Dalam ilmu silat, Thian Tek berkepandaian tidak seberapa, dalam hal
kecerdikan, dia melebihi kebanyakan orang. Dia tahu sebabnya kenapa
pamannya itu masuk menjadi paderi, ialah si paman sangat benci bangsa
Kim dan sangat sesali pemerintah Song. Bukan saja pemerintah tidak
membuat perlawanan, sebaliknya menteri dan panglima setia dibikin
celaka. Umpama kata dia bercerita terus terang bahwa ia telah bekerja
sama dengan bangsa Kim untuk menawan Kwee Siau Thian dan Yo Tiat Sim,
dia pasti dapat susah di tangan pamannya itu. Dari itu, siang-siang dia
telah karang sebuah alasan.
Kouw Bok Hwehio pandai ilmu silat. Dia malah menjadi ciang-bun-jin, ahli
waris dari partai Hoat Hoa Cong golongan Selatan. Ia pernah memangku
pangkat dalam ketenteraan. Sejak sucikan, ia tidak abaikan ilmu silatnya
itu, dengan rajin ia berlatih terus. Karena ini, jeri Thian Tek
terhadap pamannya.
“Mau apa kau datang kemari?” sang paman tegur keponakannya. Sikapnya dingin.
Thian Tek segera tekuk lutut di depan pamannya itu, ia manggut-manggut.
“Keponakanmu telah orang perhina,” katanya dengan suara susah dan
masgul. “Peehu, aku mohon pertolonganmu…”
“Kau tinggal di tangsi tentera, kau memangku pangkat, siapa berani perhina padamu?” paman itu tanya pula.
Terus Thian Tek kasih lihat roman sangat berduka. “Aku diperhina satu
imam,” dia menyahut dengan cerita karangannya, “Imam itu kepung-kepung
aku hingga tak tahu kemana aku mesti singkirkan diri. Peehu, dengan
memandang kepada muka ayah, aku minta kau suka tolongi keponakanmu
ini….”
Melihat roman orang, Kouw Bok merasa berkasihan juga.
“Kenapa itu imam kepung-kepung padamu?” ia tanya.
Thian Tek sudah bangun berdiri, lekas-lekas dia berlutut pula.
“Celaka, keponakanmu celaka,” dia menjawab. “Kemarin dulu aku pergi ke
barat jembatan Ceng Leng Kio. Aku turut beberapa kawan. Disana kami
bermain-main di Lam-wa-cu di bawah rangon Hie Cun Lauw….”
“Hm…!” sang paman perdengarkan suara di hidung.
Lam-wa-cu itu diambil dari kata-kata wa-sia, dan wa-sia berarti “rumah
genting”. Lebih jauh, wa-sia itu diambil sebagai arti ringkas dari
sebutan, “Di waktu datang, genting utuh; di waktu pergi genting pecah”.
Lebih tegas lagi bermaksud, “gampang berkumpul, gampang bubar”. Tapi
maksudnya yang paling jelas ialah: Di jaman Song itu, setelah
pemerintahan dipindah ke selatang, untuk mengikat hati tentera,
pemerintah mengadakan apa yang dinamakan wa-sia itu di dalam dan di luar
kota Hangciu. Itulah tempat pelesiran serdadu. Penghuni wa-sia adalah
wanita-wanita melarat yang tidak punya sanak kandung. Mulanya itu mereka
jadi barang permainan tentera, belakangan orang berpangkat atau
sembarang hartawan pun dapat permainkan mereka.
Thian Tek pura-pura tuli untuk ejekan pamannya itu. Ia omong terus: “Aku
ada punya satu nona kenalan, hari itu aku minum arak bersamanya.
Tiba-tiba muncul imam itu, dia memaksa si nona melayani padanya…”
“Mustahil seorang suci pergi ke tempat semacam itu!” Kouw Bok menyela.
“Tapi kejadiannya benar demikian. Maka itu aku telah singkirkan dia, aku
suruh dia pergi. Nyata dia sangat galak. Dia damprat aku, dia katakan
aku bakal terpisah kepala dari badanku, hingga tak perlu aku main gila.”
“Apa maksudnya dengan kata-katanya kepala terpisah dari badan?” tanya Kouw Bok lagi.
“Dia menjelaskan, tak lama lagi tentera bangsa Kim akan datang
menyeberang ke sini, tentera itu bakal membunuh habis semua pembesar dan
tentera kita…”
Kouw Bok lantas saja menjadi gusar. “Dia berani mengatakan demikian?!”
“Benar, dasar tabiatku jelek, aku tegur dia dan jadi berkelahi
karenanya. Sayang aku bukan tandingan dia itu. Aku lari, dia mengejar,
mengejar terus-terusan, karena habis jalan, terpaksa aku lari ke mari.
