“Selama belasan tahun ayah telah mengajak aku merantau ke Timur dan ke
Barat,” menyahut si nona. “Belum pernah kami berdiam di suatu tempat
lamanya sepuluh hari atau setengah bulan. Ayah membilang, dia hendak
mencari satu orang….seorang engko she Kwee…..”
Perlahan sekali suara si nona, kepalanya pun tunduk. Ia likat.
Khu Cie Kee menoleh ke arah Kwee Ceng. “Bagaimana caranya ayahmu mendapatkan kau?” ia tanya si nona pula.
“Aku ada orang asal Gu-kee-cun di Lim-an,” Liam Cu menyahut pula. “Sejak
kecil aku telah tidak mempunyai ayah dan ibu, aku tinggal menumpang
sama seorang bibiku. Bibi itu tidak perlakukan baik padaku, demikian
pada suatu hari ia telah memukul aku serta tidak memberikan aku nasi
untuk berdahar, selagi aku menangis di depan pintu, lewatlah ayah
angkatku ini. Ia merasa kasihan padaku, ia bicara sama pamanku, lalu ia
ambil aku sebagai anak pungut. Demikian aku diajak merantau, diajari
ilmu silat. Untuk mencari engko she Kwee itu, aku turut ayah merantau.
Aku mesti sering melakukan pertempuran, karena ayah telah mengibarkan
benderanya, bendera untuk pibu guna mencari pasangan….”
“Nah, inilah soalnya,” berkata Khu Cie Kee. “Baiklah kau mengerti,
ayahmu itu bukan she Bok, dia she Yo. Selanjutnya kau baik memakai she
Yo juga.”
“Tidak, aku bukan she Yo, baik aku tetap she Bok,” berkata si nona itu. Ia bersangsi.
“Kenapa? Apakah kau tidak percaya aku?” tanya si imam.
“Bukan aku tidak percaya, aku cuma ingin tetap memakai she Bok.”
Melihat orang berkukuh, imam itu tidak memaksa. Bukankah orang baru saja
kehilangan ayahnya dan hatinya sangat berduka? Ia tidak tahu, di dalam
hatinya, Liam Cu sudah menyerahkan diri kepada Wanyen Kang. Kalau Wanyen
Kang itu berayah she Yo, dia pun she Yo juga, maka kalau ia memakai she
Yo, mana bisa mereka menikah?
Ong Cie It sementara itu merasakan satu kesangsian. Setelah makan dan
pakai obat, ia merasa segar, sembari rebah di pembaringan, ia mendengari
pembicaraan saudaranya dan nona itu. Ia ingat bagaimana si nona
bertanding sama Wanyen Kang.
“Eh,” tanyanya, ”Kau bilang kau diajari silat oleh ayahmu, kenapa buktinya kau lebih gagah dari pada ayahmu itu?”
“Itulah disebabkan pada suatu hari ketika aku berumur tigabelas tahun,
aku bertemu sama seorang berilmu,” Liam Cu menyahut. “Untuk tiga hari
lamanya dia ajarkan aku ilmu silat. Sayang otakku buta, tidak dapat aku
mewariskan semua pelajaran yang diajarkan itu…,” kata si nona pula.
“Jikalau ia cuma mengajarkan tiga hari, kenapa kau jauh lebih lihay dari
pada ayahmu?” imam itu menanya pula. “Siapakah orang berilmu itu?”
“Maaf, totiang, bukannya aku berani mendusta, sebenarnya aku telah
mengangkat sumpah, dari itu tidak berani aku menyebutkan namanya.”
Ong Cie It berdiam, ia tidak menanya lebih jauh. Tapi ia berpikir terus,
ia mengingat-ingat ilmu silatnya si nona selama dia melayani Wanyen
Kang. Sekian lama ia masih tidak mengingatnya, ia tidak dapat mengenali.
Hal ini membuatnya bertambah heran.
“Khu Suko,” akhirnya ia tanya kakaknya, “Bukankah kau telah mengajari Wanyen Kang selama delapan atau sembilan tahun?
“Tepatnya sembilan tahun enam bulan,” menjawab Khu Cie kee. “Ah, aku
tidak sangka sekali bocah itu ada begini punya tidak berbudi….”
“Ah, benar-benar aneh?” Cit It bilang.
Cie Kee heran. “Kenapa?” tanyanya.
Cit It diam, ia tidak memberi jawaban.
“Khu Totiang,” Tin Ok menanya. “Bagaimana caranya kau dapat mencari turunannya Yo Toako itu?”
“Itulah terjadi secara kebetulan,” sahut Tian Cun Cu. “Semenjak kita
membuat perjanjian, aku pergi kemana-mana mancari turunan kedua keluarga
Yo dan Kwee itu. Selama beberapa tahun, aku tidak memperoleh hasil.
Karena ini aku merasa bahwa dalam halnya pibu, pihak kami pastilah
kalah. Tapi aku tidak putus asa. Aku mencari terus. Kembali aku balik ke
Gu-kee-cun. Pada suatu hari aku melihat beberapa hamba negeri pergi ke
rumahnya saudara Yo itu, mereka mengangkut pergi semua barang perabotan
rumah tangga. Aku heran, lantas aku menguntit mereka. Di luar dugaan
mereka, aku mendapat dengar pembicaraan mereka. Nyatanya mereka bukanlah
sembarang orang. Merekalah pengikut-pengikutnya pangeran Chao Wang dari
negara Kim, mereka sengaja datang untuk mengangkuti isi rumahnya
saudara Yo. Mereka bilang, tidak boleh ada barang yang kurang, tak
terkecuali bangku, meja dan tombak serta luku juga. Oleh karena itu aku
heran, aku jadi bercuriga, maka aku menguntit mereka terus sampai di
Tiongtouw.”
Mendengar sampai di situ, Kwee Ceng sadar. Selama berdiam di dalam
gedung Pangeran Chao Wang, ia pernah melihat kamarnya Pauw Sek Yok serta
perlengkapannya. Ia heran seorang istri Pangeran, tetapi perlengkapan
rumahnya sangat miskin….
Khu Cie Kee melanjuti keterangannya: “Malamnya aku pergi memasuki gedung
pangeran itu. Ingin aku mendapat kepastian apa perlunya barang-barang
demikian diangkut jauh-jauh, dibawa ke istana. Setelah aku memperoleh
kenyataan, aku menjadi sangat gusar berbareng berduka dan terharu
sekali. Ternyata Pauw Sek Yok, istrinya saudara Yo itu, sudah menjadi
onghui, menjadi istrinya Pangeran Chao Wang itu. Saking murkanya,
berniat aku lantas membunuh Sek Yok itu. Kemudian aku mengubah pikiranku
itu. Segera aku mendapat kenyataan, Sek Yok tinggal di sebuah rumah
batu yang kecil, di situ ia memeluki dan mengusap-usap tombaknya saudara
Yo, semalam-malaman ia menangis saja. Teranglah ia tidak dapat
melupakan suaminya itu. Karena itu, aku batal membunuhnya. Kemudian lagi
aku mendapat keterangan, putranya Pangeran Chao Wang itu adalah
putranya saudara Yo. Lewat lagi beberapa tahun, setelah usianya Wanyen
Kang bertambah, aku mulai memberikan dia pelajaran ilmu silat.”
“Mungkinkah itu binatang sampai sebegitu jauh belum mengetahui asal-usulnya sendiri?” Tin Ok menanya.
“Tentang itu pernah aku mencoba mencari tahu,” berkata Khu Cie Kee. “Aku
mendapat kenyataan ia telah sangat terpengaruh harta dan kemuliaan,
karena itu, aku tidak lantas membeberkan rahasianya. Aku pikir hendak
menunggu sampai ia bertemu dan pibu sama Kwee Sie-heng, baru aku hendak
mengakurkan mereka, untuk kemudian menolongi ibunya, untuk pernahkan
mereka di suatu tempat tersembunyi. Aku tidak sangka sama sekali,
sebenarnya saudara Yo masih hidup, malah bersama-sama saudaraku, kita
kena terpedayakan hingga beginilah pengalaman kami yang pahit. Ah…!”
