Tidak puas Oey Yong mendengar Pek Thong cuma mewajibkan Auwyang Hong
membuang gas. Untuk orang biasa memang sukar tak karuan mengeluarkan
angin busuk, perbuatan itu tak dapat dilakukan semua orang, tidak
demikian dengan seorang yang ilmu dalamnya sudah mahir. Sebaliknya,
sungguh gampang buat orang sebangsa See Tok. Maka ia lantas berteriak
mencegah: "Tidak bagus, itu tidak bagus! Lebih dulu dia dimestikan
membebaskan totokannya kepada guruku, kemudian baru kita bicarakan
pula!"
Ciu Pek Thong tertawa. "Kau lihat!" katanya kepada See Tok, "Sekalipun
nona cilik ini takut pada angin busukmu itu! Baiklah, aku bebaskan kau
dari kewajibanmu ini, aku juga tidak hendaki memustikan kau melakukan
lainnnya, cukup asal kau mengobati lukanya si pengemis tua.
Kepandaiannya si pengemis tua tidak ada di bawahanmu, coba tidak kau
menggunai akal busuk, tidak nanti kau dapat melukai dia! Kau tunggu
sampai dia sudah sembuh betul, maka kamu berdua boleh bertempur pula
secara laki-laki sejati, itu waktu aku Loo Boan Tong suka menjadi
saksinya!"
Auwyang Hong ketahui Ang Cit Kong tidak dapat disembuhkan, dia tidak
takut si raja pengemis nanti menuntut balas padanya, hanya sekarang ia
merasa sulit untuk desakan Ciu Pek Thong ini. Dia pun didesak di muka
banyak orang. Menerima baik, sukar dilakukannya, menyangkal, ia malu.
Karena itu, tidak bisa lain, ia membungkuk, terus ia totok Ang Cit Kong
guna membebaskan dia dari totokannya.
Kwee Ceng bersama Oey Yong segera maju untuk membantui gurunya bangun.
Ciu Pek Thong sendiri segera menyapu dengan sinar matanya yang tajam
kepada semua orang di atas perahu itu, kemudian ia berkata. "Aku, Loo
Boan Tong paling takut mencium bau amis dari daging kambing yang biasa
digegares orang bangsa Kim, oleh karena itu lekas kamu turunkan perahu
kecil untuk mengantarkan kami berempat ke darat!"
Auwyang Hong pernah menyaksikan Pek Thong bertempur dengan Oey Yok Su,
ia mengetahui baik bahwa orang berilmu tinggi, kalau ia yang
menempurnya, belum tentu ia kalah tetapi juga pasti sulit untuk ia
memperoleh kemenangan, lantaran itu, ia terpaksa menahan sabar, ia
hendak menanti sampai ia sudah paham Kiu Im Cin-keng, baru ia ingin
membuat perhitungan. Maka berkatalah ia: "Baiklah, siapa suruh nasibmu
bagus hingga kau menang bertaruh!"
Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, untuk meneruskan berkata;
"Ong-ya, tolong menurunkan sebuah perahu untuk mengantarkan ini empat
orang mendarat."
Wanyen Lieh tidak lantas meluluskan permintaan itu, di dalam hatinya ia
berpikir. "Gampang untuk mengantarkan mereka ke darat, hanya rahasia
kita yang hendak pergi ke Selatan ini, tidak dapat itu diketahui
mereka…"
Sementara itu Leng Tie Siangjin tidak puas terhadap sikapnya Auwyang
Hong. Semenjak tadi ia mengawasi saja tanpa membilang suata apa. Ia
pikir: "Kalau kau sangat lihay, belum tentu kau dapat mengalahkan kita
yang terdiri dari banyak orang pandai.."
Maka, melihat si pangeran bersangsi, ia bertindak maju seraya berkata,
"Jikalau kejadian di atas getek, Auwyang Sianseng dapat berbuat apa yang
ia pikir baik, kami tidak nanti berani banyak mulut. Hanya di sini
setelah Sianseng naik di perahu besar, sudah selayaknya kau mendengar
segala kata-katanya ong-ya!"
Mendengar itu, hati semua orang menjadi tergerak, semua lantas mengawasi
Auwyang Hong. Auwyang Hong memandang Leng Tie Siangjin dengan sepasang
matanya yang tajam, ia melihat ke atas dan ke bawah bergantian. Kemudian
ia dongak ke langit.
"Apakah tuan paderi yang mulia ini hendak mempersulit aku si orang tua?" ia menanya, suaranya tawar.
"Itulah aku paderi yang rendah tak berani," menyahut Leng Tie. "Aku yang
tinggal di Tibet, aku hidup menyendiri, sedikit pendengaranku, dari itu
barulah ini hari aku mendapat dengar nama sianseng yang termashur, maka
itu ada apakah sangkutannya di antara kita berdua..?"
Belum lagi paderi ini menutup mulutnya, Auwyang Hong sudah maju satu
tindak, selagi tangan kirinya dikibaskan, tangan kanannya sudah
menyambar tubuh Leng Tie yang besar kekar itu, hanya dengan sekali
mengerahkan tenaganya saja, ia telah membuatnya tubuh orang jungkir
balik, kepala di bawah, kaki di atas!
Orang semua kaget dan heran. Tidak mereka lihat sambaran See Tok,
tahu-tahu tubuh besar dari Leng Tie, dengan jubah merahnya yang
bergerombongan, sudah seperti berkibar-kibar di udara. Mereka pikir
entah ilmu apa yang digunai See Tok ini. Leng Tie Siangjin tinggi besar
melebihkan lain-lain orang tetapi Auwyang Hong dapat mencekuk batang
lehernya dan terus diangkat, itulah hebat. Leng Tie sendiri pun heran.
Ketika tubuhnya diputar, kepalanya terpisah dari tanah kira-kira empat
kaki. Ia tidak dapat berbuat apa-apa, cuma kedua kakinya menendang udara
secara kalang kabutan dan suaranya memperdengarkan kemurkaannya.
Tatkala Leng Tie Siangjin bertempur sama Ong Cie It di istana Chao Wang,
semua orang telah menyaksikan kepandaiannya itu yang lihay, maka aneh
sekarang, dengan gampang saja ia dipermainkan Auwyang Hong, seperti
kedua tangan itu telah patah, sedikit pun kedua tangan itu tidak dapat
dipergunakan.
Auwyang Hong sendiri masih tetap dongak ke udara, ia berkata: "Hari ini
adalah yang pertama kali kau mendengar namaku, kau lantas tidak
memandang mata kepada aku si orang tua, benarkah?"
Leng Tie kaget, heran dan gusar sekali, beberapa kali ia mencoba
mengerahkan tenaganya, untuk berontak, saban-saban ia gagal, tak dapat
ia meloloskan diri dari cekalan orang. Pheng Lian Houw semua tidak
berani campur tangan, tahulah mereka Auwyang hong tengah memperlihatkan
pengaruhnya terhadap Leng Tie dan lainnya juga.
"Kau tidak memandang kepada aku si orang tua, itu masih tidak apa,"
berkata pula Auwyang Hong, lagu suaranya tetap tawar, "Sekarang dengan
memandang muka ongya, tidak ingin aku berpemandangan sama cupatnya
seperti kau. Bukankah kau hendak menahan kepada Loo Boan Tong Ciu
Looya-cu serta Kiu Cie Sin Kay Ang Looya-cu? Apakah yang kau andalkan
maka kau berniat berbuat demikian? Loo Boan Tong, kau sambutlah!"
Tidak kelihatan gerakan tangan dari See Tok atau tahu-tahu tubuh besar
dari Leng Tie sudah terlempar melayang ke arah kanan. Paderi ini
merasakan ia telah terlepas dari cekalan, maka ia teruskan
menjumpalitkan diri seperti ikan meletik, untuk dapat melempangkan
tubuh, untuk dapat berdiri. Justru itu ia merasakan batang lehernya
sakit. Ia menjadi kaget sekali, di dalam hatinya ia berseru: "Celaka!"