Aku minta peehu suka tolongi aku….” Thian Tek pura-pura merengek.
“Aku adalah seorang suci, tak dapat aku urus perkara main perempuan kamu ini,“ berkata paderi itu.
“Tolong, peehu,” Thian Tek merintih. “Tolong untuk kali ini saja. Aku tak berani main gila lagi….”
Dasar orang suci dan mengingat juga kepada almarhum saudaranya, hati Kouw Bok tergerak.
“Baik,” kata dia akhirnya, “Untuk beberapa hari kau boleh berdiam di sini. Aku larang kau main gila pula!”
Thian Tek menghanturkan terima kasih berulang-ulang.
“Satu pembesar tentera begini tidak punya guna, ah….” Kouw Bok mengeluh. Ia menghela napas panjang.
Lie Peng sudah diancam oleh Thian Tek, walaupun ia tahu orang sudah mendusta, ia tutup mulut.
Lewat lohor itu hari, tie-kek-ceng, yaitu paderi tukang layani tetamu,
lari masuk dengan tegesa-gesa, ia menemui Kouw Bok dan melaporkannya
dengan gugup: “Di luar ada satu imam, galak dia, dan dia minta Toan
Tiang-khoa keluar menemui padanya….”
Thian Tek adalah satu perwira, maka itu dia dipanggil tiang-khoa.
“Panggil Thian Tek,” Kouw Bok menitah.
“Dia, benar dia…” kata Thian Tek, semunculnya dia.
“Imam itu sangat galak, dia adalah paderi dari partai mana?” tanya sang paman.
“Entahlah dia imam dari desa mana,” Thian Tek mendusta tak kepalang
tanggung. “Sebenarnya tak seberapa ilmu silatnya, dia cuma bertenaga
besar, dasar aku yang tidak punya guna, aku tak sangggup lawan dia…”
“Baiklah, nanti aku temui dia.”
Kouw Bok pakai jubahnya, terus ia pergi keluar. Ia lantas bertemu sama
si imam, ialah Khu Cie Kee, selagi imam itu hendak memaksa memasuki
pendopo walaupun paderi penjaga pendopo mencegah padanya. Ia maju
mendekati, ia terus tolak bahu si imam itu. Ia nampaknya menggeraki
tangan dengan perlahan tetapi ia menggunai tenaga dalam. Ia ingin
mendorong imam itu keluar pendopo. tapi begitu ia kena langgar bahu si
imam, ia kaget sekali. Ia kena langgar daging yang empuk bagaikan kapas.
Celakanya, waktu ia hendak tarik pulang tangannya, ia telah terlambat,
di luar kendalinya, tubuhnya tertolak mundur keras sekali, tidak ampun
lagi ia terlempar membentur patung Wie Hok di pendopo itu, sudah tentu
benturan itu menimbulkan suara yang keras, separuh patung pun gempur!
Dalam kagetnya yang tak terkira, Kouw Bok berpikir, “Dia lihay sekali,
ia bukan cuma besar tenaganya…” Lekas-lekas ia rangkap kedua tangannya
untuk memberi hormat seraya menanya: “Ada pengajaran apakah maka totiang
datang berkunjung ke kuil kami ini?”
“Aku datang mencari satu bangsat busuk she Toan!” Cie Kee menjawab ringkas.
Kouw Bok insyaf bahwa ia bukan tandingan ini imam, ia berlaku sabar.
“Seorang pertapa berpokok kepada belas kasihan dan murah hati, kenapa
totiang berpandangan sama dengan seorang biasa saja?” ia tanya.
Cie Kee tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya bertindak masuk. Lebar tindakannya itu.
Ketika itu, dengan seret Lie Peng, Thian Tek sudah umpatkan diri ke
dalam sebuah kamar, karenanya tentu saja ia tak dapat dicari. Cie Kee
juga tidak berani menggeledah, sebab ia dapatkan kenyataan, di hari-hari
dari musim semi itu Kong Hauw Sie kedatangan banyak penduduk yang
bersujud, penduduk pria dan wanita. Sebagai seorang yang beribadat, ia
tak mau mengganggu kesujudan banyak orang itu. Dengan tertawa dingin,
terpaksa ia berlalu.
Kouw Bok lirik tie-kek-ceng untuk suruh muridnya itu antar tetamu tak diundang itu.
Setelah mengetahui orang sudah pergi, Thian Tek keluar dari persembunyiannya.
“Mana dia hanya satu imam dusun!” kata Kouw Bok dengan mendongkol. “Coba
kalau dia tidak berlaku murah, jiwaku pasti sudah melayang!”
Thian Tek membungkam, ia tak berani membuka mulut.
“Dia sudah pergi jauh,” kata tie-kek-ceng, yang muncul di depan gurunya.
