"Eh, sudah ada orangnya?" menanya Ang Cit Kong heran. "Mungkinkah kau,
saudara Beracun, sudah berhasil menciptakan semacam ilmu silat baru yang
tak ada bandingannya lagi?"
Auwyang Hong tersenyum. "Apa sih kebisaan dan kebijaksanaannya Auwyang
Hong hingga dapat memperoleh gelaran orang yang ilmu silatnya nomor satu
di kolong langit ini?" ia berkata, "Yang aku maksudkan ialah orang yang
telah memberi pelajaran kepada Kwee Sieheng ini."
Mendengar itu, Ang Cit Kong tertawa. "Adakah kau maksudkan aku si
pengemis bangkotan? Kalau benar, aku mesti memikir-mikirnya dulu!
Kepandaian saudara Yok bertambah sekian hari, kau sendiri, saudara
Berbisa, kau juga makin gagah dan panjang umur, sedang Toan Hongya itu
aku percaya dia juga tidak akan mensia-siakan kepandaiannya, maka aku
rasa, tinggallah aku si pengemis yang terbelakang."
"Tetapi, saudara Cit," berkata Auwyang Hong pula, "Di antara orang-orang
yang pernah memberi pelajaran kepada Kwee Sieheng belum pasti kaulah
yang terlihay….."
"Apa?!" menegaskan Ang Cit Kong. Ia baru mengucap sepatah itu, atau Oey
Yok Su sudah memotong; "Ah, apakah kau maksudkan Loo Boan Tong Ciu Pek
Thong si Bocah Bangkotan yang nakal?" Pertanyaan ini diajukan kepada
Auwyang Hong.
"Benar!" menyahut See Tok cepat. "Karena Loo Boan Tong sudah pandai ilmu
Kiu Im Cin-keng, maka kita si Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay,
kita semua bukan lagi tandingan dia!"
"Hal itu belumlah pasti," berkata Tong Shia, "Kitab itu mati, ilmu silat itu hidup!"
Senang See Tok mendengar perkataan tuan rumah. Mulanya ia tidak puas,
ialah ketika Tong Shia mencoba menyimpangi pertanyaannya kepada Kwee
Ceng tentang di mana adanya Ciu Pek Thong. Sekarang muncullah pula
soalnya Ciu Pek Thong itu. Karena ia pandai bersandiwara, ia tidak
menyatakan sesuatu pada wajahnya, bahkan sengaja dengan tawar ia kata;
"Ilmu silat Coan Cin Pay lihay sekali, kita semua pernah belajar kenal
dengannya, maka kalau Loo Boan Tong ditambah dengan Kiu Im Cin-keng,
umpama kata Ong Tiong Yang hidup pula, belum tentu ia sanggup menandingi
adik seperguruannya ini, jangan kata pula kita si segala tua bangka!"
"Mungkin Loo Boan Tong lihay melebihkan aku tetapi tidak nanti
melebihkan kau, saudara Hong," berkata Oey Yok Su. Ia tidak mau
menyebutnya "Saudara Beracun" seperti Ang Cit Kkong. "Inilah aku tahu
pasti."
"Jangan kau merendah, saudara Yok," berkata See Tok. "Kita berdua adalah
setengah kati sama dengan delapan tail. Kalau kau membilang seperti
katamu barusan, maka teranglah ilmu silatnya Ciu Pek Thong tak dapat
melampaui kau! Ini, aku khawatir….."
Ia lantas berhenti, kepalanya digelengkan berulang-ulang. Oey Yok Su
bersenyum. "Lihat saja di Hoa San lain tahun!" katanya. "Di sana saudara
Hong akan mengetahuinya sendiri!"
Auwyang Hong mengawasi, ia mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Saudara Yok, ilmu silatmu telah lama aku mengaguminya," katanya, "Akan
tetapi jikalau kau bilang kau dapat mengalahkan Ciu Pek Thong, sungguh
aku sangsi. Jangan kau memandang enteng kepada si tua bangka berandalan
itu…"
Biar bagaimana, Oey Yok Su kena dipancing panas hatinya oleh See Tok.
"Kau tahu, Loo Boan Tong berada di pulau Tho Hoa To ini!" katanya
nyaring. "Sudah lima belas tahun lamanya aku mengurung dia!"
Mendengar itu, dua-dua Auwyang Hong dan Ang Cit Kong terperanjat. Hanya
si Bisa dari Barat sudah lantas tertawa bergelak. "Saudara Yok gemar
sekali bergurau," katanya.
"Mari!" berkata Oey Yok Su yang tidak sudi berbicara lebih banyak lagi,
tangannya pun menunjuk, bahkan dia berjalan di depan, dengan tindakan
yang cepat, hingga bagaikan terbang dia jalan molos di rimba bambu.
Ang Cit Kong mengikuti. Sebelah tangannya menuntun Kwee Ceng, sebelah
yang lain Oey Yong. Auwyang Hong pun menarik tangan keponakannya. Semua
mereka menggunai ilmu mereka meringankan tubuh. Hanya sebentar, mereka
sudah sampai di muka gua di mana Ciu Pek Thong dikurung, hanya setibanya
disitu, Oey Yok Su menperdengarkan suara kaget. Ia telah mendapat lihat
rusaknya kawat-kawat kurungan di muka gua.
Dengan satu enjotannya ia lompat, ke muka gua sekali, yang segalanya
sunyi dan tak nampak sekalipun bayangannya si bocah bangkotan yang lucu
itu. Dengan kaki kirinya, Tong Shia menginjak tanah, atau tiba-tiba ia
terperanjat. Ia merasakan kakinya itu seperti menginjak barang lembek
dan tanah kosong. Tapi ia telah sempurna ilmunya enteng tubuh, maka
lekas menyusullah kaki kanannya, hingga ia dapat berlompat, masuk ke
dalam gua.
Sekarang ia melihat dengan tegas kosongnya gua itu. Tapi yang hebat
adalah kakinya kembali menginjak tanah lembek dan kosong seperti tadi.
Tentu sekali, tidak dapat ia menaruh kakinya. Maka ia lantas mengasih ke
luar serulingnya, menggunai itu untuk menekan dan menolak tembok gua,
dengan begitu tubuhnya pun melesat ke luar.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bersorak memuji menyaksikan indahnya tubuh
yang ringan dari si Sesat dari Timur ini. Tapi ketika Oey Yok Su
menaruh kakinya di luar gua, kakinya itu memperdengarkan satu suara,
sebab kaki itu melesak masuk ke dalam sebuah liang.
Kaget Tong Shia. Ia merasakan kakinya basah atau demak. Kembali ia
mencelat naik. Di waktu itu ia melihat Cit Kong dan Auwyang Hong beramai
telah tiba di muka mulut gua di mana mereka itu menginjak tanah tanpa
kurang suatu apa, karena itu ia lantas turun di samping putrinya. Hampir
di itu waktu, ia mendapat cium bau busuk. Ia menunduk untuk melihat.
Untuk mendongkolnya, ia mendapatkan kedua kakinya penuh dengan kotoran
manusia.
Semua orang menjadi heran, kenapa Oey Yok Su kena orang akali. Dalam
murkanya Oey Yok Su menyambar sebatang cabang pohon, dengan itu ia
menyerang tanah ke barat dan ke timur, akan mencari tahu tanah kosong
semua atau tidak. Habisnya kecuali tiga tempat yang ia injak tadi,
lainnya tanah berisi dan keras. Maka tahulah ia sekarang, ketika Ciu pek
Thong meloloskan diri, dia sudah menginjak tanah dengan hebat, membuat
tiga liang itu, habis mana, semua ketiga liang dipakai jongkok untuk
membuang kotoran dari dalam perutnya….
Dengan penasaran, Oey Yok Su bertindak masuk pula ke dalam gua. Tidak
ada barang lainnya di situ kecuali beberapa botol dan mangkok. Hanya di
tembok terlihat huruf-huruf yang samar-samar. Auwyang Hong tertawa di
dalam hati menyaksikan Tong Shia "terjebak" itu, tetapi sekarang,
melihat orang memperhatikan tembok, ia heran, maka ia bertindak
mendekati hingga dekat sekali. Di tembok gua itu tertampak ukiran
huruf-huruf yang berbunyi: "Oey Lao Shia! Kau telah menghajar patah
kedua kakiku, kau sudah mengurung aku lima belas tahun di dalam gua ini,
sebenarnya aku pun mesti menghajar patah juga kedua kakimu, baru aku
puas, tetapi kemudian, setelah aku memikir masak-masak, sukalah aku
memberi ampun padamu, dan urusan kita boleh disudahi saja. Hanya dengan
ini aku menyuguhkan kau tumpukan-tumpukan besar dari kotoran serta
beberapa botol air kencing. Silahkan kau memakainya. Silahkan….!"
Di bawah itu ada diletaki daun, hingga empat huruf ukiran itu menjadi
ketutupan. Oey Yok Su ingin tahu, ia pegang daun itu, untuk diangkat.
Dibawah daun itu ada sehelai benang, karena daun diangkat, benang itu
kena terpegang dan ketarik. Mendadak saja terdengar suara di atasan
kepala mereka. Oey Yok Su sadar, segera ia berlompat menyingkir ke kiri.
