Begitu lekas korang-korang dibuka tutupnya, maka keluarlah ratusan ekor
ular berbisa kecil dan besar, semua merayap ke medan pertempuran katak
itu, maka di dalam tempo yang pendek, mereka telah dapat menelan banyak
kodok hijau. Kodok hijau itu memanglah makanan mereka. Lantas kodok itu
pada lari atau merengkat saking takutnya.
Kawanan petani menjadi kaget dan gusar, mereka mengasih dengar suara
berisik. Seorang, yang tubuhnya tinggi besar di antara orang-orang
berpakaian hitam itu, maju ke depan orang-orang tani, dia mengasih
dengar suara bentakannya. "Camat telah memaklumkan, katak berkelahi di
antara bangsanya adalah adat kebiasaannya, maka itu, selagi mereka tidak
membikin hubungannya sama kita manusia, perlu apa kamu membikin banyak
berisik?!"
Orang-orang tani itu berteriak-teriak. "Kodok besar itu serta ular
berbisa ini adalah kamu yang pelihara! Kodok hijau mana bisa melawan
ular! Tidak tahu malu! Kami melarat tahun ketemu tahun, panen kami bakal
gagal, dari pada kami mati kelaparan, mari semua mengadu jiwa!"
Orang tinggi besar itu mengangkat tangan kanannya, maka di situ terlihat
goloknya yang berkeredepan. Dia lantas diturut kawan-kawannya, yang
semua pada mengeluarkan senjatanya masing-masing. Dengan berbaris rapi,
mereka maju mendekati.
"Kamu mau apa?" tanya si orang tinggi besar pada kaum tani itu. "Apakah
kamu tidak mau dengar perintah camat? Apakah kamu mau berontak?!"
Orang banyak itu pada mencaci, ada juga yang menimpuk dengan lumpur dan
batu. Orang tinggi besar itu mengibasi tangannya, lantas di antara
mereka muncul dua orang yang dandan sebagai hamba polisi, yang satu
memegang golok, yang lainnya membawa rantai borgolan. Mereka ini lantas
memaklumkan, siapa yang cari gara-gara dan berkelahi, dia akan dihukum
sebagai pemberontak!
Orang-orang tani itu berdiam, mereka saling mengawasi. Beberapa
diantaranya berkata, "Mereka inilah masing-masing kepala polisi berkuda
dan berjalan kaki."
Oleh karena pihak sana dapat bantuan pembesar negeri, maka celakalah
kawanan kodok hijau itu, oleh katak besar dan ular mereka digiring masuk
ke dalam korang.
"Yong-jie, apakah kita turun tangan sekarang?" Kwee Ceng berbisik.
"Coba tunggu sebentar lagi," menyahut sang nona.
Ketika itu tujuh atau delapan bocah maju sambil berteriak-teriak, mereka
menggunai batu menimpuki rombongan ular itu, hingga ada beberapa ular
yang lantas mati. Orang-orang berpakaian hitam itu menjadi murka,
beberapa di antaranya maju untuk menyerang bocah-bocah itu. Satu bocah
kena dirobohkan, yang lainnya lari kabur. Bocah yang roboh itu kena
dicekuk.
"Bagus, ya, kau berani membikin mati ular yang kita rawat susah payah!" katanya bengis. "Kau mesti dikasih rasa!"
Seorang tani wanita lantas lari menghampirkan. "Tolong tuan, tolong," ia memohon, "Tolong lepaskan anakku ini…"
Kwee Ceng dan Oey Yong mengenali, itulah ibu dan anak yang mereka ajak bicara.
Sambil dengan tangannya yang satu memegangi terus si bocah, dengan
tangan yang lain laki-laki itu menyambar lehernya si nyonya, terus ia
melemparnya balik hingga tubuh si nyonya itu terpelanting ke dalam
rombongannya, di mana dia menimpa dua orang hingga mereka roboh bersama.
Lantas laki-laki bengis itu mengibasi tangannya, atas mana
kawan-kawannya maju dengan senjata siap sedia.
Kawanan orang tani itu mundur. Mereka kebanyakan ada orang tua dan
wanita. Mereka lebih takut lagi ketika orang mengayun goloknya untuk
membacok, lekas-lekas mereka mundur pula. Nyata itulah ancaman belaka.
Adalah si bocah yang tertangkap yang malang. Dia digaplok, bajunya
disobek, setiap kali digaplok, setiap kali disobek, hingga itu terulang
belasan kali, hingga dia menjadi bengkak matang biru mukanya dan
tubuhnya pun telanjang. Ibunya menangis menjerit-jerit. Lupa segala apa,
nyonya itu merangsak maju untuk menolongi anaknya. Segera dia dipegangi
dua orang laki-laki.
Laki-laki kejam tadi mengasih dengar siulan nyaring, atas itu beberapa
ratus ular berbisa itu mengangkat kepalanya dan mengulur lidahnya, semua
mengawasi tubuh telanjang bulat dari si bocah. Maka kagetlah semua
orang tani, pucat muka mereka. Si bocah juga ketakutan bukan main,
matanya mendelong mengawasi ibunya. "Ibu…!" kemudian ia menjerit.
"Bangsat cilik, kalau kau bisa, kau larilah!" kata si laki-laki bengis.
Ia menampar, maka robohlah si bocah. Bocah itu lari kepada ibunya. Tapi
di sini dia dipapaki sabetan golok beberapa orang, maka ia lari balik ke
tempat kosong. Si laki-laki bengis, yang rupanya menjadi kepala,
bersiul pula, maka sekarang semua ular tadi, yang sudah siap, lantas
lari mengubar bocah itu.
Bukan main kaget dan takutnya si bocah ketika ia menoleh karena
mendengar suara sas-sus riuh dari kawanan ular itu, yang semua mementang
mulutnya, mengasih lihat ancaman lidahnya yang bergerak-gerak, dalam
takutnya ia lari sekeras-kerasnya. Tapi kawanan ular dapat lari lebih
keras, ia lantas hampir kena disusul.
"Anakku!" menjerit si nyonya, yang lantas pingsan dan roboh.
Kawanan tani itu menjadi kaget dan gusar, mereka mau maju menyerang
ular, tetapi mereka dihalang-halangi kawanan orang yang berpakaian hitam
itu, yang membolang-balingkan goloknya di hadapan mereka.
Menampak kejadian itu, Oey Yong sudah lantas bersiap dengan seraup
jarumnya, hendak ia segera menyerang. Sekonyong-konyong bocah itu
tersandung, tubuhnya terjatuh, maka itu ia lantas kena dicandak.