“Apakah dia mengucapkan sesuatu?” tanya Kouw Bok setelah berdiam sesaat.
“Dia tak bilang suatu apa,” jawab muridnya itu.
“Inilah aneh,” mengatakan Kouw Bok. “Apakah ada sikapnya yang aneh selagi dia hendak berlalu?” tanya lagi.
“Tidak, kecuali setibanya ia di mulut pintu pekarangan, dia senderkan
diri di dua singa-singaan batu, agaknya ia sangat letih,” sahut
tie-kek-ceng. “Dia membuang napas, habis itu dia angkat kaki sambil
tertawa haha-hihi.” lanjut muridnya lagi.
“Ah, celaka, celaka….” Kouw Bok lantas mengeluh. “Celakalah
singa-singaan kita itu, yang usianya telah beberapa ratus tahun…” Dan
tangannya melayang ke muka Thian Tek. “Singa-singaan itu musnah di
tanganmu!” katanya, habis mana ia lari keluar.
Thian Tek dan tie-kek-ceng menjadi heran, lebih-lebih Thian Tek yang
mukanya menjadi bengap dan merah, hingga ia mesti bekapi mukanya itu.
Keduanya turut lari keluar, akan susul Kouw Bok.
Di pintu pekarangan, Kouw Bok Hweshio berdiri bengong mengawasi sepasang
cio-say, singa-singaan batu, yang disebutkan tadi. Nampak romannya yang
sangat berduka dan menyayangi singa-singaan itu.
“Kenapa peehu?” sang keponakan tanya.
“Inilah takdir…” sahut si paderi dengan masgul. “Aku keliru sudah
menyalahkan kau…. Kau tahu, sepasang cio-say ini adalah barang
peninggalan jaman Lam Pak Tiauw, ketika itu Kaisar Liang Bu Tee telah
memanggil tukang yang pandai untuk membuatnya. Sampai sebegitu jauh, aku
pandang Cio-sang itu sebagai mustikanya Kong Hauw Sie. Sekarang….ah!”
Ia menghela napas panjang.
Thian Tek masih tidak mengerti. Ia awasi cio-say itu, yang tidak kurang
suatu apa. Oleh karena penasaran, ia dekati singa-singaan batu itu, ia
raba kepalanya. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Seperti tanpa merasa,
begitu kena diraba, kuping dan hidungnya cio-say itu runtuh jatuh. Ia
segera tarik pulang tangannya itu, matanya mengawasi pamannya.
Kouw Bok menghela napas pula. “Cio-say ini telah dirusak si imam dengan menggunai tenaga dalamnya…” katanya.
Tie-kek-ceng heran, ia pergi tolak tubuh cio-say yang satunya lagi.
Tiba-tiba saja, singa batu itu gempur dan rubuh, bertumpuk bagaikan
puing. Tentu saja ia kaget hingga mukanya pucat. “Eh…kenapa jadi
begini…? katanya.
“Luar biasa sempurnya tenaga dalam dari imam itu,” kata Kouw Bok,
suaranya perlahan dan penuh rasa sangat menyesal. “Cio-say, cio-say,
untuk beberapa ratus tahun kamu bercape lelah menjaga pintu kuil ini,
maka sekarang, pergilah kamu dengan baik-baik…” Kemudian dia berpaling
kepada Toan Thian Tek. Ia berkata pula: “Dia demikian lihay, apa mungkin
ia sudi layani kau yang begini hina memperebuti segala bunga berjiwa?”
Thian Tek kaget, tidak berani dia membuka mulutnya.
“Adikku seperguruan, Ciauw Bok Taysu, lebih pandai sepuluh lipat
daripada aku, mungkin dia sanggup melayani imam itu,” kata Kouw Bok
kemudian. “Pergilah kau kesana, kepada suteeku itu.“
Meyaksikan lihaynya Khu Cie Kee, Thian Tek tahu tidak selamat ia berdiam
terus di Kong Hauw Sie ini, dari itu ia tidak bantah pamannya itu, ia
cuma minta surat perantara, lalu dengan menyewa perahu, malam itu ia
ajak Lie Peng berlayar ke Kee-hin, untuk pergi menumpang pada Ciauw Bok
Taysu.
Paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak menduga apa-apa, ia tidak sangka
yang kawannya Thian Tek adalah satu wanita dalam penyamaran, ia terima
mereka itu menumpang.
Keras adalah hatinya Khu Cie Kee, ia berhasil menyusul Thian Tek.
Kebetulan ia lihat Lie Peng di dalam tamannya kuil. Ia mengawasi,
kecurigaannya timbul. Sayang ia terlambat. Ketika kemudian ia lompat
masuk ke dalam pekarangan, Lie Peng sudah disembunyikan Thian Tek dalam
ruang bawah tanah.
