Yo Tiat Sim girang bukan main dapat menemukan istrinya, malah ia dapat
menolongi juga, dari itu ia pondong erat-erat istrinya itu ketika ia
lari ke luar dengan melompati tembok istana.
Di bawah tembok, Liam Cu menantikan ayahnya dengan pikiran tegang. Ia
tidak sabaran dan cemas juga. Ia heran ketika ia lihat ayahnya kembali
dengan memondong seorang wanita.
“Ayah, siapa ini?” ia lantas tanya.
“Inilah ibumu!” sahut ayah itu. “Mari lekas kita menyingkir!”
Liam Cu kaget dan heran. “Ibuku?” ia menegasi.
“Perlahan!” Tiat Sim mengasih ingat. “Sebentar kita bicara.” Ia sudah lantas lari.
Kira-kira serintasan, Pauw Sek Yok tersadar. Ketika itu fajar sudah
menyingsing, di antara cahaya pagi remang-remang, ia lihat orang yang
memondongnya, ialah suami yang ia buat pikiran siang dan malam. Ia heran
hingga ia menyangka ia sedang bermimpi. Ia ulur tangannya, akan meraba
muka suaminya.
“Toako, apakah aku juga sudah mati?” ia tanya. Ia percaya suaminya itu sudah meninggal dunia.
Tiat Sim girang hingga ia mengucurkan air mata. “Kita tidak kurang suatu
apa….” sahutnya halus. Ia berhenti dengan tiba-tiba sebab kupingnya
segera dengar suara berisik berupa teriakan-teriakan dan melihat cahaya
terang dari banyak obor. Satu barisan serdadu sedang lari mendatangi. Ia
dengar nyata: “Jangan kasih lolos penjahat yang menculik onghui!”
Tiat Sim menjadi kecil hatinya. Ia melihat ke sekelilingnya, ia tidak
dapatkan tempat untuk menyembunyikan diri. Di dalam hatinya ia kata,
“Thian mengasihani aku hingga hari ini aku dapat bertemu sama istriku
kembali, kalau sekarang akan terbinasa, tak usah aku menyesal…!” Lantas
ia kata pada anaknya: “Liam Cu, anakku, kau peluklah ibumu…!”
Sejenak itu terbayanglah di matanya Pauw Sek Yok pengalamannya delapan
belas tahun yang lampau, pada peristiwa di dusun Gu-kee-cun di kota
Lim-an, di kampung halamannya itu. Ia dipondong oleh suaminya dan dibawa
lari sekuat-kuatnya, di dalam gelap petang mereka dikejar tentara.
Delapan belas tahun lamanya mereka telah berpisah, ia berduka dan
terhina saking terpaksa, atau sekarang, baru saja ia bertemu kembali
dengan suaminya, peristiwa dahulu bakal terulang pula. Maka ia rangkul
leher suaminya, tidak mau ia melepaskannya.
Menampak tentara pengejar datang semakin dekat, Yo Tiat Sim menjadi
nekat. Dari pada terhina ia rela terbinasa dalam pertempuran. Dari itu
ia paksa melepaskan rangkulan istrinya itu yang ia serahkan kepada anak
gadisnya. Ia lantas lari memapaki tentara pengejarnya. Dalam dua tiga
gebrak saja, ia telah dapat merampas sebatang tobak. Senjata ini
membangunkan semangatnya, ia bagaikan harimau tumbuh sayap.
Opsir yang memimpin pasukan itu bernama Thung Couw Tek, dia kena ditusuk
pahanya hingga ia terjungkal dari kudanya, atas mana tentaranya lantas
kabur serabutan. Tanpa pemimpinnya, mereka ketakutan.
Lega juga hatinya Tiat Sim yang mengathui pasukan itu tidak dipimpin
oleh opsir yang kosen, ia pun menyesal yang ia tidak sempat merampas
kuda musuh. Tidak ayal lagi, ia ajak istri dan anaknya lari terus.
Setelah terang tanah, Pauw Sek Yok dapatkan suaminya berdarah di sana sini. Ia menjadi kaget sekali. “Kau terluka?” ia tanya.
Di tanya begitu, tiba-tiba saja Tiat Sim merasakan sakit pada belakang
telapakan tangannya. baru sekarang ia ingat tadi ia telah disambar
sepuluh jari tangannya Wanyen Kang, hingga tangannya itu mengeluarkan
darah, karena repot melarikan diri, ia tidak rasai itu, ia lupa pada
sakitnya. Sekarang ia pun merasakan kedua lengannya sakit dan sukar
digeraki.
Pauw Sek Yok lantas balut tangan suaminya itu.
Hampir itu waktu kembali terdengar suara sangat berisik, lalu terlihat
debu mengepul baik dan mengulak. Itulah tandanya satu pasukan besar lagi
mendatangi.
“Sudahlah, tak usah dibalut….!” kata Tiat Sim sambil menyeringai. Ia
lantas menoleh kepada gadisnya dan kata, “Anak, kau menyingkirlah
seorang diri! Ibumu dan aku akan berdiam disini….”
Liam Cu tidak menangis, hatinya tegang sekali. Ia menginsyafi bahaya,
tapi ia menjadi tenang. Ia angkat kepalanya. “Biarlah kita bertiga mati
bersama!” katanya gagah.
Sek Yok heran, ia mengawasi nona itu. “Dia…dia mengapa adalah anak kita?” dia tanya.
Tiat Sim hendak menjawab istrinya tetapi ia dapatkan tentara itu sudah
semakin mendekat, justru itu, di lain jurusan ia melihat datangnya dua
imam yang satu berkumis dan rambutnya ubanan, wajahnya sangat berwelas
asih, yang lain kumisnya abu-abu, sikapnya gagah, di belakangnya
tergendol sebatang pedang. Melihat mereka itu, Yo Tiat Sim tercengang,
lantas ia sadar. Dalam kegirangan sangat, ia berseru menyapa salah satu
imam itu, “Khu Totiang, hari ini kembali aku bertemu denganmu!”
Imam itu memang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee serta saudara seperguruannya,
Tan Yang Cu Ma Giok. Mereka hendak menempati janji dengan Giok Yang Cu
Ong Cie It, akan bertemu di kota raja, guna membicarakan urusan pibu
dengan pihak Kanglam Liok Koay. berdua mereka datang dengan
terburu-buru, di luar dugaan, di sini mereka bertemu dengan Yo Tiat Sim
suami-istri. Khu Cie Kee telah sempurna Iweekangnya, maka sekalipun
telah bertambah delapan belas tahun umurnya, wajahnya tetapi seperti
dahulu hari itu, cuma rambutnya yang berubah. Karena itu ia tidak lantas
mengenal waktu ia dipanggil dan melihat Tiat Sim, hingga ia mengawasi
saja.
Tiat Sim bisa menduga orang lupa padanya, ia berkata: “Apakah totiang
masih ingat peristiwa delapan belas tahun yang lampau di dusun
Gu-kee-cun di Lim-an, tatkala selagi kita minum arak kita menumpas
musuh?”
“Jadinya tuan….!” menegaskan imam itu.
“Aku yang rendah ialah Yo Tiat Sim,” Tiat Sim berkata cepat. “Semoga totiang tidak kurang suatu apa.”
