Bab 36
Dia terjatuh di depan pemuda itu dan ketika ia merangkak
bangun dan berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut di depan pemuda buntung
itu! Kemarahan membuat orang menjadi mata getap. Demikian pula dengan Lo Hwat.
Dia terkenal sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dua
kali ia dirobohkan oleh pemuda buntung ini yang kelihatannya sama sekali tidak
bergerak, dijatuhkan di depan sekian banyaknya orang gagah.
Inilah yang membuat dia malu dan merasa terhina sehingga
kemarahannya membakar hati dan kepala. Tiba-tiba ia menggereng dan tangan
kanannya yang sudah ia kepal dengan pengerahan lwee-kang sekuatnya, ia pukulkan
ke arah pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau setengah berjongkok.
Hebat bukan main pukulan maut ini dan terdengarlah seruan-seruan kaget dari
mulut heberapa orang gagah di situ yang menganggap perbuatan Lo Hwat ini melewati
batas dan juga amat keji dan curang.
‘Desssss!!
Pukulan itu memang hebat sekali karena dilakukan dengan
pengerahan tenaga dalam yang keluar dari pusar, sedangkan yang dipukul juga
bagian yang lemah, yaitu pusar. Tentu saja bagian lemah bagi orang biasa, akan
tetapi pemuda buntung itu sama sekali ia tidak mengelak bahkan mengambil
keputusan untuk memberi hajaran kepada orang yang gagah akan tetapi berangasan
ini.
Ia mengerahkan sin-kang, menerima pukulan dan
mengembalikan hawa yang mendorong pukulan itu, kepada penyerangnya. Tenaga
dalam itu membalik dan menyerang Lo Hwat sendiri sehingga dia memekik keras dan
roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan karena dadanya terluka
oleh pukulannya sendiri!
‘Omitohud....! Bukan main bocah buntung ini, ilmunya
boleh juga!! Oua orang yang berpakaian seperti hwesio, kepala mereka gundul dan
mereka berkalung sarung berwarna kuning, bangkit berdiri dan melangkah maju,
yang tinggi besar dan gemuk di depan sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.
Akan tetapi, pada saat itu terdengar bentakan keras,
‘Bocah buntung yang sombong, engkau berani menghina muridku? Biarlah aku yang
mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku, Tok-gan-siucai (Pelajar Bermata Tunggal)
Gu Cai Ek!! kiranya kakek berusia lima puluhan tahun yang matanya putih satu
hitam satu dan yang memegang sumpit gading tadi sudah berdiri di atas permadani
menghadapi Han Han. Pemuda ini masih berdiri dengan kaki satu, tongkatnya
dikempit dan kedua lengannya bersedakap, dengan suara menyesal berkata.
‘Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi dengan siapa
pun juga!!
‘Omong kosong! Lihat seranganku!! Kakek ini sudah
menyerang Han Han dengan sepasang sumpit gadingnya yang kini dipegang di kedua
tangan. Caranya memegang seperti orang memegang alat tulis dan begitu menyerang
ia menotok jalan darah sehingga maklumlah Han Han bahwa orang ini adalah
seorang yang ahli mainkan senjata siang-pit (sepasang pensil) dan ahli totok,
hanya dia tidak menggunakan pensil melainkan sepasang sumpit gading yang dapat ia
pergunakan untuk makan!
Mengertilah ia mengapa orang ini memakai julukan Siucai
(Pelajar). Karena serangan itu memang hebat, tentu saja jauh lebih lihai
daripada ilmu kepandaian muridnya tadi. Han Han cepat mengelak. Dia masih
bersedakap dan mengempit tongkatnya, hanya kakinya yang tinggal satu itu
tiba-tiba mengenjot dan tubuhnya mencelat ke atas.
‘Haliiittttt! Eh....?! Si Mata Satu terkejut sekali
karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah pindah
ke tempat lain. Ia cepat mengejar dan kedua senjatanya meluncur cepat, menotok
secara bertubi-tubi, memilih jalan darah yang berbahaya.
Namun Han Han hanya melawannya dengan berloncatan,
mengerahkan sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua serangan itu hanya
mengenai tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali mengeluarkan
seruan bingung dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan kasihan sekali
dia yang bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok ke kanan kiri
mencari lawannya!
‘Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi denganmu!!
Sudah tiga kali Han Han berkata sabar, akan tetapi makin lama kakek bermata
satu ini menjadi makin penasaran dan marah karena semua totokannya luput.
Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai menghilang seperti setan, ataukah
matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah tidak awas lagi?
‘Cuit-cuit-cuit.... sing-singgg....!!
Han Han terkejut karena kini kakek bermata satu itu
menggerakkan sepasang gading kecil berbentuk sumpit itu bergerak secara hebat
dan aneh, cepat dan juga bertenaga, merupakan dua sinar kecil yang gemerlapan
dan membentuk lingkaran-lingkaran yang menutup semua ‘pintu! di delapan
penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya kakek ini hebat juga ilmu kepandaiannya.
Kalau ia mengerahkan seluruh ilmunya gerak kilat, tentu akan menarik perhatian,
maka ia pun cepat menggerakkan tongkatnya menangkis.
‘Trak-tringgg....!!
‘Ayaaaaa....!! Kakek mata satu itu terkejut dan cepat
membuat tubuhnya sendiri berputar setengah lingkaran untuk mematahkan tenaga
tangkisan lawan yang hampir membuat kedua senjatanya terlempar dari tangan.
Lo-enghiong hebat, aku kagum dan terima kalah!! Han Han
berkata, dan memang ia benar-benar merasa kagum ketika menangkis tadi dan
mendapat kenyataan bahwa kepandaian Tok-gan-siucai ini benar-benar tinggi,
tidak di sebelah bawah tingkat Lauw-pangcu!
‘Cuat-cuat-cuatt....!! Kembali sepasang sumpit itu
melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han Han sudah merasa
sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan sin-kang dan
melawan mati-matian. Ia merasa menyesal sekali. Mengapakah dia selalu dimusuhi
oang? Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan keributan? Apakah kesalahannya?
Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud baiknya selalu ditanggapi keliru
oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi orang. Dan kini kakek bermata satu
yang lihai ini menyerangnya dengan hebat, melakukan serangan totokan-totokan
yang amat berbahaya.
‘Mengapa engkau mendesakku?! teriaknya dengan suara
berduka, tongkatnya bergerak ke bawah dari bawah ketiaknya ketika tubuhnya
meloncat ke atas. Pada saat itu, sumpit gading di tangan kiri Tok-gan-siucai
menyambar, disusul sumpit kanannya. Cepat bagaikan kilat menyambar, sebelum
tubuhnya turun, Han Han sudah menggerakkan tongkatnya, mengerahkan gin-kang
yang sudah sempurna sehingga tubuhnya seolah-olah dapat tertahan di udara,
sin-kang di tangan yang memegang tongkat amat kuat ketika tongkat
berturut-turut menangkis sepasang sumpit, melekatnya dan sekali renggut,
Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang sumpitnya tak dapat ia tahan lagi,
terbang lepas dari kedua tangannya dan terus terbang mencelat ke atas, menancap
pada langit-langit ruangan itu yang tinggi!
‘Omitohud.... benar mengagumkan....!!
Kini seruan kagum ini terdengar dari mulut hwesio kurus
dan tiba-tiba hwesio itu menggerakkan tangannya ke atas. Angin yang keras
menyambar ke langit-langit ketika jubahnya yang lebar pada lengannya itu
berkelebat dan.... dua batang sumpit yang tadinya menancap ke langit-langit itu
tiba-tiba menyambar ke bawah, ke arah Han Han!
Han Han terkejut sekali. Itulah demonstrasi tenaga
sin-kang yang amat tinggi, dan cepat ia mengulur tangan kanannya menyambut dua
batang sumpit itu dengan gerakan seenaknya, lalu melemparkan sepasang sumpit
itu kepada Tok-gan-siucai sambil berkata.
‘Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak ingin berkelahi!!
Tok-gan-siucai sebagai seorang tokoh kang-ouw yang
berpengalaman, maklum bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung itu, maka ia
menyambut sepasang sumpitnya, kemudian menyambar tubuh muridnya yang masih
pingsan, membawanya loncat ke pinggir, keluar dari permadani biru. Ia merasa
lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu hanya pingsan karena tenaga sendiri
yang membalik. Ia menotok beberapa jalan darah dan Sin-jiauw-eng Lo Hwat siuman
sambil mengeluh perlahan.
‘Omitohud, seorang muda yang luar biasa! Biarlah
pinceng mencobanya!! Hwesio tinggi besar gendut yang mukanya seperti anak kecil
itu menggerakkan kakinya. Tidak kelihatan ia membuat gerakan meloncat, namun
tubuhnya seperti terbang ke depan dan sudah berdiri di atas permadani
menghadapi Han Han.
‘Maaf, Losuhu. Saya tidak ingin berkelahi,! kata pula
Han Han, kembali terkejut menyaksikan gerakan ini.
‘Ha-ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, orang muda.
Memang engkau memiliki kepandaian yang patut diperlihatkan dan diuji!
Bersiaplah, pinceng menyerang!!
Ucapan ini ditutup dengan gerakan tangan kirinya. Seperti
juga gerakan hwesio kecil kurus itu hwesio gemuk ini seperti menggerakkan
tangan sembarangan saja, akan tetapi dari balik lengan bajunya yang lebar itu
menyambar angin yang luar biasa kuatnya, mendorong ke arah dada Han Han. Han
Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. Tingkat kekuatan sin-kang
kedua hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo
atau bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri!
Ia heran menyaksikan orang-orang pandai yang berkumpul di
tempat ini, maka ia tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya mencelat dan pukulan
itu lewat di bawah kakinya.!Bagus! Sin-kangmu hebat, juga gin-kangmu amat luar
biasa.
Belum pernah pinceng menyaksikan gerakan seperti kilat
cepatnya itu!! Hwesio gendut itu mulutnya memuji, akan tetapi tangan kirinya
kembali menampar dan angin pukulan yang lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh
Han Han yang masih di udara. Akan tetapi dia membelalakkan matanya lebar-lebar
ketika melihat betapa tubuh pemuda buntung itu kembali mencelat ke samping,
padahal kakinya belum menginjak lantai!
Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga
kembali tamparannya luput? Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kirinya
menampar-nampar dan angin berbunyi bercuitan ketika tamparan itu menyambar dari
kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah secara aneh.
Semua orang yang berada di situ menjadi silau matanya.
Mereka hanya melihat pendeta gendut itu menggerak-gerakkan tangan kirinya
seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan mereka tidak dapat melihat lagi
tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh pemuda itu berubah menjadi banyak
karena mencelat ke sana ke mari dengan amat cepatnya!
Han Han sambil meloncat ke sana-sini memperhatikan
pendeta gendut itu dan melihat bahwa sejak tadi, hwesio itu hanya menggunakan
tangan kirinya untuk mengirim angin pukulan, sedangkan tangan kanannya selalu
disembunyikan di bawah jubahnya, menekan pinggang.
Bukan main, pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah
begini hebat, apalagi kalau tangan kanannya yang bergerak. Dia menaksir bahwa
tangan kanan itu tentulah hebat sekali dan agaknya kini masih belum
dipergunakan si hwesio sebagai ilmu simpanan atau cadangan yang hanya akan
dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak ia keluar dari tempat persembunyian
gurunya, nenek berkaki buntung, belum pernah ia bertemu lawan yang sepandai
ini, maka diam-diam Han Han menjadi gembira dan ingin menguji kemampuannya
sendiri, ingin pula melihat bagaimana hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.
Setelah timbul keinginan ini, ketika kakinya turun
menotol lantai, ia membuat gerakan untuk mengurangi tenaga pantulan kakinya
dengan berjungkir-balik sehingga tubuhnya berjungkir-balik berputaran sampai
belasan kali seperti kitiran, barulah kakinya turun ke lantai dan ketika pada
saat itu hwesio gendut itu kembali memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini
pukulan jarak dekat karena memang Han Han turun di depan hwesio itu yang
agaknya ingin pula menguji kekuatan Han Han, pemuda inipun menerima pukulan yang
merupakan tamparan dengan telapak tangan terbuka itu dengan dorongan telapak
tangan kanannya.
‘Bresssssi!!
‘Omitohud.... luar biasa....!! Tubuh hwesio itu
bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia mcrasa
betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut pukulan tadi, Han
Han sengaja mengerahkan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang!
Han Han kagum bukan main karena melihat betapa hwesio itu
dapat menerima tenaga sakti ini dengan hanya tergoyang tubuhnya dan merah mukanya.
Benar persangkaannya bahwa hwesio itu memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh
Si Setan Botak Gak Liat!
‘Orang muda, engkau menarik sekali. Coba terima ini!!
Hwesio gendut itu tiba-tiba mengeluarkan tangan kanannya
dari balik jubah dan alangkah kagetnya hati Han Han melihat tangan itu berwarna
biru sekali, biru kehitaman akan tetapi seperti bercahaya! Dan dengan tangan
kanan itu kini hwiesio itu menyerangnya!
Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke
arah Han Han dengan menimbulkan uap hitam yang panas sekali! Han Han cepat
menggerakkan kakinya menotol lantai dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan yang
luar biasa sehingga uap hitam itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi kini ia
sudah mengenal pukulan itu, yang ia dapat menduga tentulah pukulan itu
berdasarkan hawa Yang-kang seperti Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih
berbahaya karena uap hitam itu tentu mengandung pengaruh yang luar biasa.
Timbul pula keinginannya mencoba. Tadi ia sengaja
menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani mempergunakan
tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya itu luar biasa
sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini, melihat
pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat, setelah ia turun,
ia menanti hwesio itu memukul lagi.
Hwesio gemuk itu menjadi penasaran sekali. Jarang memang
ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia merasa malu kalau tangan kanannya yang
hitam itu kelihatan orang, maka kalau tidak terpaksa sekali, biarpun dalam
pertandingan, ia tidak mengeluarkan tangan kanannya. Kalau sekali ia
mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul saja ia harus dapat mencapai
kemenangan.
Akan tetapi sekali ini, pukulannya yang amat dahsyat itu
tidak mengenai sasaran, padahal biasanya, baru terkena tiupan sedikit hawanya
saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus! Hwesio gemuk ini bersama temannya yang
kurus, adalah dua orang tokoh besar di Tibet, pada waktu itu menjadi pembantu
yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta besar dan ketua di Tibet.
Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal sekali dengan ilmu
kepandaiannya yang hebat sin-kangnya yang jarang bertemu tending, dan tangan
kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia dijuluki Hek-in
Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)!
Adapun hwesio kurus itupun bukan orang sembarangan,
karena dibandingkan dengan hwesio gemuk, sukar dikatakan, mana yang lebih lihai
karena mereka memiliki keahlian sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat
sin-kangnya, juga terkenal sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat
(semacam hypnotism) yang dapat menguasai semangat lawan, dan ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek (Sihir Tangan Sakti)!
Ketika Thian Tok Lama yang sudah terlanjur mengeluarkan
tangan kanannya itu tidak mampu mengalahkan Han Han dengan sekali pukul, kini
melihat pemuda itu sudah turun lagi, ia cepat mengerahkan tenaga, dari perutnya
yang besar langsung dari pusar keluar suara ‘kok-kok-kok! tiga kali den
tangan kanannya yang hitam itu memdorong ke arah Han Han.
Bukan main hebatnya pukulan ini. Warna biru kehitaman itu
makin mencorong dan uap hitam yang keluar dari telapak tangan itu seolah-olah
mengandung api menyala dan terasa amat panasnya sehingga ruangan itu ikut
terasa hangat, pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur ke arah dada Han Han.
Han Han yang timbul kegembiraannya melihat ilmu yang
dahsyat ini, cepat mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga inti es yang ia
latih di Pulau Es, disalurkan tangan kirinya mendorong maju menyambut telapak
tangan hitam itu. Dengan pukulan macam ini, yang merupakan inti dari Swat-im
Sin-ciang yang paling hebat, Han Han mampu memukul air menjadi beku, menjadi
bongkah-bongkah es sebesar anak kerbau! Kini dua pukulan sakti yang amat
dahsyat itu saling menerjang untuk bertemu!
Hwesio gendut itu, Thian Tok Lama menjadi kaget dan
menyesal. Ia merasa sayang kepada pemuda kaki buntung yang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa itu, dan hanya karena penasaran, bukan karena marah atau
benci, ia menggunakan tangan kanannya, dan tadinya ia mengira bahwa pemuda itu
tentu akan menggunakan ilmunya mencelat yang luar biasa itu untuk menghindar.
Siapa kira pemuda itu malah menerima pukulannya dengan
langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun, ia sudah terlanjur memukul
dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan isi dadanya sendiri, maka
terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati menyesal karena ia merasa yakin
bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas, tak mungkin dapat ditolong lagi.
‘Desssss.... cessshhhhh!!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak! Dua telapak
tangan bertemu dan berbareng dengan bunyi keras seperti besi panas membara
dimasukkan air, tampak asap hitam mengepul dan menggelapkan tempat itu!
‘Ihhhhh....!! Han Han berseru keras ketika merasa
seolah-olah seluruh lengannya menjadi lumpuh dan ia cepat menarik kembali
lengannya itu.
‘Omitohud....!! Thian Tok Lama juga berseru dan ia pun
menarik kembali tangan kanannya, berdiri agak terengah dan kini mukanya menjadi
pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak menggigil seperti orang terserang
dingin yang hebat.
‘Ibliskah engkau....?! Thian Tok Lama kini mencelat
maju dan mengirim ten dangan dengan kakinya yang sebesar kaki gajah.
‘Wuuuuttt!! Han Han meloncat, akan tetapi kedua kaki
itu biarpun amat besar, telah mengirim tendangan berantai sehingga angin
bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa cukup menguji kepandaiannya,
mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru, ‘Aku tidak ingin berkelahi,
kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi dari sini....!
‘Tahan....! Jangan berkelahi....! Dia kawan kita
sendiri! Eh, Han Han, mengapa ribut-ribut dengan para locianpwe?!
Sesosok bayangan berkelebat dan Wan Sin Kiat telah berada
di situ. Han Han girang sekali, berlari hendak menghampiri Sin Kiat dan
melewati permadani biru sambil berpincangan.
‘Han Han, jangan menginjak permadani itu!! Sin Kiat
berteriak. Han Han terkejut dan cepat ia mencelat lagi mundur, lalu memandang
Sin Kiat yang lari kepadanya sambil mengitari permadani, tidak berani
menginjaknya.
‘Ah, agaknya ada salah pengertian di sini. Han Han,
agaknya engkau tadi menginjak ini.! Sin Kiat tertawa sambil menudingkan
telunjuknya ke arah permadani biru.
Han Han mengangguk. Ia teringat bahwa ketika masuk tadi,
untuk menghampiri para ho-han yang berada di situ, ia memang berdiri di situ.
‘Ya, aku tadi berdiri di situ, mengapa?!
‘Ha-ha-ha, pantas! Ketahuilah bahwa ada peraturan di
sini bahwa siapa yang berdiri menginjak permadani ini, berarti dia itu
menantang pibu kepada para locianpwe yang hadir di sini.!
‘Ohhhhh.... maaf....!!
Sin Kiat lalu menjura kepada dua orang pendeta Tibet dan
para ho-han sambil berkata.
‘Mohon cu-wi locianpwe dan para Ho-han suka memaafkan
Han Han. Karena dia tidak tahu maka seolah-olah menantang pibu. Dia merupakan
sahabat saya yang paling baik dan beberapa kali dia telah membantu para pejuang
menghadapi tokoh-tokoh anjing Mancu.!
Hoa-san Gi-hiap Wan-sicu!! kata Thai Li Lama hwesio Tibet
yang bertubuh kurus kering itu. ‘Kalau dia itu sahabatmu, mengapa dia datang
seperti ini? Dia menimbulkan kecurigaan besar!!
‘Ah tidak, locianpwe. Dia datang untuk mencari adiknya,
dan untuk membantu kita menghadapi tokoh-tokoh penjajah.!
‘Hemmm, kalau mencari adiknya dan hendak membantu,
mengapa dia berkeras hendak bertemu dengan Bu-ongya?! Tiba-tiba Tok-gan-siucai
Gu Cai Ek menegur.
Wan Sin Kiat mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Han
Han. ‘Apakah artinya ini, Han Han? Benarkah kau hendak bertemu dengan Ongya?!
‘Benar sekali dan memang aku membawa berita yang amat
penting!!
‘Kalau begitu, ceritakan saja kepada para locianpwe di
sini, karena mengenai urusan perjuangan, tidak ada hal yang dirahasiakan untuk
para Ho-han di sini.!
Han Han mengangguk-angguk. ‘Baiklah. Aku telah
mendengar rapat rahasia yang diadakan oleh para perwira Mancu di perbatasan,
yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, dihadiri pula oleh wakil-wakil dari
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Mereka
membicarakan tentang penyerbuan ke Se-cuan secara besar-besaran dalam waktu
dekat....!
‘Ahhhhh....! Mana mungkin?! teriak Tok-gan-siucai Gu
Cai Ek. ‘Pemerintah Mancu sedang merayakan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar
mereka!!
‘Karena inilah maka mereka hendak menyerbu! Menggunakan
kesempatan selagi di Se-cuan orang mempunyai pendapat seperti pendapat
Lo-enghlong tadi sehingga tidak ada persiapan yang baik. Dan kalau saya tidak
sudah dibikin kacau oleh serangan-serangan maut di ruangan ini, saya mendengar
pula beberapa tempat-tempat yang akan mereka jadikan sasaran penyerbuan!!
‘Wah, ini penting sekali! Mari Han Han, kuantar engkau
menghadap Ongya!!
Semua orang di ruangan itu menjadi terkejut juga dan
Thian Tok Lama malah menjura ke arah Han Han sambil berkata, ‘Pinceng
mengharap taihiap sudi memaafkan kecurigaan kami. Sungguh taihiap merupakan
seorang bekas lawan yang paling hebat yang pernah pinceng temukan!!
Ah, sayalah yang seharusnya minta maaf, locianpwe,! kata
Han Han sambil balas menghormat. Akan tetapi tangannya lalu ditarik oleh Sin
Kiat dan keduanya bergegas keluar dari situ menuju ke istana. Para ho-han ribut
membicarakan pemuda yang buntung itu, dan Thian Tok Lama secara terang-terangan
dan jujur mengakui bahwa sukar mencari tandingan pemuda berkaki buntung itu.
Dia masih terheran-heran dan diam-diam ia memberi isyarat mata kepada kawannya
lalu mereka berdua meninggalkan tempat itu.
‘Kau hebat, Han Han. Thian Tok Lama sendiri sampai
memujimu!!
‘Ah, kau maksudkan hwesio yang gemuk itu? Dialah yang
hebat, agaknya lebih lihai daripada Toat-beng Ciu-sian-li!! kata Han Han,
benar-benar dia kagum sekali.
‘Dan dia menyebutmu taihiap!!
Merah wajah Han Han. ‘Sudahlah, eh, Sin Kiat. Apakah
kau sudah mendengar tentang adikku?!
Wajah Sin Kiat yang tampan itu menjadi muram dan dia
kelihatan berduka ketika menggeleng kepalanya. ‘Sungguh menyesal sekali, aku
belum berhasil, Han Han.!
Han Han menarik napas panjang. ‘Ada seorang nona sedang
mencoba untuk membantu mencarinya, namanya Tan Hian Ceng....!
‘Ah, puteri It-ci Sin-mo Tan Sun? Bagus sekali! Dia
adalah seorang yang terkenal ahli yang mengenal semua daerah ini. Kalau dia
membantu.... eh, kenapa?! Sin Kiat heran melihat wajah Han Man menjadi muram.
‘Kasihan dia. Ayahnya gugur....!
‘Apa? Bagaimana?!
‘Nanti saja kuceritakan. Lebih baik sekarang kita
menghadap Bu-ongya.!
Sin Kiat menemui kepala pengawal dan karena dia sudah
dikenal, maka mereka berdua lalu dikawal menghadap Bu-ongya, yaitu Raja Muda Bu
Sam Kwi yang amat terkenal itu. Bu-ongya menerima mereka berdua di dalam
ruangan yang besar dan raja muda yang amat terkenal sebagai bekas jenderal yang
paling gigih mengadakan perlawanan kepada pemerintah Mancu ini duduk di atas
kursi emas dijaga oleh para pengawal pribadinya.
Ia sudah mendapat laporan tentang Han Han, tentang
sepak-terjang pemuda buntung ini di Ho-han Bu-koang maka ketika Han Han datang
terpincang-pincang bersama Sin Kiat, dari jauh ia sudah memandang penuh
perhatian dengan wajah berseri.
Sin Kiat memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya
dan bersoja, diturut oleh Han Han yang biarpun hanya berkaki satu, namun ia
dapat berlutut dengan gerakan wajar sehingga seolah-olah dia tidak buntung.
‘Duduklah, ji-wi Ho-han!! kata Bu Sam Kwi dan dua buah
kursi disodorkan oleh seorang pengawal. Sin Kiat dan Han Han lalu duduk di atas
kursi menghadapi Bu Sam Kwi. Han Han memandang wajah raja muda itu sejenak,
melihat bahwa raja muda itu usianya sudah tua, tentu sudah enam puluh tahunan,
akan tetapi masih kelihatan gagah dan tegap, dengan sinar mata yang tajam
bersinar-sinar penuh semangat dan keberanian. Di lain pihak, begitu bertemu
pandang dengan Han Han dan melihat sinar mata pemuda buntung itu tajam luar
biasa, membuat kedua matanya sendiri serasa ditusuk pedang, di dalam hatinya Bu
Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan lenyaplah keraguan dan ketidakpercayaannya
ketika tadi mendengar laporan bahwa pemuda ini sanggup menandingi tangan kanan
Thian Tok Lama!
‘Wan-sicu, siapakah temanmu yang gagah ini?! Bu Sam Kwi
bertanya penuh wibawa, akan tetapi juga terdengar halus dan ramah. Suara
seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang, pikir Han Han, teringat
betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan raja muda ini dan betapa
banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu Soan Li dan baru-baru ini
Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian Ceng!
‘Sahabat baik hamba ini datang dari luar perbatasan dan
membawa berita yang amat penting untuk disampaikan Ongya!! kata Sin Kiat.
Memang Bu Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw, bahkan
bersikap seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak ragu-ragu untuk
bersikap ramah dan merendah, memperlakukan mereka sebagai ‘kawan
seperjuangan!.
‘Hemmm, siapakah engkau, sicu? Dan berita apakah itu?!
Karena Han Han tidak bermaksud menghambakan diri, maka ia
pun tidak suka untuk terlalu merendahkan diri, apalagi raja muda ini begini
manis budi, begini ramah, maka dengan hati lega dan suara biasa ia lalu
menjawab.
‘Saya bernama Han, she Suma.!
Han Han tidak peduli kepada Sin Kiat yang menoleh
memandangnya heran. Memang dia she Suma, mengapa harus disembunyikan? Dia benci
she Suma, karena she ini mengingatkan ia akan kakeknya yang menurunkan dia,
teringat akan Jai-hwa-sian Suma Hoat. Akan tetapi, sebenci-bencinya ia kepada
she keluarganya sendiri, ia lebih benci akan sifat pengecut. Dan ia menganggap
bahwa menyembunyikan she-nya sendiri dan menggantinya dengan she Sie adalah
perbuatan yang pengecut dan memalukan. Karena itulah, di depan raja muda itu ia
mengakui she aselinya dan mulai saat itu ia mengambil keputusan untuk
mempergunakan she aselinya!
Raja Muda Bu Sam Kwi tertawa bergelak. ‘Ha-ha-ha-ha!
Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti ini di mana negara dan bangsa
membutuhkan putera-putera Han sejati yang patriotik, yang berjiwa pahlawan,
muncul seorang gagah perkasa yang namanya Han! Suma-hohan (Orang Gagah she
Suma), berita apakah yang akan kaulaporkan kepadaku?!
Dengan singkat namun jelas Han Han lalu melaporkan,
menceritakan semua yang ia dengar dalam rapat yang diadakan oleh para perwira
di bawah pimpinan Setan Botak Cak Liat dan menceritakan pula bahwa gerakan
penyerbuan yang direncanakan itu siasatnya diatur oleh Puteri Nirahai.
Mendengar ini, berubah wajah Bu Sam Kwi, tadinya berubah
agak pucat akan tetapi segera berobah merah sekali, matanya menjadi beringas,
dagunya ditarik kuat dan seluruh sikapnya membayangkan perlawanan.
‘Si keparat! Memang sudah kudengar nama Nirahai anak
selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik pandai! Menggunakan
selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena kita tentu sedeng tidak
menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan menghancurkan mereka! Pengawal!
Undang para Ho-han dan para panglima unluk berkumpul. Sekarang juga! Wan-sicu,
mulai sekarang engkau kuangkat menjadi panglima muda! Suma-sicu, engkau
kuangkat menjadi panglima pelopor!!
Han Han hendak membantah akan tetapi lengannya dijawil
Sin Kiat yang menatap wajahnya dengan sinar mata penuh semangat, kemudian malah
menariknya ke pinggir untuk memberi tempat kepada para panglima dan para tokoh
orang gagah yang kini sudah berdatangan memenuhi panggilan Bu Sam Kwi. Berbeda
dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan dan rencana siasat yang
dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu seperti yang dikabarkan oleh
Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya mendengarkan dengan setengah hati, tidak
begitu mengacuhkan karena memang dia tidak tertarik akan hal itu.
Dia datang ke Se-cuan dengan tujuan utama mencari
adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia para panglima Mancu hanyalah karena
dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di pihak Mancu, sedangkan di pihak pejuang
banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di antaranya yang sudah jelas adalah Wan
Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan gadis jenaka
yang menarik hatinya pula, yaitu Tan Hian Ceng. Karena mengingat akan mereka
inilah maka hatinya tentu saja condong membantu Se-cuan dan menentang
pemerintah Mancu.
***
Penyerbuan besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat
pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda
Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya pihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka
melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur.
Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri
Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik. Bukan saja
tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan
dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga
tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang diharapkan
untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka, ternyata
‘membentur karang! karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti!
Bahkan segala usaha Setan Botak Gak Liat selain gagal
oleh perlawanan tokoh pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang
membuat Setan Botak menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang
pemuda kaki buntung, bekas muridnya, Han Han.
Setelah serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan
selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira dan perajurit, akhirnya Gak Liat
mengirim berita ke kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar,
juga bantuan orang-orang pandai untuk menghadapi pihak musuh yang memiliki
banyak jagoan lihai.
Tak lama kemudian, utusannya datang kembali dari kota
raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan
pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur,
selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan datang.
Karena perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap
hari terjadi, menjadi berhenti dan kedua pihak hanya berjaga-jaga di daerah
kekuasaan masing-masing, terhalang deretan pegunungan yang memagari Propinsi
Se-cuan. Pihak Se-cuan yang dalam perang ini menjadi pihak yang mempertahankan
diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka
dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan baru.
Secara terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang
menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor, di samping
tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama dari Tibet
yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari ahli-ahli silat dan
sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang berjuang semata-mata
membela nusa bangsa tanpa pamrih.
Dan sesuai pula dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan
orang gagah ini memang dibentuk untuk menghadapi pasukan-pasukan kuat dan
istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu saja Han Han menjadi lega hatinya
ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam
yang memimpin pasukan-pasukan istimewa musuh. Bahkan pernah dalam sebuah
pertempuran besar-besaran, ia bertanding melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan
Botak yang lihai dan yang menjadi musuh lamanya itu!
Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang
menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia
berperang melawan bangsa adiknya!
Setelah perang dihentikan oleh pihak Mancu setelah
berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan
menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han menjadi
kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama
terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang
berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke
Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak
sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah?
Pagi hari itu, selagi Han Han termenung seorang diri
dalam hutan, tak jauh dari benteng penjapan, Wan Sin Kiat datang
mengunjunginya. Mendengar pangglian Sin Kiat, Han Han menoleh dan dia memandang
kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya sebagai
seorang panglima muda!
Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya
tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar penuh
semangat, jalannya seperti lenggang seekor harimau! Seorang muda yang hebat dan
dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau
menjadi isteri pemuda ini!
Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi
bagaimana dengan Lulu? Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta
kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini,
hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah, perlu
apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang
belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup
ataukah sudah mati?
Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin
Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri
roti dahulu itu.
‘Wah, engkau gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah
terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil.!
‘Cita-cita masih kecil? Apa maksudmu?! Sin Kiat duduk
di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di atas akar pohon.
‘Lupa lagikah engkau dahulu? Pernah engkau mengatakan
bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah
menjadi panglima!!
Sin Kiat tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri,
bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas dan berkata, ‘Aku teringat akan
pengalaman-pengalamanku selama masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita
itu tiada bedanya dengan sebuah sarang burung di puncak pohon yang amat
diinginkan oleh seorang kanak-kanak. Hati amat gembira dan penuh bayangan
indah-indah dan muluk-muluk, penuh ketegangan ketika berusaha untuk memanjat
pohon tinggi penuh bahaya, untuk meraih sarang dan mendapatkan anak burung di
dalamnya. Dan setelah akhirnya didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di
tangan? Hanya kegembiraan sebentar saja karena segera disusul oleh
kewajiban-kewajiban memelihara agar si anak burung tidak mati. Demikian pula
dengan cita-cita, Han Han.!
Han Han membelalakkan matanya, kemudian tertawa memandang
wajan tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu. ‘Ha-ha-ha, pengalaman
merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai
berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian mencari-mendapatkan-memiliki-memelihara
merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki
sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara!
Makin banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak
pula beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan
memelihara semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan
enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir
kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan kehilahgan!!
Sin Kiat menggaruk-garuk kepalanya. ‘Hemmm, kalau
begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa yang
disenanginya agar tidak sampai kehilangan?!
Han Han tertawa dan menggeleng kepala. ‘Manusia menjadi
korban daripada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan
bagaimanapun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya akan menderita
oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan
menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah
orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh
nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan
bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia
tidak terikat oleh miliknya.!
Wan Sin Kiat mengangguk-angguk, kemudian memandang
sahabatnya, dapat melihat kemuraman wajah Han Han. Dia mengerti apa yang
menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain tehtulah hal yang juga membuat
hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya Lulu!
‘Han Han, tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh
para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar
sekali dalam menghadapi musuh, Han Han,! katanya untuk membelokkan perhatian
sahabatnya ini agar terhibur.
Akan tetapi Han Han menggeleng kepala dan menghela napas
panjang. ‘Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku
di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku membantu, melihat betapa
bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau
tahu bahwa sesungguhnya aku mencari adikku yang sampai kini belum ada
beritanya. Hemm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu
tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di
lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang,
tentu dia sudah dapat kutemukan di sini.!
Ah, jangan dulu kau pergi, Han Han. Tenagamu masih amat
dibutuhkan. Para penyelidik melaporkan bahwa kabarnya Puteri Nirahai sendiri
akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan
masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama
membantu perjuangan melawan penjajah!!
‘Di sini pun banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama
itu lihai sekali, periu apa takut? Aku tidak suka perang, apalagi aku tidak
suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku menghambakan diri di
sini.!
‘Dua orang pendeta itu? Ah, mereka sama sekali tidak
boleh diandalkan! Memang, mereka itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi
mereka adalah sekutu-sekutu dari Pangeran Kiu!!
Han Han teringat akan cerita pejuang yang buntung
kakinya, maka ia memandang kepada sahabatnya itu dan bertanya. ‘Apakah salahnya?
Kulihat Pangeran Kiu juga berjuang bahu-membahu dengan Bu-ongya.!
Sin Kiat menggeleng kepala. ‘Memang, sekarang ini kita
semua bersatu dalam menghadapi serbuan barisan Mancu. Akan tetapi sesungguhnya
di sebelah dalam timbul keretakan di antara mereka yang memegang pimpinan!
Bu-ongya bertekad untuk menentang pemerintah Mancu sampai tenaga terakhir!
Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali mendesaknya agar suka berdamai saja
dengan pihak Mancu.!
Han Han sudah tahu akan hal ini. ‘Kalau menurut pendapatmu,
siapa di antara mereka yang benar?!
‘Entahlah, kedua-duanya benar. Bu-ongya hendak melawan
terus karena tidak mau melihat tanah air dijajah, adapun Pangeran Kiu ingin
berdamai dengan penjajah karena tidak mau melihat rakyat makin menderita akibat
perang.!
‘Dan kau sendiri?!
Sin Kiat menggerakkan pundaknya. ‘Aku adalah seorang
pejuang tanpa pamrih, hanya didorong oleh kesadaran akan kewajibanku sebagai
searang warga negara untuk membela negaranya!!
‘Tapi kau menjadi panglima muda Bu-ongya.!
Wajah Sin Kiat berubah merah dan ia menggeleng-geleng
kepala. ‘Dorongan cita-cita bocah yang terlalu kenyang menderita.
Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah kini menjadi panglima, aku bosan
dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan untuk pangkat inilah aku berjuang.
Andaikata saat ini juga pangkatku dicabut, aku tetap akan berjuang melawan
penjajah.!
