Oey Yong memandang nona-nona itu. Mereka mempunyai kulit yang putih
bersih, tubuh mereka tinggi dan besar. Wajah mereka berlainan, ada yang
hidungnya mancung dan matanya dalam, sedang rambutnya kuning dan matanya
biru. Mereka beda sekali dari nona-nona Tionggoan.
Auwyang Hong menepuk tangan tiga kali, lantas delapan nona-nona itu
mengasih ke luar alat-alat tetabuhan mereka, untuk sesaat kemudian
mereka mulai memainkan lagu, diikuti dengan tariannya sisanya duapuluh
empat nona lainnya. Mereka itu berdiri lempang, lalu mendak, lalu
berputar ke kiri dan kanan, gerak-gerik mereka halus dan lembut. Ada
kalanya mereka berdiri berbaris seperti tubuhnya seekor ular panjang,
lalu jari tangan mereka dikutik-kutik.
Oey Yong lantas ingat kepada ilmu silat "Kim Coa Kun" atau "Ular emas"
dari Auwyang Kongcu, ia lantas melirik kepada pemuda itu. Justru itu ia
mendapatkan orang tengah mengawasi dirinya. Ia menjadi sebal, maka ia
lantas memikir jalan untuk menghajarnya pula. Ia menyesal sekali yang
usahanya tadi sudah digagalkan ayahnya. Ia anggap lagak orang itu sangat
menjemukan.
"Kalau aku berhasil membunuh dia, biar ayah maksa aku menikah, toh sudah
tidak ada orangnya dengan siapa aku dapat menikah," demikian ia pikir
pula. Karena ini puas hatinya, sendirinya ia bersenyum. Senang Auwyang
Kongcu menampak senyuman si nona itu. Ia menduga hatinya si nona sudah
berubah. Saking girangnya, sejenak itu ia melupakan rasa nyeri pada
dadanya.
Nona-nona yang tengah menari itu, menarinya menjadi semakin cepat,
tetapi tetap lembut gerak-geriknya. Di lain pihak orang-orang lelaki
yang memegangi galah, ialah si penggembala-penggembala ular, semua sudah
menutup rapat-rapat mata mereka. Mereka takut, dengan menyaksikan
tarian itu, hati mereka tidak cukup kuat untuk bertahan dan nanti
runtuh…..
Oey Yok Su sendirinya menonton dengan bersenyum berseri-seri, selang
sekian lama barulah ia bawa serulingnya ke bibirnya, untuk meniup, untuk
mengasih dengar lagunya. Baru beberapa kali ia meniup, tariannya si
nona-nona tampaknya kacau. Dan tempo tuan rumah meniup terus, lantas
mereka itu menari menuruti iramanya seruling.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Ia pernah merasakan hebatnya lagu
seruling orang itu. Kalau seruling berlangsung terus, bukannya saja si
nona-noa bakal menari terus-menerus hingga mati, dia sendiri juga tidak
akan luput turut menjadi korban juga. Mau tidak mau, ia berseru:
"Paman….!"
Justru itu Auwyang Hong menepuk tangan, atau mana seorang nona, dengan
memegang tiat-ceng, atau alat tetabuhan yang bertali duabelas, maju
menghampirkan. Ketika itu hatinya Auwyang Kongcu sudah goncang keras,
sedang pria si tukang angon ular sudah mulai berlari-lari atau
berlompatan di antara barisan ularnya.
Auwyang Hong lantas mementil alat tetabuhannya itu, ia mengasih dengar
suara umpama kata, "Tombak-tombak emas saling beradu dan besi kaki kuda
berketoprakan" Hanya beberapa kali saja suara itu terulang, lantas nada
halus dari seruling kena dibikin buyar bebarapa bagian.
Oey Yok Su tertawa. "Mari, mari!" katanya. "Mari kita berdua bersama-sama memainkan lagu!"
Hebat kesudahan sambutannya Tong Shia si Sesat dari Timur. Mereka itu
yang menari itu menjadi sangat kacau, gerak-geriknya seperti orang-orang
edan.
"Semua menutup kuping!" berteriak Auwyang Hong menyaksikan kehebatan itu. "Nanti aku mainkan lagu bersama-sama Oey Tocu!"
Semua orang itu seperti kalap tetapi mereka mendengar suara majikan
mereka. Mereka mengerti ancaman bahaya yang bakal datang itu, maka dalam
ketakutannya, mereka pada merobek ujung baju mereka untuk menggunai
robekan itu menyumbat kuping mereka. Auwyang Kongcu yang sudah cukup
lihay turut juga menyumpal kupingnya.
Menyaksikan kelakuan mereka itu, Oey Yong tertawa. Ia sendiri tidak
terpengaruh suara kedua seruling dan tiat-ceng itu. Ia berkata: "Lain
orang memainkan lagu-lagu, justru khawatir orang tidak dapat
mendengarnya, tetapi kamu sebaliknya, kamu semua justru menutupi kuping!
Tidak, aku sendiri tidak sudi menyumbat kupingku!"
Oey Yok Su dapat mendengar perkataan putrinya itu, ia menegur: "Ilmu
kepandaian mementil tiat-ceng dari pamanmu ini sangat kesohor di kolong
langit ini, kau ada mempunyai kepandaian apa maka kau berani
mendengarnya? Apakah kau kira kau dapat mencoba-coba?!”
Dari sakunya, ayah ini mengeluarkan sehelai sapu tangan, ia robek itu
menjadi dua potong, terus ia pakai menyumpal kedua kuping anaknya itu.
Kwee Ceng menjadi heran sekali, hingga ia menjadi tertarik hatinya,
ingin ia mendengar lagu tetabuhannya Auwyang Hong itu. Tanpa mengenal
bahaya, ia justru maju beberapa tindak, supaya ia dapat mendengar dengan
terlebih nyata…..
Oey Yok Su berpaling kepada tetamunya. "Semua ularmu tentunya tidak
dapat menutup kupingnya," katanya. Ia menoleh kepada bujangnya yang
gagu, ia mainkan kedua belah tangannya. Bujang gagu itu mengerti, ia
mengibas-ngibaskan tangannya kepada kawanan gembala ular itu, memberi
tanda untuk mereka menyingkirkan diri. Mereka ini memang menghendaki
itu. Tapi mereka mengawasi dulu majikan mereka, sampai Auwyang Hong
memberi tanda sambil mengangguk, baru lekas-lekas mereka mengiring ular
mereka menyingkir dari situ, mengikuti petunjuk si bujang gagu.
"Jikalau aku tidak sanggup, sukalah saudara Yok mengalah sedikit," kata
Auwyang Hong kemudian. Terus dengan kelima jari tangan kanannya, ia
mulai mementil alat tetabuhannya.
Nyaring suaranya tiat-ceng itu. Kwee Ceng merasakan, setiap pentilan
membuat hatinya goncang, dan selagi lagu bertambah cepat, goncangan
hatinya itu bertambah cepat juga, dadanya bergerak-gerak, ia merasa tak
enak sendirinya. Ia terkejut, segera ia menginsyafinya. Katanya dalam
hati: "Kalau suara jadi hebat, tidakkah hatiku pun akan goncang hingga
aku mati?" Karena ini lekas-lekas ia menjatuhkan dirinya untuk duduk
bersila, akan memusatkan pikirannya, akan mengempos tenaga dalamnya.
Cuma sesaat saja, suara tiat-ceng itu tidak dapat lagi menggoncangkan
hatinya.
Suara tiat-ceng itu benar-benar makin lama jadi makin keras, bagaikan
tambur dan gembreng berbunyi berbareng, seperti laksaan ekor kuda
bercongklang bersama. Atau di lain saat terdengar suaranya yang
perlahan-lahan dan halus, ialah suara dari seruling yang seperti
menembusi suara tiat-ceng itu.
Mendadak Kwee Ceng merasa hatinya goncang dan mukanya panas. Ia
lekas-lekas memusatkan pula perhatiannya, hingga hatinya menjadi tenang
pula. Ia sekarang mendapat kenyataan, walau pun hebat suaranya
tiat-ceng, suara itu tidak dapat menindih melenyapkan seruling, yang
perlahan tetapi tegas. Maka juga heran, dua suara terdengar berbareng.