Mendengar itu, Bok Liam Cu menangis seraya menutupi mukanya.
Kwee Ceng lantas turut bicara, menuturkan bagaimana dia bertemu sama Yo
Tiat Sim, dan bagaimana mereka bertemu juga sama Pauw Sek Yok pada malam
itu.
Semua orang lantas memuji Pauw Sek Yok, yang ternoda saking terpaksa,
tetapi akhirnya dia berkorban untuk kehormatannya untuk cinta sucinya
terhadap suaminya.
Setelah itu, pembicaraan mereka beralih kepada soal bertanding nanti di bulan kedelapan.
“Seluruh anggota Coan Cin Pay bakal hadir, apalagi yang dibuat khawatir?” berkata Cu Cong.
“Aku berkhawatir mereka mengundang banyak kawan hingga jumlah kita
menjadi terlebih sedikit,” Ma Giok mengutarakan kekhawatirannya.
“Bisakah mereka mengundang banyak orang pandai?” Cie Kee bertanya.
“Bukan begitu, sutee,” berkata Tan Yang Cu seraya menghela napas.
“Selama beberapa tahun ini aku benar telah memperoleh banyak kemajuan,
hingga kau dapat memancarkan pengaruh partai kita, akan tetapi di
sebelah itu, jangan kita melupakan, tidak dapat kita bertemberang dan
menuruti adat muda…”
Cie Kee tertawa. “Jadi kita harus ketahui, bahwa di luar langit ada yang
terlebih tinggi, di atas orang pandai ada lagi orang yang terlebih
pandai?” katanya.
“Memang begitu. Lihat saja beberapa orang tadi, bukankah mereka itu tak
ada di bawahan kita? Coba mereka dapat mengundang lagi beberapa orang,
maka dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu sukar ditentukan dari sekarang,
siapa bakal kalah, siapa bakal menang….” jawab Ma Giok lagi.
“Tapi mungkinkah kita Coan Cin Pay bakal roboh di tangannya beberapa jahanam itu?” Khu Cie Kee menegasi.
“Segala apa tak dapat diduga, saudaraku. Buktinya ialah kejadian tadi.
Kalau tidak ada Kwa Toako dan Cu Jieko datang membantu, bukankah akan
runtuh nama baik kita yang sejak beberapa puluh tahun? Tidakkah kita
bertiga bakal kehilangan nyawa kita disini?” kata Ma Giok.
Tin Ok dan Cu Cong lekas-lekas merendahkan diri. “Mereka itu telah
menggunakan akal muslihat,” kata mereka. “Kemenangan mereka itu tak
dapat dibuat sebutan.”
Ma Giok menghela napas. “Memang kita harus berhati-hati,” katanya.
“Lihat saja Ciu Susiok kita. Ia telah mewariskan kepandaiannya guru
kita, kepandaiannya itu sepuluh lipat melebihi kita, tetapi ia terlalu
mengandalkan diri, sampai sekarang sudah belasan tahun, tak diketahui di
mana adanya dia. Maka itu Ciu Susiok itu harus dijadikan contoh.”
Mendengar perkataan kakaknya ini, Cie Kee berdiam.
Kanglam Liok Koay tidak mengetahui yang Coan Cin Cit Cu masih mempunyai
susiok, paman guru, mereka heran, tetapi mereka tidak berani menanyakan
keterangan.
Ong Cie It sendiri membungkam selama dua saudaranya itu berbicara.
Kemudian Khu Cie Kee melirik kepada Kwee Ceng dan Bok Liam Cu. “Kwa
Toako,” katanya tertawa. “Tidak kecewa murid yang kau pimpin itu. Yo
Sutee mendapatkan baba mantu seperti ini, ia mati pun meram….”
Merah mukanya Liam Cu, ia berbangkit, sembari tunduk ia berjalan untuk ke luar.
Ong Cie It dapat melihat caranya orang berbangkit dan bertindak,
mendadak berkelebatlah suatu ingatan di otaknya, sebat sekali ia turun
dari atas pembaringannya dan sebelah tangannya melayang ke pundak orang.
Hebat serangan mendadak ini, tatkala si nona sadar, pundaknya sudah kena
ditekan, percuma ia hendak mempertahankan diri, ia terhuyung ngusruk.
Tapi tangan kiri Cit It menyusul, sebelum ia jatuh, dia sudah dapat
ditolong. Dia heran dan kaget, dengan mendelong ia mengawasi imam itu.
Ong Cie It lantas tertawa. “Jangan kaget, Nona,” katanya. “Aku sedang
menguji kepandaianmu. Bukankah itu orang yang berilmu yang mengajari kau
ilmu silat cuma tiga hari mempunyakan hanya sembilan jari tangan dan
dandannya sebagai pengemis?”
Nona Bok menjadi terlebih heran lagi. “Eh, mengapakah totiang ketahui itu?” dia balik menanya.
Cit It tertawa pula. “Kiu Cie Sin Kay Ang Locianpwee itu memang aneh
sepak terjangnya,” ia berkata, menerangkan. “Dia mirip dengan naga sakti
yang nampak kepalanya tetapi tidak ekornya. Kau telah mendapat
pengajaran dari dia, Nona, kau beruntung sekali. Sebenarnya ada sangat
sukar akan mendapatkan ketika seperti kau itu.”
“Hanya sayang guruku itu tidak mempunyai tempo yang luang, dia cuma bisa mengajari tiga hari lamanya,” menambahkan si nona.
“Apakah kau tidak kenal kecukupan, Nona?” Ong Cie It menegaskan. “Kau
tahu, pengajarannya itu tiga hari melebihkan pengajaran lain orang
sepuluh tahun!”
“Totiang benar juga,” kata Liam Cu, yang terus berdiam tapi cuma
sejenak, terus ia menanya: “Apakah totiang ketahui di mana adanya Ang
Locianpwee itu sekarang?”
Cit It tertawa pula. “Perkataanmu menyulitkan aku, Nona!” ia berkata.
“Adalah pada dua puluh tahun yang lampau aku menemui dia di puncaknya
gunung Hoa San, habis itu aku tidak melihat dan mendengarnya pula.”
Liam Cu merasa kecewa, perlahan-lahan ia bertindak ke luar.
“Ong Totiang, siapakah itu Ang Locianpwee?” Han Siauw Eng menanya. Sejak
tadi si nona sudah tertarik hatinya mendengar disebutnya orang itu yang
ada dari tingkat lebih tinggi dan tua (locianpwee).
Imam she Ong itu tersenyum, ia balik ke pembaringannya.
“Han Lie-hiap,” Ong Cie It menanaya, “Pernahkah kau mendengar sebutan Tong Shia See Tok, Lam Tee Pak Kay dan Tiong Sin Thong?”
Nona Han itu berpikir. “Rasanya pernah aku mendengar tetapi aku tidak tahu apa artinya itu semua.”
Tiba-tiba Kwa Tin Ok memotong: “Ang Locianpwee itu bukankah Pak Kay dari Lam Tee Pak Kay itu?”
“Benar,” Ong Cie It memberikan jawabannya. “Tiong Sin Thong itu adalah almarhum Ong Cinjin yang menjadi guru kami.”
Kanglam Liok Koay kagum mendengar si orang she Ang sama tersohornya dengan gurunya Coan Cin Cit Cu.
Khu Cie Kee menoleh kepada Kwee Ceng, sembari tertawa ia berkata: “Bakal
istrimu itu ada muridnya Kiu Cie Sin Kay yang bernama besar, di
belakang hari siapa yang nanti berani menghinamu?”
