Oey Yong mendengar permintaan itu, ia tertawa.
"Burungku ini tidak dapat menggendong dua orang!" ia riang gembira.
"Kamu bersaudara kandung, kau baiklah minta ampun pada saudaramu itu!"
Dan ia menepuk burungnya, menyuruhnya si burung terbang terus.
Melihat orang hendak pergi, timbullah hati jahat si orang tua.
"Nona yang baik," ia berseru, "Kau lihatlah permainanku ini, menarik hati atau tidak?"
Oey Yong tertarik, ia memutar balik burungnya untuk datang mendekati.
Khiu Cian Lie menanti sampai orang telah datang cukup dekat, mendadak ia
berlompat menubruk, memegang erat-erat pada si nona, hingga di lain
saat, mereka telah berada bersama di punggung rajawali itu. Ia tidak
memperdulikan nona itu kaget.
Orang tua itu menjadi nekat. Ketika ular masuk ke dalam gua, ia
mengusirnya. Untuk itu, ia pergi sampai di luar gua. Di sini ia dapat
dilihat oleh orang-orang Tiat Ciang Pang. Itu berarti keputusan mati
untuknya. Ia telah memasuki tempat keramat dan terlarang. Jangan kata
ia, sekalipun pangcu sendiri, apabila tanpa sebab dia masuk ke situ, dia
bagian mati. Maka itu, ingin ia dapat lolos.
Burung rajawali betina itu benar-benar tidak kuat membawa dua orang. Dia
terbang tetapi dia bukan maju jauh, dia turun ke bawah, cuma dengan
menggeraki kedua sayapnya dengan sepenuhnya tenaga, baru ia dapat
memperlambat turunnya itu. Dia tetap turun…………
Khiu Cian Lie memegang erat-erat kepada Oey Yong. Syukur dia ini diikat
tubuhnya, kalau tidak tentulah telah terlepas pegangannya pada burungnya
itu.
Burung betina itu mengasih dengar suaranya berulang-ulang. Yang jantan mendengar itu, dia hendak menolongi, tetapi bagaimana?
Orang-orang Tiat Ciang Pang lantas dapat melihat peristiwa luar biasa
itu. Mereka heran dan kaget, semua mengawasi dengan mata terbuka dan
mulut menganga, tidak ada yang bersuara.
Disaat Oey Yong terancam bahaya itu, tiba-tiba satu sinar merah
berkelebat di dekatnya. Itulah hiat-niauw, si burung api, yang menyambar
dari belakang gunung. Sebab tadi ia terbang mengikuti majikannya. Dan
burung ini menyambar matanya Khiu Cian Lie.
Dalam keadaannya itu, orang she Khiu itu tidak dapat membela diri. Ia
juga tidak menyangka sama sekali sang burung bakal menghajar matanya. Ia
kaget dan kesakitan, lupa kepada pegagannya kepada tubuh Oey Yong, ia
mengucak matanya. Tepat ia mengucak matanya, tepat terlepas pegangannya,
maka sia-sialah segala dayanya pula, tubuhnya lantas terpelanting
jatuh. Maka di lain saat terdengarlah suara hebat dan menyayatkan hati
datangnya dari lembah. Di lain saat, burung rajawali telah dapat terbang
pula seperti biasa bersama nona majikannya itu, mendekati burung yang
jantan, untuk terbang berendeng.
Selagi mendekati kaki gunung, Kwee Ceng mengasih dengar siulannya yang
nyaring, untuk memanggil kudanya. Ia sekarang berlega hati, sedang tadi
ia kagetnya bukan main, takutnya tak terkira, sebab ia tak berdaya untuk
menolongi kekasihnya. Oey Yong sendiri tidak kurang takutnya, hingga ia
menyesal yang dirinya kena diperdayakan orang tua yang sudah nekat itu.
Kuda merah itu mendengar panggilannya, dia lari mengikuti, di darat, burung di udara.
Kwee Ceng merasa ia sudah terbang kira-kira tujuhpuluh lie, lantas ia
memberi tanda kepada burungnya berdua untuk berhenti terbang, untuk
turun ke tanah. Ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang diam mendekam saja
di punggung burungnya itu. Ketika ia memeriksa, benarlah si nona
pingsan. Maka lekas-lekas ia menguruti, untuk membikin darahnya jalan
seperti biasa.
Selang sekian lama, barulah si nona mendusin.
Ketika itu awan gelap, hingga si putri malam kena ketutupan. Kwee Ceng
bingung juga. Sambil memeluki Oey Yong, ia memandang ke sekelilingnya.
Ia berada di tengah tegalan, yang gelap.
Di situ terlihat tempat untuk memernahkan diri. Karena terpaksa,
kemudian ia berjalan juga. Dia menerjang rumput yang tinggi sebatas
dengkul. Sudah begitu, saban-saban duri pohon menusuk betisnya. Ia
merasa sakit tetapi tak ia menghiraukannya. Ia jalan terus.
Secara begini, ia jalan perlahan sekali. Jagat gelap, jalanan tak
kelihatan. Itulah hebat. Hatinya berdebaran, ia khawatir nanti kejeblos
di liang atau jurang….
Sesudah menderita seperjalanan kira dua lie, mendadak Kwee Ceng melihat
satu bintang besar, munculnya dari sebelah kiri. Rendah bintang itu,
seperti di ujung langit, cahaya berkelap-kelip. Ia mengawasi, niatnya
untuk mengenali arah tujuan. Karena ini ia lalu dapat melihat tegas,
itulah bukan bintang hanya api.
"Ada api tentu ada rumah orang," pikirnya. Maka ia menjadi mendapat
hati. Maka ia berjalan terus, tindakannya lebar menuju ke arah api itu.
Ia telah jalan kira satu lie, lalu ia tiba di suatu tempat, di mana ada
banyak pohon. Sekarang ternyata, api terlihat dari antara pepohonan.
Setelah masuk ke rimba, jalanannya tak lurus lagi. Jalanan kecil itu
berliku-liku. Mendadak ia kehilangan api itu.
Kwee Ceng tidak putus asa. Ia lompat naik ke atas sebuah pohon. Dari
situ, ia melihat ke bawah. Ia mendapat kenyataan ia telah melewati api
itu, yang sekarang berada di sebelah belakangnya. Ia turun, ia menuju
balik. Kembali ia kehilangan api itu. Ia menjadi heran setelah ia
mengalami kejadian itu dua tiga kali. Ia merasakan kepalanya pusing dan
matanya seperti kabur. Terus ia tidak dapat mendekati api itu. Kudanya
serta tiga ekor burungnya, entah ada di mana.