Oey Yong kaget hingga ia berseru, tubuhnya berlompat. Tepat ia hendak
mengayun tangannya atau dari antara rombongan orang tani terlihat dua
orang melompat maju menghalang di depan si bocah, tangan mereka
diayunkan, menerbangkan empat bungkusan bubuk warna kuning, yang terus
menggaris di tanah, sedang hidung orang lantas membaui bau belerang.
Segera setelah itu, semua ular pada mundur sendirinya.
Kapan Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengenali dua orang itu, ialah
Lee Seng dan Ie Tiauw Hin dari Kay Pang, Partai Pengemis, yang pernah
ditemui di Poo-eng.
Melihat merintangnya dua orang itu, laki-laki baju hitam itu lantas
berkata, "Kami dari Tiat Ciang Pang dengan pihak Kay Pang adalah
seumpama air kali tidak bertemu air sumur, oleh karena itu kenapa
tuan-tuan sekarang memaksa maju sendiri membelai lain orang?"
Lee Seng memberi hormat. "Bocah ini belum tahu apa-apa, maka itu aku si
pengemis tua memohon muka, sudilah dia diberi ampun," sahutnya.
Si hitam itu melihat Lee Seng menggondol delapan kantung goni, ia tahu
orang ada dari angkatan tinggi, tetapi ia tertawa dingin dan lantas
menanya. "Jikalau kau tidak memberi ampun, habis tuan mau bikin apa?"
Ie Tiauw Hin masih muda, ia tidak sabaran. Dia berseru. "Kamu berbuat
jahat dan kejam, kami telah mempergokinya, mana pula kami tidak campur
tahu?!"
Si hitam tertawa menghina pula. Dia kata, "Aku mendengar kabar kamu kaum
Kay Pang, besok kamu bakal mengadakan rapat besar di Gak Yang Lauw, di
mana akan hadir semua pemimpin dari partaimu dari pelbagai penjuru,
apakah kau pengemis cilik mau menghina orang dengan mengandali jumlahmu
yang banyak? Hm! Aku khawatir tidak gampang-gampang kamu dapat berbuat
demikian! Kamu katanya kaum yang pandai menangkap ular, coba aku lihat,
apa kamu pandai menangkap ular kami ini?"
Ie Tiauw Hin panas hatinya. Ia lantas berlompat maju, kedua tangannya
menyambar masing-masing seekor ular. Ia memegang ekor ular, segera
digentak kaget. Tulang ular bersambung bagaikan rantai, karena dihentak
kaget, tulang-tulang itu jadi seperti terlepas, maka itu, meski tidak
segera mati, kedua ular itu lantas tidak mampu menggeraki tubuh mereka.
Itulah ilmu kepandaian menangkap ular dari bangsa pengemis.
Si hitam menjadi murka luar biasa, lantas ia bersiul keras, maka itu
ribuan ularnya lantas melesat maju, untuk menerjang. Ie Tiauw Hin boleh
pandai menangkap ular tetapi menghadapi ular demikian banyak, ia
kewalahan, maka itu, ia lompat ke garisan bubuk belerangnya.
Lee Seng lantas berteriak, menanya she dan nama besar si hitam. Dia ini
sendiri tidak menyahutinya, dia cuma tertawa dingin. Setelah ia melihat
ularnya tidak berani maju, lagi sekali ia bersiul. Kali ini terjadilah
pemandangan yang luar biasa.
Seekor ular menggigit ekor kawannya, kawan digigit pula ekornya oleh
kawannya yang lain, demikian seterusnya, hingga mereka merupakan
beberapa puluh potong rantai yang panjang, habis itu, ketika si hitam
berteriak, mereka berlompat ke arah kedua pengemis itu, yang mereka
terus kurung, hingga si bocah terkurung bersama.
"Pengemis busuk, tangkaplah ular itu!" kata si hitam menantang. "Kenapa kau diam saja?!"
Semua ular itu dongak mengawasi, siap untuk menerjang. Muka Lee Seng dan
Tiauw Hin pucat. Mereka rupanya menginsyafi ancaman bahaya.
Si hitam lantas berkata dengan jumawa, "Kami kaum Tiat Ciang Pang tidak
suka mencelakai orang tanpa sebab, maka itu asal kamu berjanji untuk
selama-lamanya tidak akan menangkap ular kami pula, asal kamu memberikan
buktinya - hm! Kami tentu suka memberi ampun!"
Lee Seng tahu bukti apa yang diminta Tiat Ciang Pang. Ialah mereka harus
merusak tangan mereka sendiri. Tentu sekali, mereka tidak suka
menyerah, tidak peduli keadaan ada sangat berbahaya. Mereka berdiri
tegak dan gagah.
Si hitam mementang kedua tangannya. Ia kata, "Asal aku merangkap kedua
tanganku ini maka di tubuh kamu masing-masing bakal tambah beberapa
ratus gigi yang beracun! Apa kamu masih tidak mau bertekuk lutut untuk
memohon ampun?"
"Susiok, jangan kita mendatangkan malu!" kata Tiauw Hin.
Lee Seng tertawa. "Untuk apa mengatakan itu pula?" sahutnya. Ia lantas
perkeras suaranya, berbicara kepada orang Tiat Ciang Pang itu. "Terima
kasih banyak saudara hendak mengantar kami pulang ke Langit Barat, hanya
aku masih belum mengetahui nama saudara yang besar!"
"Benarlah kamu, sampai mati kamu tidak mau memeramkan mata!" kata si
hitam itu. "Aku murid ketiga dari Kiu Tiat Ciang, yang orang menyebutnya
Hian-pwee-bong Kiauw Thay si Ular Naga Abu-abu!"
Belum berhenti suara jumawa si hitam ini, lantas terdengar suara tertawa
halus nyaring disusuli ini kata-kata terang halus. "Aha! Aku mengira
siapa, tak tahunya segala murid dan cucu muridnya si tua bangka she
Kiu!"
Suara itu segera disusul oleh orangnya, maka semua orang melihat seorang
nona cantik manis yang rambutnya dijepit dengan gelang emas. Dialah Oey
Yong kita. Maka heranlah Kiauw Thay.
Oey Yong tidak menanti orang sadar dari herannya, ia kata pula, "Tiat
Ciang Sui-siang-piauw she Kiu yang tua itu memanggil aku kouw-nay-nay,
maka itu kenapa kau tidak segera memanggil aku couw kouw-nay-nay?" Dia
minta dirinya dipanggil bibi dan bibi tua.