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah, berniat ia membantah tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya.
“Ong Totiang,” kemudian Han Siauw Eng menanya pula. “Kau cuma menekan
pundaknya si nona, cara bagaimana kau lantas bisa mendapat tahu dialah
muridnya Kiu Cie Sin Kay itu?”
Selagi Cie It belum menyahuti, Cie Kee menggapai kepada Kwee Ceng, siapa
sudah lantas datang menghampirkan. Mendadak saja ia menekan pundak si
anak muda.
Kwee Ceng pernah mendapat pelajaran rahasianya ilmu dalam dari Ma Giok,
pelajaran yang disebut Hian-bun Ceng-cong, ia juga telah makan darahnya
ular, tenaga dalamnya kokoh sekali, dari itu tidaklah ia roboh tertekan
si imam.
Khu Cie Kee tertawa. “Anak yang baik!” katanya seraya mengangkat tekanannya.
Kwee Ceng tidak berani melawan lebih jauh tenaga dalam si imam itu tapi
justru itu, ia ditekan pula. Kali ini, tidak ampun lagi, ia roboh
terjengkang, sebab ia tidak bersiaga. Tapi ia tidak roboh terguling,
begitu pula tangannya mengenakan tanah, ia sudah berlompat berdiri pula.
Menyaksikan itu, semua orang tertawa.
“Anak Ceng,” Cu Cong lantas berkata, “Khu Totiang telah memberikan kau pelajaran, kau ingatlah baik-baik.”
Kwee Ceng menyahuti sambil mengangguk.
“Han Lie-hiap,” Khu Cie Kee berkata pula, sekarang kepada Han Siauw Eng,
“Siapa pun yang mempelajari ilmu silat, jikalau ia ditekan secara
barusan, mesti ia roboh terjengkang, cuma ilmu silatnya Kiu Cie Sin Kay
yang tidak mempan tekanan, paling-paling orang terhuyung ke depan.
Sebabnya ini ialah kepandaian Ang Locianpwee itu banyak yang
bertentangan sama ilmu silat yang kebanyakan.”
Liok Koay kagum untuk pengetahuan luas dari kaum Coan Cin Pay itu.
“Apakah Ong Totiang pernah melihat Kiu Cie Sin Kay bersilat?” Cu Cong tanya.
“Pada duapuluh tahun dulu itu,” menyahut Ong Cie It, “Kiu Cie Sin Kay
telah berkumpul berlima bersama Oey Yok Su di puncak gunung Hoa San, di
mana mereka merundingkan ilmu silat pedang, karena aku senantiasa
mendampingi guruku, aku jadi dapat mendengar penguraiannya Kiu Cie Sin
Kay itu.”
“Bukankah Oey Yok Su itu adalah Tong Shia dari Tong Shia See Tok?” Tin Ok tanya pula.
“Benar,” menjawab Tiang Cun, yang terus berpaling pada Kwee Ceng sambil
tertawa mengatakan: “Syukur Ma Suko telah ajarkan kau ilmu silat tetapi
di antara kamu belum ada hubungan murid dan guru, jikalau tidak, mungkin
terbit salah paham. Kau mesti terlebih rendah tingkatannya dari pada
bakal istrimu itu, dengan begitu seumurmu, tidak nanti kau dapat
menanjak naik….”
Kwee Ceng jengah, mukanya merah. “Tidak dapat aku menikah dengannya,” katanya.
Khu Cie Kee heran, hingga air mukanya berubah. “Kenapakah?” tanyanya.
Han Siauw Eng menyayangi muridnya itu, ia merasa kasihan, ia mewakilkan
menyahut. “Kami cuma ketahui turunan Yo toako adalah anak laki-laki,
maka itu selama di Mongolia anak Ceng ini sudah bertunangan. Oleh Khan
besar dari Mongolia, Jenghiz Khan, ia telah diangkat menjadi Kim-to
Hu-ma.”
Mendengar keterangan itu, Khu Cie Kee tertawa dingin. “Bagus betul!”
katanya. “Orang adalah satu putri, pantaslah dia beda dari pada yang
lainnya. Tetapi disini adalah mengenai pesan orang tua mereka. Adakah
kamu tidak memperdulikan itu?!”
Kwee Ceng menjadi ketakutan, ia lantas saja menekuk lututnya. “Teecu
belum pernah sekali juga bertemu sama ayahku almarhum,” ia berkata,
“Dari itu tidak tahu teecu tentang pesan ayahku itu. Sukalah Totiang
memberi petunjuk.”
Cie Kee tertawa. “Ya, kau tidak dapat dipersalahkan!” katanya. Tadi ia
tak ingat akan hal ini. Habis itu lalu ia menutur kejadian pada delapan
belas tahun yang lampau di Gu-kee-cun, bagaimana ia berkenalan sama Kwee
Siauw Thian dan Yo Tiat Sim, bagaimana ia sudah pukul mundur musuh,
bagaimana ia menyusul dua orang itu hingga jadi bentrok sama Kanglam Cit
Koay, dengan kesudahannya dibuat perjanjian pibu antara keturunannya
Siauw Thian dan Tiat Sim itu.
Kwee Ceng lantas saja menangis. Baru sekarang ia ketahui jelas tentang
dirinya sendiri. Ia berduka untuk sakit hati ayahnya, sakit hati mana
belum terbalas. Karena ini juga ia menjadi ingat baik-baik budi semua
gurunya.
Han Siauw Eng menghibur muridnya, ia kata: “Sudah lumrah, laki-laki
mempunyakan tiga istri serta empat gundik, maka itu belakang hari
bolehlah kau memberitahukan kepada Khan yang agung halnya kau akan
menikah dua istri. Ini toh untuk kebaikan kedua pihak, bukan?”
Kwee Ceng menepas air matanya. “Aku juga tidak akan menikahi Putri Gochin!” katanya.
Nona guru itu menjadi terkejut dan heran. “Kenapakah?” tanyanya.
“Aku tidak senang ia menjadi istriku,” Kwee Ceng menyahut dengan terus terang.
“Bukankah kau kenal ia dengan baik dan pernah bergaul rapat?” Siauw Eng menanya pula.
“Ya, tetapi aku pandang ia sebagai adik saja, sebagai sahabat. Aku tidak ingin menikah dengannya.”
Khu Cie Kee menjadi girang mendengar itu. “Anak yang baik, kau
bersemangat!” pujinya. “Peduli apa dia Khan yang agung atau tuan putri,
kau baiklah turut pesan ayahmu almarhum dan paman Yo-mu itu, kau menikah
dengan nona barusan!”
Kwee Ceng menggeleng kepala. “Aku juga tidak akan nikahi nona ini,” katanya.
Semua orang menjadi heran, tidak tahu mereka apa yang dipikirkan pemuda ini.
“Apakah kau telah mempunyai nona lain yang kau penujui?” tanya Siauw Eng
perlahan. Dasar wanita, nona Han ini dapat menyelami hati orang.
Muka Kwee Ceng menjadi merah, dia berdiam sejenak, baru ia mengangguk.
Han Po Kie dan Khu Cie Kee terperanjat. “Siapakah nona itu?!” tanya mereka keras.
Kwee Ceng mengasih dengar suaranya perlahan, ia tidak menjawab.
Sedetik itu, Han Siauw Eng lantas ingat Oey Yong, yang ia telah
perhatikan ketika malam itu bertempur dengan Bwee Tiauw Hong dan Auwyang
Kongcu beramai di dalam istana pangeran. Ia ketahui nona itu berkulit
putih bersih dan cantik menarik.
“Bukankah kau maksudkan si nona baju putih?” ia tegaskan muridnya itu.
Kwee Ceng tidak menjawab tetapi mukanya menjadi merah.
“Siapakah dia itu?” Khu Cie Kee tanya si nona Han.
