit Kong bercerita lebih jauh, "Toan
Hongya habis daya, lantas dia masuk menjadi pendeta, di harian dia
dicukuri rambutnya, aku hadir dan mendampingi dia. Itulah kejadian
belasan tahun yang lalu. Ah, bagus, bagus sekarang urusan bisa
diselesaikan secara begini."
"Suhu," kemudian Oey Yong berkata pula. "Urusan kami sudah beres, sekarang tetang hal suhu sendiri."
"Urusanku sendiri!" kata si orang tua. "Di istana aku telah makan segala
macam masakan lezat ……" dan tak hentinya ia menyebut namanya pelbagai
sayur sambil dengan lidahnya menjilati bibirnya.
"Kenapa Loo Boan Tong tidak berhasil mencari suhu?"
"Sebabnya ialah karena koki raja sering kehilangan banyak sayurnya,
dapur istana jadi kacau! Semua orang bilang di dapur istana itu muncul
dewa rase, lantas mereka memasang hio memuja aku. Kemudian urusan
terdengar oleh pimpinan siewi, dia mengirim delapan siewi untuk menjagai
dapur, untuk menangkap dewa rase itu. Aku jadi sulit, sedang Loo Boan
Tong tidak datang-datang. Terpaksa aku pergi bersembunyi di tempat yang
sepi. Tempat itu dipanggil ruang Gok Lek Hoa-tong. Di sana ada ditanam
banyak pohon bwee. Itulah tempat raja menggadangi bunga bwee di musim
dingin, maka itu di musim panas, di situ tidak ada satu setan jua
kecuali beberapa orang kebiri tua tukang nyapu. Senang aku tinggal di
situ. Di mana saja di dalam istana, orang bisa makan, seratus pengemis
tinggal juga mereka tidak bakal kelaparan. Baru belasan hari aku hidup
senang lalu datang gegobrak, mulanya Loo Boan Tong yang main menangis
seperti setan mengulun atau anjing membaung atau kucing mengeong, hingga
istana jadi kacau, lalu beberapa orang berteriak-teriak, 'Ang Cit Kong
Looya-cu! Ang Cit Kong Looyacu!' Aku mengingat, aku mengenali mereka
ialah rombongannya Pheng Lian Houw, See Thong Thian dan Nio Cu Ong ……"
"Mau apa mereka itu mencari suhu?" tanya Oey Yong heran.
"Aku pun heran. Hendak aku menyingkir dari mereka, tetapi Loo Boan Tong
berhasil mempergoki aku. Dia sangat girang, dia peluk aku, dia
memuji-muji kepada Thian. Kemudian dia menitahkan Nio Cu Ong semua
berjalan di belakang ……"
Kembali Oey Yong heran.
"Kenapa Nio Cu Ong semua dapat diperintah Loo Boan Tong?"
"Ketika itu aku pun sangat heran. Aku melihat mereka sangat takut kepada
Loo Boan Tong, apa yang diperintahkan, mereka lantas kerjakan, tidak
berani mereka membantah. Demikian mereka diberi tugas mengiringi, Loo
Boan Tong menggendong aku sampai di Gu-kee-cun, untuk mencari kamu
berdua. Di tengah jalan dia menjelaskan padaku bahwa dia bingung tidak
dapat mencari aku, sedangnya begitu dia bertemu Nio Cu Ong semua. Dia
hajar mereka itu, dia suruh mereka membantui mencari di segala tempat.
Mereka mengatakan sia-sia belaka mereka mencari di istana sedang istana
sangat luas dan lebar."
Oey Yong tertawa.
"Loo Boan Tong lihay sekali, dia dapat membikin Nio Cu Ong semua tunduk. Kenapa kawanan iblis itu tidak melarikan diri saja?"
Cit Kong pun tertawa.
"Loo Boan Tong ada mempunyai akalnya sendiri. Dia kata dia telah membuat
obat pel yang dicampuri kotorannya, dia suruh mereka makan satu orang
tiga butir, setelah itu dia membilangi, obatnya itu ada racunnya dan
akan bekerja selewatnya empat puluh sembilan hari, bahwa obat pemunahnya
cuma ia sendiri yang dapat membikinnya. Mereka itu jadi ketakutan,
mungkin mereka sangsi, tetapi mereka menjadi mendengar kata. Begitu
mereka jadi dapat diperintah segala macam.
Kwee Ceng lagi berduka tetapi mendengar ceritanya sang guru, ia tertawa juga.
"Sampai di Gu-kee-cun, kamu tidak dapat dicari," Ang Cit Kong meneruskan
keterangannya, "Loo Boan Tong memaksa mereka itu mencari pula. Kemarin
malam mereka pulang dengan lesu, mereka gagal, dari itu Loo Boan Tong
mencaci mereka, yang terus diancam, apabila besok mereka gagal pula,
mereka akan dikasih makan lagi obat kotorannya itu. Ia menyebut-nyebut
air kencing. Mendengar itu, timbul kecurigaan mereka. Mereka percaya
bahwa mereka lagi dipermainkan, bahwa sebenarnya mereka bukan dikasih
makan racun. Lantas mereka memancing. Dalam gusarnya, Loo Boan Tong
membuka rahasianya sendiri tanpa merasa. Aku menjadi berkhawatir. Mereka
itu bangsa licik, aku pikir lebih baik mereka disingkirkan saja, supaya
mereka tidak menjadi bahaya di belakang hari. Mereka itu benar lihay
mereka merasa bahaya mengancam mereka, mereka mendahului turun tangan.
