Teriakan Swat Hong ini
mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur turun. Dia
kaget dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya pulang membuat dia
lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat Hong telah memiliki ginkang yang cukup
baik akan tetapi meluncur turun dari tempat tinggi seperti itu ada bahayanya
patah atau setidaknya salah urat. Untuk meloncat sudah tidak ada waktu lagi,
maka cepat dia menyambar sebuah ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu
itu dengan tepat melayang di bawah kaki Swat Hong dan anak ini juga tidak
menyia-nyiakan pertolongan ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran
kayu itu dapat menahan dan mengurangi tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari
atas sehingga dia dapat meloncat kebawah dengan aman. Seperti tidak pernah
mengalami bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak
girang,
"Ayah datang, Ibu?"
Ibunya hanya mengangguk tanpa
menoleh, tetapi memandang ke arah perahu yang makin mendekat pantai.
"Heii, Ayah bukan datang
sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama ayah di dalam
perahu!"
Liu Bwe tetap tidak menjawab
akan tetapi memandang tajam penuh selidiki ke arah perahu.
"Wah, jangan-jangan itu
selir dan putera..ayah!" Swat Hong yang memang berwatak terbuka itu
berkata mengomel. Dia pun sudah tahu akan kebiasaan para pangeran untuk
mengambil selir, maka dia tidak akan merasa heran pula kalau ayahnya juga
mempunyai selir di luar pulau Es, biar pun hatinya merasa tidak senang dan
penuh iri memandang kepada anak laki-laki di dalam perahu itu.
Mendengar ucapan yang tanpa
disengaja oleh Swat Hong merupakan benda tajam menusuk hatinya itu, Liu Bwee
menjawab, Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu anak laki-laki
itu, Sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu karena dia memang
cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk hati Liu Bwee sehingga keluar
melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget ketika kalimat
itu telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan merasa menyesal
telah mengeluarkan kata-kata yang penuh cemburu tadi. Segera digandengnya
tangan anaknya dan untuk mengapus kata-katanya dari hati anaknya dia berkata
riang,
"Ehh, kenapa kita disini
saja? Hayo kita sambut Ayahmu!" Berlari-larianlah mereka menuruni tebing
untuk menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir. Sikap wanita
yang penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaanya sehingga Swat Hong
sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi.
Sebenarnya, memang amat
giranglah hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya sungguhpun kegembiraanya
itu akan lebih besar andai kata suaminya pulang sendiran saja. Semenjak
suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami penderitaan batin yang
hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan,
karena dianggap seorang wanita berdarah rendah. Kebencian keluarga itu
menjadi-jadi ketika mendapat kenyataan betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil
selir.Hal ini dianggap oleh mereka Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk
mengikat suaminya!. Apalagi karena Liu Bwee tidak mempunya anak laki-laki, maka
kebencian mereka makin bertambah. Sudah tentu saja, yang merasa paling benci
adalah mereka yang mengharap agar Han Tiong pangeran calon raja itu
memperistrikan puteri mereka!
Pada waktu itu, raja yang
sudah tua menderita sakit dan sudah menjadi dugaan umum bahwa usianya takan
bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya puteranya yang
menjadi putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong untuk mewariskan singasana
kepada puteranya ini. Akan tetapi, karena keadaan Han Ti Ong yang lain daripada
para pangeran lain, suka merantau, isterinya orang rendah dan hanya satu, tidak
punya selir, tidak punya putera, maka Liu Bwee maklum bahwa di antara keluarga
raja terdapat persekutuan yang menentang diangkatnya suaminya menjadi calon
raja! Hal inilah yang mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi
penghalang Bagi suaminya dan hal inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat
dibayangkan betapa gembira hatinya melihat suaminya pulang!
Ketika ibu dan anak ini tiba
dipantai, ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan siap menyambut
pulangnya pangeran yang dihormati itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat Hong
mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika akhirnya perahu itu menempel
dipantai dan Han Ti Ong melompat keluar sambil tersenyum lebar, Swat Hong
menjadi orang pertama yang berlari menyambut.
"Ayah....!!"
"Ha-ha, Hong-ji, kau
makin cantik saja!"
Han Ti Ong menerima puterinya
itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu melemparkan tubuh anaknya keudara.
Sambil tertawa-tawa Swat Hong melayang turun dan langsung menyerang ayahnya
dengan jurus Kek-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut ) seperti yang
dilakukanya kepada ibuya tadi.
"Ha-ha-ha, bagus
juga!"
Ayahnya tertawa, menyambar
kedua lengan yang mencengkram ubun-ubunnya, lalu memondong puterinya, dan
mencium dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong menghampiri istrinya
yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata halus,
"Harap kau baik-baik saja
selama aku pergi."
Liu Bwee memandang suaminya,
tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak oleh Han Ti Ong ada sesuatu
yang menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika mendengar suara istrinya
lirih.
"Ayahanda raja sedang
menderita sakit parah."
Han Ti Ong mengangguk. Ucapan
yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati istrinya. Dia sudah mengenal hati
istrinya yang tercinta itu dan tahu dia bahwa menjelang kematian ayahnya, ada
hal-hal yang menggelisahkan istrinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan
dan istrinya yang datang dari keluarga rendahan itu tentu saja mengkhawatirkan
bahwa keturunan istrinya itu akan menjadikan persoalan bagi pengangkatan raja!
Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur, kemudian seperti
teringat dia berkata,
"Ahh, hampir aku lupa.
Aku datang bersama seorang muridku, namanya Sing Liong akan tetapi di daratan
besar sana dia dikenal sebagai Sin-tong."
"Hai, seorang sin-tong
(anak ajaib)? Hemm, ingin aku tahu sampai di mana keajaibannya!"
"Hong-ji, jangan!"
ibunya menegur, akan tetapi anak itu meloncat ke depan dan pada saat itu, Sin
Liong sudah turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri gurunya,
tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cilik dengan
gerakan seperti seekor burung garuda menyambar telah menyerangnya dari depan,
sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya.
