Sebentar saja terdengar perkataan dan tertawanya Auwyang Hong dan Ciu
Pek Thong berdua, atau sejenak kemudian, suara mereka terdengar sudah
jauh mungkin di luar belasan tombak.
Koan Eng dan Yauw Kee duduk menjublak. Tak tahu mereka siapa kedua orang
itu, mereka heran. Apa perlunya dua orang itu muncul di tengah malam
buta rata? Saking ingin tahu, mereka bangun berdiri, terus sambil
berpegangan tangan mereka bertindak ke pintu.
Oey Yong sendiri berpikir. "Mereka berdua hendak menguji kekuatan kaki mereka, mestinya ayah menyaksikan mereka itu."
Benar saja, segeralah terdengar suaranya Koan Eng, "Ah, aneh! Mana Couwsu?"
"Lihat di sana!" berkata Yauw Kee. "Bukankah di sana ada bayangan tiga
orang? Bayangan yang paling belakang itu mirip sama bayangan couwsu."
"Ya, benar!" berkata Koan Eng. "Kenapa dalam sekejap saja mereka itu
sudah pergi begitu jauh? Siapakah itu dua orang yang lain? Mereka lihay
sekali! Sayang kita tidak dapat melihat mereka…"
Kata Oey Yong dalam hatinya, "Tidak peduli kamu melihat si bisa
bangkotan atau si bocah tua bangkotan berandalan, untuk kamu berdua
tidak ada faedahnya…"
Habis itu, dua-dua Koan Eng dan Yauw Kee lega hatinya. Dengan kepergian
Oey Yok Su sang kakek guru, mereka menganggap berdua saja di rumah makan
itu. Bukankah Sa Kouw pun pergi tidak karuan paran? Koan Eng lantas
merangkul pinggang langsing dari istrinya si pengantin baru.
"Adikku, apakah namamu?" ia menanya perlahan.
Nona Thia tertawa. "Aku tidak hendak membilangi kamu. Kamu terkalah!"
Koan Eng pun tertawa. "Kalau bukannya kucing kecil tentulah anjing cilik!" katanya.
"Semuanya bukan!" kata si nona, kembali tertawa. "Itulah si biang kutu gede!"
Koan Eng tertawa pula. Dengan "biang kutu gede" dimaksudkan harimau.
"Oh, kalau begitu tak dapat aku menangkapnya!" katanya.
Nona Thia berontak, ia melompat ke meja. Koan Eng mengejar sambil
tertawa-tawa. Demikian mereka main kejar-kejaran, berputar-putaran,
suara tertawa mereka ramai. Samar-samar Oey Yong menampak bayangan
mereka di antara sinar bintang-bintang, ia terus mengawasi, mulutnya
tersenyum sendiri.
"Eh, Yong-jie, coba kau terka, dapatkah dia menyandak nona Thia atau tidak?" tiba-tiba Kwee Ceng menanya.
"Dia bakal pasti tercandak!" jawab si nona.
"Kalau sudah kena ditangkap, bagaimana?" Kwee Ceng menanya pula.
Oey Yong tidak dapat menjawab. Pertanyaan itu menggeraki hatinya. Justru
itu terdengar suaranya Koan Eng, tandanya ia telah berhasil menyandak
dan membekuk Yauw Kee, lalu keduanya saling merangkul, kembali ke bangku
mereka. Mereka bicara dan tertawa dengan perlahan. Bukan main
gembiranya mereka itu.
Tangan kanan Oey Yong tetap beradu sama tangan kiri Kwee Ceng, ia
merasakan telapakan tangannya si anak muda makin lama makin panas,
tubuhnya pun bergoyang ke kiri dan ke kanan, bergoyangnya makin lama
makin keras. Ia menjadi terkejut.
"Engko Ceng, kau kenapa?" ia menanya.
Kwee Ceng masih belum sembuh totol, bersenda guraunya Koan Eng dan Yuaw
Kee mengganggu pemusatan pikirannya, lebih-lebih ia berada berduaan saja
sama Oey Yong. Sulit untuk dia menguasai dirinya, maka itu tangannya
menjadi panas, tubuhnya bergoyang. Ia tidak jawab si nona, hanya ia ulur
tangan kanannya akan memegang pundak si nona.
Oey Yong bertambah khawatir. Pemuda itu bernapas memburu keras, hawanya pun bertambah panas.
"Engko Ceng, hati-hati!" ia memperingati, "Kau tenangkan dirimu, kau tetapkan hatimu!"
"Aku gagal, Yong-jie," menyahut Kwee Ceng, yang hatinya goncang. "Aku…aku.." Habis berkata, ia mencoba bangun untuk berdiri.
"Jangan bergerak!" Oey Yong berteriak saking bingungnya. Ia gugup.
Kwee Ceng duduk pula, ia mainkan pernapasannya. Ia merasakan hatinya ruwet, dan dadanya pun seperti hendak meledak.
"Yong-jie, kau tolongi aku, tolongi…" ratapnya. Kembali ia hendak berbangkit bangun.
"Jangan bergerak!" Oey Yong melarang pula. "Begitu kau gerak, akan aku totoki padamu!"
"Benar, lekaslah kau totok!" kata Kwee Ceng. "Aku tidak dapat menguasai diriku lagi…"
Oey Yong menjadi sangat bingung. Ia tahu, kalau ia menotok, habis sudah
latihan, mereka berdua, yang telah dilakoni dengan susah payah, di
kemudian hari mereka harus berlatih dari baru pula. Tapi Kwee Ceng
menghadapi bahaya, asal ia berdiri, maka terancamlah jiwanya. Tapi ia
tak dapat bersangsi, ia tidak boleh berayal lagi. Dengan menggertak
gigi, ia geraki tangan kirinya, dengan tipu "Lan-hoat Hut-huat-ciu", ia
menotoki jalan darah ciang-bun di tulang rusuk ke sebelas dari dada kiri
si pemuda itu.
Tenaga dalam dari Kwee Ceng telah terlatih sempurna sekali, ia dapat
menggunai itu secara wajar, maka tempo jari si nona hampir sampai pada
sasarannya, ia berkelit sendirinya. Dua kali Oey Yong menotok, dua-dua
kalinya gagal. Ketika ia hendak mengulangi untuk ketiga kalinya,
mendadak lengan kirinya tercekal keras, lengan itu kena ditangkap Kwee
Ceng.
Cuaca ketika itu sudah mulai terang. Oey Yong berpaling, mengawasi si
anak muda. Ia mendapatkan sepasang mata orang merah bagaikan api. Ia
terkejut. Ia pun merasa tangannya ditarik. Mulut Kwee Ceng mengasih
dengar suara tak tegas, terang ia kacau otaknya. Terpaksa ia menggeraki
pundaknya, membentur tangan orang. Dengan begitu duri dari baju lapisnya
mengenai daging si anak muda.
Kwee Ceng kaget kesakitan, ia tertegun. Justru itu waktu, kupingnya
dapat menangkap keruyuknya ayam jago. Mendadak saja, otaknya menjadi
terang dan sadar. Dengan perlahan ia lepaskan cekalannya, ia mengasih
turun tangannya. Ia pun malu hingga ia jengah sendirinya.
Oey Yong mengawasi. Di jidat anak muda terlihat keringat mengetel. Kulit
muka orang pun lesu dan pucat sekali. Tapi, meski pun itu semua,
ancaman bahaya sudah lenyap. Maka legalah hatinya, ia menjadi girang.
"Engko Ceng, kita sudah melewati dua hari!" katanya.
