Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan
sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari
tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni
mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu, rambutnya seakan-akan
hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan sebagian rambutnya yang lain
lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan
pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!
˜Uhhh!! Hek-giam-lo membentak, surat itu sudah lenyap di
saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang
menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan
sinar sabitnya. Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni
sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar
biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa
iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka
bertanding di atas lantai depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan
dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan),
melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan
pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing
terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan
memasuki serangan mematikan.
˜Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek
Siansu? Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat
jurus-jurusmu adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno!! ejek Siang-mou
Sin-ni.
Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya.
˜Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak
perlu cerewet, rampaslah suratmu kakau kau memang becus!!
˜Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku!!
Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru
lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus mematikan.
Sementara itu, Sian Eng ketika melihat dirinya
ditinggalkan sendiri oleh Hek-giam-lo, segera timbul keberaniannya. Kesempatan
baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas bangku
panjang, menyambar pedangnya yang tadi dibawa pula agaknya oleh Hek-giam-lo,
dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang gelap. Seberapa kali ia
salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang
menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil
melihat sinar matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya menebal dan cepat
ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah lubang yang cukup
besar. Ia mengerahkan gin-kang dan melompat keluar dari lubang.
Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri
sambil memejamkan mata. Baru saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang
memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang dilihatnya.
Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di situ
berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang
seorang adalah Hek-giam-lo, yang mempergunakan sebuah sabit yang mengerikan.
Orang ke dua adalah seorang wanita cantik sekali, akan
tetapi cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya
yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata!
Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya
menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang miring otak yang
menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih tidak
tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap
dirinya. Adapun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itupun ia
tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo. Oleh karena
ini, Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan mendapatkan kesempatan
baik ini ia segera melarikan diri.
Akan tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira
bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri.
Dua orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari
lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.
˜Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar
dia.!
˜Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi
ampun padamu!!
Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga,
namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan membalas dengan sambaran
rambutnya.
˜Keparat kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu!! kembali
Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan dihentikan.
˜Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum
kauserahkan kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik.!
Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain
pandai bertempur, juga amat pandai berdebat ini.
˜Nah, kaumakanlah suratmu!! Hek-giam-lo sudah
mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat
jauh untuk mengejar Sian Eng.
Adapun Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih,
segera ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang benar
merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan Pemerintah Hou-han.
Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya, kemudian
bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan
tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara
jajaran patung yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung
seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya, seperti manusia
hidup saja.
˜Ih, tampan juga kau!! Siang-mou Sin-ni tersenyum.
˜Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam,
lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.!
Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut
panjang menyambar ke arah leher patung.
˜Plakkk!! Rambut itu terpental kembali dan leher patung
tidak apa-apa. Jangankan patah, gempil pun tidak.
Sepasang mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya,
hantaman rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan
leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini setengah
rambutnya semua menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar.
˜Plakkk!! Kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena
kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar sehingga ketika terpental, lebih
hebat pula terasa olehnya.
Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah
patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau semua
patung itu sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih, Siang-mou Sin-ni
merasa bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu!
Seorang wanita yang terkenal ganas seperti iblis sekarang lari ketakutan,
mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis. Mungkin menghadapi sesama
manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan gentar seujung rambut pun,
akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali
hantaman rambutnya, benar-benar melewati batas ketabahannya.
Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya
patung yang dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari
malah akan diserang mati-matian! Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi,
˜patung! itu menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan
tampaklah seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian
berwarna hitam. Suling Emas! Seperti juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang
menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah perginya Hek-giam-lo.
Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari
sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya terengah-engah dan setelah
masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis ini memperlambat
langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan tetapi, dapat dibayangkannya
betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia
menoleh di depannya berdiri.. Hek-giam-lo!
˜Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati,
tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak
berkeliaran musuh-musuh kita,! terdengar Hek-giam-lo berkata dengan suaranya
yang menyeramkan.
˜Tidak.. tidak.. biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu
aku!! teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari.
Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di
depannya. Sian Eng menjadi nekat dan menggunakan pedangnya membacok. Akan
tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan terpental jauh
kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari seperti terbang cepatnya
tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan dan pingsan dalam
pondongan Hek-giam-lo.
Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak
kecil tidak dituruti permintaannya.
˜Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota
raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di
sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua,
persis seperti kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga
tampak batang hidungnya!!
Kakek gundul pelontos itu, Kim-lun Seng-jin, duduk di
atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak,
tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar
api unggun yang dibuatnya, sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi
terang.
˜Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa
orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.!
˜Apa dia bukan manusia, Kek?!
˜Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti
kita.!
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka
sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin.
˜Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti
apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana
perginya.!
˜Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota
raja ini, Kek?! Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.
˜Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna
dan ada manfaatnya, asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik
manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah
kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja
dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau datang ke sini dan tak pernah
lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan istana.!
Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang
jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak
menjadi lapar sekali.
˜Wah, mari kita ke sana, Kek, ada masakan apa saja di
sana? Aduh perutku lapar sekali!!
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal agaknya senang
sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu.
˜Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar.!
˜Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin, kau
boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum
pernah kaumakan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang
pandai.!
˜Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu
yang kuragukan.!
˜Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu
sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?! cela Lin
Lin. Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan
benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya ˜serba kosong!, memang nama ilmu
yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).
˜Biarpun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi
aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.!
Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan.
˜Pagi siang sore malam kau suruh aku berlatih, tak pernah
membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau
bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang
terima sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat
budi dan jerih payah orang!!
˜Huah-ha-ha-ha!! Kakek itu terpingkal-pingkal.
Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh, bocah ini malah
memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena
sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutarbalikkan kenyataan.
˜Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini.
Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar
mahir Khong-in-ban-kin. Coba kauperlihatkan padaku sekali lagi ilmu
Khong-in-liu-san yang kaupelajari sambil mengerahkan tenaga dan gin-kang. Kau
kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora
tanpa bayar!!
Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan
besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras
menggunakan tenaga sin-kang dan
˜krakkk!! pedang yang diayunnya patah menjadi tiga
potong! Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat
tangan kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh
ke bawah.
Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan
sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut,
matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
˜Bagus, bagus..! Kaulihat sendiri, cucuku, dengan tenaga
Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha,
sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin
rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta
besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam
kamar pusaka.!
Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis
disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu merangkul pundaknya.
˜Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!!
Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap
dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan
bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki
dapur istana. Memang, kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apalagi
masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!
Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya
yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke
istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras
penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi
˜langganan! tempat terlarang itu. Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung
kompleks istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa
orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda
pagar tembok, membawa tombak dan pedang.
Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu
terus-menerus meronda pagar tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar
tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi
yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari
tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja
ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana
saja.
Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri.
Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang
sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang, terkena sambitan batu itu, tepat
pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh
sambil memegangi tulang kering yang dicium batu. Teman-temannya segera lari
menghampiri, termasuk mereka yang meronda. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Kim-lun Seng-jin, memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan
mengikutinya.
Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon
terdekat dengan tembok, ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga
melihat dari tempat yang tinggi itu.
Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan
seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan
mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu
Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.
Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas
tembok dan tibalah mereka di daerah istana.
˜Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas,
Kek,! kata Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu
beraneka warna.
˜Boleh jadi, boleh jadi..! Kakek itu mengangguk-angguk.
˜Orang macam dia itu bisa berada di manapun juga.!
˜Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah
bertempur dengan dia?!
Kakek itu menggeleng kepala. ˜Belum pernah, bertemu pun
belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh
melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku.. aku
tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya,
mari!!
Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya
melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara seperti dua ekor kucing
saja, kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng. Kakek itu mengajak
berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu
penyangga genteng, lalu menytisup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah
berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin
membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.
˜Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,!
bisiknya sambil tersenyum lebar. Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini
benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang
itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang itu
menyambut hidung mereka.
˜Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya..!! Kim-lun Seng-jin
menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang.
˜Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar
sudah dipanaskan lagi, mari!! Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah,
diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu
bersih, terlalu mewah. Lebih bersih daripada kamar tidurnya di rumah orang
tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari
batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh
dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar.
Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul
kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap,
tanpa bahwa isinya masih panas.
Kakek itu sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan
Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok.
Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia ambil dari sebuah
lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan melayani mulutnya
yang melalap dan cepat menghabiskan segala yang dimasukkannya. Nyumpit sana,
nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu
benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di
atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya
itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika
mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.
Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguhpun tidak selahap
kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main karena banyak sekali macamnya
masakan yang luar biasa di situ. Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu,
ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.
˜Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop
hiu masak kecap, dan ini.. wah, ini panggang ikan lele!! Tiada hentinya ia
menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek
itu memang benar nikmat dan lezat. Saking gembiranya, Lin Lip juga ikut-ikutan
minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di perut. Tanpa mereka
sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut yang tak sanggup mengikuti
selera lidah.
Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di
atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa
malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk mengendurkan tali pinggang dalam dan
luar!
˜Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal
hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin Lin!! Kakek itupun tak
mampu lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke
leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia
menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi
sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi.
Cepat bagaika maling konangan (ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan
menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu mengikutinya sambil
terkekeh dan sambil mengintai dari atas ia berbisik.
˜Ihhh, kenapa kau begini penakut?!
Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi
siapa tidak menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya
berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan pencurian.
Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka masih
merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur
itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki dapur istana itu. Kiranya hanyalah
tukang-tukang dapur saja, melihat pakaian mereka. Begitu memasuki dapur,
ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak.
Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.
˜Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang
makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!!
˜Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!!
Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh
penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa
seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.
˜Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di
dapur istana!!
˜Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak
masakan?!
˜Siapa tahu kucing siluman!!
Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu.
˜Lekas laporkan kepada penjaga, eh.. ke komandan jaga
saja, biar dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau tidak
tertangkap yang makan masakan-masakan ini, celaka kita, tentu mendapat hukuman
dari Sri Baginda!!
Seorang di antara mereka lari keluar, agaknya hendak
melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah
tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan
tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.
˜Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri
masakan,! kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. ˜Hemmm, kalau
tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan jahe
dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung menambah darah.!
Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini dan saking
gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai lebih
jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di bawah
mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.
˜Wah, kucingnya di atas sana!! seorang menuding.
˜Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?!
˜Siapa tahu kucing siluman?!
Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah
Lin Lin, lalu membentak, ˜He! Siapa di atas sana? Kucing atau manusia, atau
setan?!
˜Agaknya pencuri!! kata temannya.
˜Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan
dihujani anak panah.!
˜Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.!
Kembali ia memandang ke arah Lin Lin sambil berseru, ˜Heee! Siapa sembunyi di
atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau kucing,
jawablah!!
Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh
perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini, otomatis
mulutnya menjawab, ˜.. kucing.., eh
meeooonggg..!! Ia gugup sekali sehingga jawabannya
kacau-balau.
˜Lho! Kucing bisa bicara! Wah, celaka.. setan..!! Dua
orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka
bertabrakan sampai jatuh bangun.
˜Heh-heh-heh!! Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik
tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. ˜Kau lucu sekali, masa
kucing bisa berkata seperti manusia!!
Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut. ˜Aku tidak
sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek!!
˜Mari kita ke gudang pusaka!!
Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu
dijaga, siang malam, karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata
pusaka dan bendera-bendera milik istana.
˜Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga
itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang
yang kausukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di sana. Aku percaya kau mampu
menjaga diri.!
Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet,
kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo
ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot
panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari. Sedetik mereka mengira
bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain
mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan
kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok, tak berkutik lagi. Dengan
dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu yang terkunci.
Lin Lin cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja
kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung itu, dari kanan kiri menyambar
dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih Khong-in-ban-kin secara
tekun sehingga gin-kangnya sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu, sudah lipat
entah berapa kali. Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat
lagi, dengan gerakan gesit ia telah melompat maju di antara sambaran anak panah,
terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri itu meluncur lewat di
belakang punggungnya!
Tanpa menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin
berdiri kagum memandang senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di
sepanjang dinding. Bukan main indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya,
ruyung, golok, pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan
senjata pilihan, kuno dan terbuat daripada besi aji yang mempunyai cahaya dan
hawa yang ampuh. Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang
tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis,
sarungnya daripada kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah.
Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri,
kemudian ia mengulur tangan kanan, merenggut pedang yang tergantung pada
dinding itu. Ringan sekali pedang ini, akan tetapi begitu ia tarik dari
dinding, tiba-tiba dari atas melayang turun sebuah benda besar dan berat,
meluncur cepat akan menghantam dirinya!
Karena benda itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang
sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat mengelak lagi. Terpaksa ia
mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan kirinya menangkis dan.. terdengar
suara keras, batu besar yang meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin
yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin!
Saking kagetnva karena pecahnya batu itu menerbitkan
suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan
di lain detik ia sudah tiba di luar kamar.
˜Kek, aku pilih pedang ini..! katanya terengah-engah.
Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya. ˜Tepat! Kau
tahu pedang ini? Inliah Pedang Besi Kuning pedang rampasan dari bangsa Khitan
ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak tahu lagi
aku harus disebut bagaimana.!
Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar
tanda bahaya!
Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para
jagoan istana ke luar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar
Pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari secepat terbang menuju ke
pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang keluar. Kiranya di luar sudah
berkumpul para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek
itu menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang
dalam gelap. Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno
kembali.
Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang
dan tampak sinar kuning menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata
kakek itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin
memandang dengan heran.
˜Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang
gadis Khitan. Kau sendiri bilang mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan.
Kemudian pedang ini kaukatakan dahulu berasal dari bangsa Khitan. Kakek yang
baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal
pedang ini?!
Kakek itu mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan
pedang tipis tadi ke dalam sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin.
˜Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik
jubahmu. Sekarang kaudengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang gagah
perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin menikmati kebebasan alam,
tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup bahagia
dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan tetapi
sayang, betapapun juga, masih saja nafsu setan menguasai hati, dan timbullah
perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin. Dahulu, puteri kepala
suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, anak baik dia, gagah perkasa dan
aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri tunggal raja kami
yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada raja-raja lain,
memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya ke daerah-daerah
yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai banyak saudara, dan para saudaranya
inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut kekuasaan sehingga selalu terjadi
perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku akan
pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan.
Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja,
memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi raja. Akan
tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.! Sampai di sini kakek itu menarik
napas panjang.
˜Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu
aku pergi meninggalkan suku bangsaku, merantau seorang diri tidak mau
meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa
bangsaku masih saling gasak, sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi
antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan
Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat,
bersekutu dengan musuh dan raja kami gugur, juga puterinya. Tayami, muridku yang
tersayang. Kasihan dia, suaminya, seorang gagah perajurit pilihan Khitan, juga
gugur. Kabarnya Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil
memondong puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan
dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.!
Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata
tajam penuh selidik.
Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu
memandangnya secara begini.
˜Kau..! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu,
suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau
keturunan langsung.!
Lin Lin meloncat berdiri. ˜Tak mungkin, Kek!!
˜Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal
Kam, dan pada waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi
jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan
bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat
kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum
dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina,
puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu serupa dia. Juga pedang itu..
bukanlah terlalu kebetulan kalau di antara sekian banyaknya pusaka, kau justeru
memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang
hilang, yang sampai sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu
mendiang raja Kulukan.!
˜Dicari-cari? Untuk apa, Kek?!
Kim-lun Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya.
˜Memang aneh mereka itu terlalu kukuh. Karena kekukuhan
mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan kursi, saling mendukung
pilihan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri Lin Lin, kau dicari
oleh mereka yang tidak suka kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu sebagai
ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu Pamanmu, Kubakan, Raja
Khitan yang sekarang.!
˜Apa..?! Lin Lin terbelalak memandang Kim-lun Seng-jin,
kemudian ia membantah,
˜Aku masih tidak percaya, Kek. Tak mungkin aku seorang
puteri bangsa Khitan karena sepatah kata pun bahasa Khitan tidak kumengerti.
Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini harus ada buktinya. Ahhhhh..
satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan tentu dia!!
˜Putera sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kau
bantulah aku mencari Kakak Kam Bu Song, tidak saja hal ini untuk memenuhi pesan
terakhir Ayah angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan dia kiranya dia akan
dapat bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.!
Lin Lin lalu menceritakan pesan terakhir dari Jenderal
Kam. Kim-lun Seng-jin mengangguk-angguk.