"Hai, bocah kau ngaco belo!" membentak si hitam. Di dalam hatinya,
tapinya ia heran sekali kenapa bocah ini mengetahui nama besar gurunya.
Oey Yong tertawa dan berkata pula. "Anak-anak menerbitkan onar di
luaran, inilah aku kouw-nay-nay kamu paling tidak senang melihatnya!
Bukankah kamu pun ada kawannya itu anak yang memangku pangkat camat di
Bu-leng? Beberapa hari yang lalu, sambil lewat di mana, kouw-nay-nay
telah membereskan dia! Nah, apa katamu?"
Camat she Kiauw di Bu-leng itu memang ada saudaranya Kiauw Thay ini, dia
menerima kabar halnya kantor camat dibakar dan camatnya mati baru tadi
pagi, maka itu ia lantas melirik si nona dengan hati sangat panas. Dia
berduka berbareng gusar tetapi dia bersangsi apa nona ini benar membunuh
saudaranya itu yang ia tahu gagah. Ia lantas memberi tanda, maka
ratusan ularnya mengurung si nona.
"Siapakah yang membinasakan camat Bu-leng?" Kiauw Thay membentak, "Lekas bilang!"
Oey Yong tertawa manis. "Dengan sebenarnya akulah yang membinasakan
dia!" dia menyahuti, berani. "Dia melawan aku dengan menggunai Tok
see-ciang, tangan beracunnya itu! Siapakah tidak mengenalnya jurusnya,
seperti jurus 'Jarum tawon' dan 'Mengangkat obor membakar langit'"
Ketika aku menotok jalan darahnya, jalan darah kiok-tie-hiat, pecahlah
kepandaiannya itu, maka setelah aku menotok pula kedua jalan darahnya,
kie-bun dan kin-ceng, aku menyuruh dia duduk di kursinya, duduk tak
bergeming lagi, mirip lagaknya di waktu hari-hari biasa dia dengan
bengis memeriksa rakyat negeri. Kemudian ketika aku membakar gedung
camat dan kantornya sampai ludes menjadi abu, entah kenapa, dia tetap
tidak ke luar lagi dari kantornya itu!"
Kiauw Thay tetap heran. Kenapa orang begitu berani bicara seperti lagi
mendongeng saja, demikian tenang, lancar dan rapi? Meski dia masih
bersangsi, dia toh memikir untuk membekuknya, guna mendengar keterangan
orang terlebih jauh. Maka ia lantas berseru. "Loo Sam, Loo Su, bekuklah
budak ini!"
Dua orang lantas maju, dengan goloknya mereka menyingkirkan ular-ular
yang mengurung itu, setelah datang dekat dengan empat tangan, mereka
menjambret pundaknya si nona.
Oey Yong tertawa melihat lagak orang, "Loo Sam, Loo Su, kau rebahlah!"
ia kata. Sebat luar biasa, ia mendak, lalu tubuhnya melesat ke belakang
orang. Belum dua orang itu tahu apa-apa, punggung mereka sudah dicekal,
lalu ditolak keras satu sama lain, maka di antara suara beradu keras,
kepala mereka bentrok hingga tubuh mereka terhuyung, lalu roboh di
tanah!
Orang-orang tani itu sebenarnya lagi ketakutan akan tetapi menyaksikan
robohnya dua jago itu, mereka heran dan kagum hingga mereka tertawa.
Kiauw Thay murka bukan main, ia lantas mengangkat tangan kanannya dan
memasuki dua jerijinya ke dalam mulutnya. Ia hendak bersuit, guna
mengasih perintah kepada ularnya untuk menyerbu. Atau dia didahului
dengan suara kuk-kuk-kuk tiga kali, lalu di tangannya Oey Yong terlihat
seekor burung merah, sebab burung apinya itu ia telah masuki ke dalam
tangan bajunya.
Dengan mengasih dengar suaranya, burung api itu pun lantas mengasih ke
luar bau harumnya, yang segera seperti memenuhi ladang itu, kapan semua
ular dapat mencium bau itu, semuanya menjadi bergerak dengan kacau, akan
akhirnya pada rebah diam saja, sejumlah di antaranya lantas terlentang,
mengasihkan perutnya untuknya untuk di patuk!
Hiat-niauw pun tidak sungkan-sungkan, dia berlompat maju, dia mematuk
setiap perut, hingga sebentar saja dia sudah makan nyalinya tujuh ekor
ular. Dia sudah kenyang tetapi dia masih mematuki perut ular lainnya!
Kiauw Thay kaget dan gusar, habislah sabarnya. Ia mengeluarkan tiga
batang kong-piauw, dua batang ia timpuki kepada burung api itu dan
satunya kepada si nona!
Oey Yong memakai baju lapisnya, ia tidak memperdulikan datangnya senjata
rahasia itu ke tubuhnya, sedang hiat-niauw, melihat datangnya serangan
itu, berlompat untuk menyampok hingga kedua kong-paiuw jatuh di tanah,
kemudian ia terbang gesit menyampok jatuh piauw yang mengarah si nona.
Bukan main girangnya Oey Yong mendapatkan burungnya itu mengerti dan
dapat membela majikan. Ia lantas menuding si hitam itu serta
kawan-kawannya, ia berkata. "Mereka itu orang-orang jahat, patuklah biji
mata mereka!"
Burung api itu terbang melesat, tubuhnya yang merah berkelebat mirip
api, atau segera satu orang menjerit kesakitan, lantas diturut oleh
beberapa orang yang lain. Sebab seperti tanpa merasa lagi, mata mereka
telah kena dipatuk burung itu!
Saking takutnya, semua orang itu lari serabutan, sedang yang matanya
terpatuk pada menjatuhkan diri, untuk merayap atau bergulingan, guna
melarikan diri. Hingga di lain saat, habislah mereka, tinggal kodok dan
ular mereka, maka kedua binatang itu lantas diserbu ramai-ramai oleh
kawanan orang tani itu. Ketika kemudian mereka hendak menghaturkan
terima kasih kepada Oey Yong dan Kwee Ceng, muda-mudi itu dengan tidak
banyak omong telah pergi jauh.
Juga Lee Seng dan Ie Tiauw Hin hendak menemui sepasang anak muda itu
tetapi mereka telah ditinggal kabur kuda merah yang larinya pesat. Oey
Yong girang bukan main atas kesudahannya perbuatannya itu, maka itu
malam, selagi singgah, ia menyalakan api, ia membiarkan hiat-niauw mandi
dengan gembira.
