Belum ada satu jam sejak berlalunya kedua ekor rajawali, Auwyang Hong
kembali mengatur meja perjamuan makan di muka perahu di bawah tiang
layar. Untuk ke sekian kalinya ia memancing supaya Ang Cit Kong dan Kwee
Ceng tidak dapat menahan lapar dan nanti terpaksa turun untuk dahar
pula.
Menyaksikan lagak orang itu, Cit Kong tertawa. "Di antara empat yaitu
arak, paras elok, harta dan napsu, aku si pengemis tua cuma menyukai
satu ialah arak!" ia berkata. "Dan kau justru menguji aku dengan arak!
Di dalam hal ini, latihanku menenangkan diri ada sedikit kelemahannya….
Anak Ceng, mari kita turun untuk menghajar mereka kalang kabutan.
Setujukah kau?"
"Baiklah sabar, suhu," Kwee Ceng menyahuti. "Burung rajawali sudah
membawa surat kita, sebentar mesti ada kabarnya, sebentar pasti bakal
terjadi suatu perubahan."
Cit Kong tertawa. Ia nyata suka bersabar. "Eh, anak Ceng!" ia berkata,
"Di kolong langit ini ada suatu barang yang sari atau rasanya paling
tidak enak, kau tahu apakah itu?"
"Aku tidak tahu, suhu. Apakah itu?" sahut sang murid sambil balik menanya.
"Satu kali aku pergi ke Utara," berkata sang guru, memberi keterangan,
"Di sana di antara hujan salju besar, aku kelaparan hingga delapan hari.
Jangan kata bajing, sekalipun babakan kayu, tak aku dapatkan di sana.
Dengan terpaksa aku menggali sana dan menggali sini di dalam salju,
akhirnya aku dapat menggali juga lima makhluk berjiwa. Syukur aku si
pengemis tua berhasil mendapatkan makhluk itu, dengan begitu jadi
ketolongan untuk satu hari itu. Di hari kedua, aku beruntung mendapatkan
seekor serigala hingga aku dapat gegares kenyang."
"Apakah lima makhluk bernyawa itu, suhu?"
"Itulah cianglong dan gemuk-gemuk pula!"
Mendengar disebutkannya nama binatang itu, Kwee Ceng belenak sendirinya,
hingga hendak ia muntah-muntah. Cit Kong sebaliknya tertawa
terbahak-bahak. Karena sengaja ia menyebutkan binatang paling kotor dan
paling bau itu untuk melawan napsu dahar yang merangsak-rangsak mereka
yang disebabkan harum wangi arak dan lezat yang tersajikan di kaki tiang
layar itu.
"Anak Ceng," berkata pula Cit Kong, "Kalau sekarang ada cianglong di
sini, hendak aku memakannya pula. Cuma ada serupa barang yang paling
kotor dan paling bau hingga aku segan memakannya, aku si pengemis tua
lebih suka makan kaki sendiri dari pada memakan itu! Tahukah kau, barang
apa itu?"
Kwee Ceng menggeleng-geleng kepalanya, atau mendadak ia tertawa dan menyahuti. "Aku tahu sekarang! Itulah najis!"
Tetapi sang guru menggoyangkan kepalanya. "Ada lagi yang terlebih bau!"
katanya. Kwee Ceng mengawasi. Ia menyebut beberapa rupa barang, ia masih
salah menerka. Akhirnya Ang Cit Kong tertawa.
"Nanti aku memberitahukan kepadamu!" katanya keras-keras. "Barang yang
paling kotor dan bau di kolong langit ini ialah See Tok Auwyang Hong!"
Mengertilah Kwee Ceng maka ia pun tertawa berkakakan. "Akur! Akur!"
serunya berulang-ulang. Maka cocok benarlah guru dan murid itu, hingga
mereka membuatnya See Tok menjadi sangat mengeluh.
Ketika itu hawa udara kebetulan memepatkan pikiran, di empat penjuru
angin meniup perlahan. Memangnya perahu menggeleser perlahan, dengan
berhentinya sang angin, akhirnya kendaraan air itu menjadi berhenti
sendirinya. Semua orang di atas perahu pada mengeluarkan peluh. Di muka
air pun kadang-kadang tertampak ikan meletik naik, suatu tanda air laut
juga panas. hawanya.
Cit Kong memandang ke sekelilingnya. Ia tidak menampak awan, langit bagaikan kosong. Maka heranlah ia. Ia menggeleng kepala.
"Suasana aneh sekali," katanya perlahan.
Berselang sekian lama, ketika Cit Kong tengah memandang ke arah
tenggara, ia menampak ada mega hitam yang mendatangi dengan sangat
cepat. Melihat itu, ia menjadi keget hingga ia mengeluarkan seruan
tertahan.
"Ada apakah, suhu?" tanya Kwee Ceng terperanjat.
"Ada angin aneh!" menyahut Cit Kong. "Tidak aman kita berdiam di tiang
ini… Di bawah ada demikian banyak ular….Bagaimana sekarang?" Ia menjadi
seperti menggerutu ketika ia berkata lebih jauh perlahan sekali: "Biar
umpama kata kita bekerja sama mati-matian, masih belum tentu kita bisa
lolos dari ancaman ini, apapula jikalau kita melanjuti pertempuran…"
Ketika itu ada angin yang menyambar ke muka. Cit Kong lantas merasa
segar. Ia pun merasa dadung layar bergerak sedikit. "Anak Ceng," ia lalu
berkata, "Kalau sebentar tiang patah, kau merosotlah turun. Jaga supaya
kau tidak terjatuh ke laut…"
Kwee Ceng heran. Di matanya, cuaca sekarang bagus, mustahil bencana
bakal datang? Tetapi ia biasa sangat mempercayai gurunya itu, ia
mengangguk. Belum lama, mendadak terlihat mega hitam bergumpal bagaikan
tembok tebal melayang menghamprkan, datangnya dari arah tenggara itu,
bergerak sangat cepat. Sebab segera juga mereka terdampar, di antara
satu suara nyaring, tiang layar benar-benar patah pinggang, karena mana,
tubuh perahu bergerak bagaikan terbalik.
Kwee Ceng memeluk erat-erat kepala tiang, ia menahan napas. Tanpa
berbuat begitu, angin dapat membawa ia terbang entah ke mana. Ketika
kemudian ia membuka matanya, sekarang ia melihat air bergerak bagaikan
tembok, air muncrat tinggi sekali.
"Anak Ceng, merosot turun!" terdengar teriakannya Cit Kong.
Kwee Ceng menurut, dengan mengendorkan pelukannya, tubuhnya langsung
merosot turun. Ia menahan diri setelah merosot kira-kira dua tombak. Ia
mendapat kenyataan, layar berikut tiangnya sebelah atas, yang patah,
setahu dibawa kemana oleh sang gelombang. Di lantai tidak terlihat lagi
ular, rupanya semua binatang berbisa itu telah disapu sang badai dan
gelombang. Si tukang kemudi rebah dengan kepala pecah, jiwanya sudah
melayang pergi. Perahu sendiri terputar-putar di tengah laut itu, miring
ke kiri dan ke kanan bergantian. Lainnya barang di muka perahu pun
tersapu habis ke laut.
"Anak Ceng, kendalikan perahu!" kembali terdengar suaranya sang guru. Memang kendaraan itu terancam untuk terbalik dan karam.
Kwee Ceng lompat turun ke buntut perahu, untuk memegang kemudi. Ia
disambar sepotong kayu yang terbawa angin, ia berkelit. Untuk
mempertahankan diri, ia lantas menyambar rantai. Ia orang Utara, belum
pernah ia mengemudikan perahu, tetapi karena ia bertenaga besar, bisa
juga ia menguasai perahu itu, untuk mencegah bergoncang keras. Ia
mendengar suara angin dahsyat, ia melihat perahunya berlayar pesat atas
dorongan sang angin.
Tiang layar bagian atas telah patah, ada layar yang diterbangkan angin
dahsyat itu, tetapi di antaranya, masih ada layar yang utuh. Cit Kong
berdaya untuk menurunkan layar itu. Sudah ada dadung yang ia berhasil
memutuskannya. Tengah ia berkutat, tiba-tiba kupingnya mendengar suara
menantang: "Saudara Cit, mari Pak Kay dan See Tok sama-sama mengeluarkan
kepandaiannya!"
Di sebelah sana Auwyang Hong mencekali keras ujung yang lain dari layar
itu. "Turun!" Cit Kong berseru sambil ia mengerahkan tenaganya, ia
menarik dengan keras.
