Batu itu melayang bagaikan terbang tetapi Kiu Cian Jin menyambutinya.
"Nona takut bau busuk?" katanya tertawa. "Baiklah, aku akan menyingkir
sedikit lebih jauh. Kau orang delapan mesti menunggu, aku larang kamu
pada melarikan diri…..!"
Dengan masih memegangi celananya, Cian Jin pergi sampai belasan tombak, di situ ia baru jongkok, hingga ia tak terlihat lagi.
"Jie suhu, jangan-jangan bangsat tua itu mau melarikan diri!" berkata Oey Yong.
Cu Cong tertawa. "Mungkin dia mau lari tetapi dia tidak bisa," sahutnya
guru yang nomor dua itu. "Kau ambillah dua rupa barang ini untuk kau
buat main…."
Oey Yong melihat sebatang pedang dan sebuah sarung tangan dari besi di
tangan gurunya itu, maka tahulah dia tadinya selagi menepuk pundak Kiu
Cian Jin, gurunya itu sudah memindahkan barang orang. Ia periksa pedang
itu, lantas ia tertawa geli. Selama di dalam kamar rahasia tadi ia
melihat Kiu Cian Jin mempermainkan Coan Cin Cut Cu dengan menikam
perutnya dengan pedang itu, tidak tahunya itulah pedang rahasia, yang
dapat dibikin melesat atau ngelepot tiga kali. Maka ia lantas
menghampirkan Auwyang Hong.
"Auwyang Sianseng, aku tidak mau hidup lagi!" katanya sambil tertawa,
tangan kanannya terus diayunkan ke perutnya, yang ia tumblas dengan
pedangnya Kiu Cian Jin itu, hingga pedang itu melesak masuk.
Auwyang Hong dan Oey Yok Su yang bersiap untuk bertempur menjadi kaget,
tetapi Oey Yong sudah lantas mencabut pedangnya itu, yang menjadi
pendek, sembari memperlihatkan itu kepada ayahnya, ia menuturkan
rahasianya pedang tukang sulap itu.
Auwyang Hong menjadi melengak dan berpikir. "Apa mungkin tua bangka itu
main gila seumurnya sedang sebenarnya dia tidak mempunyai guna?"
Oey Yok Su terus mengawasi si Bisa dari Barat itu, ketika ia melihat
tubuh orang mulai tak jongkok lagi, ia dapat menerka hati orang. Ia
lantas menyambuti sarung tangan besi dari anaknya, untuk meneliti itu.
Ia melihat ukiran huruf "Ki" di telapakan tangan, di sebelah belakangnya
ada ukiran seekor ular kecil serta seekor kelabang kecil, yang
berguling menjadi satu. Ia ingat itulah lengpay atau tertanda dari
Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin.
Pada dua puluh tahun yang lalu, lengpay itu sangat berpengaruh di dalam
dunia kangouw, siapa yang membawa-bawa itu, dia dapat lewat dengan
merdeka di selatan dan si utara sungai Tiang Kang atau di hulu dan hilir
sungai Hong Hoo, bahkan golongan Hitam dan Putih sangat jeri
terhadapnya. Maka itu heran, mungkinkah pemiliknya lengpay itu ada ini
orang yang besar mulutnya saja?
Sembari berpikir, Oey Yok Su kembalikan sarung tangan itu kepada
putrinya. Auwyang Hong juga berpikir keras, ia turut merasa heran.
Oey Yong tertawa. "Ayah, sarung tangan ini bagus untuk dibuat main, aku
menyukainya, hanya ini alat peranti menipu orang aku tidak
membutuhkannya! Nah ini, kau sambutlah!" Ia mengayun tangannya, hendak
menimpukkan pedang-pedangan itu. Atau mendadak, ia membatalkannya.
Jaraknya dengan Kiu Cian Jin jauh juga, ia khawatir tidak dapat ia
menimpuk sampai di sana. Maka pedang itu ia serahkan kepada ayahnya
seraya membilangnya sambil tertawa, "Ayah, kau saja yang
menimpukkannya!"
Oey Yok Su memang tengah bersangsi, ia menjadi ingin mencobai Kiu Cian
Jin, maka ia menyambutinya pedang itu, yang ia taruh di telapakan
tangannya yang kiri, ujungnya yang lancip di arahkan ke luar, lalu
dengan jari tangan dari tangan kanan, ia menyentil. Sekejap saja pedang
itu melesat bagaikan terbang!
"Bagus!" berseru Oey Yong dan Kwee Ceng sambil bertepuk tangan.
"Tiat Cie Sin-kang yang hebat!" Auwyang Hong memuji di dalam hatinya. Ia
kaget sendirinya untuk lihaynya Tong Shia si Sesat dari Timur ini.
Semua mata diarahkan kepada pedang itu serta Kiu Cian Jin. Di situ ia
tampak jongkok tak bergeming walaupun bebokongnya mau dijadikan sasaran
pedangnya itu. Maka cepat sekali, pedang telah mengenai dan nancap.
Serangan Oey Yok Su sangat hebat, jangan kata itu pedang besi, walaupun
pedang kayu, kalau sasarannya kena terhajar, korbannya mesti bercelaka.
Kwee Ceng lantas berlompat lari ke arah Kiu Cian Jin. Ketika ia sampai
di tempat orang berjongkok itu, mendadak ia berseru. "Celaka betul!"
Tangannya pun lantas mengangkat sepotong baju, untuk diulap-ulapkan. Ia
berseru pula, "Orangnya sudah kabur!"
Kiu Cian Jin telah meloloskan bajunya, yang ia sangkutkan dengan rapi
hingga ia tampak seperti terus berjongkok membuang air besar, dengan
nyelundup di pepohonan lebat, ia sendiri diam-diam mengangkat kaki,
menyingkir dari tempat berbahaya itu. Dengan kecerdikannya ini ia telah
berhasil menjual Tong Shia dan See tok yang berpengalaman dan lihay itu,
hingga dua orang itu melengak dan saling mengawasi, lalu keduanya
tertawa lebar.
Auwyang Hong kenal baik Tong Shia, yang tak sejujur Ang Cit Kong, yang
sukar untuk dibokong, sekarang melihat orang tengah tertawa, ia
menganggap inilah ketikanya untuk turun tangan. Dengan mendadak ia
berhenti tertawa, terus ia menjura dalam sekali.
Oey Yok Su terus tertawa hanya sambil tertawa itu, tangan kirinya
dilonjorkan, tangan kanannya ditekuk, sebagai juga ia membalas hormat.
Sesaat itu tubuh mereka bergoyang sebentar, setelah mana, Auwyang Hong
mundur tiga tindak. Ia telah membokong dengan tidak berhasil. Lantas ia
kata, "Baiklah, kita berdua nanti bertemu pula di belakang hari!"
Sembari berkata begitu, ia mengibaskan tangan bajunya, ia memutar
tubuhnya, untuk berlalu.
Air mukanya Oey Yok Su berubah. Dengan lekas ia mengulur tangan kirinya
ke depan anak gadisnya. Kwee Ceng pun telah melihat, selagi memutar
tubuh, Auwyang Hong menyerang secara rahasia, menyerang Oey Yong dengan
"Pek-hong-ciang", yaitu ilmu silat tangan kosong yang memerlukan
anginnya saja. Ia hanya kalah jeli dengan Oey Yok Su. Tapi ia berseru,
dengan kedua tangannya ia lantas menyerang See Tok, untuk memaksa orang
membatalkan serangannya itu.