“Aku dengar Bwee Tiauw Hong memanggil ia sumoay dan kepada ayahnya
suhu…” menjawab Siauw Eng perlahan sekali. (Sumoay = adik seperguruan
wanita dan suhu = guru)
Dua-dua Kwa Tin Ok dan Khu Cie Kee terperanjat, hingga mereka berlompat
bangun. “Mustahilkah ia putrinya Oey Yok Su?” tanya mereka berbareng.
Siauw Eng tarik tangan muridnya, untuk si murid datang dekat kepadanya.
“Anak Ceng, apakah nona itu she Oey?” ia menanya perlahan.
Kwee Ceng mengangguk. “Ya,” sahutnya, perlahan juga.
Mendapat jawaban itu, Han Siauw Eng tergugup.
“Apakah ayahnya yang jodohkan kau dengan putrinya?” tanya Cu Cong.
“Aku belum pernah bertemu dengan ayahnya dan tidak tahu siapa itu ayahnya,” si murid menjawab.
“Kalau begitu, kamu jadi mufakat berdua saja?” Cu Cong menanya pula.
Kwee Ceng tidak mengerti jelas, ia membuka lebar matanya tanpa menjawab.
“Bukankah dia mengatakan mesti menikah dengamu dan kau membilang akan nikahi dia?”
“Tidak pernah dikatakan begitu…” sahut Kwee Ceng, yang terus berdiam,
tetapi sesaat kemudian ia menambahkan: “Tidak usahlah itu dijelaskan
lagi. Aku tidak dapat tidak mempunyai dia dan dia juga tidak dapat tidak
mempunyai aku, hati kita sama mengetahuinya….”
Han Po Kie belum pernah mengenal asmara, mendengar itu ia menjadi tidak puas. “Habis bagaimana jadinya!” ia membentak.
Cu Cong lain lagi. Berkata ini guru yang nomor dua: “Kau tahu tidak,
ayahnya nona itu adalah satu iblis besar, yang kalau membunuh orang
tidak pernah mengicap matanya? Jikalau ia ketahui kau secara diam-diam
mencuri mengambil hati anak gadisnya, apa kau sangka kau masih mempunyai
jiwamu itu? Bwee Tiauw Hong belum mewariskan satu persepuluh dari
kepandaian gurunya itu, dia sudah sangat lihay, maka jikalau tuan dari
Pulau Tho Hoa To itu hendak membunuh kau, siapa yang dapat
menolonginya?”
“Yong-jie demikian baik, aku pikir….aku pikir ayahnya tak mungkin bukan orang baik-baik,” berkata si murid perlahan.
“Angin busuk!” membentak Po Kie, yang tetap murka. “Kau mesti bersumpah
bahwa untuk selanjutnya kau tidak akan bertemu pula dengan nona itu!”
Kanglam Liok Koay sangat membenci Hek Hong Saing Sat yang telah
membinasakan Siauw Mie To Thio A Seng si Buddha Tertawa, dengan
sendirinya mereka jadi membenci juga guru orang itu.
Kwee Ceng menjadi susah hati. Di satu pihak adalah guru-gurunya yang
telah melepas budi banyak kepadanya, di lain pihak adalah cinta sejati.
Ia pikir, kalau seumurnya ia tidak dapat bertemu lagi Oey Yong, apakah
artinya hidupnya itu – buat apa ia menjadi manusia? Ia jujur dan polos,
dari itu halus sekali perasaannya. Tempo ia dapat melihat guru-gurunya
itu mengawasi ia dengan bengis, hancur rasa hatinya. Ia lantas menekuk
lutut, air matanya turun mengalir di kedua pipinya.
Han Po Kie lantas maju setindak. “Lekas bicara!” ia membentak.
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, di luar jendela sudah terdengar suaranya
seorang wanita muda, “Kenapa kamu main paksa orang?!” Tercenganglah Tin
Ok semua. Sedang begitu, si nona itu telah berkata pula, “Engko Ceng,
lekas ke luar!”
Kwee Ceng kenali suaranya Oey Yong, ia kaget dan berbareng heran. Ia
lantas berbangkit dan memburu ke luar. Di depannya berdiri si nona
cantik, tangan kirinya memegangi pelana kuda Han-hiat Po-ma.
Kuda merah itu meringkik panjang, apabila ia melihat ini anak muda, lalu kedua kaki depannya diangkat, untuk berjingkrakan.
Han Po Kie bersama Cu Cong dan Coan Kim Hoat memburu ke luar, diikuti Khu Cie Kee berempat.
Menampak ketiga guru itu, Kwee Ceng menunjuk kepada si nona seraya
berkata; “Sam-suhu, inilah dia si nona, dia bukannya siluman!”
Oey Yong menjadi gusar. “Hai, orang kate terokmok yang menyebalkan untuk
dilihat, kenapa kau berani memaki aku perempuan siluman?!” dia menanya
sambil membentak. Dia pun segera menuding Cu Cong tanpa menanti lagi
jawabannya Ma Ong Sin si Malaikat Raja Kuda, untuk menambahkan: “Ada
lagi kau, mahasiswa iblis yang jorok kotor, kenapa kau mencaci ayahku?
Kenapa kau katakan ayahku satu iblis besar yang membunuh orang tidak
mengicap mata?!”
Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay sabar, ia tidak sudi
melayani seorang nona, maka itu ia tersenyum. Ia mesti akui nona ini
sangat cantik, seumurnya belum pernah ia lihat lain nona yang
melebihkannya, jadi tidaklah heran yang Kwee Ceng menjadi jatuh hati
kepada si nona.
Tapi beda dengan kakaknya yang kedua ini, Han Po Kie gusar bukan main,
sampai kumisnya bangun berdiri. “Pergi kau! Lekas kau pergi!” ia
mengusir.
Bukannya si nona Oey itu pergi, ia justru menepuk-nepuk tangan, ia
bernyanyi. “Hai, labu parang! Hai, bola kulit bundar! Ditendang satu
kali, lalu bergelindingan!”
“Jangan nakal, Yong-jie!” kata Kwee Ceng lekas mencegah. “Inilah guruku….”
Han Po Kie maju, ia mengulurkan tangannya akan menolak si nona itu untuk diangkat pergi.
Masih Oey Yong bernyanyi: “Labu parang! Bola kulit bundar!” Ia pun
mundur dari tangannya si kate terokmok itu, hanya sambil mundur,
mendadak tangannya menyambar pinggang Kwee Ceng, yang terus ia bawa
berlompat, maka sedetik kemudian, keduanya sudah bercokol di atas kuda
merah, tempo mana si nona itu mengedut tali les, Han-hiat Po-ma membuka
tindakan lebar dan kabur!
Han Po Kie boleh sangat gesit dan sebat tetapi tidak sanggup ia menyandak kuda jempolan itu.
Ketika kemudian Kwee Ceng sempat menoleh ke belakang, wajah Po Kie semua
terlihat hanya samar-samar saja, lantas bergelempang hitam, terus
lenyap, saking keras larinya si kuda merah itu!
Oey Yong mencekal les dengan tangan kanan, tangan kirinya memegang
tangannya si anak muda, hatinya berdenyut keras, walaupun belum lama
mereka berpisahan, Kwee Ceng sendiri bingung sekali. Berat untuknya akan
perpisahan secara demikian dari keenam gurunya itu, sebaliknya, pepat
juga hatinya kapan ia mengingat gurunya itu hendak memisahkan ia dari
pacarnya. Mana bisa ia tunduk kepada mereka itu?
Kabur kira-kira satu jam lamanya, Han-hiat Po-ma telah terpisah dua
ratus lie dari kota Yan-khia. Sampai di situ barulah Oey Yong menarik
tali les kudanya, untuk mengasih kudanya berhenti. Lantas ia lompat
turun dari binatang tunggangannya itu, diturut oleh pemuda pujaannya
itu. Kuda itu menggosok-gosok lehernya ke pinggang si anak muda,
menandakan kelulutannya.