Ingat Lie Peng, Khu Cie Kee ingat Pauw-sie. Ia mau percaya, Pauw-sie pun
disembunyikan di dalam kuil Hoat Hoa Sian Sie itu. Maka itu ia
ketemukan Ciauw Bok Taysu, ia minta supaya Lie-sie dan Pauw-sie
diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dengan matanya
sendiri, ia tidak mau percaya sangkalannya paderi itu, ia berkeras.
Ciauw Bok Taysu merasa tidak ungkulan melawan imam itu, begitu ia ingat
pada Kanglam Cit Koay, ia pergi minta bantuannya tujuh Manusia Aneh dari
Kanglam itu. Demikianlah mereka berkumpul di restoran Cui Sian Lauw,
sampai setiba Tiang Cun Cu dengan jambangan araknya yang istimewa itu.
Habis menutur Ciauw Bok Taysu menambahkan: “Telah lama aku dengar Tiang
Cun Cu lihay, sekarang kita dapat buktikan itu. Turut penglihatanku, dia
seperti bukan hendak mengacau, maka aku mau percaya, pada ini mesti
terselip salah mengerti.”
“Aku pikir baiklah minta datang dua orang yang kakakmu itu perkenalkan,”
Kim Hoat menyarankan. “Coba kita tanyakan keterangannya.”
“Benar,” Ciauw Bok Taysu menyatakan akur. “Aku memang belum pernah tanyakan sesuatu kepada mereka.”
Paderi ini hendak suruh panggil Thian Tek tempo Tin Ok peringatkan:
“Ciauw Bok Suheng, mungkin imam itu menyusul kita, maka kalau kita
bertempur pula, mestinya jalannya tak sama dengan yang di rumah makan,
dia tidak bakal berlaku murah hati lagi. Pastilah dia menyangka kita
telah bekerja sama dengan pihak Kim.”
“Kwa Toako betul, maka itu mesti kita cari jalan untuk mengerti satu pada lain,” berkata si pederi.
“Yang dikhawatirkan justru salah mengerti ini sukar dijelaskan…” kata Tin Ok pula.
“Kalau terpaksa kita maju berdelapan…” Cu Cong turut berbicara.
“Delapan orang lawan satu orang, itulah tidak benar…” menyangsikan Han Po Kie.
“Aku pikir tak apa,” kata Coan Kim Hoat. “Kita tidak berniat binasakan
dia, melainkan kita menghendaki dia sabar mendengarkan penjelasan Ciauw
Bok Taysu.”
“Apakah nama kita tidak bercacat seumpama tersiar di luaran Ciauw Bok
Taysu bersama Kanglam Cit Koay mengepung satu orang?” Han Siauw Eng pun
bersangsi.
Belum putus pembicaraan mereka, mereka telah dikagetkan suara keras yang
datangnya dari toa-thian, pendopo besar. Suara itu seperti suaranya dua
genta beradu keras, suara itu lalu mengaung, mengalun.
“Nah, si imam datang!” seru Kwa Tin Ok, sambil ia melompat.
Berdelapan mereka memburu ke depan. Lagi sekali mereka dengar suara
nyaring seperti tadi, hanya kali ini disusul sama campuran suara
rengatnya barang logam.
Seperti terlihat Khu Cie Kee, dengan jambangan arak di tangannya, sedang
menggempur genta di toa-thian itu. Dia menyerang beberapa kali, sampai
jambangan perunggu itu retak.
“Citmoay, mari kita maju lebih dahulu!” Ho Po Kie teiaki adiknya. Ia dan
adiknya itu memang yang paling aseran diantara Cit Koay. Ia pun lantas
tarik Kim-liong-pian- cambuk Naga Emas, dari pinggangnya, dengan sabetan
“Naga hitam menggoyang ekor”, dia mencoba melilit lengan si imam yang
memegang jambangan.
Di pihak lain Han Siauw Eng sudah hunus pedangnya, yang tajam mengkilap, dengan itu ia lompat menikam bebokong imam itu.
Diserang dari depan dan belakang, Khu Cie Kee tidak menjadi gugup.
dengan satu gerakan tangan kanannya, ia membuat terbitnya suatu suara
nyaring. Cambuk Naga Emas bukannya melilit tangan, hanya menghajar
jambangan perunggu itu. Berbareng dengan itu, dengan satu egosan tubuh,
si imam juga bebaskan diri dari ujung pedangnya si nona. Lincah sekali
caranya ia berkelit.
Siauw Eng menjadi penasaran, ia ulangi serangannya, beruntun beberapa kali. Ia kembali gagal.
Cepat sekali Khu Cie Kee ketahui ilmu silat pedang si nona.