Kalau suara tiat-ceng ada bagaikan pekiknya kera di atas gunung atau
mengalunnya hantu iblis di tengah malam buta rata, suara seruling ada
laksana bunyinya burung hong atau kasak-kusuknya si nona manis di dalam
kamarnya. Kedua suara itu tinggi dan rendah, keras dan perlahan, maju
dan mundur, sama-sama tidak mau mengalah…..
Oey Yong ketarik hatinya, ia menonton sambil tertawa geli. Ia mengawasi
orang memintil tiat-ceng dan meniup seruling. Lama-lama, ia pun merasa
aneh. Lama-lama, wajahnya kedua orang yang tengah mengadu tetabuhan itu
berubah menjadi bersungguh-sungguh, menjadi tegang. Ia lantas melihat
ayahnya dari duduk menjadi bangun berdiri, meniup serulingnya sambil
bertindak, bertindak ke delapan penjuru menuruti kedudukan pat-kwa, segi
delapan. Ia tahu itulah dasar kedudukan ayahnya setiap waktu ayahnya
melatih diri dalam ilmu dalam. Teranglah musuh itu lihay sekali maka
ayahnya mengambil tindakan itu.
Kemudian si nona memandang ke arah Auwyang Hong. Juga jago dari Barat
ini menunjuki wajah dan sikap bersungguh-sungguh. Dari kepalanya
terlihat hawa mengepul naik seperti uap, itulah hawa panas mengkedus
yang ke luar naik. Dengan kedua tangannya dia menerus mementil alat
tetabuhannya, sampai ujung bajunya menerbitkan suara angin. Nyata sekali
dia tidak berani berlaku alpa.
Kwee Ceng di tempat persembunyiannya memasang kuping, ia tidak mengerti
ada apa hubungannya di antara seruling dan tiat-ceng itu. Ia heran
kenapa masing-masing suara alat tetabuhan itu dapat mempengaruhkan orang
menjadi tidak tenang. Di dalam ketenangan, perlahan-lahan ia dapat
membedakan juga. Kedua suara itu seperti lagi serang, keras lawan lemah,
lemah melawan keras. Sebentar kemudian, lantas ia mengerti seluruhnya.
"Tidak salah lagi, Oey Tocu dan Auwyang Hong tengah mengadu ilmu dalam
mereka," pikirnya. Karena ini, ia lantas menutup rapat kedua matanya, ia
mendengari terus dengan penuh perhatian.
Tadinya Kwee Ceng mesti mengeluarkan banyak tenaga melawan desakan
tiat-ceng dan seruling, sekarang tidak demikian. Sekarang dengan tenang
ia bisa mendengari kedua suara itu. Ia merasa bagaimana seruling seperti
berkelit sana dan berkelit sini dari rangsakan tiat-ceng yang hebat,
atau setiap kali ada lowongan, seruling lantas membalas menyerang. Satu
kali ia mendengar, suara tiat-ceng menjadi lemah, sebaliknya seruling
menjadi kuat.
Tiba-tiba Kwee Ceng ingat ajarannya Ciu Pek Thong "Keras tak dapat
bertahan lama, lemah tak dapat menjaga terus." Ia lantas menduga,
tiat-ceng bakal membalas menyerang. Benar-benar, berselang sesaat suara
tiat-ceng menjadi keras pula.
Ketika Kwee Ceng menghapali ajarannya Ciu Pek Thong itu, ia tidak tahu
bahwa itulah rahasia dari Kiu Im Cin-keng, dan ia pun tidak mengerti
jelas maksudnya. Baru sekarang ia merasakan ada hubungannya ajaran itu
dengan pertarungannya Oey Yok Su dan Auwyang Hong ini. Karena insyaf
ini, ia menjadi girang sekali. Hanya ia masih belum mengerti akan
jalannya terus pertempuran itu. Ada kalanya seruling dapat menghajar,
ketika baik itu dilewatkan dengan begitu saja, demikian juga sebaliknya.
Toh itu tidak mirip-miripnya dengan orang yang bersikap saling
mengalah.
Mendengari terlebih jauh, Kwee Ceng jadi menanya dirinya sendiri;
"Mungkinkah pengajarannya Ciu Toako ada terlebih lihay dari pada
kepandaiannya Oey Tocu dan Auwyang Hong ini? Mungkinkah mereka ini tidak
dapat melihat cacad masing-masing maka juga kelemahan itu mereka
sama-sama tidak dapat menggunainya? Tapi heran! Kalau benar Ciu Toako
telebih lihay, mestinya pada lima belas tahun yang lalu dia sudah dapat
mencari Oey Tocu di sini untuk menghajarnya, tidak peduli pulau ini
banyak terjaga dengan barisan sesat patkwa itu, tidak nanti ia
membiarkan dirinya terkurung di dalam gua…."
Masih Kwee Ceng mendengari. Lagi-lagi ia mendapat kenyataan telah tiba
saat yang sangat genting, hingga ada kemungkinan kali ini bakal datang
keputusan siapa menang dan siapa kalah. Ia berkhawatir untuk Oey Tocu…
Justru itu waktu dari arah laut, dari tempat yang jauh, terdengar siulan
panjang dan lama. Suara itu samar-samar tetapi toh dua-dua Oey Yok Su
dan Auwyang Hong terkejut hingga sendirinya suara seruling dan tiat-ceng
mereka berubah menjadi kendor. Siulan pun terdengar semakin nyata. Itu
tandanya orang mendatangi dan orang itu berada semakin dekat.
Auwyang Hong mementil dua kali, keras sekali, suara tiat-ceng sampai
terdengar seperti suara cita terobek. Habis itu, suara siulan terdengar
bernada tinggi. Rupanya siulan dan tiat-ceng tengah kebentrok. Tidak
antara lama, suara seruling dari Oey Yok Su pun nyebur dalam bentrokan
siulan dan tiat-ceng itu. Maka selanjutnya, sering terdengar, siualan
bentrok tiat-ceng, siulan bentrok seruling, atau seruling bentrok
tiat-ceng. Atau lagi, ketiganya bentrok berbareng.
Sekarang Kwee Ceng menduga pasti ada seseorang yang lihay yang telah
datang ke pulau Tho Hoa To ini. Ia biasa main-main bertarung empat
tangan dengan Ciu Pek Thong, karena itu ia dapat menbedakan suara
bentrokannya ketiga lawan ini: seruling, tiat-ceng dan siulan….
Setelah memperhatikan terlebih jauh. Kwee Ceng merasa orang yang bersiul
itu sudah tiba di dalam rimba di dekat itu. Ia mendengar lebih nyata
siulan orang itu, yang tinggi dan rendah bergantian, yang selalu
berlainan. Ketika ia merasa, bentrokan menjadi demikian hebat, saking
kagumnya, tanpa ia merasa ia berseru: "Bagus!". Kemudian ia terkejut
sendirinya. Bukankah ia lagi bersembunyi? Ia lantas memikir untuk
menyingkir. Tapi sudah kasep. Satu bayangan lantas berkelebat di
depannya. Di situ berdiri Oey Yok Su.
"Anak yang baik, mari!" berkata Tocu dari Tho Hoa To itu.
Saat itu semua tetabuhan sudah berhenti. Dengan membesarkan hati, Kwee
Ceng ikut Tong Shia pergi ke paseban. Oey Yong tersumpal kupingnya, ia
tidak mendengar seruannya si anak muda, maka heran ia menampak munculnya
pemuda itu. Ia pun menjadi sangat girang, maka ia lari memapaki, untuk
menyambar kedua tangan orang.
"Engko Ceng, akhirnya kau datang juga…!" serunya. Tapi ia girang bercampur sedih, tanpa merasa air matanya meleleh turun.
Melihat pemuda ini, panas hatinya Auwyang Kongcu. Maka itu, menyaksikan
kelakuannya si nona, ia panas berbareng gusar sekali. Tidak dapat ia
mengendalikan diri, sambil berlompat ia menghajar kepalanya si anak muda
itu.
"He, bocah busuk, kau pun datang ke mari!" ia mendamprat.
