Akan tetapi tak lama kemudian Kim-mo Taisu membuka mata
dan tangannya bergerak perlahan menolak tangan muridnya, bahkan memberi tanda
dengan tangan agar muridnya keluar dari tenda. Ia bangkit duduk dengan susah
payah. Bu song dengan hati terharu membantu gurunya bersila, kemudian melihat
gurunya duduk diam meramkan mata, ia tidak berani mengganggu dan hendak keluar
memenuhi permintaan gurunya dengan isyarat tangan tadi.
Pada saat itu tampak sinar menyambar-nyambar dari luar
tenda. Kiranya benda-benda itu adalah hui-to (pisau terbang) yang dilontarkan
dengan kuat, bagaikan anak-anak panah meluncur ke seluruh bagian tubuhnya yang
berbahaya.
Bu Song terkejut, namun tidak gugup. Dengan cepat dan
tenang, kedua tangnnya bergerak dan berhasil menyampok runtuh pisau-pisau
terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil menendang pergi empat buah hui-to!
Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo
bersama sepuluh orang yang semua memegang sebatang pisau seperti yang menyambar
tadi. Teringatlah Bu Song ketika ia masih kecil, melihat dua orang anggota
Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang itu terbunuh
oleh Kong Lo Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo
ini adalah anggauta-anggauta Hu-to-pang.
‘Hek-giam-lo, kau kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini
apakah orang-orang Hui-to-pang?!
‘Wah, bocah ini mengenal kita!!
Seorang di antara pemegang pisau itu berseru dan
tiba-tiba pisau di tangannya menyambar ke arah leher Bu Song. Bu Song sengaja
memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia tidak mengelak,
melainkan membuka mulut dan ‘menangkap! pisau itu dari samping dengan
giginya! Kemudian sekali meniup, pisau itu meluncur cepat dan menancap pada
batang pohon sampai ke gagangnya!
‘Jangan mencari perkara, harap kalian pergi!! kata Bu
Song, teringat akan pesan suhunya.
‘Si Tua Bangka sedang terluka, serbu!! teriakan ini
keluar dari balik kedok tengkorak dan menyerbulah sepuluh orang itu, juga
Hek-giam-lo mengurung Bu Song! Hek-giam-lo sudah mempunyai senjata baru, yaitu
sabit bergagang panjang yang mengerikan. Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak
senjata macam ini sehingga begitu senjatanya rusak, ia sudah memiliki gantinya.
Bu Song mencabut sulingnya dan cepat ia melompat ke depan
menyambut serbuan mereka. Dengan pengerahan tenaga sakti, ia menangkis sabit
Hek-giam-lo mengeluarkan seruan aneh seperti orang menangis ketika sabitnya
dihantam membalik. Akan tetapi Bu Song tidak dapat balas menyerang karena ia
harus menghadapi para anggauta Hui-to-pang yang ternyata merupakan orang-orang
lihai pula. Permainan golok mereka luar biasa, juga amat teratur merupakan
barisan golok yang saling berantai, saling Bantu dan saling susul amat rapi!
Dalam kemarahannya menyaksikan kecurangan Hek-giam-lo dan orang-orang ini yang
hendak mendesak gurunya yang terluka parah, Bu Song mengeluarkah semua
kepandaiannya dan dengan lengking tinggi yang keluar dari lubang sulingnya,
senjata istimewa ini berhasil menotok roboh seorang pengeroyok dan orang ke dua
yang agaknya menjadi gentar oleh lengking suling, kena dihantam oleh tangan
kiri Bu Song sehingga roboh bergulingan dan tidak mampu bangkit kembali!
‘Hek-giam-lo manusia curang! Diantara Suhuku dan engkau
tidak ada permusuhan, mengapa kau mendesaknya?! Bu Song masih mampu melontarkan
pertanyaan ini sambil memutar sulingnya dan berloncatan ke kanan kiri. Akan
tetapi Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus seperti seekor lembu,
bahkan menerjang makin galak.
Bu Song teringat betapa isteri gurunya juga tewas oleh
seorang tokoh Hui-to-pang yang disuruh Kong Lo Sengjin, maka kemarahannya
menjadi-jadi. Ia hanya tidak mengerti mengapa Hek-giam-lo memusuhi gurunya.
Bukankah Hek-giam-lo tadinya muncul dalam barisan Khitan? Mengapa pula
Hek-giam-lo kini mengajak orang-orang Hui-to-pang untuk mengeroyok gurunya yang
sudah terluka parah? Tentu saja Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa
Hek-giam-lo ini bukan lain adalah Bayisan! Hek-giam-lo selalu mengenakan kedok
tengkorak untuk menyembunyikan mukanya yang rusak dan mengerikan, bahkan
menakutkan.
Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan cerita ini,
Bayisan yang menjadi Panglima Muda Khitan, adalah murid Ban-pi Lo-cia, murid
terkasih yang telah mewarisi ilmu kepandaian kakek raksasa itu. Karena
tergila-gila kepada Puteri Tayami, ia hendak memaksa puteri itu menjelang
pembunuhan Raja Kulukan, ayah Puteri Tayami. Tentu saja yang melakukan
pembunuhan gelap itu bukan lain adalah Bayisan sendiri yang bersekongkol dengan
Pangeran Kubakan putera selir raja yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya
yang ia suruh bunuh sendiri. Akan tetapi, tanpa disengaja, untuk melindungi kehormatannya
yang hendak diperkosa oleh Bayisan, Puteri Tayami telah menaburkan racun pada
muka Bayisan yang tadinya tampan sehingga muka Bayisan terbakar dan berubah
menjadi seperti muka setan yang menakutkan. Semenjak malam itu, Bayisan
melarikan diri dan tidak berani mucul lagi di muka umum. Khitan kehilangan
Bayisan yang melarikah diri ke hutan-hutan. Namun diam-diam Bayisan memperdalam
ilmunya dengan hati penuh dendam. Beberapa tahun kemudian, Khitan menjadi
gempar dengan munculnya seorang tokoh berkedok yang menamakan diri Hek-giam-lo.
Akan tetapi karena ilmu kepandaian Si Kedok Tengkorak ini amat tinggi, ditambah
pula agaknya Raja Kubakan bersahabat baik dengan Hek-giam-lo serta
mempercayainya sebagai pengawal, maka tidak ada orang yang berani mencari tahu
akan keadaan atau riwayatnya. Sesungguhnya, Hek-giam-lo ini pulalah yang telah
diam-diam menewaskan Tayami dan suaminya, Salinga, di dalam perang. Menewaskan
dengan cara curang dari belakang selagi suami dan isteri yang patriotic ini
maju perang membela bangsanya!
Oleh karena Hek-giam-lo adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu
saja ia mendendam karena Kim-mo Taisu yang telah menewaskan gurunya. Namun hal
ini tidak ada seorangpun yang tahu, juga orang-orang yang terkenal di Khitan
tidak ada yang tahu, tidak ada yang menduga bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan
itu sebetulnya adalah Bayisan, bekas Panglima Khitan yang dulunya tampan itu.
Tentu saja hanya Raja Kubakan yang tahu dan menerima
sahabatnya itu, juga sutenya, Lauw Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh
Kim-mo Taisu. Tewasnya gurunya dan buntungnya kedua kaki Lauw Kiat membuat
Hek-giam-lo marah sekali dan belum merasa puas kalau belum dapat membunuh
Kim-mo Taisu! Inilah sebabnya mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang
tidak tahu duduk persoalannya, tentu saja merasa heran dan marah.
Juga orang muda ini tidak tahu mengapa Hui-to-pang
memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang membunuh isteri gurunya, yang disuruh oleh
Kong Lo Sengjin, adalah orang Hui-to-pang. Hal ini juga ada sebab-sebabnya.
Ketika Kim-mo Taisu masih merantau sebagai seorang pendekar gembel gila, di
kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung, Kim-mo Taisu pernah bentrok dengan
ketua Hui-to-pang. Persoalannya adalah karena Ketua Hui-to-pang menggunakan
kekuasaan dan pengaruhnya merampas dengan paksa seorang gadis yang dicintai
puteranya. Puteranya jatuh cinta kepada seorang gadis anak pedagang kulit di
kota itu. Maka diajukannya pinangan. Akan tetapi ayah si gadis menolak pinangan
itu dengan alasan bahwa puterinya sejak kecil telah dipertunangkan dengan
keluarga lain. Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena tidak suka bermantukan
putera Ketua Hui-to-pang yang terkenal sebagai perkumpulan tukang-tukang pukul.
