Kalau saja hwesio Siauw-lim-pai itu tahu diri, pikirnya,
dan mengaku kalah, maka permusuhan itu akan dihabiskan dan dia dapat
menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencegah Gak Liat melakukan
pembunuhan.
Adapun Han Han yang menonton dari tempat sembunyinya, dia
tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan itu. Ingin ia membantu Ceng To
Hwesio menghadapi Gak Liat, akan tetapi dia tahu bahwa pertandingan itu
dilakukan secara adil dan bahkan kalau dia turun tangan, maka dia hanya akan
mengacaukan maksud baik Puteri Nirahai. Maka ia hanya menonton dan berkali-kali
menarik napas panjang, maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai yang nekat itu hanya
akan membunuh diri melawan Gak Liat yang amat lihai pukulan Hwi-yang Sin-ciangnya
itu.
Ceng To Hwesio benar-benar nekat. Dia sudah menerjang
maju lagi, kini sabuknya ia putar-putar dengan tangan kanan melakukan
totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan
tangan kirinya menggunakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) untuk
menyerang. Betapapun kebal tubuh lawan, kalau terkena cengkeramannya ini
agaknya akan celaka!
Gak Liat yang amat lihai dan banyak pengalamannya itu pun
maklum bahwa biarpun tingkatnya jauh lebih tinggi, namun dia pun tidak boleh
memandang rendah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal memiliki ilmu silat
yang kuat sekali. Dia cepat menggerakkan kedua tangan menangkis, dan ada
kalanya harus mengelak sambil menanti saat baik.
Ketika sabuk itu menyambar ke arah lehernya, secepat
kilat ia menangkap sabuk itu, membiarkan cengkeraman tangan kiri hwesio ke arah
leher itu mengenai pundaknya dengan jalan miringkan tubuh. Pada saat tangan
kiri Ceng To Hwesio mencengkeram pundaknya, tangan kanan Gak Liat menghantam
dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
Baju di pundak Gak Liat robek, akan tetapi tubuh Ceng To
Hwesio terlempar ke belakang dan terbanting roboh dalam keadaan tak bernyawa
lagi karena seluruh dada dan perutnya berubah menjadi hitam seperti terbakar!
‘Manusia iblis....!! Khu Cen Tiam dan Liem Sian, dua
orang di antara Kang-lam Sam-eng meloncat maju. Khu Cen Tiam menyerang dengan
cambuk besinya, sedangkan Liem Sian yang tinggi besar sudah menggunakan
sin-pan, yaitu toya kuningan yang amat berat.
‘Cring-tranggg....!! Dua orang murid Siauw-lim-pai ini
meloncat mundur karena kaget ketika senjata-senjata mereka ditangkis dan tangan
mereka tergetar. Yang menangkisnya adalah Puteri Nirahai, menggunakan pedang
payungnya. Puteri itu berdiri dengan keren dan berkata.
‘Ji-wi Lo-enghiong harap suka memenuhi janji. Losuhu
ini telah kalah dan mati dalam pertandingan adalah yang lumrah. Lebih baik mati
dalam pertandingan yang adil daripada berlaku curang yang hanya akan
merendahkan nama besar Siauw-lim-pai! Lebih baik ji-wi membawa jenazah Losuhu
ini dan tidak perlu memperbesar permusuhan karena sudah terang bahwa pihak
Siauw-lim-pai telah kalah dalam pertandingan yang syah dan adil.!
Dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu menghela napas,
menyimpan senjata mereka lalu mengangkat jenazah Ceng To Hwesio. Sebelum pergi,
Khu Cen Tiam berkata kepada Gak Liat, ‘Kang-thouw-kwi, urusan di antara kita
masih belum habis. Tunggulah kami melaporkan hal ini kepada ketua kami.!
‘Ha-ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi, lebih baik ketua
Siauw-lim-pai sendiri yang maju, barulah ramai! Aku akan selalu menanti,
ha-ha-ha!!
Akan tetapi, sebelum dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu
pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan nyaring,
‘Setan Botak, nyawamu sudah berada di tanganku dan
engkau masih bicara sombong!!
Dua orang di antara Kang-lam Sam-eng menengok ke arah
wanita berpakaian putih yang muncul tiba-tiba itu dan mereka berbareng berseru
keras penuh kekagetan dan keheranan,
Gak Liat memandang dengan mata terbelalak, dan sinar
matanya membayangkan rasa ngeri dan cemas. Han Han segera mengenal wanita itu
sebagai wanita yang dahulu menjadi orang ke tiga dari Kang-lam Sam-eng, yaitu
Bhok Khim yang dahulu diperkosa Gak Liat dan kemudian untuk kedua kalinya ia
melihat wanita itu membobol dinding kelenteng Siauw-lim-si, keluar dari kamar
penyiksa diri dan membawa seorang anak laki-laki. Jantung Han Han berdebar
keras dan perasaannya terguncang penuh ketegangan.
Orang-orang lain yang berada di situ, termasuk Nirahai,
terheran-heran dan tidak tahu siapa gerangan wanita yang wajahnya masih cantik
akan tetapi rambutnya riap-riapan pakaiannya kusut dan wajahnya membayangkan
kemarahan dan kelihatan beringas sekali itu.
‘Kau.... kau.... murid Siauw-lim-pai itu....!! Gak Liat
akhirnya teringat dan di luar kesadarannya ia berteriak.
‘Kakek keparat, manusia iblis Gak Liat. Benar, akulah
Bhok Khim dan aku datang untuk merenggut nyawamu!! Setelah berkata demikian,
Bhok Khim sudah menyerang dengan hebatnya, menubruk dan kedua tangannya
mencengkeram seperti seekor harimau mengamuk. Namun dari gerakannya itu
menyambar hawa yang amat kuat sehingga Gak Liat sendiri sampai menjadi kaget.
Cepat-cepat kakek ini mengelak dengan lompatan ke kiri,
namun dengan kecepatan yang amat luar biasa, Bhok Khim sudah mendorongkan kedua
tangannya ke kanan dan.... tubuh Gak Liat terjengkang lalu terguling sampai
lima kali. Dia meloncat kaget sekali, akan tetapi merasa lega bahwa dia tidak
terluka sungguhpun harus ia akui bahwa tenaga dorongan wanita ini hebat bukan
main!
Melihat pertandingan yang sedang dimulai ini, Puteri
Nirahai kini mengerti siapa adanya wanita itu, maka ia berseru nyaring,
‘Pertandingan antara dua orang yang mempunyai dendam pribadi, harap yang lain
tidak mencampuri!!
Seruan ini menenangkan suasana dan kini semua orang
menonton dua orang yang sudah mulai bertanding dengan hebatnya. Diam-diam Han
Han yang menyaksikan pertandingan itu terkejut dan kagum sekali. Gerakan Bhok
Khim amat aneh dan terutama sekali hawa yang menyambar keluar dari kedua
tangannya amat kuat, anginnya mengeluarkan suara bercuitan seperti pedang yang
digerakkan dengan tenaga sin-kang kuat.
Tahulah dia bahwa wanita itu di dalam kamar penyiksa diri
telah dapat mencuri ilmu yang diajarkan oleh kakek sakti Kian Ti Hosiang kepada
Siauw Lam Hwesio, pelayannya. Ilmu inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Kian Ti
Hosiang, akan tetapi menyaksikan betapa ilmu itu kini amat ganas dan liar, dia
dapat menduga bahwa wanita ini tentu mempelajarinya secura keliru sehingga
menyeleweng. Namun, melihat hebatnya gerakan Bhok Khim, dapat diduga betapa
hebatnya ilmu yang dicuri oleh wanita itu dari balik dinding kamar penyiksa
diri.
Berkali-kali Gak Liat roboh terguling akan tetapi karena
dia memiliki kekebalan luar biasa, maka pukulan hawa aneh itu hanya membuat ia
roboh bergulingan, sama sekali tidak melukainya. Melihat ini, Han Han merasa
sayang sekali dan ia dapat menduga bahwa wanita itu ternyata hanya mewarisi
‘kulit! dari ilmu itu, masih kehilangan inti sarinya, karena kalau sudah
mengenal ‘isinya!, agaknya ilmu yang hebat itu pasti tidak akan dapat
tertahan oleh Gak Liat.
Agaknya Gak Liat yang jauh lebih matang pengalamannya
dalam hal pertandingan ilmu silat, juga dapat mengerti akan hal itu. Tiba-tiba
ia tertawa bergelak dan kini ia mengimbangi serangan-serangan Bhok Khim yang
ganas dan liar itu dengan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang sambit
menggulingkan diri.
‘Celaka....!! Han Han berseru dalam hatinya. Ia memang
sudah tahu bahwa serangan Bhok Khim itu tidak akan ada artinya kalau lawannya
bergulingan seperti itu dan kini biarpun memukul sambil menggulingkan diri, Hwi-yang
Sin-ciang dari Setan Botak itu tidak berkurang kedahsyatannya!
Benar saja, setelah Gak Liat membalas serangan dengan
bergulingan dan memukul secara bertubi-tubi, Bhok Khim terkejut sekali dan
ketika ia agak terlambat mengelak, pinggangnya kena serempet pukulan panas itu
dan ia menjerit, roboh terguling dan pakaiannya robek di bagian pinggang!
‘Ha-ha-ha!! Gak Liat tertawa bergelak akan tetapi ia
menghentikan ketawanya dengan tiba-tiba karena ternyata Bhok Khim sudah
meloncat bangun kembali sambil menubruknya dan mengeluarkan suara melengking
nyaring seperti kuntilanak!
Gak Liat masih berusaha membuang diri ke samping sambil
memukul dengan telapak tangannya. Akan tetapi Bhok Khim sudah mendahuluinya,
menangkap kedua tangannya, pada pergelangan tangan dan gerakan tubrukannya yang
kuat itu membuat Gak Liat roboh terlentang, ditindih oleh Bhok Khim!
Kedua orang itu bergulingan, bergumul di atas rumput dan
karena bergumul dengan kacau, saling membetot bersitegang melepaskan dan
mempertahankan tangan yang dicengkeram, maka tubuh mereka saling tindih
sehingga kelihatan seperti kedua orang laki-laki dan wanita itu sedang bermain
asmara dan bersendau-gurau sambil bergumul.
Namun, semua yang hadir mengerti bahwa pertandingan itu
merupakan pertandingan mati-matian, siapa yang kalah tentu tewas, maka mereka
memandang dengan hati penuh ketegangan.
Memang hebat dan menegangkan pertandingan yang kini tidak
lagi memakai teori ilmu silat itu. Cengkeraman jari-jari tangan Bhok Khim pada
kedua pergelangan tangan Gak Liat benar-benar kuat, seolah-olah jari-jari
tangannya sudah terbenam ke dalam lengan kakek itu. Biarpun ia sudah
mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja kesepuluh jari tangan Bhok Khim itu
tidak dapat terlepas dari tangan Gak Liat, seolah-olah menjadi sepuluh ekor
lintah yang menghisap darahnya!
Gak Liat mulai menjadi gugup dan juga marah bukan main.
Kalau dia dikalahkan dengan ilmu silat yang lebih tinggi, dia tidak akan
penasaran. Akan tetapi dikalahkan dengan cara wanita berkelahi, mencengkeram
dan mencakar, benar-benar amat memalukan!
Lebih celaka lagi, kini wanita gila itu mulai berusaha
untuk menggigit tenggorokannya! Dalam keadaan seperti itu, Gak Liat menjadi
makin malu dan bingung. Ia kembali meronta dan menendangkan kakinya agar tubuh
yang menindihnya itu terlepas, akan tetapi kini Bhok Khim sudah mengaitkan
kedua kakinya yang panjang dan berkulit halus itu ke pinggang Gak Liat dan
tiba-tiba mukanya menunduk ke arah tenggorokan!
Dilihat sepintas lalu, seolah-olah wanita cantik yang
kini rambutnya terlepas dan awut-awutan menyembunyikan mukanya itu hendak
mencium Gak Liat!
Terdengar lengking yang serak seperti srigala disusul
teriakan Gak Liat karena tenggorokannya telah tergigit oleh Bhok Khim! Hal ini
hanya dapat terjadi karena gelora nafsu berahi yang timbul di dalam hati kakek
itu. Pergumulan itu, bau keringat dan rambut Bhok Khim, membangkitkan nafsu
berahi di hati Gak Liat sehingga ia sejenak terpesona dan kehilangan
kewaspadaan, maka terlambat ia menyadari bahwa wanita itu bukan hendak mencium
bibirnya seperti yang dikhayalkannya dalam buaian nafsu, melainkan menggigit
tenggorokannya. Rasa nyeri yang hebat membuat Gak Liat marah sekali. Biarpun
tangannya masih dicengkeram, namun ia mengerahkan tenaga memukul sehingga
tangan Bhok Khim yang mencengkeram terbawa dengan keras sekaii dan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang bersarang di dada wanita itu!
Pukulan ini hebat bukan main dan tokoh lain yang tinggi
kepandaiannya pun kiranya akan tewas seketika menerima pukulan maut ini. Akan
tetapi di dalam diri Bhok Khim terdapat hawa aneh yang timbul sebagai akibat
dari mempelajari ilmu tinggi yang keliru dan biarpun pukulan itu membuat
dadanya seperti remuk akan tetapi tidak membuat ia tewas dan dalam kenyeriannya
ia memperkuat gigitannya sampai gigi-giginya menembus kulit daging dan mengoyak
urat besar!
‘Desss!! Sekali lagi Gak Liat memukul sekuatnya dan
tubuh Bhok Khim terkulai dengan dada berubah hitam dan hangus, akan tetapi
tubuh Gak Liat sendiri berkelojotan dalam sekarat karena urat lehernya putus dan
lehernya koyak-koyak, matanya mendelik dan dari leher itu keluar suara
mengerikan seperti seekor babi disembelih, dibarengi darah yang mengucur
seperti pancuran air!
Setelah tubuh Gak Liat yang berkelojotan itu menegang
lalu terkulai, barulah semua orang menghela napas dengan muka pucat saking
tegang dan ngerinya menyaksikan pertandingan hebat yang mengakibatkan matinya
Bhok Khim dan Gak Liat. Akan tetapi, benar-benar hebat wanita itu. Terdengar ia
mengeluh dan tubuhnya bergerak perlahan, tangannya lemah menggapai ke arah Khu
Cen Tiam dan Liem Sian.
‘Suheng.... suheng.... harap suheng.... rawat....,
anakku....! terdengar suaranya lemah. Suara yang terdengar aneh, seperti suara
yang datangnya dari lubang kubur. Memang aneh sekali melihat tubuh yang sudah
menerima dua kali pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan yang sudah hangus menghitam
itu masih dapat mengeluarkan suara!
‘Kami bukan suhengmu!! Khu Cen Tiam membentak, jijik
dan marah. ‘Anakmu adalah anak haram, anak iblis, dan engkau sendiri sudah
menjadi iblis betina!! Memang Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang dahulunya amat
mencinta Bhok Khim, menjadi benci ketika mendengar betapa dalam kamar penyiksa
diri itu sumoi mereka telah menjadi gila dan melahirkan anak.
Kini menyaksikan sepak terjang Bhok Khim, mereka menjadi
makin benci karena biarpun Bhok Khim berhasil membunuh Gak Liat, akan tetapi
caranya berkelahi tadi amat memalukan, tidak patut dilakukan seorang murid
Siauw-lim-pai! Karena itu, mereka tidak mau mengakui Bhok Khim yang dianggap
mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai.
‘Kami bukan suhengmu dan engkau bukan murid
Siauw-lim-pai lagi!! Liem Sian ikut membentak.
Suheng.... tolong.... anak.... ku....! Bhok Khim masih
mencoba untuk mohon kepada bekas kedua suhengnya sambil mengerahkan seluruh
tenaga terakhir.
‘Ibils betina!! Khu Cen Tiam dan Liem Sian menggerakkan
senjata mereka hendak membunuh bekas sumoi itu karena kalau dibiarkan bicara
terus, mereka takut kalau ketahuan rahasianya dan akan menjadi bahan penghinaan
dan pencemoohan para tokoh kang-ouw terhadap Siauw-lim-pai.
‘Tring-tringgg....!! Cambuk besi dan toya kuningan itu
terlempar diikuti tubuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu terlempar sampai
empat meter dan terbanting ke atas tanah. Han Han telah berdiri di situ dengan
kening dikerutkan, memandang marah kepada dua orang itu.
‘Pesan seorang yang akan mati adalah pesan keramat,
apalagi kalian adalah bekas suhengnya, betapa kejinya hati kalian!! bentak Han
Han tanpa mempedulikan siapa pun dan ia lalu berlutut dekat tubuh Bhok Khim.
‘Toanio, biar siauwte yang akan menolong dan merawat
puteramu. Di mana dia?!
Bhok Khim membelalakkan matanya, memandang Han Han dan
agaknya ia mengenal pemuda ini. ‘Kau.... dua kali kau menolongku.... ahhh....
terima kasih.... anakku.... aku serahkan padamu.... kasihan dia.... tidak
berdosa.... dia.... dia.... aaahhhhh.... dia berada....!
‘Di mana? Di mana puteramu, Toanio....?! Han Han
bertanya, mengguncang pundak itu. Bhok Khim sudah meramkan matanya, bibirnya
berbisik lemah dan lirih sekali sehingga terpaksa Han Han mendekatkan
telinganya sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk menangkap kata-kata
terakhir yang hampir tidak terdengar itu.
Bagaikan hembusan napas yang lemah, suara itu memasuki
telinga Han Han bersama dengan napas terakhir Bhok Khim mengucapkan jawaban
yang hanya terdengar oleh telinga Han Han sendiri. Han Han bangkit berdiri dan
melihat betapa Khu Cen Tiam dan Liem Sian sudah mengangkat jenazah Ceng To
Hwesio dan pergi dari tempat itu tanpa mempedulikan mayat Bhok Khim.
Sementara itu, semua orang memandang pemuda buntung itu
penuh takjub, terutama mereka yang belum mengenalnya. Adapun mereka yang telah
mengenalnya memandang Han Han dengan hati gentar karena mereka itu sudah
melihat atau mendengar akan kesaktian pemuda buntung itu. Terutama sekali
Nirahai memandang Han Han dengan sinar mata tajam, menyembunyikan kekagumannya.
Pemuda itu agaknya telah lama berada di situ akan tetapi
tidak seorang pun, juga dia sendiri tidak, yang mengetahui kehadiran pemuda
itu. Padahal di situ terdapat banyak orang sakti. Hal ini saja sudah
membuktikan betapa hebatnya pemuda buntung yang menjadi kakak angkat Lulu yang
mengatakan bahwa hanya Han Han inilah yang patut menjadi jodohnya! Teringat
akan ini, tanpa dapat dicegah lagi merahlah kedua pipi Nirahai. Dara ini merasa
jengah sendiri dan untuk menutupi debar jantungnya, ia segera berkata dengan
suara dingin.
‘Setelah dibebaskan subo, apa keperluanmu datang ke
sini?!
Han Han mengangkat muka lalu berbalik dan memandang
puteri itu, kemudian menjawab tenang,
‘Engkau telah menawan adikku Lulu, maka aku datang
untuk bertanya ke mana perginya adikku itu.!
Kedua alis yang kecil panjang hitam itu berkerut, lalu
terdengar suara Nirahai jengkel,
‘Apa kau kira aku menyembunyikan Lulu?!
‘Aku tidak mengira atau menyangka apa-apa, hanya aku
bertanya ke mana perginya Lulu?! Han Han bertanya, tetap tenang biarpun semua
orang yang berada di situ memperhatikan dia bercakap-cakap dengan puteri itu.
Sinar matanya tajam dan tidak membayangkan sesuatu, sungguhpun kini setelah
berdiri dekat dan memandang wajah gadis itu dengan jelas, ia mendapat kenyataan
betapa wajah puteri itu benar-benar amat cantik seperti bidadari.
‘Aku tidak tahu ke mana perginya. Dia melarikan diri
dari tempat tahanan ketika murid-murid In-kok-san datang menyerbu. Dia benar
sumoiku, akan tetapi dia mengecewakan hatiku, maka aku tidak mau tahu lagi ke
mana dia pergi.!
Ucapan ini melemaskan hati Han Han, karena dia percaya
bahwa puteri itu memang benar tidak tahu. Akan tetapi ucapan yang mengandung
penyesalan itu pun menyinggung hati Ma-bin Lo-mo karena murid-murid In-kok-san
ada lah murid-muridnya!
Maka ia lalu berseru marah, ‘Murid-murid In-kok-san
adalah murid-muridku yang murtad! Manusia-manusia tidak kenal budi, lupa betapa
semenjak kecil dengan susah payah aku mengajar mereka. Terkutuk, akan kubunuh
mereka seorang demi seorang!!
Tidak ada yang berani mencampuri urusan Ma-bin Lo-mo
dengan murid-muridnya, akan tetapi Han Han menjadi panas hatinya. Ia tahu
betapa murid-murid In-kok-san itu masih memiliki kegagahan dan sifat-sifat yang
jauh lebih baik daripada watak Iblis Muka Kuda ini, maka ia menengok kepada
Ma-bin Lo-mo dan berkata.
‘Ma-bin Lo-mo, ucapanmu ini sebenarnya tak perlu kau
keluarkan di depan para orang gagah! Engkaulah yang terkutuk dan murtad,
setelah apa yang kau lakukan terhadap orang tua dan keluarga para murid
In-kok-san!!
Seketika wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. Sedikit pun ia
tidak pernah mengira bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah mengetahui
rahasianya. Ia hanya memandang dengan mata melotot tanpa dapat menjawab. Han
Han juga tidak mempedulikannya lagi lalu berkata, tidak ditujukan kepada
siapapun juga.
‘Suara yang mengajak damai adalah suara hati yang
murni, akan tetapi manusia sudah terlalu dibungkus kepalsuan, maka sayanglah
kalau suara damai itu menyembunyikan sesuatu yang jauh daripada mendatangkan kedamaian
di hati sesama manusia.! Setelah berkata demikian, sekali lagi ia mengerling ke
arah Puteri Nirahai lalu tubuhnya berkelebat, sekali mencelat lenyaplah
tubuhnya, membuat semua orang bengong memandang.
‘Pemuda Super Sakti!! terdengar orang-orang berbisik
kagum. Nirahai juga kagum sekali. Dia dapat melihat bayangan pemuda itu
meloncat-loncat cepat sekali seperti kilat menyambar dan dalam beberapa
loncatan saja sudah amat jauh dari tempat itu. Ia kagum dan juga penasaran
ingin sekali ia mencoba kepandaian pemuda buntung yang amat terkenal bahkan
kini dijuluki pemuda Super Sakti itu!
Pertemuan itu ditutup dengan janji para tokoh kang-ouw
dan wakil-wakil perkumpulan untuk mencuci tangan tidak mencampuri perang,
bahkan berjanji akan menarik semua murid dari Se-cuan. Puteri Nirahai menjadi
lega sekali dan menganggap bahwa tugas dan usahanya berhasil baik sekali.
Akan tetapi dalam perjalanan meninggalkan tempat itu,
wajah Han Han tidak pernah lenyap dari depan matanya. Ia kagum, dan juga
penasaran, belum puas hatinya kalau betum dapat berhadapan sebagai lawan dengan
pemuda buntung itu. Akan tetapi, berkali-kali Nirahai mencela hatinya sendiri
yang tak pernah dapat melupakan Han Han.
Dia masih mempunyai banyak kewajiban yang harus
diseleseikan, harus cepat pulang ke kota raja memberi laporan kemudian ke
perbatasan Se-cuan untuk memimpin sendiri pasukan yang mengepung daerah
pemberontak itu.
Harus diakui kecerdikan Puteri Nirahai dan para pimpinan
tinggi Kerajaan Mancu yang selain pandai berperang, dapat memimpin
pasukan-pasukan yang berani mati, tahan uji dan berdisiplin tunduk terhadap
pimpinan, juga pandai pula bersiasat.
Siasat yang dilakukannya di puncak Tai-hang-san,
mengundang para tokoh kang-ouw termasuk para pimpinan partai-partai persilatan,
mengajak damai dengan mengemukakan pandangan-pandangan dan filsafat-filsafat
yang mengesankan, benar-benar telah berhasil baik sekali. Berbondong-bondong
orang-orang kang-ouw yang gagah perkasa dan para murid persilatan besar yang
tadinya dengan mati-matian membantu perjuangan Se-cuan dalam menghadapi barisan
Mancu, mengundurkan diri dan keluar dari Se-cuan memenuhi perintah ketua-ketua
dan guru-guru mereka.
Sudah tentu saja hal ini membuat Se-cuan menjadi lemah
sungguhpun Bu Sam Kwi yang berambisi besar itu tetap mempertahankan
kedudukannya dan mengerahkan seluruh pasukan dan penduduk untuk mempertahankan
Se-cuan dari tangan pemerintah Mancu.
Pengunduran para orang gagah dari Se-cuan itu bukan tidak
diperhatikan oleh pihak pimpinan pasukan Mancu yang tak pernah meninggalkan
perbatasan.
Sebaliknya dari itu malah, mereka ini mempergunakan kesempatan
setelah orang-orang gagah itu keluar, lalu pasukan-pasukan terdepan mengadakan
serbuan-serbuan kecil untuk mengacau pertahanan musuh. Yang paling aktip dalam
pengecauan-pengacauan di perbatasan ini adalah Ouwyang-kongcu sendiri, putera
Pangeran Ouwyang Cin Kok yang memimpin pasukan istimewa untuk menyerbu
daerah-daerah yang kini tidak lagi diperkuat oleh orang-orang kang-ouw,
melakukan pengrusakan, pembakaran secara kejam, membiarkan pasukannya membunuh,
merampok, memperkosa dan membakari rumah.
Memang hal ini disengaja untuk mengacaukan pertahanan
musuh dan di samping itu, Ouwyang Seng mendapat kesempatan pula untuk
melampiaskan nafsu-nafsunya dan memilih wanita-wanita tercantik untuk dirinya
sendiri.
Apalagi pada waktu Puteri Nirahai meninggalkan daerah
perbatasan untuk kembali ke kota raja dan menghadiri pertemuan di Tai-hang-san,
Ouwyang Seng seperti seekor kuda tanpa kendali. Kalau ada puteri itu yang ia
harapkan untuk menjadi jodohnya, harapan yang bukan saja terdorong oleh
kecantikan dara itu yang membuat ia tergila-gila, akan tetapi juga sebagai
mantu kaisar tentu saja derajatnya menjadi naik dan ia akan mendapat kedudukan
yang tinggi, pemuda bangsawan itu menjadi ‘alim! dan bersikap seperti seorang
pemuda yang baik.
Han Han yang meninggalkan puncak In-kok-san, melakukan
perjalanan cepat sekali ke Se-cuan. Ketika ia meninggalkan puncak, di tengah
jalan di kaki gunung itu, ia melihat dua orang murid Siauw-lim-pai, Khu Cen
Tiam dan Liem Sian, membakar jenazah Ceng To Hwesio untuk diperabukan dan
dibawa abunya ke Siauw-lim-si, dan ketika ia mengintai, ia mendengar percakapan
antara dua orang tokoh Siauw-lim-pai ini.
Kiranya kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini tidak mau
menerima uluran tangan Puteri Nirahai yang mengajak damai. Mereka berbantahan.
Liem Sian mengatakan bahwa mendiang Ceng To Hwesio sudah menerima perdamaian
itu, akan tetapi Khu Cen Tiam membantah, mengatakan bahwa kini hwesio itu telah
tewas sehingga perjanjian itu juga dapat dibatalkan. Akhirnya mereka berdua
bersepakat untuk pergi ke Se-cuan dan membakar hati para saudara mereka yang
berjuang di sana untuk lebih memperhebat perlawanan mereka!
Mendengar ini, tentu saja hati Han Han menjadi khawatir
sekali. Terutama ia ingat akan Lauw Sin Lian, puteri mendiang Lauw-pangcu yang telah
menjadi murid Siauw-lim Chit-kiam sehingga gadis itu pun kini menjadi tokoh
Siauw-lim-pai dan kalau Sin Lian terkena hasutan kedua orang yang mendendam
ini, berarti gadis itu akan terus berjuang melawan pemerintah Mancu.
Han Han bukan hanya mengkhawatirkan keselamatan bekas
sucinya itu, akan tetapi terutama sekali ia menjaga jangan sampai tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai, terutama Sin Lian, mengingkari atau melanggar janji yang telah
diucapkan Ceng To Hwesio, seorang tokoh besar Siauw-lim-pai. Karena inilah dia
bergegas mendahului dua orang Siauw-lim-pai itu menuju ke Se-cuan untuk memberi
tahu kepada Sin Lian akan perjanjian yang diadakan di puncak In-kok-san.
Han Han sama sekali tidak tahu bahwa kedatangannya di
perbatasan Se-cuan itu telah diketahui oleh Ouwyang Seng yang sudah mengatur
rencana bersama Toat-beng Cui-sian-li dan Ma-bin Lo-mo. Iblis Muka Kuda ini
amat khawatir mendapat kenyataan bahwa Han Han telah mengetahui rahasianya yang
busuk terhadap para muridnya, maka ia hendak mengerahkan segala siasat dan
kepandaiannya untuk membunuh pemuda buntung itu. Juga Toat-beng Ciu-sian-li
yang melihat betapa kini Han Han menjadi seorang yang berilmu tinggi, khawatir
kalau-kalau pemuda itu kelak akan mencelakakannya sebagai balas dendam karena
dialah yang menyebabkan pemuda itu kehilangan sebelah kakinya.
Adalah wajar kalau nenek ini pun ingin sekali membunuh
Han Han agar hatinya tidak akan gelisah lagi. Ouwyang Seng memang membenci Han
Han, maka tentu saja dia menjadi gembira untuk bersekutu dengan dua orang lihai
ini dan menjebak Han Han. Hanya ia merasa sayang sekali mendengar akan kematian
gurunya, karena kalau ada bantuan Gak Liat, tentu kedudukan mereka lebih kuat
lagi.
Ketika sampai di perbatasan, segera Han Han mendengar
dari mulut para pengungsi akan keganasan pasukan yang dipimpin Ouwyang-kongcu.
Mendengar ini, Han Han menjadi marah. Semenjak kecil ia sudah mengenal Ouwyang
Seng sebagai seorang yang sombong dan berwatak jahat. Kini mendengar akan
sepak-terjang putera pangeran yang penuh kekejaman, membakari dusun-dusun dan
melakukan hal-hal di luar prikemanusiaan, Han Han tak dapat menahan kesabaran
hatinya lagi. Dia tidak ingin melibatkan diri dengan perang, akan tetapi apa
yang dilakukan Ouwyang Seng sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang,
melainkan pengumbaran hawa nafsu jahat.
Kalau Ouwyang Seng dan pasukannya menggempur dan
menghancurkan pasukan Se-cuan, dia tidak akan peduli, itu adalah perang
namanya. Akan tetapi membakari dusun, membunuhi orang yang tidak melakukan
perlawanan, memperkosa wanita yang lemah, apakah ini dapat dikatakan siasat
perang? Tidak, ia harus mencari dan mengenyahkan pemuda bangsawan yang jahat
itu, karena kalau tidak segera dibasmi orang seperti itu tentu keganasan dan
kejahatannya akan makin merajalela dan menimbulkan banyak korban manusia yang
tidak berdosa.
Pagi-pagi sekali Han Han telah tiba di perkemahan pasukan
yang dipimpin Ouwyang Seng di lereng gunung. Ia langsung memasuki daerah yang
dikuasai pasukan ini dan merasa heran melihat keadaan yang sunyi, tidak nampak
penjagaan ketat. Bahkan ada beberapa orang perajurit Mancu yang rebah
malang-melintang tidur mendengkur dalam keadaan mabuk!
Pasukan macam begini disohorkan sebagai pasukan yang
istimewa? Diam-diam Han Han memandang rendah, akan tetapi tetap bersikap
waspada karena ia telah mengenal siasat-siasat yang amat berbahaya dari para
pasukan Mancu ini. Berindap-indap ia memasuki daerah itu dan meneliti perkemahan.
Di dalam beberapa buah kemah ia mendengar isak tangis wanita diseling kekeh
ketawanya laki-laki mabuk. Tentu para perwira pasukan sedang melakukan
perbuatan biadab terhadap wanita-wanita tawanan, pikirnya. Akan tetapi tujuan
Han Han mencari Ouwyang Seng dan ia menduga bahwa tentu pemuda bangsawan itu
berada di dalam kemah yang paling besar.
Akhirnya, ia melihat sebuah kemah yang besar berwarna
kuning, berada di tengah-tengah perkemahan dan dengan gerakan ringan sekali Han
Han bergerak mendekat. Tentu kemah besar itulah yang ditempati Ouwyang Seng,
pikirnya. Sama sekali Han Han tidak tahu bahwa keadaan yang sunyi itu, adanya
penjaga-penjaga mabuk, memang disengaja oleh Ouwyang Seng, Ma-bin Lo-mo dan
Toat-beng Ciu-sian-li yang berusaha menjebaknya.
Pasukan disingkirkan, memasang barisan pendam mengurung
perkemahan, dan kini tiga pasang mata mengikuti gerak-gerik Han Han dari tempat
persembunyian di belakang kemah besar. Keadaan Han Han seperti seekor harimau
yang makin lama makin mendekati jebakan, diintai oleh pemburu-pemburu dengan
hati berdebar tegang.
Sesosok bayangan berkelebat di depan kemah besar. Biarpun
cuaca seperti itu masih belum terang benar, akan tetapi mata Han Han terbelalak
lebar ketika ia melihat bayangan itu. Lulu! Tak salah lagi! Bayangan itu
berdiri depan kemah membelakanginya, akan tetapi bentuk tubuh, bentuk tata
rambut, dan dagu meruncing yang tampak sedikit dari samping, cara berpakaian,
jelas bahwa gadis itu tentu adiknya!
Akan tetapi hanya sebentar saja ia dapat memandang penuh
selidik dan dengan hati berdebar girang karena gadis itu kini telah melompat ke
dalam kemah melalui pintu kemah yang diterobosnya. Ah, betapa lancangnya Lulu,
pikir Han Han kaget. Dan tiba-tiba terdengar jerit melengking dari dalam kemah
itu, jerit Lulu yang menggetarkan jantungnya. Seperti kilat menyambar, Han Han
sudah meloncat dari tempat persembunyiannya dan dengan tiga kali
berjungkir-balik di udara tubuhnya langsung menukik ke bawah dan menerobos
memasuki perkemahan yang terkoyak oleh putaran tongkatnya!
Dari atas tubuh Han Han menyambar ke bawah, matanya tajam
mencari dan siap untuk langsung menolong Lulu, akan tetapi di sebelah dalam
kemah itu kosong! Ketika kaki tunggalnya turun ke atas lantai, tiba-tiba lantai
itu amblas ke bawah membuat tubuhnya ikut terjeblos ke bawah dengan cepat
sekali! Han Han terkejut, maklum bahwa dia memasuki perangkap yang memang
sengaja diatur dan dipasang lawan. Cepat ia mengerahkan tenaga pada kaki
tunggal dan tongkatnya, tubuhnya siap mencelat ke atas. Akan tetapi pada saat
itu, sebongkah batu besar sekali telah jatuh menimpa ke dalam lubang jebakan,
dengan kekuatan ribuan kati menimpa ke arah tubuhnya!
‘Celaka....!! Han Han maklum bahwa untuk meloncat ke
luar tidak mungkin lagi, maka ia sudah siap dengan kedua tangannya untuk
menerima batu besar yang menimpanya. Pada saat itu, ia masih dapat melihat
berkelebatnya dua bayangan di luar lubang, hanya sekilas pandang saja ia
mengenal mereka sebagai Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng! Bahkan terdengar suara
jeritan Sin Lian.
‘Han Han....! Awas....!! Akan tetapi bayangan itu
segera lenyap tertutup batu yang sudah menimpanya, batu yang besarnya persis
memenuhi lubang di mana ia terjeblos.
Sambil mengerahkan sin-kang kepada sepasang lengannya,
Han Han mengangkat kedua tangan ke atas setelah menggigit tongkatnya, dengan
telapak tangan menghadap ke atas, lalu menerima batu yang berat itu, membiarkan
tubuhnya agak merendah lalu mengayun tubuh dan kedua lengan ke atas. Ia harus
mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ada ruang lagi untuk mengayun batu itu
agar daya luncurnya tersalur kembali ke atas.
Dadanya terasa sesak dan tahulah ia bahwa tak mungkin ia
bertahan terus dalam keadaan seperti itu, menyangga batu yang luar biasa
beratnya. Kalau kedua lengannya dan sebuah kakinya tidak kuat, ia akan
terhimpit dan tubuhnya akan hancur tertimpa batu. Bahaya yang mengancam
keselamatannya sendiri tidaklah begitu menyiksa baginya kalau dibandingkan
kekhawatirannya akan keselamatan Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng di atas sana.