Kwee Ceng melihat datangnya serangannya, dengan sebat ia berkelit.
Sekarang ini ilmu silatnya sudah maju jauh, ia beda dengan waktu ia
masih di rumah abu Keluarga Lauw di Poo-eng, di mana ia menempur pemuda
she Auwyang itu. Ia tidak cuma berkelit, terus ia membalas menyerang.
Dengan tangan kiri memainkan "Naga sakti menggoyang ekor", dengan tangan
kanan ia menggunai "Naga Menyesal", dua-duanya merupakan jurus-jurus
dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang lihay. Sejurus saja sudah hebat,
apapula dua jurus itu hampir berbareng.
Auwyang Kongcu terkejut merasakan tangan kiri orang tahu-tahu menekan
iga kanannya. Ia mengerti lihaynya Hang Liong Sip-pang Ciang, yang cuma
dapat diegos, tidak ditangkis, dari itu lekas-lekas ia menyingkir ke
kiri. Celaka untuknya, justru ia berkelit, justru tangan yang lain dari
lawannya tiba. Tidak ampun lagi, dada kirinya kena terpukul, bahkan
sebuah tulangnya patah sekali.
Sebenarnya Auwyang Kongcu sudah cukup lihay dan ia mengerti lihaynya
lawan, ketika serangan sampai, ia mencoba berkelit pula. Kali ini ia
berkelit dengan mengapungi diri, untuk berlompat tinggi naik ke atas
pohon bambu, habis itu baru ia lompat turun. Tapi ia tidak bisa
membebaskan diri. Ia turun dengan muka merah bahna malu, dadanya juga
dirasakan sakit. Ia bertindak dengan perlahan.
Menyaksikan perlawannya Kwee Ceng itu, dua-duanya Oey Yok Su dan Auwyang
Hong heran berbareng murka. Oey Yong sebaliknya, nona ini
bertepuk-tepuk tangan saking girangnya.
Sebenarnya, Kwee Ceng sendiri kurang mengerti. Inilah kemenangan di luar
dugaannya. Ia bukan menginsyafi bahwa ia sudah maju jauh, ia mau
menyangka si anak muda lawannya itu sudah beralpa atau kurang sebat
bergeraknya hingga kena terhajar. Ia khawatir pemuda ini nanti menyerang
pula secara kejam, ia mundur setindak sambil memasang mata, untuk
bersiap-siap.
Auwyang Hong melirik pemuda itu dengan mata merah saking mendongkolnya.
Kemudian ia dia berkata dengan nyaring: "Pengemis she Ang, aku beri
selamat padamu yang sudah mendapatkan murid yang jempol!"
Oey Yong sudah membuka sumpalannya ketika ia mendengar suaranya Auwyang
Hong itu, ia lantas mengetahui Ang Cit Kong telah tiba, maka itu, lupa
segala apa ia lari ke arah rimba sambil memanggil-manggil: "Suhu! Suhu!"
Ia kegirangan karena ia tahu bintang penolong sudah datang.
Mendengar suara putrinya itu, Oey Yok Su melengak. "Eh, mengapa anakku
memanggil guru kepada si pengemis tua?" pikirnya. Ia waktu sudah lantas
terlihat munculnya Ang Cit Kong si ketua pengemis. Di punggungnya ia
menggondol cupu-cupunya merah, tangan kanannya memegang tongkatnya,
tangan kirinya menuntun Oey Yong. Ia berjalan sambil tertawa haha-hihi.
"Eh, Yong-jie, kau memanggil apa padanya?!" tanya Oey Yok Su gusar.
Bukannya ia lantas menjawab ayahnya itu, Oey Yong justru menuding
Auwyang Kongcu dan berkata dengan sengit, "Ini manusia busuk sudah
menghina aku, jikalau tidak ada lojinkee Ang Cit Kong yang menolongi
aku, sudah tentu sudah semenjak lama kau tidak melihat Yong-jie, Ayah!"
"Jangan ngaco belo!" membentak Oey Yok Su, walaupun sebenarnya ia heran.
"Dia toh anak baik-baik, cara bagaimana dia menghina padamu!"
"Jikalau Ayah tidak percaya, nanti aku tanyakan dia!" berkata si nona.
Ia lantas mengawasi pemuda she Auwyang itu. Ia kata dengan keras; "Kau
mesti lebih dulu mengangkat sumpah! Jikalau dalam jawabanmu kepada
ayahku berdusta, kau nanti digigit mampus ular-ular di ujung tombaknya
pamanmu itu!"
Mendengar itu Auwyang Kongcu kaget hingga mukanya pucat. Auwyang Hong
tidak kurang kaget dan herannya. Jago dari Wilayah Barat ini kaget sebab
ia ketahui dengan baik, dua ekor ular pada tongkatnya itu adalah
ular-ular piarannya selama sepuluh tahun, yang ia piara sedari baru
ditetaskan hasil dari kawinan beberapa macam ular yang paling berbisa.
Kalau dia menghukum bawahannya yang berkhianat atau orang yang paling ia
benci, ia bisa menghukum dengan menggunai kedua ularnya ini. Asal
seorang digigit ularnya, lantas ia kegatalan luar biasa, dalam waktu
yang pendek ia bakal mati, tidak ada pertolongan lagi sekalipun
seandainya Auwyang Hong sendiri berbalik berkasihan dan hendak
mengampunkannya. Oey Yong menyebut ular itu karena ia menduga saja,
sebab kedua binatang itu lain dari pada yang lain, tidak tahunya, ia
menyebut tepat pantangannya See Tok si Racun dari Barat itu.
"Terhadap pertanyaannya gakhu tayjin, mana aku berani mendusta," Auwyang
Kongcu menjawab. Ia telah terdesak si nona, ia pun tidak berani
menyangkal.
"Cis!" berseru Oey Yong. "Jikalau kau berani mengaco belo, lebih dahulu
aku akan gaplok kupingmu beberapa kali! Sekarang dengar pertanyaanku!
Kita pernah bertemu di istananya Chao Wang di Pakkhia, benar atau
tidak?"
Auwyang Kongcu mengangguk. Tidak berani ia membuka suara. Hajarannya
Kwee Ceng membikin ia merasakan sangat nyeri. Kalau ia membuka mulutnya
untuk berbicara, rasa sakitnya itu menghebat. Ia pun memangnya berkepala
besar. Kalau ia merasa sakit, kepalanya pusing dan mengeluarkan peluh.
Dengan tidak bersuara, ia dapat menahan napas, ia bisa menguatkan diri.
Oey Yong menanya pula; "Ketika itu kau ada bersama See Thong Thian,
Pheng Lian Hauw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin, bersama-sama kau
mengepung aku satu orang. Benar atau tidak?"
Auwyang Kongcu berniat menyangkal ia bekerja sama dengan rombongannya
See Thong Thian itu, bahwa bukan sengaja ia mengepung si nona, tetapi
ketika ia paksa menyahut, lantas ia merasakan dadanya sakit, maka ia
cuma bisa bilang; "Aku…aku tidak bekerja sama dengan mereka itu…"
"Baiklah, aku pun tidak memerlukan jawabanmu dengan mulutmu!" berkata
Oey Yong. "Jikalau aku menanya kau, cukup asal kau mengangguk atau
menggeleng kepala. Sekarang kau dengar pertanyaanku. See Thong Thian
bersama-sama Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin toh
memusuhkan aku. Benar tidak?'"
Auwyang Kongcu mengangguk. Ia menuruti kata-kata orang dan tidak berani membuka mulutnya.
"Mereka itu hendak membekuk aku tetapi mereka itu tidak berhasil," berkata Oey Yong pula. "Kemudian kau muncul. Benar tidak?"
Itulah hal yang sebenarnya, Auwyang Kongcu mengangguk.
"Ketika itu aku berada di ruang besar dari istana Chao Wang. Di situ aku
bersendirian saja, tidak ada siapa juga yang membantu aku, keadaanku
sungguh menyedihkan. Ayahku pun tidak ketahui bahaya yang mengancam aku,
ayah tidak dapat menolong aku. Benar tidak?"
