Tidak ada jalan lain, Cie Kee
terjang musuhnya, si buta itu, ujung pedangnya menikam ke arah muka. Tin Ok
dengar anginnya senjata, ia menangkis. Keras kedua senjata beradu, lalu Cie Kee
menjadi kaget sekali. Dia hampir membikin terlepas pedangnya.
“Lihay tenaga dalam si buta
ini! Mungkinkah ia melebihi aku?“ pikirnya. Ia penasaran, maka lagi sekali, ia
menikam. Kali ini, ia insyaf kenapa ia kalah kuat. Nyatanya luka di pundaknya
itu menyebabkan tenaganya jadi berkurang hingga separuhnya. Oleh karena ini, ia
lantas pindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dengan tangan kiri ini, ia bersilat
dengan ilmu silatnya “Kie Siang Kiam-hoat” atau “Melukai Semua”. Inilah ilmu
silat yang sejak ia yakinkan belum pernah ia pakai untuk melawan musuh. Dengan
menggunai ini ia telah menjadi nekat. Dengan ini, di sebelah musuh ia sendiri
pun bisa celaka. dengan “melukai semua” hendak diartikan “mati bersama”.
Segera juga Kwa Tin Ok, Cu Cong
dan Ciauw Bok terarah semua bagian tubuhnya yang berbahaya. Maka repotlah
mereka membuat perlawanan. Sejak turun gunung, Cie Kee belum pernah menemui
lawan setimpal, inilah pertama kalinya. Tidak peduli tenaganya kurang, dengan
berlaku nekat ia tetap berbahaya..
Baharu belasan jurus paha Tin
Ok telah tertikam pedang.
“Kwa Toako, Cu Jieko, biarkan
si imam berlalu!” berseru Ciauw Bok Taysu.
Paderi ini lihat ancaman
bahaya, ia memikir untuk mengalah tetapi justru ia serukan kawannya, ujung
pedang Cie Kee mengenai iga kanannya hingga ia kaget dan menjerit, tubuhnya
rubuh seketika!
“Imam anjing!” Cu Cong
mencaci. “Imam bangsat! Racun di tubuhmu telah menyerang hatimu! Kau tikamlah
pula tiga kali!”
Bangkit kumisnya si imam,
mendelik sepasang matanya, tanpa bilang suatu apa, ia melompat kepada Manusia
Aneh yang kedua itu. Cu Cong tidak melayani, ia hanya berlari-lari berputaran
di pendopo kuil.
Sembari berlari, Cie Kee
insyaf bahwa tak dapat ia menyandak lawan itu. Ia pun mulai terhuyung. Maka
sambil menghela napas, ia berhenti mengejar. Tiba-tiba ia rasai matanya kabur,
lekas-lekas ia pusatkan semangatnya. Sekarang ia baru ingat untuk angkat kaki
saja. tetapi terlambat. Mendadak bebokongnya mengasih dengar suara keras! Ia
merasa sakit sekali, tubuhnya pun terhuyung!
Cu Cong yang cerdik itu telah
timpuk imam itu dengan sepatunya, cukup keras timpukannya itu. Cie Kee merasai
pikirannya kacau tetapi kembali ia memusatkannya. Justru itu, batok kepalanya
telah terpukul keras. Kali ini Cu Cong menimpuk dengan bok-hie, itu tambur
teroktok peranti mambaca doa.
“Sudah, sudah, hari ini Tiang
Cun Cu mesti terbinasa di tangannya bangsat-bangsat licik…” ia mengeluh. Ia
menahan sakit, ia melompat ke depan, akan tetapi ketika kakinya menyentuh
tanah, kedua kakinya itu lemas, tubuhnya terus terguling!
“Bekuk dia dulu, baru kita
bicara!” berseru Cu Cong. Ia dekati imam itu, yang rebah diam saja. Ia geraki
kipasnya untuk menotok jalan darah di dada si imam. Tiba-tiba ia lihat tangan
kiri Cie Kee bergerak, ia kaget. Ia menginsyafi bahaya, dengan cepat ia
menangkis dengan tangan kanannya. Tidak urung, ia merasakan dorongan suatu
tenaga keras sekali, tubuhnya terpental ke belakang, belum lagi tubuh itu tiba
di tanah, ia sudah muntahkan darah hidup!
Cie Kee telah gunai tenaganya
yang terakhir untuk serang lawannya itu.
Paderi-paderi dari Hoat Hoa
Sian Sie tidak mengerti ilmu silat, mereka juga tidak tahu bahwa guru mereka
mengerti ilmu itu, dari itu selama pertempuran mengambil tempat, mereka semua
pada sembunyikan diri. Sampai keadaan sunyi, baru mereka keluar dari tempat
persembunyian mereka, akan saksikan segala apa kacau dan orang rebah di sana
sini, darah pun berhamburan. Mereka jadi ketakutan, mereka lantas pergi mencari
Toan Thian Tek.
Orang she Toan itu terus
sembunyi di dalam ruang dalam tanah, takutnya bukan main. Tempo ia diberitahu
orang telah pada rubuh semua, ia masih khawatirkan tidak ada Khu Cie Kee di
antara korban-korban itu. Ia suruh dulu satu kacung paderi untuk melihatnya,
kemudian barulah ia keluar, hatinya lega. Ia telah diberitahu si imam lagi rebah
diam dengan kedua mata tertutup.
Dengan tarik tangan Lie Peng,
Thian Tek pergi cepat-cepat ke pendopo. Ia lantas hampirkan Cie Kee, tubuh
siapa dia dupak.
Imam itu masih belum putus
jiwanya, ia bernapas perlahan sekali.
Thian Tek cabut goloknya.
“Imam bangsat, kau kejar aku hingga aku bersengsara, sekarang hendak aku kirim
kau pulang ke Langit Barat!” ia kata, lalu ia ayunkan goloknya.
“Jangan….jangan bunuh dia…!”
berseru Ciauw Bok Taysu, tapi suaranya sangat lemah. Ia rebah dengan terluka
parah tapi ia dapat lihat perbuatan si keponakan murid.
“Kenapa?” Thian Tek tanya.
“Dia adalah satu imam yang
baik…” sahut Ciauw Bok. “Dia Cuma berhati keras… Di sini telah terbit salah
mengerti…”
“Orang baik apa!” kata Thian
Tek. “Dia perlu dibunuh dulu…!”