"Plok!" demikian satu suara nyaring. Nyata Kwee Ceng telah menggaplok
mukanya sendiri. "Sungguh berbahaya!" katanya. Ia masih hendak
menggaplok lagi atau si nona mencegah.
"Jangan, itulah tak ada artinya!" kata Oey Yong tertawa. "Kau ketahui
lihaynya Loo Boan Tong, dia masih tak sanggup mempertahankan dri dari
suara seruling ayahku, apa pula kau tengah terluka parah?"
Tanpa merasa, karena ancaman bahaya itu, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah
memasang omong. Mereka lupa keadaan mereka, mereka tidak ingat lagi
untuk main berbisik saja. Koan Eng dan Yauw Kee tengah kelelep asmara,
mereka tidak mendapat dengar, tetapi tidak demikian dengan Auwyang
Kongcu di ruang dalam. Pemuda ini memasang kupingnya, hingga ia
mengenali suaranya Oey Yong. Ia kaget berbareng heran. Ia masih
mendengar lagi tapi suara lantas sirap. Ia menjadi sangat menyesal
karena kedua kakinya luka parah hingga ia tak mampu berjalan. Tetapi ia
ingin berjalan pula, maka terpaksa ia menggunai kedua tangannya, yang
dijadikan seperti kaki, hingga tubuhnya terangkat ke atas, kakinya naik
tinggi sedangakan kepalanya berada di bawah!
Koan Eng bersama pengantinya berdiri berendeng, tangan kirinya merangkul
leher istrinya itu, terletak di pundak istrinya. Ia terkejut ketika
kupingnya dapat mendengar suara berkerisiknya rumput, segera ia menoleh.
Maka terlihatlah olehnya seorang berjalan dengan kedua tangan di
jadikan kaki. Ia segera berbangkit seraya mencabut goloknya.
Auwyang Kongcu telah terluka parah, ia pun sudah kelaparan, tubuhnya
menjadi sangat lemah, ketika ia lihat berkelebatnya sinar golok,
kagetnya tak kepalang, tidak ampun lagi ia roboh pingsan.
Koan Eng melihat orang tengah sakit, ia lompat maju untuk mengasih
bangun, buat dikasih duduk di atas bangku, tubuhnya disenderkan pada
meja. Selagi suaminya menolongi orang, Thia Yauw Kee menjerit kaget. Ia
tidak uash mengawasi lama akan mengenali orang adalah Auwyang Kongcu,
yang di Poo-ceng telah menangkap padanya.
Koan Eng menoleh dengan lantas karena jeritan istrinya itu. Ia terkejut
akan mendapatkan muka si istri, yang seperti orang ketakutan sangat.
"Jangan takut," ia menghibur. "Dia telah patah kakinya."
Tapi istrinya menyahut lain. "Dia orang jahat, aku kenali dia!" demikian sahutnya.
"Oh!" seru Koan Eng tertahan.
Auwyang Kongcu mendusin sendirinya. "Bagi aku nasi, aku lapar sekali," ia memohon.
Yauw Kee mengawasi. Ia melihat orang bermata coleng dan beroman sangat
kucel, timbul rasa kasihannya. Ia memang berperangai halus dan pemurah
hati, ia menjadi tidak tega. Ia menghampirkan kuali untuk mengisikan
satu mangkok nasi, yang mana ia angsurkan pada pemuda yang bercelaka
itu.
Auwyang Kongcu menyambuti, terus ia makan. Habis satu mangkok, ia minta
pula, maka habislah tiga mangkok, setelah mana ia merasa tenaganya
pulih. Ia mengawasi Yauw Kee. Mendadak timbul pula pikiran yang buruk.
"Mana nona Oey," ia tanya.
"Nona Oey yang mana?" Koan Eng balik menanya.
"Nona Oey putrinya Oey Yok Su dari Tho Hoa To," Auwyang Hong menjawab.
"Oh, kau kenal nona Oey?" kata Koan Eng. "Kabarnya dia sudah menutup mata…"
Pemuda itu tertawa. "Ah, kau hendak memperdayakan aku?" katanya. "Terus-terang aku telah mendengar suaranya barusan!"
Terus dengan mendadak ia menekan meja dengan tangan kirinya, atas mana
tubuhnya melesat, hingga di lain saat ia sudah berdiri pula dengan kedua
tangannya. Ia berputaran di ruang itu, untuk mencari Oey Yong. Sia-sia
ia mencari, maka ia memasang mata sambil memasang kupingnya. Ia
mengawasi ke arah dari mana datangnya suara Oey Yong, ialah arah timur.
Tapi di situ ada tembok, tidak ada pintu. Ia sangat cerdas, tak usah
berpikir lama, ia lantas mencurigai lemari.
"Mesti ada rahasianya di situ," demikian pikirnya. Maka ia lantas
menarik meja, dibawa ke depan lemari itu, habis mana ia naik ke atas
meja itu, untuk segera membuka daun lemari. Ia menyangka ada pintu
rahasia di situ, tapi ia kecele. Ia melihat bagian dalam lemari yang
hitam dan kotor. Ia berputus asa akan tetapi pikirannya bekerja terus
juga. Maka terlihatlah olehnya mangkok besi, bahkan di situ ia
mendapatkan beberapa tapak jari tangan, yang masih baru. Mendadak
hatinya tergerak. Segera ia mengulur tangannya, meraih mangkok itu. Ia
menarik tetapi mangkok tidak bergeming. Ia tidak mau sudah, sekarang ia
memutar. Mangkok itu terus bergerak, ia memutar terus. Maka segeralah
terdengar suara apa-apa, disusul sama bergeraknya pintu rahasia hingga
di sana terlihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi duduk di dalam kamar
rahasia itu.
Bukan main girangnya kongcu ini melihat si nona, hanya menampak Kwee
Ceng ada beserta nona itu, ia berbalik menjadi kaget berbareng cemburu,
lantas timbul iri hatinya menyusul.
"Adikku, apakah kau tengah berlatih?" ia menanya. Ia melihat dua orang itu berdiam saja.
Semenjak tadi Oey Yong merasa pasti rahasianya bakal ketahuan. Ia telah
mengawasi setiap gerak-geriknya Auwyang Kongcu itu, ketika orang membuka
lemari, ia lantas berpikir.
"Jangan bergerak," ia bisiki Kwee Ceng. "Aku akan pancing dia datang
dekat, lalu kau hajar dia dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, untuk
menghabiskan padanya."
"Tetapi aku tidak dapat menggunai tenaga di tanganku," Kwee Ceng membilang, berbisik juga.
Oey Yong masih hendak berbicara pula atau pintu sudah terbuka dan
Auwyang Kongcu muncul di depan mereka, maka lekas-lekas ia mengasah
otaknya. "Dengan cara bagaimana aku dapat menghalau dia hingga dia suka
pergi jauh-jauh, supaya aku bisa melewatkan terus lima hari lima malam
dengan tenang? Kalau aku membuka mulut, bisa celaka engko Ceng…Bagaimana
sekarang?"
Auwyang Kongcu jeri terhadap Kwee Ceng, melihat orang berdiam saja, ia
mengawasi dengan tajam hingga ia dapat melihat roman yang lesu, mukanya
pucat. Dia lantas ingat pembilangan pamannya bahwa Kwee Ceng itu pernah
dihajar dengan Kuntauw Kodok di dalam istana, kalau tidak lantas mati,
si anak muda mestinya terluka parah. Maka sekarang, ia melihat
keadaannya Kwee Ceng dan menyaksikan sikapnya mereka berdua, sebagai
orang cerdik, ia lantas dapat menduga duduknya hal. Untuk mendapat
kepastian, ia hendak mencoba.