Besoknya pagi, tibalah mereka di Gakciu. Mereka berjalan kaki, kuda
mereka dituntun. Langsung mereka menuju ke lauwteng Gak Yang Lauw.
Mereka memandangi keindahan telaga Tong Ting Ouw di tepi mana lauwteng
itu dibangun. Luas telaga itu, jernih airnya. Di sekitarnya adalah
rentetan gunung. Keindahan dan keangkeran telaga itu beda lagi dengan
keindahan dan keangkeran telaga See Ouw. Masakan Ouwlam kurang cocok
bagi lidah mereka, sudah rasanya pedas, juga mangkoknya lebih besar dan
sumpitnya lebih panjang. Di empat penjuru tembok mereka melihat banyak
tulisan orang-orang pandai, yang pernah naik di lauwteng ini untuk
bersantap atau minum. Di antaranya ada syairnya Hoan Tiong Am tentang
kedukaan dan kegirangan, yang datangnya duluan dan belakangan.
Mereka lantas membicarakan Hoan Tiong Am itu, yang pintar dan gagah,
yang pernah menjagoi di See Hee, tetapi semasa kecilnya dia miskin,
ayahnya mati muda, hingga ibunya menikah. Lagi pula, hidupnya sengsara,
maka setelah hidup berpangkat dan berbahagia, dia tetap memperhatikan
nasib rakyat jelata. Itu pula sebabnya mengapa ia menulis syairnya itu
lebih dulu menderita, lalu bergembira.
"Demikian juga dengan bangsa orang gagah!" kata Kwee Ceng kemudian seraya menenggak araknya.
"Dia memang orang baik," kata Oey Yong tertawa. "Cumalah di dalam dunia
ini, kedukaan lebih banyak, dari pada kegembiraan. Aku tidak mau hidup
seperti dia!"
Kwee Ceng tersenyum, dia diam saja. "Engko Ceng, aku tidak pedulikan
kedukaan atau kesenangan itu!" kata si nona kemudian. "Hanya kalau kau
tidak gembira, hatiku pun tidak senang…" Kata-kata ini dikeluarkan
perlahan, alisnya pun mengkerut.
Kwee Ceng ingat nona itu tentulah mengingat hubungan di antara mereka,
maka dia pun masgul, dia tidak dapat menghibur, dia tunduk dan berdiam
saja.
Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya dan tertawa. "Sudahlah, engko
Ceng!" katanya. "Eh, ya, tahukah kau syair Hoan Tiong Am yang berjudul
'Mencukil lampu perak'?"
"Aku tidak tahu. Cobalah kau membacakannya untuk aku dengar?"
Oey Yong membacakan bagian bawah syair itu, "Orang hidup tidak seratus
tahun, maka jangan tolol, kalau tua, lantas layu. Hanya di bagian usia
pertengahan, itu sedikit tahun, harus dapat menahan hati. Kedudukan
tinggi, banyak uang dan rambut putih, bagaimana itu dapat dihalaunya?"
"Kalau begitu," kata Kwee Ceng nyaring, "Itulah nasehatnya supaya orang
jangan menyia-nyiakan waktu, jangan cuma mengejar nama besar, kenaikan
pangkat dan harta!"
Oey Yong pun berkata pula, perlahan. "Arak masuk ke dalam usus berduka, berubah menjadi air mata kenangan…."
"Apakah itu pun syair Hoan Tiong Am?" tanya Kwee Ceng, mengawasi si nona.
"Ya. Orang besar dan orang gagah bukannya tidak mempunyai perasaan,"
kata si nona, yang terus tertawa. Ia menanya, "Engko Ceng, bagaimana kau
lihat caranya aku menghadapi murid-murid jahat dari Tiat Ciang Pang
itu? Tidakkah itu memuaskan?"
"Memang!" jawab Kwee Ceng bertepuk tangan.
Demikian mereka bersantap, minum dan bicara dengan asyik dan merdeka,
seperti di situ tidak ada lainnya orang lagi. Kemudian Oey Yong menyapu
kelilingnya. Ia melihat di arah timur ada tiga orang tua dengan dandanan
sebagai pengemis, bajunya banyak tambalannya tetapi bersih. Tentulah
mereka orang penting dari Kay Pang, yang hendak menghadiri rapat besar
kaumnya. Yang lainnya ialah orang dagang atau orang biasa saja.
"Sebenarnya Tiat Ciang Pang itu kumpulan apa?" kemudian kata si nona
perlahan. "Kenapa mereka itu sama dengan See Tok paman dan keponakan,
mereka memelihara ular?"
"Entahlah," sahut Kwee Ceng. "Kalau mereka semua sama dengan Kiu Cian
Jin si tua bangka, mereka tentu tidak bisa membangun apa-apa yang
besar…"
Kata-kata itu belum habis dikeluarkan ketika di atasan kepala mereka
terdengar suara orang tertawa terbahak sambil berkata dengan suara
angker. "Sungguh mulut besar! Sampai pun 'Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si
orang she Kiu tua', tidak dilihat mata!"
Oey Yong terkejut, ia lompat mundur beberapa tindak, baru dia dongak. Di
atas penglari ada duduk nangkring seorang pengemis tua yang kulitnya
hitam legam, bajunya sangat butut, tetapi dia mengawasi dengan tertawa
haha-hihi.
Kwee Ceng telah menduga kepada orang Tiat Ciang Pang, setelah melihat ia
berhadapan sama pengemis, hatinya menjadi sedikit lega, apapula orang
nampaknya tidak mengandung maksud jahat. Ia lantas memberi hormat seraya
berkata. "Locianpwee, silahkan turun untuk minum barang tiga gelas
arak? Sudikah?"
"Baik!" menyahut pengemis itu, yang lantas menjatuhkan diri, hingga ia
mendeprok di papan lauwteng yang debunya mengepul. Setelah menepuk-nepuk
kempolannya ia merayap bangun.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran bukan main. Orang bisa ada di atas mereka
tanpa bersuara, mereka menduga orang berkepandaian tinggi, tetapi orang
jatuh terbanting begitu rupa, agaknya sangat berat tubuh orang, itulah
bukan tandanya orang lihay.
"Silahkan minum!" Oey Yong mengundang. Ia menyuruhnya pelayan
menambahkan cangkir arak, mangkok dan sumpit. Ia pun mengisikan cangkir.
"Pengemis tua tak tepat duduk di kursi," kata pengemis itu, yang lantas
duduk mendeprok di lantai, sedang dari kantungnya ia mengeluarkan sebuah
mangkok jonges serta sepasang sumpit bambu. Ia pun kata, "Sisa arak dan
sayur yang kamu telah makan, kasihlah itu padaku!"