"Bukk!!" Tanpa dapat
ditanyakan lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan napasnya
sesak. Akan tetapi dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaianya yang menjadi
kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda daripada dia itu, menggeleng
kepala dan berkata tenang,
"Sungguh sayang sekali,
seorang anak-anak yang masih bersih dikotori kebiasaan buruk mempergunakan
kekerasan untuk memukul orang tanpa sebab."
"Aihhh..."
Swat Hong tertegun, lalu
menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa keras,
"Ayah, dia tidak bisa
apa-apa, mengapa disebut Sin-tong? Serangan biasa saja membuatnya roboh
terjengkang!"
"Ha-ha-ha, kau lihat dia
roboh, akan tetapi apakah kau tidak lihat sesuatu yang ajaib? Dia tidak marah
malah menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?"
"Anak yang luar
biasa..." terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swan Hong juga
memandang Sin Liong . Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan berkata,
"Dia tidak marah karena
takut dan pengecut, Ayah!"
"He, Sin Liong, apakah
engkau takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong.
Anak ini menggeleng kepala.
"Suhu mengerti bahwa
teecu tidak takut terhadap apa pun dan siapa pun."
Swat Hong membusungkan dadanya
yang masih gepeng itu, menegakan kepalanya dan menantang,
"Bocah sombong, kalau kau
tidak takut, hayo kaulawan aku!" Dia sudah siap memasang kuda-kuda.
Sin Liong menggeleng
kepalanya.
"Adik Hong, aku tidak
akan menggunakan kepandaian apapun juga untuk melakukan kekerasan terhadap
orang lain, apalagi terhadap seorang anak-anak seperti engkau."
Gadis cilik itu sudah
menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong dengan sikap tenang saja, berkedip pun
tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba-tiba tubuh Swat Hong
terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya sudah ditangkap oleh ibunya dan
ditarik ke belakang.
"Swat Hong, kau terlalu
sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!"
Swat Hong menoleh, melihat
ayahnya tersenyum, melihat pandang mata semua orang dari prajurit sampai
perwira penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia ingat bahwa dia telah
melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua penghuni pulau
bahwa ilmu silat pulau Es tidak boleh sembarangan dikeluarkan untuk menyerang
orang tanpa alasan! Dan dia telah menyerang Sin Liong tanpa sebab apa-apa,
padahal Sin Lion adalah murid ayahnya atau suhengnya. Biarpun dia berwatak
keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan mudah
berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran dan sambil
tersenyum dan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil berkata,
"Suheng, harap maafkan
aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah."
Sin Liong terkejut. Kiranya
bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan berkata,
"Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Sumoi. Kepandaianmu memang hebat, tentu saja aku bukan tandinganmu."
"Hi-hik, wah, dia baik
sekali, Ayah!" Swat Hong lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng
tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani Sin Liong dengan
pertanyaan-pertanyaan.
"Siapakah nama lengkapmu?
Dari mana kau datang? Bagaimana kau dapat menjadi murid Ayah? Apa saja yang
sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin-tong?"
"Payah juga Sin Liong
menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang baru saja menyerangnya
seperti seekor burung garuda akan tetapi yang kini sudah bersikap demikian
ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru saja dia memperkenalkan
namanya, yaitu Kwa Sin Liong dan belum sempat menjawab pertanyaan yang lain,
perhatiannya, juga Swat Hong dan semua orang yang berada disitu tertarik oleh
keributan yang terjadi ketika Kwat Lin turun dari atas perahu.
Begitu Kwat Lin turun dari
perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari gangguan ingatannya karena
malapetaka hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita
ini memang berwajah manis, apalagi ketika turun dari perahu itu rambutnya yang
awut-awutan berkibar tertuip angin, pakaiannya yang terlalu longgar itu membuat
dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin turun dengan sikap tenang,
akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua orang yang memandangnya,
kemudian mata itu berhenti memandang kepada Liu Bwee yang telah melangkah
menghampirinya.
"Dia ini siapa?" Liu
Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pucat itu sambil
didalam hatinya menduga-duga dan menanti jawaban yang diharapkan dari suaminya
karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan kepada suaminya.
Akan tetapi sebelum Han Ti Ong
menjawab, tiba-tiba Kwat Lin, wanita itu membentak,
"Manusia-manusia busuk!
Kubunuh engkau!" Dan dia sudah meloncat ke depan dan menyerang Liu Bwee
dengan pukulan yang dahsyat.
"He, Twanio! jangan
begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah, namun terlambat karena Kwat Lin
sudah menyerang dengan cepatnya. Sedangkan para penghuni Pulau Es, termasuk
Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan tenang-tenang
saja!
"Wuuuutttt...
plak-plak...!"
Tubuh Kwat Lin terpelanting
ketika pukulannya tertangkis oleh Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar
pundaknya sebagai serangan balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang belum
sadar benar itu makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi,
Pangeran Han Ti Ong sudah mendahuluinya, menotok pundaknya sambil berkata,
"Tenanglah, Nona,"
Kwat Lin kembali roboh, akan
tetapi tubuhnya disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas.
Dengan lambaian tangan, Pangeran itu memanggil empat orang wanita pelayan yang
kelihatan tangkas-tangkas.
"Dia sedang sakit
ingatannya tidak sewajarnya."
Ucapan ini ditujukan kepada
istrinya yang memandang marah. mendengar ini, Liu Bwee mengangguk-angguk dan
kemarahannya di wajahnya berubah menjadi iba.
"Bawa dia ke kamar tamu
dan rawat dia baik-baik," kata Liu Bwee kepada empat orang pelayan itu
yang segera menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari situ.
Barulah Pangeran Han Ti Ong
kini mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan.
Tadi dia seolah-olah menganggap mereka semua itu seperti patung belaka. Dengan
megah Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang sedang
sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini sedangkan Sin Liong
langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di mana dia dan ibunya tinggal,
yaitu di bagian kiri istana besar.
Setelah pulangnya Pangeran Han
Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat menyaksikan Han Ti Ong
dinobatkan menjadi penggantinya, merajai Pulau Es dalam upacara yang amat
sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas dan penasaran rasa hati para
pangeran yang membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang
ayah mereka tentang keadaan Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan
untuk memberontak secara terang-terangan, tentu saja mereka tidak berani karena
di dalam pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling
sakti. Maka, mereka itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang
seharipun untuk mencari peluang dan kesempatan yang baik untuk menjatuhkan Han
Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui Bwee yang mereka anggap sebagai
biang keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari kebiasaan keluarga
raja di Pulau Es!