"Adik, kau keluarlah," ia berkata. "Buat apa berdiam di dalam kamar ini, cuma-cuma pikiran menjadi pepat…"
Sembari berkata, ia mengulur sebelah tangannya, berniat menarik ujung
baju si nona. Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia angkat tongkatnya
dengan apa ia menghajar kepala orang. Auwyang Kongcu kaget, dengan lekas
ia berkelit. Hebat serangan itu, sebagaimana anginnya pun berkesiur
keras. Ia lompat jumpalitan, akan turun dari meja. Oey Yong menjadi
sangat menyesal. Kalau dapat ia bergerak, ia bisa menyusuli dengan
serangan yang kedua, yang pasti tidak bakal gagal. Sekarang ia cuma bisa
numprah terus, jengkelnya bukan kepalang.
Sementara itu Koan Eng dan Yauw Kee heran bukan main mendapatkan kamar
rahasia itu serta di dalamnya ada orangnya, mereka sampai diam menjublak
saja. Ketika kemudian mereka mengenali Oey Yong dan Kwee Ceng, itu
waktu si nona Oey sudah menyerang Auwyang Kongcu, tetapi serangannya
gagal. Setelah itu, pemuda itu naik pula ke meja, untuk beraksi. Ia jadi
berani karena ia melihat Oey Yong tidak bergerak untuk menyusul
padanya, dugaannya menjadi satu kepastian.
Begitulah ia menyerang si nona, tangan siapa ia hendak tangkap untuk
ditarik. Kalau Oey Yong menghajar dia dengan tongkat, ia senantiasa main
berkelit. Kalau ada ketikanya, ia menotok. Oey Yong kewalahan, tidak
peduli ilmu tongkatnya lihay. Ia tidak berani bangun, untuk meninggalkan
Kwee Ceng. Karena ini, lama-lama ialah yang kena terdesak.
Koan Eng dan istrinya melihat keadaan buruk untuk nona Oey itu, dengan
serentak mereka maju untuk membantui. Mereka masing-masing menggunai
golok dan pedang. Auwyang Kongcu melihat majunya suami-istri itu, ia
tertawa lebar dan panjang, sambil tertawa tubuhnya bergerak, sebelah
tangannya menyambar ke arah Kwee Ceng.
Pemuda itu melihat bahaya mengancam, akan tetapi ia tidak dapat
menangkis atau berkelit, terpaksa ia tutup rapat kedua matanya untuk
menantikan maut datang. Oey Yong kaget bukan main, ia segera menyerang.
Auwyang Kongcu sudah bersiap, begitu tongkat tiba, ia menanggapi, ia
mencekal, lalu ia menarik keras.
Dalam tenaga, tentu saja nona Oey kalah, sedang sebelah tangannya tidak
dapat ia gunakan. Bahkan ia khawatir sekali tangannya itu lepas dari
tangan Kwee Ceng. Sekalipun tubuhnya terhuyung, ia berdaya untuk
mempertahankan diri. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia lepaskan
tongkatnya, untuk tangannya itu dipakai merogoh ke dalam sakunya, untuk
meraup jarumnya, dengan apa ia menyerang ke arah musuh yang licik itu.
Auwyang Kongcu terkejut. Jarak di antara mereka cukup dekat, ketika ia
melihat barang berkeliauan, ia lantas menjatuhkan diiri rebah di atas
meja. Tanpa berkelit secara demikian, pastilah ia celaka. Justru itu,
Koan Eng datang dengan bacokannya.
Kembali Kongcu itu kaget, terpaksa ia menggulingkan diri ke kanan. Golok
Koan Eng mengenai meja, sebab sasarannya lenyap. Tengah Koan Eng
membacok, jarumnya Oey Yong tiba, menggenai punggungnya. Ia kaget sebab
dengan segera ia merasakan separuh tubuhnya tak dapat digeraki. Maka
ketika Auwyang Hong menyambar, ia kena dicekuk tanpa berdaya. Sebat luar
biasa, keponakannya Auwyang Hong mencekal tangan orang.
"Bagus!" katanya.
Itu waktu Yauw Kee pun menyerang. Si nona kaget dan hendak menolongi
suaminya. Tapi Auwyang Kongcu ada terlalu lihay untuknya. Pemuda itu
berkelit, sambil berkelit, sebelah tangannya menyambar ke dada orang. Ia
kaget bukan main. Celaka kalau dadanya itu kena dipegang pemuda ceriwis
itu. Lekas-lekas ia membacok. Auwyang Kongcu menarik pulang tangannya
itu, tetapi dia telah berhasil menjambret baju orang, yang kena dia
robek. Saking kaget, hampir Yauw Kee membikin pedangnya terlepas,
mukanya pucat. Karena ini, ia tidak dapat maju pula.
Auwyang Kongcu duduk numprah di atas meja. Ketika itu, pintu lemari,
atau lebih benar pintu rahasia, sudah tertutup pula. Ia bergidik
sendirinya kapan ia ingat serangan jarum berbisa dari si nona tadi.
"Budak ini benar-benar lihay," pikirnya. "Tapi biarlah dia, sekarang aku
permainkan saja nona Thia, aku tanggung mereka berdua bakal jadi kacau
pikirannya, rusak semedhinya. Sampai itu waktu, aku tentu sudah
mempunyai daya untuk menguasai mereka…"
Mengingat itu, bukan main girangnya pemuda itu. "Eh, nona Thia," ia
berkata kepada Yauw Kee. "Kamu menghendaki dia mati atau hidup?"
Ia maksudkan Koan Eng, yang sudah tidak berdaya itu. Ia sudah pikir,
nona Thia tidak dapat dilawan dengan keras, mesti dengan halus, supaya
ia suka menyerah sendirinya. Jalan itu ialah Koan Eng harus dipakai
sebagai alat. Yauw Kee bingung bukan main. Ia lihat suaminya menutup
kedua matanya, tubuhnya tak bergeming.
"Auwyang Kongcu," katanya terpaksa. "Dia dengan kau tidak ada bermusuhan, aku minta sukalah kau merdekakan dia…"
"Haha!" tertawa si anak muda. "Kiranya kamu kaum Coan Cin Pay juga ada harinya kamu minta-minta kepada lain orang!"
"Dia…dialah murid dari Thoa Hoa Ta, jangan kau celakai dia…" kata pula si nona.
"Siapa suruh dia membacok aku?" kata si anak muda tetap tertawa.
"Jikalau bukannya aku berkelit dengan cepat, apakah batok kepalaku masih
ada di batang leherku? Jangan kau gertak aku dengan nama Tho Hoa To!
Oey Yok Su itu ialah mertuaku!"
Yauw Kee tidak tahu orang bicara benar atau mendusta. "Kalau begitulah
kau yang terlebih tua, kau merdekakanlah dia," kata pula ia. "Biarlah
dia menghaturkan maaf padamu."
"Mana bisa begitu gampang, he?" Auwyang Kongcu pula. "Jikalau kau
menghendaki juga aku melepaskan dia, kau mesti menerima baik
permintaanku."
Yauw Kee mengawasi paras orang, ia mendapat duga orang bermaksud tidak baik, maka itu ia lantas tunduk, ia tidak menyahuti.
