Entah sudah lewat berapa banyak hari, maka pada suatu tengah hari
bersantap, Ciu Pek Thong berkata pada adik angkatnya: "Adik, kau telah
berhasil mewariskan ilmu silat Kong-beng-kun, selanjutnya aku tidak
bakal mampu merobohkan kau pula. Karena itu kita harus menukar caranya
bermain-main."
Kwee Ceng gembira, dia tertawa. "Bagus, toako. Apakah caramu itu?"
"Sekarang kita bermain seperti empat orang lagi berkelahi…"
"Apa, empat orang?"
"Benar, empat orang," sang kakak memberi kepastian. "Diumpamakan tangan
kiriku satu orang dan tangan kananku satu orang. Demikian juga sepasang
tanganmu, diandaikan dua orang. Kita empat orang masing-masing tidak
saling membantu, kita berkelahi dalam empat rombongan. Pasti akan
menarik hati!"
Kwee Ceng gembira, ia tertawa pula. "Cuma sayang tidak dapat aku membagi tanganku," katanya.
"Nanti aku ajari. Sekarang kita umpamakan bertiga dulu."
Pek Thong mulai menyerang. Ia dapat memecah diri menjadi seperti dua
orang. Kwee Ceng melayani seorang diri. Di saat si adik angkat terdesak.
Pek Thong menggunai tangan lainnya membantu. Ia dapat memisah tangan
kiri dari tangan kanan.
Setelah merasa cukup lama, keduanya berhenti. Kwee Ceng senang dengan
permainan ini. Mendadak ia ingat Oey Yong. Coba Yong-jie ada bersama,
bukankah mereka bertiga bisa berkelahi seperti enam orang? Ia pun
percaya Oey Yong senang dengan permainan ini.
Pek Thong bersemangat sekali, setelah Kwee Ceng sudah beristirahat
cukup, ia mengajak untuk mulai lagi. Ia pun senang si anak muda dapat
melayani. Ia kata, "Kalau kau belum menyakinkan ilmu Coan Cin Pay, tidak
nanti kau dapat mengendalikan diri seperti ini. Sekarang dapat kau
menggunai tangan kiri dengan Lam-san-ciang dan tangan kanan
Wat-lie-kiam."
Dengan Lam-san-ciang itu dimaksudkan pelajaran yang didapat dari Lam Hie
Jin, dan Wat-lie-kiam dari Han Siauw Eng. Pek Thong saban-saban memberi
keterangannya, maka selang beberapa hari lagi, benar-benar Kwee Ceng
sudah dapat memisahkan kedua tangannya masing-masing, maka selanjutnya
bisalah mereka berdua bertempur seperti berempat.
"Sekarang mari kita coba," kata Pek Thong kemudian. "Tangan kananmu dan
tangan kiriku menjadi satu kawan, dan tangan kananku dan tangan kirimu
menjadi kawan yang lain, kita saling melawan."
Kwee Ceng terus bergembira. Ia mematahkan secabang pohon, buat dicekal
tangan kanan bagaikan pedang. Dengan begitu mereka mulai bertempur,
mulanya perlahan-lahan. Terus Pek Thong memberikan keterangan, sampai
adik angkatnya itu mengerti betul-betul. Dengan begitu, adik angkat itu
dapat lagi semacam ilmu yang luar biasa itu.
Hari terus berjalan, setelah lewat beberapa hari pula, Pek Thong ajak
adik angkatnya itu bergebrak pula. Mereka berkelahi seperti empat orang.
Dalam kegembiraannya, Pek Thong berkelahi sambil tertawa. Kwee Ceng
sebaliknya repot, ia kena terdesak, maka kalau tangan kanannya
kewalahan, tangan kirinya membantu, begitu sebaliknya. Kalau ia
terdesak, mereka jadi seperti berkelahi bertiga. Tapi biar bagaimana,
Kwee Ceng toh mengerti juga.
"Ah, kau tidak pakai aturan!" Pek Thong tertawakan adiknya, yang berkelahi seperti sendiri itu.
Kwee Ceng tidak membilang suatu apa, hanya selang beberapa jurus,
tiba-tiba ia lompat mundur, terus ia berdiam. "Toako!" katanya habis
berpikir, "Aku ingat suatu apa…"
Pek Thong heran. "Apakah itu?" dia menegasi.
"Kedua tangan toako menjadi seperti dua orang, kalau kedua tangan itu
dipakai melawan satu orang, bukankah itu berarti dua lawan satu? Kita
sekarang hanya main-main tetapi aku pikir itu dapat dipakai buat
berkelahi benar-benar…"
Pek Thong tak usah berpikir lama untuk menyadari itu. Mendadak ia lompat
ke luar dari gua, dia menjambret cabang pohon, untuk mematahkan dua
batang. Habis itu ia jalan mondar-mandir di mulut gua, sambil tertawa
terus.
"Toako, kau kenapa?" menegur Kwee Ceng heran. Kakak itu seperti edan. "Kau kenapakah?"
Pek Thong tidak menjawab, ia tertawa terus. Selang sekian lama, baru ia kata: "Adik, aku ke luar dari gua!"
"Ya," Kwee Ceng menyahut, dia lompat ke mulut gua. "Nanti aku gantikan kau menjaga di sini. Asal jangan toako pergi jauh…."
Pek Thong tertawa, dia menyahuti, "Sekarang ini kepandaianku ialah yang
nomor satu di kolong langit, perlu apa aku takut pula Oey Yok Su?
Sekarang ini aku tinggal menantikan dia, untuk aku menghajarnya
kalang-kabutan!"
Kwee Ceng heran. "Toako, pastikah kau bakal dapat menang?"
"Sebenarnya aku masih kalah seurat," sahut Pek Thong, "Tetapi sekarang
aku dapat memecah diri, dengan dua lawan satu, di kolong langit ini
tidak bakal ada lain orang yang dapat menangi aku! Oey Yok Su, Ang Cit
Kong dan Auwyang Hong, boleh mereka lihay sekali, akan tetapi dapatkah
mereka melayani dua Loo Boan Tong?"
Kwee Ceng girang. Beralasan perkataanya ini kakak angkat.
"Adikku," kata pula Pek Thong, "Kau sudah mengerti ini ilmu memecah
diri, untukmu tinggal latihan terlebih jauh untuk memahirkannya.