Ciauw Bok menjadi gusar. “Kau
tidak mau dengar perkataanku?!” dia membentak. “Letaki golokmu…!”
Thian Tek tertawa tergelak.
“Kau ingin aku meletaki golokku? Hahaha!” ia tertawa mengejek. Ia ayunkan pula
goloknya, ia arahkan ke kepalanya si imam.
Dengan mendadak Lie Peng
berteriak. “Kau…kau hendak lagi membunuh orang!” tanyanya.
Ciauw Bok Taysu juga gusar
bukan main, dengan sisa tenaganya ia timpuk Thian Tek dengan sepotong kayu di
tangannya.
Thian Tek berkelit tetapi ia
terlambat, mukanya kena terhajar hingga rontok tiga buah giginya. Ia merasakan
sangat sakit, ia jadi kalap, tanpa ingat budinya Ciauw Bok, ia lantas
menyerang.
Di situ ada beberapa kacung
paderi, mereka ini kaget. Satu kacung langsung tubruk Thian Tek untuk tarik
lengannya, yang lainnya mengigit. Thian Tek gusar bukan kepalang, dengan kejam,
dengan dua bacokan ia bikin kedua kacung itu rubuh.
Tiang Cun Cun, Ciauw Bok dan
Kanglam Cit Koay adalah orang-orang yang lihay, akan tetapi di saat seperti
ini, justru jiwa mereka sendiri terancam bahaya, mereka cuma bisa membuka mata
menyaksikan kejadian hebat itu.
Lie Peng berteriak-teriak
pula: “Hai, manusia jahat, tahan!”
Tidak ada orang yang kenali
Lie Peng, walaupun suaranya nyaring. Ini nyonya tetap mengenakan seragam, orang
sangka ia adalah serdadu sebawahannya Thian Tek. Cuma Tin Ok, walaupun ia buta,
mendengar suara orang, dia tahu pasti orang adalah seorang wanita. Maka itu
sembari menghela napas, dia berkata: “ Ciauw Bok Hweshio, kami semua telah kau
aniaya! Benar saja di dalam kuilmu ini kau ada sembunyikan orang perempuan….!”
Ciauw Bok terkejut, hatinya
mencekat. Ia bukannya seorang tolol, segera ia pun sadar. Maka itu bukan main
menyesalnya ia untuk kealpaannya itu.
“Binatang ini telah jual aku,
dia membikin aku mencelakai sahabat-sahabatku,” katanya dalam hati. Hampir ia
pingsan saking kerasnya ia melawan kemendongkolannya. Ia kerahkan tenaganya
dengan kedua tangannya menekan lantai, ia lompat kepada Thian Tek.
Orang she Toan itu tidak
menangkis, dia hanya menyingkir sambil egos tubuhnya.
Tubuh paderi itu lewat terus,
dengan cepat, tepat mengenai tiang pendopo, maka tubuhnya rubuh dengan kepala
pecah, tubuh itu tidak berkutik lagi.
Toan Thian Tek kaget, hatinya
menjadi ciut, dari itu dengan sambar tangannya Lie Peng, ia lari keluar kuil.
“Tolong! Tolong!” Lie Peng
berteriak-teriak. “Tidak, aku tidak mau pergi….!”
Tapi ia ditarik terus, hingga
suaranya tidak terdengar lagi.
Kuil itu menjadi berisik, semua
paderi menangis karena kebinasaan guru mereka. Mereka pun menjadi repot, akan
tolongi orang-orang yang terluka, guna pindahkan mayat. Selagi mereka bekerja,
tiba-tiba mereka dengar suara apa-apa dari arah genta, hingga mereka kaget.
Kemudian belasan paderi itu menggunai dadung, akan tarik genta itu untuk
dibikin terbalik, setelah mana mereka dapatkan satu tubuh tergelumbuk
menggelinding keluar. Mereka kaget, mereka lari serabutan.
Tubuh bergelumbuk itu sudah
lantas lompat bangun, ia mengeluarkan napas lega. Ia bukan lain daripada Ma Ong
Sin Han Po Kie yang tadi kena ditungkrap Khu Cie Kee, hingga ia tak mampu
keluar dari jambangan dan genta itu. Ia heran dan kaget saksikan pendopo itu,
hingga ia berkoak-koak.
Kwa Tin Ok masih sadar
walaupun ia terluka, ia panggil Po Kie, untuk sabarkan padanya. Ia pun
keluarkan obatnya untuk suruh satu paderi pergi obati Khu Cie Kee dan Han Siauw
Eng, ia sendiri memberi keterangan pada Po Kie perihal jalannya pertempuran,
tentang Toan Thian Tek dan si wanita yang menyamar sebagai serdadu.
“Nanti aku susul dia!” teriak
Po Kie saking gusarnya.
“Jangan!” Tin Ok mencegah.
“Nanti ada ketikanya untuk menghukum dia, sekarang kau perlu rawat dulu saudara-saudaramu
yang terluka.”
Po Kie dapat dibikin sadar.
Cu Cong dan Lam Hie Jin adalah
yang terluka paling parah. Thio A Seng patah lengannya, setelah pingsan, ia
sadar, ia tidak terancam bahaya.
Po Kie lantas rawat semua
saudaranya itu.
Paderi pengurus dari Hoat Hoa
Sian Sie telah bekerja, di satu pihak ia ajukan pengaduan kepada pembesar
negeri, di lain pihak ia kirim kabar pada Kouw Bok Taysu di Kong Hauw Sie,
Hangciu. Jenazahnya Ciauw Bok Taysu pun lantas diurus.
Selang beberapa hari, Cie Kee
dan Siauw Eng telah dapat ditolong dari racun. Cie Kee mengerti ilmu
obat-obatan, ia lantas obati Tin Ok semua, ia pun uruti mereka, hingga selang
beberapa hari, semuanya telah dapat bangun dari pembaringan.
Pada suatu hari, semua orang
duduk berkumpul dengan dirundung kemasgulan hingga mereka pada berdiam saja.
Mereka menyesal sekali sudah jadi korbannya Toan Thian Tek, hingga Ciauw Bok
Taysu menjadi korban.
“Totiang, bagaimana sekarang?”