Auwyang Kongcu mengangguk dengan terpaksa. Ia ketahui, pertanyaan kali
ini dari si nona, yang membawa-bawa nama ayahnya, cuma untuk memancing
kemurkaannya si ayahnya dia itu.
Setelah mendapat jawaban itu, Oey Yong tarik tangan ayahnya. Timbullah
kemanjaannya. "Ayah, kau lihat," katanya. "Kau sedikit juga tidak
menyayangi anakmu… Kalau ibu masih hidup, tidak nanti ia perlakukan aku
begini rupa…" Mendengar orang menyebut istrinya, yang ia cintai itu,
pilu hatinya Oey Yok Su. Ia ulur tangan kirinya untuk merangkul putrinya
itu.
Auwyang Hong sangat cerdas dan licin, ia melihat suasana buruk untuk
pihaknya, maka belum lagi Oey Yong menanya pula, ia sudah mendahului.
"Nona Oey," ia berkata, "Begitu banyak orang Rimba Persilatan yang
kenamaan hendak membekuk kau, karena lihay ilmu silat keluargamu, mereka
tidak dapat berbuat sesuatu terhadapmu, bukankah?"
Oey Yong tertawa, dia mengangguk. Oey Yok Su pun tersenyum. Ia senang
orang puji ilmu silatnya. Auwyang Hong berpaling kepada tuan rumah, ia
berkata: "Saudara Yok, keponakanku telah melihat putrimu demikian lihay,
ia jadi sangat jatuh hati, inilah sebabnya kenapa sekarang kami datang
kemari dengan tidak memperdulikan jalan jauh ribuan lie untuk
meminangnya.”
Oey Yok Su tertawa. "Ya, sudahlah!" katanya.
Auwyang Hong menoleh kepada Ang Cit Kong, ia berkata, "Saudara Cit, kami
paman dan keponakan mengagumi orang-orang Tho Hoa To, kenapa kau
sebaliknya lain pandanganmu? Kenapa kau berlaku sungguh-sungguh sama
segala bocah? Coba bukannya keponakanku itu panjang umurnya, pastilah
siang-siang dia telah mati di bawah hujan jarum emas yang menjadi
kepandaianmu yang istimewa…."
Dengan kata-katanya ini Auwyang Hong hendak menimbulkan urusan ketika
dulu hari Ang Cit Kong menolong Auwyang Kongcu dari serbuan jarum
rahasia dari Oey Yong, hanya See Tok telah membalik duduk perkaranya
mungkin itu disebabkan Auwyang Kongcu telah membaliknya waktu melaporkan
hal ini kepada pamannya. Tapi Cit Kong adalah seorang polos dan sabar
sekali, ia tidak mengambil mumet perkataan orang, bahkan tertawa lebar,
malah dengan membuka tutup cupu-cupunya, ia menengak isinya.
Tidak demikian adanya Kwee Ceng yang jujur, yang benci kedustaan. Anak
muda ini lantas menyampur bicara. "Sebenarnya Cit Kong yang menolongi
keponakanmu itu, kenapa sekarang kau bicara begini rupa?!" ia menegur.
Tapi Oey Yok Su membentak; "Kita lagi bicara, bagaimana kau bocah berani campur mulut?!"
Kwee Ceng penasaran, dengan nyaring ia kata kepada Oey Yong: "Yong-jie,
kau beberlah urusannya Auwyang Kongcu merampas Nona Thia supaya ayahmu
mendapat tahu!"
Oey Yong tidak meluluskan permintaan anak muda itu. Ia kenal baik sifat
ayahnya. Ayahnya itu dijuluki Tong Shia si Sesat dari Timur, justru
karena tabiatnya yang aneh itu. Ada kalanya Tong Shia membenarkan apa
yang tidak benar dan sebaliknya. Maka ada kemungkinan, perbuatan ceriwis
dan busuk dari Auwyang Kongcu dipandang sebagai perbuatan umum
pemuda-pemuda doyan pelesiran. Ia pun ketahui baik ayahnya tak sukai
pemuda pujiannya itu. Maka ia menggunai siasat. Ia lantas berpaling pula
kepada Auwyang Kongcu.
"Bicaraku masih belum habis!" katanya. "Dulu hari itu di dalam istana
Chao Wang, kau mengadu kepandaian dengan aku. Dengan sengaja kau
menelikung kebelakang kedua tanganmu, kau bilang bahwa tanpa menggunai
tangan, kau bisa mengalahkan. Benar bukan?"
Auwyang Kongcu mengangguk membenarkan pertanyaan itu.
"Kemudian aku telah mengangkat lojinkee Ang Cit Kong menjadi guruku,"
berkata Oey Yong. "Lalu di Poo-eng kita mengadu silat untuk kedua
kalinya. Itu waktu kau menyebutnya aku boleh menggunakan kepandaian yang
diwariskan ayahku atau Ang Cit Kong, kau bilang aku boleh keluarkan
berapa banyak juga, sebaliknya kau sendiri, kau cuma akan menggunakan
semacam ilmu kepandaian warisan pamanmu dengan apa kau sanggup
mengalahkan aku. Benar tidak?"
Mendengar itu Auwyang Kongcu berkata di dalam hatinya, "Semuanya itu ditetapkan olehmu sendiri, bukan ditetapkan olehku…"
Menampak orang bersangsi, Oey Yong mendesak. Ia kata: "Bukankah itu hari kita telah menetapkannya demikian baru kita bertempur?"
Mau tidak mau, Auwyang Kongcu mengangguk.
"Ayah, lihatlah!" berkata Oey Yong kepada ayahnya. "Dia tidak memandang
mata kepada Cit Kong, dia juga tidak menghormati padamu! Dia mau bilang,
Cit Kong dan ayah berdua kalah jauh dengan pamannya itu! Bukankah itu
berarti, meski Cit Kong dan ayah berdua mengepung pamannya, pamannya itu
masih tak dapat dikalahkan. Tapi ini aku tidak percaya!"
"Ah, budak cilik, jangan kau mainkan lidahmu!" berkata Oey Yok Su si
ayah. "Di antara kaum persilatan di kolong langit ini, siapakah yang
tidak kenal baik ilmu silatnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay?"
Di mulutnya Oey Yok Su berkata demikian, di dalam hatinya ia mulai tidak
puas terhadap Auwyang Kongcu, karena itu ia ingin hal pemuda itu jangan
dibicarakan pula. Ia lantas menoleh kepada Ang Cit Kong. "Saudara Cit,
kau datang berkunjung ke Tho Hoa To, ada urusan apakah?" ia menanya.
"Aku datang untuk memohon sesuatu dari kau," sahut Cit Kong singkat.
Cit Kong jenaka tetapi jujur dan polos dan benci sekali kejahatan,
inilah Tong Shia ketahui baik. Karena ini, ia menghormati si raja
pengemis ini. Ia pun ketahui, biasanya, kalau ada urusan, Cit Kong tentu
mengerjakannya itu sendiri bersama-sama pengikut-pengikutnya dari Kay
Pang, belum pernah ia memohon bantuan dari orang. Sekarang orang datang
untuk memohon sesuatu, ia menjadi girang sekali. Lekas-lekas ia
menjawab: "Persahabatan kita adalah persahabatan dari beberapa puluh
tahun, saudara Cit, maka itu kalau ada titah dari kau, mana aku berani
tidak menurutinya?"
"Ah, janganlah kau begitu menerima baik permohonanku itu," berkata Cit
Kong. "Aku khawatir permohonanku ini sulit untuk dilakukannya…."
Oey Yok Su tertawa, ia kata. "Kalau urusan gampang tidak nanti saudara Cit sampai memikir untuk meminta bantuanku!"
Cit Kong tertawa seraya menepuk-nepuk tangannya. "Benar-benar!" katanya.
"Kau barulah saudara yang sejati! Jadi kau pasti menerima baik?"
"Sepatah kata-kataku menjadi kepastian!" sahut Oey Yok Su, kembali cepat dan singkat. "Lompat ke api, terjun ke air, sama saja!"
Mendengar itu Auwyang Hong melinttangi tongkat ularnya. "Saudara Yok,
tunggu dulu!" ia menyelak, "Perlu kita menanya dulu saudara Cit, urusan
itu sebenarnya urusan apa?"