Ia lantas menggeraki tangan kirinya, untuk menyerang. Tapi tangan kiri
itu lantas kesemutan dan kaku, hilang tenaganya, hingga ia mesti
mengasih turun melonjor di luar keinginannya. Berbareng dengan itu juga
tubuhnya sudah terangkat naik kembali seperti tadi. Sebab di luar
tahunya, dia sudah dicekuk Ciu Pek Thong, yang bertindak sama seperti
Auwyang Hong barusan.
Wanyen Lieh menjadi tidak enak hati menyaksikan paderi itu dibuat
permainan seperti itu. Ia mengerti, jangan kata ada Auwyang Hong,
melihat kepandaiannya Pek Thong saja, semua orang pasti bukan
tandingannya, maka itu, lekas ia bertindak.
"Sudahlah, Ciu Loosianseng, tak usah kau bergurau pula," katanya. "Nanti
siauw-ongya mengirimkan perahu untuk kamu berempat mendarat."
Sebagaimana biasanya, pangeran ini membasakan diri siauw-ongya, pangeran
yang kecil. "Baiklah!" menyahut Ciu Pek Thong. "Kau juga boleh
mencoba-coba! Sambutlah!" Menelad Auwyang Hong. Loo Boan Tong
melemparkan tubuhnya Leng Tie.
Wanyen Lieh mengerti ilmu silat, tetapi itu cuma permainan golok atau
tombak dan hanya di atas kuda, tentu sekali ia tidak sanggup menyambuti
tubuh si paderi, kalau ia paksa menyambuti juga, ia bisa tertubruk
roboh, terluka atau mati. Hal ini diketahui See Thong Thian, maka orang
she See ini sudah lantas berlompat maju dengan gerakannya "Menggeser
tindakan, menukar wujud", dengan lantas ia berada di depannya si
pangeran. Ia mengerti, kalau ia menyambuti dengan tangan seperti biasa,
mungkin si paderi mendapat luka, maka ingin ia berbuat seperti Auwyang
Hong atau Ciu Pek Thong.
Selagi memikir begini, ia tidak mengukur tenaga kepandaian sendiri.
Bukankah ia telah menyaksikannya See Tok dan Loo Boan Tong seperti tidak
menggunakan tenaga sama sekali? Maka ia ulur tangan kanannya, untuk
menyambar batang lehernya Leng Tie. Ia berhasil, hanya ketika ia dapat
memegang batang leher orang, ia kaget dengan mendadak. Ia merasakan hawa
yang panas pada tangannya itu. Itulah suatu tangkisan yang dahsyat. Ia
insyaf, kalau ia melawan, maka tangannya itu bisa patah karenanya. Maka
dalam kagetnya itu, ia menarik tangan kanannya itu sambil tangan kiri ia
menyerang, untuk menolak tubuh si paderi.
Leng Tie telah diputar balik Auwyang Hong dan dilemparkannya, lalu ia
merasakan pengelaman serupa dari Ciu Pek Thong, ia menjadi bermata kabur
dan berkepala pusing, darahnya mengalir dan menjadi panas, pada itu
ditambah kemendongkolannya dan kemurkaannya. Ia masih dapat mendengar
seruannya Ciu Pek Thong, lantas ia menduga, orang yang bakal
menyambutinya tentulah musuh adanya, maka itu selagi tubuhnya melayang,
ia mengerahkan tenaganya, begitu See Thong Thian memegang batang
lehernya, ia membarengi menyerang dengan pukulannya Tay-ciu-in.
Di dalam halnya tenaga, Leng Tie Siangjin dan See Thong Thian berimbang.
See Thong Thian berdiri jejak, ia sudah siap sedia, sebenarnya ia lebih
unggul. Tapi juga Leng Tie telah mengerahkan tenaganya, ia dalam gusar
dan mendongkol, tenaganya jadi bertambah besar berlipat ganda. Maka itu
sebagai kesudahannya, See Thong Thian kena terpukul mundur tiga tindak
dan terus jatuh berguling. Berbareng dengan itu, Leng Tie sendiri pun
tidak luput. Karena dihajar tangan kiri See Thong Thian, tubuhnya roboh
melintang di atas perahu. Hanya paderi itu cuma jatuh sebentar, begitu
mengenakan lantai, ia dapat melompat bangun pula.
Begitu lekas ia dapat berdiri, Leng Tie dapat mengetahui orang yang
menyambuti dan menyerang padanya adalah See Thong Thian. Ia tidak
ketahui maksud orang, menjadi gusar, di dalam hatinya, ia kata, "Celaka
betul, kau juga hendak mempermainkan aku!" Terus ia maju, berniat
menghajar Thong Thian.
Pheng Lian Houw mengerti paderi itu salah terka, lekas-lekas ia maju
menghalang seraya ia berkata nyaring. "Taysu, jangan gusar, jangan salah
mengerti! Sebenarnya See Toako bermaksud baik!"
Sementara itu perahu kecil telah dikasih turun. Ciu Pek Thong memegang
tongkat di dalam mulut ikan, ia mengangkat dan mengibat. Atas itu, tubuh
ikan yang besar itu terangkat dan terlempar, tercebur di laut. Dengan
kibasannya itu, Pek Thong membuatnya tongkat patah. Kapan ikan hiu itu
merasakan mulutnya tidak tergalang pula, pasti ia girang bukan main dan
terus selulup untuk berenang pergi….
Oey Yong tertawa. "Engko Ceng," ia berkata, "Lain kali marilah bersama
Ciu Toako kita menaiki masing-masing seekor ikan untuk berlomba main
cepat-cepatan!"
"Bagus!" berseru Loan Boan Tong sambil ia bertepuk tangan sebelumnya
Kwee Ceng sempat memberi penyahutan. Sampai di situ, berempat mereka
turun ke perahu kecil.
Wanyen Lieh pintar sekali. Melihat lihaynya Auwyang Hong, ia lantas
ingat berapa besar faedahnya kalau orang ini suka membantu ia mencari
surat wasiatnya Gak Hui. Maka itu ia lantas cekal tangannya Leng Tie
Siangjin, untuk ditarik hingga di depan orang kosen itu.
"Kita sama-sama sahabat satu dengan lain, aku minta sianseng jangan buta
mata kecil hati," ia berkata, untuk mengakurkan. "Aku harap Siangjin
juga tidak memandang secara sungguh-sungguh. Aku minta, dengan memandang
kepadaku, sukalah urusan dipandang sebagai guyon saja."
Auwyang Hong tertawa, ia mengulurkan tangannya. Leng Tie Siangjin masih
belum puas, pikirnya. "Tak lebih tak kurang kau menggunai ilmu silat
menangkap Kim-na-hoat, kau juga menyerang secara tiba-tiba. Ilmu silatku
Tay-in-ciu, yang telah aku pahamkan beberapa puluh tahun ini,
mustahilkah ilmu itu tak dapat melawanmu?"
Karena ini ia angsurkan tangannya dengan tenaganya telah dikerahkan, ia
memencetnya dengan keras. Justru itu, mendadak ia merasakan seperti
memegang baja yang terbakar marang, panas dan sakitnya bukan buatan,
dengan kelabakan ia melepaskan cekalannya untuk menarik pulang tangannya
itu. Auwyang Hong mengerti maksud orang, ia tidak sudi berbuat
keterlaluan, maka itu ia mengganda bersenyum saja.
Leng Tie lantas melihat tangannya, ia tidak dapatkan tanda atau bekas
apa-apa, sedang barusan ia merasakan seperti terbakar. Ia menjadi heran
sekali, hingga ia menduga: "Mestinya orang ini mengenal ilmu gaib…"
Auwyang Hong melihat Nio Cu Ong masih rebah di lantai tanpa bergeming,
ia bertindak mendekati. Ia dapat menduga, ketika orang didesak Kwee Ceng
hingga kecebur, dia disambuti Ciu Pek Thong sambil ditotok, maka itu
setelah melihat sebentar, ia pun menotok jalan darah orang. Hanya
melihat saja, Som Sian Lao Koay sadar akan dirinya.
