"Sampai menjadi pelacur?� Ang-siauw-hwa menurunkan
tangannya dan mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes di sepanjang kedua
pipinya yang halus kemerahan.
"Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, di
waktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku seorang pangeran
dari Kerajaan Tang�
Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng.
"Ahhh ! Mengapa sampai begini?�
Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang
seorang pangeran bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar.
Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua
tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang
pelayan. Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang
sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan
dan hilang. Yang hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat
diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara
pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka
berdua mati kelaparan.
Akhirnya, pelayan itu terjerat oleh cengkraman seorang
pemilik sarang pelacuran bernama bibi Cang yang mau membantu mereka karena
melihat betapa cantiknya anak perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama, hutang
mereka berumpuk dan akhirnya, setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun,
terpaksa Khu Kim In dijual kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.
"Demikianlah, Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak
dapat aku melepaskan diri dari cengkraman bibi Cang. Akan tetapi baiknya aku
disayang oleh hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar sekitar tempat ini
sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang dan aku agak bebas. Aku boleh memilih
sendiri laki-laki mana yang akan kulayani, dan karena aku banyak mendatangkan
hasil sehingga bibi Cang menjadi kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik
serta mendapat kebebasan, malah aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal
menyendiri. Akan tetapi semua ini kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu.
Ayah bundaku tewas, Adik Gin In entah ke mana, dan aku..aku harus mengorbankan
kehormatan, menjadi perempuan hina yang dipandang rendah oleh orang-orang
terhormat seperti kau� kembali Ang-siauw-hwa menangis.
Bukan main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya
nasib gadis ini. Rasa haru dan kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu
dengan halus dan menghibur.
"Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu
dan aku berjanji akan menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan
orang tua yang baik yang suka memungutmu sebagai anak. Adapun tentang nona Khu
Gin In, biarlah perlahan-perlahan kucarikan untukmu�
"Ah, Kwee-kongcu kau menumpuk budi kebaikan padaku.�
Ang-siauw-hwa menubruk kwee Seng dan menangis sambil
mendekap dada pemuda itu dengan mukanya. Kini Kwee Seng tidak menolaknya,
mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan dan sayang.
Seorang puteri pangeran sampai begini, pikirnya. Karena ia yakin bahwa semua
sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat
berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak pernyataan kasih
sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan
jarang keduanya ini.
Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya
Ang-siauw-hwa berkata, suaranya mesra dan manja.
"Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko,
kuharap kau suka mengajarku.� Hati Kwee Seng berdebar sebutan Kongcu berubah
menjadi Koko ini.
"Sulingku remuk oleh si Hwesio jahat itu� Jawabnya
Di sebelah barat telaga ada penjual suling, biarlah ku
suruh pelayan membeli untukmu.
"Tak usahlah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih
sebuah suling bukanlah sembarangan, harus dicoba dulu.�
Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng,
akan tetapi juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap
Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi
rasa cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang pelacur !
Di lain fihak, sama sekali tidaklah aneh kalau
Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta kepada Kwee Seng karena selama hidupnya,
baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang
pelacur yang hina. Biasanya, laki-laki yang manapun juga hanya akan menganggap
ia sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan
mengharapkan kesenangan dan hiburan daripadanya. Akan tetapi kwee Seng ini
berbeda sekali, pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya
manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau
dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk
dapat melayani pemuda itu selama hidupnya !
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng
berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang masih setengah tidur di atas pembaringan.
"Moi-moi, aku pergi dulu hendak mencari suling�
Dengan mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa
mengembangkan kedua lengannya yang berkulit putih halus ke arah Kwee Seng, lalu
berkata, suaranya mesra.
"Kwee-koko jangan kau tinggalkan aku ya.�
Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan
perasaan cinta wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka
saling cengkeram lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum.
"Jangan kuatir, Moi-moi, aku takkan meninggalkanmu
begitu saja sebelum kau pandai bersuling!�
Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng
merasa gembira sekali.
Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat
pertandingan mati-matian melawan Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang
menyoroti permukaan air telaga dan pohon-pohon di sekitarnya, tampak amat indah
menyegarkan. Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan
pemuda ini tersenyum, matanya bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi
kemerahan bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa ! Ia
harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga
yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu yang pilihan tua dan kering
betul.
Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat
telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee
Seng kecewa melihat bahwa biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya
terbuat dari pada bambu biasa saja.
"Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang
biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari
seorang perantau di Lembah Huang-ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai
sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani
membelinya.� Akhirnya Si Tukang Pembuat Suling itu berkata.
Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam
sebagai bambu yang kuat dan lurus maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan
dibuat senjata.
"Mana bambu itu ? Kenapa tidak dari tadi kaubilang ?
Keluarkanlah, biar kumelihatnya�
Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang
sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul.
Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata, Jadilah. Harap kaubuatkan
suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya.
Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat
suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi dan setelah
mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa memang sudah tepat ukuran
lubang-lubangnya. Kwee Seng membayar harga suling yang limapuluh kali lebih
mahal daripada harga suling biasa, membeli pula sebuah suling biasa dan
meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah
mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya tak jauh
dari telaga.
"Moi-moi, kaulihatlah suling ini!�
Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil,
rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya.
Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan
dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua sosok tubuh melang-melintang di
belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah
dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang
kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.
"Moi-moi..!�
serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam
kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang dun pintu kamar dan masuk ke dalam
kamar. Apa yang dilihatnya ? Memang Ang-siauw-hwa berada di situ, akan tetapi
dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi, Gadis itu telentang di atas
pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan
menutupi sebagian leher dan dada, bajunya yang berwarna merah muda itu
robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya di mana tampak menancap
sebuah gunting !
Kwee Segera menubruknya, akan tetapi sekali pandang
maklumlah ia bahwa nyawa gadis ini tak dapat ditolongnya lagi, karena gunting
itu tepat menancap di ulu hati. Ia diam-diam heran mengapa Ang-siauw-hwa tidak
mati seketika dengan tusukan seperti itu.
"Moi-moi siapa melakukan ini?� Ia
mengguncang-guncang pundak wanita itu.
Ang-siauw-hwa membuka matanya yang sudah layu dan
tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah.
"Kwee-koko kau datang terlambat tapi lebih baik
beginitak mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi lebih baik
aku akhiri hidupku�
"Apa katamu ? Kau membunuh diri ? Tapitapi mengapa,
Moi-moi�
"Koko pada saat kau pergi datang hwesio iblis itu,
dua orang pelayanku dibunuhnya dan aku.aku..�
Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah.
"Setelah bertemu dengan engkau setelah aku bersumpah
setia hanya padamu seorang hwesio biadab itu membuat aku tak mungkin dapat
melihatmu lagi di dunia ini, aku.aku.ah..koko, aku cinta padamu, tolong kau
carikan saudaraku Gin In�
"Moi-moi..�
Akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib
malang itu telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng.
