Dengan tangan kanannya, nona Bok menggenggam erat tangannya Oey Yong,
dengan tangan kirinya ia mengusap-usap belakang tangan nona itu. Dengan
matanya, ia mengawasi rontoknya bunga ke permukaan air.
"Melihat dia membunuh Auwyang Kongcu, aku menduga dia telah merubah
perbuatannya yang sudah-sudah," demikian ia melanjuti. "Aku lebih girang
lagi melihat dia disambut kedua orang lihay dari Kay Pang, yang
memperlakukan dia hormat sekali. Begitulah aku turut dia sampai di
Gakciu di mana pihak Kay Pang mengadakan rapat besarnya di gunung Kun
San. Lebih dulu dari pada itu, diam-diam dia memberitahukan aku bahwa
Ang Pangcu telah meninggalkan pesan agar ia menjadi pengganti pangcu.
Aku heran dan girang, tetapi aku sangsi, hanya melihat semua orang Kay
Pang begitu menghormati dia, kesangsianku lenyap. Aku bukan orang Kay
Pang, tidak dapat aku menghadiri rapat, maka itu aku menanti di dalam
kota. Aku pikir, dengan menjadi pangcu dari Kay Pang, pasti dia bakal
bekerja untuk negara dan rakyat, pasti besar usahanya. Aku percaya juga,
dia bakal menumpas musuhku, guna membalaskan sakit hati ayah dan ibu
angkatku. Malam itu aku berpikir keras hingga aku tidak dapat tidur
pulas. Di waktu fajar selagi aku mulai lelah dan tidur layap-layap,
mendadak dia pulang dengan jalan lompat masuk dari jendela. Aku kaget,
aku kira dia mau main gila pula. Ketika aku hendak menegur, dia
mendahului berbisik. 'Adik, urusan gagal, mari kita lekas menyingkir!'
Aku lantas tanya dia apa sudah terjadi, dia menjawab; 'Di dalam Kay Pang
ada pemberontak. Golongan Baju Kotor dan Baju Bersih bentrok karena
urusan mengangkat pangcu, mereka bertempur, sudah ada banyak orang yang
binasa.' Aku kaget dan heran, aku menanya bagaimana duduknya. Ia
menjawab, 'Karena yang terbinasa begitu banyak, aku mengundurkan diriku
sendiri, aku tidak mau jadi pangcu lagi.' Aku pikir, tindakan itu benar.
Ia menerangkan pula, 'Tapi pihak Pakaian Bersih tidak mau melepaskan
aku syukur aku dibantu Khiu Pangcu dari Tiat Ciang Pang, dengan begitu
bisa juga aku meloloskan diri dan berlalu dari Kun San. Sekarang ini
mari kita pergi ke Tiat Ciang San untuk menyingkir buat sementara
waktu.' Aku tidak tahu Tiat Ciang Pay itu rombongan baik atau jahat, aku
turut padanya. Setibanya di Tiat Ciang San, baru aku melihat
gerak-geriknya Khiu Pangcu aneh, rupanya mereka ada dari kaum sesat.
Karena itu aku usulkan dia mencari Tiang Cun Cu Khu Cie Kie, supaya imam
itu mengundang orang-orang gagah, untuk membantu pihak Kay Pang
mengadakan tata tertib partainya, supaya bisa dipilih satu pangcu yang
tepat. Aku kata, dia tidak dapat pergi dengan begitu saja, dia mesti
ingat budinya Ang Pangcu serta menjalani baik-baik pesannya. Tapi dia
aneh, dia bukan. bicara dari hal Kay Pang, dia justru menimbulkan urusan
pernikahan. Kita jadi bentrok. Aku telah memberi teguran padanya."
"Bagaimana kemudian?" Oey Yong tanya selagi si nona berhenti sebentar.
"Besoknya aku menyesal atas percederaan kemarin itu," kata Lim Cu
melanjuti. "Dia benar tidak memperhatikan lagi urusan Kay Pang, tetapi
dengan menimbulkan soal pernikahan, itu tandanya dia mencintai aku. Aku
merasa aku menegur keras padanya, pantas dia menjadi tidak senang. Hanya
malam itu, hatiku jadi bertambah tidak tenang. Aku menyalakan api, aku
menulis surat padanya untuk meminta maaf. Aku bawa surat itu ke
kamarnya, untuk meletakinya di bawah jendelanya. Selagi aku mau mengasih
masuk surat itu di sela-sela jendelanya mendadak aku mendengar dia lagi
bicara, entah sama siapa. Mulanya aku tidak berniat mendengari
pembicaraan mereka itu, hendak aku menaruh surat itu dan lantas pergi.
Tapi aku jadi ketarik sebab aku mengenali suara orang itu. Dia mencoba
bicara perlahan, toh aku dapat mendengarnya dengan nyata."
"'Siauw-ongya', demikian aku dengar 'Pikiran wanita memang tak
ketentuannya. Kalau nona Bok itu tidak mau menurut, kau jangan terlalu
buat pikiran. Pikirannya itu mungkin buat sewaktu-waktu saja. Khiu
Pangcu khawatir kau berduka, ia mengirimkan barang ini untuk kau
melegakan hatimu.' Aku heran. Entah barang apa itu yang Khiu Pangcu
hendak memberikannya. Maka ingin aku melihatnya."
Mendengar itu, Oey Yong pun heran dan turut ingin mengetahui. Bahkan la
sayangi selagi di Tiat Ciang San ia tidak dapat melihatnya, kalau tidak,
tentulah ia sudah merampas itu?!"
Liam Cu meneruskan pula ceritanya, "Dia membilang terima kasih. Dia kata
dia tidak berduka dan tak usah pangcu mengirimkan sesuatu kepadanya.
Tapi orang itu tertawa dan kata; 'Ongya lihat dulu, aku tanggung ongya
girang!' Dia menepuk tangannya perlahan, dua kali. Tanda itu disusul
sama datangnya dua orang yang menggotong sebuah keranjang besar. Aku
lantas mengintai. Orang tadi menghampirkan keranjang itu dan membuka
tutupnya.
Oey Yong memotong; "Aku tahu isinya keranjang itu, kalau bukan ular berbisa tentulah kodok. Pernah aku melihat itu!"
Cin Lam Kim sebegitu jauh berdiam saja, dia tidak campur bicara, air
mukanya juga tidak berubah, tapi kali ini dia mengawasi nona Oey.