Siauw Eng tanya Khu Cie Kee. Ia memangnya polos. “Totiang berkenamaan dan kami
pun bukannya orang-orang yang masih hijau, kita sekarang rubuh di tangannya
satu kurcaci, apa kata kaum kang-ouw bila peristiwa di sini sampai tersiar?
Tidakkah itu sangat memalukan? Tolong Totiang tunjuki kami bagaimana kami harus
berbuat.”
“Kwa Toako, kau saja yang
bicara,” kata Cie Kee menyahuti si nona. Ia sendiri pun bukan main masgul,
menyesal dan mendongkolnya. Ia merasakan kesembronoannya. Coba ia tidak turuti
hawa amarahnya dan berbicara dengan tenang sama Ciauw Bok, peristiwa celaka itu
pasti dapat dicegah.
Tin Ok tertawa dingin. Ia
memang aneh tabiatnya. Ia malu sekali yang ia bertujuh saudara kena dikalahi
Cie Kee, terutama dirinya sendiri, yang kena ditikam kakinya hingga tak dapat
dia berjalan dengan leluasa.
“Totiang biasa malang
melintang, mana kau melihat mata kepada kami!” katanya tawar, “ Tentang ini
untuk apa kau menanya pula kami…”
Cie Kee tahu orang masih
mendongkol, ia lantas bangkit untuk menjura kepada tujuh saudara itu. “Pinto
sangat menyesal, aku mohon maaf,” dia bilang.
Cu Cong semua membalas hormat,
Cuma Tin Ok yang diam saja, ia berpura-pura tidak tahu.
“Segala urusan kaum kang-ouw,
kami tidak ada muka untuk mencampuri tahu lagi,” kata ini ketua Kanglam Cit
Koay. “Selanjutnya kami akan berdiam di sini, untuk menangkap ikan atau mencari
kayu. Asal Totiang tidak mengganggu kami, kami akan melewati sisa hidup kami…”
Mukanya Cie Kee menjadi merah,
ia jengah hingga tak dapat ia membuka mulutnya. Selang sesaat baru ia dapat
bicara.
“Aku telah menerbitkan
malapetaka, lain kali tak nanti aku datang kemari untuk membuat onar pula,”
katanya seraya berbangkit. “Tentang sakit hatinya Ciauw Bok Taysu serahkan itu
padaku, dengan tanganku sendiri, akan aku bunuh jahanaman itu! Sekarang aku
mohon diri…”
Ia menjura pula, lantas ia
ngeloyor keluar.
“Tahan!” Tin Ok berseru.
Imam itu memutar tubuhnya.
“Kwa Toako hendak menitah apa?” ia tanya. Tetap ia sadar.
“Kau telah lukakan parah
saudara-saudaraku ini, apakah itu cukup dengan hanya kata-katamu barusan?”
tanya Tin Ok.
“Habis Kwa Toako memikir
bagaimana?” menegaskan Cie Kee. “Apa saja yang tenagaku dapat kerjakan, suka
aku menuruti titahmu.”
“Tak sanggup aku menelan
peristiwa ini,” Tin Ok bilang. “Aku masih ingin menerima pengajaran dari
Totiang!”
Kanglam Cit Koay gemar
melakukan amal akan tetapi mereka berkepala besar, sepak terjang mereka
biasanya luar biasa, kalau tidak, tidak nanti mereka disebut “Cit Koay” – tujuh
Manusia Aneh. Mereka semua lihay, jumlah mereka pun banyak – bertujuh – dari
itu, orang membuat malu mereka. Mereka sendiri belum pernah nampak kegagalan,
malah dengan pernah mengalahkan seratus lebih jago Hoay Yang Pang, nama mereka
jadi menggemparkan dunia Kang-ouw. Sekarang mereka kalah di tangan Khu Cie Kee
satu orang, bagaimana mereka tidak menjadi penasaran?
Cie Kee terkejut. “Pinto telah
terkena senjata rahasiamu, Kwa Toako,” kata ia, tetap tenang. “Tanpa
pertolonganmu, pasti sekarang aku telah berada di Negara Setan. Di dalam urusan
kita ini, walaupun benar pinto telah lukai kamu, kenyataannya adalah pinto
telah rubuh, maka itu pinto menyerah kalah…”
“Kalau begitu, letaki pedang
di bebokongmu itu!” bentak Tin Ok. “Dengan meninggalkan pedangmu, suka aku
melepas kau pergi!”
Bukan main mendongkolnya Cie
Kee, di dalam hati ia berkata: “Aku telah beri muka kepada kamu, aku telah
menghanturkan maaf dan mengaku kalah, kenapa kamu masih merasa belum cukup?” Ia
lantas menjawab: “Pedang ini adalah alat pembela diriku, sama saja dengan
tongkat Kwa Toako…”
Tapi Tin Ok tetap murka. “Kau
pandang entang kakiku pengkor?!” ia membentak.
“Pinto tidak berani,” sahut si
imam itu.
Dalam murkanya, Tin Ok bilang:
“Sekarang kita sama-sama terluka, sulit untuk kita bertempur lagi, maka itu
baiklah lain tahun pada hari ini, aku minta totiang membuat pertemuan pula di
Cui Siang Lauw!”
Cie Kee mengerutkan keningnya.
Ia sangat masgul. Ia tahu Cit Koay bukan orang busuk, tak dapat ia layani
mereka. Bagaimana ia bisa loloskan diri dari mereka itu? Pula ada sulit untuk melayani
mereka bertempur pada lain tahun. Ia bersendirian dan mereka bertujuh. Mungkin
sekali, selama tempo satu tahun, mereka itu akan tambah kepandaiannya. Ia pun
bisa berlatih diri tapi barangkali sukar untuk beroleh kemajuan. Ia terus
berpikir, sampai ia dapat satu pikiran.
“Tuan-tuan, kamu hendak adu
kepandaian yang memutuskan denganku, tidak ada halangannya,” ia berkata. “Hanya
untuk itu, syaratnya haruslah pinto yang menetapkannya. Kalau tidak, pinto suka
menyerah kalah saja.”
Han Po Kie bersama Siauw Aeng
dan A Seng bangkit berdiri, dan Cu Cong dan lainnya yang terluka mengangkat
kepalanya dari pembaringan. Hampir berbareng mereka itu kata: “Kalau Kanglam
Cit Koay bertaruh selamanya adalah pihak sana yang memilih tempat dan
waktunya!”
