Pelajar itu menunjuk dengan kipasnya ke kumpulan pohon palem itu, ia
membacakan syairnya itu, atau lian, yang dikatakan bagian atasnya, "Sang
angin meniup-niup pohon palem, bagaikan seribu tangan menggoyang-goyang
sang kipas."
Syair itu di satu pihak menggambarkan pemandangan alam - ialah yang
pohon, di lain pihak menunjuki juga hal dirinya si pelajar - ialah
kipasnya, maka Oey Yong lantas berpikir, "Tidak dapat aku menjawab dia
dengan hanya menunjuk serupa benda, mesti juga ada arti yang merangkap
di dalamnya." Ia lantas memandang ke sekitarnya, hingga ia melihat di
depannya, di tanah datar, sebuah bangunan sebagai kuil atau biara, di
depan mana ada sebuah pengempang teratai. Ketika itu bulan ke tujuh
hampir habis, daun teratai sudah kering lebih dari separuhnya. Lalu ia
tertawa dan berkata, "Jawabanku itu untuk menyambungi sudah ada hanya
aku khawatir aku berbuat salah terhadap kau, paman, jadi tidak leluasa
untuk aku mengatakannya…."
"Tidak apa, kau sebut saja!" menyahut si pelajar.
"Jangan kau gusar, paman…"
"Tentu sekali tidak."
Oey Yong menunjuk kepada kopiah siauw-yauw-kin di kepala pelajar itu.
"Baiklah!" katanya. "Sambunganku bagian bawah dari syairmu itu ialah,
'Di antara daun teratai separuh kering, satu memedi kaki tunggal memakai
siauw-yauw-kin."
Mendengar itu, si pelajar tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus!" ia memuji. "Bukan saja jawabannya sangat tepat juga itu dijawabnya cepat sekali."
Kwee Ceng mengawasi ke daun-daun teratai di pengempang itu, ia melihat
ada selembar daun hampir kering yang duduknya begitu rupa hingga mirip
dengan satu setan satu kaki yang memakai kopiah siauw-yauw-kin itu! Maka
ia juga tertawa.
"Hus, hus, jangan tertawa!" kata si nona pada kawannya. "Tungkulan kau
tertawa, kakimu bisa terpeleset, nanti kita berdualah yang bakal menjadi
si setan-setan yang tidak memakai kopiah siauw-yauw-kin itu!"
Si pelajar sendiri sementara itu tengah berpkir. "Dia tidak dapat
dirobohkan dengan twie yang umum saja, dia mesti menyaksikan yang sangat
sukar." Lalu ia ingat halnya di masa bersekolah, gurunya pernah
memberikan ia twie yang sudah puluhan tahun belum pernah ada lain orang
yang dapat menimpalinya. Ia hendak mencoba ini. Ia kata, "Sekarang aku
mempunyai satu lian lagi, aku minta nona kecil menimpalinya. Inilah Kim
Sek Pie Pee, delapan raja besar semua serupa kepalanya."
Mendengar itu tanpa merasa Oey Yong tercengang. Kim Sek Pie Pee itu,
ialah alat-alat tetabuhan semacam gitar, memang semua empat-empat
hurufnya berkepala dengan huruf-huruf Ong = Raja di atasnya. Inilah
benar-benar syair atau lian yang sulit untuk ditimpali (twie).
Si pelajar mengawasi orang, senang hatinya menampak si nona menghadapi
kesulitan. Ia lantas berkata, "Lian bagian atas ini memangnya sukar, aku
sendiri tidak dapat menimpalinya dengan pasti, hanya karena kita sudah
omong terlebih dahulu, umpama kata nona tidak dapat menimpalinya,
seperti janji kita, silahkan kamu kembali saja!"
Justru orang "mengusir" justru Oey Yong mendapat pikiran. Ia tertawa.
"Untuk menimpali itu, tidaklah sukar!" katanya. "Hanya aku merasa kurang
enak di hati menyebutkan itu. Tadi saja aku telah berbuat salah
terhadap paman, sedang sekarang aku bakal menyinggung berbareng kamu
berempat si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan palajar."
Pelajar ini tidak mempercayai orang.
"Untuk menimpali saja sudah sukar sekali, apa pula dengan sekaligus
mengenai empat orang," pikirnya. "Benarkah itu?" Lalu ia membilang,
"Asal kau dapat menimpali dengan tepat, bergurau sedikit tidak apa!”
Si nona tertawa.
"Kalau paman bilang begitu, baiklah, lebih dulu aku minta maaf!"
katanya. "Sambungannya lian paman itu ialah, Ci Bie Bong Liang, ialah
empat setan cilik dengan masing-masing ususnya!"
Cie Bie Bong Liang itu ialah setan hutan, setan gunung, setan tukang
makan batok kepala orang dan peri, semua empat huruf berpokok dengan
huruf Kwie = Setan.
Mendengar itu, si pelajar terperanjat, lekas-lekas ia berbangkit untuk untuk menjura dalam seraya tangannya dikibaskan.
"Aku menyerah, Nona," katanya.
Oey Yong pun lekas-lekas memberi hormat.
"Jikalau bukannya paman beramai sangat bersungguh-sungguh
menghalang-halangi kami berdua mendaki gunung, sebenarnya juga lian
paman ini sangat sukar untuk dijawab!"
"Hm!" si pelajar bersuara seraya ia lantas minggir.
"Silakan!" katanya. Ia memutar tubuh dan berlompat dari tempat menghadangnya itu.
Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang dengan perhatian, ia sebenarnya
khawatir Oey Yong gagal, maka bukan main girangnya ia mengetahui si nona
menang, segera ia berlompat, mulanya di tempat bekas si pelajar, lalu
terus ke rintangan lainnya yang paling belakang.
Melihat orang menggendong tetapi gerakannya demikian hebat, si pelajar
menghela napas sendirinya dan di dalam hatinya ia berkata, "Aku bangga
atas kepandaianku ilmu surat dan ilmu silat, sekarang ternyata, dalam
ilmu surat aku tak ada seperti si nona, dalam ilmu silat tak ada seperti
si pemuda, sungguh aku mesti malu…" Ketika ia melirik kepada si nona,
nyata sekali nona itu sangat girang akan kemenangannya, rupanya ia
memikir ia telah merobohkan satu conggoan. Maka ia pikir, "Baiklah aku
ganggu dia, supaya ia jangan terlalu girang." Maka ia lantas berkata,
"Nona, meskipun ilmu suratmu lihay, tetapi di dalam halnya peri-laku,
kau ada cacadnya."