Auwyang Hong, si licik sudah lantas turut melompat, ke kanan. Hanya
berbareng dengan itu, terdengarlah suara nyaring di atasan kepala
mereka, dari sana jatuh beberapa botol yang mengeluarkan air, maka juga
mereka lantas kena tersiram, hingga kepala mereka basah dan bau air
kencing.
Menyaksikan itu Ang Cit Kong tertawa berkakakan. "Sungguh harum! Sungguh harum!" katanya.
Oey Yok Su murka dan mendongkol sekali sehingga ia tidak dapat tidak
mementang mulutnya untuk mencaci. See Tok juga sangat mendongkol tetapi
ia pandai bersandiwara, ia tidak mengutarakan kemurkaannya pada
parasnya, sebaliknya ia tertawa, seperti juga ia pandang itulah lelucon.
Oey Yong sudah lantas lari pulang, untuk mengambil pakaian untuk ayahnya
menukar pakaiannya yang basah dan bau itu. Ia pun membawa sepotong baju
lain, baju ayahnya juga, yang mana ia serahkan pada Auwyang Hong.
Selesai dandan, kembali Oey Yok Su masuk ke dalam gua. Ia memeriksa
dengan teliti. Sekarang tidak ada lagi lain jebakan. Ia periksa pula
huruf-huruf tadi, di bagian yang ditutupi daun, di situ ia melihat dua
baris huruf-huruf yang halus, bunyinya: Daun ini jangan sekali-kali
diangkat atau ditarik, sebab di atas ini ada air kencing yang bau yang
dapat mengalir turun. Hati-hatilah, hati-hati, jangan menganggap bahwa
kau telah tidak diberi ingat terlebih dulu!"
Oey Yok Su mendongkol berbareng geli di hati. Sebab ia telah menjadi
korban dari keteledorannya sendiri. Tapi sekarang ini ia ingat suatu
apa, ia seperti baru sadar. Ia ingat, di waktu ia kena kesiram, ia
merasakan air kencing itu masih rada hangat. Itu artinya orang pergi
belum lama. Maka ia lantas lari ke luar seraya berkata. "Loo Boan Tong
pergi belum jauh, mari kita susul padanya!"
Kwee Ceng terkejut. Ia ketahui dengan baik, apabila mereka bertemu,
pasti mereka bertempur. Hendak ia mencegah mertuanya. Tapi sudah kasep,
Oey Yok Su sudah kabur ke timur. Orang semua tahu jalanan di pulau ini
luar biasa. Mereka menyusul dengan lari sekeras-kerasnya. Kalau mereka
ketinggalan jauh, mereka bisa mendapat susah.
Mereka berlari-lari tidak lama atau mereka tampak Ciu Pek Thong di
sebelah depan mereka, jalannya perlahan-lahan. Oey Yok Su menjejak
tanah, tubuhnya lantas mencelat pesat dan jauh. Maka di lain saat ia
sudah tiba di belakangnya orang kurungannya itu, sebelah tangannya
dipakai untuk menyambar ke arah leher.
Ciu Pek Thong rupanya ketahui datangnya serangan, ia berkelit ke kiri
seraya membalik tubuhnya, sembari memandang penyerangnya itu dan
berkata: "Oh Oey Lao Shia yang harum semerbak!"
Sambarannya Oey Yok Su ini adalah sambaran yang ia telah latih selama
beberapa puluh tahun, sebatnya luar biasa, akan tetapi Ciu Pek Thong
dapat mengegosnya secara demikian sederhana, hatinya menjadi terkesiap.
Ia tidak menyerang terlebih jauh, hanya ia mengawasi orang. Ia lantas
menjadi heran. Ternyata kedua tangannya Ciu pek Thong terikat di depan
dadanya, akan tetapi muka orang tersungging senyuman, sikapnya
menyatakan orang bergembira sekali, saking puasnya hati.
Kwee Ceng sudah lantas maju setindak. "Toako!" ia memanggil. "Sekarang
ini tocu telah menjadi mertuaku, maka kita pun menjadi orang sendiri!"
Pek Thong menghela napas. "Ah, mengapakah kau tidak dengar kataku?"
katanya menyesal. "Oey Lao Shia ini sangat licik dan aneh, maka itu
bisakah anak perempuannya satu anak yang boleh dibuat sahabat olehmu?
Nanti, seumur hidupmu, akan kau merasakan kepahitan…."
Oey Yong maju mendekati, ia tertawa. "Ciu Toako, lihat itu di belakangmu, siapa yang datang?" ia berkata.
Pek Thong segera menoleh, ia tidak melihat siapa juga. Justru itu
tangannya si nona melayang, menimpuk dengan baju bau dari ayahnya yang
ia telah gumpal, mengarah punggung orang. Loo Boan Tong benar-benar
lihay. Ia mendengar suara angin, segera ia berkelit. Maka bungkusan itu
jatuh ke tanah.
Melihat itu Pek Thong tertawa berlenggak-lenggak. "Oey Lao Shia," ia
berkata, "Sudah kau kurung aku lamanya lima belas tahun, sudah kau siksa
aku lima belas tahun juga, tetapi aku cuma membikin kau menginjak
kotoran dua kali dan membajur kepalamu satu kali, kalau sekarang kita
menyudahinya, apakah itu tidak pantas?"
Oey Yok Su tidak menjawab, ia hanya menanya; "Kau telah merusak
kawat-kawat kurunganmu, kenapa sekarang kau mengikat kedua tanganmu?"
Inilah hal yang membikin ia tidak mengerti. Pek Thong tertawa pula.
"Dalam hal ini aku mempunyai alasanku sendiri," sahutnya singkat.
Ketika Ciu Pek Thong baru-baru dikurung di dalam gua, beberapa kali
hendak ia menerjang ke luar untuk mengadu jiwa dengan Oey Yok Su, ia
seperti sudah tidak dapat menahan sabar, hanya kemudian, ia mendapat
satu pikiran baru. Ia pun sangsi akan dapat mengalahkan tocu dari Tho
Hoa To itu. Lantas ia mencari kawat dengan apa ia membuat pagar di depan
guanya, untuk dengan itu mengurung dirinya sendiri, kawat itu rapat
seperti sarang laba-laba. Ia pun mengendalikan dirinya supaya ia jangan
menuruti saja hatinya yang panas. Ia anggap beradat berangasan dapat
merugikan diri sendiri.
Sampai itu hari ia bertemu dengan Kwee Ceng dan mendengar perkataannya
ini anak muda, yang ia angkat jadi saudaranya, ia mendapat ilham. Maka
ia lantas menciptakan ilmu silatnya itu berkelahi seorang diri, kemudian
bersama Kwee Ceng, ia bertempur dengan menggunai empat tangan mereka
tetapi mereka memecah hati, hingga mereka jadi seperti empat orang… Maka
juga sekarang, walaupun Oey Yok Su sangat lihay, tidak dapat ia melawan
Pek Thong, yang bertubuh satu tetapi seperti terdiri dari dua Pek
Thong.
Setelah itu, Pek Thong memikirkan daya untuk membalas sakit hati pada
Oey Lao Shia, yang sudah menyiksa padanya. Seperginya Kwee Ceng, ia
duduk bersila di dalam guanya itu, dengan berdiam diri secara begitu, ia
lantas teringat pada pengalamannya puluhan tahun, pengalaman senang dan
susah, budi dan permusuhan, cinta dan benci. Ia tengah melayangkan
pikirannya itu tatkala mendengar suara seruling serta suara ceng
dicampur sama siulan panjang. Mendadak semangatnya menjadi terbangun
hampir tak dapat ia menguasai diri. Ia menjadi murang-maring. Tapi pun
ia lantas ingat pula sesuatu.
"Adik angkatku itu kalah ilmunya dengan aku tetapi kenapa ia tidak dapat
tergoda bujukannya seruling Oey Lao Shia?" demikian ia berpikir.
Tadinya ia belum mengetahuinya sifatnya Kwee Ceng, setelah pergaulannya
sekian lama, ia bagaikan sadar. "Ya,ya!" mengertilah ia. "Dia sangat
jujur dan polos, dia tidak punya pikiran sesat, tetapi aku, yang sudah
berusia tinggi, masih aku berkutat memikir daya upaya untuk membalas
dendaman! Kenapa aku menjadi begini cupat pikiran? Sungguh lucu!"
Pek Thong bukan penganut Coan Cin Kauw tetapi ia toh mengenal baik
tujuan partai itu, yang bersikap tenang dan "tak berbuat sesuatu"
(bu-wi), maka itu ia gampang sadar, pikirannya gampang terbuka.
Begitulah sambil tertawa lama, ia berbangkit bangun. Ia melihat cuaca
terang, mega putih memain di atas langit, dengan begitu hatinya pun
menjadi terang.
Hanya sekejap itu, hilang ingatannya yang Oey Lao Shia sudah menyiksa ia
selama limabelas tahun, ia pandang itu urusan tetek bengek. Tetapi
dasar ia berandalan dan jenaka, ia toh berpikir: "Kali ini aku pergi,
tidak nanti aku datang pula ke pulau Tho Hoa To ini, jikalau aku tidak
meninggalkan sesuatu untuk Oey Lao Shia, si tua bangka sesat itu, cara
bagaimana nanti dia dapat mengingat hari kemudiannya?"