Begitulah Pheng Lian Houw menggunai kecerdikannya, dia mau adu Loo Boan
Tong dengan Leng Tie Siangjin. Tidak dapat aku mencegah lagi. Untuk
menolong diri, aku pergi menyingkir. Kebetulan sekali di luar dusun aku
bertemu Kwa Tayhiap. Dia melindungi aku menyingkir kemari, kemudian dia
pergi kepada Loo Boan Tong, maka Loo Boan Tong pun datang ke mari, hanya
di sini, setelah dikocok Lian Houw, dia mengadu kepandaian duduk diam
sama si pendeta."
Oey Yong mendongkol berbareng merasa lucu.
"Jikalau tidak terjadi perkara kebetulan, suhu, jiwamu bisa hilang di
tangan Loo Boan Tong," kata Ia. "Baiknya kebetulan sekali engko Ceng dan
aku mendengar lewatnya dua kawan mereka itu."
"Jiwaku memang sudah tidak berharga, jiwa itu diantarkan di tangan siapa pun sama saja." kata sang guru.
"Suhu, ketika itu hari kita pulang dari pulau Beng Hee To ……" kata si nona.
"Bukan Beng Hee To hanya pulau menggencet setan!" kata sang guru pula.
"Baiklah, pulau menggencet setan," kata sang murid. "Sekarang ini
benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi setan! Ketika itu hari di atas
getek kita menolongi Auwyang Hong paman dan keponakan, aku mendengar si
bisa bangkotan mengatakan bahwa di kolong langit ini cuma ada satu orang
yang dapat menyembuhkan suhu, hanya dia sangat gagah dan lihay, dia
tidak bisa dipaksa menolongi sedang suhu tidak sudi menolong diri dengan
merugikan lain orang, suhu tidak mau minta pertolongan orang itu. Suhu
juga tidak mau membilang nama orang. Sekarang kami tahu siapa orang itu,
sebab dialah bukan lain dari pada Toan Hongya dulu hari dan It Teng
Taysu sekarang ini."
Ang Cit Kong menghela napas.
"Jikalau dia menggunai It Yang Cie menyalurkan jalan darahku, memang dia
dapat menyemhuhkan aku," ia berkata, "Hanya karena dia menolong aku,
dia bakal menggunai tenaga dalamnya cara berlebihan, setelah itu
banyaknya tujuh tahun atau sedikitnya lima tahun, tidak dapat dia
memulihkan tenaga dalamnya itu. Mungkin hatinya tawar dan dia tidak
menghiraukan lagi urusan pertemuan yang kedua di gunung Hoa San, tetapi
dengan usianya sudah enam atau tujuhpuluh tahun, berapa lama lagi dia
bisa hidup? Maka itu, mana aku si pengemis tua dapat membuka mulut untuk
mohon pertolongannya itu?"
Mendengar itu, Kwee Ceng berjingkrak.
"Suhu, mari aku yang mengobati kau!" ia berkata. "Aku telah mempelajari
It Yang Cie! Apakah tidak baik sekarang juga di gua ini aku menyalurkan
semua jalan darahmu itu?"
Ang Cit Kong menggeleng kepala.
"Tahukah kau kenapa It Teng Taysu mengajari It Yang Cie padamu?" ia tanya.
Inilah Kwee Ceng tidak pernah pikir, maka itu mendengar pertanyaan
gurunya ini, ia lantas mengerti, tanpa merasa ia mengeluarkan peluh
dingin.
"Ah, It Teng Taysu hendak mencari kematiannya!" ia berseru. "Kalau begitu akulah yang membikin ia celaka!"
"Ketika dia mengobati Yong-jie, jikalau dia tidak melihat kau diam-diam
mempelajari ilmunya itu, tempo Eng Kouw mencari dia, mustahil dia berani
pasang tubuhnya untuk dibunuh nyonya itu?" kata pula guru ini. "Untuk
menolongi aku, untuk mengobati aku, tidak menjadi soal, tetapi bagaimana
kalau dalam tempo lima atau tujuh tahun si bisa bangkotan datang untuk
membikin celaka padamu? Bagaimana kau nanti melayani dia? Bolehkah kau
menyia-nyiakan pengorbanan It Teng Taysu?"
"Jikalau suhu sudah sembuh, suhu dapat melayani si bisa bangkotan itu," berkata sang murid.
Cit Kong lagi-lagi menggeleng kepala.
"Sukar untuk lukaku ini dapat disembuhkan dalam tempo yang cepat," ia
berkata. "Sebaliknya hari pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin sudah
sampai bulu alis. Maka itu tentang sakitku ini dan pengobatannya, baik
kita bicarakan lain kali saja."
Oey Yong tertawa mendengar orang berebut omong, yang satu memaksa mau
mengobati, yang lain menolak. Ia berkata; "Sudahlah, jangan kamu berebut
mulut! Untuk menyalurkan jalan darah dan meluruskan nadi, aku
mengerti!"
"Apa katamu!" Cit Kong menanya heran.
Si nona bersenyum, ia menyahuti, "Bahasa yang aneh yang engko Ceng ingat
di dalam hatinya telah disalin jelaskan kepada kami, sekarang aku
pikir-pikir, ilmu itu dapat dipakai menolong suhu." Untuk menguatkan
keterangannya, ia menjelaskan penjelasan penjelasan dari It Teng Taysu
itu.
"Bagus, bagus!" kata Cit Kong girang. "Aku lihat kau memang dapat
menolong, cuma untuk itu dibutuhkan tempo sedikitnya setengah sampai
satu tahun."