Liam Cu mengawasi pemuda itu dengan tingkahnya yang tidak wajar, ia
mengerti yang orang tidak dapat melupakan kedudukan mulia atau
penghidupan yang mewah, ia menjadi berduka.
Ketika itu punggawa perang yang mengepalai pasukan pengiring pihak Song
itu masuk ke dalam rumah penginapan, dengan hormat sekali ia menghadap
Tuli, dengan siapa ia berbicara. Tuli pun mengatakan sesuatu. Habis itu
ia memutar tubuhnya, untuk dengan membentak memberikan titahnya. "Pergi
kamu menanyakan setiap rumah di kampung ini, apa di rumah mereka ada
Kwee Ceng Kwee Koanjin! Jikalau tidak ada, kamu pergi mencari ke lain
tempat!"
Titah itu diterima oleh pasukannya, setelah menyahuti, tentaranya itu
bubar. Tidak lama setelah itu terdengarlah suara ayam ribut beterbangan
atau anjing berlarian serta juga jeritan-jeritan dari laki-laki serta
tangisan dari orang-orang perempuan. Teranglah sudah kawanan serdadu itu
telah menggunai ketikanya yang baik untuk melakukan perampasan.
Mendengar suara berisik itu, Yo Kang mendapat pikiran. "Kenapa aku tidak
mau menggunai ketika ini untuk bersahabat dengan pangeran-pangeran
Mongolia ini?" demikian pikirnya. "Dalam tempo beberapa hari pastilah
dapat aku membinasakan mereka itu. Kalau Kha Khan dari Mongolia
mengetahui itu, pasti ia menyangka itulah perbuatannya pihak Song,
dengan begitu dengan sendirinya perserikatan mereka bakal bubar. Dan
itulah pasti menguntungkan pihak Kim…."
Dengan cepat Yo Kang mengambil keputusan. "Adikku, kau tunggu sebentar,"
ia berkata kepada Liam Cu. Terus ia pergi menghampirkan si punggawa
Song, ketika ia membentak, tangannya digeraki, dengan tangan kirinya ia
membikin punggawa itu terguling jatuh celentang, hingga untuk sesaat dia
tidak dapat merayap bangun.
Tuli dan Gochin Baki menyaksikan itu, mereka heran. Yo Kang melihat
keheranan orang itu, ia lantas bertindak ke ruang tengah. Di sini ia
keluarkan tombak buntungnya, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya
untuk terus diletaki di atas meja. Lalu, setelah menekuk kedua lututnya,
mendadak ia menangis menggerung-gerung. Ia segera mengeluh. "Oh,
saudara Kwee Ceng, kau mati secara menyedihkan sekali…..Pasti aku
membalas dendam untukmu! Oh, saudara Kwee Ceng……"
Tuli dan saudaranya beramai tidak mengerti bahasa Tionghoa, tetapi
mereka mendengar nama Kwee Ceng disebut-sebut, mereka menjadi heran,
maka itu selagi punggawa merayap bangun, mereka menitahkan punggawa ini
memberikan keterangan.
Dengan suara terputus-putus Yo Kang berkata. "Aku ialah saudara
angkatnya Kwee Ceng. Saudara Kwee Ceng telah orang bunuh mati dengan
ditikam dengan ujung tombak, aku hendak pergi mencari musuhnya guna
membalaskan sakit hatinya itu."
Kapan Tuli dan saudaranya dikasih mengerti, mereka berdiri menjublak.
Jebe dan Borchu sebaliknya, mereka menangis sambil menumbuki dada.
Mereka ini ingat benar persahabatannya dengan Kwee Ceng itu.
Yo Kang mengarang cerita terlebih jauh dengan menuturkan halnya ia
menghajar mundur bangsa Kim di Poo-eng. Cerita ini dpercayai Tuli
beramai, bahkan mereka menanyakan penjelasan dan kebinasaannya Kwee Ceng
itu. Yo Kang pandai sekali mengatur ceritanya, seperti juga itulah
peristiwa benar.
Kwee Ceng di dalam kamar rahasia mendengar ocehan itu, ia pun
terbengong. Sebaliknya Gochin Baki, si putri Mongolia, mendadak ia
menghunus golok di pinggangnya, untuk membunuh diri. Hanya ketika golok
itu hampir mengenai lehernya, tiba-tiba ia memikir sesuatu, goloknya itu
terus ia bacoki kepada meja sambil ia bersumpah. "Jikalau aku tidak
membalaskan sakit hatinya anda Kwee Ceng, aku sumpah tidak sudi menjadi
manusia!"
Yo Kang senang sekali. Nyata akalnya sudah termakan. Ia terus tunduk, ia
menangis pula. Karena ia tunduk, tiba-tiba matanya melihat tongkatnya
Oey Yong, yang dirampas Auwyang Kongcu. Itulah tongkat yang bersinar
hijau bagus. Ia ketarik hatinya, maka ia jumput tongkat itu.
Oey Yong melihat tongkatnya diambil pemuda itu, ia mengeluh. Tentu
sekali ia tidak bisa ke luar untuk merampasnya. Tidak lama tentara
datang dengan barang hidangan, Gochin Baki semua tak ada nafsunya untuk
menangsal perut mereka. Bahkan mereka lantas minta Yo Kang mengantarkan
mereka untuk mencari pembunuhnya Kwee Ceng.
"Marilah!" jawab Yo Kang. Ia membawa tongkat Oey Yong serta terus bertindak ke pintu, diikuti rombongan orang Mongolia itu.
"Siapakah yang Yo Kang bakal cari?" Kwee Ceng berbisik pada Oey Yong.
Si nona menggeleng kepala. "Aku tidak tahu," sahutnya. "Bukankah dia
sendiri yang membacok padamu? Dia sangat licik, di dalam halnya
kelicikan, aku kalah…"
Justru itu di luar rumah terdengar suara orang bersenandung dengan nada
tinggi, katanya, "Malang-melintang dengan mereka, tanpa ikatan, jikalau
hati tidak kemaruk akan kemulian, diri sendiri taklah terhina…! Eh, nona
Bok, kenapa kau ada di sini?"
Itulah suaranya Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dia menanya Bok Liam Cu selagi
si nona baru muncul di ambang pintu. Belum lagi si nona menyahuti, Yo
Kang pun bertindak ke luar. Kaget ia melihat gurunya itu, hatinya
berdenyutan. Tentu sekali ia tidak dapat ketika untuk menyingkirkan
diri, maka dengan terpaksa dia menghampirkan guru itu, di depan siapa
dia memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk.
Khu Cie Kee tidak sendirian, di sampingnya ada Tan Yang Cu Ma Giok, Giok
Yang Cu Ong Cie It, Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie serta In Cie Peng,
muridnya. Kedatangan Khu Cie Kee kali ini pun untuk urusan muridnya ini.
Ketika itu hari In Cie Peng kena dihajar Oey Yok Su hingga giginya
copot, ia mengadu kepada gurunya. Kebetulan Khu Cie Kee berada di
Lim-an. Dia kaget dan gusar, maka mau lantas ia mencari Oey Yok Su. Ma
Giok sabar, ia mencegah.
"Oey Lao Shia itu dulu harinya sama kesohornya dengan almarhum guru
kita," kata Cie Kee. "Di antara kita bertujuh, cuma Ong Sutee yang
pernah bertemu dengannya selama rapat di gunung Hoa San. Siauwtee
mengagumi dia, memang siauwtee ingin bertemu dengannya, maka inilah
ketikanya yang baik. Siauwtee tidak memikir untuk menempur dia, kenapa
suheng mencegah?"