‘Aku sudah bosan akan semua urusan politik, sudah bosan
akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku di Se-cuan dan bantuan-bantuanku amatlah
bertentangan dengan hatiku sendiri. Mungkin rasa tidak senangku akan perang ini
ditimbulkan oleh sepak terjang para pimpinan sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam
Kwi sendiri, tak dapat disangkal bahwa dia pernah berkhianat terhadap
pemerintah dengan bersekongkol bersama bangsa Mancu menyerbu ke selatan. Akan
tetapi karena keadaannya berubah, kini ia melawan bangsa Mancu, bahkan dianggap
sebagai pusat pertahanan oleh kaum pejuang! Kemudian aku mendengar pertentangan
diam-diam di sini yang tidak lain disebabkan oleh ambisi pribadi masing-masing.
Semua ini menjemukan hatiku, Sin Kiat. Aku mulai curiga terhadap orang-orang
yang menggunakan kedok yang indah-indah untuk menutupi nafsu pribadi,
bersembunyi di balik kata-kata indah seperti perjuangan dan lain-lain sebagai
alasan. Kalau saja dalam mengejar cita-cita pribadi orang melakukannya sendiri
dengan resiko-resiko ditanggung sendiri, hal itu sudah sewajarnya dan
sepatutnya. Akan tetapi dalam perang sungguh merupakan dosa besar sekali
karena, menyeret laksaan manusia lain yang seolah-olah dipermainkan nyawanya.
Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak pergi dari sini mencari Lulu.!
Sin Kiat menarik napas panjang. ‘Bersabarlah, Han Han.
Bukankah engkau masih menanti hasil penyelidikan Nona Tan Hian Ceng? Pula,
sekarang belum waktunya untuk keluar perbatasan, amat berbahaya. Di Se-cuan
sendiri, semua orang adalah pejuang. Di sini orang tidak mengenal arti bebas
perang, yang ada hanyalah kawan atau lawan! Dan kalau engkau keluar perbatasan
yang kini dikepung ketat oleh barisan Mancu, engkau tentu akan dianggap
mata-mata dan akan dikeroyok ribuan orang tentara. Bersabarlah menanti sampai
keadaan perang mereda dan sementara itu, harap engkau berhati-hati.!
‘Mengapa engkau memperingatkan aku demikian?!
Sin Kiat memandang ke kanan kiri, kemudian berkata lirih,
‘Agaknya pertentangan paham antara Pangeran Kiu dan Bu-ongya timbul lagi dan
makin menghebat dengan adanya pengurungan barisan Mancu. Dan aku tahu bahwa
kedua pihak ingin memperebutkan orang-orang pandai kedua pihak masing-masing,
maka tentu saja engkau menjadi calon yang amat penting dan menarik untuk mereka
perebutkan.!
‘Hemmm, aku....? Diperebutkan?!
‘Tenagamu yang amat mereka butuhkan, Han Han.!
Pemuda buntung itu menggeleng-geleng kepala. ‘Aku makin
muak. Akan tetapi baiklah, alasan-alasan yang kau kemukakan tadi memang tepat.
Aku akan bersabar menanti sampai keadaan mereda.!
‘Aku akan pergi mencari Nona Tan Hian Ceng, mungkin dia
berada di Wan-sian dan membantu perang di bagian itu. Siapa tahu dia sudah
mendengar tentang Nona Lulu.!
Demikianlah, Han Han mendengar bujukan dan nasihat Sin
Kiat, menunda kepergiannya meninggalkan Se-cuan. Akan tetapi dia sudah menjadi
makin bosan dan gelisah memikirkan Lulu. Apalagi pada waktu itu, pihak Mancu
hanya saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan masing-masing, mereka hanya
mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk saling menyelidiki keadaan
masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara dan selatan. Satu-satunya
daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah Sin-kiang dan Tibet.
Tepat seperti yang dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari
kemudian Han Han mengalami usaha memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam
dia diundang oleh Pangeran Kiu ke dalam gedungnya.
Han Han yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan
pangeran itu, merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dan
pada saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran Kiu di gedungnya.
Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima muda yang indah dan
gagah Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran, sungguhpun dia telah
diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai panglima pasukan pelopor.
Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian sederhana, dan terpincang-pincang
dibantu tongkat bututnya memasuki istana yang megah itu.
Han Han merasa kaget, heran dan juga malu hati ketika
melihat betapa Pangeran Kiu sendiri yang menyambutnya, bersama Thian Tok Lama
yang gendut bermuka kekanak-kanakan dan Thai Li Lama yang kurus dan bersinar
mata hitam aneh. Ia cepat menjura dengan hormat, dan ia makin heran melihat
Pangeran Kiu mendekatinya, memegang tangannya dan berkata.
‘Suma-taihiap, tidak perlu melakukan banyak peradatan,
marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak membicarakan hal yang amat penting
dengan taihiap.!
Mereka memasuki ruangan dalam yang indah dan di situ
telah tersedia makanan yang serba lengkap dan mewah di atas meja. Pangeran Kiu
mempersilahkan Han Han duduk dan beberapa orang pelayan wanita yang muda-muda
dan cantik-cantik cepat melayani mereka menuangkan arak, kemudian atas isyarat
pangeran itu, mereka mundur dan berdiri di sudut kamar menanti perintah.
Setelah menerima suguhan arak beberapa cawan, Han Han
lalu bertanya, tanpa menyembunyikan keheranannya dalam suaranya, ‘Maaf,
Pangeran. Sungguh saya merasa amat heran atas undangan Pangeran. Ada urusan
penting apakah?!
Pangeran Kiu tertawa bergelak, dan dua orang pendeta Lama
itupun tersenyum.
‘Suma-taihiap, ketahuilah bahwa sebetulnya antara
engkau dan aku, masih ada hubungan keluarga.!
‘Ahhh, harap Pangeran tidak berkelakar!! Han Han
berkata, tidak percaya sama sekali.
‘Aku tidak main-main, taihiap. Dan aku pun baru saja
mengetahui akan hal ini dari keterangan Thian Tok Lama,! jawab Pangeran Kiu
sambil tersenyum.
Han Han teringat akan peringatan Sin Kiat agar dia
berhati-hati. Siapa tahu ada maksud tersembunyi dalam sikap pangeran yang aneh
ini, maka ia lalu menoleh dan memandang wajah pendeta Lama gendut yang ia tahu
amat lihai kepan daiannya itu.
‘Saya mohon penjelasan,! kata Han Han singkat, ditujukan
kepada Pangeran Kiu akan tetapi dia menatap wajah Thian Tok Lama.
Hwesio Lama gendut ini tersenyum, mengangkat cawan dan
minum araknya. Sekali teguk arak keras dalam cawan itu pindah ke perutnya, dan
sambil meletakkan cawan kosong di atas meja ia berkata, ‘Maaf, Suma-taihiap.
Dalam perang pinceng terpaksa untuk sementara membuang pantangan minum arak dan
makan daging. Tentu saja engkau merasa heran sekali mendengar keterangan
Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi sesungguhnya begitulah. Engkau masih terhitung
keluarga dari Pangeran, dan hal ini dapat dibuktikan kalau saja taihiap tidak
menyembunyikan sesuatu dan suka mengaku secara jujur.!
Han Han masih merasa heran dan kini ia memandang tajam,
mengerutkan alisnya. ‘Thian Tok Losuhu, saya tidak menyembunyikan sesuatu.!
Pendeta gendut itu tertawa dan matanya bersinar penuh
kagum. ‘Taihiap pandai sekali menyembunyikan kesaktian dari pandai pula
menyembunyikan nama besar. Suma-taihiap, bukankah taihiap ini cucu dari
pendekar sakti Suma Hoat?!
Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba, membuat Han Han
terkejut bukan main. Dia memang tidak menyembunyikan nama keturunannya ketika
memperkenalkan diri kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, mengaku she Suma, akan tetapi
untuk mengakui tokoh sesat yang menjadi kakeknya dan terkenal dengan julukan
Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya itu, benar-benar ia masih merasa berat. Akan
tetapi, kini ia berhadapan dengan orang-orang pandai seperti Thian Tok Lama,
juga dengan seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, bagaimana akan dapat
menyangkal? Selain itu, apa pula perlunya menyangkal?
‘Losuhu, bagaimana Losuhu bisa tahu?! Ia balas
bertanya, suaranya tenang saja akan tetapi pandang matanya penuh selidik.
Kembali kakek gundul itu tertawa. ‘Pinceng mengenal
baik Kakekmu itu, taihiap, seorang yang gagah perkasa, tampan dan sakti.
Melihat wajah taihiap sama dengan melihat wajah Suma Hoat di waktu muda, tentu
saja dengan mudah pinceng dapat menduganya. Melihat usiamu, melihat persamaan
wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap adalah cucunya.!
Diam-diam Han Han merasa betapa hatinya menjadi kecut dan
tidak senang. Celaka tiga belas dan sialan, pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya
sama benar dengan kakeknya yang amat dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat
berbohong, juga tidak mau membohong. Dia tidak senang diketahui orang sebagai
cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat akan tetapi dia juga tidak takut orang
mengetahuinya! Memang benar kakeknya seorang penjahat, akan tetapi kakeknya dan
dia adalah dua orang lain!
‘Memang benar, saya adalah cucunya. Akan tetapi saya
masih tidak mengerti apa hubungannya ini dengan Pangeran.!
Pangeran Kiu tertawa bangga. ‘Ah, Suma-taihiap, atau
mulai sekarang lebih baik saya menyebutmu Suma-hiante. Nama besar keluarga Suma
sudah menjulang tinggi sampai ke langit selama puluhan tahun....!
‘Amat terkenal saking kotor dan jahatnya,! pikir Han
Han penuh sesal.
‘.... sebagai keluarga yang berkuasa, kaya raya,
memiliki ilmu kesaktian yang jarang bandingannya, dan yang lebih daripada itu
semua, merupakan keluarga yang setia kepada kerajaan!!
‘Hemmm, pujian kosong,! pikir Han Han sungguhpun ia
sendiri tidak pernah tahu akan riwayat keluarganya yang terkenal.
‘Bahkan pendekar sakti Suling Emas pun masih terhitung
anggauta Suma ini. Suma Han-hiante, ketahuilah bahwa antara keluarga Suma dan
keluarga Kiu terdapat ikatan kekeluargaan pula, yaitu karena seorang di antara
selir mendiang Suma Kiat adalah puteri keluarga Kiu. Sedangkan Pangeran Suma
Kiat itu adalah ayah dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah dengan demikian, di
antara nenek moyang kita masih terdapat hubungan keluarga, Suma-hiante?!
Kepala Han Han menjadi puyeng mendengar keterangan
tentang keluarga Suma yang sering kali menimbulkan benci dan penyesalan di
hatinya itu. Ia tidak peduii apakah keluarga Suma itu dahulu keluarga bangsawan
ataukah keluarga kaya raya, pendeknya nama kakeknya yang berjuluk Jai-hwa-sian
telah menghapus semua perasaan mesra di hatinya sebagai anggauta keluarga Suma.
Kalau dia disuruh memilih, tentu ia akan jauh lebih suka memakai nama keluarga
Sie, akan tetapi karena dia tidak sudi menyembunyikan nama yang dianggapnya
sebagai sifat pengecut, terpaksa ia menggunakan she Suma yang dibencinya itu.
‘Apakah hubungannya hal itu dengan panggilan ini,
Pangeran? Saya tidak percaya bahwa saya dipanggil hanya untuk mendengar
keterangan tentang keluarga nenek moyang ini.!
‘Ha-ha-ha! Engkau terlalu kurang sabar, Hiante!
Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu dirayakan lebih dulu? Marilah, kita
makan minum, baru nanti kita bicara lagi!!
Karena sikap pangeran itu yang ramah-tamah, ditambah lagi
sikap dua orang pendeta Lama yang menghormatnya, Han Han tak dapat mengelak dan
mulailah mereka makan minum. Han Hidak tahu betapa Pangeran Kiu den dua orang
pendeta Lama itu sering kali bertukar pandang den isyarat, dan tidak tahu
betapa pangeran itu sengaja mendatangkan dua orang pelayan wanita yang baru,
yang muda-muda den amat cantik. Tidak tahu bahwa dua orang pelayan ini sengaja
diperintah untuk melayaninya, untuk merayunya dengan gerakan-gerakan lemah
gemulai, dengan suara merdu ketika menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan
mesra secara sambil lalu ketika melayaninya.
Han Han merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol
kepada dua orang pelayan itu yang dianggapnya genit dan terlalu berani, akan
tetapi dia diam saja, melirik pun tidak kepada dua orang wanita muda yang
menyiarkan keharuman dari tubuh mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut
mereka, dan rangsangan-rangsangan dari sentuhan jari tangan mereka.
Han Han tidak tahu bahwa Pangeran Kiu sudah mengatur
semua ini, juga ketika serombongan penari yang cantik-cantik datang, menari den
meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti menantang minta dipeluk,
Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu dan dua orang hwesio Lama
memandangi setiap gerak-geriknya.
Dan memang Pangeran Kiu bersama dua orang hwesio Tibet
itu kecelik. Mereka tadinya menyangka bahwa sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda
yang buntung kakinya namun memiliki kelihaian melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini
tentu mewarisi watak kakeknya, suka akan wanita. Karena itu, Pangeran Kiu
berusaha memikat Han Han dan menyenangkan hatinya dengan wanita-wanita cantik
agar pemuda lihai ini dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya dan menjadi
pembantunya.
Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak tertarik dan hal
ini dapat pula dilihat dari sikap dua orang wanita perayu yang makin lama makin
lemas kehabisan semangat. Pangeran Kiu memberi isyarat dan semua penari dan
pelayan mundur. Han Han bernapas lega, karena tadi, sungguhpun ia menekan
perasaan dan tetap tenang, hatinya sudah berdebar tidak karuan. Menghadapi
rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya lebih menegangkan dari pengeroyokan
musuh yang bersenjata tajam.
‘Suma Han-hiante, sekarang tiba saatnya bagi kita. Kita
sama mengetahui bahwa di antara kita terdapat hubungan keluarga, maka aku tidak
ragu-ragu lagi untuk mengajakmu bicara. Terus terang saja aku mengharapkan
bantuanmu, Hiante.!
‘Bantuan? Bantuan apakah, Pangeran?!
‘Bantuan kepadaku untuk menghadapi musuh-musuhku.!
Han Han memandang pangeran itu, pura-pura heran
sungguhpun ia sudah dapat menduganya, mengingat akan penuturan Sin Kiat.
‘Pangeran, musuh kita semua bukankah barisan Mancu? Dan
saya rasa selama ini saya pun sudah membantu, walaupun hanya sedikit menghadapi
tokoh-tokoh pandai di barisan musuh.!
‘Bukan hanya itu, Hiante. Musuh yang terbesar bahkan
yang kini menjadi sekutu kami. Kumaksudkan, Bu-ongya.!
‘Hehhh? Bu-ongya....? Bagaimana ini? Saya tidak
mengerti, Pangeran.!
‘Thian Tok Lama, harap suka memberi penjelasan kepada
Suma-hiante,! perintah Pangeran Kiu.
Bab 37
Pendeta Tibet yang gemuk dan bermuka lunak, kanak-kanakan
itu lalu berkata dengan sikap lunak, ‘Suma-taihiap, biarpun ilmu kepandaianmu
amat hebat dan tinggi, akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau
belum tahu akan hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal
siapakah sebetulnya Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan?
Yang memungkinkan bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh
pedalaman? Bukan lain adalah Bu Sam Kwi!! Kalimat terakhir ini diucapkan dengan
tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi mereka semua melihat bahwa pemuda
buntung itu tidak tampak kaget dan mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal
ini memang tidak aneh bagi Han Han yang sudah mendengar akan cerita itu.
Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang sakti itu
mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah pandai
menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai perasaannya, maka Thian Tok
Lama melanjutkan.
‘Pada waktu Kerajaan Beng diserbu bangsa Mancu, kalau
semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan lain-lain mengerahkah bala tentara
mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat dipukul hancur. Akan tetapi sayang,
kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah sehingga para panglima memberontak.
Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan pengkhianat terbesar telah bersekutu dengan
bangsa Mancu dan menyerbu ke selatan. Berkat bantuan Bu Sam Kwi maka bangsa
Mancu berhasil menguasai seluruh pedalaman. Dan sekarang, setelah terlambat,
setelah melawan pun tiada gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang bangsa Mancu
mati-matian dan semua ini untuk mempertahankan kedudukannya sebagai raja muda
di Se-cuan!!
Han Han juga sudah mendengar akan hal itu, bahkan dia
sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya tentang keinginan Pangeran Kiu untuk
mengadakan perdamaian dengan pihak Mancu yang tentu saja didasari keinginan
mendapatkan kedudukan tinggi yang akan diberikan pemerintah Mancu kepadanya!
Akan tetapi karena Han Han tidak peduli akan urusan itu yang dianggapnya bukan
urusannya, kini mendengar penuturan Thian Tok Lama lalu bertanya.
‘Apakah hubungannya semua itu dengan saya? Dan mengapa
diceritakan kepada saya?!
Kini Pangeran Kiu yang melanjutkan. ‘Suma-hiante,
setelah kau mendengar penuturan Thian Tok Lama, tentu engkau sadar bahwa tidak
semestinya engkau mengabdi kepada Bu Sam Kwi! Dia seorang yang palsu hatinya!
Karena itu, saya mengulurkan tangan kepadamu, sebagai anggauta keluarga, untuk
membantuku.! Pangeran Kiu memandang tajam penuh selidik.
‘Akan tetapi, apakah bedanya? Andaikata saya membantu
Pangeran, tentu untuk melawan barisan Mancu.! Han Han pura-pura bertanya.
‘Omitohud....! Sungguh mengagumkan. Taihiap yang lihai
masih terlalu muda, polos dan bersih!! Thai Li Lama yang kurus berkata.
‘Bukan, Hiante. Kuminta agar engkau suka berpihak
kepadaku karena terjadi pertentangan antara pihakku dan pihak Bu Sam Kwi.
Engkau tahu bahwa jelek-jelek aku masih keluarga Kerajaan Beng, seorang
pangeran dari kerajaan itu, sedangkan Bu Sam Kwi hanyalah seorang panglima yang
sudah memberontak dan berkhianat! Kami tidak akan memerangi Kerajaan Mancu
lagi, bahkan akan berdamai.!
Han Han pura-pura terheran. ‘Hemm, tadi Bu-ongya
dipersalahkan ketika bersekutu dengan bangsa Mancu, kenapa sekarang Pangeran
hendak bersekutu dengan bangsa Mancu? Bagaimana ini?!
‘Jauh bedanya, Hiante! Dahulu tidak semestinya Bu Sam
Kwi bersekutu deigan bangsa Mancu, karena Kerajaan Beng masih kuat. Dalam
keadaan masih kuat melawan dia bersekutu, itulah pengkhianatan namanya!
Sekarang, Kerajaan Mancu amat kuat, sudah menguasai seluruh Tiongkok. Kalau
kita berdamai, itu adalah menggunakan kecerdikan namanya. Rakyat tidak tersiksa
dan menderita oleh perang yang berlarut-larut, dan setelah kita memperoleh
kedudukan, mudah bagi kita untuk berusaha menguasai mereka, menanti kesempatan
baik untuk menggulingkan musuh. Ini adalah sebuah siasat yang cerdik, tidak
melawan secara membuta seperti yang kita lakukan selama ini. melawan secarì¥à 7 ð ¿ ‡?
bjbjU U "l 7| 7| ‡; ÿÿ ÿÿ ÿÿ l Ö Ö Ö Ö
Ö Ö Ö ê â" â" â" â"
î"
ê
ž – – – – – – – – Å Â Å’Â Å’Â
Å’Â Å’Â
Å’Â Å’Â
$ Þ á p
° Ö – – – –
– ° Ž– Ö Ö – – Å Ž–
Ž– Ž–
– :ÿ Ö – Ö – Š Ž– – Š Ž– î Ž– | Ö Ö | – ú•
À7aVÒÅ ê ø! â" @• N | Š Û 0
ž | Q¡ Ž– Q¡ |Â
Ž– ê ê Ö Ö Ö Ö Ù Pendekar Super Sakti
Karya : Kho Ping Hoo
Bab 37 - Antara Bu Sam Kwi Dan Pangeran Kiu
Pendeta Tibet yang gemuk dan bermuka lunak, kanak-kanakan
itu lalu berkata dengan sikap lunak, ‘Suma-taihiap, biarpun ilmu kepandaianmu
amat hebat dan tinggi, akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu
engkau belum tahu akan hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak
mengenal siapakah sebetulnya Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi
penjajahan? Yang memungkinkan bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan
seluruh pedalaman? Bukan lain adalah Bu Sam Kwi!! Kalimat terakhir ini
diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi mereka semua
melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak kaget dan mendengarkan dengan
tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh bagi Han Han yang sudah mendengar
akan cerita itu.
Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang sakti itu
mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah pandai
menguasai hati dan pikirannya, panatau kalau ditawan pun dapat menjadi sekutu
yang menang dan memperoleh kedudukan pula, sungguhpun tidak setinggi seperti
kalau menang! Sungguh menyedihkan namun menjadi kenyataan selama sejarah
berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang mempermainkan rakyat
demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah mereka, orang-orang besar itu
lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu di belakang,
sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke depan saling memperebutkan
pahala dan jasa!!
Han Han bicara penuh semangat dan memang di dalam hatinya
ia merasa prihatin sekali setelah mengalami bermacam hal sebagai akibat perang.
Dia telah melihat rakyat yang melarikan diri mengungsi akibat perang,
kehilangan semua miliknya yang tidak seberapa, bahkan banyak yang kehilangan
nyawa keluarga dan nyawa sendiri, dikejar-kejar tentara Mancu, diperkosa,
disiksa, dibunuh!
Dan orang-orang besar seperti Pangeran Kiu ini dan banyak
lagi, enak-enak di Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman daripada
penderitaan rakyat kecil, namun masih bicara tentang perjuangan!
Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan berdamai
dengan bangsa Mancu! Dan semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk dan
baik-baik. Kecerdikan! Agar rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi
untuk keselamatannya sendiri, demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi!
Rakyat pula yang dibawa-bawa. Siapa tidak akan muak?
Wajah kedua orang pendeta Tibet menjadi pucat, dan wajah
Pangeran Kiu menjadi merah sekali saking marahnya. Tak mereka sangka pemuda
buntung yang mereka harapkan berpihak kepada mereka itu mengeluarkan ucapan
seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat pula! Bagi mereka, tentu saja segala
perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang sedang berjalan, maupun yang akan
datang kesemuanya adalah baik dan benar belaka!
‘Suma Han! Berani engkau bicara seperti ini?! Pangeran
Kiu hampir tak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi Thian Tok Lama cepat
berkata.
‘Pangeran, harap suka memaafkan ucapan Suma-taihiap.
Dia masih muda, darahnya masih panas, tentu saja pandangannya pun dangkal.
Betapapun juga, harus diingat bahwa dia telah berjasa. Biarlah penawaran
Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan setelah pikirannya tenang, tentu
dia akan berpendapat lain.! Kemudian pendeta gendut ini berdiri menjura kepada
Han Han sambil ber kata.
‘Suma-taihiap, pinceng harap taihiap suka pulang dulu
dan kami berharap dalam waktu tiga hari taihiap suka mempertimbangkan apa yang
kita bicarakan di sini sekarang ini. Di samping itu, pinceng pun akan membantu
taihiap mencari dan menyelidiki tentang adik taihiap yang bernama Nona Lulu
itu.!
Han Han sadar bahwa ucapannya yang terdorong hati
penasaran tadi membikin marah Pangeran Kiu. Dia bangkit berdiri, memberi hormat
sambil berkata, ‘Mohon Pangeran sudi memaafkan saya yang lancang mulut.! Ia
lalu mengundurkan diri dan pergi meninggalkan gedung Pangeran Kiu.
***
Dua hari kemudian, ketika Han Han sedang termenung
menyendiri, telinganya menangkap gerakan orang di sebelah belakang. Dia tahu
bahwa yang datang adalah orang yang memiliki gin-kang tinggi, akan tetapi dia
diam saja, menoleh pun tidak.
‘Suma-taihiap....!!
Han Han baru menoleh dan melihat Thian Tok Lama telah
berdiri di belakangnya. Cepat ia memberi hormat dan berkata.
‘Sepagi ini Losuhu sudah datang menemui saya, ada
keperluan apakah?!
Thian Tok Lama tertawa. ‘Kabar baik, taihiap. Kabar
baik sekali. Pinceng sudah dapat menemukan adik taihiap.!
Seketika wajah Han Han berseri, dadanya berdebar tegang.
‘Losuhu! Di mana dia? Benarkah Losuhu bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih
kepada Thian Yang Maha Kasih. Adikku masih hidup! Losuhu, di mana dia?!
Thian Tok Lama memperlebar senyumnya, diam-diam ia
kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia menggerak-gerakkan telunjuknya seperti
menegur kepada Han Han, ‘Taihiap, setelah pinceng mengetahui keadaanmu,
mendengar siapa adanya adikmu, sungguh pinceng merasa makin kagum dan terharu.
Mengertilah pinceng, mengapa taihiap demikian membenci perang, akan tetapi
pinceng kagum bahwa pendirian taihiap tetap teguh tak terpengaruh keadaan.
Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri Mancu! Hemmm....!!
Kalau tadinya Han Han masih curiga dan ragu-ragu apakah
benar-benar pendeta Tibet ini tahu di mana adanya Lulu, kini keraguannya
menghilang dan ia bertanya dengan suara mendesak, ‘Losuhu, setelah Losuhu
datang menjumpaiku dan mengabarkan tentang Lulu, harap jangan menyiksa
perasaanku dan katakanlah, di mana dia?!
‘Dia belum lama datang bersama pasukan yang dipimpin
oleh Puteri Nirahai. Dia adalah seorang Panglima Mancu, taihiap.!
Han Han membelalakkan matanya. ‘Aaaahhhhh? Tidak
mungkin! Tidak mungkin!!
Pendeta itu memandang tajam. ‘Mengapa, taihiap?
Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa Mancu?!
‘Di mana dia, Losuhu, aku segera menyusulnya!! Han Han
berkata penuh gairah.
‘Di perbatasan sebelah barat Min-san, di lereng-lereng
gunung itulah dia bertugas melakukan penyelidikan.!
‘Terima kasih, Losuhu! Terima kasih! Sekarang juga aku
hendak berpamit dan pergi!!
Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat pergi untuk
minta diri dari Bu Sam Kwi. Pemuda itu tidak tahu betapa Thian Tok Lama
memandangnya sambil menggeleng kepala dah berkata lirih.
‘Sayang.... dia pemuda yang lihai sekali....
sayang....!!
Bu Sam Kwi tidak dapat menahan ketika Han Han berpamit
dan menyatakan meletakkan jabatan dengan alasan ingin keluar dari Se-cuan dan
mencari adiknya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa adiknya kini telah
menjadi seorang Panglima Mancu! Ketika ia mendapat perkenan dan keluar dari
istana, dia bertemu dengan Wan Sin Kiat.
‘Sin Kiat, aku pergi sekarang juga, sudah mendapat
perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.!
Sin Kiat memegang lengan sahabatnya itu. ‘Eh, nanti
dulu. Engkau hendak ke manakah, Han Han?!
‘Ke mana lagi? Tentu saja mencari Lulu. Kalau lebih
lama menanti di sini saja, sampai kapan aku dapat menemukannya?!
Sin Kiat menarik napas panjang. Hatinya pun menyesal
sekali mengapa dia tidak mendapat kesempatan untuk pergi sendiri mencari gadis
yang telah merobohkan hatinya itu. ‘Aku pun akan minta ijin dari Ongya untuk
membantumu mencarinya.!
‘Jangan!! Cepat-cepat Han Han menarik lengannya.
‘Engkau masih dibutuhkan di sini, biar aku sendiri yang mencarinya.! Setelah
berkata demikian, Han Han melesat pergi cepat sekali.
Sin Kiat menarik napas panjang. ‘Ah, Lulu....!! Ia lalu
mengambil keputusan untuk minta ijin dari atasannya. Perang sedang berhenti,
musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam menganggur ini akan ia pergunakan
membantu Han Han mencari jejak gadis itu.
Han Han berlari, atau lebih tepat berloncatan cepat
sekali menuju ke Pegunungan Min-san yang terletak di perbatasan utara Propinsi
Se-cuan. Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia tiba di
daerah Pegunungan Min-san itu. Daerah yang sunyi dan di daerah inipun perang
tidak tampak, suasana sepi dan agaknya para penjaga di pihak Se-cuan juga
melakukan penjagaan sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan.
Dengan kepandaiannya, Han Han dapat melalui tempat
penjagaan dan memasuki hutan-hutan di seberang perbatasan, memasuki daerah
musuh di Propinsi Kan-su, di sebelah barat puncak Min-san.
Pada hari ke lima, pagi-pagi ia memasuki sebuah hutan dan
hatinya agak bingung mengapa sampai sekian jauhnya belum juga ia menemukan
pasukan Mancu. Mulailah ia meragu. Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet
itu! Han Han mengusap peluh di dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat
dan berdiri sambil bersandar pada tongkatnya, karena ia menjadi bingung, tidak
tahu harus mencari ke mana di hutan besar yang sunyi itu.
Tiba-tiba Han Han menghentikan usapannya pada dahi dan
leher, matanya me lirik ke kanan kiri, tongkat siap di tangan. Ia mendengar
gerakan banyak orang makin mendekat, agaknya mengurung tempat itu.
‘Wir-wir-sing-sing-singgg!! Dari arah belakang dan
kiri, meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han Han menggerakkan
tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan dari balik-balik
pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang!
Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa Mancu disusul
serbuan pasukan itu!
‘Aku tidak ingin berkelahi! Aku mencari adikku Lulu!!
Han Han cepat berseru dan karena ia menggunakan tenaga khi-kang, maka suaranya
nyaring sekali membuat perajurit Mancu terkejut dan langkah kaki mereka
tertahan.
‘Dia panglima pemberontak Bu! Tangkap! Bunuh saja!!
Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Han Han, suara Thian Tok Lama!
Mulailah Han Han mengerti bahwa dia memang ditipu!
Teringat ia sekarang bahwa Thian Tok Lama termasuk sekutu
Pangeran Kiu yang ingin berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya pendeta itu
sengaja menjebaknya di sini untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk
memperlihatkan iktikad baiknya terhadap bangsa Mancu! Han Han menjadi marah,
apalagi ketika dugaannya itu terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak
jauh dari tempat itu.
Ia melihat pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus,
dan yang lebih memarahkan hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang
sakti yang pernah ia lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu
sepasang saudara Tikus Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah
lagi dengan beberapa orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apalagi di
situ terdapat dua orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!
Betapapun marahnya, Han Han masih tidak ingin untuk
bertempur, sekali-kali bukan karena takut, melainkan karena dia tidak mau
membuang-buang waktu, ingin segera pergi untuk mencari adiknya yang ia yakin
tidak berada di tempat ini dan keterangan Thian Tok Lama kepadanya itu palsu,
hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka ia lalu membalik dan meloncat ke
belakang.
Akan tetapi di belakangnya sudah menjaga pula
perajurit-perajurit Mancu dan tiba-tiba bayangan orang tinggi besar
menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas
dan angin keras!
‘Wuuuttttt!! Han Han meloncat ke belakang dan pukulan
itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik berikutnya, kembali pukulan yang
sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan cepat ia kembali mengelak.
‘Hemmm, kiranya Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Masih
ada lagikah?! Han Han berkata marah.
‘Singgggg....!! Sinar merah menyambarnya dan Han Han
kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah berdiri pula Hiat-ciang
Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga orang murid yang terkenal
dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama puluhan orang perajurit Mancu!
‘Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-li, aku tidak
mencampuri lagi urusan perang, aku hendak mencari adikku dan tidak ingin
bertempur. Berilah aku jalan agar aku pergi saja dari sini!! kata Han Han.
Hek-giam-ong yang seperti dua orang saudara
seperguruannya tadi memandang Han Han penuh perhatian, terutama sekali ke arah
kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata dengan suaranya yang parau, sesuai
dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang tinggi besar.
‘Han Han, engkau bocah setan sudah buntung kakimu masih
menjual lagak. Lebih baik engkau lekas berlutut menyerah menjadi tawanan kami
daripada kami turun tangan membuntungi kakimu yang sebelah lagi!!
Diejek demikian Han Han masih tetap sabar, akan tetapi ia
tahu bahwa pertempuran tak mungkin dihindarkan melihat betapa pasukan Mancu
itu, kini mengepungnya makin ketat dalam jarak dekat, sedangkan tokoh-tokoh
sakti yang menyertai penjebakan inipun menjaga dari empat penjuru.
‘Han Han, setelah kakimu buntung, apa sih dayamu
menghadapi pasukan kami? Aku sendiri menjadi malu harus bertanding melawan
seorang buntung!! kata Pek-giam-ong memandang rendah.
‘Minggiriah, biar aku pergi!! Han Han masih bersikap
sabar. Siuuuttttt.... plakkk!! Tubuh Ma Su Nio terhuyung ke belakang ketika
pukulannya tadi ditangkis Han Han seenaknya tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan
kiri menangkis datangnya pukulan itu dari kiri.
‘Sudahlah, aku pergi saja!! Han Han berkata lalu
tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi tiga orang murid Kang-thouw-kwi itu,
hendak mendobrak penjagaan para perajurit Mancu yang mengurungnya untuk meloloskan
diri.
Melihat ini, enam orang perajurit Mancu bergerak menubruk
dan menyerangnya dari segala jurusan, sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh
penjagaan para perajurit. Han Han tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia
menggerakkan tangan kanannya mendorong dan enam orang itu terpelanting ke kanan
kiri seperti dihempaskan oleh tenaga angin badai yang amat kuat.
Akan tetapi, sebelum Han Han sempat meloncat lagi,
terdengar pukulan sakti menyambar dari belakang dan kanan kiri. Hawanya panas
bukan main. Kiranya tiga orang murid Setan Botak itu telah menerjangnya dengan
marah. Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong menghantamnya dengan pengerahan ilmu
pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang sedangkan Ma Su Nio menggunakan ilmu
pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu pukulan
Hiat-ciang yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat
tinggi sehingga membikin anak telinga tergetar. Ilmu pukulan Toat-beng
Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong adalah
cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun kehebatannya tak dapat
disamakan dengan Hwi-yang Sin-ciang namun sudah amat dahsyat karena tubuh lawan
yang terpukul selain nyawanya melayang juga akan menjadi hangus seperti
terbakar kulitnya.
Akan tetapi Hiat-ciang (Tangan Merah) dari Ma Su Nio
masih setingkat lebih tinggi lagi daripada Toatbeng Hwi-ciang. Sepasang tangan
Ma Su Nio menjadi merah darah kalau ia menggunakan ilmu ini dan setiap
pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi pukulan kedua orang kakek,
juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi mencicit tinggi.
Berbeda dengan Toatbeng Hwi-ciang yang menghanguskan
kulit lawan, pukulan Hiat-ciang ini mengandung racun jahat sekali yang akan
meracuni darah lawan hanya oleh hawa pukulan saja, apalagi kalau sampai
bersentuhan atau terkena pukulan tangan merah itu!
Namun, betapapun lihai dan mengerikan ilmu pukulan dari
ketiga orang murid Setan Botak ini, bagi Han Han mereka itu bukan apa-apa. Dia
tidak ingin berkelahi, akan tetapi setelah diserang seperti itu, tentu saja dia
tidak sabar lagi. Melihat datangnya pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini
dia mengempit tongkatnya, kakinya yang tinggal sebuah itu berputar sehingga
tubuhnya membalik, tangan kirinya didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang
berbunyi seperti tikus terjepit sedangkan tangan kanannya membuat gerakan
dorongan memutar, sekaligus menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan
Pek-giam-ong dari depan dan kanan.
‘Desssss....!!! Hawa pukulan yang panas bertumbuk di
udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang murid Setan Botak itu
terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Han Han tidak
menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu bergulingan untuk
meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para perajurit Mancu yang
sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan golok mereka.
Menghadapi hujan senjata ini, Han Han cepat memutar
tongkatnya. Terdengar suara nyaring berkerontangan ketika belasan batang tombak
dan golok beterbangan terlepas dari tangan para pernegangnya, bahkan banyak di
antara senjata-senjata itu yang patah-patah.
‘Setan-setan ganas! Minggirlah, beri jalan! Aku tidak
mau berkelahi!! Han Han membentak, akan tetapi tentu saja suaranya tidak
dihiraukan orang dan dari depan menyambar belasan batang anak panah sebagai jawaban
bentakannya itu.
‘Hemmm, benar-benar keparat orang-orang Mancu!! Han Han
mulai panas perutnya. Sekali putar saja, tongkatnya telah meruntuhkan semua
anak panah. Para perajurit sudah menyerbu lagi. Ada yang menyerang dengan
tombak, pedang, atau golok, akan tetapi banyak pula yang nekat menyerang dengan
tangan kosong karena senjatanya telah patah. Mereka menyerang sambil berteri
ak-teriak, membuat Han Han makin marah.