˜Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi,
Lin Lin, jangan kaukira bahwa andaikata kau benar Puteri Khitan seperti
persangkaanku, aku menghendaki kau benar-benar menjadi ratu dan memerangi
Pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti sekarang ini,
menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang hanya akan menimbulkan
pertumpahan darah di antara saudara dan bangsa sendiri.!
˜Kalau aku betul keturunan Raja Khitan, tentu saja akan
kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas tahta Kerajaan Khitan, Kek!!
Jawaban tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin
sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin segera tertawa.
˜Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri raja, aku
orang biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan mencari Kakak
Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua orang kakakku, Sin-ko dan Enci Eng.!
Mendadak kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin.
˜Hayo kita lari keluar kota raja. Berbahaya di sini!!
Lin Lin kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba
berkelebat bayangan-bayangan yang amat gesit, lalu terdengar bentakan,
˜Maling keparat, kembalikan pedang pusaka!!
Mendengar ini, maklumlah Lin Lin bahwa mereka telah
dikejar pengawal-pengawal istana yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa
harus melarikan diri?
˜Kek, kita lawan saja..!! serunya sambil berusaha
melepaskan tangannya. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin malah menariknya untuk
diajak lari cepat sekali menuju ke pinggir kota raja. Lin Lin tidak dapat
melepaskan diri. Dengan gerakan yang luar biasa, Kim-lun Seng-jin sudah membawa
Lin Lin melompati dinding tembok yang mengelilingi kota raja dan para pengejar
tadi makin tertinggal jauh.
˜Kek, kenapa kita mesti lari-lari seperti dua ekor tikus
dikejar kucing? Memalukan sekali!! Lin Lin mencela ketika mereka sudah turun di
luar tembok kota raja dan tangannya dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin. Kakek itu
tertawa.
˜Bukan takut, melainkan aku tidak mau menyeretmu ke dalam
kesulitan. Kau masih muda, Lin Lin, dan kau keturunan Raja Khitan. Kalau mereka
mengetahui akan hal ini, kau akan dikejar-kejar terus dan selanjutnya kau
takkan dapat hidup dengan tenteram. Pergilah, lanjutkan usahamu mencari
kakakmu. Kita berpisah di sini. Latih baik-baik Khong-in-ban-kin dan
Khong-in-liu-san, dan kau takkan kecewa kelak. Tentang Suling Emas jangan
khawatir. Kalau aku kebetulan bertemu dengannya, akan kutanyai dia apakah betul
dia membunuh orang tua angkatmu. Kalau betul, percayalah, dia akan kuajak
bertempur sampai sepuluh ribu jurus! Sekarang cepat kau pergi, mereka sudah
datang!!
˜Dan tinggalkan kau seorang diri menghadapi anjing-anjing
dari istana itu, Kek? Tidak nanti!!
Lin Lin berdiri tegak, malah segera mencabut pedangnya.
˜Wah, keras kepala, seperti Tayami!! Kakek itu
bersungut-sungut, tiba-tiba tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menotok
pundak kiri Lin Lin. Karena dara ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa
kakek itu akan menyerangnya tentu saja ia tidak dapat menghindarkan diri dan
seketika ia merasa tubuhnya lemas sekali. Kakek itu tertawa bergelak, lalu
tubuhnya melesat ke depan, menyambut datangnya para pengejar. Lin Lin tidak
berdaya. Ingin ia lari membantu tapi tubuhnya lemas dan ia maklum dalam keadaan
seperti ini, kalau bertempur, baru sejurus saja melawan orang biasa, tentu ia
akan roboh. Karena itu, ia hanya berdiri diam saja dan mendengar betapa kakek
itu dikepung dan dikeroyok oleh para musuh yang berteriak-teriak. Agaknya,
kakek itu sengaja mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari, membiarkan
dirinya dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara apa-apa lagi.
Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya untuk mengejarnya,
menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia menarik napas panjang.
Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun Seng-jin terhadapnya. Kalau
dekat dengan kakek itu, mereka sering kali cekcok dan berbantahan akan tetapi
setelah berpisah, tak dapat Lin Lin menahan dua air matanya menitik turun.