Ma Giok tertawa dan berkata. "Aku dengar Oey Lao Shia itu aneh
tabiatnya, sedang kau, berangasan, maka jikalau kamu bertemu muka,
kebanyakan bisa terbit onar. Bahwa ia telah memberi ampun pada Cie Peng,
itu tandanya ia menaruh muka…"
Cie Kee tidak dapat dibujuk, dia mau juga pergi, maka itu Ma Giok lantas
mengundang saudara-saudaranya untuk pergi ke Gu-kee-cun. Mereka sudah
berkumpul tetapi Ma Giok mengusulkan untuk mereka berlima yang pergi
terlebih dulu. Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian dan Cek Tay Thong menantikan
di luar kampung itu, bersiap membantu kalau ada perlunya. Di luar
sangkaan mereka, bukan mereka bertemu Oey Yok Su, mereka melihat Bok
Liam Cu. Khu Cie Kee mengenali nona itu, maka itu selagi bersandung, ia
menegur lebih dulu.
Melihat muridnya itu, Khu Cie Kee mengasih dengar suara di hidung, "Hm!" Dia tidak memperdulikan.
"Suhu," Cie Peng berkata, "Tocu dari Tho Hoa To menghina teecu justru di dalam ini rumah penginapan."
Cie Peng sebenarnya menyebut Oey Yok Su dengan nama Oey Lao Shia, yang
berarti si Oey tua yang tersesat atau si Sesat bangkotan, tetapi ia
ditegur oleh Ma Giok, maka ia mengubah sebutannya.
Khu Cie Kee segera menghadapi rumah penginapan itu, dengan nyaring ia
berkata. "Murid-murid Coan Cin Kay ialah Ma Giok beramai, datang
menghadap kepada Oey Tocu dari Tho Hoa To!"
"Di dalam tidak ada orang," Yo Kang memberitahukan.
"Sayang, sayang," kata Cie Kee yang membanting-banting kaki. Tapi ia lantas tanya muridnya: "Kau di sini, apa kau bikin?"
Hati Yo Kang sudah goncang karena melihat guru dan sekalian paman
gurunya itu, maka atas pertanyaan itu, ia tidak lantas dapat memberikan
jawabannya.
Sementara itu Gochin Baki mengawasi Ma Giok, lalu ia lari menghampirkan,
terus ia berseru. "Oh, kaulah itu imam yang membantu aku menangkapi
rajawali putih. Lihatlah, sekarang itu sepasang rajawali telah menjadi
besar sekali!"
Putri Mongolia ini menunjuk pada burungnya sambil bersiul, atas mana
kedua ekor burungnya itu lantas turun, menclok di kedua belah pundaknya.
Ma Giok tersenyum, ia mengangguk.
"Apakah dia pun datang ke Selatan ini untuk pesiar?" ia menanya.
Putri ini tahu siapa yang dimaksudkan dengan "dia" itu, lantas saja ia
menangis. "Anda Kwee Ceng telah dibikin celaka orang hingga mati!"
katanya sengit. "Totiang, tolong kau balaskan sakit hatinya!"
Ma Giok terkejut hingga ia mencelat. Dengan bahasa Tionghoa ia lalu
memberi keterangan kepada saudara-saudaranya perkataan putri itu. Khu
Cie Kee dan Ong Cie It pun heran, dengan berbareng mereka lantas
menanyakan apa sebenarnya telah terjadi.
Putrinya Jenghiz Khan segera menunjuk kepada Yo Kang. "Dialah yang
membawa berita, katanya ia melihatnya sendiri," bilangnya. "Coba kau
tanyakan dia sendiri!"
Melihat si nona kenal paman gurunya yang tertua, Yo Kang berkhawatir,
maka itu ia lantas kata kepada Tuli dan si nona itu. "Kamu tunggu dulu
di sebelah depan sana, aku hendak bicara sama beberapa imam ini.
Sebentar aku susul kamu."
Perkataan ini disalin oleh si punggawa. Mendengar itu Tuli mengangguk,
lantas ia ajak adik dan kawannya pergi ke depan, ke utara kampung itu.
"Siapa yang membunuh Kwee Ceng?!" Cie Kee menanya, bengis. "Lekas bicara!"
Dalam takutnya Yo Kang berpikir. "Kwee Ceng itu aku sendiri yang
membunuhnya, sekarang aku mesti menimpakan kesalahan kepada siapa…?
Baiklah aku menyebut seorang lihay, supaya suhu mencari dia, supaya dia
mengantarkan jiwanya sendiri, dengan begitu untuk selamanya aku bebas
dari mara bahaya…" Maka dengan lagu suara sangat membenci, ia menjawab.
"Dialah tocu dari Tho Hoa To!"
Menyusuli jawabannya Yo Kang ini, dari kejauhan terdengar tertawa lebar
yang samar-samar, disusul sama suara nyaring seperti bentroknya cecer
rombeng, lalu disusul lagi sama suara yang perlahan sekali, tetapi
meskipun perlahan, terdengarnya toh tegas. Suara itu seperti berputaran
di luar kampung lantas pergi jauh…
Akan tetapi Khu Cie Kee kaget berbareng girang. "Itulah tertawanya Ciu Susiok," katanya.
"Ketiga suheng pergi menyusul!" kata Sun Put Jie.
"Rupanya suara cecer pecah dan suara memanggil tadi seperti lagi menyusul susiok," kata Ong Cie It.
Ma Giok nampaknya berduka. "Kelihatannya dua orang itu berkepandaian tidak ada di bawahan Ciu Susiok," katanya.
"Entah mereka itu orang pandai dari mana? Ciu Susiok bersendirian
melawan dua musuh, aku khawatir…" Ia lantas menggoyang-goyangi
kepalanya.
Khu Cie Kee dan tiga saudaranya mendengari pula, sekarang suara itu
lenyap, rupanya orang telah pergi jauh beberapa lie hingga sulit disusul
lagi.
"Ada Tam Suko bertiga, kita tidak usah mengkhawatirkan susiok," kata Sun Put Jie kemudian.
"Aku khawatir mereka tidak dapat menyandak," bilang Cie Kee. "Coba Ciu
Susiok mendapat tahu kita berada di sini dan dia datang ke mari…"
Oey Yong dapat mendengar semua pembicaraan mereka itu, ia tertawa
sendirinya. "Ayahku bersama si bisa bangkotan dan tua bangka berandalan
tengah mengadu kepandaian lari!" katanya di dalam hatinya. "Mereka itu
bukannya lagi berkelahi. Umpama kata mereka benar lagi berkelahi, kamu
beberapa imam hendak membantu, mana kamu dapat melawan ayahku serta si
bisa bangkotan itu?"
Ma Giok yang sabar lalu mengibas tangannya, maka semua orang lantas masuk ke dalam rumah penginapan untuk pada berduduk.
"Eh, mari aku tanya kau!" kata Cie Kee pada muridnya. "Aku mau tahu, sekarang ini kau dipanggil Wanyen Kang atau Yo Kang?"
Yo Kang takut sekali. Mata gurunya itu sangat tajam memandang padanya.
Kalau ia salah menjawab, jiwanya terancam bahaya. Maka lekas-lekas ia
menjawab. "Jikalau bukannya suhu serta Ma Supee dan Ong Susiok yang
memberi petunjuk, sampai sekarang tentu juga teecu masih dalam
kegelapan, masih teecu tetap mengaku musuh sebagai ayahku. Sekarang ini
tentu sekali teecu she Yo. Baru saja tadi malam berdua bersama adik Bok
ini teecu mengubur jenazah ayah bundaku."
Senang Khu Cie Kee mendengar jawaban itu, ia mengangguk-angguk, air
mukanya pun berubah tak bermuram lagi seperti tadi. Sebagai imam jujur,
ia mempercayai orang. Juga Ong Cie It tidak lagi mendongkol melihat
sekarang Yo Kang ada bersama Liam Cu, yang tadinya dia gusar karena
keponakan murid itu menyangkal perjodohannya dengan nona Bok.
Kebetulan Khu Cie Kee melihat ke lantai tatkala sinar matanya bentrok
sama tombak buntung. Ia kenali itu sebagai senjatanya Kwee Siauw Thian.
