Hari sudah terang ketika Oey Yong dan Kwee Ceng kembali ke Gak Yang
Lauw. Di sana mereka mendapatkan kuda mereka, sepasang burung rajawali
dan burung hiat-niauw menantikan mereka. Semua binatang itu nampak
girang bertemu dengan majikan mereka.
Oey Yong memandang jauh ke timur, ia menyaksikan sang Batara Surya
seperti meloncat ke luar dari gelombang telaga Tong Ting Ouw. Sinar
fajar itu sangat indah dan menawan hati.
"Pemandangan begini indah, jangan kita melewatkan," kata si nona kemudian, tertawa, "Engko Ceng, mari kita naik ke atas!"
Kwee Ceng menurut. Tapi kapan mereka tiba di atas dan ingat kejadian
kemarinnya, pengalaman itu membuatnya mereka bergidik sendiri. Kejadian
itu sangat berbahaya. Hanya keindahan alam membuat mereka dengan cepat
melupakan kejadian kemarin.
Belum lama lagi mereka minum arak, mendadak Kwee Ceng melihat air muka si nona berubah, agaknya ia bergusar.
"Engko Ceng, kau jahat!" katanya tiba-tiba.
Kwee Ceng kaget, "Kenapa?" tanyannya heran.
"Kau tahu sendiri!"
Kwee Ceng berpikir tetapi ia tidak ingat apa-apa.
"Yong-jie yang baik, kau jelaskanlah," pintanya.
"Baik," menyahut si nona. "Sekarang aku tanya kau! Tadi malam kita
didesak ke jurang, jiwa kita terancam bahaya. Kenapa kau melemparkan
aku? Apakah kau kira kalau kau mati aku bisa hidup? Apakah kamu masih
belum tahu hatiku?"
Habis itu si nona menangis, air matanya jatuh ke dalam araknya.
Kwee Ceng terharu mendapatkan orang demikian mencinta padanya. Ia
mengulur tangannya, akan mencekal erat-erat tangan kanan nona itu. Tidak
dapat ia mengucapkan sesuatu.
Oey Yong menghela napas perlahan, melegakan hatinya. Ia sebenarnya
hendak membuka mulutnya ketika ia mendengar tindakan kaki di tangga,
lalu terlihat nongolnya satu kepala orang. Keduanya terkejut. Itulah
Tiat Ciang Siu-siang-piauw Khiu Cian Jin.
Kwee Ceng segera melompat bangun, akan menghalangi di depan si nona. Ia khawatir orang tua itu nanti menyerang.
Tapi Khiu Cian Jin bukannya menyerang, ia hanya bersenyum, tangannya
diangkat, untuk menggapai, setelah mana dia memutar tubuhnya, untuk
lantas turun pula. Kelihatan nyata orang jenaka tetapi dalam keadaan
ketakutan…………
"Dia takut pada kita, inilah aneh!" berkata Oey Yong. "Nanti aku lihat."
Tanpa menanti jawabannya, si nona lantas lari turun.
Kwee Ceng lekas membayar uang arak, lekas-lekas ia menyusul. Tapi
setibanya di bawah, ia tidak mendapatkan Khiu Cian Jin atau Oey Yong. Ia
menjadi kaget dan berkhawatir. Tentu sekali ia takut nona itu celaka di
tangannya si Tangan Besi. Maka ia lantas memanggil-manggil, "Yong-jie!
Yong-jie! Kau di mana?"
Oey Yong mendengar panggilannya Kwee Ceng itu tetapi ia tidak
menyahutinya. Ia lagi menguntit Khiu Cian Jin, kalau ia bersuara, orang
akan mengetahui dirinya lagi dibayangi. Ia menguntit terus.
Ketika mereka berjalan di pinggir sebuah rumah besar, Oey Yong sembunyi
di alingan tembok di pojok utara. Ia hendak menguntit terus setelah si
orang tua jalan sedikit jauh. Akan tetapi Khiu Cian Jin seorang cerdik,
begitu ia mendengar suara Kwee Ceng, ia menduga si nona lagi
mengikutinya. Maka setelah menikung di ujung tembok, ia juga
menyembunyikan dirinya.
Dengan begitu, dua-dua mereka sama-sama bersembunyi. Dengan begitu,
sama-sama mereka berdiam. Yang satu menantikan yang lain, yang lain
menunggui yang satu. Selang sekian lama, karena dua-duanya tetap
bersembunyi, mereka ingin melihat. Keduanya menongolkan kepala mereka.
Apa mau, waktunya tepat, bareng sekali. Maka mata mereka bentrok
sinarnya satu dengan lain. Nyatanya mereka bersembunyi dekat satu dengan
lain, satu di pojok sana, satu di pojok lain - jarak di antara mereka
tidak ada setengah kaki! Tentu sekali, kedua-duanya menjadi sama
kagetnya.
Setelah menyaksikan peristiwa di Kun San, Oey Yong jeri terhadap orang
tua itu, yang sekian lama ia mengiranya seorang penipu besar, yang cuma
namanya kesohor tapi gunanya tidak, tidak tahunya, dia sangat lihay.
Khiu Cian Jin sebaliknya jeri terhadap si nona, karena sudah beberapa
kali dia bercelaka di tangan si nona itu. Maka, setelah sama-sama
berseru kaget, sama-sama juga mereka menyingkir masing-masing!
Oey Yong tidak puas. Segera ia kembali, untuk menguntit pula. Ia pikir
jalan memutari rumah besar itu. Karena ia khawatir Khiu Cian Jin sudah
pergi jauh, ia bertindak cepat. Ia ingat tiba lebih dahulu di ujung
tembok timur, untuk dapat menguntit terus.
Juga Khiu Cian Jin berpikir seperti si nona, ia pun jalan memutar
seperti nona itu. Tidak heran kalau lekas juga mereka jadi bersamplokan
pula! Sekarang mereka bertemu di tembok menghadap ke selatan.
Oey Yong sudah lantas berpikir, "Jikalau aku memutar tubuh dan pergi
dari sini, bisa-bisa nanti ia membokong punggungku! Dia sangat lihay,
mana bisa aku mengelit diri?" Maka itu, ia lantas tersenyum. Ia berkata,
"Khiu Locianpwee, dunia ini benar-benar sempit! Kembali kita bertemu di
sini…!" Sambil berkata begitu, si nona pun berpikir, "Baiklah aku
mengulur tempo! Aku mesti menantikan engko Ceng, itu waktu aku tak usah
takut lagi………."
Khiu Cian Jin juga sama berpikir seperti si nona. Dia tertawa dan
berkata, "Itu hari kita berpisah di Lim-an, siapa sangka sekarang kita
bertemu pula di sini. Apakah kau banyak baik, nona?"
Oey Yong heran tak kepalang.
"Bangsat tua, kau ngaco belo!" katanya di dalam hatinya. "Terang-terang
tadi malam kita bertemu di Kun San, sekarang kau menyebut-nyebut tentang
pertempuan di Lim-an itu! Baik, biarlah kau ngoceh tidak karuan! Aku
ada membuat ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat, kenapa aku tidak mau
menghajar dia sebelum dia sadar?" Maka ia lantas berteriak nyaring,
"Engko Ceng, kau hajar punggungnya!"
Khiu Cian Jin kaget. Ia mengira Kwee Ceng muncul di belakangnya. Ia lantas menoleh.
Oey Yong sangat sebat, berbareng sama teriakannya itu, tangannya mengeluarkan tongkatnya, dengan apa ia terus menyapu ke bawah!
Juga Khiu Cian Jin sangat licin. Ia menoleh dengan cepat, ia tidak
melihat Kwee Ceng, lantas ia insyaf bahwa ia diperdayakan. Ia pun
mendengar bersiurnya angin, maka ia lantas berlompat. Maka bebaslah ia
dari sapuan itu. Akan tetapi Oey Yong tidak sudi mengasih hati. Gagal
sapuannya, ia mengulanginya. Dan ia mengulanginya terus, berulang-ulang,
untuk membikin orang tak dapat bernapas.
Bukan main takutnya Khiu Cian Jin. Dengan terpaksa, ia berlompatan.
Tidak ada ketikanya untuk melesat jauh, guna terus melarikan diri.
Setelah tujuh atau delapan kali lompat-lompatan terus, betis kirinya
kena juga oleh ujung tongkat, tidak tempo lagi, dia menjerit mengaduh
dan tubuhnya terbanting.
"Tahan! Aku hendak bicara!" ia berkata, tangannya diangkat.
Oey Yong menghentikan serangannya, ia mengawasi sambil tertawa geli,
tetapi begitu lekas orang bangun sambil berlompat, tidak menanti kaki
orang itu mengenai tanah, ia menyapu pula. Di dalam keadaan seperti itu,
Khiu Cian Jin tidak dapat berkelit lagi, maka lagi sekali ia terguling
memegang tanah. Ia bandel sekali, setiap kali jatuh, ia bangun sambil
berlompat, maka itu si nona pun, saban orang berlompat dia membarengi
menyapu. Dengan demikian, enam kali orang she Khiu itu jatuh bangun.