"Kau lihat!" berkata Auwyang Kongcu, tiba-tiba. Ia mengangkat tangannya
menghajar ujung meja hingga ujung meja itu semplak seperti bekas
dibacok. Yauw Kee terkejut.
"Suhu juga tidak selihay dia ini," pikirnya.
Auwyang Kongcu mewariskan kepandaiannya Auwyang Hong, sang paman, maka
itu, dia menang banyak dari pada Sun Put Jie. Ia senang mendapatkan si
nona berkhawatir.
"Begini permintaanku," kata dia. "Inilah apa yang aku titahkan kau
lakukan, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, maka leher dia
akan aku bikin macam begini!" Dia mengasih contoh dengan ancaman
tangannya, seperti tadi ia membacok meja, tetapi kali ini ia tujukan
kepada batang leher Koan Eng.
Nona Thia kaget hingga ia menjerit.
"Kau menurut atau tidak?" Auwyang Kongcu tanya.
Dengan terpaksa Yauw Kee mengangguk.
"Bagus!" seru keponakannya Auwyang Hong. "Begini barulah anak manis! Nah, pergilah kau menutup pintu!"
Yauw Kee berdiri diam.
"Kau dengar tidak kataku?" Auwyang Kongcu membentak.
Takut Yauw Kee, maka dengan terpaksa, dengan hati berdebaran, ia menutup pintu.
"Bagus!" anak muda itu tertawa grang. "Tadi malam kamu berdua menikah,
aku mendengarnya dengan nyata, cuma anehnya, di dalam kamar pengantin,
kamu tidak membuka pakaian. Di kolong langit ini tidak ada suami-istri
seperti kamu! Sekarang kau loloskanlah semua pakaianmu, sepotong juga
tak boleh ketinggalan. Jikalau kau tidak menurut, segera aku kirim
suamimu ke alam baka, hingga kau lantas menjadi janda muda!"
Koan Eng tidak dapat menggeraki kaki tangannya, tetapi kupingnya
mendengar segala apa dengan nyata dan matanya melihat segala sesuatu,
maka itu ia murka bukan main, hingga matanya seperti mau melompat ke
luar, hatinya seperti mau meledak. Ia hendak meneriaki istrinya buat
jangan menuruti permintaan itu, supaya istri itu pun melarikan diri, apa
celaka, ia tidak dapat membuka mulutnya.
Sementara itu Oey Yong di dalam kamarnya telah siap sedia. Ialah yang
mengunci pula pintu rahasia selagi Auwyang Kongcu merobohkan Liok Koan
Eng. Ia mencekal pisaunya kalau-kalau si anak muda menyerang untuk kedua
kalinya. Maka ia kaget, mendongkol berbareng gusar mendengar Auwyang
Kongcu menitah Yauw Kee melepaskan pakaiannya untuk bertelanjang bulat.
Di lain pihak, dasar sifatnya kekanak-kanakan, ia ingin melihat Yauw Kee
akan meluluskan atau tidak permintaan kongcu Auwyang itu….Maka itu
masih menantikan….
"Mengapa sulit untuk meloloskan pakaian?" berkata pula Auwyang Kongcu.
"Ketika kau dilahirkan dari dalam perut ibumu, apakah kau pun
berpakaian? kau bilang, kau hendak melindungi mukamu atau jiwanya dia?"
Kembali ia menuding kepada Koan Eng.
Nona Thia berdiam, otaknya bekerja keras.
"Nah, kau bunuhlah dia!" kata dia akhirnya, suaranya dalam.
Auwyang Kongcu melengak. Sungguh dia tidak menyangka si nona dapat
memberikan jawaban itu. Itu menjadi terlebih kaget ketika ia melihat
nona itu mengayun pedangnya ke arah lehernya sendiri. Dengan lantas ia
menimpuk dengan sebatang jarumnya, jarum Touw-kut-ciam, maka jatuhlah
pedang di tangannya nona itu. Yauw Kee membungkuk, untuk menjumput pula
pedangnya itu. Atau tiba-tiba,
"Pengurus hotel! Pengurus hotel!"
Itulah suaranya seorang wanita, yang memanggil pemilik hotel. Yauw Kee
menjadi dapat harapan. Setelah mencekal pedangnya, ia lompat ke pintu,
untuk segera membukai itu. Maka ia melihat seorang wanita muda, yang
pakaiannya putih, berdiri di muka pintu, rambutnya dibungkus dengan kain
putih juga dan di pinggangnya tersoren sebatang golok. Dia beroman
kucel tetapi itu tidak menutupi kecantikannya. Ia tidak kenal nona itu
tetapi dia mau anggap orang adalah penolongnya.
"Silahkan masuk, nona!" katanya lekas.
Nona itu berdiri bengong melihat "pemilik" rumah berpakaian mewah tetapi
tangan mencekal pedang. Ia mengawasi sekian lama, baru ia berkata. "Di
luar ada dua peti mati, bolehkah itu dibawa ke dalam?"
Kalau di dalam rumah orang biasa, pasti sekali jenazah orang tidak dapat
dibawa masuk, lain adalah dengan rumah penginapan, bahkan kali ini
dalam suasana luar biasa itu. Untuk Yauw Kee, jangan kata baru dua buah,
seratus pun ia akan mengijinkannya dibawa masuk.
"Baik, baik!" sahutnya cepat. "Silakan!"
Nona itu heran mendapatkan pelayanan istimewa dari "pemilik" rumah
penginapan ini akan tetapi ia lantas menoleh ke luar, untuk
menggapaikan. Maka lantas juga masuk delapan orang yang menggotong dua
buah peti mati, di bawa ke ruang dalam. Ketika ia berpaling ke arah
Auwyang Kongcu, ia kaget sekali, dengan segera ia menghunus golok di
pinggangnya.
Auwyang Kongcu sudah lantas tertawa lebar. "Inilah dia jodoh yang telah
ditakdirkan Thian!" katanya nyaring. "Dari jodoh telah tertakdir itu,
orang tidak dapat meloloskan diri! Inilah peruntungan baik yang
diantarkan sendiri! Jikalau peruntungan ini tidak diterima, sungguh
durhaka!"
Nona itu bukan lain dari pada Bok Liam Cu, yang pernah ia tawan.
Sesudah bentrok hebat sama Yo Kang di Poo-eng, ludas sudah pengharapan
nona Bok ini, hatinya menjadi tawar, cuma tinggal satu hal yang ia
berati, maka itu ia lantas ke Tiong-touw (Peking) di mana ia ambil
jenazah ayah dan ibunya untuk dibawa pulang ke dusun Gu-kee-cun di
Lim-an, untuk dikubur di kampung halamannya itu. Hebat untuknya, seorang
wanita, membawa-bawa peti mati orang tuanya di saat negara demikian
kacau.
Ketika itu tentara Mongolia tengah menyerang negara Kim. Ia pun, ketika
ia meninggalkan kampung halamannya, usianya baru baru lima tahun, maka
ia tidak ingat lagi kampung halamannya itu. Maka juga setibanya, begitu
melihat pondokannya Sa Kouw, lantas ia memikir untuk singgah terlebih
dahulu, sambil singgah, ia mencari keterangan. Maka adalah di luar
sangkaannya, di sini ia justru bertemu pula sama keponakannya Auwyang
Hong itu.
Tentu sekali ia tidak tahu nona itu dengan pakaian mewah itu tengah
diperhina si anak muda. Ia belum pernah bertemu dangan nona Thia dan
sekarang ia menyangka nona Thia itu ialah gula-gulanya pemuda itu.
