Mendengar suara guru mereka, keempat murid itu tercengang.
Kwee Ceng berlompat seraya berseru, "Aku ingat sekarang! Ketika malam
itu Oey Tocu meniup seruling, Ciu Toako tak kuat menahan hatinya,
kemudian aku mendengar dia membacakan syairnya itu. Ialah, 'Empat buah
perkakas tenun…… maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan……
sayang, belum lagi tua, tetapi kepala sudah putih…… Gelombang musim
semi, rumput hijau, di musim dingin, di dalam tempat tersembunyi, saling
berhadapan baju merah……" Ia menepuk paha kanannya, ia kata pula, "Tidak
salah! Ketika itu aku heran sekali. Di dalam segala-gala, Ciu Toako
lebih menang dari pada aku tetapi selagi aku tidak terganggu serulingnya
Oey Tocu, ia sendiri kelabakan, tak kuat ia mempertahankan diri, tidak
tahunya dia dapat mengingat peristiwa lama itu hingga pemusatan
pikirannya menjadi kacau. Pantaslah dia mencaci orang perempuan! Kau
tahu, Yong-jie, dia sampai menasihati aku untuk aku jangan baik dengan
kau……"
"Hm, Loo Boan Tong!" kata si nona mendongkol. "Lihat kalau nanti aku
bertemu padanya, akan aku jewer kupingnya!" Mendadak ia tertawa dan
menambahkan, "Ketika di Lim-an aku telah menggodai dia, aku telah
mengatakan tidak ada wanita yang akan sudi menikah padanya, agaknya dia
mendongkol, rupanya itu pun disebabkan peristiwa itu."
"Maka ketika aku mendengar Eng Kouw membacakan itu, aku seperti telah
pernah mendengarnya," kata pula Kwee Ceng, "Hanya itu waktu, biar
bagaimana aku memikirkannya, tidak juga aku ingat. Eh, Yong-jie, mengapa
Eng Kouw pun mengetahui syair itu?"
Ditanya begitu, si nona menghela napas. "Karena Eng Kouw ialah Kui-hui," sahutnya.
Di antara si tukang pancing berempat, adalah si pelajar yang sudah
menduga lima atau enam bagian, maka juga tiga yang lainnya menjadi
heran, semua mengawasi guru mereka.
"Kau sangat pintar, nona," kata It Teng Taysu dengan perlahan, "Tidak
kecewa kau menjadi putrinya saudara Yok. Lauw Kui-hui itu mempunyai nama
kecil, ialah Eng. Aku pun mulanya tidak mengetahui itu. Itu waktu aku
telah melemparkan sapu tangan kepadanya, lantas aku tidak melihat pula
padanya. Karena aku berduka sekali, aku tidak memperdulikan lagi urusan
negara, aku menungkuli diri dengan setiap hari melatih ilmu silat."
"Supee, itu waktu di dalam hatimu kau sangat mencinta dia," kata Oey
Yong. "Kau tapinya tidak mengetahui. Kalau tidak, tidak nanti kau
menjadi tidak gembira……"
"Nona!" berkata si pelajar berempat. Mereka ini tidak senang nona ini berani bicara demikian macam terhadap guru mereka.
"Apa? Apakah aku salah omong?" Oey Yong balik menanya. "Supee, salahkah aku?"
Air mukanya It Teng Taysu suram. Ia berkata, "Selama itu lebih dari
setengah tahun tidak pernah aku panggil Lauw Kui-hui datang menghadap,
akan tetapi di dalam impian, sering aku bertemu dengannya. Demikian pada
suatu malam, habis memimpikan dia, tidak dapat aku melawan niat hatiku,
aku mengambil putusan untuk melihat padanya. Aku tidak memberitahukan
niatku kepada thaykam atau dayang, aku pergi sendirian dengan diam-diam.
Aku ingin menyaksikan apa yang dia kerjakan. Ketika aku tiba di
wuwungan kamarnya, aku mendengar suara anak kecil menangis ke luar dari
kamarnya itu. Ah……! Malam itu salju turun banyak dan angin pun dingin
sekali, tetapi di atas genting itu aku berdiri lama sekali, sampai
fajar, barulah aku turun dan kembali ke kamarku. Habis itu aku mendapat
sakit berat."
Oey Yong heran. Seorang raja, dan di tengah malam buta rata, untuk selirnya, telah mesti menyiksa diri secara begitu.
Sekarang barulah keempat murid itu ketahui kenapa guru mereka - ketika
itu ialah junjungan mereka - yang tubuhnya demikian tangguh, telah
mendapat sakit yang berat itu.
"Lauw Kui-hui telah mendapat anak, tidakkah itu bagus?" Oey Yong tanya pula. "Supee, kenapa kau tidak menjadi gembira?"
"Anak tolol, anak itu ialah anaknya Ciu Suheng."
"Ciu Suheng pun telah pergi sedari siang-siang, apakah dia telah datang pula secara diam-diam menemui kui-hui?"
"Tidak. Apakah kau belum pernah dengar orang menyebutnya kandungan sepuluh bulan?"
Si nona itu agaknya sadar.
"Ah, aku mengerti sekarang!" katanya. "Pasti anak itu terlahir mirip Loo
Boan Tong, kupingnya lebar dan hidungnya mancung, kalau tidak, mana kau
ketahui dialah anaknya Loo Boan Tong!"
"Itulah bukannya. Sudah satu tahun lebih aku tidak mendekati kui-hui, maka itu anak itu pasti bukan anakku."
Oey Yong berdiam, urusan itu gelap untuknya.
"Aku jatuh sakit hingga setengah tahun lebih," kata It Teng kemudian,
"Setelah sembuh, aku tidak suka memikirkan pula urusan itu. Kemudian
lewat dua tahun lebih, pada suatu malam, selagi aku bersemedhi di dalam
kamarku, mendadak Lauw Kui-hui datang, dia menyingkap gorden dan nerobos
masuk, Thaykam dan dua siewi yang menjaga di luar pintu mencegah,
tetapi mereka kena dihajar. Ketika aku menoleh, aku melihat kui-hui
menggendong anaknya itu. Aku mendapatkan dia bermuka pucat, dengan
lantas dia bertekuk lutut di depanku dan menangis menggerung-gerung,
sambil mengangguk-angguk, dia kata, 'Aku mohon belas kasihan hongya,
supaya anak ini dikasih ampun. '"
"Aku berbangkit, akan melihat anak itu. Dia bermuka merah, napasnya
memburu. Ketika aku menggendong dan memeriksa, aku mendapatkan tulang
iganya patah lima biji. Kui-hui masih menangis, ia kata, 'Hongya aku
bersalah, aku harus mati, tetapi aku mohon anak ini diberi ampun.' Aku
tanya, anak itu kenapa. Dia mengangguk-angguk terus, dia tidak menjawab,
hanya tetap mohon aku mengampuni anaknya itu. 'Mohon hongya mengampuni
dia,' katanya ketika aku menanya pula, hingga aku menjadi heran sekali.
'Kalau hongya menghendaki kematianku, aku tidak penasaran hanya ini
anak, ini anak……'"
"'Siapa yang menghadiahkan kematian padamu?!' Aku tanya pula. Sebenarnya kenapa anak ini terluka?"
"Kui-hui mengangkat kepalanya, ia mengawasi aku. 'Apakah bukan hongya
yang menitahkan siewi untuk menghajar mati anak ini?' Dia tanya. Aku
menjadi heran. Mesti ada apa-apa pada kejadian itu. 'Jadi dia dilukai
oleh siewi?' Aku tanya. 'Budak yang mana yang begitu bernyali besar?'
Dia terkejut. 'Oh, jadi bukannya hongya yang menitahkan? Kalau begitu,
anak ini bakal ketolongan……!' Habis berkata begitu dia pingsan."