Habis berkata, orang she Yo itu lantas menjatuhkan diri berlutut di depan orang suci itu.
Tiang Cun Cu lekas membalas hormat, tetapi ia tetap ragu-ragu. Setelah
hampir dua puluh tahun, disebabkan penderitaannya, Tiat Sim berubah
roman dan suaranya juga.
Orang she Yo ini bisa mengerti kesangsiannya si imam. Di lain pihak
hatinya tegang melihat tentara pengejar telah mendatangi semakin dekat.
Mendadak saja ia geraki tombaknya dan menikam imam itu dengan tipu
tombaknya. Ia pun berseru: “Khu Totiang, kau telah melupakan aku tetapi
kau tentu tidak dapat melupakan ini ilmu tombak dari ke luarga Yo!”
Tiang Cun Cu terkejut tetapi ia mundur. Ia lantas mengenali ilmu
tombaknya Keluarga Yo itu, maka sekarang ia ingat betul peristiwa
delapan belas tahun dulu ketika ia mencoba ilmu silat orang. Ia menjadi
girang bercampur terharu dapat bertemu sama kenalan lama ini. “Oh, Yo
Laotee!” katanya. “Kau masih hidup….!”
Tiat Sim tarik pulang tombaknya. Ia tidak sahuti imam itu, hanya lantas ia kata, “Totiang, tolongilah aku!”
Imam itu bisa mengerti keadaan orang. Ia menoleh ke arah tentara
pengejar. Lantas ia tertawa. “Suheng, hari ini kembali aku mesti membuka
pantangan membunuh!” katanya, kepada saudara seperguruannya. “Aku harap
kau tidak gusari aku!”
Ma Giok mengerti, ia menjawab: “Kurangilah pembunuhan! Gertak saja meraka itu!”
Khu Cie Kee tertawa nyaring dan lama, lantas ia maju ke arah tentara
itu, yang sudah lantas sampai, malah mendapatkan dia menghalang-halangi,
mereka itu terus menerjang dengan begis. Dengan hanya mementang kedua
tangannya, ia lantas menarik roboh dua serdadu berkuda itu, tubuh siapa
terus ia timpuki ke serdadu yang lainnya yang lagi mendatangi. Maka lagi
dua serdadu roboh pingsan.
Luar biasa sebatnya imam ini, dengan cara itu ia robohkan lagi delapan
serdadu, delapan-delapannya ia timpuki bergantian kepada kawan mereka,
maka lagi-lagi ada delapan serdadu yang terguling. Kejadian ini membikin
kaget serdadu-serdadu yang lainnya, mereka lantas putar kuda mereka,
untuk lari balik.
Belum lagi semua serdadu kabur, di antara mereka muncul seorang yang
tubuhnya besar dan kekar, yang kepalanya licin mengkilap. Dia membentak:
“Dari mana datangnya si bulu campur aduk ini!” Lantas tubuhnya mencelat
ke depan Tiang Cun Cu, yang terus ia serang.
Kata-kata “bulu campur aduk” itu adalah hinaan untuk suatu imam. Tiang
Cun Cu tidak menghiraukan itu, hanya melihat orang demikian lincah, ia
hendak menguji tangan orang. Ia tangkis seragan itu.
Kedua tangan beradu dengan keras dan bersuara nyaring, habis itu keduanya mundur sendirinya masing-masing tiga tindak.
Khu Cie Kee heran hingga ia kata di dalam hatinya: “Kenapa di sini ada orang begini lihay?”
Selagi si imam ini terheran-heran, adalah Kwie-bun Liong Ong – demikian
si lanang itu – merasakan tangannya sakit, hingga ia kaget berbareng
mendongkol, maka sekali lagi ia maju menyerang.
Kali ini Khu Tiang Cun tidak berani bergerak sembarangan, dengan sabar
ia melayani, sesudah belasan jurus, tangannya menyampok kepala orang
hingga di kepalanya See Thong Thian bertapak lima jari berwarna merah.
Orang she See ini insyaf, dengan tangan kosong ia tidak bisa berbuat
apa-apa, lantas ia meraba pada pinggangnya di mana ia selipkan
genggamannya yang berupa pengayuh besi yang berat, dengan itu ia
menyerang pula, menghajar pundak si imam dengan jurusnya “Souw Cin
menggendol pedang”.
Khu Cie Kee tetap bertangan kosong, setelah berkelit, ia membalas
menyerang. Ia bersedia melayani musuh yang bersenjata itu. Adalah
maksudnya, untuk merampas senjata lawan. Tetapi See Thong Thian telah
punyakan latihan beberapa puluh tahun, tak gampang senjatanya itu dapat
dirampas. Sebaliknya, dia bergerak dengan gesit sekali.
Tiang Cun Cu heran juga atas kegagahan orang, hingga ia ingin tanya she
dan namanya lawan ini. Hanya, belum sampai ia membuka mulutnya, dari
belakang ia dengar ini pertanyaan yang nyaring sekali.
“Kau ada totiang mana dari Coan Cin Kauw?”
Ia lantas berlompat, untuk menoleh, hingga ia melihat empat orang
berdiri berendeng. Itulah Nio Cu Ong bersama Pheng Lian Houw, Auwyang
Kongcu dan Hauw Thong Hay yang telah lantas dapat menyusul See Thong
Thian.
Khu Cie Kee lantas mengangguk kepada mereka itu seraya memberikan
penyahutannya: “Pinto she Khu. Pinto mohon tanya nama mulia dari
tuan-tuan.”
Nama Tiang Cun Cu kesohor sekali di Selatan dan Utara, maka itu Pheng
Lian Houw berempat saling mengawasi, hati mereka berkata: “Pantaslah dia
bernama besar, dia memang gagah.” Pheng Lian Houw sendiri berpikir
lebih jauh: “Kita sudah melukakan Ong Cie It, itu artinya ganjalan
dengan Coan Cin Kauw, sekarang kita bertemu sama Khu Cie Kee, baiklah ia
sekalian dibunuh saja! Ini adalah ketika yang paling baik untuk
mengangkat nama kita!” Karena berpikir begini, la lantas berseru: “Mari
maju berbareng!” Ia pun lantas mengeluarkan sepasang poan-koan-pitnya,
dengan apa ia terus terjang imam itu. Ia menerjang sambil berlompat. Ia
tahu lawan lihay, maka itu lantas ia menotok kepada kedua jalan darah
kin-jie dan pek-hay-hiat.
Khu Cie Kee tidak heran yang orang sudah lantas menerjang kepadanya, ia
cuma berpikir, “Si kate ini galak sekali! Dia pun agaknya lihay!” Ia
lantas menghunus pedangnya, tetapi ia berkelit dari serangan orang,
sebaliknya ia menikam ke pinggangnya See Thong Thian. Ketika ia telah
menarik pulang pedangnya itu, ia meneruskan menikam jalan darah
ciang-bun-hiat di iganya Hauw Thong Hay.
Jadi dengan sekali bergerak, imam ini telah melayani tiga lawan. Inilah cara berkelahi yang langka.
Hampir saja Hauw Thong Hay terkena pedang, syukur ia keburu berkelit, tetapi ia kena disusuli, kempolannya kena didupak si imam.