Bukankah tadi terdengar Lulu menjerit begitu mengerikan? Dan Sin Lian bersama
Hian Ceng tentu akan terancam musuh yang keji dan kuat. Ia narus dapat cepat
menyelamatkan diri sendiri terlebih dulu, kalau tidak, tentu tiga orang gadis
itu terancam bahaya hebat.
Mulailah Han Han mencurahkan pikiran kepada diri sendiri.
Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari tindihan batu berat itu? Ia berusaha
mendorong batu ke pinggir dan merasa betapa dinding sebelah kiri hanya tanah
biasa, namun tentu saja tidak mungkin mendorong batu sebesar itu ke dalam tanah
padat!
Tenaganya mulai berkurang dan dadanya terasa makin sesak.
Jalan satu-satunya adalah menghindarkan diri tertimpa batu dan membiarkan batu
itu turun ke dasar lubang. Akan tetapi dia harus dapat mencari ruangan untuk
tubuhnya agar tidak terhimpit.
Setelah berpikir dan memperhitungkan masak-masak, Han Han
hanya tahu akan sebuah cara yang harus ditempuhnya. Kalau berhasil, ada harapan
selamat, kalau gagal, paling-paling hanya tewas. Akan tetapi kalau dia tewas,
bagaimana dengan Lulu, Sin Lian, dan Hian Ceng? Tidak! Dia tidak boleh tewas
dalam saat seperti itu karena dia dibutuhkan tiga orang gadis yang terancam
bahaya.
Han Han mengerahkan seluruh tenaga, mendorong batu dari
bawah sehingga batu itu mepet di dinding, kemudian ia menggeser kedua tangannya
yang menyangga itu ke pinggir batu sampai tubuhnya mengenai dinding. Jauh lebih
berat mendorong batu mepet pada dinding dan menahannya agar tidak jatuh
daripada ketika menyangga tadi.
Sampai berbunyi tulang-tulang tubuhnya dan dia hampir
tidak kuat lagi. Han Han memejamkan mata, memanggil semua daya kemauannya,
mengumpulkan seluruh tenaga sin-kangnya, kemudian ia menggunakan tubuh
belakangnya mendesak dinding sambil tetap mempertahankan batu agar tidak
menimpanya. Tanah dinding itu mulai melesak dan tubuhnya mulai amblas di
dinding. Sekali lagi ia mendorong sekuat tenaga dan kini tubuhnya sudah sama
sekali melesak ke dalam tanah dinding dan batu itu meluncur jatuh ke dasar
lubang!
Tubuh pemuda itu telah terhindar dari bahaya terhimpit,
akan tetapi ia masih belum bebas dari ancaman maut karena kini tubuhnya melesak
ke dinding tanah dan karena batu itu lebih tinggi dari tubuhnya, dia tertutup
dan tidak ada hawa udara untuk bernapas!
Selain ini, juga Han Han muntahkan darah segar akibat
pengerahan tenaga yang berlebihan ketika ia menggunakan tenaga untuk memaksa
tubuhnya memasuki dinding tanah tadi. Pemuda ini cepat menggerakkan tongkatnya
menggali ke atas, terpaksa menahan napasnya dan hal ini membutuhkan pengerah
sin-kang sehingga dari kedua ujung bibirnya menetes-netes darah segar!
Betapapun juga, Han Han yang ingin cepat-cepat bebas
untuk menolong Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng, tidak mau menyerah kalah dan
berusaha terus menggali tanah di atasnya, dekat batu. Ia menggali sambil
menundukkan muka menahan napas karena kalau ia menengadah, tentu matanya akan
terserang tanah yang berguguran dihujam tongkatnya.
Mengapa Lauw Sin Lian dan Tan Hian Ceng dapat berada di
perkemahan itu? Seperti diketahui, dua orang dara perkasa ini adalah dua orang
pejuang yang gigih menentang pemerintah Mancu semenjak dahulu dan mereka
menggabungkan diri dengan kekuatan penentang penjajah yang berpusat di Se-cuan.
Setelah penyerbuan tentara Mancu berkurang, bahkan hampir
terhenti sama sekali, Hian Ceng yang tadinya berjuang di perbatasan timur dan
selatan, mengunjungi Cung-king dan bertemu dengan Sin Lian untuk menanyakan
perihal Han Han yang selalu menjadi kenangan. Kedua orang gadis ini
bercakap-cakap, saling menceritakan pengalamannya, akan tetapi tentu saja
menyembunyikan perasaan hati masing-masing terhadap Han Han.
Ketika Hian Ceng bertanya tentang Han Han, dengan hati
sedih Sin Lian menceritakan bahwa Han Han telah mengundurkan diri dan pergi
dari Se-cuan untuk mencari adiknya. Hian Ceng juga menyatakan penyesalannya
betapa usahanya mencari Lulu sia-sia, dan diam-diam Hian Ceng memaki-maki Lulu
yang dianggapnya seorang adik yang tak tahu diri dan hanya menyusahkan saja.
Akan tetapi karena ia kini tahu bahwa Lulu adik angkat Sin Lian, tentu saja dia
tidak berani mengeluarkan makiannya dengan kata-kata.
Seperti para pejuang suka rela yang lain, yang datang
jauh-jauh ke Se-cuan untuk membantu perjuangan, berperang menentang pasukan
Mancu kedua orang perkasa ini pun menjadi kesal hatinya ketika pihak musuh
menghentikan serbuan dan jarang sekali terjadi pertempuran. Mercka menganggur
dan kesal, maka seperti para pejuang lainnya, mereka juga lalu pergi menjelajah
seluruh Se-cuan, dan dengan Hian Ceng sebagai petunjuk jalan, Sin Lian terhibur
hatinya melakukan perjalanan di sepanjang perbatasan Se-cuan dengan
propinsi-propinsi lain yang telah dikuasai musuh. Ketika sedang melakukan
perjalanan inilah kedua orang dara perkasa itu mendengar tentang sepak-terjang
Ouwyang Seng bersama pasukan istimewanya. Sin Lian menjadi marah sekali
mendengar penuturan para pengungsi yang menceritakan segala kekejaman Ouwyang
Seng dan pasukannya.
Si bedebah! Semenjak kecil dia memang sudah jahat! Orang
macam itu harus dienyahkan dari muka bumi!! Sin Lian berkata sambil mengepal
tinjunya.
‘Siapakah panglima musuh kejam yang bernama Ouwyang
Seng itu, Enci Lian?! tanya Hian Ceng heran melihat sikap Sin Lian yang
seolah-olah sudah mengenal panglima yang dikabarkan kejam oleh para pengungsi
itu.
‘Dia adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok, murid
Setan Botak Gak Liat dan dia....!
Wajah Hian Ceng berubah merah sekali, matanya
bersinar-sinar. ‘Aihhh! Kiranya si keparat laknat itukah? Mari kita berangkat
mencarinya dan aku ingin menyayat-nyayat tubuhnya dengan pedangku, Enci Lian!!
Kini Sin Lian yang memandang terbelalak. ‘Mengapa
engkau membenci dia pula, Adik Ceng?!
Hian Ceng cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan,
‘Kalau tidak ada Han-twako yang menolongku, tentu aku sudah menjadi korban
kebiadaban Kongcu hidung babi itu!!
‘Lho, kaumaksudkan hidung belang, bukan?!
‘Hidung belang saja masih mending, dia hidung babi dan
belang pula!! Hian Ceng bersungut-sungut lalu menceritakan pengalamannya ketika
ia ditawan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan, betapa ia hampir saja diperkosa oleh
Ouwyang Seng kalau saja tidak muncul Han Han yang menolongnya.
Demikianlah setelah kedua orang gadis itu membicarakan
Ouwyang Seng dengan hati penuh kebencian mereka berdua lalu menyelidiki
perkemahan pasukan istimewa yang dipimpin Ouwyang Seng. Kebetulan sekali bahwa
pada malam hari mereka menyelundup ke daerah perkemahan, Ouwyang Seng bersama
dua orang pembantunya yang lihai, yaitu Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo,
telah mengatur jebakan bagi Han Han sehingga daerah itu sengaja tidak dijaga
ketat dan dengan kepandaian mereka, dua orang gadis itu berhasil menyelinap
masuk dan melakukan pengintaian di dekat kamar besar yang berwarna kuning. Dari
tempat persembunyian mereka, mereka melihat kesibukan Ouwyang Seng dan dua
orang datuk kaum sesat sedang mengatur jebakan di dalam kemah.
Melihat Ouwyang Seng, naik darah Hian Ceng dan gadis ini
sudah ingin menyerbu dengan nekat. Akan tetapi Sin Lian memegang lengannya dan
memberi isyarat supaya temannya itu tidak terburu nafsu.
‘Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo itu lihai
sekali,! bisiknya, ‘Tak mungkin kita dapat mengalahkan mereka. Kita menanti
kesempatan baik....!
Akan tetapi, sampai malam berganti pagi, pemuda bangsawan
yang mereka incar itu selalu bersama nenek dan kakek sakti itu sehingga mereka
berdua tidak berani turun tangan. Akan tetapi Sin Lian curiga menyaksikan
gerak-gerik mereka, bahkan menjadi heran melihat munculnya seorang gadis yang
gerak-geriknya gesit akan tetapi yang melihat pakaian dan tata rambutnya
mengingatkan ia akan adik angkatnya, Lulu. Gadis itu jelas bukan Lulu, akan
tetapi mengapa gadis itu seolah-olah menjadi saudara kembar Lulu dengan
pakaian, tata rambut, dan gerak-gerik yang serupa benar? Dalam keheranannya,
Sin Lian menjadi makin curiga dan mengambil keputusan untuk menanti dan
mengintai terus.
Dia dan Hian Ceng sama sekali tidak tahu bahwa pagi hari
itu Han Han telah muncul pula dalam penyelidikannya, mengintai tak jauh dari
semak-semak di mana mereka bersembunyi. Mereka hanya melihat gadis yang seperti
Lulu itu tiba-tiba tampak berkelebat di depan kemah, lalu meloncat ke dalam
kemah disusul suara jeritan nyaring. Peristiwa ini masih membuat mereka berdua
terheran-heran, akan tetapi ketika mereka melihat Han Han meloncat dan
berjungkir-balik di udara, kemudian menyerbu ke dalam kemah barulah mereka
terkejut dan Sin Lian yang cerdik lantas dapat menduga bahwa mereka semua itu
telah mengatur jebakan untuk Han Han.
‘Han-twako....!! Hian Ceng berbisik ketika ia mengenal
tubuh yang meloncat tinggi itu.
‘Celaka, dia terjebak. Mari....!! Sin Lian sudah
mendahului Hian Ceng dan kedua orang gadis itu cepat meloncat dan lari ke tenda
kuning, menguakkan pintu tenda. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka
bahwa kemah iru kosong dan kini terdapat lubang besar. Han Han berada di dasar
lubang dan sebongkah batu besar menimpa turun! Mereka hanya dapat berteriak tak
mampu menolong dan dalam beberapa detik saja batu itu telah menutupi lubang dan
mereka tidak tahu apa yang terjadi dengar Han Han.
‘Ha-ha-ha-ha! Memasang perangkap untuk seekor harimau
ganas, yang didapat bukan hanya harimau, akan tetapi juga dua ekor domba yang
berdaging lunak. Ini namanya untung besar, ha-ha-ha!!
Sin Lian dan Hian Ceng mencebut pedang dan meloncat
keluar dari dalam kemah itu. Kiranya Ouwyang Seng yang mengejek mereka telah
berdiri di situ bersama Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo! Hian Ceng
adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa. Biarpun ia maklum
bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat hebat, namun melihat pemuda bangsawan yang
dibencinva ini, dia sudah tidak dapat menahan sabar lagi dan sambil memaki ia
sudah menerjang dengan tusukan pedangnya.
Ouwyang Seng tertawa mengejek. Betapapun cepat gerakan
Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil tertawa-tawa mengejek.
Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara bertubi-tubi yang
selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan mengejar terus ketika
Ouwyang Seng sambil melompat memancing gadis itu menjauhi kawannya.
Adapun Sin Lian yang tahu bahwa kakek dan nenek yang
berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai, membiarkan Hian Ceng
menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan
pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang hebat, menyerang
Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia dapat menghindarkan
serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan bajunya yang mengandung
tenaga sin-kang amat kuat membuat pedang yang menyerang itu menyeleweng. Namun
Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjutkan penyerangannya dengan
gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari Chit-seng-sin-kiam sehingga
pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan bunyi
berdesing-desing.
Hemmm, kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!! Ma-bin Lo-mo
memuji sambil mengelak, dan dia tidak ingin cepat-cepat merobohkan gadis ini
karena dia tertarik oleh pedang itu, hendak menyaksikannya lebih dulu.
‘Hi-hik, ilmu pedang yang dasarnya adalah Ilmu Silat
Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu,
ciptaan Siauw-lim Chit-kiam! Si Setan Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu
pedang ini kepadaku!! kata Toat-beng Ciu-sian-li sambil minum arak dari
gucinya, matanya menyipit memperhatikan gerakan ilmu pedang yang dimainkan Sin
Lian.
Sin Liat menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia hanya
dapat memperhebat serangannya secara nekat. Kecemasannya memuncak ketika ia
mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling matanya ia melihat Hian Ceng
sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua pergelangan tangannya dan
dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya memasuki sebuah kemah sambil
tertawa-tawa.
Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan mulutnya
memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas. Kemarahan membuat Sin Lian
makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat dia
menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau
menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira!
Betapapun Hian Ceng meronta-ronta dan memaki-maki, dia
tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang tingkat kepandaiannya jauh lebih
tinggi dari padanya. Akhirnya dara yang biasanya riang gembira ini tertotok dan
hanya dapat mengeluh dan menangisi nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu
terjadilah perkosaan yang keji, perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat
dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah
bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasainya!
‘Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau terlepas dari tanganku,
sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku. Siapa yang akan
menolongmu, manis?! Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek sambil tertawa
memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah dadanya, air
matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.
‘Ha-ha, aku takkan membunuhmu, manis. Sayang kalau
dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku hendak melihat
temanmu itu dan....!
‘Ouwyang Seng manusia binatang!! Tiba-tiba Ouwyang Seng
terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han Han di depannya! Bagaimanakah
pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit batu besar itu tiba-tiba bisa
muncul di depannya? Setannyakah ini?
Tentu saja bukan! Yang muncul itu adalah Han Han. Setelah
dengan susah payah menggali dinding tanah di atasnya, akhirnya Han Han berhasil
membuka lubang di sebelah atas batu yang menutup setengah lubang sumur itu dan
ia cepat meloncat ke atas.
Terlalu lama ia tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan
nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia mengharap mudah-mudahan tidak terlambat,
maka cepat ia meloncat keluar dari kemah palsu itu, tidak mempedulikan rasa
sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia tiba di luar kemah, ia melihat Sin
Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing
mempermainkan tikus, tidak membalas, hanya menangkis dan mengelak sambil
berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.
Adapun Sin Lian yang melihat munculnya Han Han, cepat
menjerit, ‘Han Han! Cepat kau tolong Hian Ceng di kemah itu!!
Han Han melihat keadaan Sin Lian memang belum terancam,
maka ia berkelebat cepat ke arah kemah dan mendengar suara ketawa Ouwyang Seng.
Begitu ia menerobos memasuki tenda dan melihat keadaan Hian Ceng, hatinya
seperti diremas rasanya. Dia telah terlambat!
Sekali lirik saja Hian Ceng, maka kemarahannya membuat
wajah Han Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti
mengeluarkan api ketika ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apalagi darah yang tadi
keluar dari ujung-ujung bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor
dengan tanah dan riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut
sendiri!
Ouwyang Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak,
meraba gagang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih
berusaha mengancingkan bajunya yang baru saja ia pakai kembali.
‘Ouwyang Seng.... kau bukan manusia.... kau....
iblis.... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang kau lakukan terhadap Hian
Ceng....!! Han Han bicara dengan bisik-bisik parau, akan tetapi bagi telinga Ouwyang
Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih menakutkan daripada kalau pemuda
buntung itu berteriak-teriak. Namun pemuda bangsawan ini teringat bahwa di luar
terdapat dua orang pembantunya yang sakti, maka hatinya menjadi besar dan ia
berseru,
‘Ji-wi Locianpwe lekas ke sini! Si Buntung di sini!!
Akan tetapi ia cepat mengelebatkan pedangnya ketika melihat tubuh Han Han
bergerak ke depan menerjangnya. Cepat bukan main gerakan Han Han yang sedang
marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut berkelebatnya
tubuh Han Han itu dengan sabetan pedangnya. Pemuda bangsawan ini mengeluarkan
jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai karena pergelangan
tangan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan tongkat, kemudian ia
terbanting roboh kena disambar tamparan telapak tangan kiri Han Han yang amat
kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit akan tetapi roboh lagi
karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya remuk!
Sambil menahan sedu-sedan yang naik ke lehernya dari
dalam dada menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih telanjang bulat, Han
Han cepat menggunakan jari tangan kanannya membebaskan totokan Hian Ceng. Gadis
itu menjerit dan menangis sedih, meloncat bangun, terhuyung dan menyambar
pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han Han hanya dapat memandang dengan
hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak kuat lebih lagi
memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu. Hian Ceng mengeluarkan pekik
mengerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah leher Ouwyang Seng
disambar pedangnya sendiri.
Gadis itu masih terus membacoki mayat Ouwyang Seng sampai
menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi ruangan dan lantai, kemudian
Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang ke arah lehernya sendiri!
Seperti digerakkan sesuatu yang aneh, Han Han mengangkat
muka memandang dan wajahnya menjadi pucat, mulutnya berseru, ‘Ceng-moi....!!
Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua kalinya ia terlambat. Pedang itu
telah menyambar leher sampai hampir putus! Han Han terisak merangkul Hian Ceng,
lalu berlutut menyangga punggung dan leher yang terluka hebat. Hian Ceng
membuka matanya yang masih berlinangan air mata akan tetapi bibirnya tersenyum!
Han Han merasa seperti jantungnya ditarik-tarik, sakit sekali rasanya
menyaksikan betapa sinar mata gadis itu sama benar dengan sinar mata mendiang
Soan Li ketika berangkat mati dalam pelukannya.
‘Ceng-moi.... Ceng-moi....!! Han Han berbisik dan
mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu yang mengucur keluar
dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri menetes-netes ke muka
Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin memucat wajahnya. Beberapa
detik kemudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han Han dengan mulut masih setengah
terbuka, tersenyum!
Kekejangan terakhir yang disusul kelemasan tubuh yang
dipeluknya, membuat Han Han merintih, lalu perlahan-lahan ia merebahkan tubuh
Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut yang berada di atas pembaringan,
menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian ia terisak dan meloncat keluar
karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang menghadapi lawan tangguh.
‘Sin Lian....!! Lengking ini hebat sekali keluar dari
mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu.
Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan
kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han. Dapat dibayangkan
betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat
ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan
Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba
membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin Lian itu
membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus!
Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak
memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada.
Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar
menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya
menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng
Ciu-sian-li!
‘Prakkk! Desss....!! Tongkat di tangan Han Han
patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, tangan
kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya
tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi
pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting ke tanah, akan
tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali.
Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia
menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang
bertemu dengan sin-kang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya
patah-patah dan biarpun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali
mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan
berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya
bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.
‘Han Han.... ohhhhh, Han Han....! Gadis itu juga
mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh kalau Han Han tidak
cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah
pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han
Han menangis.
‘Sin Lian.... aduh Sin Lian.... kau.... kau ampunkan
aku, Sin Lian....! Aku terlambat menyelamatkanmu....!
Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh
sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah
yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap di ulu hati,
gadis ini masih dapat tersenyum!
Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergantung itu
diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata
Han Han mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu
dan dibereskannya ke belakang, mulutnya berbisik-bisik.
‘Han Han.... ohhh, Han Han.... aku rela.... aku senang
mati.... dalam pelukanmu....! Han Han.... kau.... kau menangisi aku....?!
Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru
saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk
tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula! Kepalanya menjadi pening,
air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang mata itu memandangnya
penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan
suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher
yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan
merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya, dengan mesra
mendorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang
makin layu.
‘Han.... Han.... aku.... cinta padamu...., aku rela
mati.... kau tolong Hian Ceng.... dia.... gadis baik yang mencintamu pula....
selamat tinggal....! Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.
‘Sin Lian.... aduhhh, Sin Lian....!! Han Han tak kuasa
menahan kesedihannya yang datang bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang
bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk dan kalau dia tidak bersandar pada
batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil.
Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak
ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat
kesempatan baik. Mereka memang merasa jerih menghadapi pemuda buntung yang amat
sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya. Akan
tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik,
‘Celaka.... bocah pengacau itu datang....!! Telunjuknya
menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.
‘Kak Han Han....!! Lulu datang berlari seperti terbang
cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat
seorang gadis yang belum ia kenal siapa.
‘Han-twako....!! Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo
dan Toat-beng mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba
di depan Han Han.
Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi
ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa
adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan penyesalannya. Ia
memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat.
Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang
masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit, ‘Enci Lian....! Dia kenapa....?!
Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah,
diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.
‘Enci Lian....! Ooohhhh, dia.... dia.... kenapa....?
Mati....! Enci Lian mati....!! Lulu memeluk mayat itu dan menangis
tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri
bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu,
melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung
mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.
‘Han-koko....! Kau.... kau kenapa....? Kau
terluka....?! Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.
‘Ah, Lulu anak nakal....!! Han Han merangkul adiknya.
‘Ke mana saja engkau pergi? Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku.
Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang pergilah, adikku.
Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah
cari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah
tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian....!!
‘Koko! Apa kau bilang? Aku tidak mau meninggalkan kau
lagi! kau sendiri mau apa?!
‘Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu!!
‘Tapi engkau terluka! Jangan khawatir, ada Lulu di
sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu!!
‘Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi
di dunia ini....! Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan
bahagia. Sin Lian.... dia.... demi cintanya kepadaku.... dia telah berkorban
untuk kakakmu ini.... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak
bolehkah aku menemaninya mati untuk membalas budinya?!
‘Tidak!! Dan tiba-tiba Lulu membalikkan tubuh
menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menundingkan
telunjuknya. ‘Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan
membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu!!
‘Lulu, jangan....! Jangan mencampuri urusan ini!! Han
Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan
adiknya, ditarik ke belakang.
‘Akulah lawan mereka....!!
Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia
mengerahkan sin-kang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling,
pingsan di samping mayat Sin Lian.
‘Koko....! Han-koko....! Jangan kau mati.... jangan
tinggalkan aku!!
Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada
Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan
sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat.
Baru Lulu sadar ketika sebuah tangan halus namun kuat
memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han,
menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ, dengan wajah lembut akan
tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu.
Lulu meloncat bangun, mencabut pedangnya dan melintangkan
pedang di depan dada sambil berkata, ‘Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi
dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai Han-koko, aku tidak sudi
menjadi sumoimu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu!!
Nirahai tersenyum, kagum menyaksikan kesetiaan dan cinta
kasih sumoinya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang
terjadi di situ, melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di
samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang
terjadi, mendengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar
yang membuatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoinya, ia diam-diam menjadi
kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala
dan berkata,
‘Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh
kakakmu. Pula, kalau engkau melawan aku, apakah kau kira dengan cara itu engkau
akan dapat melindungi kakakmu? Sama dengan membunuh diri.!
‘Aku tidak takut mati! Aku bangga mati membela
Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!!
Nirahai memperlebar senyumnya. ‘Mengapa bicara tentang
mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia
membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan
merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak
mendapat perawatanmu, dia bisa mati.!
Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han
Han lagi, penuh kekhawatiran.
‘Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh
merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku,! kata Nirahai dan
terpaksa Lulu menyerah karena memang ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya
mati dan dia sendiri melawan sampai mati kalau memang masih ada jalan untuk
menghindari kematian. Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya
bahwa sucinya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya.
Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut, hanya terlalu
‘matang! mengurus tugas dan membantu pemerintah.
Han Han dan Lulu dimasukkan dalam tahanan yang khusus
dibuat di daerah perbatasan. Dalam sebuah kamar yang cukup kuat dan besar,
dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya, akan tetapi kamar
itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh
para penjaga di luar pintu. Lulu dibiarkan merawat Han Han, bahkan Nirahai
mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa
saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka
menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung!
Sampai sebulan lamanya Han Han berada di dalam kamar
tahanan bersama adiknya. Ia telah sehat kembali dan diam-diam mereka berdua
berterima kasih kepada Nirahai, terutama sekali ketika mereka bertanya tentang
kedua jenazah Hian Ceng dan Sin Lian, dijawab bahwa jenazah kedua orang gadis
itu telah dimakamkan sepantasnya oleh Nirahai, bukan disia-siakan seperti
mayat-mayat musuh.
‘Kini pemerintah tidak lagi memusuhi para orang gagah.
Dua orang dara perkasa itu adalah orang-orang gagah yang patut dihormati. Makam
mereka terawat baik dan diberi nisan sehingga akan dapat dicari dan dikenal
semua orang, terutama keluarga mereka.! demikian Nirahai menyampaikan pesan
melalui seorang perwira. Anehnya, semenjak kedua orang kakak beradik itu
ditahan, Nirahai tidak pernah menengok.
‘Lulu, kini aku telah sehat kembali. Kita masing-masing
telah mendengar semua pengalaman dan menurut pendapatku, kita berdua telah
salah jalan yang biang keladinya ditimbulkan oleh perpisahan kita. Kalau kita
dahulu tidak berpisah, tak mungkin engkau sampai terlibat dalam urusan perang,
demikian pula aku. Semenjak kecil kita sudah sadar bahwa permusuhan tak boleh
dibesar-besarkan. Engkau keturunan Mancu, dan aku seorang pribumi, namun kita
telah menjadi kakak beradik. Engkau kehilangan orang tua yang dibunuh para
pejuang, aku kehilangan orang tua yang dibunuh perwira-perwira Mancu, namun kau
tidak mendendam kepada bangsaku dan aku tidak mendendam kepada bangsamu.
Mengapa kita sampai terlibat sehingga kita menjadi bentrok sendiri? Ahhh,
adikku sayang, aku telah bersikap terlalu kepadamu, maukah engkau memaafkan
aku, Lulu?!
Lulu menangis lalu berlutut di depan Han Han yang duduk
di atas pembaringannya, menangisi kaki yang buntung. ‘Ahh, Han-koko, jangan
kau bicara begitu. Akulah yang mohon ampun kepadamu, Koko. Aku adikmu yang
nakal, yang selalu tidak menurut kata-katamu, menimbulkan banyak kesengsaraan
padamu. Kakimu.... ah, kakimu sampai buntung sebelah.... Koko.... aku akan rela
kalau boleh mengganti kakimu yang buntung....!! Lulu memeluk kaki buntung yang
tinggal paha saja itu, dan menangis terisak-isak.
Tiba-tiba Han Han tertawa. ‘Ha-ha-ha, bocah lucu!! Ia
mengangkat tubuh Lulu sehingga gadis itu bangkit berdiri di depan Han Han yang
masih duduk dan memeluk pinggang adiknya dengan kedua lengan, sedangkan kedua
lengan Lulu merangkul pundak kakaknya. Lulu juga tertawa, apalagi ketika Han
Han berkata,
‘Bocah lucu! Aneh sekali. Andaikata engkau bisa
memberikan kakimu dan dapat dipasang di tubuhku, tentu kaki darimu lebih
pendek, kakiku pendek sebelah, malah buruk sekali, kalau jalan
terpincang-pincang.... ha-ha-ha!!
Keduanya tertawa akan tetapi Lulu melihat betapa kakaknya
itu biarpun mulutnya tertawa, matanya menitikkan air mata. Tahulah ia bahwa
kakaknya itu terharu dan hanya memaksa diri tertawa untuk menghiburnya, maka ia
merangkul leher dan menangis juga. Keduanya lalu bertangisan!
‘Han-koko.... dadamu berdebar-debar kencang....!!
Tiba-tiba Lulu berkata sambil melepaskan rangkulannya. Han Han terpaksa
tersenyum. Adiknya ini tetap nakal seperti dulu, jujur polos blak-blakan tanpa
tedeng aling-aling kalau bicara. Tanpa disadari, ucapan Lulu menikam ulu
hatinya dan membuatnya sadar. Ketika berpelukan tadi, rasa haru yang aneh, rasa
bahagia yang luar biasa seolah-olah ia memeluk surga dan membuat jantungnya
berdebar keras. Wajahnya menjadi merah sekali dan cepat ia berkata.
‘Lulu adikku, engkau tahu betapa kasih sayangku
kepadamu. Kebahagiaanku bersembunyi di balik kebahagiaanmu, Aku baru akan
merasa lega dan senang kalau engkau sudah ada yang melindungi, ada yang
mencintamu sampai selama hidupmu. Karena itu, engkau harus mentaati kehendakku,
Lulu. Engkau akan kubawa pergi mencari Sin Kiat, karena aku hendak menjodohkan
engkau dengan dia. Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik, tampan, gagah
perkasa, dan dia amat mencintamu.!
Lulu mengerutkan keningnya dan tidak menjawab sampai
lama. Kemudian ia menarik napas panjang, mengangkat muka yang tadi ditundukkan,
memandang wajah kakaknya dan berkata, ‘Aku sudah tahu bahwa dia mencintaku
Koko, dan aku tahu pula bahwa dia seorang yang amat baik dan gagah perkasa.!
‘Ha....! Kalau begitu kiranya diam-diam engkau telah
jatuh cinta kepadanya, bukan?!
Akan tetapi Lulu tidak tertawa atau tersenyum malu,
bahkan masih cemberut ddn alisnya berkerut. Ia menggeleng kepala dan menghela
napas panjang sebelum menjawab lirih,
‘Aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, Koko. Memang
aku suka kepadanya dan kagum, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu....! Koko,
aku.... aku tidak mau dikawinkan dengan siapa pun juga!!
Han Han melengak kaget, ‘Eh! Mengapa? Apakah engkau
sudah mempunyai pilihan lain? Bocah nakal, kalau memang engkau mencinta seorang
pemuda lain, asal dia itu benar orang baik-baik, kakakmu tidak akan memutuskan
cintamu.!
Lulu menggelengkan kepalanya pula. ‘Pendeknya aku tidak
mau menikah, Koko.!
Kembali kakak beradik ini beradu pandang, sama-sama
membelalak lebar penuh kekerasan hati, Han Han yang lebih dulu menghalau
kemarahannya dan ia menarik napas panjang.
‘Ah, sungguh aku yang tidak tahu diri. Ada hak apakah
aku hendak memaksamu? Aku hanya seorang kakak angkat. Maafkanlah, Lulu, aku
selalu lupa bahwa aku tidak berhak atas dirimu, akan tetapi semua itu kulakukan
di luar kesadaranku, seolah-olah engkau adalah adik kandungku, aku.... aku
hanya ingin melihat engkau bahagia.... hatiku selalu akan menjadi risau dan
sengsara, selalu cemas memikirkan engkau kalau engkau belum menjadi isteri
seorang yang dapat kupercaya penuh.!
Kekerasan Lulu pun luluh dan ia merangkul kakaknya.
‘Koko bukan...., bukan seperti yang kau sangka, bukan sekali-kali aku hendak
merendahkan permintaanmu dan tidak suka mematuhi perintahmu. Tidak, Koko.
Engkau pun merupakan pengganti orang tuaku, dan aku telah berkali-kali membikin
susah hatimu, Koko, aku ingin sekali dapat menyenangkan hatimu, aku amat kasihan
kepadamu dan aku.... aku....! Lulu terisak menangis.
Besar sekali rasa hati Han Han ketika ia mengelus-elus
rambut panjang hitam dan berbau harum itu. ‘Lulu, adikku yang manis, yang
cantik jelita....!
Tiba-tiba Lulu melepaskan rangkulannya, menatap tajam dan
bertanya, ‘Han-koko, benarkah engkau menganggap aku manis dan cantik jelita?!
Han Han tersenyum, memandang wajah adiknya itu. Setelah
lama tidak berkumpul, kini melihat wajah itu begitu dekatnya, makin nyatalah
kecantikan adiknya, kecantikan Nirahai, dengan bentuk-bentuk yang sama,
terutama sekali sepasang matanya.
‘Engkau cantik manis, adikku. Terutama sekali sepasang
matamu, seperti sepasang bintang di angkasa bercahaya, seperti sepasang mata
seekor burung hong, dan.... dan.... juga mulutmu....! Ia terhenti, merasa
terlanjur dalam pujiannya.
‘Aaahhhhh, lanjutkan, Koko, bagaimana dengan mulutku?!
Lulu bertanya, cemberut dan timbul kembali sifat manjanya seperti ketika ia
berada di Pulau Es dahulu.
Terpaksa Han Han melanjutkan sambil memandang mulut
adiknya, sepasang bibir yang garis pinggirnya jelas seperti dilukis, yang
berkulit tipis merah dan selalu basah, berdaging penuh, kalau tersenyum terbuka
sedikit tampak ujung gigi seperti mutiara berbaris rapi menyembunyikan lidah
kecil merah yang selalu bergerak-gerak dalam gua kemerahan itu.
‘Mulutmu.... hemmm.... seperti telaga madu, menjadi
sumber kemanisan yang tiada habisnya.!
Mata yang lebar itu berseri-seri dan Lulu kembali
merangkul lalu mencium pipi kakaknya seperti dulu sering kali dilakukannya
ketika mereka berdua masih tinggal di Pulau Es.
‘Terima kasih, Koko, terima kasih! Engkau semu
lia-mulianya manusia bagiku, engkau satu-satunya manusia yang paling kucinta di
dunia ini!!
Han Han kembali menggunakan kemauannya untuk menekan
debaran aneh pada jantungnya, lalu ia memegang kedua pundak Lulu, didorongkan
dan dipandangnya wajah adiknya.
‘Lulu, aku hanya mempunyai satu tujuan, yaitu melihat
engkau bahagia. Karena itu, engkau hendak kuajak mencari Sin Kiat. Kenapa
engkau menolak?!
‘Koko, kalau aku dijodohkan dengan orang lain, apakah
aku harus ikut dengan suamiku?!
‘Dan engkau akan meninggalkan aku?!
‘Hemmm.... sudah semestinya begitu, adikku.!
‘Kalau begitu aku tidak mau! Aku tidak mau!! Lulu
menangis lagi.
Han Han memejamkan mata, menguatkan hatinya dan bertanya
dengan suara tegas, ‘Kenapa, Lulu?!
‘Karena aku tidak mau berpisah lagi darimu, Koko! Aku
selamanya tidak mau berpisah dari sampingmu!! Tangisnya mengguguk.
Kembali perasaan aneh sekali menikam hati Han Han,
perasaan bahagia dan senang luar biasa. Tidak! Ini gila! Dia harus melawan
perasaan ini. Dia ini adikku! Adikku, pikirnya.
‘Ha-ha, engkau bocah nakal! Masa engkau akan ikut
kakakmu ini sampai kita menjadi kakek dan nenek?!
‘Biar! Aku akan senang sekali, Koko. Biar aku tidak
pernah kawin, aku akan ikut denganmu sampai mati!!
Han Han mengeraskan hatinya, mendorong tubuh Lulu dan
memandang tajam wajah yang basah air mata itu. ‘Lulu, tidak boleh! Apakah
engkau akan membikin hati kakakmu ini sengsara selamanya? Engkau adikku, dan
seorang adik yang baik akan mentaati kakaknya. Adikku Lulu, tidak maukah engkau
menyenangkan hati kakakmu dengan mentaati permintaanku? Engkau akan hidup
bahagia bersama Sin Kiat, aku yakin akan hal ini. Dia seorang yang amat baik.
Lulu, sekali lagi kuminta, penuhilah permintaanku ini!!
Sampai lama mereka saling pandang, dan akhirnya, dengan
suara berat Lulu berkata lirih,
‘Han-koko.... kalau hal itu berarti kebahagiaanmu....
aku.... baiklah, aku menurut.! Dia lalu membenamkan muka di dada Han Han sambil
menangis.
Han Han mendiamkan saja, membiarkan adiknya menangis.
Setelah tangis adiknya mereda, ia lalu berkata, ‘Marilah kita menemui
Nirahai. Kita minta dibebaskan, kalau dia berkemauan baik, tentu permintaan
kita dia pehuhi. Kalau tidak, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!! Tanpa
menanti jawaban adiknya, Han Han menggandeng tangan Lulu, diajak meloncat ke
pintu yang tertutup dengan terali besi. Dia sudah mempunyai sebatang tongkat
kayu yang diberikan oleh penjaga atas permintaan Lulu.
‘Koko, pintunya kuat sekali dan di luar ada
penjaga-penjaga....!!