"Aku heran sekali, aku pun merasa kasihan melihat keadaannya kui-hui
itu. Aku mengangkat dia bangun, direbahkan di pembaringan. Selang sekian
lama, baru dia sadar. Dia lantas menangis, sembari dia menuturkan
duduknya kejadian. Katanya, dia lagi menepuk-nepuk anaknya untuk
ditiduri, mendadak dari luar jendela berlompat masuk satu orang, ialah
satu siewi yang mukanya bertopeng, anaknya lantas dirampas dan diangkat,
dihajar punggungnya. Kui-hui kaget, dia mencegah. Siewi itu menolak
kui-hui, lagi sekali dia menghajar anak itu, kemudian dia tertawa dan
berlompat pergi. Kui-hui tidak mengejar. Kesatu siewi itu kosen sekali,
kedua dia menyangka siewi itu diperintah olehku. Itulah sebabnya kui-hui
lantas membawa anaknya itu datang padaku, untuk minta ampun. Aku
menjadi semakin heran. Aku memeriksa teliti anak itu, aku tidak mendapat
tahu dia terlukakan pukulan ilmu silat apa. Aku mendapatkan ada otot
anak itu yang putus. Aku lantas pergi ke kamar kui-hui, untuk melakukan
pemeriksaan, sebab aku percaya si penjahat bukan sembarang orang.
Kemudian di atas genteng aku melihat tapak kaki. Aku lantas kata pada
kui-hui, 'Penjahat itu lihay sekali, terutama ilmunya enteng tubuh. Di
dalam negeri Tali ini, kecuali aku, tidak ada orang yang kedua yang
lihay sebagai dia.' Kui-hui menjadi kaget, ia berkata; 'Mustahilkah dia?
Perlu apa dia membinasakan anaknya sendiri?' Berkata begitu, mukanya
menjadi pucat seperti muka mayat."
Oey Yong terkejut. "Tidak nanti Loo Boan Tong berbuat demikian……" katanya perlahan.
"Ketika itu aku justru menduga pada Ciu Suheng," berkata It Teng Taysu,
"Kecuali dia, tidak ada orang yang segagah dia. Aku pun menduga, mungkin
dia berbuat begitu sebab dia tidak sudi mempunyai anak itu, yang bakal
membikin dia malu. Ketika kui-hui mendengar dugaanku itu, ia malu dan
cemas, ia kaget. Mendadak ia kata, 'Tidak, pasti bukan dianya! Suara
tertawanya orang itu bukan suara tertawanya.' Aku berkata, 'Kau sedang
kaget dan ketakutan, mungkin kau kurang jelas?' Tapi ia berkeras, ia
kata, 'Suara tertawanya orang itu aku akan ingat buat selama-lamanya,
meski aku menjadi setan, tidak nanti aku lupa! Bukan, bukannya dia!'"
Mendengar itu, semua orang menggigil sendirinya tanpa merasa.
Kwee Ceng dan Oey Yong lantas membayangi roman Eng Kouw ketika si nyonya mengertak gigi.
"Mendengar perkataannya kui-hui, aku jadi percaya," It Teng bercerita
pula. "Hanya aku tidak bisa menerka si penjahat. Dia begitu kosen,
kenapa dia hendak membinasakan seorang anak kecil? Aku sampai
menduga-duga kepada murid-muridnya Cinjin umpama Ma Giok, Khu Cie Kee
dan lainnya. Mungkin mereka hendak melindungi nama baik partai mereka
maka mereka melakukan perjalanan jauh guna melakukan pembunuhan itu……"
Kwee Ceng hendak membuka mulutnya atau ia mengurungkan itu. Ia tidak
seberani Oey Yong, yang tak takut memotong pembicaraan orang suci itu.
"Kau hendak membilang apa?" It Teng Taysu menanya kapan ia melihat orang batal bicara.
"Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya itu adalah orang-orang suci dan
gagah, tidak nanti mereka melakukan perbuatan serendah itu," Kwee Ceng
bilang.
"Ong Cie It itu pernah aku menemuinya di Hoa San, dia memang seorang
laki-laki," kata It Teng, "Tentang yang lainnya, aku tidak tahu. Memang,
kalau benar mereka, dengan satu hajaran saja mereka dapat membinasakan
anak itu, maka kenapa mereka menghajar hanya setengah mati?"
Sembari bicara, pendeta ini sembari berpikir. Sudah belasan tahun, ia
masih belum dapat memecahkan keragu-raguannya itu. Ruang itu menjadi
sunyi sekali.
"Baiklah, nanti aku menuturkan terus," katanya kemudian.
Tiba-tiba Oey Yong berlompat.
"Tidak salah lagi, dia pastilah Auwyang Hong!" katanya.
"Belakangan aku juga pernah menduga dia," kata It Teng, "Hanya kemudian
aku berpikir juga, mustahil dia yang berada jauh di wilayah Barat,
sedang dia juga bertubuh tinggi dan besar. Menurut kui-hui, si orang
jahat ada terlebih kate dan kecil dari kebanyakan orang."
"Benar-benar heran," kata si nona.
"Ketika itu aku sangsi memikirkan anak itu," It Teng berkata pula. "Dia
terlukakan tak lebih hebat dari pada lukamu, nona, hanya dia masih kecil
sekali, tubuhnya sangat lemah, maka untuk mengobati dia, aku mesti
mengorbankan tenaga dalamku. Aku jadi bersangsi sebab aku tahu, di dalam
rapat yang kedua di gunung Hoa San nanti, pasti aku tidak dapat turut
mengambil bagian. Beberapa kali aku hendak menampik, aku gagal. Aku
gagal. Aku kasihan melihat Kui-hui, yang menangis saja. Ah, benarlah
kata Ong Cinjin bahwa kitab itu bisa mendatangkan kegaduhan dan
mencelakai banyak orang. Buktinya aku sendiri, karena memikirkan kitab
itu, aku menjadi lain dari biasanya. Lama aku berpikir, baru aku
mengambil keputusan untuk mengobati anak itu. Selama aku berpikir itu,
aku merasa akulah seorang hina dina mirip dengan binatang. Aku pun masih
tidak dapat mengubah kelakuanku meskipun aku sudah mengambil keputusan
itu, aku menganggapnya aku menolong lantaran tidak bisa menolak
permohonan sangat dari Lauw Kui-hui."
"Supee, aku membilang kau sangat mencinta dia, sedikit pun kau tidak salah," berkata Oey Yong.
It Teng seperti tidak mendengar perkataan si nona, dia berkata terus.
"Ketika Kui-hui mendengar jawabanku, dia girang sampai dia pingsan.
Lebih dulu aku uruti dia, untuk menyadarkannya, baru aku menolongi
anaknya itu. Aku menguruti bocah itu dengan Sian Thian Kang. Ketika aku
membuka otonya, aku terkejut. Oto itu memakai sulaman sepasang burung
wanyoh serta syairnya itu. Oto itu terbuat dari sapu tangan yang Ciu
Suheng dulu hari melemparkannya kepadanya. Selagi aku terbengong,
kui-hui rupanya melihat sikapku itu. Maka ia mengertak gigi, ia
mengeluarkan pisau belati, yang ia tujukan ke dadanya. Ia kata, 'Hongya,
aku tidak ingin hidup pula di dunia, maka itu aku memohon belas
kasihanmu, kau tolongilah anak ini. Aku menukar dia dengan jiwaku, nanti
di lain dunia, aku akan menjadi anjing dan kuda guna membalas budimu
ini.' Lantas ia menikam dadanya."
Semua orang terkejut, meski mereka tahu Lauw Kui-hui toh masih hidup.