Segera setelah itu ia mendapat pikiran untuk mempermainkan pemilik Tho
Hoa To itu. Dengan gembira ia membuat liang, ia menyetor kotoran
perutnya di situ. Ia pun mengisikan beberapa botol dengan air
kencingnya, yang ia gantung dengan sehelai benang, ia membuat pesawat
rahasianya. Dengan mengungkit batu, ia meninggalkan surat peringatan
itu. Habis itu baru ia pergi ke luar dari gua.
Baru jalan beberapa tindak, kembali ia ingat apa-apa. "Jalanan di Tho
Hoa To ini sangat aneh," demikian pikirannya, "Kalau nanti Oey Lao Shia
ketahui siang-siang buronku, dia dapat menyusul aku. Haha, Oey Lao Shia,
jikalau kau hendak berkelahi, tidak nanti kau sanggup melawan aku….”
Gembira orang tua ini, mendadak ia mengibas tangannya ke arah sebuah
pohon kecil di sampingnya, lalu terdengar suara ambruk keras, ialah
suara robohnya pohon itu yang terpapas kutung. Ia menjadi kaget
sendirinya. "Ah, bagaimana aku maju begini pesat?" ia tanya dirinya
sendiri. Ia menjadi berdiam. Tidak lama, ia menyerang pula pohon di
sampingnya, sampai beberapa pohon dan semua itu tertebas kutung, tanpa
ia menggunai senjata tajam. Ia heran bukan main, hingga ia berseru:
"Bukankah ini ilmu Kiu Im Cin-keng? Kapankah aku melatihnya?"
Pek Thong menaati pesan Ong Tiong Yang, kakak seperguruannya itu, ia
tidak berani mempelajari bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng, akan tetapi
untuk mengajari Kwee Ceng, tanpa merasa ia seperti berlatih sendirinya.
Di luar dugaannya ia telah berhasil. Saking kaget, ia berteriak-teriak
seorang diri: "Celaka! Celaka! Ini dia yang dibilang setan masuk ke
dalam tubuh, yang tak dapat di usir lagi!"
Maka ia lantas mengambil beberapa lembar babakan pohon yang ulet, ia
membuatnya itu menjadi tambang, lalu dengan bantuan mulutnya, ia
mengikat sendiri kedua tangannya. Di dalam hatinya ia berjanji:
"Semenjak ini hari, jikalau aku tidak dapat melupakan bunyinya kitab
itu, seumurku tidak akan aku berkelahi sama siapa juga! Biarnya Oey Lao
Shia dapat menyandak aku, aku tidak bakal membalas, supaya aku tidak
melanggar pesan suheng…!"
Sudah tentu Oey Yok Su tidak ketahui janjinya Pek Thong kepada dirinya
sendiri itu, ia menyangka si tua bangka jenaka ini lagi bergurau. Maka
itu ia berkata, memperkenalkan: "Loo Boan Tong! Inilah saudara Auwyang,
yang kau telah kenal….dan ini…."
Belum lagi habis Oey Lao Shia berbicara, Ciu Pek Thong sudah jalan
mengitari mereka, ia mencium pada tubuh setiap orang, kemudian ia
berkata sambil tertawa: "Inilah tentunya si pengemis tua Ang Cit Kong,
inilah aku dapat menerkanya! Sungguh Thian maha adil, maka juga air
kencing cuma membajur Tong Shia serta See Tok berdua saja! Saudara
Auwyang, tahun dulu itu pernah kau menghajar aku dengan tanganmu,
sekarang aku membalasnya dengan banjuran air kencingku, dengan begitu
impaslah kita, tidak ada salah satu yang rugi!"
Auwyang Hong tersenyum, ia tidak menjawab, hanya ia berbisik kepada Oey
Yok Su. "Saudara Yok, orang ini sangat lincah, terang sudah
kepandaiannya berada di atasan kita, maka itu lebih baik kita jangan
ganggu dia."
Oey Yok Su tapinya berpikir; "Kita sudah tidak bertemu lamanya dua puluh
tahun, mana kau ketahui kemajuanku tidak dapat melayani dia?" Maka
terus ia berkata kepada Ciu Pek Thong: "Pek Thong, telah aku bilang
padamu, asal kau mengajari aku Kiu Im Cin-keng, habis aku menyembahyangi
istriku almarhum, akan aku merdekakan kau. Sekarang kau hendak pergi ke
mana?"
"Sudah bosan aku berdiam di pulau ini, hendak aku pergi pesiar," menyahut Pek Thong.
Oey Yok Su mengulurkan tangannya. "Mana kitab itu?" dia minta.
"Toh sudah dari siang-siang aku memberikannya pada kau," sahut Pek Thong.
"Kau ngaco belo! Kapan kau memberikannya?"
Pek Thong tertawa. "Kwee Ceng kan baba mantumu, bukan?" dia balik
menanya. "Apa yang menjadi kepunyaannya, bukankah menjadi kepunyaanmu
juga? Aku telah ajari dia Kiu Im Cin-keng dari kepala sampai buntut, apa
itu bukan sama saja seperti aku mengajari kau sendiri?"
Kwee Ceng terkejut. "Toako!" tanyanya. "Benarkah itu Kiu Im Cin-keng?"
Ciu Pek Thong tertawa berkakakan. "Mustahilkah yang palsu?" ia membaliki.
Oey Yok Su tetap heran. "Kitab bagian atas memang ada pada kau," ia berkata, "Habis darimana kau dapatinya yang bagian bawah?"
Lagi-lagi Pek Thong tertawa. "Bukankah itu telah diberikan kepadaku oleh tangannya baba mantumu sendiri?" ia menanya pula.
Panas hatinya Tong Shia, ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, matanya
tajam. Ia telah kata dalam hatinya: "Kwee Ceng bocah cilik, kau telah
mempermainkan aku! Bukankah Bwee Tiauw Hong, si buta sampai sekarang
masih berkutat mencari kitab itu?" Tapi lekas ia menoleh pula pada Pek
Thong seraya berkata: "Aku menghendaki kitab yang tulen!"
Pek Thong tidak menyahuti, ia hanya menghadapi Kwee Ceng. "Saudara, coba
kau keluarkan kitab di dalam sakuku ini," ia berkata kepada adik
angkatnya itu. Kwee Ceng menuruti, ia merogoh ke sakunya kakak angkat
itu. Ia mengeluarkan sejilid buku tebal kira-kira setengah dim.
Pek Thong mengulur tangannya menyambuti kitab itu. Sekarang ia berpaling
kepada Oey Yok Su. "Inilah kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen bagian
atas," ia berkata. "Kitab bagian bawahnya pun terselip di dalam ini.
Jikalau kau ada mempunyai kepandaian, nah kau ambillah!"
"Kepandaian apa aku harus gunai?" tanya Oey Yok Su.
Pek Thong menjepit buku dengan kedua tangannya, lalu ia memiringkan
kepalanya. "Nanti aku pikir dulu!" sahutnya. Ia terus berdiam sekian
lama. Kemudian ia tertawa dan berkata: "Kepandaiannya si tukang tempel!"
"Apa?!" Oey Yok Su menegaskan, heran.
Pek Thong tidak menyahuti, ia hanya angkat kedua tangannya ke atas
kepalanya, atas mana maka berterbanganlah banyak hancuran kertas,
bagaikan kupu-kupu berselibaran, mengikuti tiupan angin, berhamburan ke
empat penjuru, maka hanya sekejap habis semuanya buyar, entah ke mana
parannya….
Oey Yok Su murka berbareng kaget. Ia tidak menyangka begini hebat tenaga
dalam dari Pek Thong, yang sanggup menjepit hancur kitab itu secara
demikian hebat. "Hai, bocah bangkotan yang nakal, kau mempermainkan
aku!" dia membentak. "Hari ini jangan kau harap dapat berlalu dari
pulauku ini!" Dan ia berlompat maju dengan serangannya.
Tubuhnya Pek Thong berkelit, lalu terhuyung ke kiri dan kanan, dengan
begitu lewatlah serangannya Oey Yok Su di samping tubuhnya itu. Tong
Shia heran yang orang tidak melakukan pembalasan. Ia pun heran untuk
caranya orang mengegos tubuh itu. Di lain pihak, ia pun sadar. Maka
bertanyalah ia kepada dirinya sendiri. "Aku Oey Yok Su, apakah dapat aku
melayani seorang yang kedua tangannya diikat?" Maka segera ia berlompat
mundur tiga tindak.
"Loo Boan Tong, kakimu sudah sembuh atau belum?" ia menanya nyaring.
"Aku terpaksa mesti berbuat tak pantas terhadapmu! Lekas kau putuskan
ikatan pada kedua tanganmu itu, hendak aku belajar kenal dengan kau
punya Kiu Im Cin-keng!"