‘Ssstttt, kau ikutlah saja,! kata Han Han yang
menggunakan tongkatnya mengetuk-ngetuk pintu dan ketika para penjaga yang enam
orang jumlahnya itu menengok, ia berkata,
‘Harap kalian suka membuka pintu ini, kami hendak
menghadap Puteri Nirahai!!
‘Ah, kami tidak berani! Kami diharuskan menjaga di sini
dan tidak membolehkan kalian berdua keluar dari pintu!! Komandan jaga membantah
dan enam orang itu sudah meraba gagang senjata golok mereka untuk menjaga
segala kemungkinan.
Han Han tersenyum. ‘Kalau begitu, aku akan keluar
sendiri!! katanya dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras
dan pintu kamar itu jebol berikut jeruji-jeruji besinya, terlepas dari tembok!
Enam orang penjaga itu menerjang maju, akan tetapi Han Han mengelebatkan
tongkatnya dan robohlah mereka dalam keadaan lemas tertotok!
Sambil menggandeng tangan adiknya, tenang-tenang saja Han
Han meninggalkan tempat itu, keluar dari rumah tahanan untuk mencari Nirahai.
Para penjaga yang berada di luar menjadi kaget sekali dan
mengurung. Han Han dan Lulu berdiri tegak, kemudian gadis itu berseru,
‘Apakah kalian sudah bosan hidup hendak menghalangi
aku? Aku hendak mencari Suci Nirahai, kalian mau apa?!
Para perajurit Mancu sudah tahu bahwa gadis ini adalah
adik seperguruan Puteri Nirahai, maka mereka tidak berani turun tangan
mengganggu. Apalagi, di sudut hati mereka, para perajurit yang sudah mendengar
akan kesaktian Han Han yang dijuluki Pendekar Super Sakti, merasa jerih
terhadap pemuda berkaki satu itu. Kini mereka hanya dapat memandang, kemudian
mengikuti dari belakang ketika Han Han dan Lulu berjalan menuju ke sebuah kemah
besar yang berwarna merah, kemah yang ditinggali Puteri Nirahai. Berbeda dengan
perkemahan yang dijadikan tempat tinggal para pahglima dan perwira yang selalu
dijaga perajurit, di depan kemah merah ini tidak nampak penjaga. Nirahai memang
seorang puteri yang tidak mau bersikap sebagai seorang pembesar tinggi yang
gila hormat, ia tetap sederhana dan dia lebih condong hidup dan bersikap
sebagai seorang kang-ouw yang mengandalkan diri sendiri dan hidup bebas tidak
terikat banyak peraturan yang membosankan.
Di depan kemah merah itu, para perajurit bergerombol dan
hanya memandang ketika melihat Han Han dan Lulu dengan tenangnya memasuki
kemah. Selain para perajurit ini tidak berani mengganggu Lulu dan jerih
terhadap Han Han, juga mereka telah mendapat peringatan keras dari Puteri
Nirahai untuk tidak melakukan pertempuran selama sang puteri menjalankan siasat
perdamaian dengan para pejuang, bahkan tidak boleh menyerbu ke Se-cuan melewati
perbatasan sebelum ada perintah. Sisa pasukan istimewa yang tadinya dipimpin
Ouwyang Seng, oleh sang puteri telah disuruh tangkap semua dan dikirim ke
penjara besar untuk menerima hukuman!
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu ruangan
dalam, Han Han dan Lulu berhenti karena mendengar suara lantang dari Nirahai
yang terdengar marah.
‘Tidak bisa! Biarpun Ouwyang-kongcu telah terbunuh,
akan tetapi Pangeran Ouwyang Cin Kok masih tidak berhak untuk memerintahkan
kepadaku mengirim kepala pembunuhnya! Dia kira siapakah dia itu yang bisa
menjatuhkan perintah seperti itu kepadaku? Di daerah perang, di perbatasan ini,
akulah yang berkuasa. Aku yang mewakili Ayahanda Kaisar dan semua orang tawanan
adalah tanggung jawabku dan hanya aku seorang yang dapat menjatuhkan keputusan
hukumannya! Tidak, aku tidak akan dan belum menjatuhkan hukuman mati kepada
Suma Han dan aku tidak akan mengirimkan kepalanya kepada Pangeran Ouwyang Cin
Kok seperti dimintanya! Ji-wi Locianpwe tahu bahwa kita sedang menjalankan
politik perdamaian dengan kaum pejuang, sedangkan Suma Han tidak melakukan
pelanggaran apa-apa. Pembunuhan yang dilakukannya terhadap Ouwyang-kongcu
adalah urusan pribadi dan ji-wi cukup maklum apa yang menjadi sebabnya!!
Han Han dan Lulu mendengarkan dengan hati berdebar.
Kemudian mereka mendengar suara Ma-bin Lo-mo penuh desakan dan penyesalan,
‘Mengapa Paduka menolak permintaan Pangeran Ouwyang Cin Kok? Bukankah pemuda
buntung itu telah menimbulkan banyak kekacauan? Dan apakah Paduka lupa bahwa
dahulu Paduka telah direncanakan untuk menjadi jodoh mendiang Ouwyang-kongcu!
Dengan demikian, Ouwyang-kongcu menjadi tunangan Paduka. Setelah tunangan
Paduka terbunuh secara keji, apakah Paduka tidak merasa terhina dan merasa
sakit hati terhadap pemuda buntung itu?!
‘Hi-hi-hik, Ma-bin Lo-mo, engkau ini sudah tua namun
masih bodoh!! Terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li diseling suara
berkerincingnya rantai gelang penghias kedua telinganya. ‘Apakah tidak depat
menjenguk isi hati orang muda? Biarpun kakinya buntung sebelah, hati wanita
muda yang manakah tidak akan tertarik? Dan kalau mau bicara tentang hati
wanita, dari puteri sampai gembel pun tiada bedanya. Hi-hik!!
Tiba-tiba terdengar suara Nirahai penuh kemarahan,
‘Ji-wi adalah orang tua yang selalu membawa kotoran dalam hati dan pikiran
ji-wi! Lekas ji-wi pergi dari sini, karena aku dapat melupakan bahwa ji-wi
pernah membantu kami dan kalau aku turun tangan, apakah ji-wi kira aku tidak
mampu membunuh kalian?!
‘Puteri Nirahai, akulah musuh dan lawan mereka! Haiii,
Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, aku Suma Ham menantang kalian dan
kutunggu di depan kemah, keluarlah kalau kalian berani!! Han Han berseru keras,
menggandeng tangan adiknya dan keluar dari dalam kemah itu. Para perajurit
memandang mereka ini dengan mata terbelalak. Mereka semua tidak tahu harus
berbuat apa, maka hanya mengurung tempat itu sambil menanti perintah Puteri
Nirahai.
Tak lama kemudian muncullah Nirahai, Ma-bin Lo-mo dan
Toat-beng Ciu-sian-li dari dalam kemah. Melihat para perajurit, Nirahai lalu
melambaikan tangan dan berkata, suaranya berwibawa,
‘Semua perajurit mundur, boleh menonton dalam lingkaran
yang lebar, paling dekat sepuluh meter!!
Para perajurit lalu mundur dan karena semua ingin
menonton dan mendengar, mereka lalu membentuk lingkaran mengelilingi tempat
itu. Bahkan para perajurit lainnya yang mendengar lalu berdatangan sehingga
tempat itu penuh oleh lingkaran perajurit-perajurit Mancu.
‘Siapa yang mengeluarkan kalian?! Puteri Nirahai
bertanya dengan keren sambil memandang Lulu.
‘Suci, akulah yang memaksa keluar,! kata Lulu.
‘Bukan! Akulah yang menjebol pintu karena para perjaga
tidak mau membukanya. Kami hendak bicara denganmu, Puteri Nirahai. Akan tetapi
mendengar suara dua orang tua bangka jahat ini, biarlah kutunda dulu
pembicaraan kita dan sekarang aku menantang Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng
Ciu-sian-li untuk bertanding denganku!!
‘Hemmm.... di puncak Tai-hang-san sudah kuputuskan
bahwa kini kami mengadakan perdamaian dengan orang-orang kang-ouw. Apakah
engkau menjadi wakil pemberontak Bu Sam Kwi dan menantang pembantu-pembantu
pemerintah?! Nirahai bertanya.
Han Han menjawab tegas. ‘Sama sekali bukan. Aku dan
adikku Lulu sekarang tidak sudi mencampuri perang. Aku menantang Ma-bin Lo-mo
karena urusan pribadi, karena ingin membalaskan dendam puluhan orang anak murid
In-kok-san yang orang tuanya telah dibunuhnya semua oleh Iblis Muka Kuda ini
dan untuk membalaskan dendam terhadap kematian Lauw Sin Lian! Aku pun menantang
Toat-beng Ciu-sian-li, karena berkali-kali dia hendak membunuhku, bahkan yang
terakhir aku tentu telah mati dibunuhnya kalau tidak muncul Kim Cu sehingga
hanya sebelah kakiku yang buntung. Aku tantang mereka berdua sebagai musuh
pribadi!!
Di dalam lubuk hatinya, semenjak dua orang iblis tua itu
muncul sebagai utusan Pangeran Ouwyang Cin Kok untuk minta kepala Han Han
sebagai hukuman atas kematian Ouwyang Seng, Nirahai sudah mengambil keputusan
untuk mengenyahkan dua orang itu. Dan ketika Han Han datang bersama Lulu, dia
pun sudah tahu maka dia sengaja bicara keras. Kemudian, tantangan Han Han
terhadap dua orang itu menggirangkan hatinya, maka puteri cerdik ini tidak
mengusir para perajurit, bahkan memperkenankan mereka menonton agar mereka
mendengar dan menjadi saksi atas pertandingan yang memang ia harapkan ini. Ia
tahu bahwa Han Han telah sembuh dan bahwa pemuda itu amat sakti, tentu sanggup
menandingi mereka berdua. Maka kini dengan aksi mengangkat pundak ia berkata.
‘Pemerintah tidak akan mencampuri urusan dendam
pribadi, bahkan selalu akan menjadi saksi. Terserah tanggapan Ma-bin Lo-mo dan
Toat-beng Ciu-sian-li atas tantangan Suma Han, kami tidak mencampurinya, hanya
ingin melihat pertandingan yang adil dan sah!!
Dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam merasa jerih
terhadap Han Han, akan tetapi untuk menolak tantangan, tentu saja mereka merasa
malu. Pula, mereka adalah dua orang tokoh besar, masa harus melarikan diri
terhadap tantangan seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya? Biarpun kini
tidak ada tokoh kang-ouw yang menyaksikan, bahkan kedua orang pendeta yang
menjadi utusan Pangeran Kiu juga telah kembali ke Se-cuan, namun ada ratusan
orang perajurit Mancu menjadi penonton. Akan tetapi, Toat-beng Ciu-sian-li
masih berusaha untuk menghindarkan pertandingan dan berkata.
‘Suma Han, engkau sekarang mengakui sebagai keturunan
Suma! Jai-hwa-sian Suma Hoat adalah Kakekmu! Lupakah engkau bahwa aku adalah
isteri Kakek Buyutmu Suma Kiat? Aku adalah Nenek Buyutmu sendiri! Hayo berlutut
memberi hormat atas kekurangajaranmu menantangku!!
Akan tetapi Han Han tertawa mengejek. ‘Tidak kusangkal
bahwa aku menyesal sekali, adalah keturunan keluarga Suma yang jahat seperti
keluarga iblis itu! Engkau adalah seorang di antara selir-selir Suma Kiat yang
tentu banyak jumlahnya, entah selir yang syah ataukah selir gelap-gelapan! Akan
tetapi aku tidak akan mengakuimu, bahkan andaikata Kakekku yang berjuluk
Jai-hwa-sian itu masih hidup, kalau mengingat akan kejahatannya, dia akan
kutantang pula! Toat-beng Ciu-sian-li, aku ulangi lagi tantanganku kepadamu,
bukan sekali-kali sebagai nenek buyut, melainkan sebagai seorang datuk kaum
sesat yang telah menumpuk dosa. Ataukah kau tidak berani melawan bekas muridmu
sendiri yang telah kaubuntungi kakinya? Dan engkau, Ma-bin Lo-mo, apakah engkau
telah berubah menjadi pengecut, lebih pengecut daripada perbuatanmu membunuhi
keluarga para murid In-kok-san?!
Kemarahan dua orang tokoh tua itu memuncak dan biarpun
mereka maklum akan kesaktian Han Han, namun keduanya juga memiliki kepandaian
yang sudah amat tinggi tingkatnya. Toat-beng Ciu-sian-li memekik dan begitu
tangannya bergerak, tiga sinar terang menyambar ke arah dahi, dada dan pusar
Han Han. Itulah senjata gelap gelang yang ia lolos dari rantai gelang di
telinganya.
‘Lulu, mundur!! Han Han berteriak.
Lulu meloncat ke dekat Nirahai dan Han Han menggerakkan
tangannya, dengan hawa pukulan sin-kang yang kuat sekali ia membuat tiga buah
gelang itu menyeleweng dan menghilang ke dalam tanah di depan kakinya!
‘Wuuuttt, tring-tring-tranggggg....!! Toat-beng
Ciu-sian-li sudah menerjang maju dan sekaligus kedua anting-anting rantai
gelang rambutnya yang panjang dan kedua tangannya sudah bergerak melakukan
penyerangan secara berbareng.
‘Singgg.... ngiuuukkkkk....!! Ma-bin Lo-mo juga sudah
menerjang maju, golok melengkung di tangan kanan menjadi gulungan sinar, tangan
kirinya memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang!
Cuat-cuattt....!! Tubuh Han Han mencelat seperti kilat
dan telah lolos dari kepungan serangan yang amat hebat itu. Tubuhnya
bergerak-gerak dengan loncatan aneh sehingga pandang mata Ma-bin Lo-mo dan
Ciu-sian-li menjadi kabur. Mereka harus membelalakkan mata bergerak cepat dan
bersikap waspada.
‘Heiiiii! Mengapa main keroyok? Ini tidak adil!!
Nirahai berseru. Biarpun ia tidak khawatir melihat pengeroyokan atas diri Han
Han, namun sebagai saksi dan juri, dia harus mencela agar tidak dianggap berat
sebelah.
‘Terima kasih, Puteri. Biarlah mereka mengeroyok,
memang selama hidupnya orang-orang seperti mereka ini hanya mengandalkan
kemenangan dengan kecurangan!! Han Han mengejek.
Kedua orang itu menjadi makin marah, akan tetapi tentu
saja mereka menulikan telinga terhadap ejekan-ejekan ini karena maklum bahwa
kalau maju seorang demi seorang, tentu mereka akan celaka. Tanpa menjawab,
mereka telah mengirim serangan secara bertubi-tubi. Han Han tetap mainkan ilmu
Silat Soan-hong-lui-kun yang amat hebat, tubuhnya lenyap dan hanya tampak
berkelebatnya bayangannya yang saking cepat gerakannya sampai seolah-olah
berubah menjadi banyak itu. Dia hanya mengelak dengan loncatan-loncatan ke
sana-sini sehingga tampaknya seperti dua orang anak-anak yang canggung mengejar
dan berusaha untuk memukul seekor lalat yang amat cekatan.
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee adalah seorang ahli bermain
golok melengkung, dan tenaganya Swat-im Sin-ciang amat kuatnya, bahkan lebih
kuat daripada tenaga sin-kang Setan Botak, lebih kuat pula dari tenaga sin-kang
Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi nenek itu jauh lebih berbahaya karena
biarpun sin-kangnya tidak sekuat Ma-bin Lo-mo, namun dalam hal ilmu silat,
Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat lebih lihai dan banyak sekali macam ilmunya.
Nenek ini puluhan tahun lamanya berkecimpung di dunia kaum sesat, mempelajari
bermacam ilmu dan sebagai selir terkasih Suma Kiat, dia menuruni pula ilmu-ilmu
aneh dan mengerikan dari suaminya itu.
Dia ahli mempergunakan rambutnya sebagai senjata. Biar
rambutnya sudah banyak ubannya, namun masih panjang dan rambut yang halus ini
berbahaya sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat menjerat leher, dan bahkan
dapat pula menjadi keras menegang dan digunakan sebagai alat penotok jalan
darah!
Senjata rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya
juga merupakan senjata yang ampuh sekali, karena selain sukar diduga gerakannya
karena digerakkan bukan dengan tangan melainkan dengan gerakan kepala, menjadi
imbangan yang membingungkan bagi lawan dengan gerakan penyerangan rambut.
Ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang
beracun, telapak tangannya yang mengandung hawa pukulan Toat-beng-tok-ciang
(Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang biarpun tidak sekuat Swat-im Sin-ciang,
namun mengandung hawa beracun yang jahat sekali!
Han Han yang sudah beberapa kali bertanding melawan dua
orang ini, tahu bahwa dikeroyok dua orang ini sama dengan dikeroyok sedikitnya
sepuluh orang. Yang paling berbahaya baginya adalah si nenek yang sambil
menyerang menyembunyikan anting-antingnya, suaranya berkerincingan mengacaukan
perhatian bahkan bagi para pendengar yang tidak memiliki sin-kang kuat, dapat
menggetarkan jantungnya. Baiknya para perajurit menonton dari jarak jauh
sehingga getaran suara itu hanya membuat mereka menutupi telinga karena amat
tidak enak didengar, seperti orang mendengar suara kaleng digurat-gurat
. Maka, kini setelah berloncatan ke sana-sini dan gerakan
ilmu gerak kilat pada kaki tunggalnya sudah lancar, mulailah ia membalas dengan
serangan tongkat yang ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut,
sedangkan tangan kirinya ia pukulkan dengan sin-kang yang berubah-ubah,
kadang-kadang ia menggunakan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang, kadang-kadang ia
menghadapi pukulan Ma-bin Lo-mo dengan tenaga yang sama, yaitu Swat-im
Sin-ciang, namun jauh lebih kuat!
Kini mulailah Han Han menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun
yang memungkinkan ia berloncatan cepat menjauhi Toat-beng Ciu-sian-li dan
mendesak Ma-bin Lo-mo! Toat-beng Ciu-sian-li maklum bahwa Han Han hendak
merobohkan dulu murid keponakannya, maka berteriak-teriak dan mengejar terus.
Namun gerakannya jauh kalah cepat oleh Han Han sehingga bagi para penonton yang
tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata biasa mereka seperti
perajurit-perajurit Mancu itu, yang kelihatan hanya berkelebatan tubuh Han Han
dan Ma-bin Lo-mo yang sibuk menangkis dengan goloknya, dan melihat nenek itu
berlari-lari memutari tubuh Ma-bin Lo-mo sambil berteriak-teriak memaki seperti
orang gila!
Ma-bin Lo-mo mempertahankan diri sekuatnya. Ketika
melihat tongkat menyambar, ia mengerakkan tenaga mengayun goloknya menangkis,
dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah bayangan Han Han dengan Swat-im
Sin-ciang. Saat inilah yang dinanti-nantikan oleh Han Han. Tongkatnya ia
pukulkan dengan kuat, dan tangan kanannya menyambut pukulan itu dengan tenaga
Im-kang pula yang jauh lebih kuat. Dua senjata bertemu di udara, tepat pada
saat dua telapak tangan mereka bertemu.
‘Krakkk! Desss....!! Golok patah menjadi tiga dan tubuh
Ma-bin Lo-mo menggigil, kemudian ia terhuyung mundur, dari telinga, mata,
hidung dan mulut juga dari lubang-lubang di bawah tubuh, mengucur darah dan
akhirnya roboh dengan napas putus. Tubuhnya berubah membiru dan kaku seperti
sebatang kayu karena tubuh itu sudah membeku!
‘Becah setan....!! Toat-beng Ciu-sian-li memaki
menutupi rasa gentarnya, semua senjatanya yang ampuh, rambut, sepasang rantai
gelang dan kedua tangannya menyerang kalang-kabut.
Ketika Han Han menggunakan tongkatnya menangkis, sepasang
rantai gelang yang panjang dan pendek itu bergerak seperti dua ekor ular,
tahu-tahu telah melibat-libat pada tongkat itu dan mendadak nenek itu
menggerakkan kepalanya. Dua helai rantai gelang itu membetot ke kanan kiri. Han
Han terkejut karena benar-benar amat kuat tarikan dua rantai gelang itu. Dia
pun mengerahkan tenaga membetot.
‘Krekkk-krekkk-kraaakkkkk!!
‘Aihhhhh....!! Nenek itu menjerit. Tongkat Han Han
patah-patah menjadi tiga potong, akan tetapi dua helai rantai gelang itu pun
copot dari kedua telinga Si Nenek, merobek bagian bawah daun telinga di mana
rantai itu tergantung! Nyerinya begitu hebat bagi seorang nenek yang demikian
sakti, akan tetapi rasa kaget dan malu membuat ia menjadi marah dan nekat.
Kepalanya bergerak dan rambutnya sudah membelit leher Han Han.
Pemuda ini tak sempat mengelak, rambut itu seperti hidup,
tahu-tahu telah membelit dan mencekik leher. Otomatis kedua tangannya ia
gerakkan ke leher untuk melepaskan libatan dan menarik putus rambut itu, akan
tetapi pada saat itu, Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menggerakkan kedua
tangannya yang berkuku panjang, yang kiri mencengkeram ke arah ulu hati,
sedangkan yang kanan mencengkeram ke bawah pusar Han Han untuk meremas hancur
anggauta kelaminnya!
‘Koko, awas....!! Tak tertahankan lagi Lulu yang
menyaksikan gerakan nekat dan curang itu berseru. Nirahai menonton dengan
sepasang mata tak pernah berkedip dan hatinya menjadi tegang, namun ia tetap
waspada untuk mencegah kalau-kalau Lulu yang sudah tak enak berdiri sejak tadi
itu turun tangan membantu kakaknya.
Han Han sekarang bukanlah seperti Han Han dahulu ketika
baru keluar dari Pulau Es. Setelah menerima gemblengan dari Khu Siauw Bwee, dia
telah menguasai ilmu silat tinggi dan memiliki kewaspadaan seorang ahli. Dia
tidak akan patut disebut orang sebagai Pendekar Super Sakti kalau dia tidak
melihat gerakan kedua tangan nenek itu.
Dari gerakan pundak saja ia sudah mengetahui lebih dulu
sebelum kedua tangan nenek itu menerkam tubuhnya. Ia membiarkan lehernya
tercekik, mengerahkan tenaga untuk melindungi leher sehingga cekikan tidak
menghalangi pernapasannya, berbareng secepat kilat ia menggerakkan kedua tangan
menerima kedua tangan nenek itu sehingga dua pasang telapak tangan bertemu.
Nenek itu terus mencengkeram kedua tangan Han Han sambil mengerahkan tenaga
Toat-beng-tok-ciang. Akan tetapi Han Han tidak menolak, malah pemuda ini pun
mengerahkan sin-kang, yang kiri mengerahkan inti Swat-im Sin-ciang, yang kanan
mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang!
Dua orang itu berdiri tegak, rambut nenek itu mencekik
leher, kedua pasang tangan mereka saling cengkeram dan terjadilah adu tenaga
yang amat menegangkan bagi Lulu dan Nirahai. Mereka berdua maklum bahwa Han Han
dan nenek itu mengadu tenaga sakti yang amat berbahaya.
Kini tangan kiri nenek itu yang bertemu tangan kanan Han
Han yang mengepulkan asap dan kuku-kukunya yang panjang hangus, sedangkan
tangan kanannya menggigil. Muka nenek itu sebentar pucat sebentar merah,
napasnya terengah-engah dan ia berkata parau.
‘Aku Nenek Buyutmu.... Nenek Buyutmu....!! dan dari
kedua mata nenek itu bercucuran air mata!
Han Han merasa muak, juga kasihan. Air mata hanya dapat
dikeluarkan dari hati yang baik! Hanya orang yang berduka, orang yang menyesali
perbuatannya, orang yang kalah dan tertekan batinnya saja yang akan dapat
mengucurkan air mata. Dan tak dapat disangkal lagi, menangis sama dengan
berdoa, karena hanya orang yang menangis saja yang mendekatkan hatinya dengan
Tuhan!
‘Pergilah!! seru Han Han dan ia mengerahkan semua
tenaganya, mendorong dan tubuh nenek itu terlempar dibarengi jeritnya yang
menyayat hati. Rambutnya masih melibat leher Han Han karena dalam saat terakhir
itu, nenek ini masih tidak mau melepaskan niatnya membunuh Han Han, maka masih
melakukan perlawanan. Kalau saja dia mengaku kalah dan tidak melakukan
perlawanan dengan seluruh tenaga, agaknya ia akan terlempar saja dan masih
selamat.
Akan tetapi ia melawan, maka selain rambut kepalanya
coplok dan tertinggal semua di leher Han Han, juga tenaga yang ia kerahkan di
kedua tangannya membalik dan menghantam isi dadanya sendiri. Ia terbanting
dengan kepala tak berambut lagi, kedua telinga robek, dan tubuhnya hangus
sebelah. Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat tewas dalam keadaan yang lebih
mengerikan daripada kematian Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee!
Lulu berlari menghampiri kakaknya dan memeluk pundak Han
Han yang melepaskan libatan rambut dan membuang rambut itu dengan helaan napas
panjang. Kemudian ia melepaskan pelukan Lulu dan menengok ke kiri. Juga Lulu
mendengar suara ribut-ribut di antara para perajurit. Nirahai sendiri pun
memandang ke jurusan itu dan wajahnya berubah, keningnya berkerut.
‘Katanya diadakan perdamaian, kenapa hendak menghadap
Puteri Nirahai saja kalian ribut-ribut hendak menggunakan kekerasan?! Terdengar
suara lantang di antara hiruk-pikuk suara para perajurit.
‘Sin Kiat....!! Han Han berseru girang.
‘Biarkan mereka menghadap!! perintah Puteri Nirahai.
Para perajurit mundur dan membuka jalan, membiarkan serombongan orang muda
memasuki tempat itu. Mereka terdiri dari belasan orang muda, Sin Kiat berjalan
di depan dan orang-orang muda lainnya adalah murid-murid In-kok-san, empat
orang gadis dan belasan orang pemuda yang kesemuanya bersikap gagah. Han Han
melihat di antara mereka para murid In-kok-san ada yang pernah menyerang
Nirahai dalam jolinya.
Melihat Han Han dan Lulu, Sin Kiat berteriak girang dan
lari menghampiri. Akan tetapi ketika melihat Puteri Nirahai berdiri di situ,
Sin Kiat lalu menghadap puteri itu dan berkata gagah,
‘Aku bernama Wan Sin Kiat dan kawan-kawan ini adalah
murid-murid In-kok-san. Kami mendengar keributan yang terjadi di sini,
mendengar bahwa sahabat-sababatku Han Han dan Nona Lulu tertawan, maka kami
datang untuk mengajukan protes. Pemerintah mengumumkan perdamaian akan tetapi
mengapa sahabat-sahabatku ditawan?!
Sementara itu, para murid In-kok-san memandang
mayat-mayat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li dengan mata terbelalak,
bahkan empat orang gadis itu menangis, bukan karena duka melainkan karena
terharu melihat betapa musuh besar mereka, Ma-bin Lo-mo bekas guru yang
ternyata menjadi pembunuh keluarga mereka, kini telah menggeletak tak bernyawa.
Puteri Nirahai tersenyum dan memandang dengan sinar mata
dingin. ‘Apa yang terjadi di sini bukanlah urusan perang, melainkan urusan
pribadi. Dan kalian melihat sendiri, kedua orang yang kau maksudkan itu tidak
lagi menjadi tawanan kami. Bahkan kami memberi kebebasan kepada Suma Han untuk
bertanding melawan dua orang musuhnya tanpa campur tangan dari kami!!
Lega hati Sin Kiat mendengar ini dan ia menghampiri Han
Han, memegang tangan sahabatnya itu dan memandang penuh kagum, kemudian menoleh
kepada Lulu dengan sinar mata penuh kebahagiaan dapat bertemu kembali dengan
Lulu, penuh kemesraan sehingga wajah Lulu berubah merah sekali.
‘Suma Han! Engkau sudah merobohkan dua orang musuhmu,
dan kalau Lulu Sumoi mau pergi, silakan. Kalau engkau hendak pergi, aku pun
tidak akan menghalangi, hanya di sini aku menantang engkau untuk berpibu
mengadu kepandaian denganku pada malam nanti, tepat tengah malam, di puncak
Gunung Cengger Ayam di sebelah utara itu. Aku akan menanti di sana dan kalau
engkau tidak datang, aku hanya akan menganggap engkau sebagai seorang laki-laki
sombong yang hanya berani melawan orang-orang lemah, juga seorang pengecut
besar!!
‘Nirahai....!! Han Han terkejut dan menyebut nama itu
tanpa disadarinya. Akan tetapi, sambil mengebutkan lengan bajunya, Nirahai
sudah membalikkan tubuh dan pergi memasuki kemahnya.
Lulu menarik tangan Han Han dan pergilah orang muda itu
dari tempat itu. Dua orang murid In-kok-san mengangkat jenazah Ma-bin Lo-mo dan
Toat-beng Ciu-sian-li sambil berkata, ‘Mereka ini orang-orang jahat di waktu
hidup mereka, akan tetapi ini adalah jenazah-jenazah manusia dan mengingat
bahwa kami pernah menerima gemblengan mereka, kami akan memakamkan jenazah
mereka sebagaimana mestinya.!
Han Han menjadi terharu dan memandang kagum. Para
perajurit tidak ada yang berani menghalangi rombongan ini keluar dari daerah
perbatasan. Setelah murid-murid In-kok-san membawa pergi dua jenazah itu, hanya
tinggal Han Han, Lulu dan Sin Kiat yang duduk di dalam hutan. Han Han
menceritakan pengalamannya bersama Lulu, sedangkan Sin Kiat juga menceritakan
betapa dia menari-cari Han Han dan kemudian kebetulan sekali mendengar bahwa
Sin Lian dan Hian Ceng tewas dalam penyerbuan mereka ke perkemahan Ouwyang
Seng, mendengar pula berita mengejutkan bahwa Ouwyang Seng juga terbunuh dan
Han Han ditawan bersama Lulu.
Maka dengan nekat ia lalu menyusul, bertemu dengan
rombongan murid In-kok-san yang kesemuanya merupakan teman-teman seperjuangan
dan yang ikut pula bersamanya karena pada waktu itu perang telah dihentikan.
Setelah mereka menceritakan perjalanan masing-masing, Han
Han lalu bertanya sambil memandang Sin Kiat dengan sinar mata tajam penuh
selidik, ‘Sin Kiat, engkau adalah sahabatku terbaik, sahabat semenjak kita
kecil. Katakanlah sejujurnya, di depan adikku, apakah engkau setulus hatimu
mencinta Lulu?!
Wajah Sin Kiat menjadi merah, dan Lulu yang kedua pipinya
menjadi merah pula menunduk, jari-jari tangan kirinya mencabuti rumput di dekat
kakinya, jantungnya berdebar. Setelah mendengar keputusan Han Han dalam kamar
tahanan, begitu Sin Kiat muncul, ia amat memperhatikan pemuda itu dan memang
pemuda ini tak dapat dicela, gagah perkasa dan tampan, sikapnya pun
menyenangkan.
‘Han Han, seorang laki-laki sejati tidak akan
mempermainkan cinta kasih. Aku telah menyatakan kepada Adik Lulu tentang cinta
kasihku kepadanya. Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa aku mencinta
Adik Lulu sepenuh hatiku, mencinta dengan jiwa ragaku!!
Lega hati Han Han mendengar ini. ‘Dan engkau berjanji
akan melindunginya seperti engkau melindungi dirimu sendiri?!
‘Lebih dari itu! Kalau aku diberi kehormatan besar itu,
aku akan mendahulukan keselamatan dan kepentingannya. Aku rela berkorban nyawa
untuk melindunginya!!
Han Han menoleh kepada Lulu yang makin menunduk, memegang
tangan adiknya dan berkata, ‘Nah, kau mendengar sendiri, Lulu. Engkau tidak
akan menyesal selama hidupmu. Maka sekarang jawablah terus terang saja, aku
menjadi saksinya. Apakah engkau bersedia kalau dijodohkan dengan Sin Kiat?!
Sepasang mata yang indah dan lebar itu terangkat,
memandang Han Han dan dua butir air mata jatuh berderai di atas kedua pipinya,
bibirnya gemetar ketika ia berkata lirih, ‘Kalau itu yang kau kehendaki....!
‘Memang aku menghendaki engkau berjodoh dengan Sin
Kiat, adikku. Akan tetapi tentu saja aku tidak akan memaksamu kalau engkau
tidak setuju. Jawablah. Maukah engkau menjadi jodoh Wan Sin Kiat?!
Lulu menunduk dan menganggukkan kepalanya. Gerakan ini
membuat dua butir air mata baru jatuh lagi. Sin Kiat hampir tidak dapat percaya
akan mata dan telinganya sendiri. Mau rasanya ia menari-nari saking girangnya,
akan tetapi tentu saja ia merasa malu, hanya jantungnya yang berdebar-debar
menari-nari di dalam rongga dadanya.
‘Sin Kiat, engkau telah melihat sendiri. Adikku sudah
sepatutnya menjadi ratu rumah tangga. Sekarang harap engkau suka mengajak Lulu
pergi dan mempersiapkan acara pernikahan. Siapakah yang akan menjadi walimu dan
di mana kiranya upacara itu akan dilaksanakan?!
‘Aku sudah mengambil keputusan untuk mohon kepada suhu
agar suka menjadi waliku, adapun tempatnya, kurasa paling baik di rumah
Tan-piauwsu.!
‘Hemmm.... di Pek-eng-piauwkiok? Di kota Kwan-leng?!
‘Benar, aku tidak mempunyai keluarga, dan Tan-piauwsu
adalah orang yang amat baik, kuanggap keluarga sendiri.!
‘Baiklah. Kau berangkatlah bersama Lulu ke Kwan-teng,
buatlah persiapan upacara pernikahan. Tiga bulan lagi semenjak hari ini, aku
akan menyusul ke sana.!
Lulu tiba-tiba mengangkat muka dan berkata, ‘Koko,
kenapa begitu? Kenapa engkau tidak sekalian pergi bersama kami? Engkau hendak
pergi ke mana?!
‘Masih ada urusan yang harus kuselesaikan, Moi-moi.
Pertama-tama, malam ini aku harus memenuhi tantangan pibu dari Puteri Nirahai.!
‘Aihhhhh....! Aku.... aku ikut denganmu, Koko! Puteri
Nirahai adalah suciku, dan engkau adalah kakakku. Kini kalian hendak mengadu
kepandaian. Suci amat sakti, Koko, bagaimana kalau.... kalau.... ahh, aku
hendak menjadi saksi!!
‘Tidak boleh, Lulu. Dia mengajak pibu di tengah malam
di puncak Gunung Cengger Ayam, hal ini berarti bahwa dia tidak akan membawa
teman dan tidak menghendaki saksi. Mungkin dia merasa malu kalau-kalau akan
kalah. Tenangkanlah hatimu, aku akan berusaha mencapai kemenangan tanpa harus
membunuhnya. Kau berangkatlah sekarang juga bersama Sin Kiat dan tunggu
kedatanganku di Kwan-teng tiga bulan lagi.!
Wajah Lulu menjadi pucat dan ia terisak menangis.
‘Bagaimana kalau.... kalau engkau tidak datang, Koko? Kita baru saja bertemu
dan berkumpul dan.... dan.... engkau sudah menyuruhku pergi.... aku tidak ingin
berpisah denganmu.!
Han Han merasa jantungnya perih, akan tetapi ia memaksa
diri tersenyum dan memegang pundak adiknya. ‘Aku pasti akan datang, Lulu.
Tidak ada peristiwa yang lebih penting bagiku melebihi upacara pernikahanmu,
melihat engkau berbahagia. Hanya kematian saja yang akan mampu menggagalkan
kedatanganku tiga bulan mendatang di Kwan-teng, akan tetapi andaikata demikian,
aku pun akan puas karena percaya bahwa di sampingmu ada Sin Kiat yang akan
membela dan melindungimu dengan sepenuh jiwa raganya. Berangkatlah, Lulu dan
kau sudah berjanji akan menjadi adik yang baik, yang mentaati permintaan
kakaknya, bukan?!
‘Koko....!! Lulu menubruk dan karena Han Han sudah
bangkit berdiri, ia merangkul kaki tunggal itu sambil menangis. Berat sekali
rasa hatinya untuk pergi meninggalkan Han Han. Hampir saja Han Han tidak dapat
menahan keharuan hatinya dan kalau ia sampai balas memeluk adiknya, tentu dia
akan membiarkan adiknya ikut dia dan kelak bersama-sama ke Kwan-teng. Akan
tetapi ia mengeraskan hatinya, lalu berkata kepada Sin Kiat yang memandang
penuh keharuan dan bingung apa yang harus ia lakukan.