Habis itu, Cian Jin terus mendekam di tanah. Ia tahu percuma ia berlompat bangun. Ia pun tidak berani berkutik.
"Kau berpura-pura mampus?" kata Oey Yong tertawa.
Khiu Cian Jin menyahuti sambil ia berlompat bangun, hanya kali ini ia
berlompat seraya menarik tali celananya, hingga tali itu putus, sambil
berbuat begitu, ia berteriak-teriak, "Kau mau pergi atau tidak? Hendak
aku melepaskan tanganku!"
Nona Oey melengak. Ia tidak menyangka bahwa seorang ketua partai mau
main gila seperti itu. Tentu sekali ia takut orang membuktikan
ancamannya, itu artinya Khiu Cian Jin meloloskan pakaiannya, maka
terpaksa sambil berludah ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi. Ia
lantas mendengar suara orang tertawa kegirangan, disusul sama suara
tindakan kaki. Ketika ia mencoba menengok, ia melihat Khiu Cian Jin
masih memegangi celananya itu, bahkan sekarang ia lari hendak mengejar.
Nona ini mendongkol berbareng merasa lucu, tetapi ia terpaksa lekas-lekas lari.
Khiu Cian Jin belum lari jauh ketika ia memikir sudahlah cukup ia
mengusir nona itu, maka hendak ia berhenti mengejar, tetapi justru itu,
Kwee Ceng muncul dari ujung rumah, ia lantas maju menghalang, kedua
tangannya digeraki, tangan kirinya menjaga dada, tangan kanannya
diajukan.
"Celaka!" berseru Khiu Cian Jin. Ia lantas berhenti mengejar.
"Hajar dia, engko Ceng!" Oey Yong kata. "Jangan ladeni ocehannya!"
Kwee Ceng sudah lantas bersiap. Ia tahu Khiu Cian Jin sebagai pendusta,
tapi di Kun San ia telah melihat ketangguhan orang, dia tidak mau
memandang enteng.
"Eh, anak-anak, kau dengar kata-katanya kakekmu!" berkata Khiu Cian Jin
sambil ia tetap memegangi celananya. "Selama beberapa hari ini kakekmu
termaha gegares, dia menjadi mulas perutnya. Sekarang pun kakekmu mau
buang air besar…"
"Engko Ceng, hajar dia!" berkata Oey Yong yang sendirinya tak berani maju bahkan ia mundur.
"Aku tahu hatimu, anak-anak," berkata pula Khiu Cian Jin. "Jikalau kamu
tidak diberi ketika akan menyaksikan kepandaiaan kakekmu, kamu tentu
tidak puas, kamu tidak suka menyerah, maka sayang sekali sekarang justru
perut kakekmu lagi sakit, semua yang ada di dalam perutnya mau melonjor
ke luar. Baiklah anak-anak yang manis, aku beri tempo padamu. Lagi
tujuh hari maka kakekmu akan menantikan kamu di kaki gunung Tiat Ciang
San! Beranikah kamu pergi ke sana?"
Oey Yong telah menyiapkan seraup jarumnya, hendak menyerang apabila
saatnya telah tiba, akan tetapi ia mendengar orang menyebut nana gunung
Tiat Ciang Pang, mendadak ia ingat huruf-huruf dalam gambar
peninggalannya Kiok Leng Hong, yang bunyinya "Tiat Ciang San-hee" atau
"di bawah gunung Tiat Ciang San" - gunung Tangan Besi. Maka ia lantas
menyahuti, "Baiklah, biarnya tempat itu mirip kedung naga atau gua
harimau, tentu kami nanti pergikan! Di mana adanya Tiat Ciang San itu?"
"Dari sini kau pergi ke barat," berkata Khiu Cian in menyahuti,
tangannya menunjuk, kamu nanti melintasi Siang-tek, Sin-cu dan sungai
Goan Kang. Kamu ikutilah sungai itu mudik. Nanti kamu tiba di Louw-kee
dan Sin-kee. Di antara itu ada sebuah gunung tinggi yang berupa seperti
lima jari menunjuk ke langit, nah itulah dia gunung Tiat Ciang San.
Gunung itu sangat berbahaya, kakekmu sendiri sangat lihay, maka itu
kedua bocah, umpama kata kamu takut, baiklah sekarang saja kamu mohon
ampun dari kakekmu, lantas bolehlah tak usah kamu pergi ke sana!"
Oey Yong mendengar keterangan "seperti lima jari menunjuk ke langit", ia jadi bertambah girang.
"Baiklah!" ia memberikan jawabannya, "Sekarang aku memberi kepastian, di
dalam tempo tujuh hari kami nanti pergi mengunjungi gunungmu itu!"
Khiu Cian Jin mengangguk-angguk, atau mendadak ia berteriak pula,
"Celaka!" berulangkali dan tanpa membilang apa-apa lagi, ia lari keras
ke barat!
Kwee Ceng tidak mengubar, bersama Oey Yong ia mengawasi sampai orang
telah pergi jauh. Kemudian ia kata pada si nona, "Yong-jie, ada satu hal
yang bagiku benar-benar tidak jelas. Cobalah kau yang menerangkannya."
"Apakah itu?" Oey Yong.
"Ini cianpwee she Khiu sangat lihay, kenapa dia gemar sekali
memperdayakan orang?" Kwee Ceng mengutarakan keheranannya. "Kau lihat
sendiri, ada kalanya dia berpura-pura berkepandaian sangat rendah. Di
Kwie-in-chung dia telah meninju dadaku, coba dia mengeluarkan tangannya
seperti tadi malam, mana bisa jiwaku bisa hidup sampai sekarang ini?
Apakah dia berlagak gila saja? Atau apakah dia ada mengundang maksud
yang lain?"
Oey Yong berpikir, ia menggigit jari tangannya.
"Dalam hal ini, aku juga sangat tidak mengerti," sahutnya sesaat
kemudian. "Tadi aku serang dia berulang kali, dia selalu roboh tak
berdaya sama sekali, dia tidak mampu membalas menyerang, bahkan dia
lantas main gila. Apa mungkin dia juga memperdayakan orang di waktu dia
menekuk melengkung tongkat baja?"
Kwee Ceng menggeleng kepala.
"Dia telah meremas tangannya Lou Toangloo," dia menambahkan. "Ketika ia
menyambuti seranganku dengan tipu silat Kek San Tah Gu, itulah ilmu
sejati. Ilmu itu tak dapat dipalsukan……"
Oey Yong lantas membungkuk, dengan tusuk kondenya, ia menggurat-gurat tanah, lalu selang sesaat, ia menghela napas.
"Benar-benar aku tidak dapat menerka tua bangka itu lagi memberi
pertunjukan apa," katanya. "Biarlah, mari kita pergi ke Tiat Ciang San,
setibanya di sana pasti kita akan mendapatkan pemecahannya."
"Buat apa kita pergi ke Tiat Ciang San?" tanya Kwee Ceng, bersangsi.
"Benar urusan kita telah selesai tetapi kita harus mencari suhu. Tua
bangka itu pandai main gila, perlu apa kita menangkapnya benar-benar?"
"Engko Ceng, mari aku tanya kau," kata si nona. "Bukankah gambar yang
ayahku berikan padamu telah basah dan huruf-huruf apakah yang telah kau
lihat di dalam situ?"
"Surat itu telah rusak sampai artinya tak dapat ditangkap," kata Kwee Ceng sambil menggoyangi kepalanya.
"Habis, apakah kau tidak memikirkannya?" tanya pula Oey Yong tertawa.
Kwee Ceng benar-benar tidak dapat memikir atau menduga.
"Ah, Yong-jie yang baik," katanya. "Kau tentu telah dapat memikir sesuatu, maka lekaslah kau jelaskan itu padaku!"
Oey Yong lantas menggurat pula di tanah. Ia menulis huruf-huruf di
gambar, yang ia telah ingat dengan baik. Ia berkata, "Di baris pertama
itu, yang kurang mestinya satu huruf Bu. Kalau keempat huruf itu
lengkap, itu mestinya 'Surat wasiat Bu Bok.' Sekarang baris yang kedua.
Sekian lama aku tidak dapat pikir itu, sampai tadi si tua bangka
menyebutnya. Menurut dugaanku, huruf itu mestinya 'san' atau 'hong',
ialah gunung atau puncak…….."
Kwee Ceng lantas membaca, "Jadinya, surat wasiat Bu Bok di gunung Tiat
Ciang San." Ia lantas bertepuk tangan, terus ia berseru, "Bagus!
Sekarang mari kita lekas pergi ke sana! Tiat Ciang Pang bersekongkol
sama bangsa Kim, mungkin sekali surat wasiat Gak Hui itu mereka serahkan
pada Wanyen Lieh! Hanya tinggal yang dua baris lagi…"
Oey Yong tertawa.