Ia lantas memungutnya, untuk diusap-usap. Nyata ia berduka. "Pada
sembilan belas tahun yang lampau," katanya perlahan, "Di sini aku telah
berkenalan dengan ayahmu serta pamanmu she Kwee, sekarang sesudah
belasan tahun lewat, aku melihat ini peninggalan tombaknya, sedang
sahabatku itu telah pulang ke alam baka….."
Kwee Ceng mendengar perkataan itu, ia berduka bukan main. Katanya dalam
hatinya, "Khu Totiang menyebutnya ialah sahabatnya ayahku, tetapi aku
sendiri tidak pernah melihat wajah ayahku itu…."
Kemudian Khu Cie Kee tanya muridnya bagaimana caranya Oey Yok Su
membunuh Kwee Ceng. Sudah terlanjur, Yo Kang lantas mengarang cerita.
Ketiga imam itu menghela napas, mereka berduka sekali. Mereka pun
mengenal baik itu pemuda she Kwee. Selama itu hatinya Yo Kang tidak
tenang. Ia pun telah berjanji kepada Tuli dan Gochin Baki.
"Apakah kamu berdua sudah menikah?" kemudian Ong Cie It tanya keponakan murid itu, yang ia awasi.
"Belum," sahut Yo Kang. Kali ini ia tidak berani berdusta.
"Lebih baik kalian lekas menikah!" Ong Cie It bilang. "Khu Suko, baiklah
hari ini kau merecoki jodoh mereka, supaya mereka lantas menikah."
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, dalam hatinya, mereka kata,
"Benarkah malam ini kembali kita akan menonton sepasang pengantin?"
Yo Kang sementara itu telah berkata dengan cepat. "Terserah kepada suhu!"
Tapi Bok Liam Cu berkata, "Mesti dipenuhkan dulu satu permintaanku, yang
menjadi syaratku, kalau tidak biarnya mati, aku tidak sudi menikah!"
Nona ini telah lama mengikuti ayahnya merantau maka itu ia beda dari
pada Yauw Kee.
Khu Cie Kee tersenyum. "Baiklah!" bilangnya. "Apakah itu, nona, kau bilanglah!"
"Ayah angkatku telah dibikin mati oleh Wanyen Lieh, musuh negaraku,"
menyahut nona Bok. "Maka itu dia mesti membalaskan dulu sakit hati
ayahku itu!"
"Bagus!" berseru Cie Kee bertepuk tangan. "Nona, pikiranmu cocok sama
pikirannya si imam tua! Nah, anak Kang, bagaimana dengan kau? Kau
setujukah?"
Syarat itu hebat sekali, tentu saja Yo Kang menjadi ragu-ragu. Selagi ia
berpikir, bagaimana ia harus menjawab, di luar penginapan terdengar
suara orang bernyanyi, suaranya serak, dan nyanyiannya ialah lagu "Lian
Hoa Lok", nyanyiannya bangsa pengemis. Nyanyian itu lantas disusul sama
satu suara halus dan tajam, katanya, "Tuan-tuan besar sukalah berlaku
murah hati, mengamal untuk satu bun saja…!"
Mendengar suara itu, Bok Liam Cu lantas berpaling, ia mengenali suara
itu. Di ambang pintu terlihat dua orang pengemis, yang satu bertubuh
jangkung dan gemuk, yang lainnya kate dan kurus, dan si jangkung gemuk
itu umpama kata sebesar empat kali tubuhnya si kate kurus itu. Maka itu
sangat luar biasa perbedaaan di antara mereka berdua.
Sang tempo telah berselang banyak tahun tetapi nona Bok masih ingat
peristiwa ketika usianya tiga belas tahun dulu, ketika ia membalut luka
pengemis itu. Sedang Ang Cit Kong, yang menyukai si nona, telah
mengajari dia ilmu silat selama tiga hari. Liam Cu hendak menghampirkan
kedua pengemis itu tetapi ia bersangsi tempo ia melihat kedua pengemis
itu lantas mengawasi tongkat di tangannya Yo Kang, lalu setelah mereka
saling melirik, terus mereka menghampirkan pemuda itu. Dengan
menyilangkan kedua tangan mereka, mereka memberi hormat.
Ma Giok semua mengawasi kedua pengemis itu, dengan hanya melihat
tindakan orang dan gerakan tubuhnya, mereka mendapat tahu dua orang ini
mesti lihay ilmu silatnya. Mereka juga melihat di punggung orang ada
tergendol delapan buah kantung goni, yang mana adalah tanda tingkatan
tinggi dari kaum Kay Pang. Hanya mereka tidak mengerti kenapa keduanya
demikian menghormat terhadap Yo Kang.
Si pengemis kurus lantas berkata. "Saudara yang baik, beruntung sekali
yang di dalam kota Lim-an ini kau telah menemukan tongkat pangcu kami.
Sebenarnya kami telah mencarinya berputaran! Saudara, entahlah di mana
tahu kemanakah perginya pangcu kami meminta amal?"
Yo Kang heran diperlakukan demikian. Ia memegangi tongkat tetapi ia
tidak tahu hal ikhwalnya tongkat itu. Tentu sekali tidak tahu ia
bagaimana harus menjawabnya. Adalah aturan kaum Kay Pang, melihat
tongkat adalah sama seperti mereka menghadap pangcu mereka sendiri, dari
itu terhadap Yo Kang mereka berlaku sangat menghormat, tetapi sekarang
Yo Kang seperti tidak memperdulikan mereka, agaknya mereka bergelisah,
lekas-lekas mereka menunjuki sikap lebih hormat pula.
Si pengemis gemuk turut berkata. "Pertemuan di Gak-ciu sudah mendesak
harinya, untuk itu Kan Tianglo dari timur sudah bergerak ke barat."
Yo Kang menjadi semakin tidak mengerti. Tadi ia mengasih dengar, "Hm!" sekarang ia mengasih dengar pula suaranya itu.
Pengemis kurus pun berkata pula. "Oleh karena teecu mencari tongkatnya
pangcu, tempo kami telah tersia-siakan beberapa hari, maka sekarang
setelah kita bertemu, seharusnya kita lantas berangkat! Maka itu baiklah
sekarang teecu beramai menemani padamu!"
Biar bagaimana Yo Kang dapat menggunakan otaknya. Memang ia ingin
lekas-lekas menyingkir dari depan guru dan paman-paman gurunya itu. Maka
ia lantas berlutut kepada mereka, katanya, "Teecu ada mempunyai urusan
penting, tidak dapat teecu menemani kepada suhu beramai, dari itu, harap
teecu dimaafkan!"
Khu Cie Kee beramai percaya muridnya ini ada mempunyai urusan penting
dengan Kay Pang, mereka pun tahu, Ang Cit Kong kenal baik dengan Ong
Tiong Yang, almarhum guru mereka, karena itu mereka tidak berani menahan
Yo Kang. Malah sebaliknya, mereka berlaku hormat kepada kedua pengemis
itu, yang sikapnya demikian halus.
Bok Liam Cu pun suka turut. Bukankah ia ada kenal dengan dua pengemis
itu? Maka ia juga memberi hormat pada Khu Cie Kee berempat, untuk
pamitan. Begitulah, berempat mereka berangkat.
Khu Cie Kee berempat bermalam di rumah penginapan itu untuk menantikan
Tam Cie Toan bertiga. Baru besoknya tengah malam, mereka mendengar suara
siulan panjang di luar kampung itu. Sun Put Jie lantas berkata. "Cek
Suheng pulang!"
Ketika itu Khu Cie Kee berempat lagi bersemedhi tatkala mereka mendengar
isyarat dari Kong Leng Cu Cek Tay Thong, atas mana Ma Giok lantas
memberikan jawabannya perlahan tetapi terang. Cuma sebentar saja, lantas
satu bayangan berkelebat dan Cek Tay Thong bertindak masuk.