Empat orang perajurit yang menerjang dari kiri memandang
rendah dan merasa girang ketika pemuda buntung itu menyambut terjangan golok
mereka dengan tangan kiri yang kosong. Mereka merasa yakin bahwa tentu serbuan
mereka sekali ini akan merobohkan atau setidaknya melukai Han Han. Akan tetapi,
tiba-tiba ketika tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan seperti orang
menampar, hawa yang amat dingin menyambar, tubuh mereka terpelanting ke atas
tanah seperti dibanting dan senjata mereka masih tergenggam, akan tetapi empat
orang perajurit ini telah menjadi mayat yang darahnya membeku!
Enam orang lain yang datang menerjang dari depan dan
kiri, disambut dengan tongkat. Demikian cepat gerakan tongkat ini sedangkan
tubuh Han Han tetap tidak berpindah tempat, hanya berdiri di atas sebelah kaki,
tongkat digerakkan ke arah para pengeroyok. Dalam waktu beberapa detik saja
enam orang inipun roboh dan tewas!
‘Swinggggg....!!
Han Han cepat merendahkan tubuh membiarkan sinar pedang
yang menusuk ke arah tengkuknya itu lewat di atas kepalanya. Tanpa membalikkan
tubuh, tongkatnya menyambar ke belakang, ke arah penyerangnya.
‘Trang-tranggg....!! Tampak api berpijar ketika
tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan tenaga kuat. Han
Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang menyerangnya tadi adalah
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sedangkan yang menangkis tongkatnya adalah
Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong.
Kiranya ketiga orang murid Setan Botak ini sudah bangkit
kembali dan kini telah mempergunakan senjata. Hal ini sebetulnya jarang sekali
dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima gemblengan Kang-thouw-kwi Gak
Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi, bahkan kedua orang kakek yang
mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang,
sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang.
Dengan kedua macam ilmu pukulan yang didasari tenaga
sakti Hwi-yang Sin-ciang ini, mereka amat percaya akan kemampuan sì¥à 7 ð ¿ ‡?
bjbjU U "l 7| 7| ‡; ÿÿ ÿÿ ÿÿ l Ö Ö Ö Ö
Ö Ö Ö ê â" â" â" â"
ì¥à 7 ð ¿ ‡?
bjbjU U "l 7| 7| ‡; ÿÿ ÿÿ ÿÿ l Ö Ö Ö Ö
Ö Ö Ö ê â" â" â" â"
mbar senjata dan menyerang lagi.
Begitu Han Han membalikkan tubuh, tiga orang sakti itu
menyerangnya. Gerakan pedang di tangan Ma Su Nio cepat bukan main sehingga
pedangnya merupakan sekelebatan sinar menyilaukan mata. Juga gerakan golok di
tangan kedua orang Hek-pek Giam-ong mendatangkan angin berdesir, tanda bahwa
tenaga mereka kuat sekali. Tiga orang ini menyerang dari depan, kanan dan kiri
Han Han dan begitu senjata mereka meluncur dengan tangan kanan, tangan kiri
mereka menyusul dengan pukulan Toat-beng Hwi-ciang dan Hiat-ciang!
Han Han yang baru saja membalikkan tubuh melihat
berkelebatnya tiga batang senjata tajam itu, cepat menangkis dengan putaran
tongkatnya, tidak menyangka bahwa tiga orang lawannya itu menyusulkan
pukulan-pukulan langan kiri yang amat kuat, maka ia hanya menangkis pedang dan
golok.
‘Cring-trang-tranggg....!!
Tiga batang senjata lawan ini terpental dan hampir
terlepas dari pegangan, akan tetapi pukulan tiga tangan yang mengandung hawa
sakti kuat, menyambar ke tubuh Han Han. Pemuda ini mengerahkan sin-kang dan
menerima pukulan itu. Tubuhnya bergoyang-goyang.
Melihat betapa tubuh Han Han bergoyang-goyang akibat
sambaran tiga buah pukulan jarak jauh, Ma Su Nio menjadi girang dan mengira
bahwa pemuda buntung yang amat lihai itu telah terluka. Ia mengeluarkan pekik
melengking dan menubruk maju, pedangnya menusuk ke arah lambung kiri Han Han
dan tangan kirinya dengan tenaga Hiat-ciang sepenuhnya mencengkeram ke arah
leher. Hebat bukan main serangan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio ini, dan entah
mana yang lebih berbahaya antara pedang di tangan kanan ataukah pukulan
Hiat-ciang tangan kirinya.
Terjangan ganas yang merupakan serangan maut dari Ma Su
Nio ini masih disusul oleh serbuan Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong yang siap-siap
mendekati dan mencari kesempatan baik sebagai perkembangan serangan Ma Su Nio.
Han Han melihat betapa para perajurit Mancu sudah
mengepung rapat tempat itu, melihat pula sikap para tokoh kaum sesat yang siap
hendak membunuhnya. Ia maklum bahwa makin lama akan makin berbahayalah
keadaannya. Kini menghadapi terjangan Ma Su Nio, ia mengeluarkan seruan keras,
tongkatnya bergerak ke pinggir menangkis dan terus menggunakan sin-kang
menempel pedang wanita itu.
Pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bau amis itu tidak
ia elakkan, melainkan ia papaki dengan tangan kanannya yang terbuka telapak
tangannya.
‘Dukkk! Plakkk!! Pedang dan tongkat bertemu dan
melekat, kedua tangan pun bertemu dan melekat. Ma Su Nio kembali mengeluarkan
suara melengking nyaring ketika merasa betapa pedangnya melekat pada tongkat
dan betapa tangan kirinya yang menempel tangan kanan pemuda itu, pertama-tama
terasa menggigil kemudian terasa betapa hawa yang amat dingin menjalar masuk ke
tubuh melalui lengan kirinya.
‘Aiiihhhhh!! Ia berseru, melepaskan pedangnya yang
masih menempel tongkat lawan, menggunakan tangan kanannya untuk menghantamkan
lagi pukulan Hiat-ciang yang lebih hebat ke arah dada Han Han.
‘Bukkkkk!! Han Han sengaja menerima pukulan tangan
kanan wanita itu dan.... telapak tangan Ma Su Nio menempel pada dadanya,
langsung hawa dingin menjalar memasuki lengan kanan wanita itu. Ma Su Nio
mengerahkan sin-kang dan berusaha menarik kembali kedua lengannya, namun
terlambat. Hawa dingin yang tersalur keluar dari tubuh Han Han adalah inti dari
Im-kang yang dihimpunnya di Pulau Es, maka hawa dingin yang amat luar biasa itu
telah melukai jantung Ma Su Nio yang seketika menjadi seperti kaku dan membeku!
‘Setan buntung!! Bentakan ini keluar dari mulut
Pek-giam-ong. Iblis yang ber juluk Raja Maut Putih ini mencelat maju hendak
menolong sumoinya. Goloknya menyambar ke tengkuk Han Han dengan kecepatan
seperti kilat menyambar, sedangkan Hek-giam-ong juga sudah menusukkan goloknya
untuk mendodet perut pemuda itu dari kanan.
Han Han melepaskan Ma Su Nio sambil meloncat mundur.
Tubuh wanita itu roboh tak bernyawa lagi, roboh seperti patung kayu yang kaku.
Sambil meloncat mundur, Han Han merendahkan tubuh, tongkatnya menyelinap dari
bawah, tangan kanannya didorongkan ke atas menggunakan hawa pukulan menangkis
bacokan golok Pek-giam-ong.
Pek-giam-ong menjerit ngeri ketika tahu-tahu orang yang
dibacok tengkuknya itu sekali mengangkat tangan membuat goloknya tertahan dan
tanpa dapat ia elakkan lagi, tongkat Han Han yang tadi bergerak dari bawah,
melemparkan pedang Ma Su Nio yang tadi menempel di ujung tongkat. Pedang itu
meluncur seperti anak panah dari jarak dekat, menembus perut Pek-giam-ong
sampai ke punggung. Pek-giam-ong membelalakkan mata melihat ke perutnya,
kemudian dengan kedua tangannya ia mencabut pedang itu dan.... berbareng dengan
menyemburnya darah dari perut dan punggungnya, iblis muka putih ini menubruk
maju!
Han Han menangkis pedang itu, sekaligus ia mengirim
tendangan yang membuat tubuh lawan itu tergelimpang dan tewas. Cara Han Han
menendang amatlah mengherankan, tubuhnya mencelat ke atas, di udara kakinya
bergerak dan tendangannya seperti tendangan ayam jago bertanding. Sambil
menendang, ia telah menyambar pedang Ma Su Nio dengan tangan kanan, pedang yang
oleh Pek-giam-ong dipergunakan untuk menyerangnya dalam keadaan sudah sekarat
tadi.
Hek-giam-ong sudah menubruk dengan kemarahan meluap-luap.
Melihat kematian dua orang saudara seperguruannya, ia menjadi marah sekali.
Tanpa mempedulikan sesuatu, maklum bahwa dengan pukulan dan senjata akan
percuma terhadap pemuda buntung itu, ia telah membuang goloknya dan menubruk maju
memeluk pinggang Han Han dari belakang.
Sebelum pemuda buntung ini sempat menghindarkan diri
karena baru menghadapi Pek-giam-ong yang ditendangnya, tahu-tahu tubuhnya telah
dipeluk oleh sepasang lengan yang panjang hitam dan amat kuat dari
Hek-giam-ong! Raksasa hitam ini bukan hanya memeluk, bahkan kedua tangannya
dengan jari-jari tangan mengandung Toat-beng Hwi-ciang itu telah mencengkeram,
yang kanan mencengkeram perut, yang kiri mencengkeram tenggorokan Han Han.
Sedetik pemuda buntung ini bingung juga menghadapi
serangan tidak lumrah ini. Namun tentu saja dia tidak kehilangan akal.
Mula-mula, tubuhnya secara otomatis telah menggerakkan sin-kang untuk
melindungi perut dan tenggorokannya, kemudian kakinya dan tongkatnya menekan
tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali.
Semua perajurit Mancu dan para tokoh yang menyaksikan
pertandingan ini menahan napas. Mereka melihat betapa tubuh Hek-giam-ong ikut
terbawa mencelat ke atas dan tampaklah betapa pemuda buntung itu berkali-kali
melakukan gerakan jungkir-balik seperti kitiran di atas udara sehingga sukar
diikuti pandang mata.
Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu pecah dua dan
melayanglah tubuh Hek-giam-ong yang terbanting jatuh ke atas tanah dengan suara
berdebuk dan dalam keadaan tak bernyawa lagi, kepalanya pecah oleh pukulan
ujung tongkat Han Han.
Han Han melesat ke depan melampaui kepala pasukan Mancu.
Akan tetapi ketika ia melayang lagi ke atas pohon, tiba-tiba ada desir angin
yang amat hebat dari pohon itu. Kiranya di atas pohon itu telah berdiri seorang
pendeta gendut yang bukan lain adalah Thian Tok Lama dan yang mengirim pukulan
ke arahnya.
Pendeta Lama itu berdiri setengah berjongkok di atas
dahan pohon yang besar, perutnya mengeluarkan bunyi ‘kok-kok-kok!! seperti
suara ayam biang dan kedua lengannya didorongkan ke arah tubuh Han Han yang
sedang mencelat ke atas. Itulah pukulan jarak jauh Hek-in-hwi-hong-ciang yang
amat dahsyat den agaknya kakek ini sudah mengenal gerakan-gerakan Han Han yang
cepat seperti kilat maka ia sengaja menghadangnya dari atas pohon. Angin yang
keras dan panas dengan uap hitam menyambar ke arah tubuh Han Han.
Han Han terkejut sekali, maklum bahwa lawan tangguh ini
melancarkan puku lan yang dahsyat dan berbahaya selagi tubuhnya masih di udara.
Namun tidak percuma dia digembleng oleh wanita sakti buntung Khu Siauw Bwee dan
telah mewarisi ilmu gerak kilat Soan-hong-lui-kun. Sambaran angin pukulan yang
dahsyat itu dapat ia pergunakan sebagai tenaga landasan, dan sambil mengerahkan
sin-kang di tangan kanan yang didorongkan ke depan menangkis, ia dapat
‘meminjam! hawa pukulan lawan membuat tubuhnya mencelat ke kiri dan pukulan
yang dahsyat itu luput. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara kagum,
‘Omitohud....!! dan dari pohon sebelah kiri menyambar
pula angin pukulan yang biarpun tidak sehebat Hek-in-hwi-hong-ciang tadi, namun
dibarengi bentakan, ‘Robohlah!! Luar biasa sekali bentakan ini karena Han Han
merasa seolah-olah ia terpaksa harus roboh!
Biarpun ia sudah menggerakkan lengan menangkis dan
mendapat kenyataan bahwa serangan dari pendeta kurus Thai Li Lama ini tidaklah
sekuat serangan Thian Tok Lama tadi, namun di dalam bentakan itu terkandung
wibawa dan kekuatan yang lebih berbahaya daripada pukulan itu! Seperti mimpi
Han Han terpelanting, seolah-olah lebih parah terkena ‘pukulan! bentakan itu
pada lubuk hatinya.
Masih untung bahwa Han Han memiliki kekuatan batin yang
aneh. Andaikata tidak demikian, tentu serangan tadi benar-benar akan membuat ia
roboh terbanting karena pendeta kurus ini telah menggunakan ilmunya yang hebat,
yaitu Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang disertai ilmu sihir yang
terkandung dalam bentakannya tadi.
Dalam waktu dua detik saja setelah ia merasa tubuhnya
melayang turun, Han Han sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia
berjungkir-balik sehingga ketika turun ke tanah, ia berdiri tegak dengan kaki
tunggalnya.
Akan tetapi, baru saja ia turun, kembali Thian Tok Lama
dan Thai Li Lama sudah menyerangnya, sekarang kedua orang pendeta Tibet itu
menyerangnya dari atas tanah, dari kanan kiri. Thian Tok Lama masih menggunakan
pukulan maut Hek-in-hwi-hong-ciang yang menyambar dari kanan, sedangkan pendeta
kurus Thai Li Lama mengirim hantaman dari kiri sambil membentak lagi,
‘Robohlah!!
Han Han merasa tubuhnya tergetar, bukan hanya oleh
bentakan, melainkan juga oleh hawa pukulan. Ia mengerahkan semua sin-kangnya,
maklum betapa lihainya dua orang lawan itu dan secepat kilat ia menancapkan
pedang rampasan dan tongkat di atas tanah kemudian mengembangkan kedua lengan
ke kanan kiri mendorong kembali serangan lawan. Secara otomatis, tangan kiri
Han Han mengerahkan tenaga inti es, sedangkan tangan kanan mengerahkan tenaga
inti api.
Memang pemuda ini memiliki sin-kang yang sudah mencapai
tingkat amat tinggi sehingga dia dapat memecah sin-kangnya menjadi dua, yaitu
menggunakan tangan kiri dengan Im-kang dan tangan kanan dengan Yang-kang.
‘Wuuut.... wuuuttttt.... desssss!!
Pertemuan tenaga sakti yang amat dahsyat ini membuat
tubuh Han Han tergetar, akan tetapi kedua orang pendeta Tibet juga terkejut dan
mundur selangkah, tubuh Thai Li Lama agak menggigil kedinginan, sedangkan wajah
Thian Tok Lama menjadi merah sekali. Dalam detik berikutnya, mereka berdua
sudah menambah tenaga dan memukul lagi, sambil melangkah dekat.
Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan
tubuh Han Han berikut pedang dan tongkatnya telah lenyap karena pemuda itu
sudah mencelat ke atas. Hampir saja kedua orang pendeta sakti ini saling mengadu
pukulan sendiri dan hanya karena tingkat mereka yang sudah amat tinggi membuat
mereka dapat mengubah sasaran sehingga menyeleweng dan masing-masing hanya
merasakan sambaran angin pukulan teman.
Han Han mencelat ke atas dengan niat hendak melepaskan diri
dari kepungan, akan tetapi tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari
atas pohon-pohon yang mengelilinginya. Ia makin terkejut, maklum bahwa pihak
musuh telah melakukan persiapan sehingga barisan panah telah menutup jalan
keluarnya melalui puncak-puncak pohon. Terpaksa ia memutar tongkatnya turun
lagi, agak jauh dari situ.
Begitu ia turun, ia sudah dikepung lagi oleh puluhan
orang perajurit Mancu. Senjata pasukan ini datang menyerangnya bagaikan hujan.
Han Han makin marah. Ia memang tidak suka berkelahi dengan mereka, akan tetapi
kalau dipaksa seperti itu, tentu saja ia harus membela diri mati-matian. Ia
mengeluarkan seruan keras, tongkat dan pedang rampasannya ia gerakkan seperti
kilat menyambar-nyambar sehingga dalam waktu singkat enam orang pengeroyok
roboh dan tewas.
‘Minggir....!! Bentakan ini keluar dari mulut Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama. Dua orang pendeta sakti dari Tibet ini maklum bahwa
pemuda ini bukan lawan para perajurit itu dan hanya mereka berdua dan para
tokoh sakti saja yang akan mampu menandinginya.
Han Han berdiri tegak, bersandar pada tongkat di tangan
kirinya, sedangkan pedang rampasan yang sudah merah oleh darah itu ia pegang
dengan tangan kanan. Kedua alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya
tajam melirik ke arah lima orang sakti yang bergerak melangkah perlahan-lahan
mengepungnya.
Mereka itu bukan lain adalah Thian Tok Lama, Thai Li
Lama, Bhong Lek si Muka Tikus dan Bhong Poa Sik yang kepalanya ada
‘telurnya!, yaitu sepasang saudara kakak beradik yang terkenal dengan julukan
Tikus Kuburan, seorang kakek kurus kecil berjenggot panjang yang ia tidak kenal
siapa, dan di bawah sebatang pohon, dengan cara berdirinya yang aneh, tampak
Sin-tiauw-kwi Ciam Tek si Burung Hantu yang tidak ikut mengepungnya, hanya
menonton dengan mata tak pernah berkedip seperti mata seekor burung bangau mengintai
katak!
Han Han bersikap waspada. Ia dapat menduga bahwa di
antara enam orang lawannya yang sakti ini, kedua orang pendeta Tibet dan Si
Burung Hantu itulah yang agaknya paling lihai. Kedua Tikus Kuburan itu biarpun
berkepandaian tinggi, namun bukan merupakan lawan tangguh, hal ini tampak bukan
hanya dalam sikap mereka yang kelihatan gentar, juga terbukti bahwa mereka
berdua memegang senjata. Bhong Lek si Muka Tikus itu memegang senjata siang-kek
(sepasang tombak bercabang) bergagang pendek, sedangkan adiknya Bhong Poa Sik
yang kepalanya benjol sebesar telur itu memegang sebatang pedang.
Orang ke tiga yang memegang senjata adalah kakek kurus
kecil berjenggot pan jang yang bertelanjang kaki, memegang sebatang rantai
panjang yang ia putar-putar dengan kedua tangannya.
Aku harus dapat lebih dulu merobohkan tiga orang yang
paling berbahaya itu, pikir Han Han. Musuh terlampau banyak dan kalau dia
melawan mereka yang lebih lemah namun banyak jumlahnya sehingga nanti tenaganya
akar habis untuk menghadapi tiga orang sakti itu, tentu dia akan celaka. Kalau
dia berhasil merobohkan tiga orang lawan tangguh itu, dia akan selamat, yang
lain-lain tidaklah berat untuk dihadapi dan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Setelah berpikir demikian, Han Han mengeluarkan seruan
melengking dari dalam pusar menembus dada dan tenggorokan, kemudian tubuhnya
mencelat ke atas, berjungkir-balik dan berputaran membingungkan para
pengurungnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke arah Ciam Tek si Burung
Hantu yang kelihatannya melenggut di bawah pohon, bersandar pada gagang
sabitnya yang amat tajam.
Gerakan Han Han amatlah cepatnya karena memang dia
mempergunakan gerak kilat dari Soan-hong-lui-kun sehingga Si Burung Hantu yang
lihai itupun kini menjadi amat terkejut. Dahulu, ketika ikut membantu Giam Kok
Ma menjebak Han Han, Ciam Tek si Burung Hantu ini pernah mendapat kesempatan
bergebrak sejurus menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li dan ternyata kepandaiannya
berimbang dengan nenek itu!
Karena itu, biarpun terkejut sekali, ia tidak kehilangan
akal melihat tubuh pemuda buntung itu meluncur dan menusuknya dengan pedang
rampasan. Ciam Tek si Burung Hantu tahu-tahu sudah meloncat naik pula,
senjatanya yang hebat berbentuk sabit itu berubah menjadi sinar menyilaukan,
menyambar ke atas menangkis pedang rampasan yang dipergunakan Han Han untuk
menyerangnya.
‘Tranggggg....!!
Pedang rampasan di tangan Han Han patah menjadi dua, akan
tetapi senjata sabit itupun patah, bahkan Ciam Tek masih terhuyung-huyung ke
belakang. Ia terkejut bukan main, cepat ia menjatuhkan diri bergulingan dan
setelah meloncat bangun Ciam Tek sudah siap menghadapi lawannya yang buntung
namun memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa itu.
Akan tetapi ketika Si Burung Hantu ini meloncat bangun,
ia melihat Han Han telah dikeroyok dua oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama!
Kembali Ciam Tek tertegun dan memandang kagum. Dua orang pendeta Tibet yang
terhitung suheng-suhengnya karena dia pernah belajar di bawah satu guru dengan
mereka itu, sudah ia ketahui kelihaian mereka. Namun kini mereka berdua maju
berbareng, mengeroyok si pemuda buntung Han Han! Benar-benar hal yang amat aneh
dan mulai menipislah rasa penasaran di hatinya mengapa dalam segebrakan saja
senjatanya yang ampuh menjadi patah dan dia terhuyung ke belakang.
Dengan tongkat bututnya, Han Han menghadapi pengeroyokan
dua orang pendeta Tibet. Pemuda ini mengerti bahwa dua orang lawannya memiliki
pukulan-pukulan ampuh sekali, maka ia menghadapi mereka dengan hati-hati, akan
tetapi juga ingin mengakhiri pertandingan itu secepatnya agar dia dapat
membebaskan diri sebelum terlambat dan kehabisan tenaga.
Oleh karena ini Han Han mainkan tongkat di tangan kirinya
dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat dahsyat, hanya bedanya, kalau
Siang-mo Kiam-sut lebih hebat dimainkan dengan sepasang senjata pedang, kini
dia hanya menggunakan sebatang tongkat di tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya ia pergunakan untuk menangkis pukulan-pukulan lawan atau membalas
dengan pukulannya sendiri yang mengandung tenaga dahsyat.
Dua buah kitab yang dahulu diberikan kepadanya oleh
Sepasang Pedang Iblis Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua kitab yang
mengandung pelajaran ilmu pedang iblis, yaitu Iblis Jantan dan Iblis Betina
yang kalau digabungkan menjadi Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis)
yang amat ampuh. Kini, karena dia hanya memegang sebatang tongkat di tangan
kiri, Han Han hanya bisa mainkan semacam saja, yaitu bagian Ilmu Pedang Iblis
Jantan dari kitab peninggalan Can Ji Kun.
Melihat gerakan tongkat yang amat hebat, apalagi didasari
gin-kang yang sukar dicari lawannya dan tenaga sin-kang yang amat kuat, dua
orang pendeta Tibet itu diam-diam merasa heran sekali, juga kagum. Belum pernah
selamanya mereka bertemu tanding selihai ini dan diam-diam mereka mengerti
bahwa kalau mereka harus melawan satu-satu, mereka tentu akan sukar sekali
menandingi kehebatan pemuda buntung ini!
Selama tiga empat puluh jurus kedua orang pendeta itu
berusaha merobohkan Han Han dengan serangan bertubi-tubi. Namun akhirnya mereka
tahu bahwa kalau mereka mempergunakan jurus-jurus silat, tak mungkin mereka
akan dapat merobohkan pemuda buntung yang ternyata dapat bergerak secepat kilat
secara aneh ini, bahkan membahayakan mereka sendiri karena gerakan loncatan Han
Han amat sukar diikuti pandangan mata dan sukar diduga ke mana tubuh yang hanya
berkaki satu itu mencelat.
Tiba-tiba Thian Tok Lama mengeluarkan gerengan keras yang
agaknya menjadi isyarat bagi sutenya. Keduanya sudah meloncat dua langkah ke
belakang, menghadapi Han Han dari barat dan timur, kemudian mereka melancarkan
pukulan dahsyat yang berdasarkan sin-kang mereka yang kuat!
Thian Tok Lama sudah berdiri dengan kedua kaki
terpentang, tubuhnya merendah seperti jongkok, perutnya mengeluarkan bunyi
berkokok dan dari kedua tangannya menyambar angin pukulan yang amat panas
hawanya, bahkan dari lengan kanannya yang membiru itu keluar suara bercuitan,
dibarengi mengebulnya uap hitam yang menerjang ke arah Han Han. Thai Li Lama
juga berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, kedua lengannya bergerak, yang
kanan melakukan gerakan mendorong ke arah Han Han, yang kiri dengan telunjuk
mengacung membuat gerakan berputar dan mencoret-coret seperti sedang menggambar
atau menulis huruf di udara.
Han Han juga maklum bahwa kalau ia mengandalkan ilmu
silatnya saja, akan sukarlah ia mengalahkan kedua orang pendeta Tibet itu, maka
begitu melihat mereka mulai mengandalkan pukulan sakti, ia pun cepat
menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian cepat ia mengerahkan tenaga di
kedua lengannya dan dia menggerakkann kedua lengannya ke kanan kiri,
dilonjorkan untuk menahan pukulan-pukulan lawan dengan sin-kang yang menggetar
keluar dari telapak kedua tangannya yang terbuka.
Han Han merasa betapa kedua tangannya seolah-olah bertemu
dengan dinding baja yang panas. Maklumlah ia bahwa kedua orang kakek itu telah
mengeluarkan tenaga Yang-kang, maka ia pun mengerahkan inti tenaga Hwi-yang
Sin-ciang disalurkan ke arah kedua lengannya.
Bukan main hebatnya pertemuan tenaga di udara ini.
Biarpun kedua tangan Han Han masih terpisah dari tangan lawan, masih sejauh
setengah meter, namun sudah terasa panasnya dan uap hitam yang mengebul dari
kedua tangan Thian Tok Lama makin menebal!
Han Han berdiri tegak, tidak bergeming, kedua lengannya
tampak kokoh kuat menahan ke kanan kiri. Pemuda ini merasa betapa tenaga kedua
orang lawannya tidak seimbang. Tenaga Thian Tok Lama lebih kuat dan melihat
kedua orang itu makin mendekat, Han Han sengaja membiarkan hal ini karena ia
maklum bahwa kalau dia tidak berani membiarkan mereka mendekat, akan makin
sukar baginya mencapai kemenangan.
Dalam hal sin-kang, ia percaya kepada tenaganya sendiri,
dan kalau mereka sudah dekat, tentu akan lebih mudah baginya mempergunakan
gin-kang dari Soan-hong-lui-kun untuk mendahului mereka mengirim serangan maut.
Para perajurit Mancu dan para tokoh yang menonton
pertandingan itu menjadi tegang hatinya. Pertandingan yang aneh bagipara
perajurit, akan tetapi bagi tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan, mereka
maklum betapa bahayanya mencampuri pertandingan seperti itu yang seolah-olah
mengeluarkan sinar-sinar kilat yang akan mematikan orang yang berani mendekat.
Dari jauh saja mereka sudah dapat merasakan getaran-getaran hebat yang keluar
dari benturan tenaga sakti tiga orang itu.
Tubuh kedua orang hwesio Tibet itu makin dekat dan
telapak tangan mereka hampir menyentuh kedua telapak tangan Han Han. Tiba-tiba
Han Han menjadi terkejut bukan main karena dari sebelah kirinya di mana Thai Li
Lama menyerang dengan hawa pukulan, timbul semacam gelombang yang amat aneh.
Gelombang yang menggetarkan seluruh tubuhnya, yang
kemudian menyelimuti pikirannya dan terdengar suara pendeta itu, amat dekat di
telinganya atau seperti di dalam kepalanya, suara perlahan namun mempunyai daya
tarik yang sukar dilawan.
‘Menyerahlah.... engkau tidak kuat lagi....
menyerahlah.... berlututlah....!!
Suaranya sendirikah itu? Tiba-tiba Han Han merasa betapa
beratnya mempertahankan diri, betapa kedua lengannya yang tadi masih kuat
menahan himpitan tenaga sakti dari kanan kiri itu terasa lelah sekali, hampir
tidak kuat dia.
‘Menyerahlah, berlutut....!!
Suaranyakah itu? Ah, bukan! Itu suara Thian Li Lama yang
entah bagaimana memasuki otaknya. Ketika Han Han di dalam hatinya menggoyang
kepala mengusir keadaan seperti mimpi itu, seketika pandang matanya terang
kembali, bisikan lenyap akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa
dia sudah benar-benar menekuk lutut kaki tunggalnya!
Dan terdengarlah olehnya sorakan-sorakan para perajurit
Mancu yang melihat dia berlutut, mementangkan kedua lengannya ke kanan kiri
dengan tubuh gemetar.
‘Setan!! Han Han mengerahkan seluruh kekuatan batin dan
sin-kangnya, lalu perlahan-lahan ia bangkit berdiri. Kiranya telapak tangannya
sudah menempel kepada telapak tangan kedua lawan di kanan kiri dan ia merasa
betapa hawa panas yang keluar dari tangan mereka itu masih dapat ia tahan. Ia
melirik ke arah Thian Li Lama dan melihat pendeta kurus ini mulutnya
berkemak-kemik, tangan pendeta ini menempel di tangan kirinya dan tangan kiri
pendeta itu membuat gerakan-gerakan aneh.
Mengertilah Han Han bahwa tentu pendeta ini menggunakan
ilmu hitam. Teringat ia akan kekuatan mukjizat yang terkandung dalam tubuhnya
sendiri, maka ia pun membalas pandang mata hwesio Tibet itu, mengerahkan
kekuatan kemauannya dan di dalam hatinya ia membentak,
‘Thai Li Lama, mengapa menyuruh orang lain? Engkaulah
yang ingin menyerah dan berlutut. Berlututlah!!
Tiba-tiba pendeta Tibet yang kurus itu mengeluarkan
seruan aneh dari dadanya dan.... kedua kakinya bertekuk lutut!
‘Ji-suheng....!! Terdengar suara parau Burung Hantu.
Agaknya teriakan inilah yang menyadarkan Thai Li Lama. Pendeta kurus ini
terkejut sekali dan cepat bangkit berdiri, akan tetapi terlambat. Saat yang
hanya sejenak itu telah dimanfaatkan oleh Han Han yang tiba-tiba, dengan
kemampuannya yang luar biasa dalam tubuhnya, telah mengubah inti hawa panas
Hwi-yang Sin-ciang menjadi Swat-im Sin-ciang yang dingin sekali. Seketika tubuh
Thai Li Lama menggigil sedangkan Thian Tok Lama berseru keras, mengerahkan
seluruh tenaganya melawan hawa dingin.
‘Aihhhhh....!! Han Han mengeluarkan seruan keras
sekali, berkali-kali, ia mengubah-ubah sin-kangnya, dari dingin ke panas, dari
panas ke dingin sehingga kedua orang lawannya menjadi bingung dan tersiksa.
Lebih-lebih lagi Thai Li Lama yang memang sudah terluka sebagai akibat kelengahannya
jatuh di bawah pengaruh kekuatan mukjizat Han Han. Perubahan-perubahan hawa
sakti itu membuat keringat dingin bercucuran dan mukanya pucat sekali.
Akan tetapi, pertandingan hebat ini bukan tidak merugikan
Han Han sendiri karena melawan dua orang tokoh yang begitu kuat membutuhkan
pengerahan seluruh tenaganya. Biarpun dia dapat menguasai keadaan, namun
sesungguhnya dia terhimpit oleh tenaga raksasa, dan tadi ketika sejenak ia
tertekan hebat dan hampir saja ia celaka.
Maklum bahwa tidak boleh ia berlama-lama karena
keadaannya sendiri berbahaya, Han Han mengumpulkan seluruh tenaganya, tubuhnya
direndahkan sedikit kemudian ia mendorong ke kanan kiri dengan keras sambil
berteriak,
‘Hyyyaaaaattttt!! Inti tenaga sin-kang Han Han memang
bukan didapat dengan latihan biasa. Tenaga saktinya sudah timbul ketika ia
mengalami hal yang mengguncang jiwanya, kemudian ia menggunakan kekuatan
kemauan untuk melatih sin-kang yang tinggi tingkatnya seperti Hwi-yang
Sin-ciang. Lebih-lebih lagi setelah ia melatih diri di Pulau Es, dia sudah
memiliki sin-kang yang sukar dicari bandingnya.
Kemudian sekali, dia digembleng oleh Khu Siauw Bwee,
seorang di antara pemilik Pulau ES, tentu saja tingkatnya menjadi amat tinggi.
Biarpun kedua orang pendeta Tibet itu merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan
sukar dicari tandingannya, namun setelah mereka dibingungkan dengan hawa
sin-kang yang berubah-ubah tadi, kini serangan terakhir Han Han tak dapat
mereka tahan dan tubuh mereka terlempar ke belakang sampai sebelasan meter jauhnya.
Begitu terbanting roboh, kedua orang pendeta Tibet ini cepat bersila dan
meramkan mata, cepat-cepat mengatur pernapasan dan menggunakan sin-kang untuk
menolong nyawa mereka dari luka dalam yang cukup berbahaya.
Akan tetapi, Han Han sendiri pun harus menggunakan tenaga
terakhir tadi untuk dapat melontarkan dua orang lawannya yang kuat, maka kini
biarpun dia berhasil, dia sendiri pun tidak keluar tanpa luka, biarpun lukanya
tidak seberat kedua orang lawan. Bagitu kedua orang lawannya terlempar, pemuda buntung
ini terhuyung-huyung, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia muntahkan sedikit darah
segar, kedua matanya dipejamkan dan tangan kirinya meraba-raba gagang tongkat
yang tadi ia tancapkan di atas tanah.
‘Aku mencari adikku.... kenapa kalian mendesakku....?!
mulutnya berbisik penuh penyesalan.
Tiba-tiba dari belakangnya menyambar angin pukulan yang
amat hebat. Han Han terkejut, cepat ia memutar tubuh, akan tetapi karena
kepalanya masih pening, gerakannya kurang cepat. Terpaksa ia hanya menggerakkan
tangan kanan menangkis, dan berhasil menangkis tangan kiri Ciam Tek. Akan
tetapi tangan kanan Si Burung Hantu masih tepat memukul dadanya dengan pukulan
Hek-in-sin-ciang yang beracun.
‘Desssss....!! Tubuh Han Han terpelanting ke kanan dan
kembali ia muntahkan darah segar. Pemuda ini masih sadar dan maklum bahwa kalau
tidak cepat bergerak, akan celakalah dia. Kaki tunggalnya menjejak tanah,
tangan dan tongkat juga bergerak dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Benar
saja dugaannya, pukulan Si Burung Hantu tiba dan mengenai tanah tempat ia tadi
rebah.
Melihat pukulannya gagal, Ciam Tek Si Burung Hantu yang
sudah kegirangan karena serangan pertamanya tadi berhasil, cepat meloncat naik
mengejar dan mengirim pukulan pula.
‘Pengecut curang....!! Han Han memapaki dan terpaksa ia
berjungkir-balik untuk mengelak dan terpaksa ia meloncat turun lagi ke atas
tanah. Si Burung Hantu juga melayang turun. Han Han membelalakkan matanya penuh
amarah, bibirnya masih berdarah, dadanya terasa sakit sekali. Ia marah oleh
kecurangan lawan yang memukul dari belakang selagi ia pening.
!Ha-ha-ha, mampuslah!! Ciam Tek tertawa mengejek dan
kembali ia melakukan pukulan Hek-in-sin-ciang dengan gerakan yang aneh. Pukulan
ini sebetulnya sama sumbernya dengan pukulan kedua orang pendeta Tibet dan
memang dahulu ketika merantau sampai ke Tibet, Si Burung Hantu belajar ilmu
pukulan ini dari guru kedua orang pendeta Lama maka mereka itu terhitung
suheng-suhengnya.
Bab 38
Pukulannya yang disebut Hek-in-sin-ciang (Pukulan Sakti
Awan Hitam) inipun mengeluarkan uap hitam dan beracun. Sungguhpun tidak
sedahsyat Hek-in-hwi-hong-ciang dari Thian Tok Lama akan tetapi juga cukup
hebat dan jarang ada orang mampu menahan pukulan maut ini. Manusia bermuka
seperti burung ini amat licik dan juga bermata tajam. Ia dapat mengerti bahwa
sedikit banyak pemuda luar biasa ini sudah terluka dalam pertandingan melawan
kedua orang pendeta Tibet, maka ia mempergunakan kesempatan untuk menghantam
Han Han dari belakang. Ketika pukulannya mengenai dada, ia menjadi girang
sekali dan terus mendesak Han Han.
Akan tetapi Han Han kini sudah marah bukan main. Orang
telah mendesak dia yang tidak ingin berkelahi. Apalagi Si Burung Hantu yang
curang ini. Baik, ia menggigit bibir. Mari kita bertanding mati-matian! Dengan
kemarahan meluap, melihat Ciam Tek memukul, Han Han tidak mau mengelak,
melainkan menerima pukulan Hek-in-sin-ciang ini dengan pukulan pula sambil
mengerahkan Im-kang.