"Kau sendiri tidak mau menggunakan otakmu, kau paling bisa mendesak
orang," ia kata. "Aku rasa, baris yang ketiga itu harus dicari dari
kata-katanya si tua bangka bahwa gunung itu mirip lima jeriji tangan.
Bukankah itu berbunyi 'dibawah puncak jari tengah'?"
Kembali Kwee Ceng menepuk tangan.
"Yong-jie, kau sungguh cerdik, kau cerdik!" ia memuji pula. "Sekarang tinggal baris keempat, yang keempat….."
Oey Yong berdiam, ia berpikir.
"Ini, inilah sukar….." sahutnya. "….yang kedua apakah itu?" Ia
memiringkan kepalanya, hingga rambutnya turun memain. "Sudahlah, nanti
saja kita pikirkan pula. Sekarang kita pergi dulu."
Sampai di situ, mereka tidak berayal lagi. Maka mereka lantas cari kuda
dan burung mereka, terus mereka mulai dengan perjalanan ke arah barat
itu, menurut petunjuk Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Cian Jin yang aneh
itu, yang sebentar temberang dan jenaka, kemudian kosen benar-benar,
lalu main memutuskan tali pinggang…
Mula-mula mereka melewatkan Siang-tek, lalu melintasi Tho-goan, sampai
di Goan Kang, atau Goan-leng, mereka jalan ke hulu, dari sini mereka
benar tiba di Louw-kee. Di sini mereka tanya-tanya orang di mana adanya
gunung Tiat Ciang San. Mereka mendapat jawaban yang berupa gelengan
kepala. Mereka menjadi heran, hampir mereka putus asa. Maka terpaksa
mereka pergi mencari rumah penginapan.
Malam itu Oey Yong pasang omong dengan pelayan yang bicara banyak,
tetapi tidak pernah menyebutkan Tiat Ciang San. Maka kemudian si nona
kata, "Semua tempat yang kau sebutkan itu ada tempat-tempat yang umum,
dasar Louw-kee tempat kecil, di sini tidak ada gunung dan airnya yang
bagus!"
Dengan "gunung dan air", si nona maksudkan pemandangan alam yang indah.
Kata-kata itu yang mengandung hinaan, membikin pelayan itu tak puas.
"Meski pun Louw-kee tempat kecil," katanya, "Tetapi pemandangan alam di
gunung Kauw Jiauw San mana ada yang dapat menandinginya?"
Oey Yong ketarik sama nama gunung itu, yang artinya gunung Kuku Kera.
"Di mana letaknya Kauw Jiauw San itu?" ia tanya.
"Maaf," berkata pelayan itu yang tidak menjawab, hanya ia mengundurkan diri.
Oey Yong memburu, di ambang pintu, ia menjambak punggung orang, untuk
menarik dia itu kembali ke dalam kamar. Ia terus merogoh ke luar
sepotong perak dan meletaki itu di atas meja.
"Kau omong biar jelas, uang ini untukmu," ia kata.
Ketarik hatinya pelayan ini, ia meraba-raba uang perak itu.
"Perak begini besar?" katanya.
"Ya," sahut Oey Yong bersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, aku nanti menjelaskannya," pelayan itu lantas berkata
perlahan. "Cuma aku minta jangan jiewi pergi ke sana. Di atas gunung itu
ada berdiam sekawanan hantu yang jahat, mereka juga memelihara banyak
ular berbisa. Siapa mendekati gunung itu lima lie, jangan harap jiwanya
selamat!"
Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang, mereka saling mengangguk.
"Kauw Jiauw San itu terdiri dari lima puncak, yang semuanya menjulang ke
langit mirip tangan kera, bukankah?" kemudian si nona tanya.
Pelayan itu girang. "Ah, kiranya nona sudah tahu!" katanya. "Jadi itulah
bukan aku yang menjelaskannya. Lima puncak itu memang luar biasa
sekali."
"Kenapa begitu?" tanya Kwee Ceng.
"Lima puncak itu berdiri rapat seperti lima jari tangan," menerangkan si
pelayan. "Puncak yang di tengah ialah puncak yang paling tinggi.
Puncak-puncak yang lainnya, di kedua sisinya lebih rendah. Yang aneh
ialah setiap puncak itu ada garisnya, mirip sama tiga tekukan jari
tangan."
Mendengar itu, Oey Yong berjingkrak-jingkrak sambil berseru, "Yang kedua! Yang kedua!"
"Benar! Benar!" Kwee Ceng pun berseru kegirangan.
"Engko Ceng mari kita pergi!" berkata Oey Yong.
"Tempat itu terpisah dari sini tak ada enampuluh lie, dengan menunggang
kuda merah, sebentar saja kita bisa sampai di sana," berkata Kwee Ceng.
"Aku pikir, baiklah besok saja kita pergi berkunjung ke sana."
Si nona tertawa.
"Siapa yang mau membuat kunjungan?" katanya. "Kita mencuri buku!"
"Ah!" seru Kwee Ceng, yang baru sadar. "Kenapa aku tolol sekali, aku tidak dapat memikir sampai ke situ…!"
Dua orang ini tidak mau membikin orang penginapan yang mengetahui
perbuatan mereka, mereka ke luar dengan diam-diam dengan melompati
jendela. Dengan hati-hati juga mereka menuntun kuda mereka. Lalu, dengan
menuruti petunjuk pelayan, mereka berangkat menuju ke arah tenggara.
Jalanan ada jalanan pengunungan dan rumputnya tinggi-tinggi, jalanan
sukar, tetapi kuda kecil itu dapat melalui itu. Di dalam tempo satu jam,
sampailah mereka di kaki gunung.
Terlihat jelas lima puncak gunung, yang mirip dengan lima jari tangan berdiri tegak, terutama puncak yang di tengah-tengah itu.
"Puncak ini sama benar dengan puncak di dalam gambar," berkata Kwee Ceng
setelah ia mengawasi sekian lama. "Lihat di puncak itu, bukankah itu
pohon cemara?"
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti, "Ya, hanya di sana kurang seorang jenderal yang lagi bersilat dengan pedang!"
Lantas mereka meninggalkan kuda mereka dan burung rajawali di kaki
gunung itu, mereka jalan memutar ke belakang gunung. Di sini, di mana
tidak tertampak ada orang lain, mereka mulai mendaki dengan berjalan
cepat bagaikan lari. Beberapa lie telah dilewatkan, jalanan menikung,
lalu menuju ke barat. Mereka maju terus. Di sini jalan selanjutnya
berliku-liku sampai di depan mereka, mereka tampak pohon cemara melulu.
Mereka berhenti sebentar, mereka bersangsi, hingga mereka saling
bertanya baik mereka mendaki terus atau melihat-lihat dulu. Selagi
mereka berbicara, si burung merah molos dari tangan baju Oey Yong, terus
ia terbang ke dalam rimba.
Si nona sangat menyayangi burungnya itu, sambil menggapai kepada Kwee
Ceng, ia lari ke arah rimba itu, untuk menyusul burungnya. Hanya ia
menjadi bingung ketika lekas sekali ia kehilangan hiat-niauw yang
terbangnya sangat cepat. Terpaksa ia maju terus dengan Kwee Ceng
mengikuti.
Sekira satu lie jauhnya, mereka tiba di satu tempat di depan mana ada
cahaya api. Keduanya saling memberi isyarat, setelah mana mereka maju
dengan perlahan-lahan, enteng tindakannya. Baru beberapa tindak,
mendadak dari samping jalanan, di mana ada pohon-pohon besar, dua orang
berlompat ke luar, untuk menghadang di muka mereka. Dua orang itu
sama-sama mengenakan pakaian hitam dan memegang senjata tajam. Hanya
mereka itu tidak membuka suara.
Oey Yong lantas berpikir. Ia tahu, kalau mereka bertempur, sulit untuk
melakukan pencurian "buku", ialah surat wasiatnya Gak Hui itu. Ia cerdik
sekali. Maka segera ia mengeluarkan tiat-siang, ialah tangan besi dari
Khiu Cian in. Ia mengangkat tinggi-tinggi, terus ia bertindak tanpa
membuka suara seperti dua orang itu.
Kapan kedua orang berpakaian hitam itu menampak tangan besi tersebut,
mereka terkejut, dengan lekas mereka memberi hormat, lalu mereka
menyingkir ke pinggiran untuk memberi jalan.
Oey Yong berlaku sebat luar biasa. Tepat orang mundur, tepat ia
menyerang. Dengan tongkatnya, dengan dua gerakan saling susul, ia
menotok kedua orang itu, hingga keduanya roboh tak berdaya lagi, hingga
gampang saja mereka didupak mencelat ke dalam gompolan rumput. Habis
itu, dengan cepat tetapi berhati-hati, mereka maju pula, menghampirkan
api yang tadi terlihat samar-samar.
Nyatalah itu ada sebuah rumah batu dengan lima ruang dan api munculnya
dari dua ruang timur dan barat. Mereka menghamprkan ruang barat itu.