Beberapa tahun kemudian, sesudah kau bisa menyakinkan seperti kakakmu
ini, kau pasti akan tambah hebat!"
Girang dua saudara angkat ini. Bahkan Ciu Pek Thong mengharap-harap
munculnya Oey Yok Su, yang baru beberapa saat di muka ia takuti. Coba
tidak Oey Yok Su mempunyai jalan rahasianya itu, yang menyesatkan orang,
ia sudah pergi mencari.
Sore itu ketika si bujang tua datang membawa makanan, Pek Thong cekal
tangan orang. "Pergi lekas panggil Oey Yok Su kemari, bilang di sini aku
menantikan dia, suruh dia mencobai tanganku!"
Selama orang berbicara, bujang tua itu terus menggoyangi kepala, ketika
Pek Thong sudah habis bicara, baru ia sadar sendirinya, "Aah, aku lupa
dia tuli dan gagu!" katanya, berludah. Maka ia menoleh kepada Kwee Ceng
dan kata: "Sore ini kita mesti dahar sampai kenyang!" Ia lantas membuka
tutup makanan.
Kwee Ceng dapat mencium bau makanan yang sedap. Ketika ia sudah
memeriksa, ia dapat kenyataan, di antara sayuran ada ayam tim yang ia
doyan sekali. Ia jadi berpikir. Kemudian ia mencobai. Ia merasa itu
seperti masakannya Oey Yong. Lantas hatinya berdebaran. Tahulah ia,
itulah masakannya si nona untuknya. Ia lantas memperhatikan yang
lainnya. Dari belasan bakpauw, ada satu yang ukirannya seperti
buli-buli, rupanya itu sengaja dibikin dengan kuku tangan, ukirannya
cetek, tidak gampang untuk melihat itu. Ia heran, maka ia jumput bakpauw
itu, untuk dibelah dua. Di dalam situ ada sepotong lilin. Lekas-lekas
ia masuki ke sakunya selagi Pek Thong dan si bujang tidak
memperhatikannya.
Kali ini dua orang itu dahar dengan masing-masing pikirannya. Pek Thong
gembira karena berhasil menciptakan ilmu silat baru, sembari mencaplok,
ia seperti bersilat. Kwee Ceng mengharapkan lekas dahar cukup supaya ia
bisa lekas baca suratnya Oey Yong. Ia percaya si nona ada punya kabar
untuknya.
Akhirnya Pek Thong telah dahar habis bakpauwnya, lalu ia tengak kuah
supnya, habis itu si bujang berbenah dan berlalu. Sampai di situ Kwee
Ceng keluarkan lilinnya, untuk dipecahkan. Benar di dalamnya ada
suratnya, ialah surat dari Oey Yong. Si nona menulis: "Engko Ceng,
jangan khawatir. Ayah sudah baik lagi denganku. Kau tunggulah,
perlahan-lahan aku nanti minta supaya ayah melepaskan kau."
Habis membaca, surat itu dikasih lihat pada Pek Thong. Kakak itu
tertawa. "Di sini ada aku, dia tidak melepaskanmu pun tidak bisa!"
katanya.
Ketika itu cuaca mulai jadi gelap. Kwee Ceng duduk bersemedhi, tetapi ia
senantiasa memikirkan Oey Yong, tidak bisa ia berdiam tenang. Selang
sekian lama, baru ia merasa tentram. Tapi justru ia tenang, justru ia
dapat berpkir bahwa untuk dapat memisah diri, ia mesti berlatih. Dengan
kedua tangannya bergantian ia tutup kedua lubang hidungnya, untuk bikin
napasnya pun menjadi dua….
Kira-kira satu jam dia melatih diri, Kwee Ceng merasakan dia mendapat
kemajuan. Tiba-tiba ia mendengar suara mendesir keras, lekas-lekas ia
membuka matanya. Cuaca sudah gelap tetapi di situ terlihat rambut dan
kumis putih bergerak-gerak, maka ia mengawasi. Terlihatlah olehnya Ciu
Pek Thong lagi melatih diri dengan ilmu silat Kong-beng-kun yang terdiri
dari tujuhpuluh dua jurus itu. Kelihatannya setiap tangan dikeluarkan
perlahan tetapi kesudahannya anginnya keras. Jadi itulah lemas
memelihara kekerasan. Girang ia melihat kakaknya begitu hebat.
Selagi Kwee Ceng menonton lebih lanjut dengan gembira, tengah Ciu Pek
Thong bersilat dengan asyik, mendadak orang tua itu menjerit, disusul
sama satu suara bentrokan keras, sebab suatu benda panjang dan hitam
terlempar dari tubuhnya si orang tua, membentur kepada pohon. Nampaknya
benda itu seperti kena disambar.
Kwee Ceng terkejut. Ia lihat tubuh kakaknya terhuyung. Ia lompat menghampirkan. "Toako, ada apa?" dia menanya.
"Aku digigit ular berbisa!" sahut Pek thong.
Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Ia tampak air muka kakaknya pias. Ia
lantas mempepayang orang masuk ke gua. Ia merobek ujung bajunya, untuk
membalut keras paha kakaknya itu, ialah bagian yang dipagut ular, guna
mencegah bisa ular mengalir masuk ke dalam tubuh. Tempo ia menyalakan
api, ia menjadi terlebih kaget. Ia melihat betis yang lantas menjadi
bengkak.
"Di pulau ini tidak biasanya ada ular berbisa, entah dari mana datangnya
binatang ini," kata Pek Thong. Ia kenali itulah ular hijau.
Kwee Ceng mendengar nyata suara kakaknya, ia jadi terlebih kaget lagi.
Itulah tanda hebatnya racun ular. Bagus, si kakak dapat mengendalikan
napasnya, dia jadi masih dapat mempertahankan diri tanpa pingsan. Tanpa
bersangsi ia membungkuk segera ia bawa mulutnya ke paha, ke tempat yang
luka, untuk menyedot darah yang telah kecampur racun ular itu.
Pek Thong terkejut melihat kelakuan adik angkatnya ini. "Jangan!" ia
mencegah. "Ular orang amat berbisa,” pikirnya sambil ia menyedot terus.
“Kalau aku berhenti, Ciu Pek Thong bisa mati!"
Kwee Ceng hendak menolongi jiwa orang, ia lupa kepada dirinya sendiri.