Di pihak Auwyang Hong, See Tok pun menggunai tenaganya. Hebat tenaganya
kedua jago itu, layar kena ditarik roboh. Dengan begitu, sampokan angin
menjadi berkurang, tubuh perahu tidak lagi bergoncang keras seperti
tadi, hingga lenyaplah ancaman bahaya perahu itu karam. Sebagai ganti
badai, sekarang turun hujan lebat, butir-butirnya besar, menimpa muka,
rasanya sakit. Hanya syukur, mendekati cuaca gelap, angin dan hujan itu
mulai reda.
"Saudara Cit!" berkata pula Auwyang Hong tertawa. "Jikalau tidak ada
muridmu yang lihay itu, pastilah kita sudah mati masuk ke dalam perut
ikan! Maka itu marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan, guna
melepaskan hawa dingin! Jangan kau takut, jikalau aku hendak meracunimu,
biarlah aku Auwyang Hong menjadi buyutmu turunan ke delapanbelas!"
Ang Cit Kong turut tertawa. Kali ini mau percaya See Tok sebab sebagai
ketua sebuah partai besar di jamannya itu, satu kali dia mengeluarkan
kata-kata, dia mesti pegang itu.
"Mari!" ia berkata kepada Kwee Ceng, yang ia suruh digantikan seorang anak buah guna mengendalikan kemudi.
Dengan begitu mereka masuk ke dalam gubuk perahu untuk dahar dan minum.
Pak Kay minum dan dahar sampai kenyang, habis itu ia dan muridnya
kembali ke kamar mereka untuk tidur. Tapi tengah malam ia mendusin. Ia
mendengar suara ular sar-ser tak hentinya.
"Celaka!" ia berseu.
Kwee Ceng pun sudah lantas sadar. Maka keduanya berlompat bangun,
sama-sama mereka membuka pintu untuk melihat ke luar. Sekarang perahu
itu sudah terjaga rapi oleh rombangan-rombongan ular, yang memenuhi
bagian depan dan belakang. Auwyang Kongcu, dengan kipas di tangan,
berdiri di tengah-tengah ularnya itu. Ia memperlihatkan wajah
tersungging senyuman.
"Paman Ang, saudara Kwee!" ia berkata. "Pamanku cuma hendak meminjam
lihat Kiu Im Cin-keng sekali saja, ia tidak mengharap yang lainnya!"
"Dasar bangsat, dia tidak mengandung maksud baik!" mendamprat Cit Kong,
perlahan. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, tetapi pada parasnya ia
tidak kentarakan sesuatu perasaan.
"Hai, bangsat cilik!" ia mengasih dengar suaranya, "Nyata aku si tua
kena diperdayakan akal busuk paman anjingmu itu. Baiklah, sekarang aku
mengaku kalah. Lekas kau siapkan dulu barang hidangan dan arak, untuk
kami dahar dulu, urusan boleh dibicarakan besok pagi!"
Nampaknya Auwyang Kongcu girang, ia tertawa, sesudah mana ia benar-benar
menyuruh orang menyajikan barang hidangan, yang mesti dibawakan kepada
kedua musuhnya itu. Cit Kong mengunci pintu, ia terus dahar dan minum.
Ia menggerogoti paha ayam.
"Apakah kali ini pun tidak ada racunnya?" Kwee Ceng menanya berbisik.
"Anak tolol!" sang guru menyahuti. "Jahanam itu hendak menitahkan kau
menulis kitab, mana bisa mereka mencelakai jiwamu? Mari dahar sampai
kenyang, nanti kita memikirkan daya upaya pula!" Kwee Ceng percaya
gurunya benar, ia pun lantas bersantap dengan bernapsu. Ia menghabiskan
empat mangkok nasi.
Ang Cit Kong menyusuti bibirnya yang minyakan, lalu ia berbisik di
kuping muridnya. "Si bisa bangkotan menghendaki yang tulen, kau tulis
yang palsu," demikian ajarannya.
"Yang palsu?" murid itu menegasi, heran.
"Ya, yang palsu! Di jaman ini melainkan kau seorang yang ketahui kitab
yang tulen, dari itu apa pun yang kau kehendaki, kau boleh tulis! Siapa
yang akan ketahui itulah kitab yang tulen atau yang palsu? Kau menulis
jungkir balik bunyinya kitab, biar ia mempelajarinya menurut bunyi kitab
yang palsu itu, dengan begitu kendati pun sampai seratus tahun, ia tak
akan berhasil menyakinkan sekalipun satu jarus….!"
Girang Kwee Ceng mendengar ajaran itu. "Kali ini benar-benar si bisa
bangkotan kena batunya!" pikirnya. Tapi sesaat kemudian ia berkata:
"Auwyang Hong sangat mahir ilmu suratnya, kalau teecu menulis
sembarangan, lantas ia ketahui, bagaimana nantinya?"
"Kau harus menggunai siasat halus," Cit Kong mengajari. "Tulis tiga
baris yang benar lalu selipkan sebaris yang ngaco. Di bagian latihannya,
kau boleh tambahkan dan kurangi, umpama kitab menyebut delapan belas
kali, kau tulis dua belas kali atau dua puluh empat kali, biarnya si
bisa bangkotan sangat cerdik, tidak nanti ia dapat melihatnya. Biarnya
aku tidak gegares dan minum tujuh hari tujuh malam, suka aku menonton si
bisa bangkotan itu mempelajari kitab palsu itu!"
Habis berkata, Cit Kong tertawa sendirinya, hingga muridnya turut
tertawa juga. "Jikalau ia menyakinkan kitab yang palsu," kata Kwee Ceng
kemudian, "Bukan saja dia akan menyia-nyiakan ketika akan bercapai lelah
tidak puasnya, ada kemungkinan dia nanti mendapat celaka karenanya."
Cit Kong tertawa pula. "Sekarang bersiaplah kau untuk memikirannya!" ia
menganjurkan. "Kalau sampai ia bercuriga, itulah gagal artinya…."
Kwee Ceng menurut, ia lantas kerjakan otaknya. Ia menghapal Kiu Im
Cin-keng, ia pikirkan tambalannya untuk menghambat dan mengacau. Ketika
ia sudah memikir puas, ia menghela napas sendirinya. "Inilah cara
mempermainkan orang, Yong-jie dan Ciu Toako paling menggemarinya,"
pikirnya. "Sayang yang satu berpisah hidup, yang lainnya berpisah mati….
Kapan aku bisa bertemu pula dengan mereka, supaya aku bisa menuturkan
bagaimana aku mempermainkan si bisa bangkotan ini…?"
Besoknya pagi-pagi, begitu ia mendusin Ang Cit Kong pentang bacotnya
kepada Auwyang Kongcu. Katanya: "Aku si pengemis tua, ilmu silatku telah
menjadi satu partai tersendiri, maka juga tidak aku termahai Kiu Im
Cin-keng, umpama kata kitab itu dibeber di depan mukaku, tak nanti aku
meliriknya! Cuma mereka yang tidak punya guna, yang ilmu silatnya
sendiri tidak karuan, dia ingin sekali mencurinya! Sekarang kau kasih
tahu paman anjingmu, Kiu Im Cin.keng bakal ditulis untuknya, biar ia
menutup pintu, mengeram diri, untuk memahaminya! Nanti, sepuluh tahun
kemudian, biar ia muncul pula untuk mencoba menempur pula aku si
pengemis tua! Kitab itu memang kitab bagus tetapi aku si pengemis tidak
menghiraukannya! Lihat saja sesudah dia mendapatkan kitab itu, apa dia
bisa bikin terhadap aku si pengemis tua!"
Auwyang Hong berdiri diam di samping pintu, ia dengar semua ocehannya si
pengemis. Ia menjadi girang sekali. Pikirnya: "Kiranya si pengemis
bangkotan sangat jumawa, dia sangat mengandalkan kepandaiannya, hingga
ia suka menyerahkan kitab padaku, kalau tidak, ia tidak dapat dipaksa…"
Akan tetapi Auwyang Kongcu menyangkal. "Paman Ang, kata-katamu barusan
keliru sekali!" demikian bantahnya. "Ilmu kepandaian pamanku sudah
sampai di puncaknya kemahiran! Paman boleh pandai tetapi paman tidak
nanti nempil dengannya! Perlu apakah dia mempelajari Kiu Im Cin-keng?
Sering pamanku itu mengatakan kepadaku, ia percaya Kui Im Cin-keng kitab
kosong belaka, melulu untuk mendustakan orang, maka hendak ia
melihatnya, untuk ditunjuki bagian yang ngaco belo itu, supaya semua
ahli silat di kolong langit ini dapat mengetahui kekosongannya! Tidakkah
pembeberan itu ada faedahnya untuk kaum Rimba Persilatan?"