Cie Kee tersenyum dapatkan
orang demikian gemar menang sendiri.
“Apakah kamu suka terima
syarat apapun?” dia tanya.
Cu Cong dan Coan Kim Hoat
adalah yang tercerdik di antara saudara-saudaranya, mereka tidak jeri.
“Kau sebutkan saja syaratmu!”
kata mereka. Di dalam hatinya mereka berkata: “Tidak peduli kau pakai akal
licin apa juga, mustahil kami nanti kalah…”
“Kata-katanya satu kuncu?”
berkata imam itu.
“Sama cepatnya dengan satu
cambukan kuda!” sahut Siauw Eng lantas.
Kwa Tin Ok masih sedang
memikir ketika Khu Cie Kee berkata pula: “Mengenai syaratku ini, masih tetap
berlaku kata-kataku tadi. Ialah umpama kata tuan-tuan anggap tidak sempurna,
pinto tetap suka menyerah kalah!”
Dengan ini, imam itu memancing
hawa amarah ke tujuh Manusia Aneh itu. Ia tahu benar Cit Koay adalah sangat
besar kepala.
“Jangan kau coba pancing hawa
amarah kami!” Tin Ok memotong. “Lekas kau bicara!”
Cie Kee lantas berduduk.
“Syaratku ini ada meminta
tempo yang lama,” ia menyahut dengan sabar. “Tapi apa yang kita akan adu adalah
kepandaian sejati. Aku sendiri tidak menghendaki cara mengandali kekosenan
saja, dengan menggunai alat senjata atau kepalan dan tendangan. Kepandaian semacam
itu, siapa menyakinkan ilmu silat tentunya semua mengerti. Bukankah kita, kaum
Rimba Persilatan yang kenamaan tak dapat berlaku demikian cupat sebagai
anak-anak muda yang terlahir belakangan?”
Kanglam Cit Koay saling
mengawasi, hati mereka masing-masing menduga: “Kau tidak hendak menggunai
senjata, tangan dan kaki, habis apakah syaratmu itu?” Maka mereka menanti
penjelasan.
Cie Kee berkata pula, dengan
sikapnya yang agung. “Biar bagaimana, kita mesti melakukan suatu pertempuran
yang memutuskan. Aku akan menghadapi kalian bertujuh, tuan-tuan! Kita bukan
cuma mengadu kepandaian, juga mengadu kesabaran, kita memakai akal budi.
Marilah kita lihat, siapakah yang paling gagah – satu enghiong sajati!”
Kata-kata ini membuat darahnya
Kanglam Cit Koay mengalir deras.
“Lekas bilang, lekas!” Han
Siauw Eng. “Semakin sulit adanya syarat, semakin baik!”
Cu Cong tapinya tertawa. Ia
berkata: “Kalau syaratmu itu adalah untuk mengadu bertapa atau membikin obat
mujarab atau membikin surat jimat guna menangkap roh-roh jahat, maka kami
bukanlah tandingan kamu bangsa imam!”
Khu Cie Kee pun tertawa.
“Pinto juga tidak berpikir
untuk adu kepandaian sama Cu Jieko dalam hal mencuri ayam atau meraba-raba
anjing atau mengulur tangan menuntun kambing!” Ia maksudkan ilmu mencopet.
Mendengar itu Siauw Eng pun
tertawa. “Lekas bicara, lekas!” ia mendesak pula.
“Jikalau kita mencari pokok
sebabnya,” kata Tiang Cun Cu dengan tenang, “Biangnya gara-gara hingga kita
bertempur dan saling melukai adalah urusan menolongi turunannya orang-orang
gagah, oleh karena itu, baiklah kita kembali kepada sebab musabab itu.”
Dengan “orang gagah” imam itu
maksudkan “ho-kiat” atau “enghiong”. Lalu ia menjelaskan tentang
persahabatannya sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim – yang ia maksudkan si
orang-orang gagah itu – yang mengalami nasib celaka, karena itu ia telah
uber-uber Toan Thian Tek. Ia juga tuturkan bagaimana caranya ia kejar Thian Tek
itu, tetapi saking licinnya, Thian Tek saban-saban dapat meloloskan diri.
Selagi memasang kuping,
beberapa kali Kanglam Cit Koay mengutuk bangsa Kim serta pemerintah Song yang
sewenang-wenang dan kejam.
Habis menutur, Cie Kee
tambahkan: “Orang yang Toan Thian Tek bawa lari itu adalah Lie-sie, istrinya
Kwee Siauw Thian. Kecuali Kwa Toako bersama saudara Han, empat saudara lainnya
telah pernah lihat mereka itu”
“Aku ingat suaranya Lie-sie
itu,” kata Kwa Tin Ok. “Umpama berselang lagi tiga puluh tahun, tidak nanti aku
dapat melupakannya.”
“Tentang istri Yo Tiat Sim,
yaitu Pauw-sie,” Cie Kee menambahkan, “Aku masih belum tahu dia ada di mana.
Pernah pinto melihat romannya Pauw-sie, tidak dengan demikian tuan-tuan. Inilah
yang pinto hendak gunai sebagai syarat pertaruhan kita…”
Siauw Eng segera menyela:
“Kami pergi tolongi Lie-sie, kau pergi tolong Pauw-sie! Siapa yang lebih dulu
berhasil, dia yang menang, bukankah?”
Khu Cie Kee tersenyum.
“Cuma menolongi saja?” ia
ulangi. “Untuk pergi mencari dan menolongi, itu memang benar bukannya kerjaan
terlalu gampang, akan tetapi selain itu, masih ada hal yang terlebih sukar
lagi, yang meminta banyak waktu, tenaga dan pikiran..”
“Apakah adanya itu?” Kwa Tin
Ok bertanya.
“Akan aku jelaskan,” jawab si
imam. “Dua-duanya Pauw-sie dan Lie-sie itu sama-sama lagi mengandung. Pinto
ingin setelah dapat cari dan tolong mereka, kita mesti pernahkan mereka itu.
Kita tunggu sampai mereka telah melahirkan anak, lalu anak-anak mereka itu kita
rawat dan didik dalam ilmu silat. Pinto akan didik anak Yo Tiat Sim dan
tuan-tuan bertujuh merawat anaknya Kwee Siauw Thian…”
Tujuh bersaudara itu membuka
mulut mereka. Heran untuk kata-kata si imam.