Ia mencekal keras kaki orang, ia menyedot terus. Pek Thong hendak
berontak buat melepaskan diri tetapi segeralah dia lelah, tubuhnya
lemas, tak dapat bergeming lagi. Bahkan habis itu ia pingsan. Kwee Ceng
menyedot lamanya semakanan nasi, lantas ia lepehkan racun ular itu. Ia
dapat menyedot pulang sebagian besar racun itu. Pek Thong pun kuat
tubuhnya berkat ilmu dalamnya, selang sejam, ia mendusin.
"Adik," dia berkata, "Hari ini kakakmu bakal pulang ke negeri baka,
sebelum mati aku dapat mengangkat saudara sama seorang berbudi sebagai
kau, aku sangat bergirang…"
Kwee Ceng lantas saja mengucurkan air mata. Pendek pergaulan mereka
tetapi ia sangat ketarik sama orang tua ini, yang baik hatinya. Mereka
sudah jadi seperti saudara kandung.
Pek Thong tertawa dalam kedukaan. "Bagian dari Kiu Im Cin-keng berada di
dalam peti kecil, yang aku pendam di dalam tanah di atas mana aku duduk
numprah," Pek Thong berkata pula. "Sebenarnya aku hendak mewariskan itu
kepada kau tetapi kau sudah mengisap racun ular, kau juga bakal tidak
panjang umur…. Adikku, kita pulang ke dunia baka bersama-sama, dengan
bergandeng tangan, kita tak usah berkhawatir kita tak punya kawan…."
Kwee Ceng terkejut mendengar kata-kata orang bahwa ia bakal mati. Ia
justru merasakan tubuhnya sehat, tidak ada tanda-tanda yang luar biasa.
Ia lantas pula nyalakan api, untuk periksa luka kakaknya itu. Bahan
apinya itu tinggal separuh, maka ia berlaku sebat. Ia keluarkan dari
sakunya surat dari Oey Yong, dia sulut itu, lantas ia memikirkan untuk
mencari cabang dan daun kering di luar gua, untuk ia sekalian,
kesudahannya ia terkejut. Tidak ada cabang atau daun kering di situ,
rumput semuanya hijau dan segar. Dalam bingung, ia merogoh pula sakunya,
untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan bahan api. Ia tidak
dapatkan apa-apa kecuali itu sehelai benda kertas bukan kulit bukan,
yang Bwee Tiauw Hong pakai membungkus pisau belati. Tanpa pikir nlagi,
ia keluarkan itu, untuk dibakar. Ia menyuluhi muka Pek Thong. Ia melihat
tampang yang hitam gelap, tidak lagi roman segar sebagai bocah dari
kakak angkatnya itu.
Melihat api, Pek Thong mengawasi Kwee Ceng. Ia tersenyum. Tapi melihat
wajah orang, yang sehat seperti biasa ia heran. Tengah ia berpikir, ia
lihat benda yang menyala di tangan si anak muda, ia menampak
huruf-huruf. Baru ia melihat belasan huruf, lantas ia sampok api itu
hingga padam, sesudah mana, ia menghela napas lega.
"Eh, adikku, kau pernah makan obat apa yang mujarab?" ia tanya. "Kau
sudah menyedot racun ular tetapi racun ular itu tidak dapat mencelakai
kau!"
Ditanya begitu, Kwee Ceng ingat halnya dulu hari ia bersama Ang Cit Kong
dan Oey Yong bertemu banyak ular dalam rimba pohon cemara, bagaimana
tidak ada ular yang berani menggigit padanya, ketika kemudian Cit Kong
minta keterangan padanya ia ingat yang pernah menghirup darah ularnya
Nio Cu Ong. Maka ia lantas memberi keterangannya.
Pek Thong mau mengerti, lantas ia menunjuk itu barang seperti kertas
atau kulit. "Jangan kau bakar itu!" katanya. "Itulah mustika…!" Tidak
sempat ia bicara lebih jauh, kembali Pek Thong pingsan. Sebenarnya ia
hendak menjelaskan, benda itu memuat huruf-huruf yang merupakan Kiu Im
Cin-keng bagian bawah.
Dalam keget dan bingungnya Kwee Ceng menguruti kakaknya itu. hendak ia
menolong tetapi tidak ada hasilnya. Ia meraba paha orang, ia merasakan
paha panas seperti api dan bengkaknya pun bertambah. Saking berkhawatir,
ia lari ke luar gua, ia lompat naik ke pohon terus ia berkoak-koak.
"Yong-jie! Yong-jie! Oey Tocu! Tolong! Tolong!"
Luas Tho Hoa To itu. Oey Yok Su entah ada di bagian mana, suaranya Kwee
Ceng sia-sia belaka. Cuma datang sambutan kumandang koakannya itu dari
antara lembah. Habis daya Kwee Ceng, ia lompat turun. Tetapi ia tidak
putus asa. Mendadak ia ingat suatu hal. Ia pikir: "Ular beracun tidak
berani menggigit aku, mungkin darahku bisa memunahkan racun ular."
Begitu mengingat ini, begitu ia bekerja. Ia ambil mangkok hijaunya Pek
Thong, yang diperantikan menaruh teh, ia pun menghunus pisau belatinya.
Tanpa sangsi lagi, ia potong lengannya, darahnya yang mengalir itu ia
tadahkan dengan mangkok itu. Ia tunggu sampai darah habis menucur ke
luar, terus ia letaki tubuh Pek Thong di kakinya. Ia membuka mulut
saudaranya itu, ia menggunai tangan kirinya lalu dengan tangan kanan ia
menuang darahnya ke dalam mulut orang.
Anak muda ini telah mengeluarkan banyak darah, walaupun tubuhnya kuat,
ia lelah juga, ia menjadi lemas. Menyender pada lamping gua, sendirinya
ia meram dan menjadi pulas. Ia baru sadar ketika merasa ada orang meraba
lengannya untuk membalut lukanya, apabila ia membuka matanya, ia
melihat Loo Boan Tong yang rambutnya melorot turun. Ia menjadi girang
dengan tiba-tiba.
"Kau…kau…baik?" serunya.
"Aku baik, adikku," sahut Pek Thong. "Kau telah menolong aku, kau sampai mengorbankan dirimu."