Karena jengkel, Kwee Ceng ingin jalan di atas pohon saja. Tapi ini sukar
dilakukan. Rimba itu gelap dan ia mesti memodong-mondong Oey Yong. Ia
juga khawatir nanti kejeblok atau si nona kena kelanggar cabang-cabang
pohon, yang dapat melukakannya. Untung ia sabar, ia tidak menjadi putus
asa. Ia beristirahat sebentar, lantas ia berjalan pula.
Oey Yong terluka dan tubuhnya lemah, tetapi dasar cerdik, otaknya
berjalan. Ia melihat bagaimana ia dibawa putar kayun oleh Kwee Ceng,
dengan perlahan-lahan ia mulai mengerti jalan di dalam rimba itu. Ia
menggunai otaknya, meramkan matanya.
"Engko Ceng," katanya kemudian, "Jalan ke kanan, ke samping,"
Girang si anak muda mendengar orang dapat berbicara.
"Ah, Yong-jie, kau baik?" tanyanya.
Nona itu menyahuti tetapi tidak tegas.
Kwee Ceng menurut. Ia maju ke kanan, lalu nyamping.
Oey Yong mengingat-ingat. Setelah tujuhbelas tindak, ia berkata pula, "Engko Ceng, jalan ke kiri, delapan tindak."
Kwee Ceng menurut.
"Sekarang ke kanan lagi, nyamping, tigabelas tindak."
Kwee Ceng menurut pula.
Kali ini mereka berjalan dengan si anak muda mengikuti petunjuk dari si
nona. Oey Yong sudah lantas dapat menduga, jalanan bukan jalanan wajar,
hanya buatan manusia. Dia adalah anak gadisnya Oey Yok Su, dan ia telah
mendapatkan separuh lebih warisan ayahnya itu mengenai jalan rahasia.
Maka juga, meskipun ia meram, ia seperti bisa melihat tegas jalanan di
dalam rimba itu.
Demikian mereka jalan sana jalan sini, maju dan mundur. Akhirnya, dengan
lekas, mereka menghadapi api tadi. Kwee Ceng girang hingga ia lantas
membuka tindakan lebar untuk berlari.
"Jangan kesusu!" Oey Yong mencegah.
Tapi Kwee Ceng sudah berlari.
Mendadak anak muda itu berkoak, karena kedua kakinya sudah menginjak
lumpur, bahkan kaki itu lantas terpendam dalam sebatas dengkul. Syukur
ia lihay, dengan segera ia menggenjot diri dengan ilmunya ringan tubuh,
untuk berlompat mundur. Ketika ia kembali ke tanah kering, hidungnya
mencium bau lumpur itu. Ia berdiri diam dan mengawasi. Cahaya api itu
membantu kepadanya. Ia menampak ada kabut putih di depannya itu, di situ
ada sebuah rumah dengan dua ruang. Api ke luar dari rumah itu, ialah
rumah atap.
"Kami ada orang pelancongan!" Kwee Ceng lantas berkata, "Kami pun
mendapat sakit berat, maka itu kami minta tuan rumah sukalah berlaku
murah dengan mengijinkan kami menumpang beristirahat seraya meminta air
hangat."
Di dalam malam yang sunyi itu, suara Kwee Ceng cukup keras, akan tetapi
sampai sekian lama, ia tidak memperoleh jawaban, dari itu ia lekas
berbicara pula menyebutkan permintaannya itu untuk menumpang singgah.
Lagi-lagi tidak ada penyahutan.
Ketika lewat sekian waktu, Kwee Ceng mengulangi permintaannya untuk
ketiga kalinya, baru ia mendapat jawaban dari seorang perempuan,
katanya, "Kamu telah dapat tiba di sini, sudah tentu kamu mempunyai juga
kepandaian untuk masuk ke dalam rumahku ini. Mustahil aku mesti ke luar
menyambut kamu?"
Suara itu tawar sekali, terang orang tidak sudi kedatangan tamu.
Di hari-hari biasa, tidak suka Kwee Ceng mengganggu orang, lebih suka ia
tidur di dalam rimba atau tempat terbuka, akan tetapi sekarang ia ada
bersama Oey Yong yang lagi sakit itu, ia membutuhkan rumah. Maka dengan
perlahan ia berdamai sama si nona. Ia kata rumah dikurung lumpur.
Bagaimana mereka bisa menghampirkan rumah itu?
Oey Yong membuka matanya, ia mengawasi sekian lama.
"Rumah ini dibangun di tengah-tengah rawa lumpur," katanya kemudian.
"Sekarang coba perhatikanlah, bukankah benar modelnya satu bundar dan
satu persegi empat?"
Kwee Ceng membuka matanya lebar-lebar, lantas ia menjadi girang sekali.
"Oh, Yong-jie, bagaimana kau ketahui itu?" ia bertanya.
"Pergi kau ke belakang rumah yang bundar itu," kata Oey Yong tanpa
menyahuti. "Di situ kau jalan lempang ke arah api banyaknya tiga tindak,
lalu nyamping lima tindak, lalu lempang lagi tiga tindak. Dengan lurus
dan nyamping itu, kau tidak bakal salah jalan."
Kwee Ceng menurut perkataan si nona. Benarlah, setiap kakinya ditaruh,
kaki itu menginjak pelatok kayu, yang dapat bergerak miring ke sana ke
mari, maka siapa tak pandai ilmu enteng tubuh, pastilah ia tak dapat
menaruh kakinya dan berjalan di situ. Ia jalan terus, sampai seratus
sembilan belas tindak, maka dapatlah ia jalan mutar hingga di depan
rumah yang persegi empat itu. Sekarang terlihat tegas, rumah itu tanpa
pintunya.
Oey Yong berbisik, "Dari sini kau berlompat, kau menaruh kaki di sebelah kiri."
Kwee Ceng menurut, sambil terus menggendong si nona, ia berlompat.
Sementara itu ia heran sekali. "Semua dapat diterka Yong-jie!" katanya
dalam hatinya.
Tempat di mana si anak muda menaruh kaki adalah tanah, sedang yang di sebelah kanan adalah air atau pengembang.
Berjalan di pekarangan ini, Kwee Ceng masuk ke sebelah dalam. Di situ ada pintu model rembulan, yang tak ada daun pintunya.
"Masuk!" kata Oey Yong. "Tidak ada yang aneh di dalamnya."