Setengah bulan kemudian,
berkat perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan
pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah obat-obatan
berupa daun-daun yang dicari para anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin Liong,
gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu pagi, wanita yang
bernasib malang ini duduk seorang diri di dalam taman istana, taman yang bukan
berisi bunga bungan hidup, melainkan terisi ukir-ukiran bunga dari batu-batu
beraneka warna, dihias salju dan patung patung kayu. Sudah berhari-hari, dia
duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti Ong, wanita
malang ini harus dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu.
Namun, diam-diam dia sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin
lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada gadis ini!
Tiba-tiba Kwat Lin melompat
bangun karena mendengar gerakan di belakangnya. Sebagai seorang hali silat
kelas tinggi, sedikit suara saja cukup membuat dia siap waspada . Ketika dia
membalik, dia melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ sambil memandangnya
dengan senyum ramah.
The Kwat Lin yang kini sudah
sembuh sama sekali, memandang penuh keheranan lalu menegur,
"Siapakah engkau? Dan
mengapa engkau bisa berada di tempat aneh ini?"
Melihat sikap gadis ini dan
mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, legalah hati Raja Han Ti Ong. Sikap dan
kata-kata itu sudah cukup membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali,
telah kembali kepada keadaan sebelum mengalami tekanan batin hebat, maka tentu
saja tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa berada di
pulau itu.
"Nona, girang hatiku
mendapat kenyataan bahwa Nona telah sembuh dari lupa ingatan yang Nona derita
belasan hari ini."
"Lupa ingatan?
Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal engkau dan tidak
tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini."
"Memang begitulah.
Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar sehingga Nona lupa lagi
apa yang Nona telah alami selama belasan hari ini. Sungguh aku ikut merasa
berduka dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-siap yang amat malang...."
Tba-tiba wajah itu menjadi
merah sekali dan kemudian berubah pucat,
"Kau... kau tahu apa yang
terjadi kepada kami...?"
Raja Han Ti Ong tersenyum dan
memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu dengan senyum mesra. Tentu
saja, Nona. Aku dan muridkulah yang mengubur jenazah dua belas orang suhengmu,
dan aku dan muridku pula yang menolongmu membawa kesini kemudian mengobatimu
sehingga sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han Ti Ong, raja pulau ini dan kau
berada di Pulau Es."
Mata yang indah ini
terbelalak.
"Apa...? Di... di Pulau
Es... dan aku telah mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong..."
"Sekarang telah menjadi
Raja Han Ti Ong, raja sebuah pualu kecil tak berarti, Nona, dan aku belum
mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut namamu."
Kwat Lin menjatuhkan diri
berlutut dan menahan isaknya. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan Paduka, dan maafkan kalau saya tidak mengenal penolong saya. Saya
bernama The Kwat Lin, orang termuda Cap-sha Sin-hiap, dan...kalau paduka menaruh
kasihan kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini ... sekarang
juga...."
"Nona The, aku adalah
seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. ketahuilah, semenjak pertama
kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan sayang di dalam
hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka aku akan merasa berbahagia sekali
kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini, sebagai seorang istriku, istri ke
dua."
Kwat Lin terkejut sekali. Dia
telah berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang raja ini secara demikian
terus terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia
menjadi isteri raja? Dia yang telah dinodai oleh Pat-jiu Kai-ong?
"Tidak! Maaf... saya...
saya harus pergi sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya, dan Paduka tentu
tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat-jiu Kai-ong."
Han Ti Ong mengangguk-angguk.
"Aku mengerti dan aku
sudah menduga bahwa seorang dara perkasa seperti engkau tentu saja tidak akan
mau menerima tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti
Nona akan jatuh cinta begitu saja kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu
mengharapkan yang ajaib. Aku jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya aku berani
meminangnya secara terang-terangan, karena aku yakin Nona akan menerimanya
berdasarkan cita-cita tunggal Nona itulah. Bagaimana mungkin Nona akan membalas
dendam kepada Pat-jiu Kai-ong, sedangkan Cap-sha Sin-hiap saja tidak mampu
mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau menjadi istriku, hemmm...soal membalas
dendam kepada Pat-jiu Kai-ong sama mudahnya dengan membalikan telapak
tangan."
Ucapan ini berkesan mendalam,
memang buat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan gadis lagi dan tidak mungkin dia
menjadi istri orang, dan baginya setelah berhasil membalas dendam, hanya
kematianlah yang akan mengakhiri noda yang dideritanya. Akan tetapi, menjadi
istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya, apa pula kalau orang
sakti itu sendiri sudah tahu akan keadaanya.
"Apakah... apakah Paduka
akan mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya? tanyanya dan kini dia mengangkat
muka, memandang raja itu, diam-diam harus mengakui bahwa laki-laki ini gagah
dan tampan, sungguhpun usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
"Terserah kepadamu. kalau
engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu. Kalau kau
menghendaki, dalam waktu pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu dan
menyeretnya kedepan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu dan aku berani
tanggung bahwa selama setahun saja engkau akan mengalahkan musumu itu."
"Be...benarkah itu?"
"Nona The Kwat Lin. Han
Ti Ong bukan orang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu
dengan jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau
menolak sekalipun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau
menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan
hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya Pat-jiu Kai-ong.
Tentu saja dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa
Cap-sha Sin-hiap itu kepada gurunya, ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin. Akan
tetapi, gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau mencampuri urusan
dunia, biarpun murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan,
agaknya akan sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan terrutama sekali yang
memperberat hatinya, kalau dia pergi ke Bu-tong-pai, tentu semua orang akan
tahu tentang malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa oleh
Pat-jiu Kai-ong. ke mana dia akan menaruh mukanya kalau semua orang
mengetahuinya akan hal itu? Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau Es, selain
tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga dia akan
mempunyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu! Akan tetapi,
benarkah pria di depannya ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam waktu
setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak akan puas kalau
tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biarpun dia
sudah banyak mendengar nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja
itu, namun bagaimana dia dapat membuktikan kesaktianya? Apakah orang ini lebih
lihai dari gurunya dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
Perlahan-lahan Kwat Lin
bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang
memandangnya. Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin berkata,
"Saya ingin sekali dapat
membalas dendam dengan tangan saya sendiri. Akan tetapi, bagaimanakah saya
dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di sini dan menangkan iblis
itu?"