Dengan menghunus goloknya, ia lantas membacok si anak muda, habis mana
ia berlompat untuk lari ke luar. Atau ia merasakan angin menyambar, dari
orang yang lompat lewat di atasan kepalanya. Ia lantas membacok ke
atasan kepalanya itu.
Auwyang Kongcu lihay sekali. Dengan tangan kanannya, dengan dua jeriji,
dia menekan belakang golok, dengan tangan kiri, ia menangkap lengan si
nona, maka sedetik itu juga, terlepaslah goloknya Liam Cu, hingga
berbareng mereka jatuh ke atas sebuah peti mati. Keempat tukang gotong
kaget hingga mereka berteriak, mereka roboh, peti matinya jatuh, mereka
babak belur mukanya sebab terkena pikulan dan saling tubruk.
Dengan tangan kiri merangkul nona Bok, dengan tangan kanan Auwyang
Kongcu menghajar tukang-tukang gotong itu hingga mereka ini
menjerit-jerit dan terus merayap, untuk lari ke luar, diturut oleh empat
tukang gotong lainnya, hingga mereka tidak memikir untuk meminta upah
pula.
Selama kejadian itu, Yauw Kee lompat kepada Koan Eng, yang rebah di
lantai, untuk dikasih bangun. Ia bingung sekali, tidak tahu ia bagaimana
harus menyingkirkan diri mereka. Auwyang Kongcu melihat sikapnya Yauw
Kee, dengan sebelah tangan menekan peti mati, sambil terus merangkul
Liam Cu, ia lompat kepada nona Thia itu, yang mana ia terus peluk dengan
tangan kanannya, setelah mana ia duduk di atas kursi.
Sambil tertawa lebar ia berkata. "Adik Oey, kau juga datang ke mari!"
Sedangnya pemuda ini kegirangan, mendadak ada bayangan yang berlompat
dari luar, masuk ke dalam, maka di lain saat ketahuanlah dia adalah Yo
Kang!
Yo Kang ini, sehabisnya dihinakan Oey Yok Su, tidak meninggalkan
Gu-kee-cun. ia bersakit hati dan ingin sangat dapat melampiaskannya.
Karena kerasnya hati, ia dengan perkenan Wanyen Lieh, ia memisahkan
diri. Di luar Gu-kee-cun, dia berdiam di dalam pepohonan yang lebat.
Di waktu malam, ia melihat Oey Yok Su, Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong
bertiga mondar-mandir, tentu sekali terhadap mereka ia tidak bisa
berbuat apa-apa. Lantas paginya ia melihat Bok Liam Cu membawa jenazah
orang tuanya. Diam-diam ia menguntit nona ini sampai di rumahnya Sa
Kouw. Baru nona ini masuk ke dalam atau lantas tukang-tukang gotong peti
itu lari serabutan. Ia menjadi heran, maka lantas ia memburu ke dalam.
Di pintu ia mengintai, ia tidak melihat Oey Yok Su, sebaliknya ia
mendapatkan Auwyang Kongcu duduk di kursi dengan air muka terang,
dirangkulannya kiri kanan ada kedua nona cantik, ialah Bok Liam Cu dan
Thia Yauw Kee, yang lagi dipermainkan. Tidak ayal lagi, ia melompat
masuk.
"Oh, siauw-ongya, kau telah kembali!" menegur Auwyang Kongcu kapan ia melihat pangeran itu.
Yo Kang mengangguk. Auwyang Kongcu melihat muka orang muram, ia lantas menghibur.
"Jangan kecil hati, jangan berduka, siauw-ongya," katanya. "Juga di
jaman dulu Han Si pernah menerima penghinaan merangkak di bawah
selangkangan orang: Seorang laki-laki dia harus dapat berlaku keras dan
lunak. Itulah tidak ada artinya. Kau sabar saja, kau tunggu sampai
kembalinya pamanku nanti kau boleh melampiaskan sakit hatimu ini!"
Ia menduga pangeran ini berduka karena bekas diperhina. Yo Kang
mengangguk pula, tetapi matanya mengawasi Liam Cu. Auwyang Kongcu
tertawa.
"Siauw-ongya," katanya, "Tidakkah kedua si cantik kepunyaanku ini tak ada kecelaannya?"
Kembali pangeran ini mengangguk. Auwyang Kongcu tidak tahu ada hubungan
apa di antara si pangeran dengan Liam Cu itu sebab tempo mereka itu
berdua mengadu kepandaian di jalan besar di Tong-touw, ia tidak hadir
bersama. Mulanya Yo Kang tidak memperhatikan si nona, sampai si nona itu
mencintai dia dengan sungguh-sungguh hati, hingga ada janji untuk
menikah, maka itu sekarang, melihat nona itu dalam rangkulan Auwyang
Kongcu, hatinya panas. Ia dapat mengendalikan diri, dari itu ia tidak
mengentarakan suatu apa.
Lagi-lagi Auwyang Kongcu tertawa dan berkata. "Semalam ada orang menikah
di sini, maka itu di dalam almari ada arak dan daging ayam! Siauw-ong
tolong kau ambilkan itu, mari kita minum bersama. Nanti aku menyuruh
kedua si cantik ini meloloskan semua pakaiannya, supaya mereka menari
untuk menggembirakan kau minum arak!"
"Itulah bagus!" sahut Yo Kang tertawa.
Bukan main panasnya hati Liam Cu melihat sikapnya Yo Kang ini, karenanya
hatinya menjadi dingin, ingin ia membunuh diri di depan kekasihnya itu,
supaya ia bebas dari penderitaan ini. Segera juga ia melihat Yo Kang
mengambil arak dan ayam dan kemudian duduk minum dan dahar bersama
Auwyang Kongcu.
Auwyang Kongcu mengisikan dua cawan arak, ia bawa itu ke depan mulutnya
nona itu, sembari tertawa ia kata, "Mari minum arak dulu, baru kamu
menari!"
Kedua nona ini gusarnya bukan main, hampir mereka pingsan. Tapi mereka
tidak bisa berbuat apa-apa juga. Tubuh mereka sudah di totok pemuda itu.
Ketika cawan arak ditempelkan ke mulut mereka, masih mereka tidak
berdaya. Maka diakhirnya, mereka mesti menenggak air kata-kata itu.
"Auwyang Sianseng," berkata Yo Kang, "Sungguh aku mengagumi kepandaian
kau! Mari aku beri selamat padamu dengan secawan arak, habis itu baru
kita menonton tarian!"
Auwyang Kongcu tertawa bergelak, ia menyambuti araknya itu, untuk
dihirup kering. Habis itu ia menotok bebas Yauw Kee dan Liam Cu, cuma
kedua tangannya masih menekan jalan darah mereka yang dinamakan
sin-tong-hiat, yang adanya di punggung. Ia kata, "Baik-baik saja kamu
mendengar perkataanku, dengan begitu kamu tidak bakal menderita,
sebaliknya, kamu akan mendapat kesenangan!"
Liam Cu menunjuk kepada kedua peti mati itu. "Yo Kang!" katanya, bengis, "Kau lihat, jenazah siapakah itu?!"
Pangeran itu memandang ke peti mati yang ditunjuk itu. Yang pertama ia
tampak ialah tulisan tinta merah yang berbunyi: "Tay Song Gie-su Yo Tiat
Sim Sim-cie-leng". Artinya, "Jenazah dari Yo Tiat Sim, orang gagah dari
jaman ahala Song".