Wanyen Lieh girang bukan main. Ia lantas perintah orangnya segera
menyajikan barang hidangan, untuk manjamu itu paman dan keponakannya.
Karena dengan sendirinya Auwyang Hong dipandang sebagai kepala rombongan
orang kosen itu….Sambil menjamu, Wanyen Lieh menuturkan kepada Auwyang
Hong tentang niatnya mencuri surat wasiat Gak Hui di kota Lim-an dan ia
minta supaya See Tok suka memberikan bantuannya.
Auwyang Hong memang pernah dengar hal itu dari keponakannya, diminta
demikian hatinya tergerak. Ia lantas mandapat suatu pikiran lain.
Pikirnya: "Aku Auwyang Hong, kamu kira aku orang macam apa? Mana dapat
aku diperintah olehmu? Aku tahu Gak Hui itu tidak saja pandai mengatur
tentara tetapi juga lihay ilmu silatnya, maka di dalam surat wasiat itu,
kecuali ilmu perang, mungkin ada catatan tentang ilmu silat. Baiklah,
aku terima permintaan ini, untuk aku melihat dulu surat wasiat itu.
Mustahil aku si makhluk tua yang berbisa tidak dapat mengangkangi surat
itu?"
Maka itu ia lantas menyambut baik permintaannya Wanyen Lieh. Dua orang
itu ada masing-masing pikirannya sendiri. Wanyen Lieh membutuhkan surat
wasiat Gak Hui, supaya ia dapat mengatur tentaranya, untuk mencapai
maksud gerakannya. Tidak pernah ia memikir bahwa lain orang pun sama
mengarahnya, bahkan lain orang itu lebih cerdik dari padanya.
Nio Cu Ong membantu menggembirakan perjamuan itu. Cuma Auwyang Kongcu
yang tidak dapat memuaskan diri. Ia minum sedikit arak, ia bersantap,
habis itu ia mendahului masuk ke dalam perahu untuk beristirahat, karena
ia lagi menderita luka dikakinya.
Orang masih sedang berjamu tatkala mendadak saja Auwyang Hong menunda
cawan araknya serta wajahnya berubah. Melihat perubahan itu, semua orang
terkejut. Mereka tidak tahu, di dalam hal apa mereka berbuat salah
kepada ini orang lihay. Wanyen Lieh baru mau minta keterangan, atau
Auwyang Hong telah berkata: "Dengar!"
Orang lantas pada memasang kupingnya. Mereka tidak mendengar suara apa
juga kecuali desiran angin laut dan damparannya gelombang. Maka mereka
mnejadi heran, semua mata lantas diarahkan kepada orang she Auwyang itu.
Auwyang Hong masih terus memasang kupingnya, sampai sesaat kemudian ia
berkata: "Kamu sudah mendengar atau belum? Itulah suara seruling!"
Sekarang benar-benar orang mendengar suara seruling itu, walaupun masih
samar-samar, sebab suara itu terganggu angin dan ombak laut. Coba mereka
tidak diberikan keterangan oleh Auwyang Hong, masih mereka belum
mendengarnya. Auwyang Hong berbangkit, ia pergi ke kepala perahu. Di
sana ia lantas berdongko, dari mulutnya terdengar suara kowak-kowek yang
dalam. Maka ia benar-benar sangat mirip dengan seekor kodok besar.
Menyaksikan itu, semua orang heran berbareng merasa lucu, walaupun
demikian tidak seorang juga yang berani tertawa. Orang terus
mendengarinya. Tidak lama, mereka lantas mendengar nyata suara seruling
dan suara seperti kodok itu, bahkan mereka dapat mengetahui juga,
seruling dan suara kodok itu saling sahutan, merupakan sebuah lagu.
Mereka masih mendengari terus, atau sekarang mereka merasakan hati
mereka menjdai tidak tentram, seperti terombang-ambing dalam
kebimbangannya.
Leng Tie Siangjin mencoba menentramkan dirinya. Ia kata dalam hatinya:
"Benar-benar inilah ilmu sesat! Entah ia hendak memainkan lelakon apa!
Aku mesti berhati-hati!"
Anak-anak buah perahu bersama Wanyen Lieh adalah orang yang paling dulu
tidak sanggup mempertahankan diri dari tenaga menarik dari seruling dan
suara seperti kodok itu. Mereka sudah lantas berjingkrakan. Menampak
demikian, tiba-tiba saja Auwyang Hong menghentikan suaranya yang aneh
itu, sebagai gantinya, ia berseru keras sekali. Serentak dengan itu,
berhenti juga suara seruling tadi. Ia lantas saja memandang jauh ke
laut.
Sekarang semua orang berani menghampirkan, mereka turut mengawasi ke
arah yang dipandang itu, hanya hati mereka kebat-kebit, khawatir nanti
menyaksikan pula sesuatu yang mukjizat. Mereka berdiri di belakang See
Tok beberapa kaki, untuk bersiap sedia kalau-kalau ada bahaya….
Belum terlalu lama, di kejauhan terlihat tiga lembar layar hijau. Itulah
layar dari sebuah perahu enteng, yang lajunya sangat pesat, yang lagi
mendatangi ke arah perahu besar mereka. Semua orang menjadi heran.
"Mungkinkah suara seruling itu datangnya dari dalam perahu ini?" mereka
menduga-duga, "Terpisahnya kita begini jauh, bisakah suara itu terdengar
sampai di sini?"
Auwyang Hong sendiri sudah lantas menitahkan anak buah perahu memutar
haluan kendaraan air itu, untuk memapaki perahu enteng itu. Maka lekas
juga kedua perahu mulai datang dekat satu dengan lain.
Di kepala perahu enteng itu berdiri seorang yang memakai jubah panjang
warna hijau, di tangannya benar-benar dia mencekal sebatang seruling
kuningan. Ia pun sudah lantas mengasih dengar suaranya yang tinggi
muluk. "Saudara Hong, adakah kau melihat anak perempuanku?"
"Putrimu itu sangat temberang, mana berani aku main gila terhadapnya!" See Tok menjawab.
Kedua perahu terpisah hanya lagi beberapa tombak, tak terlihat
bergeraknya orang dengan jubah hijau itu, hanya terlihat berkelebatan
satu bayangan, tahu-tahu dia sudah berada di perahu besar.
Menyaksikan orang demikian lihay, kumat sifatnya Wanyen Lieh akan
mengambil hati orang. Ia lantas menyambut. Katanya: "Sianseng, bolehkah
aku mendapat ketahui she mu? Sungguh beruntung yang aku dapat bertemu
dengan sianseng!"
Hebat pangeran ini, sebagai seorang bangsawan ia telah berlaku demikian
merendah terhadap seseorang yang tidak dikenal. Akan tetapi orang itu,
apabila ia melihat dandan mentereng orang Kim ini, dia cuma melirik,
lantas dia tidak memperdulikannya lagi.
Auwyang Hong melihat ongyanya tidak mendapat muka, ia lantas berkata:
"Saudara Yok, mari aku perkenalkan! Tuan ini adalah Chao Wang, putra
keenam raja dari negara Kim!" Lalu ia berpaling kepada Wanyen Lieh, akan
meneruskan, "Inilah Tocu Oey Yok Su dari Pulau Tho Hoa To, yang ilmu
silatnya nomor satu di kolong langit ini, yang tak ada tandingannya."
Mendengar itu, Pheng Lian Houw semua mencelat mundur. Memang mereka
telah mengetahui ayahnya Oey Yong adalah orang yang luar biasa, dari itu
mereka menjadi jeri sendirinya. Semua berdiam terus.