Di jaman dahulu, negeri Gouw bermusuh dengan negeri Wat. Untuk dapat
menelan negeri Gouw itu, Raja Wat, yang bernama Kouw Cian, melatih
keuletan diri dengan tidur sambil mencicipi nyali yang pahit. Sayang
untuknya, ia mesti menghadapi Ngow Cu Sih, panglima sangat tangguh dari
negeri Gouw itu, yang pandai sekali mengatur tentera. Ia menjadi sangat
tidak puas dan berduka. Pada suatu hari ia kedatangan satu gadis yang
cantik, yang pandai ilmu silat pedang. Ia menjadi sangat girang, ia
minta si gadis ajari ia ilmu silat itu. Kali ini ia berhasil, negeri
Gouw dapat dimusnahkan. Kota Kee-hin adalah tapal batas kedua negeri
Gouw dan Wat itu, di situ kedua negara biasa berperang. Oleh karena di
situlah tersiar luas perihal ilmu pedangnya si gadis Wat itu, yang
sekarang dipunyai Han Siauw Eng. Ilmu silat itu asalnya tigapuluh enam
jurus, di tangan nona Han, ia perbaiki, ditambah hingga menjadi
empatpuluh sembilan jurus. Penambahan ini penting untuk si nona, karena
ia berkecimpung di dunia kang-ouw -Sungai Telaga – sedang raja Wat pakai
ilmu itu dalam peperangan, untuk membinasakan panglima dan merubuhkan
kuda perang. Oleh karenanya, orang kang-ouw juluki si nona Wat Lie Kiam –
Akhli pedang Gadis Wat –
Begitu lekas mengenali ilmu silatnya si nona, sambil di lain pihak
melayani Han Po Kie, Tiang Cun Cu mendesak Siauw Eng, hendak ia merampas
pedang si nona. Karena ini ia membuat si nona Han menjadi repot,
beberapa kali Han Siauw Eng menghindari nacaman bahaya, sampai ia
terdesak mundur ke tepinya patung Buddha.
Mendapatkan adik angkatnya terancam bahaya, Lam Han Jin dan Thio A Seng
maju dengan berbareng, yang satu geraki pikulannya yang istimewa, yang
lain mainkan “golok jagalnya” yang ujungnya lancip. Sikap kedua saudara
ini sangat berbeda satu sama lain. Kalau Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu
dari Gunung Selatan bungkam mulutnya, Siauw Mie To si Buddha tertawa
terus-terusan mengoceh tidak karuan juntrungannya, hingga Khu Cie Kee
tak ketahui apa yang diucapkannya.
Segera si imam serang tukang pentang bacot itu. tangan kirinya yang
menyambar. A Seng berkelit seraya melengak, ia tidak menyangka orang
akali padanya. Justru ia melengak itu, kakinya Cie Kee melayang, tepat
mengenai lengannya. Tidak ampun lagi, goloknya terlepas dan melayang.
Tendangan itu mendatangkan rasa sakit dan kaget. Walaupun begitu,
sebagai jago ia tidak menghiraukan pedangnya yang terbang malah
membarengi itu, ia membalas menyerang dengan tangan kirinya, setelah ia
mengancam dengan tangan kanan! Sebab sebat sekali, ia sudah lantas
pernahkan diri.
“Bagus!” Tiang Cun Cu puji lawannya ini. Ia berkelit untuk serangan
membalas sambil berkelit, ia mengatakannya: “Sayang! Sayang!”
“Eh, sayang! Sayang apanya?!” tegaskan Siauw Mie To
“Sayang ilmu silatmu yang sempurna ini!” sahut Cie Kee sambil ia layani
terus musuh-musuhnya. “Kau begini lihay tetapi kau rendahkan dirimu
dengan jalan menakluk kepada musuh negara!”
“Hai, imam bangsat, kau ngaco belo!” mendamprat A Seng saking murkanya.
Mana ia mau mengerti dikatakan menakluk pada musuh, dalam hal ini, musuh
bangsa Kim. Beruntun tiga kali, ia menyerang lawannya.
Cie Kee melawan sambil berkelit, akan tetapi untuk dua serangan yang
belakangan, ia menangkis dengan jambangannya. Atau lebih benar, ia
pasang jambangan itu sebagai sasaran, maka dua kali kepalannya A seng
membuat jambangan itu bersuara nyaring.
Biauw Ciu Sie-seng merasa tidak enak karena berempat mereka mengepung,
nyatanya mereka berada di bawah angin. Menampak demikian Coan Kim Hoat
tapinya menjadi penasaran, dengan memberi tanda kepada kakaknya yang
kedua, ia lompat menerjang, diturut oleh kakak angkatnya itu. Keduanya
maju dari samping.
Genggamannya Lauw-sie In Hiap adalah sebatang bacin, yaitu alat peranti
menimbangkan barang, maka itu senjata bisa dipakai berbareng sebagai
toya, gaetan dan gembolan, sedang Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan
Lihay, yang pandai ilmu menotok, dengan kipasnya senantiasa mencari
jalan darah lawannya.