Kalau saja Ketua Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar
penolakan yang sesungguhnya, agaknya ia pun tidak akan memaksa setelah
mendengar gadis itu sudah dipertunangkan dengan orang lain. Akan tetapi begitu
mendengar alasan penolakan yang sesungguhnya, ia menjadi marah sekali. Toko Si
Penjual Kulit diobrak-abrik, Si Penjual Kulit dan isterinya mati terbunuh dan
anak perempuannya diculik! Kebetulan pada hari itu Kim-mo Taisu lewat di kota
itu. Mendengar peristiwa ini bangkitlah jiwa pendekarnya dan malam hari ia
mendatangi gedung Ketua Hui-to-pang. Kemarahannya memuncak ketika mendengar betapa
gadis itu menggantung diri sampai mati setelah menjadi korban keganasan putera
Ketua Hui-to-pang.
Pertempuran terjadi dan Ketua Hui-to-pang yang tadinya
memandang rendah kepada gembel gila itu dan yang marah karena Kim-mo Taisu
dianggap terlalu lancang dan usil mengurusi urusan ‘sepele! orang lain,
ternyata kalah dan terluka! Ketika para anggauta Hui-to-pang hendak mengeroyok,
Kim-mo Taisu berhasil menangkap putera Ketua Hui-to-pang dan dijadikan perisai
sehingga ia berhasil keluar. Saking marahnya, ketika hendak meninggalkan tempat
itu dan membebaskan putera Ketua Hui-to-pang, Kim-mo Taisu membuntungi ujung
hidung dan kedua telinga pemuda hidung belang itu!
Inilah sebab-sebab permusuhan dan dendam Hui-to-pang
kepada Kim-mo Taisu, dan tokoh yang berhasil dihasut Kong Lo Sengjin dan
membunuh isteri Kim-mo Taisu adalah adik kandung Hui-to-pangcu (Ketua) sendiri.
Demikianlah tidak mengherankan apabila kini mereka bersekongkol dengan
Hek-giam-lo untuk mengeroyok Kim-mo Taisu. Apalagi ketika mendengar dari Kong
Lo Sengjin bahwa dua orang tokoh mereka yang berusaha menawan sastrawan Ciu
Gwan Liong dalam usaha mereka merampas dan mencari kitab dan suling pemberian
Bu Kek Siansu itu terbunuh oleh Kim-mo Taisu! Dendam mereka makin mendalam.
Memang kakek tua renta yang lumpuh, Kong Lo Sengjin, bekas raja muda itu amat
licin, penuh tipu muslihat dan curang. Pandai ia melempar batu sembunyi tangan,
melemparkan kesalahan ke pundak orang untuk mengadu domba!
Biarpun dua orang anggauta pimpinan Hui-to-pang sudah roboh
oleh totokan suling dan pukulan tangan kiri Bu Song, namun jumlah mereka masih
delapan orang dan karena kini mereka bergerak hati-hati dan tidak berani
memandang rendah lawan muda ini, keadaan mereka menjadi lebih kuat daripada
tadi. Apalagi Hek-giam-lo juga mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat.
Pertandingan di luar tenda itu benar-benar seru dan mati-matian.
Namun Bu Song seperti seekor burung garuda yang mengamuk
Setelah mendapat gemblengan Bu Tek Lojin, gerakannya luar biasa sekali. Apalagi
senjatanya merupakan senjata yang ampuh dan aneh, terbuat daripada logam yang
tampaknya seperti emas, akan tetapi sesungguhnya merupakan logam campuran yang
ajaib, yang menjadi lebih ampuh lagi karena benda ini tadinya milik Bu Kek
Siansu, seorang pertapa yang sudah dijuliki dewa oleh tokoh-tokoh besar
persilatan. Sepak terjangnya hebat menggetarkan para pengeroyoknya dan beberapa
kali orang-orang Hui-to-pang itu kehilangan golok mereka yang terbang atau
runtuh begitu terbentur suling yang mengandung tenaga sin-kang mujijat!
Tiba-tiba orang-orang Hui-to-pang ini meloncat mundur dan
begitu tangan mereka bergerak, golok terbang melayang dan meluncur cepat
menghujani tubuh Bu Song! Bu Song kaget dan marah sekali, Ia memutar sulingnya
dan menerjang maju, dengan tidak terduga-duga ia menggunakan kedua kakinya
melakukan tendangan berantai dan robohlah dua orang Hui-to-pang setelah tubuh
mereka mencelat sampai lima meter lebih! Namun pada saat itu, selagi Bu Song
masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan hui-to dari empat penjuru,
tiba-tiba terdengar angin keras dan berkelebatlah belasan batang hui-to yang
mengeluarkan sinar menyilaukan mata! Inilah Cap-sha-hui-to (Tiga belas Golok
Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo!
Ketika Bayisan menyembunyikan diri, ia pernah mempelajari
ilmu golok terbang dari Ketua Hui-to-pang, yaitu melontarkan golok sebagi
senjata rahasia. Dan karena tingkat kepandaiannya memang amat tinggi, bahkan
lebih tinggi daripada Ketua Hui-to-pang sendiri, maka begitu ia mendapatkan
rahasia ilmu melontarkan golok terbang ia dapat menciptakan ilmu ini yang lebih
hebat daripada orang yang mengajarnya. Ia dapat menciptakan golok yang
gagangnya melengkung sehingga kalau ia melontarkannya, golok itu dapat terbang
kembali kepadanya apabila tidak mengenai lawan dan dapat ia sambut dan
pergunakan lagi! Lebih hebat pula, kedua tangannya dapat melontarkan tiga belas
batang golok terbang sekaligus! Ini memang hebat luar biasa, karena
Hui-to-pangcu sendiri, ketua Perkumpulan Golok Terbang, hanya dapat melontarkan
sebanyak tujuh batang golok!
Menghadapi serangan ini, Bu Song terkejut dan tentu saja
ia memutar sulingnya menangkis sambil mengelak. Akan tetapi ia sama sekali
tidak mengira bahwa golok yang tidak mengenai sulingnya, dapat terbang
membalik. Ada tiga batang yang terbang membalik sehingga ia amat kaget dan
berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi kurang cepat dan sebatang golok milik
Hek-giam-lo menancap di pundak kirinya!
Melihat hasil ini, enam orang Hui-to-pang menyerbu
serentak dengan tusukan dan bacokan golok yang datang bagaikan hujan ke arah
tubuh Bu Song. Bu Song mengeluarkan suara keras dari kerongkongannya, suara
keras yang mengiringi pengerahan tenaga dalam, memutar sulingnya untuk
melindungi tubuh karena Hek-giam-lo pun sudah menerjangnya lagi. Pundaknya
terasa sakit dan panas sekali sehingga lengan kirinya hampir lumpuh. Keadaannya
berbahaya sekali, namun Bu Song menggigit bibir dan memutar suling, mengambil
keputusan akan melindungi suhunya sampai titik darah terakhir.
Pada saat itu tiba-tiba Kim-mo Taisu muncul di pintu
tenda. Mukanya tidak kelihatan pucat, matanya berkilat penuh wibawa, sikapnya
menantang dan dia membentak,
‘Hek-giam-lo, kau masih tidak mau pergi? Orang-orang
Hui-to-pang, belum puaskah kalian dengan pertumpahan darah dan pengorbanan
nyawa?! Sambil berkata demikian, dengan mudah saja Kim-mo Taisu menggunakan
ujung lengan bajunya menyampok beberapa buah hui-to yang menyambar ke arahnya,
karena orang-orang Hui-to-pang sudah menyerangnya dengan hui-to begitu melihat
musuh besar ini muncul. Golok-golok terbang itu runtuh dan patah semua menjadi
dua potong!
Gentarlah hati Hek-giam-lo dan sisa orang-orang
Hui-to-pang ketika melihat Kim-mo Taisu yang ternyata masih gagah perkasa itu.
Jelas bagi mereka bahwa kalau pendekar sakti ini maju, dengan bantuan muridnya
yang pandai, pihak mereka akan mengalami kekalahan besar. Maka Hek-giam-lo
mendengus dan membalikkan tubuh lalu berlari pergi, diikuti oleh enam orang
anggauta Hui-to-pang yang tidak pedulikan empat orang temannya yang tewas.