“Bagaimana sebenarnya?” Han Po
Kie tanya
“Kita menanti sampai lagi
delapan belas tahun,” menerangkan Tiang Cun Cu. “Itu waktu, anak-anak itu telah
berumur delapan belas tahun, lalu kita ajak mereka ke Kee-hin, untuk membuat
pertemuan di Cui Sian Lauw. Berbareng dengan itu, kita undang sejumlah orang
gagah lainnya untuk menjadi saksi. Kita membuatnya pesta, sesudah puas makan
minum, baru kita suruh kedua anak itu adu kepandaian. Di situ nanti kita lihat,
murid pinto yang berhasil atau muridnya tuan-tuan bertujuh!”
Tujuh bersaudara itu saling
memandang, tidak ada satu jua yang segera menjawab imam itu. Bukankah syarat
itu ada sangat luar biasa?
“Jikalau tuan-tuan bertujuh
yang bertempur sama aku, umpama kata kamu yang menang, itu tidak ada artinya,”
Cie Kee berkata pula. “Bukankah tuan-tuan menang karena jumlah yang banyak
lawan jumlah yang sedikit? Kemenangan itu bukan kemenangan yang mentereng!
Dengan syarat kita ini aku nanti turunkan kepandaianku kepada satu orang,
tuan-tuan pun mewariskan kepandaian kamu kepada satu orang juga, setelah itu
mereka bertanding satu lawan satu, sampai itu waktu, andaikata muridku yang
menang, bukankah tuan-tuan akan merasa puas?”
Akhirnya Tin Ok ketruki
tongkat besinya ke lantai. “Baiklah, secara demikian kita bertaruh!” katanya.
Tapi Coan Kim Hoat campur
bicara. Ia tanya: “Bagaimana kalau pertolongan kami terlambat, dan Lie-sie
keburu dibikin binasa oleh Toan Thian Tek?”
“Biarlah kita sekalian adu
keberuntungan juga!” sahut Cie Kee. “Jikalau Thian menghendaki aku yang menang,
apa hendak dibilang?”
“Baik!” Han Po Kie juga turut
bicara. “Memang menolong anak piatu dan janda juga adalah perbuatan yang mulia,
umpama kami tak dapat lawan kamu, kami toh telah lakukan juga satu perbuatan
yang baik.”
Cie Kee tonjolkan jempolnya.
“Han Samya benar!” pujinya. “Tuan-tuan berkenan menolongi abak yatim piatu dari
keluarga Kwee itu, untuk ini sekarang pinto wakilkan saudara Kwee menghaturkan
terima kasih terlebih dahulu!” Dan ia lantas menjura dalam.
“Cara pertaruhan ini adalah
terlalu licin,” berkata Cu Cong kemudian. “Cuma dengan beberapa kata-katamu
ini, kau hendak membikin kami bercapek lelah selama delapan belas tahun!”
Wajahnya Khu Cie Kee berubah,
akan tetapi ia berdongak dan tertawa besar.
“Apakah yang lucu?” tanya Han
Siauw Eng.
“Selama dalam dunia kang-ouw
telah aku dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay,” sahut si imam yang ditanya,
“Orang umumnya bilang mereka itu gemar sekali menolong sesamanya, mereka gagah
perkasa dan mulia, tetapi hari ini bertemu dengan kamu – hahaha!”
Kanglam Cit Koay menjadi panas
hatinya. Han Po Kie segera menghajar bangku dengan tangannya. Ia hendak bicara
tetapi si imam dahului dia.
“Sejak zaman dahulu hingga
sekarang ini,” kata Cie Kee. “Kalau satu orang gagah sejati bersahabat, dia
bersahabat untuk menjual jiwanya, ialah dengan segala urusan ia bersedia untuk
mengorbankan dirinya. Pengorbanan itu tidak ada artinya! Bukankah kita belum
pernah dengar bahwa di jaman dahulu ada Keng Ko dan Liap Ceng berhitungan?”
Wajahnya Cu Cong menjadi
pucat, tak ada sinarnya. “Tidak salah apa yang totiang bilang!” katanya sambil
goyang kipasnya. “Aku mengaku keliru! Baiklah, kita bertujuh akan terima
tanggung jawab kita ini!”
Khu Cie Kee lantas berbangkit.
“Hari ini adalah tanggal dua
puluh empat bulan tiga,” ia berkata pula, “Maka itu lagi delapan belas tahun,
kita akan bertemu pula di rumah makan Cui Siang Lauw, untuk orang-orang gagah
di kolong langit ini menyaksikan siapa sebenarnya laki-laki sejati!”
Habis berkata, seraya kibaskan
tangannya, ia bertindak pergi.
“Nanti aku susul Toan Thian
Tek!” kata Han Po Kie. “Dia tak dapat dibiarkan menghilang, hingga pastilah
sulit kita mencari padanya!”
Di antara Cit Koay, dialah
yang tidak terluka. Setelah berkata begitu, ia lantas lari keluar, untuk terus
menaiki kudanya, guna susul Thian Tek.
“Sha-tee! Sha-tee! Cu Cong
memanggil-manggil. “Kau tidak kenal mereka itu!”.
Dengan mereka, orang she Cu
ini menyebutkannya Thian Tek dan Lie Peng.
Tetapi Po Kie si tak sabaran
telah pergi jauh.
Thian Tek telah angkat kaki
dengan naik perahu. Ketika ia tarik Lie Peng keluar dari tempat berbahaya itu,
lega hatinya apabila ia menoleh ke belakang, ia tak tampak ada orang yang kejar
atau susul padanya. Ia cerdik, maka itu segera ia menuju ke sungai, malah tanpa
memilih kendaraan air lagi, ia lompat naik ke sebuah perahu, ia ajak Lie Peng
bersama.
“Lekas berangkat!” ia
membentak tukang perahu sambil ia cabut goloknya.
Kanglam adalah daerah air,
disana ada banyak sungai atau kali, dari itu, kendaraan air adalah alat
penghubung atau pengangkut yang paling umum, sama saja dengan kuda atau keledai
di Utara. begitu muncul kata-kata: “Orang Utara naik kuda, orang Selatan naik
perahu.”
Tukang perahu itu ketakutan
lihat orang demikian galak., ia buka tambatan perahunya, ia lantas mengayuh.