Sepasang muda-mudi ini berpegagan tangan, mereka berhadapan tanpa
mengucapkan sepatah kata. Banyak yang mereka ingin ucapkan, tetapi
mereka tidak tahu harus bagaimana memulainya. Cuma hati mereka yang
berbicara satu pada lain……….
Beberapa saat kemudian, baru Oey Yong melepaskan tangannya dari tangan
Kwee Ceng. Ia merogoh ke kantung kulit di pelana, ia menarik ke luar
sepotong sapu tangan, terus ia pergi ke tepi kali kecil di dekatnya,
untuk mencelup saputangan itu, kemudian ia kembali ke pemudanya.
“Kau pakailah ini,” katanya perlahan, meminta orang menyusut mukanya yang keringatan.
Kwee Ceng berdiri bengong, agaknya ia berpikir keras sekali. Ia tidak
menyambuti saputangan itu, hanya sekonyong-konyong ia berkata, keras;
“Yong.jie, tidak dapat kita berbuat begini….”
Pemudi itu terperanjat, ia menatap, “Apa katamu?” tanyanya.
“Kita harus kembali,” Kwee Ceng bilang. “Kita mesti menemui guruku semua…!”
Kembali Oey Yong terperanjat. “Kembali?” ia menegasi. “Kita kembali bersama?”
“Benar!” sahut pemuda itu. “Hendak aku mencekal tanganmu, kepada guruku
semua dan Ma Totiang beramai ingin aku mengatakan; ‘Inilah Yong-jie! Dia
bukannya siluman perempuan!’” Sembari berkata begitu, ia menarik tangan
yang putih mulus dan lemas dari si nona, kemudian ia angkat kepalanya,
untuk mengawasi wajah orang. Ia agaknya hendak mengatakan pula; “Suhu,
budi kamu besar laksana gunung, walaupun tubuhku hancur luluh, sukar aku
membalasnya…Tapi, tapi Yong-jie bukannya siluman, dialah satu nona yang
baik sekali…” ia hendak omong banyak, tapi cuma sampai di situ,
berhentilah pikirannya melamun.
Mulanya Oey Yong tersenyum, ia anggap orang jenaka sekali, tetapi
kemudian hatinya tergerak. Ia lantas berkata: “Engko Ceng, semua gurumu
sangat benci aku, percuma kau omong banyak dengan mereka itu. Sudahlah,
jangan engkau kembali! Mari kita pergi ke sebuah gunung sunyi, atau ke
sebuah pulau mencil di laut, supaya mereka itu selama umurnya tidak
dapat mencari kita….”
Kwee Ceng tetap menatap. “Yong-jie,” katanya, suaranya mantap, “Tidak dapat tidak, kita mesti kembali.”
“Tapi mereka itu hendak memisahkan kita, nanti kita tidak bakal bertemu pula,” kata si nona pula.
“Biarnya mati, kita tidak bakal berpisah!” si pemuda memastikan.
Semangat Oey Yong terbangun, kalau tadi hatinya berdebaran, sekarang hatinya itu menjadi mantap.
“Benar!” pikirnya. “Paling banyak kita mati! Mustahil ada yang lebih
hebat dari kematian?” Maka ia kata: “Engko Ceng, untuk selama-lamanya
aku akan dengar perkataanmu! Sampai mati juga kita tidak akan berpisah!”
“Memang!” sahut si anak muda. “Aku sudah bilang, kau adalah satu nona yang manis!”
Nona itu tertawa. Ia merogoh pula kantong kulitnya, sekarang ia
mengeluarkan sepotong besar daging mentah, ia gulung itu dengan lumpur,
terus ia tambus. Ia menyalakan api dengan kayu kering.
“Biarlah si kuda kecil merah beristirahat,” kata pula si nona. “Habis beristirahat baru kita kembali.”
Kwee Ceng mengangguk, hatinya puas.
Tidak lama kemudian keduanya mulai menggayem daging tambus itu, kuda
mereka juga sudah kenyang makan rumput. Sebentar kemudian, dengan
menaiki kuda, mereka ambil jalan dari mana tadi mereka datang. Di waktu
lohor, mereka tiba di hotel. Turun dari kudanya, Kwee Ceng pegang
tangannya Oey Yong untuk diajak masuk ke dalam.
Pelayan hotel girang melihat kembalinya si anak muda, ia menyambuti
dengan wajah berseri-seri. Ia pernah menerima persen dari Kwee Ceng.
“Kau baik, Tuan?” tegurnya. “Mereka itu sudah berangkat pergi. Tuan ingin dahar apa, silakan sebutkan.” katanya.
Tapi Kwee Ceng terperanjat. “Mereka sudah pergi?” ia mengulangi. “Adakah pesanannya?”
“Tidak, mereka menuju ke Selatan, perginya sudah selang dua jam.” jawab si jongos.
“Mari kita susul mereka!” Kwee Ceng mengajak kekasihnya.
Oey Yong menurut, maka mereka tinggalkan rumah penginapan itu, mereka
kaburkan kuda mereka ke arah yang disebutkan si pelayan itu, yang heran
menampak orang pergi secara demikian kesusu. Di sepanjang jalan mereka
memasang mata. Sampai sore, mereka tidak dapat menemukan Kanglan Liok
Koay.
“Mungkin suhu telah mengambil lain jalan,” kata Kwee Ceng. Ia membaliki kudanya.
Han-hiat Po-ma kuat sekali, walaupun penunggangnya dua orang, ia dapat
lari tak kurang cepatnya, ia tidak menjadi lelah. Hanya sampai cuaca
gelap, mereka tetap tidak melihat Kanglam Liok Koay atau ketiga orang
Coan Cin Pay. Kwee Ceng menjadi masgul.
Oey Yong menghibur. Katanya: “Di harian Tiong Ciu mereka bakal berkumpul
di Yan Ie Liauw di Kee-hin, di sana kau pasti bakal dapat menemukan
mereka.”
“Untuk sampai kepada hari raya Tiong Ciu, temponya masih setengah tahun lagi,” kata si anak muda, lesu.
Tapi si nona tertawa manis. “Selama setangah tahun kita toh dapat pesiar
ke segala tempat kenamaan!” katanya. “Apakah itu tidak terlebih bagus?”
Mau tidak mau, Kwee Ceng menyatakan setuju. Hatinya menjadi lega juga.
Keduanya lantas memasuki dusun, akan mencari penginapan, guna melewatkan sang malam.
Besoknya Kwee Ceng membeli seekor kuda putih yang besar, untuk ia,
supaya Oey Yong dapat menaiki kuda merah kecil itu seorang diri. Tidak
leluasa untuk mereka terus menunggang seekor kuda.
Oey Yong tidak dapat menampik kehendak pemudanya itu.
Demikian dengan merendengkan kuda, mereka berjalan perlahan-lahan, untuk
menikmati keindahan sang malam. Mereka pergi tanpa tujuan. sering
mereka turun dan duduk saling menyender di tempat yang sepi. Kalau
singgah dan bermalam, mereka pun menyewa sebuah kamar. Hati mereka
lapang, tidak ada pikiran yang bukan-bukan yang menyandingi mereka.
Mereka melainkan memikirkan pesiar dan terbukalah hari mereka.
Pada suatu hari tibalah mereka di baratnya perbatasan antara
Liongkeng-hu dan Tayleng di sebelah timur kota raja. Ketika itu sudah
mendekati hari raya Toan-yang, hawa udara mulai panas. Dahi Oey Yong
telah berkeringatan. Selagi mereka hendak cari tempat untuk meneduh, si
nona mendengar suara mengericiknya air . Ia lantas larikan kudanya ke
arah suara itu. Untuk girangnya ia mendapatkan sebuah kali kecil, sampai
ia berseru.