Oey Yong tertawa.
"Di dalam hal ini aku minta petunjukmu," ia bilang.
"Bukankah di dalam kitab Beng Coe ada bilang, yang dibilang
adat-istiadat ialah pria dan wanita tak dapat saling bersentuh tangan?"
katanya si pelajar. "Sekarang lihat sendiri. Nona adalah seorang gadis
dan dengan engko kecil ini, kamu bukanlah suami-istri, maka kenapa nona
membiarkan ia menggendong padamu? Beng Hoe-coe membilang, cuma kalau
sang ipar perempuan kelelap maka sang ipar lelaki dapat menolongnya.
Nona ini tidak kelelap. Nona pun bukan iparnya engko kecil ini, kenapa
dia menggendong nona? Itulah sangat besar melanggar adat-istiadat."
Mendengar sindiran atau ejekan ini Oey Yong berpikir, "Hm! Engko Ceng
toh sangat baik denganku. Memang dialah bukan suamiku, suko Liok Seng
Hong membilang demikian, sekarang ini conggoan membilang demikian juga…"
Ia tidak suka mengalah, maka sambil mainkan mulutnya, ia berkata, "Beng
Hoe Coe itu memang paling suka mengaco-belo! Dapatkah kau percaya
kata-katanya itu?"
Mendengar demikian, si pelajar menjadi gusar. ia tidak senang Beng Hoe Coe dikatakan mengaco-belo.
"Beng Hoe Coe ialah seorang nabi, seorang rasul, mengapa kata-katanya tak dapat dipercaya?" dia tanya keras.
Oey Yong kata tertawa, bagaikan bersenandung, ia kata, "Seorang pengemis
mana mempunyai dua istri? Seorang tetangga mana mempunyai demikian
banyak ayam? Di jaman itu masih ada kaisar dari kerajaan Ciu, kenapa
orang mesti omong banyak dengan raja-raja Gui dan Cee?"
Mendengar kata-kata si nona, pelajar itu berdiri menjublak. Ia mengetahui baik sekali kata-kata nona ini.
Apa yang disebutkan Oey Yong adalah syair karya ayahnya sendiri. Oey Yok
Su pintar akan tetapi tabiatnya aneh, maka itu, sering ia membuat syair
dengan apa ia mengejek Khong Coe dan Beng Coe. Kalau bukan begitu,
dialah bukan Tong Shia di Sesat dari Timur.
Beng Coe itu pernah bercerita dari halnya seorang dari negeri Cee
mempunyai seorang istri serta seorang gunidk, toh untuk hidupnya, ia
pergi mengemis sisa sayur dan nasi dingin, dan halnya seorang yang
setiap hari mencuri seekor ayam tetangganya. Dua cerita itu disyairkan
dengan maksud akan dipakai menipu orang. Tentang yang lainnya, jaman itu
ialah jaman perang antara negara (Cian Kok), itu masih ada raja dari
kerajaan Ciu, maka itu Tong Shia menanya, kenapa Beng Cu bukannya
menunjang raja Ciu, dia hanya pergi kepada raja muda Liang Hui Hong dan
Cee Soan Ong kepada siapa Beng Cu meminta pangkat? Tong Shia
menganggapnya itu bertentangan sama prilakunya seorang nabi atau rasul.
Pelajar ini berpikir, "Si orang negeri Cee dan si tetangga itu cuma
cerita, cuma cerita, perumpamaan saja, hanya yang mengenai Beng Coe itu,
mungkin Beng Coe sendiri di alam baka sukar menjawab…" Ia melirik pula
si nona, ia berpikir lagi, "Dia masih begini muda, kenapa dia begini
cerdik?"
Meski apa yang ia pikir itu, si pelajar membungkam. Ia hanya memimpin
dua muda-mudi itu. Ketika melewati pengempang, ia memandang kepada daun
teratai yang tadi disebutkan si nona itu, kemudian ia melirik kepada si
nona. Oey Yong tertawa dan melengos!
Tidak lama sampailah mereka di kuil, si pelajar mengundang kedua
tetamunya masuk ke kamar sebelah timur, di mana lantas ada kacung
pendeta yang menyuguhkan teh.
"Jiewi, harap tunggu sebentar, hendak aku mengabarkan guruku," kata si pelajar.
"Eh, tunggu dulu," berkata Kwee Ceng. "Itu paman petani, di lereng
gunung di tengah menahan batu yang ada kerbaunya, dia tidak dapat
meloloskan dirinya, baiklah paman pergi menolong dia."
Mendengar ini, si pelajar kaget. Hingga tanpa bilang apa-apa lagi, dia lantas lari ke luar.
"Nah, lekaslah buka itu kantung yang kuning!" kata Oey Yong kepada kawannya.
"Ah," kata si pemuda, "Kalau kau tidak menyebutnya, pasti aku lupa." Ia
lantas mengeluarkan kantung kuning itu, untuk memerika isinya. Itulah
kertas putih tanpa huruf, hanya ada gambar, yang meggambarkan seorang
India yang menjadi raja, dengan pisau raja itu telah memotongi dagingnya
hingga tak ada tubuhnya yang utuh, sedang darahnya berhamburan. Di
depan raja ini ada sebuah dacin, alat peranti menimbang, di ujung yang
satu ada seekor burung dara putih dan di sebelah yang lain ialah
dagingnya itu. Daging lebih banyak, burung dara lebih kecil, tetapi
buktinya, burung dara lebih berat. Di samping dacin ada seekor burung
elang, yang romannya sangat bengis.
Sekian lama Oey Yong mengawasi gambar itu, ia tidak mengerti maksudnya.
Kwee Ceng pun tidak tahu apa artinya itu, karena si nona diam saja, ia
turut berdiam. Maka ia gulung gambar itu, untuk dipegangi dengan
digenggam.
Tidak lama terdengar tindakan kaki yang berat dan berisik, lalu nampak
si petani datang dengan dipegangi si pelajar, romannya sangat gusar.
Rupanya ia mendongkol sebab kena diakali hingga ia seperti tersiksa. Dia
terus dibawa masuk ke dalam kuil.
Selang tak lama, muncullah satu kacung pendeta. Dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya. Ia menanya.
"Jiewi datang dari tempat yang jauh, entah ada urusan apa?"
"Kami sengaja datang untuk mohon menghadap Toan Hongya," Kwee Ceng
menyahuti. "Kami minta tolong agar kedatangan kami disampaikan."
Pendeta itu merangkap kedua tangannya.