Begitu orang-orang itu lenyap dari pandangan, Kim-mo
Taisu roboh terguling di depan pintu tenda! Bu Song cepat melompat dan berlutut
memeriksa keadaan suhunya. Akan tetapi ternyata Kim-mo Taisu Kwee Seng,
pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu telah
menghembuskan napas terakhir. Bu Song menundukkan kepalanya, termenung sejenak,
lalu ia mengangkat jenazah suhunya dibawa ke dalam tenda dan dibaringkan.
Bu Song lalu mencabut hui-to yang menancap di pundak
kirinya. Darah mengucur keluar, akan tetapi segera berhenti setelah Bu Song
menekan jalan darah di pundaknya dan menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Ia
tidak khawatir akan racun, karena menurut suhunya, tubuhnya sudah kebal
terhadap racun. Kemudian Bu song mencari dan memilih tempat yang baik di lereng
Gunung Tai-hang-san, menggali lubang dan mengubur jenazah suhunya, menaruh sebuah
batu besar di depan kuburan. Kemudian ia mengerahkan tenaga, dengan jari
telunjuk kanan Bu Song mencorat-coret pada permukaan batu itu dan terjadilah
goresan sedalam dua senti meter yang membentuk huruf-huruf indah.
MAKAM PENDEKAR BUDIMAN KIM-MO TAISU KWEE SENG
Setelah itu, Bu Song lalu mengubur pula jenazah empat
orang Hui-to-pang, lalu mendaki puncak mengubur mayat yang dilihatnya
berserakan. Tak lama kemudian muncullah penduduk daerah Pegunungan
Tai-hang-san. Mereka beramai-ramai lalu mengubur semua jenazah, baik mayat
tentara Sung maupun mayat orang Khitan. Bu Song membantu sekuat tenaga. Saking
banyaknya mayat di sekitar pegunungan, pekerjaan dilanjutkan sampai keesokan
harinya dengan mengubur lima sampai sepuluh mayat dalam satu lubang. Ketika pada
keesekokan harinya akhirnya semua mayat terkubur, penduduk dusun tidak melihat
lagi pemuda tampan yang ikut bekerja mati-matian tanpa mengeluarkan sepatah
katapun itu. Bu Song telah pergi dengan diam-diam, hatinya trenyuh memikirkan
keadaan perang dan segala akibatnya. Rakyat dusun, rakyat kecil yang tidak tahu
apa-apa, yang selalu taat dan patuh dan takut, mereka inilah yang selalu
menjadi korban terakhir. Tanpa diperintahkan mereka mengubur semua mayat.
Mereka harus mengubur semua mayat itu karena kalau tidak, keselamatan mereka
terancam oleh bahaya menjalarnya wabah penyakit yang hebat.
Setelah gurunya meninggal dunia, barulah Bu Song merasa
betapa hidupnya sunyi dan sebatang kara. Ada timbul ingatan dalam hatinya untuk
pergi ke Nan-cao, menjumpai kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ayah dari ibunya
yang sampai kini tidak pernah ia jumpai. Tentu saja ia tidak pernah mimpi bahwa
pernah ia bertemu dengan ibunya, bahkan ia berani menegur dan menasihati ibunya
itu yang hendak membunuhnya! Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa karena
sikap dan kata-katanya maka ibunya menjadi sadar dan insyaf, membuat ibunya
lalu menyembunyikan diri tidak mau muncul lagi di dunia ramai untuk menebus
dosa-dosanya!
Akan tetapi Bu Song tidak dapat melupakan Suma Ceng.
Betapapun juga, cinta kasih yang terpendam dalam hatinya takkan dapat lenyap.
Betapa mungkin ia dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Suma Ceng,
gadis yang telah merampas hatinya, yang telah menyerahkan jiwa raga kepadanya?
Karena rasa rindunya kepada Suma Ceng tak tertahankan lagi, maka ia menunda
niatnya pergi ke Nan-cao mencari keluarga ibunya, sebaliknya ia lalu pergi lagi
ke kota raja. Tadinya memang ia sudah ke kota raja, akan tetapi ketika itu ia
hendak mencari suhunya dan mendengar bahwa suhunya pergi bersama tentara Sung
ke utara, ia segera keluar dari kota raja untuk menyusul suhunya. Sekarang ia
pergi ke kota raja dengan tujuan lain, yaitu mencari tahu tentang diri
kekasihnya, Suma Ceng.
Ketika ia memasuki pintu gerbang kota raja, hatinya
berdebar. Ia tahu betapa perhubungannya dengan Suma Ceng kurang lebih tiga
tahun yang lalu, telah menimbulkan kegemparan di dalam rumah tangga keluarga
Pangeran Suma Kong. Dia sendiri telah disiksa dan kalau tidak ditolong suhunya,
tentu ia akan tewas tersiksa. Akan tetapi bagaimanakah dengan Suma Ceng?
Darahnya naik dan mukanya menjadi panas kalau ia membayangkan jangan-jangan
kekasihnya itu mengalami siksa dan derita pula, jangan-jangan malah telah mati!
Ia menggeget giginya. Ia harus menyelidiki dan membuktikan bahwa Suma Ceng
kekasihnya tidak sengsara hidupnya.
Ia memasuki pintu gerbang kota raja ketika hari sudah
menjelang senja. Keadaan mulai sepi, apalagi karena Bu Song masuk dari pintu
gerbang bagian selatan, ia melalui pinggiran kota raja yang paling sunyi.
Mendadak ia mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan. Bu Song melihat
seorang laki-laki muda, berpakaian penuh tambalan akan tetapi baik baju maupun
tambalannya terbuat dari kain baru dan bersih sekali sehingga lebih patut
disebut pakaian berkembang aneh, sedang berdiri bertolak pinggang dan
memaki-maki belasan pengemis berpakaian penuh tambalan dan butut.
Tertarik hati Bu Song dan ia segera mendekat. Pengemis
baju bersih itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan sebelas orang
pengemis baju kotor paling muda berusia tiga puluh lima tahun. Akan tetapi
sungguh mengherankan betapa belasan pengemis itu yang kelihatan murung dan
muram wajahnya, dimaki-maki oleh Si Pengemis Baju Bersih sama sekali tidak
berani membalas atau marah. Bahkan seorang diantara mereka, yang usianya sudah
amat tua, dengan muka sabar berkata,
‘Sudahlah, Sahabat muda. Harap kau suka maafkan kami
orang-orang tua yang tadi tidak mengenal siapa adanya engkau.!
‘Huh, memang kalian ini gembel-gembel busuk! Biar
pura-pura sudah menerima kalah dan menjadi gembel, masih bersikap
sombong-sombongan. Kau kira engkau masih guru silat kenamaan dan
anggauta-anggauta Sin-kauw-bu-koan? Huh!! Pengemis muda baju bersih itu lalu
menggerakkan kaki menendang. Tendangan keras dan mengandung tenaga, mengenai
perut kakek gembel itu mengeluarkan suara berdebuk keras.
Bu Song terkejut. Tendangan itu keras sekali dan dapat
diduga bahwa pengemis baju bersih itu memiliki tenaga kasar yang amat kuat.
Akan tetapi ketika mengenai perut si Kakek, agaknya tidak terasa apa-apa oleh
kakek itu. Diam-diam ia merasa kagum dan heran. Terang bahwa ilmu kepandaian
kakek gembel berbaju kotor itu jauh lebih tinggi daripada kepandaian Si
Pengemis Baju Bersih, akan tetapi mengapa dihina diam dan mengalah saja? Bahkan
kini pengemis baju bersih itu marah-marah dan memaki-maki,
‘Kau hendak melawan? Mengandalkan ilmu kepandaianmu?!
Sambil memaki, pengemis baju bersih ini menggerakkan kaki tangannya, menghantam
dan menendang. Biarpun kakek itu dapat menerima tendangan dan pukulan ini tanpa
terluka, namun ia terhuyung-huyung dan ketika ia mundur-mundur, tak
diketahuinya bahwa di belakangnya terdapat selokan. Kakinya terpeleset dan ia
jatuh ke dalam selokan yang airnya kotor!
Pengemis baju bersih itu tertawa bergelak, lalu pergi
dari situ dengan lagak sombong. Para pengemis baju kotor yang lain hanya
memandang lalu menundukkan kepala sambil menarik napas panjang. Jelas bahwa
mereka ini pun menahan kemarahan hati dan melihat gerak-gerik mereka, Bu song
dapat menduga pula bahwa mereka ini pun bukan orang sembarangan dan belum tentu
kalah oleh pengemis baju bersih yang sombong tadi. Akan tetapi mengapa mereka
itu, seperti juga kakek yang dipukulinya tadi, diam saja dan mengalah?