Pheng Lian Houw dan See Thong Thian lantas menyerang, Nio Cu Ong
menyusul untuk mengepung. Orang she Nio ini terperanjat untuk
kesebatannya si imam.
Auwyang Kongcu melihat bagaimana si imam ini dilibat See Thong Thian dan
Pheng Lian Houw dan bagaimana Nio Cu Ong merangsak dari kirinya, ia pun
lantas menggunai ketika untuk mengeroyok. Dengan tangan kiri hanya
mengancam, ia menotok dengan kipasnya di tangan kanan, mengarah tiga
jalan darah hong-bwee, ceng-cok dan pwee-sim di punggung si imam.
Kelihatannya Khu Cie Kee sudah sangat terdesak, ketiga jalan darahnya
itu bakal menjadi sasaran kipas yang istimewa itu, atau mendadak satu
bayangan berkelebat di samping si kongcu, lalu kipasnya dia ini kena
ditahan.
Itulah Ma Giok yang membantu saudaranya. Imam ini heran mendapatkan
munculnya begitu banyak orang pandai, yang terus mengeroyok saudaranya,
sedangkan ia tidak mengerti, Auwyang Kongcu pun menyerang secara
membokong itu, maka terpaksa ia lompat maju untuk menghalangi.
Auwyang Kongcu lihat berkelebatnya satu bayangan, sambil menarik pulang
kipasnya, yang hendak dirampas, ia memandang bayangan itu, ialah seorang
imam berusia lanjut, ubanan rambut dan kumisnya. Ia lantas menduga
kepada anggota Coan Cin Kauw yang tertua. Ia pun lompat ke belakang.
“Tuan-tuan siapa?” tanya Ma Giok. “Kita tidak kenal satu dengan lain,
ada salah paham apakah di antara kita? Aku minta sukalah tuan-tuan
menjelaskannya.”
Imam ini berbicara dengan sabar sekali, suaranya halus, tidak keras dan
mengagetkan seperti suaranya Pheng Lian Houw, tetapi pada itu ada nada
yang mengandung pengaruh, hingga dengan sendirinya orang-orang yang lagi
bertempur itu pada lompat mundur, akan terus mengawasi orang suci ini.
“Apakah she totiang yang mulia?” Auwyang Kongcu bertanya.
“Pinto berasal dari keluarga Ma,” Ma Giok menyahut, tetap sabar.
“Oh, kiranya Tan Yang Cinjin Ma Totiang!” berkata Pheng Lian Houw, suaranya tetap keras. “Maaf, maaf!”
“Pengetahuan pinto tentang agamaku masih terlalu sedikit, sebutan Cinjin itu tidak berani pinto terima,” menolak Ma Giok.
Pheng Lian Houw mencoba bersikap halus, tetapi di dalam hatinya, ia
berpikir: “Kita telah bentrok dengan pihak Coan Cin Kauw, di belakang
hari pastilah sukar untuk menyelesaikan masalah ini, sekarang dua
anggota utama dari mereka berada di sini, baiklah kita berlima mengepung
mereka itu untuk membinasakannya. Perkara di belakang ada soal lain.
Hanya, apakah di sini masih ada lain-lain saudaranya….?”
Ia lantas melihat ke sekitarnya. Di situ cuma tertampak Yo Tiat Sim
sekeluarga bertiga jiwa. Maka ia lantas berkata, “Nama Coan Cin Kauw
sangat kesohor, kami sangat mengaguminya. Mana lagi lima saudara
totiang? Silahkan minta mereka itu sudi menemui kami.” Itulah kata-kata
pancingan.
“Nama kami kosong belaka, cuma untuk ditertawakan tuan-tuan,” menyahut
Ma Giok. “Kami bertujuh saudara tinggal di beberapa propinsi, ada sukar
untuk kami datang berkumpul. Kali ini kami datang ke Tiong-touw untuk
mencari Ong Sutee, baru saja kami mendapat tahu alamatnya, justru kami
hendak menjenguk dia, di sini kebetulan kita bertemu sama tuan-tuan.
Ilmu silat di kolong langit ini banyak perbedaannya tetapi asal mulanya
adalah satu, maka itu bagaimana pula jikalau kita mengikat
persahabatan?”
Imam ini jujur, ia tidak menduga bahwa orang lagi memancing padanya.
Pheng Lian Houw girang sekali. Orang cuma berdua dan mereka belum sempat
menemui Ong Cie It. Maka boleh ia mengeroyok. Tapi ia masih tertawa, ia
berkata: “Totiang berdua tidak mencela kami, itulah bagus sekali. Aku
she Sam dan namaku Hek Miauw.”
Ma Giok dan Khu Cie Kee heran, mereka pikirkan siapa Sam Hek Miauw ini,
yang namanya aneh. Nama itu berarti Tiga Kucing Hitam. Sama sekali
mereka belum pernah mendengarnya. Orang toh lihay….
Pheng Lian Houw selipkan senjatanya di pinggangnya, ia menghampirkan Ma Giok.
“Ma Totiang, aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini,” katanya
seraya mengangsurkan tangannya, untuk berjabat tangan, tapi telapakan
tangannya dibalik ke bawah.
Ma Giok menyangka orang bermaksud baik, ia pun mengulurkan tangannya,
buat menyambuti. Ia merasa orang memegang keras sekali, ia berpikir;
“Kau hendak uji tenagaku, baiklah!” Ia tersenyum, sembari tenaganya
dikerahkan. Tiba-tiba ia merasakan lima jari tangannya sakit, seperti
tertusuk jarum. Saking kaget, ia lantas menarik pulang tangannya itu.
Pheng Lian Houw tertawa tetapi ia mencelat mundur setombak lebih.
Ma Giok melihat telapakan tangannya, lima jarinya berlobang kecil masing-masing dan bergaris hitam.
Ketika tadi Pheng Lian Houw menyelipkan senjatanya, berbareng ia menarik
ke luar senjata rahasianya, yaitu Ban Tok-hoan-taya, yang tipis seperti
benang tetapi di situ ada lima batang jarumnya, jarum yang telah
dipakaikan racun yang keras sekali, siapa terluka hingga di dagingnya,
dalam tempo enam jam dia bakal terbinasa. Ia sengaja memakai nama Sam
Hek Miauw, untuk membuat Ma Giok memikirkan, selagi orang tidak
bercuriga, ia gunai jarum jahatnya itu. Ketika Ma Giok insyaf ia telah
dicurangi dan hendak ia menyerang, si licik sudah lompat mundur.
Khu Cie Kee heran melihat saudaranya berjabat tangan tapi sudah lantas menyerang. “Kenapa?” tanyanya.
“Jahanam licik, dia telah melukai aku dengan racun!” menyahut Ma Giok, yang berlompat maju, untuk menyerang pula.
Khu Cie Kee kenal baik kakak seperguruannya ini, yang sangat sabar, yang
untuk beberapa puluh tahun tidak pernah berkelahi, sedang sekarang ia
menyerang dengan “Sam Hoa Cie Teng Ciang-hoat”, ialah ilmu pukulan
paling lihay dari kaumnya, ia mengerti sebabnya kegusaran itu. Maka ia
pun menggeraki pedangnya, ia lompat maju ke depan Pheng Lian Houw, untuk
menerjang.