Sebenarnya hatinya terkesiap, tetapi ia menguatkan diri, ia menunjuki
sikap acuh tak acuh. Bahkan ia kata kepada Auwyang Kongcu, "Auwyang
Sianseng, kau pegangi kedua nona manis ini, hendak aku meraba-raba kaki
mereka, untuk membuktikan siapakah yang kakinya terlebih mungil…"
Auwyang Kongcu tertawa. "Siauw-ongya sungguh jenaka!" katanya. "Aku
lihat tentulah kaki dia ini yang terlebih mungil!" Dan ia meraba kakinya
Thia Yauw Kee.
"Ah, belum tentu!" berkata Yo Kang, yang terus saja membungkuk hingga ke kolong meja.
Dua-dua Liam Cu dan Yauw Kee sudah mengambil putusan, begitu mereka
diraba, mereka hendak menendang tempilingan pangeran itu. Yo Kang, tidak
segera meraba, hanya ia tertawa.
"Auwyang Sianseng, kau minum lagi satu cawan!" katanya, "Habis minum nanti aku beritahu, dugaanmu cocok atau tidak…."
"Bagus!" sahut Auwyang Kongcu, seraya ia mengangkat cawannya.
Yo Kang sambil membungkuk melirik di saat pemuda itu dongak untuk minum,
kemudian ia mengeluarkan tombak buntung dari sakunya, dengan itu dengan
sekuat tenaga. Sambil mengertak gigi ia menikam ke arah perut orang,
hingga tombak itu nancap dalam sedalam lima atau enam dim, menyusul
mana, ia membaliki meja!
Kejadian ini mendadak sekali dan luar biasa juga, maka itu Oey Yong dan
Kwee Ceng, juga Bok Liam Cu, Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi
kaget dan heran sekali.
Auwyang Kongcu menggeraki kedua tangannya, ia membuatnya Liam Cu dan
Yauw Kee terbalik dari kursinya, sedang cawan arak di tangannya
ditimpuki ke arah Yo Kang! Pangeran ini berkelit sambil mendak, maka
jatuhlah cawan itu ke lantai, pecah hancur dengan mengasih dengar suara
nyaring.
Yo Kang berkelit dengan terus menjatuhkan diri, untuk bergulingan,
maksudnya buat lari ke pintu, apa mau ia terhalang peti mati. Terpaksa
ia berlompat bangun dan memutar tubuhnya, mengawasi Auwyang Kongcu.
Hatinya menjadi ciut kapan ia melihat pemuda itu berdiri dengan tubuh
doyong ke depan, kedua tangannya berpegangan pada kursi, sepasang
matanya mendelik, wajahnya seperti tertawa dan bukannya tertawa. Ia
menggigil sendirinya. Sebenarnya ia berniat lari menyingkir tetapi itu
sepasang mata tajam dan bengis membuatnya kakinya seperti terpaku.
Auwyang Kongcu melengak dan tertawa. "Aku si orang she Auwyang telah
malang melintang seumur hidupku, aku tidak menyangka bahwa hari ini aku
mesti mati di tangan kau, binatang!" katanya bengis. "Cuma satu hal yang
aku tidak mengerti! Siauw-ongya, mengapa kau mencoba membunuh aku?"
Yo Kang tidak menjawab, hanya dengan menggenjot diri, ia hendak
berlompat ke pintu, guna melarikan diri. Ia telah pikir, setelah berada
di luar pintu, baru ia hendak memberikan keterangannya. Selagi tubuhnya
melayang, mendadak ia merasakan belakang lehernya kena dicengkram keras
sekali, bagaikan terbangkol gaetan besi, hingga ia tak mampu berlompat
lebih jauh. Bahkan sebaliknya, ia jatuh ke atas peti mati, jatuh
bersama-sama tubuhnya Auwyang Kongcu yang telah melompat menyambar
padanya.
"Kau tidak mau bicara, apakah kau hendak membikin aku mati tak meram?!"
kata Auwyang Kongcu sembari tertawa. Nyata ia masih kuat sekali.
Yo Kang tahu ia ada bagian mati, hatinya menjadi besar. Ia tertawa
dingin. "Baiklah, nanti aku memberi keterangan padamu!" sahutnya.
"Tahukah kau, siapa dia?" Ia menunjuk kepada nona Bok.
Auwyang Kongcu memandang Liam Cu. Nona ini memegang golok di tangan,
siap untuk menerjang, guna menolongi si pangeran, cuma ia masih
bersangsi sebab ia khawatir nanti melukai kekasihnya.
"Dia…dia.." kata Auwyang Kongcu, yang terus terbatuk-batuk.
"Dialah tunanganku!" Yo Kang meneruskan. "Dua kali kau menghina dia, mana aku dapat membiarkannya?"
"Benar," kata Auwyang Kongcu. Dia masih tertawa. "Mari kita sama-sama
pergi ke neraka…!" Dia mengangkat kepalannya, untuk di kasih turun ke
batok kepalanya si pangeran…….
Liam Cu kaget hingga ia berteriak, hendak ia menolong tetapi sudah tidak
keburu. Yo Kang memeramkan kedua matanya, ia menantikan kebinasaannya.
Tapi ia menanti sekian lama, ia tidak merasakan hajaran kepada batok
kepalanya. Saking herannya, ia membuka matanya.
Auwyang Kongcu mengasih lihat senyumannya, tapi tangannya yang mencekuk
leher sudah terlepas, maka tempo si pangeran berontak, ia lantas jatuh
menimpa peti mati. Sebab ia sudah putus jiwa……..
Yo Kang melengak, Liam Cu melongo. Hanya sejenak, lantas keduanya lari
saling menghampirkan, untuk terus saling berpegangan tangan. Dalam
keadaan seperti itu banyak kata-kata yang hendak dikeluarkan tetapi tak
sepatah yang dapat diucapkan. ketika mereka memandang mayat Auwyang
Kongcu, lantas terbayang apa yang barusan terjadi, sendirinya mereka
bergidik.
Yauw Kee sendiri mengasih bangun pada Koan Eng, yang totokannya ia
bebaskan. Koan Eng ketahui Yo Kang adalah pangeran Kim tetapi orang
telah membinasakan Auwyang Kongcu, itu artinya orang telah menolongi
padanya, maka itu ia lantas memberi hormat sambil menjura, habis mana
dengan membungkam, ia tuntun tangannya istrinya untuk diajak berlalu
dari situ. Sebagai laki-laki, yang mengenal budi, tidak sudi ia
menyerang pangeran itu untuk membunuhnya.
Senang hatinya Oey Yong menyaksikan Yo Kang dan Liam Cu bertemu pula
satu dengan lain dan bertemunya dengan itu cara luar biasa. Kwee Ceng
pun mengharap-harap Yo Kang itu nanti mengubah kelakuannya. Dengan Oey
Yong ia saling memandang, lalu keduanya tersenyum.
Itu waktu terdengar suara Liam Cu. "Jenazah ayah dan ibumu telah aku bawa pulang," katanya kepada Yo Kang.
"Sebenarnya itulah kewajibanku, maka aku hanya membuat kau bercapai lelah, adikku," Yo Kang bilang.
Liam Cu tidak mau menimbulkan soal lama, ia lalu menanya bagaimana
penguburan harus dilakukan. Yo Kang mencabut tombaknya dari perut
Auwyang Kongcu.
"Paling dulu, kita kubur mayat dia ini," katanya. "Kalau kejadian ini
diketahui pamannya, walau pun dunia ini lebar, bagi kita tidak ada
tempat untuk menyembunyikan diri…"
Liam Cu menurut, dari itu keduanya lantas bekerja. Mayat Auwyang Kongcu
dikubur begitu saja di dalam pekerangan rumah penginapan Sa Kouw itu.