Auwyang Hong melihat ia ditangkis Oey Yok Su, yang melindungi putrinya,
ia lantas menarik pulang serangannya itu, hanya bukan untuk dibatalkan,
tetapi untuk diteruskan, dipakai menyerang Kwee Ceng, selagi si anak
muda menyerang padanya, hingga serangan mereka bakal bentrok, keras sama
keras. Kwee Ceng tahu diri, ia tidak mau melayani, maka itu dengan
sebat ia membuang diri, bergulingan, untuk terus berlompat berdiri. Ia
kaget hingga mukanya pucat sekali.
"Ha, anak yang baik!" berseru Auwyang Hong. "Baru beberapa hari kau tidak terlihat, kepandaianmu telah maju pesat sekali!"
Memang adalah di luar dugaan, si anak muda lolos dari bokongannya itu.
Melihat orang telah turun tangan, Kanglam Liok Koay segera memernahkan
diri di belakangnya Auwyang Hong, untuk memegat. Auwyang Hong maju
terus, ia mendekati Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng. Mereka ini tidak
berani turun tangan, maka itu, merdeka See Tok berjalan melewati mereka,
ke luar dari dalam rimba.
Oey Yok Su pun berdiam saja. Sebenarnya kalau ia mau turun tangan,
dengan dibantu Liok Koay, See Tok bisa dapat celaka, tetapi ia berkepala
besar, tidak mau ia mengepung si Bisa dari Barat itu, ia khawatir nanti
orang tertawakan. Ia memikir, lain kali saja, kalau ada ketikanya,
mereka bertempur satu sama satu. Ia tertawa dingin mengawasi punggung
orang.
Ketika itu Kwee Ceng telah lepaskan Gochin Baki berempat dari tambatan
mereka. Putrinya Jenghiz Khan ini girang sekali melihat si anak muda
tidak mati, maka itu dengan sengit ia mendamprat Yo Kang yang dikatakan
sudah menjual cerita untuk mendustakan orang.
Tuli menambahkan dengan berkata, "Orang she Yo itu membilang ia
mempunyai urusan mesti lekas pergi ke Gak-ciu, kami menyangka dia orang
baik-baik, maka kecewa sekali kami memberikan dia tiga ekor kuda
pilihan…"
"Anda," Kwee Ceng tanya, "Bagaimana caranya maka kamu jadi bertemu sama itu dua siluman tua?"
Putri Mongolia itu, dalam kegembiraannya, mendahului memberikan
keterangan. Mereka ini sangat berduka mendengar dari Yo Kang bahwa Kwee
Ceng telah meninggal dunia, di lain pihak, senang hati mereka mendengar
Yo Kang berniat mencari balas. Mereka menaruh kepercayaan besar, senang
mereka bergaul dengan orang she Yo itu.
Itu malam mereka menginap bersama di sebuah dusun. Yo Kang beberapa kali
mencoba membokong Tuli, saban-saban ia gagal disebabkan penjagaan yang
keras dari kedua pengemis kurus dan gemuk terhadapnya, kalau tidak si
gemuk, tentulah si kurus yang meronda sambil memegang tongkat
keramatnya. Kecewa ia karena kegagalannya, dari itu, terpaksa besoknya
pagi ia minta saja tiga ekor kuda, dengan itu bersama kedua pengemis itu
ia berangkat ke barat.
Tuli berempat menuju ke utara, sedang kedua burung rajawali terbang ke
selatan, sampai lama, keduanya tidak kembali. Ia tahu pada itu mesti ada
sebabnya. Karena mereka tidak membikin perjalanan cepat, mereka
menantikan di rumah penginapan, sampai dua hari. Baru di hari ketiga,
kedua ekor burung rajawali itu kembali, keduanya menclok di pundak
Gochin Baki seraya berbunyi tak mau berhenti.
"Mari kita ikuti mereka," berkata Tuli, yang merasa heran.
Mereka kembali ke selatan dengan kedua rajawali itu menjadi petunjuk
jalan, hanya apa lacur, di rimba itu mereka bertemu Auwyang Hong dan Kiu
Cian Jin. Tuli, Jebe dan Borchu gagah tetapi menghadapi Auwyang Hong,
mereka tidak berdaya, dari itu bersama si opsir pengiringnya, dengan
gampang mereka kena ditawan dan dibelenggu. Malang si opsir, dia menjadi
korban paling dulu.
Kiu Cian Jin mendapat tugas dari negara Kim untuk mengacau orang-orang
kosen di Kanglam. Supaya mereka bentrok satu dengan lain, untuk
menggampangi usaha bangsa Kim itu menyerang ke Selatan. Bersama Auwyang
Hong ia berada di rimba itu, kapan ia melihat Tuli berlima, ia lantas
menganjurkan Auwyang Hong turun tangan. Syukur kedua burung rajawali
telah bisa mencari bantuan dan rombangannya Kwee Ceng ini datang tepat.
Gochin Baki sangat gembira, sembari menutur ia pegangi tangan Kwee Ceng,
ia tertawa tak hentinya. Oey Yong mengawasi tingkah lakunya putri itu,
ia merasa tak puas. Ia jadi lebih tak senang karena si putri bicara
dalam bahasa Mongolia, yang ia tidak mengerti. Ia menjadi tidak sabaran.
Oey Yok Su melihat roman anak gadisnya itu, ia heran. "Yong-jie, siapakah ini perempuan asing?" ia tanya.
"Dialah istrinya engko Ceng yang masih belum dinikah!" sahut sang gadis.
Ayah itu heran hingga ia hampir tidak mempercayai kupingnya sendiri. "Apa?!" ia menanya, mengulangi.
"Ayah, kau pergi tanya dia sendiri," sahut si anak perlahan. ia malu untuk menjelaskannya.
Cu Cong mendapat dengar pembicaraan di antara ayah dan anak itu, ia
mengerti keadaan berbahaya untuk Kwee Ceng, karena ia tahu baik hal
ikhwal putrinya Jenghiz Khan itu dengan muridnya, ia lantas campur
bicara, ia menuturkan duduknya hal itu. Tentu saja ia menyebutkan, jodoh
itu didesaki oleh Khan tersebut.
Oey Yok Su memangnya tidak penuju Kwee Ceng, kalau toh ia menjodohkan
juga putrinya, itulah saking terpaksa. Sekarang ia mendengar ini soal
yang baru untuknya, ia menjadi tidak puas. Ialah kepala suatu partai, ia
sangat menyayangi putrinya itu bagaikan mutiara mustika, dari itu mana
dapat putrinya ini menjadi istri kedua, artinya menjadi gundik?
"Yong-jie!" ia lantas kata kepada putrinya, suaranya keras. "Ayahmu hendak melakukan sesuatu, kau tidak boleh mencegah!"
Anak itu kaget. "Apakah itu, ayah?" ia tanya.
"Anak busuk itu, perempuan hina itu, dua-duanya mesti dibunuh!" sahut sang ayah.