Setelah pengemis baju bersih itu pergi tak tampak lagi,
kakek pengemis yang jatuh ke dalam selokan tadi membanting banting kaki dan
menarik napas panjang berulang-ulang sambil mengeluh,
‘Suhu, mengapa Suhu menerima terus-menerus penghinaan
macam ini? Mari kita serbu saja dan mengadu nyawa dengan si bedebah!! Seorang
pengemis yang termuda berkata, suaranya mengandung penasaran.
‘Hushh, jangan bicara sembarangan!!
Kakek itu menegur, lalu kembali menghela napas dan
menggeleng-geleng kepalanya.
Seorang pengemis lain yang lebih tua berkata,
‘Twa-suheng, ada benarnya juga ucapan muridmu. Seorang gagah lebih baik mati
daripada mengalami penghinaan dalam hidupnya!!
‘Sudahlah, Sute. Melawan tanpa perhitungan kepada lawan
yang jauh lebih kuat sehingga lebih merupakan bunuh diri, bukankah gagah
namanya, melainkan bodoh. Siapa orangnya mau mengalami penghinaan? Aku pun
tidak suka, akan tetapi kita harus mencari jalan keluar yang baik, menanti
kesempatan yang tepat!!
‘Akan tetapi sampai kapan kita menanti lagi, Suhu?! Si
murid mendesak,
‘Mungkin Suhu cukup sabar menghadapi semua penghinaan
itu, akan tetapi teecu tidak dapat bertahan lagi, Suhu. Lain kali, kalau mereka
itu berani sekali lagi melakukan penghinaan terhadap Suhu, teecu tidak berani
tanggung apakah teecu akan dapat menahan diri. Agaknya pasti akan teecu lawan
dengan taruhan nyawa! Teecu rasa, biarpun akhirnya kita kalah oleh Si Bedebah
she Pouw, namun sebelum kita mati, kita tentu dapat membunuh puluhan orang
musuh sehingga mati pun tidak penasaran!!
Si Kakek kembali menggeleng kepala dan menarik napas
panjang.
‘Percuma... tidak ada gunanya...!!
Bu Song adalah seorang yang masih muda. Melihat sikap pengemis
baju bersih tadi pun ia sudah merasa mendongkol hatinya. Kini mendengarkan
pembantahan antara guru dan murid ini, ia merasa penasaran dan tanpa
disadarinya ia lalu berkata,
‘Muridnya begitu bersemangat, gurunya begini melempem,
sungguh lucu. Kalau seseorang sudah kehilangan keberaniannya menentang si
jahat, dia tidak patut menjadi guru lagi!!
Pengemis termuda yang menjadi murid kakek itu tiba-tiba
melompat ke depan Bu Song dan semua pengemis kaget dan heran. Mengapa ada orang
mendekati mereka tanpa mereka ketahui?
‘Eh, orang muda, lancang sekali mulutmu berani menegur
Suhu! Tidak tahukah engkau dengan siapa kau berhadapan? Suhu adalah
Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu (Guru Silat Liong berjuluk Kepalan Monyet Sakti),
dahulu jagoan kota Sin-Yang! Hayo lekas kau minta maaf dan menarik kembali
omonganmu yang lancang kalau kau tidak ingin merasai pukulanku!!
‘Aihh... aihh...! Kenapa mendadak menjadi begini galak?
Tadi ada pengemis tolol memaki-maki lalu memukul dan menendang Kakek ini sampai
masuk selokan bau, kau diam saja!!
Sejenak mereka itu memperlihatkan muka malu, akan tetapi
pengemis muda itu, yaitu yang termuda di antara mereka, baru tiga puluh lima
tahun, lalu membentak marah.
‘Urusan sesama kaum kai-pang tidak ada hina-menghina,
pula merupakan urusan dalam, bukan urusanmu. Akan tetapi engkau ini orang luar
berani menghina kami? Tidak tahukah bahwa kami adalah bekas orang-orang
Sin-kauw-bukoan yang terkenal?!
Bu Song tersenyum. Tentu saja dia tidak pernah mendengar
Sin-kauw-bukoan (Perguruan Monyet Sakti). Kalau mereka ini bekas orang-orang
perguruan silat ternama, mengapa sekarang menjadi pengemis? Bahkan agaknya
golongan pengemis yang paling rendah tingkatnya. Buktinya tadi diperhina oleh
pengemis lain yang jelas kepandaiannya tidak berapa tinggi, mereka ini tidak
berani melawan.
‘Aku bicara sejujurnya. Siapa menghina? Dan kau ini
galak amat, mau apa?!
Bu song sengaja memancing kemarahan orang dan cepat
sekali pengemis itu menerjangnya dengan pukulan ke arah dada disusul dengan
tangan kiri mencengkeram ke arah lambung.
Memang Bu Song hendak menguji kepandaian mereka ini,
terutama kepandaian mereka yang menjadi guru dan setingkatnya. Dengan tenang ia
menggerakkan kakinya mundur dua langkah, sengaja berlaku lambat untuk memancing
lawannya. Benar saja, lawannya terkena pancingannya karena menyangka bahwa ia
tidak begitu lihai sehingga dengan girang lawannya sudah menubruk maju, kedua
tangannya mencengkeram ke arah dada dengan keyakinan pasti kena. Bu Song
memiringkan tubuhnya, menyampok dari samping dan mengerjakan kakinya, yaitu
ujung sepatunya menotok sambungan lutut. Tak dapat dicegah lagi pengemis itu terguling!
Terdengar teriakan keras dan tahu-tahu orang yang disebut
adik seperguruan kakek itu tadi menyerbu. Pukulannya jauh lebih cepat dan berat
jika dibandingkan dengan murid keponakannya yang kini sudah merangkak bangun
sambil memijit-mijit lututnya. Diam-diam Bu Song makin terheran. Kepandaian
murid tadi, apalagi paman guru ini, agaknya sudah lebih dari cukup untuk
mengalahkan pengemis baju bersih yang menghina tadi. Apalagi kepandaian Si
Kakek yang berjuluk Sin-kauw-jiu itu! Mengapa mereka sama sekali tidak melawan
tadi dan kini terhadap seorang luar seperti dia, biarpun kata-katanya
sejujurnya dan sama sekali tidak bisa dibilang menghina, mereka sudah turun
tangan? Di samping keheranannya ini, hatinya pun tertarik dan suka kepada para
pengemis baju kotor ini. Jelas bahwa jika maju seorang demi seorang, mereka itu
bukan tandingannya. Namun mereka tidak mau maju mengeroyok. Hal ini saja
membuktikan bahwa mereka ini bukan golongan orang-orang jahat yang mengandalkan
kepandaian atau teman banyak untuk berlaku sewenang-wenang dan menghina orang
lain. Sikap mereka terhadapnya adalah sikap orang gagah yang hendak
memperebutkan kebenaran dan kehormatan dengan ilmu kepandaian secara gagah
pula.
Karena tertarik dan ingin berkenalan, Bu Song tidak mau
mempermainkan lawannya terlalu lama. Dengan gerakan indah, ia berhasil
merobohkan lawannya dengan sebuah dorongan yang disertai tenaga dalam. Biarpun
dorongannya tidak menyentuh dada orang, namun pengemis itu tetap saja tanpa
dapat ia pertahankan lagi, roboh terjengkang ke belakang dan hanya dengan
berjungkir balik saja ia dapat menyelamatkan diri tidak terbanting keras! Namun
hal ini sudah cukup membuka matanya bahwa orang muda yang kelihatan lemah ini
sama sekali bukan tandingannya.
‘Kau hebat, orang muda!!
Orang ketiga yang lebih tua sudah menyambar ke depan.
Orang ini adalah kakak seperguruan dari yang tadi roboh, merupakan orang ke dua
di Sin-kauw-bukoan. Pukulannya mengandung tenaga Iwee-kang yang ampuh dan kuat
sehingga setiap ia menggerakkan tangannya, terdengar suara angin menyambar.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba lawannya berkelebat dan lenyap
dari depannya! Pengemis yang berwajah muram ini kaget dan bingung, lalu
mendengar suara ketawa di belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh, kiranya lawannya
sudah berada di situ, enek-enak saja tersenyum dan memandangnya. Ia menjadi
penasaran dan cepat menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan yang dibuka
jari-jarinya, seperti tangan monyet hendak mencengkeram.. Hebat tubrukannya
ini, karena tangan itu tidak segera mencengkeram, melainkan menanti ke mana
lawan akan mengelak. Gerak tipu Ilmu Silat Monyet Sakti ini amat hebat dan
jarang sekali gagal. Namun kembali matanya mejadi kabur karena lawannya yang
muda itu berkelebat tanpa dapat ia duga ke mana, hanya tahu-tahu sudah melewati
atas kepalanya. Ketika ia memutar tubuh, kembali orang muda itu berkelebat
menyelinap dari samping, kemudian pada detik selanjutnya, sebelum ia sempat
membalikkan tubuh, ia merasa tengkuknya disentuh oleh jari-jari tangan yang
hangat. Pengemis ini kaget sekali dan berseru,
‘Hebat... aku mengaku kalah...!!