Pheng Lian Houw sempat mencabut poan-koan-pitnya, dengan itu ia
menangkis, beruntun dua tikaman, terus ia membalas satu kali. Ia tidak
tahu, tangan kirinya Tiang Cun Cu lihay seperti tangan kanannya yang
memegang pedang. Imam ini menyambuti poan-koan-pit, yang ia sambar
ujungnya, terus ia menggentak ke samping seraya berseru: “Lepas!”
Pheng Lian Houw pun ada seorang jago, senjatanya tidak terlepas, ia
lawan keras dengan keras, waktu ia mengerahkan tenaga dan menarik, hebat
kesudahannya, ialah poan-koan-pitnya itu terputus menjadi dua potong!
“Bagus!” Khu Cie Kee memuji, tetapi ia terus menyerang pula dengan dua-dua tangannya.
Pheng Lian Houw segera main mundur, karena ia merasakan tangan kanannya kesemutan, hingga hatinya menjadi gentar.
Di lain pihak, See Thong Thia dan Nio Cu Ong maju memegat Ma Giok,
sedang Auwyang Kongcu dan Hauw Thian Hay segera membantui Pheng Lian
Houw.
Khu Cie Kee heran kenapa mendadak berkumpul orang-orang tangguh ini. Ia
ingat, semenjak menempur Kanglam Cit Koay, sudah delapan tahun belum
pernah ia menemui tandingan. Karena ini, ia bersilat dengan
sungguh-sungguh.
Dikepung bertiga, Khu Cie Kee tidak jatuh di bawah angin, tidak demikian
dengan kakak seperguruannya. Tangan Ma Giok menjadi bengkak dan hitam,
rasannya kaku dan gatal. Itulah tanda bekerjanya racun dahsyat. Inilah
tidak disangka imam itu, yang menduga kepada racun biasa. Makin ia
bergerak, jalan darahnya makin cepat. Karena menginsyafi bahaya, segera
ia menjatuhkan diri untuk duduk bersemadhi, guna mencegah rangsakan
racun, sedang dengan tangan kirinya melindungi diri.
Nio Cu Ong menyerang terus dengan senjatanya yang merupakan gunting
panjang dan See Thong Thian dengan pengayuh besinya. Maka itu, selang
beberapa puluh jurus, Ma Giok terancam bahaya. Ia mesti melawan musuh di
luar dan di dalam tubuhnya.
Khu Cie Kee heran melihat kelakuan kakaknya itu, yang seperti dari
embun-embuannya terlihat mengepul hawa seperti uap. Hendak ia menolongi
tetapi ia tidak sanggup, ketiga musuhnya mendesak keras padanya. Benar
Hauw Thong Hay rada lemah tetapi Auwyang Kongcu lebih gagah dari pada
Pheng Lian Houw. Karena hatinya berkhawatir, ia kena terdesak.
Yo Tiat Sim tahu ilmu silatnya tidak berarti, akan tetapi melihat kedua
imam itu terancam bahaya, ia maju menyerang Auwyang Kongcu, yang ia arah
punggungnya.
“Saudara Yo, jangan maju!” mencegah Khu Cie Kee. “Percuma kau mengantarkan jiwa….”
Belum habis ucapan imam ini, Auwyang Kongcu sudah menendang patah tombak
orang dengan kaki kirinya dan kaki kanannya mendupak roboh orang she Yo
itu.
Adalah di itu waktu, dari kejauhan terdengar lari mendatanginya beberapa
ekor kuda akan kemudian ternyata, yang datang itu adalah Wanyen Lieh
bersama Wanyen Kang.
Wanyen Lieh melihat istrinya duduk di tengah, ia girang, segera ia
menghampirkan. Justru itu sebatang golok menyambar kepadanya. Syukur ia
keburu berkelit. Ia segera mendapatkan, penyerangnya itu satu nona
dengan baju merah, yang goloknya mengkilat. Nona itu segera dikepung
pengikut-pengikutnya.
Wanyen Kang heran menampak gurunya dikepung, ia lantas berteriak: “Semua berhenti! Tuan-tuan berhenti!”
Pangeran ini mesti berteriak beberapa kali, barulah Pheng Lian Houw semua berlompat mundur.
Wanyen Kang segera menghampirkan gurunya, untuk memberi hormat.
“Suhu, mari teecu mengajar kenal,” katanya kemudian. “Inilah beberapa cianpwee Rimba Persilatan yang diundang ayahku.”
“Hm!” bersuara imam itu, yang segera menghampirkan kakaknya, yang pun
sudah tidak berkelahi lagi. Ia terkejut akan melihat tangan kanan
kakaknya itu menjadi hitam terus sampai di lengan.
“Ha, racun begini lihay!” serunya. Lantas ia berpaling kepada Pheng Lian
Houw, akan perdengarkan suaranya yang keren: “Keluarkan obat
pemunahnya!”
Pheng Lian Houw bersangsi, ia melihat orang segera sampai pada ajalnya.
Ma Giok sendiri mengempos terus semangatnya, ia berhasil mencegah menjalarnya racun itu, yang perlahan-lahan mulai turun.
Wanyen Kang lari kepada ibunya, ia berkata: “Ma, akhirnya kita dapat cari kau!”
Tapi Pauw Sek Yok berkata dengan keras: “Untuk menghendaki aku kembali ke istana, tidak dapat!”
Wanyen Kang dan Wanyen Lieh menjadi heran. “Apa?!” kata mereka.
Pauw Sek Yok menunjuk kepada Yo Tiat Sim, ia kata nyaring: “Suamiku
masih belum mati, meski ia pergi ke ujung langit dan pangkal laut, akan
aku ikuti dia!”
Wanyen Lieh heran tetapi ia dapat segera menoleh kepada Nio Cu Ong. Ia mengasih tanda dengan tekukan mulutnya.
Nio Cu Ong mengerti, sekejap saja ia telah menyerang Yo Tiat Sim dengan tiga batang pakunya.
Khu Cie Kee yang waspada dapat melihat serangan orang she Nio itu, ia
menjadi kaget. Ia tidak mempunyai senjata rahasia untuk mencegah paku
itu. Tiat Sim tentu tak dapat berkelit. Tapi ia tidak putus asa. Ia
menyambar satu serdadu di dekatnya, tubuh orang itu ia lemparkan ke arah
antara paku dan Tiat Sim.
Segera terdengar jeritannya serdadu yang menjadi korban ketiga batang paku itu.
Melihat itu Nio Cu Ong menjadi gusar, ia lompat kepada si imam untuk menerjang.
Pheng Lian Houw dapat melihat suasana. Ia memangnya tidak sudi
menyerahkan obat pemunahnya. Tidak ayal lagi ia berlompat kepada Pauw
Sek Yok, untuk menangkap onghui yang dicari Wanyen Lieh itu.
Khu Cie Kee melihat sepak terjang orang itu, ia pun lompat menyerang,
mulanya menikam Nio Cu Ong, lalu membabat si orang she Pheng itu. Mereka
ini berdua terpaksa lompat mundur.
Khu Cie Kee segera menghadapi Wanyen Kang, yang ia bentak. “Anak tidak
tahu apa-apa, kau mengaku penjahat sebagai ayahmu selama delapan belas
tahun, hari ini kau bertemu ayahmu yang sejati, kenapa kau masih tidak
hendak mengenalinya?!”