Sesudah beres, mereka pergi ke kampung, untuk meminta bantuan sejumlah
penduduk guna menggotong dan mengubur jenazah itu di belakang rumah. Di
sini Yo Kang seperti tidak punya kenalan lagi, tidak ada orang yang yang
menanyakan dia ini dan itu.
Setelah penguburan, hari pun sudah malam. Untuk tidur, Liam Cu menumpang
pada seorang penduduk sedang Yo kang mengambil tempat di pondokan.
Besoknya pagi si nona pergi menyamperi ke rumah penginapan, ia mendapat
Yo Kang justru lagi membanting-banting kaki dan menyesalkan diri tak
hentinya.
"Kau kenapa?" tanya si nona.
"Aku menyesal yang kemaren kita tidak sekalian membinasakan itu dua
orang," Yo Kang menyahuti. Ia maksudkan Yauw Kee dan Koan Eng. "Aku
tolol, aku dibikin bingung tidak karuan. Mereka sudah pergi, ke mana
mereka harus di cari?"
Nona Bok heran. "Perlu apa kita membinasakan mereka?" tanyanya.
"Sebab aku telah membunuh Auwyang Kongcu. Kalau mereka membuka rahasia, kita terancam bahaya…."
Liam Cu berpikir lain. Ia mengerutkan alisnya. "Seorang laki-laki, dia
mesti berani berbuat berani juga bertanggung jawab!" katanya. "Jikalau
kau takut, kemarin tak seharusnya kau membinaskan dia!"
Yo Kang menutup mulutnya, akan tetapi hatinya memikirkan bagaimana ia
harus mencari Koan Eng dan Yauw Kee itu, untuk membinasakan mereka.
"Pamannya Auwyang Kongcu benar lihay," kata lagi Liam Cu, "Tetapi
jikalau kita menyingkir jauh, musthail dia dapat mencari kita?"
"Adikku, aku memikir lain," berkata Yo Kang. "Pamannya itu lihay sekali, aku hendak mengangkat dia menjadi guruku."
"Oh, begitu!" kata si nona heran.
"Sebenarnya sudah lama aku kandung niatku ini," Yo Kang menerangkan.
"Hanya di pihak Auwyang Kongcu itu ada aturannya yang ditaati
turun-temurun, ialah warisan saban-saban cuma diturunkan kepada satu
orang. Sekarang Auwyang Kongcu telah mati, maka pasti pamannya itu suka
menerima aku sebagai muridnya!"
Pangeran ini berbicara dengan bangga sekali, tandanya ia sangat girang.
Liam Cu berdiam, hatinya tawar. "Jadinya kau membunuh dia bukannya untuk
menolongi aku?" tanyanya. "Kau jadinya ada maksudmu sendiri!"
"Adikku, kau terlalu bercuriga!" kata Yo Kang tertawa. "Untukmu aku rela tubuhku hancur lebur!"
"Tentang itu baiklah kita bicarakan di belakang hari saja," berkata si
nona kemudian. "Sekarang apa yang kau pikir. kau suka menjadi rakyat
yang bersetia dari kerajaan Song yang maha agung atau karena
keserakahanmu untuk kedudukan mulia, kau tetap mengakui musuh sebagai
ayahmu?"
Yo Kang mengawasi nona itu, wajah yang cantik dan potongan tubuhnya yang
bagus sangat menggiurkan hatinya. Hanya kata-kata yang tajam itu
membuatnya tidak senang.
"Kedudukan yang mulia?" katanya. "Kedudukan mulia apakah itu? Sekarang
ini kota Tiong-touw dari kerajaan Kim telah diserang bangsa Mongolia!
Setiap diserang, setiap kali bangsa Kim itu kalah! Di depan mataku
sekarang ini ada bayangan dari kemusnahan negara Kim itu!"
Tapi Liam Cu tidak senang mendengar urusan itu. "Negara Kim kalah,
itulah yang paling kita harapkan!" katanya nyaring. "kau sebaliknya
membuatnya sayang…."
"Adikku, untuk apa kau menimbulkan urusan ini?" Yo Kang membujuk. "Kau
tahu, semenjak kau pergi, hatiku bersengsara memikirkanmu…" Dengan
tindakan perlahan ia mendekati si nona untuk mencekal tangannya.
Mendengar suara orang yang lemah, hatinya Liam Cu menjadi lemah juga,
maka itu ia membiarkan tangannya dicekal, digenggam perlahan. Cuma
karena itu, kulit mukanya menjadi merah. Yo Kang hendak merangkul nona
itu dengan tangannya yang hendak ketika tiba-tiba kupingnya mendengar
beberapa kali suara burung yang lagi terbang, suaranya sangat nyaring.
Ia lantas mengangkat kepala, dongak. Maka ia melihat dua ekor rajawali
putih yang besar terbang berputaran.
Ketika dulu hari Wanyen Lieh mengejar Tuli, Yo Kang melihat dua ekor
rajawali itu, yang kemudian dibawa pergi ke oleh Oey Yong. Maka itu ia
jadi berpikir dan menanya dalam hatinya. "Kenapa burung ini sekarang
berada disini?" Dengan mencekal terus tangan Liam Cu, ia pergi ke luar.
Ia melihat burung itu terbang berputaran di atasan mereka. Di dekat
pohon yang besar sebaliknya terlihat seorang nona, yang duduk di atas
seekor kuda bagus, lagi memandang ke tempat yang jauh. Nona itu memakai
sepatu kulit, tangannya mencekal cambuk, dia dandan sebagai wanita
Mongolia.
Sesudah terbang berputaran, kedua burung itu terbang ke arah jalan
besar, hanya tak lama mereka kembali. Tidak lama dari jalan besar itu
terdengar riuh rendah tindakan kaki kuda, yang dikasih lari.
"Rupanya burung itu memanggil orang," Yo Kang pikir. "Supaya mereka itu berkumpul sama ini nona Mongolia…"
Segera juga terlihat debu mengepul naik, disusul sama mendatanginya tiga
penunggang kuda. Selagi mereka itu mendatangi dekat, terdengarlah suara
melesatnya sebatang anak panah, yang dilepaskan ke arah rumah
penginapan.
Si nona muda mengeluarkan busur dan anak panahnya, ia terus memanah.
Kapan ketiga penunggang kuda itu mendengar suara panah tersebut, mereka
berseru kegirangan, kudanya lantas dikasih lari lebih keras lagi. Si
nona pun melarikan kudanya untuk memapaki. Kedua pihak sudah datang
dekat sekira tiga tombak, kedua-duanya berseru berbareng, tubuh mereka
mencelat turun dari kuda masing-masing, belum lagi tubuh mereka tiba di
tanah, tangan mereka itu sudah saling menyambar, maka itu, akhirnya
mereka turun di tanah berbareng.
Menyaksikan kegesitan mereka itu, Yo Kang kaget dan kagum. "Bangsa
Mongolia demikian pandai menunggang kuda dan menggunai panah, pantaslah
kalau bangsa Kim kalah!" katanya dalam hati.
Oey Yong dan Kwee Ceng di dalam kamar juga dapat mendengar suara burung
dan kuda berlari-larian. Mereka tetap memasang kuping. Tidak lama dari
itu, mereka mendengar orang mendatangi rumah penginapan sambil
berbicara. Kwee Ceng terperanjat bukan main.