‘Desssss!! Si Burung Hantu jatuh terduduk, tubuhnya
menggigil kedinginan dan matanya terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
mencelat ke arah Han Han, dari kerongkongannya keluar suara mencicit seperti
burung, tangan kanannya menghantam didahului uap hitam ke arah ulu hati Han
Han.
Pemuda ini miringkan tubuh mengelak sambil berputar.
Tiba-tiba tangan kiri Si Burung Hantu dengan jari terbuka dan digerakkan miring
membabat ke arah lehernya seperti sebatang golok. Han Han kembali mengelak,
akan tetapi rambutnya yang panjang itu terbabat sedikit dan.... putus! Han Han
terkejut. Kiranya tangan kiri manusia aneh bermuka burung ini dapat
dipergunakan sebagai senjata yang tajamnya tidak kalah oleh pedang, dapat
membabat putus gumpalan rambut. Bukan main!
‘Heh-heh-heh!! Ciam Tek mengejek dan kembali kedua lengannya
yang panjang-panjang itu sudah bergerak ke depan. Yang kanan menonjok perut
yang kiri membacok kepala. Pada saat itu, tiga orang perwira Mancu ikut pula
menerjang maju dengan senjata tombak mereka.
‘Pergi, jangan bantu....!! Si Burung Hantu membentak,
akan tetapi tiga orang perwira Mancu itu terus saja menyerang Han Han,
pura-pura tidak mengerti. Dan memang mereka tentu saja mengerti bahwa mereka
tidak semestinya memyerang terus. Akan tetapi karena penasaran maka mereka
pura-pura tidak mendengar dan menerjang Han Han menggunakan tombak, seolah-olah
berlumba untuk memperebutkan jasa.
Diam-diam Han Han menjadi girang. Dia sudah agak lemah
dan terluka, dan biarpun dia masih sanggup menandingi Ciam Tek, namun kalau
manusia burung itu dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang lihai, tentu keadaannya
akan berbahaya sekali. Untung baginya bahwa tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus
Kuburan dan yang lain-lain agak jauh dari situ, sehingga yang datang membantu
Ciam Tek adalah perwira yang tidak memiliki kepandaian tinggi. Hal ini
menguntungkan dia, dan merugikan Ciam Tek karena bagi ahli silat tinggi,
bantuan dari orang-orang yang tidak pandai bukan merupakan bantuan lagi, bahkan
menjadi pengganggu!
Karena itulah maka tadi ia berteriak mencegah mereka
sungguhpun ia belum yakin benar akan dapat mengalahkan Han Han sendiri saja.
Han Han membiarkan dua tombak datang meluncur. Setelah
dekat sekali, ia menangkap kedua tombak dengan tangan, kakinya menendang roboh
perwira ke tiga dan sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh dua orang perwira itu
terbawa oleh tombaknya sendiri ke atas dan melayang ke arah tubuh Ciam Tek!
‘Tolol kamu!! Ciam Tek mendengus marah, kedua tangannya
bergerak mendorong dan tubuh dua orang perwira itu terbanting ke atas tanah,
bergulingan dan pingsan. Kesempatan itulah yang dinanti-nantikan Han Han.
Melihat betapa manusia burung itu menangkis dan melontarkan kedua orang perwira
Mancu, ia sudah meloncat ke depan dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua
tangan, tangan kanan menonjok dada, tangan kiri menggunakan ujung tongkat
menotok.
Si Burung Hantu atau Sin-tiauw-kwi Ciam Tek benar-benar
amat lihai. Biarpun serangan Han Han ini amat cepat dan hanya beberapa detik
setelah ia menangkis tubuh dua orang perwira, namun ia masih dapat
menghadapinya. Dengan tangan kirinya ia menangkis pukulan Han Han, kemudian
tangan kanannya mencengkeram ke arah tongkat yang menotok lehernya. Namun,
karena ia tergesa-gesa dan sebaliknya Han Han sudah mengatur siasat lebih dulu,
tiba-tiba tongkat itu bergerak melejit dan sebaliknya malah menggempur
lengannya dengan pukulan yang menggetar karena mengandung tenaga sin-kang
‘Krakkk! Auuuggghhh!! Si manusia burung itu mencelat ke
belakang, menyeringai kesakitan karena tulang lengan kanannya retak! Saking
marahnya, ia tidak terlalu merasakan keretakan tulang tengan kanannya, malah
maju menubruk ke depan seperti gerakan seekor burung.
Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah
terluka masih begitu nekat, padahal saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan
Sepasang Tikus Kuburan. Maka ia sengaja menerima hantaman tangan kanan Ciam Tek
yang ia tahu telah terluka, sedangkan cengkeraman tangan kiri lawan ke arah
ubun-ubunnya ia tangkis dengan tangan kanan, kemudian ujung tongkatnya meluncur
ke arah dada lawan.
‘Krakkk....! Crotttt....!! Terdengar jerit melengking
dari mulut Ciam Tek, tubuhnya berkelojotan di ujung tongkat yang menembus
dadanya, tulang lengannya patah bertemu dengan dada Han Han karena memang
tadinya tulang itu telah retak.
Han Han menyeringai kesakitan. Biarpun lengan kanan Ciam
Tek telah retak tulangnya, namun pukulan yang mengenai dadanya itu masih hebat
sekali membuat napasnya sesak dan matanya berkunang. Pemuda ini maklum bahwa
dirinya terancam bahaya maka cepat ia mencabut tongkatnya dan tubuhnya mencelat
ke atas. Pandang matanya masih berkunang dan kepalanya berat sekali. Ia perlu
cepat-cepat membebaskan diri agar dapat mengobati luka di dalam dadanya.
Akan tetapi, tiba-tiba selagi tubuhnya meloncat, kaki
tunggalnya terbelit ujung rantai baja yang panjang dan kuat. Kiranya dia telah
dikejar dan dikurung Sepasang Tikus Kuburan dan kakek kecil bertelanjang kaki
yang telah menggerakkan rantai bajanya secara istimewa. Rantai baja itu
meluncur cepat dan berhasil melibat pergelangan kaki Han Han selagi pemuda ini
meloncat.
Han Han terkejut bukan main. Ia menendangkan kakinya
namun tak dapat terlepas dari libatan rantai baja sehingga tubuhnya tertarik
turun dan terbanting ke bawah! Cepat ia menggunakan lengan kiri merangkul
batang pohon agar tubuhnya tidak terbanting. Pada saat itu, tampak sinar
berkelebat dan pedang di tangan Bhong Poa Sik telah menyambar ke arah lehernya!
Han Han menjadi marah sekali. Teriakan dahsyat keluar
dari kerongkongannya, teriakan yang mengandung hawa khi-kang sehingga si
manusia berkepala benjol itu kaget, gerakannya tertahan sedetik namun cukup
bagi Han Han yang masih bergantung dengan lengan kiri pada batang pohon
sedangkan kaki tunggalnya masih terlibat rantai itu. Han Han menggerakkan
tangan kanannya, mencengkeram ujung pedang, mengerahkan sin-kang dan sekali
betot pedang itu telah dirampasnya.
Pergelangan tangannya bergerak, pedang membalik dan kini
ia telah memegang gagang pedang, langsung ia tusukkan ke lambung Bhong Phoa
Sik. Pengerahan sin-kang tadi membuat dadanya makin sesak dan matanya menjadi
gelap, namun Han Han masih dapat menusuk lambung lawannya dengan tepat sehingga
pedang rampasannya menembus dari lambung kiri Bhong Poa Sik.
Bukan itu saja, juga berbareng ia mengerahkan tenaga pada
kakinya, menarik kaki itu ke belakang. Bersama dengan jerit kematian yang
keluar dari mulut Bhong Poa Sik bersama semburan darahnya, terdengar pekik
kaget kakek yang memegang ujung rantai karena tubuhnya terbawa oleh tarikan
kaki Han Han. Betapapun ia mempertahankan, tetap saja tubuhnya terbawa melayang
ke arah Han Han.
Cappppp!! Han Han terkejut bukan main. Karena pandang
matahya gelap, ia kurang waspada sehingga pada saat ia menusukkan pedang ke
lambung Bhong Poa Sik dan membetot tubuh kekek yang memegang rantai, sebuah
tusukan tombak pendek di tangan kiri Bhong Lek si Muka Tikus menancap di paha
kaki tunggalnya!
Rasa sakit membuat Han Han makin marah. Tubuh kakek yang
memegang rantai itu telah melayang dekat dan sekali Han Han menendang ke
belakang, tumit kakinya menendang perut kakek itu yang seketika putus napasnya
karena isi perutnya remuk!
Dan Bhong Lek yang tadinya girang dapat melukai paha Han
Han tiba-tiba melihat sinar bergulungan di depan matanya dan.... arwahnya
melayang tanpa disadarinya karena tahu-tahu leher Si Muka Tikus ini telah putus
oleh sinar pedang yang digerakkan Han Han.
Pemuda buntung ini berdiri dengan kaki tunggalnya yang
terluka dan bercucuran darah, pedang di tangan kanan, tongkat di tangan kiri,
tubuhnya agak bergoyang, rambutnya riap-riapan, mukanya beringas penuh
keringat, pakaiannya berlepotan darahnya sendiri dan darah para korban yang
tewas di tangannya. Dia siap menghadapi maut, akan tetapi kematiannya akan
ditebus mahal sekali oleh musuh-musuhnya karena dia siap untuk membela diri
mati-matian sampai tetesan darah terakhir!
Para perwira dan perajurit Mancu gentar menghadapi pemuda
kaki buntung yang luar biasa itu. Kakak beradik Tikus Kuburan tewas, kakek
Mongol yang terkenal lihai dengan rantai bajanya juga tewas, tiga orang murid
Setan Botak yang amat lihai tewas pula, belum lagi banyak perajurit dan perwira
yang roboh bahkan kedua orang pendeta Tibet masih duduk bersila memejamkan mata
memulihkan tenaga! Namun, para perajurit yang mengurung itupun maklum bahwa
pemuda buntung yang sakti itu sudah terluka hebat.
‘Tangkap.... Bunuh....!! Teriakan-teriakan terdengar.
‘Jangan dekati!! teriak seorang perwira. ‘Serang
dengan anak panah....!!
Sibuklah para perajurit, seperti serombongan orang yang
ketakutan mengurung seekor harimau yang ganas dan kuat. Han Han menggigit bibirnya.
Tak mung kin dia menerjang maju karena kakinya, satu-satunya anggauta badan
yang ia andalkan untuk menahan tubuh, telah terluka cukup parah. Tidak, kalau
ia menggerakkan kakinya berarti ia memperlemah pertahanannya sendiri. Dia akan
tetap berdiri di situ dan menghadapi semua terjangan musuh sampai mati!
‘Serrr.... serrr-serrrrr....!! Puluhan batang anak
panah menyambar. Han Han memutar pedang rampasan di tahgannya sehingga
terdengar suara nyaring berkali-kali, tampak bunga api berpijar dan disusul pekik
beberapa orang perajurit yang termakan anak panah mereka sendiri yang membalik
oleh tangkisan Han Han.
Sebagian besar anak panah runtuh, ada sebatang menancap
di antara rambut yang awut-awutan itu seperti hiasan rambut, dan sebatang lagi
menancap di bajunya setelah melukai kulit pinggul, tidak dapat menembus kulit
karena Han Han memutar pedang sambil mengerahkan sin-kang melindungi tubuh!
‘Hentikan serangan....!! Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan ternyata di tempat itu telah datang pasukan yang terdiri dari
seratus orang lebih yang merupakan pasukan pilihan Mancu, dikepalai oleh
seorang wanita yang cantik sekali, cantik dan gagah bermata seperti bintang
kembar.
‘Han-koko....! Aihhh.... kalian orang-orang gila!
Berani menyerang kakakku? Pergi semua! Pergi....! Dia itu Han-koko,
kakakku....! Han-koko....!!
Gadis jelita yang gagah perkasa itu bukan lain adalah
Lulu! Gadis ini, seperti kita ketahui, telah menjadi sumoi dari Puteri Nirahai
di bawah gemblengan Puteri Maya, yaitu nenek bangsa Khitan yang sakti itu.
Kemudian, karena pelaporan dari barisan yang menyerbu Se-cuan selalu terpukul
mundur, Puteri Nirahai menjadi penasaran dan datang sendiri ke garis depan di
perbatasan Se-cuan, mengajak Lulu.
Ketika itu Lulu sedang bertugas meronda tapal batas
memimpin sebuah pasukan. Tentu saja segera mengenal Han Han dan kedatangannya
pada saat yang amat tepat itu menyelamatkan kakaknya. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika melihat bahwa kakaknya itu
berdiri hanya dengan sebuah kaki!
‘Han-ko....!! Ia menjerit lagi, meloncat turun dari
kudanya dan melesat cepat seperti terbang, langsung menubruk dan berlutut
merangkul kaki Han Han yang tinggal sebuah sambil menangis sesenggukan.
‘Lulu....!! Han Han juga memanggil nama adiknya dengan
hati yang tidak karuan rasanya. Mula-mula semangatnya seperti terbang saking
girangnya mendengar suara dan melihat betapa adiknya masih sehat dan selamat,
akan tetapi hatinya menjadi perih melihat kedatangan adiknya itu bersama
pasukan Mancu. Karena itu, panggilannya keluar dengan suara seperti orang
merintih. Betapapun juga, keharuan hatinya lebih besar dan dia pun menjatuhkan
tubuhnya yang sudah lemas itu, berlutut dan merangkul adiknya dengan kedua
lengannya. Sejenak mereka berangkulan dan bertangisan.
‘Lulu.... kau.... bocah nakal.... ke mana saja kau
pergi?! Han Han menegur, tangan kiri diletakkan di atas pundak dara itu, tangan
kanannya menghapus air mata yang bereucuran di atas pipi Lulu.
Akan tetapi Lulu tidak menjawab, melainkan meraba-raba
paha kiri Han Han yang buntung, matanya yang basah air mata itu terbelalak
memandang, kemudian ia meloncat bangun, matanya yang lebar indah itu liar
memandang ke arah para perajurit Mancu yang sibuk mengurus teman-teman yang
tewas dan merawat yang luka, wajahnya yang manis dan jelita itu menjadi
beringas, kulit mukanya merah sekali.
‘Siapa yang membuntungi kakimu, Han-ko? Siapa? Hayo
katakan kepadaku agar dapat kubalas dia! Han-ko, katakan siapa yang membuntungi
kakimu? Katakan....!!
Para perwira dan perajurit Mancu menjadi ketakutan dan
saling pandang. Mereka tentu saja amat takut kepada adik seperguruan Puteri
Nirahai ini, bukan hanya takut akan kepandaiannya yang kabarnya amat lihai
seperti sang puteri, akan tetapi terutama takut akan kekuasaan dan kedudukan
Puteri Nirahai sendiri.
‘Lulu, bukan mereka.... kakiku sudah lama buntung....!
Han Han berkata
‘Aihhhhh, Koko....!! Lulu menubruk lagi dan menangis,
meraba-raba kaki yang buntung, lalu meraba-raba muka Han Han, menyibakkan rambut
kakaknya yang awut-awutan menutupi muka yang tampan itu. ‘Kau.... kau
terluka.ahhh.... Koko, mengapa kau berada di sini?! Kembali Lulu meloncat
bangun dengan sigapnya, membalikkan tubuhnya dan membentak kepada para
perajurit.
‘Pergi kalian semua! Pergi dari sini! Kalau tidak,
kubunuh semua! Pergi!!
Para perwira Mancu dan para perajurit terkejut,
cepat-cepat mereka membawa mayat dan teman-teman yang terluka meninggalkan
tempat itu. Dua orang pendeta Lama sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu.
Mereka berdua maklum bahwa setelah Lulu datang secara tidak terduga-duga,
rencana mereka membunuh Han Han yang dianggap seorang lawan berbahaya itu
menjadi gagal.
Setelah tempat itu bersih ditinggalkan semua pasukan,
Lulu kembali menubruk Han Han. ‘Han-ko, apakah yang terjadi dengan dirimu?
Mengapa kakimu buntung? Siapa yang dapat melakukan perbuatan keji ini kepadamu,
Han-koko?! Kembali kedua mata gadis itu bercucuran air mata begitu ia melihat
ke arah kaki buntung kakaknya.
Akan tetapi Han Han tidak menjawab.
Lulu masih menangis sambil membenamkan mukanya di dada
kakaknya, kedua lengannya merangkul leher. ‘Han-koko.... setengah mati aku
mencarimu.... bertahun-tahun amat lama rasanya, hampir aku putus harapan. Aku
sampai di tempat sejauh ini juga mencarimu.... tapi.... siapa menduga bahwa
kau.... ah, kakimu.... aduh, Koko....! Katakanlah, siapa orangnya yang begitu
kejam membuntungi kakimu? Aku bersumpah untuk menuntut balas!!
Akan tetapi Han Han tetap diam tak menjawab.
Lulu yang diamuk keharuan, kegirangan, juga kemarahan
melihat kaki Han Han buntung, tidak merasa betapa semua pertanyaannya tak
terjawab. Kini ia mengangkat mukanya dan berkata penuh semangat.
‘Jangan khawatir, Han-ko. Kalau musuh itu terlalu
lihai, aku dapat membantumu. Aku, adikmu ini, sekarang bukanlah Lulu yang
dahulu! Aku sudah memiliki kepandaian tinggi dan....! Tiba-tiba Lulu
menghentikan kata-katanya ketika ia melihat wajah Han Han. Kiranya sejak tadi
kakaknya itu memandangnya dengan sepasang mata mendelik penuh amarah!
Wajah Han Han pucat, matanya mendelik seolah-olah
mengeluarkan api, akan tetapi dari pelupuk matanya menetes-netes air mata!
Pemuda yang terluka ini tidak hanya terluka pahanya yang robek oleh tusukan
tombak Bhong Lek melainkan yang lebih berbahaya lagi adalah luka di dalam
dadanya akibat pukulan Ciam Tek si Burung Hantu, napasnya makin sesak dan
seluruh dada terasa panas.
Setengah mati ia mencari Lulu, bertahun-tahun ia lamanya
dengan hati rindu dan penuh kekhawatiran, kini setelah bertemu, kegirangan hatinya
ternoda oleh kenyataan bahwa adiknya telah memimpin pasukan Mancu!
‘Koko.... Han-ko.... kau.... kau menangis?
Kenapakah....?! Dengan jari tangan gemetar Lulu mengusap air mata yang mengalir
di atas pipi yang pucat itu. Gerakan Lulu yang penuh kasih sayang ini memancing
naiknya sedu-sedan dari dada Han Han, tangan kirinya merangkul dan
mengelus-elus rambut di kepala Lulu, akan tetapi tangan kanannya mengepal keras
sekali. Mulutnya tidak mampu menjawab, dua macam perasaan bertanding dalam
hatinya sendiri.
‘Koko...., Koko.... bicaralah.... kau kenapakah?
Kakimu....! Lulu terisak, ‘siapa yang membuntungi kakimu....?!
‘Buk! Buk! Bukkk!! Tiga kali kepalan tangan kanan Han
Han menghantam tanah sehingga Lulu merasa betapa tanah yang diinjak tergetar.
Ia kaget sekali dan memandang wajah kakaknya dengan kedua mata terbelalak
lebar.
‘Han-ko! Kenapa....?!
‘Lulu! Buntungnya kakiku bukan hal penting!! Akhirnya
ia dapat mengeluarkan kata-kata dengan napas terengah. ‘Urusan diriku tidak
perlu dibicarakan! Akan tetapi engkau....! Engkau....!!
Lulu mengerutkan keningnya, memandang wajah kakaknya
penuh selidik, lalu memegang kedua pundak kakaknya.
‘Han-ko, apa maksudmu? Ada apa denganku....?!
Tiba-tiba Han Han menggunakan kedua tangannya mendorong
sepasang le ngan adiknya sehingga Lulu terjengkang ke belakang. ‘Ada apa
dengan engkau? Masih hendak bertanya lagi? Engkau.... menjadi pemimpin pasukan
Mancu terkutuk!!
Seketika pucat wajah Lulu. Air mata yang tadi telah
berhenti mengalir kini bercucuran dari sepasang mata yang tak pernah berkedip
menatap wajah kakaknya. Perlahan ia bangkit kembali, merangkak menghampiri Han Han
dan menubruk kakaknya sambil menangis sesenggukan.
‘Han-koko.... lupakah engkau bahwa aku adalah seorang
gadis Mancu? Anehkah kalau aku membantu bangsaku menghadapi para
pemberontak....?!
‘Plak! Plak!! Kedua tangan Han Han menyambar dan
sepasang pipi yang pucat itu ditamparnya. Lulu terpekik dan mundur ke belakang
sambil meloncat bangun berdiri, memegangi kedua pipinya yang terasa panas dan
sedikit berdarah keluar dari ujung bibir kiri yang pecah.
Matanya terbelalak, mukanya pucat sekali. Rasa sakit di
kedua pipinya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri yang menusuk
masuk di hatinya. Ia ditampar kakaknya! Selamanya Han Han belum pernah
memperlakukan dia seperti ini. Jangankan menampar, bersikap kasar sedikit pun
belum!
Han Han ikut pula berdiri, bersandar pada tongkatnya.
Wajahnya lebih pucat lagi dan matanya juga terbelalak ketika ia melihat darah
di ujung bibir Lulu. Rambutnya terurai menutupi muka, ia sibakkan dengan
gerakan kepala, akan tetapi rambut itu terurai kembali menutupi sebelah
mukanya.
‘Lulu....! Adikku....! Ahhhh.... apa yang telah
kulakukan....?! Suaranya gemetar, mengandung isak, penuh penyesalan seolah-olah
ia baru sadar dari sebuah mimpi buruk.
Namun wajah adiknya yang biasanya berseri-seri, yang
biasanya jenaka, yang biasarya selalu cerah seperti sinar matanari di siang
hari, kini berubah, dingin dan seperti muka mayat, amat pucat, matanya tidak
bersinar, bahkan suaranya berubah ketika bibir itu bergerak bicara.
‘Han-koko....!! Ia berhenti dan terisak, susah payah
menahan isak agar dapat bicara. ‘Kau tidak adil....! Memang aku membantu
bangsaku karena aku memang bangsa Mancu. Memang aku telah bersalah, akan tetapi
karena engkau tidak berada di sampingku, aku menjadi bimbang dan akhirnya
terseret ke dalam perang. Akan tetapi engkau sendiri? Bukankah engkau menjadi
seorang panglima Bu Sam Kwi yang mempertahankan Se-cuan? Sudah lama kami
mendengar akan adanya panglima kaki buntung dari pihak musuh yang lihai. Tak kusangka
engkaulah orangnya! Engkau seorang berbangsa Han membela bangsamu menghadapi
Mancu, sebaliknya aku seorang berbangsa Mancu membela bangsaku menghadapi
musuh. Siapakah yang benar di antara kita? Siapa yang bersalah? Engkau....
telah menamparku, bukan menampar pipi melainkan menampar dan menghancurkan
hatiku. Ah, Han-koko, engkau tidak adil....!! Lulu mendekap muka dengan kedua
tangan dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya.
‘Lulu...., Moi-moi adikku.... kau ampunkan aku....! Han
Han melangkah maju hendak memegang lengan adiknya. Akan tetapi sentuhan jari
tangannya seperti ujung api menyengat tangan Lulu yang cepat menarik tangannya,
memandang dengan mata basah penuh penyesalan, kemudian terisak dan gadis ini
membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu.
‘Lulu....!!
‘Engkau tidak adil....! Engkau kejam.... tidak
adil....!! Suara Lulu yang bercampur tangis itu terdengar oleh Han Han seperti
tusukan pedang menembus jantungnya. Ia meloncat dan mengejar sambil berteriak-teriak
seperti orang gila,
‘Lulu....! Lulu adikku....!! Akan tetapi ia terguling
roboh. Pertemuan dengan adiknya yang mengakibatkan pukulan batin hebat itu
membuat luka di dadanya makin parah. Ia masih memanggil-manggil nama Lulu
sambil merangkak, kemudian bangkit perlahan-lahan dan berjalan terhuyung-huyung
menyeret tongkat, berloncatan tanpa mempedulikan pahanya yang mengucurkan
darah. Namun Lulu telah jauh, telah lenyap dari situ. Biarpun bayangan gadis
itu tidak tampak lagi, namun masih terngiang di telinga Han Han, merupakan
tusukan-tusukan yang membikin hatinya perih, jeritan adiknya tadi,
‘Engkau tidak adil....! Tidak adil.... tidak adil....!!
Han Han hampir tak kuat menahan. Ia merangkul sebatang
pohon dan menangis, mengguguk seperti anak kecil. Ia sadar akan kesalahannya
terhadap Lulu tadi. Memang dia tidak adil terhadap Lulu. Akan tetapi, bukankah
dia mendengar bahwa Lulu telah menjadi adik angkat Sin Lian dan bahkan ikut
pula membantu gerakan para pejuang? Mengapa kini Lulu menjadi pemimpin pasukan
Mancu? Benarkah dia tidak adil? Siapa yang tidak adil? Siapa yang salah? Siapa
yang benar?
Han Han menggeleng kepala dan berbisik, ‘Tidak ada yang
salah kecuali perang! Yang tidak adil adalah perang! Terkutuklah perang!! Dan
pemuda ini lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, terus memasuki
hutan tanpa tujuan. Hatinya kosong, lenyap sudah gairah hidup. Pikirannya pun
kosong, dan ia hanya mengikuti gerak kaki berloncatan secara otomatis.
Akhirnya, di dalam jantung hutan yang lebat, ia terguling pingsan!
‘Engkau tidak adil....! Hu-huuu-huuuuu.... tidak
adil.... tidak adil....! Hi-hiii-hiiiii.... hu-huuuuu!! Lulu berlari cepat
sekali sambil menangis dan merintih-rintih di sepanjang jalan, kedua tangannya
menggosok-gosok kedua mata seperti anak kecil menangis, beberapa kali ia
terhuyung karena kakinya tersandung batu atau akar pohon.
!Sumoi....!!
Lulu terkejut, seperti sadar dari mimpi, menahan kakinya
dan berdiri memandang melalui air matanya. Nirahai telah berdiri di depannya.
Wajah yang cantik jelita dan biasanya bersikap ramah penuh kasih kepadanya itu
kini kelihatan marah, kedua tangan bertolak pinggang.
Akan tetapi dalam kesedihannya, Lulu tidak melihat
perubahan ini. Begitu bertemu sucinya, ia lalu menubruk, merangkul dan menangis
di pundak Nirahai.
‘Aduh, suci.... hu-huuuuu....!!
‘Hemmm, tenanglah dan jangan seperti bocah cengeng!
Bicaralah!! kata Nirahai yang masih bersikap marah.
‘Suci.... dia.... dia....! Lulu menangis lagi,
terlampau sakit hatinya oleh sikap kakaknya tadi sehingga sukar untuk bicara.
Nirahai memegang kedua pundak Lulu dan mendorongnya
mundur. ‘Sumoi, hentikan tangismu! Apa yang telah kudengar dari laporan
pasukanmu? Engkau telah melindungi musuh!!
Lulu mengusap air matanya, kemudian mengangkat muka
memandang Nirahai. ‘Suci, dia.... dia adalah Han-koko yang kucari-cari!!
Nirahai mengangguk. ‘Aku sudah mendengar. Jadi panglima
pemberontak berkaki buntung itulah Han Han yang selama ini kaucari-cari? Di
mana dia sekarang?!
‘Kaki.... kau.... mau apakan dia....?!
‘Mau apakan dia? Dia adalah panglima musuh! Harus
ditawan atau dibunuh!!
‘Suci....!!
‘Sumoi, tidak tahukah engkau bahwa tadi engkau telah
melakukan perbuatan yang khianat? Engkau membantu musuh!!
‘Tapi dia kakakku!! Lulu membantah penasaran.
‘Tapi dia panglima musuh!! Nirahai membentak, lebih
penasaran lagi.
Lulu menjadi lemah kembali dan meratap, ‘Suci....
suci.... ingatlah, dia kakakku! Bagaimana aku dapat memusuhinya?!
Nirahai menarik napas panjang. ‘Hemmm, sudahlah!
Biarpun kakak, hanya kakak angkat. Andaikata kakak kandung sekalipun, kalau
membantu musuh, harus ditentang. Lulu, dalam masa perang, urusan pribadi harus
dikeduakan, yang diutamakan adalah urusan negara! Aku tidak membenci kakakmu
yang belum pernah kujumpai, bahkan aku tidak pernah membenci para pemberontak
secara pribadi, akan tetapi aku akan membunuh mereka sebagai musuh negara.
Sudah, biarlah untuk sekali ini, aku tidak akan mengejar panglima buntung dari
Se-cuan itu. Mari kita kembali ke pesanggrahan kita.!
Lulu menggeleng kepala. ‘Tidak, suci. Setelah melihat
kenyataan bahwa Han-koko berada di pihak musuh, aku tidak mau perang lagi. Aku
akan pergi.!
‘Ke mana?! Nirahai menyembunyikan kemarahannya.
‘Pergi menyeberang ke Se-cuan membantu pemberontak?!
Lulu menggeleng kepala dengan sedih. ‘Tidak, aku mau
pergi menjauhi semua ini, mau menjauhi perang yang menghancurkan hidupku. Aku
tidak sudi lagi terlibat....!
‘Sumoi! Engkau harus kembali bersama aku! Ini merupakan
perintah!!
Baru sekali ini selama menjadi sumoi Nirahai, sucinya itu
mengeluarkan suara keras dan memperlihatkan sikap marah. Hal ini mengingatkan
Lulu akan sikap Han Han tadi dan sakitlah hatinya. Ia pun memandang sucinya
dengan sinar mata penuh penasaran dan tentangan, lalu bertanya dengan suara
tegas.
‘Perintah siapa kepada siapa?!
‘Perintah seorang pemimpin kepada bawahannya! Perintah
seorang wakil kaisar kepada warga negaranya! Perintah seorang suci kepada
sumoinya!!
Lulu menggeleng kepala. ‘Tidak, suci. Apapun yang
terjadi, aku tidak mau kembali ke markas, tidak mau ikut perang. Aku hendak
pergi ke mana aku suka!!
‘Lulu! Membangkang berarti memberontak dan kau bisa
dihukum!!
‘Terserah!!
‘Sumoi, engkau hendak melawan sucimu? Engkau berani
melawan aku?!
‘Suci, ketika aku ikut bersamamu, tidak ada perjanjian
jual beli kebebasanku. Kalau sekarang engkau hendak memaksa, hendak mengganggu
kebebasanku, terpaksa aku melawanmu. Melawan engkau sebagai orang yang hendak
memaksaku, bukan sekali-kali melawan bangsa atau negara! Aku tidak peduli akan
urusan bangsa dan negara, tidak peduli akan perang, aku muak! Biarkan mereka
yang suka perang itu maju sendiri mempertaruhkan nyawa. Bagiku, terima kasih!
Aku tidak mau kembali dan kalau suci hendak memaksa, apa boleh buat, aku
melawan sebisaku!!
Nirahai menghela napas, wajahnya kelihatan penuh kecewa
dan sesal. Dia amat mencinta Lulu yang dianggapnya sebagai adik sendiri, tidak
ingin menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia pun sudah mengenal watak Lulu yang
sekali menentukan sikap akan dibela sampai mati. Betapapun juga tak mungkin ia
melepaskan sumoinya ini. Kalau sampai sumoinya ini kemudian membantu
pemberontak, hal itu merupakan malapetaka yang lebih hebat lagi.
Bayangkan saja. Sumoinya, seorang gadis Mancu pula,
membantu pemberontak melawan bangsa sendiri! Tidak, ia harus mencegah hal yang
terkutuk itu. Lebih baik melihat sumoinya mati di depan kakinya untuk kemudian
ia tangisi dan kabungi daripada melihat sumoinya menjadi pengkhianat!
‘Sumoi, sekali lagi, marilah kau ikut aku kembali dan
kita bicarakan semua urusan dengan baik. Jangan menuruti perasaan yang sedang
terganggu. Perlukah urusan begini saja sampai mematahkan ikatan persaudaraan
dan kasih di antara kita?! Suara Nirahai yang lemah lembut ini membuat Lulu
kembali terisak.
‘Suci.... suci.... kau kasihanilah aku, biarkan aku
pergi....! ia meratap.
‘Sumoi!! Nirahai membentak lagi. ‘Engkau seorang
gadis yang perkasa! Engkau adalah sumoiku! Engkau adalah murid Subo Maya!
Mengapa sikapmu begini lemah? Hayo ikut aku kembali!!
Lulu menggeleng kepala, ‘Tidak mau, suci.!
‘Hemmm, baik. Kita lihat saja siapa di antara kita yang
lebih kuat. Akan tetapi ingat, sekali ini kita bukan sedang berlatih!! Nirahai
berkata mengejek dan menubruk ke depan mengirim totokan ke arah leher Lulu
disusul cengkeraman ke arah pundak.
Lulu cepat mengelak totokan dan menangkis cengkeraman,
bahkan langsung ia membalas dengan pukulan dari ilmu silatnya yang ampuh dan
yang ia latih dari Puteri atau Nenek Maya, yaitu Toat-beng Sian-kun.
Kelihatannya ringan saja, pukulan ini yang mengarah dada dan perut Nirahai
dengan kedua tangan terbuka. Akan tetapi tentu saja mengenal pukulan sakti,
cepat ia mengelak den bales menyerang. Makin lama makin cepat gerakan mereka
sehingga yang tampak hanya dua bayangan berkelebat, kadang-kadang menjadi satu!
Betapapun lihainya Lulu, tentu saja dia tidak dapat
menandingi kehebatan Nirahai yang memiliki banyak ilmu silat tinggi yang luar
biasa. Sebentar saja, tidak sampai tiga puluh jurus, Lulu mulai terdesak hebat
den hanya mengandalkan kelincahan gerakannya yang ia dapat dari latihan di
Pulau Es saja yang membuat ia dapat bertahan dari serangan Nirahai yang
bertubi-tubi. Lulu mulai berloncatan ke sana-sini den terus mundur.
‘Lu-moi, jangan takut! Aku datang membantumu!!
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah Sin Kiat yang langsung
menyerang Nirahai dengan pedangnya. Gerakan murid Im-yang Seng-cu yang berjuluk
Hoa-san Gi-hap ini cepat den dahsyat sekali, pedangnya mengeluarkan suara
berdesing den berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung.
!Hemmm.... pemberontak cilik bosan hidup!! Nirahai
berseru dan tiba-tiba mata Sin Kiat menjadi gelap ketika ada sinar hitam lebar
menutupi tubuh lawannya kemudian dari tengah bayangan hitam itu meluncur sinar
putih yang menusuk ke arah lambungnya.
!Cringgg....!! Sin Kiat terkejut sekali. Ternyata
bayangan hitam itu adalah sebatang payung yang tiba-tiba sudah berada di tangan
Nirahai dan payung itu berkembang, kemudian ujung peyung yang runcing seperti
pedang menusuknya. Tangkisannya membuat tangannya tergetar, tanda bahwa puteri
Mancu itu memiliki sin-kang amat kuat.
Sin Kiat memutar pedangnya dan bergerak cepat, namun
semua serangannya kena dihalau oleh tangkisan kuat, den dalam beberapa gebrakan
saja ia sudah terdesak oleh serangan balasan ujung payung yang menyembunyikan
gerakan lengan den pundak lawan.
‘Plak.... cring....! Aaaihhh!! Sin Kiat terpaksa
meloncat ke belakang dan hampir saja lututnya kena disambar ujung payung yang
gerakannya amat lihai itu. Sin Kiat memandang tajam, kemudian ia berkata.
‘Hemmm.... kalau tidak salah dugaanku, tentu engkaulah
Puteri Nirahai yang terkenal licik itu, pengadu domba antara Hoa-san-pai dan
Siauw-lim-pai!! katanya sambil melintangkan pedang di depan dada. Kemudian ia
menoleh ke arah Lulu dengan wajah berseri, ‘Lu-moi, engkau pergilah. Han Han
mencarimu. Biar aku yang menghadapi iblis betina ini!!
‘Wah, melihat gerakan pedangmu, engkau tentu Hoa-san
Gi-hiap seperti yang pernah diceritakan Lulu kepadaku. Ah, tidak kecewa engkau
menjadi murid Im-yang Seng-cu, akan tetapi engkau harus belajar seratus tahun
lagi untuk dapat melawanku!! Nirahai berseru dan kembali payung pedangnya
mengirim serangan hebat. Sin Kiat tidak berani berlaku lengah dan cepat ia
menangkis sambil meloncat ke samping kemudian mengirim serangan balasan yang
dapat dielakkan secara mudah oleh Nirahai dengan sikap mengejek.
‘Wan-twako, jangan....! Jangan campuri, biar aku
sendiri hadapi suci!!
Wan Sin Kiat terkejut bukan main dan untuk kedua kalinya
ia meloncat mundur. ‘Apa? Sucimu....?!
Nirahai tersenyum dan memandang wajah tampan itu dengan
tajam. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini, akan tetapi
karena ia tahu bahwa pemuda inipun seorang panglima Se-cuan, maka dia
menganggap pemuda ini musuhnya.