"Adik, kau salah menerka!" kata Liam Cu. "Di dalam keranjang besar itu ada satu orang, ialah ini adik Cin!"
Oey Yong dan Kwee Ceng mengasih dengar suara kaget perlahan.
Baru sekarang nona Cin itu berbicara, matanya memandang ke kali,
sikapnya tenang sekali. Ia kata; "Semenjak inkong dan nona Oey pergi,
bersama kakek aku tetap menuntut penghidupan sebagai penangkap ular.
Kami selalu ingat kepada inkong, tak habisnya kami membicarakannya
meskipun inkong tinggal di rumah kami cuma satu hari dua malam. Dengan
begitu, hidup kami tidak kesepian. Sampai pada suatu hari, selagi aku
menangkap ular, aku kedatangan tiga orang yang berpakaian hitam semua.
Tidak karuan rupa, mereka tertawa terhadapku. Aku curiga, lantas aku
lari pulang. Mereka mengikuti. Belum aku tiba di rumah, mereka telah
berhasil menyusul aku dan aku lantas dipegang. Aku ketakutan dan
menjerit minta tolong. Kakek ke luar, dia mau menolongi aku. Dengan
lantas kakek dibunuh mereka itu."
Kwee Ceng gusar sekali hingga ia menumbuk pahanya.
"Dulu ada inkong yang menolong, kali ini ada siapa?" si nona melanjuti.
"Begitu aku dibawa ke gunung Tiat Ciang San. Setibanya di puncak, baru
aku mendapat tahu mereka juga telah menawan beberapa puluh orang lain
yang hidupnya sebagai tukang menangkap ular. Khiu Pangcu mau menangkap
banyak ular, untuk dipakai melatih semacam ilmu."
Oey Yong mengangguk. "Aku tahu itu," katanya.
Lam Kim seperti tidak mendengar perkataan si nona, ia bicara terus,
"Tiat Ciang Pang menitahkan aku menangkap ular. Sampai sebegitu jauh,
aku tidak diganggu, bahkan dia menitahkan aku mengusir kodok hijau untuk
berkelahi dengan kodok besar dan juga mengusir ular untuk memakani
kodok besar itu. Hanya di dalam beberapa hari, tahulah aku apa sebabnya
aksi mereka itu. Ialah mereka itu memperhatikan caranya semua binatang
itu berkelahi, lalu mereka melatih diri dengan mencontoh perkelahiannya
kodok hijau dan ular itu."
Mendengar sampai di situ, Oey Yong berlompat bangun.
"Engko Ceng!" katanya, "Juga Khiu Cian Jin lagi mengharap-harap Kiu Im Cin-keng!"
Kwee Ceng tidak mengerti. "Bagaimana?" dia tanya.
"Dia lagi memahamkan ilmu silat Ha Moa Kang dari See Tok. Kalau nanti
datang waktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa San, dia mau
menjadi jago nomor satu di kolong langit ini."
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti.
"Biar mereka berdua bertempur mati hidup, itu baru bagus," kata Oey
Yong. "Engko Ceng, coba bilang, di antara mereka berdua, siapa yang
terlebih lihay?"
Kwee Ceng berpikir. Lantas ia menggoyang kepala.
"Aku tidak tahu, mereka sama lihaynya."
"Ya, biarlah," kata pula si nona. Ia berpaling kepada Lam Kim, untuk
menanya, "Enci, bagaimana kejadiannya maka kau dimasuki ke dalam
keranjang?"
"Aku telah menjadi budaknya, jangan kata baru dimasuki ke dalam
keranjang, disuruh mendaki gunung golok atau masuk ke dalam kuali panas,
semua terserah kepadanya……" sahut nona Cin masgul.
Oey Yong tidak puas dengan jawaban itu, tetapi mengingat orang lagi bersusah hati, ia tidak bilang suatu apa.
"Aku hampir menjerit melihat adik Cin muncul dari dalam keranjang," kata
Liam Cu, yang melanjuti penuturannya. "Dia pun kaget. Bandit Tiat Ciang
Pang itu berkata sambil tertawa kepada Yo Kang, 'Siauw-ongya, permainan
ini tak ada kecelaannya, bukan?' Yo Kang menggoyang-goyang tangannya.
'Jangan-jangan!' katanya, 'Lekas bawa dia pergi! Kalau nona Bok ketahui
ini, bisa onar……' Mendengar suaranya itu, aku menyangka dia benar
berlaku baik padaku. Tapi si bandit membujuk, 'Nona Bok mana tahu? Kalau
ongya suka, lagi beberapa hari, apabila ongya turun gunung, dengan cara
diam-diam kami nanti mengantarkan dia ke istana, tapi jika ongya sudah
bosan, biarkan saja dia di sini. Semua akan dilakukan hingga iblis pun
tidak tahu.' Lantas dia pegang adik Cin, untuk ditarik ke luar dari
keranjang, dia kata, 'Baik-baik kau melayani siauw-ongya. Inilah tugas
bagus untukmu!' Setelah itu dia suruh dua orangnya berlalu dengan
membawa keranjang itu, dia sendiri turut berlalu sesudah memberi hormat
pada Yo Kang. Ketika dia pergi, dia sekalian menutup pintu. Setelah
berada sendirian, Yo Kang mengambil gunting, buat menggunting sumbu
lilin, hingga apinya jadi lebih terang, hingga dia bisa memandang
kecantikannya adik Cin. Sembari tertawa dia menghampirkan, untuk menarik
tangan orang. Dia menanya nama dan umur adik Cin. Adik Cin tidak
menyahuti. Lantas ia dipeluk dan mukanya dicium, sembari tertawa dia
kata; 'Harum sungguh harum!' Menyaksikan itu, bukan main panas hatiku,
mataku seperti kabur, hingga aku tidak melihat apa yang dia lakukan
terlebih jauh, sampai aku mendapatkan adik Cin memegang sebatang cagak
kecil, dua cagaknya diarahkan ke dadanya sendiri. Ia mengancam, 'Memang
aku sudah tidak mengharap lagi jiwaku, asal kau langgar pula tubuhku,
akan kubunuh diri di depanmu!' Aku puji adik Cin. Aku juga harap Yo Kang
nanti mundur. Dugaanku itu meleset. Acuh tak acuh, Yo Kang memutuskan
dua buah kancing bajunya, dengan itu dia menyentil dua kali. Dengan satu
kancing dia membikin jatuh cagak di tangan adik Cin dengan yang lain
dia menotok urat gagu orang. Sampai di situ, habis sabarku, maka aku
mendobrak jendela dan berlompat masuk ke dalam kamar. Dia tercengang
tapi lantas dia tertawa.