Segera hidung mereka menangkap bau amis. Tapi mereka tidak
menghiraukannya, mereka lantas mengintai di jendela.
Di dalam kamar itu ada sebuah perapian besar, yang apinya menyala
marong. Di atas situ ada sebuah kuali. Dua kacung menanti di samping
perapian itu, yang satunya lagi menolak pompa anginnya, yang lainnya
tengah melemparkan seekor ular yang ia jumput dari dalam karung, di
lemparkan ke dalam kuali itu, di depan kuali ada seorang lain, seorang
tua yang duduk numprah dengan mata dimeramkan, dengan menggunakan tenaga
besar, ia menghisap menyedot uap yang mengepul dari kuali itu, uap mana
teranglah berhawa panas. Orang tua itu mengenakan baju kuning pendek.
Dan dia bukan orang lain dari pada Khiu Cian Jin.
Selagi ia menyedot hawa masakan ular itu, kepala Khiu Cian Jin
mengeluarkan hawa panas yang nampak bagaikan uap juga, sedang kedua
tangannya yang diangkat tinggi, sepuluh jerijinya pun terlihat
mengeluarkan uap serupa. Habis itu, mendadak ia bangun berdiri, kedua
tangannya itu dimasuki ke dalam kuali. Di waktu begitu, maka si bocah
tukang kipas lantas mengompa angin dengan luar biasa kuat hingga ia
memandikan keringat pada dirinya.
Khiu Cian Jin membiarkan tangannya berada di dalam godokan ular itu,
sampai rasa panasnya sudah tak tertahankan, baru ia menarik kedua
tangannya itu. Setelah menarik, ia menyampok sebuah kantung kain yang
tergantung di dalam ruangan itu, sampokannya itu menerbitkan suara
nyaring, tetapi kantungnya sendiri tidak bergoyang.
Kwee Ceng heran. Ia tahu betul isinya kantung itu mestinya pasir dan isi
itu tak ada satu batok. Yang mengherankan ialah kantung itu tersampok
tanpa bergoyang itu. Itulah menandakan lihaynya ilmu silat orang tua
itu.
Oey Yong sebaliknya dari pada engko Cengnya itu. Ia tetap menganggap si
orang tak lain lagi bersandiwara, untuk mengelabui orang. Coba ia tidak
lagi memikir untuk mencuri surat wasiat, pastilah ia hendak menjengeki
orang tua itu.
Latihannya Khiu Cian Jin diulangi dan diulangi lagi. Habis menyampok
kantung, ia masuki pula tangannya ke dalam kuali panas itu, habis itu,
ia mengangkat lagi tangannya itu dan menyampok kembali kantung pasir.
Demikian seterusnya.
Setelah mengintai sekian lama, Oey Yong dan Kwee Ceng pergi ke kamar
tidur. Di sini mereka menyaksikan pula hal yang mengejutkan mereka.
Sebab disini mereka menemukan dua orang yang mereka kenal baik, ialah Yo
Kang bersama Bok Liam Cu. Sepasang muda mudi itu lagi bicara dengan
asyik, atau lebih benar, Yo Kang alias Wanyen Kang lagi membujuki si
nona untuk mereka menikah siang-siang. Manis sekali bicaranya putra dari
almarhum Yo Tiat Sim itu. Sebaliknya nona Bok bersikeras meminta si
pemuda lebih dulu membalaskan sakit hatinya terhadap Wanyen Lieh, supaya
pangeran bangsa Kim itu dibunuh mati, untuk melampiaskan dendaman ayah
dan ibunya. Katanya dengan begitu baru ia puas dan hatinya akan menjadi
lega dan senang.
"Ah, adik yang baik, mengapa kau tidak dapat melihat kenyataan?" kata Yo Kang manis.
"Kenapa begitu?" Liam Cu tanya heran.
"Memang! Wanyen Lieh itu terjaga kuat sekali, aku seorang diri, mana
dapat aku membunuh dia begitu gampang, seperti kau menginginkannya?"
menjawab Yo Kang. "Lagiannya kalau aku bersendirian saja, mana bisa aku
gampang bekerja? Tidak demikian setelah kau menjadi istriku. Nanti aku
ajak kau menghadap dia lalu dengan mendadak kita bekerja berbareng,
menyerang padanya selagi dia tidak bersiaga. Tidakkah dengan begitu
maksud kita dapat tercapai?"
Alasan itu kuat, Bok Liam Cu lantas tunduk. Di antara sinar lampu,
kelihatan nyata kedua belah pipinya yang merah, menandakan
kecantikannya.
Yo Kang melihat hati orang tertarik, ia lantas mencekal tangan orang yang kiri, yang ia usap-usap.
Menampak demikian macam, Oey Yong kehilangan kesabarannya. Ia menganggap
Liam Cu terancam bahaya. Dengan sekonyong-konyong ia berseru, "Enci
Bok, jangan kau percaya obrolannya si jahanam!"
Yo Kang kaget sekali, segera ia meniup api hingga padam, setelah mana,
dengan kedua tangannya, ia memeluk Liam Cu, kemudian, seperti disengaja
seperti bukan, ia menutupi kedua kupingnya nona itu.
Di luar kamar, di saat Oey Yong hendak membuka suara pula, ia segera
mendengar bentakan yang bengis, "Siapa yang berani lancang mendaki Tiat
Cang San?!" Itulah suaranya seorang tua.
Oey Yong segera berpaling, demikian juga Kwee Ceng. Di situ ada sinar
rembulan, maka tertampak nyata si penegur adalah Khiu Cian Jin.
Sebaliknya orang she Khiu ini pun terperanjat akan mengenali sepasang
muda-mudi itu.
"Khiu Looyacu!" berkata Oey Yong sambil tertawa. Ia berlaku tabah dan
manis. "Aku datang ke mari untuk memberi selamat! Bukankah aku tidak
menyalahi janji kita akan bertemu dalam tempo tujuh hari?"
"Janji bertemu tujuh hari?" berseru Khiu Cian Jin. "Ngaco belo!"
"Ah, ah!" Oey Yong tertawa pula. "Kenapakah baru sekejapan mata saja,
kau sudah lantas lupa? Eh, ya, apakah perutmu yang mulas sudah sembuh ke
akar-akarnya?"
Nampaknya orang tua itu sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi, dalam
murkanya, ia berseru panjang, lalu kedua tangannya melayang ke pundak
kiri dan kanan si nona.
Oey Yong yang tertawa haha-hihi, ia tidak memperdulikan ancaman itu, ia
tidak mau menangkis atau berkelit. Ia sengaja hendak membikin tangan
orang itu terkena duri baju lapis mustikanya. Akan tetapi ia segera
mendengar suara kaget dari Kwee Ceng, "Yong-jie, minggir!" Menyusul itu,
ia mendengar sambaran angin. Ia tahu tentulah pemuda itu hendak
menyerang, untuk menyambuti tangan orang. Tapi ia terlambat. Di saat ia
memikir untuk berkelit, hidungnya telah tercium bau amis, menyusul mana
kedua pundaknya terasa terbentur tenaga keras, maka tanpa merasa,
tubuhnya terhuyung ke belakang dan belum lagi tubuhnya jatuh ke tanah,
ia telah tak sadarkan diri.
Akan tetapi Khiu Cian Jin telah terluka pada kedua tangannya itu, yang
terus mengucurkan darah, hanya ketika serangan Kwee Ceng sampai, ia
masih sempat mengelit tangannya itu, yang terus diputar balik, untuk
dipakai membalas menyerang. Maka bentroklah tangan mereka, hingga
keduanya sama-sama mundur tiga tindak. Itulah menunjuki ketangguhan
mereka berimbang.
Kwee Ceng mengkhawatirkan Oey Yong, tidak mau ia melayani lebih jauh. Ia
berlompat kepada kekasihnya itu, sambil membungkuk, ia menyambar tubuh
orang buat diangkat dan terus dibawa lari. Hanya hampir berbareng dengan
itu, ia merasakan angin menyambar punggungnya. Ia tahu itulah
penyerangan dari lawan. Dengan terpaksa, ia menangkis sambil menyerang.
Ia memeluk Oey Yong dengan tangan kiri, tanpa memutar tubuh, ia
menyerang ke belakang dengan tangan kanannya. Itulah jurus" Sin liong pa
bwee", atau "Naga sakti menggoyang ekor". Itu pula tipu silat dari Hang
Liong Sip-pat Ciang - Delapanbelas Tangan menakluki Naga - tipu silat
yang diperantikan menolong diri dari ancaman bahaya. Dalam keadaan
kesusu itu, ia menggunakan tenaga berlipat ganda.