‘Sin Kiat, lekas kau ajak Lulu pergi, hari sudah hampir
gelap, jangan sampai kalian kemalaman di jalan dan di hutan.!
Sin Kiat menghampiri Lulu, memegang lengan gadis itu
dengan mesra dan hati-hati, mengangkatnya bangun dan berkata halus, ‘Marilah,
Moi-moi. Kakakmu memang benar, dan sepatutnya kalau kita mentaati apa yang
dikehendakinya. Tiga bulan lagi dia akan menyusul kita di Kwan-teng. Dia
bukantah orang yang tidak menepati janjinya, Moi-moi. Marilah!!
Sin Kiat menarik dengan halus dan terpaksa Lulu menurut,
akan tetapi gadis itu terisak-isak dan sambil berjalan digandeng Sin Kiat, ia
menoleh memandang ke arah kakaknya yang berdiri tegak sambil tersenyum, malah
Han Han melambaikan tangan, berkatat
‘Selamat jalan, Lulu adikku. Selamat berpisah sampai
jumpa kembali. Jangan kau nakal, ya?!
Tiba-tiba Lulu merenggutkan lengannya terlepas dari
gandengan Sin Kiat, lari menghampiri Han Han, merangkul leher dan mencium pipi
Han Han sambil tersedu-sedu.
‘Koko.... Koko.... sudah tetapkah keputusanmu....?!
Han Han menahan air matanya yang memenuhi pelupuk mata.
‘Pergilah, adikku sayang. Pergilah, doaku bersamamu....!
Lulu terisak, melepaskan rangkulan lalu lari meninggalkan
Han Han. Terpaksa Sin Kiat juga lari dan dari jauh Han Han melihat kedua orang
muda itu lari cepat berdampingan. Air matanya tak dapat ia tahan lagi, mengalir
turun ke atas kedua pipinya, bersatu dengan air mata Lulu yang membasahi
mukanya, matanya tak pernah berkedip sampai bayangan kedua orang itu lenyap.
‘Bodoh! Lemah!! Han Han memaki diri sendiri untuk
menguatkan hatinya, akan tetapi kaki tunggalnya menjadi lemas dan ia
menjatuhkan diri berlutut di tempat itu, merasa kehilangan, merasa sunyi dan
mulutnya berbisik-bisik, ‘Semoga Thian memberikan rahmat dan kasih sayangNya
kepadamu, Lulu adikku sayang....!!
Han Han termenung dalam keadaan itu, di tempat sunyi,
sesunyi hatinya yang terasa kosong. Setelah kegelapan menyelimuti dirinya,
barulah ia teringat akan tantangan Nirahai dan ia lalu meloncat bangun,
menyambar tongkat yang tadi ia buat dari ranting pohon, dan melesatlah tubuhnya
cepat sekali menuju ke gunung kecil Cengger Ayam untuk menghadapi Puteri
Nirahai!
Puncak bukit kecil itu merupakan padang rumput yang rata
dan malam itu amatlah terang di situ karena bulan sedang purnama. Mengertilah
Han Han mengapa Puteri Nirahai memilih tempat ini. Memang sunyi dan padang
rumput itu luas, leluasa untuk dijadikan tempat bertanding, pula malam itu
bulan purnama membuat tempat itu terang benderang seperti sinar matahari pagi.
Dia tiba di puncak menjelang tengah malam. Di tempat yang
sunyi ini Han Han duduk di atas rumput, diam-diam merasa heran mengapa Puteri
Nirahai menantang dia untuk pibu. Benarkah puteri itu hendak memenuhi janji,
datang di tempat yang sunyi ini? Benar-benar aneh watak puteri itu. Mengajak
pibu di tempat ini, tanpa saksi.
Bagaimana kalau terjadi seperti yang dikhawatirkan Lulu,
yaitu seorang di antara mereka roboh, terluka parah atau tewas? Tentu takkan
ada seorang pun manusia mengetahui dan akan terlantar! Apa boleh buat! Sebagai
seorang gagah, dia harus berani menghadapi kekalahan. Dan puteri itu, ahhh,
akan tegakah hatinya untuk melukai Nirahai?
Dia harus berani mengaku di dalam hatinya bahwa hatinya
amat tertarik oleh kecantikan dara itu, bahkan segala gerak-gerik Nirahai amat
menimbulkan gairah hatinya. Dan kini dia akan menghadapi dara itu sebagai
lawan! Bagaimana ia harus bersikap? Mengalah?
Tidak mungkin! Mengalah terhadap lawan biasa mungkin saja
dilakukan, akan tetapi terhadap seorang dara yang memiliki kesaktian luar biasa
seperti Nirahai, mengalah berarti menghina dan tentu akan diketahui oleh dara
itu!
Tiba-tiba Han Han meloncat berdiri ketika melihat
bayangan yang amat cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara,
berkelebat mendatangi dari depan. Jantungnya berdebar keras. Puteri Nirahai
telah berdiri di depannya, cantik jelita seperti dewi bulan turun dari
kahyangan, rambutnya yang hitam mengkilap tertimpa cahaya bulan, wajahnya yang
jelita seolah-olah diselaput emas, sepasang matanya bersinar-sinar. Puteri ini
benar-benar telah menepati janji, datang tepat pada tengah malam dan seorang
diri! Betapa gagahnya!
‘Bagus, engkau telah menanti di sini? Marilah kita
mulai!! Dara itu telah melintangkan pedang payungnya di depan dada.
Terpincang-pincang dibantu tongkatnya Han Han maju tiga
langkah menghadapi puteri itu. ‘Puteri Nirahai, apakah perlunya diadakan pibu
ini? Di antara kita tidak ada urusan sesuatu, perlu apa bertanding tanpa sebab
yang hanya akan mendatangkan kematian bagi yang kalah dan penyesalan di kemudian
hari bagi yang menang?!
‘Hemmm.... Suma Han, tidak akan mudah bagimu untuk
membunuh aku begitu saja seperti yang kau lakukan terhadap Ma-bin Lo-mo dan
Ciu-sian-li siang tadi!!
Han Han tersenyum. Puteri ini cantik, lihai, cerdik akan
tetapi juga angkuh dan bersikap agung sesuai dengan kedudukannya sebagai puteri
kaisar! ‘Katakanlah aku yang akan kalah dan mati di tanganmu. Apakah kelak
engkau tidak akan menyesal telah membunuh orang tanpa sebab dan tanpa dosa?!
‘Tiada gunanya bersilat lidah. Baiklah kukatakan saja
sebabnya agar engkau tidak menjadi penasaran dan menganggap aku gila
bertanding! Engkau adalah murid Bibi Guru Khu Siauw Bwee yang telah mewarisi
ilmu kepandaiannya yang dahsyat, bukan? Dan aku adalah murid guruku Nenek Maya.
Timbullah keinginan hatiku untuk membuktikan siapa yang lebih unggul di antara
kita!!
Han Han menghela napas panjang. ‘Puteri Nirahai,
sebenarnya di sudut hatiku, aku amat membenci penggunaan kekerasan. Membenci
perkelahian. Selama ini aku hanya dipaksa untuk berkelahi, padahal aku tidak
suka untuk bertanding, apalagi dengan engkau yang gagah perkasa dan lihai.
Engkau adalah pewaris ilmu-ilmu yang dahsyat dari pendekar-pendekar sakti jaman
dahulu, pewaris ilmu-ilmu dari pendekar wanita Mutiara Hitam, menjadi murid
Nenek Maya yang maha sakti. Biarlah, tanpa bertanding pun aku sudah mengakui
keunggulanmu dan aku mengaku kalah.!
‘Suma Han, apa kau kira aku ini anak kecil yang dapat
kau bujuk dengan kata-kata mengalah seperti diberi kembang gula? Tidak, aku
tidak mau menerima alasan seperti itu. Aku menantangmu untuk pibu dan aku hanya
akan meniadakan pibu ini kalau engkau mengaku bahwa engkau takut dan pengecut,
tidak berani melawanku!!
Wajah Han Han menjadi merah. Ia bukan seorang bodoh dan
maklum bahwa sengaja puteri itu menggunakan kata-kata ‘pengecut! hanya untuk
memaksanya. Dia tidak dapat mundur lagi. Bagi seorang gagah, dianggap takut dan
pengecut lebih hebat daripada mati.
‘Hemm, baiklah. Agaknya engkau sudah bertekad untuk
menguji kepandaianku yang tidak seberapa ini. Hanya satu pesan dan permintaanku
kepadamu sebelum kita mulai bertanding, Puteri Nirahai.!
‘Katakanlah, engkau cerewet benar. Apa pesanmu?!
Han Han tersenyum. Sikap dara ini, biarpun seorang puteri
kaisar yang angkuh, mengingatkan ia akan kegalakan Lulu!
‘Kalau aku menang dan kesalahan tangan sampai membuatmu
tewas dalam pertandingan ini, aku akan menyesali peristiwa ini selama hidupku,
engkau akan selalu terbayang olehku dan hidupku akan selalu dibayangi
penyesalan yang hebat. Sebaliknya kalau aku yang tewas, dan agaknya begitulah
mengingat akan kesaktianmu, aku pesan kepadamu, sudilah kiranya engkau tiga
bulan mendatang ini mengunjungi Kwan-teng, di Pek-eng-piauwkiok dan mewakili
aku melaksanakan upacara pernikahan antara adikku Lulu dengan Hoa-san Gi-hiap
Wan Sin Kiat. Maukah engkau berjanji?!
Puteri itu kelihatan kaget dan termangu-mangu.
‘Sumoi.... akan.... kawin?! Akan tetapi ia sudah menguasai hatinya dan
menjawab tenang, ‘Baiklah, aku berjanji memenuhi pesanmu itu. Mari kita
mulai!!
‘Aku sudah siap!! kata Han Han, memandang tajam penuh
kewaspadaan karena ia maklum bahwa senjata berupa payung itu tidak boleh
dipandang ringan.
‘Sambut serangan!! Nirahai berseru dan tiba-tiba mata
Han Han menjadi gelap karena payung hitam itu terbuka menyembunyikan tubuh
Nirahai dan tahu-tahu ujung payung yang runcing itu sudah meluncur ke arah
dadanya. Hebat bukan main serangan ini. Han Han kaget dan kagum, akan tetapi
cepat mengangkat tongkatnya menangkis dengan putaran pergelangan tangannya.
‘Cring-cring-cring....!! Setelah tiga kali menangkis,
baru Nirahai menghentikan tusukan bertubi-tubi dan berganti gerakan, payungnya
tiba-tiba tertutup dan tangan kirinya menampar dari samping mengarah pelipis Han
Han, sedangkan payung yang tertutup itu meluncur dengan totokan ke arah lutut
kiri lawan!
Han Han cepat mengelak dan melihat serangan itu disusul
dengan serangan-serangan dahsyat sekali secara bertubi-tubi, terpaksa ia lalu
bersilat dengan gerak kilat yang membuat tubuhnya seolah-olah menghilang, yaitu
Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun!
Namun dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat
dara itu memutar pedang payungnya sambil berputaran, mengarahkan pedang
payungnya itu ke atas! Seperti diketahui, ilmunya Soan-hong-lui-kun yang
berdasarkan gerak kilat itu selalu menitikberatkan serangan dari atas,
menggunakan kesempatan selagi tubuhnya mencelat-celat ke atas yang kecepatannya
tak mungkin dapat dicapai orang yang berkaki dua. Akan tetapi kini Nirahai
memutar tubuh dan pedangnya sehingga tubuhnya bagian atas seperti diselimuti
atau dilindungi benteng baja yang tak mungkin ditembus oleh air hujan sekali
pun! Inilah ilmu terbaru yang diajarkan Nenek Maya kepada Nirahai yang khusus
diciptakan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun!
Han Han menjadi penasaran juga karena sama sekali dia
tidak mendapat kesempatan menyerang kalau menggunakan gerak kilatnya, maka ia
meluncur turun dan membalas serangan lawan dengan mainkan tongkatnya,
mencampur-adukkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut dengan gerakan ilmu silat yang
ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es.
Nirahai sama sekali tidak berani memandang rendah. Tadi
ketika tubuh Han Han mencelat dan lenyap, ia kaget setengah mati. Cepat ia
mainkan ilmu yang diajarkan subonya melindungi tubuhnya bagian atas. Ia maklum
bahwa kalau saja dia tidak mempelajari ilmu baru itu, tentu dia akan tak
sanggup menghadapi ilmu mencelat-celat seperti itu yang kecepatannya saja sudah
membuat pandang matanya kabur, seolah-olah yang dihadapinya bukan manusia
melainkan iblis yang pandai menghilang!
Kini setelah Han Han menyerangnya dengan tongkat yang
dimainkan secara kuat dan cepat, hatinya menjadi tenang dan ia pun menggerakkan
pedang payungnya mengimbangi permainan lawan sehingga kedua orang yang sama
kuatnya ini bertanding secara hebat dan seru. Berkali-kali terdengar suara nyaring
ketika pedang payung bertemu dengan tongkat, dan terdengar bunyi bercuitan atau
berdesingan kalau senjata mereka yang menyambar itu dielakkan lawan yang
menusuk tempat kosong.
Han Han merasa tidak tega kalau dia menggunakan
sin-kangnya yang luar biasa, yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan
masa itu. Juga dia merasa bahwa kalau dia menangkan pertandingan mengandalkan
tenaga, ia merasa malu sendiri. Dia adalah seorang pria, dan lawannya seorang
wanita. Baru pembawaan mereka saja sudah berbeda semenjak lahir, tentu saja
pria lebih kuat. Maka dia hanya menggerakkan tenaga sin-kang sedikit saja untuk
mengimbangi kekuatan Nirahai.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan
bahwa hampir ia kecelik dan celaka karena perasaan sungkan ini. Ketika pedang
payung itu untuk kesekian kalinya menyambar, dan ia menangkis dengan tongkat,
tiba-tiba tongkatnya melekat pada senjata lawan dan payung itu diputar dengan
pengerahan tenaga sin-kang sedemikian kuatnya sehingga tongkatnya ikut pula
terputar!
Dia memperbesar tenaganya untuk bertahan, namun masih
saja tongkatnya terbawa! Kalau dilanjutkan, tentu tongkatnya itu akan patah
atau akan terlepas, maka terpaksa ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah
mengerahkan delapan bagian tenaganya, barulah tongkatnya terlepas!
‘Hebat!! Tak terasa lagi Han Han berseru karena kini
ternyata olehnya bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dara ini sama sekali tidak
boleh dipandang rendah, bahkan belum tentu kalah oleh para datuk kaum sesat,
malah agaknya sebanding dengan tenaga kedua orang pendeta Lama dari Tibet,
berarti hanya selisih sedikit di bawah tenaganya sendiri!
‘Sombong! kau boleh mengandalkan sin-kangmu!! Nirahai
berkata dan wajah Han Han menjadi merah. Menghadapi dara secerdik ini dia harus
berhati-hati. Baru jalan pikirannya saja yang tadinya tidak mau mengandalkan
sin-kangnya telah dapat diterka tepat oleh Nirahai!
Han Han mengerahkan kecepatannya dan masih mainkan
tongkatnya dengan Siang-mo Kiam-sut. Dasar dari ilmu pedang ini tentu saja
dikenal oleh Nirahai yang telah mewarisi banyak ilmu-ilmu peninggalan Mutiara
Hitam. Siang-mo Kiam-sut diciptakan oleh pendekar wanita sakti Mutiara Hitam,
akan tetapi tidak pernah dipelajari Nirahai karena memang peninggalan kitabnya
tidak ada.
Hanya saja, karena Han Han mainkan ilmu pedang ini dengan
pencampuran ilmu-ilmu yang dilatih nya di Pulau Es, Nirahai menjadi bingung dan
bersikap hati-hati. Pertama-tama dara ini menutup payungnya, mainkan payungnya
seperti sebatang pedang dengan ilmu pedang Pat-mo Kiam-hoat yang gerakannya
liar dan ganas, sesuai dengan namanya Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan
Iblis). Hebat bukan main ilmu pedang peninggalan Mutiara Hitam ini, akan tetapi
masih belum dapat mendesak Han Han.
Pemuda ini pun merasa jengah dan malu kalau mengalah
lagi. Biarpun dia masih tidak mau menggunakan pukulan maut, namun sambil
memainkan tongkatnya, ia masih menggunakan tangan kirinya, didorongkan ke depan
dari samping atau dari bawah, sehingga hawa yang amat kuat menyambar keluar
dari telapak tangannya, kadang-kadang ia menggunakan tenaga hawa panas,
kadang-kadang hawa dingin, akan tetapi selalu ia memukul ke arah pangkal bahu,
lengan, atau paha. Namun betapa kagumnya ketika dara itu tak sempat mengelak
lagi, dara itu pun dapat menangkis dengan kibasan tangan kirinya yang
mengeluarkan hawa sin-kang yang hampir sama kuatnya sehingga hawa pukulannya
menyeleweng!
Sampai habis semua jurus-jurus dari Pat-mo Kiam-hoat
dimainkan Nirahai, namun keadaannya tetap terdesak oleh tongkat Han Han. Gadis
ini memang hendak menguji, maka ia lalu mengeluarkan bentakan halus dan
tiba-tiba ilmu pedangnya berubah sama sekali, berbeda seperti bumi dengan
langit kalau dibandingkan dengan yang tadi. Kalau pedang payungnya tadi
bergerak seperti iblis-iblis mengamuk, ganas dan liar, kini gerakannya halus
teratur rapi, kelihatannya lambat namun sesungguhnya cepat, kelihatan lemah
namun sesungguhnya menyembunyikan kekuatan dahsyat sehingga setiap kali pedang
payung itu bergerak, terdengar suara bercuitan panjang! Inilah Ilmu Pedang Pat-sian
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang dahulu dicipta sebagai lawan dari
Pat-mo Kiam-hoat dan tentu saja lebih kuat dan dahsyat daripada ilmu pedang
yang pertama, dan Han Han kagum bukan main karena segera ia terdesak hebat!
Namun ia juga mengerahkan seluruh kepandaiannya, terutama
sekali mengandalkan gerak kilatnya sehingga dalam kecepatan ia selalu
mengetahui dan selalu dapat mengelak atau menangkis sambil membalas dengan
hebat sehingga perlahan-lahan ia dapat mengurangi desakan lawan, bahkan setelah
lewat seratus jurus lebih, dia kembali telah mendesak puteri itu sehingga
perbandingan serangan menjadi tiga dua yaitu dia menyerang tiga kali hanya
dapat dibalas dua kali oleh Nirahai.
Kembali dua ratus jurus telah lewat dan pertandingan
sudah berjalan kurang lebih empat jam! Sinar bulan makin menyuram tanpa terasa
dan tahu-tahu keadaan telah menjadi gelap karena bulan sudah lenyap di balik
puncak. Tiba-tiba Han Han meloncat ke belakang dan menghentikan serangannya.
‘Cuaca begini gelap, sebaiknya kita menghentikan
pertandingan,! katanya.
‘Sambut seranganku!! Nirahai yang kini hanya
mengandalkan ketajaman telinganya sudah menerjang dengan luncuran ujung pedang
payungnya.
‘Cringgg....!! Han Han menangkis dan kembali pemuda itu
meloncat, menggunakan gerak kilat sehingga loncatannya tidak menimbulkan suara
dan puteri itu menjadi bingung karena tidak tahu ke mana Han Han menyingkir,
sedangkan untuk menggunakan mata sudah tak mungkin lagi saking gelapnya cuaca
yang kehilangan sinar bulan sedangkan matahari masih terlalu pagi untuk dapat
menggantikan kedudukan bulan.
‘Hemmm, Suma Han! Di mana engkau? Apakah engkau
melarikan diri?! Terpaksa Nirahai bertanya, siap dengan pedang payungnya karena
begitu Han Han menjawab, dia akan dapat menyerangnya.
‘Suma Han, apakah engkau seorang pengecut?! Nirahai
bertanya lagi, gemas karena merasa dipermainkan. Dia tidak percaya bahwa pemuda
yang memiliki kesaktian luar biasa itu melarikan diri.
‘Jangan menyerang dulu! Dalam keadaan gelap seperti
ini, bagaimana bisa dilakukan pibu secara jujur dan adil? Kita tunggu sampai
pagi dan kita boleh melanjutkan pertandingan. Pula, aku lelah sekali, ingin
mengaso!!
‘Kita masih mempunyai telinga! Awas serangan!! Nirahai
meloncat ke depan dan menusukkan senjatanya ke arah datangtiya suara tadi.
‘Trakkk!! Nirahai terkejut karena senjatanya menusuk
sebuah batu besar. Kiranya pemuda itu bersembunyi di balik batu besar!
Han Han menahan ketawanya dan berkata, ‘Nirahai,
mengapa engkau seperti haus akan darahku? Aku memiliki gerakan kilat yang jika
kupergunakan dalam gelap ini, aku akan mudah menyerangmu dari belakang tanpa
kauketahui. Akan tetapi aku bukan seorang pengecut curang yang hendak
menggunakan kelebihan ini untuk mencapai kemenangan dalam gelap. Kita menanti
sampai pagi, kalau tidak mau, terpaksa aku akan pergi saja, tidak mau melayani
engkau yang haus darah!!
Nirahai penasaran dan marah sekali, tetapi ia tahu bahwa
ucapan pemuda itu memang ada benarnya. Ia menghela napas dan segera duduk
bersila di atas rumput, menjawab lirih, ‘Aku akan menanti sampai sinar
matahari pagi menerangi cuaca.!
Han Han menjadi lega hatinya. Bertanding melawan seorang
yang sakti seperti dara itu di dalam gelap, benar-benar amat berbahaya dan
kalau dia menghendaki kemenangan, agaknya dia harus terpaksa merobohkan dara
itu yang mungkin akan tewas. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki
terjadinya hal itu. Sama sekali tidak. Setelah empat ratus jurus lebih
bertanding melawan gadis ini, dia merasa makin tertarik, makin kagum dan
menaruh hati sayang. Maka ia pun lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaganya
dan mengatur pernapasannya.
Setelah berhenti bertanding, berhenti menggerakkan tubuh,
baru terasa oleh Nirahai betapa lelahnya dia dan betapa dinginnya hawa udara
menjelang pagi itu. Dia ingin mengaso dan memulihkan tenaga, maka tidak mau
menggunakan tenaga sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi, dengan
demikian ia menderita oleh hawa dingin sehingga mulutnya menggigil dan kedua
baris giginya saling beradu.
Han Han adalah seorang yang telah tinggal selama
bertahun-tahun di Pulau Es, bahkan melatih sin-kang di sana, maka tentu saja
hawa dingin di puncak Bukit Cengger Ayam ini baginya sama sekali tidak terasa
dingin. Dia boleh mengaso dan memulihkan tenaga dengan tenang, sama sekali
tidak menderita hawa dingin. Akan tetapi telinganya yang berpendengaran tajam
itu dapat menangkap suara gigi dara itu yang saling beradu karena menggigil
maka timbullah rasa iba di hatinya. Tanpa bicara sesuatu ia lalu pergi mencari
kayu, membuat api unggun di dekat Nirahai. Semua ini ia lakukan tanpa bicara
karena ia tahu bahwa seorang dengan hati sekeras itu tentu akan tersinggung
kalau ia membuka mulut. Ia membuat api unggun, seolah-olah dia sendiri yang
membutuhkannya, akan tetapi setelah api unggun itu menyala besar, ia lalu pergi
menjauh dan duduk di bawah sebatang pohon, menanti datangnya pagi.
Nirahai menjadi gelisah dan tak dapat bersamadhi sebagaimana
mestinya. Jantungnya berdebar-debar keras. Pemuda yang hebat sekali,
kepandaiannya benar-benar luar biasa dan sukar dicari keduanya. Dan hatinya
begitu mulia. Kalau keadaan tidak segelap itu, tentu ia akan menyembunyikan
mukanya yang terasa panas dan tentu merah sekali ketika Han Han membuat api
ungggun.
Betapa bijaksana pemuda itu yang tidak mau mengeluarkan
suara, namun dia bukan orang bodoh yang tidak mengerti betapa pemuda itu
sengaja menbuat api unggun untuk dia! Pemuda itu tahu bahwa dia menderita
kedinginan maka membuatkan api unggun sehingga kini tubuhnya terasa hangat dan
dia tidak terganggu hawa dingin sehingga dapat mengaso dan memulihkan tenaga
dengan bersamadhi. Akan tetapi, kini bukan hawa dingin yang mengganggunya,
melainkan hatinya yang berdebar keras!
Sinar matahari pagi mulai bercahaya kemerahan,
perlahan-lahan akan tetapi pasti sinar itu makin menjadi terang dan mulai
mengusir kabut tebal yang menyelimuti puncak bukit kecil itu. Kabut lari
membawa serta hawa dingin sehingga permukaan puncak bermandi cahaya matahari
dan bumi mengeluarkan hawa yang hangat seolah-olah menyambut dengan hangat
mesra kedatangan sinar matahari. Rumput-rumput hijau tegak semua, kehijauan
dengan ujung terhias mutiara air embun, seperti perawan-perawan jelita yang
muda dan segar sehabis mandi pagi.
Suma Han, mari kita lanjutkan pertandingan!!
Han Han membuka kedua matanya, sejenak ia mengagumi
keindahan cahaya matahari bercumbu dengan daun-daun pohon dan rumput-rumput,
kemudian ia menoleh dan memandang kepada Puteri Nirahai yang sudah berdiri
tegak dengan pedang payung di tangan. Biarpun hampir semalam bertanding dan
sama sekali tidak tidur, dara itu tidak tampak lesu atau kusut, bahkan wajahnva
segar kemerahan, hanya rambutnya yang sedikit terurai kusut namun malah
menambah kecantikannya yang aseli.
‘Suma Han, aku sudah siap! Mari kita lanjutkan!!
Nirahai menegur lagi ketika melihat pemuda itu hanya bengong memandang
wajahnya.
Han Han menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan
bersandar pada tongkatnya. Ia bersungut-sungut dan suaranya membayangkan
penyesalan hatinya, ‘Ah, sepagi ini enaknya mandi-mandi lalu minum teh panas
menyegarkan tubuh! Akan tetapi engkau sudah mendesakku mengajak bertanding.
Nirahai, demikian besarkah rasa sukamu akan berkelahi? Tiada bosan-bosannya
setelah setengah malam kita bertanding?!
Sepasang alis Nirahai bergerak. ‘Semalam kita belum
selesai bertanding, terhalang kegelapan dan aku pun belum merasa kalah. Mari
kita segera melanjutkan untuk menyelesaikan pibu agar diketahui siapa di antara
kita yang lebih unggul!!
Han Han mengerti bahwa seorang seperti puteri ini kalau
sudah menghendaki sesuatu pasti akan dikejarnya sampai dapat. Dia harus
menyelesaikan pertandingan ini, dan dia akan mengalahkan Nirahai untuk
menundukkan hati yang keras ini, untuk menundukkan keangkuhannya.
‘Baiklah, Nirahai, kalau demikian kehendakmu. Majulah!!
Han Han menantang sambil melintangkan tongkatnya di depan dada dan kaki
tunggalnya berdiri tegak, sepasang matanya memandang tajam bersinar-sinar.
Ketika tadi bersamadhi, Nirahai memutar otaknya. Dia
telah mengeluarkan Pat-mo Kiam-hoat, kemudian malah mainkan Pat-sian Kiam-hoat,
namun kedua ilmu pedangnya yang sukar dicari tandingannya itu ternyata tidak
mampu mendesak Han Han. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan
seluruh simpanan ilmunya untuk menguji kepandaian pemuda berkaki satu ini. Maka
begitu melihat sikap Han Han, ia lalu membentak nyaring dan kedua tangannya
bergerak.
‘Sambut jarum-jarumku!!
Han Han melihat berkelebatnya sinar-sinar kecil dan
mencium bau yang amat harum. Ia kagum dan terkejut. Jarum-jarum yang
mengeluarkan bau harum ini amat berbahaya, selain cepat seperti menyambarnya
kilat, juga bau yang harum itu memabukkan, dapat menyeret perhatian lawan
sehingga kurang cepat menyelamatkan diri, dan mencium baunya yang harum, Han
Han dapat menduga bahwa tentu senjata-senjata rahasia yang halus dan paling
berbahaya, di antara segala senjata rahasia ini tentulah mengandung racun. Maka
ia pun cepat menggerakkan tubuhnya, mencelat ke sana sini. Nirahai terus
menggerakkan kedua tangannya, menyambit dengan jarum-jarumnya ke mana pun
bayangan Han Han berkelebat.
Dan dara ini benar-benar kagum sekali. Jarum-jarumnya
memang ia pergunakan untuk menguji sampai di mana kehebatan gin-kang dari
pemuda itu, sampai di mana kecepatan gerak kilatnya. Dia sendiri tidak mungkin
dapat mengimbangi kecepatan itu dengan gerakan tubuhnya, maka ia menggunakan
jarum-jarumnya. Dan ternyata, jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum)
yang biasanya sekali lepas tentu mengenai lawan itu, kini tidak ada artinya
sama sekali terhadap Han Han. Sampai habis semua jarumnya disambitkan, tidak
sebatang pun mengenai Han Han yang terus berloncatan mengerahkan ilmunya
Soan-hong-lui-kun! Setelah dara itu tidak menyambit lagi karena jarumnya habis,
barulah Han Han meloncat turun di tempat tadi, mukanya biasa saja hanya matanya
memandang tajam ke arah Nirahai.
Nirahai yang selain merasa kagum juga merasa penasaran
sekali, cepat menerjang maju dengan pedang payungnya. Han Han sudah siap dengan
tongkatnya, mulai ia mengelak ke sana-sini untuk melihat dulu sifat-sifat
serangan gadis itu. Apakah akan menggunakan ilmu pedang yang telah dimainkan
semalam? Akan tetapi ternyata tidak, dan sekali ini permainan pedang payung itu
berbeda lagi dengan kedua ilmu pedang yang sudah dimainkan semalam. Jauh lebih
aneh dan hebat karena sekarang Nirahai telah membuka payungnya dan mulailah ia
mainkan ilmu pedang simpanannya yang paling diandalkan, yaitu Tiat-mo Kiam-sut
(Ilmu Pedang Payung Besi) yang merupakan penggabungan dari Ilmu Pedang Pat-mo
Kiam-hoat dan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat!
Payung itu membuka menutup secara tiba-tiba dan terputar
merupakan perisai dan menyembunyikan gerakan-gerakan Nirahai. Sehingga
datangnya serangan dengan ujung payung meruncing itu sama sekali tidak dapat
diduga oleh Han Han. Setelah Nirahai mainkan ilmu pedangnya yang aneh ini, Han
Han terkejut sekali dan terdesak hebat! Namun ia dapat menghindarkan bahaya
dengan loncatan dan gerak kilatnya.
Sambil mengelak ini ia diam-diam memperhatikan dan merasa
kagum karena ilmu yang dimainkan dara ini memang luar biasa sekali, kelihatan
kacau-balau namun menyembunyikan jurus-jurus yang mengerikan. Itulah
penggabungan dua macam ilmu pedang yang sesungguhnya berlawanan sifatnya!
‘Kiam-sut yang aneh!! Han Han berseru dan kini terpaksa
ia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya sehingga tongkatnya menggetar
mengandung hawa Hwi-yang Sin-ciang dan setiap kali menangkis pedang payung,
Nirahai merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat dan hampir saja payung
itu terlepas dari pegangannya! Ia mengeluarkan suara melengking keras dan
memperhebat desakannya. Namun, gerakan Han Han terlampau cepat baginya, apalagi
pada saat pemuda itu hampir terkena serangan, tangkisan tongkat pemuda itu
membuat Nirahai terhuyung mundur. Tangkisan dengan pengerahan tenaga yang
mukjizat itu benar-benar terlampau kuat bagi Puteri ini.
Kembali dua ratus jurus lewat dan dengan ilmu gabungan
itu, masih juga Han Han tak dapat dirobohkan oleh Nirahai! Dara itu menjadi
marah dan penasaran sekali, tiba-tiba ia membentak dan pedang payungnya membuat
gerakan serangan yang amat ganas. Senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar
melingkar-lingkar yang menutupi jalan keluar Han Han karena sudah mengurung di
bagian atas, tidak memberi kesempatan bagi Han Han untuk meloncat ke atas,
sedangkan tangan kiri dara itu memukul dengan ilmu pukulan maut
Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ulat Sakti)! Bukan main ganas dan dahsyatnya
ilmu-ilmu itu sehingga Han Han berseru kaget. Terpaksa ia mengerahkan tenaga
pada tongkatnya, menangkis dan dengan tangan kirinya ia mendorong ke arah
pukulan lawan.
‘Krekkk! Plakkk.... desssss!! Cepat sekali terjadinya.
Payung itu patah menjadi dua, telapak tangan kiri mereka bertemu dan....
lambung kiri Han Han dicium ujung sepatu Nirahai yang mengirim tendangan kilat.
Han Han mencelat ke belakang, menyeringai menahan rasa
nyeri karena biarpun ia tidak terluka dalam, ujung sepatu yang runcing itu
membuat kulit lambungnya lecet! Di lain pihak, Nirahai dengan muka pucat
memandang gagang payungnya.
‘Maaf, Nirahai. Aku telah kena kautendang, aku mengaku
kalah.!
Nirahai memandang dengan mata mendelik, akan tetapi bagi
Han Han, dara itu tampak makin menarik, mengingatkan ia kepada Lulu kalau
sedang ngambek!
‘Suma Han, benar bahwa pedang payungku telah patah,
akan tetapi aku pun telah berhasil menendangmu, maka jangan kau mentertawakan
aku lebih dulu. Aku belum kalah. Mari kita lanjutkan!! Setelah berkata
demikian, Nirahai menerjang maju menyerang Han Han.
‘Aiiihhhhh....!! Han Han terkejut ketika melihat sinar
kuning emas yang menyilaukan mata dan tahu-tahu ada hawa yang mukjizat
menyambar ke arah dadanya ketika sinar kuning emas itu meluncur dan menusuk
dada.
‘Tranggggg....!! Ia menangkis dengan tongkatnya dan
keduanya terpental mundur.
Han Han memandang dengan mata terbelalak. ‘Aihhh....
itukah senjata keramat Suling Emas?! Ia berseru.
Nirahai tersenyum mengejek, yakin akan keampuhan senjata
di tangannya. ‘Payungku telah kaupatahkan, akan tetapi aku masih memegang
suling keramat ini, Suma Han. Hendak kulihat apakah engkau akan dapat
mengalahkan senjata keramat ini!!
‘Ahhh, Nirahai, mengapa engkau menggunakan senjata
keramat itu hanya untuk menguji kepandaianku? Kalau sampai aku tewas, hal itu
tidaklah amat penting, akan tetapi kalau senjata keramat itu sampai minum
darahku, bukankah hal itu patut disesalkan? Bukankah hal itu berarti engkau
mengotorkan senjata keramah itu? Marilah kita hentikan, atau kalau dilanjutkan
juga, kita menggunakan kedua tangan kosong!!
‘Hemmm, kaukira aku sebodoh itu mudah saja kautipu?
Engkau mengandalkan sin-kangmu yang amat kuat, kalau kita bertanding dengan
tangan kosong, tentu aku yang kalah. Apakah kau takut menghadapi aku yang bersenjata
suling emas?!
‘Engkau memang nekat! Marilah!! Han Han berkata,
jengkel juga melihat desakan dara ini.
‘Sambut ini!! Nirahai sudah menerjang cepat dan kini ia
mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emas. Terdengar suara aneh
seolah-olah suling itu ditiup, tampak sinar gemerlapan menyilaukan mata dan
terbentuklah gulungan sinar kuning emas melingkar-lingkar seperti seekor naga
emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di dalam sinar matahari pagi!
Perlu diketahui bahwa Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat
adalah ilmu pedang yang dahulu dimiliki pendekar sakti Suling Emas, dan memang
paling tepat dimainkan dengan senjata keramat ini. Malam tadi Nirahai sudah
mainkan Pat-sian Kiam-hoat untuk menyerang Han Han akan tetapi dia tidak
berhasil karena dia mainkan ilmu itu dengan pedang payung. Kini setelah ia
mainkan ilmu itu dengan suling emas, kehebatannya menjadi berlipat ganda
sehingga kembali untuk kesekian kalinya Han Han terdesak hebat.
Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaiannya,
mengandalkan kecepatannya, akan tetapi ia lebih banyak mengelak dan menangkis
daripada menyerang sehingga setelah lewat seratus jurus, sudah dua kali ia
dicium ujung suling, yaitu pada pangkal lengan kirinya dan pada pahanya
sehingga baju di bagian itu robek dan kulitnya berdarah.
Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang amat kuat
sehingga ia masih dapat bertahan dan tidak roboh. Rasa penasaran membuat dia
melakukan perlawanan sekuatnya. Tadinya memang dia tidak suka mengandalkan
sin-kangnya untuk mengalahkan Nirahai karena ia khawatir kalau-kalau akan
mengakibatkan Nirahai terluka parah atau tewas. Akan tetapi kini melihat
desakan Nirahai yang seolah-olah hendak bersikeras membunuhnya, mulailah ia
melawan.
Ketika sinar kuning emas yang menyilaukan matanya itu
menyambar ke arah dada, ia cepat menggerakkan tongkat di tangan kirinya untuk
menangkis dan terus mengerahkan sin-kang sehingga suling itu melekat pada
tongkatnya. Nirahai mengeluarkan seruan kaget karena tiba-tiba suling yang
dipegangnya itu menjadi panas seperti dibakar, telapak tangannya terasa panas
sekali. Maklumlah ia bahwa pemuda itu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang. Ia
mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan sedangkan tangan kirinya ia hantamkan ke
perut Han Han dengan ilmu Sin-coa-kun. Akan tetapi Han Han menerima pukulan ini
dengan telapak tangan kanannya sambil mengerahkan hawa sakti Hwi-yang
Sin-ciang.
‘Plakkk!! Kepaian tangan Nirahai menempel pada telapak
tangan kanan Han Han dan seketika tubuh dara itu menggigil!
‘Lepaskan sulingmu....!! Han Han membentak, suaranya
halus karena dia tidak ingin menyinggung perasaan dara itu.
‘Tidak!! Nirahai membantah biarpun tangannya yang
memegang suling seperti dibakar rasanya dan dari tangan kirinya menjalar hawa
dingin yang membuat ia menggigil.
Kedua orang muda itu berdiri seperti arca, saling tidak
mau mengalah, akan tetapi juga saling menjaga agar tidak mencelakakan lawan!
Kalau Han Han menghendaki, dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, tentu
Nirahai akan roboh dan tewas, akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini.
Di lain pihak, Nirahai yang kini sudah merasa yakin benar
bahwa dia tidak dapat mengalahkan Han Han, diam-diam menjadi kagum sekali dan
kini ia membuat ujian terakhir, yaitu ingin melihat apa yang akan dilakukan Han
Han. Akan membunuhnya? Ataukah.... seperti yang dia harapkan, pemuda ini
menaruh hati sayang kepadanya?
‘Memalukan!! Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan
tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali ke arah dua orang muda itu. Nirahai
dan Han Han tiba-tiba merasa tubuh mereka terlempar ke belakang oleh tenaga
yang amat dahsyat.
‘Subo....!! Nirahai berseru dan menghampiri Nenek Maya,
dua titik air mata menetes di pipinya dan mukanya menjadi merah sekali.
‘Subo....!! Han Han berlutut di depan Nenek Khu Siauw
Bwee.
Akan tetapi kedua orang nenek itu tidak mempedulikan
murid mereka, melainkan berdiri tegak saling pandang dengan mata yang sukar
dilukiskan. Ada rasa haru, rasa sayang, rasa dendam dan penasaran bercampur
aduk menjadi satu pada sinar mata kedua orang nenek sakti itu.
‘Suci....!! Akhirnya Nenek Khu Siauw Bwee menegur,
suaranya halus dan anehnya, ada rasa iba terkandung di dalam suaranya ini.
‘Sumoi....! Syukur.... engkau masih hidup....!! Nenek
Maya berkata, suaranya dingin sehingga sukar diduga perasaan apa yang tersembunyi
di balik kata-katanya.
Han Han dan Nirahai hanya memandang dengan hati tegang
menyaksikan pertemuan antara kedua orang nenek sakti itu.
‘Sumoi, jangan kira bahwa muridmu telah dapat menangkan
muridku. Jelas kulihat tadi bahwa Nirahai tidak bersungguh-sungguh, kalau dia
bersungguh-sungguh, tentu dia sudah dapat membunuh muridmu!!
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum dan dengan suara tenang
menjawab, ‘Suci, tidak terbalikkah wawasanmu itu? Kulihat, Han Han yang
mengalah tadi!!
‘Tidak bisa. Muridku masih lebih lihai daripada
muridmu!! bentak Nenek Maya tidak mau kalah.
Nenek Khu Siauw Bwee yang jelas memiliki watak lebih
sabar dan halus, menoleh ke arah Han Han dan bertanya, suaranya keren, ‘Han
Han, mengapa engkau tadi tidak menggunakan seluruh tenagamu di saat terakhir?
Mengapa engkau mengalah?!
Han Han tidak mau menyinggung hati Nirahai, maka sambil
menundukkan muka ia berkata, ‘Dia terlampau sakti, subo. Teecu memang kalah.!
Wajah Nirahai menjadi makin merah mendengar ini dan ia
pun menunduk, tidak berani menentang pandang mata Han Han.
‘Nirahai, ketika kalian berdua berdiri mengadu tenaga
tadi, ada kesempatan baik bagimu. Sekali menendang dengan tendangan sakti ke
arah bawah pusarnya, bukankah lawanmu akan kehilangan nyawanya? Mengapa engkau
mengalah?! Nenek Maya menegur muridnya pula, suaranya galak.
‘Maaf, subo. Teecu.... teecu tidak mampu
mengalahkannya. Dia terlalu lihai dan teecu memang kalah!!
Han Han mengangkat muka. Nirahai mengangkat muka. Dua
pasang sinar mata bertemu pandang, sejenak bertaut, penuh perasaan dan
seolah-olah dalam persilangan sinar mata itu terjadi pencurahan seribu
kata-kata yang tak terucapkan, membuat keduanya segera menunduk kembali dengan
jantung berdebar.
‘Hemmm.... bocah-bocah ini saling mengalah, mana bisa
diukur siapa di antara ilmu kita yang lebih tinggi? Sumoi, marilah kita
lanjutkan sendiri!!
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum mengejek. ‘Kita
lanjutkan pertandingan puluhan tahun yang lalu, suci? Baiklah, tapi ingat,
sekarang aku tidak akan suka mengalah lagi kepadamu, suci.!
Nenek Maya tertawa dan Han Han harus mengakui bahwa
biarpun usianya sudah amat tua, akan tetapi ketika tertawa nenek itu masih
mempunyai daya tarik yang luar biasa! ‘Sumoi, sekarang pun engkau masih
takkan dapat mengalahkan aku!!
‘Bagus! Kaukira setelah kakiku buntung satu, engkau
dapat memandang rendah kepadaku?! Nenek Khu Siauw Bwee berkata marah.
‘Majulah, Khu Siauw Bwee!!
Nenek Khu Siauw Bwee mengeluarkan suara bentakan halus
dan tubuhnya lalu lenyap karena dia sudah mencelat cepat sekali, gerakannya
lebih cepat dari Han Han dan bagaikan kilat menyambar, dia sudah menyerang
Nenek Maya. Akan tetapi Nenek Maya sudah menggerakkan kedua tangan ke atas dan
menyambut serangan sumoinya. Dua lengan bertemu dan Nenek Khu Siauw Bwee
mencelat ke atas lagi, terus menyambar-nyambar dari atas dengan hebatnya. Di
lain pihak, Nenek Maya yang sudah siap menciptakan ilmu yang khusus untuk menghadapi
ilmu nenek kaki tunggal ini, tetap berdiri tegak, hanya memutar tubuh
menghadapi ke arah menyambarnya tubuh sumoinya dan selalu dapat menangkis
sambil balas memukul. Pertandingan hebat sekali terjadi.
Han Han dan Nirahai yang masih berlutut memandang
bengong. Cemas sekali hati mereka, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri
urusan antara guru-guru mereka yang masih ada hubungan dekat itu, suci dan
sumoi! Mereka melihat pertandingan yang lebih hebat daripada pertandingan
mereka tadi. Melihat betapa tubuh Nenek Khu Siauw Swee menyambar-nyambar
seperti seekor burung garuda, sedangkan Nenek Maya tegak seperti seekor harimau
yang siap mencakar di saat sang garuda menyambar ke bawah.
Tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee yang masih
berjungkir-balik di udara cepat sekali itu mengeluarkan lengking nyaring,
tubuhnya menerjang dan menukik ke bawah, tangan kirinya mencengkeram ke
ubun-ubun Nenek Maya. Nenek Maya menangkap tangan sumoinya itu dan tangan kedua
orang nenek yang tidak saling mencengkeram itu bergerak cepat memukul.
‘Celaka....!! Han Han dan Nirahai berseru hampir
berbareng dan dengan muka pucat mereka berdua memandang betapa guru
masing-masing terhuyung ke belakang dan muntah darah lalu roboh terguling. Akan
tetapi keduanya dapat merangkak bangun, saling pandang dan tiba-tiba Nenek Khu
Siauw Bwee berkata lemah.
‘Suci, engkau memang hebat!!
‘Sumoi, engkau lihai! Pukulanmu mendatangkan maut....!!
‘Aku pun takkan dapat hidup lagi, suci. Pukulanmu
meremukkan isi dada....!
‘Ah, sumoi.... Siauw Bwee.... aku telah berdosa besar
padamu. Kasihan sekali engkau, sumoi.... puluhan tahun hidup menderita karena
senelah kakimu kubikin buntung.... kaumaafkan aku sumoi....!
‘Tidak, Suci Maya.... akulah yang menaruh kasihan
kepadamu.... penderitaanku hanya penderitaan lahir, akan tetapi kau.... ah,
suheng ternyata mencinta aku seorang dan kau.... kau menderita batin yang
hebat....!
Kedua orang nenek itu merangkul saling menghampiri, lalu
saling rangkul sambil menangis!
Han Han memandang dengan muka pucat, sedangkan Nirahai
memandang dengan air mata bercucuran. Terharu hati Han Han melihat puteri itu
menangis. Tadinya, sukar baginya membayangkan Puteri seangkuh dan sekeras itu
hatinya mengucurkan air mata!
Setelah bertangis-tangisan dalam menghadapi maut itu, Khu
Siauw Bwee berkata, ‘Suci, apakah engkau melihat apa yang kulihat?!
‘Murid-murid kita....!! Khu Siauw Bwee berkata.
Maya tersenyum menyeringai menahan rasa sakit di dadanya
oleh tamparan tangan sumoinya di punggungnya tadi. Ia mengangguk.
Khu Siauw Bwee menekan dadanya yang tadi terpukul
sucinya. ‘Suci...., kita sudah saling memaafkan.... biarlah kita akhiri
pertentangan ini dengan persatuan. Aku mewakili muridku, suci.... mengajukan
lamaran kepadamu agar muridmu menjadi jodoh muridku....!
Nenek Maya tertawa terkekeh-kekeh girang akan tetapi ia
berhenti tertawa karena dadanya menjadi makin sesak. ‘Baik.... kuterima
pinanganmu.... hi-hi-hik, bagus sekali, memang pantas.... Nirahai menjadi
isteri Suma Han....! Eh, sumoi, sayang kita tak dapat menyaksikan....!
‘Han Han, engkau mendengar sendiri suci telah menerima
pinanganku. Engkau tentu suka menjadi suami Nirahai, bukan?!
Jantung Han Han memukul keras, seolah-olah akan pecah
dadanya. Ia menoleh ke arah Nirahai yang mukanya juga menjadi pucat. ‘Subo,
teecu.... teecu mana berharga untuk....?!
‘Jangan bicara tentang berharga atau tidak. Pendeknya,
engkau mau atau tidak? Jawab!! Nenek Khu Siauw Bwee berkata sambil menekan
dadanya.
Han Han mengangguk dan tidak berani melirik ke arah
Nirahai. ‘Tentu saja...., teecu akan merasa bahagia dan terhormat sekali,
teecu mau, subo.!
‘Hi-hi-hik, itulah jawaban laki-laki! Eh, Nirahai,
bagaimana dengan engkau? Maukah engkau menjadi isteri pemuda kaki buntung ini?
Engkau pernah mengatakan bahwa engkau hanya mau menjadi isteri seorang pemuda
yang dapat mengalahkan engkau. Dan jelas bahwa engkau takkan dapat menangkan
Suma Han. Bagaimana?!
Nirahai yang biasanya tabah itu, kini menundukkan mukanya
yang menjadi merah kembali, jawabnya lirih, ‘Teccu.... menurut perintah
subo.!
‘Eh, bukan jawaban gagah itu! Engkau mau atau tidak?
Jawab!! Sikap Nenek Maya persis seperti sikap Nenek Khu Siauw Bwee tadi.
Nirahai menunduk makin dalam. ‘Teecu.... teecu mau....!
Dua orang nenek itu tertawa, tertawa bergelak-gelak
sambil saling rangkul, dengan dua pasang mata tua mengeluarkan air mata.
‘Subo....!! Seperti berlumba cepat Han Han dan Nirahai
sudah menubruk guru masing-masing dan ternyata bahwa dua orang nenek itu telah
tewas sambil berpelukan. Mereka dahulu bermusuhan, akan tetapi dalam ambang
maut mereka saling peluk dan tertawa, juga menangis!
Nirahai terisak menangis. Han Han berlutut sambil
menunduk duka. Setelah reda tangis Nirahai dan gadis itu dengan mata merah
menoleh kepadanya, mereka saling pandang dan Han Han berkata halus lirih.
‘Lebih baik kita mengubur jenazah mereka. Di mana
sebaiknya dimakamkan?!
Nirahai mengangguk, juga menjawab lirih, ‘Sebaiknya di
sini saja. Tempat ini amat baik, bersih dan sunyi.!
Tepat sekali. Memang tempat ini amat baik, bahkan
merupakan tempat keramat bagi kita.!
Nirahai memandang wajah pemuda itu. ‘Mengapa begitu?!
‘Bukankah tempat ini yang mempertemukan kita,
bahkan.... yang menjadi saksi perjodohan kita?!
Nirahai menjadi merah mukanya. Mereka saling
berpandangan, kemudian dara itu berbisik, ‘Marilah kita menggali tanah untuk
makam mereka....!
Han Han meloncat bangun dan pemuda ini merasakan
kegembiraan yang luar biasa sekali, yang membuat tangannya terasa ringan ketika
ia menggunakan tongkatnya untuk menggali tanah di bawah pohon di pinggir padang
rumput. Nirahai mengambil pedang payungnya yang sudah patah, lalu menggunakan
ujung payung yang runcing itu untuk menggali sebuah lubang di pinggir lubang
yang digali Han Han. Mereka berdua seperti berlumba dan Han Han sengaja
mengurangi tenaganya sehingga lubang yang dua buah itu selesai digali dalam
waktu berbareng. Karena keduanya merupakan orang-orang yang memiliki tenaga
sakti, dalam waktu pendek saja dua buah lubang yang cukup dalam telah tergali.
Dengan penuh khidmat dan tanpa berbicara, mereka lalu
mengubur kedua jenazah itu berdampingan, lalu menutup lubang itu dengan tanah
galian. Ketika melakukan ini, Nirahai menangis dan Han Han menghiburnya dengan
kata-kata halus. Setelah selesai Han Han mencari dua buah batu besar dan kedua
orang muda itu kembali seperti berlumba, mengukir permukaan batu nisan dengan
ujung tongkat dan ujung payung.
Han Han mengukir huruf-huruf yang berbunyi :
MAKAM NENEK KHU SIAUW BWEE, SUMOI TERCINTA DARI NENEK
MAYA.
Adapun ukiran Nirahai berbunyi sebaliknya:
MAKAM NENEK MAYA, SUCI TERCINTA DARI NENEK KHU SIAUW
BWEE.
Ukiran Han Han lebih dalam, tanda bahwa tenaganya lebih
kuat, akan tetapi ukiran yang dibuat Nirahai lebih halus tulisannya. Kini tanpa
bicara kedua orang itu memperbaiki ukiran masing-masing, Nirahai memperhalus
ukiran Han Han sebaliknya pemuda itu memperdalam ukiran Nirahai. Setelah
selesai, mereka lalu berlutut di depan kedua nisan yang dipasang di depan makam
kedua orang nenek sakti itu. Hari telah menjadi malam dan kedua orang itu masih
berlutut di depan makam.
Untuk mengusir hawa dingin, Han Han membuat api unggun
kemudian duduk menghadapi api unggun, duduk di atas rumput dekat dengan
Nirahai. Keduanya merasa canggung, akan tetapi kemudian Han Han menghela napas
panjang dan berkata.
‘Nirahai, aku merasa seperti mimpi dan masih belum
percaya benar bahwa semua ini dapat terjadi. Seorang puteri kaisar seperti
engkau, berkedudukan tinggi dan mulia, cantik jelita, berilmu tinggi, mau
menjadi calon isteri seorang seperti aku.... yang....!
‘Ssttttt, jangan lanjutkan, Han Han. Aku yang merasa
heran mengapa engkau mau dijodohkan dengan aku?!
Mereka saling pandang dan kini sinar mata mereka saling
berusaha menembus dan menjenguk isi hati masing-masing. Sinar api unggun yang
bermain di wajah mereka membuat wajah mereka kemerahan dan menyembunyikan warna
kedua pipi mereka yang merah sekali.
‘Telah lama sekali aku aku jatuh cinta kepadamu,
Nirahai. Semenjak aku datang ke Pulau Es....!
!Heee....? Menurut keterangan Lulu, engkau masih kecil,
baru berusia belasan tahun ketika kalian datang ke pulau itu....! Betapa
mungkin?!
‘Benar, dan di sanalah, di dalam Istana Pulau Es itu,
pertarna kali aku melihatmu, Nirahai, dan sekaligus hatiku telah terpikat....
dan aku telah jatuh cinta!!
Percakapan itu mengusir rasa canggung kedua pihak dan
Nirahai tertawa geli.
‘Ihhh, kiranya engkau seperti Lulu pula, suka bergurau!
Kita baru saling jumpa pertama kali di istana ketika kau datang menyerbu, dan
selama hidupku aku tidak pernah datang ke Pulau Es!!
‘Memang bukan engkau, Nirahai, melainkan sebuah arca
yang amat indah buatannya, seolah-olah hidup. Di sana terdapat tiga buah arca,
yang sebuah adalah arca Koai-lojin, yang ke dua arca Subo Khu Siauw Bwee dan
yang ke tiga adalah arca Subo Maya, yaitu ketika mereka masih muda. Arca Subo
Maya itu serupa benar dengan engkau, Nirahai. Karena itu, begitu aku bertemu
denganmu, tentu saja bagiku sama halnya dengan bertemu orang yang arcanya
membuat aku tergila-gila itu. Herankah engkau betapa bahagia dan gembiranya rasa
hatiku ketika subo menjodohkan aku dengan engkau? Serasa kejatuhan bulan
purnama....!!
Pada saat itu, bulan purnama mulai muncul dan otomatis
Nirahai memandang bulan. Sinar bulan yang kuning emas membuat wajah dara ini
tampak nyata dan amat cantik jelita, sehingga Han Han menahan napas saking
kagumnya, kemudian ia memberanikan hati memegang tangan dara itu yang duduk di
sampingnya.
‘Nirahai.... betapa cantik jelita engkau....!
Tangan Nirahai menggigil, akan tetapi dia tidak
melepaskan genggaman Han Han, dan ketika ia menoleh, ia tersenyum. Wanita
manakah yang takkan berbesar hati penuh kebanggaan kalau dipuji cantik? Apalagi
yang memuji adalah seorang pria yang menjadi pilihan hatinya!
‘Aku girang sekali mendengar pernyataan isi hatimu, Han
Han. Ketahuilah bahwa aku pun merasa beruntung sekali bahwa engkau telah
berhasil mengalahkan aku dalam pibu....!
‘Engkau tidak kalah! Dan mengapa engkau merasa
beruntung kalau kukalahkan?!
‘Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata subo tadi.
Memang aku telah bersumpah bahwa aku hanya mau menjadi isteri seorang pria yang
mampu mengalahkann aku. Dan aku semenjak mendengar obrolan Lulu tentang dirimu,
bahkan bocah nakal itu hendak menjodohkan aku denganmu, semenjak itu, kemudian
setelah bertemu, melihatmu dan melihat kegagahanmu, hemmm.... aku akan merasa
menyesal sekali andaikata engkau kalah olehku.!
Bukan main besar hati Han Han mendengar ini dan
kegirangan yang meluap membuat ia menarik lengan dara itu. Nirahai seperti
lemas tubuhnya dan membiarkan kepalanya rebah di dada Han Han. Sejenak mereka
berdua tidak bergerak, bermandi cahaya bulan yang tersenyum-senyum menyaksikan
ulah tingkah dua insan yang mabuk asmara ini. Han Han membelai-belai rambut
yang halus dan hitam itu dan Nirahai memejamkan mata, mendengarkan debar
jantung di dada Han Han yang baginya seperti bunyi musik yang amat merdu dan
indah. Kemudian ia membuka matanya, dan mengangkat pandang matanya ke atas
untuk menatap wajah di atasnya itu sehingga sepasang mata itu menjadi lebar
sekali dan amat indah seperti mata Lulu!
‘Han Han, katakanlah. Mengapa engkau jatuh cinta kepada
arca subo di waktu muda yang kaukatakan serupa benar dengan aku itu? Mengapa
engkau jatuh cinta kepadaku?!
Sampai lama Han Han tidak dapat menjawab, menatap wajah
yang tengadah itu seolah-olah hendak mencari jawabnya dari wajah yang jelita
itu. Mata itu! Mulut itu! Dan ia teringat akan perasaannya di waktu ia
memandang arca di dalam Istana Pulau Es, kemudian seperti menemukan jawabannya,
lalu berkata girang.
‘Aku tahu! Aku tergila-gila kepadamu, Nirahai, karena
pertama-tama karena matamu!!
Nirahai terkekeh dan mendekap mulutnya sendiri dengan
tangan, matanya terbelalak lebar, ‘Karena mataku? Hi-hik! Mataku kenapa?!
‘Matamu begini indah.... seperti sepasang bintang di
langit.... kulihat laut yang bening dalam di situ, menghanyutkan....! jawab Han
Han sambil memandang sepasang mata yang amat indah itu, seperti mata Lulu!
‘Ihhh, seperti laut yang menghanyutkan? Mengerikan!!
‘Tidak! Sama sekali tidak! Aku akan rela dan bahagia
sekali kalau mati hanyut di situ, tenggelam dalam lautan kenikmatan yang
membayang di dalam matamu. Matamu seperti.... seperti.... bulan kembar....!!
‘Hi-hik, kau aneh....! Nirahai memejamkan matanya
sehingga ‘bulan kembar! itu bersembunyi di balik pelupuk dan dilindungi bulu
mata yang kini menjadi tebal dan panjang, mendatangkan bayangan-bayangan
menggairahkan diatas pipi, membuat Han Han makin terpesona. Kalau terbuka mata
itu mempesona, kalau tertutup malah menggairahkan. Bukan main!
‘Kau bilang tadi, pertama-tama karena mataku. Adakah
yang ke dua?! tanya Nirahai tanpa membuka matanya.
‘Memang ada, dan aku tidak tahu yang mana yang lebih
menarik dan membuat aku tergila-gila. Yang ke dua adalah.... mulutmu, Nirahai!!
Mata itu terbuka kembali, terbelalak dan mengandung
senyum terheran-heran.
‘Mulutku....? Ada apa dengan mulutku....?! suaranya
penuh dengan hati yang riang gembira, bangga dan juga geli dan heran.
‘Mulutmu.... bibirmu....! Han Han berbisik dan suaranya
gemetar, pandang matanya tak pernah dapat melepaskan sepasang bibir yang lunak
halus kemerahan itu, yang kini bergerak-gerak seperti menggigil seolah-olah
bisikan Han Han merupakan penggeli yang membuat bibir itu tak dapat diam,
‘Entah mengapa, Nirahai.... melihat mulutmu.... bagiku
seolah-olah ketika aku kelaparan dahulu melibat buah apel yang masak....!
Aku.... aku....! Han Han tidak melanjutkan kata-katanya karena desakan rasa
kasih bercampur berahi membuat ia tak kuasa menahan hasrat hatinya, membuat ia
seperti tak sadar lagi menunduk, mencium bibir itu, mencium mata itu, lalu
mencium bibir kembali, sepenuh rasa kasihnya, semesra-mesranya!
Mula-mula Nirahai tersentak seolah-olah tubuhnya menjadi
kaku menegang, kemudian ia menjadi lemas, naik sedu-sedan dari rongga dadanya
dan seperti dalam mimpi ia pun tidak sadar bahwa dia telah membalas ciuman
pemuda yang sudah menjatuhkan cinta kasihnya itu. Sampai lama mereka saling
mendekap berciuman, lupa akan segala.
Kemudian, kesadaran datang memasuki pikiran mereka,
hampir berbareng dan kedua orang muda yang sejak kecil sudah tergembleng
batinnya ini segera sadar dan dapat menguasai rangsangan hati masing-masing
lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di atas dada yang bidang itu,
kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi bulu matanya yang panjang.
‘Ahhh, maafkan aku....!! Han Han berbisik, sekuatnya
menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.
‘Bukan.... bukan salahmu, Han Han....! Nirahai berbisik
dan keduanya terdiam sampai berjam-jam. Han Han yang tiada bosannya menatap
wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur maka dia pun tidak bergerak,
bersandar pada batang pohon tidak mau mengganggu kekasihnya yang disangkanya
pulas.
Akan tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka
berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat
menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih daripada yang
telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.
‘Nirahai, kekasih pujaan hatiku.... terima kasih....!
Nirahai bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan,
kedua tangan mereka saling berpegangan. ‘Mengapa, Han Han? Mengapa berterima
kasih?!
‘Engkau seperti membangkitkan kembali aku dari timbunan
duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku,
memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti tetesan embun segar pada
tunas melayu di bumi mengering.... engkau yang begini cantik jelita sudi
menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa
jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt....!
Nirahai cepat menggerakkan tangannya dan jari tangan yang
halus kecil meruncing itu menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu
melanjutkan kata-katanya.
‘Aku cinta padamu karena engkau memang tampan dan gagah
perkasa, terutama sekali karena engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau
adalah seorang laki-laki yang rendah hati, sederhana, akan tetapi memiliki
harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak
pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar.!
‘Terima kasih, Nirahai. Terima kasih!! Han Han
memeluknya dan memberi sebuah ciuman lembut di dahi Nirahai.
Sentuhan cluman ini terasa menyentuh jantung, tidak
merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian lembut dan mendalam
seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu.
Malam terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang
berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bangkit melepaskan diri dari
pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang matahari pagi sendiri dia
berkata.
‘Han Han, sekarang aku harus meninggalkanmu, kalau
tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas
dalam pibu melawanmu.!
‘Engkau dan aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi
sama-sama jatuh, jatuh cinta!! Han Han menggoda.
‘Wah, entah Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang
ketularan!! Nirahai berkata sambil membantu Han Han bangkit berdiri. Akan
tetapi ia segera berkata dengan sungguh-sungguh, ‘Aku harus menyelesaikan
tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota raja. Urusan jodoh di
antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan sudah kita setujui, tak
mungkin dapat dilaksanakan tanpa pengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan
urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu
sebulan ini, menyusulku ke sana.!
Kekhawatiran muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama
sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang dianggapnya sebagai calon
jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar! Maka kini, ia melihat nama
kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di
antara mereka.
‘Nirahai....!! katanya, suaranya gemetar penuh
kegelisahan. ‘Bagaimana.... kalau.... kalau Kaisar menolak?!
Nirahai menggeleng kepala. ‘Jangan khawatir, jasaku
sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi.
Andaikata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang
pun di dunia ini akan dapat menghalangiku!!
‘Nirahai....!! Han Han memeluknya dan sejenak mereka
berpelukan.
Akhirnya Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap
dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata, ‘Sudahlah, Han Han. Aku
pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita bertemu kembali!! Setelah
berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia
membalikkan tubuh, melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.
Han Han berdiri seperti arca, terpesona dan memandang
dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka,
penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri
Nirahai! Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Mancu! Siapa dapat percaya? Ia
merasa seperti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai!
Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang sudah jauh,
barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa tadi malam
adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada buktinya lagi, yaitu dua buah
makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk meyakinkan hatinya bahwa
dia tidaklah mimpi.
Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke
makam, ia terbelalak kaget dan heran melihat seorang kakek tua renta berdiri
seperti arca, tegak dengan kedua tangan bersedakap, kepala menunduk, di depan
dua makam baru itu! Kakek itu sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan,
jenggotnya yang panjang, kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang
sampai ke pipi telah putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun.
Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya masih tegak,
tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain kasar dengan
potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki celana pendek
di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan kakinya putih
bersih dan tidak tampak keriput!
Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda
yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak kaget dan terpukau di
tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata harimau di waktu malam
dan mengandung pengaruh mukjizat yang membuat Han Han merasa kakinya seperti
lumpuh!
Akan tetapi kakek itu segera membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han Han.
‘Locianpwe, harap berhenti dulu....!! Han Han berteriak
dan meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak
mempedulikan, menengok pun tidak dan terus melangkah maju dengan enaknya, akan
tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga Han Han yang berloncatan itu tidak
mampu mengejarnya!
‘Locianpwe, tunggu....!! Han Han berteriak lagi dan
kini ia mengerahkan gin-kangnya, mempergunakan ilmunya berlari cepat
berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah terbang,
berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Akan tetapi mengejar
sampai hari menjadi sore dan akhirnya kakek itu lenyap di antara
bangunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga!
Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki siapa
gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu
menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga.
Hari telah senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi
bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia
menyelinap ke samping bangunan, berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia
pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri
tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya itu sedang duduk berjongkok
di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan
kanan memegang sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air
telaga. Kakek itu ternyata sedang enak-enak memancing!
‘Locianpwe....!! Han Han memanggil. Sungguh aneh
sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan
tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara
dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi.
Han Han merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya
akan penglihatannya sendiri. Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya
berjalan biasa itu? Kalau kakek itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran.
Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu
menyusul!
‘Locianpwe, teecu hendak bicara, harap suka menunggu
dulu!! Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras. Kakek itu menengok sekali
lalu berkelebat cepat bukan main, sebentar saja sudah amat jauh dan hanya
tampak sebuah titik hitam!
Han Han terkejut. Maklumlah ia bahwa kakek itu adalah
seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Dia mengejar terus ke arah titik
hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia sambil berloncatan
mendekat.
Kakek itu menengok dan kembali Han Han terkejut ketika
bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han
dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan ramah dan wajahnya yang
membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu berseri,
‘Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?!
Han Han berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu,
mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya. Kemudian dengan sikap
hormat dan suara halus ia berkata.
‘Teecu mohon maaf sebanyaknya kalau teecu mengganggu
locianpwe dan lancang datang ke tempat ini.!
‘Tidak mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu
karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari
dunia ramai.!
Tiba-tiba Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu.
‘Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan.
Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin....!! Han Han berkata dengan seruan girang.
‘Locianpwe yang telah menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin
Lo-mo dan Kang-thouw-kwi.... dan.... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe
atau yang terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es!!
Kakek itu menarik napas panjang. ‘Bangunlah, Suma Han,
dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat bicara dengan leluasa.!
Girang bukan main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini
baginya seperti bertemu dengan seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu
dengan dewa!
Ia lalu bangkit berdiri dan duduk di dekat kakek yang
sedang memancing itu.
‘Dugaanmu memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin,
dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoiku yang telah kau rawat dan
makamkan jenazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han.!
Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini
sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat
sakti ini tentu saja mengetahui segala hal!
‘Sungguh berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan
suhu!! Han Han menyebut suhu karena bukankah dia murid Pulau Es, berarti murid
kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah tewas!
Kakek itu tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya
dari ujung tali pancing yang tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia
mengangguk. ‘Yah, boleh juga engkau menyebut aku suhu setelah engkau
mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang sekali melihat sepak
terjangmu selama ini. Engkau keturunan keluarga Suma yang banyak melakukan
penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek
buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira melihat sepak terjangmu
tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak yang baik dari kakak
nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku girang sekali melihat
kakimu yang kiri buntung.!
Di dalam hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang
mendengar ini, dan ia teringat akan nasihat hwesio tua renta di Siauw-lim-si,
Kian Ti Hosiang yang menasihatkan agar dia membuntungi kaki kirinya! Rasa
penasaran agaknya terbayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh
kepadanya sambil berkata.
‘Suma Han. Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran.
Andaikata tidak terjadi seperti sekarang, andaikata kaki kirimu tidak dibuntung
orang, agaknya sekarang ini engkau sudah mati.!
‘Ahhhhh....!! Han Han terkejut bukan main dan memandang
kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya. ‘Suhu, mohon petunjuk
mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Siauw-lim-si menasihatkan
teecu agar teecu membuntungi kaki kiri teecu!!
Kakek itu mengangguk-angguk. ‘Kian Ti Hosiang kiranya
masih berpandangan luas, sungguh mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah
bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan tetapi berbareng dengan
hawa mukjizat yang terpancar keluar dari pandang matamu itu, ada sebuah
penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri.
Penyakit itu timbul di dalam daging betismu dan menanam akar-akarnya pada
urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat membasmi
penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah membuntungi kaki yang dihinggapi
penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penyakit itu akan menjalar terus,
makin lama makin meluas, dari kdkimu akan naik ke perut, kemudian kalau sudah
mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisapnya dan engkau akan mati. Maka
sungguh untung sekali bahwa kakimu dibuntungi orang sebelum akar penyakit naik
ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut
pula terbuang.!
Han Han bergidik ngeri. Kiranya begitukah? Bagaimana
timbulnya penyakit itu? Apakah sejak.... sejak ia melihat ibu dan encinya
diperkosa orang kemudian ia dibanting ke dinding oleh perwira Mancu?
‘Terima kasih atas keterangan suhu. Sungguhpun teecu
tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi
teecu percaya dan setelah kini secara kebetulan Thian memberi berkah kepada
teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu.!
‘Hemmm.... petunjuk apalagi yang dapat kuberikan
kepadamu? Ilmu kepandaianmu telah cukup setelah engkau menerima warisan Ilmu
Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm.... dua buah bangunan ini
kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoiku, siapa kira mereka telah
mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh perbuatan manusia ini. Tidak
ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya obrolan-obrolan kosong
yang kiranya ada gunanya kalau engkau mampu menangkap inti sarinya. Aku sudah
bosan akan keramaian dunia, sudah makin terhimpit perasaanku menyaksikan ulah
manusia di dunia ramai. Engkau sudah datang ke sini, segala pertanyaanmu akan
kujawab. Aku sudah menjauhkan diri daripada perbuatan-perbuatan yang hanya akan
menambah keruhnya dunia. Aku lebih senang hidup bebas lepas, menyatukan diri
dengan alam semesta dan melihat segala kewajaran terjadi demikian indah dan
gaibnya, tiada terganggu oleh manusia yang penuh kepalsuan nafsu-nafsunya,
semua berjalan lancar seperti gerakan awan, matahari, bulan dan bintang.!
Han Han adalah seorang pemuda yang amat peka perasaannya
terhadap filsafat, dan dia jujur, kritis dan berani menyatakan suara hatinya.
Mendengar ucapan kakek yang dianggap gurunya sendiri itu, dia lalu berkata.
‘Harap suhu maafkan pertanyaan teecu yang lancang. Suhu
tadi menyatakan tidak suka akan ulah manusia yang dipalsukan oleh nafsu, dan
suhu lebih senang hidup menyatukan diri dengan alam bebas, akan tetapi....
maaf, suhu, mengapa suhu masih suka memancing ikan? Bukankah perbuatan ini
berarti membahayakan kebebasan hidup ikan-ikan di telaga ini?!
‘Ha-ha-ha! Bagus sekali! Aku sudah khawatir kalau-kalau
engkau hanya tunduk secara membuta saja, muridku yang baik! Pertanyaanmu itu
membuktikan bahwa engkau pandai mempergunakan akal budi dan kesadaranmu
sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan tidak menganut pelajaran secara membuta
tanpa mengadakan wawasan dan mempergunakan nalar (logika). Engkau heran melihat
aku memegang tangkai pancing? Nah, lihatlah!! Kakek itu mengangkat tangkai
pancingnya dan Han Han terbelalak heran. Di ujung tali pancingnya, hanya tali
biasa saja yang dipasangi sepotong kerikil!
‘Ah, maaf, suhu. Teecu berani menduga yang bukan-bukan,
akan tetapi.... apakah gunanya suhu memancing tanpa umpan, melainkan memakai
batu? Mengapa suhu.... eh, bermain-main seperti anak kecil?!
‘Ha-ha-ha, tepat sekali! Anak-anak kecil yang masih
gemar bermain-main itulah manusia-manusia yang wajar dan murni, muridku. Betapa
bahagianya kalau seorang kakek-kakek dapat kembali wajar seperti kanak-kanak!
Aku memang bermain-main, muridku, bermain dengan apa yang disebut manusia
dengan kata-kata nasib, yaitu nasib ikan!!