Khu Cie Kee tidak peduli ia dikepung berenam, ia tetap mainkan
jambangannya sebagai senjata, sebagai tameng, karena dengan itu ia lebih
banyak membela dirinya. Untuk membalas menyerang, ia pakai tangan
kirinya yang bebas yang tidak bersenjatakan apa juga.
Ciauw Bok Taysu menjadi bergelisah menyaksikan jalannya pertempuran itu
yang makin lama jadi makin hebat. Dia akhirnya tidak dapat bersabar
lagi.
“Tahan! Tahan!” ia berseru-seru. “Tuan-tuan tahan! Dengar, hendak aku bicara!”
Dalam waktu pertempuran yang hebat itu, tidak ada orang yang sudi dengar
cegahannya itu. Malah Khu Cie Kee perdengarkan seruannya: “Kawanan
pengkhianat tidak tahu malu, lihat!” Dan lantas ia mendesak dengan
serangan tangan kirinya, dengan jari-jari tangan terbuka, juga dengan
kepalan. Satu serangannya yang mengancam Thio A Seng hebat sekali, sebab
Siauw Mie To tengah terdesak.
“Totiang, jangan turunkan tangan kejam!” Ciauw Bok Taysu berseru dalam
kegelisahannya yang hebat. Ia merasa A Seng tidak akan luput dari
bahaya.
Cie Kee memang menyerang dengan hebat sekali. Ia lihat ia dikepung
berenam, ia merasa bahwa ia telah mesti menggunai tenaga banyak. Di sana
masih ada dua musuh segar Kwa Tin OK dan Ciauw Bok Taysu – inilah
berbahaya untuknya. Jikalau mereka ini meluruk juga? Dari itu, ingin ia
lekas-lekas menyudahi pertempuran itu. Ia khawatir juga, lama-lama nanti
ia kalah ulet.
Thio A Seng ada punya ilmu kedot, ialah tubuhnya tidak mempan senjata
tajam. Kekebalannya itu ditambah sama tenaganya yang besar, karena ia
biasa berlatih mengadu tenaga dengan kerbau – sudah dagingnya keras dan
kulitnya pun tebal. Maka itu, menampak ancaman bahaya, ia manjadi nekat.
“Biarlah!” dia berseru, dan ia sambuti serangannya si imam untuk keras
lawan keras. Tapi ia salah menaksir ketangguhannya sendiri. Di antara
satu suara keras, lengannya itu terhajar patah tangannya Khu Cie Kee.
Cu Cong kaget bukan kepalang, ia berlompat menotok jalan darah
soan-kie-hiat dari Tiang Cu Cu. Totokan ini bukan untuk menolongi Thio A
Seng, yang telah menjadi korban, hanya guna mencegah si imam ulangi
serangannya yang lihay itu.
Khu Cie Kee memang tidak berhenti sampai di situ. Rupanya ia anggap
belum cukup dengan korban Thio A Seng itu. Dengan tidak kurang
bengisnya, ia ulangi serangan-serangannya yang dikhawatirkan Biauw Ciu
Sie-seng.
Segera juga terdengar jeritannya Coan Kim Hoat. Batu dacinnya Lauw-sie
In Hiap telah kena disambar oleh si imam, dacin itu terus ditarik dengan
keras. Tidak dapat Kim Hoat pertahankan diri, kuda-kudanya gempur,
tubuhnya terbetot. Menyusul tarikannya itu, Khu Cie Kee ayun terus
tangan kirinya, guna menghajar batok kepala lawannya itu. Untuk cegah
Lam Hie Jin dan Cu Cong, yang berada paling dekat, ia tolak jambangannya
ke arah mereka itu.
Han Po Kie dan Han Siauw Eng kaget tidak terkira. Kim Hoat itu adalah
saudara angkat mereka. Yang mereka sayangi sebagai saudara betul.
Keduanya apungi tubuh mereka, untuk hampiri si imam, yang mereka terjang
dengan berbareng. Cuma ini jalan untuk tolongi saudara angkat mereka
itu.
Mau tidak mau, Khu Cie Kee mesti berkelit. Atas itu, Coan Kim Hoat
lompat melejit. Ia lolos dari gempuran kepada batok kepalanya, ia mandi
keringat. Meski begitu, ia tidak lolos seluruhnya. Selagi melejit,
kakinya si imam kena sambar pinggangnya, hingga ia lantas saja rubuh
terguling, tidak dapat lantas bangun.
Ciauw Bok Taysu lihat keadaan hebat, ia tidak dapat tinggal peluk tangan
terlebih lama pula, meskipun sebenarnya ia tidak menghendaki
pertempuran, ia sungkan turun tangan. Begitulah ia maju dengan sepotong
kayunya yang mirip ruyung, yang ujungnya hitam hangus. Ia menotok ke
bawah ketiak.