"Itulah perbuatan tak hormat dari kami, locianpwee," berkata Kwee Ceng.
"Apa yang locianpwee hendak dahar, bilang saja, suruh pelayan
menambahkan!"
"Pengemis ada macamnya si pengemis," kata orang tua itu, "Kalau pengemis
cuma nama tapi tak tepat sama artinya, cuma berpura-pura saja, buat apa
dia menjadi pengemis? Jikalau kamu sudi mengamal, nah, kasihlah,
jikalau tidak, aku bisa pergi mengemis ke lain tempat…"
Dua-dua muda-mudi itu heran tetapi Oey Yong melirik kawannya, lalu ia
berkata sambil tertawa. "Locianpwee benar!" Maka ia lantas sisihkan sisa
sayur mereka, ia menuangnya ke mangkok butut itu.
Si pengemis merogoh ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan nasi dingin,
yang mana ia campur sama sisa sayur, terus ia dahar, nampaknya ia
bernafsu sekali.
Oey Yong yang cerdik diam-diam menghitung kantung di punggung orang,
semuanya susun tiga, setiap susunnya terdiri dari tiga buah, maka itu
ada sembilan kantung. Ketika ia berpaling kepada ketiga pengemis lain,
mereka pun mempunyai masing-masing sembilan kantung. Yang beda ialah
mereka itu bertiga di depannya tersajikan banyak macam sayur pilihan.
Mereka itu agaknya tidak memperdulikan pengemis yang satu ini, mereka
tidak sudi berpaling atau melirik, cuma pada paras mereka tampak
samar-samar roman tak puas.
Tengah si pengemis bersantap dengan bernafsu, di tangga lauwteng
terdengar tindakan kaki. Kwee Ceng lantas berpaling. Maka terlihat
olehnya naiknya dua pengemis, ialah pengemis kurus dan gemuk yang di
Gu-kee-cun, Lim-an menemani Yo Kang. Bahkan di belakang mereka terlihat
Yo Kang sendiri. Hanya dia itu, begitu dia melihat si orang she Kwee,
dia melongo, lekas dia turun pula. Entah dia berbicara apa sama si
pengemis gemuk, maka di gemuk itu ikut dia turun. Si pengemis kurus maju
terus, ia menghampirkan pengemis yang tiga itu yang makannya royal, dia
bicara berbisik-bisik. Atas itu, ketiga pengemis itu berbangkit, mereka
membayar uang makan, lantas mereka berlalu bersama si kurus itu. Si
pengemis yang dahar sambil duduk mendeprok dan makan sisa, terus tidak
menghiraukan sepak terjang beberapa rekannya itu.
Oey Yong berjalan ke jendela, untuk melongok ke bawah. Ia melihat
belasan pengemis mengikuti Yo Kang ke barat. Jalan belum jauh, pemuda
she Yo itu menoleh ke belakang. Maka tepat sinar matanya bentrok sama
sinar matanya Oey Yong. Dia agaknya terkejut, segera ia mempercepat
tindakannya, selanjutnya dia tidak berpaling lagi.
Pengemis tua itu lantas dahar habis. Ia menjilati mangkoknya dan
sumpitnya disusuti kepada bajunya, semua itu lantas dimasuki ke dalam
kantungnya. Diam-diam Oey Yong mengawasi. Ia melihat sinar kedukaan pada
kulit muka orang yang berkeriputan. Aneh adalah tangannya, yang jauh
lebih besar dari pada tangan kebanyakan orang lain, sedang belakang
tangannya penuh dengan otot-otot besar, suatu tanda dari penghidupan
berat.
"Cianpwee, silahkan duduk!" berkata Kwee Ceng seraya memberi hormat. "Dengan berduduk, leluasalah kita berbicara."
Pengemis itu tertawa. "Aku tidak biasa duduk di bangku!" katanya. "Kamu
berdua ada murid-muridnya Ang Pangcu, meskipun usia kamu lebih muda,
kita adalah sama derajatnya, cuma aku lebih tua beberapa puluh tahun,
kau panggilah aku toako. Aku she Lou, namaku Yoe Kiak."
Oey Yong tertawa. "Toako, namamu menarik hati!" katanya. Yoe Kiak itu berarti "ada kaki"
Pengemis itu berkata. "Orang biasa membilang, orang miskin hidup tanpa
tongkat dia diperhina anjing, tetapi aku tidak mempunyai pentung, aku
mempunyai sepasang kakiku yang bau ini, kalau anjing berani menghina
aku, akan aku mendupak dia pada kepalanya, supaya dia terkuwing-kuwing
dan kabur sambil menggoyang-goyang ekornya."
Oey Yong bertepuk tangan. "Bagus, bagus!" serunya, "Kalau anjing
mengetahui namamu, tentulah siang-siang dia sudah lari jauh-jauh!"
"Tadi pagi aku telah bertemu sama saudara Lee Seng," berkata Yoe Kiak,
yang lantas bicara secara sungguh-sungguh, "Dari dia aku mendapat
ketahui perbuatan kamu di Poo-eng dan Gakciu. Maka benarlah orang
bilang, kalau ada semangat, bukan cuma karena usia tinggi, siapa tanpa
semangat, percuma usianya lanjut!"
Kwee Ceng berbangkit untuk merendahkan diri untuk mengucapkan terima kasih atas pujian itu.
"Barusan kamu bicara tentang Tiat Ciang Pang," berkata Lou Yoe Kiak, "Agaknya mengenai mereka itu, kamu belum mengetahui jelas."
"Benar. Justru itu, aku mohon petunjuk," sahut Oey Yong.
"Tiat Ciang Pang itu, untuk Ouwlam dan Ouwpak dan Sucoan, pengaruhnya
sangat besar," menerangkan si pengemis tua, "Anggota-anggotanya suka
membunuh orang dan merampok, tak ada kejahatan yang tak dilakukan
mereka. Mulanya mereka cuma bersekongkol sama pembesar negeri setempat,
kemudian mereka jadi semakin berani, kecuali bersekongkol mereka pun
menempel pembesar berpangkat tinggi dan main sogok hingga ada di
antaranya yang memangku pangkat. Yang paling menyebalkan ialah mereka
bersekongkol sama negeri Kim, mereka melakukan perbuatan hina sebagai
pengkhianat. Maka tepatlah hajaran kamu kepada mereka itu."