Kwee Ceng mengangguk, terus ia berkata nyaring, "Kami orang yang tengah
membuat perjalanan lancang memasuki rumah ini, harap tuan rumah suka
memaafkannya," kata-katanya ini diikuti dengan tindakannya masuk ke
dalam.
Sekarang Kwee Ceng melihat sebuah meja panjang, di atas mana ada ditaruh
tujuh buah pelita, ditaruhnya rapi seperti bintang Pak Tauw. Di depan
meja, di tanah ada berduduk seorang wanita tua, yang rambutnya telah
ubanan, bajunya dari kain kasar, matanya mengawasi ke tanah di mana ada
banyak lembaran bambu, dia seperti sedang memikirkan lembaran bambu itu
rupanya, sampai dia tidak mau mengangkat kepalanya walaupun dia
mendengar suara tetamunya.
Kwee Ceng meletaki Oey Yong di atas kursi. Ia memandang mukanya, lantas
ia merasa sangat berkasihan. Wajah si nona sangat pucat dan kucel. Ia
hendak membuka mulutnya, guna meminta air hangat, tetapi ia batal. Ia
melihatnya si nyonya rumah tengah memusatkan perhatiannya, jadi ia
khawatir mengganggu pemusatan pikiran orang itu.
Setelah dapat berduduk beberapa saat, Oey Yong pulih sedikit
kesegarannya. Maka itu, ia juga dapat memperhatikan si nyonya serta
lembaran-lembaran bambu yang lagi diawasi nyonya tua itu. Setiap
lembaran bambu itu panjangnya kira-kira empat dim dan lebar dua hoen.
Dan si nyonya agaknya berat memikirkan itu. Ia lantas mengerti hitungan
apa adanya itu. Oleh ayahnya, ia telah diajari dan ia mengingatnya
dengan baik.
"Lima! Dua ratus tiga puluh lima!" katanya tiba-tiba.
Si nyonya terkejut, dia mengangkat kepalanya, matanya nampak tajam
sekali, agaknya ia gusar. Hanya sebentar, ia mulai menghitung pula.
Kwee Ceng dan Oey Yong melihat kulit orang bersih, usianya ditaksir baru
tigapuluh tujuh kira-kira, mungkin disebabkan banyak pikir, maka
rambutnya telah ubanan.
Habis menghitung, wanita tua itu tampaknya heran. Tepat hitungannya si
nona tadi. Maka ia mengangkat pula kepalanya, memandang nona itu. Ia
melihat tegas satu wajah muda cantik dan cantik, hanya lesu. Kemudian ia
tunduk pula, akan menghitung lebih jauh.
Oey Yong mengawasi, sampai sekian lama si nyonya belum dapat memecahkan,
lalu ia berkata dengan perlahan, "Dua ratus dua puluh empat!"
Kembali nyonya itu terkejut. Ia lantas mengangkat kepalanya. Agaknya ia
penasaran, maka ia menghitung terus. Segera juga ia mendapat jawaban,
yang akur sama perkataan si nona. Maka ia berdiri dengan melempangkan
pinggangnya. Sekarang ia nampak lebih nyata. Jidatnya sudah keriputan,
usianya disangsikan sudah tiga puluhan, mungkin baru dua puluhan lebih.
Kedua matanya bersinar tajam.
"Mari ikut aku!" katanya kepada si nona, tangannya menunjuk ke dalam
kamar. Ia mengambil sebuah pelita, ia membawanya itu ke dalam kamar yang
ditunjuk itu.
Kwee Ceng memepayang Oey Yong untuk mengikuti. Hanya setibanya di mulut
pintu, ia merandak, tidak berani ia turut masuk. Ia melihat kamar itu,
yang temboknya bundar, lantainya penuh pasir, di atas pasir itu ada
coretan tanda-tanda lurus dan bundar, ada pula guratan huruf-huruf thay,
thian-goan dan lainnya, yang ia tidak tahu artinya. Ia takut nanti
merusak itu semua.
Oey Yong melihat semua itu, ia mengerti itu adalah ilmu "Thian-goan Cie
Soet" (yang mirip dengan aljabar), maka ia menarik tongkatnya dari
pinggangnya, sambil bergelendot pada Kwee Ceng, ia mencoret-coret di
atas pasir itu. Ia memecahkan beberapa hitungan, yang si nyonya belum
dapat menjawabnya. Maka lagi-lagi ia membuatnya nyonya itu heran.
Setelah mengawasi dengan tercengang, si nyonya menanya, "Kau siapa?"
"Itulah hitungan Thian-goan yang tidak sulit," berkata Oey Yong, yang
tidak menjawab langsung, dan tanpa diminta, ia menjelaskan pokoknya
hitungan itu.
Muka si nyonya menjadi pucat, tubuhnya bergoyang. Mendadak ia
menjatuhkan diri di atas pasirnya, tangannya memegangi kepalanya.
Kelihatannya ia berpikir keras sekali. Kemudian ia mengangkat kepalanya,
lalu wajahnya menjadi terang.
"Dalam hal menghitung, kau terlebih pandai dari pada aku!" katanya.
"Sekarang jawab aku, bagaimana kau menghitung ini?" Dan ia menunjuki
hitungannya di atas pasir.
Oey Yong mengingat baik bagaimana ayahnya mengatur Tho Hoa To hingga
menjadi pulau rahasia, pulau keder yang tidak dapat dimasuki sembarang
orang.
"Gampang!" sahutnya, dan ia menggurat-gurat pula di atas pasir itu.
Muka si nyonya itu menjadi pucat pula, lalu ia menghela napas.
"Aku kira inilah ciptaan sendiri, kiranya lain orang pun telah mengetahuinya," katanya masgul.
"Semua itu gampang," kata pula Oey Yong, dan ia membacanya di luar kepala. "Kau boleh coba."
Si nyonya menghitung menuruti ajaran si nona dan ia berhasil!
"Semua ini mengenai pat-kwa," kata Oey Yong pula. Ia menjelaskan
terlebih jauh. "Rupanya kau belum jelas dengan petanya." Terus ia
menggurat-gurat lagi.
Nyonya itu menjublak, matanya terpentang, mulutnya terbuka lebar. Lantas ia berbangkit, tubuhnya nampaknya bergemetar.
"Nona, kau siapa?" akhirnya ia tanya. Tapi, sebelum ia menanti jawaban,
mendadak ia menekan ulu hatinya, mukanya meringis, tanda ia menahan
sakit. Dari sakunya lekas-lekas ia mengeluarkan satu peles obat, yang
terisi pil warna hijau, ia mengeluarkan sebutir dan terus dimakannya.