Dengan lekas ia keluar dari daerah kota.
Thian Tek lantas asah otaknya:
“Aku telah terbitkan onar besar, tak dapat aku pulang untuk pangku pula
jabatanku. Baiklah aku pergi ke Utara untuk menyingkir dulu dari ancaman
bahaya. Semoga itu imam bangsat dan tujuh siluman dari Kanglam itu bertempur hingga
mampus semuanya, supaya aku dapat kembali ke Lim-an.”
Kudanya Po Kie lari pesat,
tetapi ia hanya mondar-mandir di darat, tentu sekali ia tak dapat cari Thian
Tek, apapula ia kenali roman orang itu. Ia tanya-tanya orang akan tetapi
pertanyaannya tidak jelas.
Thian Tek tunjuki terus
kelicinannya. ia menukar perahu beberapa kali. Berselang belasan hari, tibalah
ia di Yangciu. Paling dulu ia mencari rumah penginapan. Ia telah memikir untuk
cari suatu tempat untuk bertinggal buat sementara waktu. Sebab bukanlah soal
yang sempurna untuk terus-terusan berkelana dengan hati tidak tentram.
Itu hari selagi berada di
dalam kamar, ia dengar suara Han Po Kie tengah berbicara sama pemilik
penginapan, menanyakan tentang dia dan Lie Peng. Ia kaget tetapi ia berlaku
tenang. Dari dalam kamarnya ia mengintai, memasang mata. Ia lihat tegas seorang
kate yang romannya tampak jelek sekali yang berbicara dengan lidah Kee-hin.
Setelah merasa pasti bahwa orang adalah salah satu Cit Koay, ia tarik tangannya
Lie Peng untuk diajak segera menyingkir dari pintu belakang. Kembali ia menyewa
sebuah perahu. tak sudi ia berjalan sedikit juga. Ia berlayar terus ke Utara,
hingga mereka sampai di perhentian Lie-kok-ek, di tepi telaga Bie San Ouw di
wilayah propinsi Shoatang. Belum sampai setengah bulan ia berdiam di tepi
telaga itu, Han Po Kie dapat susul ia. Malah Po Kie ada bersama dengan satu
nona.
Adalah pikirannya Thian Tek,
untuk keram diri di dalam kamarnya , akan tetapi Lie Peng, yang merasa ada
bintang penolongnya, sudah lantas menjerit-jerit. Akan tetapi ia adalah satu
wanita lemah, ia diringkus Thian Tek, dibekap mulutnya dengan selimut. Ia pun
telah dipukuli. Setiap kali ia berlepas tangan atau mulutnya, ia terus berontak
dan berteriak-teriak. Syukur untuk Thian Tek, Po Kie bersama kawannya yaitu
Siuaw Eng, adiknya, tidak mendengar apa-apa.
Dalam sengitnya, saking
khawatirnya, Thian Tek berniat membunuh Nyonya Kwee itu. Ia telah hunus
pedangnya, ia dekati Lie-sie.
Nyonya Kwee telah tawar
hatinya sejak kebinasaan suaminya, ia sebenarnya sudah memikir untuk bunuh
diri, lebih baik biar ia bisa binasa bersama musuhnya itu, maka itu, menampak
sikapnya Thian Tek itu, ia tidak takut, ia justru diam-diam memuji kepada roh
suaminya: “Engko Siauw, engko Siauw, aku mohon kepadamu, ingin aku supaya
sebelum datang saatnya, aku bertemu pula denganmu, kau lindungi kepadaku, agar
dapat aku membinasakan manusia jahat ini!” Lalu dengan diam-diam, ia siapkan
pisau belati atau badik yang Cie Kee hadiahkan kepadanya.
Thian Tek tersenyum aneh, ia
angkat tangannya untuk dikasih turun dengan bacokannya.
Lie Peng tidak mengerti silat,
tetapi telah bulat tekadnya, maka itu sebaliknya dari ketakutan, ia justru
mendahului sambil menubruk, ia menikam!
Thian Tek kaget dan heran.
Inilah ia tidak sangka. Maka terpaksa ia gunai goloknya untuk menangkis.
“Trang!” demikian satu suara
nyaring.
Untuk kagetnya manusia busuk
ini, ujung goloknya putus dan jatuh ke tanah dan ujung pisau belati menyambar
terus ke dadanya. Dalam kagetnya ia buang diri ke belakang, tetapi tak urung,
bajunya kena terobek, dadanya kena tergurat, hingga darahnya lantas mengucur
keluar. Coba Lie-sie bertenaga cukup, dadanya itu pasti telah tertancap pisau
belati itu.
Untuk bela diri terlebih jauh,
Thian Tek sambar sebuah kursi. “Simpan senjatamu!” ia membentak. “Aku tak akan
membunuh padamu!”
Lie Peng sendiri telah lemas
kaki dan tangan dan tubuhnya, ia telah keluarkan tenaga terlalu besar, ia sudah
umbar hebat hawa amarahnya tanpa merasa ia membuat kandungannya tergerak,
hingga bayi di dalam perutnya itu meronta-ronta. Dengan letih ia jatuhkan diri
ke kursi, napasnya memburu. Tapi ia masih ingat akan pisau belatinya yang ia
pegangi keras-keras.
Thian Tek tetap jerih untuk
Han Po Kie beramai, ia juga tak dapat lari seorang diri, sudah kepalang
tanggung, ia terus membawa Lie Peng. Kali ini ia kembali naik perahu, tetap ia
menuju ke Utara. Ia melalui Lim-ceng dan Tek-ciu dan tiba di propinsi Hoopak.
Selama itu rasa takutnya tak jadi berkurang. Setiap ia mendarat, selama tinggal
di penginapan, saban-saban ada orang mencari dia. Syukur ia waspada dan cerdik,
selalu dapat ia menjauhkan diri dari mereka itu. Ia peroleh kenyataan, kecuali
si kate terokmok dan si nona, ada lagi seorang lain yang cari padanya, ialah
seorang pincang dan bermata buta yang membawa-bawa sebatang tongkat besi.
Syukur untuknya, tiga orang itu tidak kenali dia, walaupun kedua pihak bertemu
muka, mereka itu tidak kenali padanya. Ini yang menyebabkan ia selamanya dapat
lolos.