Kwee Ceng mengawasi paha kakak itu, warna hitamnya sudah lenyap, tinggal
warna merah dan bengkaknya. Keduanya tidak banyak omong, bersama-sama
mereka bersemedhi. Adalah setelah bersantap tengah hari, Ciu Pek Thong
baru menanyakan halnya benda yang berupa kulit atau kertas itu yang ada
huruf-hurufnya.
Kwee Ceng mesti mengingat-ingat dulu sebelumnya ia menjawab. Ia ingat
itulah benda yang ia dapatkan dari gurunya yang nomor dua, Biauw-ciu
Sie-seng Cu Cong, yang sebaliknya mendapatkan itu dari sakunya Bwee
Tiauw Hong, ketika guru itu mencuri pisau belati orang, pisau belati
mana dibungkus dengan kulit itu. Maka ia lantas menuturkan peristiwa di
Kwie-in chung baru-baru ini.
Ciu pek Thong berpikir. Ia tidak mengerti kenapa Bwee Tiauw Hong mencatat Kiu Im Cin-keng di kulit itu.
"Toako, kau menyebutkannya itu barang berharga, apakah artinya?" tanya
Kwee Ceng yang masih belum mengetahui itu adalah Kiu Im Cin-keng bagian
bawah itu.
"Hendak aku memeriksa dulu baru aku bisa menjawab kau," menyahut Pek
Thong. "Aku ingin membuktikan ini yang tulen atau yang palsu."
Pek Thong masih terbenam kesangsian. Bukankah orang Coan Cin Pay
dilarang mempelajari Kiu Im Cin-keng? Bukankah maksudnya Ong Tiong Yang
mendapatkan itu guna menyingkirkan bencana di kemudian hari? Ia tidak
berani melanggar pesan itu. Akan tetapi ia berpikir: "Bukankah aku tidak
berniat mempelajarinya dan aku cuma hendak melihat saja?" Ini pula
sebabnya kenapa selama numprah di dalam gua itu, ia telah periksa Kiu Im
Cin-keng bagian atas itu dan membacanya berulang-ulang hingga ia hapal
di luar kepala. Bagian atas itu memuat ilmu silat tangan kosong dan
pedang, tidak ada tipu atau rahasianya untuk mengalahkan lain orang,
jadi sia-sia semua pelajaran itu apabila orang tidak mendapatkan bagian
bawahnya.
Selama sepuluh tahun lebih, Pek Thong senantiasa memikirkan dan
menduga-duga bagaimana isinya Kiu Im Cin-keng bagian bawah itu. Dasar
kepandaiannya telah mencapai puncaknya dan ia pun sangat hapal Kiu Im
Cin-keng bagian atas, maka itu begitu melihat bagian bawahnya itu, ia
lantas mengerti hubungan keduanya itu. Sekarang ia berpikir keras, ia
menyakinkan itu atau jangan? Ia tidak menghendaki menjadi jago nomor
satu tetapi ia ingin mengetahui dasarnya ilmu silat, bagaimana lihaynya.
Karena kesangsiannya, sebab masih terpengaruh pesan kakak
seperguruannya, akhirnya ia masuki kitab itu ke dalam sakunya dan tidur.
Tidak lama setelah mendusin, Pek Thong ajak Kwee Ceng membantui ia
menggali tanah di bagian tempat duduknya, akan mengeluarkan kitab
simpanannya, untuk dihubungi dengan bagian bawahnya. Baru ia mengorek
beberapa kali, dengan sebatang pohon yang dipakai sebagai alat penggali,
mendadak ia berseru: "Benar! Benar! Inilah cara yang paling baik!" Ia
lantas tertawa, agaknya ia girang luar biasa.
"Toako, kau bilang apa?" tanya Kwee Ceng mengangkat kepalanya.
Pek Thong tertawa pula, ia tidak menjawab. Ia sebenarnya mendapat ingat
sesuatu. Katanya dalam hati: "Dia bukan orang Coan Cin Pay, aku ajari
dia menurut bunyinya kitab, supaya ia mengerti semuanya, habis ia
melatih itu, untuk aku melihat, tidakkah aku jadi dapat mencapai
maksudku untuk melihatnya?"
Tapi sejenak kemudian, ia memikir lainnya. "Di dengar dari suaranya, ia
jemu terhadap Kiu Im Cin-keng, yang ia namakan ilmu sesat, cumalah ia
keliru mengerti sebab ia melainkan menyaksikan Hek Hong Siang Sat, yang
mengerti hanya bagian bawahnya. Ia tidak tahu bahwa bagian atasnya
memuat cara-cara yang sehat. Karena Hek Hong Siang Sat tidak mengetahui
bagian atasnya itu, mereka menjadi sesat. Baiklah aku mengatur begini,
aku tidak mengasih keterangan padanya, nanti sesudah ia paham, baru aku
mengasih tahu, biar ia kaget. Karena ia sudah mengerti ilmu itu, tidak
dapat ia membuangnya pula! Tidakkah ini lucu?"
Setelah berpikir demikian, ia awasi Kwee Ceng. Ia berkata: "Adikku,
selama aku berdiam di dalam gua ini, kecuali ilmu silat Kong-beng-kun
serta cara berkelahi bermain-main itu, sebenarnya aku telah mendapatkan
beberapa ilmu lain. Sekarang ini kita nganggur, bagimana jikalau aku
mengajari pula padamu?" Ia bicara tanpa mengasih kentara apa-apa.
Kwee Ceng polos, ia girang. "Memang itu bagus!" jawabnya.
"Jangan kau kegirangan, kau telah kena terpedaya!" kata Pek Thong dalam
hatinya. Ia segera mulai membacakan isinya Kiu Im Cin-keng bagian atas.
Kwee Ceng tidak cerdas, ada bagian-bagian yang ia tidak mengerti, ia
menanyakan itu. Pek Thong berlaku sabar luar biasa untuk memberikan
penjelasannya, sesudah mana, dari bagian atas ia menyambung ke bagian
bawah. Cuma, untuk tidak membikin orang curiga, ia suka mengambil jalan
menyimpang.