"Toan Hongya sudah lama tak ada lagi di dalam dunia ini, maka sayang
sekali, jiewi telah bercapai lelah tanpa ada hasilnya. Silahkan dahar
dulu, sebentar nanti siauw-ceng mengantarkannya turun gunung."
Kwee Ceng berdiam, karena ia kecele sekali mendapat jawaban itu. Tidak
demikian dengan Oey Yong, yang telah melihat kuil itu dan sekarang si
pendeta cilik ini. Ia menduga sesuatu. Ia mengambil gambar dari
tangannya Kwee Ceng, ia kata, "Aku telah mendapat luka parah, sengaja
aku datang ke mari untuk minta gurumu suka menolongi, dari itu sehelai
kertas ini tolong kau menyampaikannya kepada gurumu itu."
Kacung itu menerima, ia tidak berani membuka gambar itu, hanya setelah
memberi hormat, ia masuk ke dalam. Tapi tidak lama ia ke luar pula,
sembari menurunkan alisnya, sambil memberi hormat, ia berkata, "Silahkan
jiewi masuk."
Itulah undangan, maka Kwee Ceng menjadi girang sekali. Ia lantas pegangi Oey Yong, untuk diajak mengikuti kacung itu.
Kuil itu kecil tetapi dalam. Kwee Ceng berdua Oey Yong jalan di satu
jalanan batu hijau yang lecil melewati sebuah tempat di mana ada ditanam
banyak pohon bambu, yang daunnya lebat, keadaannya sunyi dan tenang,
hingga siapa berada di situ, ia tentunya terpengaruh suasana kesucian.
Di dalam rimba bambu itu terlihat sebuah rumah batu terdiri dari tiga
ruang. Si kacung pendeta lantas membuka pintu, untuk mempersilahkan
kedua tetamunya masuk ke dalam. Ia berdiri di pinggiran dengan sikapnya
yang sangat menghormat.
Kwee Ceng girang. Ia bersenyum kepada pendeta itu, sebagai tanda terima
kasihnya. Bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam.
Di atas meja kecil ada pedupaan dari kayu garu. Di kedua samping itu ada
berduduk masing-masing seorang hweeshio atau pendeta. Yang satu mukanya
hitam, hidungnya mancung, matanya dalam. Dialah seorang India. Yang
lainnya, yang bajunya kasar, mempunyai alis putih yang panjang, ujung
alisnya meroyot turun di ujung matanya. Wajah pendeta ini menunjuk ia
murah hati, benar sinar matanya rada guram, mungkin tercampur kedukaan,
tetapi umumnya dia halus dan agung. Si pelajar dan si petani berdiri di
belakang pendeta alis panjang ini.
Oey Yong bertindak tanpa sangsi lagi. Ia menarik tangan Kwee Ceng, untuk
menghampirkan pendeta itu, sambil membungkuk ia berkata, "Teecu Kwee
Ceng bersama Oey Yong menghadap Supee."
Kwee Ceng terkejut mendengar nona itu memanggil supee atau paman guru,
meski begitu tanpa bersangsi lagi dia menekuk kedua kakinya untuk
mengangguk sampai empat kali.
Pendeta alis panjang itu bersenyum, ia bangun untuk berdiri, tangannya
diulur mengasih bangun pada mereka itu. Ia pun tertawa dan berkata,
"Saudara Cit telah mendapatkan murid yang baik sekali dan saudara Yok
mendapatkan anak yang manis! Menurut katanya mereka ini…" ia menunjuk
kepada si petani dan si pelajar, "Lihay ilmu surat dan ilmu silat kamu
berdua, jauh melebihkan murid-muridku yang bodoh itu. Haha, sungguh kamu
berdua harus diberi selamat!"
Mendengar suara itu, Kwee Ceng merasa pasti orang adalah Toan Hongya,
maka ia heran kenapa seorang raja boleh berubah menjadi hweeshio dan
heran juga bahwa Toan Hongya dikatakan sudah mati, toh orang masih hidup
segar-bugar. Pula ia heran yang Oey Yong lantas mengetahui pendeta itu
adalah Toan Hongya sendiri.
Lalu terdengar si pendeta menanya Oey Yong, "Apakah ayahmu dan gurumu
baik-baik semua? Ketika dulu hari kita berapat di gunung Hoa San di mana
kita merundingkan ilmu pedang bersama ayahmu, ayahmu itu masih sebatang
kara, siapa sangka baru berpisah dua puluh tahun, dia telah mendapatkan
satu anak perempuan yang cantik dan pintar! Apakah kau ini mempunyai
saudara tua dan muda, enci atau adik? Dan kakek luarmu itu, dia orang
gagah yang manakah?"
Ditanya begitu, matanya Oey Yong menjadi merah.
"Ibuku cuma melahirkan aku seorang," sahutnya. "Ibu pun telah meninggal
semenjak siang-siang. Siapa itu kakek luarku, aku tidak tahu…"
"Oh," kata pendeta itu, yang dengan perlahan menepuk pundak orang,
sebagai tanda menghibur. "Aku telah bersemedhi tiga hari dan tiga malam,
baru saja aku pulang. Apakah kamu sudah lama menunggu aku?"
Oey Yong berpikir, "Dilihat dari sikapnya ini, dia sangat menyukai kami.
Maka mungkin di sepanjang jalan tadi, yang menyulitkan kami adalah
bisanya muridnya itu…" Karena itu, ia lekas menyahut, "Teecu juga baru
tiba. Syukur beberapa paman telah mempersulit di tengah jalan, kalau
tidak, tentulah kami sudah tiba semenjak tadi-tadi, hingga dengan supee
tengah bersemedhi mungkin tibanya kami akan sia-sia belaka."
Mendengar itu, si pendeta tertawa riang.
"Mereka itu sangat khawatir aku bertemu sama orang luar," katanya.
"Sebenarnya, bukankah kau bukannya orang luar? Ah, anak, muridmu tajam
sekali, dasar turunan! Baiklah kamu ketahui, Toan Hongya sudah tidak ada
lagi dalam dunia ini, sekarang aku dipanggil It Teng Hweesio. Gurumu
ketahui ketika aku mulai menganut agama, ia menyaksikannya, ayahmu
mungkin belum mengetahuinya."
Baru sekarang segala apa terang bagi Kwee Ceng. Toan Hongya telah
menjadi Hweeshio, dia memakai nama It Teng itu, pantas dia dikatakan
sudah menutup mata. Memang siapa menyucikan diri, dia bagaikan menjelma
pula. "Suhu mengetahui tentang supee ini, kalau suhu menyuruh kita
kemari, tidak nanti ia menyebut pula Toan Hongya, hanya It Teng Taysu."