Tidak lama kemudian, Thian Tek
dapat godaan lain. Dengan tiba-tiba otaknya Lie Peng terganggu, baik selama di
penginapan, maupun di tengah perjalanan, nyonya Kwee suka ngoceh tidak karuan,
ada kalanya ia robek bajunya atau bikin kusut rambutnya, hingga mereka jadi
menarik perhatian orang. Ia menjadi masgul dan bingung sekali. Kelakuan si
nyonya itu gampang menimbulkan kecurigaan orang. Kemudian ia menjadi
mendongkol. Ia dapat kenyataan si nyonya bukan gila benar-benar, ia hanya
berpura-pura edan, untuk sengaja menarik perhatian orang, supaya tentang
perjalanan mereka – ke mana saja mereka menuju – ada menimbulkan bekas. Ia
marah tetapi ia tidak bisa berlaku keras kepada nyonya itu kecuali ia mengancam
agar si nyonya terus ikut padanya. Ia jadi semkin hati-hati.
Ketika itu hawa udara telah
mulai berubah. Hawa panas mulai lenyap, sang angin sejuk telah mulai
menghembus. Udara begini tidak terlalu mengganggu orang-orang yang membuat
perjalanan, malah menyenangkan.
Thian Tek telah menyingkir
jauh ke utara, akan tetapi ia tetap dibayangi pengejar-pengejarnya. Celaka
untuknya, setelah berjalan jauh dan melewatkan banyak hari, bekalan uangnya
mulai habis. Pada suatu waktu, saking uring-uringan, ia ngoceh seorang diri:
“Selama aku pangku pangkat di Hangciu, bagaimana senangnya aku. Setiap hari aku
bisa dahar dan minum enak, dapat aku bersenang-senang dengan wanita-wanita
cantik, tetapi dasar pangeran Kim yang keenam itu yang kemaruk sama istri
orang, dia telah celakai aku hingga begini…”
Justru ia ngoceh ini, mendadak
ia dapat ingat suatu apa. “Bukankah aku telah tidak jauh dari Yan-khia?”
demikian ia ingat. “Kenapa aku tidak pergi kepada Liok-taycu?”
Liok-taycu itu adalah putra
keenam dari raja Kim, itu pangeran Kim yang ia maksudkan. Tanpa ragu-ragu lagi,
ia berangkat menuju ke Yan-khia, ibukota kerajaan Kim itu.
Ibukota Yan-khia itu disebut
juga Tiong-touw atau Chungtu, artinya “Kota Tengah”. Sekarang ini ialah kota
Pakkhia (Peking). Di sana Thian Tek langsung mencari istananya pangeran itu,
ialah Tio Ong atau Chao Wang (Pangeran Tio atau Chao)
Kapan Wanyen Lieh dengar
tentang kedatangannya satu perwira dari selatan, ia lantas ijinkan orang
menemui dia. Ia terkejut akan ketahui, tetamunya adalah Toan Thian Tek dan
orang ingin numpangi diri kepadanya. Ia lantas mengerutkan kening, mulutnya
mengeluarkan kata-kata yang tak nyata. Di dalam hatinya, ia berpikir: “Tentang
Pauw-sie, aku masih belum dapat mempernahkannya, bagaimana aku bisa menerima
Thian Tek? Ia tahu rahasiaku, kalau ia membocorkannya, urusan bisa menjadi
rewel. Kenapa aku mesti meninggalkan satu, mulut hidup? Bukankah ada peribahasa
kuno yang mengatakannya, “Yang cupat pikirannya kuncu, yang tak kejam bukannya
satu laki-laki?” Karena ini ia lantas tersenyum.
“Kau baru sampai dari satu
perjalanan jauh, kau tentunya letih, pergilah beristirahat dulu,” katanya
dengan manis.
Thian Tek mengucap terima
kasih. Ia sebenarnya hendak beritahu juga bahwa ia datang bersama Lie Peng,
tetapi satu hambanya pangeran itu muncul dengan tiba-tiba mengabarkan
‘kunjungannya Sam-ongya’ – pangeran yang ketiga.
Wanyen Lieh bangkit dari
kursinya. “Pergilah kau beristirahat!” katanya sambil ia mengibaskan tangannya,
setelah mana ia bertindak untuk sambut tetamunya.
Sam-ongya itu adalah Wanyen
Yung Chi, putra yang ketiga dari Wanyen Ching, raja Kim. Ia bergelar Wei Wang
atau Wee Ong, pangeran Wei atau Wee. Di antara saudara-saudaranya, ia bergaul
paling erat dengan Wanyen Lieh, sang adik. Ia ada lemah, maka itu, dalam segala
hal, ia suka dengari adiknya yang cerdik dan tangkas.
Pada masa itu pemimpin bangsa
Mongolia, Temuchin sudah mulai kuat kedudukannya, tetapi ia takluk kepada
bangsa Kim, ia malah membantui negara Kim memusnahkan bangsa Tartar, oleh
karena mana, guna menghargai jasanya itu, raja Kim utus Wanyen Yung Chi, sang
putra pergi menganugerahkan Temuchin sebagai Pak Kiang Ciauw-touw-su, semacam
komisaris tinggi. Di samping itu, kepergian putra ini sebenarnya guna melihat
sendiri keadaan bangsa Monglia itu. Karena tugasnya ini, Wee Ong telah datang
menemui Tio Ong, untuk memohon pikiran.
“Bangsa Mongolia itu tak tetap
tempat tinggalnya,” berkata Wanyen Lieh. “Mereka juga bertabiat kasar, gemar
mereka menghina yang lemah tetapi jerih terhadap yang kuat, untuk pergi ke
sana, kakak harus membawa satu pasukan tentera yang terpilih, supaya melihat
keangkeran kita, hatinya menjadi ciut. Dengan begitu, selanjutnya mereka tidak
akan berani berontak.”
Wanyen Yung Chi terima baik
nasehat itu, ia mengucapkan terima kasih, setelah omong-omong lagi sebentar ia
pamitan. Ketika ia hendak berbangkit, adik itu berkata kepadanya: “Hari ini ada
datang padaku satu mata-mata dari kerajaan Selatan.”
“Begitu?” tanya sang kakak,
heran, “Habis?”
“Dia datang untuk tumpangkan
diri padaku,” sahut adik itu. “Itulah alasannya belaka, sebenarnya ia hendak
mencari tahu keadaan kita bangsa Kim.”