Ang Cit Kong tertawa. Ia berkata; "Racun tua bangka, inilah urusan tidak
ada sangkut pautnya dengan kau, jangan kau ikut campur! Lebih baik kau
sedia-sedia dengan ususmu yang kosong untuk nanti kau menenggak arak
kegirangan!"
Auwyang Hong heran. "Eh, minum arak kegirangan?" ia menanya.
"Tidak salah! Minum arak kegirangan!" memastikan Cit Kong. Dengan tangan
kanannya ia menunjuk kepada Kwee Ceng dan Oey Yong bergantian. "Mereka
berdua adalah murid-muridku, aku telah berikan janji kepada mereka untuk
memohon kepada saudara Yok agar mereka dibiarkan menikah satu pada
lain! Dan sekarang saudara Yok sudah menerima baik permohonanku itu!"
Kwee Ceng dan Oey Yong terperanjat bahna girang, keduanya lantas saling
memandang. Sebaliknya Auwyang Hong dan keponakan serta Oey Yok Su
menjadi terkejut sekali.
"Saudara Cit, kau keliru!" Auwyang Hong cepat berkata. "Putrinya saudara
Yok sudah dijodohkan dengan keponakanku dan hari ini aku datang ke Tho
Hoa TO ini untuk mengambil ketetapannya."
"Saudara Yok, benarkah itu?" tanya Cit Kong.
"Benar," menjawab Oey Yok Su. "Aku minta, saudara Cit jangan kau berkelakar denganku!"
Cit Kong memperlihatkan roman bersungguh-sungguh. "Siapa yang main-main
dengan kamu?" dia berkata. "Kau menjodohkan seorang putrimu kepada dua
keluarga. Apakah artinya ini?" Ia lantas menoleh kepada Auwyang Hong. Ia
kata, "Akulah orang perantaraan dari Keluarga Kwee! Kau sendiri, mana
orang perantaanmu?"
Auwyang Hong tidak menyangka bakal ditanya begitu rupa, dia tidak dapat
menjawab, ia tercengang. Baru kemudian ia berkata, "Saudara Yok sudah
menerima baik, aku pun sudah akur, maka itu, perlu apa lagi orang
perantaan?"
"Apakah kau ketahui masih ada satu orang yang tidak menerima baik?" Cit Kong tanya.
"Siapakah dia?!" Auwyang Hong menegaskan.
Ang Cit Kong menyahuti: "Maafkan aku, itulah aku si pengemis tua!"
Auwyang Hong berdiam. Ia mengerti, tidak dapat ia tidak menempur pengemis ini, maka itu ia lantas memikirkan daya perlawanan.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata pula: "Keponakanmu itu tidak bagus
kelakuannya, mana dia cocok untuk dijodohkan dengan putri yang cantik
manis dari saudara Yok ini? Umpama kata benar kamu berdua memaksa mereka
menikah, habis bagaimana kalau mereka sendiri tidak akur, setiap hari
mereka berkelahi saja? Apakah artinya itu?"
Tertarik hati Oey Yok Su mendengar perkataan pengemis itu, ia lantas
melirik kepada putrinya. Ia mendapatkan Oey Yong, dengan sinar mata
penuh kecintaan, lagi mengawasi Kwee Ceng. Sebaliknya melihat Kwee Ceng,
timbul pula rasa jemunya. Oey Yok Su ini ada seorang yang terang
otaknya, pandai ilmu silat dan surat, pandai juga memainkan khim,
menulis huruf-huruf dan melukis gambar. Sedari masih muda, semua
sahabatnya ada orang-orang cerdik pandai. Pun istrinya serta putrinya
ini, orang-orang pintar juga. Maka, mengingat anaknya yang cantik dan
pintar itu mesti dipasangi dengan Kwee Ceng yang tolol-tololan itu,
sungguh ia tidak mufakat. Dipadu dengan Auwyang Kongcu, Kwee Ceng kalah
berlipat ganda. Maka itu, ia lebih penuju keponakannya See Tok itu. Tapi
di situ ada Ang Cit Kong. Maka akhirnya, ia memikir satu jalan.
"Saudara Hong," katanya kemudian, "Keponakanmu terluka, baik kau obati dulu padanya, urusan nanti kita damaikan pula."
Inilah apa yang Auwyang Hong harap-harapkan, maka lantas ia menggapai
pada keponakannya, lalu bersama-sama mereka masuk ke dalam hutan bambu.
Lewat sesaat, mereka sudah kembali ke paseban. Auwyang Hong telah
berhasil mengeluarkan jarum emas dan menyambung pula tangan keponakannya
itu.
Oey Yok Su sudah lantas berbicara, katanya: "Anakku bertubuh lemah dan
nakal, sebenarnya sulit untuk dia merawati seorang budiman, maka adalah
di luar dugaanku, saudara Cit dan saudara Hong telah memandang mukaku
dan sama-sama melamarnya. Hal ini adalah suatu kehormatan untukku.
Sebenarnya anakku ini sudah dijodohkan dengan pihak Auwyang tetapi
sekarang ada titahnya saudara Cit, sukar aku tolak. Kejadian ini
menyulitkan aku. Sekarang, aku pikir, baik diatur begini saja. Coba
kedua saudara lihat, pemecahan ini dapat dilakukan atau tidak?"
"Lekas bilang, lekas bilang!" berkata Ang Cit Kong. "Aku, si pengemis tua paling tidak suka omong pakai segala aturan!"
Oey Yok Su tersenyum, ia berkata pula: "Sebenarnya anakku tidak mengerti
segala apa, akan tetapi meskipun demikian, aku masih mengharap dia
nanti menikah dengan seorang suami yang baik-baik. Auwyang Sieheng ada
keponakannya saudara Hong dan Kwee Sieheng ada murid pandai dari saudara
Cit, kedua-duanya baik, sukar untuk aku memilihnya, tidak dapat aku
membuang salah satunya, karena itu, aku pikir baiklah mereka diuji saja.
Di sini aku ada mempunyai tiga macam syarat. Pendeknya siapa yang
lulus, anakku akan dijodohkan dengannya, tidak nanti aku berlaku berat
sebelah. Bagaimana, sahabat-sahabatku?"
Auwyang Hong sudah lantas bertepuk tangan. "Bagus, bagus!" serunya.
"Cuma sekarang keponakanku sedang terluka, kalau buat adu silat, aku
minta supaya itu ditunda sampai ia sudah sembuh."
Mendengar itu, Ang Cit Kong berpikir. "Kau, si Oey tersesat, kau banyak
akalnya, jikalau kau majukan ilmu surat, syair atau nyanyi, tentulah
muridku yang tolol gagal. Kau bilang kau tidak mau berat sebelah,
sebenarnya pikiranmu sudah lain. Maka tidak ada lain jalan, baiklah aku
ambil caraku!" Ia lantas tertawa sambil berlenggak, terus ia berkata:
"Kita semua tukang silat, kalau kita tidak adu silat, apa kita mesti adu
main gembul-gembulan? Keponakanmu terluka, kau sendiri tidak, marilah,
mari kita berdua yang main-main lebih dulu!"
Begitu ia selesai bicara, tanpa menantikan jawaban, Ang Cit Kong sudah
lantas menyerang ke bahu orang. Auwyang Hong berkelit, ia mundur. Ang
Cit Kong meletaki tongkat bambunya di meja kecil di sampingnya.
"Kau membalaslah!" ia menantang. Ia menantang tetapi kembali ia menyerang, beruntun hingga tujuh jurus.
Auwyang Hong berkelit berulang-ulang, ke kiri dan ke kanan, habis tujuh
serangan itu, dengan tangan kanannya ia menancap tongkatnya, sedang
dengan tangan kirinya ia pun membalas tujuh kali. Oey Yok Su menyaksikan
itu, ia bersorak memuji. Ia tidak mau datang memisahkan, karena ingin
ia melihat kemajuan orang sesudah berselang duapuluh tahun semejak
mereka mengadu kepandaian.
Dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong adalah ketua-ketua partai, pada
dua puluh tahun dulu mereka sudah lihay, habis menguji kepandaian di Hoa
San, mereka masing-masing menyakinkan lebih jauh kepandaian mereka,
bisa dimengerti yang mereka telah maju banyak. Maka sekarang, bertarung
di Tho Hoa To ini, mereka beda jauh dari pada waktu di Hoa San. Mereka
saling serang dengan cepat sekali tetapi semua itu adalah permulaan
saja, untuk saling menggertak.
Kwee Ceng menonton dengan perhatian sepenuhnya. Ia melihat gerakan kedua
pihak sangat lincah. Untuk kegirangannya, ia mengerti semua jurus itu.
Ia telah hapal kitab Kiu Im Cin-keng, sekarang ia mendapat kenyataan,
semua gerak-gerik mirip sama kitab itu. Untuk menyaksikan ini, ia mimpi
pun tidak. Semua yang ia lihat ini termuat dalam kitab bagian atas.
Semua itu ilmu silat yang lihay. Tanpa disadari, ia menjadi gatal
sendirinya.
Dengan cepat kedua jago itu sudah bertempur hingga tigaratus jurus
lebih. Dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong kagum sendirinya, mereka
saling memuji secara diam-diam. Oey Yok Su yang menonton pun kagum, ia
menghela napas. Di dalam hatinya ia berkata: "Aku berdiam di Tho Hoa To
ini dengan melatih diri sungguh-sungguh, aku percaya setelah Ong Tiong
Yang meninggal dunia, aku bakal jadi orang gagah nomor satu di kolong
langit ini, siapa tahu sekarang si pengemis tua bangka ini dan si biang
racun tua telah mengambil jalannya masing-masing yang hebat sekali!"
Auwyang Kongcu dan Oey Yong sama-sama tegang hatinya, mereka mengharapi
kemenangan pihaknya masing-masing. Mereka mengerti silat tetapi mereka
tidak mengerti ilmu silatnya dua jago yang lagi bertarung itu. Sama-sama
mereka terus mengawasi dengan perhatian penuh.
Satu kali Oey Yong melirik ke samping, lantas ia menjadi heran
sendirinya. Ia melihat bayangan orang di sampingnya itu, bayangan yang
lagi bergerak-gerak, terutama kaki tangannya, seperti orang menari. Ia
lantas menoleh, maka itu ia kenali, itulah bayangannya Kwee Ceng. Wajah
si pemuda tegang dan seperti menjadi korban kegirangan luar biasa.
"Engko Ceng!" ia memanggil perlahan. Ia heran dan menjadi berkhawatir
karenanya, apa pula panggilannya itu tidak disahuti si anak muda, yang
terus masih bergerak tak hentinya. Nyata sekali lagi bersilat seorang
diri.
Mau tidak mau, Oey Yong mengawasi. Lama juga ia meminta tempo, baru ia
mengerti. Terang sekarang, Kwee Ceng berlatih silat menuruti
gerak-geriknya kedua jago tua itu.
Perubahan terjadi dalam cara bertempurnya kedua jago itu. Kalau tadinya
mereka berperang sebat sekali, sekarang mereka menjadi lambat, ada
kalanya mereka menyerang dulu dengan dipikirkan lebih dahulu. Bahkan
anehnya, ada kalanya, habis bergebrak, mereka sama-sama duduk bersila,
untuk beristirahat, kemudian berbangkit pula, akan mulai bertempur lagi.
Mereka bukan seperti mengadu silat, bahkan bukan juga kedua saudara
seperguruan lagi berlatih. Toh wajah mereka menunjukkan ketegangan yang
bertambah-tambah.
Oey Yong berpaling kepada ayahnya, ia mendapatkan ayahnya itu bengong
mengawasi kedua jago itu. Ayah ini nampaknya tegang hatinya. Ketika nona
ini menoleh kepada Auwyang Kongcu, ia mendapat kenyataan pemuda itu
tenang seperti biasa, kipasnya dipakai mengipas perlahan-lahan.
Kwee Ceng berhenti bersilat, ia mengawasi kedua orang itu, lalu seperti lupa pada dirinya sendiri, ia bersorak dengan pujiannya.
"He, bocah tolol, kau mengerti apa?!" Auwyang Kongcu menegur, murka. "Apa perlunya kau membikin banyak berisik?!"
"Apa perlunya kau banyak rewel?!" Oey Yong balas menegur. "Kau pun mengerti apa?!"
Ditegur begitu, pemuda ini tertawa. "Bocah ini bergerak secara tolol!"
dia berkata. "Dia masih sangat muda, mana dia ketahui kepandaian
istimewa dari pamanku ini?"
"Kau toh bukannya dia, mana kau ketahui dia mengerti atau tidak?!" Oey Yong menegur pula.
Selagi muda-mudi ini berselisih mulut, Oey Yok Su tidak mengambil mumet,
dia tetap mengawasi sepak terjangnya dua sahabatnya itu. Kwee Ceng pun
memperhatikan dengan diam-diam saja.
Gerakkannya Ang Cit Kong dan Auwyang Hong menjadi terlebih lambat pula.
Yang mengangkat tangan kirinya, dengan jari tengahnya dia menyentil
perlahan batok kepalanya. Yang lainnya lagi, dengan kedua tangan di
kuping, berjongkok di tanah dengan romannya lagi berpikir keras. Hanya
sejenak kemudian, keduanya sama-sama berseru, terus mereka berlompat
bangun untuk saling serang pula.
"Bagus! Bagus!" Kwee Ceng berseru-seru melihat serangan itu.
Habis itu, kedua lawan itu berpisah pula. Kembali mereka berpikir.
Terang sudah, masing-masing seperti sudah mengetahui ilmu silat lawan,
maka itu, perlu mereka memikirkan cara penyerangannya.
Duapuluh tahun sejak dua lawan ini berpisah sehabis bertempur di Hoa
San, mereka masing-masing satu tinggal di Tionggan, satu yang lain di
See Hek, Wilayah Barat. Sebegitu jauh tidak pernah mereka berhubungan
satu dengan lain, sama-sama mereka menyakinkan lebih jauh ilmu silat
mereka. Mereka pun tidak ketahui kemajuannya masing-masing. Sekarang
ternyata, mereka sama gelapnya seperti dua puluh tahun dulu itu. Mereka
mempunyai kepandaiannya, mereka pun sama-sama jeri. Dengan begitu,
mereka membuang-buang tempo, sampai matahari sudah mulai menyingsing di
arah Timur.
Yang beruntung adalah Kwee Ceng, yang dapat memberi perhatian
seluruhnya. Ada kalanya ia memikir, pihak sana tentu bakal menyerang
begini, tetapi buktinya, dugaannya penyerangan pihak lain dan ada
terlebih sempurna dari apa yang ia pikir. Karena ini, ia menjadi
mendapat tambahan kepandaian. Kejadian ini terulang banyak kali. Ia
dapat menyangkok ilmu silatnya dua-dua jago tua itu.
Oey Yong mengawasi pemudanya itu, ia bertambah heran.
"Baru belasan hari aku tidak lihat dia, mungkinkah dia telah dapat
pelajaran silat dari malaikat?" berpikir nona ini. "Benarkah dia
memperoleh kemajuan begini pesat? Kenapa ia agaknya girang sekali?" Ia
baru berpikir begitu, atau ia menjadi berkhawatir. Katanya di dalam
hatinya: "Apa mungkin engko Ceng ini mendadak pikirannya terganggu?"
Karena ini, ingin ia mendekati si anak muda, untuk menarik tangannya.
Begitu berpikir, begitu ia bekerja. Itu waktu, Kwee Ceng tengah meniru
gerakkannya Auwyang Hong, yang menyerang sambil memutar tubuhnya.
Kelihatannya serangan itu sangat umum akan tetapi tenaga yang dikerahkan
tak terkira-kirakan. Maka itu tatkala tangannya si nona dapat memegang
tangan si pemuda, mendadak ia merasa kena tertolak keras, dengan
tiba-tiba saja ia mental tinggi seperti terbang. Melihat itu, Kwee Ceng
terkejut hingga ia menjerit tetapi pun tubuhnya terus berlompat
menyusul. Pinggang langsing dari Oey Yong dapat kena disambarnya, karena
mana dapatlah ia menaruh kaki di atas wuwungan paseban dengan tidak
kurang suatu apa, di situ terus ia berduduk.