"Adikku, kebetulan kau datang!" kata dia padaku. Entah kenapa melihat
dia tertawa, hawa marahku lenyap separuhnya. Ketika kemudian dia
membujuki aku, aku jadi bimbang, tidak tahu aku mesti berbuat apa.
Adalah ketika itu, adik Oey, kau memanggil aku."
"Ketika itu aku juga tidak menyangka kau berada di atas gunung Tiat Ciang San," kata Oey Yong.
"Ketika enci bertempur sama Khiu Pangcu," kata Liam Cu, "Aku pergi ke
luar, niatku untuk membantui, tetapi entah ke mana perginya enci semua.
Kembali hatiku menjadi jeri. Diam-diam aku kembali ke kamar, aku
mengintai di jendela. Samar-samar aku melihat dia memeluk pula adik Cin.
Tiba-tiba saja aku muntah darah, lantas aku berseru, 'Baiklah, putus
kita sampai di sini! Untuk selama-lamanya aku tidak akan melihat pula
padamu!' Tanpa menanti jawaban, aku lari turun gunung. Keadaan ada
sangat kacau itu waktu. Aku melihat dengan membawa obor orang-orang Tiat
Ciang Pang meluruk ke puncak Tiong Cie Hong. Dengan begitu, aku turun
gunung tanpa rintangan. Hatiku menjadi tawar, niatku ialah untuk mati
saja. Aku bertemu sebuah bangunan, yang gelap, aku langsung masuk ke
dalamnya. Itulah sebuah kelenteng. Di tembok kiri aku melihat gambar
lukisan seorang imam yang bersenjatakan sebatang pedang panjang,
sikapnya gagah, di samping itu ada tulisan tiga huruf, bunyinya Wa Sie
Jin, artinya orang mati yang hidup. Aku tidak tahu artinya kata-kata
itu, hanya aku berpikir, kalau aku mati, siapa akan membalas sakit hati
ayah dan ibu angkatku? Maka itu, aku lantas berdiam di situ, aku di
terima menjadi murid oleh tookouw tua dari kelenteng tersebut. Besoknya
aku merasakan tubuhku panas, lalu aku lupa akan diriku. Lewat beberapa
hari, aku tersadar, aku mendapatkan adik Cin ini ada di depan
pembaringanku, lagi merawati aku. Ia pun telah berdandan sebagai
tookouw."
Oey Yong hendak menanya Lam Kim, bagaimana caranya dia lolos dari Tiat
Ciang San, akan tetapi karena khawatir nanti dapat jawaban kurang tepat
seperti tadi, ia membatalkan niatnya itu. Sebaliknya nona itu mengawasi
Kwee Ceng, sikap siapa seperti juga nona Oey, agaknya ingin ia
memperoleh keterangan. Ia lantas berkata, "Orang she Yo itu telah
digaplok beberapa kali oleh enci Bok, dia menjublak saja. Ketika dia
mendengar suara berisik dari sakunya dia mengeluarkan pedang pendek,
yang ia selipkan di pinggangnya, terus dia memadamkan api. Dia mendekati
aku, dia mengusap-usap mukaku, setelah itu dia tertawa dan lompat ke
luar jendela. Kira satu jam, suara berisik menjadi kurangan, rupanya
orang telah pada memburu turun gunung. Sebenarnya itulah saatnya untuk
aku melarikan diri, apa celaka si orang she Yo telah mengikat aku,
hingga aku mesti rebah di samping pembaringan tanpa berdaya. Masih aku
mendengar suara berisik, yang makin lama makin jauh dan akhirnya sirap.
Selagi keadaan sunyi itu, si orang she Yo kembali dengan jalan melompati
jendela seperti tadi. Lantas dia duduk di kursinya, dari bayangannya
aku melihat dia menunjang janggut, dia duduk terpekur. Kemudian aku
mendengar dia mengoceh sendirian, katanya, 'Bocah she Kwee itu berani
mendaki gunung, mestinya di belakang dia ada orang yang pandai yang
menyusul. Maka inilah bukan tempat yang bagus! Buat apa aku berdiam
lama-lama di sini?'"
"Manusia hina!" kata Oey Yong sengit.
Lam Kim menyambungi, "Kemudian dia menepuk meja, dia kata, 'Hm! Kau
tidak sudi bertemu pula denganku selamanya…… Perduli apa? Asal usahaku
berhasil, kekayaan dan kemuliaanku bakal tidak ada batasnya, itu waktu
di dalam keratonku tentu telah berkumpul tiga ribu selir dan dayang!
Mana aku kekurangan si cantik manis?"
"Dasar bangsat!" mendamprat Kwee Ceng yang mendongkol sekali.
Lam Kim terkejut mendapatkan tuan penolongnya begitu gusar. Ia tidak
tahu, dari kata-katanya Yo Kang itu, terang sudah orang she Yo itu
hendak menjual negara, untuk keuntungan dirinya sendiri.
"Coba kau cerita terus," kata Kwee Ceng kemudian, sabar.
"Kau menghendaki aku bicara terus?" si nona menegasi.
"Kalau kau letih, kau beristirahatlah dulu," sahut si pemuda.
Nona Cin mengawasi pula, air mukanya berubah, toh ia bersikap tenang.
"Letih, itulah tidak," katanya. "Hanya aku mengalami kemalangan dan malu, susah aku mengatakannya……"
"Kalau begitu, tidak usah kau bercerita. Mari kita omong dari lainnya hal."
"Tidak. Sebenarnya aku mesti menuturkan semua supaya kau tahu."
"Nah, nanti aku pergi ke sana, kau boleh bicara sama ini dua enci Bok
dan Oey," berkata si pemuda yang lantas berbangkit, untuk bertindak
pergi. Ia menduga tentulah Yo Kang sudah main gila terhadap nona ini,
sehingga dia likat untuk menuturkan pengalamannya itu.