Ang Cit Kong menyambutnya dengan tertawa terbahak. "Ha, kau tengah
meniup kulit kerbau apa?" senggapnya. "Anak Ceng, kau tulislah Kiu Im
Cin-keng dan kau serahkan pada mereka ini! Jikalau si bisa bangkotan
dapat menemui kekeliruan-kekeliruan dari kitab itu, nanti aku si
pengemis tua berlutut dan mengangguk-angguk di depannya!"
Kwee Ceng menyahuti sambil ia muncul, maka Auwyang Kongcu lantas ajak ia
ke dalam gubuk besar, kemudian ia mengeluarkan pit dan kertas, bahkan
dia sendiri yang menggosok bak, untuk membikin siap sedia segala apa
untuk penulisan kitab mujizat itu.
Kwee Ceng belajar surat tak banyak tahun, tulisannya sangat jelek,
sekarang pun ia mesti mengubah bunyinya kitab asli, menulisnya jadi
sangat perlahan. Ada kalanya ia pun tidak dapat menulis sebuah huruf, ia
minta Auwyang Kongcu yang menuliskannya. Sampai tengah hari, tempo
bersantap, kitab bagian atas baru tercatat separuhnya. Selama itu
Auwyang Hong sendiri tidak pernah muncul untuk menyaksikan orang
bekerja, hanya setiap lembar yang telah ditulis rampung, Auwyang Kongcu
lantas membawanya itu kepadanya di lain ruang dari perahu mereka itu.
Saban ia menerima sehelai tulisan, Auwyang Hong memeriksanya dengan
seksama. Ia tidak dapat membaca mengerti, tetapi memperhatikan bunyinya,
ia tidak bercuriga. Ia bahkan menduga, itulah huruf-huruf yang dalam
artinya. Maka ia telah berpikir, nanti sekembalinya ke See Hek, handak
ia memahamkannya dengan ketekunan. Ia percaya akan otaknya yang cerdas
akan dapat menguasai isi kitab itu, hingga akan terwujudlah cita-citanya
beberapa puluh tahun akan mendapatkan pelajaran Kiu Im Cin-keng itu. Ia
tidak mengambil mumet tulisan Kwee Ceng yang tidak karuan macam itu, ia
hanya menerka orang tidak dapat menulis dengan bagus, sama sekali tidak
pernah ia menyangka, Kwee Ceng tengah menjalankan ajaran gurunya untuk
membikin kitab Kiu Im Cin-keng jungkir balik….!
Kwee Ceng menulis terus dengan keuletannya, maka ketika cuaca mulai
gelap, ia berhasil menulis hingga separuhnya lebih bagian bawah dari Kiu
Im Cin-keng itu. Auwyang Hong tidak menghendaki anak muda itu balik ke
gubuk perahunya akan berkumpul sama Ang Cit Kong, dia khawatir si
pengemis merubah ingatannya dan menyulitkan padanya. Masih ada kira
separuh kitab berarti ia masih dapat dipersukar. Maka ia lantas perintah
orangnya menyajikan barang hidangan untuk si anak muda, agar ia berdiam
terus tanpa bersantap bersama gurunya.
Ang Cit Kong menanti sampai jam sepuluh, ia mendapatkan muridnya belum
kembali, ia merasakan hatinya tak tentram. Ia pun berkhawatir muridnya
itu mendapat susah apabila Auwyang Hong bercuriga. Maka diam-diam ia ke
luar dari gubuknya. Ia dapat ke luar karena sekarang tidak ada lagi
penjagaan ular. Hanya tak jauh dari pintu ada dua orang berpakaian serba
putih tengah berjaga sebagai penunggu pintu. Tidak sulit baginya untuk
melewati dua orang itu. Dengan tangan kiri ia menyerang ke arah layar,
layar itu menerbitkan suara hingga mereka itu berpaling, di waktu mana
ia melompat ke arah kanan, maka lewatlah dia.
Dari jendela perahu terlihat molosnya sinar terang, Cit Kong
menghampirkan jendela itu, untuk mengintai ke dalam. Ia melihat Kwee
Ceng asyik duduk menulis. Dua nona dengan pakaian putih berdiri di
sampingnya, untuk melayani memasang dupa, menuangi air teh serta
menggosok bak. Jadi muridnya itu dilayani dengan baik. Hal ini membuat
hatinya lega.
Tiba-tiba pengemis ini merasakan hidungnya disampok bau arak yang harum
sekali. Ia lantas mengawasi. Ia mendapatkan arak ditaruh di depan
muridnya. "Si bisa bangkotan sangat pandai menjilat!" pikirnya. "Muridku
menulis kitab untuknya, ia menyuguhkan arak jempolan, tetapi untuk aku
si pengemis tua, ia menyediakan arak yang tawar seperti air!" Ia jadi
ingin mendapatkan arak itu. Ia berpikir pula: "Mestinya si bisa
bangkotan menyimpan araknya di dasar perahu, baik aku meminumnya hingga
puas, habis itu tahangnya aku isi dengan air kencingku, biar nanti ia
mencicipinya!"
Pengemis tua ini tersenyum. Ia merasa puas. Untuk pekerjaan mencuri
arak, ia ada sangat pandai. Dulu hari pun di Lim-an, di dalam dapur
istana kaisar, ia dapat menyekap diri hingga tiga bulan, semua arak dan
batang santapan untuk kaisar ia dapat mencicipinya terlebih dahulu!
Penjagaan di istana rapat sekali tetapi ia dapat berdiam di situ dengan
leluasa, ia dapat datang dan pergi dengan merdeka.
Demikian dengan berindap-indap ia pergi ke belakang. Ia tidak melihat
siapa juga di situ. Dengan hati-hati ia membongkar papan lantai. Dengan
menggunai hidungnya yang tajam, tahulah ia di mana arak disimpan.
Ruang perahu itu gelap petang tetapi tidak menghalangi pengemis yang
lihay ini. Hidungnya dapat membaui barang masakan dan arak. Ia bertindak
dengan berhati-hati. Untuk melihat tegas, ia menyalakan api tekesannya.
Di pojok ia melihat tujuh tahang arak, girangnya bukan kepalang. Segera
ia mencari sebuah mangkok sempoak. Ia padamkan apinya, ia simpan itu di
dalam sakunya, terus ia menghampirkan tahang.
Dengan menggoyang tahang, ia mendapat tahu tahang yang pertama kosong.
Yang kedua ialah ada isinya. Ketika ia mengulur tangan kirinya, untuk
membuka tutup tahang, mendadak ia mendengar tindakan kaki dari dua
orang. Enteng sekali tindakan itu, hingga ia menduga kepada Auwyang Hong
dan keponakannya. Ia lantas menduga mungkin paman dan keponakan itu
hendak melalukan sesuatu yang licik. Kalau tidak, perlu apa malam-malam
mereka pergi ke belakang? Maka ia lantas bersembunyi di belakang tahang.
Kapan pintu gubuk telah dibuka, terlihatlah sinar api. Dua orang tadi
pun bertindak masuk, berdiri di depan tahang. Cit Kong tidak dapat
melihat akan tetapi kupingnya dapat mendengar. Kembali ia menduga-duga:
"Mungkinkah mereka hendak minum arak? Tapi kenapa mereka tidak
menitahkan orangnya?"
Lalu terdengar suaranya Auwyang Hong. "Apakah semua minyak dan belerang di semua ruang perahu ini sudah siap sedia?"
Atas itu terdengar tertawanya Auwyang Kongcu, yang terus menjawab.
"Semua sudah siap! Asal api dipakai menyulut, kapal besar ini akan
segera menjadi abu, hingga si pengemis tua bangka itu pun bakal mampus
ketambus!"
Cit Kong kaget. "Ah, mereka hendak membakar perahu?" katanya dalam hatinya.
Lalu terdengar pula suaranya Auwyang Hong: "Pergi kau kumpuli semua
gundik yang paling disayangi di dalam ruang. Sebentar kalau si bocah
Kwee sudah tidur pulas, kau ajak semua ke perahu kecil, aku sendiri yang
nanti pergi ke mari untuk menyalakan api."
"Ular kita dan mereka yang merawatnya bagaimana?" Auwyang Kongcu menanya.
Auwyang Hong menjawab dengan dingin. "Si pengemis busuk ada jago silat
kenamaan, kepala dari suatu partai, pantas ada orang-orang yang
berkorban untuknya…."
Habis itu keduanya bekerja membuka sumpalan tahang, atas mana Ang Cit
Kong dapat mencium bau minyak. Dari dalam peti-peti kayu, paman dan
keponakan itu mengeluarkan banyak bungkusan terisi belerang. Ketika
minyak telah dituang melulahan, tatal atau hancuran kayu disebar di
atasnya. Di atas itu ada palangan-palangan peranti meletaki bungkusan
belerang. Selesai kerja, keduanya pergi ke luar.