Oey Yong belum pernah melihat imam itu, ia lantas mengintai. Malam itu
malam tanggal lima bulan tujuh, rembulan masih kecil, akan tetapi di
situ si nona dapat melihat dengan tegas. Maka ia tampak seorang yang
bertubuh gemuk dan tinggi besar, romannya seperti seorang pembesar
negeri, tangan baju dari jubahnya ada separuh, cuma sampai sebatas
sikut. Jadi pakaian dia ini berbeda sekali dengan jubahnya Ma Giok
beramai.
Cek Tay Thong ini, semasa belum menjadi imam, adalah seorang hartawan di
Lenghay, Shoatang, dia pun terpelajar tinggi, baru kemudian dia
mengangkat Ong Tiong Yang menjadi guru. Ketika ia menerima muridnya ini,
Ong Tiong Yang meloloskan jubah yang ia pakai, kedua ujung bajunya ia
kutungi, jubahnya itu dikasihkan muridnya pakai. Ia pun kata, "Tidak ada
bahaya, tidak ada tangan baju, maka kamulah yang harus merampungkan
sendiri."
Huruf "tangan baju" ada sama suaranya dengan huruf "menerimakan". Dengan
itu mau diartikan, meskipun guru ini tidak memberikan banyak pengajaran
kepada satu muridnya, dengan peryakinan sendiri, si murid akan
memperolah kemajuan. Cek Tay Thong mengingat baik-baik perkataan gurunya
itu, maka selanjutnya ia tetap mengenakan jubah tangan buntung itu.
"Bagaimana dengan Cui Susiok?" tanya Khu Cie Kee yang tidak sabaran. "Sebenarnya ia lagi bergurau atau benar-benar bertempur?"
Cek Toy Thong menggeleng kepala. "Kepandaianku masih rendah sekali,
setelah menyusul tujuh atau delapan lie, aku lantas kehilangan Cui
Susiok itu," ia menyahut. "Tam Suko bersama Lauw Suko berada di sebelah
depanku."
"Kau letih, Cek Sutee, kau beristirahatlah," katanya.
Cek Tay Thong lantas duduk bersila, untuk menjalankan pernapasannya. "Di
waktu tadi aku berjalan pulang," kemudian ia berkata pula, "Di Ciu Ong
Bio aku melihat enam orang, melihat roman mereka, mereka mestinya
Kanglam Liok Koay yang Khu Suheng cari. Lantas aku menghampirkan mereka,
nyata penglihatanku tidak keliru."
"Bagus!" kata Cie Kee girang. "Sekarang di mana adanya mereka itu?"
"Sebenarnya mereka itu baru kembali dari Tho Hoa To," Tay Thong memberi keterangan pula.
Cie Kee terkejut. "Sungguh mereka bernyali besar berani pergi ke Tho Hoa To!" katanya. "Pantas kita tidak dapat mencari mereka."
"Menurut keterangannya Thay-hiap Kwa Tin Ok, ketua dari Liok Koay,
mereka telah membuat perjanjian dengan Oey Yok Su untuk pergi ke Tho Hoa
To, hanya setibanya mereka di pulau itu, Oey Yok Su tidak ada.
Mendengar kita berada di sini, mereka itu membilang bahwa dalam satu dua
hari ini mereka hendak datang berkunjung."
Kwee Ceng mendengar pembicaraan itu, mengetahui semua gurunya tidak
kurang suatu apa, ia girang sekali. Sementara itu, setelah lewat lima
hari lima malam, kesehatannya pun sudah pulih separuhnya.
Di hari keenam lohor kira jam tiga atau empat, dari luar kampung sebelah
timur terdengar suara siulan, atas itu Khu Cie Kee berkata. "Lauw Sutee
kembali bersama seorang yang lihay, entah siapakah dia…"
Berlima mereka lantas berbangkit, untuk pergi ke luar untuk menyambuti.
In Cie Peng jalan di belakang. Lantas mereka melihat Cie Hian bersama
seorang tua yang rambut kumisnya sudah putih semua, bajunya pendek,
sepatunya sepatu goni, sebelah tangannya memegang sebuah kipas besar,
sembari berjalan ia berbicara sambil tertawa-tawa.
Ketika dia sampai di muka penginapan, kepada lima anggota Coan Cin Pay
yang menyambutnya, dia cuma mengangguk sedikit, agaknya dia tidak
melihat mata kepada mereka itu. Tapi Lauw Cie Hian segera mengajarnya
kenal. "Inilah Tiat-ciang Cui-siang-piauw Kiu Locianpwee yang namanya
kesohor di seluruh negara. Hari ini kami bertemu dengannya, sungguh
beruntung!"
Mendengar namanya imam she Lauw itu, Oey Yong tersenyum, dengan sikutnya
ia membentur tubuh Kwee Ceng, siapa lantas tersenyum juga. Berdua
mereka berpikir. "Marilah kita menyaksikan ini tua bangka penipu besar
mempermainkan ini orang-orang Coan Cin Kauw!"
Lalu terdengarlah suaranya Ma Giok berlima, yang bicara sama orang she
Kiu ini dengan sikap menghormat, sedang Kiu Cian Jin lantas mengasih
dengar ocehannya. Kemudian Khu Cie Kee menanya apa "locianpwee" itu
bertemu sama Ciu Pek Thong, paman gurunya itu.
"Loo Boan Tong?" menegaskan orang she Kiu itu. "Dia telah dibinasakan oleh Oey Yok Su!"
Semua orang Coan Cin Kauw itu menjadi kaget sekali. "Ah, tidak bisa
jadi!" kata Cie Hian selang sesaat. "Baru saja boanpwee melihat Cui
Susiok, karena larinya sangat keras, boanpwee tidak dapat menyandak
padanya."
Kiu Cian Jin tertawa, ia tidak membilang suatu apa. Ia rupanya lagi berpikir bagaimana harus menelurkan kedustaannya.
"Lauw Sutee," tanya Cie Kee, "Apakah kau melihat tegas romannya itu dua orang yang mengejar Ciu Susiok?"
"Yang satu mengenakan jubah putih, yang lainnya jubah hijau panjang.
Mereka itu sangat kencang larinya. Samar-samar aku melihat wajahnya yang
berjubah hijau itu luar biasa sekali, mirip dengan mayat".
Kiu Cian Jin telah melihat Oey Yok Su di Kwie-in-chung, segera berkata.
"Benar! pembunuhnya Ciu Pek Thong si baju hijau itu ialah Oey Yok Su!
Lain orang mana bisa? Aku hendak mencegah sayang terlambat…!"
Namanya Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin sangat kesohor, enam
imam Coan Cin Kauw ini tidak menyangka bahwa orang tengah membohong,
mendengar hal dibunuhnya Ciu Pek Thong, paman guru mereka itu, mereka
sangat berduka berbareng gusar.
"Tam Suko dapat lari lebih keras dari pada aku, mungkin dia mendapat
kesempatan melihat bagaimana caranya susiok dibunuh," kata Cie Hian.
"Aku khawatir Tam Suko pun nampak bahaya…" kata Sun Put Jie yang berkhawatir. Ia berhenti tiba-tiba dan mukanya pucat.
Khu Cie Kee lantas menghunus pedangnya. "Mari kita menyusul!" serunya. "Kita mesti menolongi dan membalaskan sakit hati!"
"Jangan!" berteriak Kiu Cian Jin, yang khawatir mereka ini dapat mencari
Ciu Pek Thong. "Oey Yok Su ketahui kamu berada di sini, segera juga dia
bakal datang ke mari. Oey Lao Shia itu ada sangat jahat, aku si orang
tua tidak dapat membiarkan dia! Aku juga tidak membutuhkan bantuannya
lain orang, maka biarlah kamu berdiam saja di sini menantikan kabar baik
dari aku!"