Pada saat itu, dari luar terdengar suara perempuan
memanggil.
"Ang-siauw-hwa!.., Kenapa kau dua hari tidak kembali
ke kota? Aku menanti-nantimu, banyak tamu menanyakan kau� Lalu terdengar
jerit wanita.
Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi
Cang yang sudah melihat dua orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak
melibatkan diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh
Ang-siauw-hwa di atas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu
itu dan secepat kilat ia melompat ke luar kamar melalui jendela, membawa
jubahnya yang kemarin dipinjam Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya di
dekat tubuh pelacur itu.
"Demikianlah, Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi
Lo-cia yang mengangkibatkan sulingku hancur!� Kwee Seng mengakhiri ceritanya
kepada Liu Lu Sian.
Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan
hubungannya dengan Ang-siaw-hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan
dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang segala-galanya. Kalau Ang-siauw-hwa
diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh
dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah dilayukan sinar matahari dan
dirontokkan angin besar.
Akan tetapi Liu Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar
hutan yang semerbak harum, indah terlindungi pohon besar, di samping itu sukar
dipetik karena tertutup duri-durinya yang runcing.
"Kwee-koko, mengapa ketika kau bercerita tentang
dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi Lo-cia, matamu berkilat marah ! Seorang
perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?�
Memang ini termasuk sebuah di antara watak Lu Sian yang
aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain,
biarpun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu !
Di lain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama
sekali belum berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan
tidak mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar
teguran Lu Sian.
"Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian-moi ? Pelacur
atau bukan, dia hanya seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang
kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau
aku marah melihat kejahatan Ban-pi Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali
lagi dengan pendeta iblis itu!�
Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa
kematian pelacur itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa
pemuda itu jatuh cinta kepada Si Pelacur.
"Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu?�
Tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang tajam. Kwee Seng
juga memandang dan melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah
hatinya.
"Tidak, aku hanya kasihan kepadanya.� Jawab Kwee
Seng, suaranya jelas menyatakan isi hatinya.
Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini
mengerutkan keningnya dan mendesak lagi.
"Pernahkah kau jatuh cinta ? Adakah seorang wanita
yang kau cinta di dunia ini?�
Bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik
itu, muka Kwee Seng menjadi makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir
menekan perasaan, kemudian katanya.
"Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanyahanya
setelah bertemu dengan engkau, Sian-moi, ah., entahlah. Agaknya kalau ini yang
dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!�
Mendengar kata-kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa
senang sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata.
"Kwee-koko, mari kita melanjutkan perjalanan.�
"Apa ? Hampir tengah malam begini?�
Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya dan tak
lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil pelayan
dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat
memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapakannya di
depan rumah penginapan.
"Mengapa tidak, Koko ? Apa salahnya melakukan
perjalanan malam ? Setelah keributan tadi, aku tidak senang di sini, ingin
lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada di tempat bebas dan udara terbuka
untuk mendinginkan kepala agar dapat aku enak memikirkan.�
"Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam di
tempat terbuka?�
Kwee Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso.
"Memikirkan apa saja, sih?�
Liu Lu Sian tersenyum manis.
"Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!�
Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi
cepat-cepat ia pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah
penginapan, melompat ke atas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang
memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda
yang lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan
mereka sebelum pergi.
Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya,
Kwee Seng terpaksa mengikutinya dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis
ini, pikirnya, dan hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah
mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini
melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng yang
masih marasa malu karena pengakuan cintanya, tidak berani bicara sesuatu, hanya
mengiringkan gadis itu dari belakang.
"He, paman tukang perahu! tolong kau seberangkan aku
dan kudaku ke sana ! Berapa biayanya akan kubayar!�
Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi
lebar itu segera meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia
seorang nelayan karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring.
Di bagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu
panjang.
"Baiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya
menyeberangkan orang yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke
sini. Sungguh heran sekali pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang
ke sana.� Kata si tukang perahu dengan suara penuh keheranan.
Lu Sian menuntun kudanya dan mengajaknya melompat ke atas
dek perahu, sedangkan Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan
remang-remang kini ia dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira
dan cantik sekali.
Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum
manis, akan tetapi juga tidak bicara apa-apa.
"Ah, Paman, kau tadi bilang apa?..Orang-orang
mengungsi dari sana? Ada terjadi apakah diseberang sana?�
Si Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut.
"Apakah nona belum tahu ? Daerah Shan-si mulai
geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum
pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda
Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan
kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut.
Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa
itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur, dengan tuduhan
memberontak�
"Ah Dan bagaimana dengan jenderal itu ? Apakah
ditangkap juga ? Dan dimana dia sekarang?�
Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng
mendengar semua itu dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada
perhatian terhadap keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan
yang terjadi puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan
Tang dan tanah air menjadi pecah-pecah karena diperebutkan. Entah berapa
banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang
mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling
curiga-mencurigai, seakan-akan sekelompok anjing masing-masing mendekap
sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang
demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu,
mempergunakan rakyat yang dipecah-pecah untuk memihak demi kepentingan
masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata
yang selalu hidup miskin dan bodoh !
"Mana bisa Jenderal Kam ditangkap ? Biar gubernur
sendiri takkan berani menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak
berdaya ! Pula, tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat
itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?
Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?
Betul, bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami
itu sedangkan tadi nona tidak tahu apa-apa tentang keributan di daerah Shan-si?
Kini Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut
nama Kam Si Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda
itu, bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah
memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu
Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya. Seorang pemuda gagah
yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang
menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauw-cu ini.
Laki-laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik ! Tidak seperti aku, demikian
Kwee Seng memaki diri sendiri.
"Ah, Sian-moi, Kau menyebrang sungai ini, apakah
hendak melakukan perjalanan ke utara? Mau ke manakah ? Ingat, perjalanan ini
adalah perjalananku, kau hanya ikut denganku� kata Kwee Seng setelah tukang
perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyebrangan karena air mulai
agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga
pembantunya yang masih anak-anak.
Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang
merah. Jantung Kwee Seng serasa ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu
!
"Kwee-koko, seorang suami boleh membawa kehendak
sendiri, ada kalanya harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri,
tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selalu menuruti kehendakmu ! Kau bukan
suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau
belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin
ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian
kepadaku yang berarti kau melanggar janji, terserah.�
Kwee Seng mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis
ini menggodanya. Ia tertawa dengan sabar.
"Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau
tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, ke mana pun boleh. Akan
tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak ke sana?�
Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena
matahari pagi yang mulai muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon.