Tetapi Lam Kim berkata. "Jikalau kau pergi, sampai mati juga aku tidak
akan menuturkan. Selama dua hari ini, enci Bok berlaku baik sekali
padaku, meski begitu, aku tidak mau bercerita kepadanya ……"
Kwee Ceng memandang Oey Yong, nona itu mengedipi mata, menganjurkan ia
berduduk, maka urung ia mengangkat kaki, bahkan ia duduk pula di
tempatnya.
Lam Kim menghela napas. Ia nampak lega hatinya. Lantas ia mulai
bercerita pula, "Telah tetap keputusannya orang she Yo itu. Dia lantas
berbenah. Untuk itu dia menyalakan api. Ketika dia melihat aku di tepi
pembaringan, dia terperanjat. Dia menyangka bahwa aku sudah kabur. Dia
membawa ciaktay, untuk menyuluhi mukaku. Lantas dia tertawa dan berkata,
'Hm! Karena kau, aku kehilangan dia! Sekarang kau pikirlah. Jikalau kau
suka menurut aku, akan aku ajak kau turun gunung. Kalau tidak, boleh
tetap rebah di sini, supaya orang-orang Tiat Ciang Pang perlakukan apa
mereka suka. Aku menjadi bingung, aku bersangsi. Berdiam di gunung,
akibatnya tentu berbahaya, tetapi dengan turut dia, juga entah bagaimana
akhirnya. Melihat aku berdiam saja, dia tertawa nyaring. Mendadak
timbul nafsu binatangnya, dia lantas merusak diriku ……"
Tiga orang itu berdiam, cuma Bok Liam Cu berdiam sambil mengucurkan air
mata. Itulah bukti Yo Kang main gila terhadapnya. Ia tahu Yo Kang busuk
tetapi tidaklah disangka dia hina begitu rupa. Ia pernah mengasih ampun,
tetapi sekarang?
Lam Kim tenang luar biasa. Dia bercerita seperti juga dirinya tidak ada
sangkutnya dengan ceritanya itu. Dia kata; "Karena aku telah ternodakan,
aku lantas mengambil putusan. Aku ikut dia turun gunung. Aku telah
pikir, aku mesti menuntut balas, habis mana, hendak aku menghabiskan
jiwaku. Gunung Tiat Ciang San itu sangat berhahaya, dengan susah payah
dia membantu aku turun. Sampai fajar muncul, kita masih ada di tengah
gunung. Dia malu bertemu sama orang Tiat Ciang Pang, dia mengambil jalan
dari belakang gunung. Dia sengaja memilih tempat yang tidak ada
jalannya. Dengan begitu, sering dia merayap pada pohon rotan. Maka
perjalanan jadi semakin lama. Lereng gunung pun makin berbahaya. Di sana
ada jurang yang dalam sekali, aku melihatnya hingga kakiku lemas. Tiba
di tempat tinggi, kaki tanganku bergemetaran. Dia tertawa. 'Aku nanti
gendong kau, asal kau jangan bergerak! Nanti kita berdua habis……' Lantas
dia jongkok di depanku. Aku pikir inilah ketika yang paling baik
untukku, untuk mati bersama. Aku lantas mendekam di punggungnya kedua
tanganku memeluk erat lebernya. Selagi dia hendak berbangkit, dengan
kakiku, aku menjejak keras batu besar di sisiku. Dia kaget. dia menjerit
keras. Kita berdua jatuh."
Bok Liam Cu kaget hingga ia berkaok. Tapi segera ia ingat kejahatannya Yo Kang, lantas ia mengertak gigi. ia menguati hati.
"Aku merasakan tubuhku melayang," Lam Kim meneruskan.
"Aku girang. Kalau tubuhku hancur lebur, dia tentu bakal hancur lebur
juga. Mendadak aku merasakan gentakan hebat, mataku kabur, hatiku
memukul. Aku menduga habislah aku. Tapi segera aku mendengar Yo Kang
tertawa terbahak. Ketika aku membuka mataku, aku melihat tangan kanannya
merangkul cabang pohon cemara, yang tumbuh di lereng itu. Tubuh kita
berdua bergelantungan di cabang itu, yang telah menolong jiwanya. Tapi
dia tidak sadar bahwa aku hendak membikin celaka padanya. Dia menyangka
aku ketakutan dan tak dapat berdiri betul. Dia puas sekali yang kami
ketolongan. Sembari tertawa dia kata, 'Jikalau bukan siauw-ongya lihay
ilmu silatnya, apa kira jiwa kecilmu masih ada?' Pohon itu terpisah dari
tanah cuma tujuh atau delapan tombak. Dia lantas merayap ke pohon. Dia
kata pula, "Sekarang kita turun dulu ke lembah, di sana baru kita
mencari jalan ke luar.' Di dalam lembah itu ada hanya rumput-rumput yang
sudah busuk dan tulang-tulang binatang. Dengan satu tulang paha, dia
membuka jalan, sembari jalan dia bicara sambil tertawa-tawa padaku. Aku
takut dia curiga, nanti sukar aku turun tangan, terpaksa aku melayani
dia bicara. Tidak lama, dia berteriak sambil lompat mundur. Dia
menggunai tulangnya membiak rumput tebal di mana tadi dia menaruh kaki.
Di situ dia mendapatkan satu mayat, yang mengenakan baju kuning. Muka
mayat rusak hingga tak dapat dilihat lagi, cuma kumis dan jenggotnya
yang putih bertitikan darah segar. Rupanya belum lama dia jatuh mati di
situ."
"Si tua bangka Khiu Cian Lie telah mampus, toh masih ada orang yang melihat cecongornya!" kata Oey Yong.
"Yo Kang memeriksa tubuhnya mayat itu," berkata pula Lam Kim. "Banyak
barang yang didapatkan, seperti cincin, pedang pendek dan batu permata.
'Kiranya tua bangka ini mati di sini,' dia kata. Sembari berkata begitu,
dia menarik ke luar sejilid buku……"
"Mungkin itu buku sulapnya," kata Oey Yong.