Han Ti Ong tersenyum dan
mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya.
"Inilah pedang yang
kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu."
Kwat Lin menerima pedang itu
dan air matanya turun bertitik akan tetapi segera dihapusnya. Itulah
Ang-bwe-kiam pedang dari twa-suhengnya!
"Engkau masih ragu,
baiklah. Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji apakah aku
dapat melatihmu selama setahun sehingga kau lebih lihai daripada Pat-jiu
Kai-ong."
Kwat Lin menimang-nimang
pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu Kai-ong telah dikeroyok oleh dia dan
dua belas orang suhengnya. Mereka telah mainkan Ngo-heng-kiam, bahkan telah
membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok kakek iblis itu namun akhirnya
mereka semua kalah, sungguhpun sejenak kakek itu terdesak. kini, kalau hanya
dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai ukuran apakah dia lebih
lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
"Nona, jangan ragu-ragu.
Percayalah, kalau engkau benar rajin belajar, dalam waktu setahun engkau pasti
akan dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan Pat-mo-tung-hoat dari kakek
itu sebetulnya kosong saja,"
Kata raja itu, seolah-olah
dapat menbaca isi hati Kwat-lin. Dara itu terkejut, kemudian mengambil
keputusan untuk menguji orang ini sebelum dia menyerahkan dirinya yang sudah ternoda
itu menjadi istrinya sebagai penebus latihan ilmu untuk membalas dendam.
"Baiklah, saya akan
menguji kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan senjata."
"Ha-ha-ha, Pat-jiu
Kai-ong membutuhkan tongkatnya dan pukulan beracunya untuk mengalahkan Cap-sha
Sin-hiap, akan tetapi aku cukup menggunakan ini."
Dia meraih kebawah dan
tanganya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu karang itu
berbentuk panjang seperti pedang!
"Harap Paduka siap!"
Kwan Lin berseru dan tiba-tiba
pedangnya menyambar dengan cepat, melakukan tusukan ke arah leher sedang tangan
kirinya sudah memukul ke arah dada. Serangan berganda dengan pedang dan pukulan
tangan kiri ini merupakan jurus hampuh dari Ngo-heng-kiam-sut.
Tiba-tiba tubuh raja itu
bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakan dan pada detik berikutnya,
leher dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya juga tersentuh kepalan
tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin menjerit lirih karena maklum bahwa kalau tusukan
batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia telah roboh dan
tewas seketika. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah gerakan raja
itu.
"Paduka... Paduka
mengunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari
Ngo-heng-kiam-sut Bu-tong-pai!"
Han Ti Ong tersenyum,
"Persis sekali dengan
seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih lihai karena sekali serang berhasil,
bukan? Nah, kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah
mudah kau mengalahkan musuhmu?"
Kwat Lin tertegun, akan tetapi
dia masih belum puas.
"Saya ingin mencoba
lagi!"
"Boleh, boleh. Kau
seranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa engkau
akan kukalahkan dengan jurusmu yang sama."
Dengan pengerahan tenaga dan
memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan tetapi setiap kali
menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu
dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus itu digerakan oleh Han Ti Ong
sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan mengandung tenaga mukjizat
sehingga biarpun dia mengenal jurusnya sendiri, dia tidak sempat lagi mengelak
atau menangis! Setelah sepuluh kali dia terkena sentuhan ujung batu atau usapan
tangan kiri lawan yang lihai ini dia menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri
berlutut.
"Saya menerima penawaran
Paduka!"
Ha Ti Ong memegang kedua
pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka berdiri berhadapan, saling
pandang dan wajah raja itu berseri melihat betapa wajah Kwat Lin menjadi merah
sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi dibalik kemerahan wajah karena malu
itu. dengan mesra Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata
lirih,
"Aku tahu, Kwat Lin.
Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik terhadap pria dan muak
terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan tetapi, aku bukanlah pria yang
mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan menghapus kejijikan dan
kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kau ambil
ini tepat sekali dan tidak akan mendatangkan sesal di kemudian hari. Mari, mari
kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga engkau berbahagia."
Han Ti Ong mencium dan
mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng tangannya
dan mengajaknya berjalan memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke
taman itu.
Tentu saja tidak ada kehebohan
terjadi ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusanya mengambil The Kwat Lin,
sebagai istri ke dua, sunguhpun hal ini mendatangkan bermacam-macam tanggapan
dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan, pesta yang sederhana saja
tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka cita dan
mengharapkan bahwa dari pernikahan ini, raja akan dikurniai seorang putera.
Juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan keluarga raja. Ada kekecewaan akan
tetapi ada pula harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil
orang luar sebagai selir, akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui
istri ke dua ini mereka dapat memukul Liu Bwee yang mereka benci.
Ternyata kemudian oleh Kwat Lin
Bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh Raja Pulau Es itu ketika meminangnya
bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar-benar jatuh cinta kepadanya
dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan dirinya menjadi selir Raja
Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya, Han Ti Ong mencurahkan kasih sayang
kepadanya sedemikian besarnya sehingga lambat laun dia pun jatuh cinta kepada
suaminya ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan
terutama dengan mengorbankan dan menyerahkan diri sebagai selir, setelah
menerima pencurahan cinta kasih yang amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik
pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi selir, dia
melahirkan seorang anak laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama
sekali, kalau dulu dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali menghadapi
banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang yang mulia dan terhormat,
bahkan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa tingginya! Timbullah keinginan hatinya untuk
mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia merasa berhak karena bukankah dia
yang mempunyai keturunan laki-laki, dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi
pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan
mencari dan membunuh Pat-jiu Kai-ong. Kebenciannya terhadap kakek iblis jembel
itu kini menjadi tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa selama tiga hari
tiga malam kakek itu mempermainkanya, merengut kehormatan dengan memperkosa
secara amat menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diam-diam
berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu, agaknya
selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi
istrinya dan sekaligus pewaris ilmu-ilmunya!