Luar biasa caranya mengajarnya Ciu Pek Thong ini. Beda dari semua guru
lainnya, ia tidak memberi penjelasan dengan gerakan tangan atau kakinya,
tetapi meski pun demikian, berkat bahan baik dari Kwee Ceng, yang pun
bersungguh-sungguh, dan berkat kesabarannya sendiri, ia memperoleh
hasil. Setelah Kwee Ceng mengerti, ia mencoba membandingkan itu dengan
ilmu silat Coan Cin Pay. Kwee Ceng tetap tidak mendusin bahwa ia sudah
mendapatkan pelajaran-pelajaran dari Kiu Im Cin-keng. Hal ini membuat
Pek Thong sangat girang, walaupun tengah bermimpi, ia suka tertawa
sendirinya.
Selama beberapa hari ini, Oey Yong pun terus membikinkan Kwee Ceng
beberapa rupa barang hidangan yang digemari si anak muda. Cuma ia tidak
muncul menemui anak muda itu. Kwee Ceng berlega hati, ia mantap belajar
silat, ia mendapat kemajuan hebat.
Pada suatu hari Pek Thong mengajari ilmu mencengkram atau menjambak Kiu Im Pek-ku Jiauw. Sebagai sasarannya adalah tembok gua.
"Pusatkan perhatianmu! Gunakan sepuluh jarimu!" berkata si guru.
Kwee Ceng menurut. Selang beberapa kali, dia heran. "Toako," katanya,
"Aku lihat Bwee Tiauw Hong pernah mempelajari ilmu semacam ini,
melainkan sasarannya ialah manusia hidup, dengan jarinya ia mencengkram
batok kepala orang, dia kejam sekalli!"
Di dalam hatinya Pek Thong terkejut juga. Pikirnya: "Memang, Bwee Tiauw
Hong itu mengambil jalan yang sesat, sebab ia tidak tahu bagian atasnya.
Ia cuma turuti kitab bawah yang bunyinya, 'Di waktu bertempur, dengan
jari-jari tangan mencengkram batok kepala lawan.' Ia tentunya pikir,
melatihnya pun mesti memakai manusia hidup. Dia mulai curiga, baiklah
aku mengubahnya…"
Maka sembari tertawa ia berkata: "Dia mempelajari ilmu sesat, dia beda
dari kita kaum sejati. Baiklah, kita menunda mempelajarinya ini ilmu Kiu
Im Sin-jiauw, aku nanti mengajari kau lain ilmu dalam." Sembari berkata
begitu, ia berpikir: "Baik aku mengajari dulu bagian atas sampai dia
hapal benar, kemudian baru bagian bawah. Kalau keduanya menemui
runtunannya, tentulah ia tidak bercuriga lagi."
Kwee Ceng menurut, maka ia mulai dari bagian atas. Seperti biasa dengan
pelajaran baru, Kwee Ceng selalu menemui kesulitan, ialah tidak gampang
ia mendapat ingat atau mengerti, karena ini, berulangkali ia meminta
keterangan, dan saban-saban Ciu Pek Thong mesti menjelaskannya.
Penjelasan ini sering sampai beberapa puluh kali, meski Kwee Ceng tidak
dapat mengerti maksudnya, ia toh dapat membaca di luar kepala. Karena
ini, mereka meminta tempo lagi beberapa hari lagi, baru setelah itu,
Kwee Ceng mulai melatih dengan tangan dan kakinya. Sering Kwee Ceng
melihat kakaknya itu tersenyum atau tertawa sendirinya, ia tidak curiga,
sebab ia tahu kakak angkatnya ini memangnya nakal dan suka bergurau.
Kemudian pada suatu pagi, habis Kwee Ceng berlatih, bujang tua
membawakan mereka barang makanan. Kali ini Kwee Ceng lantas dapat
melihat sebuah bakpauw yang ada tandanya. Tidak menanti habis dahar, ia
bawa bakpauw itu ke pepohonan yang lebat, untuk dibuka dan diperiksa
isinya. Oey Yong menulis surat yang bunyinya membuatnya kaget. Nona itu
menulis, "Engko Ceng, See Tok datang melamar untuk keponakannya, yang ia
hendak rangkap jodohnya dengan jodohku. Ayah sudah memberikan
jawabannya….”
Sampai di situ surat itu. Rupanya belum selesai lagi ditulis, surat itu
telah dimasuki ke dalam bakpauw. Itulah tandanya si nona sangat
tergesa-gesa. Tidak salah lagi, jawabannya Oey Yok Su tentulah menerima
lamaran itu, kalau tidak si nona tidak nanti menjadi bingung. Karena
ini, ia pun menjadi bingung sekali. Kwee Ceng tunggu sampai si bujang
tua sudah berbenah dan berlalu, ia perlihatkan suratnya Oey Yong itu
kepada Pek Thong.
"Ayahnya sudah menerima baik, itulah bagus. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kita!" kata sang kakak.
"Tidak, toako!" kata Kwee Ceng, tetap bingung. "Dia sudah berjanji menyerahkan dirinya kepadaku. Dia bisa menjadi gila!"
"Sesudah seseorang menikah, ada beberapa macam ilmu kepandaian yang
tidak dapat dipelajari lagi lebih jauh," Pek Thong memperingatkan.
"Umpama dua ilmu It-yang-cie dan Sun-yang-cie, keduanya mesti dipelajari
oleh anak-anak yang bertubuh jejaka. Adik, kau dengar aku, lebih baik
kau jangan menginginkan istri…"
Kwee Ceng tidak menghiraukan nasehat itu. Karena kakak ini tidak
sependapat dengannya, ia jadi semakin bergelisah. Ia bergelisah seorang
diri.
"Coba dulu hari itu aku tidak kehilangan tubuh perjakaku," kata pula Ciu
Pek Thong, "Hingga karena itu aku tidak bisa mempelajari ilmu
It-yang-cie, mana bisa sekarang Oey Lao Shia mengurung aku di pulau
iblis ini? Kau lihat sekarang, karena kau memikirkan istri, pemusatan
pikiranmu jadi terpecah, pelajaranmu hari ini pastilah tidak dapat kau
selesaikan. Kalau benar kau hendak menikahi putrinya Oey Lao Shia, putri
yang cantik bagaikan bunga itu, ah, sayang, sungguh sayang…."
Tidak puas Kwee Ceng mendengar orang ngoceh tentang jeleknya mempunyai
istri. "Aku nikahi dia atau tidak, itulah urusan belakangan, toako!"
katanya. "Sekarang kau tolongi dulu padanya!"