Wanyen Kang memang telah mendengar keterangan ibunya, ia percaya itu
delapan bagian, sekarang ia dengar perkataan gurunya ini, ia lantas
menoleh kepada Yo Tiat Sim. Ia melihat seorang dengan pakaian tua dan
pecah, pakaian itu kotor dengan tanah. Kemudian ia berpaling kepada
Wanyen Lieh, ia tampak orang tampan dengan pakaian indah. Maka dua orang
itu beda bagaikan langit dengan bumi. Ia lantas berpikir: “Mustahilkah
aku meninggalkan kekayaan dan kemulian untuk mengikuti seorang melarat,
untuk hidup merantau? Tidak, berlaksa kali tidak!” Maka ia lantas
berseru, “Suhu, jangan dengari ocehan iblis ini! Suhu, tolonglah ibuku!”
Khu Cie Kee menjadi sangat mendongkol. “Kau sesat, kau tidak sadar, kau kalah dengan binatang!” Ia mendamprat.
Pheng Lian Houw melihat guru dan murid bentrok, mereka perkeras serangan mereka.
Wanyen Kang juga mendapatkan gurunya dalam bahaya tetapi ia berdiam saja.
Imam itu menjadi sangat murka. “Binatang, lihat aku!” dia membentak.
Wanyen Kang berdiam, hatinya ciut. Ia memang paling takut pada gurunya
itu. Maka ia berharap-harap Pheng Lian Houw semua memperoleh kemenangan,
supaya gurunya terbinasakan, dengan begitu ia akan selamat untuk
selanjutnya.
Tidak lama, lengan kanan Khu Cie Kee kena ditusuk ujung gunting Nio Cu Ong, lukanya tidak hebat tetapi mengeluarkan darah.
Ma Giok melihat bahaya mengancam, ia mengeluarkan sebiji liu-seng, ia
sulut itu, lalu melemparkannya, maka suatu sinar api biru lantas
meluncur ke udara. Itulah pertandaan di antara kaum Coan Cin Pay.
“Imam tua itu mencari kawan!” berseru Pheng Lian Houw, lantas ia
meninggalkan Khu Cie Kee untuk menyerang Ma Giok. Ia lantas dibantu See
Thong Thian.
Baru mereka ini bergebrak satu kali, di jurusan Barat Laut terlihat meluncurnya satu sinar biru juga.
“Ong sutee di arah kiri sana!” berseru Khu Cie Kee girang. Ia geser
pedangnya ke tangan kiri terus ia menyerang hebat, hingga ia dapat
membuka jalan.
“Ke sana!” berseru Ma Giok yang menunjuk ke arah Barat Laut.
Yo Tiat Sim bersama Liam Cu, putrinya dengan melindungi Pauw Sek Yok,
lari ke arah yang ditunjuk itu, di belakang mereka, Ma Giok menyusul.
Imam ini sudah berlompat bangun.
Khu Cie Kee perlihatkan kepandaiannya, ia menghalangi di belakang.
See Thong Thian berniat mencekuk Pauw Sek Yok, ia berlompat ke depan,
tetapi semua percobaannya sia-sia belaka, ia dirintangi kalau bukan oleh
Khu Cie Kee tentu oleh Ma Giok.
Tidak lama tibalah mereka di hotel kecil di mana Ong Cie It mengambil tempat.
Khu Cie Kee heran bukan main. “Kenapa Ong Sutee masih belum menyambut?”
ia berpikir. Ia baru berpikir atau ia segera melihat munculnya adik
seperguruannya itu, yang jalan dibantu tongkat.
Dua-dua pihak terkejut. Mereka sama-sama tidak menyangka, dari kaum Coan
Cin pay, sekarang terluka justru mereka yang paling tangguh.
“Mundur ke dalam hotel!” Khu Cie Kee lantas berseru.
“Serahkan onghui baik-baik, aku nanti ampunkan kamu semua!” Wanyen Lieh berseru.
“Siapa menghendaki pengampunan kau bangsat anjing dari negara Kim?!”
mendamprat Tiang Cun Cu. Sembari membuka mulutnya, imam ini terus
membikin perlawanan dengan hebat, hingga mau tidak mau, Pheng Lian Houw
semua mengaguminya.
Yo Tiat Sim menyaksikan pertempuran itu, ia anggap tidak seharusnya Khu
Cie Kee bertiga menjadi korbannya, maka tiba-tiba saja ia tarik tangan
Sek Yok, untuk pergi ke luar, sambil ia berseru: “Semua berhenti! Di
sinilah ajal kami!”
Di tangannya Tiat Sim mencekal tombaknya, dengan itu ia lantas tikam ulu hatinya, maka ia terus roboh dengan berlumuran darah.
Sek Yok tidak berduka karenanya, ia juga tidak tubruk suaminya itu,
sebaliknya ia tertawa menyeringai, terus ia cabut tombak itu dari tubuh
suaminya, untuk gagangnya ditancap ke tanah. Ia menghadap Wanyen Kang
seraya berkata: “Anak, masih kau tidak percaya ayahmu yang sejati ini?”
Tapi ia tidak menanti jawaban, segera setelah perkataan itu, ia tubruki
dirinya ke ujung tombak itu, maka ia pun roboh dengan mandi darah.
Kejadian ini ada sangat hebat, semua orang tidak menduganya, maka juga pertempuran berhenti sendirinya.
Wanyen Kang sangat kaget, sambil menjerit: “Ibu!” ia lari untuk
menolongi ibunya itu. Ia lantas menangis melihat dada ibunya tertancap
tombak.
Khu Cie Kee lantas memeriksa lukanya kedua orang itu, ia putus asa.
Wanyen Kang memeluki ibunya, dan Liam Cu ayahnya. Keduanya menggerung-gerung.
“Saudara Yo,” berkata Tiang Cun Cu pada Tiat Sim. “Kau hendak memesan apa? Kau bilanglah padaku, nanti aku lakukan semua itu.”
Belum lagi Tiat Sim sempat menjawab, orang pada menoleh ke arah mereka,
karena mereka mendengar tindakan dari banyak kaki orang. Segera mereka
melihat datangnya Kanglam Liok Koay bersama Kwee Ceng.
Enam Manusia aneh itu dapat melihat See Thong Thian beramai, mereka
menduga bakal terjadi pertempuran lagi, mereka lantas menyiapkan senjata
mereka masing-masing. ketika mereka sudah datang dekat, mereka menjadi
heran. Di sana ada dua orang terluka dan masing-masing tengah dipeluki
dan yang lainnya mengawasi dengan roman tidak wajar.
Kwee Ceng kenali Yo Tiat Sim, segera ia menghampirkan. “Paman Yo, kau kenapa?” tanyanya.
Napasnya Tiat Sim sudah lemah, ia kenali anak muda itu, ia tersenyum.
“Dahulu hari ayahmu dan aku telah berjanji, kalau kami mendapat anak
lelaki dan perempuan, kami akan berbesan, tetapi juga anak pungutku ini
ada seperti anakku sendiri….” Ia menoleh kepada Khu Cie Kee, akan
meneruskan; “Totiang, tolong kau rekoki perjodohan ini, aku mati pun
akan meram.”