Pek Thong berlaku sabar ketika ia menyahuti: "Tidak hendak aku mendustai
kau. Aku ada mempunyai kesulitanku sendiri yang sukar untuk aku
memberitahukannya. Ikatan pada tanganku ini, biar bagaimana juga, tidak
dapat aku meloloskannya."
"Biarlah aku yang memutuskannya!" kata Oey Yok Su. Dia maju, dia ulur tangannya.
Mendadak saja Pek Thong menjerit-jerit: "Tolong! Tolong!" Tapi di mulut
ia berkoakan, tubuhnya sendiri lompat berjumpalitan, jatuh ke tanah,
terus menggelinding beberapa gulingan.
Kwee Ceng kaget. "Gakhu!" ia memanggil mertuanya. Ia pun maju, niatnya untuk mencegah.
Ang Cit Kong menarik tangan pemuda itu. "Jangan berlaku tolol!" katanya perlahan.
Kwee Ceng berdiam, matanya mengawasi Ciu Pek Thong. Si tua bangka jenaka
dan berandalan itu bergulingan terus, bukan main lincahnya gerakannya
itu. Oey Yok Su maju terus, dia memukul, dia menendang, tetapi tidak
pernah dia mengenai sasarannya.
"Perhatikan gerak-geriknya!" Ang Cit Kong berbisik pula kepada muridnya.
Kwee Ceng terus memandang pula. Segera ia menginsyafi kepandaian
bergulingan dari Ciu Pek Thong itu. Itulah dia tipu silat yang di dalam
kitab disebutnya "Coa heng lie hoan" atau "Ular menggeleser, rase
jumpalitan". Maka ia memasang matanya terus, ia memperhatikannya. Kapan
ia menyaksikan di bagian yang indah, tanpa merasa ia berseru: "Bagus!"
Oey Yok Su menjadi penasaran sekali yang pelbagai serangannya itu
menemui kegagalan. Hatinya semakin panas, maka itu ia menyerang makin
hebat. Dan hebatlah kesudahannya.
Tubuh Ciu Pek Thong tidak terkena pukulan tetapi bajunya saban-saban
robek sepotong demi sepotong, bahkan rambut dan kumisnya juga ada yang
terputuskan serangan dahsyat tocu dari Tho Hoa To. Lama-lama ia pun
menginsyafi bahaya yang mengancamnya. Salah sedikit saja, ia bisa
celaka, tidak mati tentu terluka parah. Maka di akhirnya ia mengerahkan
tenaganya, ia membuat ikatannya puus, habis mana dengan tangan kiri ia
menangkis serangan, dengan tangan kanan ia meraba ke punggungnya, akan
menangkap seekor tuma, yang ia terus memasuki ke dalam mulutnya untuk
digigit, menyusul mana ia berteriak-teriak: "Aduh! Aduh! Gatal sekali!"
Oey Yok Su terkejut juga di saat sangat terancam itu Pek Thong masih
sanggup menangkap tuma dan terus bergurau, tetapi karena ia sangat
penasaran, ia tidak menghentikan penyerangan, bahkan tiga kali beruntun
ia menggunai pukulan-pukulan lawan.
Segera terdengarlah suara Ciu Pek Thong: "Dengan sebelah tanganku tidak
dapat aku menangkis, mesti aku pakai dua-dua tanganku berbareng!"
kata-kata ini disusuli sama gerakan dari kedua tangannya; Tangan kanan
dipakai menangkis, tangan kiri menyambar kopiah lawan!
Di dalam halnya tenaga dalam, sebenarnya Ciu Pek Thong kalah dari Oey
Yok Su, maka juga tempo Tong Shia menangkis tangan kanan itu, dia lantas
saja terhuyung, dia roboh setelah beberapa tindak. Tapi ia pun sebat,
tangan kirinya sudah berhasil menyambar kopiahnya pemilik dari Tho Hoa
To itu!
Oey Yok Su berlompat maju, dalam murkanya ia menyerang dengan kedua
tangannya. "Gunai dua-dua tanganmu!" dia berseru. "Sebelah tangan saja
tak cukup!"
"Tidak bisa!" Pek Thong pun berseru. "Cukup dengan satu tangan!"
Oey Yok Su bertambah gusar. "Baiklah!" serunya sengit. "Kau coba saja!"
Ia melanjuti menyerang dengan dua tangannya itu, menghajar sebelah
tangan lawan, yang dipakai menangkis. Begitu kedua tangan bentrok,
begitu terdengar suara keras. Begitu lekas juga Ciu Pek Thong jatuh
terduduk, kedua matanya ditutup rapat. Melihat begitu, Oey Yok Su tidak
menyerang pula.
Cuma lewat sedetik, Ciu Pek Thong mengasih dengar satu suara, dari
mulutnya muncrat darah hidup, mukanya pun menjadi pucat paci. Semua
orang heran dan tercengang. Mungkin Pek Thong tidak menang, tetapi belum
tentu dia kalah. Maka, kenapa dia tidak hendak menggunai dua-dua
tangannya?
Habis muntah darah, Pek Thong berbangkit dengan perlahan-lahan. "Aku
mempelajari Kiu Im Cin-keng di luar tahuku, tetapi meski pun demikian
aku telah melanggar juga pesan kakak seperguruanku. Jikalau aku
menggunai kedua-dua tanganku, Oey Lao Shia, pasti tidak nanti kau
sanggup melawan aku."
Oey Yok Su percaya kata-kata itu, ia membungkam. Ia pun merasa tidak
enak sendirinya. Bukankah tanpa sebab ia sudah mengurung orang lima
belas tahun di pulaunya itu dan sekarang ia melukakannya? Maka itu ia
merogoh sakunya mengeluarkan satu kotak kumala, dari dalam situ ia
mengambil tiga butir obat pulung warna merah, yang mana terus ia
angsurkan kepada lawannya itu. Ia berkata: "Pek Thong, obat luka di
kolong langit ini tidak ada yang melebihkan ini pil Siauw-hun-tan dari
Tho Hoa To. Kau makan ini setiap tujuh hari sekali, lukamu bakal tidak
mendatangkan bahaya. Sekarang, mari aku antar kau ke luar dari pulauku
ini."
Pek Thong mengangguk. Ia sambuti pil itu, satu di antaranya ia lantas
telan. Habis itu ia meluruskan napasnya. Kwee Ceng sudah lantas
berjongkok di samping toako ini, untuk menggendongnya, setelah mana ia
berjalan mengikuti mertuanya hingga di tepi laut. Di muara tertampak
enam atau tujuh buah perahu, besar dan kecil.
Auwyang Hong, yang mengikuti berkata kepada Oey Yok Su: "Saudara Yok,
tidak usah kau menggunai lain perahu untuk mengantarkan Ciu Toako ke
luar dari pulau ini, aku minta dia suka naik perahuku saja."
"Dengan begitu aku membikin kau berabe, saudara Hong", menyahut Oey Yok
Su menerima tawaran. Ia lantas memberi tanda kepada bujang gagu, maka
bujang itu pergi masuk ke dalam sebuah perahu besar dari mana dia
membawa ke luar sebuah penampan yang berisikan uang goanpo emas.
"Pek Thong, sedikit emas ini pergilah kau bawa untuk kau pakai," berkata
Oey Yok Su pada Loo Boan Tong. "Kau benar terlebih lihay dari Oey Lao
Shia, aku takluk padamu!"
Pek Thong meram sejak tadi, perlahan-lahan ia membuka matanya. Kembali
ia perlihatkan kenakalannya. Ia melihat ke perahunya Auwyang Hong, di
kepala perahu itu dipancar bendera putih di mana ada di sulam dua ekor
ular-ularan. Menyaksikan itu ia tidak senang.
Auwyang Hong menepuk tangannya, terus ia mengeluarkan seruling kayu yang
ia tiup beberapa kali. Tidak lama dari situ, dari dalam rimba terdengar
suara berisik sekali. Lalu terlihat dua bujang gagu memimpin beberapa
pria berpakaian putih ke luar dari rimba, mereka itu menggiring
rombangan ularnya. Dengan menggeleser di beberapa lembar papan, yang
dipasang di antara perahu dan pinggiran, semua binatang berlegot itu
naik ke dalam perahu, berkumpul di dasarnya.
"Aku tidak mau duduk di perahunya See Tok!" berkata Pek Thong. "Aku takut ular!"
Oey Yok Su tersenyum. "Kalau begitu, kau naiklah perahu itu!" ia kata, menunjuk ke sebuah perahu kecil di samping.
Ciu Pek Thong menggeleng kepala. "Aku tidak sudi duduk di perahu kecil,
aku menghendaki yang besar!" katanya sambil tangannya menunjuk.
Oey Yok Su agaknya terkejut. "Pek Thong, perahu itu sudah rusak, belum
dibetulkan!" ia memberitahu. "Tidak dapat perahu itu dipakai." Orang
semua lihat perahu itu besar dan indah, buntutnya tinggi, catnya yang
kuning emas berkilauan. Terang itu ada sebuah perahu baru, tidak ada
tanda-tandanya rusak.
Pek Thong sudah lantas membawa tingkahnya si bocah cilik. "Tidak, tidak
dapat aku tidak menaiki perahu itu!" katanya bersikeras. "Oey Lao Shia,
mengapa kau begini pelit?"