Semenjak putrinya minggat, Oey Yok Su telah menduga tentulah Kwee Ceng
yang disusul. Mulanya ia gusar sekali, ia tidak memperdulikannya, akan
tetapi lewat beberapa hari, hatinya menjadi berkhawatir juga. Ia
khawatir putrinya itu nanti bertemu sama Kwee Ceng di perahu hiasnya
itu. Kalau benar, Oey Yong pasti terancam bahaya besar. Maka diakhirnya
ia melayarkan perahu, ia menuju ke tengah laut untuk mencari. Bagaimana
sulit untuk mencari perahu hiasnya itu. Sudah beberapa hari ia berada di
tengah laut, belum juga ia menemukannya. Maka itu hari ia meniup
serulingnya dengan mengharap-harap putrinya nanti mendengarnya. Di luar
dugaannya, Auwyang Hong yang menyambutinya dan keduanya jadi bertemu
pula.
Oey Yok Su tidak mengenal Pheng Lian Houw sekalian, mendengar orang di
depannya itu satu pangeran bangsa Kim, ia semakin tidak menggubrisnya.
Melirik lebih jauh pun ia tidak sudi lagi. Hanya, dengan mengangkat
tangan terhadap See Tok, untuk memberi hormatnya, ia berkata, "Aku
hendak lekas-lekas menyusul anakku, maaf tidak dapat aku menemani lebih
lama pula!" Lalu ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi.
Leng Tie Siangjin baru saja dipermainkan Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong,
ia merasakan perutnya panas sekali, dadanya mau meledak, sekarang ia
menghadapi pula seorang yang sangat jumawa, bahkan Auwyang Hong
memperkenalkan si pangeran secara demkian merendah kepada orang itu, ia
jadi berpikir: "Mustahilkah di kolong langit ini ada demikian banyak
orang kosen? Mungkinkah orang-orang ini cuma mengerti ilmu gaib atau
ilmu sesat, cuma untuk menggertak orang saja?! Baiklah aku coba-coba
padanya, untuk mengakalinya…."
Maka lantaslah ia berkata kepada Oey Yok Su: "Apakah yang kau cari itu satu bocah perempuan umur lima - atau enambelas tahun?"
Oey Yok Su menghentikan tindakannya, wajahnya nampak gembira. "Benar!" sahutnya. "Adakah taysu dapat melihat dia?"
Leng Tie Siangjin menjawab, tetapi dengan suara dingin; "Melihat aku ada
melihat, cuma aku melihat yang sudah mati, bukannya yang masih hidup."
Mendengar itu, Oey Yok Su terkejut. "Apakah taysu bilang?" tanyanya lekas, suaranya pun menggetar.
"Pada tiga hari yang lalu, aku pernah melihat mayatnya satu bocah
perempuan ngambang di laut," berkata pula si paderi dari Tibet itu. "Dia
mengenakan baju putih dan rambutnya memakai gelang emas, romannya cukup
cantik." Paderi ini melukiskan pakaian dan romannya Oey Yong.
Hebat Oey Yok Su merasakan gempuran pada hatinya, tubuhnya sampai
terhuyung, mukanya menjadi pucat pias. "Benarkah itu, taysu?" tanyanya
pula selang sesaat.
Semua orang mendengar pembicaraannya kedua orang itu, mereka tahu Leng
Tie Siangjin tengah mendustakan orang, maka itu dengan sendirinya hati
mereka kebat-kebit. Mereka melihat tegas kedukaannya Oey Yok Su tetapi
terus mereka membungkam.
Masih Leng Tie Siangjin menambahkan keterangannya pula. Katanya, "Di
samping mayat bocah perempuan itu ada mengambang tiga mayat lainnya,
yang satu mayat anak muda, yang lain lagi satu pengemis tua, yang
lainnya lagi satu tua bangka yang rambut dan kumisnya sudah ubanan." Ia
menyebutnya Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong.
Sampai di situ, Oey Yok Su tak bersangsi lagi. Maka ia lirik Auwyang
Ong. "Kau kenal anakku, mengapa kau tidak hendak memberitahukannya
siang-siang?" pikirnya.
Auwyang Hong dapat melihat sinar matanya Oey Yok Su, ia pun mengetahui
baik kedukaan orang, maka itu ia berkhawatir untuk banyak orang itu.
Kalau Tong Shia turun tangan, ia boleh tak usah mengkhawatirkan dirinya
sendiri, tetapi yang lainnya, mana mereka sanggup malawan? Maka hebat
permainannya Leng Tie Siangjin ini. Tetapi sebagai seorang licin, ia
lantas mendapatkan daya untuk meredakan suasana. Maka lekas-lekas ia
berkata: "Saudara Yok, aku baru saja naik ini perahu, sedang dengan
semua tuan-tuan ini, inilah pertemuan kita yang pertama kali. Mayat yang
dilihat taysu itu belum tentu ada mayat putrimu…" Ia menghela napas, ia
menambahkan: "Putrimu itu cantik sekali, kalau benar dia berumur
pendek, sungguh sayang…"
Auwyang Hong hendak membersihkan diri dari kedua belah pihak, tetapi di
kupingnya Oey Yok Su, perkataannya itu terdengarnya lain. Tapi Tong Shia
ini bertabiat paling gemar menggumbar hawa amarahnya terhadap lain
orang, kalau tidak, ketika dulu hari Hek Hong Siang Sat mencuri
kitabnya, tidak nanti dia gusari Liok Seng Hong dan lainnya yang tidak
bersalah dosa, yang dia bikin bercacad kemudian diusirnya. Demikian kali
ini, ia merasakan tubuhnya menjadi panas dingin mendengar hal kematian
putrinya yang ia sangat sayangi itu. Ia berduka hebat sama seperti
ketika ia kematian istrinya yang ia sangat cintai. Kedua tangannya
bergemetaran keras, mukanya pucat dan merah bergantian.
Semua orang, dengan mulut membungkam, mengawasi saja. Maka itu, sesaat
itu, perahu besar itu menjadi sangat sunyi senyap. Cuma suara angin dan
gelombang saja yang terdengar. Tiba-tiba Oey Yok Su mengasih dengar
suara tertawanya yang panjang, bagaikan menggeramnya naga seperti tak
putusnya.
Suara itu mengejutkan semua orang. Oey Yok Su tertawa hingga berlenggak,
tertawanya itu makin lama makin nyaring. Pada nada suara itu bagaikan
ada sifatnya yang dingin, hingga orang menjadi semakin heran. Lalu di
lain saat, tertawa itu berubah menjadi tangisan, tangisannya
menggerung-gerung, sedihnya bukan kepalang.
Di antara banyak orang itu, cuma Auwyang Hong yang kenal lagak-lagunya
Tong Shia, yang suka bernyanyi dan menangis tak ketentuan, dari itu ia
menjadi tidak terlalu heran. Hanya, ketika ia mendengar tangisan jadi
demikian sedih, ia berpikir juga: "Secara begini, Oey Lao Shia menangis,
dia pasti akan terluka tubuhnya. Di jaman dulu Gwan Sek kematian
ibunya, ia menangis hingga memuntahkan darah segantang lebih.
Kemungkinan ini bisa terjadi dengan si Sesat dari Timur ini. Sayang
tiat-cengku tenggelam bersama perahu yang karam, kalau tidak, bolehlah
aku menabuhnya untuk meramaikan tangisannya ini."
Lebih jauh Auwyang Hong berpikir. "Oey Lao Shia bertabiat luar biasa
sekali, sekali dia gusar, dia sukar diurusnya. Kalau dia sampai
menghadapi sesuatu maka lain kali, dalam pertemuan kedua di Hoa San, aku
jadi kekurangan seorang lawan yang tangguh. Ah sayang, sayang…"
Habis menangis, Oey Yok Su mengangkat serulingnya, dengan itu ia
mengetok pinggiran perahu, setelah mana ia bernyanyi. "Dengan firmannya
Tuhan, mengapakah dibikinnya dia umurnya demikian pendek? Atau orang
ubanan sampai akhir usianya, atau orang bercelaka karena melahirkan
anak? Kenapa belum lagi kedukaan lama lenyap atau sekarang datang
bersusun yang baru? Kenapa baru pagi lantas datang sang sore, atau fajar
berembun lantas melenyap pula? Yang lenyap itu tak terkejar, atau
sekarang mendadak orang hilang akal budinya? Langit demikian tinggi tak
ujung pangkalnya, kepada siapa aku mesti mengadukan penasaranku ini…?"