“Tenangkan hatimu, saudara Yo,” menyahut si imam ini.
Pauw Sek Yok rebah di samping suaminya, tangan kirinya mencekal erat
tangan suaminya itu, agaknya ia takut sekali suaminya nanti pergi. Ia
seperti sudah tidak ingat apa-apa akan tetapi samar-samar ia masih dapat
dengar pesan suaminya. Tiba-tiba ia angkat tangannya, untuk merogoh
sakunya, dari mana ia ke luarkan sebilah pisau belati: “Ini buktinya….”
katanya, lalu ia tersenyum dan berhenti jalan napasnya.
Khu Cie Kee menyambuti pisau itu. Ia kenali pisau yang dulu hari ia
berikan di Gu-kee-cun, Lim-an. Pada pisau terukir terang dua huruf “Kwee
Ceng”
Yo Tiat Sim pun kata pada anak muda itu: “Masih ada sebilah lagi, ialah
di tangan ibumu. Dengan mengingat ayahmu, aku minta baik-baiklah kau
perlakukan anakku ini.”
“Aku nanti urus semua, tenangi dirimu,” janji pula Khu Cie Kee.
Yo Tiat Sim benar-benar merapatkan kedua matanya dengan tenteram.
Kwee Ceng berduka sekali berbareng pusing kepala. “Yong-jie begitu baik
terhadapku, mana bisa aku menikah dengan orang lain?” katanya dalam
hatinya. Lalu ia menjadi kaget, ia berpikir pula: “Kenapa aku melupai
putri Gochin? Khan Agung telah jodohkan putrinya itu kepadaku!
Ini……ini….bagaimana….?”
Selama hari-hari belakangan ini, Kwee Ceng sering ingat Tuli tetapi tidak sedikitpun putri Gochin.
Cu Cong beramai berdiam saja atas pesan Tiat Sim itu. Memang mereka
tidak berniat menolak pesan terakhir itu tetapi mereka tidak jelas
duduknya hal, mereka tidak berani berlaku lancang.
Wanyen Lieh telah mesti menghadapi kejadian hebat itu, ia berduka bukan
main. Ia lantas saja memutar tubuhnya, untuk meninggalkan tempat itu.
Sejak ia mengambil Pauw Sek Yok menjadi istrinya, ia telah mencoba
segala daya untuk merebut cintanya nyonya itu, tetapi ia tidak berhasil
sepenuhnya. Selama belasan tahun, Pauw Sek Yok tidak pernah melupai Yo
Tiat Sim, suaminya itu.
Menampak pangeran itu berlalu, See Thong Thian beramai segera ngeloyor
pergi juga, disebabkan ragu-ragu untuk menempur pula ketiga imam dari
Coan Cin Pay, sudah mereka itu cukup tangguh, sekarang di samping mereka
itu ada Kanglam Liok Koay.
Khu Cie Kee dapat melihat orang hendak angkat kaki. “He, Sam Hek Miauw, tinggalkan obatmu!” ia membentak.
Pheng Lian Cu menoleh, ia tertawa lebar. “Cecu kamu she Pheng!”
sahutnya. “Akulah yang kaum kangouw julukan Cian-ciu Jin-touw! Kau
keliru lihat, Khu Totiang?”
Gentar juga Khu Cie Kee. “Pantaslah ia lihay sekali,” pikirnya. Tapi
kakaknya terancam bahaya. Maka ia kata: “Tidak peduli kau seribu tangan
atau selaksa tangan, obat itu kau mesti tinggalkan! Jangan harap kau
bisa meloloskan diri!”
Imam ini mengejek dengan selaksa tangan, sebab julukan “Cian Ciu” dari Pheng Lian Houw berarti “seribu tangan.”
Lantas Khu Cie Kee lompat menyerang.
Pheng Lian Houw mempunyai tinggal sebatang poan-koan-pit tetapi ia tidak
takut, ia menyambut serangan itu, hingga mereka jadi bertempur pula.
Cu Cong melihat Ma Giok duduk bersemedhi, napasnya lagi diempos, sedang
sebelah tangan orang hitam legam, ia tanya imam itu kena dapat luka apa.
“Dia berjabat tangan denganku, siapa tahu dia menggunai jarum beracun,”
menyahuti imam itu. Dengan “dia” ia maksudkan Pheng Lian Houw.
“Baiklah, itu tidak berarti!” kata Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa
Tangan Lihay. Ia terus berpaling kepada kakaknya dan berkata; “Toako,
mari kasihkan aku satu biji leng-jie!”
Kwa Tin Ok tidak mengerti maksud orang tetapi ia berikan barang yang diminta. Leng-jie itu ialah lengkak beracun.
Cu Cong mengawasi dua orang yang lagi bertempur itu, ia tidak ungkulan
memisahkan mereka, maka itu ia kata pula kepada kakaknya; “Toako, mari
kita pisahkan mereka itu, aku ada daya untuk menolong Ma totiang.”
Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam tahu adiknya itu sangat cerdik, ia mengangguk.
Si Mahasiswa Tangan Lihay itu lantas saja berseru: “Kiranya di sana Cian
Ciu Jin-touw Pheng Cecu! Kita ada orang sendiri, lekas berhenti
berkelahi, aku hendak ada bicara!” Ia mengatakan demikian tetapi ia
tarik tangan kakaknya, maka berdua berbareng mereka menyerbu kepada dua
orang yang asyik bertempur itu. Yang satu memegang kipas, yang lain
tongkat, dengan itu mereka memisahkan.
Dua-dua Khu Cie Kee dan Pheng Lian Houw heran mendengar perkataan orang
yang membilang mereka semua adalah “orang sendiri”. Mereka suka memisah
diri dulu, untuk mendengar penjelasan.
Dengan tertawa manis, Cu Cong menghadapi Pheng Lian Houw. Ia kata: “Kami
Kanglam Cit Koay dengan Tiang Cun Cu Khu Cie Kee telah bentrok pada
delapan belas tahun yang lampau, itu waktu lima saudara kami telah
terluka parah, tetapi Khu totiang pun terluka oleh kami. Urusan itu
sampai sekarang masih belum dapat di….” Ia lantas menoleh kepada Khu Cie
Kee, untuk menanya; “Bukankah benar begitu, totiang?”
Tiang Cun Cu mendongkol sekali. Ia menduga orang hendak membuat
perhitungan di saat ia menghadapi musuh berbahaya. Maka ia menjawab
dengan nyaring.
“Tidak salah! Habis kau mau apa?!”
“Tetapi kita pun ada punya sangkutan sama See Liong Ong,” berkata Cu
Cong. “Aku dengar See Liong Ong bersahabat sangat erat dengan Pheng
Ceecu, karena kami mendapat salah dari See Liong Ong, kami jadi turut
bersalah terhadap ceecu…”
“Haha…tidak berani aku menerima itu!” tertawa Pheng Lian Houw.
Cu Cong tertawa, ia berkata pula: “Karena Pheng Ceecu dengan Khu Totiang
serta Kanglam Cit Koay ada bermusuhan, bukankah kamu kedua pihak jadi
adalah orang sendiri? Maka itu, perlu apa kamu bertarung lagi? Dengan
begitu, bukankan aku dengan Pheng Ceecu pun ada orang sendiri? Mari,
mari kita mengikat persahabatan!”