"Justeru karena ada perang aku ingin ke sana. Aku
hendak menonton keramaian ! Kwee-koko, ada tontonan bagus, mengapa kita
lewatkan begitu saja ? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biarpun menempuh
bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?�
Gadis itu mengerling, manis sekali dan Kwee Seng menahan
napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling
kepala seperti dilingkungi sinar keemasan !
"Kau cantik sekali, Moi-moi,� katanya perlahan,
penuh kekaguman. Lu Sian tertawa.
"Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik
? Ihhh, kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok
asmara!�
Lu Sian tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir
perahu, tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya,
digosok-gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya sehingga seluruh kulit mukanya
menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.
Digoda secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng
menjadi lemas dan selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap
godaan gadis itu merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi
begini lemah ? Mengapa ia tidak pergi saja tinggalkan gadis ini ? Ke mana
perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan ? Ah, ia masih mengharap.
Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini
sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu
pun mencintainya sungguhpun ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi
mengapa kadang-kadang begitu kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran ?
Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya.
Kwee Seng mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki
sebuah hutan. Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak
siang tampaklah berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan
mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan
hutan yang kecil akan tetapi sunyi.
"Mengapa mengungsi saja harus beramai-ramai seperti
itu? Memenuhi jalan saja�
Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit
dan seringkali pohon-pohon kecil berduri mengganggunya.
Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan
kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari
intaian bahaya gangguan orang jahat atau binatang buas maka mereka merasa lebih
aman untuk melakukan pengungsian beramai-ramai, Pada perang sekacau ini
biasanya orang-orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok.
"Hah, kau benar, koko dan agaknya kita yang akan
menjadi korban. Kau dengar itu?� Kwee Seng mengangguk.
"Derap kaki banyak kuda dari belakang! Akan tetapi
belum tentu perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi.�
Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama
kemudian derap kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang
penunggang kuda yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda
tunggangan mereka itu besar-besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah
lebih besar dan baik daripada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan
tiga orang penunggangnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan
berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah bergantung di
punggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan kanan memegang
cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu
adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan
pedang pusaka yang baik. Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh
lima tahun, pakaiannya serba merah, yang ke dua berusia dua puluh tahun,
pakaiannya serba kuning dan yang ke tiga baru delapan belas tahun berpakaian
serba hijau.
Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu
kakak beradik, dan sukar dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka.
Semua cantik dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit
halus itu diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir/pipi) sehingga
menimbulkan kesan di hati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah
gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa. Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia
lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguhpun hal ini memang tidak perlu
karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah
membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel masak.
"Minggir! Minggir!�
Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi
kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng
menarik kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya
menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih
kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula.
Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat
sekali dan tercium bau harum minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis
termuda, melambat dan gadis ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu melempar
senyum ! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan
kudanya lagi.
Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap
pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan
senjata rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis
itu !
"Moi-moi, mengapa mencari gara-gara dengan
orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan
kita?�
Lu Sian menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu
membetot jantung Kwee Seng, lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya.
"Menjemukan! Koko, apakah kau selalu menjadi lemah
hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?� Merah kedua pipi Kwee
Seng.
"Bukan begitu, moi-moi. Aku hanya suka menolong
kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan
tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau
serang?�
"Tidak salah apa-apa ? Ihh, kenapa matanya
lirak-lirik seperti tukang copet?�
Kwee Seng tertawa geli mendengar ini.
"Tukang copet? Ha-ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak
tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet? Dan lagi, aku Si Miskin ini
apanya yang patut di copet?� Lu Sian tersenyum.
"Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?�
Kwee Seng membelalakan matanya memandang, akan tetapi
gadis itu hanya mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan
gigi putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya
sebal dan sakit.
"Mari kita lanjutkan perjalanan!�
Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian tetap
tertawa-tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda itu.
"Ah, kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar
pencopet dan menyerahkan hatimu?, dia manis sekali, Kwee-koko!�
Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan! Berkali-kali
Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus membalapkan
kudanya.
Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan
kuda cepat sekali, buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat
menyusul tiga orang gadis itu. Pada hari keempatnya, setelah bermalam di dalam
hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan. Di
persimpangan jalan mereka melihat banyak orang pengungsi pula, akan tetapi
anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan, sebaliknya mereka menuju ke
utara! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga Kwee Seng terheran-heran
sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi laki-laki yang sudah tua.
"Lopek, kalian semua hendak mengungsi ke mana?�
"Ke mana lagi.kalau bukan ke benteng Naga Emas?
Hanya di sanalah tempat yang aman bagi kami, karena Kam-goan-swe (Jenderal Kam)
berada di sana.�
"Memangnya tidak ada tempat lain? Dan siapakah yang
mengancam keselamatan kalian?�
Kwee Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga
mendengarkan dengan penuh perhatian, Mendengar pertanyaan ini kakek itu
memandang heran.
"Kongcu datang dari mana sehingga tidak tahu keadaan
disini? Dimana-mana terdapat manusia-manusia serigala, gubernur merajalela
menganggu penduduk dan merampok harta memperkosa wanita dengan alasan membasmi
pemberontak! Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya Kam-goan swe
seorang yang berani melindungi kami.�
"Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya
jangan melakukan perjalanan di daerah ini, berbahaya.�
Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan
perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih
itu.
"Lopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?�
tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil mengajukan kudanya.
Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau
menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul kemarahannya, membentak.
"Eh, Kakek ! Apakah kau tuli dan bisu?�
Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel.
"Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!�
Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng
khawatir kalau-kalau Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak
kudanya, maju ke depan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.
"Lopek, sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa
kau tidak mau menjawab ? harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini
seorang pendekar wanita yang berhati mulia�
Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum
mendengar pujian ini. Adapun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu
kepada Lu Sian lalu menjura.
"Harap nona suka maafkan. Baru pagi tadi sini lewat
pula tiga orang gadis seperti nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main,
bahkan lima orang kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir
untuk mereka lewat dengan kuda mereka yang besar-besar. Kalau nona hendak
mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari
sini.�
Setelah rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai
menggerakkan kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya
dan berkata,
"Kwee-koko, kita berhenti disini, mencari tempat
mengaso sampai nanti malam.�
"Ah, mengapa begitu? Hari masih siang, dan
perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa yang harus berhenti disini?�
"Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga
orang gadis yang agaknya juga pergi ke sana, menarik hatiku untuk menyelidiki.
Malam nanti aku hendak menyelidiki ke sana, melihat keadaan dan mencari tahu
apakah sebenarnya yang terjadi.�
"Ah, Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama
sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita? Urusan Jenderal Kam adalah urusan
negara, dan selama orang menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak
boleh tidak ia mempunyai cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya,
Moi-moi�
Akan tetapi Lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari
tempat yang enak untuk mengaso dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah
pohon yang besar, lalu turun dari kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.