Tak sampai seperempat jam, totokan pada pundaknya itu
buyar dengan sendirinya. Lin Lin lalu menggerakkan pedang curian, mainkan Ilmu
Silat Khong-in-liu-san. Pedang itu mengeluarkan suara bercuitan dan sinar
kuning bergulung-gulung di malam buta. Ia merasa puas sekali karena pedang yang
tipis dan kecil ringan itu terasa amat enak dimainkan. Amat cocok dengan ilmu
pedang yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin. Ia baru berhenti bermain silat
setelah fajar berada di ambang pintu langit timur. Kegelapan malam sudah
terusir, terganti cuaca remang-remang berkabut, berwarna kelabu, ia memandang
pedangnya. Pedang yang amat indah, terbuat daripada logam yang
kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.
˜Hemmm, Pedang Besi Kuning, pusaka Khitan?! Lin Lin
berpikir sambil memandangi pedangnya.
˜Dan aku Puteri Khitan? Seperti dongeng saja!! Melihat
bahwa yang aneh pada pedang itu hanyalah ronce-ronce merah yang panjang itu,
Lin Lin segera melepas kedua ronce merah itu dan menyimpannya dalam saku
jubahnya. Betapapun juga, pedang ini adalah pedang curian, pikirnya. Kalau
terlalu menyolok mata dan dilihat orang, tentu sepanjang jalan hanya akan
menimbulkan keributan belaka.
Dengan hati bungah (senang) ia lalu berjalan menjauhi
kota raja. Ia ingin menanti munculnya kedua orang kakaknya, yang tentu akan
menuju ke kota raja pula. Untuk kembali ke kota raja sekarang terlalu
berbahaya. Memang, tidak ada seorang pun yang melihat dia memasuki istana, akan
tetapi keadaan di kota raja tentu sedang kacau, penjagaan diperkuat dan
orang-orang yang datang dari luar tentu dicurigai. Jangan-jangan pedangnya akan
dikenal dan ia akan mengalami kesukaran kalau masuk kota raja. Lebih baik
menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di luar kota.
Di sebelah barat kota raja terdapat sebuah hutan yang
kecil tapi amat indah. Pohon-pohon di situ tampak subur dan seakan-akan
teratur. Memang hutan ini adalah hutan tempat para anggauta istana menghibur
diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu akan hal ini dan girang hatinya
ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan seenaknya memasuki hutan, mendengarkan
kicau burung yang menyambut datangnya pagi. Lin Lin memang memiliki watak
periang. Melihat suasana indah dan mendengar kicau burung yang berloncatan di cabang-cabang
dan ranting-ranting pohon, kegembiraannya timbul. Kadang-kadang ia terkekeh
ketawa melihat seekor kelinci muncul dari belukar, menggerak-gerakkan sepasang
telinga yang panjang dan mainkan bola mata yang bening lebar. Ada kalanya ia
berloncatan gembira meniru burung kecil yang berloncatan di daun-daun sambil
berkicau.
Tiba-tiba Lin Lin terkejut mendengar suara orang tertawa.
Karena ia amat gembira dan memperhatikan burung-burung di atas pohon, tidak
diketahuinya bahwa sejak tadi ada dua orang laki-laki memperhatikannya. Dua
orang laki-laki itu kini menghadang di depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin
memandang, kiranya mereka adalah dua orang pendeta yang berkepala gundul. Dua
orang hwesio yang masih muda, pakaian pendetanya bersih, gundul kepalanya
kurang bersih, karena sudah mulai ditumbuhi rambut baru, sikap mereka riang dan
wajah mereka berseri gembira, sama sekali tidak patut menjadi wajah pendeta
yang biasanya serius dan alim. Melihat bahwa yang tertawa adalah dua orang
pendeta, Lin Lin tersenyum. Pendeta-pendeta tidak perlu ditakuti dan
kegembiraannya timbul kembali.
˜Selamat pagi, Ji-wi Suhu (Bapak Pendeta Berdua)!!
serunya riang. ˜Pagi yang indah sekali, bukan?!
Dua orang hwesio itu saling pandang, dan tertawa lebar.
Seorang di antara mereka, yang alis matanya tebal, maju selangkah.
˜Selamat pagi. Memang pagi yang indah sekali, agaknya
karena ada Nona yang cantik manis maka suasana begini menyenangkan. Siapakah
nama Nona? Kami berdua senang sekali dapat berkenalan dengan Nona cantik jelita.