Maka itu, benar-benar Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat menerka!
"Memang juga ayah tidak tahu," berkata Oey Yong.
"Benar," It Teng pun bilang sambil ia tertawa. "Tentang gurumu itu,
mulutnya itu lebih banyak yang masuk, sedikit yang ke luar, yang dimakan
banyak, yang dibicarakan sedikit, maka itu urusan aku si pendeta tua
tentulah dia tak suka bicarakan itu sama lain orang. Kamu datang dari
tempat jauh, kamu sudah dahar atau belum? Ah…." Mendadak pendeta ini
terkejut, lalu ia menarik tangan Oey Yong ke depan pintu di mana ia
mengawasi dengan tajam, di sinar matahari. Di sini dia nampak seperti
kaget.
Kwee Ceng benar tak gelap pikirannya tetapi tahulah ia bahwa It Teng
Taysu tentu telah mendapat lihat sakitnya Oey Yong, maka itu, hatinya
jadi sangat pedih, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan pendeta itu,
berulang-ulang ia mengangguk.
It Teng meluncurkan sebelah tangannya, akan mengangkat bangun bocah itu.
Kwee Ceng merasakan satu tenaga besar membentur tangannya, ia tidak
berani menentang itu, ia lantas mengikuti, maka ia berbangkit dengan
perlahan-lahan. Sembari bangun, ia berkata, "Teecu mohon supee suka
menolongi jiwanya sumoy ini…"
It Teng mengangkat si anak muda dengan mengandung dua maksud, satu untuk
mengasih bangun benar-benar, yang lain guna mencoba tenaga dalam bocah
itu. Umpama Kwee Ceng melawan, tidak nanti ia membikin orang terluka
atau terpelanting, di dalam hal itu, ia pandai mengendalikan tenaganya.
Sebaliknya, meskipun Kwee Ceng mengikuti, ia merasa bahwa anak muda ini
juga pandai mengendalikan tenaganya, maka itu ia menjadi kagum.
"Saudara Cit mendapat murid yang bagus sekali," pikirnya. "Pantas murid-muridku kalah…"
Sementara itu, habis orang berkata, Kwee Ceng kaget sekali. Mendadak ia
merasa tubuhnya kena tertarik hingga ia maju satu tindak, ketika ia
mencoba menahan diri, mukanya menjadi merah tahu benar lihaynya pendeta
tua itu. Sebenarnya ia menduga It Teng sudah berhenti menguji padanya,
ia mengendorkan diri seperti wajar, tidak tahunya, ia diuji terus.
Sekarang ia menginsyafi benar lihaynya Tong Shia dan See Tok, Lam Tee
dan Pak Kay.
It Teng dapat melihat sinar mata anak muda itu, ia heran dan kagum, ia
menepuk perlahan pundak orang, sembari tertawa ia kata, "Anak, kau telah
mempunyai kepandaianmu ini, sungguh inilah sukar didapat."
Di lan pihak, pendeta ini masih belum melepaskan tangannya yang satu
lagi yang memegangi tangan Oey Yong, maka ia lantas menoleh kepada si
nona. Hanya kali ini ia tidak lagi tertawa hanya bersenyum, cuma dengan
sungguh-sungguh dengan perlahan sekali, ia bilang, "Anak, jangan kau
takut, kau tetapkan hatimu."
Lalu ia menuntun nona itu, untuk dikasih duduk.
Oey Yong sangat bersyukur. Seumurnya belum pernah ia merasa orang
perlakukan ia begini manis dan halus, tidak juga ayahnya yang aneh itu.
Ayahnya itu menyayangi ia, tetapi sikap mereka berdua mirp sahabat erat,
tidak pernah si ayah menunjuk tegas cinta kasihnya seorang ayah
sebagaimana umumnya. Maka itu, tanpa merasa, ia menangis.
"Jangan menangis, anak yang baik, jangan menangis," It Teng menghibur.
"Tubuhmu sakit, bukan? Nanti supeemu mengobati kau hingga sembuh."
Hanyalah semakin halus ia pendeta berbicara, semakin sedih hatinya si nona, hingga ia menangis tersedu-sedu tak hentinya.
Kwee Ceng girang mendengar It Teng memberi janjinya itu, tetapi
kebetulan ia mengangkat kepalanya dan melihat si petani dan si pelajar,
ia terkejut. Dua orang itu memandang dia dengan wajah bermuram durja
tanda dari kemurkaan. Ia berpikir, "Kami bisa masuk sampai di sini,
semua itu mengandal kepada kecerdikannya Oey Yong, yang pandai menggunai
tipu daya, tidak heran, selagi It Teng Taysu begini baik, kenapa
keempat muridnya menggunai segala jalan untuk menghalang-halangi kami?"
Pemuda ini baru berhenti berpikir ketika ia mendengar It Teng menanya
Oey Yong. Katanya, "Anak, bagaimana caranya kau terluka, dan bagaimana
jalannya hingga kau dapat masuk ke mari, coba kau tuturkan pada
supeemu."
Oey Yong memberikan keterangan bagaimana ia terlukakan Khiu Cian Jin,
yang mulanya ia tidak tahu ada yang tulen dan ada yang palsu, karena
kesangsiannya itu, ia mandah saja kasih dirinya dihajar.
Mendengar disebutkannya nama Khiu Cian Jin, It Teng Taysu itu
mengerutkan alis, hanya sejenak, lalu ia dapat bersenyum pula, ia nampak
tenang seperti biasa.
Oey Yong si cerdik bicara sambil diam-diam memperhatikan si pendeta itu,
maka air muka orang itu tidak lolos dari pandangan matanya yang tajam.
Begitu ketika ia menutur sampai di bagian mereka bertemu Eng Kouw di
rimba rahasia dan rawa lumpur hitam, ia juga mendapatkan si pendeta itu
berubah lagi romannya, si pendeta seperti tengah mengenang peristiwa
lama. Karena ini, ia menunda penuturannya itu.
"Kemudian bagaimana?" tanya It Teng, yang menghela napas.
"Kemudian kami sampai di kaki gunung," melanjuti Oey Yong yang terus
menceritakan bagaimana mereka dipersulit si tukang pancing, tukang kayu,
yang memberi mereka lewat dengan gampang, sebaliknya, mengenai tiga
yang lain, ia sengaja menambah-nambahkan hingga si petani dan pelajar
mendongkol bukan buatan.