Kwee Ceng sendiri, sebelum turut naik, telah menaruh tangannya di payon
di mana ia menekan keras, hingga di lainnya saat dia jadi dapat duduk
berendeng sama nona itu. Hingga dari situ, dengan memandang ke bawah,
mereka dapat menonton pertarungan.
Telah terjadi perubahan pula dalam caranya kedua jago itu bertempur.
Sekarang terlihat Auwyang Hong bejongkok dengan kedua tangannya dikasih
turun, hingga ia memperlihatkan sikapnya seekor kodok, sedang dari
mulutnya kadang-kadang terdengar suara seperti suaranya kerbau. Lucu
sikap itu hingga Oey Yong tertawa. "Engko Ceng, dia bikin apakah itu?"
dia menanya berbisik. Tertawanya pun perlahan sekali.
"Aku tidak tahu," Kwee Ceng menyahuti. Ia baru menjawab demikian atau
tiba-tiba ia ingat kata-katanya Ciu Pek Thong tentang Ong Tiong Yang
dengan pukulan jeriji It-yang-cie sudah memecahkan Hap-mo-kang atau Ilmu
Kodok dari Auwyang Hong. Maka ia lekas menambahkan; "Inilah semacam
ilmu silat yang lihay sekali, namanya Ilmu Kodok!"
Oey Yong meresa lucu hingga ia bertepuk tangan. "Ya, sungguh mirip kodok buduk!" serunya.
Sementara itu Auwyang Kongcu telah melihat orang duduk berendeng dan
bicara-bicara sambil tertawa dengan asyik, bukan main ia mendongkolnya.
Ia menjadi sangat bercemburu. Menuruti hatinya, hendak ia melompat naik
ke atas, untuk menggusur Kwee Ceng. Celaka untuknya, ia merasakan
dadanya masih sakit, hingga tidak dapat ia mengeluarkan tenaga. Ia
mendengar Oey Yong menyebut-nyebut kodok buduk, hatinya bertambah panas,
ia menyangka ialah yang dikatakan si kodok buduk yang mengharap
mencaplok daging angsa kayangan.
Sekarang ia tidak dapat menguasai lagi dirinya, dengan tangan kanan
menggenggam tiga biji torak Hui-yang Gin-so, ia bertindak perlahan-lahan
mutar ke belakang paseban itu, lalu dengan diam-diam juga ia menyerang
ke atas paseban, kepada sepasang muda-mudi itu. Ia dapat berbuat
demikian dengan leluasa karena lain-lain orang tengah menonton
pertempuran yang nampaknya lucu itu. Ia mengarah punggungnya Kwee Ceng.
Pemuda she Kwee ini tidak curiga suatu apa. Ia lagi asyiknya mengawasi
pertempuran yang justru tiba di saatnya Ang Cit Kong, gurunya hendak
menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang akan melayani terus kepada Auwyang
Hong. Oey Yong tidak ketahui Pak Kay dan See Tok ini, dua orang paling
kosen di jaman itu, tengah menghadapi pertempuran yang memutuskan, yang
membahayakan salah satu diantaranya, karena itu ia masih dapat tertawa
haha-hihi dan dengan tangannya tunjuk sana-sini.
Secara kebetulan saja, ia melihat satu tubuh di luar paseban bambu.
Dasar cerdik sekali, ia menyangka kalau-kalau Auwyang Kongcu main gila.
Maka hendak ia memasang matanya. Justru itu waktu ia mendengar desiran
angin dari senjata rahasia, yang melesat ke arah punggungnya Kwee Ceng,
sedang Kwee Ceng sendiri tidak mengetahui itu. Tidak sempat lagi ia
menangkis, segera ia bergerak menubruk diri ke punggungnya si anak muda,
dengan begitu tubuhnya mewakilkan anak muda itu menyambuti serangan
tiga biji Hui-ya Gin-so yang tepat mengenai punggungnya sendiri.
Nona ini mengenakan baju lapis joan-wie-kah, ia tidak terluka, cuma
saking kerasnya serangan, ia merasakan nyeri juga. Dengan sebat ia
memutar balik tangannya, akan menyambar ketiga biji torak, kemudian
sembari tertawa ia berkata; "Kau menggaruki gatal di punggungku,
bukankah? Banyak-banyak terima kasih! Nah, ini aku kembalikan
garukanmu!"
Auwyang Kongcu terperanjat, ia memasang matanya. Ia khawatir si nona
benar-benar nanti menyerang padanya. Ia tidak mau mempercayai si nona
itu sudi dengan baik hati memulangi toraknya itu. Hanya ia menanti
dengan sia-sia. Si nona masih memegangi senjata rahasianya itu, dia
tidak mengayunkan tangannya.
Menampak demikian, kongcu ini segera menjejak tanah dengan kakinya yang
kiri, untuk mengapungkan diri berlompat ke atas paseban bambu itu. Ia
hendak membanggakan ringannya tubuhnya. Di situ ia berdiri di satu
pojok, bajunya yang putih berkibaran di antara sampokannya angin, hingga
nampak sikapnya yang bagus, bagaikan seorang suci.
"Sungguh bagus ilmu ringan tubuhmu!" Oey Yong berseru dengan pujiannya.
Lalu dia maju setindak untuk berlompat naik ke atas paseban, untuk
menghampirkan, untuk membayar pulang torak orang.
Butek pikirannya Auwyang Kongcu menyaksikan tangan si nona yang putih
halus dan montok itu, putih bagaikan salju. Ia lantas mengulurkan
tangannya, guna menyambuti senjata rahasianya, sekalian ingin ia meraba
tangan yang halus itu, tatkala tiba-tiba saja ia mendapat lihat sinar
kuning keemas-emasan berkelebat di depan matanya. Dua kali sudah ia
merasakan tangannya si nona, maka tanpa bersangsi pula, ia lompat
berjumpalitan turun dari atas paseban itu. Sambil berkelit secara
demikian, ia juga mengibas-ngibaskan tangan bajunya, maka juga berhasil
ia meruntuhkan jarum emasnya si nona.
Oey Yong tertawa terkekeh walaupun serangannya itu gagal. Ia tidak
berhenti sampai di situ. Dengan sekonyong-konyong saja, ia menyerang
pula dengan tiga biji toraknya si anak muda, untuk menghajar
embun-embunnya pemuda itu.
"Jangan!" berseru Kwee Ceng kaget, menampak perbuatannya si nona itu, untuk dibawa lompat turun.
Belum lagi anak muda ini dapat menginjak tanah, kupingnya dapat
mendengar satu suara nyaring, yang mana dengan suara cegahannya Oey Yok
Su, "Saudara Hong, berlakulah murah hati!"
Kwee Ceng segera merasakan dorongannya angin yang keras, bagaikan gunung
roboh menguruk lautan, mengenakan dadanya. Berbareng dengan itu, ia
khawatir, Oey Yong nanti terluka, dari itu lekas-lekas ia mengerahkan
tenaganya, ia menggunai jurus "Melihat naga di sawah" dari Hang Liong
Sip-pat Ciang. Dengan jurusnya itu ia menolak dorongan keras itu.
Di mana dua-dua pihak menggunai tenaga besar, kedua tenaga itu bentrok
keras sekali. Sebagai kesudahannya, Kwee Ceng tertolak mundur tujuh atau
delapan tindak, karena pertahanannya tidak dapat mengalahkan Ilmu Silat
Kodok dari Auwyang Hong yang lihay itu.
Lekas-lekas Kwee Ceng melepaskan tubuh Oey Yong, lekas-lekas juga ia
memasang kuda-kudanya, guna melayani terlebih jauh See Tok si Bisa dari
Barat itu, yang sudah hendak menyerang pula padanya. Hanya belum lagi
mereka bentrok pula, Ang Cit Kong berdua Oey Yok Su sudah berlompat maju
menghalang di antara mereka.
"Sungguh malu," berkata Auwyang Hong. "Tak keburu aku menahan diri! Apakah si nona terluka?"