Bukankah begitu, Suheng ?!
Hwesio ke dua mengangguk-angguk dan mulutnya menyeringai,
memperlihatkan gigi besar-besar berwarna kuning.
˜Memang betul, dan hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa
kembali ke kelenteng, lebih senang main-main dengan Nona ini di sini.!
Seketika keriangan Lin Lin lenyap, terganti oleh
kemarahan yang membuat kedua pipinya menjadi merah, sepasang matanya yang
bening seakan-akan mengeluarkan sinar berapi.
˜Ihhh, kalian ini dua orang bajingan yang menyamar
sebagai pendeta, ataukah pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua
orang gundul berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat,
aku tidak sudi bicara dengan kalian lagi!!
˜Ho-ho-hooo, nanti dulu, Manis!! Si Alis Tebal cepat
membentangkan kedua lengannya menghadang di tengah jalan.
˜Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini, agaknya
memang antara kita bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau pergi juga,
harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah begitu,
Suheng?!
˜Ya-ya, betul itu! Di tempat sunyi begini, tak usah
malu-malu, Nona!! kata Si Gigi Kuning.
˜Jahanam bermulut busuk!! Lin Lin membentak, tubuhnya
berkelebat dan sekali kedua tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya
Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri. Kini
Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada penuh ejekan.
˜Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor monyet gundul
yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!!
Dua orang hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak
pernah mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan penyerangan yang
sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan lenyaplah keinginan
hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin, kini dengan mata merah mereka meloncat
bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan mereka cepat dan tahu-tahu
mereka telah melolos sebatang cambuk dari ikat pinggang. Cambuk hitam yang
panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan, dapat diduga bahwa mereka adalah
ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.
˜Bocah setan, berani kau main gila terhadap pinceng?!
seru Si Alis Tebal.
˜Sute, kita cambuki pakaiannya sampai ia telanjang
bulat!! kata Si Gigi Kuning dengan nada gemas.
˜Tar-tar-tar-tar!! dari depan dan belakang, dua batang
cambuk itu mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin.
Namun seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya
memuncak.
˜Hemmm, monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran tadi
masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia berwatak kotor macam kalian
kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia dan mengganggu wanita saja!!
Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanan dan ˜srattt!! tampak
sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi Kuning sudah berada di
tangannya.
˜Bagus, kau berani melawan? Rasakan cambukan ini!!
Cambuk dari depan menyambar, disusul cambuk dari belakang
dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua batang cambuk yang
menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup. Kiranya dua orang hwesio muda
itu tidak terlalu menyombong. Permainan cambuk mereka memang hebat, cepat dan
kuat sekali. Namun kali ini mereka bertemu dengan Lin Lin, yang baru saja
mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan gin-kang
yang hebat sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor
burung walet. Betapapun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar,
tubuh Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk
diselimuti gulungan sinar kuning dari pedangnya.
Memang hebat sekaii Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari
Kim-lun Seng-jin. Apalagi di tangannya sekarang ada sebatahg pedang pusaka
terbuat daripada besi aji yang amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata,
pedangnya berkelebat dan.. dua orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika
cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua berikut ujung lengan baju dan
sebagian daripada kulit dan daging lengan mereka, semua terbabat oleh sinar
pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin itu! Tentu saja mereka terkejut dan
ketakutan, lalu melarikan diri sambil memegangi kepala seakan-akan merasa
khawatir kalau-kalau kepala mereka pun akan terbabat putus!
˜Bagus sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang
amat indah dan lihai!!
Lin Lin cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat
pertempuran itu tampak seorang laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya.
Pemuda ini berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar,
sepasang matanya lebar den menyinarkan kejujuran, alisnya tebal, hidungnya agak
pesek, mulutnya membayangkan keramahan. Biarpun bukan wajah yang dapat disebut
tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan wajahya yang sederhana ini
menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana dan bersih, rambutnya
digelung ke atas den dibungkus sutera berkembang. Gagang sebuah pedang yang
tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan senjata tajam.
Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar.
Lin Lin masih marah. Sehabis bertemu dengan dua orang
hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang tadi, ia mempunyai prasangka buruk
terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja
seperti tadi kurang ajarnya, apalagi yang masih muda seperti ini! Dengan muka
merah den mulut cemberut ia membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu
menghardik.