‘Benar, Wan Sin Kiat, ataukah Wan-ciangkun? Engkau
seorang panglima pemberontak, bukan? Lulu adalah sumoiku, akan tetapi
mencampuri urusan kami atau tidak, setelah engkau berada di daerah ini, engkau
harus menyerah menjadi tawananku atau terpaksa aku akan membunuhmu sebagai
tokoh pemberontak!!
‘Lu-moi....! Eh, bagaimana ini....?!
Sin Kiat bingung sekali, akan tetapi Nirahai telah
menyerangnya kembali dengan hebat.
‘Tranggg.... cringgggg....!! Dua kali Sin Kiat
menangkis dan ia terhuyung ke belakang. Nirahai terus menerjang maju dan
mendesak pemuda yang terhuyung itu dengan ujung payungnya.
‘Trikkkkk!!
Nirahai mencelat mundur. Lulu telah mencabut pedang dan
menangkis gagang payung itu, menolong Sin Kiat.
‘Suci, tidak boleh kau bunuh dia. Mari kita lanjutkan
pertandingan kita.!
‘Sumoi, kau makin tersesat! Membantu pemberontak di
depanku, ya?! Nirahai menyerang dengan hebat dan kembali kedua orang gadis yang
sama cantik jelita dan sama lincah itu saling serang, kini menggunakan senjata.
Melihat ini, serta merta Sin Kiat membantu dan mengeroyok Nirahai. Pertempuran
hebat ber langsung di dalam hutan yang sunyi itu. Kelebatan sinar pedang
menyliaukan mata dan gerakan mereka amat cepatnya.
Diam-diam Sin Kiat menjadi heran sekali, heran dan kagum.
Kini ia mendapat kenyataan betapa Lulu telah memperoleh kemajuan pesat, bahkan
dari gerakan-gerakan gadis yang dicintanya itu ia mendapat kenyataan bahwa
kepandaian Lulu kini telah jauh melampaui tingkatnya sendiri!
Akan tetapi, dengan kaget ia pun mendapat kenyataan bahwa
ilmu kepandaian Puteri Nirahai yang terkenal ini lebih hebat lagi, dikeroyok
dua sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali dia dan Lulu terancam oleh
ujung gagang payung yang luar biasa aneh dan lihainya itu. Pantas saja
tokoh-tokoh besar seperti orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam
tewas di tangan gadis puteri Kaisar Mancu ini!
Karena dibantu Sin Kiat, kini tidaklah begitu mudah bagi
Nirahai untuk dapat mengalahkan Lulu, sungguhpun ia masih terus mendesak karena
memang tingkat kepandaiannya jauh di atas kedua orang pengeroyoknya. Setelah
lewat seratus jurus, Nirahai mulai penasaran dan marah.
Kalau tadinya ia ingin merobohkan Lulu tanpa membunuhnya,
bahkan kalau mungkin tidak melukainya, kini ia tidak peduli lagi dan kalau
perlu hendak membunuh mereka berdua. Ia mengeluarkan lengking nyaring sekali
dan tampaklah sinar emas berkilau.
Lulu dan Sin Kiat terkejut sekali, mata mereka menjadi
silau dan permainan pedang mereka kacau-balau oleh suara yang keluar dari
sebatang suling emas yang kini dimainkan oleh Nirahai. Itulah senjata pusaka
Suling Emas yang ampuhnya menggila!
‘Trang-cringgg....!! Lulu dan Sin Kiat terhuyung, kedua
tangan mereka tergetar hebat.
‘Lu-moi, pergilah.... cepat pergilah.... selamatkan
dirimu....!! Sin Kiat berkata sambil memutar pedangnya dengan cepat membentuk
gulungan sinar pedang seperti perisai baja.
‘Tidak, Wan-twako! Engkau saja pergilah, jangan menyia-nyiakan
nyawa untuk aku. Biar kuhadapi urusanku sendiri!! Lulu berkata sambil memutar
pedangnya.
‘Trang-trangg...!! Kini kedua orang muda itu tidak
hanya terhuyung, bahkan terlempar ke belakang dan bergulingan. Nirahai tertawa
dan terus menerjang maju.
‘Moi-moi.... pergilah selamatkan dirimu....!! Sin Kiat
mendesak.
‘Twako, kenapa sih engkau hendak mengorbankan diri
untukku?! Lulu bertanya penasaran.
‘Moi-moi, kau tahu. Aku cinta padamu, aku rela
berkorban untukmu. Pergilah dan temui Han Han.... di Se-cuan....!! Sin Kiat
menangkis.
‘Trakkk!! Pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan
suling emas! Tendangan kaki Nirahai menyerempet pahanya dan pemuda itu
terguling.
‘Wan-twako....!! Lulu berteriak dan ia memutar
pedangnya menghalangi Nirahai mengirim serangan terakhir kepada pemuda itu.
‘Cringgg....!!
‘Sumoi, dia mencintamu, apakah engkau juga
mencintanya?!
Lulu tidak menjawab, mukanya merah dan ia menyerang
dengan tusukan kilat yang dapat ditangkis oleh Nirahai. Sin Kiat sudah meloncat
bangun lagi. Ia terkejut melihat betapa Puteri Nirahai kini menangkis pedang
dan memutar-mutar suling emas sehingga Lulu ikut pula terputar-putar, kemudian
pedang itu tak dapat dipertahankan lagi, terlepas dari tangan Lulu!
‘Hi-hik, kau menyerahlah, sumoi!! Nirahai berkata.
Lulu makin marah, menubruk maju akan tetapi sebuah
dorongan membuat ia terjengkang.
‘Moi-moi....!! Sin Kiat menghampiri Lulu lega hatinya
mendapat kenyataan bahwa Lulu tidak terluka. ‘Cepat kau lari.... biar aku
saja yang mati....!!
Tanpa menanti jawaban Lulu, Sin Kiat mengeluarkan
bentakan keras dan ia sudah menubruk dengan nekat ke arah Nirahai! Melihat
kenekatan pemuda ini, Nirahai terkejut sekali dan hampir saja pundaknya kena
dicengkeram Sin Kiat. Terpaksa puteri yang lihai ini melempar diri ke belakang
dan bergulingan. Kemudian ia meloncat dan memandang pemuda itu dengan mata
marah.
Hemmm, kau mau bunuh diri, ya? Nah, mampuslah!! Sinar
kuning emas menyambar dan Sin Kiat terpelanting. Baru kena dorongan hawa
pukulan senjata ampuh itu saja ia sudah terpelanting. Nirahai melangkah maju,
mengayun payungnya.
‘Biar aku mati bersamamu, twako!! Lulu menubruk maju
dari belakang, menyerang Nirahai.
‘Hemmm.... kau mencintanya juga, bukan?! Nirahai
membalikkan tubuh tanpa menghentikan tusukannya pada Sin Kiat, akan tetapi
ujung gagang payungnya hanya menusuk pundak, sedangkan sulingnya menotok ke
arah jalan darah di leher Lulu. Hebat bukan main gerakan Nirahai, terlalu cepat
bagi dua orang muda yang nekat itu.
‘Krekkk!! Tubuh Sin Kiat terkulai, tulang pundaknya
patah.
‘Cusss!! Tubuh Lulu lemas karena jalan darahnya terkena
totokan suling emas secara tepat sekali.
Nirahai tersenyum, menyimpan suling dan payung, menyambar
tubuh Lulu dan dipanggulnya, kemudian memandang Sin Kiat yang duduk sambil
memegangi pundak kirinya yang patah.
‘Wan Sin Kiat, karena melihat kau dan Lulu saling
mencinta, aku mengampuni dan takkan membunuhmu. Akan tetapi pada pertemuan ke
dua, kalau engkau masih menjadi pemberontak, tentu mengakibatkan kematianmu di
tanganku.! Sambil berkata demikian, Nirahai membalikkan tubuh, tidak mempedulikan
pemuda yang memandangnya dengan mata mendelik itu.
‘Nirahai! Aku bersumpah, kalau engkau mengganggu Lulu,
kelak aku akan mencarimu dan akan membunuhmu!!
Nirahai menoleh, tersenyum mengejek lalu tubuhnya
berkelebat pergi dari tempat itu bersama Lulu yang terkulai lemas di atas
pundaknya. Sin Kiat mengerutkan keningnya, masih terheran-heran mengapa Lulu
menjadi sumoi puteri itu, dan heran pula mengapa keduanya saling serang
mati-matian.
Ia menggeleng-geleng kepala, menghela napas panjang penuh
sesal mengapa dia tidak mampu melindungi Lulu dari tangan puteri yang luar
biasa lihainya itu. Akan tetapi diam-diam masih terngiang di telinganya suara
Lulu ketika membantunya tadi. ‘Biar aku mati bersamamu, twako!! Betapa
merdunya suara ini. Bukankah kata-kata itu merupakan pencerminan hati yang
mencinta? Secara kebetulan saja ia bertemu dengan Lulu di tempat ini. Dia
bersusah payah mencari dan mengikuti jejak Han Han semenjak pemuda buntung itu
meninggalkannya. Dan di tempat sunyi ini, bukan Han Han yang ia temukan,
melainkan Lulu!
Ke manakah perginya Han Han? Tentu tidak jauh dari tempat
ini karena jejaknya menuju ke tempat ini. Dia harus mencari Han Han! Kiranya
hanya Han Han seorang yang akan mampu menandingi Nirahai yang begitu lihai!
Setelah tiga hari tiga malam berkeliaran di dalam
hutan-hutan sambil mengobati sendiri pundaknya yang patah tulangnya, akhirnya
pada suatu pagi Sin Kiat melihat sesosok tubuh yang duduk bagaikan arca di
bawah pohon, di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Dan orang itu bukan lain
adalah Han Han!
‘Han Han....!! Sin Kiat berteriak girang.
Akan tetapi Han Han tidak menjawab, tetap duduk bersila
dalam keadaan siulian dan matanya terpejam. Tongkat butut melintang di depan
lututnya. Luka di pahanya sudah mengering, dan luka di dalam dadanya pun sudah
sembuh, akan tetapi pemuda ini terus saja bersamadhi seolah-olah sudah berubah
menjadi arca dan tidak ada nafsu untuk sadar kembali. Han Han mengalami pukulan
batin yang amat hebat secara bertubi-tubi sehingga membuat dia seolah-olah
sudah bosan hidup. Pertama-tama urusan dengan Kim Cu sudah merupakan tekanan
batin yang berat, disusul lagi dengan kematian Lu Soan Li yang juga menjadi
korban cinta kasihnya kepadanya.
Pertemuannya dengan Tan Hian Ceng yang mencintanya
membuat hatinya makin terhimpit dan satu-satunya harapan hatinya untuk dapat
keluar dari himpitan dan mendapatkan hiburan batin adalah pertemuannya kembali
dengan Lulu. Akan tetapi, begitu berjumpa dengan adiknya yang tercinta itu, ia
malah menerima hantaman batin yang lebih berat lagi, yaitu dengan kenyataan
bahwa Lulu telah menjadi seorang pemimpin pasukan Mancu!
Lebih celaka lagi, dia tidak dapat mengendalikan
kemarahannya yang timbul karena baru saja ia dikeroyok dan hampir celaka di
tangan para pemimpin Mancu sehingga dia menampar adiknya itu, membuat Lulu
sakit hati dan gadis itu melarikan diri dengan kebencian terkandung di hati
adiknya yang merupakan satu-satunya manusia yang ia harapkan akan dapat
menghibur hatinya yang sakit!
‘Han Han, mengapa engkau menjadi begini? Apa yang telah
terjadi denganmu? Sadarlah, aku telah berjumpa dengan Lulu!!
Han Han membuka matanya, memandang Sin Kiat dan bertanya
dengan suara lesu, ‘Di manakah dia? Mana Lulu?!
‘Han Han, celaka sekali! Aku bertemu dengan Lulu, akan
tetapi dia dan aku tidak dapat melawan Puteri Nirahai. Aku dirobohkan dan
terluka, sedangkan Lulu dia dilarikan Nirahai. Anehnya Lulu menyebutnya suci,
dan....! Akan tetapi Sin Kiat melongo ketika tiba-tiba tubuh Han Han mencelat
dan lenyap dari tempat itu!
‘Han Han....!! Sin Kiat berteriak, akan tetapi tubuh
Han Han sudah berloncatan jauh sekali. Sin Kiat menggeleng-geleng kepala
mengerti bahwa tidak mungkin ia dapat mengejar pemuda buntung itu, terpaksa ia
pun meninggalkan tempat itu. Dengan hati berat Sin Kiat lalu kembali ke
Se-cuan, minta diri dari Raja Muda Bu Sam Kwi dan meletakkan jabatan untuk
pergi mencari Han Han dan terutama sekali Lulu.
***
Begitu mendengar dari Sin Kiat bahwa adiknya ditawan
Puteri Nirahai, kemarahan Han Han memuncak dan tanpa pamit ia meninggalkan Sin
Kiat, menggunakan kepandaiannya pergi menuju ke kota raja untuk mengejar dan
menolong adiknya.
Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa pemuda berkaki
buntung yang berjalan terpincang-pincang memasuki kota raja itu mengandung
perasaan marah dan sakit hati yang akan menggegerkan kota raja!
Han Han berjalan perlahan memasuki kota raja, suara
tongkatnya yang membantunya terpincang-pincang itu mengeluarkan bunyi
‘tak-tok-tak-tok!! mengetuk jalan berbatu yang keras. Beberapa orang menoleh
dan memandangnya dengan perasaan kasihan. Juga banyak yang menjadi heran
melihat pemuda tampan yang wajahnya menyinarkan sesuatu yang aneh menyeramkan,
yang pakaiannya amat sederhana dan rambutnya yang hitam panjang dibiarkan
terurai di ates kedua pundak dan punggungnya, rambut yang kusut.
Han Han tidak tahu ke mana adiknya dibawa oleh Puteri
Nirahai, akan tetapi ia teringat betapa dahulu adiknya itu diculik oleh Ouwyang
Seng, maka ia dapat menduga bahwa antara Puteri Nirahai dan keluarga Pangeran
Ouwyang tentu ada hubungan erat. Karena itu dengan perasaan marah memenuhi
dada, dengan hati panas oleh dendam, ia lalu menujukan langkahnya yang
terpincang-pincang itu ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok!
Lima orang penjaga pintu gerbang di luar pekarangan
gedung besar Pangeran Ouwyang Cin Kok cepat menghadang dan memandang heran
ketika melihat pemuda buntung itu seenaknya saja memasuki pintu gerbang.
‘Haiii! Berhenti! Tidak boleh mengemis di sini!!
Seorang di antara mereka membentak, kemudian menodongkan tombaknya ke depan
dada Han Han. ‘Pergi!!
Han Han tidak marah mendengar makian ini. Baginya,
dikatakan pengemis bukan merupakan makian atau penghinaan. ‘Minggirlah, aku
hendak mencari Ouwyang Seng!!
Lima orang penjaga itu tercengang. Mendengar seorang
pemuda kaki buntung yang mereka anggap pengemis itu menyebut nama
Ouwyang-kongcu begitu saja, timbul dugaan bahwa tentu pengemis buntung ini
miring otaknya.
‘Eh, orang gila. Pergilah kalau tidak mau kami pukul!!
bentak penjaga ke dua.
‘Kalian minggirlah jangan halangi aku!! Han Han berkata
dengan suara dingin dan tanpa mempedulikan mereka, dia jalan terus memasuki
pekarangan gedung besar. Lima orang penjaga itu menjadi marah dan berkelebatlah
tombak-tombak mereka ke arah Han Han.
‘Trang-trang-krek-krek-krekkk!! Lima batang tombak
patah-patah dan beter bangan disusul tubuh lima orang penjaga itu yang
terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin! Han Han tidak
mempedulikan mereka lagi dan terus dia berloncatan menuju gedung.
Teriakan-teriakan para penjaga ini menarik perhatian para
penjaga di gedung dan mereka ini dua belas orang banyaknya datang berlari-lari.
Mereka terkejut melihat para penjaga pintu gerbang roboh semua dan melihat
pemuda buntung itu berloncatan ke ruangan depan. Cepat mereka mengurung, akan
tetapi Han Han yang tidak sabar sudah meloncat tinggi ke atas kepala mereka,
kedua tangan didorong ke bawah dan dua belas orang itu roboh terbanting
tunggang-langgang.
‘Ouwyang Seng! Keluarlah! Kalau tidak, kuhancurkan
tempat ini!! Han Han berteriak-teriak dan sekali sambar ia mengangkat
singa-singaan batu yang belum tentu dapat terangkat oleh sepuluh orang biasa,
mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan melontarkan singa-singaw batu
itu ke dalam.
‘Braaaaakkkkk!! Pecahlah pintu ruangan depan itu dan
Han Han meloncat ke dalam ruangan itu, suaranya lantang berteriak, ‘Ouwyang
Seng! Puteri Nirahai! Keluarlah dan serahkan kembali adikku Lulu! Kalau tidak,
akan kuhancurkan kota raja!!
Tiba-tiba dari sebelah dalam menyambar senjata rahasia
yang berupa gelang-gelang kecil. Cepat dan kuat sekali sambaran ini, akan
tetapi dengan tenang Han Han menggerakkan tubuh meloncat tinggi sehingga
sambaran senjata-senjata rahasia itu lewat di bawah kakinya. Di udara, tubuh
Han Han berjungkir balik dan ia sudah meloncat keluar karena kalau ada lawan
tangguh menghadapinya, lebih baik ia berada di luar gedung.
Benar saja dugaannya, dari dalam berkelebat bayangan yang
cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda yang memegang sebatang golok telah
berdiri di depannya. Pemuda itu bukan lain adalah Gu Lai Kwan! Ketika Lai Kwan
melihat Han Han, ia pun terkejut dan marah.
‘Keparat! Kiranya engkau setan buntung!! Lai Kwan
memaki dan goloknya sudah menyambar, menjadi sinar putih yang menyilaukan dan
mengeluarkan suara berdesing ketika golok itu membelah angin.
‘Singggg....!!
Lai Kwan terkejut karena tiba-tiba lawannya lenyap. Cepat
ia memutar tubuh dan mengelebatkan goloknya ke belakang, akan tetapi Han Han
yang sudah berada di sebelah belakangnya, mudah saja mengelak sambil berkata.
‘Gu Lai Kwan, aku menjadi setan buntung karena engkau!
Sekarang bukan maksudku datang untuk membalas dendam, aku tidak mendendam
kepadamu. Akan tetapi suruhlah Nirahai dan Ouwyang Seng keluar membawa adikku
Lulu, kalau tidak.... hemmm.... siapa pun yang menghalangiku akan kubunuh,
termasuk engkau!!
‘Buntung sombong!! Lai Kwan malah menyerang lagi. Han
Han yang memang sedang berduka dan marah sekali melihat betapa pemuda bekas
suhengnya ini nekat, menjadi gemas, akan tetapi ia masih tidak bergerak, hanya
mengelebatkan tongkat bututnya menangkis sambil mengerahkan tenaga memutar
tongkat yang menangkis itu.
‘Trakkk! Aihhhhhh....!! Lai Kwan terkejut bukan main
dan betapapun ia mempertahankan diri sambil mengerahkan tenaga, tetap saja ia
terpelanting dan cepat ia bergulingan karena takut kalau-kalau Han Han
menyerangnya. Akan tetapi Han Han masih berdiri tegak dan tenang. Melihat ini,
sambil meloncat bangun Lai Kwan berteriak keras.
‘Suhu....! Sian-kouw....! Harap bantu....!! Setelah
berteriak demikian Lai Kwan sudah menerjang lagi sambil mengerahkan seluruh
tenaganya, akan tetapi ia berhati-hati sekali ini, maklum bahwa lawannya yang
buntung ini biarpun dahulu hanyalah seorang sutenya, namun kini telah memiliki
ilmu kepandaian yang amat luar biasa.
‘Syuuuttt.... syuuuttt.... singgggg!! Sinar berkilauan
dari golok Lai Kwan menyambar ganas bertubi-tubi.
‘Wuuuttttt!! Tubuh Han Han sudah melayang lagi keluar
dari ruangan depan menuju ke pekarangan. Lai Kwan mengejar dan Han Han berhenti
di atas anak tangga depan ruangan. Lai Kwan yang memang memiliki ilmu
kepandaian tinggi, tidak memberi kesempatan kepadanya, sudah membacok lagi
dengan goloknya mengarah kepala Han Han. Pemuda buntung ini tidak begitu
mempedulikan Lai Kwan, hanya menundukkan muka mengelak sambil siap menghadapi
lawan yang lebih tangguh, yang ia duga tentu akan muncul mendengar teriakan Lai
Kwan.
Dan pada saat itu, terdengar suara lengkingan dahsyat
dibarengi suara ringkik kuda dan muncullah Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dari
pintu samping, langsung ia memukul ke arah Han Han dengan ilmu pukulan dahsyat
Swat-im Sin-ciang! Juga tampak berkelebatnya bayangan Toat-beng Ciu-sian-li Bu
Ci Goat nenek lihai itu melayang turun dari atas dengan jari tangan
mencengkeram ke arah kepala Han Han menggunakan ilmu sakti Toat-beng Tok-ciang!
Dan berbareng di saat itu juga, Lai Kwan sudah membabat ke arah kaki Han Han!
‘Desss!! Pukulan Ma-bin Lo-mo telah ditangkis oleh Han
Han dengan telapak tangan kanannya, sambaran golok Lai Kwan didiamkannya saja
karena dalam gugupnya Lai Kwan menyerang ke bawah untuk membabat kaki Han Han,
lupa bahwa kaki kiri Han Han telah tidak ada lagi sehingga goloknya menyerang
angin kosong!
Han Han lebih memperhatikan cengkeraman si nenek ke arah
kepalanya. Ia tidak mengelak, melainkan memapaki tubuh nenek yang menyerang
dari atas itu dengan tongkatnya, gerakan pertama menotok telapak tangan kiri
nenek itu dan ketika Toat-beng Ciu-sian-li terkejut menarik kembali tangannya,
Han Han melanjutkan serangan tongkatnya dengan totokan pada pinggang nenek itu.
‘Aiiihhhhh!! Toat-beng Ciu-sian-li memutar tubuh di
udara, berjungkir balik dan dari kedua tangannya menyambar dua buah gelang,
yaitu senjata rahasia yang amat ampuh!
Bab 39
Han Han telah memutar tongkat menangkis bacokan susulan
Lai Kwan dari belakang, dan kembali tangan kanannya menangkis pukulan Ma-bin
Lo-mo. Melihat datangnya sambaran dua buah senjata rahasia ini, teringatlah ia
akan Kim Cu yang dahulu hampir tewas akibat senjata rahasia ini, maka ia
menjadi gemas sekali. Kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar ke
depan dan.... dua gumpal ujung rambutnya berhasil melibat dua buah gelang yang
menyambar, kemudian secara kontan dan keras gelang-gelang itu ia retour kembali
ke arah pemiliknya, menyambar dahi dan tenggorokan Ciu-sian-li yang menjadi
terkejut dan cepat mengelak sambil terus menubruk maju mengirim pukulan sakti
dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya kembali mengarah ubun-ubun kepala
Han Han dengan cengkeraman maut.
Juga Ma-bin Lo-mo yang menjadi kagum dan terkejut
menyaksikan gerakan Han Han yang mendapat kemajuan secara aneh dan hebat, kini
telah membarengi menyerang dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang
sekuatnya. Bukan main hebatnya serangan yang dilakukan secara berbareng oleh
Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo ini, dahsyat dan mengingat bahwa keduanya
merupakan datuk-datuk golongan hitam yang sudah mencapai tingkat di puncak,
tentu saja amat sukar bagi lawan yang dikeroyok dua orang ini untuk dapat
menyelamatkan diri dari serangan mereka yang dilakukan berbareng.
Namun, betapa kaget dan heran hati kedua orang tokoh
hitam ini ketika secara tiba-tiba tubuh Han Han lenyap dari tengah-tengah
antara mereka, telah menghindarkan diri dengan sebuah loncatan yang luar biasa
sekali, secepat kilat menyambar sehingga mereka berdua hampir tak dapat
mengikuti dengan pandang mata mereka!
Akan tetapi, Lai Kwan yang berada di luar gelanggang,
dapat melihat gerakan Han Han yang menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun,
gerakan kilat yang membuat tubuhnya seperti mencelat dan keluar dari kepungan
dua orang datuk hitam itu. Gu Lai Kwan adalah murid Toat-beng Ciu-sian-li yang
paling setia dan paling disayang oleh nenek itu dan oleh Ma-bin Lo-mo dan
pemuda ini amat benci kepada Han Han karena sesungguhnya pemuda ini mencinta
Kim Cu.
Peristiwa yang menimpa diri Kim Cu sebagai akibat gadis
itu membela Han Han, membuat Gu Lai Kwan menaruh dendam kebencian kepada Han
Han. Maka kini melihat Han Han meloncat keluar dari kepungan kedua orang
gurunya, Lai Kwan mengeluarkan bentakan nyaring dan menggunakan goloknya
menyambut tubuh Han Han yang masih melayang di udara.
‘Mampuslah engkau, manusia buntung keparat!! bentaknya,
goloknya menyambar seperti naga mengamuk.
Han Han dapat melihat sinar maut terpancar dari pandang
mata Gu Lai Kwan, maka ia pun membentak, ‘Begitu kejamkah hatimu?! Biarpun
tubuh Han Han baru meloncat dan kini disambut dengan serangan golok yang ganas,
namun loncatannya itu memang merupakan keampuhan ilmunya yang mukjizat yang ia
pelajari dari nenek Khu Siauw Bwee, maka sambil meloncat, ia melihat
menyambarnya golok, Han Han lalu menggerakkan tongkatnya, dengan tenaga
sin-kang yang dahsyat tongkatnya menempel pada golok dengan sepenuhnya
mengandung daya melekat!
Betapapun Lai Kwan berusaha menarik kembali goloknya,
sia-sia saja karena goloknya telah melekat pada tongkat seperti berakar di
situ! Tiba-tiba Han Han melepas golok itu sambil mendorong, pada saat Lai Kwan
menarik golok. Tak dapat ditahan lagi golok itu menyambar ke arah Gu Lai Kwan
sendiri. Gu Lai Kwan terkejut, matanya terbelalak dan ia berusaha menggulingkan
tubuhnya, namun golok di tangannya itu lebih cepat, tahu-tahu sudah membacok
lehernya. Teriakan mengerikan seperti leher tercekik keluar dari mulut Lai Kwan
dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu rebah menelungkup, kepalanya miring
secara aneh, golok masih di tangan dan tanah di bawah lehernya perlahan-lahan
menjadi basah dan merah. Pemuda ini tewas oleh goloknya sendiri, lehernya
hampir putus!
Peristiwa ini terjadi cepat sekali, hanya beberapa detik
selagi tubuh Han Han masih mengapung di udara. Kini Han Han mencelat ke depan,
tidak mempedulikan lagi kepada Gu Lai Kwan yang seolah-olah telah melakukan
‘bunuh diri! dengan golok sendiri itu.
‘Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, mundurlah, aku
tidak ingin bermusuhan denganmu atau dengan siapa pun juga!! bentak Han Han dan
suaranya mengandung wibawa yang sedemikian hebatnya sehingga dua orang datuk
hitam itu sampai tercengang dan sejenak mereka itu memandang Han Han dengan
mata terbelalak. Akhirnya Toat-beng Ciu-sian-li memaki.
Bocah setan, murid murtad! Begini sikapmu terhadap bekas
guru?!
Han Han mengerutkan keningnya. ‘Aku bukan muridmu lagi,
Nenek yang bewatak ganas. Aku datang untuk mencari adikku, dan siapapun dia
yang menghalangi aku mencari adikku, akan kuhancurkan!! Teringat akan Lulu,
kembali Han Han menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak.
‘Di mana Puteri Nirahai? Hayo keluarlah dan serahkan
Lulu kepadaku.!
Teriakannya ini amat nyaring sehingga bergema sampai
jauh. Kembali Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li bergidik.
Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini telah menjadi ahli
waris Pulau Es dan memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, akan tetapi
melihat pemuda ini setelah buntung kakinya menjadi makin lihai dan
gerakan-gerakannya seperti orang yang pandai menghilang, benar-benar membuat
mereka berdua menjadi ngeri!
Betapapun juga, tentu saja dua orang yang menjadi tokoh
dunia hitam itu tidak merasa takut dan mendengar tantangan Han Han terhadap
Puteri Nirahai, mereka marah dan cepat menerjang lagi dengan hebatnya. Nenek
itu selain menggerakkan kedua tangannya yang mengandung tenaga sakti Toat-beng
Tok-ciang, juga menggerakkan rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya sebagai
senjata yang ampuh dan aneh, tubuhnya melayang-layang dengan ringannya, persis
seperti keganasan seorang kuntilanak dalam dongeng dunia setan.
Adapun Ma-bin Lo-mo yang sudah mengerti bahwa lawannya
biarpun buntung dan masih amat muda, memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah
manusia, juga telah menerjang maju dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang
sekuat tenaga.
Han Han tidak ingin berkelahi dan tidak ingin pula
bermusuh dengan mereka, akan tetapi karena mereka berdua menghalangi usahanya
mencari Lulu, ia menjadi marah dan cepat mainkan ilmu silatnya yang membuat
tubuhnya mencelat ke sana ke mari dengan gerakan yang tak terduga-duga dan
cepat bukan main. Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo menjadi pening kepala mereka
karena harus mengikuti gerakan-gerakan kilat pemuda buntung itu dan setiap
serangan mereka selalu mengenai tempat kosong. Dengan penasaran kedua orang itu
menubruk dengan pukulan-pukulan sakti.
‘Wuuuttt!! Pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung
hawa dingin menyambar dari kiri.
‘Singggg.... syuuuttttt!! Serangan tangan ampuh beracun
dari Ciu-sian-li dibarengi sambaran rantai gelang di telinganya tidak kalah
ampuh dan berbahayanya. Dua serangan ini menyambar dari kanan kiri ketika kaki
buntung Han Han baru saja turun menyentuh tanah. Akan tetapi tiba-tiba saja Han
Han kembali mencelat ke atas dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya,
mengatasi kecepatan serangan kedua lawannya dan tahu-tahu tubuhnya sudah
menukik dari atas dan tongkatnya melakukan dua kali totokan ke arah ubun-ubun
kepala dua orang pengeroyoknya.
‘Hayaaa....!! Ma-bin Lo-mo berseru kaget dan cepat
menggulingkan tubuhnya yang ia lempar ke atas tanah sambil berteriak.
‘Aiiihhhhh....!! Toat-beng Ciu-sian-li juga mengelak,
melempar tubuh bagian atas ke belakang lalu berjungkir balik sampai lima kali
sehingga rambutnya menjadi awut-awutan dan saling belit dengan kedua rantai
gelang yang tergantung di kedua telinganya.
Pada saat itu, serombongan pasukan pengawal datang
berlari dan mengurung Han Han. Jumlah mereka lebih tiga puluh orang, semua
bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian silat dan bertubuh
kuat. Pada waktu itu, yang berada di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok hanyalah
Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan muridnya yang terkasih, Gu Lai Kwan.
Adapun tokoh-tokoh lain telah ikut membantu penyerbuan ke
Se-cuan. Ketika melihat pemuda buntung mengamuk, semua pasukan pengawal
dikerahkan dan Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri yang bersembunyi sambil
mengintai menjadi gelisah bukan main.
Betapapun juga, pembesar ini masih mengharapkan
kemenangan karena di situ terdapat dua orang tokoh sakti dan di lubuk hatinya
ia tidak percaya apakah seorang pemuda yang buntung kakinya akan mampu melawan
Ciu-sian-li serta Ma-bin Lo-mo dan puluhan orang pasukan pengawal.
Akan tetapi, Han Han sudah marah sekali dan pemuda ini
mengamuk secara menggiriskan hati. Tubuhnya berkelebat, lebih banyak di udara
daripada di darat, karena setiap kali ujung tongkat atau ujung kaki tunggalnya
menyentuh sesuatu, baik tanah, pundak atau kepala lawan, tubuhnya sudah
mencelat lagi ke atas, seperti capung bermain di atas bunga-bunga di permukaan
air, cepatnya seperti kilat sehingga setiap kali tubuhnya menukik ke bawah
tentulah roboh dua tiga orang pengawal secara berbareng, menjadi korban ujung
tongkat atau kedua tangannya!
Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li marah dan
penasaran sekali, juga mereka berdua merasa malu mengapa mereka tidak mampu
merobohkan pemuda buntung itu, padahal dibantu puluhan orang pengawal. Ma-bin
Lo-mo meringkik keras dan kedua tangannya mendorong ke arah Han Han ketika
pemuda itu turun ke atas tanah.
‘Wuuusssss!! Angin yang mengandung hawa dingin sekali
menyambar. Han Han sudah menangkap seorang pengawal dan melemparkan ke depan.
Terdengar jerit mengerikan dan tubuh pengawal itu terbanting kaku, darahnya
membeku muka biru! Dan seorang pengawal lain roboh pula karena oleh Han Han
dipergunakan untuk menangkis pukulan beracun Ciu-sian-li, roboh dengan tubuh
menghitam terkena hantaman pukulan Toat-beng Tok-ciang!
Ketika para pengawal menubruk dengan senjata mereka, Han
Han sudah mencelat ke atas lagi, meloncat sambil menyambar dua orang pengawal,
kemudian ketika tubuhnya membalik, dua orang itu ia lemparkan ke arah Ma-bin
Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, disusul tubuhnya yang meluncur dengan serangan
kilat.
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut. Mereka dapat
menduga bahwa tentu pemuda buntung yang lihai itu menyusul dengan serangan,
maka apa boleh buat mereka menangkis keras sehingga dua orang pengawal itu
terbanting roboh dengan tulang-tulang iga remuk. Benar saja seperti yang mereka
duga, tubuh Han Han menyambar seperti seekor burung garuda, dan saking cepatnya
hanya tampak bayangan berkelebat. Dua orang datuk hitam ini cepat meloncat
untuk mengelak, namun masih kurang cepat sehingga pukulan tangan Han Han yang
amat panas karena mengandung inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang itu telah mampir di
dada Ma-bin Lo-mo sedangkan ujung tongkatnya telah menotok pundak Toat-beng
Ciu-sian-li.
‘Hyaaaaahhhhh....!!
‘Haiiikkkkk....!!
Ma-bin Lo-mo terjengkang dan bergulingan, mukanya menjadi
pucat sekali dan dadanya sesak, terasa panas seperti dibakar. Adapun nenek
sakti itu juga terbanting ke belakang, cepat duduk bersila untuk menyelamatkan
nyawanya karena dia telah terkena totokan yang hebat. Kalau saja Han Han tidak
ingat bahwa kedua orang itu pernah menjadi gurunya, biarpun pada saat itu ada
puluhan orang pengawal yang menerjangnya, tentu ia akan mudah saja melanjutkan
serangan membunuh kedua orang datuk hitam itu. Akan tetapi Han Han tidak ingin
membunuh mereka dan dia hanya menggerakkan tangan dan tongkatnya,
melempar-lemparkan para pengawal seperti orang melempar-lemparkan rumput saja.
Gegeriah para pengawal dan mereka mundur-mundur dengan
muka ketakutan. Pemuda buntung itu terlalu kuat bagi mereka, seperti sekumpulan
nyamuk melawan api saja. Melanjutkan pengeroyokan sama artinya dengan membunuh
diri bagi mereka.
Adapun Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah
menderita luka, tidak berani melanjutkan pertandingan sebelum mengobati luka
mereka, maka mereka berdua pun sudah lenyap memasuki gedung itu, menyelinap di
antara sisa para pengawal yang hanya berani mengurung dari jauh sambil
bersiap-siap untuk melarikan diri apabila Han Han mengejar. Namun pemuda itu
tidak mengejar, hanya berdiri tegak, bersandar pada tongkatnya, menengadah dan
mengeluarkan suara nyaring memekakkan telinga.
‘Puteri Nirahai! Kembalikan adikku....!!
Setelah beberapa kali berteriak tanpa ada jawaban, Han
Han lalu meloncat ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Melihat ini, biarpun
hati mereka dicekam rasa gentar dan ngeri, namun para pengawal tentu saja
segera menghadang dan berusaha mencegah pemuda buntung itu memasuki gedung.
Han Han mengeluarkan seruan keras dan begitu tongkatnya
berkelebat, para pengawal itu roboh terpelanting ke kanan kiri seperti disambar
kilat dan mereka tidak mungkin dapat menghalang lagi ketika pemuda itu
berloncatan cepat melesat ke dalam gedung. Sambil berteriak-teriak para
pengawal ini kalang kabut mengejar ke dalam.
Han Han sudah marah sekali. Dia mengamuk seperti gila,
menggeledah seluruh kamar gedung itu, mencari Ouwyang Seng dan Pangeran Ouwyang
Cin Kok. Setiap orang pengawal yang berusaha menerjangnya dirobohkan dengan
sekali gerakan saja. Namun hasil penggeledahannya sia-sia. Tidak tampak batang
hidung Ouwyang Seng yang dicarinya.
Ketika ada lima orang perwira pengawal dengan nekat
menerjangnya, ia melompat ke atas dan dari atas sinar tongkatnya
bergulung-gulung, empat orang perwira roboh dan seorang lagi ia jambak
rambutnya dan ia seret ke sudut ruangan. Dengan ujung tongkat ditedongkan di
leher perwira itu ia membentak.