"Sudahlah, koko, aku lapar karena terlalu banyak
bicara. Biar kucarikan daging untuk teman roti kering kita.�
Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap.
Tak lama kemudian ia tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada
telinganya, Kwee Seng tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti
kelinci dan membakar dagingnya. Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian
merebahkan diri di atas rumput yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit
kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak, mukanya miring berbantal tangan,
napasnya panjang teratur, pipinya kemerahan, bulu matanya yang merapat
kelihatan panjang membentuk bayangan pada pipi.
Berjam-jam Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh
yang rebah miring di depannya. Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya
gadis ini. Rambutnya yang hitam itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas
dari ikatan menutupi pipi dan kening. Dahi yang halus putih itu agak basah oleh
peluh karena hawa memang panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu
memadamkan api unggun yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia
duduk lagi menghadapi Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu.
Lu Sian bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya
tersenyum, tangannya menyibakkan rambut yang menutup pipi dan kening, lalu
tubuhnya bergerak terlentang, terdengar bisikannya,
"Kwee-koko�
Berdebar keras jantung Kwee Seng. Gadis ini mengigau dan
menyebut-nyebut namanya dalam tidur ! bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga
menaruh hati kepadanya?
Ia memandang lagi. Mulut yang manis itu masih tersenyum.
Tiada bosannya memandang wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga
mawar segar. Terpesona Kwee Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini
awut-awutan itu, mengingatkan ia akan syair tentang keindahan rambut yang
pernah di bacanya :
Halus licin laksana sutera hitam mulus
melebihi tinta gemuk panjang berikal
mayang mengikat kalbu menimbulkan sayang
harum semerbak laksana bunga
melambai meraih cinta asmara
sinom berikal di tengkuk dan dahi
pembangkit gairah dendam berahi !
Setelah kenyang pandang matanya menikmati keindahan
rambut di kepala lalu pandang mata itu menurun, berhenti di alis dan mata yang
terlindung bulu mata panjang melengkung, sejenak terpesona oleh bukit hidung,
kecil mungil mancung dan patut halus laksana lilin diraut cuping tipis bergerak
mesra mengandung seribu rahasia
Makin berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan
lagi, serasa hendak meledak. Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak
berkembang-kempis cupingnya, mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur,
pipi yang putih kemerahan, teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa. Bukan gadis
pelacur itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada
saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan
awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya. Dengan tubuh gemetar menggil,
Kwee Seng lalu membungkuk ke arah wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu
Sian sepenuh kasih hatinya.
Suara ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan
sebagian awan mendung yang menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya
pucat dan ia cepat-cepat menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan barulah
lega hatinya ketika ia melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun
agaknya hanya dalam keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin
dalam terjatuh ke jurang asmara !
Lewat senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian
menggeliat dan membuka matanya.
"Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Ehkwee-koko,
kau masih duduk di situ sejak tadi ? Tidak mengaso?�
Gadis itu kini bangkit duduk dan membereskan rambutnya.
Duduk seperti itu, kedua kaki di tekuk ke belakang, tubuh tegak dada membusung,
kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk menyanggul
rambut di belakang kepala, benar-benar merupakan pemandangan indah. Hemm, kalau
saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan
begini, pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan tidak
mendengar akan kata-kata Lu Sian.
"Hih ! Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi
arca ? Apa sih yang kau lihat?�
Tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya
berkedip-kedip mengandung ejekan.
"hoh.kau bilang apa tadi, Moi-moi� Kwee seng
tergagap.
"Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah
tidur. Kwee-koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai di sini�
"Kudengar suara air gemericik di sebelah kiri sana,
Sian-moi. Mungkin ada anak sungai atau air terjun di sana.�
"Bagus, mari kita ke sana, Koko.�
Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan Kwee
Seng dan menariknya berlari-lari ke arah kiri. Benar saja dugaan Kwee Seng, di
situ terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih airnya, pula tidak dalam,
hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar tampak beraneka warna
menambah keindahan dan kesejukan air.
"Hah, dingin dan segar, Koko!�
Teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke
dalam air di pinggir sungai.
"Koko, aku hendak mandi ! Kau jangan melihat ke sini
sebelum aku masuk ke dalam air. Awas, kalau kau menengok, kumaki kau kurang
sopan dan kusambit kau dengan batu!�
Kwee Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan
kegembiraan gadis itu.
"Siapa ingin melihat?�
Serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi
sungai. Ia hanya mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas, kemudian
mendengar gadis itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya ini menimbulkan
bayangan yang amat menggodanya sehingga ia meramkan kedua matanya seakan-akan
hendak mengusir bayangan itu dari depan mata.
"Sudah, Kwee-koko. Kau sekarang boleh saja melihat
ke sini, aku sudah aman tertutup air. Ah, enak benar, Koko. Kau mandilah segar
bukan main.�
Kwee Seng membalikkan tubuhnya dan ia terpaku di tempat
ia berdiri. Kedua kakinya menggigil dan matanya berkunang-kunang. Aduh, Lu Sian
apakah benar-benar sengaja kau sengaja ingin menggodaku ? Demikian keluhnya
dalam hati.
Ketika ia menengok, ia melihat pakaian gadis itu
bertumpuk di pinggir sungai, di atas sebuah batu besar, semua pakaian berikut
sepatu dan pita rambut. Kemudian, apa yang dilihatnya di tengah sungai itu
benar-benar membuat ia berkunang dan lemas. Memang gadis itu merendamkan
tubuhnya di dalam air sehingga yang tampak dari luar air hanya leher dan
kepalanya. Akan tetapi agaknya Lu Sian lupa bahwa air itu amat jernih ! Ataukah
memang sengaja ? Air itu demikian jernihnya sehingga batu-batu di dasarnya
tampak. Apalagi tubuh yang duduk di atasnya ! Pemandangan aneh tampak oleh Kwee
Seng. Tubuh padat berisi sempurna lekuk-lekungnya, bergoyang-goyang bayangannya
oleh air. Cepat-cepat ia menundukkan mukanya.
"Kuatkan hatimu ! Ah, kuatkan hatimu sebelum ! kau
kemasukan iblis!�
Demikianlah dengan kaki gemetar Kwee Seng berdiri
menundukkan mukanya, mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan dorongan nafsu.
"Moi-moi...� Ia berhenti karena suaranya
kedengaran aneh.
"Hemm.. Kau mau bilang apa?,�
Kwee Seng menarik napas panjang dan mulai tenanglah
gelora isi dadanya.