Khu Cie Kee semua sangat percaya dan menghormati orang tua ini, mereka
tidak membantah. Pula, kalau mereka mengejar, mereka khawatir nanti
mengambil jalan salah hingga jadi tidak dapat bertemu sama Oey Yok Su,
dari situ, suka mereka menanti saja. Maka mereka berjalan ke luar
mengantarkan kepergiannya orang tua itu, mereka sikapnya sangat
menghormat.
Setelah ke luar dari ambang pintu, Kiu Cian Jin memutar tubuhnya seraya
mengibaskan tangan serta mulutnya berkata, "Tidak usah kau mengantar
sampai jauh! Meskipun Oey Lao Shia lihay sekali, ako toh mempunyai jalan
untuk mengalahkan dia! Kamu lihat!"
Ia tidak lantas berjalan terus hanya menghunus sebatang pedang dari
pinggangnya, dengan itu ia menikam perutnya, hingga mereka menjadi
kaget. Tiga dim dari pedang itu telah tertancap separuhnya! Akan tetapi
si orang tua tertawa dan kata, "Di kolong langit ini, senjata tajam apa
juga tidak dapat melukakan aku, maka janganlah tuan-tuan kaget dan
takut! Jikalau aku menyusul tetapi tidak bertemu dan sebaliknya Oey Lao
Shia itu datang ke mari, jangan tuan-tuan melayani dia bertempur,
khawatir nanti kamu terluka, kamu tunggu saja kembaliku!"
"Sakit hati paman guru, yang menjadi keponakan muridnya, tak dapat kami tidak membalasnya!" berkata Khu Cie Kee.
Mendengar itu, Kiu Cian Jin menghela napas. "Kalau begitu, terserah!"
katanya, berduka. "Ini dia takdir! Jikalau kamu hendak membalas sakit
hati, satu hal kamu mesti ingat!"
"Tolong locianpwee memberikan petunjuk," Ma Giok minta.
Kiu Cian Jin lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh. "Begitu kamu
melihat Oey Lao Shia, kamu mesti lantas mengepung dengan
sungguh-sungguh!" katanya. "Jangan kau bicara kendati sepatah kata juga!
Kalau tidak, sukarlah sakit hati kamu terbalaskan! Ingat baik-baik!"
Habis berkata, ia memutar tubuhnya, untuk terus berlalu, pedangnya masih
nancap terus diperutnya itu……
Khu Cie Kee semua saling mengawasi dengan berdiri menjublak. Mereka ada
orang-orang dengan pengetahuan dan pemandangan yang luas tetapi belum
pernah mereka menyaksikan orang menublas perut demikian rupa, dapat
bicara, tertawa dan berjalan dengan tenang! Maka itu maulah mereka
menduga bahwa kepandaian orang tua itu sangat luar biasa.
Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa mereka telah dijual Kiu
Cian Jin. Pedang itu bertekuk tiga, kalau tekukan yang pertama membentur
sesuatu, yang dua lagi segera ngelepot masuk, jadi ujung pedang cuma
mengenai ikat pinggang dan nancap, hanya nampaknya betul seperti
terpendam di dalam perut. Dia telah menerima undangan Wanyen Lieh, dia
bertugas mulutnya menyebar racun kata-kata untuk membuatnya orang-orang
gagah di jamannya itu bentrok satu dengan lain, agar bangsa Kim (kin
atau Chin) mendapat ketika menyerbu ke Selatan, guna menumpas alaha
Song.
Seperginya orang tua itu, Khu Cie Kee berenam tak tenang hatinya, sampai
mereka tidak bernafsu dahar dan minum. Mereka terus menanti. Ketika
tiba sang tengah malam dari tanggal tujuh, mendadak mereka mendengar
sama-samar suara orang di arah utara, seperti dua orang saling susul,
atau sebentar kemudian, tibalah dua orang itu di depan rumah penginapan.
Enam orang Coan Cin Kauw ini duduk bersemedhi di atas tumpukan rumput,
dengan itu jalan mereka memelihara diri sambil berlaku sabar sebisanya,
cuma In Cie Peng, yang latihannya masih lebih rendah, sudah tidur pulas.
Mendengar suara itu, mereka lantas berlompat bangun.
"Musuh mengejar Tam Sutee," berkata Ma Giok. "Berhati-hatilah semua!"
Untuk Kwee Ceng, malam itu pun malam terakhir, guna memenuhkan waktu
istirahat tujuh hari tujuh malam. Tindakan mereka itu besar faedahnya.
Bukan saja Kwee Ceng sendiri sembuh lukanya di dalam, juga rapat lukanya
di luar, pula tenaga dalam mereka mendapat kemajuan besar. Tempo
beberapa jam lagi adalah tempo yang terpenting. Tapi Oey Yong berduka
dan berkhawatir kapan ia mendengar perkataannya Ma Giok itu.
"Kalau yang datang benar ayah, inilah hebat," pikirnya. "Coan Cin Cit Cu
tentu bakal lantas menyerang dan mengerebuti….Aku tak dapat ke luar,
untuk mencegah guna mengasih penjelasan. Bagaimana? Aku khawatir sangat
mereka ini bakal bercelaka di tangan ayah. Kematian mereka itu tidak ada
sangkutnya dengan aku sendiri, tidak demikian dengan engko Ceng. Engko
Ceng ada sangkutannya dengan mereka itu. Pasti engko Ceng akan
bertindak……Tidakkah itu bakal meludaskan usaha kita berhari-hari dan
bemalam-malam ini, sedang ini adalah detik-detik terakhir? Aku khawatir,
tidak cuma ilmu silatnya juga jiwanya akan terancam bahaya…"
Maka ia lantas berbisik di kuping lawannya itu. "Engko Ceng, kamu mesti
berjanji padaku, tidak peduli bakal terjadi apa juga yang besar dan
penting, kau tidak boleh ke luar dari sini!" Kwee Ceng mengangguk dengan
lantas. Segera juga siulan terdengar di luar pintu penginapan.
"Tam Sutee, lekas mengatur barisan Thian Kong Pak Tauw!" Khu Cie Kee berseru.
Mendengar nama barisan itu, Kwee Ceng jadi sangat ketarik hatinya. Di
dalam kitab Kiu Im Cin-keng ada disebut-sebut nama bintang-bintang itu,
sebagai pokok untuk peryakinan kemahiran, penjelasan lainnya tidak ada,
maka itu, ia ingin ketahui kepandaiannya Coan Cin Cit Cu. Segera ia
mengintai.
Justru pemuda ini mengintai, justru pintu tergabrukan terbuka dan
seorang imam melompat masuk, hanya di saat jubahnya berkibar dan kaki
kirinya baru melewati ambang pintu, mendadak ia terhuyung dan mundur
pula ke luar. Inilah sebab musuhnya telah tiba dan sudah menyerang
padanya.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It berlompat ke pintu, di mana mereka
berdiri berendeng, kedua tangan mereka diajukan ke depan, maka tenaga
mereka bentrok sama tenaga dari luar. Sebagai kesudahan dari itu, kedua
imam ini mundur dua tindak, lawannya mundur dua tindak juga. Ketika ini
digunai Tam Cie Toan untuk berlompat masuk.
Di bawah sinar rembulan terlihat tegas orang di luar itu awut-awutan
rambutnya, mukanya ada dua goresan darahnya, pedang di tangan kanannya
tinggal sepotong, entah bekas dikutungi dengan senjata apa.
Setiba di dalam, tanpa mengucap sepatah kata, Tam Cie Toan lantas duduk
bersila, untuk bersemedhi, sikapnya itu diturut oleh keenam saudaranya.
Di luar pintu lantas terdengar suara yang keras dan seram. "Imam tua she
Tam, jikalau bukan nyonya besarmu memandang kepada Ma Giok yang menjadi
kakak seperguruanmu, pasti siang-siang aku telah mengantarkan jiwamu!