Seperti yang tidak mendengar perkataan si nona, Lam Kim bercerita terus,
"Si orang she Yo itu membuka dan memeriksa buku itu, kelihatannya dia
ketarik hatinya, dia membalik-balik terus lembaran dengan romannya
girang. Kemudian dia simpan buku itu di dalam sakunya. Habis itu kami
berjalan terus. Satu hari kami berada di dalam selat, sampai magrib baru
kami tiba di mulut selat itu. Kami mencari rumah seorang tani untuk
menumpang bermalam. Dia suruh aku mengaku sebagai istrinya, katanya agar
orang jangan curiga. Habis bersantap malam, dia menyalakan api, dia
membuka buku yang tadi, untuk diperiksa pula. Aku melihat dia menggeraki
tangan dan kakinya, seperti lagi bersilat. Rupanya buku itu ada buku
pelajaran silat. Aku menyender di pembaringan letih dan berduka, rasanya
malas aku bergerak. Mendadak aku mendengar dua kali suara kodok di luar
jendela. Aku tahu betul, itulah suara kodok hijau dicekuk ular berbisa.
Dengan tiba-tiba aku mendapat pikiran. Aku ingat kakekku yang telah
mati itu, ia tentu telah berkumpul bersama ayah ibuku, sekalian pamanku
dan yang lainnya di dunia baka. Aku sebaliknya, di dalam dunia ini aku
hidup sebatang kara, hidup menderita, sengsara dan ternoda, bahkan mau
mati juga sukar. Karena mendapat ingat itu, aku kata pada orang she Yo
itu, 'Siauw-ongya, aku hendak ke luar sebentar.' Dia tertawa. 'Baik,'
katanya. 'Asal jangan kau memikir untuk kabur, sebab dalam sekejap,
pasti aku dapat menyusul kau!' Aku menjawab; 'Aku lari? Lari ke mana?'
Ia tertawa pula dan kata, 'Itu betul. Dengan tidak memikir lari, kaulah
anak yang manis!' Sekeluarnya dari kamar, aku pergi ke belakang. Aku
berdiri sebentar. Aku mendengar suara si ular lagi menelan mangsanya.
Diam-diam aku menghampirkan ular itu, aku tangkap ekornya, terus aku
menekuk dia, lalu aku membungkusnya dengan sapu tangan. Lantas aku
kembali ke dalam. Senang dia melihat aku kembali begitu cepat. Dia
tertawa dan mengangguk-angguk. Kembali dia membaca bukunya itu. Kemudian
dia kata; 'Pergi kau tidur lebih dulu, sebentar aku temani kau.' Di
dalam hatiku, aku damprat dia, 'Orang jahat, hari ini Thian menyuruhnya
aku membalas sakit hatiku!"'
Mendengar sampai di situ, Oey Yong lantas ketahui apa cara membalas
sakit hati nona Cin ini. Liam Cu juga mendapat menduga samar-samar, maka
teganglah hatinya. Cuma Kwee Ceng yang masih belum mengerti.
"Aku mengebut pembaringan mengusir nyamuk, terus aku menurunkan
kelambu," Lam Kim menyambungi pula. "Sembari merebahkan diri, aku
membuka sapu tanganku, akan mengeluarkan ular itu. Aku menekannya,
supaya dia tidak berkutik-kutik. Dengan tangan kiriku, dengan kipas, aku
menutup tubuh ular. Kemudian aku menantikan. Aku mesti menahan napas.
Sampai lama dia belum naik ke pembaringan, dia seperti melupakan aku.
Hatiku berdenyutan. Aku khawatir aku gagal. Minyak pelita menjadi
semakin kurang, cahayanya pun menjadi guram, akhirnya api padam. Barulah
itu waktu aku mendengar dia tertawa dan berkata, 'Haha, aku harus mati!
Lantaran membaca buku saja, aku sampai melupakan si manis! Mustikaku,
jangan kau sesalkan aku……' Aku tidak menyahuti, malah aku berlagak pulas
dengan mengasih dengar suara menggeros perlahan. Tetapi kupingku
kupasang. Aku mendengar dia menutup bukunya, yang di kasih masuk ke
dalam sakunya. Aku mendengar dia membuka baju luarnya. Aku mendengar
juga dia naik di pembaringan dan membuka sepatunya. Ketika itu hawa
sangat panas, dia meloloskan semua pakaiannya. Ketika dia memeluk aku,
aku masih terus berpura-pura pulas, adalah tangan kiriku dengan
perlahan-lahan menyingkirkan kipas, lalu tangan kananku membawa kepala
ular ke dadanya. Dengan kukuku, aku mencubit ular itu, membikinnya
kesakitan dan kaget, karena mana dia lantas menggigit dada si jahat. Dia
kaget, dia berteriak, 'Apa?' Terus dia berlompat turun dari
pembaringan. Sekarang dia merasakan ular masih menggigit dadanya, dia
menariknya hingga terlepas, tetapi gigi ular itu copot dan nancap di
dadanya."
Liam Cu kaget hingga ia berjingkrak bangun, matanya mengawasi nona Cin.
Ia ini bercerita sampai di bagian sangat tegang itu tetapi romannya,
suaranya juga, tenang- tenang saja. Menampak demikian, nona Bok ini
kagum sekali.
"Dia lantas berteriak-teriak, 'Ular! Ular!"' Lam Kim masih meneruskan
dengan sabar sekali. "Ketika itu aku masih belum memikir lantas mati,
aku hendak menyaksikan dia tersiksa, habis itu baru aku mau pergi ke
dunia baka menjenguk kakek dan ayah bundaku, maka aku pun berpura-pura
kaget dan berteriak-teriak, 'Apa? Ular? Mana? Mana?' Dia menyahuti, 'Aku
digigit ular!' Aku menanya pula, 'Mana ularnya? Lekas pasang api!
Lekas!' Benar-benar dia menyalakan api. Aku melihat empat liang kecil
dan hitam-hitam di dadanya, diam-diam aku bergirang. Lantas aku kata
padanya, 'Kau rebah saja, jangan bergerak, nanti aku pergi mencari daun
obat-obatan.' Tuan rumah pun bangun dengan kaget. Dia kata, 'Memang di
sini ada ular berbisa, hanya heran dia bolehnya naik ke pembaringan……'
Aku lantas bawa pelita dan pergi ke luar, untuk mencari daun
obat-obatan. Yang aku cari bukan daun obat untuk memunahkan bisa ular,
sebaliknya obat yang bisa membikin racun ular itu bekerja semakin
berbahaya……"
Ketika si. nona bercerita sampai di situ, sebelah tangannya Liam Cu
melayang ke mukanya, hingga sebelah pipinya menjadi merah dan bengkak.
Oey Yong lantas menyambar tangannya nona Bok. "Enci, bukankah binatang itu harus mendapatkan bagiannya?" ia menegur.