"See Tok itu ada orang yang sangat buruk, keponakannya juga pasti bukan
orang baik," berkata Ciu Pek Thong. "Biarlah ia menikah sama putri yang
licin dan buruk dari Oey Lao Shia, supaya dia tahu rasa! Bukankah itu
bagus?"
Kwee Ceng menghela napas. Ia pergi ke rimba, di situ ia duduk menjublak.
"Biar aku kesasar dan mati, mesti aku cari dia!" pikirnya mengambil
keputusan. Karena ini, ia berlompat bangun. Justru itu ia dapat
mendengar dua kali pekiknya burung di tengah udara, lalu berkelebat dua
bayangan putih, yang menyambar ke bawah. Bahkan segera ia mengenali dua
burung rajawali, yang dibawa Tuli dari gurun pasir. Ia menjadi girang
sekali. Ia lantas mengangkat melintang tangannya untuk burungnya itu
mencelok.
Di kakinya burung yang lelaki ada terikat sebuah selubung bambu. Kwee
Ceng meloloskan ikatannya untuk diperiksa isinya, sehelai surat. Itulah
surat dari Oey Yong. Si nona menulis bahwa ia terancam sangat, lantaran
lagi beberapa hari See Tok bakal datang mengantarkan panjar, bahwa ia
dijaga keras oleh ayahnya, sudah dilarang ke luar dari rumah, tak boleh
setengah tindak juga, ia pun dilarang memasaki makanan lagi untuk si
pemuda. Maka itu, tulisnya lebih jauh, kalau sampai saatnya dan dia
tidak bisa lolos lagi, ia hendak menghabiskan nyawanya. Dia larang si
pemuda mencari dia disebabkan semua jalanan di Tho Hoa To penuh rahasia
dan berbahaya.
Kwee Ceng terbengong sekian lama, lantas ia menghunus pisau belatinya.
Ia menggurat berulang kali di selubung bambu itu, akan mengukir delapan
huruf, bunyinya: "Hidup bersama dalam sebuah rumah, mati bersama dalam
sebuah liang." Ia ikat pula selubung pada kaki burungnya, lantas ia
kibaskan tangannya.
Sepasang burung itu sudah lantas pergi terbang, di udara mereka terbang
berputaran, lalu terus menuju ke arah Utara. Sekarang Kwee Ceng dapat
melegakan hati, maka ia bersila pula untuk bersemedhi, guna menyakinkan
ilmunya, akan sebentar kemudian ia menghampirkan Ciu Pek Thong, guna
mendengari pengajaran kakak angkatnya itu.
Lewat sepuluh hari, dari Oey Yong tidak terdapat kabar apa juga. Selama
itu, Kwee Ceng telah berhasil menghapalkan kitab bagian atas. Karena
ini, dalam girangnya, Pek Thong mulai mengajari kitab bagian bawah. Ia
cuma mengajari serupa demi serupa, ia tidak menyuruhnya orang berlatih
dulu menuruti itu. Inilah untuk mencegah timbulnya kecurigaan si anak
muda. Kwee Ceng belajar dengan sungguh-sungguh. Setelah puluhan kali, ia
berhasil mengingat di luar kepala isinya kitab bagian bawah itu, maka
itu, berhasillah ia menguasai kedua bagian kitab itu.
Pada suatu malam, tengah rembulan terang benderang, Pek Thong ajak Kwee
Ceng berlatih dengannya. Kesudahannya itu membuat ia girang sekali. Ia
merasa bahwa ia telah maju pesat. Ia percaya, kalau nanti ia sudah dapat
memahamkan isinya kitab, ia bakal terlebih lihay dari pada Oey Yok Su
dan Ang Cit Kong. Habis berlatih, keduanya beristirahat memasang omong.
Lalu tiba-tiba mereka mendapat dengar suara menggelesernya sesuatu apa
di atas rumput. Kwee Ceng kenali suara itu.
"Ular!"
Pek Thong kaget hingga mukanya menjadi pucat, ia berlompat untuk lari
masuk ke dalam gua. Ia gagah tetapi menghadapi ular, ia merasa kepalanya
sakit. Kwee Ceng pun tidak berdiam saja. Ia menggeser beberapa potong
batu besar, untuk dilintangkan di mulut gua. Kemudian dia kata, "Toako,
jangan bergerak, hendak aku melihat."
"Hati-hati," Pek Thong memesan. "Lekas kau kembali!"
Kwee Ceng berjalan ke arah dari mana suara ular datang. Setelah puluhan
tindak, ia dapat melihat ularnya. Ia heran sekali. Di bawahnya cahaya
rembulan, nampak ular dalam jumlah ribuan atau puluhan ribu, berbaris
bagai satu pasukan tentara, menuju ke Utara. Penggembalanya ada beberapa
pria dengan seragam putih, yang tangannya memegang galah panjang.
Barisan ular ini lebih hebat dari pada barisan ularnya Auwyang Kongcu.
"Mungkinkah See Tok sendiri yang datang ke mari?" si anak muda menanya
diri sendiri. Ia kaget. Ia menyembunyikan tubuhnya di belakang pohon,
lalu ia menguntit barisan ular itu. Syukur untuknya, semua penggembala
ular itu biasa saja kepandaiannya, mereka tidak ketahui dirinya ada yang
mengikuti.
Di paling depan ada berjalan satu bujang gagu. Dialah yang memimpin. Di
dalam rimba itu orang berjalan berliku-liku jauhnya kira-kira dua puluh
lie, setelah melintasi sebuah bukit, tibalah mereka di sebuah tegalan
luas dengan rumput hijaunya. Di Utara tegalan rumput itu ada rimba pohon
bambu. Setibanya di situ, semua ular itu tidak berjalan lebih jauh,
bahkan dengan menuruti petunjuk galah penggembalanya, semua pada berdiam
melingkar dengan rapi, kepala mereka diangkat tinggi.
Kwee Ceng berlaku waspada, tidak mau ia memperlihatkan dirinya. Ia
nelusup ke Timur, yang merupakan rimba, dari situ ia ke Utara, ke hutan
bambu itu. Di situ ia sembunyi sambil memasang kuping dan mata. Rimba
itu sunyi. Ia bertindak secara enteng sekali.