Kapan Khiu Cian Jin merasakan tangannya bentrok pula sama si anak muda,
tubuhnya terhuyung di luar kehendaknya, berbareng dengan mana rasa sakit
di tangannya itu nelusup hingga ke ulu hatinya. Sekarang baru ia ingat
bahwa di duri bajunya Oey Yong ada racunnya, maka lekas-lekas ia
mengangkat kedua tangannya, melihat di bawah terangnya sinar bulan. Ia
tahu tangannya sendiri mengandung racun, ia menduga racun musuh juga
lihay, kalau ia terluka, mungkin lukanya hebat. Karena itu, ia menjadi
khawatir.
Kwee Ceng menggunakan ketikanya selagi Khiu Cian Jin memeriksa lukanya
itu, ia memondong terus Oey Yong untuk dibawa kabur, tetapi ia bukannya
lari turun gunung hanya sebaliknya mendaki puncak. Ia baru lari beberapa
puluh tindak atau ia mendengar teriakan-teriakan riuh di belakangnya,
ketika ia menoleh, ia melihat ia lagi dikejar oleh banyak sekali orang
yang berpakaian hitam yang pada membawa obor yang diangkat
tinggi-tinggi. Karena tidak ada jalan lain, ia terpaksa lari naik terus.
Sembari lari ia masih mengambil kesempatan memegang hidung si nona.
Untuk kagetnya, ia merasakan orang tidak bernapas.
"Yong-jie, Yong-jie!" ia memanggil, hatinya cemas. Tapi ia tidak
memperoleh jawaban, hingga ia menjadi bertambah khawatir, hingga ia
menjadi bingung, mendengar teriakan-teriakan riuh di belakangnya, ayal
sedikit, pengejar-pengejarnya itu telah mendatangi dekat. Di antara
mereka itu ada Khiu Cian Jin. Hanya jumlah mereka ini tinggal belasan.
Tetapi itu menandakan kawanan pengejar itu lihay semua. Sebab siapa
tidak pandai ilmu enteng tubuh dan larinya tak keras, dia ketinggalan
jauh di belakang.
"Jikalau aku seorang diri, tak sukar untuk aku nerobos turun dari sini,"
kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Sekarang aku lagi membawa-bawa
Yong-jie yang lagi terluka parah ini…."
Di dalam keadaan mogok seperti itu, tidak ada pilihan lagi untuk pemuda
ini. Dengan terpaksa ia lari naik terus. Ia sekarang tidak lagi memilih
jalanan, ia hanya lari dan berlompat lempang langsung ke atas, ia
berpegangan, melapai dengan sebelah tangan. Untung untuknya, selama di
gurun pasir, ia telah melatih diri dalam hal mendaki gunung. Karena ia
pun naik lempang, maka tidak lama, dapat ia meninggalkan pula kawanan
pengejarnya itu.
Kembali Kwee Ceng memeriksa Oey Yong. Ia meraba si nona. Sekarang ia
merasakan hawa sedikit hangat. Ini membuat hatinya sedikit lega. Hanya
tempo dipanggil beberapa kali, nona itu tetap tidak memberikan
penyahutan, tetap ia tak mendusin.
Kemudian Kwee Ceng dongak, memandang ke atas. Maka ia melihat, puncak
sudah dekat. Ia lantas menggunakan pikirannya. Ia percaya sekarang ini
ia sudah di kurung di sekitar puncak itu, jadi perlu sekali ia suatu
tempat untuk menempatkan diri, untuk beristirahat. Terutama perlu sekali
Oey Yong dibikin sadar. Ia lantas melihat ke kiri kanannya. Di sebelah
kiri, sejarak dua puluh tombak lebih, ia melihat samar-samar seperti
gua. Tanpa sangsi lagi, ia lari naik ke atas. Ia benar-benar mendapati
sebuah gua. Tanpa jeri sedikit juga, ia berlari masuk ke dalam situ.
Segera ia meletaki tubuh si nona, dengan lantas ia menekan jalan darah
leng-tay-hiat di punggung si nona, guna membantu jalan pernapasannya.
Di sekitar puncak itu terdengar riuh suara orang-orang Tiat Ciang pang,
yang rupanya mencari terus. Kwee Ceng tidak menghiraukan mereka itu, ia
tetap menolong Oey Yong. Itulah usaha paling utama untuknya.
Selang lamanya sepeminuman teh, mendadak Oey Yong mengasih dengar seruan
perlahan. Ia sadar. Bahkan segera ia berkata, "Aduh….dadaku sakit…."
Suaranya itu perlahan sekali.
Tapi Kwee Ceng girang luar biasa.
"Yong-jie, jangan takut," ia berkata, menghibur. "Aku ada bersama kau.
Kau beristirahatlah dulu." Ia terus bertindak ke mulut gua, di situ ia
berdiri tegak, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya, bersiap
untuk mengadu jiwa.
Setelah berada di mulut gua itu, hingga ia dapat melihat luas ke
sekitarnya, hati pemuda ini gentar juga. Di pinggang gunung ia seperti
menyaksikan tembok obor. Teranglah orang-orangnya Khiu Cian Jin sudah
kumpul semua. Sejarak satu lie dari dia, ia melihat orang-orang yang
nampak rada tedas, di paling depan berdiri satu orang yang bukan lain
dari pada Khiu Cian Jin. Orang banyak itu bergusar dan mencaci tidak
hentinya, tetapi tubuh mereka tidak bergerak, mereka bagaikan dipantek
paku, tidak ada seorang jua di antaranya yang bertindak maju sekalipun
satu tindak.
Untuk sementara, Kwee Ceng mengawasi mereka itu. Ia tidak dapat menerka
maksud mereka. Oleh karena tidak ada ancaman bahaya langsung, ia kembali
ke dalam untuk melihat Oey Yong. Di saat ia membungkuk, mendadak ia
mendengar suara apa-apa di belakangnya. Ia membungkuk dengan membaliki
belakang kepada bagian dalam dari gua itu. Ia memutar tubuh dengan
segera, kedua tangannya siap sedia, kedua matanya dipentang lebar. Tapi
melihat tempat gelap, ia tidak nampak suatu apa. Entah berapa dalamnya
gua itu.
"Siapa?!" anak muda ini menegur. "Lekas ke luar!"
Dari dalam gua itu terdengar suara terbalik, ialah kumandangnya sendiri.
Karena ia berdiam, ia memasang mata dan kuping, tetap waspada.
Sebentar kemudian, dari dalam situ terdengar suara batuk-batuk perlahan,
lalu itu disusul sama tertawa yang nyaring, yang membuatnya orang mau
tidak mau bangun bulu romanya. Itulah suaranya Khiu Cian Jin.
Dengan sebat Kwee Ceng menyalakan api hwee-cip. Maka segeralah terlihat
dari pedalaman gua itu bertindak mendatangnya satu orang yang tangannya
memegang kipas daun, kumis jenggotnya telah putih semua, karena dialah
Tiat Ciang Sui-siang-paiuw Khiu Cian Jin. Maka kagetnya pemuda itu tak
terkira-kira. Bukankah orang itu barusan ada di sebelah bawah, lagi
mencaci kalang kabutan bersama orang-orangnya? Kenapa dalam sekejap saja
dia sudah berada di atas, di dalam gua ini?
Khiu Cian Jin lantas tertawa.
"Haha-haha bocah-bocah!" katanya. "Kamu benar-benar tidak takut mampus!
Benar-benar kamu datang mencari kakekmu! Bagus, sangat bagus!" Habis
itu, mendadak dari tersenyum berseri-seri, ia memperlihatkan roman
bengis. Ia pun membentak, "Inilah daerah terlarang dari Tiat Ciang Pang!
Siapa masuk ke mari, dia mesti mati, dia tak dapat hidup pula! Oh,
bocah-bocah, benar-benar kamu sudah bosan hidup!"
Kwee Ceng berpikir keras untuk dapat menangkap maksud orang yang
sebenarnya, atau Oey Yong telah mendahului padanya. Si nona membaliki
kepada orang tua itu, "Jikalau tempat ini tempat terlarang, kenapa kau
masuk ke mari?"
Khiu Cian Jin menyeringai. Terang ia likat. Hanya sebentar, lantas ia
berkata, "Siapa mempunyai ketika senggang akan adu bicara dengan kamu,
bocah-bocah!" Lantas dia bertindak cepat, untuk nerobos ke luar.
Kwee Ceng melihat sikap orang, ia khawatir Khiu Cian Jin nanti membokong
Oey Yong. Maka ia pikir, baiklah ia turun tangan terlebih dulu atau
nanti orang mendahului mereka. Maka ia berlompat maju, kedua tangannya
dikasih turun dengan berbareng ke pundak jago tua itu. Ia menduga orang
bakal membalik tubuh, untuk menangkis, maka ia sudah bersedia akan
meneruskan dengan sikutnya ke arah dada. Itulah ilmu silat ajarannya
Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay, Manusia Aneh kedua
dari Kanglam. Serangan ke pundak hanya ancaman, yang benar ialah sikut
ke dada.