Hanya terdengar suara "Tok!" maka serulingnya Tong Shia terpatah dua.
Lalu tanpa berpaling lagi, Oey Yok Su bertindak ke kepala perahu. Leng
Tie Siangjin bertindak maju, dengan kedua tangannya ia menghalang.
"Kau menangis dan tertawa," katanya dengan dingin, "Kenapa kau mengacau secara edan begini?!"
Wanyen Lieh terperanjat. "Siangjin jangan…." katanya atau ia tidak dapat meneruskannya.
Belum sempat pangeran ini mengucap habis cegahannya itu, tangannya Oey
Yok Su sudah berkelebat ke belakang lehernya si paderi dari Tibet itu,
hanya dengan satu kali gerakan tangan, tubuh orang yang besar itu telah
terangkat lalu terputar hingga Leng Tie Siangjin menjadi berkepala di
bawah, berkaki di atas dan tempo tubuhnya dilemparkan, tidak ampun lagi
kepalanya yang besar melesak masuk ke lantai perahu sampai di pundak!
Habis itu Oey Yok Su bernyanyi: "Langit kekal, bumi abadi, berapakah
lamanya manusia hidup? Yang sudah, yang mendatang, semuanya tak terasa,
semua itu ada batas temponya…" Lalu tubuhnya berkelebat, maka tibalah ia
kembali di perahunya sendiri, perahu itu lantas berlayar pergi……..
Semua orang tercengang, hanya sebentaran, lantas mereka bergerak hendak
menolongi Leng Tie Siangjin yang entah hidup entah mati, akan tetapi
belum lagi mereka keburu bertindak, mendadak, mereka mendengar suara
berisik dari bergeraknya lantai perahu, lalu muncullah satu anak muda
yang bibirnya merah dan giginya putih, yang romannya tampan. Dan dialah
Yo Kang, putranya Wanyen Lieh.
Semenjak dia bentrok sama Bok Liam Cu, Yo Kang cuma ingat saja
kata-katanya Wanyen Lieh, sang ayah, bahwa kebahagiannya tak ada
batasnya. Di Hoay Utara ia lantas berhubungan sama pembesar-pembesar
Kim, maka kemudian ia dapat mencari ayahnya itu, hingga bersama-sama
mereka berangkat ke Selatan. Ia melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, ia
lantas menyembunyikan diri, tak berani ia ke luar. Dari dalam perahu ia
hanya mengintai saja, maka segala kejadian ke atas perahu, semuanya ia
dapat melihatnya dengan tegas dan nyata. Sampai telah berlalunya Oey Yok
Su, baru ia merasa dirinya aman, dari itu ia lantas munculkan diri.
Hebat Leng Tie Siangjin merasakan hajaran itu, tetapi dasar ia tangguh,
dia tidak terluka, cuma kepalanya pusing. Begitu ia lekas dapat
menetapkan hati, dengan kedua tangannya ia menekan lantai perahu, maka
di lain saat tubuhnya sudah mencelat bangun, di lantai itu tertampaklah
suatu liang besar dan bundar.
Orang heran dan kagum, di akhirnya mereka merasa lucu, tetapi tak
seorang juga yang berani mengasih dengar suara tertawanya. Karena
menahankan hati, mereka menjadi pada menyeringai.
"Anak, mari menemui Auwyang Sianseng!" Wanyen Lieh kata kepada putranya. Dengan begitu ia pun memecahkan ketegangan.
Yo Kang sendiri sudah lantas menjura kepada Auwyang Hong, ia berlutut
dan mengangguk empat kali. Itulah satu kehormatan besar, sedang ia
adalah seorang pangeran, maka orang semua menjadi heran.
Selama di dalam istana, Yo Kang sudah sangat mengaggumi Leng Tie
Siangjin, tetapi sekarang ia telah menyaksikan lihaynya Auwyang Hong,
Ciu Pek Thong dan Oey Yok Su, kekagumannya pindah kepada ketiga orang
itu. Bukankah Leng Tie Siangjin telah dapat dicekuk dan dilempar pergi
datang bagaikan dia ada satu bocah cilik? Bukankah itu menandakan suatu
kepandaian yang luar biasa? Bukankah ini serupa dengan artinya
kata-kata: "Di luar langit ada langit lainnya, di atas orang ada orang
lainnya?"
Dia sudah lantas ingat peristiwa di Kwie-in-chung di Thay Ouw waktu ia
kena dibekuk, selama ketakutannya di rumah abu keluarga Lauw ketika ia
menghadapi Kwee Ceng dan Oey Yong. Semua itu disebabkan ilmu silatnya
yang tidak berarti. Sekarang di depannya ada seorang yang berilmu
tinggi, jikalau ia tidak mengangkatnya orang menjadi gurunya, pasti
sudah ia membikin hilang satu ketika paling baik. Maka itu, dengan
kecerdikannya itu ia telah menjalankan itu kehormatan besar. Kemudian ia
menoleh kepada Wanyen Lieh sambil berkata, "Ayah, anak ingin mengangkat
sianseng ini menjadi guruku."
Wanyen Lieh senang dengan kelakukan anaknya itu, maka ia pun menjura
kepada See Tok seraya berkata: "Putraku ini gemar ilmu silat, hanya ia
belum bertemu guru yang pandai, jikalau Sianseng tidak mensia-siakannya
dan sudi memberikan dia pelajaran, Siauw-ong ayah dan anak sangat
berterima kasih untuk budimu yang sangat besar."
Di matanya lain orang, hebat untuk menjadi guru dari seorang pangeran,
untuk memintanya pun sulit, tetapi Auwyang Hong berpikir lain. Ia
membalas hormat seraya berkata, "Di dalam partaiku ada suatu aturan yang
dihormati, yaitu ilmu silat kami hanya diwariskan kepada satu turunan,
tidak kepada lain orang. Sekarang ini kebisaanku telah diturunkan kepada
keponakanku, karenanya aku tidak dapat menerima lain murid lagi.
Mengenai ini aku mohon ongya sudi memaafkannya."
Mendengar ini Wanyen Lieh menyesal, tetapi ia tidak memaksa, maka itu ia
lantas memerintah orangnya segera menyediakan barang santapan guna
menjamu ini orang berilmu. Yo Kang pun berputus asa.
Kemudian Auwyang Hong berkata sambil tertawa: "Pangeran muda hendak
mengambil aku sebagai guru, inilah tidak berani aku menerimanya, tetapi
untuk memberikan dia beberapa petunjuk, itulah tidak sukar. Hal ini
baiklah diurus perlahan-lahan belakangan."
Biarnya ia putus asa, mendengar janji Auwyang Hong itu, lega juga
hatinya Yo Kang. Ia ketahui baik kegagahannya Auwyang Kongcu, bahkan
orang banyak gundiknya, kalau ia mendapat petunjuk dari See Tok, mesti
ia mendapat kemajuan pesat, mungkin ia tidak selihay Auwyang Kongcu, toh
sedikitnya ia bisa menjagoi juga.
Sembari berjamu, pembicaraan berpokok kepada kejumawaan Oey Yok Su. Orang anggap pantaslah ia dipermainkan Leng Tie Siangjin.
"Suheng, dia menangis dan tertawa, dia pun bernyanyi, kenapa?" Hauw Thong Hay menanya kakak seperguruannya.
See Thong Thian tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka ia menyahuti
secara sembarangan saja: "Siapa kesudian memperdulikan segala
perbuatannya yang edan itu?"
"Yang ia nyanyikan itu ialah syair karangannya Co Cu Kian di jaman Sam
Kok," Yo Kang memberitahu. "Co Cu Kian itu kematian anak perempuannya,
dia membuat dua ruas syairnya itu. Dengan itu dia mengatakan, ada orang
hidup sampai tua sekali, ada yang berumur sangat pendek, mati muda-muda,
maka ia bertanya mengapa Thian demikian tidak adil. Maka ia menyesal,
langit tinggi tidak ada tangganya, hingga tak dapat ia naik untuk
mengajukan pengaduannya. Akhirnya ia membilang bahwa dia sangat berduka,
bahwa tak lama lagi waktunya dia menyusul putrinya itu."