"Sian-moi, aku tidak mandi. Kau mandilah yang puas,
biar kunanti kau disana. Aku khawatir kalau-kalau kuda kita dicuri orang.�
Tanpa menanti jawaban Kwee Seng lalu membalikkan tubuhnya
dan lari dari tempat semula di mana ia menjatuhkan diri duduk termenung
memikirkan Lu Sian. Gadis yang aneh ! Ia harus mengaku bahwa hatinya sudah
jatuh betul-betul. Ia memuja Lu Sian, memuja kecantikannya. Padahal ia maklum
sedalam-dalamnya bahwa watak gadis itu sama sekali tidak cocok dengan wataknya,
bahwa kalau ia mempunyai isteri seperti Lu Sian, hidupnya akan banyak
menderita. Aku harus dapat menahan diri, semua ini godaan iblis, pikirnya. Aku
sejak semula tidak menghendakinya sebagai isteri, hanya karena sudah berjanji
dengan Pat-jiu Sin-ong untuk menurunkan ilmu yang mengalahkannya, maka sekarang
mengadakan perjalanan bersama.
"Ah, mengapa ia menjanjikan hal itu ? Ia kena
diakali Pat-jiu Sin-ong yang tentu saja ingin menguras ilmunya. Kalau sudah
menurunkan ilmu, aku harus cepat-cepat menjauhkan diri dari Lu Sian, pikirnya.
Akan tetapi, teringat akan perbuatannya mencuri ciuman tadi, kembali gelora di
dadanya membuat Kwee Seng meramkan mata. Gila ! Kau sudah gila ! Tiba-tiba Kwee
Seng yang masih meram itu menampar kepalanya sendiri!�
"Heee ! Apakah kau sudah gila.??�
Teguran ini membuat Kwee Seng terkejut dan meloncat
bangun sendiri !
Kiranya Lu Sian sudah berdiri di depannya, biarpun cuaca
sudah mulai gelap, masih tampak gadis itu segar dan berseri-seri, makin cantik
setelah mandi. Gadis itu tertawa geli.
"Kwee-koko, kukira kau tadi menjadi gila, apa-apaan
itu tadi kau menampar kepalamu sendiri?�
"Aku Ah.. kau tidak melihat tadi ? Banyak nyamuk di
hutan ini. Mengiang-ngiang di atas telinga, kucoba menepuk mampus nyamuk-nyamuk
itu.�
Baiknya Lu Sian percaya alasan ini.
"Kwee-koko, sekarang aku hendak pergi. Kau menanti
di sini saja, ya?�
"Kemana, Sian-moi?�
"Ke benteng itu. Meyelidik!�
:Ah, apakah perlunya ? Jangan mencari perkara
Sudahlah!�
Kau seperti nenek bawel saja. Kalau tidak suka, kau tidak
usah ikut. Aku tahu kau tidak suka, maka aku akan pergi sendiri. Biarlah kau
menanti di situ bersamah, nyamuk-nyamuk itu. Aku pergi, Koko!�
Setelah berkata demikian, Lu Sian mempergunakan kepandaianny
meloncat dan lari cepat, sebentar saja lenyap dari situ.
Kwee seng mengerutkan keningnya. Gadis aneh. Ia takkan
berbahagia hidup di samping gadis itu sebagai isterinya. Akan tetapi ah.,
mengapa hatinya seperti ini ? Mengapa timbul kekuatirannya kalau-kalau Lu Sian
menghadapi malapetaka ? Biarlah kalau ia tertimpa bencana. Salahnya sendiri.
Mencari perkara. Mencampuri urusan orang lain ! Kwee Seng mengeraskan hatinya
dan mulai membuat api unggun untuk mengusir nyamuk yang memang banyak terdapat
di hutan itu. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak enak. Terjadi perang di
dalam hatinya antara membiarkan atau pergi menyusul Lu Sian.
Dengan pengerahan gin-kang dan ilmu lari secepatnya,
sebentar saja Lu Sian telah tiba di luar tembok benteng. Tembok benteng itu
cukup tinggi, pintu gerbangnya berada di tengah, terjaga kuat oleh belasan
orang prajurit. Pintu belakang juga terjaga, malah tertutup rapat, sedangkan di
atas tembok itu, pada setiap ujungnya terdapat bangunan kecil di mana tampak
pula penjaga yang bersenjata lengkap. Beberapa menit sekali, penjaga-penjaga
meronda di sekeliling tembok. Pendeknya, benteng itu terjaga rapat sekali.
Untuk melompat tembok, terlampau tinggi dan andaikata dapat juga, pasti akan
tampak oleh para penjaga diempat penjuru.
Akan tetapi, Lu Sian adalah seorang gadis yang banyak
akal, berani dan lihai. Ia memilih bagian yang agak sepi, menanti sampai
peronda lewat, kemudian cepat sekali ia menggunakan pedangnya membongkar tembok
! Pedangnya bukanlah pedang biasa, melainkan pedang pusaka, pedang buatan
daerah Go-bi, terbuat daripada logam baja biru dan oleh ayahnya diberi nama
Toa-hong-kiam (Pedang Angin Badai), karena Pat-jiu Sin-ong memberikan pedang
itu kepada puterinya ketika menurunkan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut. Pedang baja
biru ini dapat dipergunakan untuk memotong besi dan baja. Apalagi tembok yang
terbuat daripada bata itu, dengan mudah saja dapat ditembusi Toa-hong-kiam.
Belum lima menit, Lu Sian telah berhasil membuat lubang yang cukup dimasuki
tubuhnya. Di lain saat tubuhnya berkelebat menyelinap masuk dan bagaikan seekor
kucing ia sudah berloncatan cepat menghilang di antara kegelapan malam,
mendekam di tempat gelap sambil memperhatikan keadaan di dalam benteng.
Benteng itu cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan
orang bala tentara. Di dalamnya selain terdapat lapangan luas untuk berlatih
para perajurit, juga terdapat bangunan-bangunan kecil berjajar yang agaknya
menjadi tempat bermalam para perajurit. Ada pula bangunan terbuka yang dipakai
sebagai dapur, lalu kandang-kandang kuda dan gudang-gudang perlengkapan. Di
tengah sendiri terdapat empat buah bangunan besar yang bentuknya kembar. Tak
salah lagi, di sinilah tempat para perwiranya. Maka tanpa ragu-ragu Lu Sian
lalu berindap-indap menghampiri empat bangunan ini karena memang kedatangannya
ini terdorong oleh rasa hatinya ingin mengintai dan menyelidiki keadaan
Jenderal Muda Kam Si Ek ! Di sudut lubuk hatinya memang ia tak pernah melupakan
Kam Si Ek, pemuda gagah perkasa dan ganteng yang pernah menggetarkan hatinya di
atas panggung adu ilmu. Sayangnya pemuda itu tidak mau melayaninya mengadu
kepandaian. Namun sikapnya yang gagah dan keras, wajahnya yang membayangkan
kejantanan, telah menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika dalam perjalanan
ini ia mendengar disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit hasrat hatinya
untuk menemuinya dan mempelajari keadaannya, kalau perlu mencoba kepandaiannya!