“Kalau begitu, bunuh saja
padanya!” kata sang kakak.
“Tindakan itu tidak sempurna,”
Wanyen Lieh bilang. “Kakak tahu sendiri kecerdikan bangsa Selatan itu. Mungkin
mata-mata yang datang bukan dia satu orang, kalau dia ini dibunuh, yang lainnya
pasti bakal jadi waspada. Aku pikir hendak mohon kakak bawa ia pergi ke utara.”
“Bawa ia ke Utara?” Yung Chi
tanya.
“Ya” sahut Wanyen Lieh. “Di
sana, di padang gurun, di mana tidak ada lain orang, dengan cari satu alasan
kakak boleh hukum mati padanya. Di sini aku nanti layani lain-lainnya
mata-mata.”
“Bagus!” Yung Chi bertepuk tangan,
dia tertawa riang. “Sebentar kau kirim dia padaku, bilang saja dia hendak
dijadikan pengiringku.”
Sang adik menjadi girang.
“Baik!” katanya.
Sore itu Wanyen Lieh tidak
panggil Toan Thian Tek menghadap lagi padanya, hanya sambil dibekali uang perak
dua potong, dia suruh Thian Tek pergi ke istana Wei Wang untuk bantu pangeran
itu, katanya.
Thian Tek tidak tahu rencana
orang, ia menurut saja. Ia khawatir Lie Peng nanti buka rahasianya, ia tetap
ajak nyonya itu. Ia mempengaruhinya hingga si nyonya diam saja. Sedang si
nyonya ini masih mengharapkan datangnya pertolongan padanya……..
Berselang beberapa hari,
Wanyen Yung Chi berangkat ke Mongolia, dia ajak Thian Tek bersama.
Sementara itu perutnya Lie
Peng makin menjadi besar, perjalanan jauh dengan menunggang kuda, sangat
meletihkan dia. Tapi ia telah bertekad untuk membalas sakit hatinya, dia
kuatkan hati dan tubuhnya untuk lawan penderitaan ini. Di lain pihak ia jaga
diri baik-baik agar tentara Kim tidak tahu siapa dia. Demikian untuk beberapa
puluh hari, dia terus menderita.
Wanyen Yung Chi berangkat
bersama seribu serdadu pilihan yang semua kelihatan gagah dan mentereng. Dia
sengaja menunjuki pengaruh menurut nasihat Wanyen Lieh.
Pada suatu hari tibalah
barisan ini di satu tempat dekat dengan perkemahan Temuchin. Wanyen Yung Chi
lantas kirim belasan serdadunya untuk memberi warta terlebih dahulu tentang
tibanya itu sekalian menitahkan Temuchin datang menyambut utusan Kim.
Tatkala itu bulan kedelapan
untuk di Utara, hawa ada dingin luar biasa. kapan sang malam tiba, salju
beterbangan turun bagaikan lembaran-lembaran bunga. Di waktu begini, barisan
dari seribu serdadu pilihan dari bangsa Kim berjalan berlerot bagaikan seekor ular
panjang, berjalan di padang pasir yang seperti tak ada ujung pangkalnya.
Selagi pasukan ini berjalan
terus, sekonyong-konyong orang mendapat dengar suara berisik yang datangnya
dari arah utara, suara seperti satu pertempuran. Selagi Wanyen Yung Chi
terheran-heran, ia lantas tampak lari mendatangi satu pasukan kecil serdadu.
“Sam-ongya, lekas kasih
perintah untuk bersiap untuk berperang!” demikian kata perwiranya yang pimpin
pasukan kecil itu setibanya dia di depan pangeran Kim itu. Dialah Ouw See Houw.
Yung Chi menjadi kaget.
“Pasukan musuh manakah itu?” dia bertanya.
“Mana aku tahu?!” sahut si
perwira yang lantas saja mengatur barisannya. Ia keprak kudanya untuk maju ke
depan.
Hampir itu waktu, apa yang
disebutkan tentara musuh itu, sudah datang dekat sekali. Mereka itu terpencar
di segala penjuru, memenuhi bukit dan tegalan di hadapan angkatan perang Kim
itu.
Ouw See Houw ada satu panglima
yang berpengalaman yang diandalkan negeranya, sebaliknya Wanyen Yung Chi lemah,
dia tak dapat berpikir, maka itu kepala perang ini telah melancangi pangeran
itu untuk mengatur persiapan.
Segera juga terlihat suatu
keanehan. Tentara ‘musuh’ itu bukan terus menerjang pasukan Kim, hanya mereka
kabur keempat penjuru. Kapan Ouw See Houw sudah mengawasi sekian lama, ia dapat
kenyataan, itulah pasukan sisa yang habis kalah perang, yang telah membuang
panah dan tombak mereka, semua tidak menunggang kuda, roman mereka ketakutan.
Disamping itu di belakang mereka menerjang sejumlah pasukan berkuda, hingga
banyak serdadu yang kena terinjak-injak.
Ouw See Houw berlaku tabah. ia
beri perintah akan tenteranya mengurung pangeran mereka, untuk melindungi.
Mereka bersiap tanpa bersuara.
Tentera musuh yang kabur itu
melihat pasukan Kim, mereka lari tanpa berani datang mendekati, mereka kabur
jauh-jauh.
Tiba-tiba dari arah kiri
terdengar ramai suara terompet tanduk, di situ muncul satu pasukan serdadu,
yang terus menerjang tentera sisa. Tentera sisa ini berjumlah lebih besar tapi
mereka tidak berdaya terhadap pasukan berkuda ynag jauh lebih kecil itu.
Terpaksa untuk menyingkir, tentara sisa ini meluruk ke arah pasukan Kim.
“Lepaskan panah” Ouw See Houw
memberi titah.
Tentara sisa itu segera
diserang, sejumlah di antaranya lantas rubuh, akan tetapi jumlah mereka banyak,
mereka pun lagi ketakutan, mereka menerobos terus. Dengan sendirinya mereka
jadi bertempur sama tentara Kim. Hebat akibatnya untuk tentara Kim itu, yang
berjumlah lebih sedikit. Kekalutan sudah lantas terjadi, musuh dan kawan
bercampur menjadi satu, bergumul.
Ouw See Houw kewalahan, maka
bersama sejumlah serdadu ia lindungi Wanyen Yung Chi mundur ke arah selatan.