"Kabarnya kepala Tiat Ciang Pang ialah Kiu Cian Jin," berkata Oey Yong.
"Tua bangka itu paling pandai memperdayakan orang. Kenapa dia jadi
demikian berpengaruh?"
"Kiu Cian Jin itu sangat lihay, nona," berkata Yoe Kiak, "Aku harap kau tidak memandang enteng kepadanya."
Oey Yong tertawa. "Apakah kau pernah bertemu dengannya?" dia menanya.
"Bertemu, itulah belum. Aku mendapat kabar dia tinggal bersembunyi di
atas gunung, di mana dia meyakinkan tangan beracun yang dinamakan
Ngo-tok Sin-ciang. Sudah sepuluh tahun lamanya dia tidak turun gunung…."
"Kau terpedayakan!" kata Oey Yong tertawa. "Aku telah bertemu dengannya
beberapa kali, bahkan kita pernah bertempur juga. Kau bilang ia
meyakinkan Ngo-tok Sin-ciang? Ha ha ha…!" Dan dia tertawa geli mengingat
ngacirnya Kiu Cian Jin, sambil tertawa ia mengawasi Kwee Ceng.
"Apakah yang disandiwarakan itu Kiu Cian Jin itu," kata pula Yoe Kiak,
tetap sungguh-sungguh, "Aku tidak tahu, tetapi benar sekali selama
beberapa tahun kemarinkan Tiat Ciang pang maju sangat pesat, dia tidak
dapat dipandang enteng."
"Lou Toako benar," kata Kwee Ceng. Yang khawatir pengemis itu menjadi tidak senang, "Memang Yong-jie gemar bergurau…"
"Ah, kapannya aku bergurau?" berkata si nona tertawa, "Aduh, aduh!
Perutku sakit…!" dan dia beraksi mirip dengan tingkah lakunya Kiu Cian
Jin baru-baru ini, ketika ia berpura-pura sakit perut untuk lari
membuang air besar tetapi akhirnya kabur dengan tipu tonggeret
meloloskan kulit.
Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa menyaksikan nona itu menekan-nekan
perutnya. Melihat kawannya tertawa, Oey Yong berhenti tertawa. Ia pun
mengubah sikap.
"Loa Toako," tanyanya, "Apakah kau kenal ketiga tuan tadi yang bersantap di meja itu?"
Ditanya begitu, Yoe Kiak menghela napas. "Kamu bukan orang luar, hendak
aku bicara dengan sebenar-benarnya," sahutnya kemudian. "Pernahkah kamu
mendengar keterangan Ang Pangcu bahwa partai kita terbagi dalam dua
cabang, ialah cabang Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil?"
"Belum, belum pernah kita mendengar keterangan itu," sahut kedua muda-mudi itu.
"Suatu partai terpecah dalam dua cabang, itulah sebenarnya tidak bagus,"
kata pula Yoe Kiak. "Mengenai itu, Pangcu tidak puas, akan tetapi dia
telah berdaya sekuatnya untuk mempersatukan, dia tidak berhasil juga.
Kay Pang dibawah Ang Pangcu mempunyai empat tiangloo."
"Ya, tentang itu pernah aku mendengarnya. Suhu pernah bercerita."
Meski masih muda, karena Ang Cit Kong masih hidup, Oey Yong tidak segera
menjelaskan bahwa ia telah ditugaskan Pak Kay untuk menjadi pangcu.
Lou Yoe Kiak mengangguk perlahan. "Akulah tiangloo yang kedua," dia
berkata. "Tiga orang tadi juga berkedudukan sebagai tiangloo."
"Aku mengerti," kata Oey Yong lekas, "Kau dari cabang Pakaian Dekil, mereka dari Pakaian Bersih."
"Eh, mengapa kau ketahui itu?"
"Lihat saja pakaianmu, Lou Toako! Pakaianmu kotor tetapi pakaian mereka
bersih sekali. Lou Toako, hendak aku omong terus terang, bajunya cabang
Pakaian Dekil itu hitam dan bau, pasti tidak menyenangkan, maka kalau
kau mencuci bersih pakaianmu, bukankah kedua cabang lantas menjadi
satu?"
"Kaulah anaknya orang hartawan, pasti kau jemu terhadap pengemis," kata
Yoe Kiak sambil ia berjingkrak bangun berdiri. Kwee Ceng hendak
menghaturkan maaf tetapi orang lantas ngeloyor pergi, kelihatannya ia
mendongkol sekali.
Oey Yong mengulur lidahnya. "Engko Ceng, jangan kau menegur aku," katanya.
Kwee Ceng tertawa.
"Sebenarnya aku berkhawatir," kata Oey Yong.
"Kenapa?" pemuda itu tanya.
"Aku berkhawatir Lou Yoe Kiak nanti mendupak padamu."
"Tidak karu-karuan dia mendupak aku, kenapa?"
Si nona memainkan mulutnya, ia tertawa, ia tidak menjawab. Kwee Ceng
menjadi berpikir. Ia benar tidak mengerti. Oey Yong menghela napas. "Ah,
engko tolol," katanya. "Kenapa kau tidak hendak memikirkan namanya
itu?"
Sekarang Kwee Ceng sadar. "Bagus ya!" katanya. "Dengan memutar kau
memaki aku bagaikan anjing!" Ia lantas berbangkit, tangannya diulur,
untuk mengitik, atas mana, Oey Yong tertawa dan berkelit.
Tengah muda-mudi ini bergurau, di tangga lauwteng terdengar pula suara
tindakan kaki. Segera terlihat munculnya ketiga tiangloo yang tadi pergi
mengikuti Yo Kang. Mereka menghampirkan untuk terus memberi hormat.
Tiangloo yang di tengah, yang mukanya putih dan tubuhnya gemuk, yang
kumisnya gompiok, sudah lantas tertawa sebelum ia berbicara. Coba ia
tidak berpakaian banyak tambalannya, tentulah orang menyangka dia itu
seorang hartawan. Dengan manis ia berkata. "Jiewi, si pengemis tua she
Lou tadi telah dengan diam-diam menurunkan tangan jahat. Kami tidak
senang melihat kelakuannya itu maka datang untuk memberikan pertolongan
kami."
Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. "Bagaimana itu?" mereka tanya.
"Bukankah dia tidak sudi dahar bersama jiewi tadi?"
"Ya! Apakah dia telah meracuni kami?"