"Siauw ongya benar-benar terpelajar!" orang banyak memuji si pangeran. "Kita orang-orang kasar, mana kita ketahui itu?"
Wanyen Lieh girang mendengar kepintaran putranya itu. "Suara serulingnya
itu membuat hatiku tidak tentram, apakah sebabnya itu?" ia tanya.
"Itulah disebabkan semacam tenaga dalam yang mahir sekali," menyahut Nio
Cu Ong. "Auwyang Sianseng telah perdengarkan suaranya di kepala perahu,
itulah jawaban timpalan untuknya, yang satu memanggil, yang lain
bertahan. Benarkah begitu, Auwyang Sianseng?" Auwyang Hong tersenyum,
dan mengangguk.. Lagi sekali orang memberi pujian, sekarang kepada See
Tok.
Yo Kang sendiri sementara itu telah berpikir: "Jikalau dihitung-hitung,
Oey Yok Su adalah kakek guruku, hanya disebabkan Bwee Suhu telah
bersalah terhadapnya, dan ada urusan anaknya yang mencurigai aku,
jikalau lain hari aku bertemu pula dengannya, itulah berbahaya untukku.
Selama di Kwie-in-chung, aku menduga dia tidak ada lawannya, siapa nyana
sekarang ada Auwyang Sianseng ini yang seimbang dengannya. Ah, sayang
Auwyang Sianseng tidak dapat menerima murid…….."
Selagi pangeran ini bepikir dan yang lainnya berpesta, Oey Yok Se
berlayar sendiri dengan tidak karuan rasa. Ia berduka dan mendongkol. Ia
penasaran sekali, ada kalanya ia mengutuk langit dan bumi, di lain saat
ia mencaci segala hantu atau iblis. Ia mengatakan Thian tidak adil.
Kemudian ia perintahkan anak buahnya mengarahkan perahunya ke pinggiran
di mana ia mendarat.
Lebih dulu dari pada itu, dalam kalapnya, ia telah bunuh anak-anak
buahnya itu. Sambil berdongak, ia berteriak-teriak: "Siapakah yang
membinasakan anakku Yong-jie? Siapakah membinasakan anakku Yong-jie? Ah,
itu bocah she Kwee, tidak salah, mestilah dia! Jikalau tidak karena
dia, cara bagaimana Yong-jie pergi ke perahunya itu? Hanya sayang bocah
itu menemani Yong-jie terbinasa. Sekarang kepada siapa aku mesti
melampiaskan hatiku?!"
Berpikir sampai di situ Tong Shia mendadak ingat keenam gurunya Kwee
Ceng. "Kanglam Liok Koay adalah biang dari kebinasaannya anakku
Yong-jie," ia memikir. "Jikalau mereka tidak mengajari silat kepada
bocah she Kwee itu, mana dia dapat berkenalan dengan Yong-jie? Jikalau
aku tidak kutungkan tangan dan kaki dari setiap mereka itu, tidak dapat
penasaranku ini dilampiaskan!"
Ia lantas pergi ke kota untuk bersantap sembari dia pikirkan jalannya
untuk mencari Kanglam Liok Koay. "Ilmu mereka tidak tinggi tetapi nama
mereka besar," katanya di dalam hatinya. "Mungkin mereka ada punya
apa-apa yang melebihkan kebanyakan orang…. Mungkin mereka banyak akal
muslihatnya! Jikalau aku datangi mereka secara berterang pasti tidak
dapat aku mencarinya, maka itu baiklah aku tunggu sampai malam gelap
petang, aku menyerbu ke rumahnya, aku bunuh mereka berikut semua anggota
keluarganya, tua dan muda!"
Panas hatinya Tong Shia, maka sehabisnya bersantap, dengan tindakan lebar ia menuju ke Utara, ke Kee-hin.
******
Ang Cit Kong bersama Ciu Pek Thong, Kwee Ceng dan Oey Yong berempat,
dengan perahu kecilnya, berlayar ke daratan. Kwee Ceng duduk di belakang
memegang kemudi. Oey Yong bicara tak habisnya menanyakan Ciu Pek Thong
perihal pesiarnya di laut dengan ikan hiu. Agaknya ia sangat
mengaguminya. Pek Thong pun gembira, hingga di saat itu ia ingin
menangkap pula ikan hiu untuk pesiar bersama si nona.
Kwee Ceng sementara itu mengawasi gurunya, air muka siapa beda dari pada
biasanya. "Suhu, bagaimana kau merasa sekarang?" ia bertanya.
Cit Kong tidak menjawab, hanya napasnya memburu dan keras suaranya. Dia
telah tertotok dengan ilmu totok Touw-kut Ta-hiat-hoat dari Auwyang
Hong, walaupun dia sudah ditotok bebas, dia telah terluka dalam.
Ciu Pek Thong sedang gembiranya, ia tidak memperhatikan orang lagi
menghadapi bahaya maut, Oey Yong tapinya mengetahui keadaan gurunya itu,
berulangkali ia mengedipi mata dan memberi tanda dengan tangannya agar
si orang tua berandalan itu tak menerbitkan suara ribut yang mengganggu
Pak Kay tapi si orang tua itu tetap saja ngoceh.
Oey Yong mengerutkan alis. "Kau hendak menangkap ikan hiu, tapi kau
tidak punya umpannya, buat apa kau omong saja?" kata si nona akhirnya.
Loo Boan Tong tua tetapi seperti tak menghargai dirinya, ditegur orang
muda, ia tidak mengambil peduli. "Ada akalnya!" katanya selang sesaat.
"Saudara Kwee, mari! Aku nanti tarik tanganmu, kau rendam separuh
tubuhmu di dalam air!"
Kwee Ceng sangat menghormati kakak angkat itu, walau pun ia tidak
ketahui maksud orang, hendak ia menurut. Tidak demikian dengan Oey Yong.
"Engko Ceng, jangan ladeni dia!" si nona mencegah. "Dia hendak pakai
tubuhmu seperti umpan guna memancing ikan hiu!" Nona ini dapat menerka
maksud orang.
"Benar!" Pek Thong bersorak. "Begitu lekas ikan hiu itu datang, aku
nanti sambar dia dan mengangkatnya ke atas. Kau boleh percaya, tidak
nanti dia dapat melukakan kau!"
"Tapi perahu kita ini kecil, heranlah kalau perahu tak karam!" berkata Oey Yong.
"Karam itu terlebih baik lagi!" berkata Loo Boan Tong. "Kita boleh sekalian turun ke laut untuk pelesiran!"
"Habis bagaimana dengan guru kami?" menanya si nona. "Apakah kau tidak menghendaki dia hidup terus?"
Pek Thong menggaruk-garuk kepalanya, tak dapat ia menjawab. Hanya kemudian ia persalahkan Auwyang Hong yang melukai Pak Kay.
"Jikalau tetapi kau masih ngoceh tidak karuan, kita bertiga nanti tidak
sudi bicara pula denganmu!" mengancam Oey Yong, yang agaknya habis
sabar.
Pek Thong mengulur lidahnya, ia tidak berani mementang bacot pula. Ia
lantas menyambuti pengayuh dari tangannya Kwee Ceng untuk mengayuh
perahu itu. Daratan tak jauh nampaknya, tetapi untuk tiba di tepian,
mereka mesti memakan tempo sampai langit mulai gelap. Karena itu,
terpaksa mereka bermalam di pesisir.
Besoknya pagi ternyata penyakitnya Ang Cit Kong jadi bertambah berat.
Kwee Ceng berduka dan berkhawatir sangat hingga ia menangis. Pak Kay
sebaliknya tertawa.
”Walaupun aku hidup lagi seratus tahun, di akhirnya toh aku mesti mati,"
katanya. "Anak yang baik, aku hanya mempunyai satu keinginan, maka kamu
pergilah untuk mendapatkannya!"