Kwee Ceng mengasih kudanya lari menyusul.
Kali itu berair bening, hingga nampak dasarnya. Di kedua tepinya ada
tumbuh banyak pohon yang-liu, yang cabang dan daunnya meroyot ke air. Di
dalam air pun terlihat sejumlah ikan berenang pergi datang.
Oey Yong gembira sekali, hingga ia membuka pakaian luarnya, lalu terjun ke air.
Kwee Ceng terkejut, hingga ia menjerit. Ia lari ke tepian, hatinya lega.
Segera ia melihat si nona berenang di dalam air, menangkap dua ekor
ikan yang panjangnya kira-kira satu kaki, ketika diangkat ke muka air,
ekornya kedua ikan itu bergerak-gerak, begitupun kepalanya.
“Sambut!” si nona berseru, kedua tangannya terayun.
Kwee Ceng sudah lantas menyambuti, ia bisa memegang kedua ikan itu,
tetapi saking licinnya, ikan itu melejit dan lolos, jatuh ke tanah, di
mana keduanya berloncatan.
Oey Yong tertawa geli. “Engko Ceng, mari turun, kita berenang!” ia memanggil.
Kwee Ceng tidak bisa berenang, ia menggeleng kepala. Ia menjadi besar di gurun pasir.
“Turunlah, nanti aku ajari!” kata si nona.
Pemuda ini menjadi tertarik, maka ia pun membuka baju luarnya, lalu
turun ke kali. Ia tidak menerjun seperti si nona, tetapi ia turun dengan
perlahan-lahan, tangannya pun diulurkan. Si nona jail sekali, ia
menghampirkan, tahu-tahu ia telah merabuh kaki orang, maka tidak tempo
lagi, tubuh Kwee Ceng terpelanting. Ia kaget, karenanya, ia menegak air!
Oey Yong lekas pegangi tangan orang, ia menertawai.
“Begini menggeraki tangan,” si nona benar-benar lantas mengajari. Ia pun
membilangi, untuk selulup mesti menahan napas dan mata dapat dirapati
atau dimeleki.
Untuk Kwee Ceng, pelajaran berenang itu gampang sekali. Dengan dapat
mengatur napasnya, dengan cepat ia telah dapat mengerti. Demikian ia
bisa berenang hilir mudik dan selulup timbul. Tentu sekali, ia menjadi
bertambah gembira, sedang kawannya demikian manis dan lincah.
Tidak puas dengan mandi di satu tempat saja, mereka berenang mudik,
sampai kuping mereka mendapat dengar suara air nyaring. Kemudian
ternyata, di Selatan itu ada air terjun yang yang tingginya lebih dari
pada sepuluh tombak, bagaikan rantai perak, air meluncur turun.
“Engko Ceng,” kata si nona sangat bergembira, “Mari kita mendaki air tumpah itu!”
“Baik, mari kita mencoba!” Kwee Ceng menyambut. “Kau pakailah baju lapismu!”
“Tidak usah!” menyahut si nona. “Mari kita mulai!”.
Kata-kata itu disusul sama gerakan tubuh yang lincah, berbareng dengan
mana, si pemuda pun menggeraki kaki tangannya. Tapi air deras sekali,
keduanya gagal. Beberapa kali mereka mencoba, tetapi mereka tidak
berhasil.
Kwee Ceng penasaran sekali. “Baiklah kita beristirahat, besok kita coba pula!” katanya pada kawannya.
“Baik!” tertawa Oey Yong. Ia pun penasaran.
Besoknya percobaan diulangi, kali ini mereka dapat naik hingga setombak
lebih. Hati mereka menjadi besar, mereka mencoba terus. Inilah suatu
latihan bagus bagi mereka, yang ilmunya ringan tubuh sudah sempurna.
Latihan ini terus dilakukan terus, maka juga di hari kedelapan, Kwee
Ceng bisa menyampaikan puncak air terjun itu, dengan menyambar dan
menarik tangan orang, ia membantu Oey Yong naik juga.
Bukan main girangnya muda mudi ini.
“Mari kita turun pula!” Kwee Ceng mengajak. Lalu keduanya menyebur mengikuti air tumpah itu.
Demikian mereka berlatih, naik dan turun. Dalam sepuluh hari, Kwee Ceng
dapat berenang dengan baik walaupun ia masih kalah lincah dari si nona,
ialah untuk menangkap ikan, ia tak dapat menyaingi.
Puaslah hatinya sepasang anak muda ini, maka di hari kesebelas baru
mereka melanjuti perjalanan ke Selatan. Sampai di hulu sungai Tiang
Kang, hari mulai sore. Terbuka hati Kwee Ceng menyaksikan kebesarannya
sungai itu, yang airnya terus mengalir, gelombangnya saling susun.
“Kau mau berenang, engko Ceng?” tanya si nona. “Marilah!”
“Baik!” sahut si anak muda. Dan ia lompat turun dari kuda putihnya, dan
tepuk kempolannya. “Kau tidak punya guna, pergilah!” Ia pun melepaskan
tali les. Di lain pihak, ia menghampirkan kuda merah.
Kapan kuda merah itu telah ditepuk, dengan berani dia terjun ke sungai,
sembari terjun ia meringkik keras dan panjang, terus ia berenang pergi.
Kwee Ceng dan Oey Yong pun segera terjun, untuk menyusul. Pandai berenangnya kuda merah itu, dia mendahului di muka.
Di tempat di mana mereka terjun ini tidak ada lain orang, dengan begitu mereka tidak menarik perhatian siapa juga.
Belum begitu lama, tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Sebab mega sudah
lantas bergumpal-gumpal, langit menjadi mendung. Lalu kemudian
terdengarlah suara guntur saling susul dan terlihat kilat
menyambar-nyambar.
“Takutkah kau, Yong-jie?” Kwee Ceng tanya.
“Ada bersama-sama kau, aku tidak takut!” menjawab si nona tertawa.
Pemuda itu tersenyum.
Di bawah hujan besar, mereka berenang terus hingga di lain tepi di mana
mereka mendarat. Mereka menanti sampai air langit itu berhenti turun,
ketika itu tibalah sang malam dan rembulan memancarkan sinarnya di
langit yang bersih. Mendung sirna, mega berkumpul lenyap.
Kwee Ceng mencari kayu kering, untuk menyalakan api unggun, di situ
mereka memanggang pakaian mereka hingga kering, kemudian keduanya rebah
tidur di udara terbuka. Mereka polos, mereka tidak ingat suatu apa.
Keduanya sadar besoknya fajar, tempo mereka dengar suara ayam berkeruyuk dari sebuah rumah tak jauh dari tepi sungai.
“Aku lapar!” berkata Oey Yong, yang menguap. Ia berbangkit, untuk lari
ke rumah tadi, sebentar kemudian, ia sudah lari balik, bersama seekor
ayam jago yang besar di tangannya.
“Mari kita pergi ke sana, supaya pemilik rumah tidak melihat kita,” Kwee Ceng mengajak.
Si nona mengangguk, lantas mereka berjalan sampai sejauh satu lie
kira-kira. Kuda merah terus mengikuti mereka. Di sini Oey Yong sembelih
ayam itu, lalu di cuci bersih, kemudian ia gulung dengan lumpur, untuk
ditambus. Maka di lain saat matanglah ayam itu, rontok bulu dan
kulitnya, terlihatlah dagingnya yang gemuk. Di saat si nona hendak
membeset ayam itu, tiba-tiba ia dengar suara dari belakangnya; “Besetlah
menjadi tiga potong, pahanya kasih aku!”