Di dalam rimba itu ada sebuah paseban yang terbuat dari bambu, menurut
mereknya yang tergantung, namanya Cek Cui Teng. Di samping kedua mereka
itu ada sepasang lian. Di dalam paseban ada meja dan kursi terbuat dari
bambu, semua barang bikinan dari banyak tahun, bambunya sudah mengkilap,
warnanya kuning muda. Sangat sunyi suasana di sekitar paseban itu.
Mengintai ke luar, Kwee Ceng melihat rombongan ular itu masih
mendatangi. Semua ular itu bukan ular hijau hanya ular yang kepalanya
besar dan ekornya panjang, cahayanya kekuning-kuningan seperti emas.
Habis ular kuning, baru ular hitam. Semua lidah mereka bergerak pergi
datang.
Semua ular itu terpecah ke Timur dan Barat, di tengahnya terbuka satu
jalanan. Di situ terlihat beberapa puluh wanita dengan seragam putih dan
tangan masing-masing mencekal tengloleng merah, bertindak dengan
perlahan. Di belakang mereka berjalan satu orang dengan jubah terikat di
pinggang, yang tangannya mengibas-ngibas kipas. Dialah Auwyang Kongcu.
Dia jalan di muka, sikapnya menghormat. Segera terdengar suaranya yang
terang dan nyata; "Auwyang Sianseng dari Wilayah Barat datang menjenguk
Oey Tocu dari Tho Hoa To!"
"Ah, benar-benar See Tok yang datang!" kata Kwee Ceng dalam hatinya.
"Pantaslah rombongan ini begini besar dan agung-agungan sikapnya."
Memang, di belakangnya Auwyang Kongcu ada berjalan seorang lain,
tubuhnya tinggi dan besar, yang pun berpakaian putih mulus. Kwee Ceng
cuma dapat melihat belakang orang, tidak mukanya. Dia berhenti
bertindak, begitupun Auwyang Kongcu selagi pemuda itu mengasih dengar
suaranya.
Dari dalam hutan bambu lantas muncul dua orang. Melihat mereka itu,
hampir Kwee Ceng menjerit. Itulah Oey Yok Su sendiri yang menuntun
tangan putrinya, Oey Yong. Auwyang Hong bertindak maju, ia menjura
kepada Oey Yok Su, yang membalasinya.
Auwyang Kongcu sendiri sudah lantas berlutut di depan pemilik dari Tho
Hoa To itu, untuk memberi hormat sambil mengangguk empat kali. Ia kata:
"Mantu yang tidak berharga menghadap gakhu tayjin, semoga gakhu tayjin
sehat-sehat saja!"
"Gakhu tayjin" itu berarti "Ayah mertua yang dihormati".
"Sudah, kau bangunlah!" kata Oey Yok Su, yang mengulurkan tangannya akan
mengasih bangun pemuda itu, yang menyebut dirinya baba mantu dan
memanggil orang sebagai mertuanya.
Auwyang Kongcu ketahui bahwa ia tentulah bakal diuji, maka itu ia sudah
bersiap sedia. Ia mempertahankan diri begitu lekas tangan kirinya
dipegang untuk untuk diangkat tetapi ketika ia berbangkit, tubuhnya
terhuyung juga hingga ia mengeluarkan seruan perlahan. Tubuhnya itu
lantas berjumpalitan, kepala di atas, kakinya di bawah, jatuh ke tanah.
Tapi Auwyang Hong sudah lantas menggeraki tongkat di tangannya, ditempel
pada punggung keponakannya itu, disontek dengan perlahan, maka
kesudahannya sang keponakan dapat berjumpalitan pula, untuk berdiri
tegar.
"Ha, bagus sekali, saudara Yok!" Auwyang Hong tertawa. "Kau membuatnya
baba mantumu berjumpalitan sebagai tanda menghormat menghadapnya yang
pertama kali?" Tidak sedap suaranya See Tok masuk ke dalam telinganya
Kwee Ceng.
"Dia telah menghina muridku yang buta matanya, aku ingin melihat sampai di mana sudah kepandaiannya," menyahut Oey Yok Su.
Auwyang Hong tertawa lebar. "Bagaimana sekarang, apakah dia cocok untuk
dipasangi dengan putrimu?" dia menanya, sedangkan matanya melirik kepada
Nona Oey, setelah mana ia mengasih dengar pujiannya. "Saudara, sungguh
hebat! Beruntunglah kau yang telah mendapatkan putri yang begini cantik
molek!" Ia lantas merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik ke luar sebuah
kotak, yang mana pun ia terus buka tutupnya, maka dari dalam itu
memancarlah ke luar cahaya terang indah. Di dalam kotak itu terletak
empat mutiara sebesar buah lengkeng.
Ia lantas menghadap Oey Yong, untuk berkata pula. "Ayahmu pernah malang
melintang di kolong langit ini untuk banyak tahun, ada permata apakah
yang aneh-aneh yang dia tidak pernah melihatnya? Maka itu ini
bingkisanku berasal dari desa, sebagai hadiah pertemuan kita yang
pertama ini, pastilah akan dibuat tertawaannya…!" Sembari berkata
begitu, See Tok mengangsurkan permata mulianya itu.
Menampak itu, hatinya Kwee Ceng berdenyut keras. Katanya dalam hatinya itu: "Dia menerimanya atau tidak…?"
Segera juga terdengar suara tertawanya Oey Yong. "Terima kasih!" berkata
si nona, yang mengulur tangannya untuk menyambuti hadiah itu.
Melihat saja kulit orang yang putih dan cantik itu, semangatnya Auwyang
Kongcu seperti sudah meninggalkan tubuh raganya, sekarang ia mendengar
tertawa orang yang manis merdu, goncangan hatinya bertambah hebat. Di
dalam hatinya ia berpikir: "Ayahnya telah sudi menyerahkan dia kepadaku,
maka sekarang sikapnya terhadapku beda banyak dari pada dulu-dulu…."
Tengah pemuda ini tersengsam dan bagaikan bermimpi, mendadak ia melihat
menyambarnya suatu cahaya kuning emas ke arahnya, saking kagetnya, ia
menjerit, "Celaka!" Walaupun demikian, ia masih sempat melenggakkan
tubuh, akan menjalankan tipu silat Tiat-poan-kio atau Jembatan Besi,
hingga tubuhnya jadi terlentang lempang, untuk menyelamatkan diri.