Benarlah dugaan Kwee Ceng, Khiu Cian Jin menangkis. Hanya ia merasa
heran. Tangkisannya orang tua ini lunak, tak sehebat tadi waktu mereka
bentrok tangan. Tapi ia berpikir cepat. Dengan lantas ia mengubah
serangannya, ialah ia membatalkan sikutnya, ia berbalik menyambar kedua
tangan orang, yang ia terus cekuk!
Khiu Cian Jin kaget, dia bentrok, tetapi sia-sia saja, dia tidak dapat
meloloskan tangannya itu. Maka teranglah sudah, ilmu silatnya masih
sangat rendah!
Sekarang Kwee Ceng tidak bersangsi pula. Ia lantas membuat main kedua
tangannya. Mulanya ia menolak, lalu ia menarik. Tepat tubuh orang maju
ke depannya, ia menyambuti dada orang dengan totokan di jalan darah
im-touw-hiat. Maka sedetik itu juga, lemaslah tubuhnya Khiu Cian Jin,
lantas saja dia roboh di tanah, tak dapat dia berkutik lagi, cuma dari
mulutnya segera terdengar suaranya yang lunak, "Ah, tuan cilikku, di
saat seperti ini, mengapa kau justru bergurau denganku..?"
Justru itu suara di luar terdengar semakin nyata. Teranglah bahwa
orang-orang Tiat Ciang Pang sudah mendatangi semakin dekat. Rupanya
mereka itu dapat mendaki sedikit demi sedikit.
"Sekarang ini kau baik-baiklah mengantarkan kami turun gunung!" berkata
Kwee Ceng kepada orang tawanannya itu. Ia berbicara perlahan tetapi
bernada mengancam.
Khiu Cian Jin mengerutkan alis dan menggeleng kepala.
"Jiwaku sendiri terancam bahaya, mana dapat aku mengantarkan kau turun gunung?" katanya.
"Kau menyuruh semua murid dan cucu muridmu itu membuka jalan," berkata
Kwee Ceng, tetap sabar, "Nanti sesampainya di kaki gunung, aku akan
membebaskan kau dari totokanku ini."
Orang tua itu mengerutkan alisnya pula.
"Oh, tuan kecilku," katanya, suaranya tetap suara tak berdaya, "Kenapa
kau masih terus mendesak aku? Pergi ke mulut gua, kau melihat ke luar,
nanti kau mengerti sendiri…."
Kwee Ceng memang heran. Ia lantas bertindak ke mulut gua. Begitu ia
melihat ke bawah, ia berdiri menjublak. Di sana ia melihat Khiu Cian
Jin, dengan mengibas-ibas kipas daunnya, masih saja mencaci dan
mendamprat seraya membanting-banting kaki, sebab rupanya ia sangat
mendongkol yang dia tidak dapat segera naik ke puncak, ke gua itu. Ia
segera menoleh ke belakang. Di belakang itu ia melihat Khiu Cian Jin
tetap lagi rebah tak berkutik!
"Kau…kau…" katanya, heran sangat. "Kenapa kamu ada dua…?"
"Ah, engko tolol, apakah kau masih tidak mengerti?" berkata Oey Yong
perlahan. "Memang benar ada dua Khiu Cian Jin! Khiu Cian Jin yang satu
lihay ilmu silatnya, Khiu Cian Jin yang lain si tukang mengepul! Mereka
itu terlahir sama rupa sama macamnya!"
Baru sekarang si pemuda mendusin. Tapi ia masih menanya Khiu Cian Jin di hadapannya itu, "Benarkah?"
"Si nona benar," katanya. "Kitalah dua saudara kembar dan aku si kakak."
"Habis siapa Khiu Cian Jin yang sebenarnya?"
"Nama tak sama, apakah artinya itu?" kata Khiu Cian Jin, si tukang
mengepul ini. "Aku dipanggil Khiu Cian Jin, dia juga dipanggil Khiu Cian
Jin…Kami dua saudara akur sama lain, kami berdua semenjak masih kecil
telah memakai satu nama…."
"Lekas bilang, siapa yang sebenarnya Khiu Cian Jin?!" Kwee Ceng masih mendesak. Ia agak mulai habis sabar.
"Buat apa ditegaskan pula?" berkata Oey Yong. "Tentulah ini yang palsu!"
"Hm!" Kwee Ceng mengasih dengar suara bengis. "Eh, tua bangka, siapa namamu yang sebenarnya?!"
Khiu Cian Jin terdesak, ia rupanya takut juga. Maka ia menyahuti, "Aku
samar-samar ingat ayahku almarhum pernah memberikan nama lain padaku
yaitu Cian Lie. Karena nama itu aku dengarnya tak sedap, aku tidak
pakai…"
"Jadilah kau Khiu Cian Lie!" bentak Kwee Ceng.
Beda dari sikapnya tadi, sekarang Khiu Cian Lie tidak lagi menunjukkan
roman likat atau takut, dengan lantang ia berkata, "Orang suka sebut
apa, ia menyebut apa, apakah kau berhak mencampurinya?"
Kwee Ceng tidak menggubris sikap orang ini. Ia menanya, "Kenapa mereka
itu mencaci kalang-kabutan? Kenapa mereka tidak naik terus ke mari?"
"Tanpa titahku, siapa berani naik ke mari?" menjawab Khiu Cian Lie, jumawa.
Kwee Ceng ragu-ragu.
"Engko Ceng," berkata Oey Yong. "Jikalau tidak dikasih rasa yang enak,
ini bangsat tua yang sangat licin tidak nanti mau mengudal isi perutnya!
Kau coba totok jalan darahnya thian-kiu-hiat!"
Kwee Ceng menurut, ia dekati orang tua dan menotok.
Jalan darah thian-kiu-hiat itu letaknya di bawah tenggorakan, di atasan
satu dim dari jalan darah soan-kie-hiat, itulah cabang im-wie dari
delapan jalan nadi. Begitu lekas ia ditotok, begitu lekas juga Khiu Cian
Lie menjadi tidak karuan rasanya, ia merasakan sakit seperti digigit
ribuan semut dan gatalnya bukan main. Maka juga ia menjerit
mengaduh-aduh dan mengatakannya, "Apakah ini bukan siksaan hidup!
Bukankah ini perbuatan sangat melanggar peri kemanusiaan?"
"Lekas menjawab aku!" kata Kwee Ceng. "Akan aku membebaskan padamu!"
Kalah juga orang tua bandel ini.
"Baiklah," katanya kemudian sambil menahan siksaan, "Kakekmu tidak sanggup melayani kamu kedua bocah… Nah, kamu dengarlah…!"
Beginilah keterangannya si tukang mengepul.
Khiu Cian Lie dan Khiu Cian Jin benar bersaudara kembar, dan semenjak
masih kecil, sifat dan roman mereka tak ada bedanya. Pada waktu Khiu
Cian Jin berumur tiga belas tahun, secara kebetulan dia dapat menolongi
pangcu atau ketua dari Tiat Ciang Pang. Pangcu itu mau membalas budi,
maka ia mewariskan kepandaiannya kepada penolongnya itu. Cian Jin luar
biasa, dalam umur dua puluh empat tahun, ia telah pandai segala apa
bahkan melebihkan gurunya. Ketika pangcu itu tutup mata, dia mewariskan
Tiat Ciang Pang kepada murid yang berbareng menjadi tuan penolongnya
ini. Khiu Cian Jin gagah dan pintar, di bawah pimpinannya, partainya itu
memperoleh kemajuan, kemudian namanya, terutama gelarannya - Tiat Ciang
Sui-siang-piauw, si Tangan Besi Mengambang di Air - menjadi sangat
kesohor sesudah ia menindas rombongan dari Heng San Pay. Khiu Cian Jin
memahamkan Go Tok Sin Ciang Sin-kang, yaitu ilmu tangan besi yang
beracun, tetapi dia tidak turut dalam pertemuan besar yang pertama di
Hoa San, karena itu waktu ia belum menyakinkannya sempurna ilmunya, ia
jeri terhadap Ong Tiong Yang, maka ia mengambil putusan untuk melatih
terus, guna nanti turut dalam pertemuan yang kedua kali. Ia sangat ingin
menjadi "Boe Kong Thian Hee Tee It", ialah jago nomor satu di kolong
langit ini.
Sementara itu, setelah usianya meningkat, sifat Khiu Cian Lie menjadi
semakin lihay dalam ilmu mengepul, dia sangat doyan ngebrahol dan
mendusta, gemar sekali ia menipu orang, dan karena roman mereka sama,
dia pun dapat membawa aksi jago dengan baik, sedang kalau mogok dia
menggunakan kelicinannya seperti dua kali dia menggunakan akal mencoba
menjual Oey Yong beramai. Peranannya ini membuat Oey Yong dan Kwee Ceng
menampak kesulitan, sampai di Kun San pemuda she Kwee ini mendapat
perlawanan hebat, sedang Oey Yong baru saja merasai tangan lihay dari
Khiu Cian Jin yang tulen.