Sin Liong belajar ilmu silat
dengan tekun bersama suaminya, Swat Hong yang lincah jenaka.Dan mulai tampaklah
bakatnya yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau para tokoh kang-ouw ingin
memiliki bocah ini dan menjadikan Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena dia
pantas disebut Sin-tong. Han Ti Ong sendiri yang merupakan manusia luar biasa
dan memiliki kecerdasan yang disebut Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tidak
bisa lupa lagi), diam-daim menjadi kagum sekali karena dia harus akui bahwa
dalam hal kecerdasan dan kekuatan pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini!
Yang amat mengagumkan hatinya adalah betapa di balik semua bakat yang luar
biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak yang penuh kehalusan,
kelembutan dan kasih sayang dan iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di
samping watak yang wajar seadanya. Benar-benar seorang bocah yang ajaib!
Diam-diam Sin Liong mengerti
bahwa diangkatnya Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan
hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan mendatangkan banyak ketidak
baikan, terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan
perubahan pada diri bekas pendekar wanita Bu-tong-pai itu Akan tetapi karena
dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa dan yang sama sekali
tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu saja dia
hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan keadaan dengan hati tidak
enak.
Yang dikhawatirkan oleh anak
yang belum tahu apa-apa memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin
sebagai isteri kedua, Liu Bwee menderita tekanan batin yang amat hebat.
Mula-mula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam didalam
kamarnya karena hal ini dianggapnya lumrah setelah suaminya memiliki isteri
lain yang baru. Akan tetapi perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat
menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan suaminya kepadanya. Dan
terutama sekali setelah The Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang
lagi menginap dikamarnya, dan kalau sekali-sekali datang, tidak ada cumbu rayu
dan kemesraan sama sekali, hanya untuk menanyakan kesehatan dan agaknya
suaminya datang hanya demi kesopanan belaka!
Hati seorang wanita amatlah
halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah
jatuh cinta dan mudah pula membenci! setelah Kwat Lin melahirkan seorang anak
laki-laki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini mendatangkan
kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinya, merasa kesepian, rasa rindu
yang makin menghimpit terhadap belaian kasih sayang suaminya membuat Liu Bwee
makin tersiksa, menambah kebenciannya terhadap Kwan Lin yang makin dipuja
suaminya itu. Liu Bwee bukan seorang wanita yang gila akan kedudukan. Dia tidak
mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak khawatir akan menurunya derajatnya
apabila madunya itu diangkat menjadi permaisuri karena mempunyai seorang
putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita yang haus akan kasih sayang,
maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya di
sia-siakan oleh suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat Lin.
Melihat penderitaan batin yang
dialami oleh Liu Bwee ini, diam-diam bersoraklah para keluarga raja. Bagi
mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari seorang ibu yang masih
berdarah biru seperti mereka, namun masih lebih baik dari pada kalau dilahirkan
oleh seorang ibu seperti Liu Bwee, hanya anak seorang nelayan Pulau Es! Pula
kebencian mereka yang terdorong oleh iri hati terhadap Liu Bwee membuat mereka
condong kepada Kwan Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu,
disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua
penghuni Pulau Es sebagai penyambutan terhadap lahirnya seorang putera raja
yang akan menjadi pangeran mahkota!
Tujuh tahun telah lewat
semenjak Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja, agaknya keadaan
Pulau Es dan kerajaan kecilnya selama tujuh tahun itu tidak terjadi perubahan
sesuatu, para penghuninya masih hidup dengan tenang dan tentram penuh kedamaian
seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja Han Ti Ong tidak kalah
bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan kecilnya sehingga para penghuni
Pulau Es hidup bahagia, sedangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya
sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar dan
banyak!
The Kwat Lin yang kini menjadi
permaisuri, diangkat secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga kedudukan Liu Bwee
tergeser menjadi istri selir, bukan hanya menjadi wanita pertama yang paling
tinggi tingkat kedudukanya, namun juga telah menjadi seorang wanita yang
memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya dan beberapa tokoh lain di
Pulau Es. Namun, hasratnya untuk membalas dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong
agaknya telah lenyap sama sekali! Dia kelihatan hidup bahagia tenggelam dalam
belaian penuh kasih sayang dari suaminya dan melihat puteranya yang kini telah
berusia enam tahun dan menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat
biarpun tubuhnya agak kecil, sebagai pangeran, tentu saja Bu Ong digembleng
oleh ayahnya sendiri sejak kanak-kanak.
Sin Liong telah memperoleh
kemajuan yang mentakjubkan dan mengagumkan Han Ti Ong sendiri. Semua ilmu yang
diajarkan oleh raja itu, sekali dilatih dapat dilakukan dengan hampir sempurna!
Tentu saja dalam waktu beberapa tahun dia telah jauh melampaui tingkat kepandaian
sumoinya, dan setelah dia berusia empat belas tahun, Sin Liong telah jauh
meninggalkan tingkat sumoinya. Bukan hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi
juga dalam ilmu sinkang dia maju pesat karena tanpa diperintah oleh suhunya,
dengan tekun Sin Liong berlatih seorang diri di bawah hujan salju yang amat
dingin sehingga dia dapat menampung inti sari tenaga im-yang yang amat hebat.
Selain tekun mempelajari ilmu silat yang diturunkan oleh suhunya tanpa ada yang
disembunyikan itu, Sin Liong juga rajin sekali membaca kitab-kitab yang banyak
terdapat didalam kamar perpustakaan istana. Dia dikenal oleh semua ahli sastra
di Pulau Es dan mereka ini amat kagum dan suka kepada Sin Liong melihat
ketekunan bocah ajaib ini. Tidak ada bosanya Sin Liong membaca kitab-kitab kuno
dan setiap bertemu hurup baru yang tidak dikenalnya, dia mencatatnya untuk
kemudian ditanyakan kepada para ahli itu. Dengan cara demikian, biarpun tidak
dibimbing langsung, namun Sin Liong telah dapat memperkaya perbendaharaan
kata-kata sehingga dia mampu membaca kitab-kitab yang paling kuno di dalam
perpustakaan itu.