"He, kau bikin apa?!" Oey Yok Su pun membentak seraya tangan kirinya
mengibas, untuk membikin terdamparnya jarum emas dari putrinya, ialah
orang yang menyerang Auwyang Kongcu dengan senjata rahasia itu, sedang
tangan kanannya, ia menekan bahu putrinya itu.
Oey Yong lantas saja menjerit menangis. "Ayah. lebih baik kau bunuh saja
padaku!" demikian suaranya. "Tidak nanti aku menikah dengannya!"
Auwyang Hong tidak menjadi kaget menyaksikan itu semua. Sambil dengan
satu tangan ia menjejalkan mutiara ke dalam telapakan tangannya Oey
Yong, dengan tangan lain ia sampok tangannya Oey Yok Su yang ditekankan
ke bahu putrinya.
"Putrimu tengah menguji keponakanku, kenapa kau memandangnya bersungguh-sungguh?" dia berkata sambil tertawa kepada tuan rumah.
Auwyang Kongcu sudah berdiri tegak pula akan tetapi ia merasakan sakit
pada dadanya, maka tahulah dia yang ia telah terkena jarum rahasia itu.
Dasar ia seorang yang berkepala besar, yang suka menang sendiri, ia
menahan sakit, ia berpura-pura seperti tidak terjadi sesuatu, melainkan
wajahnya tak dapat ia menenangkannya. Ia nampak jengah.
Auwyang Hong berkata pula sambil tertawa: "Saudara Yok, semenjak kita
berpisah di gunung Hoa San sudah dua puluh tahun kita tidak pernah
saling bertemu maka itu pertemuan ini sungguh membikin aku girang
sekali. Saudara, setelah hari ini kau memandang mata kepadaku dengan
menerima baik perangkap jodoh keponakanku dengan jodoh putrimu, maka
selanjutnya apa juga titahmu, tidak nanti aku menolaknya!"
"Siapakah yang berani main gila terhadapmu, racun tua bangka?" menyahut
Oey Yok Su. "Untuk dua puluh tahun kau berdiam diri di Wilayah Barat,
kepandaian apa saja yang kau telah pahamkan, coba sekarang kau petunjuki
untuk aku lihat."
Dasar sifatnya yang kekanak-kanakan, mendengar ayahnya hendak menyuruh
orang mempertunjuki kepandaiannya, Oey Yong menjadi ketarik, ia lantas
saja berhenti menangis, ia menyender pada tubuh ayahnya itu, matanya
diarahkan kepada Auwyang Hong, kepandaian siapa yang ia ingin saksikan.
See Tok si Racun Barat itu memegang sebatang tongkat berwarna putih,
tongkat ini banyak tekukannya mirip dengan rotan. Ujungnya tongkat
diukirkan sebuah kepala orang, yang mulutnya tertawa. Di dalam mulut itu
terlihat barisan gigi yang tajam dan putih bersih. Yang aneh adalah
kepala tongkat itu ada menangkel melingkar dua ekor ular panjang, yang
kulitnya berkilau putih seperti perak. Kedua ular itu merayap turun dan
naik.
Auwyang Hong tertawa ketika ia menyahuti: "Dulu hari itu kepandaianku
tidak dapat menyamakan kepandaian kau, sekarang setelah mensia-siakan
selama dua puluh tahun, pasti sekali aku kalah jauh terlebih banyak.
Sekarang ini kita menjadi sanak, aku memikir untuk menumpang tinggal
beberapa hari di pulau Tho Hoa To kau ini, untuk aku memperoleh
kesempatan akan meminta pengajaran dari kau."
Ketika pertama kali Auwyang Hong mengirim utusan kepada Oey Yok Su untuk
melamar Oey Yong, Oey Yok Su berpikir, di jamannya itu, orang yang
dapat menandingi ia sudah tidak seberapa lagi dan Auwyang Hong adalah
salah satu diantaranya. Ia ketahui baik putrinya sangat nakal, jikalau
dia mendapat suami sembarangan, anak itu bakal menghina suaminya, dari
itu senang ia melihat kepandaiannya Auwyang Kongcu yang berani melayani
Bwee Tiauw Hong. Ia anggap, Auwyang Kongcu adalah melebihkan Kwee Ceng
yang menjadi pilihan putrinya sendiri, sedang di samping itu, ia sebal
terhadap pemuda she Kwee itu. Inilah sebabnya dengan gampang ia sudah
menerima baik lamarannya Auwyang Hong.
Tapi sekarang, mendengar suaranya See Tok, yang putar balik, merendah
dan berjumawa, ia menjadi curiga. Ia menduga-duga apa mungkin Auwyang
Hong telah pulih kesehatannya dan kepandaiannya setelah dulu hari ilmu
kepandaiannya itu dipecahkan Ong Tiong Yang. Ia ketahui baik See Tok ini
mulutnya tajam dan hatinya berbisa, licin dan licik. Tentu saja, ia
tidak sudi mengalah, karena ia pun seorang yang berbesar kepala. Maka
itu ia sudah lantas menarik ke luar serulingnya sambil ia berkata:
"Tetamu yang terhormat telah datang dari tempat yang jauh, baiklah aku
membunyikan sebuah lagu untuk menyenangkan hatinya. Silakan duduk,
sahabatku supaya kau dapat mendengarnya perlahan-lahan."
Auwyang Hong tersenyum. Ia bisa menerka tuan rumah ini hendak
memperdengarkan lagu "Thian Mo Bu Kiok" atau "Lagu tarian hantu langit"
untuk mempengaruhkan padanya. Ia lantas mengibas dengan tangannya yang
kiri, atas mana tigapuluh wanita berseragam putih itu, yang memegang
tengloleng, bertindak maju sambil menekuk lutut, mereka memberi hormat
pada tuan rumah. Ia lantas berkata, "Tigapuluh dua nona-nona ini adalah
nona-nona yang aku menitahkan murid-muridku mencarinya di pelbagai
tempat, sebagai bingkisan yang tidak berharga, aku menghadiahkan mereka
kepada kau, saudara Yok. Mereka ini pernah mendapat pengajarannya
guru-guru yang pandai, mereka dapat menari, bernyanyi dan menabuh khim
secara lumayan. Hanya sayangnya mereka adalah nona-nona asal Wilayah
Barat, kecantikan mereka kalah jauh dibandingkan dengan nona-nona dari
Kanglam!"