Liam Cu berdiam, kepalanya pusing. Ia berdiam dengan mata mendelong.
Lam Kim telah ditempiling ia tidak menggubrisnya, ia masih melanjuti
ceritanya, "Daun obat itu tidak dapat dicari dalam tempo sebentaran itu,
aku pun tidak terus mencarinya. Dia telah digigit ular beracun, dia
tidak dapat bertahan enam jam, maka aku mencabut rumput sembarangan, aku
mamah itu, dengan itu aku beborehkan dia. Dadanya itu telah bengkak dan
bergaris hitam. Beberapa kali sudah dia pingsan. Aku berduduk di
sisinya berpura-pura menangis. Mulanya aku berpura-pura, di akhirnya aku
menangis benar-benar. Aku ingat akan nasibku, aku jadi sangat bersedih.
Satu kali dia sadar dia mengawasi aku dengan tajam. Rupanya dia
menyangka akulah yang sengaja menggigitkan ular itu kepadanya. Setelah
melihat aku menangis, kecurigaannya itu lenyap. ia menghela napas dan
kata; ‘Akhirnya toh ada juga seorang yang mengucurkan air mata
untukku……' Dari tengah malam sampai fajar, lagi tiga kali dia pingsan
lantas dia kedinginan, tubuhnya menggigil. Dia rupanya menduga jiwanya
tidak bakal ketolongan lagi, dia kata padaku, 'Aku mau minta tolong
padamu, kalau beres dan berhasil, kau akan mendapat pembalasan baik
sekali.' Aku menjawab, 'Aku tidak mengharapi hadiah. Kau sebutkan saja.
Dia menyuruh aku mengambil bukunya dari sakunya, dia kata, 'Kalau aku
sudah mati, kau ambil pedang pendekku ini, bersama ini buku, kau
mengantarkannya ke istana Pangeran Chao Wang dari negara Kim, kau mesti
menyerahkannya sendiri di tangan pangeran itu. Bilang bahwa halnya surat
wasiat Gak Bu Bok berada di dalam buku ini."
Mendengar itu Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi hati mereka sama
bertanya, "Kenapa bukunya Khiu Cian Lie itu ada hubungannya sama bukunya
Gak Hui?"
"Dengan tenaganya yang hampir habis, dia melanjuti pesannya padaku," Lam
Kim melanjuti tanpa memperhatikan sikap orang-orang di dekatnya itu.
"Dia kata, 'Kau beritahu kepada Chao Wang bahwa dengan mulutku sendiri
aku menjanjikan kau supaya kau diangkat menjadi permaisuri. Dengan
begitu, maka kau bakal hidup senang dan mulia tak ada taranya.' Aku
mengangguk tanpa membilang suatu apa. Dia tertawa sedih dan menanya,
'Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih padaku?' Aku tetap tidak
menyahuti. Aku telah memikir, sesudah dia tidak dapat menggeraki tangan
dan kakinya, hendak aku membikin hancur kitab itu di depan matanya,
supaya di saat kematiannya itu tidak saja dia tersiksa lahir tetapi juga
bathinnya ……"
"Kau! Kau!" membentak Liam Cu bengis. "Kenapa kau begitu kejam? Benar
dia berbuat tak pantas kepadamu tetapi itu disebabkan dia menyukai
kecantikanmu?!"
Oey Yong berduka, "Sayang, sayang……" katanya perlahan.
"Sayang?" kata Lam Kim. Baru sekarang ia memperhatikan suara orang. "Manusia begitu jahat tetapi kematiannya masih disayangi?"
Nona ini keliru mengerti. Oey Yong menjawab dia, "Aku bukan menyayangi dia, aku menyayangi bukunya itu……"
Nona Cin tidak meladeni pula, ia hanya melanjutkan, "Di waktu fajar,
manusia jahat itu berteriak-teriak meminta air. Aku menuangi air ke
dalam sebuah mangkok dan meletaki mangkok itu di tepi pembaringan. 'Ini
air', kataku. Dia mengulur tangannya, untuk mengambil mangkok itu. Aku
menggesernya sedikit jauh. Dia tidak dapat mengambil, maka dia
memaksakan diri untuk bangun, untuk berduduk. Nyata tenaganya tidak
mengijinkannya. 'Tolong, tolong kau kasihkan aku……" dia minta. 'Kau
ambil sendiri,' kataku. Dia mengeluarkan seluruh tenaganya, tangannya
dilonjorkan. Dia berhasil mengambil mangkok air itu. Nampaknya dia
girang sekali. Akan tetapi tangannya kaku, tangannya itu tidak dapat
ditekuk, ketika dia memaksa menekuknya, prang! Maka mangkok itu terlepas
dan jatuh pecah di tanah. Aku tahu bahwa dia telah habis tenaganya,
maka aku ambil bukunya, aku bawa ke depannya seraya berkata, 'Bukankah
kau menghendaki buku ini aku membawanya ke istana Chao Wang? Baiklah,
kau lihat!' Aku merobeknya selembar, lembaran itu aku merobek-robeknya
pula. Dia nampak kaget. 'Kau…… kau……" katanya. Terang dia kaget dan
gusar. Aku hendak menyiksa dia. Habis merobek selembar, aku merobek
selembar lainnya. Dia gusar hingga dia pingsan. Aku menanti, aku menanti
sampai dia sadar, lalu aku merobek pula. Demikian sampai aku merobek
beberapa lembar, dia lantas merapatkan matanya, tidak suka dia
melihatnya lebih jauh. Meski dia tidak melihat, kupingnya dapat
mendengar, kupingnya itu masih mendengar terus. Demikian dia mendengari
suara robekan kertas……"
Seorang diri Lam Kim berbicara, tiga orang mendengari dia. Tiga orang
ini masing-masing kesannya. Mereka seperti dapat membayangkan romannya
Yo Kang di atas pembaringannya, selagi nona Cin merobeki kertasnya.
"Tiba-tiba aku melihat perubahan pada air mukanya," nona Cin melanjuti.
"Dia seperti lagi memasang kuping, memperhatikan sesuatu. Aku berhenti
merobek kertas. Aku juga memasang kupingku. Segera aku mendengar suara
bicaranya beberapa orang serta tindakan kaki mereka itu, mulanya jauh.