Oey Yong kaget, ia lompat menubruk tangan ayahnya itu. "Tetapi, ayah, engko Ceng bilang dia sungguh mencintai aku!" katanya.
Oey Yok Su tidak meronta, tetapi ia membentak kepada Kwee Ceng. "Eh,
bocah, kau bunuhlah perempuan asing itu, untuk membuktikan hatimu
sendiri!"
Kwee Ceng berdiri menjublak. Belum pernah ia menghadapi soal sesulit
ini. Ia memang kurang cerdas, dari itu, ia ayal mengambil keputusannya.
""Lebih dulu kau sudah bertunangan, kenapa kau melamar juga putriku?!"
tanya Oey Yok Su bengis. "Apakah artinya perbuatanmu ini?!"
Kanglam Liok Koay memasang mata waspada. Sikapnya Tong Shia luar biasa
sekali. Sembarang waktu si Sesat dari Timur ini dapat menurunkan tangan
dahsyat, muka orang merah padam. Hati mereka goncang sebab pemilik Tho
Hoa To ini sangat lihay.
Kwee Ceng tidak pernah mendusta, maka ia menyahuti. "Pengharapanku ialah
dalam seumur hidup aku bisa berkumpul bersama Yong-jie saja, lainnya
hal tidak ada di hatiku."
"Baik kalau begitu," kata Oey Yok Su, yang hawa amarahnya sedikit
mereda. "Sekarang begini saja. Tidak apa kau tidak suka membinasakan
perempuan itu, tetapi kau, semenjak hari ini, aku larang kau bertemu
pula dengannya!"
Kwee Ceng berdiam, pikirannya bekerja. "Bukankah kau pasti akan bertemu pula dengannya?" Oey Yong bertanya.
"Di dalam hatiku, dialah mirip adik kandungku," sahut Kwee Ceng. "Kalau
aku tidak bertemu dengannya, aku suka mengingat padanya."
Mendengar itu Oey Yong tertawa. "Kau suka melihat siapa, kau boleh
melihatnya!" katanya. "Tentang itu aku tidak memperdulikannya!"
"Baik, begini saja!" berkata Oey Yok Su. "Saudaranya-saudaranya
perempuan asing itu ada di sini, aku ada di sini, dan keenam gurumu
berada di sini juga, maka hayolah kau membilangnya jelas-jelas bahwa
yang kau bakal nikahi adalah putriku ini, bukan perempuan asing itu!"
Dengan bicara begitu, Oey Yok Su sudah menentang hatinya sendiri, untuk keberuntungan gadisnya, ia suka mengalah.
Kwee Ceng berpikir sambil tunduk, maka ia lantas melihat golok Kim-too
hadiah dari Jenghiz Khan serta pisau belati pengasihnya Khi Cie Kee. Ia
menjadi bingung sekali. Ia berpikir,"Menurut pesan ayahku, dengan Yo
Kang aku mesti menjadi saudara sehidup semati, akan tetapi Yo Kang itu
bersifat lain, kelihatannya persaudaraanku dengannya tidak dapat
dilundungi lagi. Pula menurut pesan paman Yo, aku harus menikah sama
adik Liam Cu. Bagaimana sekarang? Seharusnya pesan orang tua mesti
dijalankan. Dengan begitu, perangkapan jodohku dengan putri Gochin Baki
pun ada atas kehendak Jenghiz Khan, seorang tua! Bolehkah karena
kata-kata orang tua itu lantas aku mesti berpisah dengan Yong-jie?"
Setelah memikir paling belakang itu, pemuda ini lantas mengambil
keputusan. Ia mengangkat kepalanya. Sementara itu Tuli telah menanyakan
Cu Cong tentang pembicaraan di antara Kwee Ceng dengan Oey Yok Su itu.
Setelah mengetahui duduknya hal dan menampak kesangsian si anak muda, ia
menjadi tidak puas. Ia gusar mengetahui orang tidak mencintai adiknya.
Maka dari kantung panahnya, ia menarik ke luar sebatang anak panah bulu
burung tiauw, sambil memegang itu di tangannya, ia kata dengan nyaring,
"Anda Kwee Ceng, seorang laki-laki yang mau malang melintang di dalam
dunia, dia mesti berbuat hanya dengan satu kata-katanya yang pasti! Oleh
karena kau tidak mencintai adikku, mana bisa putri yang gagah dari
Jenghiz Khan memohon-mohon meminta kepadamu? Oleh karena itu, mulai hari
ini, putus sudah persaudaraan di antara kita! Di masa mudamu, kau
pernah menolongi aku, kau juga telah menolongi ayahku, budi itu, kami
ingat baik-baik, dari itu, ibumu yang sekarang berada di Utara, akan aku
mengirim orang untuk mengantarkannya, tidak nanti aku membikin dia
kurang suatu apa! Kata-katanya seorang ksatria ada mirip gunung
kekarnya, karenanya kau boleh bertetap hati!" Habis berkata begitu, ia
patahkan anak panah itu dan melemparkannya di depan kudanya.
Hati Kwee Ceng tergerak. Ia lantas ingat masa mudanya di gurun pasir,
bagaimana kekalnya pergaulannya sama Tuli. Ia jadi berpikir: "Memang,
perkataannya seorang ksatria mirip sebuah gunung. Jodohnya adik Gochin
Baki telah aku menerima dengan mulutku sendiri, bagaimana sekarang aku
boleh tidak memegang kepercayaanku? Tanpa kepercayaan, dapatkah aku
menjadi manusia? Biarlah Oey Tocu membunuh aku, biarlah Yong-jie
membenci aku seumur hidup, aku tidak dapat berbuat lain!" maka itu ia
mengangkat kepalanya dan berkata dengan tegas. "Oey Tocu, keenam guruku,
anda Tuli, kedua guruku Jebe dan Borchu, aku Kwee Ceng, aku bukannya
seorang yang tidak mempunyai kepercayaan, maka itu, mesti aku menikah
sama adik Gochin!"
Kwee Ceng bicara dalam bahasa Tionghoa, lalu ia salin itu ke dalam
bahasa Mongolia, hingga kedua belah pihak mengerti. Kata-kata ini
membikin mereka itu menjadi heran sekali. Itulah di luar dugaan. Tuli
dan Gochin Baki heran berbareng girang. Kanglam Liok Koay memuji
muridnya sebagai laki-laki sejati! Adalah Oey Yok Su, yang tertawa
dingin.
Oey Yong sangat kaget dan berduka, hingga ia terbengong sekian lama. Ia
maju beberapa tindak, untuk memandangi si putri Mongolia, tubuh siapa
kekar, alisnya lancip, matanya besar dan bagus, air mukanya gagah dan
agung. Tanpa merasa, ia menghela napas. Ia berkata kepada Kwee Ceng,
"Engko Ceng, aku mengerti kau. Dia dan kau benarlah orang dari satu
kalangan, kamu berdua ialah sepasang rajawali putih dari gurun pasir.
Aku sebaliknya, aku hanya seekor burung walet di bawah cabang yangliu di
Kanglam…."