Masih Cit Kong mendengar suaranya Auwyang Kongcu, yang berbicara sambil
tertawa. "Paman, lagi satu jam maka bocah she Kwee itu bakal dikubur di
dasar laut, setelah mana di dalam dunia ini tinggallah kau seorang yang
mengetahui isinya kitab Kiu Im Cin-keng!"
"Tidak, ada dua!" sahut sang paman. "Mustahilkah aku tidak mewariskannya kepadamu?"
Auwyang Kongcu girang dan tangannya menutup pintu. Ang Cit Kong gusar
berbareng kaget. "Kalau tidak malaikat menyuruh aku mencuri arak, mana
aku ketahui akal keji dua orang ini?" pikirnya. "Kalau api dilepas,
bagaimana kami bisa menyingkir?"
Ia menanti sampai tindakan kaki kedua orang itu sudah jauh, diam-diam ia
ke luar dari tempatnya bersembunyi. Ia lantas kembali ke gubuk
perahunya, di mana ia mendapatkan Kwee Ceng sudah tidur pulas. Hendak ia
mengasih bangun muridnya itu tatkala ia mendengar satu suara di luar
pintu. Ia menduga Auwyang Hong tengah mengawasi, lantas ia bersuara
nyaring berulang-ulang: "Arak yang wangi, arak yang wangi! Mari lagi
sepuluh poci!"
Auwyang Hong, orang di luar kamar itu, tercengang. "Ah, dia masih saja minum!" pikirnya.
Lalu ia mendengar pula suaranya si pengemis; "Tua bangka yang berbisa,
mari kita bertempur pula sampai seribu jurus, untuk memastikan siapa
tinggi, siapa rendah! Oh, oh, bocah yang baik, akur, akur!"
Mendengar sampai di situ, Auwyang Hong ketahui orang sebenarnya lagi
mengigau atau ngelindur di dalam tidurnya. "Lihat si pengemis bau,
tinggal mampusnya saja masih dia ngaco belo!" katanya.
Cit Kong pura-pura ngigau tetapi kupingnya dipasang. Auwyang Hong boleh
lihay ringan tubuhnya tetapi tindakan kakinya yang sangat perlahan masih
terdengar si raja pengemis, yang mengetahui orang pergi ke kiri.
Lekas-lekas ia menghampirkan muridnya, akan pasang mulutnya di kuping
orang, yang pun ia bentur pundaknya dengan perlahan. Terus ia memanggil:
"Anak Ceng!" Kwee Ceng mendusin seketika, agaknya ia terkejut.
"Kau bertindak menuruti aku!" Cit Kong berbisik singkat. "Jangan
menanyakan sebabnya! Jalan dengan hati-hati, supaya jangan ada yang
dapat melihat!"
Kwee Ceng merayap bangun, sedang gurunya menolak pintu, lalu menarik
tangan bajunya. Mereka menuju ke kanan. Mereka pun berjalan sambil
melapai. Auwyang Hong lihay, mereka khawatir mereka nanti terdengar si
racun dari Barat itu. Kwee Ceng heran tetapi ia mengikuti tanpa membuka
mulutnya. Lekas juga mereka berada di luar.
Ang Cit Kong menggunai kepandaiannya "Cecak memain di tembok", untuk
bergerak turun, matanya mengawasi muridnya. Ia berkhawatir juga sebab
papan perahu licin. Kalau tangan mereka terlepas, pasti mereka bakal
tercebur ke laut dan mengasih dengar suara berisik.
Ilmu "Cecak memain di tembok" itu mungkin tepat di tembok kasar, tetapi
dinding perahu ini dicat mengkilap dan licin, basah pula, maka tak
gampang untuk merayap di situ, apapula perahu tengah dipermainkan ombak.
Syukur untuk Kwee Ceng, Ma Giok telah melatih sempurna padanya selama
mereka berada di gurun di mana dia diwajibkan naik turun jurang.
Ang Cit Kong merayap terus, separuh tubuhnya berada di dalam air.
Muridnya itu tetap mengikutinya. Tiba di belakang, di tempat kemudi, Cit
Kong melihat di situ ada ditambah sebuah perahu kecil. Ia menjadi
girang sekali.
"Mari kita naiki perahu itu!" ia mengajak muridnya, segera bertindak. Ia
mengenjot tubuhnya, untuk menyambar perahu kecil itu, ketika ia dapat
memegang pinggarannya, ia jumpalitan untuk naik ke dalamnya. Ia tidak
mengasih dengar suara apa juga. Begitu pun Kwee Ceng, yang menyusul
gurunya.
"Lekas putuskan dadungnya!" Ang Cit Kong menitah.
Kwee Ceng menurut, dengan cepat ia menggunai pisau belatinya. Maka di
lain saat, perahu kecil itu sudah terombang-ambing dipermainkan sang
ombak. Cit Kong menggunai pengayuhnya untuk membikin perahu tak goncang
hebat.
Dengan lewatnya sang tempo, perahu besar lenyap dari pandangan mata.
Hanya dil ain saat, di sana terlihat api lentera yang dicekal Auwyang
Hong, bahkan See Tok terus menjerit keras sebab ia mendapatkan perahu
kecilnya lenyap. Kemudian jeritan itu disusuli dengan kutukan, tanda
dari kemurkaan hebat. Ang Cit Kong mengumpulkan tenaga dalamnya, lalu ia
tertawa keras dan panjang. Mendadak itu waktu, di arah kanan ada sebuah
perahu enteng menerjang gelombang, menuju cepat ke arah perahu besar.
Heran Ang Cit Kong, hingga ia menanya dirinya sendiri: "Eh, perahu apakah itu?"
Hampir itu waktu terlihat berkelebatnya dua burung rajawali putih, yang
terbang berputaran di atasan layar besar. Dari dalam perahu itu pun
berlompat satu tubuh dengan pakaian putih mulus, berlompat ke perahu
besar itu. Samar-samar terlihat berkilauannya gelang rambut emas di
kepala orang itu.
"Yong-jie!" Kwee Ceng berseru perlahan.
Memang orang itu Oey Yong adanya. Ketika ia melihat kuda merah, ia ingat
sepasang rajawali. Di laut kuda tidak diperlukan, lain dengan burung.
Maka ia lantas bersuit keras memanggil dua burung piaraan Kwee Ceng itu.
Bersama burung itu, ia layarkan perahunya. Kalau burung itu, yang
matanya tajam, sudah lantas melihat perahu besar, maka keduanya lantas
terbang pergi. Dengan begitu bertemulah mereka dengan tuan mereka,
hingga Kwee Ceng bisa mengirim warta kepada si nona, untuk mengabarkan
mereka berada dalam bahaya. Oey Yong lantas melayarkan perahunya dengan
cepat sekali. Akan tetapi ia masih terlambat, Cit Kong dan Kwee Ceng
keburu naik perahu kecil kepunyaannya Auwyang Hong itu.
Keras Oey Yong mengingat keselamatan Kwee Ceng, maka itu begitu lekas ia
melihat burungnya terbang berputaran di atas layar, ia lantas lompat
dari perahunya itu naik ke perahu besar. Ia telah menyiapkan jarum dan
tempulingnya ketika ia berlompat itu. Justru itu di perahunya, Auwyang
Kongcu lagi kelabakan seperti semut di atas kuali panas.
"Mana Kwee Sieheng?!" tanya si nona. "Kau bikin apa terhadapnya?"
Auwyang Hong sendiri tengah mengeluh. Dia telah membawa api, menyulut
minyak, tatkala ia mengetahui lenyapnya perahu kecilnya, perahu yang
hendak ia pakai untuk menyingkirkan diri. Dalam keadaannya seperti itu,
kupingnya mendapat dengar tertawanya Ang Cit Kong dari tengah laut. Maka
mengertilah ia bahwa dia telah gagal mencelakai orang dan berbalik
mencelakai diri sendiri. Tentu sekali ia menjadi sangat menyesal dan
bingung, mendongkol dan berkhawatir. Tapi justru itu, dia melihat
datangnya Oey Yong. Sekejab itu juga timbul harapannya - di otaknya
muncul pikiran yang sesat. Dia berlompat sambil berseru. "Lekas naik ke
perahu itu!" Dia maksudkan perahunya Oey Yong.
Akan tetapi perahu itu ada perahu yang dikemudikan oleh anak buah yang
gagu. Dia itu tidak dapat bicara tetapi dapat berpikir. Pula dia memang
ada bangsa licik. Selama berada dengan Oey Yong, dia takut, dia menurut
saja titah si nona. Begitu lekas nona itu lompat ke perahu besar, ia
memutar perahunya, untuk dikayuh dengan segera, untuk dipasang layarnya.
Maka di lain saat, dia sudah terpisah jauh dari perahu besar itu.
Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat Oey Yong berlompat ke perahu besar,
di waktu mana dari arah belakang perahu terlihat asap mengepul naik
disusul sama berkobarnya api. Mereka kaget karena mereka insyaf bahwa
Auwyang Hong sudah bekerja.
"Api! Api!" berteriak-teriak anak muda ini dalam kagetnya.
"Si bisa bangkotan sudah membakar perahunya!" Ang Cit Kong pun berteriak. "Dengan caranya itu ia hendak membakar kita!"
"Lekas tolongi Oey Yong!" Kwee Ceng berteriak pula.
"Dekati perahu!" Cit Kong menyuruh.
Kwee Ceng menggunai tenaganya, untuk mengayuh. Perahu besar kecil itu
pun bergerak menyusul perahu besar, untuk mendekati. Di atas perahu
besar sendiri keadaan kacau disebabkan semua pengikutnya Auwyang Hong -
laki-laki dan perempuan lari serabutan karena takut api, suara teriakan
atau jeritan mereka riuh sekali.
"Yong-jie!" terdengar teriakannya Cit Kong. "Bersama Ceng-jie aku berada di sini! Mari lekas berenang! Lekas berenang ke mari!"
Langit gelap, laut pun bergelombang, tetapi Cit Kong perdengarkan
teriakannya itu oleh karena ia ketahui baik si nona pandai berenang.
Pula di saat sepereti itu tidak dapat mereka tidak berlaku nekat untuk
menolong diri. Oey Yong dapat mendengar suara gurunya itu, ia girang.
Tentu saja tidak sudi ia memperdulikan pula Auwyang Hong dan
keponakannya itu, bahkan tanpa bersangsi lagi ia bertindak ke tepi
perahu, untuk segera menggenjot tubuhnya guna terjun ke laut!
Sekonyong-konyong nona Oey merasakan lengannya ada yang cekal dengan
keras sekali. Tubuhnya sudah mencelat tapi karena cekalan itu, ia tidak
dapat terjun terus, ia kena ditarik kembali ke perahu. Ia terkejut
sekali ketika ia menoleh akan mendapatkan, orang yang mencekal padanya
adalah Auwyang Hong, si Bisa dari Barat yang lihay dan ganas itu.
"Lepas!" ia berteriak seraya dengan tangan kirinya ia meninju.
Hebat sekali Auwyang Hong, tangannya bergerak bagaikan kilat, maka
tahu-tahu si nona telah tercekal pula tangan kirinya. Sementara itu See
Tok melihat perahu kecil sudah pergi jauh hingga tidak ada lagi harapan
untuk menyusulnya. Sebaliknya perahunya sendiri mulai terbakar hebat.
Api telah meluluhan menyambar tiang layar yang lantas patah karenanya.
Di muka perahu, kekacauan berjalan terus. Agaknya perahu bakal segera
karam, maka pertolongan untuk mereka tinggallah perahu yang diduduki
Kwee Ceng dan Cit Kong itu.
"Pengemis busuk, Nona Oey ada di sini!" See Tok berseru. "Kau lihat tidak?!"
Ia mengerahkan tenaganya, kedua tangannya diangkat naik, dengan begitu
tubuh Oey Yong pun turut terangkat tinggi. Dengan begitu ia hendak
mengasih lihat tubuh nona itu. Ketika itu api telah berkobar besar dan
mendatangkan sinar terang maka Ang Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat
tegas Oey Yong berada di tangannya si Bisa dari Barat yang jahat itu.
Ang Cit Kong menjadi gusar sekali. "Dengan menggunai Oey Yong, dia
hendak memaksa kita!" katanya sengit. "Dia ingin naik ke perahu kita!
Nanti aku merampas Yong-jie!"
"Aku turut, suhu!" berkata Kwee Ceng, Ia berkhawatir melihat api.
"Tidak!" mencegah si guru. "Kau melindungi perahu ini supaya tidak sampai kena dirampas si tua bangka yang berbisa itu!"
"Baiklah," sahut Kwee Ceng, yang terus mengayuh pula, untuk mendekati perahu besar itu, yang sekarang sudah tidak bergerak lagi.
Lekas juga perahu kecil itu mendekati perahu besar, begitu lekas Ang Cit
Kong merasa ia dapat melompatinya, ia lantas menggeraki tubuhnya untuk
berlompat sambil mengapungkan diri. Ia berlompat seperti tengkurap, maka
tempo ia tiba di perahu, tangannya yang sampai terlebih dulu. Ia
menggunai tangan kiri dengan kelima jarinya yang kuat, untuk dipakai
mencengkeram tepian perahu, habis mana, dengan mengerahkan tenaga di
tangannya itu, ia membuatnya tubuhnya tiba di atas perahu itu.
Auwyang Hong masih mencekali Oey Yong. Ia menyeringai. "Pengemis bangkotan busuk, kau hendak apa!" dia menanya, menantang.
"Mari,mari!" Cit Kong juga menantang. "Mari kita bertempur pula seribu jurus!"
Jawaban itu dibarengi sama serangan kedua tangan saling susul. Auwyang
Hong berlaku licik, bukannya ia berkelit, ia menangkis dengan mengajukan
tubuh Oey Yong sebagai tameng. mau tidak mau, Cit Kong mesti batalkan
penyerangannya itu. Ketika itu dipakai oleh Auwyang Hong untuk segera
menotok jalan darah si nona, maka sesaat itu juga, lemaslah tubuh Oey
Yong, tak dapat ia berkutik.
"Letaki dia di perahu!" Cit Kong menantang pula. "Marilah kita bertempur untuk memastikan menang atau kalah!"
Auwyang Hong ada terlalu licik untuk meletaki tubuh nona itu. Ia pun
melihat keponakannya lagi didesak sambaran-sambaran api hingga ia mesti
main mundur. Tiba-tiba ia mendapat akal. Mendadak ia lemparkan Oey Yong
kepada keponakannya itu.
"Pergi kamu lebih dulu ke perahu kecil!" perintahnya.
Auwyang Kongcu menyambuti tubuh yang tak dapat bergerak itu. Ia melihat
Kwee Ceng di perahu kecil. Ia mengerti, kalau ia melompat bersama si
nona, mungkin perahu kecil itu akan karam karenanya. Maka ia menarik
sehelai dadung, ia ikat itu di kaki tiang layar, habis itu dengan tangan
kiri memeluki Oey Yong, dengan tangan kanan ia menarik dadung itu,
untuk meluncur ke perahu kecil itu. Maka terayunlah tubuh mereka, turun
menghampirkan perahu.
Kwee Ceng melihat Oey Yong tiba di perahunya, ia girang bukan main.
Tentu sekali ia tidak mengetahui yang kekasihnya itu sudah kena orang
totok hingga menjadi tidak berdaya. Ia lebih memerlukan mengawasi
gurunya yang lagi bertempur sama Auwyang Hong. Biar bagaimana, ia
bergelisah untuk gurunya itu.
Dengan api berkobar-kobar, tertampak nyata kedua jago tua itu lagi
mengadu jiwa. Mendadak saja terdengar suara nyaring seperti guntur, lalu
tertampak perahu besar terbelah dua, sebab tulang punggungnya dimakan
api dan pecah karenanya. Menyusul itu kelihatan bagian perahu yang
belakang mulai tenggelam, perlahan-lahan karam ke dalam air.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bertempur terus. Kadang-kadang mereka
mesti berkelit dari runtuhannya tulang layar atau dadungnya, yang jatuh
termakan api. Dalam pertempuran sengit ini, Ang Cit Kong lebih menang
sedikit, dalam arti kata ia tidak merasakan hawa panas seperti lawannya.
Itulah sebab pakaiannya basah bekas tadi merendam di air. Karena ini
juga, dapat ia mendesak See Tok, yang sebaliknya mesti berkelahi sambil
mundur perlahan-lahan.
Pernah Auwyang Hong memikir untuk terjun ke laut, ia hanya menyesal,
pikirannya itu tidak dapat ia segera mewujudkannya. Ia didesak terlalu
hebat, kalau ia memaksa terjun, itu artinya ia tidak dapat membela diri,
mungkin nanti ia kena diserang lawannya yang lihay itu. Ada kemungkinan
juga ia nanti terluka parah. Saking terpaksa, ia melayani terus dengan
otaknya dikasih bekerja tak hentrinya untuk mencari jalan lolos….
Ang Cit Kong menyerang dengan hatinya terasakan puas. Bukankah ia terus
mendesak? Tengah ia merangsak, tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Kalau aku
desak dia hingga dia terbakar, kalau ia sampai mengantar jiwanya, itu
tak menarik hati," demikian pikirannya yang menyandinginya itu. "Dia
telah mendapatkan salinan kitab dari Ceng-jie, jikalau dia tidak
mendapat kesempatan untuk mempelajarinya, bila nanti ia mampus, pastilah
ia mampus tak puas! Tidak dapat tidak, dia mestinya dibikin kena
batunya…!"