"Perahu itu perahu sialan," Oey Yok Su berkata, "Siapa menduduki itu,
dia mesti celaka, kalau tidak sakit tentu dapat halangan, maka itu sudah
lama dibiarkan saja tidak dipakai. Siapa bilang aku pelit? Jikalau kau
tidak percaya, sekarang aku nanti bakar untuk kau lihat!" Ia benar-benar
memberi tanda kepada orang-orangnya, maka keempat bujang gagu lantas
menyalakan api bersiap membakar perahu yang indah itu.
Mendadak Ciu Pek Thong menjatuhkan diri duduk di tanah, sambil mencabuti
kumisnya ia menangis menggerung-gerung. Melihat itu, orang semua
terbengong. Cuma Kwee Ceng yang kenal tabiat orang, di dalam hatinya ia
tertawa.
Habis menarik-narik kumisnya, Pek Thong terus bergulingan. Masih ia
menangis. "Aku hendak duduk perahu baru itu! Aku hendak duduk perahu
baru itu!" teriaknya berulang-ulang. Oey Yong lantas lari ke tepi laut,
untuk mencegah si gagu mebakar perahu.
Ang Cit Kong tertawa, dia berkata: "Saudara Yok, aku si pengemis tua
seumurnya sial dangkalan, biarlah aku temani Loo Boan Tong menaiki itu
perahu yang angker. Biarlah kita lawan jahat dengan jahat, biarlah kita
coba bergulat, lihat saja, aku si pengemis tua yang apes atau perahumu
yang angker itu yang benar-benar keramat!"
"Saudara Cit," berkata Oey Yok Su. "Baiklah kau berdiam lagi beberapa hari di sini. Kenapa mesti buru-buru pergi?"
"Pengemis-pengemis besar, yang sedang, yang cilik, semuanya yang ada di
kolong langit ini," menyahuti Ang Cit Kong, "Tak berapa hari lagi bakal
berapat di Gakyang di Ouwlam, untuk mendengari putusanku si pengemis tua
yang hendak memilih ahli waris dari Kay Pang. Coba pikir kalau ada aral
melintang terhadap aku si pengemis tua dan karenanya aku pulang ke
langit, apabila tidak siang-siang aku memilih gantiku, bukankah semua
pengemis menjadi tidak ada pemimpinnya? Maka itu si pengemis tua perlu
lekas-lekas berangkat."
Oey Yok Su menghela napas. "Saudara Cit, kau sungguh baik!" ia berkata.
"Seumur hidupmu, kau senantiasa bekerja untuk lain orang, kau bekerja
tidak hentinya seperti kuda berlari-lari."
Ang Cit Kong tertawa. "Aku si pengemis tua tidak menunggang kuda, kakiku
ini tidak terpisah dari tindakannya," katanya. "Kau keliru! Nyata kau
berputar-putar mendamprat orang! Kalau kakiku adalah kaki kuda, bukankah
aku menjadi binatang?"
Oey Yong tertawa, dia campur bicara. "Suhu, itulah kau sendiri yang mengatakannya, bukan ayahku!" bilangnya.
"Benar, guru tak sebagai ayah!" berkata Ang Cit Kong. "Biarlah besok aku
menikah dengan seorang pengemis perempuan, agar lain tahun aku mendapat
anak perempuan untuk kau lihat!"
Oey Yong bertepuk tangan, bersorak. "Tak ada yang terlebih baik dari pada itu!" serunya.
Auwyang Kongcu melirik kepada nona itu, di antara sinar matahari ia
tampak satu paras yang cantik sekali, kulit yang putih dadu bagaikan
bunga di musim semi, atau sebagai sinar matahari indah di waktu fajar.
Mau atau tidak ia menjadi berdiri menjublak.
Ang Cit Kong sudah lantas mempepayang pada Ciu Pek Thong. "Pek Thong,"
katanya. "Mari aku menemani kau menaiki itu perahu baru! Oey Lao Shia
ada sangat aneh, maka itu kita berdua jangan kita kasih diri kita
diiperdayakan!"
Ciu Pek Thong menjadi sangat girang. "Pengemis tua, kau seorang baik!" katanya gembira. "Baiklah kita mengangkat saudara!"
Belum lagi Cit Kong menjawab, Kwee Ceng sudah datang sama tengah. "Ciu
Toako!" katanya. "Kau sudah angkat saudara denganku, bagaimana sekarang
kau juga hendak mengangkat saudara dengan guruku?"
"Ada apakah halangannya?" Pek Thong tertawa. "Jikalau mertuamu
mengijinkan aku naik perahunya yang baru, hatiku akan menjadi girang
sekali, dengan dia pun suka aku mengangkat saudara!"
Sementara itu Cit Kong telah mencurigai Oey Yok Su. Ia berlaku jenaka
tetapi hatinya berpikir. Kenapa Tong Shia menghalangi orang memakai
perahunya yang besar dan indah itu? Bukankah di situ mesti ada terselip
rahasia? Sebaliknya Ciu Pek Thong berkeras hendak menaiki perahu itu,
apabila ada bahaya, seorang diri tidak nanti Pek Thong dapat membela
dirinya. Bukankah Pek Thong tengah terluka di dalam badan? Maka itu ia
anggap perlulah ia menemani untuk membantu apabila perlu.
"Hm!" Oey Yok Su memperdengarkan suara di hidung. "Kamu berdua lihay,
aku pikir umpama kamu menghadapi bahaya, kamu bisa menyelamatkan diri,
maka itu aku Oey Yok Su berkhawatir berlebih-lebihan. Kwee Sieheng, kau
pun boleh ikut pergi bersama!"
Kwee Ceng terkejut saking herannya. Bukankah aneh mertua itu? Ia suka
diakui sebagai mantu, ia sudah panggil "Ceng-jie" anak Ceng, tetapi
sekarang panggilan itu diubah pula menjadi "sieheng" yang asing. Ia
memandang mertuanya itu. "Gakhu…" katanya.
"Bocah cilik yang termaha!" membentak Oey Yok Su. "Siapakah gakhumu?!
Sejak hari ini, jikalau kau menginjak pula Tho Hoa To setindak, jangan
kau sesalkan aku Oey Yok Su keterlaluan!"
Mendadak ia menyambar punggungnya satu bujang gagu di sampingnya seraya
ia menambahkan: "Inilah contohnya!" Bujang gagu itu sudah dipotong
lidahnya, maka itu waktu ia menjerit, suaranya tidak keruan. Sampokan
itu membuat tubuhnya terpelanting seperti terbang, terlempar ke laut di
dalam mana ia lantas hilang tenggelam. Lebih dulu dari pada itu semua
anggota di dalam tubuhnya itu sudah hancur luluh.
Semua bujang lainnya menjadi kaget dan ketakutan, mereka lantas pada
berlutut. Semua bujang yang ada di Tho Hoa To ini ada bangsa jahat dan
tidak mengenal budi, tentang mereka itu, Oey Yok Su sudah mencari tahu
jelas sekali, maka ia tawan mereka dan dibawa ke pulau, lidah mereka
semua dikutungi dan kupingnya ditusuk hingga menjadi tuli, setelah itu
ia wajibkan mereka melayani padanya. Ia sendiri pernah berkata: "Aku Oey
Yok Su, aku bukannya seorang kuncu. Kaum kangouw menyebut aku Tong
Shia, si Sesat dari Timur, maka dengan sendirinya tak dapat aku bergaul
sama bangsa budiman. Bujang-bujang, semakin ia jahat, semakin tepat
untukku."
Orang menghela napas menyaksikan ketelengasan tocu dari Tho Hoa To ini. Kwee Ceng kaget dan heran, ia lantas menekuk lutut.
"Apakah dari dia yang tak mempuaskanmu?" Ang Cit Kong tanya Tong Shia.
Oey Yok Su tidak menjawab, hanya ia memandang Kwee Ceng dan menanya
dengan bengis: "Bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu, bukankah kau yang
memberikannya kepada Ciu Pek Thong?!"
"Ada sehelai barang yang aku berikan pada Ciu Toako, aku tidak tahu barang apa itu," menyahut Kwee Ceng. "Jikalau aku tahu…."
Bagaikan orang yang tak tahu selatan, yang tak mengenal berat dan
entengnya urusan, Ciu Pek Thong memotong kata-kata adik angkatnya itu.
Hebat kegemarannya bergurau. "Kenapa kau membilangnya tak tahu?"
demikian selaknya. "Bukankah kau telah merampasnya itu dari Bwee Tiauw
Hong dengan tanganmu sendiri? Syukur Oey Yok Su si tua bangka itu tidak
mendapat tahu! Mestinya kau pun telah membilangnya kau telah paham kitab
itu, bahwa selanjutnya di kolong langit ini tidak ada tandinganmu!"
Kwee Ceng kaget bukan main. "Toako!" serunya. "Aku…aku kapannya pernah mengatakannya demikian?"
Ciu Pek Thong mendelik. "Memangnya kau telah mengatakan demikian!" ia memastikan.