Ia melompat ke pinggir dan memandang dengan mata
terbelalak keheranan, kini kakek tua renta itu berjalan maju. Langkahnya sudah
membayangkan usia tua. Matanya memandang Bu Song, berkedip-kedip penuh
keheranan.
‘Melihat gerakanmu, orang muda, kau mengingatkan aku
akan seseorang... ah, seseorang yang tadinya kukagumi, akan tetapi ternyata
mengecewakan hatiku...!
Makin tertarik hati Bu Song.
‘Siapakah orang itu, Sin-kauw-jiu Liong-kauw-su?
‘Ah, jangan sebut-sebut julukanku yang kosong
melompong. Dan aku bukan kauwsu lagi melainkan seorang gembel busuk yang tiada
harganya. Sebut saja aku Lokai (Pengemis Tua). Nama orang itu selalu kusimpan
sebagai rahasia, biarpun dia sudah mengecewakan hatiku, namun tidak akan
kusebut-sebut. Akan tetapi karena gerakanmu mirip dia, kalau kau bisa
mengalahkan toyaku, biarlah hitung-hitung aku kalah bertaruh dan akan kusebut
namanya di depanmu. Kau jagalah, orang muda!! Kakek itu menerima sebatang toya
kuningan yang kedua ujungnya dilapis baja. Begitu toya itu berada di kedua
tangnnya, benda itu seakan-akan menjadi hidup dan bergerak-gerak amat cepatnya.
‘Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main
sebentar!!
Sesungguhnya, biarpun kakek ini kelihatannya jauh lebih
lihai daripada si murid atau sutenya tadi, ia tidak takut menghadapinya dengan
tangan kosong. Akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah seorang yang
dahulunya tentu ternama, ia pun segan untuk memandang rendah. Ia tidak
mempunyai permusuhan dengan mereka, apalagi Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu, dan ia
bahkan menaruh iba kepada bekas guru silat dan murid-muridnya ini yang telah
merosot derajatnya menjadi pengemis-pengemis yang dihina orang. Di samping rasa
iba ini, ada pula rasa penasaran mengapa semangat si guru demikian melempem dan
tidak layak menjadi sikap seorang gagah.
‘Kauwsu, bukan aku yang mengajak berkelahi. Kalau tidak
terdesak, untuk apa aku mengeluarkan senjata? Aku tidak mau melukai orang!!
jawabnya.
‘Kalau kau hendak main-main, silakan mulai.!
Kakek itu kelihatan marah sekali.
‘Sudah terlalu lama dihina orang tanpa berani membalas!
Sekarang ada engkau ini orang muda yang datang-datang menghina kami. Orang
muda, jangan salahkan aku kalau toyaku tidak mengenal kasihan. Kau sambutlah!!
Tampak gulungan sinar kuning ketika toya itu menyambar
dahsyat, menyerang dengan pukulan menyamping ke arah lambung kiri Bu Song
disusul gentakan ujung lain yang menyusul dengan hantaman ke arah kepala
andaikata pukulan pertama dapat dielakkan.
Akan tetapi, sekali berkelebat tubuh orang muda itu
lenyap dari depannya! Liong-kauwsu terkejut, cepat membalikkan tubuh
menggerakkan toyanya menerjang ke belakang tubuh. Benar saja dugaannya, orang
muda yang dapat bergerak luar biasa cepatnya itu tadi telah berada di
belakangnya sehingga serangan susulannya ini tepat sekali. Dengan tusukan kuat
ujung toyanya menyambar ke arah dada, kemudian ketika orang muda itu mengelak
ke kiri, toyanya mengejar terus dengan sontekan ke kanan, menghantam leher lalu
disontekkan lagi, menggunakan ujung yang lain menyerampang kaki. Semua ini
dilakukan oleh kakek itu dengan kecepatan kilat, dan biarpun ia sudah tua,
namun kedua ujung toya itu tiap kali digerakkan, menggetar dan dilihat dengan mata
biasa, ujungnya berubah menjadi puluhan batang.
‘Ilmu toya yang bagus!!
Bu Song memuji akan tetapi kembali tubuhnya lenyap tanpa
diketahui kakek itu saking cepatnya. Dari belakangnya, Liong-kauw-su merasa
betapa ujung toyanya disentuh lawan. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat
lawannya itu tersenyum-senyum berdiri di belakangnya, kini sudah mengeluarkan
sebuah benda kuning berkilauan di tangan. Bukan main kaget dan kagumnya hati
kakek itu. Ia tadi maklum bahwa lawannya akan mudah merobohkannya, atau
merampas toyanya, karena bukankah tadi lawannya sudah menyentuh ujung toya dari
belakang sebelum ia mampu membalikkan tubuh? Akan tetapi orang muda itu tidak
melakukan hal ini bahkan mengeluarkan senjata, pada hal dengan tangan kosong
sekalipun agaknya akan sukar baginya untuk mengalahkan orang muda ini. Ketika
ia memperhatikan senjata di tangan orang muda itu, ia berseru kaget, juga
sutenya berseru,
‘Kim-siaw (Suling Emas)...!!
Bu Song memandang suling emas di tangannya dan pada saat
itu, jantungnya berdebar aneh. Nama yang bagus! Kim-siauw! Namanya sendiri
sudah lapuk, sudah terlalu banyak mendatangkan hal-hal yang menyedihkan!
Namanya sendiri, Bu Song, selalu terkait dengan hal-hal yang mematahkan hati,
mengingatkan ia akan ayah bundanya yang cerai-berai, akan hidupnya yang
sebatang kara. Mengingatkan ia akan pengalaman-pengalamannya yang pahit-getir,
akan kematian Kwee Eng yang sudah dicalonkan menjadi isterinya, wanita pertama
yang merampas hatinya. Kemudian, yang masih membekas dalam sekali di kalbunya,
mengingatkan ia akan Suma Ceng, wanita kekasihnya yang tadinya ia anggap
sebagai pengganti Kwee Eng yang tewas. Nama Bu Song sungguh diselimuti
kegelapan, nama yang sial!
Akan tetapi ia tidak dapat melamun terus karena kembali
toya yang berat itu menyambar dibarengi seruan Liong-kauw-su. Tampak sinar emas
bergulung-gulung ketika Bu Song menggerakkan sulingnya. Sinar ini seakan-akan
merupakan tali emas yang menggulung dan melibat-libat toya, kemudian tanpa
dapat dicegah lagi oleh Liong-kauwsu, juga tanpa ia ketahui bagaimana caranya,
toyanya terlepas dari tangannya, melayang tinggi ke atas dan ketika turun,
disambut oleh suling di tangan Bu Song, diputar-putar sampai berhenti melintang
di atas suling yang disodorkan kepada Liong-kauwsu, diikuti kata-kata.
‘Terimalah kembali toyamu, Liong-kauwsu!!
‘Hebat...! Kau lebih hebat daripada Kim-mo Taisu...!!
Kakek itu berkata dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Juga
murid-muridnya serta sutenya memandang penuh kekaguman.
‘Dan suling emas itu...! Orang muda, bolehkah kami
mengetahui, siapakah namamu yang mulia?!
Bu Song tersenyum pahit, memandang sulingnya yang ia
pegang di tangan kanan, ditegakkan lurus depan muka, kemudian berkata,
‘Suling emas... suling emas... inilah namaku... Suling
Emas!!
Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu adalah seorang kang-ouw yang
sudah banyak pengalamannya. Ia maklum bahwa orang muda ini adalah seorang sakti
yang tidak mau memperkenalkan namanya. Timbul harapan dalam hatinya bahwa orang
muda yang luar biasa ini akan dapat membantunya menebus semua penghinaan dan
sakit hati yang selama puluhan tahun ia derita.