Melihat bendera tanda pangkat jenderal di depan sebuah di
antara empat gedung, hati Lu Sian berdebar. Ia menyelinap ke belakang gedung
ini, kemudian menggerakkan tubuhnya melayang naik ke atas genteng sebelah
belakang, dan dengan hati-hati ia merayap di atas genteng menuju ke bagian
tengah. Ketika ia melihat sinar api penerangan yang besar dan mendengar suara
orang, ia membuka genteng dan mengintai ke bawah. Betapa girang hatinya ketika
ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu Kam Si Ek sendiri, berada di dalam
sebuah ruangan besar di bawahnya !
Biarpun seorang jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian
biasa, mungkin karena tidak sedang dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya
digelung ke atas, diikat sutera kuning. Tubuhnya yang tegap itu kelihatan gagah
dan penuh tenaga. Ia duduk menghadapi meja besar yang penuh hidangan
Yang membuat hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah
ketika ia melihat tiga orang gadis cantik yang pernah di lihatnya. Kini tiga
orang gadis itu mengenakan pakaian yang lebih mewah lagi, biarpun warna
pakaiannya tetap sama, yaitu yang pertama serba merah, yang kedua serba kuning
dan yang ketiga serba hijau. Rambut mereka digelung rapi dan dihias emas
permata mahal. Muka mereka dilapisi bedak, bibir dan pipi ditambah warna merah
dan bau minyak wangi mereka sampai tercium oleh Lu Sian yang mendekam di atas
genteng !
Pada saat itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si
Ek berkata. Tidak bisa ! Siauwte bukanlah seorang penghianat ! Sejak dahulu,
nenek moyangku adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang rela
mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa, yang menduduki kedudukan tinggi di
dalam kentaraan tanpa pamrih untuk pribadinya, melainkan semata untuk berbakti
kepada negara dan bangsa ! Kedatangan Sam-wi Lihiap (Pendekar Wanita Bertiga)
saya terima dengan penuh kehormatan, akan tetapi kalau Sam-wi mengajak siauwte
sekongkol dengan Cu Bun, terpaksa saya menolak keras!
Dengan suara manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di
antara mereka bertiga, berkata halus, Kami bertiga kakak beradik Adik sudah
cukup mengenal kegagahan dan kesetiaan keluarga Kam. Kami mana berani membujuk
Jenderal untuk bersekongkol dengan penghianat atau pemberontak ? Akan tetapi,
bukankah bekas Gubernur Cu Bun kini telah menjadi raja dari kerajaan Liang yang
sudah berdiri belasan tahun lamanya? kini terjadi perebutan kekuasaan, dan raja
tidak dapat membiarkan mereka yang memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada
kekuasaan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang.
Karena itu, kami mengajak kepada Goan-swe untuk berjuang bersama, menghalau
para pemberontak, terutama sekali bangsa buas dari luar yang hendak menggunakan
kesempatan ini untuk menggana!!
!!Maaf, siaute terpaksa membantah, memang benar bahwa
Gubernur Cu Bun berhasil menumbangkan Kerajaan Tang belasan tahun lalu. Akan
tetapi, berhasil atau tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung daripada
dukungan rakyat. Dan untuk mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat
harus diberi kehidupan yang tenteram, penghasilan yang wajar dan sumber hidup
yang layak. Akan tetapi apakah buktinya? Rakyat menjadi korban selalu.
Dimana-mana timbul kejahatan, perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat tidak aman,
masih ditekan pajak, diperas oleh lintah-lintah darat yang berupa raja-raja
kecil di dusun-dusun, masih diganggu oleh para tentara kerajaan yang buas
melebihi perampok. Buktinya ? Sam-wi dapat melihat betapa banyaknya penduduk
dusun mengungsi, bingung mencari tempat aman sehingga di dalam benteng ini saja
kami terpaksa menampung seratus orang lebih pengungsi. Bukankah ini sudah
membuktikan bahwa Kerajaan Liang tidak didukung rakyat ? Dan selama pemerintahan
tidak mendapat dukungan rakyat, saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah
pemerintahan itu!!
Muka jenderal muda itu menjadi merah, bicaranya penuh
semangat dan wajahnya yang tampan gagah itu mengeluarkan wibawa seperti seekor
harimau yang menakutkan.
!!Kam-goanswe yang perkasa, kata Nona kedua yang
berpakaian kuning. Bolehkah saya bertanya, Goanswe ini sebetulnya mengabdi
kepada siapa? Dahulu keluarga Goanswe mengabdi kepada Kaisar Tang yang
terakhir. Setelah kaisar jatuh, Goanswe mengabdi kepada siapa? Kalau Goanswe
tidak mengakui kekuasaan Raja Liang, apakah Goanswe mengabdi kepada gubernur Li?!!
Kam Si Ek kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang
tinggi tegap itu seakan-akan makin besar. Ia mengepal tinjunya dan berkata.
!Aku hanya mengabdi kepada tanah air dan bangsa ! Siapa
saja yang mengganggu rakyatku, akan kulawan ! Bangsa apa saja yang berani
memasuki tanah airku akan kuhancurkan! Aku tidak mengabdi kepada Raja Liang,
dan terhadap Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman seperjuanganku dahulu, dia
tetap teman baik asal saja dia tidak menyeleweng daripada jalan benar.!
Nona paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya
kepada kedua orang encinya, lalu bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia
menuangkan arak dan menjura kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya
halus merdu penuh rayuan.
!Maaf, maafKam-goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang
seakan-akan lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan
negara yang berat-berat. Kasihan sekali suasana menjadi begini panas,
sebaliknya masakan menjadi dingin. Kam-goanswe, mari kita lanjutkan makan minum
sambil membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Sudilah kau menerima secawan
arak dariku sebagai cawan minta maaf!!
Ia melangkah maju, Tergopoh-gopoh Kam Si Ek balas menjura
dan ia pun tersenyum.
!Lihiap benar, maaf. Aku sampai lupa diri.!
Ia menerima cawan itu dan sekali tenggak habislah isinya.
Si Baju Hijau tersenyum manis dan menuangkan arak lagi. Untuk kedua kalinya
kuharap kau suka menerima secawan sebagai tanda persahabatan Dengan sikap yang
amat mesra ia menyerahkan cawan dan dalam kesempatan ini jari-jarinya yang
halus menyentuh tangan Kam Si Ek. Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk,
alisnya yang berbentuk golok dan hitam itu bergerak-gerak, agaknya ia ragu-ragu
bagaimana harus menghadapi wanita yang tiba-tiba berubah sikap ini.
!Cukup.cukup!
Katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu
lama tangannya terpegang jari-jari halus mungil.
!Ah, Kam-goanswe, masa tidak mau menerima
penghormatanku?!