"Yong-jie, jangan omong sembarangan," beberapa kali Kwee Ceng campur bicara. "Paman-paman itu tak ada sedemikian galak…"
Oey Yong berani bicara begitu rupa, karena ia tahu, di depan gurunya,
mereka itu tidak nanti berani berbuat sesuatu atas dirinya. Ia memang
sengaja hendak mengocok isi perut mereka itu.
"Anak-anak itu benar perbuatannya kurang bagus terhadap anak-anak
kecil," kata It Teng kemudian. "Biarlah sebentar aku menyuruh mereka
menghaturkan maaf kepada kamu."
Oey Yong melirik dua murid itu, selagi ia bercerita terus sampai ia
memasuki kuil ini, akhirnya ia tambahkan. "Begitulah teecu lantas
memberikan gambar itu untuk supee periksa. Sedari itu waktu, baru mereka
tidak berani menghadang kami lagi."
It Teng nampaknya heran.
"Eh, gambar apakah itu?" ia tanya.
"Itulah gambarnya burung elang, burung dara dan daging yang dipotong," menyahut si nona.
"Kau serahkan itu pada siapa?" It Teng tanya pula.
Belum lagi Oey Yong menyahuti, si pelajar telah merogoh sakunya dan mengeluarkan gambar itu.
"Gambar itu ada pada teecu, suhu," ia berkata. "Tadi suhu belum selesai
bersemedhi, gambar itu teecu tidak berani lantas menyerahkannya."
It Teng menyambuti gambar itu.
"Lihatlah!" katanya. "Jikalau kau tidak menyebutkannya, mana aku bisa
melihat ini?" Ia membuka gambar itu perlahan-lahan, terus ia lihat. Cuma
sekelebatan, ia lantas tertawa dan kata, "Kiranya orang khawatir aku
tidak suka menolong kau, maka ia menggunai gambar ini untuk
membangkitkan kemendongkolanku, agar hatiku menjadi panas. Tidakkah
dengan begitu ia jadi memandang enteng sekali kepada aku si pendeta
tua?"
Oey Yong tidak menjawab, ia hanya melirik si petani dan pelajar, hingga
ia kembali melihat muka orang suram, agaknya hati mereka cemas dan tetap
mendongkol. Ia menjadi heran sekali. Ia tanya dirinya sendiri, "Kenapa
mereka tak senang mendengar It Teng Taysu berniat mengobati aku? Kenapa
mereka seperti menghendaki kematianku? Adakah itu disebabkan obatnya ada
obat dewa?" Ia mengawasi pula si pendeta, yang lagi memperhatikan
gambar itu, yang bahkan dibawa ke terangnya matahari, untuk diperiksa
dengan teliti. Dia bukannya membaca hanya memperhatikan kertasnya.
Beberapa kali kertas itu disentil-sentil, dan air mukanya di pendeta
menandakan ia ragu-ragu.
"Adakah lukisan ini lukisannya Eng Kouw sendiri?" ia menanya.
"Benar."
Pendeta itu berdiam sejenak.
"Kau melihatnya dengan matamu sendiri?"
Pertanyaan ini heran, maka Oey Yong mengingat-ingat kejadian hari itu.
Ia menjawab, "Di waktu Eng Kouw menulis, ia membelakangi kami berdua,
aku cuma melihat ia menggoyangi pit, entah dia menulis surat atau
melukis gambar."
"Kau membilang masih ada dua kantung surat lainnya. Mana, kasih aku melihatnya."
Kwee Ceng menyerahkan dua lembar surat wasiat itu.
It Teng mengawasi sekian lama, lalu air mukanya berubah.
"Benarlah!" katanya kemudian. Ia menyerahkan surat itu pada si nona
seraya berkata, "Saudara Yok itu seorang pelukis pandai, kau putrinya,
kau tentu mengerti segala apa. Kau lihat ketiga surat itu, ada apakah
yang berlainan?"
Oey Yong menyambuti dan memeriksa.
"Ini dua kerta giokpoan yang biasa," ia berkata. "Dan gambar ini memakai kertas ciu-song."
It Teng mengangguk.
"Mengenai lukisan, akulah si orang di luar kalangan," katanya pula. "Coba kau bilangi aku pandanganmu tentang gambar ini.
Oey Yong meneliti.
"Supee pura-pura menjadi orang di luar kalangan!" katanya tertawa.
"Sebenarnya supee telah melihatnya, ini bukan gambar lukisannya Eng Kouw
sendiri!"
Kembali berubah air mukanya It Teng.
"Jadi benar ini bukannya lukisannya Eng Kouw sendiri?" katanya. "Aku melihatnya dari jalan pikirannya, bukannya dari gambarnya."
Oey Yong menarik tangan orang.
"Mari lihat huruf-hurufnya kedua surat ini," ia berkata. "Bagaimana
halus tekukannya dan indah. Huruf-huruf di dalam gambar sebaliknya kaku!
Ah, inilah lukisannya seorang laki-laki! Memang, mestinya dia seorang
pria, hanya sayangnya dia tidak mempunyai minat menggambar, lukisannya
tak ada harganya. Tetapi tulisannya ini, karena ia menggunai tenaganya,
telah menembus ke belakang kertas… Air bak ini juga mestinya telah lama
sekali, jangan-jangan lebih tua dari usianya…"
It Teng Taysu menghela napas. Ia menunjuk kepada sebuah kitab di atas meja, ia menyuruh si pelajar mengambilnya untuknya.
Oey Yong membaca judulnya kitab, maka ia kata di dalam hatinya; "Dia mau
bicara tentang kitab suci dengan aku, mana aku mengerti…." Itulah
sebuah kitab suci dan pula cetakan tua.
It Teng membuka lembarannya kitab itu, lalu di samping itu ia meletaki gambar dari Eng Kouw. "Kau lihat!" katanya.
"Eh, kertasnya sama!" kata Oey Yong heran.
Pendeta itu mengangguk.
Kwee Ceng tidak mengerti, sambil berbisik ia tanya si nona, kertas apanya yang sama.
"Kau lihat sendiri dan bandingkanlah," kata Oey Yong. "Bukankah kertasnya gambar dan kitab ini sama saja?"
Si anak muda mengawasi teliti dan memegang juga kedua kertas, yang tebal dan licinnya sama saja.
"Benar sama. Habis bagaimana?" ia tanya.
Si nona tidak menjawab, ia hanya memandang It Teng, untuk memperoleh jawaban.