Di saat kematiannya, binatang itu masih licik sekali. Dia berpura-pura
tidak mendengar suara itu. 'Air, air, kasih aku air……' katanya. Aku
mendengar suara orang datang semakin dekat, datang sampai di luar rumah.
Lantas aku mendengar cacian, 'Binatang perempuan! Pastilah dua binatang
cilik itu diambil. Sin Soan Cu!' Lantas terdengar suara seorang lain,
"Menurut aku, baiklah perempuan hina itu dibakar mampus berikut binatang
cilik itu!' Lagi seorang berkata, 'Tidak dapat kita berbuat demikian.
Kalau dia tidak terbakar mati? Binatang itu lihay, dia bisa menjadi
biang penyakit untuk kaum kita Tiat Ciang Pang.' Mendengar mereka ada
orang-orang Tiat Ciang Pang, aku kaget. Aku takut mereka nanti masuk dan
menolongi orang she Yo itu. Tiat Ciang Pang memelihara banyak ular
berbisa, mereka pasti bisa mengobati siapa keracunan bisa ular. Lantas
aku menjumput pecahan mangkok. Aku sudah memikir, kalau mereka itu masuk
ke dalam, hendak aku membinasakan dulu si orang she Yo, setelah itu
baru aku membunuh diri. Aku takut dia membuka mulut, maka dengan bajunya
aku membungkus kepalanya dan mulutnya aku sumbat dengan hancuran
kertas. Entah bagaimana, orang-orang Tiat Ciang Pang itu lewat terus,
tidak ada seorang juga yang mampir dan masuk ke dalam rumah. Setelah
merasa orang sudah pergi jauh, aku membukai bungkusan kepalanya. Aku
berniat mengulangi menyobek lembaran buku itu. Tiba-tiba aku mendengar
suara pintu pekarangan ditolak. Aku heran. Aku tahu di situ sudah tidak
ada orang lain. Suami istri petani pemilik rumah itu, sudah pergi ke
sawahnya. Aku pergi ke pintu dan mengintai. Aku melihat delapan orang
datang sambil berpegangan tangan, perlahan jalannya, tangan mereka
mencekal masing-masing sebatang galah, yang mereka ketruk-ketruki ke
tanah. Nyatalah mereka semua orang-orang buta dan pakaian mereka dekil,
tetapi masih terlihat tegas, asalnya pakaian itu ialah putih."
"Itulah budak-budaknya si bisa bangkotan," kata Oey Yong perlahan.
Lam Kim menoleh kepada Kwee Ceng dan berkata,
"Baru-baru ini ketika inkong dan aku berada di dalam rimba, selagi
inkong hendak menangkap hiat-niauw, aku melihat sendiri budak-budak
jahat itu dipatuki burung api itu, maka itu aku lantas mengenali mereka.
Dengan lantas aku pakai baju panjang itu menutup pula muka si bangsat.
Lalu aku mendengar seorang budak jahat itu berkata, "Ngamal, ngamal……
bagilah sayur dan nasi dingin pada orang-orang buta……' Aku tidak berani
bersuara, aku diam saja. Si buta itu berkata pula, dia mengemis nasi.
Aku tetap tidak menjawab. Beberapa kali permintaannya itu diulangi.
Akhirnya aku dengar, 'Di sini tidak ada lain orang, mari kita mencari ke
lain tempat. Tadinya mereka itu pada berduduk, lantas mereka pada
bangun berdiri. Aku khawatir mereka nanti masuk ke dalam, maka aku
lantas batuk-batuk, terus aku membuka pintu. Aku tanya mereka itu siapa.
Nampaknya mereka itu kaget. Yang satu lantas berkata, 'Nona, sukalah
berlaku baik, tolong kau membagi makanan untuk kami.' Yang lainnya
mengeluarkan sepotong perak dari sakunya seraya berkata; 'Kita membeli
dengan uang……' Aku lantas mempersilahkan mereka duduk, kataku, nanti aku
masak nasi untuk mereka. Aku ingin mereka lekas-lekas pergi. Aku lantas
pergi ke dapur, aku masak nasi, aku menggorengi sayur. Demikian mereka
duduk berdahar. Habis mereka bersantap, di saat mereka mau pergi,
mendadak si orang she Yo berteriak. Aku lari ke dalam. Aku melihat dia
mencoba berduduk, tangannya menuding aku, dengan roman ketakutan, dia
berteriak pula; 'Auwyang Kongcu! Auwyang Kongcu!' Aku kaget hingga aku
mencelat. Aku tidak tahu siapa itu Auwyang Kongcu. Aku berkhawatir
sekali, aku takut orang-orang buta itu mendengar suaranya. Maka aku
pungut bajunya, untuk membungkus pula kepalanya. Di luar dugaanku, dia
menjadi kuat sekali, dia berontak hingga aku terjatuh. Lagi sekali dia
mengasih dengar suaranya; 'Auwyang Kongcu, kau, kau ampuni aku…… kau
ampuni aku……'"
Oey Yong, Kwee Ceng dan Bok Liam Cu melihat tegas Yo Kang membunuh
Auwyang Kongcu, mereka mengerti ketakutannya Yo Kang dalam keadaan
was-wasnya itu, meski begitu, mereka merasakan punggung mereka dingin.
Mereka merasa ngeri. Bahkan nona Oey, meskipun dia gagah, dia berlompat
kepada Kwee Ceng, untuk duduk menyenderkan tubuhnya.
Lam Kim melihat eratnya perhubungan muda-mudi itu, sakit ia merasakan
hatinya. Tapi ia meneruskan, 'Begitu orang she Yo itu menyebut-nyebut
Auwyang Kongcu, budak-budak buta itu pada nerobos ke dalam, mulut mereka
bertanya berulang-ulang, 'Kongcu! Kongcu'! Kau di mana?' Aku menjadi
kaget. Tahulah aku, mereka itu bujang dan majikan. Aku merasa aku bakal
gagal. Dalam takutku, aku lantas lari. Entah kenapa, waktu itu aku tak
lagi ingin mati. Aku takut nanti ditangkap mereka, aku bisa disiksa,
maka aku kabur terus. Bagaikan ada malaikat yang menunjuki aku lari
sampai di kuilnya enci Bok, justru enci Bok lagi sakit berat, tubuhnya
sangat panas. Aku lantas merawati sebisanya. Malam itu aku berpikir
keras, akhirnya, aku minta too-kouw tua itu menerima aku sebagai
muridnya. Dua hari kemudian baru panas tubuhnya enci Bok kurangan dan ia
sadar.…"
"Kemudian bagaimana?" Liam Cu memotong cerita nona itu.