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang
datang-datang membentak,
‘Lagi-lagi ada manusia tak berbudi yang berani menghina
kaum gembel mengandalkan kepandaiannya?!
Para kakek pengemis dan juga Suling Emas (karena Bu Song
sendiri merubah namanya, mulai sekarang kita mengenalnya sebagai Suling Emas)
menoleh dan melihat bahwa yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya tambal-tambalan dan bahkan kedua
lengan bajunya buntung compang-camping, memakai caping (topi petani) lebar yang
menutupi sebagian mukanya. Juga capingnya itu butut, compang-camping pinggirnya.
Namun tubuh orang itu tampak kuat, matanya bersinar-sinar, mukanya bersih tidak
berjenggot. Celananya yang butut juga buntung sebatas lutut.
Setelah berkata demikian, serta merta orang yang baru
tiba ini menerjang Suling Emas dengan serangan-serangan kilat.
‘Eh, sahabat.. jangan salah kira. Dia... Kim-siauw-eng
(Pendekar Suling Emas) tidak...!
Liong-kauwsu tidak melanjutkan kata-katanya karena Suling
Emas sudah memotong.
‘Biarlah, Kauwsu. Orang ini lihai, biarkan kami
main-main sebentar!!
Memang Suling Emas kagum menghadapi serbuan orang yang
baru datang ini. Baru bergebrak sejurus saja tahulah ia bahwa ia berhadapan
dengan seorang ahli yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada
tingkat kakek guru silat itu. Pukulan kedua tangan dan tendangan kedua kakinya
mendatangkan angin halus, seakan-akan tidak mengandung tenaga, namun ternyata
penuh dengan tenagan sin-kang yang amat kuat. Juga gerakan-gerakannya aneh dan
membingungkan, cepat sekali membuktikan bahwa gin-kang orang ini pun sudah
mencapai tingkat tinggi!
Suling Emas sudah menyimpan sulingnya dan cepat ia
mengelak lalu balas menyerang, juga ia mempergunakan kecepatan gerakannya.
Ketika merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sampai hampir berjongkok
untuk menghindarkan hantaman kedua tangan kearah dada dan leher tadi, sambil
secepat kilat membalas dengan tusukan jari-jari tangannya ke arah pusar lawan,
dengan amat cepatnya tubuh lawannya itu sudah melambung tinggi sehingga
tusukannya tak berhasil. Dari atas pengemis itu sudah berjungkir balik dan kini
melakukan serangan dari atas, dengan kepala di bawah kaki di atas, tangan kiri
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan bergerak membentuk
lingkaran-lingkaran untuk mencegah jalan keluar!
Suling Emas maklum bahwa menghadapi serangan ini, tidak
ada jalan untuk mengelak. Satu-satunya jalan hanyalah mengadu tenaga. Karena
lawan ini melayang turun sehingga tenaganya ditambah oleh berat tubuh serta
tenaga luncuran turun, tentu saja orang itu lebih menguntungkan keadaannya.
Namun ia tidak gentar, bahkan ia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya seakan
berakar di atas tanah, membiarkan lawan melayang turun sampai dekat lalu
tiba-tiba kedua tangannya bergerak mengimbangi kedudukan kedua tangan lawan
untuk menangkis.
Dua pasang tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pengemis
itu mencelat ke atas sampai lima meter lebih, sedangkan kuda-kuda Suling Emas
sungguhpun tidak tergeser, namun kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai
lewat sepatunya! Pengemis ini memang hebat. Walaupun tubuhnya terlempar begitu
tinggi, namun ia tidak kehilangan akal. Beberapa kali pinggangnya bergerak,
tubuhnya melentik seperti ular dan ia sudah berhasil memulihkan keseimbangan
tubuhnya dan meloncat turun dengan gerakan ringan, tepat berdiri menghadapi
Suling Emas. Keduanya saling pandang, penuh kekaguman.
‘Kepandaianmu luar biasa sekali, sobat!! kata Suling
Emas sambil tersenyum. Kata-kata ini keluar dari hatinya yang tulus, karena
memang ia kagum menyaksikan kepandaian pengemis ini. Pula, ketika terlempar ke
atas, caping pengemis itu terlepas dan tampaklah kini wajahnya yang cukup
tampan dan gagah. Wajah yang banyak membayangkan kepahitan hidup, rambutnya
awut-awutan, namun bersih dan mengandung cahaya bersemangat.
Di lain pihak, pengemis itu agaknya merasa penasaran,
kagum, dan juga kaget. Tentu saja ia tidak menyangka akan berhadapan dengan
orang yang begini sakti. Mendengar ucapan Suling Emas dan melihat senyum itu,
ia salah sangka, mengira bahwa lawannya mengejek. Maka ia lalu memandang dengan
sinar mata tajam, mulutnya berkata penuh geram,
‘Orang muda, kau memang hebat! Akan tetapi jangan kau
tertawa-tawa lebih dahulu. Aku Yu Kang baru menerima kalah kalau kau mampu
mengalahkan senjataku ini!!
Suling Emas sudah menaruh hati sayang kepada pengemis
yang amat lihai ini, maka ia tidak ingin menanam permusuhan. Akan tetapi
sebelum ia mampu menjawab, pengemis yang bernama Yu Kang itu dengan jari-jari
kaki telanjang telah mengenjot tanah dan tubuhnya melayang ke depan Suling
Emas, tangan kanannya sudah memegang sebatang tongkat rotan kecil. Tongkat itu
tadinya terselip di belakang punggungnya. Kelihatannya sederhana sekali,
besarnya hanya seibu jari kaki, panjangnya dua lengan. Namun melihat betapa
‘senjata! yang lebih patut disebut senjata kanak-kanak bermain
perang-perangan itu setelah berada di tangan pengemis ini menggetar-getar dan
mengeluarkan suara melengking tiada hentinya, diam-diam Suling Emas kaget dan
cepat ia pun mencabut sulingnya. Gerakan tongkat rotan yang mengeluarkan suara
melengking itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat, maka Suling Emas segera
memutar sulingnya pula dan terdengarlah suara melengking lebih tinggi dan
nyaring.
‘Bagus! Sambutlah seranganku!! Yu Kang berseru keras
dan tubuhnya menyambar maju, tongkatnya bekelebatan dan membentuk sinar kilat
menyambar amat cepatnya.
Suling Emas pun maklum akan bahayanya serangan ini, maka
ia lalu menggerakkan sulingnya dan lenyaplah bentuk suling, berubah menjadi
gulungan sinar kuning emas yang membentuk lingkaran-lingkaran. Ia telah mainkan
jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat yang luar biasa ampuhnya. Harus diakui bahwa di
antara para tokoh persilatan, banyak kiranya yang mengenal tokoh persilatan,
banyak kiranya yang mengenal Pat-sian Kiam-hoat, bahkan banyak yang ahli. Namun
Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan oleh Suling Emas ini lain daripada yang lain.
Kalau Pat-sian Kiam-hoat biasa mempunyai enam puluh empat jurus, akan tetapi
Pat-sian Kiam-hoat yang diwariskan oleh Kim-mo Taisu kepada Suling Emas hanya
mempunyai enam belas jurus. Enam belas jurus yang sudah mencakup semua inti
sari Pat-sian Kiam-hoat, bahkan sudah pula meliputi bagian-bagian terpenting
yang terpendam. Di samping ini, setelah semua pintu dalam tubuh Suling Emas
dibuka oleh Bu Tek Lojin, maka sin-kang di tubuhnya dapat bergerak lancar
sehingga permainan ilmu pedang ini menjadi makin hebat. Setiap gerakan, setiap
getaran, mengandung hawa sakti yang dahsyat.
Sin-kauw-jiu Liong Kong, guru silat yang telah menjadi
pengemis itu, bersama murid-muridnya dan sutenya, menjadi penonton yang bengong
terlongong. Terheran-heran mereka menonton pertandingan luar biasa ini. Tak
dapat mata mereka mengikuti gerakan kedua orang muda itu, yang tampak hanyalah
gulungan sinar kuning bercampur aduk dengan kilatan ujung tongkat yang menjadi
ratusan banyaknya, membungkus bayangan dua orang yang tidak kelihatan bentuknya
dan kabur saking banyaknya! Diam-diam guru silat itu menarik napas panjang dan
insyaf betapa ilmu kepandaian di dunia itu tiada batasnya. Dahulu ia amat kagum
kepada sahabatnya, Kim-mo Taisu yang gerakannya sama dengan Pendekar Suling
Emas ini. Kemudian ia dibikin penasaran akan tetapi tidak berdaya oleh seorang
tokoh muda yang baru, dua puluh tahun yang lalu, yaitu orang yang mengaku
menjadi raja pengemis, berjuluk Pouw-kai-ong (Raja Pengemis Pouw) yang memiliki
ilmu kepandaian hebat pula. Kini di depan matanya, bertanding dua orang muda
yang begini hebat, benar-benar membuat ia merasa betapa tingkat kepandaiannya
sendiri sebenarnya bukan apa-apa!