"Kitab ini dibawa oleh adik seperguruanku dari Wilayah Barat," berkata pendeta itu alias Toan Hongya.
Semenjak semula, Kwee Ceng dan Oey Yong tidak memperhatikan si pendeta
bangsa India itu, baru sekarang mereka menoleh dan mengawasi. Pendeta
itu tetap duduk bersila, tidak bergerak atau menoleh, tidak
memperdulikan orang bicara asyik di dekatnya.
"Kitab ini juga terbuat dari kertas buatan Wilayah Barat, demikian juga
kertas dari gambar ini," kemudian It Teng berkata pula. "Pernahkah kau
mendengar namanya gunung Pek To San di Wilayah Barat itu?"
Pek To San ialah gunung Unta Putih.
"Gunungnya See Tok Auwyang Hong?" tanya Oey Yong terkejut.
"Tidak salah," menyahut si pendeta perlahan. "Gambar ini pun dilukis oleh Auwyang Hong.
Oey Yong dan Kwee Ceng kaget sampai mereka bungkam.
It Teng Taysu bersenyum.
"Auwyang Kongcu itu seorang yang pandai berpikir dan jauh pendengarannya," katanya.
"Supee, aku tidak tahu kalau gambar ini dilukis oleh si bisa bangkotan
itu!" kata Oey Yong. "Kalau begitu dia bermaksud tidak baik tentu…."
It Teng bersenyum, tetapi kapan ia melihat parasnya si nona, yang merah,
suatu tanda nona ini lagi menahan sakit, ia mengulur tangannya memegang
pundak orang.
"Baiklah belakangan saja kita bicara lebih jauh. Sekarang yang penting
ialah mengobatimu," katanya. Lalu ia mengajak si nona pergi ke kamar
samping.
Belum lagi mereka memasuki kamar itu, si pelajar dan si petani, yang
saling melirik, sudah mendahului lompat ke pintu kamar untuk menghalangi
di situ. Keduanya lantas berlutut dan berkata, "Suhu, biarlah teecu
saja yang mengobati nona ini."
It Teng menggeleng kepala.
"Apakah pelajaranmu telah cukup?" ia bertanya. "Apakah kau sanggup mengobati hingga sembuh?"
"Teecu akan mencoba sebisa-bisanya," menyahut kedua murid itu.
Si pendeta lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Apakah nyawa manusia dapat dicoba-coba?" ia kata nyaring.
"Dua orang ini datang ke mari atas petunjuk orang jahat," kata si
pelajar, "Mereka pasti tidak mengandung maksud baik. Walau pun suhu
bermaksud baik hendak menolongi orang tetapi tidak dapat suhu kena
diperdayakan akal jahat!"
It Teng menghela napas.
"Apakah yang setiap hari aku mengajarkan kamu?" ia tanya perlahan-lahan. "Baiklah kau bawa gambar ini dan pergilah lihat-lihat."
Guru ini menyerahkan gambarnya Auwyang Hong itu.
Si petani mengangguk dalam.
"Suhu, gambar ini dilukis See Tok," katanya. "Inilah akal busuk dari Auwyang Hong…."
Kelihatannya murid ini bergelisah sekali, sampai air matanya turun mengalir.
Oey Yong dan Kwee Ceng mengawasi dengan bingung. Mereka tidak menyangka,
kenapa tindakannya It Teng Taysu untuk mengobati ada demikian rupa
sangkut pautnya. Apakah yang menyebabkan sikapnya kedua murid itu?
"Bangun, bangun," kata It Teng perlahan. "Jangan kamu menyebabkan hati tetamu kita menjadi tidak tenang."
Suara itu sabar akan tetapi nadanya ialah nada dari putusan mutlak.
Kedua murid itu rupanya mengerti, terpaksa mereka berdiam, mereka
berbangkit untuk berdiri di pinggiran, kepala mereka tunduk.
It Teng Taysu mengajak Oey Yong masuk.
"Kau juga masuk!" ia memanggil Kwee Ceng, yang berdiri diam.
Pemuda itu bertindak masuk.
Setelah itu, It Teng menarik turun sero bambu, terus ia menyulut sebatang hio, untuk ditancap di tempat abu di atas meja.
Kamar itu berperabot kecuali sebuah meja bambu itu cuma dengan tiga buah
tempat duduk dari tikar. Oey Yong diperintah duduk di tikar yang
tengah. Kepada Kwee Ceng ia memesan, "Kau jagai hio itu, kalau sudah
terbakar habis, kau beritahu aku."
Pemuda itu menyahuti, "Ya!"
Lantas It Teng duduk di tikar di samping si nona, matanya memandang ke
sero, segera ia memesan pula kepada si anak muda; "Kau jagai pintu juga,
jangan ijinkan orang lain masuk ke mari - tidak peduli adik
seperguruanku atau murid-muridku, kau jangan kasih masuk!"
Kwee Ceng heran tetapi ia berikan janjinya.
Habis itu It Teng merapatkan kedua matanya. Tapi tak lama, ia melek
pula, ia berkata kepada si pemuda, "Jikalau mereka itu sampai menggunai
kekerasan, kau lawan! Ingat, di sini ada bergantung jiwanya sumoymu!"
Kwee Ceng mengangguk, ia jadi semakin heran, hatinya pun tegang.
It Teng lalu berkata kepada Oey Yong, "Kau kendorkan seluruh tubuhmu,
tidak peduli ada rasa nyeri atau gatal bagaimana hebat juga, jangan kau
membuat perlawanan atasnya!"
Si nona tertawa ketika ia menyahuti, "Aku menganggap diriku sudah mati…!"
Mau tidak mau, It Teng pun tertawa.
"Anak yang baik, kau benar-benar pintar!" ia memuji. Ia lantas menutup
pula matanya untuk memusatkan pikirannya. Ketika hio sudah terbakar kira
satu dim, mendadak ia berlompat bangun, tangan kirinya diangkat,
diletaki di dadanya, tangan kanannya, dengan jari telunjuknya,
diarahkan, ditotokan ke jalan darah pek-hwee-hiat di embun-embunan Oey
Yong.
Ketika ditotok itu, tanpa merasa, Oey Yong berjingkrak sendirinya, terus ia merasa dari embun-embunnya itu ke luar hawa panas.