Han Han tidak mengerti dan memandang kakek itu dengan
sinar mata penuh pertanyaan. Koai-lojin tertawa lagi dan berkata, ‘Banyak
ikan di telaga ini, akan tetapi kenapa kebetulan ikan ini dan ikan itu yang
mendekat pancing dan menyentuh batu dengan mulutnya? Kalau pancing ini pancing
benar-benar, bukankah ikan itu akan terkait pancing dan mati? Aku senang
bermain-main dengan ini melihat-lihat dan menduga-duga ikan mana gerangan yang
akan berjodoh, menyentuh umpan batu ini, ha-ha!!
Han Han ikut tertawa dan diam-diam ia menggeleng kepala.
Betapa aneh selera kakek ini dalam mencari kesenangan bermain-main! Apa sih
senangnya dengan permainan seperti itu? Namun permainan ini saja sudah
membuktikan betapa tajam pandang mata kakek itu sehingga dapat melihat ikan di
dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu tidak akan senang, karena tidak
melihat ikan yang menyentuh umpannya.
‘Marilah ikut ke dalam pondok, Suma Han. Perutku sudah
lapar, dan engkau tentu suka menemani aku minum sambil bercakap-cakap, bukan?!
Girang hati Han Han, akan tetapi menjadi makin heran
melihat sikap kakek ini yang biasa saja, tidak sedikit pun memperiihatkan
keanehan seperti orang-orang sakti lainnya. Ia lalu mengikuti kakek itu yang
memanggul tangkai pancingnya dan berjalan melenggang seenaknya dengan wajah
gembira seperti wajah seorang tukang pancing yang memperolch banyak hasil!
Ketika memasuki pondok kecil mungil yang berada di
sebelah kanan, Han Han melihat makanan sudah tersedia di atas meja yang serba
lengkap. Sayur-sayuran dimasak tidak kurang dari lima macam, ada buah-buahan
yang masak dan bermacam-macam, bahkan tersedia arak wangi! Pemuda ini makin
terheran-heran memandang semua itu.
‘Duduklah, Suma Han. Makanan ini aku sendiri yang
memasaknya, buah-buahan itu pun aku sendiri yang mencari di hutan, dan arak
ini.... ha-ha, kubeli dari warung arak di dusun sebelah utara. Marilah kita
makan nasi ditemani sayur dan minum arak!!
Bagaikan seorang petani tua yang ramah sedang menjamu
tamunya, Koai-lojin mengajak Han Han makan bersama, sikapnya biasa saja seperti
seorang petani sederhana sungguhpun masakan-masakan itu ternyata enak juga,
agaknya memakai bumbu yang cukup dan araknya pun amat baik!
Han Han tidak berani bertanya lagi dan makan tanpa
berkata apa-apa. Setelah mereka menghabiskan nasi dan sayur, makan buah-buahan
dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh kepuasan lalu berkata.
‘Suma Han, mengapa engkau menyimpan keherananmu di
dalam hati? Kalau engkau terheran menyaksikan sikap dan perbuatanku, tanyalah.
Hanya dengan bertanya orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang
yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan
kemajuan dalam perjalanan hidupnya.!
Kembali Han Han terkejut. Kakek ini kelihatannya biasa
sederhana dan wajar tidak membayangkan keanehan dan tidak bersikap sebagai
orang sakti, namun mengapa dapat mengetahui isi hatinya?
Suhu, kenikmatan dan kegunaan apakah yang suhu dapat
peroleh dari pengasingan diri dari dunia ramai ini?!
‘Aku hidup di alam bebas dan menikmati keindahan dan
keagungan alam yang sudah tak dapat tampak lagi oleh mata manusia yang hampir
buta oleh kesenangan duniawi, melihat cahaya keemasan matahari, menikmati
keharuman bunga-bunga, mendengarkan dendang merdu anak sungai mengalir dan
bisikan-bisikan angin pada daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Thian yang
tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala
keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Thian.!
Demikianlah, dengan filsafat yang gamblang, yang tidak
berliku-liku, Han Han menerima gemblengan batin dari kakek itu selama belasan
hari di pinggir telaga. Pada hari ke lima belas, kakek itu berkata setelah
mereka sarapan pagi,
‘Hari ini kita berpisah, muridku. Aku akan pergi dari
tempat ini.!
‘Suhu hendak pergi ke manakah dan kapan teecu
diperkenankan menghadap suhu lagi?!
Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. ‘Entahlah,
aku ingin mengikuti jejak angin dan awan! Dan apabila Tuhan menghendaki, tentu
kita dapat saling berjumpa lagi.!
Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut. ‘Suhu, sebelum
suhu meninggalkan teecu, teecu mohon petunjuk suhu dan sudilah memberi tambahan
ilmu untuk teecu pergunakan dalam tugas teecu membela kebenaran dan keadilan,
menentang kelaliman dan kejahatan.!
‘Ha-ha-ha! Memang amat merdu dan indah bunyinya!
Membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan! Betapa merdu
dan indah bunyinya, akan tetapi betapa lucu kenyataannya, seperti judul adegan
panggung serombongan badut! Karena itu, kuperingatkan kepadamu, Suma Han,
jangan engkau menjadi seorang di antara badut-badut yang tidak lucu itu.
Membela kebenaran dan keadilan siapa? Kebenaran dan keadilan untuk siapa? Kalau
hanya benar dan adil untukmu sendiri, jangan disebut-sebut lagi karena semua
itu palsu! Menentang kelaliman dan kejahatan yang mana? Hati-hatilah menentukan
ini, Suma Han, dan yang terpenting adalah mengalahkan kelaliman dan kejahatan
yang merajalela di dalam hati sendiri, dibangkitkan oleh nafsu kesenangan
pribadi. Yang baik itu belum tentu baik, sedangkan yang buruk juga belum tentu
buruk. Dan jangan sekali-kali engkau memandang rendah yang buruk karena sudah
jelas bahwa hanya karena adanya buruk maka ada baik, karena ada kedosaan maka
manusia mengejar kesucian. Karena adanya Neraka maka ada Sorga. Tanpa ada
keburukan mana mungkin ada kebaikan? Karena itu, pengejaran kebaikan itu
pertama-tama dicetuskan oleh keburukan! Kepandaianmu sudah cukup, engkau minta
ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu silatmu yang tinggi, tenaga sin-kangmu yang
sukar dilawan, gin-kangmu yang luar biasa dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau
masih memiliki kekuatan dahsyat yang mukjizat, yang masih terpendam. Tanpa kau
sadari, mungkin timbul berbareng dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah
memiliki tenaga i-hun-to-hoat yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang
dahsyat ini, siapakah yang akan dapat mengalahkanmu?!
Han Han teringat akan ilmu mukjizat yang sering kali
timbul dalam dirinya, teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana
tanpa disadarinya ia dapat menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya
menguasai kemauan orang lain. Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya
ilmu itu, dan teringat pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh
memiliki ilmu I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Setelah ia dewasa dan
banyak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah
semacam ilmu sihir yang dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat
berkata.
‘Suhu, teecu tidak pernah mempelajari I-hun-to-hoat.
Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir yang berbahaya dan jahat?!
‘Ilmu tetap ilmu, baik atau jahatnya tergantung si
pemakai. Akan tetapi memang benar bahwa makin tinggi ilmu itu, makin berbahaya
karena besarnya kegunaan ilmu yang tinggi membuat manusia lupa diri dan
mempergunakannya untuk mengejar kesenangan pribadi dengan merugikan orang lain.
I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai pikiran dan kemauan orang. Eng kau
sudah memiliki tenaga yang amet kuat, yang timbul secara aneh melalui pandang
matamu. Hanya tinggal kau menguasainya saja, sehingga mampu mempergunakannya.
Aku percaya bahwa engkau akan dapat memanfaatkan ilmu itu sebaik-baiknya.
Caranya hanya melalui siulian dan pemusatan kekuatan yang kemudian diluncurkan
keluar melalui pandang mata dan suara.! Dengan jelas Koai-lojin memberi
petunjuk kepada Han Han sampai dua jam lebih. Akhirnya Han Han dapat mengerti
jelas dan sebelum pergi, kakek itu berpesan.
‘Engkau harus berhati-hati benar dengan ilmu ini, Suma
Han. Dengan ilmu ini, yang kutahu amat kuat berada dalam dirimu, engkau akan
menjadi seorang yang sukar terkalahkan dan dengan ilmu itu engkau dapat
melakukan apa saja sehingga akan mudah menyeretmu sendiri ke jurang kehancuran.
Selamat tinggal!! Koai-lojin berkelebat pergi meninggalkan muridnya yang masih
berlutut.
Hati Han Han menjadi makin kuat karena kepercayaan kepada
diri sendiri makin kokoh. Ilmu baru yang dimilikinya membuat ia menjadi makin
tenang, akan tetapi juga makin hati-hati mengendalikan perasaan dan hatinya,
karena ia tahu bahwa dengan ilmunya ini ia akan dapat menguasai manusia lain
yang tentu saja tidak memiliki kekuatan batin yang amat kuat.
Karena waktu yang dijanjikan oleh Puteri Nirahai tinggal
beberapa hari lagi maka Han Han lalu mempergunakan gerak kilatnya untuk
berloncatan cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja. Biarpun ia
menghadapi saat yang amat menenangkan, yaitu perjumpaannya kembali dengan
puteri itu, namun hatinya tetap diliputi kekhawatiran kalau-kalau akan muncul
penghalang besar bagi kebahagiaannya bersama Nirahai.
Han Han tiba di kota raja tepat pada hari yang
dijanjikan, yaitu sebulan setelah berpisah dengan Nirahai. Pagi hari itu,
dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan langsung ia menuju ke istana.
Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang istana, seorang perwira muda
tinggi besar memanggilnya.
Han Han menoleh dan memandang perwira muda itu dengan
heran. Dia tidak mengenal perwira itu memanggilnya, karena kini perwira itu
dengan langkah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan kiri dan berkata
perlahan.
‘Harap taihiap suka mengikuti saya. Ada pesan penting
dari Puteri Nirahai untuk taihiap!
Han Han mengangguk dan keningnya berkerut, hatinya tidak
enak rasanya ketika ia terpincang-pincang mengikuti perwira itu yang berjalan
menuju ke tempat sepi di jembatan sebelah barat. Di tempat sepi ini ia berhenti
dan mengajak Han Han menyeberangi jembatan. Kemudian ia berkata.
‘Saya diberi tugas oleh Sang Puteri untuk menghadang
taihiap dan menyerahkan surat ini. Maaf, saya tidak dapat menemani taihiap
lebih lama lagi karena kalau sampai ketahuan, tentu saya akan ditangkap. Dan
sebaiknya kalau taihiap lekas keluar dari kota raja karena taihiap dianggap
sebagai seorang pelarian yang harus ditangkap.! Setelah berkata demikian,
perwira muda itu cepat pergi meninggalkan Han Han.
Makin tidak enak rasa hati Han Han, akan tetapi ia
menekan perasaannya dan tetap bersikap tenang. Dibukanya sampul surat itu dan
dikeluarkannya sehelai kertas yang penuh dengan tulisan indah dan halus,
tulisan Nirahai yang sudah dikenalnya ketika mereka bersama mengukir batu nisan
untuk makam kedua orang nenek di puncak Bukit Cengger Ayam. Han Han mulai
membaca dan kerut di antara alisnya makin mendalam, sinar matanya menjadi tajam
berapi membayangkan kemarahan.
Apakah isi surat kekasihnya itu? Kabar buruk. Terlampau
buruk bagi Han Han yang datang dengan hati penuh harapan dan kegembiraan,
sungguhpun kabar buruk seperti yang dibayangkan dari tulisan Nirahai ini memang
sudah dikhawatirkannya. Di dalam surat itu Nirahai menceritakan betapa kaisar menjadi
marah sekali ketika Nirahai menceritakan tentang perjodohan itu dan mohon ijin.
Kaisar marah-marah dan memakinya sebagai anak yang tak
tahu malu, mencemarkan nama besar Kerajaan Mancu. Masa puteri Kaisar Mancu yang
mulia, puteri yang terkenal sebagai seorang panglima besar akan menikah dengan
seorang bekas pemberontak, seorang yang telah membunuh Ouwyang Seng yang
tadinya direncanakan hendak dijadikan suami Nirahai, bahkan seorang yang
buntung sebelah kakinya! Kemarahan kaisar amat hebat sehingga kaisar
memerintahkan para pengawal untuk menangkap Nirahai dan memasukkan puterinya
sendiri itu ke dalam penjara istana!
‘Aku ditahan di dalam kamarku sendiri di istana,!
demikian Nirahai menutup suratnya, ‘dilayani seperti biasa akan tetapi
dikurung pasukan pengawal dan tidak boleh keluar dari kamar. Aku bingung dan
tidak tahu apa yang harus kulakukan. Han Han, aku cinta padamu akan tetapi aku
pun berat kepada keluarga dan kerajaanku. Biarlah kuanggap hal ini sebagai
ujian, ujian bagi cinta kita, terutama ujian bagi cintamu. Terserah kepadamu
apa yang akan kau lakukan kini untuk mencari jalan keluar!!
Dengan sinar mata berapi Han Han membaca kalimat-kalimat
terakhir, ‘Aku tahu bahwa Ayahanda Kaisar telah terkena hasutan Pangeran
Ouwyang Cin Kok sehingga membencimu dan menyatakan bahwa aku lebih baik mati
daripada menjadi isterimu!!
Han Han membaca sekali lagi isi surat itu dari awal
sampai akhir, kemudian ia meremas hancur kertas itu. Nirahai menantangnya!
Menantangnya untuk mengambil keputusan, untuk bertindak demi cinta kasihnya!
Dan Pangeran Ouwyang Cin Kok adalah biang keladi dari kegagalan ini. Timbul
niatnya untuk mendatangi istana pangeran itu dan hendak mengamuk untuk kedua
kalinya, membunuh pangeran tua itu. Akan tetapi, teringat akan wejangan
Koai-lojin, ia cepat menarik kembali dan menekan nafsu amarahnya, menghapus
dendamnya dengan kesadaran bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok bersikap seperti itu
tentu ada sebabnya.
Dan sebabnya adalah kematian putera tunggalnya, yaitu
ouwyang Seng. Ayah manakah yang tidak akan menjadi marah, sakit hati, dan
bertekad untuk membalas dendam atas kematian puteranya yang dibunuh orang? Han
Han menghela napas dan mengusir pergi bayangan Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan
lalu memusatkan pikirannya untuk menyelundup ke istana dan bagaimana untuk
dapat membebaskan Nirahai. Ia harus membebas kan Nirahai dari tahanan dan
membawanya lari!
Jelas bahwa kekasihnya itu menantangnya untuk bertindak.
Ia tahu bahwa dengan ilmu kepandaiannya dan pengaruhnya, tentu saja Nirahai
dapat membebaskan diri sendiri tanpa ada pengawal yang berani menghalanginya,
akan tetapi puteri itu agaknya tidak suka memberontak terhadap keputusan
ayahnya. Maka puteri itu menantangnya untuk bertindak, karena kalau Han Han
yang turun tangan membebaskannya, hal itu tidak dapat dianggap sang puteri
memberontak.
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi
Han Han untuk meloncat ke atas benteng yang mengelilingi istana, kemudian cepat
sekali, dilindungi oleh kegelapan malam, pemuda ini meloncat turun ke dalam
taman istana. Dengan mudah ia dapat menemukan kamar Puteri Nirahai karena kamar
ini merupakan sebuah bangunan mungil dan mewah tak jauh dari taman, dan
bangunan ini dijaga oleh kepungan pasukan pengawal yang jumlahnya seratus orang
lebih! Tidak mungkin memasuki bangunan itu tanpa diketahui mereka karena
sekeliling bangunan kecil itu dikepung ketat.
Kebetulan sekali Han Han melihat empat orang
wanita-wanita muda yang cantik-cantik, berpakaian sebagai pelayan-pelayan
istana jalan beriringan datang menuju ke bangunan itu sambil membawa baki-baki
yang tertutup kain, agaknya hidangan untuk sang puteri. Han Han cepat mengerahkan
kekuatan batinnya dan meloncat ke depan, muncul dari balik pohon dan berkata.
‘Adik-adik yang manis, aku adalah rekan kalian! Aku
pelayan dari istana Ibunda Sang Puteri, diperintahkan oleh beliau untuk
menjenguk keadaan puterinya.!
Empat orang wanita pelayan itu tertegun melihat
berkelebatnya bayangan, akan tetapi hati mereka lega ketika melihat seorang
wanita cantik yang berpakaian seperti mereka!
Mereka adalah pelayan-pelayan Puteri Nirahai dan biarpun
belum pernah melihat ‘gadis pelayan! yang muncul ini, akan tetapi mereka
percaya bahwa tentu ini pelayan dari ibunda sang puteri, kalau tidak siapa lagi
berani menyamar di tempat itu?
‘Kalau begitu, marilah ikut bersama kami, Cici. Kami
pun hendak mengantar hidangan malam Sang Puteri,! jawab seorang diantara
mereka. Han Han yang sudah berhasil menguasai empat orang wanita pelayan itu
menggunakan kekuatan gaib yang memancar keluar dengan pengaruh mukjizat
sehingga mereka melihat dia sebagai seorang pelayan cantik, lalu berjalan
perlahan di belakang empat orang pelayan itu.
Mereka mengambil jalan memutar dan menghampiri pintu
samping yang terjaga oleh lima orang pengawal. Melihat datangnya empat pelayan
Sang Puteri Nirahai, lima orang pengawal itu segera mengenal mereka dan tidak
berani main-main karena pelayan-pelayan Puteri Nirahai ini selain memiliki ilmu
silat yang tak boleh dipandang ringan, juga para pelayan Nirahai terkenal
galak-galak dan tidak boleh diganggu.
Han Han sudah menggunakan kekuatan matanya sehingga lima
orang pengawal itupun melihatnya sebagai seorang gadis pelayan dan membiarkan
Han Han lewat bersama empat pelayan lain. Begitu memasuki sebuah kamar besar
yang berbau harum dan indah, empat orang pelayan itu sudah mengatur isi baki di
atas meja dan Han Han yang melihat Puteri Nirahai duduk termenung di dekat
pembaringan, di atas sebuah bangku menghadapi meja bundar, cepat menghampiri
dengan jantung berdebar saking terharu dan girangnya.
Karena para pelayan masih berada di ruangan kamar itu,
terpaksa Han Han lalu menggunakan kekuatan matanya, sambil beriutut ia berkata,
‘Puteri, hamba datang menghadap....!
Nirahai membalikkan mukanya memandang dan dara ini
bangkit berdiri. Sejenak matanya seperti orang bingung, dikejap-kejap beberapa
kali dan terpaksa Han Han harus mengerahkan pandang matanya dengan tenaga
mukjizatnya sambil berkata lagi untuk memperkuat pengaruhnya, ‘Hamba adalah
seorang pelayan Ibu Paduka.!
Biarpun Nirahai juga memiliki kekuatan batin yang besar
serta kemauan yang keras tidak mudah dipengaruhi orang lain, namun setelah
kelihatan bingung sejenak, akhirnya ia terpengaruh juga dan berkata dengan
lesu,
Hamba akan menyampaikan sesuatu yang amat rahasia kepada
Paduka, di bawah empat mata saja.!
Nirahai yang sedang kesal hatinya itu hampir marah, akan
tetapi mengingat bahwa pelayan ini adalah utusan ibunya, ia lalu menoleh kepada
empat orang pelayannya dan berkata, ‘Kalian keluarlah dulu dari kamar ini!!
Empat orang pelayan yang sedang mengatur hidangan itu,
sejenak menengok ke arah Han Han, kemudian mereka keluar dari kamar dan
menunggu di luar kamar, di ruangan depan sambil berbisik-bisik, hati mereka
merasa iri dan tak senang karena belum pernah Puteri Nirahai mengusir mereka
hanya karena hendak bicara dengan seorang pelayan lain!
Setelah empat orang itu keluar dari kamar dan pintunya
ditutup perlahan, Han Han bangkit berdiri dan berkata halus penuh rasa haru,
Nirahai meloncat ke belakang dan mukanya seketika berubah
pucat ketika melihat Han Han telah berdiri di depannya. Ia mengejap-ngejapkan
matanya, menggoyang-goyang kepala, memandang bingung dan sampai lama tak dapat
mengeluarkan suara, kadang-kadang matanya mencari-cari ke kanan kiri, mencari
pelayan utusan ibunya tadi.
‘Nirahai, jangan bingung. Pelayan tadi akulah yang
jadi, akalku agar dapat masuk ke sini.!
Kini Nirahai memandang Han Han dengan mata terbelalak
lebar, penuh kagum. Hatinya girang dan bangga bukan main, akan tetapi juga
penuh heran. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kesaktian yang hebat, jauh
melampaui kepandaiannya sendiri, akan tetapi apa yang dilakukan pemuda itu tadi
benar-benar membuat dia tidak mengerti.
‘Han Han....! Bagaimana....? Tadi.... eh, bagaimana
engkau bisa mengubah diri menjadi pelayan....?!
Han Han tersenyum dan melangkah maju, menyambar tangan
kekasihnya itu dan memandang dengan wajah berseri, tersenyum dan sinar matanya
mesra.
‘Nirahai, aku sejak tadi tidak mengubah diri, hanya
pandangan mereka dan juga pandanganmu yang kuubah dan tunduk kepada
kemauaku....!
‘Ihhhhh.... I-hun-to-hoat....?! Nirahai bertanya, tidak
percaya. ‘Aku sudah melihat ilmu I-hun-to-hoat yang dilakukan oleh Thai Li
Lama, dan memang banyak yang terjatuh di bawah pengaruhnya, akan tetapi aku
sendiri dapat melawannya dan aku tidak terpengaruh!!
Han Han yang sudah merasa rindu sekali kepada Nirahai
merangkul pundak dara itu. ‘Mungkin aku lebih kuat daripada dia, dan mungkin
karena suaraku telah kaukenal, mungkin pula karena engkau tidak tahu bahwa aku
menggunakan ilmu kekuatan kemauanku, maka engkau terpengaruh. Nirahai.... ahhh,
Nirahai, mengapa menjadi begini ikatan kita....?!
Nirahai balas merangkul dan dara ini yang kini diingatkan
akan keadaannya, terisak di atas dada Han Han. ‘Sudah nasibku.... nasibku
yang buruk dan malang....!!
‘Tidak, Nirahai. Tidak ada nasib buruk dan malang. Yang
terjadi semua di dunia ini, yang menimpa kepada kita, baik maupun buruk,
sudahlah semestinya dan tidak boleh kita terima sebagai nasib buruk. Hanya kita
harus berusaha untuk mengatasi segala persoalan. Sekarang, setelah aku berhasil
masuk di sini bertemu denganmu, apa yang kau kehendaki?!
Nirahai melingkarkan kedua lengannya di leher Han Han.
‘Aku menyerahkan kepadamu. Engkau pilihan hatiku....
terserah.... aku hanya menurut....!
Han Han menjadi girang sekali dan baru sekarang ia merasa
sebagai seorang laki-laki yang berdiri tegak, penuh tanggung jawab dan
dibutuhkan seorang seperti Nirahai! Dahulu, melindungi dan membela Lulu ia
anggap sebagai hal yang semestinya, tidak menimbulkan perasaan kagum seperti
sekarang karena yang telah menyerahkan nasib diri kepadanya adalah seorang
puteri kaisar! Saking terharu dan girangnya, ia memegangi kedua pipi dara itu,
mengangkat mukanya dan mencium bibir yang tak pernah membosankan itu. Ia
berbisik mesra,
‘Nirahai, pujaan hatiku, calon isteriku.... biarlah aku
yang melarikan engkau dari tempat ini. Aku yang mempertanggung-jawabkan
kesemuanya!!
Tiba-tiba Nirahai melepaskan pelukan Han Han, menyambar
baju tebal, topi bulu dan pedang payungnya yang baru.
‘Han Han, kita lakukan bersama, dan
mempertanggung-jawabkan bersama! Kalau kita berdua menghendaki, siapakah yang
akan mampu mencegah kita keluar dari sini?!
‘Tidak, Nirahai. Tidak boleh begitu. Engkau ditahan
sebagai tawanan oleh Ayahmu sendiri, tidak baik kalau engkau memberontak.
Biarlah aku yang....!
Tiba-tiba empat orang pelayan wanita itu yang tadi
mendengar isak tangis sang puteri, kini membuka daun pintu dan memasuki kamar.
Nirahai berdiri tegak memandang, sama sekali tidak terkejut karena dia sudah siap
menghadapi segala kemungkinan. Setelah Han Han berada di sampingnya, puteri ini
menjadi besar hatinya, dibesarkan oleh rasa girang bahwa ujian terakhir bagi
cinta Han Han ternyata membuktikan bahwa pemuda itu tidak gentar menghadapi
tantangan dan bahaya untuk datang ke kamarnya, kamar tahanan dalam istana yang
dikepung ratusan orang pengawal! Kini hatinya besar dan ia menanti reaksi dari
kekasihnya ketika empat orang pelayan itu masuk.
Sejenak, empat orang pelayan itu terbelalak dengan muka
pucat. Han Han segera berkata sambil menggunakan ilmunya,
‘Akulah Dewa berkepala singa!!
Wajah empat orang pelayan itu menjadi pucat sekali ketika
mereka melihat seorang laki-laki berkaki buntung sebelah, memegang tongkat dan
berkepala singa dengan sepasang mata mencorong mulut bergigi runcing terbuka.
Kemudian, dengan kaki menggigil dan tubuh gemetar, empat orang pelayan itu
melarikan diri keluar dari pintu sambil menjerit-jerit seperti orang mengigau
saking takutnya. Mereka adalah pelayan-pelayan Nirahai yang memiliki ilmu silat
lumayan, untuk menghadapi lawan manusia, mereka cukup dapat diandalkan. Akan
tetapi, melihat orang berkepala singa tentu saja menjadi ketakutan.
Han Han mempergunakan kesempatan itu berkata cepat,
‘Nirahai, engkau menjadi tawananku. Biarlah aku melarikan engkau dari tempat
ini!! Nirahai hanya mengangguk karena masih kagum menyaksikan pengaruh ilmu Han
Han terhadap empat orang pelayannya. Bagi kedua matanya, Han Han tetap seperti
biasa, sama sekali tidak berkepala singa! Han Han cepat menggerakkan jari
tangan kanannya, menepuk pundak Nirahai dan menotok jalan darahnya sehingga
Nirahai terkulai lemas. Han Han lalu menyambar tubuh kekasihnya, memanggulnya
di pundak kanan setelah menyelipkan senjata kekasihnya di pinggangnya. Cepat
seperti kilat menyambar ia sudah meloncat keluar dari dalam kamar itu, terus
berlari keluar dari pintu samping dari mana tadi ia masuk bersama empat orang
pelayan.
Keadaan di luar geger tidak karuan ketika empat orang
pelayan itu menjerit-jerit dan berlari keluar. Sampai lama mereka tidak dapat
bicara, hanya mengeluarkan jerit seperti orang mengigau,
‘Ssseeettttt.... taaaaannn.... singaaa....!! sehingga
akhirnya para pengawal yang kebingungan menangkap lengan mereka untuk ditanyai.
Memang inilah yang dikehendaki Han Han maka dia tadi
membikin takut empat orang pelayan, yaitu untuk mengacaukan keadaan para
pengawal yang menjaga di luar. Dalam keadaan kacau-balau dan tidak teratur itu
karena semua pengawal menjadi panik melihat betapa empat orang pelayan sang
puteri yang biasanya gagah perkasa itu menjerit-jerit karena melihat setan
sehingga mereka lupa membunyikan tanda bahaya dan lupa melapor, tiba-tiba Han
Han berkelebat, mencelat keluar sambil memondong tubuh Nirahai yang terkulai
lemas.
‘Celaka....! Tangkap penjahat!! teriak seorang di
antara mereka.
‘Itu dia....! Puteri telah diculik!!
Makin paniklah para pengawal itu dan geger keadaan di
istana ketika bunyi kentongan tanda bahaya dipukul gencar. Para pengawal
melakukan pengejaran, akan tetapi siapakah yang dapat mengejar pemuda buntung
yang meloncat dengan gerakan seperti terbang ke atas dan dalam sekejap mata
saja lenyap ditelan kegelapan malam?
Han Han memang sengaja tidak mau menggunakan kekerasan
menghadapi banyak pengawal karena menghadapi banyak sekali orang tentu saja tak
mungkin Ilmu I-hun-to-hoat dipergunakannya untuk mempengaruhi sedemikian
banyaknya orang. Dia memang tidak takut untuk menggunakan kekerasan melawan
mereka, akan tetapi, semenjak bertemu dengan Koai-lojin dan menerima
wejangan-wejangan kakek sakti itu, ia merasa menyesal atas sepak terjangnya
yang sudah-sudah dan berjanji dalam hatinya tidak akan lagi melakukan
pembunuhan dan hanya akan menundukkan lawan dengan kepandaiannya.
Tentu saja dia tidak suka untuk melawan para pengawal dan
kesalahan tangan membunuh mereka yang tidak berdosa, apalagi kalau bahwa hal
itu akan memperbesar pertentangan antara Nirahai dengan keluarganya.
Gerakan Han Han yang amat cepat tidak memungkinkan para
pengawal untuk mengejarnya, tidak dapat menggunakan anak panah karena khawatir
kalau-kalau mengenai tubuh Puteri Nirahai yang dipanggul pemuda itu. Dengan
demikian, tanpa banyak kesukaran lagi Han Han berhasil membawa Nirahai keluar
dari istana, kemudian melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja.
Beberapa puluh orang tentara penjaga yang berusaha
menghadangnya, roboh terpelanting ke kanan kiri dan senjata-senjata mereka
terlempar beterbangan ketika Han Han menggerakkan tongkatnya, dan dalam waktu
beberapa menit saja Han Han telah menerobos keluar dari pintu gerbang dan
lenyap dalam gelap.
Setelah keluar dari benteng, Han Han menurunkan Nirahai
dan membebaskan totokannya, kemudian tanpa bicara lagi mereka melanjutkan
perjalanan dan lari dengan cepat. Han Han mengerti bahwa perasaan Nirahai
tertekan sekali maka dia tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berlari sambil
menggandeng tangan kekasihnya.
‘Ke manakah kita pergi?! Tiba-tiba Nirahai bertanya
tanpa mengurangi kecepatannya berlari.
‘Kita pergi ke tempat yang sunyi dan indah di dekat
telaga.!
Nirahai tidak berkata-kata lagi dan mereka berlari terus.
Han Han merasa tidak enak hatinya. Bagi dia sendiri, tentu saja peristiwa ini
amat menyenangkan hatinya. Ia mencinta puteri yang jelita ini dan mereka telah
dijodohkan oleh kedua orang guru mereka, Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee.
Andaikata dia diterima oleh kaisar dan tinggal di istana, tentu dia akan merasa
sengsara dan tidak betah.
Dengan cara sekarang ini, membawa Nirahai melarikan diri,
dia merasa lebih bebas dan dia yakin akan mendapatkan kebahagiaan besar apabila
dapat hidup berdua sebagai suami isteri bersama Nirahai dan merantau berdua,
atau tinggal di suatu tempat berdua saja!
Memang, bagi dia, peristiwa di istana ini amatlah
menyenangkan. Akan tetapi, dia mengerti betapa peristiwa itu amat menghimpit
perasaan hati Nirahai. Dia mengenal Nirahai sebagai seorang puteri kaisar yang
luar biasa, tidak hanya cantik jelita dan berilmu silat tinggi, malah juga
menjadi pimpinan angkatan perang yang menumpas para pemberontak dan sisa-sisa
kerajaan lama yang belum mau tunduk terhadap pemerintah Mancu!
Dara jelita yang perkasa ini mempunyai kesetiaan besar
terhadap kerajaan ayahnya dan kini dia melarikan diri sebagai seorang tahanan
dan pelarian. Betapa hal ini tidak akan menghancurkan cita-citanya? Hati Han
Han khawatir sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa dan mempercepat
gerakannya untuk mengimbangi larinya Nirahai yang amat cepat itu. Mereka
seolah-olah berlumba, berlumba ke mana? Ke arah pantai bahagia?
Mudah-mudahan begitu, bisik hati Han Han. Dengan mesra ia
menggunakan tangan kanannya menangkap tangan kiri Nirahai. Dara itu yang
tadinya lari cepat tanpa bicara seperti orang termenung, menoleh dan mereka
berdua saling pandang. Nirahai tersenyum dan balas menggenggam jari tangan Han Han.
Sambil bergandeng tangan, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu berlari
cepat sekali, bayangan mereka menjadi satu berkelebat cepat di antara
bayang-bayang pohon.
‘Indah sekali....! Indah dan sunyi....!! Nirahai
berseru penuh kagum ketika mereka berdua tiba di pinggir telaga di mana
terdapat dua buah bangunan mungil yang tadinya dijadikan tempat tinggal kakek
sakti Koai-lojin.
Akan tetapi ketika pagi hari itu mereka tiba di situ dan
Nirahai mengagumi pemandangan indah di kala sinar matahari pagi membakar
permukaan telaga dengan warna kemerahan, Han Han tidak melihat semua keindahan
itu karena tidak ada keindahan di dunia ini pada saat itu yang dapat menandingi
keindahan wajah yang dipandangnya dari samping. Wajah yang lembut namun
menyembunyikan kekerasan, wajah yang sejuk namun menyembunyikan api
menggairahkan, wajah yang mirip benar dengan wajah Lulu!
‘Memang indah, Nirahai. Indah sekali.... akan tetapi
tidak sunyi. Dengan adanya kita berdua di sini, kesunyian musnah, dunia akan
penuh dengan kita, dengan cinta kasih kita.... Nirahai....!!
Dara itu tergugah dari pesona dan menoleh lalu tersenyum
penuh kebanggaan ketika ia mendapatkan sinar mata penuh kemesraan dan kasih
sayang terpancar dari sepasang mata Han Han. Sinar mata yang demikian mesra dan
hangat, cerah dan lembut, mengalahkan sinar matahari pagi. Nirahai menarik
napas panjang ketika Han Han merangkul pundaknya. Ia merebahkan kepala,
disandarkan di dada pemuda itu.
‘Aaahhhhh....!! Nirahai menarik napas panjang, hatinya
terasa lapang seolah-olah penuh dengan sinar matahari pagi, membuat ia merasa
seperti akan terbang dan menari-nari di antara mega-mega putih berarak dan
mandi cahaya matahari pagi yang mulai berwarna keemasan, indah sekali.
‘Han Han, adakah sinar matamu itu mencerminkan rasa
hatimu? Adakah engkau benar-benar mencintaku seperti matahari mencinta
permukaan telaga?!
Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dan menelusuri
permukaan dahi dan alis itu dengan ujung hidungnya sebelum menjawab lirih,
‘Nirahai kekasihku, aku cinta kepadamu, Nirahai....! Ia
mempererat pelukannya dan hatinya penuh dengan cinta mesra. ‘Ahhh, betapa aku
mencintamu, dengan sepenuh jiwa ragaku, sepenuh hatiku, aku rela mengorbankan
jiwa ragaku untukmu, Nirahai!!
Dara itu memejamkan matanya, kembali menarik napas dan
membelaikan pipinya di dagu Han Han yang menunduk, sikap yang amat manja bagi
Han Han, mengingatkan ia akan sikap seekor kucing yang minta dibelai.
‘Betapa hebat kekuasaan cinta....!! Hanya demikian
Nirahai berkata, suaranya lirih seperti orang mengeluh, atau lebih mendekati
lagi seperti orang merintih, rintihan yang menjadi penyambung antara nyeri dan
nikmat, antara suka dan duka.
Bisikan ini membuat Han Han sadar akan anehnya peristiwa
yang terjadi sekarang ini. Yang dipeluknya, yang diciumnya adalah seorang
puteri kaisar! Seorang panglima besar dan merupakan orang amat berpengaruh,
berkuasa dan penting dalam Kerajaan Mancu! Seorang dara yang cantik jelita
sukar ditemukan keduanya, namun kini berada dalam pelukannya! Sukar untuk dapat
dipercaya! Dan memang hebat sekali kekuasaan cinta, memungkinkan terjadinya hal
yang agaknya tak masuk akal!
‘Nirahai, apakah engkau juga telah benar-benar mencinta
aku seperti cintaku kepadamu?! Han Han tak dapat menahan pertanyaan yang timbul
dari hatinya yang masih sukar untuk dapat menerima kenyataan yang dianggapnya
aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini Nirahai mengangkat kepalanya
yang bersandar di dada Han Han, memutar tubuh sehingga mereka berdiri
berhadapan di pinggir telaga itu. Sejenak mereka beradu pandang kemudian
terdengar suara Nirahai yang halus merdu namun tegas.