Kitab kuno tidaklah seperti
kitab biasa, karena selain huruf-hurufnya kuno, juga huruf-huruf itu mengandung
arti yang amat mendalam. Karena inilah, maka kitab-kitab yang amat kuno di
pulau itu jarang atau hampir tidak pernah dibaca orang. Han Ti Ong sendiri
segan membaca kitab-kitab itu, karena selain sukar, juga isinya hanyalah
sajak-sajak kuno yang dianggapnya tidak ada gunanya dan melelahkan otaknya.
Namun semua kitab itu "dilalap" semua oleh Sin Liong! Bukan ini saja,
namun anak ajaib ini dapat menemukan sesuatu yang tersembunyi didalam
sajak-sajak itu! Dia menemukan rangkaian ilmu silat sakti yang masih merupakan
"rangka" terselubung di dalam huruf-huruf kuno yang sukar dimengerti
itu, bahkan menemukan pula ilmu yang masih dirahasiakan oleh Han Ti Ong, ilmu
yang selama ratusan tahun mengangkat nama Pulau Es, yaitu ilmu inti sari dasar
gerakan semua ilmu silat. Dengan ilmu ini yang sudah dikuasainya, maka Han Ti
Ong dapat mengalahkan tujuh orang tokoh sakti dengan jurus-jurus, jurus ilmu
silat mereka sendiri ketika Han Ti Ong menolong Sin Long di jeng-hoa-sian.
Kini, secara tidak disengaja, bahkan di luar kesadaran Sin Liong sendiri, bocah
ajaib ini telah menemukan ilmu itu "terselip" dan terselubung di
antara sajak-sajak kuno yang kelihatanya tidak ada gunanya itu. Selain
memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, juga selama berada di Pulau Es, Sin
Liong memperoleh kesempatan memperdalam ilmunya mengenal daun dan tumbuhan obat
dengan jalan menyelidikinya di pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Es.
Dia memang mendapat tugas
untuk mencari bahan-bahan obat di pulau-pulau itu untuk kepentingan para
penghuni Pulau Es, Dan dalam kesempatan melaksanakan tugasnya ini, Sin Liong tidak
menyia-nyiakan waktu untuk menyelidiki lebih banyak lagi tetumbuhan dan
khasiatnya untuk kesehatan tubuh manusia. Dengan adanya Sin Liong di Pulau Es,
banyaklah sudah penghuni yang terhidar dari bahaya penyakit, dan untuk ini, Han
Ti Ong merasa berterima kasih sekali sehingga dia tidak segan-segan menurunkan
ilmu pengobatan tusuk jarum kepada muridnya itu. Selain Sin Liong, tentu saja
Swat Hong sebagai puteri raja, juga memperoleh kemajuan pesat dan dalam usia
tiga belas tahun itu dia telah memilik ilmu kepandaian yang sukar dicari
tandinganya.
Dengan demikian, hampir semua
orang di Pulau Es memperoleh kemajuan masing-masing. Raja Han Ti Ong memperoleh
kebahagiaan cinta kasih dalam diri Kwat Lin yang telah menjadi permaisurinya.
The Kwat Lin sendiri yang tadinya mengalami malapetaka yang dianggapnya lebih
hebat daripada kematian sendiri, telah memperoleh banyak keuntungan, memperoleh
cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi sekali, dan ilmu kepandaian yang amat
hebat pula. Hanya seorang saja yang sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir
maupun batin yaitu Liu Bwee! Dia menderita makin hebat, terutama batinnya
karena semenjak beberapa tahun ini, suaminya sama sekali tidak pernah lagi
mendekatinya! Lenyaplah wataknya yang periang dan kini Liu Bwee lebih banyak
mengurung dirinya di dalam kamar, menyulam atau membaca kitab. Dia seolah-olah
menjadi seorang pertapa dan biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu, masih
tetap cantik manis dan pakaiannya selalu bersih, namun sesungguhnya hatinya
terluka dan selalu meneteskan darah, batinnya terhimpit dan terbakar oleh rindu
yang tak kunjung henti, kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria yang
tak pernah terpuaskan.
Keadaan di dalam istana dengan
adanya penderitaan Liu Bwee, dengan adanya para anggauta keluarga istana yang
masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat kesempatan untuk menjatuhkan
wanita ini karena Liu Bwee selalu bersikap diam dan tidak memperlihatkan
sesuatu, merupakan api dalam sekam yang setiap saat tentu akan berkobar atau meledak.
Hal ini tidak saja dirasakan oleh semua angauta keluarga raja, bahkan dirasakan
pula oleh Sin Liong dan Swat Hong.
Sering kali Sin Liong
kehilangan kejenakaan Swan Hong yang merupakan ciri khas dara ini. Kalau dia
melihat dara itu termenung seorang diri, dia menarik nafas panjang dan sekali
waktu dia menegus,
"Eh, Sumoi. Kenapa kau
termenung dan wajahmu suram? lihat, hari tidak sesuram wajahmu, sinar matahari
mencairkan salju dengan cahaya yang keemasan!"
Swat Hong memandang pemuda itu
dan menarik nafas panjang.
"Betapa aku tidak tidak
akan muram menyaksikan keadaan yang begini dingin di dalam istana, Su-heng?
Ayah memang masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi
antara Ayah dan Ibu seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak
pernah lagi aku menyaksikan keduanya beramah tamah dan bersendau gurau seperti
dahulu lagi. Apakah karena Ibu Permaisuri...?"
"Ssst, Sumoi. Kita tidak
mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang tua itu. Hal itu adalah urusan
mereka sendiri."
"Aku mengerti, Suheng.
Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik senyum Ibu
kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang membuatnya seperti
gila...."
"Hushh...."
"Aku tidak membohong,
Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil nama Ayah dan
menangis dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan biarpun dia hendak
menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita sengsara batin
yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...."
Dara itu kelihatan berduka
sekali, kemudian berkata lagi,
"Suheng, apa sih perlunya
orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan
kecewa?"