Kedua muda-mudi itu terkejut. Bukankah kuping mereka lihay? Kenapa
mereka tidak dengar berkelisiknya orang, hingga orang tahu-tahu sudah
berada di belakang mereka? Mereka memutar tubuh dengan cepat. Maka
terlihatlah seorang pengemis usia pertengahan, pakaiannya banyak
tambalannya, cuma anehnya, bahannya semua tersulam, hingga mirip pakaian
pengemis di atas pentas. Dia pun memegang sebatang tongkat yang mirip
batu pualam, sedang di punggungnya tergemblok sebuah cupu-cupu besar
yang merah warnanya. Wajah orang tampak acuh tak acuh wajar sekali.
Belum lagi si muda-mudi itu memberi penyahutan, mereka suka membagi ayam
mereka atau tidak, si pengemis sudah lantas menjatuhkan diri duduk di
hadapan mereka, tangannya meraba punggungnya, untuk mengambil
cupu-cupunya itu, yang tutupnya ia terus buka, maka di detik itu juga
tersiarlah harumnya arak. Dia menggelogoki arak itu beberapa ceglukan,
terus ia mengangsurkan kepada si anak muda.
“Eh, bocah, kau minumlah!” katanya.
Sebenarnya Kwee Ceng tidak puas untuk kelakuan orang yang tak hormat
itu, tetapi karena tingkah laku itu aneh, tidak berani berlaku kasar.
“Aku tidak minum arak, lojinkee, kau minumlah sendiri!” sahutnya hormat.
“Dan kau nona kecil, kau minum arak atau tidak?” si pengemis itu menanya Oey Yong.
Si nona tidak menyahuti, ia cuma menggelengkan kepalanya. Tapi sangat
jeli matanya, dalam sesaat ia telah dapat melihat jeriji tangan si
pengemis yang memegang tempat araknya. Untuk terkejutnya, jeriji itu
cuma sembilan, lenyap satu dari lima jeriji tangan kanan! Ia lantas
ingat kata-katanya Ong Cie It dan Khu Cie Kee perihal Kiu Cie Sin Kay,
si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan.
“Benarkah di kolong langit ini ada peristiwa begini kebetulan?” ia tanya diri sendiri. “Baiklah aku dengar suaranya.”
Nona ini tertawa di dalam hati apabila ia sudah mengawasi wajah si
pengemis yang terus memandangi ayamnya, hidung dia itu bergerak-gerak,
mulutnya berkelemikan tanda mengilarnya. Tetapi ia tidak memikir untuk
menjaili orang, maka ia lantas besat ayamnya dibagi dua, yang separuh ia
sodorkan pada orang tua itu. Pengemis itu menyambuti seperti menyambar,
terus ia masuki ayam itu ke mulutnya, dan terus menggayem. Sangat
bernafsu ia mendaharnya hingga lekas juga paha ayam itu termakan habis!
Tulang-tulang ayam itu ia semburkan.
“Sungguh lezat! Sungguh lezat!” ia memuji berulang-ulang. “Biarnya aku
si leluhur pengemis, tidak bisa aku mematangi ayam selezat ini!”
Oey Yong tertawa, ia menyodorkan pula sepotong lainnya.
“Ah, mana dapat!” pengemis itu menolak. “Kamu berdua belum makan….”
Mulutnya mengatakan begitu, tetapi tangannya menyambuti, maka di lain
saat, habis sudah sebelah ayam tambus itu! Lantas ia menepuk-nepuk
perutnya. “Hai, perutku, perutku!” ia mengoceh seorang diri, “Bukankah
jarang sekali kau gegares ayam begini lezat?”
Mau tidak mau, si nona tertawa geli.
Pengemis itu merogoh ke sakunya, mengeluarkan sepotong besar perak, yang
mana ia sodorkan kepada Kwee Ceng. “Bocah, kau ambillah ini!” katanya.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Kami menganggap kau sebagai sahabat, kami tidak menginginkan uang,” jawabnya.
Pengemus itu menyeringai, agaknya ia likat. “Inlah sulit,” katanya.
“Meskipun aku pengemis, tidak biasa aku menerima budi orang sedikit
juga.”
“Apakah artinya seekor ayam?” berkata Kwee Ceng tertawa. “Laginya, ayam
ini pun kami dapatkan dengan jalan tangan panjang, tanpa perkenan dari
pemiliknya….”
Pengemis itu tertawa terbahak-bahak. “Ah, anak muda, tabiatmu sama
dengan tabiatku!” katanya. “Mari, mari bilangi aku, kau ada niat apa,
kau kasih aku dengar!”
Belum lagi si pemuda menyahuti, Oey Yong sudah dului padanya. “Aku masih
punya beberapa macam sayuran untuk kau cobai, lojinkee!” katanya manis.
“Maukah kau turut kami pergi ke pasar di sana?”
Pengemis itu nampaknya sangat girang. “Bagus, bagus!” ia menyahuti.
“Lojinkee she apa?” Kwee Ceng menanya.
“Aku she Ang, anak yang ketujuh,” menjawab pengemis itu. “Maka kamu berdua, anak-anak, kau panggil saja aku Ang Cit Kong.”
“Ha, benar saja dia!” kata Oey Yong di dalam hatinya. “Tapi dia masih
begini muda, cara bagaimana dia sama kesohornya dengan Coan Cin Cit
Cu?....”
Walaupun ia memikir demikian, Oey Yong tidak bilang suatu apa. Bertiga
mereka sudah lantas berjalan menuju ke Selatan, di mana ada sebuah dusun
namanya Kiang-bio-tin. Lantas saja mereka mencari pondokan.
“Kamu berdua menanti sebentar, aku hendak membeli bumbu,” kata Oey Yong, yang terus pergi meninggalkan mereka.
Ang Cit Kong mengawasi belakang si nona, lalu ia tertawa. Ia kata kepada Kwee Ceng, “Adakah dia itu istrimu?”
Merah mukanya Kwee Ceng, sulit untuk ia mengiakan atau menyangkal. Ang
Cit Kong tidak menanya pula, dia tertawa, lalu ia duduk nyender di
kursinya, matanya meram melek.
Tidak lama Oey Yong kembali dengan sayuran dan bumbunya, ia pergi ke
dapur untuk matangi itu. Kwee Ceng hendak membantui, sembari tertawa,
pemuda ini ditolaknya.
Selang setengah jam, Ang Cit Kong menguap. Segera ia mengendus-endus.
“Ah, harum sekali!” katanya. “Masakan apakah itu, ah?!” Ia melongok ke
arah dapur, lehernya diulur panjang-panjang.
Melihat tingkah laku orang, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.
Bau wanginya barang hidangan mendesak, tetapi Oey Yong belum juga
muncul. Si pengemis jadi serba salah, ia bangun, ia duduk, bangun pula,
duduk kembali.
“Kau tahu tabiatku?” katanya pada Kwee Ceng, yang ia awasi. “Mulutku
aneh, asal aku merasai makanan lezat, lantas aku lupa segala apa!” Kali
ini ia tidak likat-likat lagi. Ia perlihatkan tangan kanannya, ia
menambahkan: “Orang dahulu membilang, jari telunjuk dapat bergerak,
inilah benar. Aku, asal aku melihat orang dahar makanan lezat jeriji
telunjukku ini lantas bergerak-gerak tak hentinya, maka satu kali,
saking sengit, aku bacok kutung padanya….”
“Oh….!” Kwee Ceng berseru.
Tapi si pengemis tertawa. Katanya pula; “Meski jari tanganku lenyap, tabiatku tetap ada tak berubah…!”
Baru itu waktu Oey Yong muncul bersama sebuah penampan, di atas itu ada
dua mangkok nasi, berasnya putih, secawan arak serta dua mangkok
sayuran. Dua mangkok sayuran itu lantas dipindahkan ke meja.
Kwee Ceng merasakan bau harum, tanda lezatnya masakan itu. Masih ada
semangkok masakan daging yang menyiarkan bau terlebih harum lagi.
Semangkok yang lainnya pula masakan rebung campur-campur, kuahnya hijau.