Karena ini Pak Kay lantas tertawa terbahak-bahak. "Bisa bangkotan, hari
ini aku memberi ampun padamu!" ia berseru. "Kau naiklah ke perahu kecil
itu!"
Kedua matanya Auwyang Hong mencelik, lantas ia terjun ke laut. Cit Kong
hendak menyusul tatkala ia dengar teriakannya See Tok. "Tahan dulu!"
demikian si Bisa dari Barat itu berteriak. "Sekarang tubuhku pun basah,
maka marilah kita berdua bertempur pula. Sekarang barulah adil, sama
rata sama rasa!"
Suara itu disusul sama berkelebatnya satu tubuh, maka di lain detik,
Auwyang Hong telah berdiri pula di atas perahu besar, di depan lawannya.
Sekejap Ang Cit Kong melengak, lalu ia tertawa lebar. "Bagus, bagus!"
serunya. "Seumur hidupnya si pengemis bangkotan, ini hari barulah ia
bertempur paling memuaskan!" Kembali dua orang itu bertarung dengan
hebat. Dengan tubuh basah kuyup, agaknya See Tok menjadi segar sekali.
"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kepada kekasihnya. "Kau lihat See Tok
ganas sekali!" Oey Yong tengah ditotok, ia tak dapat bersuara.
"Apakah tidak baik aku minta suhu turun ke mari?" Kwee Ceng berkata pula
menanyai si nona. "Perahu besar itu bakal lekas tenggelam…."
Oey Yong tetap tidak menyahuti. Kwee Ceng heran, maka lekas ia
berpaling. Semenjak tadi ia terus mengawasi ke gelanggang pertarungan.
Maka gusarlah ia untuk menyaksikan Auwyang Kongcu lagi meringkus kedua
tangan orang.
"Lepas!" ia lantas berteriak.
Auwyang Kongcu tertawa. "Jangan kau bergerak!" dia berseru. "Asal kau
bergerak, satu kali saja, akan aku hajar hancur kepalanya!" Dan dia
mengancam.
Kwee Ceng tidak menggubris ancaman itu, bahkan seperti tanpa berpikir
sejenak juga, ia menyerang. Auwyang Kongcu berlaku sebat, ia berkelit
sambil mendak. Kwee Ceng penasaran, ia menyerang pula ke muka orang. Ia
seperti merabu tanpa jurus tipu silat. Auwyang Kongcu bingung juga.
Perahu kecil, tidak merdeka untuk ia terus main berkelit. Tapi ia mesti
melawan. Maka ia membalas menyerang.
Kwee Ceng menangkis, dengan begitu kedua tangan bentrok. Auwyang Kongcu
licik, sambil menyerang ia terus memutar kepalannya, menyerang pula,
maka "Plak!" pipinya si anak muda kena terhajar. Serangan itu keras,
mata Kwee Ceng berkunang-kunang. Tapi ia mengerti bahaya, ia membuka
matanya. Justru itu datang serangan yang kedua kali. Kembali ia
menangkis.
Auwyang Kongcu menggunai tipu silat seperti tadi. Ia memutar balik
kepalannya, untuk mengulangi serangan susulan. Tapi kali ini Kwee Ceng
melenggaki kepalanya, tangan kanannya berbareng dipakai menolak ke
depan. Menurut aturan, sambil berlenggak tidak dapat orang pun
menyerang. Tapi Kwee Ceng adalah lain dari pada yang lain. Ia sudah
dapat mewariskan kepandaiannya Ciu Pek Tong, ia bisa berkelahi dengan
dua tangannya seperti tangan dua orang, kedua tangannya dapat digeraki
menurut rasa hatinya. Maka itu celakalah keponakannya Auwyang Hong, yang
tidak mengetahui kebiasaan orang itu. Tangan kanannya itu, yang dipakai
menyerang ke muka, kena ditangkis hebat, sedetik itu juga tangan itu
patah!
Dalam ilmu silat, Auwyang Kongcu tidak ada di bawahan Ma Giok, Ong Cie
It atau See Thong Thian atau lainnya lagi, maka itu dibandingkan sama
Kwee Ceng, ia menang segala-galanya, hanya kali ini ia kebentur sama
ilmu silat yang istimewa, yang asing untuknya, dari itu robohlah dia!
Selagi lawannya itu roboh, hingga Oey Yong terlepas dari pelukan tangan
kirinya, Kwee Ceng pun tidak menggubris, pemuda ini lebih memerlukan
berlompat kepada pacarnya, yang rebah tak bergeming. Sekarang ia
mengerti si nona kena tertotok, lantas saja ia menotok untuk
membebaskannya.
Syukur Auwyang Kongcu menggunai totokan yang umum, dengan begitu Kwee
Ceng dapat menyadarkan nona itu. "Lekas bantu suhu!" berteriak Oey Yong
yang sesadarnya dia.
Kwee Ceng sudah lantas berpaling kepada gurunya. Ia melihat gurunya itu
dan Auwyang Hong tengah berkelahi mati-matian. Suara beletak-beletok
dari bekerjanya api seperti menambah serunya pertarungan itu. Yang hebat
ialah terlihatnya badan perahu mulai karam. Maka itu juga Kwee Ceng
menyambar pengayuh, untuk memajukan perahunya datang dekat ke perahu
besar itu.
Di dalam pertempuran itu, suasana menjadi terbalik. Sudah lama sejak Ang
Cit Kong kerendam air, sekarang pakaiannya sudah kering semua, pakaian
itu gampang tersambar api dan terbakar, hawa api pun membikin tubuh
panas. Di pihak lain, tubuhnya Auwyang Hong basah kuyup, ia tidak takut
api, bahkan bekas nyebur, ia menjadi seperti mendapat tambahan tenaga
dan semangat. Tapi hebat si Pak Kay, Pengemis dari Utara itu, walaupun
ia terdesak, ia memaksakan diri untuk bertahan.
Mendadak sebatang tiang layar jatuh dengan apinya yang berkobar, jatuh
di tengah-tengah kedua jago itu. Mau atau tidak, mereka itu sama-sama
berlompat mundur, hingga selanjutnya mereka terpisahkan kayu
menyala-nyala itu. Auwyang Hong penasaran, dengan tongkat
ular-ularannya dia menyerang pula. Ang Cit Kong tidak diam saja, ia
mencabut tongkatnya dari pinggangnya, guna menangkis. Kalau tadi mereka
bertarung dengan tangan kosong, sekarang mereka menggunai genggaman.
Tentu sekali, sekarang ini mereka berkelahi semakin hebat.
Kwee Ceng terus mengayuh perahunya. Ia terus bergelisah untuk gurunya.
Hanya ketika ia menyaksikan pertempuran dua orang itu, perhatiannya jadi
tertarik, ia menghela napas saking kagumnya.
Di dalam kalangan persilatan ada kata-kata, "Belajar golok seratus hari,
belajar tombak seratus hari, belajar pedang selaksa hari". Itulah bukti
yang ilmu silat pedang paling sukar dipelajarinya. Demikian pada dua
puluh tahun yang lalu, dalam pertempuran di Hoa San terlihat nyata
sempurnanya tetapi pun sulitnya ilmu pedang, maka juga dua-dua Ang Cit
Kong dan Auwyang Hong masih menukar senjata mereka. Ang Cit Kong memakai
tongkatnya yang ia senantiasa bawa-bawa, ialah tongkat warisan Kay Pang
atau tanda ketua dari Partai Pengemis itu. Tongkat itu lebih panjang
satu kaki dari pada pedang sebatang dan sifatnya lemas, tetapi di tangan
Cit Kong, satu ahli luar, gwa-keh, tongkat itu menjadi tegar sekali.
Tongkat ular-ularan dari Auwyang Hong pun suatu senjata istimewa. Dan
See Tok menggunainya itu dengan campuran gerak-gerik toya dan tongkat.
Di ujung kepala tongkat ada ukiran kepala orang yang mulutnya terbuka
tertawa, yang kedua baris giginya terpentang dengan semua giginya tajam
serta gigi itu dipakaikan racun ular, maka di waktu dipakai bersilat,
kepala orang-orangan itu bergerak-gerak bagaikan hantu mengangga. Pula,
asal pesawat rahasianya dikasih bergerak, dari dalam mulut itu bakal
tersemburkan senjata rahasia yang beracun juga. Yang lebih lihay lagi
ialah itu dua ekor ular yang melilit di batang tongkat, yang bisa
memagut orang secara tiba-tiba….