Kwee Ceng membaca Kiu Im Cin-keng tanpa mengetahui kitab itulah kitab
ajaib itu. Hal itu memang membuatnya orang tak percaya, maka sekarang
dengan Ciu Pek Thong membebernya, Oey Yok Su menjadi seperti kalap,
hingga ia tak ingat lagi si tua bangka berandalan itu lagi bergurau atau
bukan, ia sebaliknya menganggap orang telah lenyap sikap
kekanak-kanakannya dan tengah berbicara dengan sebenar-benarnya. Ia
lantas saja memberi hormat kepada Pek Thong, Ang Cit Kong dan Auwyang
Hong: "Persilahkan!" katanya.
Habis itu dengan menarik tangan Oey Yong, ia memutar tubuh untuk
mengeloyor pergi. Oey Yong hendak berbicara dengan Kwee Ceng, baru ia
memanggil: "Engko Ceng!" ia sudah ditarik ayahnya beberapa tombak
jauhnya, terus dengan cepat masuk dibawa ke dalam rimba.
Ciu Pek Thong tertawa bergelak, tapi mendadak ia merasakan dadanya
sakit, ia berhenti dengan tiba-tiba. Ia cuma berhenti sebentar, lantas
ia tertawa pula. Ia kata: "Oey Lao Shia telah kena aku jual! Aku
bergurau, dia kira itulah benar-benar!"
Cit Kong menjadi heran. "Jadi benar tadinya Ceng-jie tidak ketahui halnya kitab itu?" ia tegaskan.
"Memang ia tidak tahu!" Pek Thong tertawa. "Dia hanya mengira itu
latihan napas saja. Jikalau dia mengetahuinya lebih dulu, mana dia sudi
belajar padaku? Adikku, kau sekarang telah ingat baik-baik isi kitab,
bukan? Bukankah kau bakal tidak akan melupakannya pula?" Setelah berkata
demikian, Pek Thong tertawa pula, tetapi segera ia berjengkit
kesakitan, wajahnya menyeringai. Lucunya sembari jalan ia tertawa dengan
saban-saban manahan sakitnya…!
"Ah, Loo Boan Tong!" Ang Cit Kong membanting kakinya. "Bagaimana kau masih berguyon saja! Nanti aku bicara sama saudara Yok!"
Ia lari ke dalam rimba ke arah tadi Oey Yok Su berlalu dengan putrinya.
Begitu ia memasuki, ia kehilangan itu ayah dan anak daranya. ia pun
melihat jalan melintang tidak karuan, hingga tak tahu ia mesti mengambil
jurusan yang mana. Semua bujang gagu pun bubar setelah berlalunya
majikan mereka. Maka dengan terpaksa Ang Cit Kong kembali. Mendadak ia
ingat Auwyang Kongcu ada mempunyakan peta Tho Hoa To.
"Auwyang Sieheng," katanya lantas. "Aku minta sukalah kau memberi pinjam petamu sebentar."
Pemuda itu menggeleng kepala. "Tanpa perkenan dari Oey Peehu, siauwtit
tidak berani meminjamkannya kepada lain orang," Auwyang Kongcu menolak.
"Harap Ang Peehu memaafkan aku."
"Hm!" Cit Kong perdengarkan suara dinginnya. Lalu ia kata di dalam
hatinya, "Benar-benar aku tolol! Mengapa aku hendak meminjam peta dari
bocah ini? Dia justru menghendaki sangat supaya Oey Lao Shia membenci
muridku!"
Ketika itu dari dalam rimba terlihat munculnya serombongan orang dengan
seragam putih, yang diantar oleh seorang bujang gagu. Itulah tigapuluh
dua nona-nona tukang menari dari Auwyang Hong dan mereka segera memberi
hormat seraya menekuk lutut kepada Auwyang Hong itu sambil berkata: "Oey
Laoya menitahkan kami turut looya pulang."
Tanpa memandang lagi kepada mereka itu, Auwyang Hong menggeraki
tangannya memberi tanda supaya mereka naik perahu, kemudian ia menoleh
kepada Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong seraya berkata: "Perahunya saudara
Yok itu mungkin benar ada rahasianya, maka itu baiklah kamu legakan
hatimu, nanti perahuku mengikutinya dari belakang, jikalau ada perlunya,
akan aku memberikan bantuanku."
"Siapa kesudian kau berbuat baik kepadaku?" bentak Ciu Pek Thong gusar.
"Aku justru hendak mencoba-coba ada apakah yang aneh pada perahunya Oey
Lao Shia ini! Jikalau kau mengikuti kita, habisnya tidak ada bahaya,
tidak ada bencana, bukankah itu tidak ada artinya?"
Auwyang Hong tidak menjadi gusar, ia bahkan tertawa. "Baiklah!" sahutnya
gembira. "Sampai kita bertemu pula!" Ia memberi hormat, terus ia naik
ke perahunya.
Kwee Ceng sendiri mengawasi dengan mendelong jalanan yang diambil Oey
Yong tadi. "Adikku, mari kita naik perahu!" Ciu Pek Thong mengajak
sambil tertawa. "Hendak aku melihatnya, apakah bisa perahu ini membikin
mampus kita bertiga?"
Lalu dengan sebelah tangan menarik Ang Cit Kong dan sebelah tangan yang
lain menarik adik angkatnya itu, ia bertindak turun ke perahu yang besar
dan indah itu. Di situ ada delapan bujang gagu yang menanti untuk
melayani mereka. Semua mereka itu membungkam.
Melihat mereka itu, Ciu Pek Thong tertawa pula. "Mungkin kalau satu hari
Oey Lao Shia kumat tabiatnya, dia juga bakal mengutungi lidah putrinya!
Kalau itu sampai terjadi maka barulah aku percaya benar dia mempunyai
kepandaian lihay….?"
Kwee Ceng mendengar itu, ia menggigil sendirinya. Memang hebat kalau
benar-benar Oey Yok Su karena gusarnya memotong lidah anaknya.
"Apakah kau takut?" menanya Pek Thong tertawa bergelak-gelak. Tanpa
menanti jawaban, ia memberi tanda kepada si orang-orang gagu itu untuk
mulai memberangkatkan perahu itu. Mereka berlayar mengikuti angin
Selatan.
"Sekarang mari kita periksa ke dasar perahu ada apanya yang aneh!" Cit Kong mengajak.
Pek Thong dan Kwee Ceng menurut, maka itu mereka lantas mulai bekerja.
Mereka mulai dari depan, lalu ke tengah, terus ke belakang. Semuanya
dicat mengkilap. Barang makanan pun lengkap: ada beras, ada daging, dan
sayuran. Sama sekali tidak ada bagian yang mana juga yang mencurigakan.
Ciu Pek Thong menjadi sangat mendongkol. "Oey Lao Shia menipu!"
teriaknya, sengit. "Dia bilang perahunya ini berbahaya, toh bahayanya
tidak ada! Sungguh menyebalkan!"
Cit Kong tapinya tetap curiga. Ia lompat naik ke atas tiang layar, ia
tidak dapatkan apa-apa yang luar biasa. Maka lantas ia memandang jauh ke
laut. Ia menampak hanya burung-burung laut beterbangan, angin
meniup-niup keras, membuatnya gelombang mendampar-dampar tanpa
pangkalnya, seperti nempel langit. Berdiam di atas kapal, ia justru
merasa segar. Ditiup angin, tiga batang layarnya membuatnya perahu
menuju ke Utara.
Ketika Ang Cit Kong berpaling ke belakang, ia mendapatkan kendaraan
airnya Auwyang Hong mengikuti sejarak dua lie, terlihat nyata layarnya
yang putih sulaman dari ular-ularan yang berkepala dua sedang mengulur
lidahnya. Cit Kong lompat turun, kepada anak-anak buah ia memberi tanda
agar perahu diarahkan ke barat laut, ketika jurusan telah diubah, ia
lantas melihat pula ke belakang. Juga perahunya Auwyang Hong turut
berubah, tetap mengikuti.
"Apa perlunya ia mengikuti terus?" Pek Kay menanya dirinya sendiri.
"Benar-benarkah ia bermaksud baik? Si tua bangka beracun itu tidak
biasanya bertabiat demikian baik budi…!"
Apa yang dia pikirkan itu, Cit Kong tidak beritahukan Pek Thong. Ia tahu
tabiat aneh dan aseran dari kawan ini, ia khawatir orang nanti kumat
amarahnya atau tabiat anehnya itu. Ia cuma menitahkan anak buah kapal
kembali mengubah tujuan ke timur lurus.
Karena tujuan diubah, perahu berputar, bersama layar-layarnya kendaraan
ini miring dan menjadi kendor jalannya. Belum lama, lalu tertampak
perahunya Auwyang Hong pun menuju ke timur….
"Bagus juga jikalau kita mengadu ilmu di tengah laut," pikir Cit Kong
kemudian. Ia masuk ke dalam gubuk perahu. Ia tampak Kwee Ceng duduk
menjublak saja, suatu tanda pemuda itu kalut pikirannya.
"Muridku," menegur sang guru, "Mari aku ajarkan kau semacam ilmu
mengemis nasi, jikalau tuan rumah tetap tidak sudi mengamal, kau libat
dia selama tiga hari tiga malam, supaya kau buktikan nanti, dia suka
mengamal atau tidak!"