Pek Thong memegat. "Si makhluk berbisa bangkotan itu, melihat
cecongornya tidaklah senang aku, maka itu, kalau kau mati, kau matilah,
kau legakan hatimu, nanti aku balaskan sakit hatimu, akan aku bunuh
mampus padanya!"
Ang Cit Kong tertawa pula. "Membalas sakit hati?" tanyanya. "Itulah
bukannya keinginanku! Sebenarnya aku menghendaki dahar masakan Wanyoh
Ngo-tin-kwee dari istana kaisar."
Tadinya tiga kawan itu menyangka kehendak terakhir itu ada urusan yang
sangat besar, tidak tahunya urusan gegares, maka legalah hati mereka.
"Itu gampang suhu," Oey Yong lantas berkata, "Dari sini tak terpisah
jauh dengan kota Lim-an, nanti aku pergi ke istana kaisar untuk mencuri
beberapa mangkok masakan itu untuk kau dahar sepuasnya."
"Aku juga ingin dahar!" Pek Thong menyelak.
Oey Yong mendelik pada "Bocah" bangkotan itu. "Tahu apa kau tentang makanan lezat atau tidak?!" tegurnya.
"Wanyoh Ngo-tin-kwee itu, sekalipun di dalam istana tak gampang-gampang
dibikinnya," Ang Cit Kong mengasih tahu. "Ketika dulu hari aku
bersembunyi selama tiga bulan di dapur istana, cuma satu kali pernah aku
merasainya. Lezatnya masakan itu, kapan aku ingat, membikin aku hendak
mengeluarkan iler…"
"Kalau begitu, aku ada punya satu pikiran," Pek Thong turut bicara.
"Kita pergi mencuri koki raja, kita suruh dia masak untuk kita."
"Pikirannya Loo Boan Tong ini tak buruk," Oey Yong bilang. Bukan main
girangnya Pek Thong dipuji si nona. Sebaliknya Ang Cit Kong menggeleng
kepala.
"Tak dapat itu dilakukan," katanya Pengemis dari Utara. "Barang hidangan
itu, segala apanya mesti istimewa, sampai baranya, mangkoknya juga,
kalau tidak, rasanya tidak lezat, salah sedikit pun tidak boleh. Paling
benar kita pergi sendiri ke istana untuk memakannya."
Tiga orang itu tak takut pergi ke istana. "Itu memang paling bagus!" kata mereka bareng. "Nah, mari kita berangkat sekarang!"
Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, buat dibawa ke dalam desa yang
berdekatan. Di situ mereka minta nasi dan arak, untuk mereka menangsal
perut. Mereka hendak membayar uang makanan itu ketika mereka mendapat
kenyataan kantung mereka kosong. Orang yang mempunyai rumah itu ada satu
nyonya, dia baik budi, bukan saja ia tidak menghendaki uang makan,
bahkan ia mengantarkannya ke kota. Cit Kong berempat menghaturkan terima
kasih, lantas mereka pamitan.
Ketika melewati sebuah rumah gadai, mendadak Pek Thong gusar dan
berseru: "Ini dia usaha membunuh orang tanpa melihat darah!" Lantas ia
hendak menyerbu untuk merampas uang dari pengadaian itu.
"Buat apa terburu nafsu?" Oey Yong mencegah. Ia loloskan gelang
rambutnya, ia masuk ke dalam rumah gadai itu, untuk menggadaikan itu
buat empat belas tail perak, kemudian mereka mencari hotel di mana
mereka beristirahat. Sehabis bersantap, Kwee Ceng bertiga tidak melihat
Oey Yong ada bersama.
Berkata Pek Thong kepada adik angkatnya. "Itu istrimu yang lihay, kalau aku Loo Boan Tong melihat padanya, aku takut sekali!"
Kwee Ceng tersenyum. Tidak lama terlihat Oey Yong muncul dari luar
dengan wajahnya berseri-seri. "Kenapa kau takut padaku?" tanyanya pada
si tua berandalan.
Pek Thong mengawasi, ia melihat rambut orang ada gelang emasnya. "Eh,
kenapa kau lantas menebusnya kembali?" ia tanya heran. "Kalau begitu,
kita mesti mencari daya untuk membayar uang sewaan kamar dan makanan
kita ini…"
Oey Yong tidak segera menjawab, hanya dari sakunya ia tarik ke luar
empat kantung uang. "Untuk apa mesti ditebus?" katanya tertawa. "Rumah
gadai itu akulah yang usahakan, maka berapa banyak aku menghendaki,
berapa banyak aku boleh ambil!"
Pek Thong kagum bukan main orang dapat pergi dan pulang dengan cepat
untuk mengambil balik gelangnya berikut uang, maka ia memberikan
pujiannya. Katanya, "Ini nona kecil benar-benar dapat mewariskan
kepandaian keluarganya, dia pandai sekali!"
"Jikalau aku dibandingkan sama Biauw Ciu Sie-seng yang menjadi guru
nomor dua dari engko Ceng, kepandaianku ini sungguh tidak berharga
setengah peser juga!" kata si nona tertawa.
"Oh, ada orang yang demikian lihay?" kata Pek Thong. "Aku ingin bertemu dengannya!"
Sementara itu terlihat sakitnya Ang Cit Kong bertambah berat sedang di
kota itu tidak ada tabib terkenal, maka Kwee Ceng bertiga menyewa sebuah
kereta keledai untuk Pak Kay, dengan itu mereka berangkat menuju ke
utara, ke kota Lim-an. Pada suatu hari tibalah mereka di sungai Cian
Tong, dari mana mereka pergi ke luar kota Lim-an. Mereka tidak keburu
masuk ke dalam kota karena cuaca mulai gelap, burung-burung gowak tengah
terbang pulang. Karena itu mereka memikir mencari rumah penduduk, buat
menumpang bermalam. Mereka melihat sedikit jauh dari situ ada aliran air
yang mengitari tujuh atau delapan rumah.
"Kampung itu bagus, mari kita singgah di sana?" Oey Yong mengajak.
"Bagus apa?" tanya Pek Thong, matanya mencilak.
"Kau lihat, bukankah pemandangannya indah bagaikan gambar?" si nona bilang.
"Kalau indah bagaikan gambar, habis bagaimana?" tanya Loo Boan Tong.
Si nona heran, hingga ia melengak. "Jikalau kau bilang jelek, kita
jangan singgah di sini," katanya kemudian. "Tapi kita tidak dapat pergi
ke lain tempat…"
"Kalau kamu tidak pergi perlu apa aku pergi sendiri?" berkata si orang tua yang lagi kumat berandalannya.
Sementara itu mereka sudah tiba di kampung itu. Nyata itulah sebuah
kampung rudin, sebab di sana sini telihat tembok-tembok runtuh. Di muka
kampung sebelah timur terlihat sebuah warung arak, maka mereka menuju ke
sana. Di bawah payon ada dua buah meja papan, mejanya tebal debunya.
"Hallo!" Pek Thong lantas memanggil.
Dari dalam lantas muncul satu nona umur tujuh - atau delapan belas
tahun, rambutnya awut-awutan tetapi rambut itu ditancap sebatang tusuk
konde. Dia mementang matanya lebar-lebar mengawasi ketiga orang itu.
"Kasihkan aku nasi dan arak," Oey Yong minta. Si nona menggeleng kepalanya.
"Kau tidak punya arak dan nasi, habis untuk apa kau membuka rumah makan?" menegur Pek Thong.
"Aku tidak tahu," sahut si nona, yang kembali menggoyang kepalanya.
"Ah, kau benar-benar nona tolol!" kata Pek Thong.
Si nona tertawa. "Memang aku si Sa Kouw!" sahut nona itu. "Sa Kouw" berarti "nona tolol"!
Mendengar jawaban itu Oey Yong bertiga girang. Oey Yong terus masuk ke
dalam terus ke dapur untuk melihat-lihat. Ia mendapatkan banyak gelaga.