‘Di mana Ouwyang Seng? Hayo jawab!!
Wajah perwira itu pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia
dipaksa jatuh berlutut. Dengan napas sengal-sengal ia menjawab.
‘Ham.... hamba.... tidak tahu. Sudah lama tidak berada
di sini....!
‘Mana Ouwyang Cin Kok?!
‘Tadi.... ketika ribut-ribut.... beliau lari....
mungkin ke istana....!
‘Dan di mana kakek dan nenek tadi? Mana Ma-bin Lo-mo
dan Toat-beng Ciu-sian-li?!
‘Lari.... mereka lari.... ke istana....!
Han Han menjadi sebal dan marah. tubuhnya bergerak dan
perwira itu sudah ia lemparkan ke sudut, tubuh perwira itu menabrak dinding dan
tak dapat bangun lagi karena pingsan saking takutnya. Han Han meloncat keluar
dan kini ia melesat amat cepatnya meninggalkan gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok
yang sudah diobrak-abriknya itu, menuju ke istana!
Kemarahan membuat manusia menjadi mata gelap dan lupa
diri, lupa akan bahaya dan demikian pula dengan Han Han. Dia sedang marah
sekali. Penderi taan batin yang ia alami bertubi-tubi ditambah kemarahannya
mendengar bahwa adiknya ditawan membuat Han Han menjadi nekat dan tidak memakai
perhitungan lagi, lupa bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang, betapapun
saktinya, untuk menyerbu seorang diri ke istana kaisar!
Tentu saja penjagaan di istana tidak dapat dibandingkan
dengan penjagaan para pengawal di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Pasukan
pengawal yang dipusatkan menjaga istana amat besar jumlahnya, dan di situ pun
banyak terdapat pengawal yang berilmu tinggi di samping keadaan istana sendiri
yang merupakan semacam benteng yang amat kuat!
Maka, begitu Han Han tiba di depan pintu gerbang, ia
sudah dikurung oleh puluhan bahkan lebih dari seratus orang pengawal mengepung
ketat, dan ia sudah dikeroyok secara hebat!
‘Tangkap pemberontak!!
‘Bunuh pemberontak!!
Para pengawal berteriak-teriak biarpun dalam beberapa
gebrakan saja Han Han telah merobohkan tujuh orang pengeroyok, namun mereka
tetap maju menerjang sehingga Han Han terpaksa memutar tongkat melindungi
dirinya sambil berteriak.
‘Aku bukan pemberontak! Aku hanya ingin bertemu dengan
Puteri Nirahai dan minta supaya adikku dibebaskan!!
Tentu saja teriakannya sia-sia karena para pengawal sudah
mendengar betapa hebatnya pemuda buntung ini mengacau gedung Pangeran Ouwyang
Cin Kok, kini pemuda itu akan mencelakakan keluarga kaisar ditambah pula,
Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri, dengan dikawal oleh Ma-bin Lo-mo dan
Toat-beng Ciu-sian-li sudah lari mengungsi ke istana karena itu di situ pun
diadakan penjagaan yang ketat.
Biarpun para pengawal tidak pernah berkurang jumlahnya
karena setiap ada yang roboh tentu tempatnya digantikan yang lain, namun dengan
ilmunya yang mukjizat, yaitu gerakan kilat Soan-hong-lui-kun, Han Han dapat
menembus pintu gerbang dan memasuki halaman istana. Betapapun juga, dia tidak
pernah dapat membebaskan diri dari kepungan yang makin lama makin ketat.
Setelah dia memasuki pekarangan istana yang luas, pintu gerbang itu ditutup
oleh para pengawal sehingga Han Han kini kehilangan jalan keluar!
‘Bebaskan Lulu....! Lepaskan adikku!! Han Han
berteriak-teriak dan mengamuk seperti seekor harimau terjebak. Betapapun juga,
pemuda ini masih ingat bahwa kedatangannya bukan untuk menyebar kematian di
antara para pengawal yang ia tahu hanya menjalankan kewajiban mereka menjaga
keamanan istana.
Oleh karena itu, dia hanya merobohkan mereka tanpa
membunuh dan hal ini tentu saja amat mudah ia lakukan karena pasukan pengawal
itu bukan tandingannya. Hanya dengan hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan
dan tongkatnya saja sudah cukup baginya untuk membuat kocar-kacir seperti
serombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
Kalau hanya pasukan pengawal yang mengepungnya, biar
ditambah sampai seribu orang, kiranya akan mudah baginya untuk menyelamatkan
diri dan keluar dari tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan
keras, aba-aba dari komandan penjaga yang menyuruh semua pasukan mundur dan
mengepung dari jarah jauh. Para pengawal yang tadinya mengeroyok secara
mati-matian, kini mundur dengan hati lega dan tampaklah oleh Han Han munculnya
orang-orane sakti yang kini menghadapinya.
Mereka itu bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng
Ciu-sian-li, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Lima
orang tokoh sakti yang memiliki ilmu kepandaian hebat!
Han Han maklum bahwa lima orang lawan ini merupakan lawan
yang amat berat, terutama sekali dua orang hwesio Tibet itu merupakan wakil
dari Pangeran Kiu yang mengkhianati perjuangan Bu Sam Kwi dan para orang gagah
dengan mengadakan persekutuan gelap dengan pemerintah Mancu! Ia tersenyum dingin
dan berkata.
‘Ji-wi Losuhu, aku tidak mau mencampuri urusan kalian,
tidak mau melibatkan diri dengan segala kepalsuan orang-orang yang mencari
kedudukan melalui perang, fitnah, pengkhianatan dan lain-lain kekotoran lagi.
Aku datang hanya untuk menuntut agar adikku Lulu yang ditawan Puteri Nirahai
dibebaskan. Biarlah Puteri Nirahai sendiri keluar menemuiku! Aku datang bukan
untuk mengacau, bukan untuk mencari musuh, melainkan semata-mata untuk menolong
adikku. Bebaskan adikku, dan aku bersama adikku akan mengangkat kaki dari sini
dan selamanya tidak akan mencampuri urusan perang yang terkutuk!!
‘Murid murtad! Engkau masih harus menerima hukuman
dariku!! Toat-beng Ciu-sian-li berteriak, penuh kemarahan karena nenek ini
masih penasaran dan malu mengingat akan kematian muridnya terkasih, yaitu Gu
Lai Kwan.
‘Han Han, engkau bekas murid yang selain menyeleweng
juga sudah banyak melakukan penghinaan kepadaku, sekali ini terpaksa aku harus
membunuhmu!! Kata Ma-bin Lo-mo, sengaja mengeluarkan kata-kata besar untuk
menutupi rasa malunya dan untuk berlagak di depan begitu banyak pengawal yang
mengurung tempat itu.
‘Ha-ha-ha, engkau bekas kacungku, kiranya engkau benar
cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat yang menyembunyikan she Suma menjadi she Sie!
Ha-ha-ha, mengingat bahwa engkau adalah Suma Han cucu Suma Hoat, biarlah aku
akan mengampunimu asal engkau suka bertekuk lutut dan menyerah, Han Han!! kata
Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Sepasang mata Han Han mendelik. Dia memang tidak akan
menyembunyikan nenek moyangnya, akan tetapi disebutnya nama kakeknya yang
diam-diam amat dibencinya karena dianggapnya sebagai biang keladi keburukan
nasibnya itu membuat hatinya mengkal sekali, namun ia tetap membungkam.
‘Omitohud....! Suma-taihiap biarpun masih muda memiliki
kepandaian hebat sekali, benar-benar mengagumkan hati pinceng. Perlu apa
menyia-nyiakan usia muda dan berkepandaian tinggi? Menyerahlah, Suma-taihiap!!
kata Thian Tok Lama.
‘Benar ucapan suheng. Suma-taihiap, lebih baik menyerah
dan kalau taihiap berjanji akan membantu menumpas pengkhianat Bu Sam Kwi, tentu
yang mulia kaisar akan suka memberi ampun, bahkan menganugerahkan kedudukan
kepadamu.! Thai Li Lama membujuk.
Namun semua ucapan keras menghina dan lembut membujuk itu
sama sekali saja, mendatangkan kemarahan di hati Han Han. Ia berdiri tegak di
atas kaki tunggalnya, memegang tongkal butut di tangan kiri dan menyilangkan
lengan kanan di depan dada, kemudian berkata.
‘Sudah kukatakan, aku tidak ingin berurusan dengan
pemerintah maupun dengan Ngo-wi Locianpwe yang merupakan tokoh-tokoh besar di
dunia persilatan. Aku datang hanya untuk minta kebebaskan adikku!!
‘Hiye-heh-heh! Bocah sombong! Kalau tidak diserahkan,
kau mau apa?!
‘Akan kurebut dengan paksa dan aku usahakan
sampaimati.!
‘Pemuda buntung sombong!! Toat-beng Ciu-sian-li sudah
menggerakan rantai gelang di kedua telinganya sehingga terdengar suara berdencingan
nyaring dan menggetarkan hati para pengawal yang mengurung tempat itu sambil
berjaga-jaga, menutup jalan keluar pemuda buntung itu.
‘Omitohud, betapa tabahnya!! Thian Tok Lama yang gendut
itu berseru memuji karena benar-benar pendeta dari Tibet ini merasa kagum
sekali. ‘Apakah taihiap berani melawan kami sedangkan tempat ini telah
dikurung oleh ribuan orang pengawal?!
Han Han menoleh ke sekelilingnya dan melihat bahwa
pasukan pengawal kini bertambah banyak, tentu ada dua tiga ribu orang banyaknya.
Ketika ia menyapu keadaan di seluruh halaman istana dengan pandang matanya yang
tajam, ia melihat bayangan dua orang berkelebat di puncak genteng istana, akan
tetapi lenyap lagi, entah bayangan manusia ataukah bukan.
‘Thian Tok Lama, bagiku, persoalannya bukan berani atau
takut, melainkan benar atau salah. Kalau aku berpijak pada kebenaran, tidak ada
lagi kata-kata takut, karena mati dalam kebenaran adalah mati yang terhormat.
Kalau aku benar, biar menghadapi iblis sekalipun aku tidak takut, sebaliknya
kalau aku salah, biar menghadapi seorang anak kecil pun aku tidak berani. Aku
datang untuk membebaskan adikku, dan hal ini benar, maka aku tidak takut.
Terserah kepada Ngo-wi, apakah aku menonjolkan kegagahan dengan cara mengeroyok
aku dibantu pula oleh ribuan orang pasukan pengawal!! Ucapan terakhir Han Han
ini mengandung ejekan yang amat tajam sehingga wajah kelima orang tokoh beser
itu menjadi merah.
Memang harus diakui bahwa peristiwa yang kini mereka
hadapi merupakan peristiwa yang ajaib dan amat memalukan. Biasanya, setiap
orang di antara mereka berlima yang telah memiliki kesaktian tinggi, tidak
pernah atau jarang sekali menemui tanding sehingga mereka berangkuh dan
menganggap diri sendiri sebagai tokoh tingkat tinggi yang tidak mau sembarangan
bergerak, apalagi hendak mengeroyok lawan.
Dan sekarang, mereka berlima menghadapi seorang pemuda
yang selain masih amat muda patut menjadi cucu mereka, juga yang hanya memegang
sebatang tongkat butut dan yang kakinya tinggal satu! Menghadapi seorang lawan
muda penderita cacat dengan masih mengandalkan pengurungan ribuan orang
pengawal!
Benar-benar merupakan peristiwa yang tak pernah mereka
mimpikan dan amatlah merendahkan nama besar mereka!
‘Omitohud, orang muda yang sombong. Kau kira pinceng
tidak berani menghadapimu seorang diri?! Thai Li Lama menjadi tersinggung
sekali dan ia sudah meloncat maju menghadapi Han Han. Empat orang tokoh yang
lain juga merasa jengah dan tersinggung, maka mereka ini hanya menonton, ingin
melihat apakah pendeta Tibet yang kurus itu akan dapat mengatasi Han Han si
pemuda buntung yang benar-benar merupakan lawan aneh yang baru pertama kali
mereka jumpai selama hidup mereka yang sudah setengah abad lebih.
Han Han mengerti bahwa Thai Li Lama adalah seorang yang
selain pandai ilmu silat aneh dari barat, juga memiliki kepandaian ilmu hitam
dan ilmu sihir, maka ia bersikap waspada dan sudah bersiap dengan tongkat
dilintangkan di depan dada, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka
berada di atas kepala, telapak tangannya menghadap ke langit, diam-diam ia
telah mengerahkan sin-kang di tubuhnya, yang berputaran dan siap disalurkan
untuk menghadapi lawan yang kuat ini.
Akan tetapi aneh, pendeta Tibet itu tidak segera bergerak
menyerangnya, melainkan berdiri tegak dan kaku, kepala lurus, kedua lengan
lurus di kanan kiri tubuhnya, kemudian terdengar suaranya, halus seperti
membujuk.
‘Suma-taihiap, kau turutilah permintaanku, tundukkan
kepalamu....!
Han Han merasa ada getaran aneh terbawa oleh suara ini,
begitu lembut mengelus perasaannya, mendatangkan rasa terharu dan tidak tega
untuk menolak permintaan itu. Akan tetapi kesadarannya membisikkan bahwa kakek
ini tentu menggunakan ilmu sihir, maka sebaliknya dari menundukkan kepala, ia
malah menengadah, memandang ke angkasa! Benar-benar merupakan gerakan kebalikan
daripada apa yang diminta hwesio Tibet itu! Merupakan tantangan!
‘Omitohud, agaknya taihiap hendak menggunakan
kekerasan. Baiklah. Suma Han, kau pandang mataku kalau berani!!
Andaikata ucapan yang dikeluarkan merupakan perintah
nyaring dan berwibawa ini tidak diembel-embeli ‘kalau berani!, tentu Han Han
tidak sudi menurut, sungguhpun di dalam suara itu terkandung wibawa dan tenaga
mukjizat yang seolah-olah memaksanya dan menguasai perasaan dan pikirannya.
Akan tetapi kata ‘kalau berani! membuat Han Han penasaran. Mengapa tidak
berani?
Ia lalu memandang ke depan, menentang pandang mata hwesio
itu. Dua pasang sinar mata bertemu! Semua orang menahan seruan saking kaget dan
seram melihat dua pasang pandang mata yang luar biasa itu. Sepasang mata Thai
Li Lama yang sipit itu berubah bundar dan seolah-olah ada sinar terang keluar
dari sepasang matanya, sedangkan sepasang mata Han Han menjadi tajam seperti mengandung
api!
Thai Li Lama berkemak-kemik dan mengerahkan seluruh
kekuatan batinnya untuk menguasai kemauan dan pikiran Han Han melalui pandang
matanya, menyerang pemuda itu dengan ilmu i-hun-to-hoat untuk membetot semangat
(hypnotism), akan tetapi Han Han yang merasa betapa sinar mata itu seolah-olah
menembus jantungnya, cepat membulatkan tekadnya untuk tidak tunduk dan dia
malah membalas dengan pandang mata berapi-api.
Di luar kehendak manusia, memang terjadi keanehan yang
mujiiat di dalam diri pemuda buntung ini. Kekuatan gaib telah dimilikinya
semenjak malapetaka menimpa keluarganya dan kekuatan kemauannya menjadi luar
biasa sekali. Kemauan yang mukjizat ini tidak saja membuat dia tidak mungkin
dapat ditembusi oleh ilmu hitam yang hendak menguasainya, bahkan kemauannya
yang amat kuat ini dapat memancar keluar dan masih cukup kuat untuk menguasai
orang lain!
Kini Han Han yang maklum apa yang sedang dilakukan
lawannya, membulatkan tekadnya untuk melawan dan menolak getaran halus yang
keluar dari sinat mata Thai Li Lama. Ketika ia disuruh memandang, dia memang
melakukannya, akan tetapi sama sekali bukan berdasarkan tunduk akan perintah
itu, melainkan karena memang timbul atas kehendaknya sendiri hendak ‘mengadu
kekuatan pandang mata! dengan hwesio Tibet itu. Maka terjadilah
‘pertandingan! yang luar biasa, lebih hebat daripada pertandingan adu
kekuatan sin-kang karena yang diadu kini adalah kekuatan batin yang getarannya
bergelombang terasa oleh semua orang yang hadir sehingga mereka itu terpesona
seperti kemasukan pengaruh mukjizat.
Dua pedang sinar mata itu masih saling dorong, saling
banting dan berusaha sekuatnya untuk menundukkan lawan, kalau kelihatan tentu
amat seru seperti dua ekor naga saling serang. Keduanya tak pernah berkedip,
bahkan mata mereka makin lama makin lebar, dengan sinar yang berapi-api.
Diam-diam Thai Li Lama terkejut bukan main. Dia tadinya
hanya menganggap bahwa pemuda buntung itu amat lihai ilmu silatnya, dan siapa
mengira bahwa ternyata pemuda ini pun agaknya seorang ahli hoat-sut, ahli sihir
yang memiliki kekuatan batin luar biasa sekali! Biasanya, betapapun pandai
silat lawannya, sekali ia menggunakan ilmu membetot semangat ini, lawannya
tentu akan mudah ia tundukkan.
Kini melihat kenyataan betapa sama sekali ia tidak dapat
menundukkan pemuda buntung ini, bahkan, seolah-olah sinar matanya melekat pada
sinar mata pemuda itu, sukar dilepaskan lagi, Thai Li Lama menjadi kaget dan
penasaran. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantram dan ia menggunakan seluruh
kepandaian sihirnya yang dahulu ia pelajari dari guru-guru besar dari India di
lereng Pegunungan Himalaya. Tiba-tiba ia mengeluarkan gerengan seperti suara
seekor biruang dan membentak.
‘Suma Han, lihat baik-baik siapa aku? Akulah manusia
naga dari Himalaya, berkepala tiga berlengan delapan! Lekas kau berlutut dan
menyerah!! Dari kepala pendeta Tibet itu mengepul uap putih kebiruan dan
terdengarlah suara berisik ketika pasukan itu berseru dan berbisik penuh
ketakutan sambil memandang ke arah Thai Li Lama dengan mata terbelalak dan muka
pucat, tangan menuding dan kaki gemetar.
Siapa orangnya yang tidak akan akan merasa ngeri dan
takut? Pendeta Tibet yang tadinya bertubuh kurus kecil dan wajahnya sama sekali
tidak menimbulkan rasa gentar itu kini telah berubah menjadi mahluk yang luar
biasa. Tubuhnya masih tidak berubah, akan tetapi kepalanya berubah menjadi
kepala naga, yang hidungnya menghembuskan uap biru, dan bukan hanya sebuah
kepala naga yang mengerikan itu, melainkan ada tiga buah! Dan lengannya bukan
dua lagi, melainkan bertumbuh enam buah lengan tangan lain di pundaknya,
sehingga lengannya berjumlah delapan!
Bagi Han Han, karena penglihatannya dilindungi oleh
perisai kemauan yang membaja, perubahan pada diri Thai Li Lama itu hanya tampak
suram-suram saja. Pemuda ini mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya. Pemuda
ini tidak pernah mempelajari hoat-sut, tidak tahu bagaimana untuk mempergunakan
kekuatan batinnya dalam ilmu ini, akan tetapi ia mengerti bahwa kalau ia
mengerahkan kemauannya, maka ia tidak akan dapat terpengaruh orang lain bahkan
dapat menguasai kemauan orang. Kini ia mengerti bahwa lawannya menggunakan ilmu
sihir yang aneh, maka setelah mengerahkan seluruh tenaga kemauannya, ia tertawa
dan berkata.
‘Hemmm, Thai Li Lama, engkau ini seorang pendeta yang
sudah tua, mengapa bersikap seperti anak kecil? Permainanmu ini hanya untuk
menakut-nakuti anak-anak, akan tetapi bagiku, engkau tetap Thai Li Lama yang
biasa, berkepala hanya sebuah yang penuh dengan akal muslihat kotor dan
berlengan dua yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat!!
Semua pasukan yang mendengar ucapan Han Han yang keras
dan berwibawa ini melihat perubahan aneh pada diri Thai Li Lama. Sekarang
pendeta itu berubah menjadi biasa kembali dan kedua orang lawan itu masih
melanjutkan mengadu kekuatan melalui sinar mata yang berapi-api!
Akhirnya Thai Li Lama tidak kuat menahan, kepalanya
berdenyut-denyut amat peningnya dan dari kedua matanya keluar air mata karena
saking panas dan pedas rasa kedua matanya. Ia terhuyung dua langkah, dan
tiba-tiba memekik sambil memukulkan sebelah tangannya ke arah dada Han Han,
sedangkan tangan yang lain membuat gerakan seperti orang menulis huruf.
Han Han sudah siap sedia, ia melengking nyaring dan kedua
tangannya juga mendorong ke depan, sebelah kiri dengan inti tenaga Swat-im
Sin-ciang sedangkan yang kanan dengan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang!
Dilanda dua macam tenaga yang berhawa amat dingin dan
amat panas ini, Thai Li Lama terlempar ke belakang dan roboh terguling-guling.
Ia dapat meloncat bangun lagi, akan tetapi napasnya terengah-engah dan mukanya
pucat!
Melihat keadaan sutenya, Thian Tok Lama sudah merendahkan
tubuhnya yang gendut, perutnya mengeluarkan suara berkokok, seperti ayam biang,
dan kedua tangannya menyerang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang
ampuhnya menggila itu.
Tangan kanannya berubah biru dan dari kedua telapak
tangan itu menyambar uap hitam ke arah Han Han. Pada saat yang hampir sama,
tiga orang tokoh sakti yang lain, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menerjang dengan
pukulan-pukulan sakti mereka ke arah Han Han.
Namun semua pukulan sakti yang membawa maut itu luput
karena pada saat yang tepat, tubuh Han Han telah lenyap dan pemuda buntung yang
amat sakti ini telah melesat ke atas, kemudian menukik turun dengan tongkatnya
diputar menjadi sinar kehijauan melingkar-lingkar yang menyambar ke arah kepala
lima orang pengeroyoknya! Lima orang tokoh besar itu yang kesemuanya memiliki
tingkat kepandaian yang sudah mencapai puncaknya, cepat mengelak dan melakukan
pengurungan ketat dari lima penjuru, seolah-olah secara otomatis membentuk
ngo-heng-tin (barisan lima anasir).
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan luar biasa.
Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak melancarkan pukulan-pukulan Hwi-yang
Sin-ciang yang berhawa panas sekali. Juga Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Iblis
Muka Kuda menghujankan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin
seperti salju. Toat-beng Ciu-sian-li dengan penuh amarah menggerakkan sepasang
rantai gelang di kedua telinganya yang merupakan sepasang senjata ampuh,
dibantu sambaran rambutnya dan serangan kedua, tangan penuh kuku runcing dengan
pukulan Toat-beng Tok-ciang yang beracun.
Kedua orang pendeta Lama dari Tibet juga tanpa
segan-segan lagi karena maklum akan kelihaian pemuda buntung itu, menyerang
dengan pukulan-pukulan sakti mereka.
Han Han mengerti sepenuhnya bahwa dia terancam maut. Dia
mengenal kehebatan lima orang lawannya. Kalau mereka itu maju seorang demi
seorang, dia yakin akan dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi, dikeroyok lima
orang yang memiliki kepandaian setinggi itu, benar-benar amat berbahaya dan
selama hidupnya, baru sekali ini ia benar-benar dihadapkan dengan pengeroyokan
lawan yang menggiriskan!
Terpaksa pemuda buntung yang amat sakti ini mengerahkan
seluruh kepandaiannya yang pernah dipelajarinya dan mengerahkan seluruh tenaga
sin-kang yang berada di tubuhnya untuk melindungi diri dan juga untuk balas
menyerang.
Pada saat itu, senja telah mendatang dan keadaan cuaca
mulai menggelap. Di atas wuwungan istana, jauh tinggi di puncaknya, terdapat
dua orang yang menonton pertandingan itu penuh takjub. Mereka ini bukan lain
adalah Puteri Nirahai dan gurunya, Puteri Maya.
Tadi mereka keluar dari istana ketika mendengar akan
kekacauan di depan istana, akan tetapi melihat bahwa yang datang mengacau hanya
seorang pemuda buntung dan yang menghadapi pemuda buntung itu sudah amat
banyak, hati Maya menjadi tertarik maka ia memegang tangan muridnya diajak
meloncat naik ke atas wuwungan dan menonton. Bagi Puteri Maya, benar-benar
merupakan pantangan besar dan amat memalukan kalau harus ikut-ikutan mengeroyok
seorang lawan yang masih begitu muda, buntung kakinya dan sudah dikeroyok begitu
banyak orang.
Juga Puteri Nirahai merasa segan untuk turun tangan
karena hal ini akan merendahkan derajatnya sebagai seorang puteri kaisar
terutama sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi.
Begitu mendengar teriakan-teriakan Han Han yang minta dibebaskannya
Lulu, Nirahai dapat menduga bahwa tentulah pemuda buntung ini yang bernama Han
Han, kakak angkat Lulu.
Ia merasa heran dan terkejut melihat bahwa pemuda itu
buntung sebelah kakinya, padahal Lulu tidak pernah mengatakan bahwa kakaknya
itu buntung! Dan dia terpesona, takjub menyaksikan gerakan dan sepak-terjang
pemuda buntung itu, kagum menyaksikan betapa pemuda itu sanggup menghadapi Ilmu
I-hun-to-hoat dari Thai Li Lama, dan hatinya berdebar aneh menyaksikan wajah
tampan dilingkari rambut riap-riapan itu, terutama sekali melihat sepasang
sinar mata yang begitu tajam dan mengandung sesuatu yang aneh.
‘Ihhhhh....! Kedua tangannya mengandung pukulan
Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang digunakan secara berbareng!
Memecah sin-kang menjadi berlawanan ini dari mana dia mempelajarinya? Siapa
bocah setan itu....?! terdengar Nenek Maya mengomel dan matanya memandang
terbelalak penuh kaget dan heran menyaksikan Han Han menggunakan kedua
tangannya untuk menghadapi lima orang pengeroyoknya.
‘Subo, dia itulah yang selalu diceritakan Lulu-sumoi.
Dia kakak angkatnva yang bernama Han Han,! jawab Nirahai tanpa mengalihkan
pandang matanya dari medan pertandingan di bawah.
Akan tetapi Nenek Maya biarpun mendengar ucapan muridnya
itu, agaknya tidak mengacuhkan karena dia mengalami kekagetan demi kekagetan
ketika menyaksikan pertempuran itu, mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran,
‘Lihat pukulannya itu....! Tendangan dengan satu kaki....! Aihhh, bukankah
itu jurus-jurus simpanan yang hanya dikenal kami bertiga di Pulau Es? Dan itu
heiiiii....! Itu gerakan tongkatnya.... bukankah bagian dari Siang-mo Kiam-sut!
Dan loncatan-loncatan itu.... hemmm.... seperti telah mengenalnya akan tetapi
demikian aneh! Bukan main! Siapa bocah ini?!
‘Subo, dia Han Han dan seperti subo ketahui, dengan
Lulu dia telah berhasil mewarisi kitab-kitab di Pulau Es.!
‘Aihhh....! Benar! Tapi loncatan-loncatan itu! Ilmu
silat iblis manakah itu? Benar-benar hebat dan mengerikan!! Ternyata Nenek Maya
ini merasa terkejut dan kagum sekali karena sebagai seorang ahli dia sampai
tidak mengenal ilmu silat dengan gerakan kilat itu. Memang itu adalah Ilmu
Soan-hong-lui-kun yang diciptakan oleh sumoinya sendiri, Khu Siauw Bwee, dalam
pertapaannya! Tentu saja dia tidak mengenalnya sungguhpun ia merasa kenal akan
dasar-dasarnya.
Memang, untuk menghadapi pengeroyokan lima orang sakti
itu, terpaksa Han Han mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakan Ilmu Silat
Soan-hong-lui-kun yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee, tongkatnya dimainkan
seperti pedang dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, dan tangan kanannya
melakukan serangan bergantian dengan hawa sin-kang Im dan Yang, juga ia
mencampurkan gerakan-gerakan silat dari kitab-kitab yang telah ia pelajari dari
Pulau Es, disesualkan untuk menghadapi hujan serangan kelima orang lawannya!
Benar-benar hebat pemuda ini dan barulah terbukti
kesaktiannya yang jarang dapat ditemui tandingnya, karena setelah bertempur
selama ratusan jurus, mengandalkan kelincahan ilmu gerak kilat, ia sama sekali
tidak terdesak, bahkan berhasil membuat pengepungan lima orang sakti itu
kocar-kacir.
Tentu saja lima orang pengeroyoknya menjadi penasaran
sekali, terutama Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li karena pemuda itu bekas
murid mereka, dan Gak Liat karena bocah itu dahulu bekas kacungnya!
Cuaca semakin gelap dan para pemimpin pasukan pengawal
yang melihat betapa pemuda buntung itu masih juga belum dapat ditundukkan oleh
lima orang sakti itu, menjadi khawatir kalau pemuda itu akan berhasil menyerbu
ke istana, maka mereka lalu mulai mengeluarkan aba-aba dan pengurungan pasukan
dipersempit dan diperketat, siap untuk menerjang pemuda itu seperti air bah
mengamuk.
Han Han melihat ancaman ini. Tidak mungkin baginya untuk
menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang, sedangkan pengeroyokan lima orang
sakti itu saja sudah amat melelahkannya.
‘Lebih baik aku menerobos ke dalam istana menangkap
Puteri Nirahai atau mencari di mana ditahannya Lulu agar aku dapat membebaskan
adikku dan mengajaknya lari dari situ,! pikirnya. Ia mulai mencari kesempatan
untuk lolos dan menerjang ke dalam istana.
Akan tetapi lima orang pengeroyoknya makin lama makin
penasaran dan marah sekali. Dari depan, sepasang pendeta Lama sudah
menerjangnya dengan pukulan-pukulan sin-kang yang lihai, sedangkan dari kanan
kiri Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menerjang pula. Han Han menggunakan
tangan kanannya mendorong ke depan, sekaligus menolak pukulan kedua orang Lama.
Hebat bukan main pengerahan tenaganya ini sehingga kedua orang Lama itu
terhuyung ke belakang.
Pada saat itu pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat dengan
tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang sudah menerjang datang, didahului oleh si nenek
Toat-beng Ciu-sian-li yang menyerangnya dari belakang dengan sambaran rantai
gelang!
Han Han mengeluarkan suara melengking, tubuhnya cepat
melesat ke belakang, tinggi dan berjungkir balik, tangan kanannya cepat
menyambar dan ia berhasil menangkap ujung rantai gelang nenek itu yang
menyambarnya. Dengan sepenuh tenaga disentakkannya kuat-kuat hingga tubuh nenek
itu melayang ke atas.
Nenek itu menjerit, kalau bukan dia tentu daun telinganya
akan putus. Han Han melontarkan tubuh nenek itu dengan melepaskan rantai gelang
ke arah Kang-thouw-kwi yang memukulnya tadi! Kini tubuh nenek itu melayang dan
akan bertemu dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang.
Melihat ini, Ma-bin Lo-mo berseru kaget, cepat ia pun
mengerahkan tenaganya mendorong ke depan untuk menyambut pukulan Gak Liat dalam
usahanya menolong nenek itu.
‘Desssss....!! Ma-bin Lo-mo terjengkang sedangkan Gak
Liat terdorong mundur sambil terbatuk-batuk dan sedikit darah keluar dari
mulutnya. Nenek itu sendiri terbanting roboh ke atas tanah, amat kerasnya
sehingga nenek ini mengeluh dan merasa seolah-olah pantatnya yang tiada
dagingnya lagi terbanting penyok.
Ketika lima orang sakti yang dalam gebrakan hebat ini
terdesak cepat menguasai diri dan hendak menerjang, tiba-tiba tubuh Han Han
melesat ke atas, melampaui kepala para anak buah pasukan yang mengurung dan
telah melayang ke atas genteng istana. Ramailah pasukan itu lari mengejar, ada
pula yang memasang obor karena cuaca sudah mulai remang-remang.
‘Kejar keatas....!!
‘Awas, kepung istana agar dia tidak lari!!
‘Heiii, lekas jaga sebelah dalam istana, hadang semua
jalan!!
‘Paling perlu lindungi kamar-kamar Sri Baginda dan
keluarganya!!
Ramailah pasukan pengawal itu berteriak-teriak dan
bergerak kacau-balau seperti serombongan semut diganggu sarangnya. Adapun lima
orang sakti itu, biar sudah amat tertinggal jauh, segera meloncat pula naik ke
atas genteng melakukan pengejaran.
Cara Han Han meloncat amat luar biasa karena dia
menggunakan ilmunya gerak kilat, tubuhnya mencelat-celat ke atas sampai ke wuwungan.
Tiba-tiba ia berhenti di atas wuwungan memandang terbelalak kepada seorang
nenek dan seorang gadis cantik jelita yang berdiri tenang di situ. Melihat
gadis itu dalam cuaca yang remang-remang, Han Han memekik girang.
‘Lulu....!! Tubuhnya mencelat dan ia telah berada di
depan gadis itu, terus dirangkulnya sambil mengeluh karena kelelahan, ‘Lulu
adikku.... ah, Lulu.... syukur kau selamat.... kau ampunkanlah aku, Lulu....!!
Saking girang hatinya, seperti dahulu, ia mencium pipi adiknya itu, tidak tahu
betapa gadis itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali.
Dapat dibayangkan betapa malu dan jengah rasa hati gadis
ini yang bukan lain adalah Puteri Nirahai sendiri yang disangka Lulu oleh Han
Han. Memang ada persamaan pada wajah kedua orang gadis itu dan juga bentuk
tubuh mereka sama, maka tidak mengherankan apabila Han Han yang dalam keadaan
lelah salah duga melihat Nirahai dalam cuaca remang-remang itu.
Han Han berada dalam kegirangan luar biasa melihat
‘adiknya! selamat, maka ketika merangkul dan menciumnya, kegirangan membuat
ia kehilangan kewaspadaannya dan tiba-tiba ia mengeluh, tubuhnya menjadi lemas
karena jalan darah di punggungnya telah tertotok. Totokan biasa saja kiranya
tidak akan mempengaruhi tubuhnya yang dialiri sin-kang amat kuat, akan tetapi
sekali ini yang menotoknya adalah Nenek Maya! Maka ia terguling dan tahu-tahu
telah dikempit oleh lengan kiri Nenek Maya.
Pada saat itu, lima orang sakti telah menyusul ke atas
wuwungan. Nenek Maya yang mengempit tubuh Han Han, tersenyum mengejek dan
berkata, ‘Dia sudah kutangkap, kalian mau apa?!
Lima orang sakti itu telah mendengar bahwa di istana
terdapat guru Puteri Nirahai yang amat lihai, akan tetapi karena belum pernah
melihat nenek ini yang kehadirannya dirahasiakan, Toat-beng Ciu-sian-li yang
berwatak angkuh segera menegur,
‘Siapakah Kau ?!
Nirahai khawatir kalau-kalau gurunya yang memiliki watak
aneh luar biasa itu menjadi marah, maka ia cepat maju dan berkata halus.
‘Harap Ngo-wi Locianpwe suka mundur dan beristirahat
karena pengacau telah dapat ditangkap oleh guru saya dan akan kami periksa
sendiri.!
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut dan
memandang tajam penuh perhatian kepada Nenek Maya. Ia merasa sudah pernah
melihat nenek itu, akan tetapi tidak ingat lagi kapan dan di mana.
Juga tokoh-tokoh lain ketika mendengar bahwa nenek yang
agaknya dengan amat mudahnya menangkap Han Han yang tadi membuat mereka berlima
kewalahan itu adalah guru Nirahai, cepat menjura dengan hormat. Mereka semua
tahu akan kelihaian puteri cantik itu, kalau muridnya saja sudah demikian
lihainya, apa lagi gurunya! demikian lihainya, apa lagi gurunya!
Nenek Maya sudah membalikkan tubuhnya dan tanpa
mengeluarkan ucapan sedikit pun ia telah meloncat turun mengempit tubuh Han
Han, diikuti oleh Nirahai, memasuki istana kembali melalui pintu belakang. Lima
orang tokoh itupun cepat turun dan kini pasukan pengawal sibuk merawat
teman-teman yang terluka dalam pengeroyokan mereka terhadap Han Han tadi.
Malam itu, suasana di sekeliling istana sunyi sepi, akan
tetapi di dalam kesunyian ini, penjagaan para pengawal diperkuat karena para
komandan pengawal merasa khawatir kalau-kalau datang lagi pengacau yang berilmu
tinggi seperti di pemuda buntung yang kini telah menjadi tawanan Puteri Nirahai
di dalam istana.
Setelah tertotok lemas dan dibawa oleh nenek sakti itu ke
dalam istana, barulah Han Han dapat melihat wajah Puteri Nirahai di bawah sinar
lampu yang terang dan ia terkejut setengah mati ketika mendapat kenyataan bahwa
gadis yang disangkanya Lulu, dirangkul dan dicium pipinya tadi ternyata sama
sekali bukanlah Lulu, melainkan seorang gadis yang mirip Lulu dan cantik jelita
sekali.