Sebenarnya Oey Yong kaget bukan main, tetapi mendengar pertanyaan orang
itu, ia memaksakan diri tertawa. "Ayahku berada di sini, mana dapat kau
melukakan aku?" katanya.
Oey Yok Su pun berkhawatir. Ia lantas cekal tangan anaknya itu. Ia
menarik. "Apakah kau merasakan sesuatu yang beda pada tubuhmu?"
tanyanya. "Lekas kau mainkan napasmu!"
Oey Yong menurut, ia lantas menarik dan mengeluarkan napas dengan
beraturan. Ia tidak merasakan apa juga yang mengganggu pernapasannya
itu. Maka ia lantas tertawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Melihat itu, barulah hati Oey Yok Su lega.
"Kedua pamanmu lagi berlatih silat di sini, kenapa kau main gila,
budak?!" ayah ini menegur putrinya itu. "Hap-mo-kang dari Auwyang pepe
hebat luar biasa, jikalau bukannya dia menaruh belas kasihan kepadamu,
apakah kau kira sekarang kau masih mempunyai jiwamu? Coba kau lihat
paseban itu!"
Oey Yong berpaling, akan melihat paseban seperti kata ayahnya itu.
Diam-diam ia terperanjat. Paseban itu telah runtuh sebagiannya, tiang
bambunya, yang mendam ke dalam tanah, telah terbongkar tercabut dan
remuk bekas kena hajaran Silat Kodok. Tanpa merasa, ia mengulur
lidahnya.
Ilmu silat Hap-mo-kang dari Auwyang Hong itu dimulai dari mendiamkan
diri disusul sama gerakan tubuhnya, ketika itu seluruh tenaganya telah
dikerahkan, kalau ia diserang, segera ia dapat menolak balik serangan
itu. Untuk menyerang pun ia mesti berdiam dulu, memasang kuda-kudanya
yang aneh bagaikan kodok nongkrong. Barusan ia melayani Ang Cit Kong, ia
bersiap dengan kuda-kudanya yang aneh itu, di saat ia hendak menyerang,
mendadak Oey Yong pun berlompat turun sebab dipondong Kwee Ceng, jadi
tepat si nona melintang di tengah.
Auwyang Hong pun kaget melihat arah serangannya adalah si nona, yang ia
hendak ambil sebagai istri dari keponakannya. Ia menginsyafi bahwa si
nona terancam bahaya maut, jiwanya tak bakal tertolong lagi. Ia juga
dapat mendengar cegahannya Oey Yok Su. Begitulah ia mencoba menarik
pulang pukulannya tetapi gagal, paseban kena terhajar runtuh, doronganya
tenaga itu berlangsung terus. Lalu mendadak ia merasakan ada satu
tenaga lain yang menahannya. Ketika ia sudah berhenti menyerang, ia
memasang mata tajam ke depannya. Terlihat olehnya, penolong dari si nona
adalah si pemuda Kwee Ceng. Diam-diam ia mengagumi Ang Cit Kong,
katanya dalam hatinya: "Benar-benar lihay ini pengemis bangkotan, dia
berhasil mengajari muridnya ilmu yang begini sempurna!"
Oey Yok Su pun berpikir melihat sepak terjangnya Kwee Ceng itu, yang
selama di Kwie-in-chung pernah ia saksikan ilmu kepandaiannya. Katanya
dalam hatinya: "Ini bocah tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, dia
berani melayani Auwyang Hong, tidak memandang aku, tidakkah urat-urat
dan tulang-tulangnya bakal putus dan remuk?" Ia mengatakan demikian
karena tidak tahu, Kwee Ceng yang sekarang bukan lagi Kwee Ceng yang
sama di Kwie-in-chung itu. Ia ketahui, barusan adalah Kwee Ceng yang
sudah menolong putrinya, maka tanpa merasa kesannya yang kurang baik
untuk pemuda itu menjadi berkurang tujuh atau delapan bagian. Bukankah
bocah itu sudah berani berkorban untuk Oey Yong? Di akhirnya ia
berpikir: "Bocah ini jujur dan baik hatinya, walaupun tidak dapat aku
nikahkan anakku kepadanya, mesti menghadiahkan sesuatu kepadanya."
Selagi Tong Shia berpikir demikian, ia mendapat dengar suaranya Ang Cit
Kong. "Makhluk beracun bangkotan, sungguh kau hebat!" demikian Pak Kay,
si Pengemis dari Utara. "Kita berdua belum ada yang kalah dan menang,
mari kita bertempur pula!"
"Baik, bersedia aku melayani seorang budiman!" menjawab See Tok, si racun dari Barat.
Ang Cit Kong tertawa. "Aku bukannya seorang budiman, aku hanyalah pengemis!"
Dengan hanya sekali berlompat, raja pengemis ini sudah berada dalam
gelanggang. Auwyang Hong juga hendak masuk ke dalam gelanggang itu
tatkala Oey Yok Su mencegahnya seraya Tong Shia melonjorkan tangannya
yang kiri.
"Tunggu dulu, saudara Cit dan saudara Hong!" katanya. "Kamu berdua sudah
bertarung lebih dari pada seribu jurus, kamu tetap belum memutuskan
menang atau kalah, karena hari ini kamu berdua adalah tetamu-tetamu
terhormat dari Tho Hoa To, lebih baik kamu berdua duduk minum beberapa
cawan arak pilihan yang aku nanti menyediakannya. Saatnya merundingkan
pedang di Hoa San akan tiba di depan mata, maka itu waktu bukan cuma
kamu berdua yang bakal mengadu kepandaian pula, juga aku dan Toan Hong
Ya akan bersama turun tangan! Bagaimana jikalau pertempuran ini hari
disudahi sampai disini?"
"Baiklah!" menyahut Auwyang Hong tertawa, "Kalau kita bertempur pula, pastilah aku bakal kalah!"
Ang Cit Kong menarik pulang dirinya. Ia pun tertawa. "Si makhluk berbisa
bangkotan dari Wilayah Barat lain mulutnya lain hatinya!" berkata dia.
"Kau memang sudah sangat tersohor! Kau membilang bakal kalah, itu
artinya kau bakal menang! Tidak, aku si pengemis tua tidak dapat
mempercayainya!"
"Jikalau begitu, hendak aku mencoba pula kepandaianmu, saudara Cit!" Auwyang Hong menantang.
"Tidak ada yang terlebih baik dari pada itu!" Ang Cit Kong menyambut. Dan ia pun bersiap pula.
"Sudahlah!" berkata Oey Yok Su tertawa, melihat orang hendak bertempur
lagi. "Nyatalah kamu berdua hari ini datang ke Thoa Hoa To untuk
mempertunjukkan kepandaian kamu!"
Ang Cit Kong tertawa lebar. "Pantas kau menegur aku, saudara Yok!"
katanya. "Sebenarnya kami datang kemari untuk mengajukan lamaranku,
bukannya untuk mengadu kepandaian."
"Bukankah aku telah mengatakan hendak aku mengajukan tiga syarat untuk
menguji kedua sieheng?" berkata pula Oey Yok Su. "Siapa yang lulus,
dialah yang aku akan ambil sebagai menantuku, dan siapa yang jatuh, dia
pun tidak bakal aku membuatnya pulang kecewa."
Cit Kong agaknya heran. "Apa?! Apakah kau masih mempunyai lain putri lagi?" tanyanya.
"Sekarang ini belum!" sahut Oey Yok Su tertawa. "Umpama kata aku
lekas-lekas menikah pula dan mendapatkan satu anak perempuan, sekarang
ini sudah tidak keburu lagi! Aku ini mengerti juga kasar-kasar tentang
ilmu pengobatan dan meramalkan, maka itu sieheng yang mana yang tidak
lulus, jikalau ia tidak mencelanya dan sudi mempelajari dia boleh
memilih pelajaran yang mana ia penuju. Nanti aku mengajarinya dengan
sungguh-sungguh."
Ang Cit Kong memang tahu Oey Yok Su banyak pengetahuannya, ia anggap
lumayan juga andaikata orang tak dapat menjadi menantunya tetapi dapat
semacam kepandaian dari padanya untuk kepentingan seumur hidupnya.