Itulah sebab hebatnya suasana yang diciptakan penuturannya It Teng
Taysu. Pendeta ini bercerita terus, tapi sekarang ia seperti berbicara
seorang diri. Ia kata, "Segera aku mencegah perbuatan Kui-hui dengan
merampas pisau belatinya itu. Aku berlaku cepat tetapi toh dadanya
tergores juga sedikit hingga dia mengucurkan darah. Karena aku khawatir
dia nanti mencoba membunuh diri lagi, aku totok jalan darah di tangan
dan kakinya hingga dia tidak dapat bergerak. Habis membalut lukanya, aku
kasih di duduk di kursi, untuk beristirahat. Dia tidak membilang
apa-apa, dia cuma mengawasi aku, matanya menunjuki kedukaannya yang
sangat. Aku pun berdiam saja. Maka di situ Cuma terdengar suara napasnya
si anak kecil, napas yang mendesak. Mendengar napas bocah itu, aku jadi
ingat segala kejadian yang telah berlalu. Aku ingat bagaimana mulanya
dia masuk ke istana, bagaimana aku mengajari dia silat. Aku menyayangi
padanya dan dia selalu menghormati aku, dia agak jeri, dengan teliti dia
merawat aku, belum pernah dia membantah, hanya bahwa dia tidak pernah
mencintai aku, inilah aku tidak tahu, baru aku menginsyafinya setelah
datang itu hari yang dia jatuh hati kepada Ciu Suheng. Demikian sifatnya
kalau seorang wanita mencintai seorang pria. Dia bengong mengawasi sapu
tangannya itu, dia bengong mengawasi Ciu Suheng berlalu untuk
selamanya. Sinar matanya itu membuat aku tidak tentram tidur dan tidak
bernapsu dahar. Sekarang aku melihat pula sinar matanya itu, sekarang di
saat dari hancurnya hatinya pula. Cuma sekarang bukan untuk kekasihnya,
hanya untuk anaknya."
It Teng berdiam sejenak.
"Seorang laki-laki tidak dapat diperhina demikian, apapula aku seorang
raja! Maka itu, mengingat demikian, hatiku menjadi panas. Dengan
tiba-tiba aku menendang bangku gadis di depanku hingga bangku itu rusak.
Ketika kemudian aku menoleh pada kui-hui, aku terkejut, aku melengak.
'Eh, rambut…… rambutmu itu kenapa?' Aku tanya dia. Dia seperti tidak
mendengar perkataanku, dia terus mengawasi anaknya. Dulu-dulu aku tidak
mengerti orang mempunyai sinar mata demikian itu, sekarang baru aku
menginsyafinya. Berapa besar dia harus dikasihani. Dia rupanya telah
mengerti yang aku tidak sudi menolongi anaknya itu, maka selama dia
masih hidup, ingin dia memandang anaknya itu, makin lama makin baik. Aku
mengambil kaca, aku bawa itu kepadanya. 'Lihat rambutmu,' aku kata
padanya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, dia seperti menjadi lebih
tua beberapa puluh tahun, sedang dia sebenarnya baru berumur sembilan
belas tahun. Disebabkan kaget, takut, berduka, menyesal, penasaran,
putus harapan, mendadak rambutnya itu berubah menjadi uban!"
"Dia tidak memperhatikan sedikit juga roman atau rambutnya itu. Dia
menyangka aku pakai kaca untuk menghalangi dia mengawasi anaknya itu.
Dia kata padaku, 'Angkat kaca itu.' Dia bicara tegas sekali, dia seperti
lupa akulah raja ialah junjungannya. Aku menjadi heran. Aku tahu dia
biasanya sangat menyayangi paras mukanya. Aku menyingkirkan kaca, maka
terus dia mengawasi anaknya itu. Ah, kalau dia ada seribu arwahnya,
tentulah dia serahkan semua itu kepada anaknya, asal anaknya itu hidup.
Aku mengerti bagaimana perasaannya itu. Dia ingin mati untuk anaknya
itu."
Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Di dalam hatinya, mereka saling
mengatakan, "Kalau aku pun menampak kesukaran seperti itu, apakah kau
juga dapat mengawasi aku demikian rupa?" Tanpa merasa mereka saling
menyodorkan tangan, untuk saling memegang erat-erat, hati mereka
berdenyutan, tubuh mereka dirasai hangat.
"Sebenarnya aku merasa tidak tega," It Teng kemudian melanjuti
ceritanya, "Aku berniat menolongi anak itu, apa mau, sapu tangan itu
tetap berada di dadanya. Itulah sulaman sepasang burung wanyoh, yang
saling menyenderkan leher mereka. Kepalanya burung itu putih. Itulah
lambang untuk hidup bersama hingga di hari tua. Maka kenapakah, sebelum
tua tetapi rambut sudah putih terlebih dulu? Maka melihat rambut
putihnya itu, dengan sendirinya aku mengeluarkan keringat dingin.
Mendadak hatiku menjadi keras hati. Aku kata padanya, 'Baiklah, kamu
boleh menjadi tua bersama, biarlah aku bersia-sia sendiri di istana
sunyi ini tetap sebagai kaisar! Dialah anak kamu berdua, kenapa aku
mesti mengorbankan diri untuk menolong menghidupi dia?' Dia memandang
aku. Itulah pandangannya yang terakhir. Pada mata itu tertampak sinar
kedukaan, penasaran, permusuhan. Semenjak itu, dia tidak pernah melihat
aku lagi. Sebaliknya aku, tidak dapat melupakan sinar mata itu. Dia kata
dengan dingin. 'Kau lepaskan aku, aku hendak menggendong anakku!'
Perkataannya itu mirip firman, membuatnya orang susah membantahnya. Maka
aku membebaskan dia dari totokan. Dia menggendong anaknya itu. Anak itu
pasti terluka parah hingga tidak dapat ia menangis, mukanya bersinar
gelap, matanya mengawasi ibunya, mungkin ia minta ditolongi. Aku sendiri
sejenak itu, aku tidak mempunyai rasa kasihan sedikit juga. Aku hanya
melihat, rambut hitamnya berubah menjadi putih. Mungkin itulah perasaan
belaka. Lalu aku mendengar dia berkata halus pada anaknya, 'Anak, ibumu
tidak mempunyai kepandaian untuk menolongi kau, ibumu tidak dapat
membiarkan kau tersiksa lebih lama, maka, anak kau tidurlah biar
nyenyak…… Tidur, anak tidur, untuk selama-lamanya jangan kau mendusin
pula!' Aku mendengar dia bernyanyi perlahan, menyanyikan lagu mengeloni
anak tidur. Sedap nyanyiannya itu…… Ya, begini, nah kau dengarlah!"
Orang heran. Si pendeta mengatakan demikian tetapi di situ tidak ada
terdengar suara nyanyian. Mereka saling mengawasi, mereka terkejut.
"Suhu!" kata si pelajar. "Kau telah bicara terlalu banyak, kau lelah, baiklah kau beristirahat."
It Teng seperti tidak mendengar. Dia berkata pula, "Anak itu bersenyum.
Hanya sejenak, saking sakitnya, dia bergelisah. Lantas ibunya berkata
pula padanya halus sekali, 'Jantung hatiku, kau tidurlah, nanti lenyap
semua rasa sakitmu, sedikit juga tidak sakit lagi……' Sekonyong-konyong
terdengar suara menumblas dan pisau belati telah nancap di dadanya!"
Oey Yong kaget hingga ia menjerit, kedua tangannya memeluk lengannya Kwee Ceng.
Si pelajar berempat pun kaget tidak terhingga, muka mereka menjadi pucat.
Hebat penuturannya It Teng itu, yang sebaliknya berbicara terus, "Aku
kaget, aku terhuyung, terus aku jatuh ke lantai. Dalam keadaan
lapat-lapat aku tidak tahu memikir apa. Aku hanya ingat dia berbangkit
dengan perlahan-lahan, dengan perlahan dia kata, 'Akhirnya akan ada satu
hari yang aku, dengan pisau belatiku ini, nanti menumblas ulu hatimu.'