Si Mahasiswa Tangan Lihay mengulur tangannya, untuk menarik tangannya orang she Pheng itu.
Pheng Lian Houw cerdik, ia bercuriga untuk kata-kata tidak karuan
juntrungan dari Cu Cong. Bukankah Coan Cin pay telah menolongi murid
Kanglam Cit Koay? Tidakkah berarti mereka berdua bersahabat?
“Tidak, aku tidak dapat diakali, obatku tidak boleh diperdayakan!” Tapi
melihat orang mengulurkan tangan, lekas-lekas ia selipkan senjatanya,
berbareng ia ke luarkan ban beracunnya.
“Saudara Cu, hati-hati!” Khu Cie Kee memberi ingat. Ia terkejut.
Cu Cong berpura-pura tidak mendengar, ia ulur terus tangannya,
kelingkingnya ditekuk. Dengan begitu ia telah membangkol ban orang.
Pheng Lian Houw tidak merasakan apa-apa, ia berjabat tangan dengan si Mahasiswa.
Keduanya lantas mengerahkan tenaga masing-masing.
Mendadak Pheng Lian Houw merasakan tangannya sakit sekali, lekas-lekas
ia menarik tangannya itu, untuk dilihat. Untuk kagetnya, telapakan
tangannya telah berlubang tiga, darahnya yang mengalir berwarna hitam.
Ia merasakan gatal, gatal-gatal enak, sakitnya lenyap. Tapi ia orang
yang lihay, ia insyaf bahwa ia telah kena racun yang jahat. Makin tidak
sakit, makin hebat racun itu. Ia juga merasa lukanya kaku. Ia kaget
berbareng gusar, ia juga tidak mengerti kenapa ia sudah kena dicurangi.
Ketika ia angkat kepalanya, ia dapatkan Cu Cong berdiri di belakangnya
Khu Cie Kee, tangan kirinya mengangkat ban beracunnya yang dijepit
dengan dua jari, tangan kanannya menunjuki sebuah lengkak hitam, ujung
yang tajam dari buah itu penuh darah.
Kanglam Cit Koay yang nomor dua ini bergelar si Mahasiswa Tangan Lihay,
maka tangannya itu benar-benar lihay sekali. Ketika ia mau berjabat
tangan, dia sudah siapkan lengkaknya, tempo kedua tangan nempel satu
sama lain, ia gaet ban tangan orang dan ujung lengkaknya bekerja!
Bukan main murkanya Pheng Lian Houw, ia berlompat untuk menerjang.
“Kau mau apa?!” membentak Khu Cie Kee, yang melintangi pedangnya.
Cu Cong segera berkata: “Pheng Ceecu, lengkak ini adalah lengkak
kakakku, senjata rahasia yang istimewa, siapa terluka karena ini,
biarnya ia pandai mengukir langit, ia tidak bakal hidup lebih dari pada
tiga jam!”
Pheng Lian Houw merasakan tangannya kaku, ia mau percaya keterangan itu,
maka tanpa merasa, dahinya mengeluarkan keringat dingin.
“Kau mempunyai jarum beracunmu, aku mempunyai ini lengkakku yang beracun
juga,” berkata pula Cu Cong. “Kedua racun beda sifatnya, maka beda juga
obatnya. Marilah kita bersahabat, kita saling menukar obat. Akur?”
Belum lagi Pheng Lian Houw menyahuti, See Thong Thian sudah majukan diri seraya berkata: “Bagus! Kau keluarkan obatmu!”
“Toako, berikan dia obat itu!” Cu Cong bilang pada kakaknya.
Kwa Tin Ok merogoh dua bungkusan kecil dari sakunya, Cu Cong menyambuti itu.
Khu Cie Kee segera melangkah di tengah. “Saudara Cu, jangan kena
terperdayakan!” ia memberi ingat. “Mesti dia yang menyerahkan dulu
obatnya!”
Cu Cong tertawa. “Perkataan satu laki-laki mesti dibuktikan dengan
kepercayaan,” ia kata. “Aku tidak khawatir dia tidak memberikannya.”
Pheng Lian Houw merogoh sakunya. Mendadak mukanya menjadi pucat. “Celaka!” serunya perlahan sekali. “Obatku lenyap…!”
Melihat orang ayal-ayalan, Khu Cie Kee murka. “Hm, kau masih mainkan tipu iblismu!” ia membentak. “Saudara Cu, jangan berikan!”
Cu Cong tertawa, ia berkata pula: “Kau ambillah! Kita ada bangsa orang
budiman, kata-kata kita ada seumpama kuda dicambuk lari, aku bilang
kasih tentu mesti dikasihkan!”
See Thong Thian tahu tangan orang lihay, ia tidak berani menyambuti
dengan tangan, sebagai ganti tangannya, ia lonjorkan senjata
pengayuhnya.
Cu Cong meletaki obat di atas pengayuh itu dan See Thong Thian menariknya, untuk menjumput itu.
Orang heran dengan kejadian ini. Mengapa Cu Cong memberikan obatnya?
Kenapa ia tidak memaksa supaya pihak sana yang memberikan obatnya
terlebih dahulu?
See Thong Thian masih menyangsikan obat adalah obat yang tulen, ia kata:
“Kanglam Cit Koay adalah orang-orang kenamaan, tidak dapat ia
mencelakai orang dengan obat palsu!”
Cu Cong tertawa. “Tidak nanti, tidak nanti!” ia berkata seraya dengan
perlahan-lahan mengasihkan lengkaknya kepada Kwa Tin Ok, kemudian dari
sakunya ia ke luarkan beberapa rupa barang ialah sapu tangan,
kim-cie-piauw, beberapa potong perak hancur serta sebuah pie-yan-hu
putih.
Pheng Lian Houw melihat semua barang itu, ia melengak. Itulah semua
barang kepunyaannya. Ia heran kenapa semua itu ada di tangan lain orang.
Ia tidak menyangka, selagi berjabat tangan, Cu Cong telah perlihatkan
kepandaiannya.
Cu Cong buka tutupnya pie-yan-hu itu, yang di dalamnya terbagi dua. di
situ ada obat bubuk masing-masing berwarna merah dan abu-abu.
“Bagaimana ini dipakainya?” ia tanya Pheng Lian Houw.
“Yang merah untuk dimakan, yang abu-abu untuk dibeboreh,” sahut ceecu itu terpaksa.
Cu Cong menoleh kepada Kwee Ceng. “Lekas ambil air! Juga dua buah mangkok!” ia menyuruh.
Bocah itu lari ke dalam hotel, untuk mengambil mangkok dan air, maka
sebentar kemudian ia sudah mulai merawat Ma Giok. Mangkok yang satunya
ia mau kasihkan kepada Pheng Lian Houw.
“Tunggu dulu!” mencegah Cu Cong. “Kasihkan pada Ong totiang!”
Kwee Ceng melengak tetapi ia serahkan mangkok itu. Ong Cie It juga heran.
“Eh, bagaimana dipakainya dua bungkus obat kamu ini?” See Thong Thian menanya. Ia tidak sabaran.