‘Han Han, aku mengerti mengapa engkau masih mengajukan
pertanyaan itu biarpun engkau yang cerdik tentu sudah merasa yakin akan cintaku
dengan bukti yang sekarang kita hadapi. Aku telah meninggalkan kerajaan Ayahku,
meninggalkan kedudukan dan kemuliaan, meninggalkan cita-cita dan lebih daripada
itu semua, aku bahkan telah menjadikan diriku dimusuhi kerajaan dan keluarga.
Semua ini hanya karena cintaku kepadamu. Masih belum cukupkah bukti dan
pengorbanan itu?!
Han Han menarik napas panjang, hatinya penuh keharuan
karena ia merasa sangsi apakah seorang pemuda berkaki buntung sebelah seperti
dia, yang yatim piatu dan miskin, tidak mempunyai tempat tinggal, patut
menerima cinta kasih seorang puteri seperti Nirahai?
‘Maaf, Nirahai, bukan sekali-kali aku masih
menyangsikan perasaan cintamu yang suci. Hanya saja.... yang membuat aku sukar
untuk dapat percaya, bagaimana mungkin scorang puteri bangsawan seperti engkau
menghancurkan nasib dan masa depanmu sendiri? Sudah tentu aku.... aku akan
berbahagia sekali kalau engkau selalu berada di sampingku, akan tetapi hatiku
pun akan selalu tertekan dan hancur kalau melihat engkau menjadi sengsara
kelak....!
Nirahai menubruk Han Han, merangkulnya dan menutup mulut
Han Han dengan jari tangannya yang halus. ‘Jangan lanjutkan....! Aku cinta
padamu, karena hanya engkau satu-satunya pria yang patut menjadi suamiku! Kita
sudah dijodohkan oleh kedua orang guru kita, dan kita sudah saling mencinta.
Itu sudah cukup! Aku pun tidak ingin perjodohan kita dirayakan besar-besaran,
bahkan tidak peduli kalau tidak dirayakan oleh kita berdua! Tentang kedudukan
dan kemuliaan? Dengan kepandaian kita, apa sukarnya mendapatkan itu?!
‘Tapi, Nirahai.... demi menjaga namamu, semestinya
kalau pernikahan kita dirayakan, disyahkan! Ohhh, dua bulan lagi Lulu akan
menikah, bagaimana kalau kita rayakan bersama-sama dan....!
‘Hussshhhhh....! Mengapa meributkan soal tetek-bengek
seperti itu sedangkan aku berada di dekatmu? Apa kau lupa bahwa aku lelah,
bahkan aku lapar, bahwa aku....!
Han Han tertawa dan menutup mulut Nirahai dengan ciuman
untuk menghentikan celaannya, kemudian ia memondong tubuh kekasihnya itu,
dibawa berloncatan ke dalam pondok di sebelah kiri telaga di mana ia pernah
tinggal bersama Koai-lojin.
Han Han adalah seorang pemuda yang telah dewasa, seorang
pria yang selama hidupnya belum pernah terjun ke dalam lautan cinta asmara
seorang wanita. Dia telah berkali-kali menerima cinta kasih wanita, cinta kasih
murni yang dibuktikan dengan pengorbanan-pengorbanan.
Kim Cu yang mencintanya berkorban menjadi nikouw, Soan Li
tewas karena hendak menolongnya dan dara itu pun mengaku mencintanya. Demikian
pula Tan Hian Ceng dan Lauw Sin Liam, mereka itu mencintanya dan tewas ketika
bendak menolongnya. Betapapun juga, tidak pernah dia bermain cinta dengan
seorang di antara mereka, apalagi karena di lubuk hatinya, ia tidak menemukan
cinta kasih terhadap mereka. Kini, hatinya roboh di bawah kaki Nirahai.
Dia mencinta puteri kaisar ini, bahkan Nirahai juga
mencintanya, dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka. Adapun
Nirahai adalah seorang dara bangsawan yang tinggi hati. Belum pernah ia
tertarik kepada pria, apalagi jatuh cinta. Memang pernah ia dikabarkan akan
dijodohkan dengan Ouwyang-kongcu puteri Pangeran Ouwyang Cin Kok, akan tetapi
di dalam batinnya ia tidak mengandung perasaan apa-apa terhadap pemuda itu.
Kini, begitu bertemu dengan Han Han, menyaksikan sepak terjang pemuda buntung
itu dan terutama sekali setelah dia merasa kalah pibu menghadapi pemuda ini,
dia tertarik dan sekaligus tunduk dan jatuh cinta.
Apalagi setelah Nenek Maya mengambil keputusan
menjodohkannya dengah Han Han, sudah bulatlah tekad di hati Nirahai untuk
menjadi isteri Han Han! Dia memiliki kekerasa hati yang luar biasa, maka untuk
memenuhi keputusan ini, dia sanggup menempuh rintangan apa pun juga!
Kedua orang muda itu sudah sama dewasa, sama mencinta dan
cinta kasih mereka makin mesra dan mendalam karena peristiwa di istana sehingga
mereka merasa bersatu hati, sehidup semati. Tempat di mana mereka bersembunyi,
di pinggir telaga itu merupakan tempat yang sunyi, tenang, indah dan romantis.
Tiada sesuatu yang menjadi penghalang di antara cinta kasih mereka, bahkan
Nirahai tidak lagi peduli akan upacara perjodohan, menganggap bahwa dia sudah
menjadi isteri Han Han semenjak ia minggat dari istana.
Tidaklah mungkin menyalahkan mereka ini kalau keduanya
sebagai orang-orang muda yang saling tergila-gila, saling mencinta dan saling
menderita, kini menumpahkan semua perasaan cinta kasih mereka di tempat sunyi
itu. Bagi keduanya, hal ini merupakan pengalaman pertama sehingga membuat
mereka lupa akan segala dan mabuk oleh manisnya madu asmara, terlupa masa lalu
tak peduli masa depan, yang teringat hanyalah perpaduan kasih, di dalam pondok,
di tepi telaga, di antara bunga-bunga yang tumbuh di hutan kecil pinggir
telaga. Mereka bersendau-gurau, saling menggoda, saling memanja, saling
menyayang, tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbulan
madu!
Betapapun besarnya badai dan ombak, akhirnya akan mereda
juga. Gelombang nafsu asmara yang lebih besar dan dahsyat daripada badai dan
ombak pun akhirnya akan mereda juga. Selama satu bulan, Han Han dan Nirahai
seolah-olah lupa segala, tidak peduli akan masa lalu dan masa depan, ingatnya
hanya berlumba merenggut madu asmara yang makin direguk makin mendatangkan
dahaga. Setelah lewat sebulan, cinta kasih mereka yang menyala-nyala terbakar
nafsu berahi, mulai mereda dan mulailah mereka berdua sadar bahwa cinta kasih
bukanlah cinta berahi semata, dan mulailah keduanya merenungkan masa depan mereka!
Bagaikan dua orang yang mengaso tenang setelah
diombang-ambingkan gelombang dahsyat, selama sebulan lebih, pada pagi hari itu
mereka duduk di tepi telaga. Han Han duduk bersandar batu hitam yang dulu
sering kali dijadikan tempat duduk Koai-lojin di waktu ‘memancing!. Nirahai
duduk di depannya, setengah dipangkunya dan merebahkan kepala dengan rambut
terurai lepas itu di atas dada Han Han. Sampai berjam-jam keduanya duduk
seperti itu, tak bergerak dan penuh dengan kebahagiaan, dengan kepuasan, saling
menikmati kehadiran kekasih masing-masing yang hanya terasa oleh detik jantung
dan alunan nafas.
Angin semilir dari tengah telaga datang, bertiup membuat
rambut yang hitam berikal melambai dan menggelitik leher Han Han, menyadarkan
pemuda ini dari lamunan nikmat yang membuatnya tenggelam. Ia menggerakkan
lehernya mengusir rasa gatal dan geli, kemudian melanjutkan gerakan jari-jari
tangannya dengan mengelus rambut halus di atas dadanya itu penuh kasih sayang
dan mesra.
‘Nirahai, isteriku tercinta....!
Nirahai bergerak, menengadah dan tersenyum memandang
wajah Han Han. ‘Dan engkau suamiku....!
Han Han menunduk dan memberi hadiah ciuman mesra untuk
sebutan yang menggetarkan perasaannya itu. Biasanya, selama sebulan ini, sebuah
ciuman saja sudah cukup membuat keduanya tenggelam dalam lautan asmara, tidak
ingat lagi akan hal lain, menghapus semua niat yang hendak dibicarakan, karena
semua kemauan sudah lumpuh dan kalah oleh gelombang asmara yang menghanyutkan.
Akan tetapi kini Han Han dapat menahan diri dan ia berbisik.
‘Nirahai, aku teringat bahwa sebulan lagi Lulu akan
menikah. Aku harus hadir dan menyusulnya ke Kwan-teng. Marilah kita pergi ke
sana....!
Sepasang mata Nirahai yang selama sebulan ini selalu
dalam keadaan seperti orang mengantuk, kini mulai menemukan kembali sinarnya
ketika mendengar ucapan Han Han itu. Sudah sebulan mereka berdua tidak pernah
mengucapkan kata-kata yang lain daripada cumbu rayu sehingga kini seperti baru
sadar dari mimpi. Sadar bahwa di sana masih terdapat banyak hal lain di samping
urusan cinta mereka!
Matanya mulai bersinar, perlahan ia bangkit dari dada
suaminya, lalu duduk di atas tanah bertilam rumput, memutar tubuh berhadapan
dengan Han Han. Kedua tangannya mulai memilin-milin rambutnya yang selama ini
dibiarkan terurai lepas untuk dibelai dan dipermainkan jari-jari tangan Han Han
yang penuh cinta kasih.
Baru saat itulah keduanya saling pandang dalam keadaan
sadar, dan otomatis timbul kerut-kerut kecil di wajah mereka, Han Han pada
dahinya, Nirahai di antara kedua matanya.
‘Han Han, engkau tahu bahwa tidak mungkin bagi aku
untuk pergi ke Kwan-teng atau ke manapun juga. Aku telah menjadi seorang
pelarian, dan aku merasa malu untuk bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw kalau
mereka mendengar bahwa aku adalah seorang puteri pelarian.!
‘Mengapa tidak mungkin, isteriku?! Han Han menggenggam
tangan Nirahai. ‘Mengapa tidak mungkin pergi ke sana? Apa yang ditakuti?
Andaikata engkau dikejar, apakah kita tidak mampu melawan? Dan mengapa pula
malu kepada orang lain? Siapa yang akan berani menghinamu? Akan kuhancurkan
mulut yang berani mengejekmu.!
Nirahai menggeleng kepalanya, lalu berkata, suaranya
tegas, ‘Tidak, suamiku. Aku tidak mau pergi ke Kwan-teng atau ke mana saja.
Aku sudah mempunyai rencana matang yang sudah berhari-hari ini kupikirkan dan
baru sekarang akan kusampaikan kepadamu.!
Berdebar jantung Han Han, seolah-olah ada firasat tidak
enak terasa olehnya. Ia menatap wajah Nirahai dan dengan hati kecut ia mendapat
kenyataan betapa wajah yang cantik itu diselubungi kekerasan hati yang sukar
ditembus. Diam-diam ia menjadi gelisah, akan tetapi ia menekan hatinya dan
bertanya halus.
‘Nirahai, bagaimanakah rencanamu itu?!
‘Di selatan ini aku yang telah membuat jasa besar telah
dimusuhi oleh kerajaan.
Karena itu, jalan satu-satunya bagiku adalah kembali ke
utara! Di Khitan aku akan lebih dihargai, dan aku mempunyai seorang paman, adik
Ibuku, yang kini menjadi seorang panglima besar dari suku bangsa Mongol. Aku
hendak menyusulnya ke sana dan engkau.... kuharap saja suka pergi ke sana
bersamaku, Han Han.!
Sejenak kedua orang yang selama sebulan lebih mabuk dan
tenggelam dalam lautan asmara itu, kini saling berpandangan penuh kesadaran dan
penuh kekhawatiran menyaksikan jalan pikiran dan cita-cita mereka yang saling
bertentangan.
‘Aku harus mengurus pernikahan adikku....! Han Han
membantah lemah, berpegang kepada alasan ini untuk menarik Nirahai yang
dicintanya itu dari cita-citanya akan pergi ke utara di luar tembok besar.
Nirahai mengangguk-angguk, tersenyum lalu merangkul Han
Han, menciumnya mesra yang dibalas Han Han sepenuh hatinya. Akan tetapi, kedua
orang ini merasa betapa dalam ciuman mereka terdapat sesuatu yang mengganjal,
tidak seperti yang sudah-sudah dan keduanya menjadi gelisah.
‘Aku tahu, Han Han. Memang seharusnya engkau menghadiri
pernikahan Lulu. Pergilah ke Kwan-teng dan uruslah pernikahan adik kita itu.
Aku akan menantimu di sini dan kalau engkau sudah kembali ke sini dari
Kwan-teng, kita berdua baru pergi ke utara.!
Han Han mengerutkan keningnya dengan jantung berdebar
tegang. Ke utara? Mau apa ke sana? Hidup di antara suku bangsa Mongol yang sama
sekali asing baginya? Teringat akan sejarah betapa bangsa Mongol pernah menjadi
penjajah bangsanya, dia tahu bahwa tentu dirinya akan terlibat urusan politik
dan pemerintahan lagi di utara yang asing itu dan ia maklum bahwa dia tidak
akan merasa bahagia di sana. Ia seolah-olah dapat merasa betapa bahaya besar
bagi kebahagiaan dia dan Nirahai menunggunya di utara!
Cepat ia memegang kedua pundak Nirahai, memaksa kekasihnya
itu menghadapnya dan memandang wajah yang jelita itu penuh selidik. ‘Nirahai,
kekasihku, pujaan hatiku! Engkau adalah isteriku, dan aku akan hidup sengsara
tanpa engkau di sampingku! Marilah engkau ikut bersamaku, ke Kwan-teng,
kemudian merantau ke mana saja, berdua, hidup penuh bahagia, jangan kita
melibatkan diri lagi dengan urusan kerajaan. Aku.... aku mendapat firasat
buruk, kalau kita pergi ke utara.... tentu kita akan terlibat dan terseret lagi
dalam urusan kerajaan, politik dan perang! Aku ingin kita berdua hidup
merantau, bebas lepas tidak terikat urusan duniawi, seperti sepasang burung
dara di angkasa.... marilah, Nirahai sebelum terlambat.!
Han Han yang merasa gelisah itu menjadi terharu dan
hendak memeluk isterinya, akan tetapi tiba-tiba Nirahai melepaskan diri dari
pelukan Han Han, mundur tiga langkah dan menatap wajah Han Han dengan sinar
mata tajam dan wajah diliputi sikap dingin murung.
‘Han Han, sudah kukhawatirkan hal ini akan terjadi
semenjak malam pertama aku terlena dalam belai rayumu. Engkau lupa bahwa aku
adalah seorang puteri! Bahwa tak mungkin bagiku hidup seperti seorang
petualangan yang tak tentu tempat tinggalnya! Engkau lupa bahwa di dalam
tubuhku mengalir darah pahlawan, yang semenjak nenek moyangku dahulu rela mengorbankan
jiwa raga demi untuk negara dan bangsa! Biarpun kini kerajaan menganggap aku
seorang pelarian, namun aku tetap harus bersetia kepada kerajaan Ayahku.!
Han Han menjadi pucat wajahnya dan ia membantah lemah,
‘Nirahai, akan tetapi engkau isteriku yang tercinta!!
Nirahai tersenyum pahit. ‘Memang, aku isterimu yang
mencintamu, Han Han. Aku cinta kepadamu, demi Tuhan aku cinta padamu, tapi....!
‘Tapi engkau lebih cinta kepada bangsamu?! Han Han
berseru penasaran dan hatinya berduka sekali. Sadarlah ia kini bahwa ia lupa
akan sebuah hal yang membuat Nirahai amat jauh bedanya dengan Lulu. Memang
wajah mereka mirip sekali, mempunyai segi-segi keindahan yang sama, akan tetapi
ia lupa bahwa Nirahai tidak mungkin bisa memiliki jiwa seperti Lulu yang lebih
polos dan jujur, yang menganggap sama antara bangsa-bangsa sehingga Lulu tidak
menaruh dendam terhadap bangsa pribumi, bahkan telah mengambil tindakan
mengagumkan dengan mengangkat Lauw-pangcu, pembunuh orang tuanya, sebagai ayah
angkat!
Nirahai juga tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan
kaum pejuang, akan tetapi Nirahai ini adalah seorang pejuang sampai ke
sumsum-sumsumnya, seorang yang lebih mencinta negara dan bangsa melebihi apa
pun juga!
Mendengar tuduhan Han Han itu, Nirahai tersenyum dan
mengangguk, ‘Memang betul, Han Han. Aku mencintamu, akan tetapi aku lebih
cinta kepada bangsaku yang melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Engkau adalah
seorang yang berpengetahuan luas, tentu mengerti akan watak keturunan pahlawan.
Betapapun juga, aku cinta kepadamu, suamiku, ahhh, betapa cintaku kepadamu.
Karena itu, kau kasihilah aku, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan
dan yang akan menghancurkan kebahagiaan kita berdua, marilah sekarang saja kita
pergi ke utara dan melupakan segala! Marilah, Han Han, demi cinta kasih
kita....!!
Suara Nirahai makin melemah dan akhirnya ia terisak
perlahan. Han Han terkejut dan makin terharu. Isterinya, kekasihnya yang
berhati baja itu, kini ternyata telah menderita tekanan batin hebat sekali!
Ia segera memeluknya dan mereka berciuman penuh
kemesraan. Sesaat pertentangan paham yang timbul dari percakapan tadi terlupa
dan lenyap, tenggelam oleh rasa cinta kasih mereka. Akan tetapi badai kecil
asmara ini pun lewat dan mereka kembali sadar dan teringat akan urusan penting
yang mereka hadapi dan yang tak mungkin mereka hindari.
‘Han Han, kau sendiri mengatakan bahwa Lulu telah
mendapatkan jodoh yang amat baik, yang boleh dipercaya, aku pun percaya bahwa
Wan Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik sekali, gagah perkasa dan
bertanggung jawab. Karena itu, mengapa engkau masih mengkhawatirkan keadaan
Lulu? Marilah kita pergi ke utara sekarang juga.!
Han Han menggeleng kepala. ‘Tidak mungkin aku pergi
jauh sebelum aku menyaksikan pernikahan adikku, Nirahai.!
‘Kalau begitu, pergilah cepat dan kembalilah cepat
pula. Aku akan menantimu di sini, suamiku.!
Han Han termenung, keningnya berkerut dan wajahnya muram.
Tak disangkanya sama sekali bahwa dia harus menghadapi keputusan yang begitu
sukar dan yang akan menghancurkan hidupnya! Dia membayangkan masa depannya
bersama Nirahai di utara, di antara bangsa Mongol yang asing baginya sama
sekali! Dia membayangkan Nirahai menjadi seorang pahlawan puteri di antara
bangsa Mongol dan dia sendiri.... dia hanyalah suami sang puteri yang
bagaimanapun juga tidak mungkin dapat menjadi pahlawan bangsa itu, dan dia
hanya akan ‘membonceng! kemuliaan isterinya! Dia akan merasa terhina, seorang
suami bangsa asing, yang buntung pula. Han Han bergidik ngeri.
‘Tidak, Nirahai. Aku akan pergi ke Kwan-teng dan engkau
harus ikut bersamaku! Setelah aku merayakan pernikahan Lulu, kita berdua akan
pergi, ke mana saja, asal bebas dari ikatan. Ke utara pun boleh, akan tetapi
dengan janji bahwa kita berdua tidak akan mengikatkan diri dengan urusan
negara!!
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu bersinar
merah dan Han Han terkejut, maklum bahwa datangnya badai yang lain lagi daripada
badai asmara yang memabukkan. Setelah berulang kali menarik napas panjang
sampai terdengar nyata, Nirahai berkata,
‘Sudah kukhawatirkan akan menjadi begini....! Jodoh
takkan dapat kekal hanya didasari cinta berahi saja! Yang penting adalah
kesesuaian paham dan cita-cita! Ahhh, Han Han, tak mungkin aku dapat memenuhi
permintaanmu itu. Kalau engkau memang mencintaku, engkau harus memenuhi
permintaanku ikut dengan aku sekarang juga ke utara.!
‘Engkau yang tidak sungguh-sungguh mencintaku, Nirahai.
Engkau lebih mencinta cita-citamu!!
‘Dan engkau, Han Han, engkau seperti telah buta. Engkau
memang mencintaku, cinta nafsu, padahal sesungguhnya engkau mencinta.... Lulu!!
Han Han meloncat kaget dan memandang Nirahai dengan mata
terbelalak.
‘Apa.... apa kau bilang....?!
Nirahai tertawa pahit dan anehnya, dua titik air mata
membasahi kedua pipinya. Ia tertawa akan tetapi menangis, amat mengharukan
ketika suaranya yang gemetar berkata, ‘Kuketahui setelah terlambat! Baru pada
akhir-akhir ini.... engkau mencumbu dan merayu, mencinta tubuhku, akan tetapi
hatimu lari mencari Lulu. Tanpa kau sadari, mulutmu yang menciumi bibirku
membisikkan nama Lulu! Saat itulah aku tahu bahwa sesungguhnya engkau telah
jatuh cinta kepada Lulu! Akan tetapi, sudah terlanjur! Dan kini aku teringat
akan sikap dan kata-kata Lulu. Adikmu itu, adik angkatmu itu, dia pun
mencintamu, Han Han. Mencintamu dengan sepenuh jiwa raganya, mungkin cintanya
terhadapmu jauh lebih murni daripada cintaku kepadamu. Mungkin dia akan melakukan
apa saja yang kau kehendaki. Akan tetapi, semua itu telah lewat, tiada gunanya
lagi disesalkan, kita telah menjadi suami isteri! Kita tidak boleh berpisah
lagi karena hal itu akan berarti menghancurkan kebahagiaan kita. Aku mencintamu
dan engkau mencintaku. Sungguhpun mungkin cinta kasih di antara kita lebih
disuburkan oleh nafsu karena kita saling mengagumi, namun kita dapat menikmati
cinta kasih kita bersama. Sekarang belum terlambat, marilah kita pergi ke
utara.!
Han Han menjadi pucat sekali wajahnya, matanya kehilangan
sinarnya. Pukulan batin yang dideritanya sekali ini terlalu berat baginya.
Kenyataan yang dibuka secara terang-terangan oleh Nirahai merobek-robek hatinya
dan ia harus mengakui kebenaran ucapan Nirahai. Betapa bodohnya! Lululah yang
dia cinta! Bahkan mungkin sekali karena kemiripan wajah Nirahai dengan Lulu
maka dia tergila-gila kepada puteri ini! Dan sekarang sudah terlanjur!
‘Nirahai, terima kasih. Engkau hebat dan jujur, aku
amat menghargai keterus-teranganmu. Maafkan aku, Nirahai, kalau tanpa kusengaja
aku menyakiti hatimu. Sudah semestinya kalau aku menebus dosa-dosaku dengan
menuruti kehendakmu. Akan tetapi, engkau bersabarlah. Aku akan pergi ke
Kwan-teng lebih dulu, merayakan pernikahan adikku, baru kita bicara lagi tentang
ke utara.!
Nirahai membanting kakinya. Dia sudah marah sekali dan
sudah habis kesabarannya. ‘Tidak! Sekarang juga kita harus dapat mengambil
keputusan! Han Han, kita bukanlah anak-anak kecil lagi! Kita bukan orang-orang
yang lemah dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Kita harus dapat menentukan
nasib sendiri karena hal ini menyangkut masa depan dan kehidupan kita.
Dengarlah keputusan yang tak dapat diubah-ubah lagi, Han Han. Aku cinta padamu,
dan akan bersedia melayanimu sebagai seorang isteri yang mencintannu sampai
kematian memisahkan kita. Akan tetapi, di samping itu aku harus pergi ke Mongol
dan aku harus mengabdikan diriku untuk nusa bangsaku, biarpun dengan cara lain
daripada yang sudah-sudah. Aku hanya minta engkau tidak menghalangi cita-citaku
itu dan aku bersumpah bahwa cintaku kepadamu takkan berubah!!
Sementara itu, biarpun amat berduka, Han Han sudah pula
berpikir masak-masak, maka ia menjawab, ‘Aku pun sudah mengambil keputusan,
Nirahai. Aku cinta padamu dan aku akan mencintamu selamanya, akan tetapi aku
tidak mau terikat dengan urusan pemerintah. Aku harus menikahkan Lulu lebih
dulu, kemudian aku akan mengikutimu ke manapun engkau pergi, akan tetapi aku
hanya minta engkau tidak mencampuri urusan negara yang hanya akan merenggangkan
hubungan kita suami isteri.!
Sejenak sunyi dan mereka berpandangan. Akhirnya Nirahai
bertanya nyaring. ‘Sudah tetapkah keputusan hatimu itu?!
Han Han mengangguk tanpa mengalihkan pandang matanya yang
bertaut dengan pandang mata Nirahai. Tiba-tiba Nirahai tertawa nyaring dan
terkekeh-kekeh.
‘Nirahai....!! Han Han maju hendak merangkul. Ia ngeri
melihat Nirahai tertawa seperti itu, dengan muka pucat, dengan air mata
bercucuran, dengan mulut tertarik seperti orang menangis, seperti mayat
tertawa!
‘Jangan dekati!! Nirahai membentak, kemudian ia berkata
lirih bercampur isak, ‘Kalau begitu keputusan kita, kita harus berpisah,
sekarang juga, lebih cepat lebih baik. Nah, selamat tinggal, Han Han. Engkau
kekasihku, engkau suamiku, akan tetapi juga musuhku! Engkau kucinta, akan
tetapi juga kubenci!! Setelah berkata demikian, puteri jelita itu meloncat dan
lari pergi secepat kilat.!Nirahai....!! Han Han menjerit, hanya lirih keluar
dari mulut, akan tetapi amat nyaring keluar dari hatinya yang berdarah.
Ia berdiri termenung memandang sampai bayangan Nirahai
lenyap, berdiri seperti patung, agak terbongkok seolah-olah terlampau berat
beban yang menimpa punggungnya, bersandar pada tongkatnya dan diam tak
bergerak. Hanya air matanya saja yang jatuh satu-satu tak dihiraukannya.
‘Nirahai.... Nirahai....!! Hatinya menjerit-jerit.
‘Nirahai....! Lulu....! Lulu....!! Ia menjadi bingung,
pukulan batin yang dideritanya membuat ia seolah-olah menjadi batu.
Kalau saja Nirahai tidak sedemikian keras hatinya. Kalau
saja ia meragu dan kembali ke tempat itu, tentu hati wanita ini akan hancur
luluh dan mencair melihat keadaan Han Han. Sampai tiga hari tiga malam Han Han
masih berdiri di tempat itu, bersandar pada tongkatnya, tak pernah bergerak
kecuali untuk membisikkan nama Nirahai dan Lulu!
Dan yang amat mengharukan adalah rambutnya. Rambut yang
lebat dan panjang, yang biasanya berwarna hitam mengkilap itu kini telah
menjadi putih semua! Putih seperti benang-benang perak, seperti rambut seorang
kakek berusia seratus tahun!
Selama tiga hari tiga malam ini, terjadi perubahan hebat
pada dirinya. Badannya menjadi semakin kurus, mukanya kuyu pucat tidak ada
cahayanya, seperti muka orang yang kehilangan semangat dan kegairahan hidup.
Tiada sepercik pun sinar kegembiraan terlukis di mukanya. Dan memang selama
tiga hari tiga malam itu Han Han hanya memikirkan nasibnya.
Hidup semenjak kecil baginya hanya merupakan serangkaian
kesengsaraan yang tidak ada putus-putusnya. Makin diingat makin menghimpit
perasaan.
Teringat ia akan wejangan-wejangan Koai-lojin yang dia
tahu juga banyak mengalami duka nestapa dalam hidupnya, mengalami
kekecewaan-kecewaan besar. Sayup sampai bergema di telinganya wejangan kakek
sakti itu sebelum meninggalkannya,
‘Hidup itu menderita duka? Hidup itu menikmati suka?
Tidak benar semua itu. Hidup adalah hidup, adapun suka atau duka adalah urusan
hati, tidak ada sangkut-pautnya dengan hidup. Peristiwa yang menimpa kita tak
lepas dari perbuatan kita sendiri. Seni yang amat indah dan besarlah cara
penerimaan kita terhadap segala peristiwa. Penerimaan, sekali lagi penerimaan!
Kalau engkau sudah dapat menguasai nafsu dan hati, sudah pandai menggunakan
pikiran sehingga mendapat kesadaran, engkau akan pandai pula menerima segala
hal yang menimpa dirimu sehingga engkau bisa saja bersuka dalam duka, dan
berduka dalam suka!!
Tiba-tiba Han Han tersenyum setelah ia teringat akan
wejangan ini dan mulailah tubuhnya yang kaku membatu itu dapat bergerak lagi.
Seolah-olah tubuhnya ‘hidup! kembali sungguhpun ia merasa betapa hatinya
hampa dan kosong. Dia tidak sadar bahwa rambutnya sudah putih semua dan bahwa
ada sinar aneh terpancar dari matanya yang biasanya bersinar tajam luar biasa.
Dengan langkah terpincang-pincang Han Han meninggalkan tempat itu menuju ke
Kwan-teng.
Selagi Han Han berjalan terpincang-pincang menuruni
sebuah lereng sambil melamun, tiba-tiba tampak belasan orang hwesio berloncatan
keluar dan menghadapinya dengan sikap mengancam. Han Han mengangkat muka
memandang dan ia mengenal Ceng San Hwesio dan belasan orang anak murid
Siauw-lim-pai, semuanya pendeta-pendeta berkepaia gundul yang tingkatnya sudah
tinggi. Han Han merasa heran. Kalau sampai ketua Siauw-lim-pai sendiri keluar
dari Siauw-lim-si, tentulah ada urusan yang amat penting. Biasanya yang
mewakili ketua Siauw-lim-pai ini adalah Ceng To Hwesio, sute dari Ceng San
Hwesio. Akan tetapi ia teringat bahwa Ceng To Hwesio telah tewas dalam
pertandingan melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Han Han menjura dengan hormat kepada ketua Siauw-lim-pai
itu dan berkata, ‘Kiranya locianpwe dan para losuhu dari Siauw-lim-pai yang
bertemu dengan saya di tempat sunyi ini, dan agaknya menghadang perjalanan
saya. Tidak tahu ada kepentingan apakah?!
‘Hemmm, orang muda tidak tahu malu! Dahulu engkau
membikin kacau Siauw-lim-si, hal itu telah pinceng lupakan dan dianggap habis.
Sekarang engkau yang tadinya telah membuat nama di Se-cuan, secara tidak tahu
malu sekali bersekongkol dengan Nirahai perempuan iblis itu....!!
Maaf, locianpwe. Nirahai adalah isteriku, bukan iblis.
Aku melarang siapa saja menghina dan memaki isteriku! Apakah kesalahan Nirahai?
Bukankah di puncak Tai-hang-san telah diadakan perdamaian?!
‘Hemmm, perdamaian? Engkau kini menjadi suami Nirahai?
Bagus, seperti yang telah pinceng duga, engkau seorang yang tak tahu malu! Kau
bicara tentang perdamaian atas nama Nirahai? Perdamaian yang mengorbankan nyawa
Sute Ceng To Hwesio dan engkau yang telah ditolong murid kami Lauw Sin Lian
sampai dia mengorbankan nyawa, engkau.... malah menjadi suami pembunuhnya? Suma
Han, pinceng telah mendengar keturunan siapakah engkau ini, maka pinceng tidak
merasa heran bahwa engkau hanyalah seorang rendah budi yang tak patut dinilai
sepak-terjangnya!!
Han Han merasa heran sekali mengapa hatinya tidak marah
seujung rambut pun mendengar penghinaan yang luar biasa itu. Entah bagaimana,
hatinya seperti kosong melompong, tidak dapat diusik lagi oleh perasaan apa
pun. Mestinya ia marah mendengar kata-kata yang menghina itu, akan tetapi ia
malah tersenyum! Bukan dibuat-buat, melainkan senyum wajar karena ia merasa
geli menyaksikan kebodohan seorang kakek yang sudah menganggap diri pendeta dan
menjadi ketua partai besar.
‘Locianpwe, harap jangan salah sangka. Mendiang Ceng To
Hwesio tewas dalam sebuah pertandingan perorangan melawan Kang-thouw-kwi Gak
Liat, sama sekali bukan kesalahan Nirahai. Adapun kematian Sin Lian.... hemmm,
semoga Thian memberi tempat yang penuh damai bagi arwahnya, kematiannya pun di
luar kesalahan Nirahai karena vang melakukannya adalah Ouwyang-kongcu dan para
pembantunya.!
‘Pinceng tidak sudi melayani percakapan seorang yang
tak boleh dipercaya seperti engkau. Sekarang, lebih baik engkau menebus semua
kesalahanmu dengan dua hal. Pertama mengembalikan anak Bhok Khim, dan ke dua,
memberi tahu di mana adanya iblis betina Nirahai!!
Kembali Han Han tersenyum sambil menghela napas panjang.
‘Locianpwe, ketika Bhok Khim Toanio hendak menghembuskan napas terakhir, dia
minta tolong kepada kedua orang suhengnya, akan tetapi kedua orang suhengnya
memandang rendah sehingga akhirnya Bhok-toanio menyerahkan puteranya kepada
saya. Sekarang locianpwe memintanya, untuk apa?!
‘Untuk apa, kau tidak perlu tahu. Anak itu adalah anak
Bhok Khim seorang murid kami, kamilah yang berhak atas dirinya.!
‘Saya sendiri belum menemukan anak itu, locianpwe, maka
tidak dapat saya serahkan, dan kalau locianpwe hendak mencarinya, silakan
mencari sendiri. Adapun tentang Nirahai, saya tidak dapat memberi tahu kepada
siapa juga ke mana perginya karena saya harus melindungi isteri saya.!
‘Omitohud! Bicara berbelit-belit, padahal maksudnya
hanya menentang dan menolak! Suma Han, apakah terpaksa pinceng harus turun
tangan memaksamu?! Ceng San Hwesio membentak.
Berkerut kening Han Han, bukan karena marah melainkan
karena penasaran menyaksikan sikap seorang ketua partai besar yang sungguh
tidak patut itu. Sepasang matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar yang aneh,
menyapu belasan orang hwesio itu, kemudian berhenti ke wajah Ceng San Hwesio
dan ia berkata, ‘Bukan saya yang mencari perkara, silakan kalau locianpwe
hendak menggunakan kekerasan!!
Para murid Siauw-lim-pai sudah menyaksikan sikap Han Han
yang mereka anggap kurang ajar dan tidak menaruh hormat kepada ketua mereka.
Terdengar bentakan mereka dan mereka sudah melolos senjata masing-masing, toya,
golok dan pedang, gemerlapan tertimpa sinar matahari.
‘Hemmm, cu-wi hendak menggunakan kekerasan? Jangan
mengira bahwa saya takut menghadapi cu-wi. Lihat baik-baik, saya sudah siap,
apakah cu-wi kira akan dapat mengalahkan saya?!
Para hwesio yang sudah menerjang maju dengan senjata di
tangan itu tiba-tiba terbelalak dan berdiri di tempat masing-masing dengan muka
pucat. Bahkan Ceng San Hwesio sendiri berkali-kali mengucapkan
‘omitohud!! dan membaca mantera ketika melihat pemuda
berkaki buntung itu kini berdiri dengan tegak, tubuhnya berubah menjadi dua!
Kakinya tetap sebuah, akan tetapi kepalanya dua dan lengannya menjadi empat
buah, yang dua memegang tongkat yang dua lagi mengepai siap melakukan
perlawanan!
‘Omitohud! Dia menggunakan ilmu silat siluman! Jangan
takut, serbu!! Ceng San Hwesio berseru penuh wibawa.
Sebelas orang anak murid Siauw-lim-pai yang sudah tinggi
tingkatnya itu, biarpun hati mereka gentar sekali, memaksa diri menyerbu ke
arah Han Han yang masih berdiri tegak. Ketika senjata-senjata para anak buah
Siauw-lim-pai itu datang menyambar seperti hujan, tiba-tiba tampak dua batang
tongkat berkelebat seperti dua ekor naga.
‘Trang-cring-cring-trakkk!! Golok dan pedang
beterbangan, toya-toya patah ketika bertemu dengan dua batang tongkat itu.
Bahkan Ceng San Hwesio sendiri yang menyerbu dengan kepalan tangannya, bertemu
dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas sekali, membuat ia terhuyung
mundur!