‘Wah-wah-wah, kau hebat! Aku yang mengaku kalah!!
Tiba-tiba terdengar Yu Kang berseru keras dan tubuhnya
terlempar sejauh enam tujuh meter di mana kedua kakinya berhasil menahan
robohnya, akan tetapi ia masih tetap saja terhuyung-huyung!
Suling Emas sudah menyimpan sulingnya, melangkah maju
sambil menjura.
‘Yu-twako, kau benar-benar hebat! Aku kagum sekali.!
Pengemis muda itu menghela napas, berjalan maju,
meyelipkan tongkatnya di belakang punggung sambil berkata,
‘Sudahlah, tak perlu kau merendah. Sudah jelas aku
bukan tandinganmu. Kalau saja si keparat she Pouw itu selihai engkau, biarlah
aku mati di tangannya dan mendiang ayah takkan dapat tenang dalam kuburnya!!
Setelah berkata demikian, Yu Kang melangkah pergi.
‘Yu-enghiong, nanti dulu...!! Tiba-tiba Sin-kauw-jiu
Liong-kauwsu berseru sambil mendekat.
Yu Kang membalikkan tubuhnya.
‘Kau orang tua mau apa lagi? Aku melihat betapa kalian
gembel-gembel tiada guna dipermainkan orang orang, akan tetapi aku sendiri juga
seorang gembel tiada guna, tak dapat membela kalian.!
‘Bukan demikian, Yu-enghiong. Ketahuilah bahwa kami
sama sekali tidak dihina oleh Kim-siauw-eng, sama sekali tidak! Yang menghina
kami adalah si keparat she Pouw yang kau sebut tadi! Dua puluh tahun kami
dihina dan ditindas, karena itu mohon bantuan Yu-enghiong. Marilah kita bersatu
untuk menghadapi Pouw-kai-ong yang jahat!!
Yu Kang melotot, terheran. ‘Kalian ini pun mendendam
kepada Pouw-kai-ong si jahat?!
Tiba-tiba Suling Emas yang mendengarkan percakapan itu
berkata,
‘Ah, kiranya kita adalah orang-orang segolongan. Aku
sendiri pun boleh dianggap sebagai seorang musuh besar Pouw-kai-ong, bahkan
beberapa kali pernah aku bertanding melawan dia dan kawan-kawannya!!
Kakek itu berseru girang, lalu tiba-tiba menjatuhkan diri
berlutut di depan dua orang muda gagah itu, diturut oleh teman-temannya.
‘Mohon bantuan Ji-wi Enghiong membasmi Pouw-kai-ong
yang jahat...!
‘Lo-kai (Pengemis Tua), harap jangan banyak tingkah.
Kita dapat saling bantu dalam hal ini. Bangunlah! Lo-kai ini dari kai-pang yang
mana? Aliran apa?! Pertanyaan Yu Kang ini diajukan dengan sikap penuh wibawa
yang menunjukkan bahwa dia agaknya mengenal baik akan peraturan perkumpulan
pengemis.
Orang tua itu bangkit berdiri dan sukar untuk menjawab.
Timbul kekhawatiran di hatinya bahwa pengemis muda yang perkasa ini takkan mau
bekerja sama kalau mendengar bahwa dia sebetulnya bukan pengemis sama sekali,
melainkan pengemis paksaan! Melihat keadaan kakek itu meragu, Suling Emas lalu
berkata,
‘Saudara Yu Kang, Lopek (Paman Tua) ini sama sekali
bukan pengemis. Dia dahulu adalah kedua dari Sin-jiu-bu-koan, berjuluk
Sin-kauw-jiu bernama Liong Keng.!
‘Nama kosong belaka...., nama kosong belaka....!
Liong-kauwsu menggoyang-goyang kedua tangan dengan perasaan malu.
‘Hemm, kalau begitu bukan golongan pengemis? Mengapa
berpakaian pengemis? Mau main-main dengan pengemis, ya? Liong-kauwsu, kalau kau
dan kawan-kawanmu ini hanya pura-pura menjadi pengemis untuk mencapai tujuan,
aku tidak sudi bekerja sama!!
‘Tidak... tidak... ah, Yu-enghiong salah sangka. Memang
kami terpaksa menjadi pengemis, akan tetapi andaikata pembalasan dendam kami
sudah terkabul, kami pun tetap akan menjadi pengemis. Kami sudah tidak punya
apa-apa, dan untuk selanjutnya, kami rela menjadi pengemis asal saja Si Keparat
Pouw-kai-ong sudah mendapat hukumannya!!
‘Kalau begitu, boleh kita bekerja sama.! Kata Yu Kang
mengangguk-angguk.
‘Marilah Ji-wi Enghiong, kita bicara sambil berunding
di tempat kami, di bawah jembatan Tembok Merah.!
Yu Kang mengangguk dan Suling Emas juga menerima baik
undangan ini. Mereka lalu berangkat menuju ke jembatan besar di pinggir kota
itu dan turunlah mereka ke kolong jembatan. Di tempat sederhana inilah
Liong-kauwsu beserta anak buahnya tinggal! Biarpun kolong jembatan, karena
dirawat, maka tanahnya cukup bersih dan baunya tidak busuk. Beberapa orang
murid Liong-kauwsu sibuk menyembelih angsa besar yang mereka tadi tangkap,
entah darimana. Tak lama kemudian bau harum paha angsa dipanggang membuat air
liur memenuhi mulut. Beberapa orang lagi mengeluarkan cawan retak dan seguci
besar arak!
Sambil memegangi paha angsa panggang yang gurih dan
berlemak, menggerogoti daging yang lezat didorong masuk arak keras, mereka
bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya, ada yang berjongkok, ada yang bersandar
pada dinding jembatan, ada pula yang berdiri, ada pula yang sambil
rebah-rebahan dan mencari kutu pada baju mereka yang rombeng! Suling Emas duduk
di tengah-tengah bersila dan ikut makan dengan enaknya. Yang mendapat giliran
pertama untuk bercerita adalah Liong-kauwsu. Kakek ini menghenti kan makannya,
melempar tulang paha angsa ke tengah air kali yang mengalir di dekat mereka,
mengusap minyak lemak dari bibir dengan ujung bajunya yang kotor, kemudian
menarik napas dan bercerita.
‘Belasan tahun yang lalu terjadinya malapetaka itu,
yang merubah semua jalan hidupku dan murid-muridku serta keluarga kami...! Ia
menarik napas panjang lagi, kemudian ia menceritakan pengalamannya secara jelas
singkat seperti berikut.
Perguruan Sin-kauw-bu-koan di kota Sin-yang cukup
terkenal karena baik gurunya, yaitu Sin-kauw-jiu Liong Keng, maupun para
murid-muridnya merupakan orang-orang gagah yang biarpun kuat tidak
mempergunakan kekuatannya untuk melakukan penindasan, bahkan membela kebenaran
dan keadilan. Liong-kauwsu tidak mempunyai anak keturunan sendiri, akan tetapi
ia mengangkat seorang murid wanita sebagai anak. Wanita itu bernama Liong Bi
Loan, seorang gadis cantik yang pandai silat. Pada suatu hari, Liong Bi Loan
bertemu dengan Pouw-kai-ong yang ketika itu masih muda dan tampan. Dalam
pertandingan, Bi Loan dikalahkan dan gadis ini terpikat, lalu lari bersama
Pouw-kai-ong yang. Liong-kauwsu tidak mampu mencegahnya karena terhadap
Pouw-kai-ong, ia sama sekali tidak berdaya, jauh kalah lihai kepandaiannya.
Seperti telah kita ketahui, dalam kesedihan dan
kebingungannya, Liong-kauwsu bertemu dengan Kim-mo Taisu, kemudian minta
pertolongan Kim-mo Taisu untuk menghadapi Pouw-kai-ong. Akan tetapi, Kim-mo
Taisu tidak dapat berbuat sesuatu terhadap Pouw-kai-ong ketika pendekar ini
melihat betapa gadis puteri guru silat itu dengan suka rela ikut Pouw-kai-ong!