Habis menotok, It Teng menarik pulang tangannya itu, hanya belum lewat
sejenak, kembali ia sudah menotok, sekarang di jalan darah
houw-teng-hiat di belakang jalan darah pek-hwee-hiat itu, terpisahnya
cuma satu dim. Setelah itu, dengan saling susul ia menotok terus
pelbagai jalan darah lainnya, seperti kiang-kian-hiat, laohu-hiat,
honghu-hiat, ah-bun-hiat, taytwie-hiat, totoo-hiat dan lainnya, maka
ketika hio terbakar baru setengah batang, dia sudah menotok semua tiga
puluh jalan darah.
Kwee Ceng telah maju jauh, maka itu ia bisa menyaksikan cara menotok
dari It Teng itu, hingga ia melihat tegas kelihayan si pendeta. Sesuatu
gerakan beda satu dari lain. Ilmu totok semacam itu, ia belum dapat dari
Kanglam Liok Koay, bahkan di dalam kitab bagian ilmu totok dari Kiu Im
Cin-keng, tidak ada dicatat juga. Menyaksikan itu, ia kagum hingga
mulutnya terbentang dan matanya hampir kabur. Selama itu ia tidak ingat
yang It Teng lagi menggunai seluruh tenaga dalamnya guna menyalurkan
semua jalan darah dan nadi Oey Yong.
Habis menotok itu, It Teng duduk untuk beristirahat. Sesudah itu,
sesudah Kwee Ceng menyulut sebatang hio yang lain, ia mulai bekerja
pula. Kali ini dia menotok dua puluh lima jalan darah yang disebut
bagian nadi dim-meh. Pula kali ini, totokan dilakukan dengan kesebatan,
gerakannya bagaikan cecapung menyambar-nyambar air, ia seperti menahan
napas. Yang hebat, semua totokan itu tidak pernah gagal.
"Sungguh hebat, di kolong langit ini ada kepandaian seperti ini," kata Kwee Ceng di dalam hatinya saking kagum.
Kemudian It Teng Taysu menotok pula empat belas jalan darah yang disebut
im-wie-meh. Juga totokan itu dilakukan dengan lain cara, dengan
gerak-gerik kaki "jalan naga" dan "tindakannya harimau", hingga sikapnya
nampak sangat angker, hingga di matanya Kwee Ceng, dia bukan lagi
seorang pendeta suci dan alim, hanya seorang raja dari berlaksa rakyat
negeri. Sekali ini It Teng tidak beristirahat lagi, ia meneruskan
menotok tiga puluh dua jalan darah dari yang-wie-meh. Totokan ini dari
jarak sedikit jauh. Umpama ketika ia menotok jalan darah hongtie-hiat di
leher si nona, ia berlompatan dari jarak setombak, habis itu terus ia
lompat mundur pula, demikian seterusnya.
Menampak cara menotok itu, Kwee Ceng kata di dalam hatinya, "Kalau kita
lagi bertempur sama musuh yang tangguh, apa bila bertempur dengan rapat
berbahaya, bolehlah kita pakai cara jauh ini. Dengan begitu, sambil
menyerang untuk merebut kemenangan, kita juga dapat membela diri dengan
sempurna."
Demikian, sembari menonton, anak muda ini mengingati baik-baik setiap
totokan itu, bagaimana sikapnya, dari bersiap sampai menotok dan sampai
sesudahnya itu, untuk mulai dengan lain-lain totokan lagi. Diam-diam ia
juga mengutuk dirinya, yang dikatakan bebal sekali, yang gampang lupa,
hingga ada yang baru dilihat lalu tak teringat lagi.
Setelah menukar lagi dua batang hio, It Teng sudah selesai menotok dua
bagian jalan darah im-kiauw dan yang-kiauw. Ketika Kwee Ceng melihat
totokan pada jalan darah kie-kut-hiat, mendadak ia ingat, "Ah, totokan
ini ada termuat di dalam Kiu Im Cin-keng! Dasar aku yang tolol, aku
tidak dapat menangkap maksudnya!"
Sekarang ia melihat gerak-gerak It Teng sama dengan petunjuk-petunjuk
dalam kitab Kiu Im Cin-keng itu. Hal ini menggampangi ia
mengingat-ingat, hingga ia mengingat baik tempo It Teng menotok jalan
darah ciong-meh.
Paling belakang It Teng Taysu hendak menotok jalan darah tay-meh. Untuk
itu, ia mesti jalan ke belakang Oey Yong. Pertama kali ia menotok
ciangbun-hiat, sedang semuanya ada delapan jalan darah. Sekarang nampak
gerakannya si pendeta sangat lambat, agaknya ia bergerak sukar sekali,
sedang napasnya sudah memburu dan tubuhnya terhuyung, bagaikan ia tak
kuat berdiri lebih lama pula.
Kwee Ceng melihat semua itu, ia terkejut apa pula kapan ia menampak
peluh membasahi jidatnya pendeta itu, mengucur di alisnya yang putih dan
panjang itu. Ia ingin maju menolongi tetapi ia khawatir mengganggu.
Tempo ia mengawasi Oey Yong, si nona telah bermandikan keringat,
pakaiannya basah. Dia pun mengerutkan alis dan menutup mulut
rapat-rapat, rupanya ia melawan rasa nyeri yang hebat.
Selagi anak muda ini terbengong, mendadak ia mendengar satu suara di
sebelah belakang, ialah dari tersingkapnya sero bambu, suara mana
disusul sama panggilan nyaring, "Suhu!" Disusul lagi sama masuknya orang
yang berseru itu. Belum ia ingat itu, ia segera menyerang ke belakang,
dengan salah satu totokannya It Teng barusan. Ia menyerang saling susul
dengan cepat sekali hingga empat kali. Sebagai kesudahan dari itu, ia
mendengar suara robohnya beberapa orang. Sekarang barulah ia menoleh ke
belakang, tepat di saat satu orang, ialah si pelajar, berlompat ke
belakang, hingga ia bebas dari totokan. Yang roboh ialah si tukang
pancing, si tukang kayu dan si petani bertiga, mereka terus rebah di
lantai. Ia bengong mengawasi mereka, sebab tak dipikirnya untuk
menyerang mereka itu. Ketika ia memandang si pelajar itu, dia itu lagi
mengawasi ia dengan bengis, satu tanda orang ada sangat gusar.
"Habis sudah!" berseru si pelajar dalam murkanya. "Apalagi yang hendak dicegah?"
Kwee Ceng menoleh, maka ia melihat It Teng Taysu lagi duduk bersila di
atas tempat duduknya, mukanya pucat sekali, bajunya basah dengan
peluhnya, sedang Oey Yong telah roboh dengan tubuh tak bergerak, entah
dia sudah meninggal atau masih hidup. Maka dalam kagetnya, ia lompat
menubruk, guna mengasih bangun. Paling dulu hidungnya mendapat cium bau
amis.