˜Memang kiam-hoatku indah dan lihai, juga pedangku ini
cukup tajam untuk memenggal leher setiap orang laki-laki ceriwis den kurang
ajar! Kau mau apa ikut campur?!
Ada semenit pemuda itu melongo. Matanya yang lebar itu
makin melebar ketika ia memandang Lin Lin. Terbayang pada matanya itu kekaguman
luar biasa dan sesungguhnya, ia memang kagum sekali setelah dara ini sekarang
menghadapinya. Wajah Lin Lin seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya
jungkir balik dan kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang. Belum pernah
selama hidupnya ia melihat seorang dara seperti ini, dan belum pernah ia
mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi seorang gadis
Lin Lin makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang
ajar pula, duduk di atas punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa,
memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting kaki dan memaki,
˜Apa kaukira aku ini barang tontonan maka matamu melotot
terus memandangku?!
˜Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada
tontonan yang lebih indah, lebih mempesona, lebih..!
˜Kau lebih kurang ajar lagi!! bentak Lin Lin dan tubuhnya
sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan dengan pedangnya.
˜Uiiihhhhh, ganas..!! pemuda itu cepat sekali membuang
diri dari atas punggung kuda, berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua
kakinya sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang
berkilauan seperti perak.
˜Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba kepandaian, mari
kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan patut menjadi lawanku bertanding
pedang.! Ia melambaikan tangan kiri menantang.
Dari gerakan pemuda tadi yang amat mengagumkan hati Lin
Lin, gadis inipun maklum bahwa lawannya kali ini bukanlah seorang sembarangan,
bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi ia tidak takut! Dan perasaannya
ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah,
˜Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!!
˜Ha-ha-ha, ada satu saja orang macam aku sudah terlalu
repot bagimu, apalagi ada sepuluh orang!! pemuda itu berkelakar, akan tetapi ia
harus cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis karena dengan gerakan
seperti seekor burung walet, gadis itu sudah menerjangnya.
˜Trang-trang-tranggggg..!! Tiga kali pedang mereka saling
beradu, menimbulkan bunga api yang muncrat ke sana-sini. Keduanya cepat menarik
pedang masing-masing dan lega hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa
pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras lawan keras tadi. Masing-masing
kagum dan juga kaget. Apalagi Lin Lin. Tadi ia sudah mengerahkan tenaga
Khong-in-ban-kin, dan ia maklum bahwa tenaga yang terdapat dalam ilmu ini luar
biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit saja untuk menghadapi dua orang hwesio,
sekali babat saja cambuk-cambuk itu putus semua.
Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu
pedang, sedangkan di tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang
lawannya tidak menjadi rusak dan tidak terpental? Ini hanya menjadi bukti bahwa
pemuda pesek ini selain memiliki pedang yang ampuh juga memiliki kepandaian
tinggi, dapat melawan terjangan tenaga Khong-in-ban-kin. Apakah kakek gundul
pelontos Kim-lun Seng-jin yang membohonginya dan membual tentang kelihaian
Khong-in-ban-kin? Kakek itu bilang bahwa jarang ada lawan yang akan dapat
mengimbangi kecepatan dan kekuatan tenaga dalamnya kalau ia mengerahkan
Khong-in-ban-kin, akan tetapi sekarang, baru saja bertemu dengan seorang pemuda
pesek, ilmunya itu seakan-akan tiada artinya lagi.
Di lain pihak, Si Pemuda juga kaget dan tercengang di
samping kekagumannya yang menjadi-jadi. Tadinya ia mengira bahwa dara lincah
itu hanya memiliki gerakan yang amat cepat dan ilmu pedang yang tinggi saja,
maka dengan mudah dapat mengalahkan dua orang hwesio kurang ajar tadi. Siapa
kira, dalam pertemuan pedang tadi ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal tenaga,
gadis itu tidak usah mengaku kalah terhadapnya, juga pedang di tangannya itu
adalah pedang ampuh yang dapat menahan pusakanya sendiri. Padahal pusakanya ini
adalah pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) yang jarang bandingannya,
pedang pusaka pemberian suhunya.