Lewat sesaat, wajahnya menjadi sedikit tenang.
"Habis sudah…!" katanya tiba-tiba, lalu ia mengucurkan air mata.
Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang. Mereka heran untuk sikap nyonya ini.
Tidak lama, kelihatannya si nyonya mau bicara, atau ia batal karena
kupingnya lantas mendengar suara berisik yang datang dari jauh, lalu
datang semakin dekat.
Kwee Ceng dan Oey Yong tahu itulah barisan pengejar dari Tiat Ciang Pang.
"Musuh atau sahabat?" tiba-tiba si nyonya tanya.
"Musuh yang lagi mengejar kami," sahut Kwee Ceng terus terang. Suara berisik itu mendekati terus.
"Tiat Ciang Pang toh?" tanya pula si nyonya.
"Benar," menjawab Kwee Ceng.
Nyonya itu memasang kupingnya lalu ia berkata, "Khiu Pangcu memimpin
sendiri orang-orangnya itu," katanya sesaat kemudian. "Sebenarnya kamu
ini siapa?!"
Pertanyaan ini luar biasa, saking bengisnya.
Kwee Ceng maju di depan Oey Yong, untuk menghalangi, lalu ia menjawab
dengan nyaring, "Kamilah murid-muridnya Khiu Cie Sin Kay Ang Pangcu. Ini
adik seperguruanku telah kena dilukai Khiu Cian Jin dari Tiat Ciang
Pang, karena itu kami menyingkir ke mari, maka umpama kata cianpwee ada
punya sangkutan sama Tiat Ciang Pang itu dan tak sudi menerima kami,
sekarang juga kami meminta diri."
Habis berkata, pemuda ini menjura, lalu ia memegangi Oey Yong, untuk dibawa pergi.
Nyonya itu tertawa tawar.
"Usia begini muda tetapi sudah keras kepala!" katanya. "Kamu dapat
bertahan tetapi adikmu ini tidak, kau mengerti? Aku kira kamu siapa,
tidak tahunya kamu murid-murid Ang Cit Kong. Pantas kamu lihay!"
Habis berkata, si nyonya memasang kuping. Ia mendengar suara
berseru-seru orang-orang Tiat Ciang Pang itu, sebentar jauh sebentar
dekat, sebentar tinggi sebentar rendah. Kemudian ia kata, "Mereka itu
tidak menemui jalanan, mereka tidak dapat masuk ke mari. Umpama kata
mereka toh dapat masuk, kamulah tetamu-tetamuku, kamu boleh melegakan
hati. Apakah kau kira Sin….Sin… Eng Kouw dapat dibuat permainan?"
Sebenarnya dialah Sin-soan-coe Eng Kouw, si ahli hitung, tetapi
mengingat si nona jauh terlebih pandai dari padanya, setelah menyebut
Sin, ia tidak berani meneruskannya.
Kwee Ceng menjura, ia menghaturkan terima kasih.
Eng Kouw menghampirkan Oey Yong, ia membuka baju orang, untuk memeriksa
lukanya. Ia mengerutkan keningnya, tanpa membuka suara, ia mengambil
sebutir obatnya yang hijau itu, setelah melumerkan itu di air, ia
mengangsurkan pada Oey Yong.
"Kau minum ini," katanya.
Oey Yong menyambuti obat itu, tetapi ia bersangsi untuk meminumnya. Ia belum kenal nyonya ini.
Eng Kouw mengawasi, lalu ia tertawa dingin dan berkata, "Kau terlukakan
tangan jahat Khiu Cian Jin, apakah kau masih memikir untuk sembuh pula?
Umpama kata aku berniat mencelakakan kau, tidak perlu aku membuat
begini. Inilah obat untuk menghentikan rasa sakit, kau tidak meminumnya
pun tidak apa!"
Mendadak ia merampas pulang obatnya itu dan membuangnya ke tanah!
Kwee Ceng gusar melihat orang begitu kurang ajar terhadap kekasihnya.
"Adikku lagi terluka parah, mengapa kau membikin dia gusar begini macam?!" ia menegur.
"Yong-jie, mari kita pergi!"
Nyonya ini tertawa dingin pula. Ia kata, "Kamar Eng Kouw ini kecil
tetapi apa kamu kira kamu dua orang muda bisa bilang pergi lantas dapat
pergi dan bilang ke luar lantas ke luar? Hm!" Ia lantas memegang dua
batang bambunya dan menghadang di ambang pintunya.
Kwee Ceng berpikir, "Tidak dapat dengan jalan halus, terpaksa aku mesti
menerjang…" Maka ia berkata, "Cianpwee, maafkanlah aku!" Sembari berkata
begitu, dengan gerakannya Hang Liong Yu Hui ia nerobos ke luar. Ia
menggunai setengah tenaganya karena ia khawatir nyonya itu tidak dapat
mempertahankan diri. Ia pun tidak berniat melukakan nyonya itu.
Atas datangnya terjangan, si nyonya berkelit, tangan kirinya berbareng
menolak dengan enteng, dengan begitu gampang saja ia mengasih lewat
serangan itu.
Kwee Ceng menjadi heran sekali. Inilah ia tidak menyangka. Ia pun kaget
karena tanpa perlawanan tubuhnya terjerunuk. Syukur ia bisa lantas
mempertahankan diri.
Melihat demikian, si nyonya juga nampaknya heran. Ia tidak menyangka si
anak muda bisa menahan diri hingga sampai jatuh ngusruk. Maka berserulah
dia, "Ha, bocah, rupanya kau telah mewariskan semua kepandaian gurumu!"
Ia lantas menggunai bambunya menotok jalan darah kiok-tek-hiat di
sambungan tangan si anak muda.
Kwee Ceng melihat totokan itu, yang berbahaya, ia membebaskan diri
dengan satu jurus lain dari Hang Liong Sip-pat Ciang juga. Sekarang ia
mengerti ilmu silat si nyonya adalah dari pihak lunak. Karena ini, ia
tidak berani alpa. Beberapa kali ia diserang secara berbahaya. Syukur ia
telah mendapatkan ajaran Pek Thong, kedua tangannya dapat memecah diri,
maka selalu ia lolos dari ancaman itu.
Selang beberapa jurus, Kwee Ceng kena terdesak dua tindak. Karena
terancam, ia menjadi terpaksa. Maka ia lantas membalas menyerang dengan
"Siang liong chio cu", atau "Sepasang naga merebut mustika". Inilah
ajaran dari Ang Cit Kong yang ia peroleh semasa si Poo-eng, di dalam
rumah abu keluarga Lauw.