Puncak tengah dari gunung Tiat Ciang San ini dinamakan Tiong Cie Hong,
artinya puncak Jari Tengah. Inilah tempat menyimpan tulang belulang dari
semua ketua Tiat Ciang Pang. Kalau satu pangcu merasa umurnya bakal
sampai, maka ia naik seorang diri ke atas puncak, untuk menanti
penghembusan napasnya yang terakhir. Pula ada satu aturan yang sangat
keras dan mesti ditaati dalam Tiat Ciang Pang itu. Ialah, siapa juga
dilarang mendaki dan memasuki puncak Tiong Cie Hong bagian tekukan yang
kedua atau tee-jie-ciat, dan siapa melanggar itu, dia tidak dapat turun
lagi dengan masih hidup. Umpama kata terjadi pangcu mati di lain tempat,
mayatnya mesti dibawa oleh salah satu muridnya naik ke puncak itu,
habis itu murid ini mesti membunuh diri di atas puncak. Kebinasaan ini
oleh si murid yang bersangkutan dipandang suatu kehormatan paling besar.
Kwee Ceng telah heran kalau pihak Tiat Ciang Pang menjadi sangat gusar hingga mereka mencaci kalang kabutan.
Kenapa Khiu Cian Lie berani mendaki puncak itu? Ini pun ada sebabnya.
Dan sebab itu begini. "Di dalam rumah atau gua batu itu, ada tersimpan
banyak barang berharga, atau mustika. Sebab setiap satu pangcu yang mau
mati, dia tentu naik dengan membawa satu atau lebih barang berharga,
umpama golok atau pedang mustika, atau barang kuno atau barang permata
mulia. Setelah pelbagai pangcu, maka dianggap di situ telah di situ
telah banyak disimpan benda berharga itu. Khiu Cian Lie bersusah hati
karena selama beberapa bulan belakangan ini ia gagal dengan aksi
membualnya, ia tahu itu semua disebabkan ia tidak punya guna. Maka ia
memikir, kalau ia mempunyai senjata mustika, pedang atau golok, tentulah
ia bisa perbaiki kehormatannya yang telah ternoda itu. Hatinya jadi
semakin terdesak kapan ia ingat segera juga ia bakal menghadapi Kwee
Ceng dan Oey Yong, maka di saat terdesak itu, dengan mati-matian dan
dengan diam-diam ia naik ke puncak, untuk mencuri salah satu senjata.
Apa lacur, ia justru kepergok Kwee Ceng dan Oey Yong sekali dan ia
dirobohkan tanpa berdaya.
Mendengar keterangan itu, Kwee Ceng berpikir. "Tempat ini tempat
keramat, pasti musuh tidak bakal akan naik ke atas. Tetapi juga tidak
ada bakal jalannya untuk turun, cara bagaimana aku bisa lolos dari
sini?"
Selagi ia berpikir keras itu, Kwee Ceng mendengar suara kawannya. "Engko Ceng, coba kau masuk ke dalam dan melihatnya."
"Tapi marilah aku periksa dulu lukamu," berkata si pemuda. Ia lantas
mencari cabang kering, untuk membikin obor, sesudah mana ia buka baju si
nona, guna melihat lukanya. Di kedua pundak yang putih dan halus ada
tapak dari lima jari tangan, tapak yang hitam. Luka itu bukannya enteng,
maka syukur, si nona terlindung baju lapisnya itu.
Kwee Ceng menjadi bingung. Bagaimana ia dapat mengobati luka ini? Ia
ingat luka gurunya disebabkan hajaran Ha Mo Kang dari Auwyang Hong. Luka
gurunya itu dan luka Oey Yong ini sama hebatnya. Gurunya tertolong
karena ketangguhan tubuhnya dan Oey Yong karena baju lapisnya.
Tengah si anak muda ini menjublak, Khiu Cian Lie menperdengarkan
suaranya pula. "Eh, bocah, omonganmu barusan apa omongan angin busuk
belaka? Kenapa kau tidak lekas-lekas membebaskan kakekmu dari
totokanmu?"
Kwee Ceng tidak dengar itu. Ia masih berdiam saja.
Adalah Oey Yong yang mendengarnya.
"Eh, engko tolol, kenapa kau nampaknya gelisah?" berkata si nona tertawa. "Kau bebaskanlah tua bangka itu!"
Baru sekarang Kwee Ceng mendusin. Ia menotok orang tua itu di jalan
darah thian-kut-hiat, dengan begitu, lenyaplah rasa gatalnya Khiu Cian
Lie, tetapi karena jalan darah im-touw-hiat masih tertutup, ia tetap
rebah di tanah.
Kwee Ceng meninggalkan orang tua ini. Ia pergi mencari cabang cemara
yang panjang dua kaki, yang ia nyalakan sebagai obor, sembari memegangi
itu, ia kata kepada Oey Yong, "Yong-jie, aku mau masuk ke dalam untuk
melihat-lihat. Kau takut atau tidak?"
Oey Yong tengah merasakan panas dingin bergantian, hebat penderitaannya
ini, tetapi karena khawatir Kwee Ceng nanti berduka untuknya, ia menahan
diri.
"Di sini ada si tua bangka menemai aku, aku takut apa?" katanya, tertawa. "Kau pergilah!"
Dengan lantas Kwee Ceng bertindak pergi. Ia berlaku hati-hati. Sesudah
jalan melewati dua tikungan, ia tiba di depan mulut gua yang besar. Jadi
di dalam gua itu ada sebuah guanya lagi. Bahkan gua ini lebih luas lima
kali lipat dari pada yang di luar. Kalau yang di luar tadi ada
bekas-bekasnya di gali, gua ini wajar.
Di dalam situ ada terdapat dua puluh lebih rangka tulang-belulang,
dengan pelbagai sikapnya juga, ada yang duduk, ada yang rebah atau
tidur. Di sisi setiap rangka itu ada terletak senjata seperti golok,
senjata rahasia, perabaot bersantap, juga rupa-rupa barang permata. Kwee
Ceng mengawasi itu semua. Jadi benar keterangannya Khiu Cian Lie tadi.
Ia kata dalam hatinya, "Beberapa puluh pangcu ini, dulu harinya semua
gagah perkasa, tapi sekarang semua tinggal tulang-belulangnya, semua
tinggal di sini dalam kesunyian…."
Pemuda ini bukan seorang loba, melihat semua senjata dan permata itu,
tidak pernah timbul keserakahannya, ia tidak menghiraukan itu, ia hanya
memikirkan Oey Yong. Sesudah melihat-lihat sekian lama, ia memikir untuk
ke luar lagi. Atau mendadak ia melihat rangka yang terakhir, di tangan
siapa masih tercekal sebuah kotak besi yang nampaknya ada suratnya. Ia
lantas menghampirkan, ia menyuluhi dengan obornya.
"Rahasia memukul pecah bangsa Kim," demikian ia membaca surat itu, yang
diukir di tutup kotak atau peti besi kecil itu. Maka tercekatlah
hatinya. Segera ia ingat. "Bukankah ini surat wasiatnya Gak Bu Bok?"
Maka ia mengulurkan tangannya, mengambil kotak itu. Begitu menyentuh,
dengan bersuara, tangan itu menyambar.
Kwee Ceng kaget sekali, syukur ia keburu lompat mundur.
Gagal menyambar, tangan itu jatuh ke tanah, berkumpul menjadi satu.
Dengan membawa kotak itu, Kwee Ceng lari ke luar. Ia segera nancap
obornya di tanah, ia lantas memondong Oey Yong, untuk dikasih bangun,
setelah mana, di depan si nona ia membuka tutupnya kotak.
"Aku menemui ini," ia memberitahukan.
Isi peti besi itu ada dua jilid buku tulisan tangan, satu tebal, yang lain tipis.
Kwee Ceng mengambil lebih dulu yang tebal. Nyata isinya itu ada salinan
Han See Tiong atas pelbagai laporan atau usulnya Gak Hui yang dihaturkan
kepada rajanya, ada syair dan lainnya buah kalam jenderal gagah perkasa
dan setia itu, bunyinya pun penuh dengan penguraian kesetiaan dan
semangat kegagahan. Maka ia menjadi sangat kagum, hingga ia menghela
napas. Yang paling menawan hati ialah Gak Hui tidak pernah melupakan
rakyat.
Oey Yong pun kagum sekali.
"Nah, coba periksa buku yang satunya," kemudian Oey Yong minta.
Kwee Ceng menurut, ketika ia melihatnya, lantas ia menjadi sangat girang.
"Ini dia ilmu perang yang ditulis sendiri oleh Gak Bu Bok!" katanya
berseru. "Dan inilah buku yang Wanyen Lieh si bangsat senantiasa ingat
sekali pun di dalam mimpinya! Sungguh Thian murah, kitab ini tidak
sampai jatuh di dalam tangannya jahanam itu…"
Ketika anak muda ini membuka halaman yang pertama, ia lantas membaca
delapan belas huruf besar, yang artinya, "Mengutamakan pemilihan - Rajin
berlatih - Adil dalam persenan dan hukuman - Jelas dengan perintah -
Keras dengan tata tertib - Bersama-sama senang dan susah" Jadi inilah
pokok untuk memilih punggawa atau serdadu, untuk mendidik dan mengatur
tentara.