"Ah, kenapakah mereka datang ke mari?" katanya. Ia kenal baik suara
mereka itu. Si nona Mongolia adalah putri Gochin Baki, yang oleh Jenghiz
Khan ditunangkan kepadanya, dan tiga lainnya ialah Tuli, Jebe dan
Borchu.
Putri itu berbicara sambil tertawa dengan kakaknya, Oey Yong tidak
mengerti sepatah kata juga apa yang dibicarakan itu, sebab mereka
menggunai bahasa Mongolia. Kwee Ceng sebaliknya, hingga kulit mukanya
pucat dan merah bergantian. Di dalam hatinya pemuda ini berkata, "Di
dalam hatiku sudah ada Yong-jie, pasti aku tidak dapat menikah
dengannya, tetapi sekarang ia menyusul aku sampai di sini… Mana dapat
aku merusak kepercayaannya. Bagaimana sekarang?"
"Engko Ceng, siapakah itu nona?" Oey Yong tanya berbisik, "Apakah itu
yang mereka bicarakan? Kenapa kelihatannya kau tidak tenang?"
Kwee Ceng polos dan jujur, sudah beberapa kali ia hendak mengasih
keterangan pada Oey Yong, setiap kali ia hendak membuka mulutnya, ia
gagal selalu, dengan sendirinya ia menarik pulang apa yang ia pikir
untuk diucapkan itu, tetapi sekarang ia ditanya, mana dapat ia berdusta?
"Dialah putrinya Jenghiz Khan, Kha Khan dari Mongolia," menyahut dia. "Dialah tunanganku…."
Oey Yong tercengang, lalu air matanya ke luar mengucur. "Kenapa kau
tidak pernah memberitahukan hal ini padaku?" ia menanya kemudian.
"Pernah aku memikir untuk memberitahukan kau, tetapi selalu batal, sebab
aku berkhawatir kau tidak senang," Kwee Ceng menyahut. "Pula ada
waktunya aku tidak ingat urusan itu."
"Dialah tunanganmu, kenapa kau boleh tidak ingat?" Oey Yong tanya.
"Aku pun tidak tahu jelas. Aku hanya memikir dia sebagai saudara kandungku….Sebenarnya aku tidak ingin menikah dengannya."
Oey Yong heran. "Kenapa begitu?" ia menanya.
"Karena pertunangan kami itu ditetapkan oleh Kha Khan sendiri. Ketika
itu perasaanku tidak ketentuan, ada kalanya aku senang, ada kalanya
tidak. Aku melainkan pikir bahwa perkataannya Kha Khan itu tidak salah.
Sekarang ini Yong-jie, mana dapat aku menyia-nyiakan kau untuk menikah
dengan orang lain?"
"Nah, habis bagaimana?"
"Aku juga tidak tahu…"
Oey Yong berdiam, lalu ia menghela napas. "Asal di dalam hatimu kau
selalu perlakukan baik padaku, biarnya kau menikah dengannya, aku tidak
ambil peduli…" Katanya sesaat kemudian. Ia berhenti pula sejenak, untuk
lantas menambahkan, "Hanya aku pikir, lebih baik kau tidak menikah
dengannya. Aku tidak bergembira melihat lain wanita setiap hari
mengintil saja padamu, hingga aku khawatir nanti satu waktu darahku naik
hingga aku membuatnya lubang pedang di dalam dada dia! Kalau sampai itu
terjadi, tentulah kau bakal mencaci aku…Coba dengar, apa saja yang
mereka itu bicarakan?"
Di luar kamar rahasia itu, keempat orang Mongolia itu memang asyik
bicara terus. Putri Mongolia itu lagi bicara tentang perpisahan mereka
sama saudara-saudara itu.
Sebenarnya, setelah Kwee Ceng dan Oey Yong lenyap di hutan, kedua burung
itu sia-sia mencari mereka, sebab di tengah laut itu tak ada tempat
untuk menclok, akhirnya mereka terbang ke darat, karena mereka ingat
majikan mereka yang lama, terus mereka terbang pulang ke Utara. Gochin
Baki heran melihat pulangnya kedua burung itu. Ia melihat ada potongan
kain diikat di kaki burung. Itulah robekan kain layar. Dirobekan kain
itu ada tulisan hurunf Tionghoa. Ia tidak mengerti bahasa Tionghoa, ia
lantas bawa itu kepada ibunya Kwee Ceng, Nyonya Kwee atau Lie Peng.
Huruf-huruf itu bunyinya "Yoe Lan" artinya "Mendapat bahaya". Tentu saja
sang putri menjadi berkhawatir, maka ia lantas berangkat ke Selatan.
Itu waktu Jenghiz Khan lagi memimpin angkatan perangnya menyerang bangsa
Kim dan pertempuran lagi berlangsung di luar dan di dalam Tembok Besar,
maka itu, ke mana si putri mau pergi, tidak ada orang yang melarangnya.
Kedua burung rajawali itu mengerti maksud nona majikannya itu, mereka
membawa si nona ke Selatan, untuk mencari Kwee Ceng. Di dalam satu hari,
mereka bisa terbang jauhnya beberapa ratus lie, siang mereka terbang
pergi, malam mereka terbang kembali. Di akhirnya tibalah mereka di
Lim-an. Di sini Gochin Baki tidak dapat menemui Kwee Ceng, sebaliknya ia
bertemu dengan kakak ketiganya.
Tuli ini lagi menerima tugas dari ayahnya. ia di utus ke Lim-an untuk
berserikat sama kerajaan Song untuk sama-sama menyerang bangsa Kim. Raja
Song - Song Selatan - merasa kedudukannya aman, ia pun jeri terhadap
bangsa Kim, dari itu ia menyambutnya ajakan Tuli dengan tawar. Dia
pernahkan Tuli di gedung tetamu, dia berlaku acuh tak acuh terhadap
utusan Mongolia itu. Selama itu datang kabar baik yang pihak Mongolia
menang terus-terusan, sampai pun kota Tiong-touw telah kena dipukul
jatuh, itu waktu lantas berubahlah sikapnya menteri-menteri Song itu,
lantas saja mereka berlaku manis kepada Tuli, pangeran Mongolia itu.
Tuli tidak puas sekali, akan tetapi karena malang sama tugasnya, untuk
berserikat sama negara Song, terpaksa ia melayani mereka itu. Demikian
perserikatan dilangsungkan. Karena ini berangkatlah ia kembali ke Utara.
Di luar kota Lim-an, kebetulan ia melihat burung rajawali adiknya, ia
menyangka kepada Kwee Ceng, tidak tahunya ia bertemu sama adiknya itu.
Karena ia ada bersama Jebe dan Borchu, mereka jadi ada berempat. Mereka
terus singgah di tempatnya Sa Kouw itu.
"Apakah kau bertemu sama anda Kwee Ceng?" sang adik menanya kakaknya.
Tuli baru mau menjawab atau di luar terdengar suara berisik dari satu
pasukan tentara, yang kemudian ternyata adalah satu barisan tentara Song
yang ditugaskan mengantar pasukan Mongolia itu.
Yo Kang melihat benderanya pasukan Song itu di mana dituliskan: "Dengan
segala kehormatan mengantarkan Utusan Mongolia pulang ke Utara". Melihat
itu hanya menjadi bimbang. Baru beberapa puluh hari yang lalu, dia pun
pangeran yang menjadi utusan rajanya atau sekarang dia sebatang kara.
Dapatkah ia menyia-nyiakan kedudukan yang mulia itu?