Nyonya itu terkejut atas serangan itu, di waktu berkelit, ia sampai
mengeluarkan seruan. Walapun ia gesit, kali ini ia tidak dapat
meloloskan diri sepenuhnya. Ia bebas dari tinju kanan yang lurus tetapi
ia tidak dapat menyingkir dari serangan tangan kiri. Maka pundak
kanannya kena tertekan tangan kiri si anak muda. Kwee Ceng tidak
menggunai tenaga, sebab ia tahu, umpama si nyonya terbentur, tubuhnya
bakal terlempar menabrak rumah dan rumah atapmya itu bisa roboh. Tapi
juga dugaan si anak muda meleset. Ketika tangannya mengenai pundak
orang, tangan itu seperti mengenai benda yang licin, yang terus meluncur
lewat. Untuk kagetnya, tubuh si nyonya seperti tertegar dan dua batang
bambunya dilemparkan ke tanah. Ia mengira nyonya itu terkena hebat,
lekas-lekas ia menahan tangannya itu.
Nyatanya Eng Kouw menggunai tipu. Selagi si anak muda menarik pulang
tangannya, sebab sekali ia membalas menyerang. Lima jarinya menusuk ke
dada, di mana ada dua jalan darah sin-hong dan giok-sie.
Kwee Ceng terdesak, ia lantas berkelit, terus kedua tangannya dipakai menolak seperti tadi.
Itulah serangan membalas yang hebat. Si nyonya mengetahui itu, maka
kembali ia membebaskan diri seperti tadi. Nyata ia telah menggunai
"Nie-ciu Kang", ialah ilmu silat si Lindung.
Sampai di situ, keduanya sama-sama berlompat mundur dan sama-sama
bersiaga. Mereka telah menginsyafi lihaynya masing-masing. Kwee Ceng
berpikir, "Aneh ilmu silat si nyonya ini. Dengan dia tidak bisa dihajar,
bukankah tinggal aku sendiri yang setiap saat bisa diserang olehnya?"
Dan si nyonya kata di dalam hatinya, "Ini anak masih muda sekali, cara
bagaimana dia sudah jadi begini lihay?. Di sini aku telah bersembunyi
sepuluh tahun lebih, aku telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, aku
memikir aku bisa menjagoi, hingga tak lama lagi, aku bisa pergi untuk
menuntut balas, siapa tahu, bocah bau susu ini pun aku masih belum bisa
merobohkannya…. Tidakkah ini berarti sia-sia belaka aku menyiksa diri
sepuluh tahun lebih. Bagaimana aku bisa nanti membalas sakit hatiku
itu?" Ingat begini, ia menjadi berduka, tanpa merasa, matanya menjadi
merah, air matanya lantas mengalir turun….
Kwee Ceng berhati mulia, ia mengira si nyonya telah terhajar keras
olehnya, ia lantas berkata, "Maaf, cianpwee, aku yang muda berbuat
kurang ajar terhadapmu, tetapi inilah bukan disengaja. Sekarang aku
minta sukalah cianpwee mengijinkan kami berlalu…"
Eng Kouw mendapatkan sambil bicara si anak muda itu saban-saban melirik
si nona, agaknya ia sangat menyayang dan memperhatikan, melihat begitu,
ia jadi ingat akan nasibnya sendiri yang tidak beruntung, yang terpisah
jauh dari kekasihnya, yang tidak mempunyai harapan akan dapat berkumpul
pula. Kapan ia ingat akan nasibnya, mendadak timbul rasa jelusnya. Maka
ia kata dengan dingin, "Anak perempuan ini telah terkena tangan beracun
Ngo Tok Sin-ciang dari Khiu Cian Jin, paling lama ia hidup hanya tiga
hari, perlu apa kau masih menyayangi dan melindunginya?"
Mendengar itu, Kwee Ceng kaget sekali, lekas-lekas ia menoleh kepada Oey
Yong. Ia melihat muka si nona seperti ditawungi sinar guram. Dengan
lantas ia lompat kepada kekasihnya itu.
"Yong-jie, bagaimana kau rasa?" ia menanya, suaranya menggetar.
Oey Yong merasai dada dan perutnya panas, sebaliknya kaki tangannya
dingin. Ia menyahuti, "Engko Ceng, selama tiga hari ini, jangan kau
meninggalkan aku pergi sekalipun cuma setindak. Dapatkah?"
"Setengah tindak juga aku tidak akan tinggalkan kau…" menjawab si anak
muda cepat sedang hatinya mencelos. Rupanya si nona telah mendengar
perkataannya si nyonya tua itu.
"Sekalipun tidak berpisah setengah tindak, temponya cuma lagi tigapuluh enam jam…!” berkata si nyonya dingin.
Kwee Ceng mengangkat kepalanya, memandang nyonya itu. Ia tidak bisa
berbuat lain dari pada menunjuk roman minta dikasihani, ialah agar
nyonya itu jangan mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai hatinya Oey
Yong….
Sebenarnya Eng Kouw masih hendak memuasi kejelusannya ketika ia menampak
roman si anak muda yang lesu itu, ia lantas berpikir, "Adakah Thian
mengirim dua orang ini ke mari untuk aku membalas sakit hatiku ini?" Ia
mengangkat kepalanya, memandang langit. "Oh, Thian, Thian…." keluhnya.
Justru itu di luar terdengar pula suara berisik dari orang-orang Khiu
Cian Jin, rupanya mereka masih mencari di sekitar situ dan sekarang
kembali mendekati rumah yang dikurung dengan rawa lumpur, yang
pepohonannya merupakan rahasia keder. Terang mereka menyangka si
muda-mudi berada di dalam rumah tetapi mereka tidak berdaya untuk
memasukinya.
Lewat lagi sesaat dari arah rimba terdengarlah suaranya Khiu Cian Jin,
si ketua Tiat Ciang Pang, "Sin-soan-coe Eng Kouw, Kiu Tiat Ciang mohon
bertemu denganmu!"
Suara itu datang dengan melawan angin tetapi karena dikeluarkannya
dengan bantuan tenaga dalam yang mahir, terdengarnya terang sekali.
Eng Kouw bertindak ke jendela. Ia pun mengempos tenaga dalamnya. Ia
menyahuti dengan suara yang panjang, "Aku ini biasanya tidak menerima
kunjungan orang luar. Apakah kau tidak ketahui bahwa siapa datang ke
tempatku ini, rawa lumpur hitam, dialah bagiannya mati, tidak bagian
hidupnya?!"