Oey Yong mengisikan cawan, ia letaki itu di depan si pengemis.
“Cit Kong, mari cobai masakanku!” katanya sembari tertawa.
Tanpa ditawarkan sampai dua kali, Cit Kong sudah lantas menenggak
araknya, lalu ia menyumpit dua potong bakso di masuki ke dalam mulutnya,
terus ia menggayem, dengan asyik sekali, tandanya bakso itu sangat
lezat.
“Ah, aku tahu!” katanya kemudian. “Bakso ini adalah campuran daging
kambing, daging babi, daging kerbau, dan daging…..daging….” Dan ia tidak
dapat menyebutkan itu.
“Kalau kau bisa membade, betul kau lihay, Cit Kong!” Oey Yong tertawa.
Tapi belum ia berhenti tertawa, si pengemis itu sudah berseru. “Itulah
daging mencak dicampur daging kelinci!”
Si nona bertepuk tangan. “Bagus! Bagus!” pujinya. “Kau sungguh lihay!”
Kwee Ceng sebaliknya mendoleng. “Hebat Yong-jie!” pikirnya. “Bagaimana dapat ia memasak semua ini?”
Ang Cit Kong girang bukan main, ia menjepit pula dua buah engtoh yang
dimasak bersama sayur kuwah hijau itu. “Aku tahu, inilah sup daun
teratai campur rebung campur engtoh!” katanya. Ia masuki engtoh itu ke
dalam mulutnya dan mengunyah. Mendadak ia mengasih dengar suara “Ah!”
berulang-ulang.
Kwee Ceng heran. Ia menduga, engtoh itu tentu lezat sekali.
“Ah, nona kecil, aku takluk padamu!” kata Ang Cit Kong kemudian, sesudah
menguyah. “Pada sepuluh tahun yang lampau, pernah aku makan makanan ini
di dapurnya kaisar akan tetapi rasanya tidak selezat ini!”
Oey Yong tertawa. “Cit Kong,” katanya, “Coba bilangi, di dapur kaisar
ada makanan apa lainnya yang lezat, ingin aku mempelajarinya, supaya aku
bisa memasaki untukmu…”
Tapi tak sempat si pengemis berbicara, ia repot dengan baksonya, dengan
sayurnya, maka di lain saat, maka semua makanan itu tinggal dua
persepuluh bagian. Baru kemudian ia berkata; “Di dapur kaisar tidak ada
barang makanan yang dapat melebihkan masakanmu ini!”
Kwee Ceng heran, “Eh, Cit Kong, apakah kaisar telah mengundang kau berjamu?” tanya ia.
Cit Kong tertawa tergelak-gelak. “Betul, kaisar telah mengundang aku!”
jawabnya. Cuma kaisar sendiri tidak dapat mengetahuinya! Selama tiga
bulan aku sembunyi di atas penglari dapur kaisar, semua barang
hidangannya kaisar telah aku cobai satu demi satu, mana yang lezat, aku
hajar habis, mana yang tidak lezat, aku biarkan si kaisar yang gegares!
Koki dan lainnya semua heran, mereka sampai mengatakan di dapurnya itu
muncul dewa si rase besar!”
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum, di dalam hati mereka
berkata: “Ini orang sangat doyan makan, mulutnya besar, tapi nyalinya
pun gede…!”
“Eh, bocah!” tertawa pula si pengemis. “Kepandaian masak istrimu ini,
inilah nomor satu di kolong langit ini! Seumurmu, kau sangat berbahagia!
Sungguh heran, kenapa semasa aku muda, aku tidak pernah bertemu nona
semacam dia….?”
Kwee Ceng tertawa, begitu pun Oey Yong. keduanya lantas berdahar, Si
nona perutnya kecil, sudah cukup ia makan satu mangkok. Kwee Ceng
sebaliknya menghabisi sampai empat mangkok, sayurannya ia tidak
perhatikan. Sayurannya telah dikonpa si pengemis!
Habis meludeskan semangkok sayur, Ang Cit Kong mengusap-usap perutnya.
“Eh, anak-anak, aku tahu kau mengerti ilmu silat,” katanya tiba-tiba.
“Dan kau bocah perempuan, kau masaki aku barang hidangan lezat, aku
tahu, kau tidak mengandung maksud baik! Kau tentunya menghendaki aku
mengajarkan kau beberapa jurus! Baiklah, tidak apa! Aku telah merasai
hidangan lezat, tidak enak jikalau aku tidak mengajari kau! Mari, ikut
aku!”
Ia berbangkit, ia gendol cupu-cupunya, ia cekal tongkatnya, lantas ia berjalan ke luar.
Tanpa membilang apa-apa, sepasang muda-mudi itu mengikuti, sampai di sebuah rimba.
“Kau ingin mempelajari apa?” Cit Kong tanya Kwee Ceng.
Pemuda itu berpikir; “Banyak sekali macamnya ilmu silat di kolong langit
ini. Kalau aku menginginkan sesuatu, benarkah kau sanggup
mengajarinya?” selagi si pemuda berpikir, Oey Yong mendahului.
“Cit Kong, kepandaian dia ini tidak melebihkan aku,” katanya. “Dia sering marah-marah, ingin sekali dia menandingi aku!”
“Eh, kapan aku pernah marah terhadapmu…?” tanya Kwee Ceng.
Oey Yong mengedipi mata pada pemudanya itu. Kwee Ceng lantas menutup mulutnya.
Cit Kong tertawa, ia berkata: “Aku lihat gerak kaki tanganmu, kau mesti
mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, maka kenapa kau tidak
sanggup melawan dia? Sekarang hayo kamu berdua bertempur, aku mau
lihat!”
Oey Yong jalan beberapa tindak. “Engko Ceng, mari!” ia memanggil.
Pemuda itu bersangsi.
“Jikalau kau tidak pertontonkan kepandaianmu, mana bisa lojinkee mengajarimu?” si nona berkata. “Marilah!”
Kwee Ceng pikir si nona itu benar juga, maka lantas ia kata pada si
pengemis: “Apa yang pernah aku pelajarkan tidak sempurna, aku minta
sukalah lojinkee memberi petunjuk.”
Cit Kong tersenyum. “Mengajari sedikit tidak apa, mengajar banyak, itulah lain!” katanya.
Mendengar itu, Kwee Ceng melengak. Ia heran. Justru itu Oey Yong
berteriak. “Awas!” seraya tangannya menyambar! Ia terkejut, lekas-lekas
ia menangkis. Tetapi si nona lihay sekali, ia menarik tangannya, kakinya
menggantikan merabuh ke bawah.
“Bagus nona cilik!” berseru Ang Cit Kong. “Kau lihay!”
Si nona tidak melayani pujian itu, hanya seperti berbisik ia kata kepada Kwee Ceng: “Mari bertempur sungguh-sungguh….”
Kwee Ceng menurut, ia berkelahi dengan bersemangat. Ia ke luarkan ilmu
silat ajarannya Lam Hie Jin, yaitu Lam San Ciang-hiat.Hebat permainannya
ini disebabkan, sesudah meminum darah ular, tenaganya bertambah berapa
lipat.
Oey Yong melayani pelbagai serangan, setelah itu, ia ke luarkan
kepandaian ciptaan Oey Yok Su, ayahnya, yaitu “Lok Eng Ciang”. Dengan
begitu tenaganya lantas memain di delapan penjuru, bagaikan badai
mengamuk rimba pohon tho. Kwee Ceng kontan menjadi repot, selagi ia
kelabakan, empat kali ia terhajar punggungnya. Habis itu si nona
berlompat ke luar dari gelanggang, dia tertawa.
“Yong-jie, kau lihay!” Kwee Ceng memuji. Ia tidak gusar atau malu,
sebaliknya ia girang sekali. Ia tidak dihajar keras oleh si nona.