Hal inilah yang membuat kecewa hati Liong-kauwsu yang tadinya amat mengharapkan
Kim-mo Taisu berhasil membawa pulang puteri angkatnya. Terpaksa ia menerima
keadaan dan tidak mau merintangi lagi puteri angkatnya yang ikut Pouw-kai-ong.
Akan tetapi, dua tahun kemudian, luka dihatinya menjadi
robek kembali ketika Liong-kauwsu mendengar kabar betapa anak angkatnya itu
hidup merana dan sengsara di samping Pouw-kai-ong yang mulai nampak
‘belangnya!. Pouw-kai-ong sudah mulai bosan dan memperlakukan Liong Bi Loan
seperti seorang budak belian, bahkan tidak jarang memukulinya. Kemudian secara
berterang Pouw-kai-ong main gila dengan wanita-wanita lain dengan memaksa Liong
Bi Loan melayani dia berpesta dengan perempuan-perempuan lain yang menjadi
kekasih baru. Akhirnya Liong Bi Loan tak kuat menahan, untuk melawan ia kalah
kuat, dan wanita ini mengambil jalan terakhir dengan menggantung diri!
Mendengar ini, Liong-kawsu dan beberapa orang muridnya
yang setia, juga dua orang sutenya secara nekat menyerbu ke tempat yang
dijadikan markas besar Pouw-kai-ong, yaitu sebuah kuil tua di luar kota
Kang-hu, bekas markas besar perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Namun,
mereka ini sama sekali bukanlah tandingan Pouw-kai-ong. Bahkan bukan
Pouw-kai-ong sendiri yang turun tangan, baru anak buahnya saja sudah membuat
Liong-kauwsu dan anak buahnya kocar-kacir dan dihajar habis-habisan.
Pouw-kai-ong tidak membunuh Liong-kauwsu, namun merampas semua miliknya,
kemudian memaksa bekas Ketua Sin-kauw-bu-koan ini bersama anak buahnya hidup
sebagai anggota kai-pang, berpakaian seperti pengemis! Lebih hebat lagi,
rombongan Liong-kauwsu ini selalu dihina oleh anak buah Pouw-kai-ong yang
berpakaian tambal-tambalan namun bersih, atau terkenal dengan sebutan pengemis
baju bersih sebaliknya daripada rombongan Liong-kauwsu dan para pengemis
taklukan lain yang disebut rombongan pengemis baju kotor.
‘Demikianlah, Kim-siauw-hiap,!
Liong Keng mengakhiri ceritanya dengan muka berduka.
‘Bertahun-tahun kami menderita penghinaan dan
sepatutnya penderitaan ini kami akhiri dengan bunuh diri saja seperti yang
dilakukan puteriku. Akan tetapi, dalam hati ini masih belum mau menerima, masih
menyimpan penasaran dan dendam setinggi langit, masih selalu mengharapkan
kesempatan untuk membalas! Oleh karena itulah, sampai begini tua saya tetap
mempertahankan nyawa untuk menanti datangnya kesempatan itu. Untung sekali hari
ini mempertemukan kami dengan Ji-wi Taihiap sehingga boleh diharapkan cita-cita
akan tercapai juga sebelum nyawa meninggalkan badan.!
Yu Kang melompat berdiri, membanting tulang paha angsa ke
kanan. Tulang itu melesak ke dalam dinding tembok jembatan yang keras!
‘Harap Paman Tua Liong tidak berkecil hati. Dengan
bekerja sama, masa Si Keparat Pouw itu tidak akan dapat ditundukkan? Dengarlah
baik-baik, aku Yu Kang juga sudah bersumpah, takkan berhenti berusaha sebelum
si jahat Pouw Kee Lui menerima hukumannya. Seluruh keluargaku habis dibasmi
keparat itu hanya karena Tuhan menghendaki saja aku bebas daripada pembasmian
sehingga setidaknya ada keturunan ayah yang berusaha membalaskan dendam
keluarga ini.!
Yu Kang lalu bercerita. Dia adalah putera bungsu mendiang
Yu Jin Tianglo ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Seperti telah
diceritakan di bagian depan cerita ini, pada belasan tahun yang lalu ketika
Pouw Kee Lui yang memiliki kepandaian tinggi itu muncul dari timur, dia telah
menyerbu Khong-sim Kai-pang, merobohkan semua yang melawannya, membunuh Ketua
Khong-sim Kai-pang sekeluarga, membunuh tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang pula dan
merampas kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang. Para anggota yang tidak mau
tunduk, dibunuhnya sehingga akhirnya para anggota lain menjadi ketakutan dan
mengakui kekuasaan ketua baru ini, yang kemudian memakai julukan Pouw-kai-ong
Si Raja Pengemis Pouw. Bersama anak buahnya yang dilatihnya, ia menundukkan
hampir seluruh perkumpulan pengemis sehingga julukannya ‘raja pengemis!
benar-benar tepat.
Akan tetapi sama sekali di luar dugaan Pouw-kai-ong yang
cerdik bahwa ketika ia melakukan pembasmian terhadap keluarga Yu Jin Tianglo
ketua Khong-sim Kai-pang, Yu Kang putera bungsu ketua pengemis itu yang baru
berusia tiga belas tahun dan kebetulan sekali pada waktu peristiwa hebat
terjadi, sedang bermain-main di luar kota sehingga terbebas daripada maut.
Ketika Yu Kang melihat keadaan keluarganya yang terbasmi habis, tidak seorang
pun masih hidup, ayah bundanya, kakak-kakaknya, semua tewas di tangan Pouw-kai-ong,
ia segera melarikan diri. Selama belasan tahun Yu Kang putera ketua pengemis
Khong-sim Kai-pang ini menggembleng diri dengan ilmu silat, belajar dari
tokoh-tokoh pengemis yang telah mengasingkan diri bertapa di gunung-gunung. Ia
selalu berpakaian sebagai pengemis dan hidup sebagai pengemis pula, tetap setia
kepada cara hidup ayahnya dan dendam di hatinya terhadap Pouw Kee Lui tak
pernah terlupa sehari pun!
Setelah tujuh belas tahun menggembleng diri, kini dalam
usia hampir tiga puluh tahun, barulah Yu Kang turun dari puncak gunung-gunung
dan mulai mencari musuh besarnya, Pouw Kee Lui yang kini sudah menjadi
Pouw-kai-ong. Karena tidak tahu harus mencari di mana, maka ia langsung menuju
ke kota raja, oleh karena untuk mencari seorang ‘raja! pengemis, kiranya
paling tepat menyelidiki dari kota raja, pusat segala macam kegiatan.
‘Demikianlah sedikit riwayatku, dan kebetulan aku
bertemu dengan kalian yang kukira adalah pengemis-pengemis yang mengalami
penghinaan. Di sepanjang perjalanan banyak aku mendengar akan perpecahan
golongan pengemis menjadi dua, pengemis baju bersih dan pengemis baju kotor,
dan tentang penindasan yang dilakukan pengemis baju bersih terhadap pengemis
baju kotor. Siapa kira, pengemis baju bersih adalah pengikut-pengikut setia dari
Pouw-kai-ong, musuh besarku! Di sepanjang jalan, tidak ada yang berani
menyebut-nyebut tentang Pouw-kai-ong.!
Liong-kauwsu yang kini sudah berubah sebutan menjadi
Liong-lokai (Pengemis Tua Liong) itu menarik napas panjang.
‘Memang demikianlah. Tidak ada yang berani membicarakan
perihal Pouw-kai-ong, apalagi bicara buruk, karena kaki tangannya banyak sekali
dan hukumannya amatlah berat mengerikan.!
Kakek itu kini menoleh kepada Suling Emas dan berkata,
‘Setelah kini saya dan Yu Tai-hiap bercerita, saya
harap Kim-siaw Tai-hiap sudi pula memberi sedikit penuturan dan penjelasan.!
‘Sesungguhnya tidak ada apa-apa yang patut
kuceritakan,!
Suling Emas berkata dan tiba-tiba wajahnya yang tampan
itu seperti diselubungi awan gelap. Betapa tidak akan keruh hatinya kalau ia
diingatkan akan riwayatnya yang sembilan puluh persen terisi hal-hal
menyedihkan itu? Pula ia sudah tidak mau mengingat hal-hal lampau, bahkan
hendak melupakan namanya. Setelah berhenti sejenak, ia menyambung.