"Itu bukan cinta, Sumoi,
Ahh, kau takan mengerti dan semua orang takan mengerti karena sudah lazim
menganggap hawa nafsu sama dengan cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk
kesenangan dan ingin memilikinya untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang
menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi."
Sumoinya terbelalak.
"Aihh, kau bicara seperti
kakek-kakek saja! Dari mana memperoleh filsafat macam itu, Suheng?"
Karena tertarik, dara yang
mudah ini sudah melupakan kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya
memandang suhengnya dengan berseri penuh godaan.
"Dari... hemm, kukira
dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah kenyang membaca filsafat, dan
apa artinya filsafat kalau hanya untuk dihafal? Tidak ada bedanya dengan benda
mati yang hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan, dijadikan alat untuk terbang
melayang diawang-awang yang kosong. Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan
mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan kesadaran." Dia
menarik napas panjang.
"Suheng, kau tadi mencela
aku yang kau katakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali melihat engkau
seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau Es?"
"Aku suka sekali tinggal
di sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat tempat seindah ini, masyarakat
setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat hukuman-hukuman yang dibuang ke
Pulau Neraka..."
"Aih, hal itu bukan
urusan kita, Suheng. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa urusan antara Ayah
dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali bukan urusan
kita."
"Kau keliru, Sumoi.
Urusan Ayah Bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan tetapi urusan
orang-orang terhukum adalah urusan umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak
senang sekali dengan adanya peraturan itu. Aku akan berusaha untuk mengingatkan
Suhu...."
"Tapi Ayah seorang Raja,
Suheng!"
"Raja pun manusia
juga."
"Tapi Raja hanyalah
menjalankan hukum yang berlaku, Suheng."
"Hukum pun buatan
manusia. Benda Mati!"
Tiba-tiba terdengar suara
tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan dan wajah Sin
Liong menjadi muram.
"Nah, ada lagi sidang
pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa lagi sekarang yang
melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Suheng!"
Sin Liong digandeng tangannya
oleh Swat Hong yang menariknya ke arah bangunan di samping istana, bangunan
yang dijadikan ruang sidang pengadilan di mana dijatuhkan hukuman terhadap
mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ,
banyak sudah penghuni Pulau Es yang menonton diluar ruangan, dan tentu saja dua
orang muda-mudi itu mudah untuk memasuki ruang sidang dan duduk di atas kursi
yang berderet di pinggiran.
Ruangan itu luas sekali,
lantainya halus dan bersih. Isi ruang hanyalah sebuah meja panjang dan di
belakang meja panjang ini terdapat lima buah kursi dan di kanan kiri, di
pinggir juga terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian tengah
tetap kosong. Pada saat Sin Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di
belakang meja telah duduk hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang
biasa bertugas sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi
kebesaran, tampak duduk Han Ti Ong sendiri bersama permaisurinya. Hal ini
merupakan keanehan karena biasanya raja hanya datang tanpa permaisurinya dan
duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya permaisuri Raja Han Ti Ong
sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan di Pulau Es.
Para pesakitan yang sudah
berlutut di depan meja, di atas lantai, hanya tiga orang. Seorang laki-laki
tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan gerak-geriknya kasar, seorang
laki-laki muda yang tampan dan seorang wanita yang usianya empat puluhan, namun
masih cantik dan wanita ini berlutut di samping laki-laki muda yang kelihatan
ketakutan, tidak seperti laki-laki tinggi besar dan Si Wanita yang kelihatan
tenang-tenang saja.
Dengan suara lantang jaksa
penuntut membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi besar yang sudah berlutut
ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu Bouw Tang Kui.
"Bouw Tang Kui telah
berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan
kepandaian menghina yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap karena
melakukan pencurian, mengambil batu hijau mustika penyedot racun ular milik
orang lain. Karena kejahatanya membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan
kekacauan dan permusuhan, maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas
dirinya, selain untuk memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai
contoh kepada semua penghuni pulau."
Hening sejenak, kemudian
terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar,
"Bouw Tang Kui, kau sudah
mendengar tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri."
Bouw Tang Kui yang berlutut
itu memberi hormat kepada raja, kemudian dengan suaranya yang kasar dan nyaring
berkata,
"Hamba mengaku telah
melakukan perbuatan itu karena hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba
telah menerima banyak budi dari Sri baginda, kalau sekarang dianggap berdosa,
hamba siap menerima segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba."
Hakim berfikir sejenak,
kemudian sambil mengetok meja dia berkata,
"Pengadilan memutuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Bouw Tang Kui."
Suasana menjadi hening.
Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada penggal kepala.
Banyak di antara mereka yang mendengarkan, menahan nafas dengan muka pucat, ada
yang menaruh hati kasihan kepada Bouw Tang Kui. Akan tetapi pesakitan itu sendiri
setelah memandang kepada raja, lalu berkata, suaranya penuh pahit getir,
"Hukuman apa pun bagi
hamba tidak terasa berat, yang terasa berat adalah bahwa hamba dipaksa untuk
memusuhi Pulau Es yang hamba cintai!"
"Jadi engkau menerima
keputusan hukuman?" hakim bertanya.
"Hamba mene...."
"Nanti dulu!!"
Tiba-tiba terdengar suara
nyaring dan Han Ti Ong sendiri mengangkat muka memandang tajam ketika melihat
Sin Liong telah berdiri dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu.
"Harap Suhu dan para
Cu-wi sekalian maafkan saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya
hendak membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini dianggap berdosa dan memang dia
telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu lalu dijadikan
tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi? Saya hendak
bertanya, siapakah di antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah melakukan
kesalahan?"
"Semua manusia pasti
pernah melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka kita pun tentu
pernah melakukan kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan yang dilakukannya
itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah atau berdosa, dan
patut dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui
adalah sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang berbatin
lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan penyelewengan sama saja dengan
seorang yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan
tubuhnya melainkan hatinya. Akan tetapi, setiap orang sakit bisa sembuh! Maka,
menghukumnya dengan hukuman keji itu sama dengan membunuhnya!"
Hening sekali keadaan di situ
setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan pembelaanya.
"Akan tetapi di sini
sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus tunduk kepada
hukum!"