Di sana terdengar pula suaranya Khiu Cian Jin, "Ada dua orang muda, satu
pria dan satu wanita, masuk ke dalam rawa lumpur hitam kau ini, maka
aku minta sukalah kau menyerahkan mereka padaku!"
"Siapakah yang dapat masuk ke dalam rawa lumpur hitamku ini?" berkata
Eng Kouw. "Sekarang ini ada tengah malam buta rata, maka janganlah kau
mengganggu tidur orang yang nyenyak!"
"Baiklah kalau begitu!" terdengar lagi suara Khiu Cian Jin. "Jangan kau berkecil hati!"
Suara itu bernada tak berani memandang enteng kepada si nyonya. Habis itu terdengarlah suara berisik yang pergi jauh.
Eng Kouw berpaling pada Kwee Ceng. "Kau ingin menolongi adikmu ini atau tidak?" ia tanya.
Kwee Ceng melengak, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut.
"Jikalau locianpwee suka menolong…" katanya.
"Locianpwee!" kata si nyonya, bengis. "Apakah aku sudah tua?"
"Tidak, tidak terlalu tua," sahut Kwee Ceng cepat.
Sinar matanya Eng Kouw berpindah dari si anak muda ke jendela, dari
mulutnya terdengar kata-kata ini, "Tidak terlalu tua…Hm, itu artinya
sudah tua…!"
Kwee Ceng menjadi bingung. Rupanya perkataannya itu telah menyinggung si nyonya. Ia tidak tahu mesti membilang apa.
Eng Kouw menoleh pula. Sekarang ia melihat kepala orang berkeringatan.
"Kalau orangku itu dapat menyayangi aku satu persepuluh saja dari si
bocah tolol ini," pikirnya. "Ah, tidakkah sia-sia belaka hidupku ini…"
Lalu ia bersenandung dengan perlahan,
"Empat buah perkakas tenun…maka tenunan burung wanyoh bakal terbang
berpasangan….Sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih….
Gelombang musim semi, rumput hijau, di musim dingin di dalam tempat yang
tersembunyi, saling berhadapan mandi baju merah…….."
Mendengar itu Kwee Ceng heran.
"Ah, rasanya aku kenal syair ini…" pikirnya. Tapi ia tidak ingat, siapa
pernah membacakan itu. Itulah bukannya Cu Cong, gurunya yang nomor dua
dan juga bukan Oey Yong. Maka dengan perlahan, ia menanya si nona,
"Yong-jie, siapakah yang mengarang syair ini? Apakah artinya itu?"
Si nona menggeleng kepala.
"Aku mendengar ini baru untuk pertama kali," sahutnya. "aku tidak tahu
siapa pengarangnya. Sayang belum tua tetapi kepala sudah putih…Sungguh
suatu kata-kata yang bagus!"
Kwee Ceng masgul, sudah ia tidak ingat, Oey Yong pun tidak tahu, sedang
si nona terpelajar, luas pengetahuannya. Pikirnya, "Syair bukan buatan
Oey Yong, tentu bukan karya ayahnya. Habis siapakah? Toh aku ingat aku
pernah mendengarnya…"
Eng Kouw pun lantas berdiam. Ia lagi memikirkan segala apa yang telah
berlalu. Ia nampak sebentar bergirang sebentar berduka. Kemudian ia
mengangkat kepalanya dan berkata, "Adikmu ini terhajar tangannya Kiu
Tiat Ciang Pang, entah ada benda apa yang menghalanginya sehingga ia
tidak mati lantas, meski begitu, tidak peduli bagaimana dia tidak bakal
dapat bertahan lewat tiga hari. Ah, lukanya ini cuma ada satu orang yang
dapat menolongnya…"
Kwee Ceng lagi menjublak ketika ia mendengar kata-kata terakhir itu,
hatinya lantas memukul keras saking girangnya, maka ia lantas
menjatuhkan diri berlutut pula di depan nyonya itu, ia mengangguk tiga
kali hingga kepalanya membentur tanah. Ia lantas memohon, "Tolong
loo…oh, tidak, tidak! Tolong kau menolongi adikku ini, budimu tidak
nanti aku lupai…"
"Hm!" bersuara Eng Kouw, dingin. "Mana aku mempunyai kepandaian untuk
menolongi orang? Kalau aku pandai, musahil aku berdiam di ini tempat
membeku menderita kesengsaraan ini…"
Kwee Ceng berdiam saja.
"Nyata kau beruntung," kemudian nyonya itu berkata pula, "Kamu telah
bertemu denganku yang mengetahui tempat kediaman orang itu, dan
beruntung pula, tempatnya tidak jauh, maka di dalam tempo tiga hari,
kamu dapat tiba di sana…Hanyalah sukar untuk dibilang orang itu suka
menolongi atau tidak."
Kwee Ceng girang bukan kepalang.
"Aku nanti meminta, memohonnya!" ia berkata. "Aku percaya tidak nanti ia
tidak menolong kalau ia melihat bahaya lagi mengancam…."
"Apa itu melihat bahaya mengancam tidak menolong?" kata Eng Kouw.
"Kebaikan apa kau telah berikan padanya? Kenapa dia mesti menolong
kamu?"
Suara itu menggenggam kegusaran.
Kwee Ceng mengerti, ia tidak berani menyahuti.
Si nyonya bertindak ke kamar luar, di sana ia duduk di kursi, kepalanya
ditunduki. Ia memegangi pit, entah dia menulis apa. Habis menulis,
surat-suratnya itu dilepit, lantas dibungkus rapi dengan masing-masing
sepotong cita, yang terus ia jahit, kemudian ia menjahit dan menjahit
lagi hingga merupakan tiga kantung. Habis itu, baru ia kembali ke kamar
bundar itu.
"Sekeluarnya dari rimba ini, menyingkirlah kamu dari kepungannya Tiat
Ciang Pang," ia berkata. "Kamu menuju langsung ke timur laut, terus
sampai di kecamatan Tho-goan. Di sana barulah kamu membuka kantung yang
putih itu. Seterusnya tindakan apa yang kamu harus lakukan, di dalam
situ ada ditulis jelas. Sebelum kamu sampai di sana, ingat baik-baik,
jangan kamu buka surat ini!"
Kwee Ceng girang sekali, ia menghaturkan terima kasih berulangkali.
Kemudian ia menyodorkan tangannya untuk menerima kantung-kantung itu.
Eng Kouw menarik pulang tangannya.