Dia menunjuk pada gelang kumala di tangannya, dia kata pula, 'Inilah
gelang yang di hari aku masuk ke istana kau memberikan kepadaku. Kau
tunggu saja, di itu hari yang gelang kumala ini aku kembalikan padamu,
maka itu hari juga pisau belati ini akan turut datang.'"
Sambil berkata begitu, It Teng putar gelang itu di jari tangannya. Ia bersenyum.
"Inilah gelang kumala itu," katanya. "Aku telah menantikan belasan tahun ini hari tibalah harinya itu!"
"Supee, dia membunuh sendiri anaknya, ada apa sangkutannya itu dengan
kau?" Oey Yong tanya. "Pula dia telah mencelakai kau dengan racun, maka
meskipun ada permusuhan dulu hari itu, bukankah itu sudah impas?
Biarlah, sebentar di kaki gunung, akan kami menyuruh dia pergi, supaya
dia jangan datang mengganggu pula……"
Tepat selagi si nona berkata itu, satu kacung hweeshio datang masuk.
"Suhu," katanya, "Dari kaki gunung ada lagi yang mengantarkan ini……"
Dengan kedua tangannya, kacung itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil.
It Teng menyambuti, untuk terus dibuka. Untuk kagetnya semua orang,
hingga mereka berseru, itulah sehelai oto bersulamkan burung wanyoh,
sulaman burungnya hidup sekali, cuma suteranya sudah berubah kuning. Di
antara kedua ekor burung itu ada satu liang bekas tusukan pisau, di
samping liang ada bagian yang hitam, sisa darah.
It Teng meletaki oto itu di lantai, ia bengong mengawasi. Sekian lama ia
berdiam, romannya berduka, lalu dia berkata, "Inilah sulaman burung
wanyoh yang mau terbang berpasangan. Hm, mau terbang berpasangan, tetapi
akhirnya menjadi impian belaka. Dia menggendong anaknya, dia berlompat
ke luar jendela, sembari berlalu dia tertawa keras dan lama. Setibanya
di luar, dia lompat naik ke atas genting, sekejap saja dia lenyap. Aku
menjadi tidak dahar dan tidak minum, tiga hari tiga malam aku
memikirkannya. Di akhirnya aku sadar, maka itu, aku mewariskan mahkota
kepada anakku yang sulung, aku sendiri lantas masuk menjadi pendeta."
Dia menunjuk empat muridnya, akan menambahkan, "Mereka ini lama telah
mengikuti aku, mereka tidak suka berpisahan, maka mereka turut aku pergi
ke Inlam Barat, ke kuil Liong Coan Sie. Mulanya selama tiga tahun
pertama, mereka membantu putraku memerintah. Mereka membantu dengan
bergiliran. Kemudian, setelah putraku sudah mengerti tugasnya, dan
justru telah terjadi itu peristiwa di Tay Soat San di mana Auwyang Hong
melukai muridku ini, kita lantas pindah ke mari. Sejak itu kita tidak
kembali ke Tayli. Hatiku keras, aku tidak suka menolong anak itu, maka
itu selanjutnya, sampai belasan tahun hingga sekarang ini, siang dan
malam, aku merasa hatiku tidak tenang. Aku memikir untuk lebih banyak
menolongi orang, guna menebus dosaku yang besar itu. Mereka ini tidak
mengetahui kesengsaraan hatiku, mereka selalu mencegah. Ah, taruh kata
aku dapat menolong selaksa jiwa, anak itu toh tetap mati. Kalau bukan
aku membayarnya dengan jiwaku sendiri, mana dosa itu dapat ditebus? Maka
setiap hari aku menanti-nanti kabar dari Eng Kouw, menanti dia membawa
pisau belatinya untuk menumblas dadaku. Aku tadinya berkhawatir dia tak
keburu datang, nanti aku mati terlebih dulu, kalau begitu, hebat
untukku. Tapi bagus, sekarang temponya telah tiba, harapanku bakal
terkabul. Ah, sebenarnya, buat apa dia menaruh racun di dalam obat Kiu
Hoa Giok Louw Wan? Kalau aku tahu, dia bakal segera datang, tak usah
suteeku menolongi aku menyingkirkan racun itu."
Oey Yong tapinya tidak senang.
"Perempuan itu jahat!" ia kata sengit. "Rupanya dia telah ketahui tempat
kediaman supee ini, karena khawatir tidak bisa melawan, dia menantikan
ketikanya yang baik, maka kebetulan sekali aku terlukakan Khiu Cian Jin,
dia sambar ketika ini dia pakai aku sebagai perkakas. Pantas dia
menunjuki aku tempat supee. Dia rupanya memikir untuk lebih dulu
membikin habis tenaga supee, baru dia mau turun tangan sendiri. Aku
menyesal yang diriku kena dipermainkan dia! Supee, kenapa gambarnya
Auwyang Hong itu bisa berada di tangannya? Ada apa hubungannya dia
dengan gambar itu?"
It Teng mengambil sebuah kitab dari atas mejanya dan membalik
lembarannya. Ia berkata. "Gambar ini mempunyai lelakon seperti ini. Di
sebuah kota di India ada seorang raja yang sujud. Pada suatu hari seekor
burung dara terbang kepadanya meminta perlindungan. Burung dara itu
dikejar seekor elang. Burung ini meminta burung dara itu, katanya, kalau
tidak, dia bakal mati kelaparan. Sulit untuk raja itu, sebab menolong
yang satu berarti mencelakai yang lain. Maka akhirnya ia mengambil pisau
dan memotong dagingnya sendiri. Si burung elang meminta daging raja
yang sama beratnya seperti burung dara itu, maka daging itu ditimbang.
Kenyataannya burung dara itu berat luar biasa, daging raja tidak cukup
kendati ia sudah memotong seluruh anggota tubuhnya. Ketika raja
menimbangkan tubuhnya juga, maka bergoyanglah bumi, langit bergembira,
bidadari-bidadari menyebar bunga, harumlah semua jalan, maka juga naga
langit dan setan-setan yang berada di udara pada menghela napas dan
berkata, 'Siancay, siancay. Kegagahan sebagai ini, sungguh belum pernah
ada!'"
Itulah dongeng tetapi demikian rupa It Teng menuturnya, semua orang jadi tergerak hatinya.
"Sekarang aku mengerti, supee," berkata Oey Yong. "Dia khawatir supee
tidak suka menolong mengobati aku, dia sengaja menunjuki gambar itu
untuk membikin hati supee tertarik."
"Benar begitu," kata It Teng bersenyum. "Ketika dulu hari itu dia
meninggalkan Tayli, tentu hatinya gusar dan penasaran, tentu dia mencari
orang gagah, entah bagaimana, dia bertemu sama Auwyang Hong. Pasti
Auwyang Hong mengetahui maksud orang maka ia menolong melukis gambar
itu. Kitab ini tersiar luas di Wilayah Barat dan Auwyang Hong adalah
orang sana, tentu dia mengetahuinya dengan baik."
"Sungguh jahat!" kata Oey Yong sengit. "Si bisa bangkotan menggunai Eng
Kouw dan Eng Kouw menggunai aku, ini dia akal jahat meminjam golok
membunuh lain orang!"
"Jangan kau gusar," berkata It Teng menghela napas. "Umpama kata dia
tidak bertemu sama kau, mesti dia akan melukakan orang, yang dia
menyuruhnya datang ke mari meminta aku menolonginya. Cumalah, siapa
tidak mempunyai kepandaian, tidak dapat dia datang ke mari. Sudah lama
Auwyang Hong melukis gambar ini, maka itu rencananya pasti telah diatur
semenjak sepuluh tahun yang lampau. Bukankah ini pun semacam jodoh?"
"Benar, supee. Tapi ia masih mempunyai satu maksud lain, yang lebih penting dari pada urusannya dengan supee ini."
It Teng heran. "Apakah itu?" ia tanya.