‘Ceng San Hwesio, jalan kekerasan hanya akan
mendatangkan maut dan kerusakan kepada diri sendiri. Selamat tinggal dan
ingatlah selalu bahwa saya sedikit pun tidak pernah dan tidak akan memusuhi
Siauw-lim-pai yang saya hormati dan kagumi!! Pemuda ini menggunakan kekuatan
matanya dan menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, sekali berkelebat lenyap
dari depan mata para murid Siauw-lim-pai.
‘Dia.... dia menghilang seperti siluman!! Para murid
Siauw-lim-pai berbisik dengan suara gemetar. Namun ketua Siauw-lim-pai yang
sudah tinggi ilmunya itu maklum bahwa Han Han menggunakan ilmu gin-kang yang
luar biasa sekali di samping pengaruh pandang matanya yang dapat menyihir para
muridnya termasuk dia sendiri.
Maka dia menarik napas panjang dan mengajak murid-muridnya
pergi dari situ untuk melanjutkan usaha mereka mencari Nirahai yang tentu saja
sia-sia belaka karena pada waktu itu, Nirahai telah pergi jauh ke utara dengan
hati yang sama hancurnya seperti yang diderita Han Han.
Setelah mengalami peristiwa pertemuannya dengan ketua
Siauw-lim-pai yang amat tidak enak itu, Han Han tidak mau lagi termenung dan ia
melakukan perjalanan cepat sambil mengerahkan kepandaian, menghindarkan
pertemuan dan terutama sekali bentrokan dengan orang lain.
Demikianlah, pada suatu pagi, saat yang ia
rindu-rindukan, yang dinanti-nantikan tiba, ketika ia memasuki kota Kwan-teng
dan dengan jantung berdebar ia langsung menuju ke Pek-eng-piauwkiok, yaitu
gedung perusahaan ekspedisi milik Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, murid
Hoa-san-pai yang ramah itu.
‘Han-koko....!! Lulu menjerit dan lari menyambut
kedatangan Han Han ketika Han Han memasuki ruangan depan Pek-eng-piauwkiok.
‘Lulu....!! Han Han memeluk adiknya dan menumpahkan
seluruh kerinduan hatinya.
‘Han-koko rambutmu.... ahhh rambutmu kenapa....?! Lulu
yang sudah menangis itu menggunakan kedua tangannya membelai rambut yang putih
semua itu. ‘Han-koko.... kenapa engkau? Kenapa rambutmu.... jadi begini?!
Kembali Han Han merasai keanehan pada dirinya. Rasa haru
menyusup ke dadanya, akan tetapi segera tenggelam seperti sebuah batu dilempar
di permukaan telaga dan lenyap tak berbekas! Dia malah dapat tersenyum sambil
mengelus rambut adiknya.
‘Lulu, adikku. Rambut hitam menjadi putih apa anehnya?
Sudah wajar dan harap jangan diributkan.!
‘Koko.... Han-koko.... ahhh, Han-koko....!! Lulu
merintih-rintih sambil menangis air matanya membasahi baju di dada Han Han,
dipandang penuh keharuan oleh Wan Sin Kiat yang pada saat itu merasa benar
betapa besar cinta kasih calon isterinya kepada kakaknya. Akhirnya Sin Kiat
yang bijaksana meninggalkan kakak dan adik itu masuk ke dalam dengan alasan
hendak menyampaikan kepada gurunya akan kedatangan Han Han.
Setelah tinggal berdua saja, Lulu mempererat pelukannya
dan tangisnya makin tersedu-sedu. ‘Koko.... Koko jangan tinggalkan aku lagi,
Koko. Marilah kita pergi berdua.... hu-hu-huuukkk....!
‘Eh, eh, bocah nakal! Apa pula yang kau katakan ini?
Engkau akan menikah dengan Sin Kiat. Bukankah engkau cinta kepadanya?!
Aku.... aku suka menjadi isterinya akan tetapi aku tidak
akan bahagia kalau berpisah darimu, koko. Baru berpisah tiga bulan saja, engkau
sudah tertimpa malapetaka lagi. Pertama kali, perpisahan kita membuat engkau
kehilangan sebelah kakimu....! Lulu mengguguk tangisnya. ‘Dan sekarang....
rambutmu putih semua!!
‘Hushhh jangan berkata demikian. Engkau akan hidup
bahagia di samping suamimu, jangan pikirkan aku lagi.! Biarpun mulutnya berkata
demikian, hati Han Han tidak karuan rasanya. Memeluk adiknya ini teringatlah ia
ketika ia memeluk Nirahai dan diam-diam ia kini harus membenarkan ucapan
Nirahai yang menyatakan bahwa sesungguhnya dia mencinta Lulu. Memang benar.
Baru sekarang dia tahu Lululah yang dicintanya! Dicintanya sejak dahulu! Bukan
hanya dicinta sebagai adiknya, melainkan dicintanya sebagai seorang wanita
satu-satunya di dunia ini yang akan membahagiakan hidupnya!
‘Tidak mungkin, Han-koko. Tak mungkin aku tidak
memikirkan engkau. Biarpun aku menjadi isterinya, aku akan sengsara kalau kau
tidak berada di dekatku. Lebih baik aku selamanya tidak kawin, biarlah aku ikut
bersamamu.... hu-hu-huk, kita kembali ke Pulau Es....!!
Han Han tersentak kaget. Permintaan Lulu ini cocok sekali
dengan perasaan hatinya. Dia harus melawan ini. Tidak boleh begini! Kalau dia
menuruti perasaannya, dia tahu bahwa dia akan menemukan bahagia asmara yang
sejati di samping Lulu. Akan tetapi hal itu hanya akan menambah dosanya yang
sudah bertumpuk-tumpuk.
‘Tidak! Lulu, jangan berpikiran gila seperti itu!
Engkau adikku, dan adik berada di samping kakaknya di waktu kecil, setelah
dewasa dan bertemu jodohnya, harus berpisah.!
‘Aku tidak mau....! Tidak mau....!! Lulu terisak-isak
dan membanting-banting kakinya. Kembali Han Han teringat kepada Nirahai. Selama
sebulan itu, ketika ia memeluk dan mencinta Nirahai, bukankah setengah hatinya
menganggap bahwa Nirahai menjadi pengganti Lulu? Dan sekarang dia memeluk Lulu!
Akan tetapi Lulu yang dipeluknya ini adalah adiknya!
Lebih patut menjadi isteri Wan Sin Kiat.
‘Lulu! Apakah engkau ingin melihat kakakmu makin
sengsara? Aku bisa mati karena duka jika engkau bersikap seperti ini!!
Lulu merintih dan melepaskan pelukannya, melangkah mundur
sambil memandang kakaknya dengan mata terbelalak dan muka pucat. ‘Han-koko,
benar-benarkah engkau menghendaki aku kawin dengan Sin Kiat?!
Sejenak mereka berpandangan. Lulu memandang dengan
matanya yang lebar penuh selidik. Han Han berusaha mengelak dan menyembunyikan
perasaan hatinya. Jelas sekali tampak olehnya betapa sinar mata adiknya itu
menyorotkan cinta kasih yang mendalam, penuh pemasrahan, cinta kasih dengan
pemasrahan total tanpa halangan perbedaan paham seperti yang dimiliki Nirahai,
dan agaknya karena kenyataan bahwa mereka kakak beradik yang membuat Lulu tidak
berani menyatakan perasaan melalui mulutnya.
Han Han mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya untuk
menekan perasaannya, kemudian ia tersenyum lebar dan memandang adiknya seperti
memandang seorang anak nakal sambil berkata,
‘Lulu.... lulu adikku sayang, mengapa kau masih
bertanya lagi? Engkau tahu, satu-satunya kebahagiaan bagiku adalah melihat
engkau bahagia adikku. Dan aku yakin engkau akan bahagia menjadi isteri Sin
Kiat. Bukankah selama ini dia bersikap amat baik padamu?!
Lulu menarik napas panjang, menggunakan punggung tangan
untuk mengeringkan air mata dari pelupuk mata dan pipi. ‘Dia baik, akan
tetapi engkau jauh lebih baik!
‘Hushhhhh! Tentu lain! Dia adalah calon suamimu, dan
aku hanya kakakmu.! Han Han menggandeng tangan adiknya sambil tertawa.
‘Jangan seperti anak kecil, Lulu. Mari kita masuk menghadap Locianpwe Im-yang
Seng-cu, guru Sin Kiat.!
Lulu terpaksa menghentikan tangisnya dan tidak sempat
lagi berbantahan dengan kakaknya karena tak lama kemudian Sin Kiat muncul lagi
bersama gurunya, Im-yang Seng-cu, Tan Bu Kong dan beberapa orang anak murid
Hoa-san-pai yang telah berada di situ. Ketika melihat Han Han yang rambutnya
sudah putih semua, Im-yang Seng-cu membalas penghormatannya sambil berkata,
‘Siancai.... telah banyak sudah aku mendengar akan
sepak terjangmu, orang muda, membuatku kagum. Kiranya engkau cucu sahabatku
Suma Hoat telah menjadi seorang pendekar yang amat sakti!!
Han Han yang sudah menjura penuh hormat, segera menjawab,
‘Harap locianpwe tidak memuji secara berlebihan. Saya hanyalah seorang kakak
yang kini datang untuk merayakan pernikahan adik saya Lulu dengan murid
locianpwe. Mohon locianpwe maafkan, karena keadaan kami kakak beradik yang
tiada orang tua dan tidak memiliki sesuatu, maka segala pelaksanaan upacara dan
perayaan kami serahkan kepada pihak locianpwe.!
‘Suma-taihiap mengapa bersikap sungkan? Kita berada di
antara keluarga sendiri. Tentu saja kami sudah mempersiapkan segalanya, bahkan
kami telah menyebar undangan,! kata Tan-piauwsu yang menjadi tuan rumah.
Ramailah mereka merundingkan rencana pernikahan yang akan
diadakan beberapa hari lagi. Kini Lulu tidak pernah rewel lagi sehingga hati
Han Han terasa lega sungguhpun tiap kali bertemu pandang dengan adiknya itu,
Han Han merasa jantungnya tertikam melihat sinar duka menyuramkan sepasang mata
adiknya yang biasanya berseri dan wajahnya yang biasanya cerah itu.
Akhirnya, tibalah harinya yang telah dinanti-nantikan dan
dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sin Kiat, jago muda Hoa-san-pai yang
berjuluk Hoa-san Gi-hiap dengan Lulu. Upacara pernikahan dilangsungkan secara
sederhana namun cukup meriah dan dihadiri oleh tamu-tamu terhormat dari kota
Kwan-teng dan sekitarnya.
Han Han dan Im-yang Seng-cu sebagai wakil kedua mempelai,
memandang penuh keharuan ketika sepasang mempelai bersembahyang di depan meja
sembahyang, mengangkat dupa wangi, berdampingan dalam pakaian mempelai yang
membuat Lulu tampak makin cantik jelita. Dalam keharuannya, Han Han merasa lega
hatinya. Belum pernah ia merasa begitu lega hatinya seperti ketika menyaksikan
adiknya bersembahyang di samping SinKiat. Adiknya merupakan satu-satunya
persoalan yang memberatkan hatinya, karena kalau dia pergi menjauhi segala
kesengsaraan dunia, bagaimana dengan adiknya yang ia ditinggalkannya.
Kini adiknya sudah ada yang memiliki, ada yang mengurus,
membela dan melindungi. Dan dia percaya bahwa Sin Kiat akan menjadi seorang
suami yang baik, dia percaya bahwa tentu Lulu akan hidup sebagai seorang isteri
yang penuh kebahagiaan.
Malam tadi, untuk yang terakhir kalinya Lulu menemuinya
dan menangis, dengan terisak-isak minta supaya pernikahan dibatalkan!
‘Koko.... lebih senang kalau aku pergi saja bersamamu!! Demikian adiknya itu
rewel lagi.
‘Eh, eh, bagaimana engkau ini, Lulu? Besok dirayakan
perkawinan, tamu-tamu akan datang, mana bisa dibatalkan? Eh, terus terang saja.
Katakanlah, apa engkau tidak cinta kepada Sin Kiat?!
Lulu mengangguk. ‘Aku suka padanya, Koko. Aku mau
menjadi isterinya, akan tetapi.... berat sekali kalau aku harus berpisah
darimu. Kau berjanjilah bahwa setelah aku menikah, engkau akan tinggal bersama
kami untuk selamanya!!
‘Hush, bocah nakal! Apa kau akan mengikat kakiku seperti
seekor burung? Jangan begitu, adikku. Engkau mencinta Sin Kiat, dia pun
mencintaimu. Kalau kalian sudah menjadi suami isteri, berarti kalian merupakan
dua tubuh satu hati, sehidup semati dan mengenai aku.... ah, aku hanya kakakmu,
dan aku.... aku akan mencari jodohku sendiri!! Terpaksa Han Han menggunakan
alasan ini dan benar saja, wajah adiknya menjadi berseri dan biarpun pipinya
masih basah, kini Lulu dapat tersenyum.
‘Benarkah, Koko? Kenapa tidak dengan Suci Nirahai?!
Kalau saja kini rongga dada Han Han tidak sudah kosong
melompong, tentu disebutnya nama Nirahai ini akan membuat perasaannya tertikam
hebat. Akan tetapi tikaman itu mengenai tempat kosong dan ia hanya memejamkan
mata sesaat, kemudian menjawab, ‘Entahlah, adikku. Soal jodoh berada di
tangan Tuhan, seperti jodohmu dengan Sin Kiat ini pun sudah ditentukan oleh
Thian Yang Maha Basar.!
Bujukan-bujukannya ini membuat Lulu dapat bersikap wajar
dan gembira ketika sepasang mempelai bersembahyang dan mengikuti upacara
pertemuan. Setelah upacara selesai dan sepasang mempelai duduk bersanding,
barulah pesta dimulai dan suasana menjadi gembira sekali. Sebagai kedua wali
sepasang mempelai, Han Han duduk berhadapan dengan Im-yang Seng-cu dan minum
arak wangi.
Akan tetapi, mendadak suasana gembira itu dipecahkan oleh
suara yang nyaring menggema, datang dari luar pekarangan gedung
Pek-eng-piauwkiok,
‘Suma Han, pinceng tidak ingin mengganggu pesta
pernikahan. Keluarlah agar kita dapat bicara!!
Han Han dan semua orang yang berada di situ terkejut
karena suara ini mendatangkan getaran hebat yang seolah-olah menimbulkan gempa
bumi. Han Han mengenal suara Thian Tok Lama, pendeta Tibet, maka ia lalu
bangkit berdiri dan berkata kepada para tamu,
‘Harap cu-wi melanjutkan makan minum, urusan ini adalah
urusan saya sendiri yang akan saya bereskan di luar!! Setelah berkata demikian,
Han Han lalu terpincang-pincang keluar dari ruangan pesta itu.
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu yang mengerti bahwa orang
yang mengeluarkan suara seperti itu tentulah memiliki kepandaian yang luar
biasa, segera bangkit dan diam-diam mengikuti Han Han. Lulu juga cepat bangkit
berdiri dan sebelum dapat dicegah, sudah lari keluar. Tentu saja Sin Kiat tidak
mau membiarkan isterinya pergi sendiri, dan cepat ia pun ikut keluar. Melihat
betapa sepasang mempelai keluar, tentu saja para tamu menjadi tertarik dan
ingin tahu, maka tanpa dapat dicegah lagi, berbondong-bondong mereka keluar
untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata yang berada di depan gedung Pek-eng-piauwkiok
itu adalah dua orang pendeta Tibet, bukan lain Thian Tok Lama dan Thai Li Lama
yang berdiri dengan sikap tenang, akan tetapi mata mereka memandang marah.
‘Kiranya ji-wi yang datang,! kata Han Han, sikapnya
tenang. ‘Ada keperluan apakah mengganggu aku yang sedang merayakan pernikahan
adikku?!
‘Suma-taihiap, kami berdua masih mengingat akan
hubungan lama, karena itu kami datang bukan dengan niat mencari keributan. Tak
perlu kiranya kami jelaskan lagi dan tidak perlu pula urusan ini dibicarakan
panjang lebar. Kami hanya ingin tahu di mana adanya Sang Puteri sekarang.!
Han Han memandang tajam dan melihat betapa sepasukan
pengawal kerajaan yang jumlahnya dua puluh empat orang, kesemuanya pengawal
pilihan dan yang berbaris rapi di belakang dua orang pendeta itu, telah siap
menerjang. Akan tetapi ia didahului oleh Im-yang Seng-cu yang telah meloncat
maju mendekati kedua orang pendeta Lama itu sambil menudingkan tongkatnya,
‘Pinto sebagai tuan rumah yang mengadakan pesta
pernikahan murid pinto, mengharap agar ji-wi Losuhu tidak menggangu perayaan
kami, atau, kalau ji-wi beriktikad baik, kami persilakan untuk masuk sebagai
tamu-tamu yang kami hormati.!
Thian Tok Lama memandang tosu kurus itu dengan alis
berkerut, kemudian ia berkata tegas dan angkuh, ‘Kami tidak ingin mengganggu
dan tidak mau diganggu! Kami tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga,
kecuali dengan Suma Han. Harap yang lain tidak mencampuri urusan kami!!
Bayangan Lulu berkelebat dan dia sudah berdiri di dekat
kakaknya. Dengan tirai masih menutupi mukanya, dia menudingkan telunjuknya dan
membentak. ‘Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Aku mengenal siapa kalian!
Beranikah kalian menghinaku dengan mengacau hari pernikahanku dan menghina
kakakku?!
Wan Sin Kiat juga sudah berkata keras, ‘Ji-wi Losuhu
sudah menyeberang ke pihak musuh, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan
kami! Mengapa ji-wi sekarang datang mengganggu?!
Thian Tok Lama memandang sepasang mempelai itu lalu
tertawa. ‘Omitohud....! Seorang puteri Mancu berjodoh dengan seorang tokoh
pejuang! Betapa manis dan baiknya! Kami tidak mengganggu kalian, melainkan
hendak berurusan dengan Suma Han!!
‘Suma Han adalah wali mempelai wanita, menjadi tamu
agung bagi pinto. Siapapun juga tidak boleh mengganggunya. Pinto sebagai tuan
rumah berhak melindunginya. Harap ji-wi suka pergi!! Sambil berkata demikian,
Im-yang Seng-cu meloncat maju dan menggerakkan tongkatnya.
Locianpwe, jangan....!! Han Han berseru mencegah.
Namun terlambat. Im-yang Seng-cu yang dapat menduga bahwa
kedua orang pendeta itu tentu lihai dan berbahaya sekali, telah menyerang
dengan tongkatnya. Thian Tok Lama tertawa dan menggerakkan tangan kanan
menyambut tongkat.
‘Krekkk....!! Tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah
menjadi dua dan tosu ini terhuyung ke belakang. Kagetlah Im-yang Seng-cu. Dia
merupakan seorang sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi ternyata dalam
segebrakan saja, tangkisan tangan pendeta aneh itu telah mematahkan tongkatnya
dan ia merasa sebuah tenaga panas mendorongnya sehingga ia terhuyung.
Mengertilah ia bahwa hwesio ini amat sakti!
‘Pendeta sesat!! Lulu dan Sin Kiat bergerak hendak
menyerang, akan tetapi Han Han sudah melonjorkan lengannya mencegah, lalu
berkata penuh wibawa,
‘Kalian sedang merayakan pernikahan, tidak boleh
bergerak dan berkelahi. Urusan ini memang tiada sangkut-pautnya dengan lain
orang, biarlah aku sendiri yang membereskan!!
Mendengar ucapan Han Han ini, Lulu dan Sin Kiat mundur
dan kini Han Han sendiri menghadapi dua orang pendeta Lama itu.
‘Ji-wi Losuhu, baiklah pertanyaan ji-wi tadi kujawab.
Tentang Puteri Nirahai, aku tidak tahu dia berada di mana sekarang. Jawabku ini
sama sekali tidak membohong, karena memang aku tidak tahu ke mana dia pergi setelah
berhasil kuselamatkan dari tahanan istana. Akan tetapi, perlu ji-wi ketahui
pula bahwa andaikata aku tahu di mana dia berada sekalipun, takkan
keberitahukan kepada siapapun juga jika tidak dia kehendaki. Nah, setelah
kujawab sejujurnya, harap ji-wi tidak mengganggu lagi dan suka pergi dari
sini.!
Ramailah anak buah pasukan pengawal itu bicara sendiri
mendengar jawaban Han Han. Thian Tok Lama mengerutkan keningnya dan nampak
marah.
‘Suma Han! Engkau telah melakukan dosa besar, menyerbu
istana dan melarikan Sang Puteri, sekarang sengaja hendak menyembunyikannya.
Namun, pinceng masih ingat akan hubungan antara kita dan pinceng persilakan
engkau ikut bersama kami untuk menghadapi kaisar dan memberi jawaban sendiri.!
‘Berarti engkau tidak mengindahkan iktikad baik kami
dan terpaksa kami menggunakan kekerasan menangkapmu!!
Han Han tertawa. ‘Thian Tok Lama dan Thai Li Lama,
apakah yang kalian andalkan untuk dapat menangkap aku? Kalau hendak menggunakan
kekerasan silakan!!
Kedua orang pendeta Tibet itu sudah mengenal kelihaian
Han Han, maka dengan cerdik mereka tadi hendak menggunakan bujukan halus. Kini
melihat pemuda itu tak dapat dibujuk, Thian Tok Lama lalu mengangkat tangan dan
memberi perintah kepada para pasukan pengawal pilihan.
‘Tangkap si pemberontak!!
Terdengar suara nyaring dan tampak sinar berkilauan
ketika dua losin pasukan pengawal itu mencabut senjata mereka. Thian Tok Lama
dan Thai Li Lama pun sudah bersiap-siap untuk menyerbu kalau pasukan itu sudah
mengeroyok. Akan tetapi Han Han yang tidak ingin membunuh orang, sudah
mendahului mereka.
Tiba-tiba ia mengeluarkan suara keras sekali, ‘Jangan
bergerak!! Dan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung garuda
menyambar. Aneh sekali, dua puluh empat orang yang sudah mencabut senjata itu
kini berdiri diam seperti arca dan sekali tubuh Han Han menyambar turun, dengan
mudahnya Han Han merampas dan melucuti senjata-senjata mereka, mematah-matahkan
semua senjata itu dengan kedua tangan seperti orang mematah-matahkan sekumpulan
lidi saja! Kemudian ia membuang senjata-senjata yang sudah patah itu ke atas
tanah.
Melihat ini, semua orang terheran-heran. Thian Tok Lama
dan Thai Li Lama terkejut sekali. Terutama Thai Li Lama yang merupakan seorang
tokoh dan ahli sihir. Dia tadi sampai ikut diam tak mampu bergerak mendengar
bentakan Han Han, maka tahulah pendeta ini bahwa sekarang Si Pemuda berkaki
buntung telah memiliki kekuatan yang mukjizat, jauh lebih kuat daripada dahulu
ketika bertanding kekuatan sihir dengannya.
Namun, sebagai dua orang yang memiliki sin-kang tenaga
batin kuat, dua orang pendeta Tibet ini sudah dapat menguasai dirinya kembali
dan sambil berseru marah mereka menerjang maju dari kiri kanan memukul dengan
pengerahan sin-kang ke arah Han Han.
Menghadapi pukulan dari kiri kanan yang amat kuat ini,
Han Han malah berdiri tegak dan memejamkan matanya! Tentu saja Im-yang Seng-cu,
Lulu dan Sin Kiat menjadi terkejut dan amat khawatir menyaksikan dua pukulan
yang mendatangkan angin mendesir kuat sekali itu. Tiba-tiba Han Han
mengembangkan kedua lengannya dan berseru.
‘Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, pergilah kalian!!
Kedua telapak tangan Han Han menyambut pukulan dua orang
lawannya. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat hebat! Tubuh Han Han diam
seperti arca, akan tetapi tubuh dua orang pendeta Lama itu tergoncang hebat.
Mereka masih hendak bertahan, namun mereka terguncang makin hebat dan kalau
dilanjutkan pertahanan mereka, tentu isi dada mereka akan hancur. Mengerti akan
bahaya maut, keduanya lalu melompat mundur dan terhuyung-huyung, lalu roboh
terpelanting dan cepat mereka duduk bersila mengatur pernapasan!
Pasukan itu menjadi gempar. Mereka tadi tak dapat
menggerakkan kaki tangan sama sekali, dan barulah sekarang mereka dapat
bergerak, namun apa yang dapat mereka lakukan? Senjata telah dirampas begitu
mudah, dan dua orang pendeta itu telah terluka hebat.
‘Pergilah, dan bawalah mereka pergi dari sini,! Han Han
berkata halus kepada pasukan itu. Akan tetapi dua orang pendeta itu sudah
bangkit kembali, sejenak memandang kepada Han Han dengan sinar mata penuh
kemarahan, kekaguman dan juga penasaran. Mereka benar-benar merasa heran sekali
mengapa baru berpisah beberapa bulan saja, agaknya kepandaian Si Pemuda buntung
ini sudah meningkat secara luar biasa!
‘Suma Han, semenjak saat itu, engkau adalah musuh
negara dan kami akan selalu berusaha untuk membunuhmu! Engkau seorang pelarian,
seperti halnya Puteri Nirahai!! kata Thian Tok Lama.
Han Han menghela napas panjang. ‘Sudah untung kami!
Akan tetapi, peganglah aturan orang-orang gagah ji-wi losuhu. Kalian boleh saja
mencari aku dan Sang Puteri, akan tetapi jangan sekali-kali mengganggu orang
lain yang tiada sangkut-pautnya dengan kami. Sang Puteri telah pergi, dan aku
pun akan pergi dari sini. Kalian boleh mencari kami kalau bisa, suatu usaha
yang sia-sia belaka karena sesungguhnya aku tidak peduli akan urusan dunia
lagi. Nah, pergilah!!
‘Engkau.... siluman!! Thai Li Lama berseru penuh
keheranan. ‘Engkau patut dijuluki Pendekar Siluman!!
Para pasukan yang masih terheran-heran menyaksikan cara
pemuda itu merampas senjata mereka, otomatis berseru, ‘Pendekar Siluman....!!
‘Kalian jangan memaki kakakku! Hayo pergi, kalau tidak,
sekali aku turun tangan, aku tak akan sesabar kakakku dan takkan puas sebelum
kepala kalian menggelinding di sini!! Lulu meloncat maju dan memaki-maki marah
mendengar kakaknya dijuluki Pendekar Siluman.
Dua orang hwesio Lama itu menghela napas lalu membalikkan
tubuh, melangkah pergi diikuti para pasukan yang masih merasa ngeri dan takut.
Semua tamu yang menyaksikan peristiwa ini juga memandang Han Han seperti orang
memandang mahluk aneh bukan manusia, kagum heran dan juga serem. Hanya Im-yang
Seng-cu yang memandang penuh kekaguman, menjura kepada Han Han sambil berkata
lirih.
‘Sungguh bahagia sekali bagi mata tuaku ini menyaksikan
cucu sahabat baik Suma Hoat menjadi seorang yang kesaktiannya jauh melampaui
nenek moyangnya. Siancai.... siancai!!
Lulu sudah menggandeng tangan Han Han diajak memasuki
gedung dan dara yang sejenak lupa bahwa dia sedang menjadi pengantin ini
menegur kakaknya, ‘Han-koko, mengapa kau tidak menceritakan aku tentang Suci
Nirahai? Engkau melarikan dia dari istana? Aihhh, engkau nakal sekali. Kau
harus menceritakan hal itu kepadaku, Koko....!!
Setelah pesta pernikahan itu selesai dan para tamu sudah
pulang, barulah pada malam hari itu Han Han terpaksa bercerita kepada Lulu dan
Sin Kiat. Dengan terus terang Han Han menceritakan bahwa atas keputusan
mendiang Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dia dijodohkan dengan Nirahai.
Mendengar penuturan Han Han sampai di sini, Lulu
menangis. Menangis karena gurunya, Nenek Maya, telah meninggal dunia, dan
menangis saking terharu mendengar bahwa kakaknya dijodohkan dengan Nirahai.
Han Han melanjutkan ceritanya yang menyedihkan, betapa
kaisar bukan hanya melarang perjodohan itu, bahkan menjebloskan Nirahai ke
dalam penjara. Betapa dia menyerbu istana untuk membebaskan Puteri Nirahai.
‘Di mana suci sekarang, Koko? Kenapa tidak ikut ke
sini?! Lulu bertanya tak sabar.
‘Benar sekali pertanyaan isteriku, Han Han. Kenapa dia
tidak ikut ke sini dan.... alangkah baiknya kalau tadinya dirayakan pernikahan
kalian di sini,! kata pula Sin Kiat yang menyebut Lulu ‘isteriku! dengan
suara mesra, akan tetapi tidak dapat mengubah panggilannya terhadap Han Han
yang dianggapnya sahabat sejak kecil.
‘Ya, kenapa tidak begitu, Koko? Mana suci?! Lulu
bertanya lagi penuh desakan.
Han Han merasa jantungnya seperti ditusuk, akan tetapi
hanya untuk beberapa detik saja karena perasaan ini telah tenggelam dan lenyap.
Betapapun juga, wajahnya membayangkan kesayuan dan kekosongan, sayu dan layu,
sinar matanya seperti lampu kehabisan minyak. Ia menghela napas dan menggeleng
kepalanya.
‘Dia telah pergi, Lulu. Dan harap jangan mendesakku....
cukup kalau kuberitahukan bahwa.... bahwa.... di antara kami tidak sepaham.!
‘Koko....!! Lulu memegang pundak kakaknya dan menangis.
Dia telah mengenal betul wajah kakaknya dan maklum bahwa pada saat itu,
kakaknya sedang menderita tekanan batin yang amat hebat.
‘Huuussshhhhh, jangan begini, Lulu.! Dari atas pundak
Lulu, Han Han memberi isyarat kepada Sin Kiat untuk menghibur Lulu. Dia bangkit
berdiri dan berkata, ‘Lulu, tentang diriku tak perlu kauhiraukan lagi.
Bagiku, yang terpenting adalah keadaanmu. Sudah menjadi kewajibanku untuk
berusaha sekuat tenaga demi kebahagiaanmu. Kini engkau telah menemukan jodoh,
telah mendapatkan seorang suami yang kupercaya penuh akan mencintamu selamanya,
akan menjagamu, membimbingmu dan melindungimu dengan seluruh jiwa raganya.
Maka legalah hatiku, adikku. Cukuplah hidup ini bagiku
kalau melihat engkau bahagia. Kini aku dapat pergi dengan hati lapang, tidak
lagi mengkhawatirkan hidupmu. Yang pandai-pandailah engkau menjaga dan mengatur
rumah tanggamu, Lulu. Yang hati-hatilah engkau bersama suamimu mendayung biduk
rumah tanggamu menuju ke pantai bahagia. Aku.... aku hanya dapat mendoakan
setiap saat untuk kebahagiaanmu.!
‘Koko....! Engkau.... engkau akan ke mana....?! Lulu
bertanya dengan muka pucat melibat kakaknya bangkit berdiri dan agaknya siap
hendak pergi itu.
Han Han tersenyum, senyum yang menyayat jantung Lulu.
‘Ke mana? Tentu saja pergi dari sini, adikku. Aku sudah
bebas sekarang, bebas lepas seperti burung di udara, bebas daripada tugas,
bebas dari segala-galanya. Aku akan pergi, sekarang juga....!
‘Koko, jangan pergi sekarang....!! Lulu berteriak,
mukanya makin pucat dan air matanya mengucur deras. Melihat keadaan isterinya
ini, Sin Kiat cepat merangkul pundak isterinya dan ikut berkata.
‘Han Han, mengapa tergesa-gesa? Tinggallah di sini
barang sepekan....!
Han Han menengok keluar jendela. Bulan sedang purnama dan
di luar rumah terang seperti siang.
‘Tidak, aku harus pergi sekarang! Malam ini merupakan
malam bahagia bagi kalian, dan merupakan malam keramat bagiku. Aku harus pergi,
selagi bulan sedang purnama, selagi hatiku sedang terang....!
‘Han-koko....!! Lulu menjerit menahan isak. ‘Engkau
hendak pergi ke mana? Malam-malam begini....? Ke mana....?!
Kembali Han Han memaksa tersenyum kepada adiknya. ‘Ke
mana? Ke manakah semua manusia akan pergi? Hemmm, aku tidak tahu, adikku. Dunia
ini terlalu luas, dan di manapun sama saja. Terserah kepada hati dan kakiku ke
mana aku pergi. Jangan engkau memikirkan aku lagi, adikku. Nah, selamat
tinggal....!
‘Han Han, jangan pergi seperti ini! Besok saja....!!
Sin Kiat mencegah.
‘Tidak, sekarang inilah saatnya,! Han Han berpincangan
keluar.
‘Koko, aku antar engkau....! Lulu mengejar. Sin Kiat
juga mengejar. ‘Kami antar sampai keluar kota!! kata Sin Kiat yang terharu
menyaksikan penderitaan isterinya. Han Han tak dapat membantah lagi.
Di luar ruangan gedung, mereka bertemu dengan
Tan-piauwsu, atau Tan Bu Kong pemilik Pek-eng-piauwkiok. Ketika mendengar bahwa
malam hari itu juga Han Han akan pergi, Tan Bu Kong menyatakan keheranannya,
akan tetapi dia tidak berani mencegah bahkan ikut pula mengantar.
Setibanya di luar kota, Han Han berkata, ‘Sudah cukup,
adikku Lulu. Cukuplah Sin Kiat dan Tan-piauwsu. Kembalilah kalian ke kota, aku
akan melanjutkan perjalananku.!
!Koko....! Ahhh, Koko.... jangan.... jangan tinggalkan
aku....!! Lulu tidak mempedulikan apa-apa lagi, menubruk Han Han, merangkul dan
menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil menangis sesunggukan.
‘Lulu, engkau bukan anak kecil lagi, mengapa bersikap
begini? Tidak baik begini, Lulu....!
‘Bawalah aku, Koko.... bawalah aku...., aku tidak bisa
berpisah lagi darimu....!!
‘Lulu!! Han Han membentak sehingga Lulu tersentak
kaget. Dengan gerakan halus Han Han mendorong Lulu mundur, kemudian berkata,
‘Ingat, engkau adalah isteri Wan Sin Kiat yang mencintamu dan kau cinta.
Adikku sayang, selamat tlinggal, semoga Thian melindungimu selamanya!! Setelah
berkata demikian, Han Han membalikkan tubuh dan berjalan terpincang-pincang
meninggalkan mereka.
Lulu seperti terkena pesona berdiri seperti patung,
mukanya pucat, air matanya bercucuran, matanya tak pernah berkedip menatap
tubuh yang pergi itu. Tubuh seorang laki-laki yang berkaki satu,
terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya, rambutnya terurai lepas berwarna
putih. Sesosok tubuh yang menimbulkan haru dan iba kepada yang melihatnya,
terutama sekali Lulu.
‘Koko....! Han-koko.... kakakku....!!
Sin Kiat sudah memegang lengannya. ‘Kuatkan hatimu,
isteriku. Biarkan kakakmu pergi, di sini ada aku suamimu yang mencintamu lahir
batin....! Sin Kiat menahan isak yang bercampur dalam suaranya.
Lulu membalikkan tubuh memandang suaminya, lalu menubruk
suaminya dan menangis tersedu-sedu.
‘Han-koko.... ah, Han-koko.... betapa malang dan
sengsara nasib kakakku.... dia.... selalu berusaha menolong orang sengsara....
akan tetapi dia sendiri selalu dirundung malang.... ohhh, kakakku....!
Sin Kiat memeluk isterinya, kemudian mereka berdua
memandang tubuh yang makin menjauh itu. Tubuh yang berjalan terpincang-pincang
di bawah sinar bulan purnama, dan tidak pernah sekali juga Han Han menoleh.
Bukan karena tidak ingin, oh, dia ingin sekali menoleh, akan tetapi dia tidak
mau tampak oleh mereka betapa kedua pipinya basah oleh tetesan air matanya....!
Berbareng dengan kepergian Suma Han atau Han Han, yang
dikenal sebagai Pendekar Super Sakti, juga Pendekar Siluman, maka berakhirlah
cerita yang berjudul Pendekar Super Sakti ini. Khusus untuk para pembaca yang
masih ingin mengikuti perjalanan hidup Han Han yang selama ini banyak
menderita, pengarang menyusun sebuah cerita baru yang merupakan lanjutan cerita
ini, yang berjudul ‘Sepasang Pedang Iblis!. Dalam cerita ini, pembaca akan
berjumpa kembali dengan Han Han, dengan Nirahai, Lulu dan tokoh-tokoh dalam
cerita Pendekar Super Sakti.
Semoga cerita Pendekar Super Sakti ini mengandung manfaat
bagi pembaca, dan pengarang menyertakan salamnya bersama salam dari Han Han
kepada para penggemar dan sampai jumpa dalam cerita ‘
Sepasang Pedang Iblis!