Pek Thong tertawa mendengar perkataan orang itu. "Jikalau tuan rumah
memelihara anjing galak?" tanyanya. "Jikalau kau tidak pergi, anjing
jahat itu bakal menggigitnya! Habis bagaimana?"
"Tuan rumah yang demikian tidak berperasaan peri kemanusiaan, kalau
malamnya kau santroni dan mencuri sepuasnya hartanya, itulah tidak
melanggar hukum Thian…" kata Cit Kong.
"Adikku," Pek Thong terus menanya Kwee Ceng, "Mengertikah kau maksud
gurumu? Itu berarti dia menganjurkan kau menggerembengi mertuamu itu!
Umpama kata dia tetap tidak hendak menyerahkan putrinya dan bahkan
hendak menghajar kau, maka pergilah kau di waktu malam membawa lari
gadisnya itu!"
Mendengar demikian, mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa. Kemudian ia
mengawasi orang jalan mondar-mandar, sikapnya tak tenang. Ia mendadak
ingat suatu apa. "Toako," ia menanya, "Sekarang kau hendak pergi ke
mana?"
"Tidak ada tujuannya, adikku," Pek Thong menyahut. "Ke mana saja asal pesiar…"
"Aku hendak meminta sesuatu, toako…."
Pek Thong segera menggoyangi tangannya. "Jikalau kau mau minta aku
kembali ke Tho Hoa To untuk membantui kau mencuri istri, itulah tidak
nanti aku lakukan!"! sahutnya.
Merah mukanya Kwee Ceng. "Bukannya itu, toako!" ia menjelaskan. "Aku ingin toako pergi ke Kwie-in Chung di telaga Thay Ouw."
Matanya si orang tua mencelik. "Untuk apakah?" dia menanya.
"Chuncu dari Kwie-in-chung yaitu Liok Seng Hong ada seorang kesatria,"
Kwee Ceng menerangkan. "Dia sebenarnya murid dari mertuaku, karena
kerembet-rembet urusannya Hek Hong Siang Sat, dia dihajar mertuaku itu
hingga kedua kakinya gempor, susah untuk baik kembali. Aku lihat kaki
toako dapat sembuh, maka ingin aku agar toako mengajarkan ia ilmunya
supaya kakinya itu sembuh seperti sediakala!"
"Oh, itulah gampang!" sahut Pek Thong.
Kwee Ceng girang, hendak ia menghaturkan terima kasih, tatkala muncul
suara menjeblaknya pintu, lalu muncul seorang anak buah dengan romannya
pucat saking ketakutan, tapi karena ia tidak dapat bicara, dia cuma bisa
menggerak-geraki tangannya. Menduga mesti terjadi sesuatu, Cit Kong
bertiga berlompat ke luar untuk melihat…
Oey Yong telah diajak pulang, dia terus ditarik hingga ke dalam rumah.
Tentu saja, karena dipaksa ayahnya itu, tidak dapat ia berbicara dengan
Kwee Ceng. Ia menjadi masgul dan dongkol sekali. Terus ia masuk ke dalam
kamarnya, ia menguncikan pintu. Ia menangis dengan perlahan.
Oey Yok Su menyesal juga telah mengusir Kwee Ceng karena ia menuruti
hawa amarahnya, terutama karena ia anggap si anak muda lagi menghadapi
bahaya maut. Hendak ia menghibur gadisnya tetapi Oey Yong tidak
memperdulikannya. Anak ini terus tidak membuka pintu kamarnya, di waktu
santap malam, ia tidak muncul untuk berdahar. Ketika sang ayah menyuruh
bujangnya perempuan membawa makanan naik dan lauknya, ia lemparkan itu
ke lantai hingga tumpah beserakan dan piring mangkoknya pecah hancur.
Keras Oey Yong berpkir. "Ayah akan lakukan apa yang dia ucapkan. Kalau
engko Ceng datang pula ke mari, dia bakal dihajar mati. Kalau aku buron,
di lain hari ayah pun tentu tidak bakal mengasih ampun…. Pula, dengan
membiarkan dia tinggal seorang diri saja, tidakkah ia menjadi kesepian?"
Bukan main berdukanya nona ini. Ia tidak dapat pikiran yang baik.
Ketika beberapa bulan yang lalu ia dimaki ayahnya, itu waktu ia buron
tanpa berpikir lagi, setelah bertemu pula dengan ayahnya itu, ia
mendapatkan rambut ayahnya itu mulai ubanan, hingga baru selang beberapa
bulan, si ayah seperti bertambah puluhan tahun. Melihat itu, ia masgul
sekali, hingga ia bersumpah tidak akan membikin ayah itu berduka pula.
Sekarang? Di luar sangkaannya, ia menghadapi ini kesulitan. Tidak buron,
ia pikirkan Kwee Ceng. Kalau ia buron, ia berati ayahnya…. Maka ia
menangis sambil mendekam di pembaringan.
"Coba ibu masih hidup, tentulah ibu dapat mengambil putusan untukku….
Tidak nanti ibu membiarkan aku bersusah hati begini…" Begitu ia
berpikir, mengingat ibunya yang sudah lama meninggalkan dunia fana ini.
Ingat ibunya itu, ia menjadi terlebih sedih. Ia berbangkit, ia membuka
pintu, terus ia pergi ke thia, ruang depan.
Pintu rumahnya Oey Yok Su di pulau Tho Hoa To ini ada dipasang seperti
untuk main-main saja. Pintu besarnya siang atau malam dipentang
lebar-lebar, maka itu dengan tindakan perlahan, Oey Yong bisa ke luar
terus. Di luar pintu ia melihat bintang-bintang di langit. Kembali ia
berpikir keras.
"Tentulah sekarang engko Ceng sudah terpisah beberapa puluh lie dari
sini," pikirnya. "Entah sampai kapan aku bakal dapat bertemu pula
dengannya…." Ia menghela napas, ia menepas air mata dengan ujung
bajunya. Lalu ia bertindak ke dalam pohon-pohon bunga. Ia menyingkap
cabang-cabang, ia mengebut-ngebut daun-daun, sampai ia berada di depan
kuburan ibunya.
Di depan kuburan itu tumbuh pelbagai macam pohon bunga, yang di empat
musim berbunga bergantian. Semua itu ada bunga-bunga pilihan dan ditanam
Oey Yok Su sendiri. Kecuali harum bunga, dipandang di antara sinar
rembulan, bunganya sendiri pun permai indah.
Oey Yong menolak batu nisan, ke kiri tiga kali, ke kanan tiga kali juga.
Lalu ia menarik ke depan. Dengan perlahan-lahan batu itu berkisar,
memperlihatkan sebuah liang atau lorong di dalam tanah. Ia bertindak ke
dalam lorong itu. Ia membelok tiga kali. Kembali ia membuka pintu
rahasia, yang terbuat dari batu. Maka tibalah ia di dalam, di kuburan
dari ibunya yang pekarangannya lebar. Ia menyalakan api, untuk memasang
pelita di muka kuburan sekali.
Pintu kuburan semuanya telah tertutup sendirinya. Maka Oey Yong berada
seorang diri. Ia memandang gambar ibunya, yang dilukis oleh ayahnya
sendiri. Ia berpikir keras. "Seumurku belum pernah aku melihat ibuku,"
pikirnya. "Kalau nanti aku sudah mati, bisakah aku bertemu dengannya?
Bisakah ibu masih begini muda seperti gambar ini, begini cantik? Di mana
sekarang adanya ibu? Di atas langit atau di bawah langit? Apakah ibu
masih di dalam pekarangan yang luas ini? Baiklah aku berdiam di sini
untuk selama-lamanya, untuk menemani ibu…."
Di tembok di dalam liang kubur ini ada sebuah meja, di atas mana
diletaki pelbagai macam batu permata yang luar biasa, tidak ada satu
juga yang tidak indah. Semua itu dikumpulkan oleh Oey Yok Su dari
pelbagai tempat, ketika dulu hari ia malang melintang di kolong langit
ini. Baik istana atau keraton, baik gedung orang-orang berpangkat besar
atau orang-orang hartawan, atau pun sarang-sarang berandal, hampir tak
ada tempat yang ia tidak pergikan, dan asal ada barang permata yang ia
sukai, lantas ia ambil atau ia rampas. Sebelum mendapatkannya, belum ia
puas. Ia gagah luar biasa, matanya sangat tajam, maka ia bisa
mendapatkan demikian banyak permata itu. Semua itu sekarang
dikumpulkannya di dalam kuburan istrinya itu, untuk dipakai menemani
arwah istrinya.
Semua permata itu bergemerlapan tertimpa cahaya api. Oey Yong berpikir
pula: "Semua permata ini tidak mempunyai perasaan tetapi mereka benda
yang hitung ribuan tahun tak akan rusak termusnah. Malam ini aku
melihatnya. Bagaimana kala nanti tubuhku sudah berubah menjadi tanah?