Pengemis itu menghela napas. "Inilah gara-garanya partai kami lagi
malang," ia berkata, romannya berduka. "Di luar keinginan kami, di
antara kami boleh ada banyak orang buruk semacam dia. Dia itu lihay,
asal tangannya menyentil, racun yang disimpan di kuku tangannya bisa
tanpa diketahui lagi masuk nyampur ke dalam barang makanan atau arak.
Jiewi telah terkena racun itu dan hebat, tidak lewat sampai setengah
jam, maka jiewi sukar ditolongi lagi……."
Oey Yong terkejut tetapi ia bersangsi. "Kami tidak bermusuh dengannya, kenapa dia boleh menurunkan tangan jahat?" tanyanya.
"Jiewi telah keracunan berbahaya sekali, baik jiewi lekas makan obat
ini, baru jiewi bisa dapat ditolong!" kata si pengemis tanpa menyahuti
dulu pertanyaan orang. Ia lantas mengeluarkan satu bungkusan obat bubuk
warna kuning, obat itu ia masuki ke dalam dua cangkir arak, "Lekas
minum, jiewi!" katanya pula.
Oey Yong melihat tadi Yo Kang, ia curiga, maka itu, mana mau ia minum
arak itu. Maka ia berkata. "Tadi tuan Yo itu kenal kami, tolong samwie
ajak dia datang menemui kami."
"Memang jiewi harus bertemu dengannya," berkata si pengemis. "Tetapi
racun jahanam itu berbahaya sekali, baik jiewi minum dulu obat ini.
Kalau ayal-ayalan, nanti susah buat diobatinya."
"Samwie baik sekali, terima kasih," berkata Oey Yong. "Nah, marilah
duduk untuk kita minum bersama! Sebenarnya kami kagum sekali kepada Kay
Pang sebab kami ingat tahun dulu itu pangcu dari generasi yang
kesebelas, di Pak Kouw San dia seorang diri telah melayani banyak lawan
yang gagah dengan sepasang tongkatnya, dengan sepasang tangannya, dia
telah membinasakan lima jago dari Lok-yang! Sungguh gagah!"
Tiga pengemis itu nampak heran sebab mendadak mendengar orang bicara
perihal partainya, maka mereka lantas saling melirik. Heran mereka,
kenapa nona begini muda ketahui peristiwa dulu hari itu.
"Ang Pangcu itu lihay sekali ilmu silatnya yang bernama Hang Liong
Sip-pat Ciang," berkata pula Oey Yong. "Kepandaiannya itu tak ada
bandingannya di kolong langit ini, maka entahlah samwie telah dapat
memperlajari beberapa jurus dari ilmu silat itu?"
Mendengar ini, tiga pengemis itu lantas menduga tentulah orang curiga
dan tak sudi minum arak campur obat itu. Maka yang beroman mirip
hartawan itu berkata sambil tertawa. "Kalau nona bercuriga, tentu sekali
kami tidak berani memaksa, tetapi marilah nona melihat suatu bukti
nanti nona percaya. Sekarang jiewi lihat di mataku ada apa yang luar
biasa?"
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi, mereka mendapatkan mata orang
bercahaya tajam sekali. Oey Yong melihat tidak ada apa-apa yang aneh,
maka ia memikirnya itulah tak lebih tak kurang sepasang mata babi………
Tetapi si pengemis itu sudah berkata pula. "Jiewi awasi mataku, jangan
sekali jiewi memecah perhatianmu. Lihatlah, sekarang jiewi mulai merasa
kulit matamu berat dan kepala pusing, seluruh tubuh jiewi tidak ada
tenaganya. Nah, itulah alamat terkena racun. Lekas jiewi menutup mata
dan tidur!"
Kata-kata itu menarik dan berpengaruh. Kwee Ceng dan Oey Yong
benar-benar lantas merasa matanya ingin dirapatkan dan lesu, benar-benar
seluruh tenaganya habis.
"Tempat ini menghadap telaga besar," berkata pula si pengemis. "Hawanya
pun adem sekali, maka itu jiewi silahkan kamu berangin dan tidur di
sini! Tidur, tiudrlah!"
Makin lama kata-kata itu terdengar makin perlahan, kata-kata itu sangat
manis dan menarik hati, maka tanpa merasa sepasang muda-mudi itu
menguap, lalu tidur pulas dengan mendekam di meja. Beberapa lama sang
tempo telah lewat, inilah mereka tak tahu, hanya mereka merasa ada hawa
sejuk yang menyampok muka mereka, samar-samar pun kuping mereka
mendengar suara gelombang. Mereka lantas membuka mata mereka. Maka
tampaklah di antara mega munculnya sang rembulan, yang baru mulai naik
di gunung timur. Mereka terkejut. Tadi toh mereka tengah bersantap dan
minum arak di Gak Yang Lauw, kenapa sekarang sudah malam? Mereka mau
berbangkit, atau mereka merasakan kaki dan tangan mereka telah
diringkus. Mereka mau berseru, ataupun mereka merasakan mulut mereka
telah disumpal biji bebuahan, hingga mereka merasakan mulut mereka
sakit.
Sebagai seorang cerdik Oey Yong lantas mengerti bahwa ia telah kena
dipermainkan si pengemis gemuk itu, hanya ia belum bisa menerka, orang
menggunai ilmu apa membuat dia dan Kwee Ceng menjadi mengantuk dan lemas
dan akhirnya tidur lupa daratan. Ia mengerti, maka ia tidak mau banyak
berpikir. Ia segera melihat ke sekitarnya. Ia nampak Kwee Ceng di
sisinya, kelihatannya kawan itu lagi mau meronta, maka hatinya lega
sebagian.
Kwee Ceng pun mendusin karena ia merasakan sampokan hawa dingin. Ia
kaget untuk belengguan yang kuat sekali, hingga ia tidak mampu berontak
untuk memutuskannya. Kiranya itulah tambang yang dipakai mengikatnya
ialah tali kulit kerbau campur kawat. Ketika ia hendak mencoba buat
berontak lagi, tiba-tiba ia merasa dingin di pipinya, dua kali pipinya
disampok pedang. Ketika ia mengawasi, ia dapatkan empat pengemis muda
menjagai dia dengan senjata di tangan.
Oey Yong lantas berpikir terus. Satu hal yang membuatnya kaget. Ia
mendapat kenyataan mereka berada di atas sebuah puncak, di sekitarnya
telaga dengan airnya yang jernih. Di antara sinar rembulan, ia sekarang
melihat tegas ke sekitarnya itu. Ia menjadi heran sekali kenapa ia tidak
merasa orang telah mengangkutnya ke atas puncak itu, ialah puncak dari
gunung Kun San di tengah telaga Tong Ting itu.