“Dia ahli menotok, dia lihay,” pikir Khu Cie Kee, yang berkelit, setelah mana, ia juga layani paderi itu.
Setelah turun tangannya paderi itu, Kwa Tin Ok tidak dapat berdiam
terlebih lama lagi. Ia buta tetapi ia tahu dua saudaranya telah rubuh,
adiknya yang kelima dan yang keenam. Ia perhatikan suara anginnya, suara
beradunya setiap senjata. Di saat ia hendak gerakkan tongkat besinya,
Coan Kim Hoat teriaki dia: “Toako, kau gunai thie-leng! Hajar dulu
kedudukan cin, lalu kedudukan siauw-ko!”
Menyusul anjuran itu, dua rupa senjata rahasia menyambar sar! ser!
kearah si imam. Yang satu menuju ke alis dan yang lain ke paha kanan
sebelah dalam.
Cie Kee terkejut. “Dia hebat sekali!” pikirnya. “Dia buta tetapi dia
bisa mengincar dengan tepat. Sebenarnya ada sulit walaupun ada orang
luar yang memberi petunjuk menurut garis-garis patkwa…”
Ia lihat datangnya dua serangan itu, ia menangkis dengan jambangannya,
maka setelah suara ting-tong, kedua senjata rahasia itu – thie-leng,
atau lengkak besi – jatuh ke lantai.
Thie-leng adalah senjata rahasianya Hui Thian Pian-hok, mirip lengkak tetapi ujung tajamnya ada empat.
Coan Kim Hoat sudah berseru-seru pula: “Hajar tionghu, hajar lie! Bagus,
bagus! Sekarang serang beng-ie!” Setiap kali ia berseru, setiap kali
juga lengkak besi dari Kwa Tin Ok menyambar. Maka sebentar saja belasan
lengkak telah membuatnya Cie Kee terpaksa main mundur saja. Imam ini
lihay, biar ia tidak terluka, dia toh tidak kalah, ia melainkan tidak
sempat membalas menyerang. Sebagai seorang yang cerdik dan gesit, ia
dapat bersedia setiap kali Kim Hoat perdengarkan petunjuknya.
Lauw-sie In Hiap sendiri terancam lukanya, ia dapat menunjuki sasaran
kepada toakonya, tetapi semakin lama, suaranya makin lemah, makin
perlahan, pada itu tercampur rintihan juga, dan beda dengan dia adalah
Thio A Seng, tidak terdengar suaranya sama sekali, hingga orang tidak
tahu dia masih hidup atau sudah mati…
“Serang! Serang!” Coan Kim Hoat masih bersuara lagi. “Hajar tongjin…!”
Yang terakhir ini Kwa Tin Ok tidak turuti tetap sasarannya Kim Hoat itu.
Ia juga tidak gunai satu-satu biji lengkak sebagaimana bermula tadi.
Sekarang ia menimpuk berbareng dengan empat buah senjata rahasianya itu.
Bukan anggota tongjin yang ia incar, hanya kedua bagian kiri dan kanan
dari tongjin itu. Di kanan ialah bagian ciat dan sun, dan di kiri,
bagian hong dan lie.
Berbareng dengan itu, Ciauw Bok Taysu dan Han Siauw Eng menyerang dari
kanan. Kalut kedudukan mereka, semua sebab hampir berbareng, Cie Kee pun
berkelit dari anggota tongjin sebagaimana diteriaki Kim Hoat. Karena
itu dengan berbareng dua orang perdengaran jeritan kaget. Jeritan itu
menandakan adanya dua korban!
Jitu serangan Tin Ok kali ini, Cie Kee terlalu perhatikan tongjin, ia
kena tertipu si buta, yang menyerang ke lain jurusan. Ia tidak lolos
dari semua empat lengkak, yang satu mengenai pundak kanannya, hingga ia
menjadi kaget dan menjerit karenanya.
Jeritan yang lain dikeluarkan oleh Han Siauw Eng. Selagi nona ini maju
menyerang, lengkak yang mengarah bagian sun tepat mengenai pundaknya
tanpa ia ketahui atau dapat berdaya mengelakkannya.
Kwa Tin Ok kaget berbareng girang. “Citmoay, lekas kemari!” ia
memanggil. Ia tahu, lengkaknya sudah nyasar di tubuh adik bungsunya itu.
Inilah yang membikin ia kaget. Ia girang sebab ia dengar suaranya si
imam.
Han Siauw Eng tahu senjata rahasia kakaknya ada racunnya, benar
sementara itu ia cuma merasai sakit sedikit, lama-lama sang racun akan
bekerja mencelakai ia, justru ia lagi ketakutan, ia dengar teriakannya
kakak itu, tanpa sangsi lagi, ia lari kepada itu kakak.