Kwee Ceng maju satu tindak, ia mencekal tangan si nona. Ia kata,
"Yong-jie, aku tidak tahu perkataan kau tepat atau benar, tetapi di
dalam hatiku cuma ada kau satu orang! Kau mengerti aku, maka kalau aku
dicincang selaksa golok, tubuhku dibakar menjadi abu, dalam hatiku tetap
ada cuma kau sendiri!"
Air mata si nona mengembang. "Habis kenapa kau hendak menikahi dia?" ia tanya.
"Aku seorang tolol, segala apa aku tidak mengerti," sahut si pemuda.
"Aku cuma tahu, apa yang telah dijanjikan tidak dapat dibuat menyesal.
Aku tidak suka omong dusta, tidak peduli bagaimana, dalam hatiku cuma
ada kau seorang!"
Oey Yong bingung. Ia girang tetapi juga bersusah hati. "Engko Ceng, aku
sudah tahu," katanya, tertawa tawar. "Kalau dari atas pulau Beng Hoo To
kita tidak kembali, bukankah itu terlebih bagus?"
"Inilah gampang!" memotong Oey Yok Su sambil alisnya berdiri, sebelah tangannya diayunkan ke arah putri Gochin Baki.
Oey Yong telah melihat roman ayahnya, maka juga ia mendahulukan lompat
untuk menyambar tangannya putri dari Mongolia itu, ditarik turun dari
kudanya. Oey Yok Su khawatir mencelakai gadisnya, gerakannya terlambat,
sesudah putri itu ditarik turun, baru tangannya menghajar pelana kuda.
Mulanya tak apa-apa, hanya selang sesaat kemudian, kuda itu tunduk
kepalanya, lemas empat kakinya, lalu mendeprok sendirinya, jiwanya
melayang.
Kuda itu kuda Mongolia pilihan, besar dan kuat, tetapi dengan sekali
hajar, dia mampus, kejadian itu membuatnya Tuli semua kaget bukan main.
Kalau Gochin Baki kena terhajar, tidakkah tubuhnya ringsek?
Oey Yok Su melengak. Ia tidak menyangka gadisnya mau menolongi nona
Mongolia itu. Tapinya ia cerdik, sejenak kemudian, ia mengerti sebabnya
itu. Kalau putri itu terbinasa, tentu Kwee Ceng bakal murka. Kalau Kwee
Ceng murka, mana bisa dia akur lagi dengan gadisnya? Ia lantas berpikir
keras. Sama sekali ia tidak takut bocah itu. Kapan ia memandang kepada
gadisnya, yang romannya lesu dan berduka sangat, hatinya menjadi dingin.
Paras si nona itu waktu sungguh mirip sama paras istrinya, ialah ibunya
Oey Yong, selagi si istri mau menghembuskan napasnya yang terakhir. Oey
Yong dan ibunya sangat mirip satu dengan lain dan Oey Yok Su sangat
mencintai istrinya itu, meninggalnya siapa membuatnya seperti gila.
Sudah lewat lima belas tahun tetapi wajah istrinya itu masih masih
saban-saban terbayang di depan matanya. Sekarang ia melihat roman
gadisnya itu, maka tahulah ia bagaimana sangat anak itu mencintai Kwee
Ceng. Akhirnya ia mengela napas, lalu bersenandung.
Oey Yong pun berdiri diam, air matanya turun mengucur…..
Han Po Kie menarik tangannya Cu Cong. "Dia kata apakah?" ia berbisik.
"Ia mengulangi tulisannya seorang she Kee di jaman Ahala Gan," Cu Cong
jawab. "Itu artinya, manusia di dalam dunia beserta segala bendanya
adalah seperti penderitaan yang dibakar di dalam sebuah perapian besar."
"Dia demikian lihay, apalagi penderitaannya?" Po Kie tanya pula.
Cu Cong tersenyum, ia tidak menjawab. "Yong-jie, mari kita pulang…"
akhirnya terdengar suaranya Oey Yok Su halus. "Untuk selanjutnya, untuk
selamanya jangan kita melihat pula bocah ini…"
"Tidak, ayah," sahut si anak menggeleng kepala. "Aku mesti pergi ke
Gak-ciu. Suhu menitahkan aku untuk menjadi pangcu, ketua dari Kay Pang."
Ayah itu tersenyum. "Apakah enaknya menjadi ketua Partai Pengemis?" ia menanya.
"Aku telah memberikan janjiku pada suhu, ayah!"
Ayah itu berpikir. "Baiklah," katanya kemudian, "Kau coba-cobalah untuk
beberapa hari. Umpama kata kau menganggap terlalu jorok, kau wariskan
saja kepada orang lain. Bagaimana di belakang hari, kau masih mau
menemui bocah ini atau tidak?"
Oey Yong melirik kepada Kwee Ceng, siapa terus mengawasi kepadanya,
sinar matanya sangat lesu, romannya sangat berduka. Ia berpaling kepada
ayahnya, ia menyahuti. "Ayah, dia mau menikah sama lain orang maka aku
pun akan menikah dengan lain orang juga. Di dalam hati dia cuma ada aku
satu orang, maka di dalam hatiku cuma ada dia seorang juga…"
"Ha!" berkata orang tua itu. "Anak perempuan dari Tho Hoa To tidak dapat
dihina orang, itulah bagus. Habis bagaimana kalau orang orang dengan
siapa kau menikah nanti melarang kau menemui dia?"
"Hm, siapa yang berani melarang aku!" kata nona itu keren. "Aku toh anakmu!"
"Ah, budak tolol!" berkata ayah itu. "Lewat beberapa tahun lagi aku bakal meninggalkan dunia ini…"
"Tetapi ayah," kata si nona yang pun berduka, "Begini rupa dia
memperlakukan aku, apakah kau mengira aku bakal dapat hidup lama pula?"
Kanglam Liok Koay dijuluki manusia-manusia aneh tetapi mendengari
pembicaraan ayah dengan anak itu, mereka menjublak. Di jaman Song itu,
masih keras orang menghormati adat-istiadat, ada sopan santun. Oey Yok
Su bukannya Seng Tong dan Bu Ong, bukannya Ciu Kong atau Khong Cu,
tetapi ialah seorang yang aneh, maka julukannya pun Tong Shia, si Sesat
dari Timur. Apa yang ia lakukan biasanya sebaliknya dari pada yang umum,
sedang Oey Yong itu, semenjak kecilnya, ia sudah dididik ayahnya yang
aneh ini, yang terpelajar tinggi dan luas pengetahuannya, maka ia
mengerti, suami istri tinggal suami istri tetapi cinta itulah lain.
Kwee Ceng pun mendengari pembicaraan itu dengan hatinya terluka. Ia
sangat berduka. Ia mau menghiburi Oey Yong tetapi apa ia hendak bilang?
Maka ia pun berdiam saja.
Oey Yok Su memandang putrinya, lalu ia mengawasi Kwee Ceng, kemudian
lagi ia dongak memandang langit dan mengasih dengar suaranya yang lama
dan keras, yang seumpama kata menggetarkan rimba, suaranya itu
berkumandang di lembah-lembah. Burung-burung kucica kaget hingga pada
beterbangan mengitari pepohonan.