"Loo Boan Tong kena dikurung ayahku di Tho Hoa To, dia hendak pergi
menolongi," si nona menerangkan. Ia menerangkan bagaimana Eng Kouw
mencoba mempelajari Kie-bun-sut, supaya bisa memasuki Tho Hoa To.
Kemudian ia menambahkan; "Kemudian Eng Kouw ketahui, ia belajar lagi
seratus tahun juga tidak nanti ia dapat melawan ayahku, maka justru ia
melihat aku terluka, lantas ia……"
Mendengar itu It Teng tertawa panjang, lalu ia berbangkit.
"Sudah, sudah!" katanya. "Segala apa terjadi secara kebetulan, maka
sekarang tentulah dia puas!" Ia berpaling kepada empat muridnya, untuk
memerintah, "Pergi kamu menyambut dengan baik pada Lauw Kui-hui! Eh,
bukan! Kamu menyambut Eng Kouw, kau ajak dia datang kemari. Sedikit juga
kamu tidak boleh berlaku tidak hormat kepadanya."
Tanpa berjanji, keempat murid itu menekuk lutut mendekam akan menangis menggerung-gerung. "Suhu!" kata mereka.
It Teng Taysu menghela napas. Ia kata, "Kamu telah mengikuti aku untuk
banyak tahun, mungkinkah kamu masih belum tahu hati gurumu?" Ia menoleh
kepada Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk mengatakan; "Aku hendak meminta
sesuatu kepada kamu."
"Titahkan saja, supee," menyahut si anak muda.
"Bagus!" kata pendeta itu, "Sekarang pergilah kamu turun gunung.
Seumurku, aku banyak berhutang kepada Eng Kouw, maka itu kalau di
belakang hari dia menemui sesuatu bahaya, aku minta dengan memandang aku
si pendeta tua, haraplah kamu membantui dia secara sungguh-sungguh.
Umpama kata kamu dapat merangkap jodoh dia dengan jodoh Ciu Suheng, aku
akan lebih-lebih lagi bersyukur."
Dua muda-mudi itu tercengang, mereka saling mengawasi. Bukankah Eng Kouw
datang untuk menuntut balas? Dengan perbuatannya ini, bukan saja It
Teng menutup pintu bagi siapa yang hendak menuntut balas untuknya, dia
pula mau membalas kejahatan dengan kebaikan.
Menampak dua orang itu berdiam, It Teng bertanya; "Apakah permintaanku si pendeta tua ini sulit untuk kamu menjawabnya?"
Oey Yong masih bersangsi tetapi ia menjawab, "Kalau supee minta begitu,
baiklah, kami menerima baik." Ia lantas menarik ujung baju Kwee Ceng,
untuk diajak sama-sama memberi hormat, guna meminta diri.
"Kamu tak usah bertemu muka sama Eng Kouw," It Teng kata pula. "Maka pergilah kamu turun dari gunung belakang."
Oey Yong menyahuti, ia tarik Kwee Ceng untuk diajak pergi.
Keempat murid itu melihat wajah si nona tenang saja, diam-diam mereka
mencaci nona itu tidak berbudi, sebab mereka anggap nona itu tidak
memikirkan keselamatannya orang yang telah menolongi dia.
Kwee Ceng mengikuti tanpa bicara. Ia tidak percaya Oey Yong demikian
tidak berbudi. Ia percaya si nona ada punya maksud lain. Ketika mereka
sampai di mulut pintu, si nona lantas berbisik padanya, atas mana ia
mengangguk-angguk, terus ia bertindak kembali, tindakannya perlahan.
It Teng berkata pada pemuda itu; "Kau jujur dan setia, di belakang hari
kau pasti akan berhasil melakukan sesuatu yang besar. Maka itu, urusan
Eng Kouw pun aku perserahkan padamu."
Kwee Ceng menyahuti baik, akan tetapi berbareng dengan itu, dengan
mendadak sekali, dengan kesebatannya yang luar biasa, ia menyambar
lengannya si pendeta bangsa India di sisi It Teng Taysu, menyusul mana
tangan kiri menotok dua jalan darah hoa-kay dan thian-cu dari pendeta
itu, hingga si pendeta tak dapat berkutik dalam detik itu juga.
Kejadian ini membikin si pelajar berempat menjadi sangat kaget dan heran.
"He, kau bikin apa?" mereka menegur.
Tindakannya Kwee Ceng belum selesai. Ia tidak memberikan penyahutan
kepada empat orang itu, sebaliknya tangan kirinya lantas menyambar ke
pundaknya It Teng Taysu.
Menampak sambaran itu, It Teng menggeraki tangan kanannya, gesit luar
biasa, ia menyambut tangan kiri si anak muda, untuk ditangkap.
Kwee Ceng menjadi kaget dan heran. Ia tidak menyangka pendeta itu masih
bisa menghindarkan diri dari sambarannya. Itulah kepandaian dahsyat,
yang ia baru pernah menyaksikannya. Hanya ia mendapat kenyataan, ketika
kedua tangan saling membentur, tenaganya si pendeta lemah sekali, maka
ia lantas memutar tangannya untuk membalas menangkap. Berbareng dengan
itu, dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menggunai jurus "Naga sakti
menggoyang ekor", guna memukul mundur si pengail dan si tukang kayu,
yang menyerang ia dari samping. Sebab kedua murid pendeta itu, dalam
kagetnya, sudah lantas menerjang, untuk menolongi guru mereka. Mereka
ini cuma bisa maju satu kali saja, lantas mereka dibikin tidak berdaya.
Si anak muda meneruskan menotok dua jalan darah mereka, hong-bwee dan
ceng-ciok.
Ketika itu Oey Yong juga sudah turun tangan. Dengan tongkatnya ia mendesak mundur si petani sampai di muka pintu.
Si pelajar menjadi kelabakan.
"Berhenti, berhenti!" ia berseru berulang-ulang. "Mari kita bicara dulu!"
Si petani menjadi seperti kalap, dia berkelahi nekat sekali, hendak dia
merangsak, akan tetapi dia dirintangi tongkat kaum Pengemis, saban-saban
kena dipaksa mundur pula.
Kwee Ceng sekarang menerjang ke luar dari kamar suci, dia paksa memukul
mundur kepada si pengail, si tukang kayu dan si pelajar juga, hingga
mereka ini terpaksa mundur setindak demi setindak.
Oey Yong dalam melayani si petani telah menotok ke arah alis lawannya
itu. Petani itu terkejut, dia berteriak, dengan terpaksa dia berkelit
sambil berlenggak sambil berlompat juga.
"Bagus!" berseru si nona selagi orang mundur, lalu dengan sebat ia
menutup pintu. Sekarang ia tertawa haha-hihi dan mengatakan, "Tuan-tuan,
tahan, hendak aku bicara!"
Si tukang kayu dan si tukang pancing telah menangkis serangannya Kwee
Ceng, mereka merasakan tangan mereka sakit, mereka terhuyung mundur
beberapa tindak, meski begitu, ketika si anak muda maju, mereka pun maju
pula dengan berbareng, guna melawan terus. Di dalam keadaan seperti
itu, mereka tidak kenal takut.
Kwee Ceng telah mendengar suara kawannya, ia berhenti untuk melayani
terlebih jauh, cepat-cepat ia menarik pulang tangannya, sembari memberi
hormat, ia kata; "Maaf! Maaf!"
Keempat murid It Teng menjadi heran dan melengak karenanya.
Oey Yong segera berkata; "Kami telah menerima budi guru kamu, budi yang
besar sekali, sekarang guru kamu berada dalam bahaya cara bagaimana kami
bisa berpeluk tangan menonton saja? Maafkan perbuatan kami ini ada
berhubung sama maksud kami untuk memberi pertolongan."
Si pelajar menjura.