“Toako!” ia memanggil.
Tin Ok lantas rogoh sakunya, ia keluarkan sebutir pil kuning, dengan
lantas ia jejalkan itu ke mulut adiknya. “Lekas kau rebahkan diri di
taman belakang, di tanah!” kakak ini beri petunjuk. “Kau tidak boleh
bergerak sedikit juga. Kau mesti tunggu sampai aku datang untuk
mengobati!”
Sebenarnya Siauw Eng keras kepala, tetapi ia dengar kata, ia terus lari ke belakang.
“Jangan lari, jangan lari!” Tin Ok teriaki, “Tenangi hati, jalan perlahan-lahan saja!”
Siauw Eng mendusin, ia lantas damprat dirinya sendiri. Siapa terkena
senjata rahasia yang beracun itu, dia tidak boleh keluarkan tenaga,
racun bisa mengikuti jalan darah segera menyerang ke ulu hati, kalau
sampai itu terjadi, maka tidak ada obat lagi untuk menolong. Maka ia
lantas berjalan dengan perlahan tetapi tetap.
Cie Kee terkena senjata rahasia, ia tidak perhatikan itu, ia baru sadar
kapan ia dengar teriakannya Tin Ok kepada Siauw Eng, yang dilarang lari.
Justru itu, ia merasakan pundaknya sedikit kebas. Lantas ia menduga
bahwa senjata rahasia itu ada racunnya. Niscaya sekali ia menginsyafi
bahaya yang mengancam dirinya. Karena ini ia lantas tak berani melanjuti
pertempuran itu. Dengan tiba-tiba ia rangsak Lam Hie Jin, muka siapa ia
hajar.
Lam San Ciauw-cu lihat bahaya datang, ia tidak mau singkirkan diri,
sambil pasang kuda-kudanya, ia lintangi pikulannya di depan mukanya.
Itulah gerak “Tiat so heng kang” atau “Rantai besi melintang di sungai”.
Dengan senjatanya itu hendak ia sambut pukulan musuh.
Khu Cie Kee tahu maksudnya lawan itu, ia tidak batalkan serangannya, ia
melangsungkannya. Maka pikulannya Hie Jin kena terhajar, begitu jeras,
hingga tubuhnya si Tukang Kayu dari Gunung Selatan menjadi tergetar dan
kedua tangannya dirasakan sangat sakit. Sebab telapakan tangannya pecah
dan mengeluarkan darah, hingga genggamannya terlepas dan jatuh ke
lantai. Tidak begitu saja, akibat lainnya menyusul. Hie Jin lantas
merasa tubuhnya enteng, kedua matanya kabur, mulutnya manis, terus ia
muntahkan darah hidup!
Cie Kee telah dapat melukakan lawan yang menghalangi ia, ia sendiri pun
rasai pundaknya semakin kebas dan kaku. Sekarang ia merasakan bahwa
jambangan di tangannya itu menjadi berat. Ia jadi berkhawatir. Maka
sambil membentak keras, ia menyapu kepada Han Po Kie yang maju untuk
serang padanya.
Si cebol lari berkelit.
“Ke mana kau hendak lari?!” bentak Tiang Cun Cu yang terus tolak tangan
kanannya, sekalian diputar, dikasih turun. Dengan begitu, jambangannya
jadi menungkrap dari atas, menyambar si cebol itu, selagi dia ini belum
tiba di lantai, sehingga ia tidak bisa berkelit. Untuk tolong diri, ia
pengkeratkan tubuhnya. Ketika mulut jambangan tiba di lantai, si cebol
kena ketutup!
Setelah itu Cie Kee lepaskan tangannya dari jambangan itu, sebaliknya,
ia hunus pedangnya. Ia lantas lompat mencelat ke arah genta, untuk
membabat rantai gantungannya, berbareng tangan kirinya menolak tubuh
genta itu yang beratnya mungkin ratusan seribu kati. begitu rantai
putus, genta jatuh menimpa jambangan, karena mana meski ia bertenaga
besar, Han Po Kie tidak sempat berdaya untuk membalikkan jambangan itu,
untuk keluar dari kurungan.
Sementara itu pucat mukanya Khu Cie Kee, peluhnya lantas turun menetes.
“Lekas lemparkan pedangmu, menyerah!” Kwa Tin Ok teriaki lawan itu. Berayal sedikit saja, jiwamu bakal tidak tertolong!”
Si buta ini merasa pasti mengenai lawannya itu.
Cie Kee tidak mau serahkan diri. Ia percaya, menyerah berarti celaka.
Maka ia putar pedangnya, ia mau membuka jalan. Tapi Tin Ok dan Cu Cong
merintangi padanya.