"Bagaimana? Tentu saja dia mati!" menyahut Lam Kim.
"Nanti, nanti aku lihat……!" Sambil berkata begitu, Liam Cu berlompat bangun, terus dia lari.
"Enci! Enci!" Oey Yong memanggil.
Liam Cu tidak mendengar, dia lari terus, hingga sebentar saja dia lenyap di sebuah pengkolan.
Oey Yong bertiga tahu Liam Cu tidak dapat melupakan Yo Kang, tidak
perduli orang she Yo itu terbukti kejahatannya. Mereka menghela napas.
Setelah berdiam sekian lama, Lam Kim berbangkit.
"Inkong," katanya perlahan pada Kwee Ceng, "Aku telah menutur segala
apa, maka bersyukurlah kepada Thian, aku dapat dipertemukan pula kepada
inkong." Ia merogoh ke sakunya, ia mengeluarkan sejilid buku yang sudah
rusak, ia menyerahkan itu pada si anak muda seraya menambahkan, "Buku
ini telah aku robek belasan lembarannya, aku tidak tahu ini sebenarnya
buku apa, tetapi orang she Yo itu menganggapnya sebagai mustika, maka
mungkin ada faedahnya. Coba inkong periksa."
Kwee Ceng menyambuti buku itu, tanpa memeriksa lagi, ia masuki ke dalam sakunya.
"Sekarang kau berniat pergi ke mana?" ia menanya. Ia lebih memerlukan nasibnya nona yang berperuntungan sangat malang ini.
"Aku telah bertemu pula sama inkong. Untukku, ke mana aku pergi, sama
saja," menyahut nona Cin. "Kelihatannya Tiat Ciang Pang bermaksud tidak
baik kepada inkong maka itu aku harap inkong berdua suka berhati-hati."
"Kenapa kau ketahui tukang perahu itu orang Tiat Ciang Pang?" Oey Yong tanya.
"Sebab dialah orang yang memasuki aku ke dalam keranjang dan menyerahkan aku pada si orang she Yo itu."
"Oh……" kata nona Oey yang lantas telah mengetahuinya bagaimana ia harus mengambil sikap kepada si tukang perahu.
"Setelah enci Bok sembuh, kita berdamai untuk melakukan perjalanan
bersama," Lam Kim masih berkata lebih jauh. "Demikian tadi di rumah
makan, kami melihat inkong berdua serta itu tukang perahu. Dasar Thian
tidak mengijinkan orang jahat dapat berbuat sesukanya, kami telah
dibuatnya memergoki dia."
Habis mengucap, si nona memberi hormat kepada Oey Yong, terus ia
berlutut pada Kwee Ceng seraya berkata; "Sekarang perkenankan aku
meminta diri. Semoga inkong panjang umur dan beruntung!"
Kwee Ceng mengasih bangun nona itu, hatinya pepat, Tidak tahu ia mesti membilang apa.
"Enci Cin," berkata Oey Yong, "Kau sudah tidak punya rumah, maka baiklah kau turut kami pergi ke Kanglam."
Lam Kim menggeleng kepala.
"Aku berniat balik ke hutannya kakekku," katanya.
"Kau tinggal sebatang kara, mana dapat?" Oey Yong kata.
"Seumurku, aku memang bersendirian saja……"
Oey Yong berpaling kepada Kwee Ceng, ia membungkam.
Lam Kim menoleh kepada si anak muda, habis mana ia memutar tubuhnya,
untuk bertindak pergi. Pemuda itu masih menjublak sampai ia ingat suatu
apa.
"Nona, tunggu dulu!" ia memanggil.
Nona itu menghentikan tindakannya, ia tidak memutar tubuhnya.
"Nona, kalau kau ketemu lagi orang jahat, bagaimana?" Kwee Ceng tanya,
nona itu tunduk, ia menyahuti dengan perlahan, "Aku sebatang kara dan
lemah, aku cuma akan menerima nasib saja……"
"Mari aku ajarkan kau serupa ilmu," berkata Kwee Ceng, "Jikalau kau
rajin mempelajarinya, aku percaya lain kali kau bisa melawan sedikitnya
lima orang."
Nona itu berpikir sebentar, lalu ia memberikan penyahutannya, "Baiklah kalau inkong menitahkannya, nanti aku mempelajarinya."
Kwee Ceng heran melihat orang tidak bergembira karenanya. Ia lantas
mengajari nona itu ilmu yang ia dapatkan dari Tan Yang Cu Ma Giok selama
di gurun pasir. Itulah ilmu tenaga dalam, Lwee Kang Sim-hoat yang
terdiri dari sepuluh jurus.'
Lam Kim berotak cerdas, ia memperhatikan pengajaran itu. Tidak lama, ia telah dapat mengingat baik-baik.
"Setelah dipelajari sungguh-sungguh nanti baru nampak kefaedahannya
pelajaran ini," Kwee Ceng memberi keterangan. "Kau tidak mengerti ilmu
silat, tetapi dengan meninju dan menendang kalang kabutan, kau dapat
juga melukai orang."
Nona itu berdiam, lalu ia meminta diri pula dan pergi dalam kesunyian.
Setelah orang pergi jauh, Oey Yong kata kepada kawannya, "Aku memberi selamat padamu telah mendapat seorang murid!"
"Mana dapat dibilang dialah muridku," kata si anak muda. "Aku cuma mengharap dia tidak nanti diperhina lagi segala orang jahat."
"Itulah sukar dibilang," kata Oey Yong. "Sekalipun orang sepandai kau, kau masih dipermainkan orang jahat……."
Kwee Ceng menghela napas.
"Di jaman kacau seperti ini, manusia kalah dengan anjing," ia bilang. "Apa mau di kata……?"
"Sekarang, mari kita mampusi anjing gagu itu!" berkata si anak muda tanya.
"Anjing gagu yang tadi," sahut si nona, yang lantas menggerak-geraki tangannya seraya mengasih dengar suara ah-aha-uh-uh.
Melihat itu Kwee Ceng tertawa.
"Jadi kita tetap menaiki perahunya si gagu palsu itu?" ia menegaskan.