Perlu apa kau memancing nyonya besarmu datang ke mari? Siapa itu barusan
yang membantu padamu? Kau terangkanlah kepada Mayat Besi dari Hek Hong
Siang Sat!"
Di tengah malam buta itu, suaranya Bwee Tiuw Hong ini membuatnya tubuh
orang menggigil sendirinya. Setelah itu, kembali sunyi senyap. Apa yang
dapat terdengar melainkan suara kutu. Hanya sebentar kemudian, terdengar
suara seperti mereteknya tulang-tulang dan otot-otot. Kwee Ceng tahu
itulah tanda Bwee Tiauw Hong, yang rupanya hendak menyerbu ke dalam.
Habis itu terdengar, "Sekali tertinggal sampai pula beberapa puluh
tahun…"
Itulah senandungnya Ma Giok, suaranya halus dan sabar.
Lalu Tam Cie Toan menyambungi, "Dengan rambut kusut jalan sepanjang hari
bagaikan edan." Suara itu besar dan kasar, hingga Kwee Ceng mengawasi
anggota Coan Cin Cit Cu yang kedua ini, muka siapa berdaging dan
berotot, alisnya gompiok, matanya besar, tubuhnya besar dan kekar.
Sebelum menyucikan diri, ialah asal tukang besi di Shoatang, tabiatnya
jujur dan polos, dari itu, gelarannya ialah Tiang Cin Cu.
Orang yang ketiga bertubuh kate dan kurus, mukanya seperti kera. Dialah
Tiang Seng Cu Lauw Cie Hian, yang turut bersenandung. "Di bawah paseban
haytong menanam bibit." Dia bertubuh kecil tetapi suaranya nyaring
sekali.
Tiang Cun Cu Khu Cie Kee pun menyambuti. "Di dalam perahu di antara daun
teratai ada dewa Thay It Sian." Ia lantas disambungi Giok Yang Cu Ong
Cie It "Tak ada beda maka boleh ke luar dari batok kosong."
Kong Leng Cu Cek Tay Thong turut bersenandung juga. "Ada orang yang
dapat sadar sebelum dilahirkan." Ia dituruti oleh Ceng Ceng Sanjin Sun
Put Jie, katanya, "Pergi ke luar sambil tertawa dan merdeka bebas."
Sebagai penutup bersenandunglah Tan Yang Cu Ma Giok, "Mega di telaga See Ouw, rembulan di langit!"
Bwee Tiauw Hong terkejut mendengar suara mereka itu, suara yang
menandakan tenaga dalam yang mahir. Maka berpikirlah dia. "Mustahilkah
Coan Cin Cit Cu berkumpul di sini semua? Ah, tidak bisa jadi! Kecuali Ma
Giok, suara mereka itu lain…."
Selama di jurang di padang pasir Mongolia, Bwee Tiauw Hong pernah
mendengar suara Ma Giok serta Kanglam Liok Koay yang menyamar sebagai
Coan Cin Cit Cu, dengan kupingnya yang jeli sekali, ia bisa ingat dan
membedakan suara orang. Ia tidak mempunyai mata, maka itu ia mengandal
pada kupingnya. Sekarang ia mendengar suara yang lain sekali kecuali
suara Tan Yang Cu Ma Giok. Sampai sekarang ia masih belum tahu bahwa
dulu hari ia telah diperdayakan Ma Giok.
"Ma Totiang!" ia lantas menanya. "Semenjak kita berpisah, bukankah kau baik-baik saja?"
Ia masih ingat imam itu, yang dulu hari itu berlaku baik terhadapnya.
Dari itu, mengenai perbuatannya Tam Cie Toan, ia masih memandang ketua
Coan Cin Cit Cu itu. Sebenarnya, ketika Cie Tong gagal menyusul Ciu Pek
Thong, di tengah jalan ia melihat salah satu Hek Hong Sang Sat ini, yang
lagi berlatih. Ia tahu Tiauw Hong sangat jahat, ia memikir untuk
menyingkirkan si jahat ini dari dalam dunia. Ia berhati mulia, tak tega
ia menyaksikan Tiauw Hong berlatih dengan sasaran orang hidup. Maka ia
lantas menyerang. Di luar dugaannya, ia dikalahkan. Tiauw Hong mengenali
orang ada imam dari Coan Cin Kauw, ia ingat Ma Giok, maka ia cuma
melukainya, tidak mau ia merampas jiwanya, meski begitu, ia mengejar
terus sampai di rumah penginapan itu.
"Terima kasih, terima kasih!" menyahut Ma Giok. "Tho Hoa To dengan Coan
Cin Kauw tidak mendendam tidak bermusuh, apakah benar gurumu bakal
segera datang kemari?"
Bwee Tiauw Hong melengak. "Untuk apa kamu menanyakan guruku?" ia menanya.
Tapi Khu Cie Kee bertabiat keras. Ia membentak. "Perempuan siluman!
Lekas kau suruh gurumu datang ke mari, supaya dia belajar kenal dengan
kepandaiannya Coan Cin Cit Cu!"
"Kau siapa?!" tanya Tiauw Hong gusar.
"Khu Cie Kee! pernahkah kau mendengar namaku?"
Tiauw Hong mengasih dengar suaranya yang aneh, tubuhnya mencelat. Ia
menyerang ke arah dari mana suara jawaban itu datang, tangan kirinya
menutup diri, tangan kanannya menjambak, mencengkeram ke kepala!
Kwee Ceng mengetahui lihaynya Bwee Tiauw Hong, bahwa serangannya itu
sangat hebat, biar Cie Kee lihay, tak dapat ia melawan keras dengan
keras. Akan tetapi dia melihat si imam tetap duduk bersila, tidak mau
menangkis, tidak mau berkelit, ia menjadi kaget. "Celaka!" katanya dalam
hatinya. "Kenapa Khu Totiang bernyali begini besar?"
Bwee Tiauw Hong mengarah batok kepalanya Khu Cie Kee, selagi ia
menjambak itu, mendadak datang serangan angin dari kiri dan kanannya.
Itulah serangan berbareng dari Lauw Cie Hian berdua Ong Cit It. Ia mau
melanjutkan serangannya itu, maka tangan kirinya dikibaskan, guna
menangkis. Di luar dugaannya, hebat serangan angin itu, tidak dapat ia
menghalaunya, maka terpaksa ia berlompat mundur sambil jumpalitan. Cie
Hian dan Cie It, dengan tenaga dalam im dan yang, telah menggabungkan
diri. Ia menjadi kaget dan heran. Ia menyangsikan itulah serangan orang
Coan Cin Kauw. Maka ia lantas berseru dengan pertanyaannya, "Apakah Ang
Cit Kong dan Toan Hongya ada di sini?"
"Kitalah Coan Cin Cit Cu!" berkata Khu Cie Kee tertawa. "Di sini mana ada Ang Cit Kong dan Toan Hongya?"
Tiauw Hong bertambah heran. "Si imam tua she Tam bukan tandinganku,
kenapa di antara saudara-saudaranya ada yang begini lihay?" pikirnya.
"Apa mungkin kepandaian mereka berlainan tanpa memperdulikan tingkatan
mereka tua atau muda?"
Kwee Ceng pun heran seperti Tiauw Hong melihat Khu Cie Kee terbebaskan
oleh Lauw Cie Hian dan Ong Cie It itu. Hebat Tiauw Hong kena dibikin
terpental mundur. Ia menduga kedua imam itu berimbang sama si Mayat
Besi. Memang cuma Ang Cit Kong, Ciu Pek Thong, Oey Yok Su dan Auwyang
Hong yang mempunyai tenaga demikian besar. Kalau Caon Cin Cit Cu, inilah
aneh…
Tiauw Hong beradat keras, kepalanya besar. Kecuali gurunya, ia tidak
takut siapa juga. Makin ia terhajar, makin ia penasaran. Demikian kali
ini. Setelah berdiam sebentar, tangannya meraba ke pinggangnya. Ia
mengasih ke luar cambuk lemasnya, Tok-liong Gin-pian, cambuk perak si
Naga Beracun.