Si Baju Hijau berkata manja dan berdiri makin mendekat
sehingga sebagian tubuhnya merapat, dadanya sengaja menyentuh lengan kiri Kam
Si Ek. Hampir saja pemuda ini meloncat pergi, akan tetapi sebagai tuan rumah ia
masih mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi lalu berkata,
‘Baiklah, kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!!
Ia minum lagi arak dari cawannya.
Akan tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia
melihat nona muda cantik berpakaian hijau ini tidak kembali ke bangkunya di
seberang, melainkan menyeret sebuah bangku dan duduk di sampingnya ! Ini
dilakukan sambil tersenyum-senyum, matanya mengerling tajam penuh arti.
!Daripada berdebat yang bukan-bukan, yang sebetulnya
tidak ada artinya sama sekali, bukankah lebih baik kita berteman?..Kam-goanswe,
kami sudah lama mendengar nama besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam
Si Ek yang gagah perkasa dan menjadi idaman setiap orang wanita di propinsi
Shan-si! Kami bertiga enci adik tidak mempunyai niat buruk terhadap jenderal,
melainkan hendak membantu usahamu, hendak menyerahkan jiwa raga mengabdi
kepadamu,Kam-goanswe!!
Sambil berkata demikian, dengan lagak genit si baju hijau
ini menggeser bangkunya sampai mepet dengan bangku Kam Si Ek.
Si Baju Merah dan kuning segera tertawa-tawa dan
mengitari meja, menarik bangku dan mengisi cawan arak.
‘Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kam-goanswe,
kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani!!
Kata yang tertua sambil menyerahkan secawan arak dan
tangan kirinya memegang pundak pemuda tampan itu.
!Percayalah, kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi
yang dipertuan di daerah ini.! Kata si baju kuning yang memeluk leher Kam Si Ek
dari belakang !
Dirayu dan dikeroyok tiga orang gadis-gadis cantik yang
berbau harum ini, sejenak Kam Si Ek tertegun saking kaget dan herannya.
Kemudian ia serentak bangkit dari bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya
merah sekali dan ia berkata, suaranya keren.
!sam-wi ini apa maksudnya bersikap seperti ini?!
‘Maksud kami sudah jelas, masa Goanswe tidak tahu ?
Sudah lama kami kagum dan sekarang begitu berjumpa kami jatuh cinta, apakah kau
tidak menghargai perasaan suci kami ini?!
Kata Si Baju Merah tanpa malu-malu lagi.
!Kam-goanswe, ribuan orang pemuda tergila-gila kepada
kami dan semua kami tolak, sekarang melihatmu, kami bertiga sekaligus jatuh
hati. Bukankah ini jodoh yang baik sekali?!
!Dengan kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu,
apa sukarnya merampas kedudukan raja di waktu orang pandai sedang memperebutkan
kekuasaan ini? Goanswe mempunyai tentara yang cukup banyak dan kuat.! Kata Si
Baju Hijau.
!Gila!! Kam-goanswe berseru marah. ‘Pergilah kalian!,
Pergi dan jangan ganggu aku lagi. Pergi!!
Kam Si Ek marah bukan main, akan tetapi kemarahan ini
agaknya belum menyamai kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas genteng.
Gadis ini marah sekali kepada tiga orang perempuan yang dianggap tak tahu malu
itu. Juga disamping kemarahannya ia pun kagum kepada Kam Si Ek!
‘Sungguh jantan! Sungguh gagah dan keras hati, tidak
tunduk oleh gadis-gadis cantik yang tergila-gila kepadanya.!
!Dinggg!!!
Tampak kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng
oleh tiga orang gadis jelita itu.
!Pilihan kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan
kami atau kau serahkan kepalamu untuk kami hadiahkan kepada Raja Muda Kerajaan
Liang!!
‘Bagus!!
Kam Si Ek melangkah mundur dua tindak dan mencabut
goloknya yang berkilauan saking tajamnya. Telunjuk tangan kirinya menuding dan
ia berkata bengis,
‘Kalian tiga orang wanita muda tak tahu malu. Kalian
datang mengaku sebagai See-liong-sam-ci-moi (Tiga Enci Adik Naga Barat),
berlagak pendekar wanita yang bermaksud membantu karena melihat kesengsaraan
rakyat dalam jaman perang perebutan kekuasaan. Aku menerima kalian dengan baik
dan hormat. Kiranya kalian mengandung maksud hati yang kotor dan hina. Kalau
aku memberi tanda, alangkah mudahnya anak buahku yang ribuan orang banyaknya
datang menangkap kalian untuk dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi aku Kam Si Ek
seorang laki-laki sejati, tidak mengandalkan jumlah orang banyak. Majulah, dan
sudah sepatutnya golokku mengakhiri riwayat kalian yang tersesat ke dalam
jurang kenistaan!!
"Manusia sombong!�
Si Baju Merah meloncat dan bagaikan kilat menyambar
pedangnya menusuk, berikut tubuhnya yang melayang ke depan, benar-benar seperti
seekor naga menyambar. Hebat serangan ini, akan tetapi Kam Si Ek yang sudah
siap dengan goloknya, menangkis keras.
"Tranggg!!�
Wanita baju merah itu terpental ke samping, akan tetapi
dengan gerakan indah ia membuat loncatan salto dua kali. Adapun kedua orang
adiknya juga sudah menerjang maju dengan loncatan-loncatan tinggi dan menyerang
dengan pedang selagi tubuh mereka masih di udara. Kam Si Ek terkejut sekali.
Tiga orang wanita ini benar-benar patut dijuluki Naga Barat, karena gerakan
mereka benar-benar lincah dan cepat laksana naga menyambar. Ia cepat mengelak
sambil memutar golok sehingga berhasil menangkis tusukan pedang dari kanan
kiri. Akan tetapi tiga orang enci adik itu sudah mendesaknya dengan serangan
pedang bertubi-tubi. Kam Si Ek cepat memutar goloknya dan mainkan ilmu silat keturunan
keluarga Kam. Pertahanannya kuat sekali, namun didesak oleh tiga batang pedang
yang bekerja sama baik sekali, ia hanya mampu menangkis sambil berloncatan ke
sana ke mari, sebentar saja terdesak hebat.
Namun, sebagai seorang jantan Kam Si Ek berpegang kepada
kata-katanya. Ia tidak mau berteriak minta bantuan para penjaga yang berada di
luar gedung itu dan tetap mempertahankan diri dengan goloknya. Sewaktu pedang
Si Baju Merah menusuk tenggorokan dan ia menangkis dengan golok, pedang Si Baju
Kuning sudah membabat penggangnya. Cepat ia bergerak dengan jurus Burung Walet
Membalikkan Tubuh, membuat gerakan memutar untuk mengelak sambil memutar
goloknya melindungi tubuh belakang. Ia berhasil mengelak dan sekaligus
menangkis babatan pedang Si Baju Hijau tepat pada waktunya. Akan tetapi kembali
pedang Si Baju Merah sudah menerjang datang, disusul dua buah pedang yang lain!