Kata Han Ti Ong ketika melihat
betapa hakim ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong disuka banyak
orang di situ, dan selain ini, agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat
karena pemuda itu adalah murid raja. Karena inilah maka Han Ti Ong sendiri yang
mengeluarkan suara membantah.
"Harap Suhu memaafkan
teecu kalau teecu terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap
berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari manakah
timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum, mana mungkin
ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukumlah yang
menciptakan dosa dan pelanggaran, hukum adalah keji karena hukuman yang
dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu sendiri! Kalau dia dianggap
bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal itu membuat dia menjadi
makin jahat dan mendendam? Andaikata seorang penderita sakit, penyakitnya
menjadi makin parah! Apakah hukuman pembuangan ke Pulau Neraka itu akan
menginsafkannya? Suhu, sudah berkali-kali teecu menyatakan bahwa hukuman
seperti ini tidak patut dilakuka, lebih baik menuntun mereka yang tersesat agar
kembali ke jalan benar dari pada menghukum mereka dengan kekerasan yang akan
membuat meraka menjadi lebih jahat lagi."
"Kwa Sin Liong, kau tak
berhak untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami! Hakim!, lanjutkan
persidangan dan pembelaan yang dilakukan atas diri Bouw Tang Kui tidak dapat
diterima!"
Bentak Han Ti Ong yang merasa
tersinggung juga mendengar betapa peraturan yang dijunjung tinggi selam ratusan
tahun oleh nenek moyangnya itu kini disangkal dan dicela oleh seorang bocah
yang menjadi muridnya!, Sin Liong menghela nafas dan terpaksa dia duduk
kembali.
"Ssttt, kau terlampau
berani...." Swat Hong berbisik.
"Hemmm... tiada
gunanya...." Sin Liong balas berbisik.
Suara jaksa yang lantang sudah
memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, laki-laki tampan dan wanita
cantik itu. Mereka maju dan berlutut di depan pengadilan.
"Sia Gin Hwa dan Lu Kiat
telah ditangkap karena melakukan perzinahan. Karena Sia Gin Hwa telah menjadi
istri syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan perbuatan hina yang amat
berdosa, melanggar larangan keras yang telah disyahkan hukum. Karena itu, tidak
ada pengampunan baginya dan mohon pengadilan menjatuhkan hukuman terberat
kepadanya. Adapun Lu Kiat, biarpun masih muda dan belum beristri, namun dia
telah berzinah dengan istri orang, maka dia pun harus dijatukan hukuman yang
layak. Hukumannya terserah kepada hakim."
Wanita itu menundukan mukanya
yang menjadi merah sekali ketika mendengar suara mengejek dari mereka yang
menonton di luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih tenang-tenang saja.
Adapun Lu Kiat, pemuda itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia juga
menundukan mukanya, kelihatan gelisah sekali.
"Pengadilan memutuskan
hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket seratus
kali kepada Lu Kiat!"
"Hamba tidak
menerima!" Tiba-tiba Sia Gin Hwa berteriak.
"Yang melakukan
perzinahan adalah hamba berdua, maka kalau dibuang pun harus hamba
berdua!"
"Tidak, hamba menerima
hukuman rangket seratus kali!" teriak pula Lu kiat.
"Laki-laki apa kau ini?
Ketika merayuku, kau berjanji akan bersama-sama menderita andaikata dibuang ke
Pulau Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut mulut antara
mereka.
"Diam!!" Teriakan
menggetarkan dari Han Ti Ong membuat mereka berdiri menjatuhkan diri mohon
pengampunan.
"Karena kalian melakukan
perbuatan yang memalukan sekali, menodakan nama baik Pulau Es, maka sepatutnya
kalian berdua sama-sama dibuang ke Pulau Neraka!"
Kata Raja itu dengan suara
tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang tangan kekasihnya dan menangis
sambil menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu Kiat menjadi makin pucat.
Kembali Sin Liong bangkit
berdiri.
"Maaf, Suhu. Teecu
terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan perbuatan yang melanggar
hukum yang ada, akan tetapi apakah perbuatan mereka itu sudah demikian jahatnya
maka sampai mereka dihukum buang? Teecu kira di balik perbuatan mereka itu tentu
ada sebab dan alasannya. Mereka menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau seorang
istri sampai melakukan penyelewengan, tentu pihak suami juga ada kesalahannya.
Tidak perlukah diselidiki mengapa wanita ini yang telah bersuami sampai berzina
dengan pria lain? Mengapa dia sampai tidak dapat menahan dorongan nafsunyai?
Tentu ada sebab-sebabnya."
" Sin Liong, engkau
seorang bocah belum dewasa, tahu apa tentang nafsu segala?" bentak
gurunya, agak tertegun juga karena dia mendapatkan kebenaran tersembunyi di
balik bantahan muridnya itu.
Terdengar suara ketawa ditahan
di sana-sini, bahkan permaisuri sendiri menahan senyumnya.
"Teecu...teecu...mengerti
dari kitab...."
"Pembelaan seorang anak
yang belum dewasa terhadap perzinahan yang dilakukan orang dewasa tidak dapat
diterima. Laksanakan hukumannya dan buang mereka bertiga sekarang juga ke Pulau
Neraka!" kata Han Ti Ong.
Persidangan dibubarkan dan
tiga orang pesakitan itu lalu digiring keluar untuk dilaksanakan hukuman atas
diri mereka, yaitu dibuang ke Pulau Neraka, hukuman yang paling mengerikan dan
paling di takuti oleh semua penghuni Pulau Es karena mereka semua tahu bahwa di
buang ke Pulau Neraka berarti hidup tersiksa dan sengsara!
Peristiwa seperti inilah yang
membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya,
akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya,
Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cinta,
berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya
sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima
belas tahun itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu-satunya
yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es. Biarpun Permaisuri juga mewarisi
banyak ilmu dahsyat namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat
sehingga kalah sempurna gerakannya, apa lagi dalam hal tenaga sinkang dia kalah
jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang yang pada dasarnya
memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya The Kwat
Lin adalah seoarang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa
oleh Pat-jiu Kai-ong.