"Tunggu dulu!" katanya. "Jikalau orang itu tidak sudi menolong, yah
sudah saja, tetapi apabila dia suka menolongi hingga adikmu ini
ketolongan, aku hendak minta suatu apa."
"Budi ini mesti dibalas," berkata Kwee Ceng. "Cianpwee menitahkan saja!"
Eng Kouw tertawa dingin ketika ia berkata, "Jikalau adikmu ini tidak
binasa, maka di dalam tempo satu bulan ia mesti kembali ke mari dan di
sini ia mesti tinggal bersama aku selama satu tahun!"
Kwee Ceng heran.
"Kenapa begitu?" tanyanya.
"Kenapa begitu?" balik tanya si nyonya. "Apakah sangkutannya itu sama aku? Aku cuma tanya kau, kau suka atau tidak?"
"Kau menghendaki aku mengajari kau ilmu hitung Kie-bun-sut, bukan?" Oey
Yong campur bicara. "Apakah susahnya itu? Baik, aku memberikan janjiku!"
Eng Kouw mendelik kepada si anak muda.
"Percuma jadi laki-laki, kau tak bisa melawan kecerdikan adikmu satu
persepuluh!" ia mengejeknya tetapi ia menyerahkan tiga kantung kainnya
itu.
Kwee Ceng menyambuti. Ia melihat satu kantung putih, satu merah dan satu
lagi kuning. Ia lantas menyimpan itu baik-baik. Ia memberi hormat
sambil menjura tetapi Eng Kouw menyingkir, tak mau ia menerima hormat
itu. Ia kata, "Tak usah kau mengucap terima kasih padaku, aku juga tidak
sudi menerimanya. Kamu dan aku bukan sanak bukan kandung, perlu apa aku
menolongi adikmu ini? Taruh kata kita bersanak, juga tak usah kau
menjadi begini bersyukur. Adalah janji kita yang mesti ditepati. Aku
bilang padamu, aku menolongi adikmu untuk diriku juga. Hm, siapa tidak
berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!"
Kwee Ceng heran sekali. Suara itu pun tak sedap untuk kupingnya. Oleh
karena ia memang tidak pandai bicara, ia tidak tahu mesti membilang apa.
Ia sekarang cuma mengingat keselamatannya Oey Yong.
Eng Kouw mengawasi pula si pemuda dengan mata mendelik.
"Kau telah bercapai lelah satu malaman," katanya. "Kau juga tentu telah lapar, maka baiklah kamu dahar bubur!"
Oey Yong sudah lantas merebahkan diri di atas pembaringan, ia
beristirahat separuh pulas separuh sadar. Kwee Ceng menjagai dia di
sampingnya, pikirannya tidak tentram.
Eng Kouw, yang pergi ke dalam, tak lama datang pula dengan membawa
sebuah nenampan, di atas mana ada dua mangkok bubur yang masih panas,
asapnya masih mengepul-ngepul. Harum bubur itu. Sebagai temannya ada
daging ayam dan ikan.
Kwee Ceng lantas saja terbangun selera makannya. Ia memang sudah lapar
sekali. Ia tidak menyangsikan pula si nyonya. Tadi ia mengkhawatirkan
Oey Yong, ia lupa makan. Maka ia menepuk-nepuk belakang tangan
kekasihnya itu.
"Yong-jie, mari dahar!" katanya.
Oey Yong membuka matanya, ia menggeleng kepala perlahan.
"Dadaku sangat sakit, aku tidak mau dahar," sahutnya.
"Hm!" Eng Kouw tertawa dingin. "Ada obat untuk melenyapkan rasa nyeri tetapi kamu bercuriga!"
Oey Yong tidak ambil peduli sindiran itu.
"Engko Ceng, mari kasih aku sebutir pil Kiu-hoa Giok-louw-wan," kata dia.
Pil itu ada pil pemberiannya Liok Seng Hong semasa di Kwie-in-chung, si
nona simpan itu di dalam sakunya, ketika Ang Cit Kong dan Kwee Ceng
terluka di tangan Auwyang Hong, mereka makan obat itu beberapa butir,
benar obat itu tidak dapat menyembuhkan tetapi bisa menghilangi rasa
sakit.
Kwee Ceng menyahuti, ia membuka kantung si nona dan mengeluarkan obat yang diminta itu.
Ketika Oey Yong menyebutkan namanya obat, hati Eng Kouw terkesiap,
begitu lekas ia melihat pil merah itu, ia kata dengan bengis, "Adakah
ini Kiu-hoa Giok-louw-wan? Kasih aku lihat!"
Kwee Ceng heran mendengar suara orang demikian aseran, ia menoleh. Maka
ia melihat mata si nyonya bersinar tajam. Ia menjadi lebih terheran
lagi. Tapi ia menyerahkan semua sekantung obat itu.
Kapan Eng Kouw menyambutnya, ia merasakan bau harum dari obat itu
menyampok hidungnya. Ia lantas merasakan tubuhnya adem. Ia mengawasi si
anak muda, terus ia menanya; "Obat ini ada obat dari Tho Hoa To, dari
mana kamu mendapatkannya? Lekas bilang! Lekas!" Suaranya itu bengis
tetapi bengis bercampur nada sedih.
Dalam herannya, Oey Yong berpikir, "Dia hendak mempelajari ilmu
Kie-bun-sut, apakah ia mempunyai hubungannya sama salah satu murid
ayahku?"
Kwee Ceng sendiri sudah lantas menjawab, "Adikku ini ialah putrinya pemilik Tho Hoa To!"
Mendadak Eng Kouw berlompat berjingkrak.
"Anaknya Oey Lao Shia?!" dia berteriak. Kedua matanya lantas bersinar
bengis, kedua tangannya terus dipentangkan, agaknya hendak dia menubruk
si nona di depannya itu.
"Engko Ceng, kembalikan tiga kantung itu!" kata Oey Yong. "Karena dialah musuh ayahku, kita jangan menerima budinya!"
Kwee Ceng mengeluarkan kantungnya hanya ia berayal mengembalikannya. Ia bersangsi.
"Letaki, engko Ceng!" kata pula Oey Yong. "Belum tentu aku mati! Mati pun boleh apa!"
Belum pernah Kwee Ceng tidak meluluskan sesuatu kehendaknya si nona, maka ia meletakinya tiga kantung surat wasiat itu.
Eng Kouw memandang ke luar jendela, perlahan terdengar keluhannya, "Oh,
Thian, Thian…!" Kemudian dengan lantas ia pergi ke kamar sebelah, di
sana ia membaliki tubuhnya, entah apa yang ia lakukan.