Bukankah permata ini tetap berada di dalam dunia? Benarkah makhluk yang
berjiwa, makin dia cerdik makin pendek umurnya? Oleh karena ibu cerdas
luar biasa, dia cuma hidup dua puluh tahun, lalu menutup mata…"
Ia menjublak mengawasi gambar ibunya itu. Kemudian ia padamkan api. Ia
pergi ke tepi peti kumala dari ibunya. Ia mengusap-usap sekian lama,
lalu ia berduduk di tanah, tubuhnya disenderkan kepada peti. Ia berduka
sekali. Ia merasakan seperti menyender pada tubuh ibunya. Lewat sekian
lama, ia ketiduran dan pulas.
Mimpi Oey Yong. Ia merasa ia telah berada di kota raja, di dalam istana
Chao Wang di mana seorang diri ia melawan pelbagai jago. Lalu di tengah
jalan di perbatasan ia bertemu Kwee Ceng. Baru mereka bicara beberapa
patah kata, mendadak ia mendapat lihat ibunya, tak dapat, tak terlihat
tegas. Ibunya itu terbang ke langit, ia memburunya di bumi. Ibu itu
tertampak terbang makin lama makin tinggi. Ia menjadi sangat khawatir.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara ayahnya, memanggil-manggil ibunya.
Suara itu makin lama terdengar makin nyata.
Sampai di situ, mendusinlah si nona. Ia masih mendengar suara ayahnya.
Ia lantas menetapi hatinya. Sekarang ia mendapat kenyataan, ia bukan
bermimpi lagi. Ayahnya benar-benar telah berada di dalam kuburan ibunya
itu, berada bersama dia. Ia ingat, ketika ia masih kecil, sering ayahnya
bawa ia ke dalam kuburan ini, berdiam sambil memasang omong. Baru
selama yang belakangan ini, jarang ia bersama ayahnya memasukinya. Ia
tidak menjadi heran yang ayahnya datang. Ia berdiam. Di antara ia dan
ayahnya itu ada menghalang sehelai kain. Karena ia lagi mendongkol,
tidak sudi ia menemui ayahnya itu. Ia mau ke luar kalau nanti ayahnya
sudah pergi. Lalu ia mendengar suara ayahnya:
"Telah aku berjanji padamu hendak aku mencari Kiu Im Cin-keng sampai
dapat, hendak aku membakarnya supaya kau melihatnya, supaya arwahmu di
langit mendapat ketahui. Kitab yang sangat kau pikirkan itu, yang kau
ingin ketahui apa bunyinya, aku telah mencarinya sia-sia selama lima
belas tahun. Barulah ini hari dapat aku memenuhi keinginanmu itu…."
Oey Yong heran bukan main. "Dari mana ayah mendapatkan kitab itu?" ia menanya dalam hatinya.
Ia mendengar ayahnya bicara terus: "Bukan maksudku sengaja hendak
membinasakan mantumu itu. Siapa suruh mereka sendiri ingin menaiki
perahu itu..?"
Oey Yong terkejut sendiri. "Mantu ibuku?" pikirnya. "Apakah ayah
maksudkan engko Ceng? Kalau engko Ceng duduk di dalam perahu itu,
kenapakah?" Maka ia lantas memasang kupingnya pula.
Kali ini ayah itu bicara dari hal kesusahan hatinya dan kesepiannya
sendiri semenjak ia ditinggal pergi istrinya itu, yang cantik dan baik
hatinya, yang mencintainya. Tergetar hati Oey Yong mendengari keluh
kesah ayahnya itu.
"Aku dan engko Ceng ada anak-anak baru belasan tahun, maka mustahil di
belakang hari kita tidak bakal bertemu pula," pikirnya. "Sekarang ini
tidak dapat aku meninggalkan ayah…"
Belum sempat Oey Yong berpikir lebih jauh, ia sudah dengar ayahnya
berkata lebih jauh: "Loo Boan Tong telah memusnahkan kitab bagian atas
dan bagian bawah dengan gencetan tangannya, ketika itu aku mengira tidak
dapat aku mewujudkan keinginanmu itu, siapa tahu seperti disuruh hantu
atau malaikat, dia bersikeras hendak menaiki itu perahu terpajang yang
indah yang aku sengaja bikin untuk pertemuan kita nanti…"
Kembali Oey Yong menjadi heran. "Sering aku minta naik perahu itu, ayah
selalu melarang dengan keras. Kenapa ayah membuatnya itu untuk ia
bertemu sama ibu?"
Anak ini ketahui tabiat ayahnya aneh tetapi ia masih belum tahu
keinginan terakhir dari ayahnya itu. Oey Yok Su aneh tetapi terhadap
istrinya ia sangat mencinta, sedang istri itu menutup mata karena dia.
Maka ia telah memikir untuk mengorbankan diri untuk istrinya itu. Ia
tahu lihaynya kepandaiannya sendiri, tidak nanti ia terbinasa dengan
jalan menggantung diri atau meminum racun, maka ia memikir satu cara
lain. Ia pergi dari pulaunya, ia menculik pembikin perahu yang pandai,
yang ia suruh membuatnya perahu terpajang itu. Segala-galanya perahu itu
sama dengan perahu yang biasa, hanya papan dasarnya ia bukan
memasangnya kuat-kuat dengan paku, hanya ia ikat dengan tali yang
dipakaikan getah. Memang, berlabuh di muara, perahu itu terpandang
indah, akan tetapi satu kali dia berlayar di laut dan terdampar-dampar
gelombang dahsyat, tidak sampai setengah harian, dia bakal karam
sendirinya. Sebab musnahlah itu "paku-paku istimewa".
Oey Yok Su telah memikir untuk membawa jenazah istrinya ke dalam perahu
itu, untuk berlayar dan nanti mati bersama di dalam gelombang, hanya
setiap kali ia mau berangkat, lalu hatinya tidak tega membawa pula anak
daranya yang manis itu. Ia juga tidak tega meninggalkan anak itu
sebatang kara. Maka di akhirnya, ia membuatnya pekuburan ini. Karena
itu, perahu berhias itu dibiarkan saja tak terpakai, setiap tahun dicat
baru, hingga nampaknya terus baru dan bagus.
Oey Yong tidak ketahui pikiran ayahnya itu, maka heranlah ia. Ia terus
berdiam hingga ia mendengar pula perkataan ayahnya: "Loo Boan Tong dapat
membaca kitab Kiu Im Cin-keng di luar kepalanya, dai hapal sekali.
begitu pun dengan si bocah she Kwee itu, yang menghapalnya tak salah.
Sekarang aku mengirimkan jiwa mereka berdua, itu sama artinya dengan
membakar habis kitab tersebut. Maka arwah kau di langit, aku percaya
puas dan tenanglah kau. Hanya sayang si pengemis tua she Ang itu, tidak
karu-karuan turut mengantarkan nyawnya….. Di dalam satu hari aku
membinasakan tiga ahli silat kelas satu, dengan begitu aku telah
memenuhi janjiku kepadamu, maka jikalau di belakang hari kita bertemu
pula, pasti kau akan membilangnya suamimu telah membuktikan
perkataannya!"
Oey Yong kaget hingga ia bergidik. Ia belum mengetahui pasti tetapi ia
dapat menduga perahu berhias itu mestinya terpasangkan pesawat rahasia
yang luar bhiasa. Ia ketahui baik lihaynya ayahnya ini. Maka itu mungkin
Kwee Ceng bertiga sudah menjadi korban. Ia jadi sangat berkhawatir dan
berduka, hampir ia berlompat kepada ayahnya itu untuk memohon
pertolongan untuk tiga orang itu. Tapi ia terpengaruh kekhawatiran yang
sangat, sampai kakinya menjadi lemas, hingga tak kuat ia mengangkat
kakinya unntuk bertindak, dan mulutnya pun tak dapat mengeluarkan
perkataan. Ia cuma mendengar suara tertawa ayahnya, yang terus pergi
berlalu.
Sekian lama Oey Yong berdiam diri, ia mencoba menenangkan diri. Ia cuma
berpikir satu: "Aku mesti pergi menolongi engko Ceng! Jikalau aku tidak
berhasil, aku akan menemani dia mati…!"
Anak ini mengerti, percuma ia meminta bantuan ayahnya. Ayah itu terlalu
mencintai istrinya tidak akan bisa mengubah keputusannya. Maka ia lari
ke luar dari perkuburan, terus ia ke pinggir laut, terus juga ia
melompat naik ke sebuah perahu kecil. Ia mengasih bangun seorang bujang
gagu yang menjaga perahu itu, menitahkan dia memasang layar dan
mengayuh, untuk berlayar ke tengah laut.
Sementara itu terdengar tindakan kaki kuda yang lari keras dan berbareng
pun terdengar juga suara seruling dari Oey Yok Su, Oey Yong berpaling
ke darat, maka ia melihat kuda merah dari Kwee Ceng lagi lari
mendatangi. Rupanya binatang itu tak betah berdiam di pulau, malam itu
ia ke luar berlari-lari…
Oey Yong lantas berpkir; "Di laut begini luas, ke mana aku mesti cari
engko Ceng? Kuda kecil itu memang luar biasa tetapi begitu ia
meninggalkan tanah, ia pun tak dapat berbuat apa-apa lagi…."