"Burung kucica, burung kucica!" berkata Oey Yong. "Malam ini Gu Long
bakal bertemu sama Cit Lie, kenapa kau tidak lekas-lekas membuat
jembatanmu?"
Tapi Oey Yok Su sengit, ia menjumput seraup pasir, ia menimpuk, maka itu
belasan burung jatuh dan mati, setelah mana dia membalik tubuh, untuk
berjalan pergi tanpa menoleh lagi….
Tuli tidak mengerti pembicaraan orang, karena tahu Kwee Ceng tidak akan
menyalahi janji, ia girang sekali. Ia pegang golok Kim-too dari ayahnya,
dia cium itu di mulutnya, lalu ia membawanya kepada Kwee Ceng, untuk
diserahkan.
"Anda," katanya, "Aku harap usahamu yang besar lekas selesai, supaya kau
bisa pulang ke Utara di mana kita nanti dapat bertemu pula!"
"Burung kita ini kau boleh bawa," berkata Gochin Baki. "Aku harap kau lekas pulang!"
Kwee Ceng mengangguk. Dari sakunya ia mengeluarkan sepotong tombak
pendek, sambil menunjuki itu, ia kata pada putri Mongolia itu. "Kau
bilangi ibuku, pasti aku akan pakai senjata ayahku ini untuk
membinasakan musuh kami!"
Jebe dan Borchu pun turut mengambil selamat berpisah.
Oey Yong mengawasi empat orang Mongolia itu berlalu, Kwee Ceng masih
berdiri saja. Ia melihat kedukaan orang. "Engko Ceng, kau pergilah, aku
tidak sesalkan kau," katanya.
"Yong-jie," menyahut si anak muda itu, yang bicara dari lain hal,
"Tongkat Kay Pang dibawa Yo Kang, dan ayahmu membilang, mengenai Kay
Pang mungkin terjadi sesuatu, maka itu malam ini mari kita mencari suhu,
besok aku nanti terus pergi bersama kau."
Si nona menggeleng kepala. "Pergi kau sendiri mencari suhu," katanya. Ia
mengasih ke luar pisau belati Kwee Ceng, yang ia selipkan di
pinggangnya, ia letaki itu di tanah. Ia juga menurunkan dan membuka
pauwhok yang digendol di punggungnya, dari mana ia mengeluarkan segulung
gambar. Ia kata, "Inilah pemberian ayah untukmu." Masih ia mengeluarkan
lakonnya yang beraneka warna, yang mana ia pisahkan separuh. Ia kata
pula, "Inilah barang yang kita kumpulkan di pulau, aku bagi separuh
untukmu…"
Ia mengawasi bungkusannya itu, di situ cuma ada baju pemberian Kwee Ceng
serta sejumlah uang serta beberapa potong pakaiannya untuk salin tiap
hari, maka ia tertawa dan berkata pula, "Aku tidak mempunyai barang
lainnya lagi untuk diberikan padamu." Lalu dengan perlahan ia membungkus
rapi, ia menggendol itu, habis mana ia memutar tubuhnya, untuk berjalan
pergi.
Kwee Ceng tercengang, dengan menuntun kuda merah, ia menyusul. "Baik kau menunggang kuda," katanya.
Oey Yong menoleh, ia tertawa, tetapi ia jalan terus. Kwee Ceng masih
menyusul beberapa tindak, lantas ia berhenti. Ia masih bengong mengawasi
orang pergi hingga nampak seperti bayangan.
"Anak Ceng, bagaimana sekarang?" Han Siauw Eng menegur.
Anak muda itu masih menjublak. "Aku hendak pergi ke istana mencari suhu," sahutnya.
"Itu benar," berkata Kwa Tin Ok. "Oey Lao Shia pernah mengacau di rumah
kita, mungkin orang di rumah bingung, maka sekarang kita mau pulang.
Kalau kau berhasil mencari gurumu itu, kau undang dia datang ke rumah
kami untuk sekalian beristirahat."
Kwee Ceng menurut, maka itu, ia mengambil selamat berpisah dari keenam
gurunya ini. Kemudian ia sendiri, setelah menyimpan pisau belati dan
lakonnya, terus menuju ke Lim-an. Malam itu Kwee Ceng memasuki istana,
mencari gurunya, hasilnya sia-sia belaka. Ang Cit Kong tidak ada, Ciu
Pek Thong entah ke mana. Di malam kedua ia mencari pula, hasilnya sama.
"Tidak ada jalan lain, lebih baik aku pergi menyusul Yong-jie," pikir
anak muda ini kemudian. "Baik aku membantu dulu padanya mengurus Kay
Pang, kemudian bersama-sama kita kembali mencari terus pada suhu."
Itu hari tanggal sembilan bulan tujuh, tinggal enam hari untuk pembukaan
rapat Kay Pang di Gak-ciu. Kwee Ceng tidak takut ketinggalan. Ia
menunggang kudanya yang jempol. Dalam satu hari saja ia sudah tiba di
batas jalan barat dari Kanglam.
Sementara itu suasana sudah berubah. Separuh dari Tiongkok sudah
diduduki bangsa Kim. Batas di timur adalah Hoay-sui, dan di barat kota
San-kwan. Untuk kerajaan Lam Sang - Song Selatan - tinggal apa yang
disebutkan limabelas "jalan" ialah dua propinsi Ciatkang dan Kangsouw,
Liang Hoay (yaitu daerah di antara kedua sungai Hong Hoo dan Yang Cu
Kang di Anhui dan Kangsouw), dua jalan timur dan barat dari Kanglam, dua
jalan di selatan dan utara dari Kheng-ouw, empat jalan di Su-coan
Barat, Hokkien, Kwietang dan Kwiesay. Maka itu, negara menjadi lemah
sekali.
Kwee Ceng berjalan dengan saban-saban melepaskan dua ekor burung
rajawalinya, guna membantu mencari Oey Yong. Ia sendiri mencari dengan
sia-sia. Ketika pada suatu hari ia tiba di kecamatan Bu-leng, di kota
Liong-hin, dekat dengan kota Gak-ciu, ia berjalan dengan perlahan. Di
waktu sore, ia menghadapi sebuah rimba lebat, yang kelihatan
menyeramkan. Di belakang rimba itu ada satu bukit yang panjang. Tentu
sukar untuk melintasi rimba itu dan gunung sesudah cuaca gelap, maka ia
mau mencari pondokan. Di samping rimba itu ia melihat pagar bambu.
"Ada pagar tentu ada rumah," pikirnya girang. Ia bertindak. Ia melihat
sebaris pohon. Di situ ia lantas melihat sebuah rumah dengan tiga undak.
Ia mendekati rumah itu. Belum ia datang dekat, kupingnya sudah
mendengar tangisan seorang wanita. Ia menjadi heran.
"Orang lagi berduka, tidak dapat aku mengganggu," pikirnya. Ia hendak mengundurkan diri.
Orang di dalam rumah tapinya sudah mendengar suara kuda. Dengan kaget
bukaan daun pintu di pentang. Di situ muncul seorang tua dengan rambut
ubanan, yang tubuhnya sudah melengkung, tangannya memegang cagak besi
yang panjang. Dia berdiri di depan pintu sambil berseru. "Pembesar
anjing! Ular tidak ada, cucu perempuanku juga tidak ada. Yang ada hanya
selembar jiwa tuaku ini!"