Kekagetannya bertambah ketika ia melirik dan mengamati
wajah nenek yang mengempitnya. Ia mengenal wajah ini yang biarpun sudah tua
namun masih membayangkan kecantikan, membayangkan raut muka yang mirip benar
dengan puteri jelita ini, mirip pula dengan Lulu, dan.... mirip dengan patung
wanita di Pulau Es. Han Han terbelalak, kini ia kembali memandang Nirahai.
Bukan main!
Sekarang terasa benar olehnya kemiripan wajah gadis
jelita ini dengan patung Puteri Maya di Pulau Es! Han Han melongo, terpesona,
dan biarpun tubuhnya dikempit, pandang matanya seperti lekat pada wajah Puteri
Nirahai.
Puteri Maya membawa tubuh Han Han memasuki ruangan dalam
yang luas di depan kamarnya, kemudian sekali tangannya bergerak, Han Han telah
dibebaskan totokannya dan tubuhnya telah dilempar ke atas lantai. Kemudian
nenek sakti itu duduk di atas kursi, menyambar guci arak dan minum arak dari
sebuah cawan perak. Adapun Puteri Nirahai masih berdiri.
Gadis ini memandang wajah Han Han penuh perhatian,
memandang ke arah kaki dan alisnya yang bagus itu berkerut dalam kesangsian dan
pertanyaan apakah pemuda ini benar-benar kakak Lulu yang bernama Han Han!
Han Han meloncat bangun dan terhuyung karena tubuhnya
masih terasa lemas, bukan oleh bekas totokan yang telah dibebaskan, karena
sin-kangnya membuat ia dapat menguasai kembali jalan darahnya, melainkan karena
lelahnya setelah melakukan pertempuran yang berat tadi.
Tiba-tiba Nenek Maya menggerakkan tangan dan tongkat
butut Han Han yang tadi dia bawa pula melayang ke arah Han Han, melayang
seperti luncuran anak panah menuju ke dada pemuda buntung itu. Han Han cepat
menyambarnya dan nenek itu kagum bukan main. Pemuda buntung ini benar-benar
tidak mengecewakan menjadi murid atau ahli waris Istana Pulau Es!
Dengan tongkat di tangannya, Han Han dapat berdiri tegak
dan ketika ia memandang Nirahai, puteri inipun sedang memandangnya penuh
perhatian. Dua pasang mata bertemu pandang dan wajah Han Han menjadi merah
sekali. Ia teringat betapa tadi ia merangkul dan mencium pipi yang halus
kemerahan itu. Tak terasa lagi ia lalu berkata lirih menggagap.
‘Maaf.... maafkan kekurang-ajaranku tadi.... kukira
engkau Lulu.!
Wajah puteri yang berkulit halus putih kemerahan itu
menjadi makin merah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundaknya lalu bertanya,
suaranya dingin seolah-olah hal yang dihadapi dan ditanyakannya adalah urusan
kecil. ‘Apakah kau yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu?!
Han Han mengangguk dan bertanya, ‘Di mana adikku? Dan
engkau.... eh, tentu engkau inilah Puteri Nirahai, bukan? Mengapa engkau
menangkap adikku itu dan di mana dia? Kuharap kau suka membebaskannya.
Kedatanganku ini bukan untuk mengacau, hanya untuk membebaskan adikku.!
Nirahai tersenyum mengejek. ‘Tidak membikin kacau akan
tetapi membunuh dan melukai banyak pengawal istana, menggegerkan istana. Bahkan
pernah menjadi pembantu pemberontak di Se-cuan! Hemmm, tentang urusan Lulu, dia
adalah sumoiku, karena dia menyeleweng maka kutangkap. Subo yang menangkapmu,
maka terserah kepada subo untuk mengadilimu. Subo, teecu akan pergi sekarang
mempersiapkan pertemuan penting itu. Mengenai orang buntung ini, terserah
kepada subo.!
Nenek Maya mengangguk, sejak tadi nenek ini memandang Han
Han penuh perhatian, lalu menggerakkan tangan menyuruh Puteri Nirahai pergi.
Setelah melontarkan kerling mata terakhir kepada Han Han, mulut yang manis itu
menyimpulkan senyum, Nirahai lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Han Han kini menghadapi Nenek Maya, mereka saling pandang
dan Han Han menjadi makin yakin di dalam hatinya bahwa nenek ini tentulah
wanita yang patungnya berada di Pulau Es, suci dari gurunya yang telah membuntungi
kaki gurunya itu. Dan betapa hebat persamaan puteri cantik tadi dengan patung
itu pula!
Orang muda, engkaukah pemuda yang bersama muridku Lulu
tinggal bertahun-tahun di Pulau Es?! Nenek Maya bertanya sambil memandang
tajam.
Karena kini tidak ragu lagi, Han Han lalu menjatuhkan
diri berlutut dan berkata,
‘Benar, subo, harap subo memaafkan kelancangan teecu
yang telah membikin ribut di tempat ini. Teecu tidak tahu bahwa adik teecu
telah menjadi murid subo, dan sesungguhnya teecu hanya mengkhawatirkan
keselamatan Lulu.!
‘Hemmm...., kau menyebut aku subo (Ibu Guru), atas
dasar apa? Tahukah engkau, siapa aku?!
Han Han teringat bahwa seperti juga Khu Siauw Bwee, nenek
buntung yang menjadi gurunya, Nenek Maya ini pun telah mengasingkan diri dan
tidak pernah muncul di dunia ramai, maka tentu saja nenek itu ingin sekaii tahu
bagaimana Han Han dapat mengenalnya.
‘Maafkan teecu kalau keliru. Subo adalah Puteri Maya
yang arcanya pernah teecu lihat di dalam Istana Pulau Es, bersama arca Subo Khu
Siauw Bwee dan Suhu Kam Han Ki.!
‘Aihhhhh....!! Nenek itu terbelalak dan sepasang
matanya berkilat-kilat, ‘Di antara kami bertiga tidak mungkin ada yang
meninggalkan nama di Pulau Es. Bagaimana engkau bisa mengenal nama-nama kami?
Awas, sekali engkau berbohong, aku akan membunuhmu!!
Pandang mata, suara dan sikap nenek ini benar-benar
membuat Han Han mengkirik. Betapa jauh bedanya nenek ini dengan gurunya Si
Nenek Buntung. Nenek ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa, seperti
bukan manusia, akan tetapi di samping kecantikannya, juga memiliki watak yang
mengerikan. Dan tentang kepandaian, tentu saja nenek ini memiliki kesaktian
hebat, hal ini dia tidak ragu-ragu lagi mengingat akan hebatnya kepandaian Khu
Siauw Bwee, nenek yang menjadi gurunya, yang kakinya dibuntungi oleh Nenek Maya
ini.
‘Teecu tidak berani membohong. Tentu subo telah
mendengar penuturan adik teecu tentang pengalaman kami berdua di Pulau Es.
Teecu bersama Lulu memang tadinya tidak tahu sama sekali siapa adanya tiga arca
yang berada di Istana Pulau Es itu. Akan tetapi, teecu telah berjumpa dengan
Subo Khu Siauw Bwee....! Tiba-tiba Han Han menghentikan kata-katanya. Seluruh
urat syaraf di tubuhnya menggetar dan hanya dengan kemauannya yang amat keras
saja ia dapat memaksa dirinya untuk tinggal diam berlutut dan tidak melawan,
mengelak maupun menangkis. Nenek itu telah mencelat ke dekatnya dan tahu-tahu jari
tangan nenek itu telah menyentuh ubun-ubun kepalanya, siap untuk mencengkeram!
Sedikit saja nenek itu menggunakan tenaganya mencengkeram, tentu kepalanya akan
pecah!
‘Orang muda.... hati-hati kau.... kalau bohong....!!
Suara itu terdengar gemetar, agaknya Nenek Maya ini terharu dan terkejut
mendengar bahwa sumoinya itu masih hidup!
‘Teecu bersumpah tidak bohong, subo. Teecu ditangkap
dan kaki teecu dibuntungi aleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai hukuman, teecu
terjerumus ke dalam jurang, hanyut di sungai dan ketika teecu berhasil
mendarat, teecu bertemu dengan Subo Khu Siauw Bwee. Maka teecu lalu memberi
kantung surat, yaitu peninggalan Suhu Kam Han Ki yang teecu bawa dari Pulau Es
untuk teecu sampaikan kepada orang yang berhak. Dan ternyata surat-surat itu
memang ditujukan oleh suhu kepada Subo Khu Siauw Bwee....!
Kembali Han Han menghentikan kata-katanya karena nenek
itu mengeluh lalu terhuyung-huyung ke belakang dan menjatuhkan lagi dirinya di
atas kursi. Wajahnya yang dahulu di waktu mudanya tentu amat cantik itu pucat
sekarang.
‘Teruskan.... teruskan.... apa isi surat-suratnya
itu....!
Diam-diam Han Han berpikir. Biarpun nenek buntung Khu
Siauw Bwee tidak mau menceritakan pengalaman-pengelaman mereka bertiga di waktu
muda ketika mereka berada di Pulau Es, namun ia dapat menduga bahwa tentu
terjadi perebutan cinta antara Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dan
kemudian, melihat sikap Nerek Khu Siauw Bwee ketika membaca surat-surat itu,
jelaslah bahwa sesungguhnya Koai-lojin hanya mencinta Khu Siauw Bwee seorang.
Akan tetapi, kalau ia kemukakan hal ini, bukankah berarti
ia akan menyakiti hati Nenek Maya ini? Dia menjadi tidak tega, bahkan diam-diam
Han Han merasa kasihan kepada nenek ini. Dia sendiri dahulu terpesona oleh arca
nenek ini di waktu muda, demikian cantik jelitanya, seperti bidadari, dan baru
melihat arcanya saja jantung sudah berdebar.
Bab 40
Tadi pun ketika ia melihat puteri Nirahai yang mirip
dengan arca itu, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Betapa
mungkin ia dapat menyakiti hati nenek itu? Akan tetapi, kalau dia tidak
berterus terang, nenek ini yang berwatak luar biasa tentu akan menjadi marah
dan akibatnya tak dapat ia kira-kirakan, yang jelas ia tentu terancam bahaya
maut.
‘Teecu tidak berani membuka surat-surat itu, subo.
Biarpun teecu hanya mengetahui subo bertiga dari arca-arca yang berada di Pulau
Es, namun tentu saja subo bertiga telah teecu anggap sebagai penghuni-penghuni
Istana Pulau Es, dengan demikian menjadi pula guru-guru teecu. Mana berani
teecu membaca surat Suhu Koai-lojin? Teecu hanya membawanya untuk diserahkan
kepada orang yang berhak, dan ternyata memang surat-surat itu ditujukan kepada
Subo Khu Siauw Bwee.!
Kembali terdengar keluhan dari dada nenek itu, keluhan
yang membayangkan kehancuran hati. Kemudian Nenek Maya dapat menguasai dirinya
kembali dan bertanya, suaranya menggetar,
‘Ceritakan, bagaimana sikap sumoi setelah membaca surat
dari suheng itu....!!
Di dalam lubuk hatinya, Han Han sudah dapat menduga
apakah yang dahulu terjadi antara tiga orang gurunya, penghuni-penghuni Pulau
Es yang aneh itu. Sebaliknya bagi yang berkepentingan sendiri harus mengetahui
hal sebenarnya, baik manis maupun pahit, agar tidak selalu menjadi keraguan dan
menimbulkan pertikaian. Nenek Maya ini tentu selalu menyangka bahwa Koai-lojin
mencintanya maka dahulu telah terjadi pertentangan antara dia dan sumoinya.
‘Subo Khu Siauw Bwee setelah membaca surat-surat itu
lalu menangis dan mengatakan mengapa dahulu suhu tidak berterus terang
menyatakan mencinta subo seorang sehingga tidak terjadi pembuntungan kakinya.
Surat-surat itu adalah surat-surat pernyataan cinta....!
Tiba-tiba Nenek Maya menjerit lirih dan menangis
tersedu-sedu. Melihat ini, Han Han menjadi kasihan sekali. Betapa mungkin
seorang wanita yang dahulunya tentu amat cantik jelita seperti bidadari
mengalami penderitaan karena cinta!
Pemuda itu teringat akan syair yang diukir di dinding
Istana Pulau Es, dan dalam keadaan penuh haru dan setengah sadar itu Han Han
lalu mengucapkan syair dengan suara penuh perasaan:
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata: bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang dunia takkan pernah
tercipta!
Betapapun juga,
cinta segi tiga tak membahagiakan
menyenangkan yang satu
menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada
hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulan, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!
Nenek Maya yang tadinya membelalakkan matanya yang basah
itu, memandang dengan bengis dan penuh nafsu membunuh, ketika mendengarkan
syair ini, makin lama makin terbelalak dan wajahnya tidak bengis lagi melainkan
penuh keheranan dan keharuan, kemudian dengan suara serak ia berkata.
‘Orang muda, apa.... apa maksudmu dengan syair
itu....?!
‘Maaf, subo. Saking terharu hati teecu, maka teecu
teringat akan syair yang diukir pada dinding Istana Pulau Es, dan menurut Subo
Khu Siauw Bwee, agaknya syair itu diukir oleh Suhu Koai-lojin.!
Kembali Nenek Maya mengeluh dan menutupkan kedua telapak
tangannya pada mukanya. ‘Ahhh, kasihan.... kasihan sekali suheng....! Biarpun
mencinta sumoi, ternyata tidak mau mengaku karena tidak suka menghancurkan
hatiku! Orang muda, engkau tentu telah digembleng oleh Khu-sumoi, bukan? Cara
engkau meloncat-loncat itu....!
‘Benar, subo. Sesungguhnyalah karena mengingat bahwa
teecu memang sudah menjadi murid suhu dan subo berdua, dan agaknya melihat kaki
teecu yang buntung, maka Subo Khu Siauw Bwee lalu mengajar teecu beberapa
lamanya.!
‘Bagus, karena itu maka engkau tidak kubunuh sekarang!
Dalam cinta mungkin aku telah kalah oleh sumoi, akan tetapi dalam ilmu silat,
aku tidak mau kalah! Sumoi telah menurunkan ilmu silat ciptaannya yang baru
kepadamu, dan aku akan menurunkan kepandaianku kepada muridku Nirahai. Kita
sama lihat saja kelak siapa yang lebih unggul. Aku menitipkan nyawa kepadamu,
bocah, dan kelak Nirahai muridkulah yang akan mengambil nyawamu sekalian
membuktikan bahwa ilmuku masih lebih tinggi daripada ilmu sumoi. Nah, pergilah
sebelum aku menyesal akan keputusanku ini!!
Han Han bukan seorang penakut. Kalau hanya menghadapi
ancaman maut saja, dia sudah berkali-kali mengalaminya. Kedatangannya untuk
mencari Lulu adiknya, tentu saja ia tidak akan mudah diusir pergi dengan
ancaman sebelum ia berhasil mendapatkan adiknya atau setidaknya mengetahui apa
yang terjadi dengan adiknya.
‘Maaf, subo. Tentu saja teecu akan mentaati semua
perintah subo, akan tetapi terlebih dahulu teecu harus dapat menemukan Lulu,
adik teecu dan membebaskannya....!
Nenek Maya menyusut air matanya dan memandang pemuda
berkaki buntung itu. Biarpun hatinya masih merasa panas terhadap sumoinya,
namun diam-diam ia merasa kagum kepada pemuda ini. Memang hanya muridnya
Nirahai itulah yang agaknya merupakan satu-satunya orang yang akan dapat
menandingi pemuda hebat ini. Muridnya itu mempunyai kecerdikan luar biasa,
bakat yang amat hebat dan kekerasan hati yang sukar dicari keduanya.
Betapapun juga, timbul keraguan hatinya apakah Nirahai
akan mampu menandingi pemuda ini dan ia berjanji di dalam hati untuk menurunkan
semua ilmunya yang paling ampuh kepada muridnya itu. Pendeknya, Nirahai tidak
boleh kalah oleh murid Khu Siauw Bwee!
‘Bocah keras kepala, Lulu adalah muridku, siapakah yang
akan mengganggunya? Dia memang ditangkap oleh sucinya karena dia menyeleweng,
akan tetapi kini dia telah melarikan diri ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo
menyerbu tahanan. Entah ke mana perginya bocah yang suka menimbulkan kekacauan
itu, aku tidak tahu.!
Han Han terkejut bukan main. ‘Murid-murid Ma-bin
Lo-mo....? Bagaimana.... apa maksud subo?!
Nenek itu tersenyum dingin dan Han Han kagum melihat
betapa nenek itu ternyata masih mempunyai gigi yang berderet lengkap dan kuat.
‘Siapa tahu dan siapa peduli? Murid-murid Si Muka Kuda itu memberontak
terhadap guru mereka, dan melihat macamnya Ma-bin Lo-mo, jelas bahwa
murid-muridnya tentu lebih baik daripada dia! Kalau aku turun tangan, apa yang
dapat dilakukan mereka? Aku tidak peduli, dan karena Lulu hanya akan mereka
bebaskan dan tidak diganggu, aku tidak peduli. Bocah itu sudah banyak bikin
pusing, sekarang pergi entah ke mana, kau cari sendiri. Nah, sekarang pergilah
dan kalau kau masih tidak taat, kuanggap kau menantangku!!
Han Han menjadi girang akan tetapi juga bingung. Dia
percaya penuh kepada nenek ini, seorang berkepandaian tinggi luar biasa dan
berwatak angkuh, tentu tidak sudi membohong. Yang penting baginya, Lulu sudah
bebas dan perkara mencarinya adalah urusannya sendiri. Maka ia cepat memberi
hormat, kemudian tubuhnya mencelat pergi dari tempat itu.
Sengaja ia mengerahkan tenaga menggunakan kepandaiannya
yang ia dapat dari Khu Siauw Bwee, maka gerakannya pun cepat seolah-olah ia
pandai menghilang dan lenyap dalam sekejap mata dari depan Nenek Maya. Melihat
ini, Nenek Maya menghela napas panjang penuh kagum.
Biarpun Han Han dapat mempercayai keterangan Nenek Maya
bahwa adiknya telah terbebas dari dalam tahanan ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo
menyerbu tahanan, namun ia masih tidak tergesa-gesa meninggalkan kota raja dan
melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya tentang peristiwa itu.
Tentu saja berita penyerbuan itu menggegerkan kota raja
dan hampir setiap orang yang ditanyainya dapat menceritakannya. Akan tetapi, seperti
biasa berita yang merupakan berita angin dari mulut ke mulut, setiap orang
mempunyai cerita yang berbeda, dan tidak seorang pun di antara mereka dapat
memberitahukan secara jelas, juga tidak ada yang tahu ke mana perginya Lulu
yang ikut pula melarikan diri dari tahanan bersama para tahanan lain ketika
murid-murid In-kok-san (Lembah Awan) itu datang menyerbu.
Han Han menjadi bingung dan tidak mengerti kalau ia
teringat akan adiknya. Bukankah menurut keterangan Lauw Sin Lian, adiknya itu
telah menjadi anak angkat mendiang Lauw-pangcu dan telah memihak para pejuang?
Akan tetapi dia berjumpa dengan Lulu di Se-cuan sebagai seorang pemimpin
pasukan Mancu!
Kemudian mendengar Lulu ditangkap oleh Puteri Nirahai dan
menjadi tawanan, sekarang ditolong oleh murid-murid In-kok-san. Sebenarnya, di
pihak manakah Lulu berdiri?
Benar-benar membingungkan dan mau tidak mau Han Han
tersenyum sendiri kalau mengingat ucapan Nenek Maya bahwa Lulu sudah banyak
membikin pusing! Benar-benar anak nakal adiknya itu! Akan tetapi senyumnya
lenyap terganti awan duka kalau ia teringat akan pertemuannya yang terakhir
dengan Lulu. Adiknya itu tentu membencinya!
Lulu, aku harus dapat menemukanmu dan memberi penjelasan,
minta maaf, demikian jerit hatinya dan pemuda ini mengambil keputusan untuk
pergi menyelidik ke In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san. Adiknya dibebaskan
oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo dan dia sendiri tidak tahu mengapa murid-murid
Ma-bin Lo-mo menyerbu istana sedangkan guru mereka sendiri berada di istana
membantu Kerajaan Mancu.
Satu-satunya jalan untuk membongkar rahasia ini dan
bertanya kepada bekas suheng-suheng dan suci-sucinya itu di mana adanya Lulu,
hanya pergi mengunjungi mereka! Selain hendak mencari Lulu atau kalau adiknya
tidak berada di sana, bertanya kepada mereka ke mana perginya adiknya, juga Han
Han ingin mengunjungi kuburan kakeknya, yaitu Jai-hwa-sian Suma Hoat dan ingin
menyelidik tentang riwayat nenek moyangnya.
Hidupnya selalu dirundung malang, dimusuhi sana-sini,
selalu sengsara dan menderita tekanan batin, agaknya hal ini semua terjadi
karena darah keturunannya. Hidupnya seperti hukuman, dan agaknya memang hukuman
karena dosa-dosa nenek moyangnya!
Di sepanjang perjalanannya yang jauh itu, Han Han selalu
merasa hatinya tertindih kedukaan. Kalau ia renungkan dan ingat-ingat, apalagi
di waktu ia menghentikan perjalanan karena malam gelap dan ia duduk mengaso di
bawah pohon, terbayanglah di depan matanya wajah Kim Cu yang berkepala gundul
dan sinar matanya penuh duka, terganti wajah Lu Soan Li yang telah mengorbankan
nyawa untuknya, kemudian bermunculan wajah Lauw Sin Lian, Tan Hian Ceng, di
antara bayangan wajah Lulu dan yang terakhir Puteri Nirahai!
Diam-diam ia mengeluh! Mengapa Kim Cu dan Soan Li
berkorban untuknya? Mengapa mencintanya? Dan Hian Ceng....! Ah, dia, seorang
yang buntung, yang tidak patut mendampingi gadis-gadis cantik jelita itu,
mengapa justeru dia yang mereka cinta? Bukankah hal ini merupakan hukuman
baginya, hukuman karena dosa-dosa nenek moyangnya, terutama sekali kakeknya, Jai-hwa-sian
Suma Hoat?
Han Han mengeluh di dalam hatinya. Mengapa dia, yang
sudah terang merupakan seorang pemuda berkaki buntung, bercacat sehingga tidak
patut mendampingi seorang wanita, apalagi gadis-gadis cantik seperti mereka
itu, kini selalu mengenangkan mereka? Tidak, tidak boleh sama sekali!
Apakah hal inipun merupakan penyakit baginya, penyakit
turunan sehingga ia tidak pernah mampu mengusir bayangan wanita-wanita cantik
itu? Apakah dia pun termasuk seorang yang memiliki darah kakeknya, darah seorang
pria yang mata keranjang? Kembali Han Han mengeluh panjang dan menyandarkan
tubuhnya pada batang pohon, berusaha untuk melupakan semua itu dan untuk tidur.
Dia harus menggunakan kekuatan kemauannya untuk melupakan bayangan-bayangan
wajah ayu itu, kecuali bayangan wajah Lulu, adiknya!
Tentu saja pemuda yang bernasih malang ini tidak tahu
bahwa dia sama sekali bukan menderita penyakit, bukan pula mata keranjang,
melainkan dia pun seorang manusia biasa. Karena usianya sudah dewasa, tentu
saja daya tarik lawan kelamin makin kuat dan tanpa disadarinya, berahinya
terhadap wanita pun makin menguat. Hal ini adalah wajar dan bahkan sudah
semestinya demikian.
Hanya karena pemuda ini telah mengalami hal-hal yang
melukai hatinyai melihat pengorbanan Kim Cu dan Soan Li untuk dirinya, ditambah
pengetahuan bahwa kakeknya seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, maka ia
mengekang rasa tertarik terhadap wanita ini yang dianggapnya sebagai semacam
penyakit dan ia menyalahkan darah keturunannya!
Ketika ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, Han Han
memandang sekeliling dan menghirup hawa segar, hatinya agak terharu mengingat
betapa dahulu, sepuluh tahun lebih yang lalu, ia tinggal di daerah ini sebagai
murid In-kok-san!
Teringatlah ia akan Kim Cu yang semenjak menjadi saudara
seperguruan, selalu bersikap amat baik terhadapnya. Memang belum lama ini dia
kembali ke In-kok-san, akan tetapi sebagai tawanan Toat-beng Ciu-sian-li sampai
kakinya dibuntungi, dan dalam keadaan seperti itu ia tidak dapat menikmati
keindahan alam dan tidak terkenang akan masa kanak-kanak dahulu. Kini ia
berdiri termenung dan barulah ia sadar kembali ketika ia mendengar gerakan kaki
manusia. Ketika ia menengok, ia melihat dua orang laki-laki menggotong sebuah
joli yang tertutup tirai sutera.
Cepat Han Han menyelinap ke belakang pohon karena ia
melihat berkelebatnya bayangan empat orang yang bergerak cepat sekali,
seolah-olah mempunyai niat buruk terhadap joli yang digotong oleh dua orang
itu.
Setelah joli yang digotong lewat dan empat bayangan itu
dekat, Han Han makin tertarik. Ia mengenal empat orang pemuda tampan itu.
Mereka adalah bekas-bekas suhengnya, murid-murid Ma-bin Lo-mo atau murid-murid
In-kok-san! Mau apakah mereka mengikuti joli sambil bersembunyi dan siapa pula
yang duduk di dalam joli?
Tadinya, melihat sikap mereka yang mengancam, ingin Han
Han memperingatkan orang yang duduk di dalam joli, akan tetapi ia segera
menekan kehendak hati ini dengan kesadaran betapa ia selalu mendatangkan salah
paham dan keributan setiap kali turun tangan. Dia tidak akan mencampuri urusan
yang belum diketahuinya benar.
Maka Han Han hanya menyelinap dan mengikuti empat orang
pemuda itu sambil bersembunyi, menggunakan kepandaiannya mencelat ke
tempat-tempat tersembunyi sambil mengintai. Agaknya dua orang penggotong joli
itu hanyalah memiliki tenaga kasar saja, hanya kuat untuk menggotong joli dan
melakukan perjalanan jauh, akan tetapi tidak memiliki kepandaian. Buktinya,
mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa ada empat orang yang kini
membayangi dari dekat.
Kini empat orang murid In-kok-san itu bergerombol di
balik semak-semak, berbisik-bisik kemudian mereka mengayun tangan ke arah joli.
Han Han terkejut sekali melihat sinar-sinar terang menyambar ke arah joli.
Kiranya mereka itu telah menyerang joli dengan senjata-senjata rahasia. Jarum,
piauw, dan uang logam beterbangan dengan jitu menyambar dan menerobos tirai
sutera joli!
Han Han membuka mata lebar-lebar karena tidak terdengar
apa-apa dari dalam joli, bahkan beberapa detik, senjata-senjata kecil itu
beterbangan menyambar dari dalam joli, kembali kepada empat orang penyerangnya
secara cepat sekali, jauh lebih cepat dan kuat luncurannya daripada sambitan
empat orang murid In-kok-san tadi!
Han Han kagum dan juga merasa geli hatinya menyaksikan
betapa empat orang itu berseru kaget dan kacau-balau mengelak dari sambaran
senjata-senjata rahasia mereka sendiri sedangkan dua orang penggotong joli itu
agaknya tidak tahu apa yang terjadi dan terus melangkah maju menggotong joli.
Empat orang murid In-kok-san itu agaknya penasaran dan
marah sekali. Mereka berempat lalu melompat keluar dari batik semak-semak, dan
mencabut senjata sambil berseru keras mereka berempat itu menerjang ke arah
joli. Dua batang pedang dan dua batang golok menyambar dan menusuk ke arah
tirai sutera joli itu, terdengar kain robek ketika empat batang senjata runcing
dan tajam itu menembus tirai menusuk ke dalam joli.
Dua orang penggotongnya baru kaget, melepaskan joli dan
menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan
herannya hati empat orang murid In-kok-san itu ketika senjata mereka memasuki
joli yang kosong....!
Hanya Han Han yang melihat betapa ada bayangan berkelebat
cepat sekali keluar dari joli dari sebelah sana dan bayangan itu kini telah
meloncat dan berdiri di atas cabang pohon sambil tersenyum mengejek. Ketika ia
memandang, kiranya bayangan itu bukan lain adalah Puterai Nirahai yang cantik
jelita!
Kekaguman Han Han makin meningkat. Dapat menangkap
serangan am-gi (senjata gelap) dari dalam joli dan mengembalikannya tanpa
membuka tirai sudah merupakan kepandaian luar biasa, kini dapat menghindarkan
diri dari serangan dengan cara secepat itu hanya dapat dilakukan oleh orang
yang telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi!
Empat orang muda itu adalah murid-murid Ma-bin Lo-mo yang
tentu saja bukan merupakan jago-jago muda sembarangan, namun mereka kini
berdiri bingung dan barulah mereka menggerakkan senjata dibarengi meluncurnya
tubuh wanita jelita itu dari atas pohon menyambar ke arah mereka!
‘Trang-trang-trang-trang....!! Dua batang pedang itu
terlempar ke kanan kiri, disusul robohnya empat orang muda itu dalam keadaan
tertotok lemas dan rebah di atas tanah. Hanya mata mereka saja yang mampu
memandang melotot penuh kebencian kepada Nirahai yang tersenyum lebar.
‘Untung bagi kalian bahwa aku datang membawa tugas
perdamaian dan persahabatan. Kalau tidak, apakah kalian dapat mengharap masih
dapat hidup di saat ini?! Setelah berkata demikian, Nirahai memasuki jolinya
yang sudah robek-robek tirainya itu, memberi isyarat kepada dua orang
penggotongnya.
Dua orang itu bergegas menggotong joli dan cepat-cepat
pergi dari situ, sedangkan dari balik tirai sutera yang robek-robek itu, Han
Han dapat melihat wajah cantik jelita itu mengerling ke arah empat orang murid
In-kok-san sambil tersenyum manis.
Bukan main, pikir Han Han. Puteri itu benar-benar
memiliki kepandaian yang hebat sekali! Lebih hebat daripada kepandaian
datuk-datuk yang pernah ia lawan. Tentu akan merupakan lawan yang amat tangguh!
Ia kagum akan kecantikannya yang mempesonakan, akan persamaannya dengan patung
Puteri Maya di Pulau Es, akan kepandaiannya yang hebat dan akan sikapnya yang
angkuh dan agung terhadap empat orang murid In-kok-san yang sudah jelas
menyerang dengan maksud membunuhnya tadi.
Dengan tenang Han Han lalu menghampiri empat orang murid
In-kok-san yang masih rebah tak berdaya di atas tanah. Mereka itu memandang
terbelalak ketika mengenal Han Han. Pemuda berkaki buntung ini lalu
menggerakkan tongkatnya, empat kali tongkatnya bergerak menotok dan ia telah
berhasil membebaskan empat orang muda itu yang cepat meloncat bangun dan
berdiri di depan Han Han.
‘Engkau.... Han Han-sute....!! Seorang di antara mereka
yang bernama Song Biauw berkata.
Han Han mengangguk. ‘Mengapa kalian menyerang dia?!
Empat orang itu memandang ke arah perginya joli itu dan
Song Biauw berseru marah, ‘Iblis betina itu sungguh lihai! Dialah biang
keladi segala kesengsaraan!! Kemudian ia menoleh kepada Han Han. ‘Kami sudah
mendengar bahwa engkau sekarang menjadi seorang yang memiliki kepandaian
tinggi, sute! Marilah kau bantu kami membunuh iblis betina itu!!
Han Han tersenyum dan menggeleng kepala. Dia terharu
bahwa empat orang ini masih menyebutnya ‘sute!, kemudlan ia bertanya,
‘Ma-bin Lo-mo sendiri membantunya, mengapa kalian memusuhi puteri yang
mewakili kerajaan itu?!
‘Ma-bin Lo-mo iblis tua juga akan kami basmi!! bentak
seorang murid In-kok-san dengan muka merah penuh kebencian.
Han Han diam-diam terkejut. ‘Eh, mengapa kalian
memusuhi suhu kalian sendiri? Kalau kalian memusuhi Kerajaan Mancu, hal ini aku
tidak heran.!
‘Hemmm, agaknya kau belum mendengar akan peristiwa
busuk yang menjadi rahasia iblis tua itu, Han-sute? Engkau tentu sudah tahu
bahwa kami semua murid In-kok-san adalah orang-orang yatim piatu....!
‘Aku tahu, orang tua kalian, seperti juga orang tuaku,
terbunuh oleh pasukan Mancu....! kata Han Han.
‘Bukan!! Song Biauw memotong cepat sambil menggoyang
tangan. ‘Mungkin orang tuamu terbunuh oleh pasukan Mancu, akan tetapi orang
tua kami semua sama sekali tidak terbunuh oleh pasukan Mancu, melainkan dibunuh
secara diam-diam oleh Ma-bin Lo-mo!!
‘Heeehhhhh....?! Han Han benar-benar terkejut sekali
mendengar ini.
‘Iblis tua bangka yang busuk itu! Dia dahulunya
memusuhi penjajah Mancu, dan untuk dapat membentuk pasukan kuat, dia sengaja
memilih anak-anak yang berbakat baik, menggunakan keadaan yang kacau membunuhi
orang tua kami dan kemudian menolong kami dengan pernyataan bahwa orang tua
kami dibunuh orang-orang Mancu. Kami masih terlalu kecil untuk mengerti akan
tipu muslihatnya ini.
Akhir-akhir ini dia menjadi penjilat Mancu sehingga kami
merasa heran sekali dan akhirnya kami dapat mengetahui rahasianya yang membocor
dari istana. Tentu saja kami menjadi sakit hati kepadanya sehingga kami
bersumpah selain memusuhi penjajah, juga akan membunuh bekas guru yang juga
pembunuh orang tua kami itu!!
Han Han mengangguk-angguk. Baru sekarang ia mengerti
mengapa murid-murid In-kok-san menyerbu kota raja. ‘Jadi kalian menyerbu kota
raja, membebaskan tawanan-tawanan, juga dengan maksud untuk mengacau kota raja
dan sekalian mencari Ma-bin Lo-mo?!
Song Biauw berseri wajahnya. ‘Kau sudah mendengar akan
penyerbuan itu? Kami kehilangan belasan orang saudara, akan tetapi kami
berhasil membebaskan banyak tawanan. Kini saudara-saudara kami sebagian sudah
menyeberang ke Se-cuan, maka kami mendengar bahwa engkau telah membantu
perjuangan dan bahkan menjadi panglima di Se-cuan. Kami yang masih tinggal di
sini, mendengar bahwa puncak Tai-hang-san akan dijadikan tempat pertemuan
antara pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kami menghadang di sini untuk
menyerang Ma-bin Lo-mo. Tadi ketika kami tahu bahwa Puteri Nirahai iblis betina
itu datang, kami segera menyerangnya. Siapa tahu dia luar biasa lihainya!!
Han Han menggeleng-geleng kepala. ‘Kalian ini bernafsu
besar dan bercita-cita muluk, akan tetapi kalian bukanlah lawannya, bahkan
kalian berempat takkan mampu mengalahkan Ma-bin Lo-mo.!
‘Masih ada lima orang saudara kami di bawah!! Song
Biauw membentak.
Han Han menghela napas. ‘Aku tidak akan mencampuri
urusan kalian. Kebetulan aku bertemu dengan kalian di sini karena memang aku
ingin sekali bertanya. Ketika kalian menyerbu kota raja membebaskan para
tawanan, terdapat pula adikku Lulu yang ikut melarikan diri. Di manakah dia
sekarang?!
‘Ohhhh.... dia? Puteri Mancu itu? Wah, dia hebat
sekali!! kata Song Biauw dan tiga orang saudaranya mengangguk-angguk. ‘Hanya
karena bantuan dia maka kami dapat menyelamatkan diri keluar dari kota raja,
dan hanya belasan orang yang gugur. Agaknya iblis betina Nirahai sehdiri segan
untuk bersikap keras setelah dia turun tangan membantu kami. Jadi dia adikmu,
Han-sute? Ah, sungguh menyesal sekali, kami tidak tahu ke mana dia pergi karena
begitu kami semua berhasil keluar dari kota raja, dia menghilang.!
Han Han menghela napas panjang. Dia sudah menduga akan
hal ini. Adiknya itu terlalu keras kepala, keras hati dan ingin bebas, tentu
saja tidak mau bersatu dengan orang-orang ini. Entah ke mana sekarang
‘terbangnya! bocah itu!
‘Sudahlah, aku akan mencarinya sendiri. Kunasihati saja
agar kalian tidak terburu nafsu mengandalkan kepandaian. Ma-bin Lo-mo lihai
sekali, juga bekas guru kalian itu mempunyai banyak kawan yang lihai. Kalau
memang kalian ingin berjuang, tempat kalian adalah di Se-cuan di mana dapat
dihimpun kekuatan untuk menghadapi musuh. Nah, selamat berpisah!!
Han Han menggunakan kepandaiannya, sekali mencelat ia
telah berkelebat lepyap dari depan empat orang itu yang memandang terbelalak,
menengok dan mencari-cari ke sana ke mari kemudian saling pandang dengan
melongo. Sukar mereka percaya bahwa pemuda yang kakinya hanya tinggal sebuah
itu dapat bergerak secepat itu.