Di depan ia terlihat sebuah panggung tinggi belasan tombak. Di
sekitarnya itu duduk beberapa ratus pengemis. Semua duduk dengan diam.
Itulah sebabnya kenapa mereka mulanya tak nampak, tak ketahuan. Segera
setelah ia ingat, hatinya girang. Pikirnya, "Benarlah! Hari ini Cit gwee
Capgouw, hari Rapat Besar Kaum Kay Pang! Biarlah aku bersabar, sebentar
aku memperdengarkan titah suhu, mustahil mereka tidak akan menaati…."
Lewat sekian lama, segala apa masih diam saja. Nona ini mulai habis
sabarnya. Karena tak dapat bergerak, ia merasakan kaki tangannya baal.
Sang waktu pun berjalan terus. Kemudian sinar rembulan menjojoh
pinggiran panggung di mana ada tiga huruf besar, "Hian Wan Tay", artinya
panggung "Kaisar Hian Wan". Maka ingatlah Oey Yong akan cerita dongeng,
katanya dulu hari Oey Tee, ialah Kaisar Hian Wan itu, telah membuat
perapian kaki tiga di sini, setelah perapian itu rampung, dia menunggang
naga naik ke langit. Jadi inilah panggung yang berhikayat itu.
Lagi sekian lama, di waktu sinar rembulan telah memenuhi seluruh
panggung, maka terdengarlah suara yang tiga-tiga kali, suara itu
sebentar cepat dan sebentar perlahan, sebentar tinggi, sebentar rendah,
ada iramanya. Kemudian ternyata semua pengemis memegang tongkat kecil,
dengan itu mereka mengetuk batu hingga berlagu.
Oey Yong menghitung, setelah terdengar sampai delapan puluh satu kali,
suara itu berhenti serentak. Lalu kelihatan berbangkitnya empat pengemis
yang usianya tinggi, ialah keempat tiangloo, Lou Yoe Kiak serta tiga
tiangloo lainnya yang Oey Yong mengenalinya dengan baik. Mereka itu
berdiri di empat penjuru panggung. Semua pengemis pada berbangkit,
dengan membawa tongkat ke depan dadanya, mereka memberi hormat sambil
menjura.
Si tiangloo putih dan terokmok setelah menanti semua pengemis berduduk
pula, lantas berkata dengan nyaring. "Saudara-saudara, Thian telah
melimpahkan bahaya untuk Kay Pang kita, ialah Ang Pangcu kami telah
berpulang ke langit di Lim-an!"
Mendengar warta itu, semua pengemis berdiam, hanya seorang yang kemudian
berteriak keras, terus ia roboh ke tanah, setelah mana semua pengemis
pada menumbuki dadanya, semua menangis sedih, ada yang
menggerung-gerung, ada yang mambanting-banting kaki. Tangisan mereka itu
berkumandang jauh.
Kwee Ceng kaget sekali. "Aku tidak dapat mencari suhu, kiranya ia telah
menutup mata…" pikirnya. Ia pun menangis, hanya tidak dapat bersuara
sebab mulutnya tersumbat.
Oey Yong bercuriga. Ia pikir, "Kami tidak dapat mencari suhu, musathil
mereka bisa! Mungkin kawanan manusia jahat ini lagi mengelabui orang
banyak…"
Tengah orang sangat bersedih itu, Lou Yoe Kiak bertanya. "Pheng
Tiangloo, ketika Pangcu berpulang ke dunia baka, adakah tiangloo
melihatnya sendiri?"
Si tiangloo putih dan gemuk itu menyahuti, "Lou Tiangloo, jikalau Pangcu
masih hidup, siapa yang berani makan nyali macan tutul dan hati harimau
untuk menjumpai padanya? Orang yang melihat sendiri Pangcu meninggal
dunia berada di sini. Yo Siangkong, silahkan kau memberi keterangan
kepada orang banyak!"
Seorang lantas muncul di antara orang banyak. Dialah Yo Kang. Dengan
memegang tongkat bambu, ia naik ke panggung. Semua pengemis berdiam,
untuk memasang kuping.
Yo Kang berbatuk satu kali, baru ia mulai bicara. Ia kata, "Kejadian
ialah baru satu bulan yang lalu. Kejadiannya di kota Lim-an. pangcu
telah berkelahi dan orang kesalahan memukul ia hingga ia mati."
Mendengar itu, suara orang banyak menjadi riuh.
"Siapakah musuh itu?!" tanya mereka. Nyata mereka murka. "Lekas bilang,
lekas! Pangcu demikian lihay, mungkinkah dia jatuh? Pastilah Pangcu
telah dikepung ramai-ramai maka ia roboh!"
Kwee Ceng mendongkol mendengar keterangan Yo Kang itu. "Pada satu bulan
yang lalu, suhu ada bersama aku! Ha, kiranya dia lagi main lagi!"
Yo Kang mengangkat kedua tangannya, ia menunggu sampai suara orang reda,
baru ia berkata pula. "Orang yang mencelakai hingga Pangcu mati ialah
Tong Shia Oey Yok Su, pemilik dari Pulau Tho Hoa To, bersama tujuh imam
bangsat dari Coan Cin Pay!"
Oey Yok Su sudah lama tidak meninggalkan pulaunya, antara kaum pengemis
ini, dalam sepuluh, sembilan tidak ada yang mengenal dia, hanya Coan Cin
Cit Cu sangat kesohor maka mereka mengenalnya. Mereka mau percaya ketua
mereka kalah karena dikeroyok, maka itu mereka mencaci dan mengutuk,
ada yang mau lantas pergi untuk menuntut balas. Tentu sekali mereka
tidak tahu bahwa mereka lagi dipermainkan Yo Kang, yang mau mengadu
mereka dengan Tong Shia dan Coan Cin Cit Cu. Tentang Kanglam Liok Koay,
ia tidak takut. Yo Kang bertindak begini karena Ang Cit Kong terluka
parah hajaran Kuntauw Kodok dari Auwyang Hong sedang Kwee Ceng, ia
menyangka telah mati tertikam olehnya di dalam istana, siapa tahu
kemarin ia menemui Kwee Ceng dan Oey Yong di Gak Yang Lauw, karena itu
sudah kepalang, ia minta Pheng Tiangloo membekuk kedua orang itu dengan
tipu, dengan liap-sim-hoat, yang mirip dengan ilmu sihir. Ia mengharap
Tong Shia, Coan Cin Kauw dan Kay Pang nanti ludas bersama karena
bentroknya mereka bertiga…….