Kwee Ceng heran. Ia tahu orang salah mengerti. "Tuan, aku hanya seorang
pelancongan!" katanya lantas sambil ia memberi hormat. "Aku kena bikin
lewat tempat mondok, maka niatku datang ke mari untuk menumpang
bermalam. Satu malam saja. Kalau kau lagi ada urusan, tidak apa, aku
nanti pergi ke lain rumah."
Orang tua itu lantas mengawasi, habis itu lekas-lekas ia meletaki
cagaknya, untuk membalas hormat. "Maafkan aku, tuan, aku lagi ngaco,"
katanya. "Jikalau kau tidak jijik, silahkan masuk dan minum teh."
Kwee Ceng mengucap terima kasih. Lantas ia memberikan sejumlah uang,
untuk dicarikan rumput guna makan kudanya, setelah itu baru ia masuk ke
dalam. Nyata rumah itu bersih sekali. Ia menjadi heran. Ia baru duduk
atau kupingnya mendengar suara berisik dari kuda. Ia menduga ada tiga
penunggang kuda datang ke situ. Ia pun lantas mendengar suara bengis.
"Orang tua she Cin, kau menyerahkan ular atau cucu perempuanmu?!"
Lalu terdengar suara seorang lain. "Kami dapat mengasih ampun kepada
kamu, tetapi looya kami tidak dapat memberi ampun kepada kami! Maka itu
lekas kau ke luar!"
Suara itu disusul sama sambaran cambuk kepada atap rumah, hingga atap
itu, yang terbuat dari rumput rusak. Si orang tua tidak menyahuti suara
dari luar itu, ia hanya masuk ke dalam kamar, untuk berkata, "Anak Kim,
pergi kau lari ke belakang, ke dalam rimba. Malam ini kau sembunyi
terus. Besok pagi-pagi, kau boleh pulang sendiri ke Kwietang….."
Segera terdengar tangisan wanita tadi. "Engkong, mari kita mati bersama…." kata orang perempuan itu.
"Lekas lari, lekas!" berkata si orang tua, membantung kaki. "Nanti terlambat!"
Dari dalam kamar lantas ke luar seorang nona dengan baju hijau, ia
menubruk si orang tua, siapa sebaliknya menolak tubuh orang, untuk
disuruh lari ke belakang. Berbareng dengan itu, pintu terdengar
tertembrak hingga terbuka, tiga orang terus nerobos masuk. Orang yang
maju paling depan lantas menjambak pundaknya si orang tua she Cin itu,
sedang tangannya yang lain menyambar si wanita muda, untuk dipeluki.
Nona itu ketakutan hingga ia membungkam. Kwee Ceng mengawasi tiga orang
itu. Dari dandannya, yang di depan itu seorang polisi, yang dua lagi
serdadu. Si orang polisi, yang memeluki si nona, berkata sambil tertawa.
"Empeh Cin, kami datang atas titahnya tuan camat kami, maka jangan kau
sesalkan kami! Malam ini kau mengantarkan dua puluh ekor ular, ini nona
akan kita kembalikan, kalau kau menunggu sampai besok, nanti sudah tidak
keburu!" Ia terus tertawa lebar, sambil bertindak pergi, ia bawa si
nona bersama.
Orang tua she Cin itu menjerit keras, dengan membawa cagaknya, ia
memburu, terus ia menikam. Si orang polisi berkelit, sambil berkelit ia
mencabut golok di pinggangnya dengan apa ia mengetok cagak itu. Si empeh
tidak dapat mempertahankan diri, cagaknya terlepas dan jatuh di tanah.
Menyusul itu, orang polisi itu menendang, hingga ia roboh seketika.
"Eh, tua bangka, jangan kau banyak tingkah!" dia membentak. "Awas, jangan kau nanti sesalkan golokku tidak ada matanya!"
Empeh itu seperti kalap, lupa pada dirinya, ia menubruk kaki kanan orang
itu, terus ia menggigit. Opas itu kesakitan dan berontak-berontak,
dalam sengitnya ia hajar kepala si empeh dengan belakang goloknya, maka
pecahlah jidat orang dan darahnya menyiram ke mukanya. Tapi empeh itu
sudah nekat, ia tidak menghiraukan luka dan sakitnya, ia menggigit
terus, tidak mau ia melepaskannya.
Dua serdadu itu maju menolongi si opas, yang satu menendang, yang
lainnya menarik, sedang si opas menghajar lagi beberapa kali dengan
gagang goloknya.
Sampai di situ, Kwee Ceng tidak dapat menonton lebih lama. Tadi ia baru
gusar saja. Seperti biasanya, ia pun bergerak ayal. Tapi sekarang, ia
lompat maju. Lebih dulu ia jambak punggungnya kedua serdadu itu, ia
melemparkan mereka. Si opas lagi membacok ketika Kwee Ceng menahan
belakang goloknya, untuk ditolak keras hingga golok itu berbalik dan
tepat membacok jidatnya. Dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menyambar
tubuh si nona sambil kakinya menendang, dari itu, tidak ampun lagi,
tubuh opas itu kena terlempar. Tapi empeh Cin menggigit dan memeluki
erat sekali, tubuhnya turut terlempar bersama.
Menampak begitu, Kwee Ceng kaget sekali. Ia khawatir, karena jatuh
terbanting, empeh itu nanti mati karenanya. Lupa melepaskan tubuh si
nona, ia lompat menyusul seraya tangannya menyambar leher si opas,
sedang kepada si empeh ia berseru. "Empeh, ampunkanlah dia!"
Benar-benar si empeh kalap, ia seperti tidak mendengar suara orang,
sampai si nona muda berteriak memanggil dia, "Engkong! Engkong!" baru ia
melepaskan gigitannya, dengan mulut berkelepotan darah, ia mengangkat
kepalanya. Itu waktu Kwee Ceng telah melemparkan pula tubuh si opas,
yang jatuh terbanting hingga terus ia tidak mau bangun lagi, karena ia
khawatir nanti dihajar lebih jauh.
Kedua opas itu nyalinya kecil, mereka tidak berani melawan, setelah
melihat si anak muda tidak menyerang lebih jauh, mereka menghampirkan si
opas kawannya itu, untuk dikasih bangun, buat lantas diajak pergi
dengan kaki si opas dingkluk-dingkluk. Saking takut, mereka tidak berani
menaiki kuda mereka.
Sampai di situ, baru Kwee Ceng melepaskan tubuh si nona, lekas-lekas ia
mengasih bangun si orang tua. Nona itu mengawasi tuan penolongnya,
nampaknya ia sangat bersyukur, tetapi karena malu, ia tidak dapat
membuka mulutnya. Maka ia cuma mengeluarkan sapu tangannya, dengan apa
ia menyusuti darah di muka kakeknya itu.
Tidak enteng luka si empeh, akan tetapi melihat si nona tidak dibawa
pergi si opas dan serdadu, ia menjadi bersemangat, dengan cepat ia
berlutut di depan Kwee Ceng, guna memberi hormat sambil menghaturkan
terima kasihnya berulang-ulang. Si nona turut berlutut juga.