Hebat pertempuran ini karena mereka sama-sama lihaynya. Tongkat Auwyang
Hong terlebih unggul, tetapi Cit Kong adalah kepala Pengemis di seluruh
Tionggoan dan sebagai kepala pengemis, dialah penakluk ular yang nomor
satu. Demikian tongkatnya bergerak-gerak, bukan cuma menyerang lawan
tetapi juga menghamtam kedua ular berbisa itu. Hanya dengan
kelicikannya, Auwyang Hong saban-saban dapat menolongi ularnya itu. Ia
menjadi sengit, diam-diam ia mengutuk pangcu dari Kay Pang itu, yang
kelihayannya mesti ia akui.
Kwee Ceng menonton dengan pikirannya bingung. Mau ia membantu gurunya
tetapi ia tidak mempunyakan kesanggupannya. Bukankah musuh itu sangat
lihay? Mana dapat ia menyelak di antara mereka berdua.
Tapi juga Auwyang Hong insyaf untuk bahaya yang mengancam.
Perlahan-lahan ia merasakan tubuhnya berhawa panas. Yang hebat hanya ia
merasakan badan perahu, yang tinggal sebelah itu, mulai tenggelam.
Penyerangan lawan dahsyat sekali, kalau ia tidak keluarkan
kepandaiannya, bisa-bisa ia terbinasa di tangan si pengemis tua ini.
Maka ia lantas menukar siasat. Tangan kanannya, yang memegang tongkat,
ia tarik, dan tangan kirinya dipakai menyapu.
Dengan tongkatnya Ang Cit Kong mengejar tongkat lawan, dengan tangan
kirinya ia menangkis sapuan tangan kiri lawannya itu. Atau mendadak
tangan kiri Auwyang Hong dikelitkan, diputar, untuk secepat kilat
dipakai menyerang pula ke arah pelipis kanan dari musuhnya!
See Tok menggunai tipu silat Kim Coa Kun atau Kuntauw Ular Emas. Itulah
siasat ilmu silatnya yang istimewa. Bahkan ia hendak mengandalkan ini
ilmu pada pertemuan yang kedua kali nanti di Hoa San, untuk menunduki
semua lawannya. Keistimewaannya ialah selagi dipakai menyerang,
tangannya dapat diputar balik, untuk dipakai menyerang pula secara
dahsyat di luar dugaan lawan. Begitulah, ia menggunai tipu silatnya ini
terhadap Pak Kay. Ia percaya si pengemis tidak kenal ilmu silatnya itu.
Memang, mulanya Ang Cit Kong tidak kenal Kim Coa Kun, ia pun melihatnya
secara kebetulan, yaitu di Poo-eng, Auwyang Kongcu menggunai itu
terhadap Kwee Ceng. Sebabnya Cit Kong tidak menghadiri pestanya Lee Seng
beramai itulah karena ia lagi memikir keras tipu silat untuk memecahkan
ilmu Kim Coa Kun itu. Maka, kali ini, melihat Auwyang Hong menggunai
tipu ilmu silat ini lagi, Cit Kong sudah siap sedia. Dengan menggunai
tipu silat Kim-na-ciu, menangkap tangan, ia mengulur tangannya untuk
menjambret.
Inilah Auwyang Hong tidak sangka, ia terkejut sambil berlompat mundur.
Justru itu ada jatuh segumpal api, yang menyambar kepadanya. Cit Kong
juga terkejut, dia terus melompat mundur. Sekarang dia dapat melihat
tegas, yang jatuh itu adalah kain layar yang termakan api.
Di dalam keadaan biasa, tidak nanti Auwyang Hong kena ketungkup, tetapi
barusan ia sedang kaget dan heran sebab ilmu silatnya kena dipecahkan
lawan, ia juga baru menaruh kaki, sedang jatuhnya layar secara
tiba-tiba, maka tidak berdayalah ia untuk menyingkir. Dalam kagetnya
itu, Auwyang Hong tidak menjadi gugup atau bingung. Ia lantas menggunai
tongkatnya, akan menyingkap kain layar itu. Lacur untuknya, tongkatnya
itu terhalang tiang layar, tidak dapat ia geraki. Baru setelah itu ia
menghela napas dan mengeluh: "Habis sudah, hari ini aku mesti pulang ke
langit…"
Sekonyong-konyong ia menampak sinar terang. Tadinya ia berada dalam
gelap gulita. Ketika ia awasi, ia melihat Ang Cit Kong tengah menggunai
tongkatnya menyontek menyingkap layar. Pak Kay adalah seorang yang
berperangai halus dan murah hati, walaupun ia sangat benci See Tok untuk
kelicikan dan keganasannya, ia masih tidak tega menonton orang mampus
terbakar. Maka tanpa banyak pikir, ia memberikan pertolongan itu.
Auwyang Hong telah terbakar pakaiannya, rambutnya dan alisnya. Ia
berlompat, terus ia menjatuhkan diri, bergulingan di lantai perahu.
Dengan caranya ini ia hendak membikin api padam. Selagi ia bergulingan
itu, mendadak perahu miring, lalu rantai jangkar jatuh menimpa ke
arahnya.
Cit Kong kaget hingga ia menjerit, terus ia berlompat akan menyambar
jangkar itu. Celaka untuknya, jangkar itu merah marong bekas terbakar,
ketika kena terpegang, kontan tangannya terbakar hangus dengan
mengeluarkan suara terbakarnya, tetapi ia masih sempat melemparkannya ke
laut. Hanya, selagi menolong ini dan hendak lompat ke laut, mendadak ia
merasakan punggungnya berikut pundaknya menjadi kaku. Untuk sesaat ia
melengak, tak tahu ia apa sebabnya itu. Atau tiba-tiba ia ingat suatu
apa, yang berkelebat di otaknya. Segera ia menoleh ke belakang. Di dalam
hatinya ia berkata: "Aku telah tolongi See Tok, mustahilkah ia
menggunai tongkat ularnya mencelakai aku?" Ia berpaling, justru tongkat
bambu berkelebat di depan matanya, kedua mulutnya ular penuh darah
hidup, kepalanya sedang digoyang-goyang. Bukan main murkanya Ang Cit
Kong, kedua tangannya segera melayang ke arah Auwyang Hong.
See Tok dapat berkelit, maka itu, sebatang tiang layar dibelakangnya
terhajar keras, menjadi patah dan roboh karenanya. Cit Kong tidak
berhenti sampai di situ, ia menyerang terus.
Auwyang Hong melihat orang seperti kalap, ia tidak mau melawan berkelahi, ia lebih banyak berkelit sambil berlompatan.
"Suhu! Suhu!" Kwee Ceng berteriak-teriak melihat kelakuan gurunya itu. Ia pun merayap naik ke perahu besar.
Adalah di saat itu, Ang Cit Kong terhuyung-huyung. Ia merasakan
kepalanya pusing, hingga ia tak ingat suatu apa. Auwyang Hong berlompat
maju, dengan sebelah tangannya ia menghajar punggung si raja pengemis.
Hebat serangannya ini. Dalam keadaanya seperti itu, Ang Cit Kong tidak
bisa mempertahankan dirinya. Ia lantas saja roboh sambil muntahkan darah
hidup.
Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong sangat kesohor kegagahannya, Auwyang Hong
ketahui dengan baik, hajarannya ini tidak dapat segera menghabiskan jiwa
orang, dan ia ketahui juga, kalau nanti Ang Cit Kong sembuh dari
lukanya ini, pembalasannya tak akan ada habisnya, maka itu, sudah
kepalang, ia mengambil sikap. "Berkasihan tidak menurunkan tangan,
menurunkan tangan tidak berkasihan". Ia lantas berlompat maju, dengan
kakinya ia menjejak punggung orang!
Kwee Ceng baru saja naik dari perahunya ketika ia menyaksikan keganasan
See Tok terhadap gurunya itu, tidak sempat ia maju lebih jauh untuk
menolongi, karena tidak ada jalan lain, ia menyerang dengan kedua
tangannya dengan pukulan "Sepasang naga mengambil air". Ia menyerang ke
punggung bagian pinggang.
Auwyang Hong tahu si bocah lihay, ia tidak memandang hebat. Ia geraki
tangan kiri untuk menangkis, dengan tangan kanannya ia membalas
menyerang. Di sebelah itu, kakinya terus menginjak Ang Cit Kong! Kwee
Ceng kaget hingga ia melupakan segala apa, ia berlompat menubruk Auwyang
Hong, batang leher siapa ia rangkul. Tapi justru ini, ia membuat
dirinya kosong, maka enak saja rusuknya kena dihajar si Bisa dari Barat.