Karena ketiga orang gadis lihai itu kini menghujankan serangan di tiga bagian,
yaitu bawah tengah dan atas, maka sibuk jugalah Kam Si Ek. Dengan ilmu golok
emasnya yang diputar merupakan benteng melindungi tubuhnya, ia hanya dapat
melindungi bagian atas dan tengah saja, sehingga menghadapi penyerangan pedang
di bagian bawah, ia harus meloncat-loncat yang membuat gerakan pemutaran
goloknya terganggu. Setelah lewat tiga puluh jurus, pemuda ini mulai
berputar-putar dan terdesak ke sana ke mari, semua jalan keluar telah dihadang
oleh tiga orang gadis yang tertawa-tawa mengejek.
"Jenderal sombong, daripada mati di ujung pedang,
bukankah lebih baik kau memeluk tiga orang gadis jelita ? Ah, alangkah goblok
engkau ! Mana bisa engkau melawan See-liong-sam-ci-moi? Kami benar-benar suka
padamu, Kam-goanswe !�
"Lebih baik aku mati !� teriak Kam Si Ek ganas dan
melihat kesempatan selagi Si Baju Merah bicara, golok emasnya menyambar dengan
pembalasan serangan dahsyat. Namun tiga batang pedang sudah menangkisnya dan
kembali ia terkepung tiga gulungan sinar berkilau yang mematikan semua jalan ke
luar itu.
Liu Lu Sian yang menonton dari atas genteng, segera
mengetahui bahwa biarpun Kam Si Ek memiliki tenaga yang cukup kuat, namun di
bidang ilmu silat agaknya belum dapat diandalkan benar, jauh di bawah tingkat
tiga orang gadis itu. Kemarahannya memuncak dan kekagumannya terhadap Kam Si Ek
juga memuncak. Ia segera mengambil jarum-jarum rahasianya dan tiga kali
tangannya bergerak disertai pengerahan sin-kang yang sepenuhnya. Senjata
rahasia jarum ini adalah ajaran ayahnya, penggunaannya amat sukar karena jarum-jarum
itu kecil dan ringan sekali, harus disambitkan dengan sin-kang tertentu baru
dapat meluncurcepat melebihi anak panah. Dan sekali jarum-jarum ini meluncur,
sama sekali tidak mendatangkan suara, kalaupun ada, suara itu halus sekali
sukar ditangkap telinga.
Hebat sekali kesudahannya. Terdengar jerit melengking dan
tiga orang gadis iti seperti disambar petir. Si Baju Merah melepaskan pedangnya
dan berputar-putar seperti mabok, disusul Si Baju Kuning yang melemparkan
pedang dan mencekik lehernya sendir, kemudian Si Baju Hijau terjungkal dan
melingkar-lingkar di atas lantai. Tiga orang gadis itu berkelojotan di atas
lantai dan beberapa menit kemudian tak bergerak lagi. Si Baju Merah kemasukan
jarum tepat di ubun-ubunnya, Si Baju Kuning terkena lehernya dan Si Baju Hijau
terserang dadanya. Jarum-jarum itu mengandung racun kelabang yang gigitannya
menewaskan seketika, maka bukan main hebatnya.
Kam Si Ek berdiri dengan golok melintang di depan dada,
matanya terbelalak lebar. Pada saat itu berkelebat bayangan memasuki pintu dan
muncullah seorang wanita berpakaian serba putih, wajahnya cantik dan terang,
usianya sebaya dengan Kam Si Ek. Wanita ini memegang sebatang pedang dan tangan
kirinya menjambak rambut dua orang laki-laki berpakaian tentara lalu ia
mendorong dua orang itu sehingga terguling di atas lantai, terus berlutut di
situ dengan tubuh menggigil.
"Eh, Sute siapa mereka ini ... ah, bukankah ini
See-liong-sam-ci-moi yang menjadi tamu kita? Dan ... ah, mereka sudah tewas dan
... kau memegang golok ! Apa yang terjadi, Sute?�
Kam Si Ek menggunakan tangan kirinya menggosok mata lalu
menyusut peluh di dahinya, menggeleng-geleng kepala.
"Bukan aku yang membunuh mereka, Suci. Tapi mereka
patut tewas, mereka mempunyai niat busuk terhadap aku. Akan tetapi ....agaknya
ada orang pandai membantu dan membunuh mereka..�
Wanita itu membanting-banting kakinya.
"Celaka ! Mereka adalah tamu-tamu kita, mana patut
tewas di sini? Kalau ada orang yang membunuh mereka secara bersembunyi, belum
tentu berniat baik. Kita harus cari dia untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya!�
Wanita baju putih itu meloncat keluar lagi.
"Nanti dulu, Suci. Dua orang ini ... ada apakah ?�
"Hemm, sialan benar. Dia dan lima orang lain
melakukan pemerasan kepada beberapa orang pengungsi, malah mengganggu wanita.
Yang lima kulukai, yang dua ini pemimpinnya, kubawa ke sini untuk kau adili.�
"Jahanam !� Kam Si Ek menggerakkan kakinya
menendang dan dua orang yang sial itu terlempar, kepala mereka membentur
tembok, pecah dan tewas seketika. Beginilah watak Kam Si Ek yang benci akan
penyelewengan-penyelewengan. Akan tetapi kakak seperguruannya, wanita baju
putih itu sudah meloncat pergi ke luar untuk mencari pembunuh
See-liong-sam-ci-moi. Kam Si Ek juda cepat lari ke luar setelah menyambar gendewa
dan anak panahnya. Dalam ilmu silat boleh jadi dia kurang pandai, akan tetapi
ilmu panahnya terkenal di seluruh Shansi, di samping ilmunya mengatur siasat
perang dan ilmu menunggang kuda.
Ketika Kam Si Ek tiba di luar gedung, ia melihat para
penjaga sudah ribut-ribut memandang ke atas. Ketika ia berdongak, ia melihat
bahwa sucinya telah bertanding pedang dengan hebatnya melawan seorang gadis
yang gerakannya lincah sekali. Bulan malam itu menerangi jagat, akan tetapi
dari bawah ia tidak dapat melihat siapa adanya gadis yang bertanding melawan
enci seperguruannya itu.
"Goblok !�
Terdengar wanita itu memaki, suaranya nyaring dan merdu,
melengking menembus kesunyian malam.
"Beginikah kalian membalas pertolongan orang ?�
"Kau harus menyerah, tak boleh sembarangan membunuh
orang di tempat kami,�
Pada saat itu, entah mengapa, tiba-tiba sucinya
kehilangan keseimbangan tubuhnya, terhuyung di atas genteng dan sesosok
bayangan yang bergerak seperti terbang telah menyambar tubuh wanita itu.