"Sudah, lootiang," kata Kwee Ceng seraya mengasih bangun. "Tidak dapat aku menerima hormatmu ini."
Orang tua itu lantas mengundang tetamunya masuk pula, dan si nona segera
menyuguhkan teh. "Injin, silahkan minum," katanya perlahan. Ia lantas
memanggil "injin" - tuan penolong.
"Terima kasih," sahut Kwee Ceng sambil berbangkit.
Empeh Cin lantas menanyakan she dan nama tetamunya dan Kwee Ceng memperkenalkan dirinya.
"Sebenarnya, empeh, urusan apakah ini?" Kwee Ceng tanya.
Empeh itu suka mengasihkan ceritanya. Ia asal propinsi Kwietang, karena
gangguan seorang hartawan di kampung halamannya, ia mengajak keluarganya
pindah ke propinsi Kang-see ini. Di sini ia melihat tanah kosong, ia
lantas membuat rumah dan berusaha di situ. Bersama ia turut kedua anak
lelakinya. Di rimba ini ada banyak ularnya, apa celaka, dua anak itu
serta seorang nyonya mantunya, bergantian mati dipagut ular, hingga
seterusnya ia tinggal berduaan saja bersama cucu perempuannya itu, yang
diberi nama Lam Kim.
Si empeh bersakit hati, ia pulang ke Kwietang, untuk mempelajari ilmu
menangkap ular, sesudah mana ia kembali. Ia membalas sakit hati dengan
membinasakan setiap binatang berbisa itu. Dasar malang nasibnya dan ia
pun lemah, tanah yang ia telah buka dirampas seorang hartawan galak di
dalam kota. Saking terpaksa, ia lantas hidup sebagai penangkap ular. Di
dalam usahanya ini, syukur ia tidak mendapat saingan.
Untuk sembilan tahun, mereka berdua hidup tentram, sampai datang Kiauw
Lay, camat yang baru. Kebetulan ia doyan ular, untuk itu ia berani ke
luar uang untuk membeli. Empeh Cin tidak kuat membayar pajak, ia
diwajibkan setiap bulan menyerahkan dua puluh ekor ular berbisa. Dengan
terpaksa empeh Cin menunaikan tugasnya itu, untuk mana ia dibantu oleh
cucunya. Tapi tahun ini, di musim semi, entah kenapa, ular menjadi
berkurang. Susah sekali mencarinya. Sampailah itu waktu, di bulan ke
enam, mereka tidak bisa mendapatkan ular. Sudah begitu, lantas datang
gangguan lain. Kiauw Thayya mendapat tahu Lam Kim cantik, ia minta nona
itu.
Beberapa kali ia mengirim comblang, si empeh senantiasa menampik. Lalu
datanglah hari ini, Kiauw Thayya menggunakan kekerasan, ia mengirim
opasnya dan dua serdadu untuk minta ular atau orang. Sebab empeh tidak
bisa menyerahkan ular, maka cucunya dipaksa dibawa pergi. Kebetulan
sekali, di situ ada Kwee Ceng. Mendengar cerita itu, Kwee Ceng menghela
napas.
Habis bersantap malam, empeh mempersilahkan tetamunya tidur. Lam Kim
yang mengantarkan ke kamar sambil ia membawa pelita, katanya dengan
perlahan. "Di sini hutan, segala apa kotor, harap injin maklum…"
"Nona panggil saja aku engko Kwee," Kwee Ceng memberitahu.
"Mana aku berani, injin," kata si nona. Tiba-tiba ia terkejut. Dil luar
terdengar suara nyaring dan luar biasa dari seekor burung hutan. Hampir
ia membikin pelitanya terlepas.
"Nona, burung apakah itu?" tanya Kwee Ceng. Ia heran, sudah suara burung
itu aneh, ia pun merasakan tubuhnya gatal tidak karuan dan dadanya
penuh seperti mau tumpah-tumpah.
"Itulah burung keramat tukang makan ular," sahut si nona perlahan.
"Burung pemakan ular?" si anak muda menegaskan.
Benar. Semua ular di rimba sini habis dimakan dia, maka itu engkong jadi sengsara…"
"Kenapa tidak didayakan menyingkirkan burung itu…?"
"Perlahan injin…" kata si nona, romannya ketakutan. Ia lantas menutup
jendela. "Burung itu sakti, kalau ia dengar suara injin, bisa celaka…!"
"Apa? Burung itu bisa mendengar suara kita?"
Lam Kim hendak memberikan jawabannya, ketika terdengar suara si empeh di
luar kamar. "Di waktu malam tak leluasa untuk bicara banyak, besok
siang saja nanti aku yang menjelaskan."
Kwee Ceng heran tetapi ia menurut, sedang si empeh lantas saja ajak
cucunya pergi ke kamar mereka. Melihat roman ketakutan dari tuan dan
nona rumah itu, Kwee Ceng bertambah heran hingga ia tidak dapat tidur
nyenyak. Ia pun memikirkan Oey Yong, yang entah ada di mana adanya. Ia
gulak-galik sampai tengah malam ketika ia mendapat dengar pula suara si
burung pemakan ular, yang berbunyi tiga kali.
"Aku tidak dapat tidur, baik aku lihat burung itu," pikirnya. Ia turun
dari pembaringan, ia membuka jendela untuk lompat ke luar. Di saat ia
mau menuju ke arah darimana suara burung itu terdengar, ia mendengar
teguran perlahan di belakangnya. "Injin, aku turut kau…"
Ia lantas menoleh. Maka ia nampak Lam Kim berdiri di bawah sinar
rembulan, rambutnya riap-riapan mirip dengan rambutnya Bwee Tiauw Hong.
Nona ini berkulit putih, romannya cantik. Kedua tangannya memegang entah
barang apa yang hitam. Dengan perlahan ia menghampirkan si anak muda,
untuk berkata pula, "Injin mau melihat burung keramat itu?"
"Ah, jangan kau memanggil injin padaku," Kwee Ceng mencegah.
Nona itu likat. "Engko!" ia memanggil.
Kwee Ceng mengasih lihat panahnya. "Aku hendak memanah mampus burung itu, supaya ia jangan lagi mengganggu engkongmu," katanya.
"Perlahan!" si nona kata. Ia pun mengangkat tangannya. "Pakai ini di kepala, untuk berjaga-jaga." Suara si nona itu bergetar.
Kwee Ceng melihat sebuah kuali besi, ia menjadi heran. Lam Kim memegang
kuali besi di tangan kirinya, ia berkata pula. "Burung itu dapat datang
dan pergi bagaikan angin, ia biasa mematuk mata orang, hebat sekali.
Kupingnya juga tajam, begitu mendengar suara orang, dia bisa lantas
datang. Engko, kau mesti hati-hati."
Kwee Ceng tidak takut. Bukankah ia pernah menghadapi burung rajawali
raksasa itu. Lantas ia jalan di depan. Belum mereka sampai di tepi
rimba, burung ular itu berbunyi lagi, tiga kali. Justru itu di situ
terdengar suara berisik.
Lam Kim terkejut. "Ah, aneh! Kenapa di sini ada begini banyak ular?" katanya.