Dalam keadaan rapat seperti ini, tidak leluasa Auwyang Hong menyerang,
tetapi dasar ia lihay, serangan itu hebat, hanya syukur untuk Kwee Ceng,
tenaga dalamnya telah mempunyakan dasar, maka ia tidak segera roboh,
dia cuma merasakan sakit sekali dan separuh tubuhnya hampir kaku. Karena
ini dia menjadi nekat, ia perkeras rangkulannya, untuk mencekik leher
orang.
Oleh karena perlawannan Kwee Ceng ini, tendangan Auwyang Hong kepada Ang
Cit Kong menjadi batal, sebab untuk membela diri, ia mesti segera
menarik pulang kakinya itu. Tapi ia tidak sanggup menggunakan kuntauw
Kodok atau Ular Emas, untuk itu mereka ada terlalu rapat, maka ia cuma
dapat menyerang muka orang. Kwee Ceng berkelit setiap kali ia dipukul.
Untuk menangkis, ia tidak mampu, lantaran kedua tangannya lagi digunakan
dengan sekuat tenaganya. Ia bisa berkelit di atas kepalanya - tidak
bisa ia dibawah - yaitu rusuknya. Maka lagi-lagi See Tok menyikut.
Kwee Ceng mesti berkelit ke kanan, dengan begitu ia terpaksa melepaskan
tangan kirinya, tetapi ia tidak berhenti berdaya, dengan lekas ia
menggunai ilmu gulat bangsa Mongolia. Tangannya itu ditelesupkan ke
antara iga dan lengan musuh, diulur untuk membangkol batang leher.
Auwyang Hong lihay tetapi sekarang ia pun merasakan sakit. Ia mengerti
si anak muda menggunai tipu silat apa, hanya celakanya untuk dia, ia
tidak mengerti caranya untuk menolongi diri, dari itu ia cuma bisa
menggunai kepalan tangannya meninju ke belakang.
Melihat ini Kwee Ceng menjadi sangat girang. Segera ia melepaskan
cekikannya, dengan tangan kanan itu, tangan ditelesupkan seperti tangan
kiri tadi - kalau tadi di sebelah kiri, sekarang di sebelah kanan.
Kembali ia membangko leher orang, berbareng dengan mana ia berseru
mengerahkan tenaganya. Dengan menggunai dua tangan berbareng, ia menjadi
berbahaya sekali. Ini dia yang dinamakan tipu "Menjirat mematahkan
gunung". Dalam halnya Auwyang Hong, dia terancam patah leher….
Cerdik sekali Auwyang Hong. Ia pun bertindak dengan sebat. Ia mengasih
turun kepalanya, untuk nelusup ke selangkangan si anak muda sembari
berbuat begitu ia juga meninju dengan kepalan kiri. Ia tidak mau
mengasih ketika orang sempat mengerahkan tenaganya. Sebelum ia kena
ditinju, Kwee Ceng telah menyambar tangan kiri si jago yang berbisa itu.
Ia tetap merapatkan tubuhnya kepada tubuh musuh, ia mencoba terus
menggunai ilmu gulatnya. Ia menginsyafi, satu kali mereka renggang, ia
bisa susah. Pula, dengan berkelahi rapat, ia dapat mencegah musuh
mencelaki gurunya.
Oey Yong bingung sekali. Di satu pihak ia tampak Ang Cit Kong rebah di
pinggir perahu, separuh tubuhnya berada di luar perahu, di lain pihak
terlihat Kwee Ceng lagi bergulat mati-matian terhadap Auwyang Hong,
keduanya bergulingan, tubuh mereka sudah tererap api. Karena ini dengan
pengayuh ia mengahajar Auwyang Kongcu.
Walaupun dia telah terluka tangan kirinya, pemuda she Auwyang ini tetap
kosen. Ia berkelit ke kiri, sambil berkelit, tangannya menyambar lengan
si nona. Oey Yong berkelit sambil menekan perahu, hingga perahu itu
menjadi miring. Auwyang Kongcu tidak bisa berenang, miringnya perahu
membikin tubuhnya terhuyung. Untuk menetapkan diri, ia batal menyerang
terus kepada si nona.
Menggunai saat perahu miring itu, Oey Yong terjun ke air. Ia pandai
berenang, ia tidak takut. Hanya dengan beberapa kali menggunakan
tangannya, tubuhnya sudah nyelosor ke perahu besar. Perahu itu tinggal
separuh, sekarang separuh tubuh itu sudah kelam separuhnya lagi. Dengan
gampang si nona naik ke parhu besar itu. Di situ ada sebuah tempuling,
ia sambar itu hendak ia membantu Kwee Ceng.
Auwyang Hong dan si anak muda masih berkutat bergulingan, bergantian di
bawah dan di atas, akan kemudian, karena ia terlebih lihay, Auwyang Hong
terus berada di sebelah atas. Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng
terus mengendalikan kedua tangan musuh, supaya musuh tidak dapat
menyerang kepadanya. Adalah di saat itu, Oey Yong berlompat maju sambil
menikam.
Hebat Auwyang Hong. Ia mendapat tahu ada serangan di belakangnya, ia
berkelit seraya mengerahkan tenaganya mengangkat tinggi tubuh Kwee Ceng,
memakai si anak muda sebagai tameng. Oey Yong mengubah serangannya,
kali ini kepala See Tok. Jago tua itu bisa berkelit, bahkan
terus-terusan ia mengegos ke kiri dan ke kanan, menyingkir dari ujung
tempuling.
Tiga kali Oey Yong menikam dengan sia-sia, yang keempat kalinya,
tempulingnya nancap di lantai perahu, hingga abunya mengepul naik
mengenai matanya, hingga ia kelilipan dan matanya mengeluarkan air. Ia
mengucak matanya itu. Justru itu ia merasakan kakinya sakit, tubuhnya
limbung, malah terus ia roboh. Sebab Auwyang Hong telah sapu kakinya
selagi ia tidak melihat.
Si nona roboh untuk terus menggulingkan diri, buat berlompat bangun.
Karena robohnya itu, rambutnya kena kesambar api. Ia maju pula, untuk
mengulangi serangannya. Atau mendadak Kwee Ceng berseru-seru: "Tolongi
suhu dulu! Tolongi suhu dulu!"
Oey Yong mengerti tugasnya, ia lantas lari kepada Ang Cit Kong, ia
tubruk tubuh orang, untuk dipeluk, setelah mana ia terjun ke air. Dengan
menyeburkan diri, ia lantas merasakan tubuhnya adem, tak sepanasnya
lagi seperti tadi. Ia berenang sambil menggendong gurunya, ia menuju ke
perahu kecil.
Auwyang Kongcu berdiri di atas perahu kecil itu, sebelah tangannya
mengangkat pengayuh. "Lepaskan si pengemis tua! Cuma kau sendiri yang
boleh naik!" demikian teriaknya dengan mengancam.
Sebelah tangan Oey Yong masih memegangi tempulingnya. "Baiklah, mari
kita bertempur di dalam air!" ia pun berseru, menjawab ancaman itu. Ia
menyambar pinggiran perahu, ia menggoyangnya.
Auwyang Kongcu kaget dan ketakutan melihat perahu tergoncang keras.
Kalau perahu itu terbalik dan karam, celakalah dia. "Jangan, jangan
goncang!" ia berteriak-teriak seraya keras memegangi perahu. "Nanti
perahu ini karam…"
Oey Yong tertawa. "Lekas tarik guruku naik!" ia menitah. "Hati-hati!
Jikalau kau main gila, aku nanti lelapkan kau di dalam air selama tiga
jam!" Auwyang Kongcu tidak berdaya, terpaksa ia memegang bebokongnya Ang
Cit Kong, untuk mengangkatnya naik ke perahu.
"Nah, beginilah baru anak manis!" berkata Oey Yong tertawa.
Sebenarnya Oey Yong hendak kembali ke perahu besar, untuk menolongi Kwee
Ceng, atau mendadak ia mendengar satu suara nyaring sekali, lalu
melihat gelombang besar dan tinggi medampar ke arahnya. Ia lantas
memutar tubuhnya, habis itu ia berbalik pula, rambutnya di depan mukanya
tersingkap ke belakang. Ia berdiri tercengang kapan ia sudah memandang
ke depan.
Gelombang barusan berputar seperti usar-usaran air, di situ tidak
terlihat lagi perahu besar yang tinggal separuh tadi, dengan begitu,
lenyap juga Kwee Ceng dan Auwyang Hong yang tengah bergulat itu. Oey
Yong baru sadar ketika air asin menyambar masuk ke dalam mulutnya.
Tadinya ia seperti lupa akan dirinya sebab hatinya mencelos mendapatkan
pemuda pujaannya lenyap, lenyap dibawa air. Ia lantas melihat ke
sekelilingnya. Di situ ia tidak nampak apa juga kecuali si perahu kecil.
Rupanya semuanya sudah ditelan sang laut……