Selagi Kwee Ceng hendak membalik halaman lainnya, tiba-tiba ia mendengar
berhentinya cacian orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tadinya terdengar
sekarang hanyalah suara angin.
Berdua Oey Yong dan si anak muda memasang kuping. Mereka heran bukan main.
Tidak antara lama barulah terdengar suara lainnya. Itulah suara seperti
sas-sus atau sar-ser, perlahan tetapi berisik ramai. Ketika Khiu Cian
Lie mendengar itu, ia lantas mengeluh berulang-ulang, dengan suara
sedih, ia berkata, "Bocah-bocah, hari ini jiwa kakekmu dihabiskan di
tangan kamu…"
Kwee Ceng tidak meladeni orang tua itu, ia lompat ke luar, tiba di mulut
gua, setelah melihat ke bawah, ia menjadi kaget sekali. Mulanya ia
tercengang. Baru sekarang ia mengerti bunyi suara yang luar biasa itu.
Di antara sinar rembulan terlihat ribuan atau puluhan ribu ular berbisa
lagi merayap naik ke atas puncak, semua sambil mengangkat kepala dan
mengulur, mengulat-uletkan lidahnya!
"Mereka tidak berani memasuki tempat keramat ini, sekarang mereka
menyerang dengan ular," kata Kwee Ceng dalam hatinya. Tidak ayal lagi,
ia lari ke dalam untuk memodong Oey Yong.
Khiu Cian Lie melihat perbuatan si anak muda, lantas ia mementang bacotnya mencaci.
Kwee Ceng tidak mau melayani tukang membual itu, hanya ketika ia lewat
di sampingnya, ia mendupak pinggang orang dua kali. Dengan itu ia
membebaskan totokan di jalan darah im-touw-hiat. Habis itu, dengan
membawa kotak besinya, ia merayap naik ke atas puncak sekali.
Gua itu berada di tekukan yang kedua, untuk tiba di puncak tertinggi,
jaraknya masih lagi beberapa puluh tombak. Kwee Ceng tidak menghiraukan
itu, ia membesarkan hatinya, ia mengerahkan tenaganya, ia mengeluarkan
kepandaiannya marayap naik. Ketika akhirnya ia tiba di atas, tempo ia
melongok ke bawah, ia mendapatkan rombongan ular itu telah masuk ke
dalam gua. Ia tidak memikirkan lagi Khiu Cian Lie, yang ia percaya,
sebagai orang Tiat Ciang Pang, tentu tahu ilmu untuk mengusir atau
membinasakan ular.
Begitu lekas ia sudah merebahkan Oey Yong, Kwee Ceng lantas berpikir
keras. Ia memikirkan dengan cara bagaimana ia dapat menolong nona itu
dari makhluk marayap yang jahat itu. Ia sendiri tidak takut. Ia sudah
makan darah ular dan ular takut kepadanya.
"Kau nyalakan api dulu," berkata Oey Yong, yang dapat menerka
kesulitannya si anak muda. "Bikinlah api itu mengurung mengelilingi
kita."
"Ah, benar tolol!" berseru Kwee Ceng. "Kenapa aku tidak dapat memikirkan itu?"
Ia lantas mengumpulkan cabang kering, ia menumpuk itu mengelilingi Oey
Yong dan dirinya. Ia bekerja cepat. Lantas ia menyulut api di kedua
tempat, di sama tengah, agar api itu memakan masing-masing kedua
jurusan. Selama itu tidak terdengar apa-apa. Maka tak terkira kagetnya
waktu tahu-tahu sejumlah ular, yang menjadi seperti pelopor sudah muncul
di depan mereka. Dalam kagetnya ia mengeluh, tetapi ia tidak menjadi
menjublak karenanya. Dengan sebat ia sambar Oey Yong untuk dipanggul.
Oey Yong terkejut melihat ular muncul begitu banyak, tetapi yang hebat
untuknya ialah baunya yang amis sekali, hingga ia lantas merasa mual,
hampir ia muntah-muntah. Dengan lantas ia menutup rapat kedua matanya.
Itu waktu, ia merasakan sakit di dadanya. Inilah sebab Kwee Ceng
berlompatan ke sana ke mari sambil mulutnya tak hentinya berseru
menggebah ular itu. Lama-lama, ia menjadi pusing, ia seperti luka akan
diri sendiri. Ia baru sadar ketika hidungnya dapat mencium bau harum.
Maka ia lekas membuka pula matanya. Segera ia melihat berkelebatnya satu
sinar merah. Untuknya girangnya, ia mengenali hiat-niauw, burung
apinya, yang terbang datang dari arah timur.
Tadi burung itu terbang karena ia lantas mencium bau ular, maka ia pergi
untuk memuasi nafsu daharnya, sekarang ia melihat cahaya api, dia
terbang dengan niatan mandi, maka tepat sekali datangnya itu selagi
majikannya terancam bahaya.
Mendapatkan datangnya burung itu, semua ular lantas berdiam, tidak ada
yang berani berkutik, maka beberapa di antaranya lantas dipatuk dan
dimakan. Habis itu, burung itu terus mandi api, akan kesudahannya
terbang menclok di pundak si nona.
Dua-dua Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali.
"Sekarang kita tidak takuti ular!" berkata si anak muda gembira.
"Sekarang kita mesti mencari jalan untuk lolos dari puncak ini,
bagaimana?"
Oey Yong terus berpikir. Nyata ia lantas mendapat jalan.
"Hiat-niauw bisa naik ke mari, kalau dia dapat kenapa rajawali kita
tidak?" demikian katanya. "Gak Bu Bok bernama Hui, aliasnya yaitu Peng
Kie, maka kalau sekarang kita memakai Tiauw Kie, mustahil tidak dapat.
Bukankah itu bagus?"
Kwee Ceng tidak mengerti.
"Apa itu Tiauw Kie?" ia menanya.
Nama Hui dari Gak Bu Bok berarti "terbang", dan aliasnya itu, Peng Kie,
berarti "garuda angkat". Oey Yong menyebutnya "Tiauw Kie" itu berarti
"rajawali angkat". Si anak muda memikirkan itu, di dalam waktu pendek,
ia tidak menangkap maksudnya si nona.
Oey Yong tengah merasakan sakit tetapi ia menahan itu, ia menyahuti,
"Kita suruh rajawali kita membawa kita terbang pergi dari sini….!"
Kwee Ceng berjingkrak.
"Benar!" ia berseru. "Itu pun bagus! Nanti aku panggil si rajawali!"
Tidak ayal lagi pemuda ini duduk bersila, untuk bersemedhi, guna
mengumpulkan tenaga dalamnya, kemudian baru ia mengasih dengar siulannya
yang keras dan panjang, yang mengalun jauh. Inilah ilmu semedhi yang
dulu hari Ma Giok mengajarkan kepadanya. Setelah memahamkan Kiu Im
Cin-keng, ia memperoleh kemajuan yang luar biasa. Jarak di antara puncak
dan kaki gunung ada beberapa lie, tetapi begitu siulan mendengung,
burung mereka dapat mendengarnya, kedua burung itu lantas terbang
mencari mereka. Maka di lain saat, berkumpullah mereka, burung dan
manusia - kedua burung itu berdiri di depan si muda-mudi.
Kwee Ceng membantu Oey Yong membuka baju lapisnya, terus ia membantu si
nona mendekam di punggungnya rajawali yang betina. Karena khawatir nona
itu memegang kurang keras, ia pun mengikatnya. Sesudah beres, baru ia
mendekam di punggung rajawali yang jantan. Akhirnya, ia mengasih dengar
siulannya.
Kedua burung itu mengerti orang, keduanya lantas membuka sayapnya masing-masing untuk terbang.
Mulanya hatinya pemuda dan pemudi itu kebat-kebit, tapi tak lama, mereka
menjadi tabah. Mereka dapat mendekam dengan tenang di punggung
burungnya itu. Bahkan si nona yang tetap bersifat kekanak-kanakan, lupa
pada sakitnya. Ia ingin mempertontonkan diri di depan Khiu Cian Lie si
tua bangka, maka ia mengutik leher burungnya, menyuruh si burung terbang
ke arah gua.
Burung itu mengerti, benar-benar ia terbang ke muka gua. Di sana
terlihat si tukang membual lagi rebot menggebah ular. Dia pun lantas
melihat burung membawa orang terbang dan mengenali si nona. Ia kaget, ia
heran, ia menjadi sangat kagum. Ia lantas memanggil. "Nona yang baik,
kau bawalah juga aku pergi! Kalau adikku melihat aku, maka aku si tua
bangka tidak bakal dapat hidup lebih lama pula…!"