“Tunggu sebentar, jangan kesusu!” Cu Cong bilang. “Baru satu jam tiga
perempat menit, dia tidak bakal mati….” Sembari berkata, Cu Cong
mengeluarkan dari sakunya belasan bungkus obat.
Melihat itu Kwee Ceng girang bukan buatan. “Itulah obatnya Ong Totiang!”
ia berseru. Ia lantas menyambuti semua obat itu, ia bukai bungkusannya
dan letaki di depan Ong Cie It. Ia kata, “Totiang, pilihlah sendiri mana
yang kau butuhkan.”
Ong Cie It mengawasi semua obat itu, ia menjumput gu-cit, dan tiga
lainnya, ia terus masuki itu ke dalam mulutnya, untuk dikunyah, lalu
disusuli dengan air.
Nio Cu Ong mendongkol berbareng mengagumi sang lawan. “Begini lihay si
mahasiswa jorok ini,” pikirnya. “Ia cuma mengebuti bajuku, obat itu
sudah lantas pindah ke tangannya…”
Karena gusar, ia memutar tubuh mencabut guntingnya. “Mari, mari! Mari kita mengadu senjata!” ia menantang.
“Mengadu senjata?” Cu Cong tertawa. “Oh, sungguh-sungguh aku tidak sanggup menandinginya!”
Khu Cie Kee pun menyela, “Tuan ini adalah Ceecu Pheng Lian Houw, tetapi tuan-tuan yang lainnya belum kami kenal…”
See Thong Thian dengan suaranya yang serak, memperkenalkan kawan-kawannya.
“Bagus!” seru Tiang Cun Cu. “Di sini telah berkumpul semua orang Rimba
Persilatan yang kenamaan. Sayangnya selagi kita belum memperoleh
keputusan menang dan kalah, kedua belah pihak ada orang-orangnya yang
terluka. Aku pikir baiklah kita menjanjikan lain hari untuk bertemu
pula.”
“Begitu paling baik!” Pheng Lian Houw menyahuti. “Sebelum menemui Coan
Cin Cit Cu, mati pun kita tak dapat memeramkan mata! Tentang harinya,
silakan Khu Totiang yang menetapkan sendiri.”
Khu Cie Kee tahu lukanya Ma Giok dan Ong Cie It memerlukan rawatan
beberapa bulan, sedang saudara-saudaranya yang lain terpencar
kelilingan, sukar mencari mereka itu dalam waktu yang pendek, karena ia
menyahut: “Baiklah setengah tahun kemudian di harian Pwee gwee Tiong
Ciu, kita berkumpul sambil memandangi si Putri Malam sembari menyakinkan
juga ilmu silat. Bagaimana penglihatan Pheng Ceecu?”
Pheng Lian Houw setuju dengan pilihan hari itu, pertengahan musim
rontok. Ia mengetahui dengan baik, kalau Coan Cin Cit Cu kumpul semua,
dengan mereka dibantu oleh Kanglam Cit Koay, jumlah mereka pun menjadi
terlebih besar, karena mana pihaknya sendiri perlu mencari kawan. Selama
setengah tahun, pasti ia sempat mencarinya. Kebetulan Chao Wang
menghendaki mereka pergi ke Kanglam untuk mancuri surat wasiatnya Gak
Hui, bolehlah mereka kedua pihak sekalian bertemu di sana. Maka itu, ia
pun berkata: “Khu Totiang, sungguh pandai kau memilih hari Pwee gwee
Tiong Ciu itu! Karena itu aku anggap kita pun baik sekali memilih juga
tempat yang tepat! Aku memikir kepada kampung halaman dari Kanglam Cit
Hiap!”
“Bagus, bagus!” menyahuti Khu Cie Kee. “Baiklah, bila tiba waktunya,
kita boleh berkumpul di lauwteng Yan Ie Lauw di tengah telaga Lam Ouw di
Kee-hin. Aku menganggap tidaklah suatu halangan jikalau tuan-tuan
mengundang beberapa sahabatmu.”
“Baiklah, begini ketetapan kita!” kata Pheng Lian Houw singkat.
“Pheng Ceecu,” berkata Cu Cong setelah kepastian itu. “Dua bungkus obat
di tanganmu itu, yang putih untuk dimakan, yang kuning untuk dipakai di
luar.”
Selama itu tangan kanan Pheng Lian Houw sudah kaku sebagian, selama
berbicara dengan Khu Cie Kee, ia menahan sakit, maka itu begitu
mendengar perkataannya Cu Cong, tidak berayal sedetik juga, ia lantas
makan obat yang putih itu.
Kwa Tin Ok dengan suaranya yang dingin berkata,” Pheng Ceecu, dalam
tempo tujuh kali tujuh, empat puluh sembilan hari kau mesti pantang
minum arak! Kau pun mesti memantang paras elok! Kalau tidak nanti di
harian Pwee gwee Tiong Ciu di Yan Ie Lauw kita tidak bakal kekurangan
cecu satu orang, hingga karenanya pastilah lenyap kegembiraan kami!”
Pheng Lian Houw merasa bahwa ia diejek, tetapi karena orang bermaksud
baik, ia tidak menunjuk kemurkaan. “Terima kasih untuk perhatianmu!” ia
bilang. Ia sungkan menyebutkan kebaikan hati orang.
See Thong Thian sudah lantas menolongi kawan itu memakai obat luar, habis mana ia mempepayangnya untuk diajak berlalu.
Wanyen Kang berlutut di tanah, ia paykui empat kali kepada mayat ibunya,
kemudian ia paykui beberapa kali kepada Khu Cie Kee, gurunya itu, habis
itu tanpa mengucap sepatah kata, ia berlalu dengan mengangkat kepala.
“Eh, Kang-jie, apakah artinya itu?!” sang guru menanya, membentak.
Wanyen Kang tidak menyahuti, ia juga tidak berjalan bersama rombongannya
Pheng Lian Houw, ia hanya mengambil sebuah tikungan di pojok jalan.
Khu Cie Kee terdiam. Tetapi ia segera sadar, maka itu ia terus memberi
hormat kepada Kwa Tin Ok beramai seraya berkata: “Jikalau hari ini kami
tidak mendapat pertolongan Liok Hiap, pastilah kami bertiga sudah
kehilangan jiwa kami. Mengenai muridku itu, yang tidak ada sekelingking
murid Liok Hiap, untuk pertemuan nanti di Cui Siang Lauw di Kee-hin, di
sini aku menyatakan taklukku.”
Kanglam Liok Koay senang mendengar perkataan si imam, dengan begitu
tidak sia-sialah yang mereka telah membuang tempo delapan belas tahun di
gurun pasir. Kwa Tin Ok lantas menjawab dengan merendah.
Sampai di situ, selesai sudah pembicaraan mereka. Ma Giok dan Ong Cie It
lantas dipepayang masuk ke dalam rumah penginapan. Coan Kim Hoat pergi
membeli peti mati untuk merawat jenazahnya Yo Tiat Sim dan Pauw Sek Yok,
suami istri.
Khu Cie Kee bersusah hati melihat Bok Liam Cu yang sangat berduka itu.
“Nona, bagaimana hidupnya ayahmu selama beberapa tahun ini?” ia menanya.