Nasi tinggal nasi dingin. Di atas pembaringan, tikarnya pun tikar butut.
Itulah tanda kemelaratan, maka ia terharu.
”Apakah kau bersendirian saja di sini?” ia menanya si nona rumah. Sa Kouw mengangguk sambil tersenyum.
”Ibumu?” Oey Yong tanya pula.
"Sudah mati," sahut si nona. Ia mengusap matanya, seperti mau menangis.
"Ayahmu?" Nona itu menggeleng kepala tanda tak tahu.
Oey Yong melihat tangan dan muka orang kotor, seperti sudah beberapa
bulan tidak pernah ketemu air, maka di dalam hatinya ia berkata. "Taruh
kata dia masak nasi, tentulah aku tak dapat mendaharnya…." Tapi ia toh
menanya, "Ada beras?"
Nona itu mengangguk, kembali ia tersenyum. Ia pergi mengeluarkan paso
besar, yang isinya separuh. Oey Yong lantas turun tangan sendiri,
mencuci beras dan memasaknya.
Kwee Ceng lantas pergi ke kampung sebelah barat di mana ia membeli dua
ekor ikan serta seekor ayam, terus bersama Oey Yong ia kerjakan itu.
Tempo nasi dan barang makanan itu matang dan disajikan, sang malam tiba.
Oey Yong minta minyak untuk memasang lampu, tapi Sa Kouw menggeleng
kepala.
Terpaksa nona Oey mencari sebatang cemara, ia sulut itu. Ia pergi ke
dapur, akan mencari mangkok dan sumpit. Ketika ia membuka lemari, ia
dapat cium bau busuk. Ia menyuluhi, maka terlihatlah tujuh atau delapan
mangkok hijau yang sudah rombeng di sana sini. Di sisinya ada belasan
bangkai cecurut….
Kwee Ceng membantui mengambil mangkok. "Pergi kau cuci bersih sekalian
ambil beberapa batang cabang pohon untuk dipakai sebagai sumpit,"
berkata Oey Yong.
Si anak muda menurut, ia berlalu dengan mangkok kotornya itu. Oey Yong
menjumput mangkok yang terakhir ketika ia merasakan mangkok itu dingin
seperti es, beda dari mangkok biasa. Ia mengangkatnya, tapi mangkok itu
diam di tempatnya seperti terpaku. Ia menjadi terlebih heran. Ia tidak
berani memaksa mengambil, khawatir mangkok itu pecah. Ia hanya mencoba
lagi tetapi kembali gagal.
"Mustahilkah karena dibiarkan lama di sini, mangkok ini penuh debu dan
jadi nempel lengket karenanya?" ia berpikir. Maka itu ia mengawasi
terus, sampai ia lihat mangkok itu karatan, sebab mangkok itu ternyata
terbuat dari besi. Sendirinya nona itu tertawa geli.
"Mangkok emas, mangkok perak, mangkok kumala, semuanya aku pernah
lihat," katanya di dalam hati. "Tetapi belum pernah aku dengar ada
mangkok besi."
Ia mencoba menarik dengan menggunai sedikit tenaga, tetap mangkok itu
tak bergeming. Ia heran bukan main. Mestinya mangkok itu dapat terangkat
berikut papannya. Maka ia mau menduga papannya itu pun besi. Ia lantas
menyentil. Ia mendengar suara nyaring. Benarlah dugaannya.
Oey Yong pegang mangkok itu, ia memutar ke kiri. Mangkok diam saja. Ia
mencoba memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar
terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembok memutar ke
kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia
mendengar suara keras, sebagian tembok dapur itu terbelah dua,
memperlihatkan suatu lobang yang gelap. Dari situ lantas menghembus bau
busuk, sampai si nona mau muntah, lekas-lekas ia lompat ke samping. Kwee
Ceng bersama Ciu Pek Thong mendengar suara si nona, mereka lantas
datang melihat.
"Jangan-jangan inilah rumah makan gelap," berkata Oey Yong, yang menjadi
curiga. "Mungkin Sa Kouw berpura-pura tolol." Tiba-tiba ia berlompat ke
samping nona tolol itu, yang berada di ruang dapur itu, kedua tangannya
diulur untuk menangkap lengan orang.
Ruang itu gelap tetapi Sa Kouw mendengar suara angin, ia menarik
tangannya dengan jurus "Melepas jubah menyerahkan kedudukan," setelah
bebas, ia membalas menyerang, ke arah pundak orang.
Oey Yong menduga orang mungkin tidak bermaksud jahat hanya ia tidak
menyangka nona itu demikian gesit dan serangannya pun ganas, ia menjadi
kaget. Dengan tangan kiri ia menangkis, terus membangkol dengan tangan
kanan ia menyerang dua kali beruntun. Setelah menyakinkan Ie-kin
Toan-kut-pian, ia menjadi sebat sekali dan tenaganya bertambah, maka itu
Sa Kouw lantas saja menjerit kesakitan karena lengannya kena terpukul,
meski begitu, ia melawan terus.
Sungguh Oey Yong tidak menyangka, di dusun sepi itu ada rumah makan
gelap, bahkan pelayan seorang nona jorok itu, bahkan dia cukup gagah
karena dia dapat bertahan sampai tujuh atau delapan jurus. Kwee Ceng dan
Pek Thong turut menjadi heran.
Kemudian Pek Thong dengar suara anginnya Oey Yong berubah hebat, lantas ia berteriak: "Eh, nona Oey, jangan kau ambil jiwanya!"
Selagi begitu, Kwee Ceng berjaga-jaga di sisinya Ang Cit Kong, ia
khawatir ada penghuni jahat lainnya, yang bisa membokong gurunya itu.
Lagi beberapa jurus, Oey Yong menghajar lengan orang hingga lengan itu
dikasih turun, tak dapat digeraki lagi. Kalau mau, ia dapat
membinasakan, tetapi ia merasa kasihan.
"Berlutut!" ia menitah. "Akan aku beri ampun padamu!"
"Aku tidak sudi!" menjawab nona itu, yang mendadak menyerang pula dengan
tangan kanannya, bahkan jurusnya ada jurus "Lok Eng Ciang-hoat"
ajarannya Oey Yok Su.
Oey Yong kaget dan heran. Sambil menangkis, ia menanya. "Darimana kau pelajarkan ini jurus Lok Eng Ciang-hoat? Siapakah gurumu?"
Nona tolol itu tertawa. "Aku tidak suka menjawab. Habis kau mau apa?" ia menantang.
Melihat suara orang tak lagi seperti orang tolol, Oey Yong mengulang
serangannya, kedua tangannya bergerak saling susul dua kali, kemudian
itu disusul sama serangan yang kelima, untuk menggertak, sebab berbareng
dengan itu, kakinya bekerja.
"Bruk!" demikian Sa Kouw roboh terguling.
"Ah, kau memakai akal!" serunya. "Mari kita bertempur pula!" Ia terus merayap bangun.
Oey Yong tidak sudi memberi ketika, ia menubruk dan menindih, lalu ia
merobek baju orang untuk dipakai mengikat tangannya dia itu. "Bukankah
Lok Eng Ciang-hoatku lebih baik dari pada kepunyaanmu?" ia bilang.
"Kau menggunai akal, aku tidak terima!" nona itu membelar. Dan ia mengulanginya perkataannya itu.
Melihat si tolol sudah kena dibikin tidak berdaya, Kwee Ceng lari ke
luar, untuk terus melompat naik ke atas wuwungan, untuk mengawasi
sekelilingnya. Ia tidak melihat apa juga. Tapi ia turun ke bawah, ia
jalan mengitari rumah makan itu. Rumah itu mencil sendirian dan pintunya
pun cuma satu. Dengan merasa lega, ia masuk pula ke dalam.
Oey Yong tengah mengancam Sa Kouw dengan pisaunya diarahkan ke mata
orang. "Siapa yang mengajari kau ilmu silat?" demikian tanyanya. "Lekas
bilang! Kalau kau tidak suka bicara, aku nanti tikam mampus padamu!"