Kwee Ceng memasang kuping. Ia lantas mendengar suara beberapa orang yang
bersuit dan menggebah-gebah. Ia kenali itulah suaranya budak-budak
pengiring ular dari Pek To San. Ia menjadi lebih heran sebab agaknya
mereka itu dalam kekhawatiran, sebagai juga kawanan ularnya tidak
menurut perintah. Ia lantas berpikir.
"Mari!" ia mengajak Lam Kim, untuk lari masuk ke dalam rimba. Di sini ia
celingukan, mencari tempat yang lebat. Tanpa membilang apa ia sambar
pinggang si nona, buat dibawa lompat naik ke sebuah pohon, di mana
mereka memernahkan diri di satu cabang besar. Baru mereka duduk rapi,
burung tadi telah berbunyi pula tiga kali: Sekarang jarak mereka lebih
dekat, suara burung itu tajam terdengar, seperti menusuk telinga.
Tidak lama, sampailah rombongan ular itu, yang berjumlah ribuan. Kwee
Ceng kenal binatang itu, ia tidak kaget, tidak demikian dengan Lam Kim,
yang ketakutan hingga hatinya guncang, dengan erat ia pegangi ujung baju
si pemuda.
Begitu masuk ke dalam rimba, kawanan ular itu berlari-lari ke delapan
penjuru. Mereka seperti terkena hawa panas, hingga mereka tidak dapat
diam, tubuh mereka berlompatan. Di bawah sinar rembulan, nyata terlihat
lagak mereka itu.
Tujuh atau delapan budak pengiring ular itu, dengan pakaiannya yang
putih, lari ke dalam rimba. Mereka menggunai galah mereka, bentakan
mereka berisik, tapi kawanan ular itu tidak mau mendengar perintah untuk
berbaris rapi seperti biasa.
Kwee Ceng membenci Auwyang Hong, melihat ular itu kacau, ia senang.
"Sayang Yong-jie tidak ada di sini, hingga ia tidak dapat menyaksikan
ini," pikirnya.
Lam Kim heran ketika ia melirik mendapatkan Kwee Ceng gembira. Diam-diam
ia memuji hati besar anak muda ini. Tiba-tiba ia kaget sekali. Itulah
sebab ia mendengar si burung keramat bersuara nyaring luar biasa, atas
mana semua ular pada berhenti bergerak, semua mendekam dengan tidak
berkutik.
Budak-budak mengayun berulang-ulang galah mereka, mulut mereka membentak
tak hentinya, tetapi semua ularnya diam mendekam. Sesudah kewalahan,
mereka ini lantas mengambil sikap. Seorang lantas berdiri tegak, kepala
mereka diangkat. Yang lainnya berdiri diam dengan galah mereka dipasang
berdiri. Yang satu lantas berkata dengan nyaring. "Kami ada
orang-orangnya Auwyang Sianseng dari Pek To San, kami tengah berlewat di
sini, tetapi kami tidak mengenal gunung Tay San, kami tidak datang
membuat perkunjungan. Maka itu, dengan memandang Auwyang Siangseng,
harap kami diberi maaf."
Kwee Ceng mengawasi, ia merasa lucu. Suara orang itu tidak ada yang
layani. Berselang sekian lama, ia mengucapkan pula kata-katanya itu.
Sekarang suaranya lebih keras, tandanya ia tidak senang, dia agaknya
menggertak. Ia pun memandang ke sekitarnya, ke tanah di dekatnya. Dia
berpura-pura tidak melihat, dia memutar tubuh akan membelakangi pohon,
yang ada pohon hoay, dia pun membungkuk seperti orang lagi menjura.
Adalah ketika itu, mendadak ia membalik pula tubuhnya, sambil bangun ia
mengayunkan kedua tangannya ke arah pohon. Maka empat buah gin-so, torak
perak, menyambar kepada Kwee Ceng berdua. Dia telah membokong!
Kalau lain orang yang diserang secara menggelap itu, celakalah dia.
Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia melihat gerakan orang, yang ia terus
awasi. Ia melihat berkelebatnya barang berkilau. Lekas-lekas ia
turunkan kuali besinya, untuk dipakai menyambuti, maka dengan suara
"trang!" empat kali, keempat torak itu masuk ke dalam kuali.
Kaget dan heran orang itu karena bebokongannya gagal. " Di atas pohon
itu orang gagah dari mana? Silahkan memberikan she dan namamu!" ia
minta. Suaranya tak seangker tadi.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia menimpuk balik torak itu. Orang itu
menjadi kaget. Galah di tangannya itu kena terhajar toraknya itu,
tangannya sakit dan gemetaran, galahnya pun terpatah lima. Dia mengerti,
orang berlaku murah, kalau tubuhnya yang dihajar, pasti dia tidak akan
selamat. Dia menjadi bingung sekali. Kalau ia menyerah dan minta ampun,
dia menurunkan derajat Auwyang Hong, dia pun bakal tidak diberi ampun.
Kalau ular itu tidak dibawa pergi, dia juga bakal disiksa majikannya
yang bengis itu.
Selagi orang ini masih bingung terus, tiba-tiba di situ tercium bau
harum, dada rasanya menjadi lapang, lantas semua ular menggeraki
kepalanya, dongak ke langit.
Orang itu menyangka Kwee Ceng, yang ia tidak kenal itu, pandai
menggendalikan ularnya, lantas ia meniup suitannya, untuk menitahkan
ularnya pergi. Tapi ular itu tetap diam. Hanya bau hatum menjadi semakin
keras. Terang bau itu datangnya dari atas. Maka dia dongak. Tiba-tiba
terlihat menyambar turunnya cahaya terang bagai segumpal api, luar biasa
cepatnya, turun di sisinya.
Dengan tiba-tiba, ia menjadi kaget. Dia mendapat kenyataan, gumpalan api
itu hanyalah seekor burung yang tubuhnya merah marong. tubuhnya itu
lebih besar dari gagak, bacotnya panjang kira setengah kaki. Berdiri di
tanah, burung aneh itu lantas melihat ke sekelilingnya, nampaknya keren.
Bau harum itu datang dari tubuhnya.
Kwee Ceng menjadi merasa suka melihat burung itu, yang tak ada bulunya
yang kecampuran, kedua matanya tajam, sinarnya merah juga. "Kalau
Yong-jie melihat burung ini, tentu dia suka sekali," pikirnya. Maka ia
lantas ingin menangkap hidup burung itu.
Mulanya semua ular kaget dan takut, sekarang semua berbalik menjadi
jinak, tidak ada yang bergeming. Ketika burung itu berbunyi satu kali,
empat ekor ular yang besar nyelosor menghampirkan, di depan burung itu,
mereka menggulingkan diri, perutnya menghadap keatas. Kapan burung itu
mematuk, maka pecahlah perut mereka. Dengan empat patukan saja, isi
perut mereka masuk ke dalam perut burung itu.
Semua pengiring ular itu menjadi heran sekali, kaget dan gusar. Yang
menjadi kepala tadi mengayun tangannya, sebuah torak melayang ke burung
itu.
Kwee Ceng kaget, ia khawatir burung itu celaka karenanya. Dengan sabet
sekali ia mematahkan secabang pohon kecil, yang terus ia timpuki ke
depan burung itu guna melindunginya.