"Ma Totiong, maafkan, hari ini terpaksa berlaku kurang ajar!" katanya.
"Kata-kata yang baik!" Ma Giok menjawab.
"Aku hendak menggunai senjata, maka itu, kamu hunuslah senjata kamu!" kata si buta.
"Kami bertujuh, kau sendirian," berkata Ong Cie It. "Kau pun tidak bisa
melihat apa-apa! Maka itu, biar bagaimana kami tidak dapat menggunakan
senjata. Kami akan tetap duduk bersila, kau majulah!"
Tiauw Hong bersuara dingin. "Jadi kamu hendak melayani cambuk perakku dengan duduk diam saja?" tanyanya.
"Ah, perempuan siluman!" Cie Kee membentak. "Malam ini malam ajalmu tiba, buat apa kau masih banyak omong lagi?"
"Hm!" Tiauw Hong berseru di hidungnya, sedang tangannya lantas diayun,
hingga cambuknya terus meluncur ke arah Sun Put Jie. Cambuk panjang yang
banyak gaetannya itu bergerak perlahan bagaikan seekor ular besar
berlegot.
Oey Yong memasang kuping mendengarkan kedua pihak mengadu mulut, ia tahu
cambuknya Tiauw Hong lihay sekali, maka heran Coan Cin Cit Cu mau
melayani tanpa senjata dan tanpa bergerak juga dari tempatnya bercokol
masing-masing. Ia menjadi ingin melihat. Ia menarik Kwee Ceng, agar
kawan itu menyingkir. Buat ia menggantikan mengintai. Begitu ia
menyaksikan caranya tujuh imam itu berduduk, ia menjadi heran.
"Itulah keletakan bintang-bintang Pak Tauw," pikirnya. "Ah, tidak salah,
barusan Khu Totiang menyebutkan tentang Thian Kong Pak Tauw. Inilah
rupanya barisan itu."
Oey Yok Su mengerti ilmu alam, ketika Oey Yong masih kecil, suka ia
membawanya berangin waktu malam, maka sambil mengasih anak itu duduk di
pangkuannya, sering ia menunjuk ke langit dan memberitahukan kepada si
anak tentang bintang-bintang. Oey Yong ingat benar petunjuk ayahnya itu,
maka sekarang, dengan sekali lihat, ia ketahui Coan Cin Cit Cu ini
telah menempatkan diri sebagai tujuh bintang Pak Tauw itu,
bintang-bintang Utara.
Di antara tujuh imam itu, Ma Giok yang mengambil kedudukan thian-kie,
Tam Cie Toan thian-soan, Lauw Cie Hian thian-khie, dan Khu Cie Kee
thian-koan, sedang Ong Cie It giok-heng, Cek Thay Thong kay-yang, dan
Sun Put Jie yauw-kong. Kedudukan thian-koan paling penting, dia yang
menghubungi yang tiga dengan yang tiga lagi, dari itu kedudukan ini
ditempati Khu Cie Kee yang ilmu kepandaiannya paling lihay. Yang kedua
yang penting ialah giok-heng, maka itu diambil Ong Cie It.
Oey Yong sangat cerdas, selagi Kwee Ceng mengawasi sekian lama tapi tak
mengerti suatu apa, ia hanya menampak sekelebatan, lantas ia mengerti.
Tujuh imam itu menggabungkan diri dengan tangan kiri mereka menyambung
sama tangan kanan. Sambungan tangan itu mirip dengan tangan dia dan Kwee
Ceng, guna membantu pemuda ini mengobati diri.
Cambuknya Tiauw Hong bergerak perlahan ke arah kepala Sun Put Jie.
Kelihatannya saja perlahan, ancamannya sebenarnya hebat. Imam wanita itu
tetap tidak bergerak. Selagi mengawasi, Oey Yong melihat jubah orang,
di situ ia mendapatkan sulaman sebuah tengkorak. Ia heran, hingga ia
berpikir: "Coan Cin Kauw ada dari kalangan murni, kenapa jubahnya sama
dengan jubah Tiauw Hong dari kalangan sesat?" Ia pasti tidak tahu, tempo
Ong Tiong Yang menerima muridnya ini, dia telah menghadiahkan gambar
tengkorak dan murid ini, yang ingat budi gurunya, lantas menyulamkan itu
pada jubahnya.
Di saat cambuk hampir mengenai sasarannya, ialah bagian gigi dari
tengkorak di jubah Sun Put Jie itu, tiba-tiba cambuk itu berbalik
sendirinya, berbalik dengan kaget bagaikan kepala ular kena dibacok,
bagaikan anak panah melesat, menyambar kepada pemiliknya!
Tiauw Hong kaget, tidak sempat ia menggerakkan tangannya, sebab
tangannya itu bergetar, terpaksa ia kelit kepalanya, hingga ujung cambuk
lewat di atas rambutnya. "Sungguh berbahaya.." ia kata dalam hatinya.
Sesudah itu baru ia dapat menguasai pula cambuknya itu. Ia lalu
menyerang ke arah Ma Giok dan Khu Cie Kee. Dua-dua imam itu duduk diam
adalah Tam Cie Toan dan Ong Cie It yang menyerang dan membuatnya cambuk
mental.
Oey Yong memasang mata, ia dapat melihatnya. Kalau satu imam menangkis,
ia menggunai sebelah tangannya dan tangan yang lain diletaki di pundak
seorang saudaranya. Ia lantas mengerti. Cara mereka itu sama dengan
caranya sendiri mengobati Kwee Ceng. Itu artinya, tujuh orang menggabung
tenaganya melawan Bwee Tiauw Hong satu orang.
Apa yang dinamakan barisan bintang Thian Kong Pak Tauw ini adalah
semacam ilmu kepandaian paling mahir dari kaum Coan Cin Kauw. Itulah
karya ciptaannya Ong Tiong Yang, sesudah imam itu memutar otaknya
melatih diri dengan bersusah payah dan mengambil tempo lama. Untuk
melayani lawan, tak usah orang diserang sendiri yang menangkis atau
berkelit, hanya kawan di sampingnya yang membalas menyerang, kalau kawan
ini menyerang, tenaganya jadi berlipat ganda kuatnya, sebab ia dibantu
oleh yang lain-lainnya.
Tiauw Hong mencoba lagi beberapa kali, habis itu, berbareng heran, ia
menjadi berkhawatir. Lama-lama ia merasa, kalau ia menyerang, bukan lagi
cambuknya dibikin terpental seperti semula hanya seperti ditarik, meski
ia masih dapat menggunai itu, kalangan bergeraknya cambuk seperti
diperciut. Sia-sia ia mencoba untuk menariknya, guna mengulurnya. Ia
merasa dirinya terancam tetapi ia masih penasaran. Tak mau ia membiarkan
cambuknya dirampas oleh musuh-musuh yang melawannya sambil duduk
bercokol saja. Tapi karena ia penasaran dan bersangsi, ia melenyapkan
saatnya yang baik. Coba ia melepaskan cekalannya dan lompat mundur,
tentu ia selamat……
Kalau barisan bintang-bintang utara itu bergerak, kecuali oleh pemegang
pusat thian-koan, gerakannya tidak dapat dihentikan. Bahkan ketujuh imam
itu bergeraknya semakin cepat.
Bwee Tiauw Hong menggertak gigi. Ia tahu, kalau ia terus melawan, ia
bakal celaka. Maka itu, dengan berat, ia terpaksa melepaskan juga
cambuknya. Tetapi sekarang sudah kasep. Lauw Cie Hian sudah lantas
menarik dengan keras. Dengan menerbitkan suara, cambuk menghajar dinding
tembok, hingga rumah penginapan itu bergetar, genting-gentingnya pada
berbunyi, debu meluruk jatuh. Menyusul itu tubuhnya Tiauw Hong terbetot
satu tindak ke depan.