"Musuh majikan kami itu ialah majikan kami juga," ia berkata. "Di antara
kita orang ada tingkat tinggi dan rendah, karena itu, kalau majikan
kami yang wanita itu datang ke mari, kami tidak berani turun tangan
terhadapnya. Juga guru kami, karena kematiannya sang putra selama
belasan tahun, tidak tentram hatinya, maka itu kalau sebentar Lauw
Kui-hui datang, jangan kata memangnya telah lenyap kepandaiannya,
walaupun ia masih gagah, ia tentu bakal mandah dibunuh Lauw Kui-hui.
Maka hal itu sangat menyulitkan kami, kami tidak berdaya. Dari itu nona,
jikalau kamu bisa menunjuki jalan ke luar kepada kami, meski tubuh kami
hancur lebur, tidak nanti kami melupakan budimu yang besar itu."
Melihat orang bicara demikian sungguh-sungguh, Oey Yong tidak mau bergurau pula.
"Kami mulanya mengharap bantuannya si orang India yang menjadi paman
guru kamu," ia berkata, "Kami tidak menyangka, dia sebenarnya tidak
mengerti ilmu silat, karena itu sekarang aku mesti menukar siasat.
Tindakan ini luar biasa, besar bahayanya. Umpama kata kita berhasil, di
belakang hari tidak bakal ada ancaman bahaya lagi, Eng Kouw sangat
licin, kepandaiannya juga tinggi, dari itu aku masih berkhawatir. Aku
bodoh, aku tidak dapat memikir lain jalan lagi……"
Si pelajar berempat mengawasi.
"Ingin kami mendengar keterangan nona," kata si pelajar.
Oey Yong menggeraki alisnya yang bagus, terus ia memberikan
keterangannya, mendengar mana, keempat muridnya It Teng saling
mengawasi, hingga sekian lama mereka tidak dapat membuka suara.
******
Ketika sang lohor tiba, dengan perlahan-lahan, sang Batara Surya turun
ke belakang gunung. Tinggal angin gunung, yang masih meniup-niup,
membuatnya bergoyang-goyang pepohonan di depan kuil. Juga daun-daun
kering di pengempang mengasih dengar suaranya yang halus. Tinggallah
sinar layung, yang membuatnya puncak gunung berbayang, rebah bagaikan
satu raksasa……
Si tukang pancing berempat duduk bersila di ujungnya jembatan batu, mata
mereka diarahkan ke ujung lain dari jembatan itu. Hati mereka
masing-masing tidak tentram. Lama mereka menanti, sampai sang magrib
tiba. Beberapa ekor gagak terbang dengan suaranya yang berisik, terbang
pergi ke selat gunung.
Masih di ujung jembatan sana tak nampak siapa juga.
"Mudah-mudahan Lauw Kui-hui mengubah pikirannya," berkata si tukang
pancing di dalam hatinya. "Di dalam hal ini, suhu tidak dapat
dipersalahkan. Biarlah dia tak datang untuk selama-lamanya……"
"Lauw Kui-hui sangat cerdik, tentulah ia sekarang lagi memikirkan akal muslihatnya," si tukang kayu berpikir lain.
Si petani adalah yang paling tak sabaran.
"Biarlah dia datang lebih siang, supaya urusan pun beres lebih siang!"
pikirnya. "Biar bahaya biar rejeki, biar baik biar jahat, biarlah lekas
ada keputusannya! Dikatakan datang, dia tidak datang, apa itu tidak
membikin orang bergelisah?"
Si pelajar sebaliknya pikir; "Makin lambat dia datang, makin berbahaya ancaman bencananya. Sebenarnya soal sulit sekali……"
Sebetulnya pelajar ini pintar dan pandai berpikir, belasan tahun dia
menjadi perdana menteri negara Tayli, pernah dia menghadapi banyak
perkara besar dan peperangan juga, tetapi belum pernah dia menghadapi
saat tegang sebagai ini. Maka dia jadi berpikir keras, apa pula ketika
itu, cuaca jadi semakin gelap, di tempat jauh di sana, tak nampak suatu
apa, kecuali suara yang menyeramkan dari si burung malam, si kokok beluk
atau burung hantu. Tidak heran kalau kemudian dia ingat kepada dongeng
semasa ia kecil. "Si kucing malam bersembunyi di tempat gelap, dia
mencuri alisnya beberapa orang, alis yang dapat dia menghitungnya dengan
tepat, maka umur dia itu tak menanti sampai fajar……"
Dengan si kucing malam dimaksudkan si burung hantu. Dan cerita itu
dongeng belaka, akan tetapi karena teringatnya di waktu sore, dalam
suasana seperti itu, mau atau tidak, bulu roma menjadi terbangun
sendirinya. Hebat pengaruhnya suara si burung hantu itu……
"Mungkinkah suhu tidak bakal lolos dari takdirnya ini, dan ia mesti mati di tangannya seorang wanita?" si pelajar berpikir.
"Nah, itu dia datang!" mendadak terdengar suara si tukang kayu, suaranya perlahan dan bergemetar.
Benar saja, di atas jembatan, terlihat berkelebatnya satu tubuh manusia.
Tiba di bagian liang atau ceglokan, dengan pesat bayangan itu
berlompat. Dia begitu gesit hingga si pelajar berempat menjadi heran,
hingga mereka berpikir, "Ketika dia belajar silat pada suhu, kita sudah
mewariskan kepandaian suhu, kenapa sekarang dia menjadi terlebih lihay
dari padaku? Selama belasan tahun ini, di mana ia meyakinkan ilmu
silatnya itu?"
Selagi orang itu mendatangi bagaikan bayangan, si pelajar berempat
lantas bangun untuk berdiri, segera mereka memecah diri ke kedua sisi.
Cepat sekali orang itu telah tiba. Dia mengenakan pakaian hitam, cuaca
pun gelap, tetapi dia dapat lantas dikenal. Memang dialah Lauw Kui-hui,
selir yang dicintai Toan Hongya. Maka lantas mereka itu memberi hormat
sambil mengucapkan, "Siauwjin menghadap Nio-nio!"
Mereka menyebut diri, "siauwjin", hamba yang rendah dan memanggil nyonya
itu dengan Nio-nio, sebutan mulia untuk seorang permaisuri.
"Hm!" Eng Kouw mengasih dengar suaranya, sedang matanya menyapu empat orang itu.
"Apakah Nio-nio itu?" katanya bengis. "Lauw kui-hui sudah lama mati! Aku
ialah Eng Kouw. Hai, yang mulia Perdana Menteri, yang mulia Jenderal
Besar, yang mula Laksamana dan Pemimpin dari Pasukan Gielimkun, kiranya
kamu semua ada di sini! Aku menyangka Sri Baginda benar-benar sudah
melupai dunia, dia menjadi pendeta, siapa tahu dia justru bersembunyi di
sini, dia tetap masih menjadi kaisar yang berbahagia!"
Hati empat orang itu berdenyutan. Suara kui-hui sangat tak enak terdengarnya.
"Sekarang ini Sri baginda bukan lagi seperti Sri Baginda dulu hari,"
berkata si pelajar, si bekas perdana menteri yang mulia itu, "Kalau
Nio-nio melihat padanya, pasti Nio-nio tidak bakal mengenalinya."
"Hai, masih kamu menyebut Nio-nio!" membentak Eng Kouw, "Apakah kamu
hendak mengejek aku? Apa perlunya kamu hendak memberi hormat padaku
sampai aku mati?"
Keempat orang itu saling melirik, lantas mereka bangun berdiri.
"Hambamu yang rendah mengharap kesehatan Nio-nio," kata mereka.
Eng Kouw mengangkat tangannya.
"Hongya menitahkan kamu memegat aku, perlu apa ini segala macam adat
istiadat?" katanya. "Jikalau kamu hendak turun tangan, lekas kamu
menggeraki tangan kamu! Kamu raja dan menteri setahulah kamu telah
mencelakai berapa banyak rakyat negeri, maka terhadap aku, seorang
wanita, perlu apa kamu masih berpura-pura?"