"Mari kita berangkat!" mengajak Oey Yong. "Aku sebal melihat perempuan ini!"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si nyonya sudah kembali.
"Aku hendak memperlajari ilmu Kie-bun-sut, perlunya untuk memasuki Tho
Hoa To," ia berkata, "Sekarang gadisnya Oey Lao Shia ada di sini, aku
menyakinkannya seratus tahun juga tidak ada gunanya. Dasar nasib, apa
mau dibilang? Nah, pergilah kamu! Bawalah kantung itu!"
Ketiga kantung itu, bersama kantung obat, ia sesapkan di tangannya si
anak muda. Kepada Oey Yon ia berkata, "Obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini
untukmu ada bahayanya tidak ada faedahnya, maka janganlah kau makan
pula, hanya kalau nanti kau sudah sembuh, jangan kau lupa janji kita
satu tahun itu! Ayahmu telah membikin rusak seluruh penghidupanku, maka
semua barang makanan di sini, lebih suka aku memberikannya anjing yang
makan, tak sudi aku memberikannya kepada kamu!"
Lantas bubur dan dua rupa masakannya itu ia lemparkan ke luar jendela!
Oey Yong gusar bukan kepalang, mau ia membuka mulutnya, atau mendadak ia
sadar, maka ia lantas pegangi Kwee Ceng, untuk bangun berdiri. Dengan
tongkatnya, ia menulis tiga baris huruf di atas pasir, setelah mana ia
mengajak si anak muda itu bertindak ke luar.
Kapan ia sudah tiba di pintu luar, Kwee Ceng berpaling ke belakang,
dengan begitu ia bisa melihat Eng Kouw, yang semenjak tadi berdiam saja,
lagi mengawasi ke tanah, agaknya dia berdiri bengong, rupanya dia
tengah menghitung……..
Sesampainya di muka rimba, Kwee Ceng menggendong Oey Yong, lalu ia
bertindak pergi mengikuti jalan masuknya tadi. Selama itu, ia menutup
mulut, karena pikirannya dipusatkan kepada tindakan kakinya itu supaya
ia tidak salah jalan. Adalah setibanya di luar, di tempat aman, baru ia
menanya si nona apa yang ditulisnya tadi.
Oey Yong tertawa.
"Aku menulis tiga macam hitungan untuknya," sahutnya. "Dia boleh
memikirkan itu setengah tahun, tidak nanti dia mendapatkan jawabannya.
Biarlah rambut putihnya menjadi tambah uban! Siapa suruh dia bersikap
demikian kurang ajar!"
"Sebenarnya dia bermusuh apa dengan ayahmu?"
"Aku tidak tahu. Tidak pernah aku mendengar ayah mengomonginya." Ia
hening sedetik. Lantas ia menanya, "Di masa mudanya, dia mestinya cantik
sekali. Benar tidak engko Ceng?" Selagi menanya begitu, di hatinya ia
menduga apa mungkin nyonya itu pernah saling menyinta dengan ayahnya…
"Biar dia cantik atau tidak," Kwee Ceng menyahut. "Dia lagi memikirkan
tulisanmu itu, umpama kata dia mendadak menyesal, tidak nanti dia dapat
menyusul kita."
"Entah apa dia tulis di dalam kantungnya itu?" tanya Oey Yong.
"Jangan-jangan dia tidak bermaksud baik. Apakah tidak baik kita membuka
dan melihatnya?"
"Jangan, jangan!" Kwee Ceng mencegah. "Biar kita turut pesannya, sampai di kecamatan Tho-goan baru kita buka…"
Oey Yong sangat terpengaruhkan keinginan tahunya, ingin ia melihatnya,
tetapi Kwee Ceng tetap mencegah akhirnya ia suka mengalah.
Sementara itu tanpa terasa sang malam telah berlalu, sang fajar datang
menggantikannya, Kwee Ceng naik ke atas sebuah pohon tinggi, untuk
melihat kelilingan. Ia tidak melihat orang-orang Tiat Ciang Pang, maka
hatinya lega. Ia lantas bersiul memanggil kuda serta burungnya, yang
muncul dengan cepat. Yang datang belakangan ialah kedua burung rajawali.
"Mari kita berangkat," kata si anak muda setelah ia dan si nona sudah berada di punggung kuda mereka.
Justru itu waktu, di pinggiran rimba terdengar suara orang berseru-seru,
lalu terlihat munculnya beberapa puluh orang. Merekalah orang-orang
Tiat Ciang Pang, yang tak putus asa meskipun Eng Kouw telah menampik
mereka, dengan terpaksa mereka menanti sambil menyembunyikan diri, baru
mereka ke luar setelah Kwee Ceng mengasih dengar suaranya yang nyaring
memanggil kuda dan burungnya.
"Maaf, tak dapat kami menemani kamu!" berkata Kwee Ceng kepada mereka
itu seraya ia mengeprak mengasih kudanya lari, maka dalam tempo yang
pendek, si kuda merah meninggalkan jauh sekali kawanan pengepungnya itu.
Di waktu tengah hari, Kwee Ceng telah melalui perjalanan beberapa ratus
lie, maka ia lantas berhenti di tepi jalan, di mana ada sebuah warung
nasi. Di situ ia bersantap. Oey Yong lagi sakit, ia makan sedikit bubur.
Habis makan anak muda ini menanya tuan rumah tempat itu apa namanya. Ia
diberi tahu bahwa ia berada di dalam wilayah kecamatan Tho-goan, maka
tidak ayal lagi ia mengeluarkan kantung putihnya, untuk dibuka dan
diperiksa. Di dalam situ ada sehelai peta bumi dengan dua baris yang
berbunyi, "Jalan mengikuti petunjuk dalam gambar ini. Di ujung jalanan
ini ada sebuah air tumpah yang besar, di samping mana ada sebuah rumah
yang atap. Sampai di situ bukalah kantung yang merah."
Tanpa ragu-ragu, Kwee Ceng menuruti surat wasiat itu. Ia mengasih
kudanya lari sampai sekira delapan puluh lie, sampai jalanan nyata makin
jauh makin sempit. Lagi delapan atau sembilan lie, jalanan merupakan
jalanan selat yang sempit, di kiri-kanan ialah tembok gunung. Jalanan
demikian kecil hingga muat hanya satu orang. Kuda merah juga tidak dapat
jalan di situ. Saking terpaksa, Kwee Ceng menggendong pula Oey Yong dan
kudanya ditinggalkan, dibiarkan mencari makanannya sendiri.