Muka nona itu pucat bercampur sinar biru, tak ada cahaya dari darahnya,
hanyalah sinar hitamnya yang samar-samar sudah lenyap semua.
Kwee Ceng mendengari napas orang di hidung, jalan napas itu berat
sekali. Tapi dengan mendapat dengar suara napas itu, ia merasa lega
sedikit.
Ketika itu si pelajar sudah menolongi menotok bebas si tukang pancing,
si tukang kayu dan si petani, bersama-sama mereka merubungi guru mereka,
semua membungkam, roman mereka diliputi kedukaan dan kegelisahan.
Kwee Ceng tidak memperhatikan mereka itu, ia terus menungggui si nona,
muka siapa ia awasi. Maka hatinya menjadi bertambah lega kapan dengan
perlahan-lahan ia mendapatkan paras nona itu berubah pula sedikit dadu.
Hanya paras dadu itu, lama-lama berubah terus, lalu merah, habis mana
kedua pipi nona itu terasa panas begitu pun dahinya, panasnya seperti
api ketika dahi itu diraba.
Lagi beberapa saat, butir-butir peluh yang besar turun dari jidatnya si
nona lalu kembali parasnya berubah, dari merah menjadi putih pula.
Kejadian ini terulang sampai tiga kali, tiga kali juga peluh ke luar
banyak sekali. Di akhirnya, Oey Yong mengeluarkan suara kaget dan kedua
matanya dibuka, terus ia menanya, "Engko Ceng, mana dapur? Mana es?"
Bukan kepalang girangnya Kwee Ceng mendengar orang dapat berbicara.
"Apa dapur? ia bertanya. "Apa es?"
Si nona melihat ke seputarnya, ia menggeleng kepala. Akhirnya ia tertawa.
"Ah, aku bermimpi hebat sekali!" katanya. "Aku bermimpikan Auwyang Hong,
Auwyang Kongcu dan Khiu Cian Jin. Mereka itu menjebloskan aku ke dalam
dapur, untuk dipanggang, lalu mereka mengambil es, dengan apa aku
dibikin dingin, setelah tubuhku dingin, dia membakar pula…Ah, sungguh
menakutkan! Eh, bagaimana dengan It Teng Taysu?"
It Teng membuka matanya, ia tertawa.
"Lukamu sudah sembuh," katanya. "Sekarang kau perlu beristirahat satu
atau dua hari. Jangan sembarang bergerak, supaya kau nanti sembuh
seluruhnya."
"Seluruh tubuhku rasanya tidak bertenaga sama sekali," berkata si nona, "Sampai pun jari tangan malas digeraki…"
Ketika itu si petani mendelik pada si nona, dia agaknya sangat gusar.
Oey Yong melihat itu, ia tidak mengambil mumet. Ia hanya kata kepada
paman gurunya itu.
"Supee tentulah sangat lelah sebab untuk mengobati aku, supee telah
mengeluarkan banyak tenaga. Aku mempunyai obat Kiu-hoa Giok-louw-wan
buatan ayahku, apa supee mau memakannya beberapa biji?"
"Bagus!" kata It Teng gembira. "Aku tidak menyangka kau membawa obat
mujarab buatan ayahmu itu. Itulah obat untuk menambah tenaga. Ketika
kita merundingkan ilmu pedang di Hoa San, tempo semuanya sudah sangat
letih, ayahmu membaginya kepada kami beramai, habis makan itu, kita
semua menjadi segar sekali."
Oey Yong lantas mengeluarkan kantong obatnya, untuk diserahkan pada si paman guru.
Si petani lari ke dapur, untuk mengambil semangkok air, sedang si
pelajar mengeluarkan obat itu, semuanya dikeluarkannya obat itu, lalu
semuanya dikasihkan pada gurunya.
"Tidak begini banyak!" berkata It Teng tertawa. "Obat ini sangat sukar dibuatnya. Cukup kita minta separuhnya saja."
"Tetapi suhu!" berkata si pelajar, yang romannya cemas, "Meski obat di
dalam dunia digotong semua ke mari, itu masih belum cukup!"
Pendeta itu tidak tega menampik, maka ia lantas menelan beberapa puluh
butir, yang ia bantu dengan air beberapa ceglukan. Kemudian ia kata
kepada Kwee Ceng, "Kau pergi pimpin sumoymu ini untuk beristirahat dua
hari, setelah itu kamu pergi turun gunung, tak usah kamu menemui aku
lagi. Eh, ada satu urusan yang aku hendak minta dari kamu….."
Kwee Ceng sudah lantas menjatuhkan dirinya berlutut seraya mengangguk
empat kali hingga kepalanya membentur lantai. Oey Yong pun turut
menjura, sambil berkata perlahan, "Supee telah menolongi jiwaku, budimu
ini tidak nanti keponakanmu berani melupakannya."
It Teng tertawa. "Lebih baik dilupakan, supaya tak usah diingat-ingat
lagi," katanya, seraya ia terus menoleh kepada Kwee Ceng, untuk memberi
pesannya, "Kamu telah naik ke gunung ini, hal itu segala kejadian di
sini, jangan kamu omongkan kepada orang lain, juga tak usah kau
menyebutkannya kepada gurmu."
Kwee Ceng tercengang. Ia justru lagi memikirkan bagaimana harus membawa
gurunya datang ke mari guna minta pertolongan paman guru ini.
It Teng tertawa. Ia berkata pula, "Kamu juga lain kali tak usah datang pula ke mari, kami sekaligus hendak pindah."
"Pindah?" tanya si anak muda heran. "Pindah ke mana, supee?"
It Teng tersenyum, ia tidak menjawab.
"Ah, engko tolol," kata Oey Yong tertawa. "Karena tempat supee ini telah
ketahuan oleh kita maka supee mau pindah. Mana supee dapat memberi
keterangan padamu?"
Meski ia berkata begitu, nona ini sebenarnya berduka sekali. Itulah
gara-garanya dia maka si supee mau pindah meninggalkan tempat
kediamannya yang bagus ini. Mana bisa ia melupakan budi yang sangat
besar itu? Mengingat begini, ia mengawasi empat murid orang, yang telah
berkumpul semua. Ia ingin berkata-kata kepada mereka itu. Hanya belum
lagi ia membuka mulutnya, mendadak paras It Teng menjadi pucat, tubuhnya
terhuyung, lalu jatuh dari tempat duduknya!