"Raja kami mencintai rakyatnya seperti dia mencintai anaknya sendiri,"
berkata si pelajar, "Dia sangat bijaksana dan mulia hatinya, jangan kata
mencelakai orang yang tidak bersalah dosa, sekalipun seorang penjahat
besar, dia masih menyayanginya! Mustahilkah Nio-nio tidak ketahui itu?"
Muka Eng Kouw menjadi merah.
"Beranikah kamu main gila terhadap aku?" dia menanya bengis.
"Hambamu tidak berani……"
"Kamu menyebut hambamu, sebenarnya di antara kita mana ada lagi raja dan
menterinya?" kata Eng Kouw. "Sekarang aku hendak menemui Toan Tie Hin,
kamu hendak memberi jalan atau tidak?"
Toan Tie Hin itu ialah namanya Toan Hongya alias It Teng Taysu. Si
pelajar berempat mengetahui itu tetapi mereka tidak pernah berani
menyebut itu, maka itu terkesiap hati mereka akan mendengar Eng Kouw
menyebutnya seenaknya saja.
Si petani yang asalnya adalah komandan Gielimkun, pasukan raja, menjadi
habis sabar. Dia kata dengan keras; "Siapa satu hari pernah menjadi
raja, dia agung seumur hidupnya, maka mengapa kau mengucap kata-kata
tidak karuan?"
Eng Kouw tertawa panjang, tanpa membilang suatu apa, ia berlompat maju.
Keempat orang itu mengulur tangan mereka, untuk memegat. Mereka pikir,
"Meskipun dia lihay, mustahil kita tidak dapat merintangi dia? Biarnya
kita melanggar titah Sri Baginda, karena terpaksa, kita tidak bisa
berbuat lain……"
Eng Kouw tidak menggunai kedua tangannya, baik untuk mendorong mereka
dapat atau untuk meninju, dia maju terus, bersedia akan membenturkan
tubuhnya kepada mereka itu!
Si tukang kayu terkejut. Tentu sekali ia tidak berani membiarkan
tubuhnya ditubruk, itu artinya mereka saling membentur tubuh. Maka ia
berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, guna menyambar ke pundak
si nyonya, bekas junjungannya itu. Ia menyambar dengan cepat, ia juga
menggunai tenaga, akan tetapi ketika tangannya mengenai sasarannya, ia
heran. Ia menjambak sesuatu yang lunak dan licin, ia gagal mencekuk si
nyonya.
Justru itu si petani dan tukang pancing, sambil berseru, menyerang dari kiri dan kanan!
Eng Kouw tidak menangkis, ia hanya berkelit. Ia mendak, lalu ia molos
bagaikan ular licin di bawahan tangan kedua penyerangnya itu. Berbareng
dengan itu, si tukang pancing mendapat cium bau yang harum sekali,
hingga ia terkejut, hingga lekas-lekas ia menggeser incarannya, khawatir
nanti mengenai tubuh nyonya itu.
"Bagaimana he?" membentak si petani, gusar. Dengan sepuluh jarinya yang kuat, ia menyambar ke pinggang selir raja itu.
"Jangan kurang ajar!" membentak si tukang kayu.
Si petani tidak menghiraukan bentakan itu, ia meluncurkan terus
tangannya, hingga ia mengenakan sasarannya, hanya untuk herannya, ia
membentur sesuatu yang licin, hingga ia tidak dapat mencengkeram!
Demikian dengan ilmu lindungnya, Eng Kouw meloloskan diri dari
rintangannya tiga bekas menterinya itu, maka sekarang tahulah ia mereka
tidak dapat mencegah padanya. Karena ini, ia lantas membalas, sebelah
tangannya melayang kepada si petani.
Melihat demikian, si pelajar menyerang dengan totokannya, ke lengan
bekas selir itu, tetapi ini junjungan wanita tidak memperdulikannya,
bahkan dia juga mengeluarkan jari tangannya, memapaki totokan itu,
hingga tangan mereka bentrok seketika.
Bukan main kagetnya si pelajar, hingga dia berseru. Bentrokan itu
membikin dia merasa sangat sakit, tubuhnya pun lantas roboh terbanting.
Si tukang kayu dan si tukang pancing berlompat, guna menolongi kawannya itu.
Si petani dengan kepalannya, menyerang Lauw Kui-hui, untuk merintangi
nyonya itu nanti menyusuli serangannya kepada kawannya yang roboh itu.
Tangannya ini keras bagaikan besi.
Eng Kouw hendak menguji kepandaiannya yang ia ciptakan sendiri selama
hidup menyendiri di rawa lumpur hitam, ia tidak menyingkir dari serangan
itu. Sikapnya ini membikin kaget penyerangnya. Karena si petani pikir,
kalau ia mengenakan sasarannya, tentulah hancur lebur batok kepalanya
kui-hui itu. Ia lantas menarik pulang, tetapi dengan begitu kepalannya
itu mengarah juga hidung Eng Kouw!
Nyonya itu berkelit dengan cepat, kepalan lewat di depan hidungnya,
mengenakan pipi si nyonya. Justru ia terkejut, justru tangannya dapat
kena ditangkap. Ia kaget dan berontak, atau lantas ia merasakan
tangannya sakit, sebab tangan itu kena dibikin patah! Ia mengertak gigi,
tanpa menghiraukan tangan patah itu, dengan tangan kanannya, ia segera
menotok ke ceglokan sikut.
Si pelajar berempat telah mendapat pelajaran baik dari guru mereka,
meski belum mereka mewariskan ilmu silat It Yang Cie, buat di dunia
kangouw, sudah jarang tandingan mereka, maka mereka tidak menyangka pada
diri Eng Kouw mereka seperti membentur batu. Tentu sekali, saking
kerasnya niatnya menuntut balas, si nyonya pun mempelajari senjata
rahasia yang berupa jarum emas. Ia mengambil dasar dari gerakan
menyulam. Telunjuk kanannya dipakaikan gelang seperti cincin emas, pada
cincin itu ada tiga batang jarumnya yang dipakaikan racun. Demikian
sambil tertawa dingin, ia menyambut si petani.
Bagaikan orang yang menusuki diri pada jarum, demikian si petani. Begitu
tangannya ketusuk, begitu ia menjerit, begitu juga tubuhnya roboh
seperti si pelajar tadi!
"Hm, paduka congkoan!" Eng Kouw tertawa dingin. Ia lantas nerobos maju.
"Nio-nio, tahan!" berseru si tukang pancing.
Eng Kouw memutar tubuhnya. "Kau mau apa?" ia menanya dingin.
Sekarang si nyonya sudah tiba di depan pengempang. Pengempang itu
dipisahkan dengan rumah suci dengan sebuah jembatan batu yang kecil dan
ia sudah berada di kepala jembatan. Ia mengawasi dengan roman dan sinar
mata bengis, di dalam gelap, sinar matanya itu nampak nyata. Maka
terkejutlah si tukang pancing melihat sinar mata itu, hingga ia tidak
berani menerjang.
"Yang mulia perdana menteri dan yang mulia congkoan berdua telah terkena
jarumku. Cit Ciat Ciam, maka di kolong langit ini sudah tidak ada orang
yang dapat menolong mereka!" kata Eng Kouw dingin. Habis berkata
begitu, ia memutar pula tubuhnya, tanpa menanti jawaban, ia berjalan
maju, perlahan tindakannya, tidak ia berpaling pula. Nyata ia tidak
khawatir yang orang nanti menyerang dengan membokong kepadanya.
Jembatan batu yang kecil itu cuma seperjalanan kira duapuluh tindak,
ketika si nyonya hampir sampai di ujung penghabisan, di sana dari tempat
yang gelap muncul satu orang, muncul secara tiba-tiba, hanya dia segera
memberi hormat seraya berkata, "Adakah cianpwee baik-baik saja?"