Tindakan cuma satu tetapi itulah tindakan yang memutuskan. Kalau tadi ia
melepaskan cambuknya dan lompat, lalu lompat pula mundur, ia bisa
memutar tubuhnya untuk lari ke luar. Mungkin ia bakal disusul tetapi
tidak nanti ia tercandak. Di dalam saat berbahaya ini, ia masih mencoba
membela diri. Ia menjambak ke kiri dan kanan. Ia segera kebentrok
tangannya Sun Put Jie dan Ong Cie It. Menyusul itu, Ma Giok dan Cek Tay
Thong pun menyerang dari belakang.
Ia majukan kaki kirinya setengah tindak. Sambil berseru nyaring, ia
menerbangkan kaki kanannya. Dengan begitu dengan saling susul ia
menendang lengannya kedua imam yang belakangan itu, di jalan darah
gwa-kwan dan hwee-cong.
"Bagus!" Khu Cie Kee dan Lauw Cie Hian memuji. Dengan saling susul, mereka ini menolong dua saudaranya dari bahaya itu.
Kaki kanan Tiauw Hong belum lagi menginjak tanah, kaki kirinya sudah
bergerak pula. Dengan begitu ia menyingkir dari serangannya Cie Kee dan
Cie It. Ketika kaki kanan itu diturunkan, ia maju lagi satu tindak.
Dengan begini berarti ia telah masuk semakin dalam ke dalam barisannya
ketujuh imam. Itu artinya, kecuali ia dapat merobohkan salah satu musuh,
ia tidak mempunyai jalan lagi untuk nerobos ke luar dari dalam barisan
itu.
Oey Yong heran dan terkejut. Di antara sinar rembulan ia menyaksikan
Tiauw Hong dengan rambut panjang yang awut-awutan itu, berlompatan pergi
datang dan tangan dan kakinya menjambak dan menendang tak hentinya.
Hebat setiap jambakan dan tendangannya itu mengasih dengar suara angin.
Tidak peduli segala gerakannya itu, yang hebat, maka Coan Cin Cit Cu
tetap bercokol tak bergeming, cuma tangan mereka yang bekerja, saling
sambut dengan rapi, tetap mereka mengurung si Mayat Besi.
Bwee Tiauw Hong telah berkelahi dengan menggunai dua macam ilmu
silatnya, yaitu pelbagai jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw dan hajaran
Cwie-sim-ciang yang dahsyat, ia terus mencoba untuk menerjang ke luar
tetapi selalu ia gagal, saban-saban ia tertolak mundur. Saking gusarnya,
ia sampai berkoak-koak secara aneh.
Sekarang ini, kalau Coan Cin Cit Cu menghendaki nyawa orang, cukup
mereka melakukan satu penyerangan, akan tetapi mereka atau salah satu di
antaranya, tidak mau menurunkan tangan yang terakhir.
Mulanya Oey Yong heran, atau sebentar kemudian ia sadar. "Ah, aku
mengerti sekarang!" katanya dalam hatinya. "Terang mereka ini meminjam
Bwee Suci untuk melatih barisan bintang mereka ini! Memang sukar dicari
orang yang sekosen suci, yang dapat dipakai menguji barisannya ini.
Rupanya mereka hendak membikin lawannya letih hingga mati sendirinya
baru mereka mau berhenti…….."
Dugaan nona Oey ini cocok separuhnya. Memang benar Ma Giok beramai
memakai Tiauw Hong sebagai kawan berlatih, tetapi untuk membinasakan,
itulah mereka tak pikir. Tidak gampang mereka melakukan pembunuhan.
Sampai di situ, Oey Yong tidak mau menonton lebih lama pula. Ia tidak
berkesan baik terhadap Bwee Tiauw Hong, si suci, kakak seperguruan, toh
ia tak tega mengawasi lebih jauh. Maka itu, ia berikan tempat
mengintainya kepada Kwee Ceng. Maka sekarang ia cuma mendengar, angin
serangan sebentar keras sebentar kendor, tandanya pertempuran masih
berlanjut terus.
Kwee Ceng menonton tetapi ia tetap tidak mengerti akan cara berkelahinya
ke tujuh imam itu. "Mereka menggunai kedudukan bintang Pak Tauw," Oey
Yong membisiki. "Apakah belum pernah melihatnya?"
Baru sekarang pemuda ini mendusin. Ia ingat bunyinya kitab kedua dari
Kiu Im Cin-keng. Sekarang ia mengerti sendirinya. Karena itu ia menjadi
tertarik hingga tanpa merasa ia berlompat bangun. Oey Yong kaget, segera
ia menahan. Kwee Ceng pun sadar, lekas-lekas ia berdiam. Tapi ia masih
mengintai pula. Sekarang ia mengerti betul kegunaannya barisan Thian
Kong Pak Tuaw itu. Ketika di Tho Hoa To menyaksikan Ang Cit Kong
menempur Auwyang Hong ia memperoleh kemajuan besar, kali ini ia
mendapatkan kemajuan serupa, dengan begitu, pengetahuannya menjadi
bertambah.
Lama-lama maka letihlah Bwee Tiauw Hong, ia hampir tak dapat bertahan
pula. Di lain pihak, juga tenaganya Coan Cin Cit Cu agaknya berkurang,
mereka mulai kendor. Justru itu di pintu terdengar suara orang.
"Saudara Yok, kau maju lebih dulu atau kau suka mengalah untuk aku mencoba-coba?" demikian suara itu.
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali baik suaranya Auwyang Hong. Entah kapan
datangnya See Tok, si Bisa dari Barat itu. Juga Coan Cin Cit Cu kaget
semuanya, dengan serentak mereka melirik ke arah pintu. Di samping pintu
itu berdiri berendeng dua orang, yang satu bajunya hijau yang lainnya
putih. Mereka mengetahui akan adanya musuh-musuh yang tangguh, dengan
berbareng mereka berseru, dan dengan berbareng mereka menghentikan
pertempuran untuk berbangkit berdiri.
"Bagus betul" berkata Oey Yok Su, "Tujuh rupa bulu campur aduk ini
mengepung satu muridku! Saudara Hong, jikalau aku memberi pengajaran
kepada mereka, bisakah kau membilangnya aku menghina kepada yang muda?"
Auwyang Hong tertawa, ia menyahuti. "Mereka yang terlebih dulu tidak
menghormati kau! Jikalau kau masih tidak mengasih lihat sedikit dari
ilmu kepandaianmu, pasti ini kawanan anak muda tidak mengetahui lihaynya
pemilik dari Tho Hoa To!"
Ong Cie It pernah melihat Tong Shia dan See Tok di Hoa San, heran ia
mendapatkan orang muncul berbareng dengan tiba-tiba. Hendak ia maju
untuk memberi hormat, atau Oey Yok Su sudah maju dengan sebelah tangan
terayun. Ia hendak menangkis tapi sudah tidak keburu, maka dengan satu
suara "Plok!" pipinya kena digaplok, tubuhnya lantas terhuyung, hampir
ia menubruk lantai.
Khu Cie Kee kaget sekali. "Lekas kembali ke tempat masing-masing!" ia berseru.
Akan tetapi belum sempat saudara-saudaranya itu menaati seruannya atau
plak-plok tak hentinya, dengan bergantian mukanya Tam Cie Toan, Lauw Cie
Hian, Cek Tay Thong dan Sun Put Jie telah tergaplok seperti muka Ong
Cie It. Setelah itu bayangan pun berkelebat ke mukanya Tiang Cun Cu
sendiri, demikian rupa, hingga tak tahu ia bagaimana harus menangkisnya,
maka tidak ayal lagi, ia mengibas tangannya, mengarah dadanya Oey Yok
Su!