Sambil berloncatan, Han Han berpikir. Pertemuan di puncak
Tai-hang-san? Pertemuan apakah itu? Apa pula yang akan dilakukan oleh Puteri
Nirahai yang lihai dan cerdik luar biasa itu? Ia tertarik sekali, apalagi dia
mengharapkan bahwa Lulu akan hadir pula di pertemuan aneh itu. Dengan penuh
harapan, Han Han lalu mendaki puncak Tai-hang-san, akan tetapi memilih jalan
yang sunyi karena dia tidak mau mengunjungi pertemuan itu secara berterang.
Dia tidak mau melibatkan diri, dan keinginan satu-satunya
pada saat itu hanyalah mencari adiknya, Lulu. Ia pun bergidik kalau teringat
akan cerita bekas saudara-saudara seperguruannya tadi akan kekejian hati Ma-bin
Lo-mo. Kiranya kakek iblis itu hendak membentuk pasukan terdiri dari
murid-muridnya yang mengandung hati dendam kepada pemerintah Mancu dengan cara
membunuhi orang tua dan keluarga calon para muridnya secara diam-diam, kemudian
menolong calon murid itu dan mengatakan bahwa keluarga si murid dibasmi orang
Mancu.
Cara mengobarkan anti Mancu yang amat curang, licik dan
keji. Lebih menjijikkan lagi, setelah melakukan perbuatan yang tidak mengenal
prikemanuslaan itu, akhirnya kini Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li malah
membalik, mengkhianati perjuangan sendiri dan menjadi kaki tangan Mancu!
Makin dikenang, makin sakit rasa hat Han Han. Bukankah
kedua orang nenek dan kakek itu merupakan orang-orang terakhir di dunia ini
yang masih ‘berbau! keluarga nenek moyangnya sendiri? Merupakan orang-orang
yang masih ada hubungan dengan keluarga Suma yang terkenal jahat di masa lalu?
Teringatlah ia akan cerita yang didengarnya dari mulut Ma-bin Lo-mo sendiri
ketika ia masih menjadi murid In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san ini. Arca
yang dipuja di In-kok-san adalah arca Suma Kiat, guru Ma-bin Lo-mo atau ayah
dari Suma Hoat Si Dewa Cabul atau kong-kongnya sendiri!
Jadi Ma-bin Lo-mo adalah murid dari kakek buyutnya.
Adapun nenek iblis Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang selir dari kakek
buyutnya itu! Hemmm, baru murid dan selir saja sudah merupakan dua orang iblis
yang kejahatannya sukar dicari bandingnya!
Dapat dibayangkan betapa luar biasa jahat dan kejinya
keluarga Suma itu sendiri! Pantaslah kalau dia, sebagai keturunan keluarga
Suma, kini selalu hidup merana dan menderita sengsara, agaknya Thian telah
menghukumnya atas dosa-dosa yang dilakukan nenek moyangnya!
Setelah Han Han tiba di puncak Tai-hang-san, di lembah
In-kok-san, dari jauh ia sudah melihat banyaknya orang yang berkumpul di situ.
Ia cepat menyelinap dan berindap-indap mendekati pekarangan lebar di mana
berkumpul banyak orang yang duduk di bangku-bangku membentuk lingkaran.
Mereka itu terdiri dari orang-orang yang sudah tua dan
bersikap penuh wibawa. Para tamu itu menghadapi pihak tuan rumah yang merupakan
rombongan yang duduk di atas bangku-bangku di depan pondok dan mereka ini
adalah Puteri Nirahai sendiri yang ditemani oleh Ma-bin Lo-mo sebagai pemilik
In-kok-san tempat mereka mengadakan pertemuan, Toat-beng Ciu-sian-li,
Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang lihai,
Thian Tok Lama dan Thian Li Lama!
Han Han yang bersembunyi dekat tempat itu dapat melihat
jelas dan sebagian di antara para tamu ada yang telah dikenalnya. Dari pihak
Siauw-lim-pai hadir Ceng To Hwesio penjaga kuil Siauw-lim-si yang menjadi sute
Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai ditemani dua orang kakek yang setelah Han
Han ingat-ingat ternyata ia mengenalnya sebagai dua orang di antara Kang-lam
Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam).
Dahulunya tiga pendekar itu adalah Khu Ceng Tiam kakek
yang pendek kecil itu, Liem Sian yang tinggi besar, dan orang ke tiga adalah
seorang wanita cantik Bhok Khim yang telah diperkosa Gak Liat Si Setan Botak
dan bahkan yang terakhir bertemu dengan Han Han ketika wanita yang menjadi gila
itu membobol kamar penyiksa diri di Siauw-lim-pai dan melarikan diri membawa
anaknya.
Han Han merasa heran mengapa dalam pertemuan penting ini,
hanya Ceng To Hwesio dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai bukan pendeta ini yang
hadir. Mengapa lima orang tokoh Siauw-lim Chit-kiam tidak hadir pula?
Han Han memperhatikan terus para tokoh yang hadir sebagai
tamu. Ia melihat pula tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang merupakan tosu-tosu tingkat
tiga, tiga orang tosu galak yang pernah bentrok dengan dia dahulu, yaitu Lok
Seng Cu dan Bhok Seng Cu, agaknya tiga orang kakek ini mewakili guru mereka,
ketua Hoa-san-pai untuk hadir di In-kok-san ini.
Selain kedua rombongan wakil Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai, masih banyak terdapat wakil-wakil dari partai-partai persilatan
lain, bahkan di antara mereka pula orang-orang dari Pek-lian Kai-pang, dan
tokoh-tokoh pejuang yang pernah ia jumpai di Se-cuan. Kini dia memperhatikan
Nirahai dan makin kagumlah hati Han Han. Benar-benar ampt hebat gadis itu.
Masih amat muda, wajahnya cantik jelita seperti bidadari,
kadang-kadang demikian lembut seperti setangkai mawar yang bergoyang-goyang
perlahan terhembus angin, kadang-kadang membayangkan kekerasan yang melebihi
baja pilihan. Semuda dan secantik itu telah menjadi seorang pemimpin besar, bahkan
kini mengumpulkan para tokoh perjuangan dan para wakil-wakil partai persilatan
yang jelas merupakan musuh-musuh besarnya. Demikian beraninya gadis ini!
Apa kehendaknya mengumpulkan para pejuang yang bagi
puteri itu tentu dianggap pemberontak-pemberontak ini? Diam-diam Han Han merasa
khawatir. Puteri ini terkenal cerdik sekali dan ahli siasat yang pandai
mengatur tipu-tipu muslihat. Jangan-jangan setelah dikumpulkan di sini, para
pejuang dan tokoh partai-partai besar ini akan dibasmi!
Han Han berlaku waspada dan siap sedia. Kalau benar
seperti itu siasat Nirahai, biarpun dia sendiri tidak peduli lagi akan perang,
terpaksa dia akan turun tangan menentang kecurangan besar ini!
Pada saat itu, agaknya semua tamu telah mengambil tempat
duduk dan terdengarlah suara lantang akan tetapi merdu dari mulut Puteri
Nirahai. Han Han memandang penuh perhatian dan mendengarkan dari tempat
sembunyi. Ia menjadi heran mendengar suara gadis jelita itu, karena biarpun
gadis itu bukan berbangsa Han, akan tetapi suaranya sama sekali tidak kaku,
bahkan kata-katanya teratur dengan rapi, tanda bahwa gadis itu memiliki
pengertian yang baik tentang kesusastraan.
‘Atas nama Kerajaan Ceng-tiauw yang jaya, kami yang
bertugas sebagai wakil kaisar dalam hal ini, menghaturkan banyak terima kasih
kepada para locianpwe dan para enghiong yang telah sudi memenuhi undangan kami
untuk datang berkumpul dan bersama-sama menciptakan perdamaian, persahabatan
dan kerja sama demi kesejahteraan rakyat jelata!!
Han Han mendengarkan dengan kagum. Puteri itu benar
hebat. Selain kata-katanya terdengar rapi teratur, juga nadanya membujuk dan
memuji-muji orang gagah, suaranya mengandung dasar ketenangan sehingga amat
menarik perhatian mereka yang mendengarnya. Selanjutnya, secara singkat namun
padat dan dengan kata-kata teratur baik, puteri itu menjelaskan mengapa
pemerintah Kerajaan Mancu mengulurkan tangan untuk mengajak damai dengan para
orang gagah, terutama dengan partai-partai besar.
Rakyat sudah terlalu lama hidup tertekan dan menderita
sengsara akibat perang, katanya. Karena itu, mengapa perang yang menyengsarakan
itu dilanjut-lanjutkan? Lebih baik semua tenaga rakyat dikerahkan untuk
membangun demi kesejahteraaan hidup rakyat, di bawah pimpinan pemerintah Ceng
yang jaya dan yang memang sudah ditentukan oleh Thian untuk memimpin rakyat
jelata mencapai kemakmuran.
Sejam lebih puteri itu bicara dengan lancar dan tidak
membosankan para pendengarnya. Wajah itu demikian cantik jelita seperti
setangkai mawar sedang mekar dengan segarnya, siapakah yang tidak terpikat dan
siapakah yang akan bosan memandang? Sepasang mata itu berkilat-kilat penuh
semangat dan gairah hidup, bibir yang bergerak-gerak ketika bicara itu demikian
manis, semanis kata-kata yang keluar secara teratur dan indah, seolah-olah
gadis itu bukan sedang berpidato melainkan sedang mendeklamasikan sajak-sajak
indah!
Tubuhnya agak bergoyang, sesuai dengan sikap
kewanitaannya, mengingatkan para pemandangnya akan batang pohon yang-liu
terhembus angin musim semi, meliak-liuk dengan lemas dan indahnya. Setelah
membeberkan rencana kerja pemerintah dan memberikan janji dengan sumpah bahwa
pemerintah tidak akan mengganggu hak milik para tuan tanah dan tidak akan
mengganggu milik rakyat, tidak akan memeras rakyat dengan pajak berat seperti
yang sudah-sudah dilakukan oleh kaisar-kaisar dahulu, berjanji pula akan
menumpas semua kejahatan yang menghimpit penghidupan rakyat, menumpas para
pencopet, pencuri, perampok dan mereka yang masih memberontak, terdengar puteri
jelita itu berkata.
‘Hendaknya cu-wi sekalian tidak membesar-besarkan
perbedaan suku bangsa. Kita seluruhnya merupakan bangsa yang besar, dan jangan
terpengaruh oleh perpecahan-perpecahan yang ditimbulkan oleh para pemberontak.
Kita semenjak dahulu merupakan kesatuan suku bangsa-suku bangsa yang menjadi
bangsa besar. Tentu cu-wi sekalian masih ingat akan nama seorang pahlawan dan
pendekar yang tiada bandingnya selama sejarah berkembang. Siapa yang tidak
pernah mendengar nama julukan pendekar besar Suling Emas? Siapa pula yang tidak
tahu akan sepak terjangnya, yang tidak memperbedakan bangsa, yang bahkan
menjadi suami Ratu Khitan dan mempersatukan suku bangsa-suku bangsa menjadi
bangsa yang besar? Bahkan sesungguhnya bangsa-bangsa pun hanya merupakan
perpecahan yang dibuat-buat oleh manusia sendiri karena sesungguhnya, tanpa
adanya pemecahan bangsa-bangsa, semua manusia di empat penjuru lautan adalah
saudara, seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Kong Hu Cu bahwa
‘Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya!! (Di Empat Penjuru Lautan Adalah Saudara).
Nah, cu-wi sekalian, hendaknya cu-wi percaya bahwa andaikata Pendekar Sakti
Suling Emas sekarang masih hidup, beliau tentu akan menyetujui persatuan di
antara kita, dan sebagai buktinya bahwa saya, Puteri Nirahai, tidak membohong
dan masih mempunyai hubungan dengan keluarga Suling Emas, hendaknya cu-wi
sekalian suka memandang pusaka ini!! Tangan Puteri Nirahai bergerak dan
berkelebatlah sinar kuning emas yang menyilaukan mata. Ternyata sebatang suling
emas telah berada di tangan kanannya dan diangkatnya tinggi-tinggi di atas
kepala.
‘Suling Emas....!! Banyak mulut mengucapkan kata-kata
ini penuh takjub dan hormat, dan mereka yang tadinya masih ragu-ragu, baru
setengah tunduk oleh bujukan kata-kata Puteri Nirahai, kini menjadi tunduk
benar ketika menyaksikan senjata pusaka keramat itu berada di tangan sang
puteri. Biarpun orangnya sudah puluhan, bahkan ratusan tahun tidak ada, namun
nama besar Suling Emas dikenal oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, dan
karenanya, melihat senjata keramat ini semua orang menjadi kagum dan tunduk.
Puteri jelita itu tersenyum girang menyaksikan sikap para
orang gagah itu dan ia melanjutkan.
‘Selain memiliki pusaka keramat ini, juga terus terang
saja tanpa maksud membanggakan dan menyombongkan diri, saya berani mengaku
bahwa saya adalah seorang yang mewarisi ilmu dari pendekar wanita perkasa
Mutiara Hitam. Melihat hubungan saya dengan Suling Emas dan Mutiara Hitam,
masih perlukah diragukan bahwa saya tidak mempunyai niat buruk terhadap cu-wi
sekalian, orang-orang gagah di dunia kang-ouw?!
Semua orang makin tunduk dan keadaan sejenak menjadi
hening. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ceng To Hwesio wakil Siauw-lim-pai,
suaranya tenang namun mengandung wibawa dan suara itu menggetarkan jantung
karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang,
‘Omitohud....! Apa yang diucapkan oleh Kouwnio amat
benar dan melihat senjata keramat itu, siapakah yang tidak akan tunduk?
Siapakah pula orangnya di dunia ini yang menghendaki perang yang hanya akan
menimbulkan kesengsaraan kepada rakyat jelata? Akan tetapi, Kouwnio, pinceng
ingin sekali mengetahui, kalau benar Kouwnio tidak mempunyai niat buruk
terhadap kami, mengapakah dua orang murid Siauw-lim-pai, yaitu Liok Si Bhok dan
Liong Ki Tek, dua di antara Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh?!
Semua orang menjadi tegang hatinya mendengar ini, apalagi
ketika Lok Seng Cu, orang pertama dari tiga orang tokoh Hoa-san-pai, berkata
nyaring.
‘Tepat sekali apa yang diucapkan oleh Ceng To Hwesio.
Kalau tidak mempunyai niat buruk, mengapa tokoh besar Siauw-lim-pai dibunuh
kemudian kesalahannya ditimpakan kepada Hoa-san-pai dengan jalan melemparkan
fitnah?!
Suasana menjadi makin tegang. Apalagi bagi Han Han yang
mengintai dari tempat persembunyiannya, karena dia sebagai orang luar
mengetahui benar akan fitnah itu yang menjadi siasat licin Nirahai, bahkan dia
terlibat dalam urusan itu. Maka pemuda buntung ini mendengarkan penuh perhatian
dan seperti orang-orang yang hadir di situ, ia pun memandang ke arah Puteri
Nirahai, ingin tahu apa yang akan menjadi jawaban puteri itu.
Semua orang tercengang dan terheran melihat puteri cantik
itu tetap tenang, bahkan kini tersenyum manis, sedikit pun tidak menjadi gugup
menghadapi pertanyaan dari pihak Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang merupakan
serangan hebat itu. Puteri itu memandang tajam ke arah Ceng To Hwesio, kemudian
menjura dan berkata, suaranya tetap merdu dan tenang.
‘Maaf, Losuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, juga
pertanyaan dari Totiang wakil Hoa-san-pai yang sifatnya sama, lebih dulu saya
hendak mengajukan pertanyaan dengan harapan agar Losuhu sudi menjawab secara
sejujurnya. Pertama, dalam pertandingan perorangan terdapat istilah curang
kalau orang itu menggunakan cara-cara yang melanggar ketentuan pertandingan.
Akan tetapi, di dalam keadaan perang, terdapat istilah siasat, dan apakah
seorang panglima yang menggunakan siasat dalam perang untuk menjebak pihak
musuh dapat disebut curang pula?!
‘Siasat dalam perang bukahlah kecurangan,! jawab Ceng
To Hwesio dan semua orang mengangguk karena siapakah yang akan dapat mengatakan
bahwa siasat dalam perang itu curang?
‘Terima kasih,! kata Nirahai sambil tersenyum.
‘Pertanyaan ke dua, kalau seorang perajurit dalam perang membunuh lawan,
tanpa peduli siapa lawan yang berada di pihak musuh itu, apakah dia dianggap
bersalah dan menjadi seorang pembunuh keji?!
‘Tentu saja tidak,! jaweb pula Ceng To Hwesio.
‘Membunuh musuh dalam perang merupakan pelaksanaan tugasnya.!
Kini Nirahai tersenyum manis sekali, sepasang matanya
berseri-seri dan suaranya merdu dan nyaring, ‘Terima kasih Losuhu.
Jawaban-jawaban Losuhu memang tepat sekali dan tidak dapat dibantah oleh siapa
pun juga. Nah, sekarang terjawablah pertanyaan-pertanyaan Losuhu sebagai wakil
Siauw-lim-pai dan Totiang sebagai wakil Hoa-san-pai. Sesungguhnya, saya yang
kini mendapat kehormatan memegang pusaka keramat dari pendekar sakti Suling
Emas, dan mengaku sebagai ahli waris ilmu-ilmu pusaka Mutiara Hitam, seujung
rambut pun tidak mempunyai rasa permusuhan, apalagi kebencian terhadap para
orang gagah di dunia kang-ouw. Sebaliknya, saya bahkan menaruh hormat dan
kagum. Akan tetapi mengapa saya membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai? Karena
tugas saya, tugas seorang perajurit kerajaan Ayahanda Kaisar! Dan mengapa pula
saya menggunakan fitnah kepada Hoa-san-pai, menggunakan siasat untuk mengadu
domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Karena tugas saya sebagai panglima
dalam perang! Semua yang saya lakukan itu demi tugas dan terjadi dalam perang.
Permusuhan dalam perang bukanlah permusuhan pribadi, karena kalau peristiwa
yang timbul sebagai akibat perang lalu dijadikan dendam pribadi, saya kira di
dunia ini akan terjadi dendam-mendendam yang tiada habisnya! Saya harap saja
Losuhu wakil Siauw-lim-pai dan Totiang wakil Hoa-san-pai dapat menerima
penjelasan saya ini yang keluar dari hati, bukan sekedar alasan kosong untuk
menghindarkan diri dari kesalahan.!
Semua orang yang mendengar ucapan puteri itu diam-diam
terpaksa harus membenarkannya. Akan tetapi tiba-tiba seorang kakek yang
berpakaian pengemis bangkit berdiri. Han Han dapat menduga bahwa kakek ini
tentulah seorang anggauta Pek-lian Kai-pang, yang dengan sikap gagah berkala
lantang.
‘Semua uraian Kouwnio memang tepat dan sebagai
orang-orang gagah kita harus dapat menangkap kebenarannya. Sudah menjadi hak
dan kewajiban Kouwnio untuk bertugas membela bangsa dalam perang, dan hal ini
memanglah kewajiban suci orang gagah. Akan tetapi, kami pun, orang-orang gagah
yang menjunjung tinggi kepahlawanan, kami berkewajiban pula untuk membela
negara dan bangsa, menentang penjajah tanah air dari bangsa asing! Kalau
sekarang kami menyetujui uluran tangan pemerintah Mancu untuk bekerja sama,
bukankah hal itu berarti hendak menyeret kami patriot-patriot gagah menjadi
pengkhianat-pengkhianat bangsa yang rendah dan hina?!
Semua mata orang gagah yang hadir di situ mengeluarkan
sinar bersemangat, dan Han Han makin tertarik, ingin sekali mendengar bagaimana
tangkisan puteri yang cerdik itu terhadap serangan yang amat hebat ini. Akan
tetapi puteri itu tersenyum dan tetap tenang saja. Setelah memandang ke arah
penyerangnya dengan sinar mata tajam, ia lalu menjawab.
‘Pertanyaan Lo-enghiong mengandung beberapa hal yang
perlu saya jawab satu demi satu. Pertama, Lo-enghieng menyatakan bahwa tanah
air dijajah oleh bangsa asing! Manakah bangsa asing? Bangsa kita yang besar
mempunyai puluhan suku bangsa, di antaranya suku bangsa Khitan, Mongol, Mancu
dan lain-lain suku bangsa yang tersebar di daerah utara dan barat di tanah air
kita yang luas. Jadi kalau sekarang negara berada di dalam bimbingan tangan
suku bangsa Mancu, tidak dapat dikatakan bahwa tanah air dijajah bangsa asing!
Di dalam catatan sejarah masih dapat diperiksa betapa eratnya hubungan antara
suku bangsa-suku bangsa ini. Kalau suku bangsa Mancu dianggap bangsa asing,
bagaimana dengan suku bangsa Khitan? Kalau Khitan merupakan bangsa asing,
apakah cu-wi sekalian hendak mengatakan bahwa pendekar sakti Suling Emas
memperisteri wanita asing? Apakah pendekar wanita Mutiara Hitam juga berdarah
bangsa asing, dan sekarang tidak tepat kalau dikatakan bahwa kaisar yang
bersuku bangsa Mancu merupakan kaisar asing yang menjajah! Lebih tepat
dikatakan bahwa Ayahanda Kaisar telah berhasil menghalau kaisar lalim dan
membebaskan rakyat jelata daripada penindasan!!
Semua orang saling pandang dan kembali uralan itu sukar
mereka jawab secara tepat karena memang mereka tidak dapat memastikan benar
apakah bangsa Mancu termasuk bangsa asing ataukah hanya suku bangsa mereka yang
besar!
‘Sekarang hal kedua. Tadi Lo-enghiong mengatakan bahwa
sudah menjadi tugas kewajiban seorang patriot untuk membela bangsanya. Tepat
sekali! Memang tugas seorang gagah perkasa, seorang patriot untuk membela
bangsanya yang tertindas, akan tetapi bukan sekali-kali berarti bahwa seorang
gagah harus membela kaisarnya yang lalim dan menindas rakyat, bukan? Buktinya,
jauh sebelum suku bangsa Mancu berhasil menumbangkan Kerajaan Beng-tiauw yang
bobrok, telah banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan yang sebetulnya
merupakan usaha dan perjuangan para orang gagah untuk membela rakyat yang
tertindas dan mengenyahkan kaisar dan antek-anteknya yang lalim. Lo-enghlong
sendiri kalau saya tidak salah duga, tentulah anggauta Pek-lian Kai-pang dan
apakah Pek-lian Kai-pang itu? Bukankah perkumpulan orang gagah ini merupakan
kelanjutan daripada Pek-lian-kauw, perkumpulan yang dahulu tak pernah berhenti
berusaha menggulingkan kaisar lalim dari Kerajaan Beng-tiauw? Nah, dengan
demikian, bukankah usaha suku bangsa Mancu pun merupakan perjuangan untuk
membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat penindasan Kerajaan Beng-tiauw yang
tidak becus? Dengan demikian, antara kami dengan cu-wi sekalian terdapat
cita-cita yang sama, yaitu membebaskan rakyat dari penindasan. Kita sama-sama
pejuang dan karenanya sudah sepatutnya kalau kita bergandengan tangan, bekerja
sama untuk mengangkat rakyat yang sudah ratusan tahun ditindas itu agar mereka
hidup makmur!!
Han Han memandang dengan mata terbelalak. Kagum bukan
main hatinya. Wanita ini benar-benar luar biasa, pikirnya dan jantungnya
berdebar-debar ketika ia memandang wajah yang cantik itu. Getaran yang aneh
seperti terpancar keluar dari wajah itu dan menyentuh lubuk hatinya, membuat ia
kagum dan terpesona.
Biarpun semua orang kini tak mampu lagi berkutik, kakek
pengemis yang berhati keras itu masih tidak mau menyerah kalah. ‘Kouwnio,
kalau benar bahwa kerajaan yang baru ini mengulurkan tangan kepada para
patriot, mengapa sampai sekarang Se-cuan diserang terus? Bukankah Bu-ongya juga
seorang patriot besar yang mengorbankan segalanya untuk mempertahahkan nusa
bangsanya?!
Wajah puteri itu yang tadinya berseri dan
tersenyum-senyum, kini berubah keras, matanya bersinar tajam berwibawa, dan
suaranya nyaring berkata, ‘Bu Sam Kwi sama sekali bukan seorang pejuang yang
membela rakyat! Dia berjuang untuk kepentingan sendiri, untuk menjadi raja!
Lebih buruk lagi, dia adalah pengkhianat yang bermuka dua!!
Semua orang terkejut mendengar ini dan ada yang
mengeluarkan seruan-seruan marah dan penasaran. Melihat ini, Nirahai cepat
menyambung, ‘Hendaknya cu-wi sekalian jangan silau oleh tipuan pengkhianat
licik itu dan marilah kita ikuti riwayatnya! Bu Sam Kwi dahulunya siapa? Dia
seorang panglima Kerajaan Beng-tiauw. Dan dia telah memberontak terhadap
Kerajaan Beng-tiauw! Dengan dalih hendak membasmi Kaisar Beng-tiauw yang lemah
dan lalim, dia mengajak suku bangsa Mancu yang pada waktu itu dipimpin oleh
Paman Pangeran Dorgan untuk bersekutu. Setelah kami berhasil menyerbu ke
selatan, Bu Sam Kwi memperlihatkan muka ke dua dan memusuhi kami! Dia tidak
hanya berkhianat terhadap Beng-tiauw, akan tetapi berkhianat pula terhadap
kerajaan baru! Orang macam itu mana ada harganya? Dia melawan kerajaan baru
semata-mata karena hendak mengangkangi kerajaan dan hendak mengangkat diri
sendiri menjadi raja, sama sekali bukan hendak membela rakyat! Hal ini
diketahui baik oleh Pangeran Kiu yang bijaksana sehingga kini Pangeran Kiu yang
diwakili oleh kedua orang pendeta Lama yang terhormat ini, Thian Tok Lama dan
Thai Li Lama, bersama-sama suku bangsa Tibet menerima uluran tangan kami. Bu
Sam Kwi mengobar-ngobarkan perang, membuat rakyat makin sengsara. Akan tetapi,
dia hanya tinggal menanti saatnya untuk kami hancurkan. Sekali lagi, harap
cu-wi tidak tertipu oleh kepalsuan orang yang bermuka dua itu!!
Hening sampai lama sekali setelah Nirahai mengeluarkan
ucapan yang penuh semangat ini. Kakek pengemis mengeritkan keningnya, berpikir
dan menjadi ragu-ragu akan pendiriannya semula. Tiba-tiba terdengar Ceng To
Hwesio berkata.
‘Bagaimana kami dapat mengetahui bahwa pemerintah baru
ini tidak sama buruknya dengan yang lama? Apakah buktinya bahwa suku bangsa
Mancu yang telah berhasil memegang pimpinan ini mempunyai niat yang mulia
terhadap rakyat?!
Kembali Nirahai tersenyum. ‘Pertanyaan yang tepat dan
penting, Losuhu dan jawabannya tentu saja memerlukan bukti! Saya tidak akan
membujuk cu-wi sekalian orang-orang gagah untuk percaya begitu saja. Akan
tetapi marilah kita sama-sama membuktikan sendiri! Saya pun mempunyai darah
keturunan keluarga Suling Emas, tanpa malu-malu saya pun menggolongkan diri
sebagai ksatria. Andaikata kelak ternyata bahwa kaisar kita lalim, biarpun
kaisar itu Ayah saya sendiri, apakah saya akan tinggal diam? Tidak, saya tetap
akan bergandeng tangan dengan cu-wi untuk menentang kelaliman dan membela
rakyat yang tertindas!!
Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini dan Han
Han menarik napas panjang. Wanita hebat! Sukar dicari keduanya! Cantik jelita,
lihai ilmunya dan cerdik bukan main, akan tetapi juga gagah perkasa. Dia mau
percaya bahwa seorang seperti Puteri Nirahai itu tentu akan memegang janjinya.
‘Baiklah, Kouwnio. Pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai
berjanji akin menarik semua murid Siauw-lim-pai, tidak akan mencampuri urusan
perang. Akan tetapi jangan dikira bahwa kami akan menjadi penonton yang hanya
berpeluk tangan saja. Kalau kelak ternyata bahwa pemerintah ini sama buruknya
dengan yang lalu, tentu kami akan mencabut senjata lagi melakukan pembalasan
terhadap rakyat yang tertindas!!
‘Kami juga berjanji!!
‘Kami juga!!
‘Kami juga!!
Ramailah para tamu yang hadir itu membuka suara, dan
biarpun ada yang hanya tinggal diam, namun jelas bahwa yang setuju untuk
berdamai jauh lebih besar jumlahnya, sedangkan yang membantah tidak ada seorang
pun. Setelah semua diam terdengar Ceng To Hwesio berkata, suaranya keren.
‘Kouwnio, ada sebuah hal yang dapat kita pergunakan
untuk membuktikan sampai di mana iktikad baik pemerintah baru.!
‘Harap Losuhu katakan tanpa ragu-ragu. Hal apakah itu?!
Nirahai bertanya ramah.
‘Pemerintah yang baik tidak akan mempergunakan kaki
tangan yang jahat, dan kalau memang pemerintah menghargai orang-orang gagah,
tentu tidak akan melindungi orang jahat pula.!
‘Maksud Losuhu bagaimana?!
‘Terus terang saja, biarpun kini urusan pemerintah
telah dapat diselesalkan dengan damai dan tidak mencampuri perang, akan tetapi
bagaimana dengan permusuhan pribadi?!
Sepasang mata itu dengan tajamnya menyambar dan menentang
wajah hwesio tua itu. ‘Maksud Losuhu? Ingat bahwa semua yang saya lakukan
dahulu adalah sebagai lawan dalam perang!!
Hwesio itu tertawa. ‘Kouwnio agaknya salah mengerti.
Dengar Kouwnio, sungguhpun Kouwnio telah membunuh dua orangn murid
Siauw-lim-pai, akan tetapi persoalan itu telah beres oleh penjelasan Kouwnio
tadi. Yang pinceng maksudkan adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat yang kini menjadi
pembantu Kouwnio!!
Nirahai melirik ke arah Gak Liat lalu berkata sambil
lalu, ‘Losuhu maksudkan bahwa antara Losuhu dan Gak-locianpwe terdapat urusan
pribadi?!
‘Benar, Kouwnio. Urusan pribadi yang tidak ada
sangkut-pangkutnya dengan urusan perang, kejahatan Kang-thouw-kwi terhadap
murid Siauw-lim-pai yang hanya dapat ditebus dengan nyawa!!
Nirahai mengerutkan keningnya, kemudian menggerakkan
kedua pundak mengembangkan kedua lengan sambil berkata, ‘Kita berada di
antara para orang gagah. Pemerintah berpendirian untuk membasmi kejahatan,
untuk melindungi rakyat. Apabila di antara para orang gagah ada dendam pribadi,
tentu saja pemerintah mempersilakan mereka untuk menyelesaikan urusan mereka
tanpa campur tangan, bahkan kami berjanji untuk menjadi saksinya agar
penyelesaian urusan pribadi itu dilakukan dengan seadil-adilnya, tidak ada
pengeroyokan, tidak ada kecurangan!!
‘Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Sang Puteri benar-benar
telah bersikap adil. Nah, orang-orang Siauw-lim-pai! Kalau memang kalian
mempunyai dendam terhadap diriku, mari kita bereskan sekarang juga!!
Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah meloncat ke depan dan dengan sikap menantang
memandang kepada Ceng To Hwesio.
Ceng To Hwesio menggerakkan lengan bajunya yang lebar.
‘Omitohud! Kang-thouw-kwi Gak Liat yang terkenal sebagai seorang datuk kaum
sesat, tentu tidak akan bersikap pengecut dan berani mempertanggungjawabkan
kedosaannya! Apakah engkau sudah merasa akan dosamu terhadap Siauw-lim-pai?!
‘Ha-ha-ha-ha! Dosa? Dosa itu apakah? Kau maksudkan
murid wanita, seorang di antara Kang-lam Sam-eng itu? Ha-ha! Itu kau anggap
dosa?!
‘Gak Liat, manusia berwatak binatang! Siaplah engkau
menghadapi pinceng! Sekaranglah, di depan para orang gagah, kita membuat
perhitungan!! Sambil berkata demikian, Ceng To Hwesio melolos sabuknya dan
sekali ia menggerakkan tangan, sabuk kain berwarna kuning itu menjadi kaku
seperti baja! Hal ini membuktikan betapa kuat sin-kang dari hwesio tua ini dan
semua tamu memandang dengan hati tegang.
Akan tetapi Gak Liat tertawa bergelak, kemudian suara
ketawanya itu tiba-tiba terhenti, matanya melotot memandang hwesio itu dan
terdengar suaranya bernada sombong.
‘Hwesio bosan hidup! Siapa kau? Kalau hendak membalas
dendam, kenapa tidak Ceng San Hwesio ketuamu saja yang maju menghadapi aku?!
‘Tidak perlu ketua kami! Untuk menghajar seekor anjing
perlu apa menggunakan penggebuk besar? Pinceng Ceng To Hwesio mewakili suheng
untuk membalas dendam terhadap kebiadabanmu! Majulah, Kang-thouw-kwi!!
‘Susiok-couw (Paman Kakek Guru), karena dia berdosa
terhadap sumoi, biarkan teecu yang melayaninya!! Khu Cen Tiam, orang tertua
dari Kang-lam Sam-eng, menggerakkan cambuk besinya meloncat maju. Orang yang
pendek kecil ini merasa sakit hati sekali terhadap Gak Liat yang telah
memperkosa Bhok Khim, sumoinya yang tersayang sehingga ia lupa diri dan hendak
nekat mengadu nyawa.
Akan tetapi Ceng To Hwesio yang maklum bahwa cucu
keponakan ini masih jauh untuk dapat melawan datuk kaum sesat itu, membentaknya
dan menyuruhnya minggir. Kemudian Ceng To Hwesio menghadapi Gak Liat sambil
melintangkan sabuknya dan menantang.
‘Mari, Kang-thouw-kwi. Kita tua sama tua mengakhiri
perhitungan kita di sini!!
‘Ha-ha-ha, aku telah siap sejak tadi. Kalau kau memang
sudah bosan hidup, maju dan seranglah, Ceng To Hwesio!!
‘Omitohud, ijinkan hamba membasmi manusia iblis ini,
bukan karena benci, melainkan untuk menyelamatkan manusia-manusia lain!! Ceng
To Hwesio berkata lirih seperti berdoa, kemudian tubuhnya bergerak dan ia sudah
menerjang maju, sabuknya menyambar ke arah muka Gak Liat.
Setan Botak ini tertawa, melangkah mundur dan membiarkan
sabuk lewat di depan mukanya, tangan kirinya sudah diluncurkan ke depan
mencengkeram ke arah pusar lawan. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang
hebat bukan main. Semua penonton, termasuk Han Han, memandang penuh ketegangan.
Ceng To Hwesio adalah sute dari ketua Siauw-lim-pai. Ilmu
kepandaiannya biarpun belum dapat disejajarkan dengan Ceng San Hwesio, namun
sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi setingkat kalau dibandingkan dengan
seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Juga hwesio tua ini telah berpuluh tahun
hidup bersih sehingga ia telah berhasil menghimpun tenaga dalam yang kuat di
tubuhnya. Namun, menghadapi Gak Liat yang tingkatnya sebanding dengan ketua
Siauw-lim-pai, ia masih kalah jauh.
Betapapun juga, hwesio yang berkemauan keras untuk
menyingkirkan lawan yang dianggapnya amat jahat seperti iblis ini, tidak jerih
dan cengkeraman itu dapat ia elakkan dengan meloncat ke samping dan dari
pinggir ini, sabuknya yang telah ia gerakkan menjadi kaku itu menyodok ke arah
perut Setan Botak. Namun datuk kaum sesat ini tertawa dan sengaja menerima
sodokan itu dengan memasang perutnya menyambut.
‘Dukkk! Wuuuttttt!!
‘Aihhh....!!
Ceng To Hwesio mploncat tinggi ke belakang dan hampir
saja ia celaka. Ketika sabuknya yang menjadi kaku menyodok perut, ia merasa
betapa senjatanya itu membalik, bertemu dengan benda yang seperti karet, dan
tangan Gak Liat sudah melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang mengandung
hawa panas melebihi api. Biarpun hwesio Siauw-lim-pai ini sudah meloncat dan
menghindar, pundaknya kena diserempet hawa pukulan dan terasa panas sekali,
bahkan bajunya robek dan kulitnya gosong menghitam!
‘Ha-ha-ha-ha! Begitu saja kepandaianmu, Ceng To
Hwesio?! Gak Liat tertawa bergelak.
Nirahai mengerutkan keningnya. Dia maklum bahwa hwesio
Siauw-lim-pai itu bukanlah lawan Gak Liat yang lihai. Dia tidak memihak Gak
Liat, sebaliknya malah hatinya condong memihak kepada hwesio Siauw-lim-pai
karena dia dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri murid wanita
Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi, dia pun masih membutuhkan tenaga bantuan
seorang lihai seperti Gak Liat. Biarlah, pikirnya, makin banyak permusuhan
diselesaikan makin baik agar pemerintah tidak banyak pusing menghadapi permusuhan-permusuhan
pribadi antara tokoh-tokoh kang-ouw ini.