Eng Kouw terkejut. Ia berkata di dalam hatinya, "Ini orang muncul secara
tiba-tiba begini! Kenapa aku tidak mengetahui dari siang-siang? Jikalau
dia menurunkan tangan jahat, pastilah aku telah terbinasa atau
sedikitnya terluka……"
Maka ia lantas mengawasi. Ia melihat seorang dengan tubuh tinggi dan
dada lebar, alisnya gompiok, matanya besar. Ia pun lantas mengenali Kwee
Ceng, si anak muda yang ia berikan petunjuk untuk datang ke gunung ini.
"Apakah lukanya si nona kecil sudah sembuh?" ia menanya.
"Terima kasih untuk petunjuk cianpwee," menyahut si anak muda sambil
menjura. "Lukanya sumoayku syukur telah diobati sembuh oleh It Teng
Taysu."
"Hm! Kenapa dia tidak datang sendiri menghaturkan terima kasih padaku?" Eng Kouw tanya, sembari berkata, ia bertindak maju.
Kwee Ceng berdiri di ujung jembatan, ia tahu orang hendak menerobos tak perduli ia bakal terbentur.
"Cianpwee, silahkan kembali!" ia berkata cepat.
Eng Kouw tidak menghiraukannya, ia maju terus. Bahkan dengan menggunai
Nie-ciu-kang, ilmu silat "Lindung", ia nerobos ke samping kiri si anak
muda.
Kwee Ceng pernah menempur nyonya ini di rawa lumpur hitam, di rumah si
nyonya, ia tidak menyangka orang ada selicin demikian, dalam heran dan
kagetnya itu, ia berlompat, lantas ia menyerang dengan tangan kirinya,
yang dilancarkan ke belakang. Ia telah menggunai ilmu silat Kong Beng
Kun ajarannya Ciu Pek Thong.
Eng Kouw sudah melewati si anak muda ketika ia terkejut atas
berkesiurnya angin kepalan, halus tetapi keras. Untuk menolong diri
seharusnya ia mundur pula, akan tetapi ia telah berkeputusan pasti,
untuknya ada maju tidak ada mundur, maka juga, ia tahu apa yang ia mesti
lakukan.
"Hati-hati!" Kwee Ceng berteriak. Atau mendadak ia merasakan ada tubuh
wanita yang halus yang menubruk lengannya, selagi ia kaget, kakinya
telah kena digaet si nyonya, hingga tidak ampun lagi, keduanya jatuh ke
arah pengempang.
Selagi tubuhnya belum jatuh ke air, tangan kiri Eng Kouw dilewatkan di
bawahan ketiak kanan Kwee Ceng, diangkat ke atas, ke belakang leher,
terus ke pundak kiri si anak muda, untuk dipakai mencekik tenggorokan
anak muda itu, untuk itu ia menggunakan dua jerijinya jempol dan tengah.
Inilah ilmu silat "Siauw-kim-na" atau "Tangkapan kecil" jurus "Memencet
tenggorokan menutup napas". Kalau orang kena terpencet, ia bisa lantas
putus napasnya.
Kwee Ceng merasakan gerakan tangan orang itu, ia terperanjat. Ia tahu
yang ia terancam bahaya. Dengan lantas ia membela diri. Ia juga
menggeraki tangan kanannya ke arah lehernya si nyonya, hanya ia bukan
mengarah tenggorokan hanya belakang leher, sebab ia menggunai tipu
serupa untuk bagian belakang, sedang Eng Kouw untuk bagian depan.
Eng Kouw lantas merasa akan gerakannya pihak lawan. Ia pun tahu lihaynya pencetan itu, maka ia berdaya untuk menghindarkannya.
Jembatan itu tidak tinggi, jaraknya ke muka air dekat sekali, meski
begitu, sebelum tubuh dua orang itu tercebur, mereka sudah saling
menyerang atau membela diri. Diakhirnya, "Byur!" maka keduanya jatuh ke
air!
Empang itu dalam kira dua kaki, di situ ada lumpurnya, maka setelah
berada di dalam pengempang, keduanya kerendam air sebatas dada.
Eng Kouw licik sekali. Dengan tangan kiri ia merogoh ke dalam air, ia
mengambil lumpur, dengan itu ia lantas menghajar mukanya si anak muda.
Kwee Ceng terkejut, ia berkelit.
Di dalam bergerak di lumpur, itulah keistimewaannya si nyonya. Sudah
belasan tahun ia berlatih di rawa lumpur, maka juga tubuhnya dapat
bergerak dengan lincah sekali, mirip dengan lindung. Kalau di darat dia
licin, di air terlebih lagi. Ini juga sebabnya ia berhasil menubruk si
anak muda, untuk mereka kecebur bersama. Ia percaya, dengan bertempur di
air, dapat ia melewati anak muda ini.
Di dalam air, Kwee Ceng kalah gesit. Rugi untuknya. Ia juga tidak berani
menyerang melukai nyonya itu. Karena ia cuma bertujuan merintangi si
nyonya. Maka lekas juga ia terdesak. Berulang-ulang ia diserang dengan
lumpur, hingga ia selalu mesti main berkelit. Akhirnya ia gelagapan,
ketika ada juga lumpur yang menimpa mukanya sebelum ia sempat berkelit,
ia cuma bisa menutup matanya. Sambil membela diri dengan sebelah tangan,
dengan tangan yang lain ia singkirkan tanah basah itu. Ia telah diajari
Kanglam Liok Koay, kalau terkena senjata rahasia, jangan sekali
kehilangan ketabahan, kalau kita gugup atau bingung, leluasa musuh
mengulangi serangannya. Maka itu, ia membela diri sambil menyerang
beruntun tiga kali.
Eng Kouw yang pintar menyingkir dari setiap serangan itu, ia berlompat
naik ke darat, dari itu ketika kemudian Kwee Ceng sudah bisa membuka
matanya, ia tengah lari menuju ke dalam kuil. Di dalam hatinya ia kata,
"Sungguh hebat! Kalau tidak ada pengempang, tidak nanti aku dapat
mengundurkan bocah tolol itu. Rupanya Thian ada besertaku, supaya aku
berhasil menuntut balas……"
Segera juga ia sampai di depan pintu. Ia mengajukan sebelah tangannya, akan menolak daun pintu.
"Blak!" demikian satu suara nyaring dan pintu terbuka dengan gampang. Ia
menjadi terkejut bahna herannya. Tentu sekali ia berkhawatir nanti ada
musuh bersembunyi, maka ia tidak lantas maju terus untuk masuk, ia hanya
berdiri diam sambil memasang mata.
Kuil itu sunyi senyap. Karena itu baru ia bertindak masuk.
Di pendopo ada api pelita, menyorotkan roman agung dari patung sang
Buddha yang dipuja di situ. Ia lantas berlutut memberi hormatnya, ia
memuji agar ia dibantu melaksanakan pembalasannya. Tengah ia memuji,
tiba-tiba ia mendengar suara tertawa perlahan dan geli di sebelah
belakangnya. Ia terkejut. Segera ia bersiap membela diri, ialah dengan
tangan kiri ia menyampok ke belakang, dengan tangan kanan ia menekan
tikar untuk berlompat bangun sambil memutar tubuhnya.
"Bagus!" ia mendengar pula satu suara, kali ini pujian untuk lompatannya
yang lincah itu. Ia mengenali suaranya seorang nona. Ketika ia sudah
mengawasi - karena ia pun tidak diserang - segera ia melihat tegas siapa
nona itu, ialah Oey Yong!
Nona Oey mengenakan baju hijau dengan ikat pinggang merah, gelang
rambutnya yang terbuat dari emas berkeredep berkilauan. Pada wajahnya
yang cantik terlihat senyuman manis. Sedang tangannya mencekal
Lek-tiok-thung, tongkat keramat dari Kay Pang, Partai Pengemis.